66
STAIN Palangka Raya
Penggunaan Bahan Ajar sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Siswa Sekolah Dasar Uus Toharudin & Nuryani Y. Rustaman*) Abstract This quasi-experimental research was conducted at three primary schools in the urban area of Bandung in order to reveal the extent to which the role of teaching materials prepared by teachers in developing science literacy skills of primary school students, particularly fifth graders. The learning process uses teaching methods and models that support student mastery of science literacy by developing students' hands-on and minds-on skills. Based on the research, there has been difference of mean test scores in science literacy ability of the fifth grade of primary school students significantly before and after the use of science literacy-oriented teaching materials. The results of this study have implications for the implementation of science learning in elementary school so that teachers should develop and use instructional materials that are oriented toward science literacy. Keywords: literasi sains, pembelajaran sains Pendahuluan Pemahaman literasi sains siswa, nampaknya belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh para guru yang mengajarkan sains sehingga proses pembelajaran masih bersifat konvensional dan bertumpu pada penguasaan konseptual siswa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil pengukuran mutu hasil pembelajaran yang dilakukan secara internasional, yaitu pada laporan Trends in International Mathematics and Science tentang pembelajaran sains yang mengarah pada pembentukan Study (TIMSS), Programme of International Reading Literacy Study (PIRLS), dan Programme for International Student Assessment (PISA). Pengukuran mutu *)
Uus Toharudin adalah dosen di Universitas Pasundan Bandung sedangkan Nuryani Y. Rustaman adalah dosen pada Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
67
STAIN Palangka Raya
hasil pembelajaran sains tersebut dilakukan pada siswa berusia 15 tahun yang berada pada akhir jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian hasil pengukuran tersebut turut pula mengukur keberhasilan proses pembelajaran sains yang dilakukan di sekolah, baik pada jenjang SMP maupun pada jenjang sebelumnya yaitu sekolah dasar. Hasil penilaian TIMSS terhadap prestasi bidang sains siswa Indonesia pada tahun 1999 berada pada peringkat 32 dari 38 negara dengan skor 435, pada tahun 2003 di peringkat 37 dari 46 negara, dan pada tahun 2007 di peringkat 35 dari 49 negara. Rata-rata skor siswa Indonesia pada TIMSS masih di bawah skor rata-rata (500), dan hanya mencapai tingkatan Low International Benchmark. Hasil penilaian PISA yang dilakukan sejak tahun 2000 pun tidak menunjukkan hasil yang gemilang dan skor rerata siswa masih jauh di bawah rata-rata international yang mencapai skor 500, nilai rata-rata sains yang diperoleh siswa Indonesia adalah 371 pada tahun 2000, 382 pada tahun 2003, dan 393 pada tahun 2006. Demikian pula dengan hasil penilaian PIRLS pada tahun 2006, dimana rerata kemampuan membaca siswa Indonesia hanya mencapai skor 405 dan memiliki perbedaan yang signifikan dengan rerata internasional yang mencapai skor 500. Dengan capaian tersebut, rata-rata kemampuan sains siswa Indonesia baru sampai pada kemampuan mengenali sejumlah fakta dasar tetapi belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik-topik sains, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak. Pengukuran mutu hasil pembelajaran sains tersebut dilakukan pada siswa berusia 15 tahun yang berada pada akhir jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian hasil pegukuran tersebut turut pula mengukur keberhasilan proses pembelajaran sains yang dilakukan di sekolah, baik pada jenjang SMP maupun pada jenjang sebelumnya yaitu sekolah dasar. Rendahnya mutu hasil belajar siswa tersebut menuntut untuk segera dilakukan pembenahan dan pembaharuan untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sains khususnya di jenjang pendidikan dasar. Rustaman (1990) menyatakan bahwa upaya pembaharuan pendidikan dasar
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
68
STAIN Palangka Raya
perlu lebih memperhatikan perkembangan kognitif dan afektif siswa.1 Pembaharuan pendidikan ilmu pengetahuan alam pada pendidikan dasar tidak cukup semata-mata menekankan pada produk dan proses, melainkan pada perimbangan antara produk-proses-sikap. Rendahnya mutu hasil belajar sains siswa menunjukkan bahwa proses pembelajaran sains di sekolah-sekolah Indonesia telah mengabaikan perolehan kepemilikan literasi sains siswa. Literasi sains adalah pemahaman terhadap sains dan aplikasinya,2 kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains dalam memecahkan masalah,3 kemampuan untuk berpikir kritis tentang sains dan untuk berurusan dengan keahlian sains,4 kebebasan dalam mempelajari sains, pemahaman terhadap hakikat sains termasuk hubungannya dengan budaya,5 serta penghargaan dan kesukaan terhadap sains termasuk rasa ingin tahu.6 Sebuah fakta harus diakui keberadaannya bahwa seseorang bisa belajar sains dan memiliki pengetahuan sains tanpa kemampuan membaca yang baik tentang sains (illiterate people). Hal ini mungkin juga terjadi jika dilingkungannya terdapat orang-orang yang dapat membaca tentang sains (literate people) karena konsep sains diperoleh dengan dua cara yaitu dengan cara berpikir tentang sains dan berbicara tentang sains. Namun demikian, pemahaman sains seseorang yang tidak bisa membaca sains 1
Rustaman, N. Y. (1990). Kemampuan Klasifikasi Logis Anak (Studi tentang Kemampuan Abstraksi dan Inferensi Anak Usia Sekolah Dasar pda Kelompok Budaya Sunda. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. hal. 99. 2 DeBoer, G. E. (2000). Scientific literacy: Another look at its historical and contemporary meanings and its relationship to science education reform. Journal of Research in Science Teaching, 37, 582-601. 3 National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington. DC: National Academy Press. 232 4 Korpan, C. A. , Bisanz, G. L. , Bisanz, J., & Henderson, J. M. (1997). Assessing literacy in science: Evaluation of scientific news briefs. Science Education, 81, 515-532. 5 Hanrahan, M. (1999). Re thinking science literacy: Enhancing communication and articipation in school cience through affirmational dialogue journal writing. Journal of Research in Science Teaching, 36, 699-717. 6 Shamos, M. H. (1995). The myth of scientific literacy. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press. 201
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
69
STAIN Palangka Raya
dengan baik tentu saja lebih terbatas dibandingkan dengan orang yang bisa membaca sains dengan baik. Pembelajaran sains yang masih bersifat konvensional biasanya mengabaikan pentingnya kemampuan membaca dan menulis sains yang seharusnya menjadi salah satu kompetensi yang dimiliki siswa setelah mempelajari sains.7 Kesalahan seseorang dalam memahami isi bacaan sains akan berakibat kesalahan pada pemahaman sains itu sendiri. Dengan demikian penting sekali dilakukan sebuah pembelajaran sains yang turut serta memadukan unsur kebahasaan seperti aspek membaca, menulis, dan berbicara karena aspek kebahasaan adalah kunci literasi sains. Hal ini berimplikasi bahwa sekolah memiliki tanggung jawab dalam menumbuh kembangkan kemampuan siswa untuk memahami bahasa sains dalam proses pembelajaran sains. Kedudukan guru dalam pengajaran sains memegang peranan yang sangat penting dalam memupuk dan mengembangkan kemampuan literasi sains siswa. Rohandi (1998: 112) menyatakan bahwa dalam melakukan pembelajaran sains, guru dianjurkan untuk menempatkan aktivitas nyata siswa dengan berbagai objek yang dipelajari. Selain itu merupakan kegiatan yang harus lebih banyak diberikan kepada siswa untuk bersentuhan langsung dengan objek yang dipelajarinya.8 Lebih lengkap lagi Tomo (2002: 149) mengemukakan bahwa masa globalisasi informasi dan teknologi sekarang ini, mempersiapkan siswa sehingga mampu melek ilmiah (scientific literacy) sebagai suatu keniscayaan penting bagi guru untuk mengajarkan dan memodelkan secara eksplisit tentang belajar. Di samping itu pembelajaran tentang IPA harus menekankan pula tentang penguasaan fakta, konsep, prinsip-prinsip, keterampilan proses sains, dan keterampilan berpikir.9 7
Norris, S.P. & Phillips, L.M. (2002). How Literacy in Its Fundamantal Sense Is Central to Scientific Literacy. Canada: University of Alberta.85 8 Rohandi. (1998). Memberdayakan Anak melalui Pendidikan Sains. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 112 9 Tomo. (2002). Mengintegrasikan Teknik Membaca SQ4R dan Membuat Catatan Berbentuk Grafik Post Organizer dalam Pembelajaran Fisika. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. hal. 149
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
70
STAIN Palangka Raya
Berpusat pada pengalaman belajar siswa, Rohandi (1998: 112) menyatakan bahwa dengan kegiatan pembelajaran sains yang berpusat pada siswa, kedudukan guru sangat penting dalam membimbing siswa untuk melakukan penelusuran masalah, mencari berbagai penjelasan mengenai fenomena yang mereka lihat, mengembangkan kemampuan fisiknya (motorik), dan melatih menggunakan penalaran mereka, siswa harus menyelesaikan atau mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi dengan melakukan berbagai eksperimen yang relevan. Pendidikan sains bukan hanya transfer pengetahuan dari guru sebagai sumber pengetahuan kepada siswa sebagai peserta didik. Kalau hanya transfer pengetahuan yang terjadi, pendidikan tidak akan menghasilkan generasi terdidik dan berkualitas.10 Peran guru di sekolah dalam menentukan bahan ajar, menurut Rejeki (1997: 205), guru sebagai pendidik harus berperan sebagai fasilitator.11 Dalam hal ini guru harus berani menentukan buku yang dapat dijadikan pendamping buku wajib. Selain itu guru harus mampu menyusun bahan ajar. Untuk memenuhi peran guru sebagai fasilitator, sehingga guru harus membaca buku-buku sejenis yang sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh anak didiknya. Juga harus membaca buku-buku yang berkaitan dengan jenjang pendidikan sebelum dan sesudahnya. Dengan banyak membaca guru akan memiliki wawasan pengetahuannya secara luas. Sejak diberlakukannya KTSP, guru memiliki otoritas yang sangat luas untuk menyusun dan mengembangkan sendiri bahan ajar berdasarkan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar yang dipilihnya. Penelitian ini dilakukan untuk membantu mengatasi salah satu masalah besar dalam penguasaan LS di sekolah dasar. Fokus kegiatan dapat dinyatakan dalam rumusan masalah penelitian sebagai berikut. “Terjadikah peningkatan kemampuan Literasi Sains siswa SD Kelas V sebelum dan sesudah belajar menggunakan bahan ajar berorientasi Literasi Sains ?
10
Rohandi. (1998). Memberdayakan Anak melalui Pendidikan Sains. Yogyakarta: Kanisius, hal:112. 11 Redjeki, Sri. (1997). Perkembangan Konsep Biologi. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. hal. 205
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
71
STAIN Palangka Raya
Metode Penelitian Pengujian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan one group pretest-posttest design. Model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
01 X 02 X = Treatment berupa penggunaan bahan ajar O1 = Pretest O2 = Posttest Populasi penelitian yaitu siswa kelas V Sekolah Dasar di Kota Bandung. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa dan guru kelas Vyang berada di ketiga sekolah tersebut. Dasar pertimbangan pemilihan tingkatan kelas adalah asumsi bahwa kelas 5 dianggap sudah terbiasa dan mantap belajar sains sebagai pelajaran terpisah dari mata pelajaran lainnya, sedangkan kelas IV yang berada di bawahnya merupakan masa peralihan dari pembelajaran yang sifatnya tematik ke pembelajaran yang mulai terpisah untuk setiap mata pelajaran. Untuk mewakili populasi tersebut, peneliti menetapkan sampel purposive berdasarkan wilayah, yaitu wilayah pusat kota ditetapkan Sekolah Dasar Sukaluyu, wilayah antara tengah dan pinggiran ditetapkan Sekolah Dasar Jamika, dan daerah pinggiran kota ditetapkan Sekolah Dasar Gempolsari. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa ketiga sekolah itu berada pada kecamatan yang berbeda, yang jika ditarik garis lurus, maka SDN Sukaluyu 1 berada di wilayah yang paling dekat dengan sumber informasi (Dinas Pendidikan Kota Bandung) dan SDN Gempolsari berada di posisi ujung, terjauh dan berbatasan dengan Cimahi Selatan. Pertimbangan ini juga didasarkan atas asumsi bahwa sekolah yang dekat dengan sumber informasi biasanya lebih baik dibandingkan sekolah
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
72
STAIN Palangka Raya
yang berada jauh dari pusat informasi, dalam arti bahwa kemudahan untuk mengakses informasi dijadikan bahan pertimbangan dalam penelitian ini. Teknik Pengumpulan Data Data yang terkumpul berupa hasil seperangkat bahan ajar yang dikembangkan oleh guru, hasil pretest dan posttest kemampuan literasi sains siswa, serta hasil observasi kegiatan pembelajaran di kelas. 1. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini, instrumen yang akan digunakan meliputi : a. Tes tertulis berbentuk pilihan ganda yang merupakan tes kemampuan literasi sains yang diperuntukkan bagi siswa kelas 5 . Tes kemampuan literasi sains ini digunakan dengan pertimbangan bahwa tes ini merupakan tes standar penguasaan literasi sains siswa yang dikembangkan oleh peneliti. Bahan ajar yang disusun oleh guru di setiap sekolah tentunya beragam dan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain, oleh sebab itu untuk mengetahui keefektifan bahan ajar tersebut diperlukan sebuah tes standar untuk mengukur peningkatan rerata hasil tes siswa sebelum dan sesudah menggunakan bahan ajar. b. Angket Angket digunakan untuk menggali informasi dari siswa dan guru mengenai proses pembelajaran menggunakan bahan ajar IPA berbasis literasi sains. c. Lembar Observasi Observasi dimaksudkan untuk mengamati secara langsung proses penggunaan bahan ajar yang telah disusun dan dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran di dalam kelas. d. Wawancara
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
73
STAIN Palangka Raya
Teknik digunakan adalah wawancara terbuka dan diperuntukkan bagi guru kelas V yang terlibat langsung dalam penelitian ini, wawancara ini untuk mengetahui sejauh mana guru merencanakan, menyusun dan menggunakan bahan ajar yang dikembangkannya. Untuk memudahkan kegiatan wawancara, peneliti menyusun sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepada guru-guru. 2 Teknik Analisis Data Data kuantitatif yang terkumpul dianalisis dan diolah secara statistik menggunakan program SPSS 12.0 for windows. Adapun teknik yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Data berupa statistik parametrik yang menunjukkan rerata antara pretest dan posttest dihitung menggunakan uji t sampel berpasangan (Pairedsample t test) untuk menentukan tingkat signifikansi perbedaan rerata tersebut. Uji t merupakan uji hipotesis , dengan ketentuan : H0 = tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan sebelum dan sesudah menggunakan bahan ajar IPA berbasis literasi sains Ha = terdapat perbedaan rerata yang signifikan sebelum dan sesudah menggunakan bahan ajar IPA berbasis literasi sains Ketentuan = 0,05 dan H0 ditolak jika –t hitung t tabel t hitung b. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan literasi sains siswa, maka dalam pembelajaran dikembangkan instrument lain oleh tiap guru berkaitan dengan pengembangan bahan ajar, seperti kemampuan hands on siswa untuk kelas V.
Hasil Penelitian 1. Profil Bahan Ajar IPA Berorientasi Literasi Sains
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
74
STAIN Palangka Raya
Sebelum melakukan kegiatan penyusunan bahan ajar, guru-guru kelas V mengkaji isi Pedoman Penulisan dan Penyusunan Bahan Ajar Berbasis Literasi Sains serta melakukan komunikasi dan sharing dalam kegiatan tutorial. Bahan ajar yang dikembangkan guru kelas 5 mengacu pada Standar Kompetensi IPA yaitu Mengidentifikasi fungsi organ tubuh manusia dan hewan sedangkan Kompetensi Dasar IPA yang menjadi acuan yaitu Mengidentifikasi fungsi organ pencernaan manusia dan hubungannya dengan makanan dan kesehatan. Gaya menulis dan pemahaman guru tentang IPA juga memberikan nuansa terhadap cara guru menyusun dan menulis bahan ajar. Bahan ajar yang dikembangkan oleh guru SDN Gempolsari banyak dipengaruhi oleh pemahamannya mengenai materi berdasarkan sumber yang diambil dari buku Harun Yahya dan dimodifikasi dengan memberikan tambahan dari sumber lainnya. Materi tentang makanan dijadikan sebagai apersepsi atau pembukaan dalam tulisan tersebut, alat pencernaan manusia dibahas secara lebih detail, dilanjutkan dengan jenis penyakit yang menyerang alat pencernaan. Guru SDN Jamika 1 mengembangkan materi mengenai pencernaan pada manusia dengan menyampaikan materi prasarat dalam pembukaan, yaitu berupa materi tentang makanan, sumber makanan dan kandungan zat makanan. Selanjutnya dibahas secara lebih detail mengenai sistem pencernaan makanan dan prosesnya, ditutup dengan materi mengenai hubungan makanan dengan kesehatan. Guru SDN Sukaluyu 1 menulis bahan ajar dengan teknik yang berbeda dengan kedua guru lainnya. Bahan ajar disusun dalam bentuk tulisan tangan dan tidak diketik. Materi mengenai sistem pencernaan pada manusia justru dibahas lebih awal , dilanjutkan oleh materi tentang makanan dan kandungan yang terdapat dalam zat makanan serta hubungan makanan dan kesehatan. Bahan ajar yang disusun oleh ketiga guru tersebut dilengkapi pula oleh LKS yang dapat dijadikan sebagai panduan bagi siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Gaya menulis guru dalam bahan ajar rupanya berpengaruh terhadap cara dan gaya menulis siswa. Hal ini nampak pada saat kegiatan pembuatan poster yang dikembangkan di SDN Sukaluyu 1 dan SDN Gempolsari serta penulisan essay di SDN Jamika 1. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
75
STAIN Palangka Raya
pembelajaran menggunakan bahan ajar berbasis literasi sains, maka digunakan angket. Tabel 1 adalah rekapitulasi hasil angket siswa kelas 5 di tiga sekolah tersebut.
Tabel 1. Rata-rata Skor Tanggapan Siswa Terhadap Pembelajaran IPA Menggunakan Bahan Ajar Berbasis Literasi Sains No
1 2
3
4
Tanggapan terhadap penyataan Sikap siswa terhadap pelajaran IPA Sikap terhadap cara guru menyampaikan materi pelajaran IPA Sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan bahan ajar berbasis literasi sains Sikap siswa terhadap konsep makanan dan sistem pencernaan Rata - rata
Rata-rata Skor tanggapan SDN SDN SDN Sukaluyu 1 Gempolsari Jamika 1 3,7
3,5
3,5
3,85
3,65
3,6
3,7
3,45
3,5
3,5
3,45
3,5
3,7
3,50
3,51
Berdasarkan Tabel 1, siswa kelas V SDN Sukaluyu 1 lebih menyenangi pembelajaran sains dibandingkan dengan SDN Jamika 1 dan SDN Gempolsari. Demikian pula respon siswa terhadap cara guru menyampaikan materi pelajaran sains pada konsep Makanan dan Sistem Pencernaan Makanan Pada Manusia, serta respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan bahan ajar berbasis literasi sains nampaknya lebih antusisa dibandingkan kedua SD lainnya. Sedangkan sikap siswa terhadap materi yang diajarkan pada umumnya sama.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
76
STAIN Palangka Raya
2. Kemampuan Literasi Sains Siswa SD Kelas V Pada Tabel 2 disajikan data mengenai kemampuan literasi sains siswa kelas V di tiga sekolah. Aspek kognitif yang diukur meliputi aspek C1-C5 dari taksonomi Bloom yang telah direvisi. Nilai yang tercantum pada tabel 4.3 merupakan persentase jawaban siswa yang menjawab dengan benar untuk setiap aspek kognitif yang diujikan pada materi Makanan dan Sistem Pencernaan pada Manusia. Tabel 2. Kemampuan Literasi Sains Siswa Kelas 5 Sebelum dan Sesudah Menggunakan Bahan Ajar ASPEK KOGNITIF C1 C2 C3 C4 C5 Rata-rata
Persentase Jumlah Siswa yang Menjawab Benar SDN Sukaluyu 1 SDN Jamika 1 SDN Gempolsari PreTest PostTest PreTest PostTest PreTest PostTest 63,13 71,88 56,79 83,57 46,38 48,36 63,06 70,56 49,84 58,73 53,80 60,53 67,50 75,63 66,43 62,86 53,95 65,79 65,83 81,67 60,95 64,76 62,28 69,30 72,92 83,75 69,52 85,71 53,95 77,19 71,59 76,69 65,92 71,13 59,15 64,23
Peningkatan kemampuan literasi sains untuk materi yang sifatnya ingatan terbesar terjadi pada siswa di SDN Gempolsari dengan jumlah peningkatan sebesar 1,98 %, sedangkan untuk SDN Jamika 1 naik sebesar 26,78% dan SDN Sukaluyu 1 naik sebesar 8,75%. Berikut disajikan gambar grafik peningkatan aspek pemahaman siswa kelas V di tiga sekolah sebelum dan sesudah menggunakan bahan ajar. Sedangkan peningkatan kemampuan literasi sains untuk materi yang sifatnya pemahaman terbesar terjadi pada siswa di SDN Jamika 1 naik sebesar 8,89% selanjutnya SDN Sukaluyu 1 naik sebesar 7,50% sedangkan untuk SDN Gempolsari peningkatannya hanya sebesar 6,73% saja. Adapun peningkatan kemampuan literasi sains untuk materi yang sifatnya penerapan terbesar terjadi pada siswa di SDN Gempolsari sebesar 11,84 % , selanjutnya di SDN Sukaluyu 1 naik sebesar
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
77
STAIN Palangka Raya
8,13 % sedangkan di SDN Jamika 1 peningkatannya hanya sebesar 4,43 % saja. Peningkatan kemampuan literasi sains untuk materi yang sifatnya analisis terbesar terjadi pada siswa di SDN Sukaluyu 1 naik sebesar 15,84% , selanjutnya SDN Gempolsari naik sebesar 7,02 % sedangkan untuk SDN Jamika 1 peningkatannya hanya sebesar 3,81% saja. Berikut disajikan gambar grafik peningkatan aspek evaluasi siswa kelas 2 di tiga sekolah sebelum dan sesudah menggunakan bahan ajar. Sedangkan peningkatan kemampuan literasi sains untuk materi yang sifatnya mengevaluasi terbesar terjadi pada siswa di SDN Gempolsari naik sebesar 23,24% , selanjutnya SDN Jamika 1 naik 16,19% dan di SDN Sukaluyu 1 mengalami kenaikan sebesar 10,83 % . Rata-rata jawaban benar pada pretes siswa SDN Sukaluyu adalah 71,59% sebelum menggunakan bahan ajar, naik sebesar 5,10% pada ratarata jawaban benar pada postes menjadi 76,69 %. Demikian pula pada SDN Jamika 1, rata-rata jawaban benar pada pretes siswa adalah 65,92% sebelum menggunakan bahan ajar, naik sebesar 5,12% pada rata-rata jawaban benar soal postes menjadi 71,13 % setelah menggunakan bahan ajar tersebut. Sedangkan pada SDN Gempolsari, rata-rata jawaban benar pada pretes siswa adalah 59,15 % sebelum menggunakan bahan ajar, naik sebesar 5,07 % pada rata-rata jawaban benar pada postes menjadi 64,23 %. Berdasarkan penjelasan di atas, nampak peningkatan jumlah siswa yang menjawab benar untuk setiap aspek, mulai dari C1-C5 di tiga sekolah. Hasil perhitungan statistik dilakukan menggunakan SPSS 12 for Windows dengan hasil sebagai berikut: 1. Jumlah sampel SDN Sukaluyu 1 adalah 40, SDN Jamika 1 adalah 35 dan SDN Gempolsari adalah 38 siswa. 2. Pada pelaksanaan pretest di SDN Sukaluyu 1 diperoleh rata-rata (mean) pretest sebesar 19,77 dengan standar deviasi sebesar 4,492, sedangkan pelaksanaan posttest diperoleh rata-rata (mean) posttest sebesar 22,33 dengan standar deviasi 4,428. Pada pelaksanaan pretest di SDN Jamika 1 diperoleh rata-rata (mean) pretest sebesar 17,06 dengan standar deviasi
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
78
STAIN Palangka Raya
sebesar 3,827, sedangkan pelaksanaan posttest diperoleh rata-rata (mean) posttest sebesar 20,86 dengan standar deviasi 3,790. Pretest di SDN Gempolsari diperoleh rata-rata (mean) pretest sebesar 15,82 dengan standar deviasi sebesar 3,972, sedangkan pelaksanaan posttest diperoleh rata-rata (mean) posttest sebesar 17,95 dengan standar deviasi 3,502 3. Diperoleh nilai korelasi antara pretest dengan posttest SDN Sukaluyu 1 sebesar 0,776; SDN Jamika 1 sebesar 0,852 dan SDN Gempolsari sebesar 0,813 . 4. Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel. Untuk harga t tabel didasarkan pada derajat kebebasan (dk) adalah n-1, dengan tingkat kesalahan 0,05 pada uji dua pihak. H0 ditolak jika nilai -thitung ttabel thitung Hasil uji t di SDN Sukaluyu 1 adalah thitung sebesar -5,400 dan ttabel 2,045 . Hasil uji t di SDN Jamika 1 adalah thitung sebesar -10,864 dan ttabel 2,045 dan hasil uji t di SDN Gempolsari adalah thitung sebesar -5,647 dan ttabel 2,045 Maka disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai tes literasi sains siswa kelas 5 SDN Sukaluyu 1, SDN Jamika 1 dan SDN Gempolsari Bandung, sebelum dan sesudah menggunakan bahan ajar (Ha diterima). 5. Pada SDN Sukaluyu 1 diperoleh informasi bahwa korelasi pearson antara Hands on dan kemampuan literasi = 0,714 (kuat), korelasi kemampuan menulis dengan kemampuan literasi = 0,715 (kuat), korelasi kemampuan berbicara dengan kemampuan literasi = 0,752 (kuat), serta korelasi minat dengan kemampuan literasi = 0,058 ( sangat rendah). Pada SDN Jamika 1 diperoleh informasi bahwa korelasi pearson antara hands on dan kemampuan literasi = 0,850 (sangat kuat), korelasi kemampuan menulis dengan kemampuan literasi = 0,516 (cukup kuat), korelasi kemampuan berbicara dengan kemampuan literasi = 0,867 (sangat kuat), serta korelasi sikap dengan kemampuan literasi = 0,522 (cukup kuat), sedangkan pada SDN Gempolsari diperoleh informasi bahwa korelasi pearson antara Hands on dan kemampuan literasi= 0,511
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
79
STAIN Palangka Raya
(cukup kuat), korelasi kemampuan menulis dengan kemampuan literasi = 0,314 (rendah), korelasi kemampuan berbicara dengan kemampuan literasi = 0,686 (kuat), serta korelasi sikap dengan kemampuan literasi = 0,202 (rendah), 6. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh informasi bahwa pada SDN Sukaluyu 1, koefisien korelasi X1234 terhadap Y (Rx1 x2 x3 x4 y) sebesar 0,805 sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,648. Pada SDN Jamika 1, koefisien korelasi X1234 terhadap Y (Rx1 x2 x3 x4 y) sebesar 0,892 sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,796. Sedangkan pada SDN Gempolsari 1, koefisien korelasi X1234 terhadap Y (Rx1 x2 x3 x4 y) sebesar 0,706 sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,498. 7. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa kemampuan literasi sains siswa kelas 5 SDN Sukaluyu 1 (Y) dipengaruhi oleh faktor hands on (X1), kemampuan menulis (x2), kemampuan berbicara (x3) dan minat belajar (X4) sebesar 64,80%, SDN Jamika 1 dan 79,60 % dan SDN Gempolsari 49,80%, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lainnya. 8. Berdasarkan hasil wawancara dan angket yang diberikan kepada guru kelas 5 ditiga sekolah tersebut diperoleh informasi bahwa pembelajaran sains menggunakan bahan ajar berbasis literasi sains ini sangat menarik dan cukup menantang karena guru harus mampu mengembangkan bahan ajar sehingga diperlukan persiapan yang cukup matang sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pembahasan Kemampuan literasi sains siswa Indonesia dapat dilihat berdasarkan skor rerata PISA yaitu: 1) 45,6 (tahun 2000); 2) 46,4 (tahun 2003); dan 3) 47,1 (tahun 2006). Kecenderungan prestasi sains menurut skor rerata mengalami peningkatan sebesar 0,75 poin per periode. Jika dibandingkan dengan rerata internasional, kemampuan LS siswa Indonesia
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
80
STAIN Palangka Raya
masih di bawah rata-rata dan secara umum kemampuan siswa Indonesia berada pada tahapan terendah skala pengukuran PISA. Kemampuan LS siswa Indonesia ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara khusus Munger12 mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan LS siswa Indonesia berdasarkan data PISA 2006, yaitu: 1) faktor gender, 2) lokasi sekolah, 3) sosio ekonomik siswa, 4) tingkat pendidikan orangtua, 5) tingkat pendidikan guru serta 6) jenis sekolah. Secara umum, berdasarkan analisis terhadap data PISA tahun 2000, 2003, dan 2006 diperoleh informasi bahwa faktor yang secara konsisten signifikan mempengaruhi kemampuan sains adalah: 1) kemampuan membaca, 2) kemampuan matematika dan 3) fasilitas pendidikan.13 Rendahnya mutu hasil pembelajaran sains siswa Indonesia menuntut agar segera dilakukan pembenahan terhadap proses pembelajaran sains pada tingkat pendidikan dasar. Rustaman menyatakan bahwa upaya pembaharuan pendidikan dasar perlu lebih memperhatikan perkembangan kognitif dan afektif siswa.14 Pembaharuan pendidikan sains pada pendidikan dasar tidak cukup semata-mata menekankan pada produk dan proses, melainkan pada perimbangan antara produk-proses-sikap. Upaya pembaharuan pendidikan dasar lainnya adalah membenahi fungsi, wewenang dan tugas guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran di kelas demi tercapainya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan sains. Kemampuan guru mengajar sains dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: tingkat kependidikan, penguasaan bahan ajar, metodologi pengajaran dan LS teknologi. Ibrahim mengungkapkan bahwa latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar guru berpengaruh terhadap 12
Munger, F. (2009). Student Achievement on International Assessments: Perspektives on Indonesian Students’ Performance. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Hal. 24 13 Hadi, S. & Mulyatiningsih, E. (2009). Model Trend Prestasi Siswa Berdasarkan Data PISA Tahun 2000, 2003, dan 2006. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Hal. 19 14 Rustaman, N. Y. (1990). Kemampuan Klasifikasi Logis Anak (Studi tentang Kemampuan Abstraksi dan Inferensi Anak Usia Sekolah Dasar pda Kelompok Budaya Sunda. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Hal. 99
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
81
STAIN Palangka Raya
struktur materi yang disajikan oleh guru dalam proses pembelajaran sains.15 Demikian pula kemampuan guru berinkuiri ternyata memiliki kecenderungan untuk berpengaruh positif terhadap penguasaan inkuiri siswa. Sebuah penelitian terhadap 40 orang guru di kota Bandung memberikan gambaran bahwa pada umumnya guru kelas VI yang mengajarkan sains telah memiliki kemampuan logis dalam menyusun rencana pembelajaran sains dalam kategori baik dan cukup baik, pada kenyataannya hasil Test of Logical Thinking (TOLT) yang mengukur aspek kognitif guru menunjukkan bahwa tidak semua guru mencapai tahap operasi formal, 68% berada pada tahap abstrak dan 32% berada pada tahapan transisi. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru khususnya guru SD yang mengajarkan sains terus menerus dilakukan baik oleh pemerintah, secara mandiri, maupun oleh para akademisi. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru menguasai dan membelajarkan sains masih harus ditingkatkan, di antaranya: 1) penguasaan guru berlatar belakang pendidikan D2 PGSD (UPJJ Bandung, Bogor, Jakarta, dan Bali) terhadap keterampilan proses sains dan aplikasinya dalam pembelajaran masih rendah pemahaman guru SD di Kabupaten Bandung terhadap hakikat sains dan kemunculan hakikat sains dalam proses pembelajaran masih rendah; 3) terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan proses pembelajaran dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun oleh guru-guru di kota Bandung dan di kabupaten Ciamis;16 4) kemampuan guru di Kecamatan Cisurupan Garut masih harus dikembangkan dalam hal membuka dan menutup pelajaran; 5) kemampuan guru MI di Banda Aceh dalam menyusun penilaian dengan memunculkan aspek inkuiri dalam evaluasi pembelajaran sains masih rendah; serta 6) guru SD di Kalimantan Timur 15
Ibrahim, Y. (2009). Analisis Struktur Materi Pada Proses Pembelajaran Sains di Kelas IV Sekolah Dasar. Tesis PPs UPI, Bandung: Tidak diterbitkan. Hal. 101 16 Gunawan, S. (2009). Analisis Kesesuaian Rencana Pembelajaran yang Dibuat Guru SD dengan Pelaksanaan Pembelajaran Sains. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. 67
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
82
STAIN Palangka Raya
memiliki kompetensi pada tingkat sangat kurang dalam mata pelajaran sains dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Berkaitan dengan kualitas kurikulum, pemerintah Indonesia sejak tahun 1975 berupaya menyempurnakan kurikulum hingga pada tahun 2006 diterapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hal ini berimplikasi pada kurikulum sains yang turut serta dibenahi. Namun demikian, berdasarkan hasil kajian terhadap kurikulum sains yang terdapat dalam KTSP ditemukan sejumlah kelemahan baik dalam struktur penyusunan dan penyajiannya maupun dalam tahap implementasinya di sekolah. Upaya peningkatan kualitas sekolah terus dilakukan oleh pemerintah dengan program manajemen untuk mengembangkan sekolah, program sekolah gratis, pemberian bantuan operasional sekolah (BOS), dan program lainnya. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk membenahi proses pembelajaran sains adalah mengkaji pula faktor-faktor penyebab rendahnya prestasi sains siswa Indonesia, khususnya adalah faktor kemampuan membaca siswa karena sangat erat kaitannya dengan kemampuan LS yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Pendapat tersebut didukung oleh Munger yang melakukan kajian terhadap data PIRLS 2007 untuk melihat rerata kemampuan membaca siswa Indonesia. Berdasarkan data PIRLS diperoleh informasi bahwa skor kemampuan membaca siswa Indonesia hanya mencapai skor 405 dan masih di bawah rerata internasional yang mencapai skor 500. Dari data tersebut diketahui pula bahwa tidak ada siswa yang mencapai advanced international benchmark, 2% mencapai high benchmark, 19% mencapai intermediate benchmark, 54% mencapai low international benchmark, bahkan 25 % siswa Indonesia tidak mencapai tingkatan rendah karena skornya berada di bawah skor 400. Munger mengungkapkan pula bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca siswa adalah 1) faktor gender, 2) penggunaan bahasa di rumah, 3) kebiasaan membaca guru, serta 4) lokasi sekolah.17
17
Munger, F. (2009). Student Achievement on International Assessments: Perspektives on Indonesian Students’ Performance. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Hal. 26
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
83
STAIN Palangka Raya
Kemampuan membaca siswa Indonesia yang rendah ini nampaknya disebabkan pula oleh pengajaran bahasa yang masih lemah, khususnya dalam aspek membaca dan menulis. Suhardjono mengungkapkan bahwa kemampuan guru kelas IV SD/MI dalam membelajarkan membaca pemahaman relatif lemah hanya mencapai 42,85% dari kemampuan ideal. Kemampuan, pendidikan, dan pengalaman guru dalam membelajarkan membaca berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV, sedangkan status guru di kelas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan membaca siswa kelas IV. Lebih lanjut dipaparkan pula bahwa kemampuan siswa kelas IV SD/MI membaca pemahaman tergolong rendah, baik menggunakan tes lokal maupun tes PIRLS. Kemampuan membaca pemahaman siswa hanya mencapai 35,64% untuk tes lokal dan 33,27% untuk tes PIRLS. Skor tes lokal berkorelasi secara signifikan dengan tes PIRLS (r = 0,673). Menurut Suhardjono, faktor yang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan membaca siswa adalah kebiasaan berbahasa, sedangkan kebiasaan membaca dan kondisi sekolah tidak berpengaruh secara signifikan. Rendahnya kemampuan membaca pemahaman siswa Indonesia nampaknya dipengaruhi pula oleh kurikulum yang belum mengembangkan kompetensi membaca dan menulis secara utuh. Kajian yang dilakukan oleh Swediati & Utordewo (2009) memberikan gambaran bahwa dalam Standar Kompetensi pengajaran bahasa Indonesia untuk kelas IV, V & VI tercantum “Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara tertulis”.18 Akan tetapi dalam Kompetensi Dasar tidak diuraikan secara spesifik kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan mengungkapkan. Semua kegiatan menulis lebih menekankan unsur kaidah kebahasaannya dibandingkan dengan proses pengungkapan pikiran. Siswa tidak diajarkan proses pengungkapan pikiran, pilihan kata berkaitan dengan pengungkapan pikiran, pengembangan paragraf, penggunaan pernyataan untuk menunjang
18
Swediati, N. & Utordewo, F.N. (2009). Prestasi Membaca Siswa Indonesia Dalam Studi PIRLS 2006. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Hal 29
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
84
STAIN Palangka Raya
pendapat, dst. Hal ini terlihat dari hasil PIRLS bahwa siswa Indonesia mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran mereka secara mandiri. Jika dikaitkan dengan soal-soal dalam Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN), maka dapat ditemukan bahwa dari 50 soal UASBN hanya 20 soal yang sesuai dengan tujuan pengukuran PIRLS, sisanya 30 soal mengukur kebahasaan siswa dalam hal menulis, sehingga soal tidak berkaitan dengan pemahaman bacaan melainkan lebih pada kemampuan mengedit. Padahal tes membaca pemahaman yang dilakukan PIRLS bersifat menyeluruh dan terintegrasi. Siswa Indonesia hanya menduduki level 1 atau level terendah, hal ini sejalan dengan temuan Budiyono (2008) bahwa kegiatan membaca di kelas berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, namun siswa memang jarang dilatih untuk menulis sesuatu yang telah dibaca seperti membuat ringkasan dengan kalimat sendiri. Kenyataan memprihatinkan mengenai rendahnya hasil mutu pembelajaran siswa Indonesia merupakan sebuah cermin dari kegagalan produk pendidikan di Indonesia. Hal ini juga diperparah dengan kemampuan menulis ilmuwan Indonesia yang menurut berkala Scientific American terbitan tahun 1995 mencatat bahwa saham produk ilmiah yang disumbangkan ilmuwan dan pandit serta pakar bangsa Indonesia pada khazanah pemajuan ilmu dan teknologi dunia besarnya hanyalah 0,012%. Menurut perusahaan jasa informasi Thomson Scientific (USA) bahwa pada tahun 2004 karya tulis ilmuwan, pandit, dan pakar Indonesia yang sampai ke forum dan diterbitkan dalam berkala ilmiah bereputasi internasional hanya berjumlah 522, sehingga prestasinya masih jauh di bawah Malaysia (1438 publikasi), Thailand (2397 terbitan), dan Singapura (5781 artikel). Beberapa temuan dan kajian yang telah dipaparkan sebelumnya memberikan gambaran bahwa keterpurukan prestasi sains siswa Indonesia tidak hanya dapat dibenahi melalui proses pembelajaran sains saja, melainkan secara integral perlu dibenahi bersamaan dengan pembelajaran bahasa khususnya mengenai kemampuan membaca pemahaman dan kemampuan menulis. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya mengenai rendahnya pencapaian literasi sains siswa Indonesia dibandingkan siswa yang berasal
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
85
STAIN Palangka Raya
dari negara lain di dunia, maka perlu dilakukan sebuah perumusan kembali mengenai tujuan dan pelaksanaan pembelajaran sains di sekolah dalam hal ini sekolah dasar. Tujuan pembelajaran sains difokuskan pada dua tujuan utama yang bersifat khusus dan bersifat umum. Tujuan khusus pembelajaran sains adalah perolehan dan kepemilikan sains itu sendiri bagi siswa yang dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang ber-hakikat sains, artinya mengembangkan ketiga dimensi sains secara bersamaan dan berkesinambungan. Tujuan umum pembelajaran sains adalah penguasaan dan kepemilikan literasi sains siswa yang membantu siswa memahami sains dalam konten-proses-konteks yang lebih luas terutama dalam kehidupan sehari-hari, dan untuk tingkat sekolah dasar upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memadukan unsur dan praktik kebahasaan dalam pembelajaran sains, meliputi kegiatan membaca sains, menulis sains, dan berbicara tentang sains. Beberapa pendapat ahli yang menyatakan bahwa literasi sains adalah kemampuan mengaplikasikan sains dalam kehidupan seharihari nampaknya masih merupakan sebuah permasalahan tersendiri dalam hal pengukuran dan evaluasi tingkat ketercapaiannya terutama dalam jenjang sekolah dasar. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan sebuah alternatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sains untuk mengembangkan literasi sains yang mudah dilakukan dan berdampak positif dalam menunjang penguasaan literasi sains siswa sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan hands on, kegiatan menulis tentang sains, kegiatan berbicara tentang sains, serta kegiatan membaca bahan ajar yang dilakukan oleh siswa memiliki korelasi dengan ketercapaian penguasaan literasi sains siswa khususnya kelas V di tiga sekolah dengan tingkatan mulai dari cukup kuat, kuat hingga sangat kuat. Hasil ini memberikan gambaran bahwa untuk mengukur dan mengevaluasi ketercapaian penguasaan literasi sains siswa dapat ditempuh dengan cara-cara sederhana dan mungkin untuk dilakukan, sehingga guru tidak selalu terjebak untuk melakukan pengukuran hasil belajar hanya dengan hal-hal yang mengukur aspek kognitif semata, terutama kognitif tingkat rendah yang menekankan pada ingatan dan hapalan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
86
STAIN Palangka Raya
Materi yang terdapat dalam pelajaran sains termasuk ke dalam kurikulum kolateral. Ketuntasan siswa dalam mempelajari suatu konsep dalam mata pelajaran sains ditentukan pula oleh ketuntasan materimateri yang merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Penguasaan konsep-konsep atau materi sains bagi siswa pada dasarnya tergantung pula pada penguasaan teknik dan nonteknik kebahasaan yang terdapat dalam sains (literacy science), yaitu: (1) istilah-istilah sains, (2) membaca bahan bacaan sains, dan (3) mengkomunikasikan sains baik secara lisan maupun tulisan (Key Stage 3 National Strategy). Istilah-istilah ilmiah yang terdapat dalam sains dapat menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan menguasai konsep sains. Ada beberapa kata yang mudah dibaca dan mudah diingat namun sulit untuk dimengerti oleh siswa, ada pula proses atau peristiwa sains yang mudah dimengerti oleh siswa namun siswa mengalami kesulitan untuk menyebutkan istilahnya. Pembelajaran sains menyediakan alternatif strategi mengajar yang dapat memotifasi siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca.19 Guszak mengemukakan bahwa kesiapan membaca adalah kemampuan yang kompleks. Dari tiga kemampuan kompleks tersebut, dua diantaranya dapat dipengaruhi secara langsung dengan keterampilan proses, yaitu: faktor fisik (kesehatan, pendengaran, penglihatan, berbicara dan motorik); dan faktor pemahaman (konsep, proses). Ketika siswa melihat, mendengar dan berbicara tentang pengalaman sains, pemahaman dan persepsi siswa terhadap konsep dan proses dapat berkembang.20 Keterampilan proses sains merupakan pendamping kegiatan membaca. Misalnya ketika guru menjelaskan tentang sains, maka siswa belajar untuk menentukan karakteristik yang penting, menyebut satu persatu karakteristik, menggunakan istilah yang sesuai, dan menggunakan sinonim yang tepat yang merupakan keterampilan membaca yang penting.21 19
Wellman, R.T. (1978). Science: A basic for language and reading development. In What research says to the science teacher, vol. 1, ed. M.B. Rowe. Washington, D.C.: National Science Teachers Association. 202 20 Barufaldi, J.P. & Swift, J. (1977). Children learning to read should experience science. The Reading Teacher 80: 388-393. 21 Carter, G.S. & Simpson, R.D. 1978. Science and reading: A basic duo. The Science Teacher. 45 (3): 20.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
87
STAIN Palangka Raya
Keterlibatan siswa dalam keterampilan proses memudahkan siswa untuk mengenali kata kunci secara kontekstual dan terstruktur dan memudahkan siswa menginterpretasikan data dalam paragraf. Keterampilan proses sains penting bagi berpikir logis dan menjadi pondasi untuk kemampuan dasar belajar membaca siswa.22 Oleh sebab itu, dalam model pembelajaran tematik ini guru berperan dalam hal membantu siswa untuk menentukan kata kunci atau istilah penting yang terdapat dalam bacaan. Setelah siswa membaca bacaan yang terdapat dalam bahan ajar, guru melakukan tanya jawab dan memberikan penjelasan mengenai kata-kata sulit yang ditemukan oleh siswa. Aspek membaca sains adalah suatu hal yang penting yang harus dikuasai oleh siswa. Kegiatan membaca secara umum terbagi menjadi 4 kategori, yaitu continuous reading (membaca tak henti), close reading (membaca perlahan dan mempelajarinya), skimming (membaca sepintas secara cepat), dan scanning (mencari sebagian informasi yang dibutuhkan). Membaca sains menuntut beberapa aktivitas yang sebaiknya dilakukan untuk dapat memahami isi bacaan. Seorang guru hendaknya dapat memberikan rangsangan atau motivasi yang tinggi bagi siswa untuk membaca dan memberikan saran agar siswa dapat dengan mudah memahami apa yang dibacanya, dan bukan hanya terpaku pada kemampuan dia membaca (Key Stage 3 National Strategy). Berdasarkan hal itu, dalam model pembelajaran tematik ini kegiatan membaca mendapatkan porsi yang cukup banyak dalam pembelajaran, karena hal ini disamping dapat membantu siswa memahami materi sains yang berdampak pada penguasaan konsep sains siswa, juga dapat membantu siswa memiliki keterampilan berbahasa Indonesia yang lebih baik sesuai dengan tahap perkembangannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nicodemus bahwa program sains yang mengembangkan pengalaman hands on dapat meningkatkan perkembangan keterampilan proses siswa-siswa.23 Pencapaian keterampilan proses yang dikembangkan dengan pengalaman
22
Ibid Nicodemus, R.B. 1968. An evaluation of elementary science study as ScienceA Process Approach. Washington, D.C.: Washington Academy of Science (ED 027 217). 23
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
88
STAIN Palangka Raya
sains memiliki korelasi yang positif dengan perkembangan kesiapan membaca. Penelitian menunjukkan pula bahwa pengalaman langsung dalam pembelajaran sains dimana salah satunya siswa berinteraksi secara langsung dengan material/bahan belajar dapat menjadi sarana atau memfasilitasi perkembangan kemampuan berbahasa siswa.24 Kegiatan membaca dan aktivitas sains menekankan pada kemampuan berpikir dan keduanya melibatkan proses berpikir. Ketika guru membantu siswa mengembangkan keterampilan proses sains, proses membaca secara simultan juga turut dikembangkan. Selain aspek membaca, ada enam hal yang dapat membantu siswa berfikir secara ilmiah melalui kegiatan menulis sains (Key Stage 3 National Strategy). Pertama, adalah ketika siswa terlatih untuk memberikan penjelasan bagaimana, yang kedua adalah ketika siswa memberikan penjelasan mengapa, hal ini tentu dapat membantu mereka menggambarkan suatu proses dan menghubungkan beberapa ide secara bersamaan yang memiliki konsep yang saling mendukung. Hal yang ketiga adalah siswa menuliskan argumennya, yang dapat membantunya mengembangkan kemampuan dalam mengemukakan ide atau gagasannya. Keempat, adalah ketika siswa memberikan gambaran kemudian membuat kesimpulan. Kelima, siswa menuliskan hasil analisisnya terhadap suatu keadaan serta keenam, yaitu membuat sebuah perencanan, maka hal tersebut dapat membantu siswa mengembangkan kemampuannya dalam inquiry sains. Ketika siswa menggunakan keterampilan proses sains mengamati, mengidentifikasi, dan mengklasifikasikan, mereka dapat membedakan antara vokal dan konsonan dan belajar mengenai bunyi huruf, kata dan kalimat. Untuk sampai pada penguasaan keenam hal tersebut, maka diperlukan bentuk-bentuk latihan bagi siswa di dalam proses pembelajaran. Dalam model pembelajaran tematik ini, upaya memberikan latihan menulis sains diberikan melalui pelajaran Bahasa Indonesia dalam bentuk latihan 24
Wellman, R.T. (1978). Science: A basic for language and reading development. In What research says to the science teacher, vol. 1, ed. M.B. Rowe. Washington, D.C.: National Science Teachers Association. 317
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
89
STAIN Palangka Raya
menjawab pertanyaan bacaan, menulis puisi, mengisi teka-teki, serta menuliskan kata-kata sulit. Kegiatan menulis tersebut pada dasarnya memadukan materi sains dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam kelas tradisional siswa lebih banyak mendengarkan penjelasan guru namun sedikit sekali yang menggunakan waktunya untuk berdiskusi dengan teman atau gurunya.25 Siswa butuh kesempatan untuk dapat mengungkapkan, menjelaskan dan menunjukkan pemahamannya tentang sains dan menggunakan istilah-istilah sains yang diketahuinya secara benar. Siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan pemikirannya dengan berbicara, berdiskusi, serta berbagi untuk mengungkapkan apa yang diketahuinya dan mengetahui apa yang diketahui orang lain. Kegiatan hands-on untuk memberikan pengalaman langsung bagi siswa dalam sains adalah kunci bagi hubungan antara keterampilan proses baik dalam sains maupun dalam kegiatan membaca. Pembelajaran sains yang mempadukan unsur dan praktik kebahasaan dan konten sains dalam beberapa kegiatan pembelajaran yang diterapkan oleh guru-guru kelas V selama proses penelitian ini memberikan gambaran bahwa pembelajaran sains dapat dilakukan dengan cara yang menyenangkan, mampu meningkatkan minat belajar sains, serta berhasil menstimulus siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran terutama kegiatan membaca bahan ajar, menulis tentang sains dan berbicara tentang sains. Pembelajaran sains yang tetap berpijak pada hakikat sains tentu akan membantu siswa menguasai konten sains, proses sains dan konteks sains sesuai dengan pemahaman dan karakteristik usianya, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan proses sains yang dikembangkan dalam pembelajaran dapat membantu siswa memecahkan permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan konsep keilmuan yang dikuasainya sehingga sains tidak hanya sebatas hapalan semata melainkan memiliki muatan nilai yang dapat tertanam dalam diri siswa yang turut mempengaruhi pola pikir dan tingkah lakunya dalam bertindak dan mengambil keputusan. 25
Charbonneau, Manon P. (1995). The Integrated Elementary Classroom, a developmental Model of education for the 21st century. United States: A Simon & Schuster Company. 113
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
90
STAIN Palangka Raya
Hal ini menunjukkan bahwa upaya ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan literasi sains siswa, meskipun persentase kenaikan skor siswa sebelum dan sesudah pembelajaran masih dibawah 20%. Kenaikan persentase jumlah siswa yang masih rendah tersebut pada dasarnya dapat dipahami karena bentuk-bentuk soal tes kemampuan literasi sains siswa dikonstruksi dalam bentuk pilihan ganda dengan sebaran soal yang lebih banyak menguji kemampuan pemahaman, analisis, dan sintesis siswa terhadap konten-proses-konteks sains dalam kehidupan sehari-hari. Siswa masih belum terbiasa mengerjakan soal-soal yang menguji aspek literasi sains seperti ini, terlebih soal-soal tersebut termasuk ke dalam ranah kognitif tingkat tinggi. Siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang menguji aspek kognitif tingkat rendah pada aspek hapalan terhadap konten sains, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal literasi sains. Pembelajaran sains menggunakan bahan ajar yang disusun oleh guru-guru kelas V dilaksanakan selama empat kali pertemuan dengan alokasi waktu 2 x 35 menit setiap pertemuan. Selama empat kali pertemuan itu, kegiatan membaca bahan ajar, kegiatan menulis tentang sains, kegiatan berbicara tentang sains, dan kegiatan hands on menjadi fokus utama kegiatan pembelajaran di dalam kelas sehingga nuansa pembelajaran sains menjadi kental dengan unsur dan praktik kebahasaan. Kegiatan-kegiatan ini seoleh merupakan upaya pembiasaan yang dilakukan guru selama empat kali pertemuan sehingga berdampak positif terhadap penguasaan siswa terhadap konten-proses-konteks sains. Kegiatan-kegiatan itu pula yang mengantarkan siswa menguasai literasi sains lebih baik sesudah proses pembelajaran di bandingkan sebelumnya. Pembelajaran sains di kelas V menerapkan model pembelajaran yang pada awalnya diasumsikan dapat meningkatkan penguasaan literasi sains siswa. Model pembelajaran yang diterapkan di kelas V berbeda di setiap sekolah. Model pembelajaran di kelas V SDN Sukaluyu 1 lebih mengarah pada pembelajaran inkuiri terbimbing, model pembelajaran di kelas V SDN Jamika 1 menggunakan model PBL (Problem Based Learning) dan pembelajaran di kelas V SDN Gempolsari menggunakan model CTL (Contekstual Teaching and Learning).
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
91
STAIN Palangka Raya
Pada dasarnya model pembelajaran inkuiri terbimbing, PBL dan CTL bertujuan untuk lebih memusatkan kegiatan pembelajaran pada diri siswa (student center) sebagai pebelajar dan bukan sebagai penerima informasi yang sifatnya pasif melalui serangkaian aktivitas yang bermakna bagi siswa. Meskipun model-model pembelajaran tersebut memiliki perbedaan dalam sintaks pelaksanaan pembelajaran namun dapat ditarik benang merah sehingga diperoleh sejumlah persamaan dari ketiga model yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Pada tahap awal pembelajaran, guru-guru kelas V nampak berusaha untuk menggali pengetahuan awal siswa dengan meminta siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan produktif mengenai pencernaan makanan pada manusia berdasarkan pengalaman siswa, serta menggambarkan proses pencernaan makanan berdasarkan pemahaman awal siswa. Kemudian guru juga berusaha mengajak dan melibatkan siswa untuk mengungkapkan masalah-masalah seputar pencernaan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Jadi siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya tentang konsep proses pencernaan makanan sehingga memungkinkan konsep yang diperoleh tersimpan lebih lama pada memori siswa. Selain itu, siswa juga bekerja secara kelompok dan berdiskusi menyelesaikan masalah yang disajikan. Menurut Iskandar, lebih sering memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja dalam kelompok kecil adalah baik. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kadangkadang siswa dapat menjelaskan lebih baik daripada guru. Siswa-siswa yang mendapat pengalaman untuk mendengar pendapat dan pandangan orang lain, akan dapat bersikap realistis terhadap pendapatnya sendiri. Seorang siswa yang baru memahami konsep yang sulit mungkin dapat membantu temannya yang mendapat kesulitan dalam memahami konsep yang sama, dalam pembelajaran ini mereka saling mengajari sehingga tercipta juga suasana saling menghargai. Sesuai dengan prinsip konstruktivisme bahwa pengetahuan berkembang melalui negosiasi sosial dan evaluasi proses pemahaman seseorang.26
26
Savery, J. R., Duffy, T., M (1995). Problem Based Learning: An Instructional Model and its Constructivist Framewok. Educational Tecnology, 35,31-38
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
92
STAIN Palangka Raya
Penggunaan masalah yang kontekstual, membuat belajar lebih aplikatif dan kontekstual bagi siswa. Hal ini sesuai dengan Wim. H. Gisjelairs bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor interaksi sosial dan sifat kontekstual dari pelajaran. Pada pembelajaran ini, guru juga memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengungkapkan ide-ide dan pengetahuan awal siswa mengenai masalah yang akan disajikan sehingga semakin meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Sebagaimana menurut Widodo bahwa konsep yang dimiliki siswa merupakan jembatan bagi guru agar siswa memahami konsep yang akan dipelajari selanjutnya.27 Berkaitan dengan hal itu Wartono mengemukakan bahwa guru dapat mengajar sains dengan pertama-tama mengemukakan atau menimbulkan suatu masalah yang kira-kira dapat dipecahkan oleh siswa kemudian menuntun siswa untuk memecahkan masalah itu secara ilmiah. Guru dapat memulai pembelajaran dengan menceritakan suatu pengalaman yang dialami sendiri atau yang dialami oleh orang lain juga dapat mendemonstrasikan sesuatu di depan siswa-siswa yang kemudian dapat dijadikan suatu masalah yang akan dipecahkan bersama-sama secara ilmiah. Selain itu guru juga dapat menggali pengalaman yang mungkin telah dialami oleh kebanyakan siswa, kemudian dari pengalaman itu guru mencoba menuntun siswa untuk menyadari adanya suatu masalah dan mencari serta menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya itu. Proses pembelajaran IPA dalam kegiatan inti dilakukan guru-guru kelas V dengan tetap memperhatikan aturan pembelajaran IPA walaupun didalamnya mempadukan unsur dan praktik kebahasaan. Dalam proses pembelajaran secara umum guru telah melakukan upaya dalam menggali pengetahuan awal siswa, mengarahkan perhatian siswa pada masalah pokok, membimbing siswa melakukan pengamatan, membimbing siswa mengumpulkan data, serta membimbing siswa membuat kesimpulan berdasarkan data. Upaya lainnya adalah bahwa setting pembelajaran berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa, dengan demikian pengalaman belajar siswa sesuai dengan KD dan indikator IPA yang dikembangkan oleh guru. 27
Widodo, Ari. (2008). Taksonomi dan Pengembangan Butir Soal. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA_UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Hal. 100
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
93
STAIN Palangka Raya
Pada tahap selanjutnya, kegiatan penutup dilakukan guru dilakukan untuk mengetahui sejauh mana indikator pembelajaran dikuasai siswa serta memberikan tindak lanjut terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan siswa. Pada awal kegiatan penutup ini, guru bersama-sama dengan siswa membuat rangkuman/simpulan pelajaran; dilanjutkan dengan melakukan penilaian (secara lisan) atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan, guru pun memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk memberikan tugas individual sesuai dengan indikator pembelajaran, serta menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Menurut Paolo dan Marten pembelajaran IPA yang tepat untuk siswa seharusnya: 1) mengamati apa yang terjadi, 2) mencoba memahami apa yang diamati, 3) mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang terjadi, 4) menguji ramalan-ramalan dibawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar.28 Hasil observasi pembelajaran menunjukkan bahwa guru-guru baik kelas II maupun kelas V telah berupaya melakukan hal tersebut meskipun masih memiliki kelemahan dan keterbatasan, baik dari sisi pemahaman guru terhadap model pembelajaran yang diterapkan, dari sisi keterbatasan sarana dan prasarana sekolah, jumlah siswa yang cukup besar, serta kesiapan siswa dalam menerapkan model-model tersebut. Namun demikian, penerapan model-model pembelajaran tersebut terbukti secara empirik berdasarkan hasil observasi dan perhitungan secara statistik telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan kemampuan literasi sains siswa kelas II dan kelas V. Hal ini sejalan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pembelajaran bermakna dikonstruksi oleh siswa sebagai hasil dari pengalamannya dalam menghadapi lingkungannya, melalui skema atau struktur kognitif yang akan menyatukan pemahaman dunianya. Dengan demikian, literasi sains dapat dikembangkan melalui model pembelajaran tematik, CTL, inkuiri dan PBL dengan mempadukan unsur dan praktik kebahasaan dalam pembelajaran sains.
28
Carin, A. A. (1997). Teaching Science through Discovery. Columbus Ohio: Merril Publishing Company. 118
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
94
STAIN Palangka Raya
Simpulan Pembelajaran sains yang bermutu adalah pembelajaran sains yang sesuai dengan hakikat sains, dimana proses memegang peranan yang sangat penting dalam penguasaan dan aplikasi konsep-konsep sains. Bahan ajar berorientasi literasi sains dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan literasi sains siswa sehingga siswa memiliki bekal keilmuan yang bermanfaat bagi kehidupannya, dengan demikian pembelajaran mampu mengupayakan penguasaan lifeskills siswa melalui kegiatan pembelajaran di kelas. Berdasarkan hasil penelitian dapat direkomendasikan pula beberapa hal berikut ini. 1. Pembelajaran sains hendaknya tidak hanya bertumpu pada pengembangan kemampuan kognitif siswa semata melainkan turut membekali siswa dengan pemahaman terhadap sains secara utuh (content-process-value). 2. Guru-guru yang mengajarkan sains pada jenjang pendidikan sekolah dasar sebaiknya berupaya untuk menyususn dan mengembangkan bahan ajar sains yang berorientasi pada pengembangan kemampuan literasi sains siswa. 3. Sebaiknya dalam pembelajaran sains dikembangkan pula soal-soal yang serupa dengan soal-soal TIMSS dan PISA yang mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. 4. Pembelajaran sains di sekolah dasar hendaknya turut mempadukan aspek kebahasaan dalam proses pembelajarannya seperti membaca sains, menulis sains dan berbicara tentang sains sehingga siswa pembelajaran dapat dilakukan secara lebih bermakna bagi siswa dan mampu mengembangkan kecakapan hidup (life skills) siswa.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
95
STAIN Palangka Raya
Daftar Pustaka American Association for the Advancement of Science (AAAS). (1989). Science for all Americans: A project 2061 report on literacy goals in science, mathematics, and technology. Washington, DC: Author. Anderson, C. W. (1999). In scriptions and science learning. Journal of Research in Science Teaching, 36, 973-974. Anderson, L. W. & Krathwohl. (2001). Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman,Inc. Barufaldi, J.P. & Swift, J. (1977). Children learning to read should experience science. The Reading Teacher 80: 388-393. Berlin, D.F. (1994). The Integration of Science and Mathematics Education; highlights from NSF/SSMA Wingspread Conference Plenary Papers. Scholl Science and mathematics. 94(1), 32-35 Carin, A. A. (1997). Teaching Science through Discovery. Columbus Ohio: Merril Publishing Company. Carter, G.S. & Simpson, R.D. 1978. Science and reading: A basic duo. The Science Teacher. 45 (3): 20. Charbonneau, Manon P. (1995). The Integrated Elementary Classroom, a developmental Model of education for the 21st century. United States: A Simon & Schuster Company. DeBoer, G. E. (2000). Scientific literacy: Another look at its historical and contemporary meanings and its relationship to science education reform. Journal of Research in Science Teaching, 37, 582-601. Diana, N.,(1999). Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Jaring Laba-laba di Sekolah Dasar, Lampung: Penelitian Tindakan Pada Sekolah Dasar Di Kotamadya Bandar Lampung
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
96
STAIN Palangka Raya
Eisenhart, M., Finkel, E., & Marion, S. F. (1996). Creating the conditions for scientificcliteracy: A re-examination. American Educational Research Journal, 33, 261- 295. Ekohariadi. (2009). Perkembangan Sains Siswa Indonesia Berusia 15 Tahun Berdasarkan Data Studi PISA. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Gunawan, S. (2009). Analisis Kesesuaian Rencana Pembelajaran yang Dibuat Guru SD dengan Pelaksanaan Pembelajaran Sains. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Guntur, M. (2004). Efektivitas Model Pembelajaran Latihan Inkuiri dalam Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Pada Konsep Ekologi Siswa Kelas I SMU. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Hadi, S. & Mulyatiningsih, E. (2009). Model Trend Prestasi Siswa Berdasarkan Data PISA Tahun 2000, 2003, dan 2006. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Hanrahan, M. (1999). Re thinking science literacy: Enhancing communication and articipation in school cience through affirmational dialogue journal writing. Journal of Research in Science Teaching, 36, 699-717. Hendrawati, Sri. (2005). Analisis Konsep Makhluk Hidup dan Proses Kehidupan Pada Buku Teks Sains tingkat SD. Skripsi Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pasundan Bandung: Tidak diterbitkan. Hurd, P. D. (1998). Scientific literacy: New minds for changing world. Science Education, 82. 407-416. Ibrahim, Y. (2009). Analisis Struktur Materi Pada Proses Pembelajaran Sains di Kelas IV Sekolah Dasar. Tesis PPs UPI, Bandung: Tidak diterbitkan. Key Stage 3 National Strategy. Literacy in Science for School Based Use or Self Study.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
97
STAIN Palangka Raya
Korpan, C. A. , Bisanz, G. L. , Bisanz, J., & Henderson, J. M. (1997). Assessing literacy in science: Evaluation of scientific news briefs. Science Education, 81, 515-532. Kunandar. (2007). Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Laugksch. (1999). Scientific Literacy; A Conceptual Overview. School of Educational University of Cape Town Private Bag.7701. Rondebosch South Afrika. Mbajiorgu, N. M. & Ali, A. (2000). Relations Between STS Approach, Scientific Literacy and Achievement in Biology. Department of Science and Computer Education, Enugu State University of Science And Technology Nigeria. Millar, R., & Osborne, J. (Eds.) (1998). Beyond 000: cience ducation for the future (the report of a seminar series funded by the Nuffield Foundation). London: Kingís College London. Miller, J.D. (1983). Scientific literacy: A conceptual and empirical review. Journal of the American Academy of Arts and Sciences, 112(2). 29-48. Munger, F. (2009). Student Achievement on International Assessments: Perspektives on Indonesian Students’ Performance. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington. DC: National Academy Press. Nicodemus, R.B. 1968. An evaluation of elementary science study as Science-A Process Approach. Washington, D.C.: Washington Academy of Science (ED 027 217). Norris, S.P. & Phillips, L.M. (2002). How Literacy in Its Fundamantal Sense Is Central to Scientific Literacy. Canada: University of Alberta.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
98
STAIN Palangka Raya
Olson, S & Hoursley SL, (2000), Inquiry and the National Science education Standards : A Guide for Teaching and learning . ISBN: 0309-51895-4.224pages. http://www,nap.edu/catalog/9596.html. Ostlund, K. 1998. Science Process Skills: How can teaching science process skills improve student performance in reading, language arts, and mathematics? Electronic Journal of Science Education (EJSE). 2(4). Purwadi, B. (2006). PISA dan TIMSS 2003. Gambaran Umum Metode Penelitian. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Puspendik Depdiknas. (2006). Panduan Seminar sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Jakarta: Depdiknas. Poedjiadi, Anna. (2005). Sains Teknologi Masyarakat: Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: Remaja Rosdakarya. Poedjiadi, Anna. (2005). Pendekatan Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat pada Pendidikan Formal dan Masyarakat. Bandung: Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA. [10 November 2005]. Redjeki, Sri. (1997). Perkembangan Konsep Biologi. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Rohandi. (1998). Memberdayakan Anak melalui Pendidikan Sains. Yogyakarta: Kanisius. Rustaman, N. Y. (1990). Kemampuan Klasifikasi Logis Anak (Studi tentang Kemampuan Abstraksi dan Inferensi Anak Usia Sekolah Dasar pda Kelompok Budaya Sunda. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Rustaman, N. Y. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press). Rustaman, N. Y. (2006a). Pencapaian Sains Siswa Indonesia pada TIMSS. Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
99
STAIN Palangka Raya
dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Rustaman, N.Y. (2006b). Literasi Sains Anak Indonesia 2000 dan 2003. Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Santoso, A. (2009). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa: Tinjauan Berdasarkan Data TIMSS 2007. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Savery, J. R., Duffy, T., M (1995). Problem Based Learning: An Instructional Model and its Constructivist Framewok. Educational Tecnology, 35,31-38 Shamos, M. H. (1995). The myth of scientific literacy. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press. Swediati, N. & Utordewo, F.N. (2009). Prestasi Membaca Siswa Indonesia Dalam Studi PIRLS 2006. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Tomo. (2002). Mengintegrasikan Teknik Membaca SQ4R dan Membuat Catatan Berbentuk Grafik Post Organizer dalam Pembelajaran Fisika. Desertasi PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Wasis. (2009). Kemampuan Sains Siswa Indonesia dalam Studi TIMSS 2007. Makalah Seminar Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik. Jakarta: Puspendik Depdiknas. Wellman, R.T. (1978). Science: A basic for language and reading development. In What research says to the science teacher, vol. 1, ed. M.B. Rowe. Washington, D.C.: National Science Teachers Association. Widodo, Ari. (2008). Taksonomi dan Pengembangan Butir Soal. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA_UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010
100
STAIN Palangka Raya
Williams, F. & Gina. (2002). Science Centers and scientific Literacy: Promoting a Relationship with Science. Australia: Science and Mathematics Education Center, Curtin University of Technology. Wellman, R.T. (1978). Science: A basic for language and reading development. In What research says to the science teacher, vol. 1, ed. M.B. Rowe. Washington, D.C.: National Science Teachers Association.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 1, Juni 2010