PENGERINGAN BEKATUL TERSTABILISASI MENGGUNAKAN ALAT PENGERINGAN DRUM DRYER DAN PERUBAHAN MUTUNYA SELAMA PENYIMPANAN
Oleh: HAEKAL SADDAM HUSIEN F34104129
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGERINGAN BEKATUL TERSTABILISASI MENGGUNAKAN ALAT PENGERINGAN DRUM DRYER DAN PERUBAHAN MUTUNYA SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: HAEKAL SADDAM HUSIEN F34104129
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGERINGAN BEKATUL TERSTABILISASI MENGGUNAKAN ALAT PENGERINGAN DRUM DRYER DAN PERUBAHAN MUTUNYA SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: HAEKAL SADDAM HUSIEN F34104129 Dilahirkan pada tanggal 18 Desember 1986 di Metro
Tanggal Lulus : 5 Februari 2009
Bogor, 22 Mei 2009 Menyetujui,
Dr. Ir. Indah Yuliasih, M.Si
Ir. Sugiarto, M.Si
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengeringan Bekatul Terstabilisasi Menggunakan Alat Pengeringan Drum Dryer dan Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 22 Mei 2009 Yang membuat pernyataan,
Haekal Saddam Husien F34104129
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 18 Desember 1986 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan Mustofa H. Basri (alm) dan Sofiah. Penulis memulai jenjang pendidikannya di SD Negeri 1 Metro pada tahun 1992 dan dilanjutkan ke SLTP Negeri 3 Metro pada tahun 1998, serta SMA Negeri 1 Metro pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif menjadi pengurus organisasi, yaitu sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi Forum Silaturahmi TIN’41 (FROMTIN 41) pada tahun 2004, staf Departemen Kajian Pangan Halal Forum Bina Islami (FBI) pada tahun 2005, staf Departemen Profesi Himpunan Teknologi Industri (HIMALOGIN) pada tahun 2005, staf Departemen Syi’ar Forum Silaturahmi TIN’41 (FROMTIN 41) pada tahun 2006, dan sebagai wakil ketua Himpunan Teknologi Industri (HIMALOGIN) pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis melaksanakan kegiatan praktek lapang di PT Indofood Sukses Makmur, Tbk Padalarang-Bandung dengan judul Mempelajari Teknologi Proses Produksi Mie Instan Di PT Indofood Sukses Makmur, Tbk Padalarang-Bandung. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul skripsi “Pengeringan Bekatul Terstabilisasi Menggunakan Alat Pengeringan Drum Dryer dan Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan”.
Haekal Saddam Husien. F34104129. Pengeringan Bekatul Terstabilisasi Menggunakan Alat Pengeringan Drum Dryer dan Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Indah Yuliasih dan Sugiarto. 2009
RINGKASAN Bekatul merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi yang memiliki kandungan nutrisi tinggi, diantaranya protein 12,0-15,6 %, lemak 15,019,7 %, karbohidrat 31,1-52,3 %, abu 6,6-9,9 %, dan serat kasar 7,0-11,4 % (Luh et al., 1991). Pada bekatul juga terdapat vitamin B, tokoferol (vitamin E), tokotrienol, oryzanol, dan asam pangamat yang berfungsi sebagai antioksidan penangkal radikal bebas yang dapat menurunkan kolestrol dalam darah, mencegah terjadinya kanker, dan memperlancar sekresi hormonal (Houston, 1972 ; Damayanthi et al., 2007 ; Hadipernata, 2007). Meskipun bekatul memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, bekatul juga memiliki sifat yang mudah rusak atau tengik. Sifat tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase yang terkandung di dalam bekatul secara alami (Damayanthi et al., 2007). Untuk menghambat sifat tersebut, perlu dilakukan proses stabilisasi dengan menginaktivasi enzim lipase. Pada penelitian ini, proses stabilisasi dilakukan dengan metode pemanasan basah menggunakan pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan (autoklaf). Penerapan stabilisasi dengan cara pemanasan basah diduga akan meningkatkan kadar air bekatul. Oleh karena itu, bekatul tersebut dikeringkan dengan menggunakan pengering drum. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi lama pemanasan basah untuk penstabilan bekatul, kecepatan putaran drum dryer untuk pengeringan, dan mengetahui perubahan mutu bekatul kering terstabilisasi selama penyimpanan. Tahap penstabilan bekatul segar dilakukan dengan metode pemanasan basah mengunakan proses pengukusan tidak bertekanan (dadan kukus) dan bertekanan (autoklaf) dengan lama waktu pemanasan masing-masing 5, 10, dan 15 menit. Berdasarkan pengujian kadar air bekatul hasil stabilisasi, waktu pemanasan 5 menit merupakan lama pemanasan basah terbaik. Bekatul yang distabilkan dengan lama pemanasan terpilih selanjutnya dikeringkan dengan drum dryer. Pengeringan dilakukan dengan taraf kecepatan putaran 4, 6, dan 8 rpm, tekanan uap 4 bar, kerenggangan antar drum sebesar 0.5 mm dan dengan perbandingan konsentrasi pasta 1 : 2 (bekatul terstabilisasi : air). Dari hasil pengujian kadar air, peningkatan taraf kecepatan akan meningkatkan kadar air produk yang dihasilkan. Pada pengujian swelling power, pengeringan dengan kecepatan 8 rpm menunjukkan hasil swelling power yang lebih rendah dibandingan kecepatan 4 dan 6 rpm. Berdasarkan pengujian terhadap kedua parameter tersebut kecepatan putaran drum dryer terbaik untuk proses pengeringan adalah 4 rpm. Pengeringan drum dryer dengan kecepatan putaran 4 rpm menghasilkan bekatul kering autoklaf dengan kadar air 2,30 % (wb), lemak 9,57 % (db), protein 12,32 % (db), serat kasar 10,68 % (db), abu 7,71% (db), karbohidrat (by difference) 57,42 % (db), uji TBA 0,430 mg malonaldehid per kg sampel, kelarutan 18,49 %, swelling power 11,59%, dan freeze thaw stability 93,52 %. Untuk produk bekatul kukus diperoleh kadar air 3,40 % (wb), lemak 9,31% (db), protein 12,14 % (db), serat kasar 10,93 % (db), abu 7,67 % (db), karbohidrat (by
difference) 56,54 % (db), dan uji TBA 0,530 mg malonaldehid per kg sampel, sedangkan untuk sifat fungsional diperoleh kelarutan 20,16 %, swelling power 12, 02 %, dan freeze thaw stability 90,56 %. Analisis perubahan mutu pada produk bekatul autoklaf yang disimpan pada suhu 35, 45, dan 50 oC, masing-masing menunjukkan terjadi peningkatan ketengikan selama penyimpanan hingga minggu ke-7, ke-5, dan ke-3. Penurunan ketengikan yang terjadi pada masa penyimpanan setelahnya diduga karena senyawa aldehid sebagai indikator ketengikan pada uji bilangan TBA telah teroksidasi lebih lanjut menjadi senyawa lain. Analisis penurunan mutu dengan pendekatan kadar air, menunjukkan terjadi kecenderungan penurunan kadar air selama penyimpanan setelah minggu ke-3 seiring penurunan kelembaban pada ruang inkubator. Pada analisis penurunan mutu dengan pendekatan kecerahan produk bekatul, diketahui kecerahan produk bekatul relatif stabil hingga minggu ke-6 dan mulai menurun pada minggu ke-7 hingga minggu ke-8.
Haekal Saddam Husien. F34104129. Stabilized Rice Bran Drying with Drum Dryer and The Change During Storage. Supervised by Indah Yuliasih and Sugiarto. 2009
Summary Rice bran is by product from rice milling that contain high nutritional value. They are protein 12,0-15,6 %, lipid 15,0-19,7 %, carbohydrate 31,1-52,3 %, ash 6,6-9,9 %, and crude fiber 7,0-11,4 % (Luh et al., 1991). In rice bran there are also vitamin B, tocoferol (vitamin E), tocotryenol, oryzanol, and pangamic acid that have function as antioxidant prevent free radical that will decrease the cholesterol in blood, prevent cancer, and smoothing hormonal secretion (Houston, 1972 ; Damayanthi et al., 2007 ; Hadipernata, 2007). Although rice bran has nutritional value, it also has a characteristic that are easy to damage or spoilage. This characteristic caused by lipase and lipoxigenase enzyme activity that contain naturally in rice bran (Damayanthi et al., 2007). To block this characteristic, stabilization have to be done by inactivating the lipase enzyme. In this research, the stabilization process done by wet heating method using unpressured (steaming vessel) and pressured steaming (by autoclave). The stabilization by wet heating estimated will increase the moist of rice bran. There for, the rice bran must dry with drum dryer. The purpose of this research are to obtain wet heating duration condition for rice bran stabilization, the drum dryer rotation speed for drying stabilized rice bran, and to identify the quality changing of stabilized dried rice bran during storage. The stabilization stage of fresh rice bran done by wet heating method with duration of heating each 5, 10, and 15 minutes. Based on the moisture content test on stabilized rice bran, the five minutes heating duration was the best duration. Then, the stabilized rice bran from the selected duration dried with drum dryer. The drying process done under three level rotation speed 4, 6, and 8 rpm, 4 bar steam pressure, 0,5 mm drum estrangement, and 1 : 2 paste concentration ratio (stabilized rice bran : water). From the moisture content test, the increased speed level will increased the moisture content of stabilized dried rice bran. In swelling power test, drying with 8 rpm speed rotation show lower result than 4 and 6 rpm. Based on both of the parameters, the best drum dryer rotation speed for drying process was 4 rpm. Drum drying process using four rpm rotation speed produce dried pressured steaming rice bran moisture content 2,30 % (wb), lipid 9,57 % (db), protein 12,32 % (db), crude fiber 10,68 % (db), ash 7,71% (db), carbohydrate by difference 57,42 % (db), TBA value 0,430 mg malonaldehyde per kg sample, solubility 18,49 %, swelling power 11,59%, and freeze thaw stability 93,52 %. For dried unpressure steaming rice bran obtain moisture content 3,40 % (wb), lipid 9,31% (db), protein 12,14 % (db), crude fiber 10,93 % (db), ash 7,67 % (db), carbohydrate by difference 56,54 % (db), and TBA value 0,530 mg malonaldehyde per kg sample, while for fungsional properties obtain solubility 20,16 %, swelling power 12, 02 %, and freeze thaw stability 90,56 %. The analysis of dried pressured steaming rice bran quality changing that was keep in 35, 45, and 50 oC, each show the increasing of spoilage during the storage until week 7th, 5th, and 3rd. The decreasing of spoilage that happen during the
storage after the increasing trends estimated because aldehyde substances that indicate the spoilages in TBA value test had oxidized further into another substance. From moisture content analysis approach, show decreasing trend after the third week along with the moist decreasing in the incubator. From brightness analysis found that the brightness of dried rice bran relative stabile until week sixth and start deceasing on week seventh until week eight.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengeringan Bekatul Terstabilisasi Menggunakan Alat Pengeringan Drum Dryer dan Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan”. Dalam proses panjang penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak belajar akan arti penting sebuah keikhlasan, kebersamaan, persahabatan, dan kerja keras. Penulis yakin hal tersebut tidak datang dengan sendirinya, melainkan atas hidayah dan inayah dari Allah SWT untuk menjadikan penulis sebagai muslim yang senantiasa belajar untuk menata diri ke arah yang lebih baik. Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Indah Yuliasih, M.Si selaku dosen pembimbing pertama yang telah dengan sabar memberikan nasehat, bimbingan, dan arahan kepada penulis.
2.
Ir. Sugiarto, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu, membimbing, dan mengarahkan penulis tanpa mengenal waktu.
3.
Drs. Purwoko, M.S selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis.
4.
Mama, Bapak, Kak Ita, Kak Ika, Mufi, Vivi, dan keluarga tercinta yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan doa kepada penulis.
5.
Ibu Ega, Ibu Rini, Ibu Sri, Pak Gun, Pak Sugi, Pak Edi, Pak Dicky, Pak Darwan, dan Pak Iyas atas bantuan dan bimbingannya.
6.
Rekan seperjuangan Bekatul-Menir, Asif, Nova, Denur, dan Erpy, atas bantuan, kebersamaan, kehangatan, suka, dan motivasi yang diberikan
7.
Bimo, Fajri, Acid, Mayang, Tyas, Irawan, Aang, atas dukungan, semangat, nasehat, pembelajaran, dan doanya.
i
8.
Rekan-rekan Dahi United dan seperjuangan di lab, Darto, Cocon, Ardi, Ai, Ika, Ben-Q, Yuyun, Dicka, Bu Cut, dan Mba Tuti atas keceriaan, bantuan, dan semangatnya.
9.
Rekan-rekan TIN’41 atas kekeluargaan dan persahabatannya.
10. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian dan penyusinan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi yang jauh dari kesempurnaan dan keindahan kata maupun tulisan ini dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis maupun pembacanya. Amin.
Bogor, 22 Mei 2009
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………
i
DAFTAR ISI………………………………………………………...…...
iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………..
v
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………......
vi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….……. vii I. PENDAHULUAN...................................................................................
1
A. Latar Belakang……………………………………………………...
1
B. Tujuan…………………………………………………………….....
3
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………............................
4
A. Bekatul………………………………................................................
4
B. Kerusakan Bekatul....................................…………………………..
6
C. Stabilisasi Bekatul…………………………………………………..
9
D. Drum Dryer…………………………………………….................... 10 E. Perubahan Mutu Selama Penyimpanan……………………….......... 12 III. METODOLOGI…………………………...……………………....... 14 A. Alat dan Bahan……………………………………………………... 14 B. Metode.........................................................………………………... 14 1. Stabilisasi Bekatul dengan Metode Pemanasan Basah………...... 14 2. Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Teknologi Pengeringan Drum Dryer............................................................... 15 3. Penyimpanan Bekatul Terstabilisasi ………………………......... 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………................ 18 A. Stabilisasi Bekatul dengan Metode Pemanasan Basah....................... 18 B. Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Teknologi Pengeringan Drum Dryer........................................................................................ 26
iii
Halaman C. Perubahan Mutu Bekatul Terstabilisasi Selama Penyimpanan..........
37
1. Kadar Air……………………………………….......................... 38 2. Bilangan TBA..............……………………………..…...…….... 39 3. Kecerahan..................................................................................... 41 V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………..... 43 A. Kesimpulan……………………………………………………......... 43 B. Saran……………………………………………………………....... 44 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 45 LAMPIRAN……………………………………………………………… 50
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14 %.………................
5
Tabel 2. Hasil analisis proksimat dan sifat fungsional bekatul segar dan terstabilisasi................................................................................. 19 Tabel 3. Hasil analisis proksimat, sifat fungsional, dan mikrobiologis bekatul segar dan produk pengeringan bekatul terstabilisasi...... 27
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3.
Morfologi biji padi berserta bagian-bagiannya (Bond, 2004)………………………………………………………...
4
Reaksi penguraian trigliserida oleh lipase menjadi asam lemak bebas dan gliserol (Hamilton, 1983)……....................
7
Mekanisme kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul (Champagne, 1994).......................................
8
Gambar 4.
Diagram alir penstabilan bekatul dengan cara stabilisasi pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan........................ 15
Gambar 5.
Diagram alir pengeringan bekatul hasil stabilisasi dengan teknologi pengeringan drum dryer......................................... 16
Gambar 6.
Grafik hubungan suhu (oC) terhadap water retention capacity (%) bekatul segar dan produk bekatul...................... 34
Gambar 7.
Grafik hubungan suhu (oC) terhadap oil retention capacity (%) bekatul segar dan produk bekatul.................................... 35
Gambar 8.
Grafik hubungan lama penyimpanan (minggu) dengan kadar air (%) produk bekatul............................................................ 38
Gambar 9.
Grafik hubungan lama penyimpanan (minggu) dengan bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) produk bekatul..................................................................................... 40
Gambar 10. Grafik hubungan lama penyimpanan (minggu) dengan kecerahan (L) produk bekatul................................................. 41
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Prosedur Analisis.……………………………………......... 49
Lampiran 2.
Hasil Analisis Water Retention Capacity (WRC) dan Oil Retention Capacity (ORC) Bekatul Segar............................ 55
Lampiran 3.
Hasil Karakterisasi Bekatul Terstabilisasi dengan Metode Pemanasan Basah ............………………….....…………... 56
Lampiran 4.
Analisis Ragam dan Uji Lanjut Hasil Karakterisasi Bekatul Terstabilisasi dengan Metode Pemanasan Basah… 60
Lampiran 5.
Hasil Karakterisasi Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Drum Dryer...................................................…....... 63
Lampiran 6.
Analisis Ragam dan Uji Lanjut Hasil Karakterisasi Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Drum Dryer..... 68
Lampiran 7.
Analisis Ragam Hasil Analisis Komposisi Kimia dan Sifat Fungsional Bekatul Kukus Kering dan Autoklaf kering…………………….............................................…... 71
Lampiran 8.
Hasil Perubahan Mutu Produk Bekatul Selama Penyimpanan........................................................................ 74
vii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan komoditas tanaman pertanian penghasil beras sebagai sumber pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari persentase konsumsi beras di Indonesia yang mencapai 151 kg per kepala per tahun dibandingkan jagung dan gandum yang masing-masing hanya mencapai 34,40 dan 16,30 kg per kepala per tahun (FAO, 2001). Pada proses penggilingan padi dihasilkan 70 % beras dengan hasil samping berupa sekam sebesar 20 % dan bekatul 10 % (Orthoefer dan Eastman, 2004). Sebagai hasil samping dari proses penggilingan padi, bekatul memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya protein 12,0-15,6 %, lemak 15,019,7 %, karbohidrat 31,1-52,3 %, abu 6,6-9,9 %, dan serat kasar 7,0-11,4 % (Luh et al., 1991). Pada bekatul juga terdapat vitamin B dari golongan tiamin, riboflavin, niasin (asam nikotinat), dan piridoxin, serta kandungan komponen bioaktif seperti tokoferol (vitamin E), tokotrienol, oryzanol, dan asam pangamat. Komponen bioaktif tersebut berfungsi sebagai antioksidan penangkal radikal bebas yang dapat menurunkan kolestrol dalam darah, mencegah terjadinya kanker, dan memperlancar sekresi hormonal (Houston, 1972 ; Damayanthi et al., 2007 ; Hadipernata, 2007). Bila dilihat dari tingkat produksi padi di Indonesia pada tahun 2007 yang mencapai 57,157 juta ton GKG (gabah kering giling) dan diperkirakan meningkat menjadi 60,279 juta ton GKG pada tahun 2008, maka dapat diproyeksikan besarnya produksi bekatul dari hasil samping penggilingan padi dapat mencapai
6,0279 juta ton/tahun (BPS, 2008). Hal ini menunjukkan
bekatul berpotensi dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan makanan yang sehat dan bergizi. Keterbatasan bekatul untuk digunakan sebagai bahan pangan hingga kini disebabkan karena sifatnya yang mudah rusak atau tengik. Sifat tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase yang terkandung di dalam bekatul secara endogenous (Damayanthi et al., 2007). Enzim lipase akan
menyebabkan minyak yang terdapat pada bekatul terhidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak bebas. Selanjutnya, asam lemak bebas tersebut akan dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menghasilkan hidroperoksida yang bersifat tidak stabil, sehingga terpecah menjadi senyawa karbon rantai pendek seperti aldehid dan keton yang menyebabkan rasa dan bau yang tidak enak (Champagne, 1994). Untuk menghambat sifat tersebut, perlu dilakukan langkah stabilisasi dengan menginaktivasi enzim lipase yang terdapat pada bekatul. Menurut Champagne (1994) inaktivasi tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan pemanasan basah atau kering untuk mendenaturasi enzim lipase, ekstraksi dengan pelarut organik untuk menghilangkan lemak sebagai substrat enzim lipase, dan denaturasi etanolik lipase bekatul. Dari ke tiga cara tersebut, inaktivasi lipase dengan cara pemanasan basah merupakan cara yang paling efektif dan aman untuk diterapkan pada bekatul yang akan digunakan sebagai bahan pangan (Barber dan Barber, 1980). Penstabilan dengan cara pemanasan basah akan meningkatkan kadar air bekatul. Oleh karenanya, bekatul tersebut harus dikeringkan kembali sebelum dapat digunakan sebagai bahan pangan. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan selama penyimpanan akibat kandungan air yang tinggi pada bekatul terstabilisasi. Salah satu teknik pengeringan yang dapat digunakan adalah teknologi pengeringan drum dryer (pengering drum). Dengan alat ini, produk yang dihasilkan berbentuk remahan ataupun bubuk kering (Tang et al., 2003) dan memiliki sifat mudah untuk direhidrasi kembali (Okos et al., 2007). Hal ini tentunya sangat baik untuk mengoptimalkan pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan fungsional yang dapat diterapkan sebagai bahan baku pada aneka jenis produk makanan. Produk makanan hasil pengolahan akan tetap mengalami kerusakan yang dapat menyebabkan penurunan mutu selama penyimpanan. Penurunan mutu pada titik tertentu mengakibatkan makanan tidak dapat lagi atau berbahaya jika dikonsumsi oleh konsumen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan selama penyimpanan untuk mengetahui kerusakan pada produk bekatul yang
2
dihasilkan. Hal ini dilakukan melalui pengujian beberapa parameter yang diduga akan mengalami perubahan mutu selama penyimpanan.
B. Tujuan Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya adalah : 1. Mendapatkan kondisi lama pemanasan basah untuk penstabilan bekatul. 2. Mendapatkan kondisi kecepatan putaran drum dryer untuk pengeringan bekatul terstabilisasi. 3. Mendapatkan karakteristik kimia dan fungsional produk bekatul yang dihasilkan dari teknologi pengeringan drum dryer bekatul terstabilisasi. 4. Mengetahui perubahan mutu produk bekatul terstabilisasi selama penyimpanan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bekatul Pada proses penggilingan padi (Oryza sativa L.), diperoleh hasil samping berupa sekam sebesar 15-20 %, dedak/bekatul 8-12 %, dan menir sebesar 5 % (Widowati, 2001). Bekatul merupakan lapisan terluar berwarna kecoklatan dari beras pecah kulit yang dipisahkan pada saat proses penyosohan untuk menghasikan beras putih (Hargrove, 1994). Bekatul berbentuk butiran halus seperti halnya tepung dan terdiri dari pericarp, testa/lapisan selubung biji, aleurone, germ/lembaga dan sebagian kecil butiran halus endosperm berpati (Samli et al. 2006). Morfologi bagian-bagian tersebut pada biji padi atau gabah secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi biji padi berserta bagian-bagiannya (Bond, 2004). Bekatul memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Wilkinson dan Champagne (2004) menyebutkan, bekatul kaya akan protein, lemak, serat, mineral vitamin B kompleks dan tokoferol (vitamin E). Variasi komposisi kimia pada bekatul sangat dipengaruhi oleh faktor agronomis padi, varietas padi, derajat penggilingan dan kontaminasi sekam pada proses penggilingan (Orthoefer dan Eastman, 2004 ; Damayanthi et al., 2007). Komposisi kimia bekatul dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14 %. Komponen Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Kalsium (mg/g) Magnesium (mg/g) Fosfor (mg/g) Silika (mg/g) Seng (μg/g) Tiamin (μg/g) Riboflavin/B2 (μg/g) Tokoferol/E (μg/g)
Jumlah 12,0-15,6 15,0-19,7 7,0-11,4 34,1-52,3 6,6-9,9 0,3-1,2 5,0-13,0 11,0-25,0 5,0-11,0 43,0-258,0 12,0-24,0 1,8-4,0 149-154
Sumber : Luh et al. (1991) Karbohidrat yang terdapat pada bekatul teridentifikasi sebagai selulosa, hemiselulosa dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperm yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove, 1994). Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat kadarnya dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan. Sebagian besar nitrogen yang terdapat pada bekatul adalah nitrogen protein dalam bentuk asam amino bebas. Asam amino bebas utama yang ditemukan, diantaranya berupa asam glutamat (7-31 %), alanin (11-16 %), dan serin (5-15 %) (Barber dan Barber, 1980). Dibandingkan protein, kandungan lemak pada bekatul sedikit lebih tinggi. Asam palmitat, oleat, dam linoleat merupakan komponen asam lemak utama yang terdapat pada minyak bekatul (Godber dan Juliano, 2004). Seperti halnya protein dan lemak, sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada bagian aleuron dan lembaga. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Grup vitamin B dan tokoferol (vitamin E) banyak ditemukan di dalam bekatul, sedangkan vitamin A dan C hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber, 1980). Vitamin B yang
5
terdapat didalam bekatul, diantaranya meliputi tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin/asam nikotinat, dan piridoksin (vitamin B6) (Houston, 1972). Di samping zat gizi, pada bekatul juga ditemukan komponen bioaktif, yakni zat yang di dalam tubuh bekerja di luar fungsi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral, melainkan untuk kesehatan. Komponen tersebut, diantaranya berupa tokoferol (vitamin E) tokotrienol, oryzanol, dan asam pangamat (Kahlon et al., 1994). Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan komponen oryzanol merupakan fitosterol suatu ester senyawa asam verulat yang dapat menurunkan kolestrol serum pada manusia (Wilkinson dan Champagne, 2004). Asam pangamat berfungsi sebagai antioksidan, membantu menurunkan kadar kolestrol darah dan sintesis protein (Damayanthi et al., 2007). Damardjati et al. (1987) menyebutkan, pada bekatul juga ditemukan senyawa anti gizi yang dapat menghambat pertumbuhan. Senyawa tersebut, diantaranya adalah tripsin inhibitor, pepsin inhibitor, hemaglutinin, dan anti tiamin. Namun demikian, menurut Hargrove (1994), aktivitas senyawa anti gizi tersebut relatif rendah dan dapat diinaktivasi menggunakan proses pemanasan.
B. Kerusakan Bekatul Faktor utama yang menjadikan hambatan dalam pengembangan bekatul sebagai bahan pangan adalah sifatnya yang mudah rusak. Hal ini disebabkan oleh kerusakan hidrolitik dan oksidatif yang terjadi pada minyak bekatul sehingga bekataul berbau tengik (Damayanthi et al., 2007). Enzim lipase, baik yang berasal dari bekatul secara endogenous maupun mikroba, mengawali kerusakan hidrolisis lipolitik minyak bekatul. Di dalam biji padi yang utuh, lipase bersifat dorman karena lipase dan minyak bekatul tidak tercampur. Pada kondisi ini bekatul dan lipase terpisah. Bekatul terdapat di dalam testa/lapisan selubung biji, sedangkan minyak terdapat di dalam aleuron dan lembaga (Champagne, 2004). Barber dan Barber (1980), menyatakan proses penggilingan akan menyebabkan kerusakan pada biji padi dan menyebabkan lipase dan minyak bercampur. Pada saat ini, trigliserol
6
minyak akan terurai menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Proses ini selanjutnya disebut ketengikan hidorolitik/kerusakan hidrolitik (Houston, 1972). Skema reaksi penguraian trigliseda oleh lipase menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol dapat dilihat pada Gambar 2. CH2OCOR’
CH2OH
lipase
CH2OCOR’’ + 3H2O
CHOH
CH2OCOR’’’
CH2OH
Trigliserida
Air
Gliserol
+
R’CO2H
As. Lemak
+
R’’ CO2H
As. Lemak
+
R’’’ CO2H
As. Lemak
Gambar 2. Reaksi penguraian trigliserida oleh lipase menjadi asam lemak bebas dan gliserol (Hamilton, 1983). Aktivitas lipase sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban. Ketika bekatul disimpan pada kondisi ruangan yang panas dan lembab, kandungan asam lemak bebas akan meningkat sebesar 5-10 % per hari dan dapat mencapai 70 % dalam sebulan. Suhu optimal aktivitas lipase berada pada kisaran suhu 35-40
o
C. Aktivitas lipase tidak terjadi pada suhu
penyimpanan beku (Orthoefer dan Eastman, 2004). Pada bekatul juga terkandung enzim lipoksigenase dan peroksidase. Keduanya menyebabkan kerusakan lebih lanjut melalui proses oksidasi enzimatis. Aktivitas kedua enzim ini berdampak pada peningkatan bilangan peroksida, penurunan bilangan iod, dan peningkatan bilangan asam tiobarbiturat (thiobarbituric acid/TBA). Baik lipoksigenase dan peroksidase dapat diinaktivasi bersamaan dengan inaktivasi lipase (Orthoefer dan Eastman, 2004). Laju pembentukan asam lemak bebas sangat kecil pengaruhnya pada cita rasa bekatul. Cita rasa dan bau tengik tersebut berhubungan dengan kerusakan oksidatif yang terjadi pada minyak bekatul. Kerusakan oksidatif dapat terjadi secara enzimatis dan nonezimatis. Diagram mekanisme kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul dapat dililihat pada Gambar 3. Oksidasi enzimatis pada bekatul terutama sekali disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang terdapat pada lembaga. Lipoksigenase akan mengkatalis asam lemak tak jenuh bebas menjadi hidroperoksida yang selanjutnya berubah menjadi senyawa karbon rantai pendek seperti aldehid, keton, dan alkohol yang 7
menyebabkan cita rasa dan bau tengik pada bekatul (Champagne, 1994). Menurut Hamilton (1983), hidroperoksida dapat terurai menjadi senyawa aldehid, keton, dan alkohol karena sifatnya yang sangat tidak stabil. Minyak bekatul
lipase
Asam lemak bebas
Hidroperoksida
Produk oksidasi sekunder aldehid, keton, alkohol, dsb.
Gambar 3. Mekanisme kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul (Champagne, 1994). Tingkat oksidasi minyak dalam bekatul akaibat aktivitas lipoksigenase dikaitkan dengan asam lemak bebas yang terbentuk akibat aktivitas enzim lipase. Hal ini dikarenakan asam lemak tak jenuh bebas berperan sebagai substrat yang bekerja pada kerusakan oksidasi enzimatis (Damayanthi et al., 2007). Proses oksidasi nonenzimatis dikatalisasi oleh adanya ion logam yang secara alami terdapat pada bekatul maupun akibat kontaminasi dari peralatan penggilingan. Cahaya, radiasi energi yang tinggi, maupun panas juga berfungsi sebagai katalis. Oksidasi nonenzimatis dapat terjadi akibat adanya radikal bebas (autooksidasi) dan fotooksidasi. Tokoferol sebagai antioksidan alami pada bekatul dapat menghambat terjadinya proses oksidasi nonenzimatis yang berlangsung secara lambat pada biji padi (Champagne, 1994). Mekanisme radikal bebas dipengaruhi oleh radikal bebas hasil interaksi antara molekul lemak dengan oksigen yang berfungsi sebagai katalis. Hasil reaksi awal pada mekanisme ini adalah hidroperoksida. Pada tahap reaksi selanjutnya, kecepatan minyak mengalami autooksidasi akan semakin meningkat dengan semakin tingginya derajat ketidakjenuhan rantai lemak yang dimiliki. Pada mekanisme fotooksidasi, molekul sensitif cahaya seperti
8
riboflavin, dan ion logam berat, akan dikonversi ke dalam bentuk aktif dengan menyerap cahaya. Molekul aktif tersebut kemudian bereaksi baik secara langsung maupun tak langsung dengan oksigen, menghasilkan oksigen tunggal yang bereaksi dengan asam lemak membentuk peroksida (Champagne, 1994).
C. Stabilisasi Bekatul Terkait proses hidrolisis enzimatis yang berlangsung setelah proses penggilingan, proses stabilisasi yang tepat pada bekatul harus dilakukan beberapa menit setelah penggilingan dilakukan. Tujuan utama dilakukannya stabilisasi adalah mensterilkan mikroba dan merusak enzim lipase yang terdapat pada bekatul untuk mencegah terurainya komponen minyak menjadi asam lemak bebas (Hargrove, 1994). Menurut Barber dan Barber (1980), untuk memproses bakatul menjadi produk yang bersifat food grade dengan mutu simpan yang baik dan memiliki nilai industri yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dihilangkan atau dihambat. Berkaitan dengan hal ini, inaktivasi enzim penyebab kerusakan haruslah lengkap dan tidak dapat balik. Pada saat bersamaan,
komponen-komponen
berharga
di
dalam
bekatul
harus
dipertahankan. Prinsip stabilisasi bekatul dilakukan dengan menginaktivasi lipase yang berperan dalam reaksi hidrolisa lemak. Menurut Champagne (1994), proses tersebut dilakukan melalui tiga cara, yakni dengan pemanasan basah atau kering untuk mendenaturasi enzim lipase, ekstraksi dengan pelarut organik untuk menghilangkan lemak sebagai substrat enzim lipase, dan denaturasi etanolik lipase bekatul. Dari ketiga cara tersebut, inaktivasi lipase dengan cara pemanasan merupakan cara yang paling efektif dan aman untuk diterapkan pada bekatul yang akan digunakan sebagai bahan pangan (Barber dan Barber, 1980). Stabilisasi bekatul dengan metode pemanasan kering dapat dilakukan dengan menggunakan proses penyangraian pada suhu 100-110 oC (Sayre et al., 1982). Proses ini relatif sederhana, mudah, dan murah, namun membutuhkan waktu yang cukup lama (20-30 menit), pemanasan yang terjadi
9
tidak merata, di samping kemungkinan kerusakan bahan, mikroba dan serangga tidak terbasmi semuanya, serta tidak menginaktifkan enzim lipase secara total. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kembali aktivitas hidrolisa minyak apabila kadar air bekatul lebih besar dari 7 % atau meningkat selama penyimpanan (Juliano, 1985). Stabilisasi bekatul dengan menggunakan metode pemanasan basah lebih efektif dibandingkan pemanasan kering. Proses pemanasan basah umumnya dilakukan dengan mengukus bekatul selama 1-30 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan bekatul hingga kadar airnya berkisar antara 3-12 % serta pendinginan. Peralatan yang digunakan pada metode ini, diantaranya autoklaf, steam cooker, blansir, dan ekstruder berulir yang diinjeksi dengan uap panas dan air (Barber dan Barber, 1980). Sayre et al. (1982) melaporkan, enzim lipase dapat diinaktivasi menggunakan pemanasan basah pada suhu 100 oC selama 3 menit. Penggunaan autoklaf pada proses pemanasan basah beras pecah kulit selama 3-20 menit, dapat menginaktifkan lipase secara sempurna (Orthoefer dan Eastman, 2004). Kelamahan penggunaan panas pada proses stabilisasi bekatul, dapat mengakibatkan peningkatan reaksi oksidasi enzimatis. Pengunaan panas menyebabkan penyebaran kembali minyak, penghancuran antioksidan alami di dalam bekatul, dan meningkatkan luas permukaan minyak yang kontak dengan oksigen (Champagne, 1994). Namun demikian, Luh et al. (1991) menambahkan, kerusakan oksidasi enzimatis dan nonenzimatis dapat diperlambat dengan menjaga kadar oksigen tetap rendah melalui pengemasan yang optimum selama penyimpanan.
D. Drum Dryer Pengering drum (drum dryer) merupakan alat pengering tipe kontinyu dengan sistem pemanasan tak langsung (Wirakartakusumah et al., 1989). Pemanasan dilakukan secara konduksi, dimana panas ditransfer ke bahan yang akan dikeringkan melalui permukaan drum yang berputar (Brennan, 2006). Alat ini terdiri dari satu atau dua buah drum yang berputar pada bidang datar secara perlahan dan diterapkan untuk mengeringkan bahan berupa adonan,
10
pasta ataupun larutan. Pada prinsipnya bahan yang akan dikeringkan tersebut disebarkan/dituang di atas permukaan drum yang dipanaskan menggunakan uap panas. Uap panas tersebut akan mentransfer panas melalui dinding metal drum yang selanjutnya akan mengeringkan bahan yang melekat pada permukaan drum (Okos et al., 2007). Setelah tiga per empat putaran dari titik awal penuangan bahan (Tang et al., 2003), lapisan bahan yang telah kering tersebut dikikis dan dikumpulkan dalam bentuk kerak atau lembaran (Majumdar, 1995). Brennan (2006) menyatakan, pengikisan tersebut dilakukan dengan menggunakan pisau yang menempel pada sisi permukaan drum. Menurut Maroulis dan Saravacos (2003), penggunaan alat pengering drum lebih efisien secara termal dibandingkan pengering udara secara konveksi dan dapat dioperasikan baik pada kondisi tekanan atmosfir maupun vakum. Di samping itu alat pengering drum merupakan alat pengering yang sangat efisien energi dan efektif untuk mengeringkan larutan dan sup yang kental (Tang et al., 2003). Kelebihan lainnya adalah waktu pengeringan relatif singkat yakni berkisar antara 2-30 detik (Brennan, 2006). Tang et al. (2003) secara spesifik menyebutkan beberapa keunggulan pengering drum, diantaranya: Dapat digunakan untuk mengeringkan produk dengan kekentalan tinggi, seperti pasta dan pati terglatinisasi, yang tidak dapat dikeringkan dengan mudah menggunakan metode pengeringan lainnya. Memiliki efisiensi yang tinggi. Higienis dan mudah dibersihkan. Mudah dioperasikan dan dirawat. Fleksibel dan sesuai untuk produksi dalam skala kecil. Empat peubah kunci yang dapat mempengaruhi tampilan produk hasil pengering drum adalah: (a) tekanan uap-panas atau suhu media pemanasan, (b) kecepatan putaran drum, (c) ketebalan film, dan (d) sifat umpan, yaitu konsentrasi padatan, reologi, dan suhu (Majumdar, 1995). Di samping mempengaruhi tampilan produk yang dihasilkan, ke empat faktor tersebut juga mempengaruhi laju pengeringan dan kelembaban produk akhir hasil pengeringan (Brennan, 2006).
11
Salah satu varian dari alat pengering drum adalah pengering drum ganda. Pada varian ini, umpan bahan yang akan dikeringkan, dituang pada celah yang terbentuk diantara kedua drum. Jarak antara kedua tersebut dapat diatur sehingga dapat digunakan untuk mengatur ketebalan produk yang dikeringkan (Brennan, 2006). Okos et al. (2007) menambahkan, suhu pengeringan pada permukaan drum dapat diatur dengan mengatur tekanan uap panas. Sedangkan untuk mengatur lamanya waktu kontak pengeringan, dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan putaran drum. Brennan (2006) melaporkan, pengering drum ganda memiliki diameter yang berkisar antara 0,15-1,5 m dengan panjang berkisar antara 0,2-3 m. Kecepatan putaran berkisar antara 3-20 rpm dengan suhu permukaan 110-165 o
C. Untuk produk makanan, umumnya drum terbuat dari bahan stainless steel
atau besi berlapis krom. Penggunaan pengering jenis drum ganda sangat menguntungkan karena memiliki kapasitas produksi yang tinggi. Karakteristik bahan baku larutan encer hingga pasta kental dapat dikeringkan secara efektif menggunakan pengering drum ganda. Produk yang dikeringkan dengan alat ini berupa tepung atau remahan yang sensitif terhadap larutan atau cairan panas dan mudah untuk direhidrasi kembali (Okos et al., 2007).
E. Perubahan Mutu Selama Penyimpanan Kebanyakan makanan sangat mudah mengalami perubahan selama penyimpanan. Perubahan tersebut menyebabkan makanan menjadi kurang menarik dan lezat bahkan tidak dapat dikonsumsi lagi (Ellis, 1999). Menurut Arpah (2001), kondisi proses dan penyimpanan sangat berpengaruh terhadap kualitas bahan pangan. Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi olah lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Selama penyimpanan dan distribusi, faktor-faktor lingkungan, seperti suhu, kelembaban, oksigen, dan cahaya, memicu beberapa mekanisme reaksi kimia. Reaksi-reaksi tersebut dapat menyebabkan perubahan produk berupa
12
perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi, dan mikrobiologis (Arpah, 2001). Hal ini menyebabkan penurunan mutu pada suatu produk makanan sehingga pada titik tertentu mengakibatkan makanan tidak dapat lagi atau berbahaya jika dikonsumsi oleh konsumen (Singh, 1999). Untuk menganalisa penurunan mutu, diperlukan beberapa pengamatan terhadap
parameter
mutu
yang
dapat
diukur
secara
kualitatif
dan
mencerminkan keadaan mutu bahan. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran fisik, kimiawi, mikrobiologis, maupun uji organoleptik, seperti tekstur, warna, bilangan TBA, kadar vitamin C, skor uji cita rasa, total mikroba dan sebagainya (Syarief dan Halid, 1993). Syarief dan Halid (1993) menyatakan, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan mutu selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu dipertimbangkan.
13
III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa bekatul campuran varietas IR 64 dan Ciherang. Bekatul diperoleh dari penggilingan padi yang terletak di Desa Cibatok Kecamatan Ciampea, Bogor. Bahan lainnya yang digunakan untuk keperluan analisis adalah aquades, minyak goreng, etanol, Na2SO4, H2SO4, NaOH, HCl, CuSO4, indikator mengsel, pereaksi TBA, heksan, garam fisiologis, agar PCA (Plate Count Agar), dan agar EMB (Eosine Methylene Blue). Peralatan yang digunakan berupa disc mill, ayakan 60 mesh, panci kukus (dandang), autoklaf, drum dryer, waring blender, kertas saring, oven pengering, desikator, cawan porselen, cawan alumunium, tanur, labu Kjeldahl, labu lemak, soxhlet, cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, magnetic stirrer, pipet, tip, sudip, buret, neraca analitik, colortech colormeter, sentrifuse, inkubator, dan quebec colony counter.
B. Metode 1. Stabilisasi Bekatul dengan Metode Pemanasan Basah Sebelum proses stabilisasi, dilakukan karakterisasi sifat kimia dan fungsional bekatul segar. Pengujian sifat kimia meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, karbohidrat (by difference), dan bilangan TBA (Thiobarbituric Acid). Sedangkan pengujian terhadap sifat fungsional meliputi uji kelarutan dan swelling power, freeze thaw stability, water retention capacity, dan oil retention capacity. Prosedur analisis tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses stabilisasi bekatul diawali dengan penggilingan bekatul segar menjadi tepung bekatul menggunakan disc mill. Tepung tersebut selanjutnya diayak dengan ayakan berukuran 60 mesh. Tepung bekatul yang telah diayak kemudian distabilisasi dengan dua perlakuan, yaitu stabilisasi dengan cara pengukusan tidak bertekanan menggunakan dandang kukus selama 5, 10, dan 15 menit dan stabilisasi dengan cara pengukusan bertekanan
menggunakan autoklaf pada suhu 105 oC selama 5, 10, dan 15 menit. Menurut Barber dan Barber (1980) proses pemanasan basah dilakukan selama 1-30 menit. Setiap proses stabilisasi bekatul, bahan yang digunakan sebanyak 200 g. Diagram alir proses stabilisasi dilihat pada Gambar 4. Bekatul hasil stabilisasi selanjutnya dikarakterisasi sifat kimia dan fungsional.
Bekatul
Bekatul
Penggilingan
Penggilingan
Pengayakan (60 mesh)
Pengayakan (60 mesh)
Pengukusan tidak bertekanan (t = 5, 10, 15 menit)
Pengukusan bertekanan (t = 5, 10, 15 menit)
Bekatul kukus
Bekatul autoklaf
Gambar 4. Diagram alir penstabilan bekatul dengan cara stabilisasi pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan. Data hasil analisis untuk setiap taraf perlakuan lama pemanasan 5, 10, dan 15 menit kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam (Anova) disain rancangan blok. Lama pemanasan terpilih, selanjutnya akan dijadikan acuan pada proses pembuatan produk yang akan dikeringkan menggunakan teknologi pengeringan drum dryer.
2. Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Teknologi Pengeringan Drum Dryer Tahap ini bertujuan menurunkan kadar air bekatul terstabilisasi. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering drum dryer tipe
15
drum ganda pada kondisi tekanan 4 bar, kerenggangan antar rol 0,5 mm, perbandingan konsentrasi pasta 1 : 2 (bekatul terstabilisasi : air). Penetapan konsentrasi pasta 1 : 2, didasarkan pada perlakuan terbaik Janathan (2007) yang kemudian divalidasi dengan trial and error. Kecepatan putaran drum digunakan sebagai variable peubah yang diduga berpengaruh terhadap hasil pengeringan bekatul terstabilisasi. Pada pelaksanaannya digunakan tiga taraf kecepatan putaran, yaitu 4, 6, dan 8 rpm. Ketiga taraf tersebut dipilih berdasarkan hasil terbaik percobaan trial and error kecepatan putaran 2, 4, 6, 8, dan 10 rpm. Hasil pengeringan berupa lembaran bekatul kering selanjutnya digiling menggunakan waring blender sehingga terbentuk remahan atau bubuk kering bekatul. Diagram alir pengeringan bekatul terstabilisasi dengan teknologi pengeringan drum dryer secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5. Bekatul kukus
Bekatul autoklaf
Pencampuran dalam air (1 bekatul : 2 air )
Pencampuran dalam air (1 bekatul : 2 air )
Pengeringan dengan drum dryer (4, 6, dan 8 rpm)
Pengeringan dengan drum dryer (4, 6, dan 8 rpm)
Penggilingan
Penggilingan
Pengayakan (60 mesh)
Pengayakan (60 mesh)
Bekatul kukus kering
Bekatul autoklaf kering
Gambar 5. Diagram alir pengeringan bekatul terstabilisasi dengan teknologi pengeringan drum dryer.
16
Produk bekatul terstabilisasi hasil pengeringan drum dryer yang diperoleh
kemudian
dianalisis
sifat
kimia,
fungsional,
dan
mikrobiologisnya. Data hasil analisis untuk setiap taraf perlakuan kecepatan rpm drum dryer kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam (Anova) desain rancangan blok. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kecepatan putaran pengeringan drum dryer terbaik bekatul hasil stabilisasi pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan.
3. Penyimpanan Bekatul Terstabilisasi Tahap ini dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu bekatul terstabilisasi selama penyimpanan. Penyimpanan dilakukan dalam kemasan plastik metalize pada tiga kondisi suhu penyimpanan yang berbeda, yakni 35, 45, dan 50 oC. Untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi, dilakukan pengujian sampel setiap satu minggu selama delapan minggu masa penyimpanan. Parameter yang diuji meliputi analisis kadar air, bilangan TBA, dan nilai kecerahan.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Stabilisasi Bekatul dengan Metode Pemanasan Basah Proses stabilisasi bekatul dilakukan untuk menginaktivasi enzim lipase yang berperan dalam proses ketengikannya. Menurut Barber dan Barber (1980), pemanasan basah merupakan metode inaktivasi enzim lipase yang dinilai efektif dan aman untuk diterapkan pada bekatul yang akan digunakan sebagai bahan pangan. Sebelum dilakukan proses stabilisasi, bekatul yang diperoleh dari penggilangan padi digiling menggunakan disc mill dan diayak dengan ayakan 60 mesh. Penggilingan dan pengayakan dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel bekatul sehingga memiliki luas permukaan yang besar. Hal ini sangat penting agar proses inaktivasi enzim lipase dengan metode pemanasan basah dapat berlangsung secara efektif dan menyeluruh. Stabilisasi bekatul dengan pemanasan basah dilakukan dengan cara pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan. Pengukusan tidak bertekanan dilakukan menggunakan dandang kukus
dan pengukusan bertekanan
menggunakan autoklaf pada suhu 105 oC. Pemilihan pengukusan menggunakan dandang kukus didasarkan bahwa cara tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan dengan harga yang relatif murah. Sedangkan proses pengukusan menggunakan autoklaf didasarkan pada kesamaan proses dengan pengukusan menggunakan dandang disamping tekanan dan suhu pemanasan yang relatif terjaga. Kedua cara tersebut dilakukan pada tiga taraf waktu yang berbeda, yaitu 5, 10, dan 15 menit. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian Juliano (1985) yang menyatakan bahwa proses stabilisasi bekatul dengan penerimaan mutu organoleptik yang baik dapat dilakukan selama 5 menit pada suhu 115 oC atau 15 menit pada suhu 100 oC. Pada penelitian ini, bekatul hasil stabilisasi menggunakan pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan selanjutnya disebut sebagai bekatul kukus dan autoklaf. Hasil analisis sifat kimia dan fungsional kedua jenis bekatul terstabilisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis proksimat dan sifat fungsional bekatul segar dan terstabilisasi Parameter
Kukus
Bekatul Segar
5’
Kadar air (% )
6,86
10,69
Kadar protein (% bk)
13,72
Kadar lemak (% bk)
10’
15’
11,30 12,68 10,44
11,18
11,85
13,09
12,63 13,07 12,15
12,88
11,97
16,84
13,10
13,16 12,78 14,22
14,50
14,01
Kadar abu (% bk)
7,43
7,66
7,58
7,52
7,78
7,31
7,82
Kadar serat kasar (% bk) Kadar karbohidrat by difference (% bk) Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) Kelarutan (%)
7,25
7,46
7,56
6,75
7,77
7,58
7,30
47.90
48,00
47,77 47,19 47,64
46,55
47,06
0,680
0,428
0,240 0,420 0,335
0,452
0,374
15,95
23,54
20,33 22,32 15,84
24,59
24,92
5,96
6,95
7,00
6,62
7,83
8,60
97.00
96,76
94,63 96,50 96,25
97,38
97,50
Swelling power (%) Freeze thaw stability (% sinerisis)
10’
Autoklaf 15’
8,10
5’
Keterangan: bk (basis kering) 1. Komposisi Kimia a. Kadar Air Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Tingginya kandungan air yang terdapat pada suatu bahan makanan akan mempercepat proses kerusakan baik secara mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, maupun oleh aktivitas serangga (Sudarmadji et al., 1989). Kadar air bekatul segar yang digunakan pada proses stabilisasi bekatul adalah sebesar 6,86 %. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai kadar air yang ditetapkan SNI 01-4439-1998, yakni sebesar 12 %. Hal ini menunjukkan bekatul segar yang digunakan memiliki kualitas yang baik. Proses pengukusan baik dengan tekanan maupun tidak bertekanan akan meningkatkan kelembaban udara di dalam ruang pengukusan. Sebagai bentuk kesetimbangan antara udara di dalam ruang pengukusan dan bahan, maka akan terjadi penyerapan air oleh bahan dalam bentuk uap air. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kedua cara tersebut menyebabkan peningkatan kadar air bekatul terstabilisasi. Peningkatan kadar air bekatul juga terjadi seiring dengan peningkatan lama waktu
19
pemanasan 5, 10, dan 15 menit. Kadar air bekatul untuk setiap lama pemanasan 5, 10, dan 15 menit berturut-turut 10,57, 11,24, dan 12,26 % (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan dapat mengakibatkan proses penyerapan air yang lebih besar oleh bekatul. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4), kadar air dengan lama waktu pengukusan 5 menit tidak berbeda dengan 10 menit, namun berbeda dengan lama waktu pengukusan 15 menit.
b. Kadar Protein Kandungan protein bekatul segar cukup tinggi, yakni mencapai 13,72 % bk. Protein tersebut berasal dari lapisan aleuron dan selubung biji padi. Besarnya kadar protein diperoleh berdasarkan penentuan kandungan nitrogen (N) total yang terdapat pada bekatul. Nilai ini menunjukkan kandungan protein kasar karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein. Menurut Orthoefer dan Eastman (2004), sebagian besar nitrogen pada bekatul merupakan nitrogen protein, sedangkan sisanya sebesar 16 % dari total nitrogen yang tersedia merupakan nitrogen bukan protein. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa proses stabilisasi bekatul menyebabkan penurunan kadar protein dari 13,72 menjadi 12,63 % bk (Lampiran 3). Menurut Pomeranz (1985) penurunan kadar protein dapat terjadi karena proses pemanasan yang berlangsung selama pengukusan. Perbedaan lama pengukusan 5, 10, dan 15 menit tidak menunjukkan perbedaan kadar protein bekatul terstabilisasi (Lampiran 4). Nilai kadar protein bekatul terstabilisasi yang tidak berbeda seiring dengan peningkatan lama pengukusan diduga karena analisis penentuan kadar protein berdasarkan kandungan nitrogen (N) total. Oleh karenanya meskipun terjadi perubahan struktur protein selama pengukusan, nilai nitrogen total yang terhitung sebagai kadar protein bekatul relatif tidak mengalami perubahan.
20
c. Kadar Lemak Pengukusan merupakan bentuk pemanasan dalam keadaan ada air yang dapat menyebabkan kerusakan minyak. Peningkatan waktu pengukusan bekatul dapat menyebabkan penyerapan uap air yang lebih besar. Keberadaan air dalam bekatul akan mempercepat proses hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Dalam pengujian kadar lemak, gliserol yang terbentuk tidak larut dalam pelarut organik (heksan) sehingga nilai kadar lemak bekatul terstabilisasi mengalami penurunan. Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa proses pengukusan baik yang bertekanan maupun tidak bertekanan menyebabkan penurunan kadar lemak bekatul, yang semula sebesar 16,84 % bk menjadi 14,24 dan 13,01 % bk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pengukusan bekatul menyebabkan kerusakan minyak di dalamnya. Kerusakan minyak bekatul pada
proses
pengukusan
tidak
bertekanan
relatif
lebih
besar
dibandingkan dengan kerusakan pengukusan bertekanan. Hal ini diduga terjadi proses pemanasan berlebihan yang tidak terkontrol pada proses pengukusan tidak bertekanan menggunakan dandang. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 4), lama pengukusan 5, 10, dan 15 menit tidak menunjukkan nilai kadar lemak yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa lama pengukusan hingga 15 menit tidak menunjukkan nilai kadar lemak yang berbeda dengan lama pengukusan 5 dan 10 menit.
d. Kadar Abu Kadar abu merupakan zat anorganik sisa pembakaran suatu bahan organik (Sudarmadji et al., 1989). Analisis kadar abu terhadap suatu bahan dapat digunakan untuk menunjukkan kandungan mineral yang terdapat pada bahan tersebut. Pada prinsipnya penentuan kadar abu dilakukan dengan menimbang sisa pengabuan bahan yang dipijarkan di dalam tanur pada suhu 600 oC. Dari hasil pengujian, besarnya kadar abu bekatul segar adalah 7,43 % bk. Kadar abu bekatul terstabilisasi dengan cara pengukusan
21
bertekanan berkisar antara 7,31 hingga 7,82 % bk, sedangkan dengan cara pengukusan tidak bertekanan berkisar antara 7,52 hingga 7,66 % bk. Nilai tersebut menunjukkan bahwa proses stabilisasi cenderung tidak menyebabkan perubahan kadar abu bekatul. Hal ini mengingat proses pengukusan dilakukan pada suhu 100-105 oC, dimana pada suhu tersebut diduga tidak menyebabkan terjadinya dekomposisi atau penguraian mineral dalam bekatul.
e. Kadar Serat Kasar Serat kasar menggambarkan seberapa banyak serat yang tidak larut selama proses hidrolisis menggunakan larutan asam dan basa pada suhu tinggi. Hasil analisis kadar serat kasar bekatul segar menghasilkan nilai sebesar 7,25 % bk. Menurut Barber dan Barber (1980), kandungan serat yang terdapat pada bekatul sebagian besar terdiri dari selulosa dan hemiselulosa. Hasil analisis kadar serat kasar bekatul terstabilisasi untuk seluruh perlakuan lama pengukusan menunjukkan nilai yang tidak berbeda dengan bekatul segar. Tidak berubahnya kadar serat kasar bekatul selama proses pengukusan menurut Winarno et al., (1980) dikarenakan serat merupakan karbohidrat kelompok polisakarida yang tersusun oleh rangkaian panjang unit-unit glukosa dan dihubungkan dengan ikatan glikosidik β. Ikatan tersebut berbentuk lurus dan sangat kuat (Pomeranz, 1985) serta hanya dapat diputuskan oleh adanya enzim selulase maupun hidrolisis menggunakan asam ataupun basa pada suhu tinggi. Proses stabilisasi bekatul dengan cara pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan tidak melibatkan adanya komponen asam maupun basa sehingga tidak menyebabkan penurunan kadar serat.
f. Kadar Karbohidrat (by difference) Pengukuran kadar karbohidrat bekatul dilakukan secara by difference yang berarti nilai yang diperoleh didapatkan dari hasil pengurangan kadar air, protein, lemak, abu dan serat. Hasil pengukuran
22
kadar karbohidrat bekatul terstabilisasi dengan cara pengukusan tidak bertekanan berkisar antara 47,19 hingga 48,00 % bk, sedangkan dengan cara pengukusan bertekanan berkisar antara 46,55 hingga 47,64 % bk. Bila dibandingkan dengan kadar karbohidrat bekatul segar yang besarnya 47,90 % bk, maka dapat diketahui proses pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan relatif tidak merubah kadar karbohidrat. Hal ini dikarenakan proses pemanasan tidak menyebabkan perubahan kandungan karbohidrat dalam suatu bahan sehigga nilainya cenderung stabil (Ramesh,1999)
g. Bilangan TBA Proses pemanasan basah dapat menginaktivasi enzim lipase sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan hidrolitik minyak bekatul. Di sisi lain pemanasan basah juga dapat menyebabkan teroksidasinya minyak bekatul. Hal ini dikarenakan kandungan asam lemak tak jenuh pada bekatul berupa asam oleat dan linoleat dapat dengan mudah teroksidasi dan dipercepat dengan adanya panas. Pengujian bilangan TBA dilakukan untuk mengukur senyawa malonaldehid
yang
terbentuk
sebagai
hasil
oksidasi
senyawa
hidroperoksida pada proses ketengikan minyak. Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa hasil pengujian bilangan TBA bekatul terstabilisasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda untuk seluruh perlakuan lama pengukusan. Ini menunjukkan bahwa lama waktu pengukusan hingga 15 menit tidak mengakibatkan perbedaan proses oksidasi yang signifikan pada minyak bekatul. Pada Tabel 2 juga juga dapat dilihat bahwa bekatul terstabilisasi memiliki nilai bilangan TBA yang relatif rendah dibandingkan dengan bekatul segar. Hal ini mengindikasikan bahwa enzim lipase penyebab ketengikan minyak dalam bekatul segar telah terinaktivasi.
23
2. Sifat Fungsional a. Kelarutan Nilai kelarutan menggambarkan banyaknya komponen dalam suatu bahan yang dapat larut di dalam air. Semakin tinggi nilai kelarutan suatu bahan menunjukkan bahwa bahan tersebut semakin mudah larut dalam air. Hasil analisis kelarutan bekatul segar adalah 15,95 %. Nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai kelarutan bekatul terstabilisasi dengan proses pengukusan tidak bertekanan maupun bertekanan yang masing-masing besarnya mencapai 23,54 % dan 24,92 %. Peningkatan nilai kelarutan tersebut diduga karena terjadi pemutusan ikatan sebagian kecil rantai polimer serat selama proses pengukusan sehingga menghasilkan serat dengan rantai polimer yang lebih pendek dan lebih mudah larut dalam air. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa peningkatan lama pengukusan tidak menyebabkan kecenderungan peningkatan kelarutan bekatul hasil stabilisasi. Dengan kata lain nilai kelarutannya juga tidak berbeda seiring dengan peningkatan lama waktu pengukusan. Hal ini menunjukkan bahwa lama pengukusan hingga 15 menit tidak menyebabkan pemutusan ikatan rantai polimer serat yang berbeda dengan lama pengukusan 5 dan 10 menit.
b. Swelling Power Swelling
power
menunjukkan
peningkatan
volume
atau
pengembangan suatu bahan akibat penyerapan air. Besarnya nilai swelling power bekatul sangat dipengaruhi oleh kandungan serat di dalamnya. Menurut Bao dan Bergman (2004), serat memiliki kemampuan mengikat air melalui gugus hidroksil yang bersifat polar. Gugus tersebut akan mengikat unsur hidrogen yang berasal dari molekul air mengahasilkan ikatan hidrogen. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai swelling power bekatul segar sebesar 6,72 %. Proses pengukusan, baik bertekanan maupun tidak bertekanan, akan meningkatkan penyerapan air pada bekatul yang distabilisasi. Pada
24
Lampiran 3 dapat dilihat bahwa pengujian swelling power untuk setiap lama pengukusan 5, 10, dan 15 menit berturut-turut adalah 6,78, 7,41, dan 8,35 %. Peningkatan nilai swelling power bekatul terstabilisasi dibandingkan dengan bekatul segarnya dikarenakan proses pengukusan dapat mendegradasi dinding sel bekatul sehingga jaringan menjadi lebih porous. Peningkatan porousitas serat bekatul menyebabkan peningkatan penyerapan air dan pengembangan bekatul. Berdasarkan analisis ragam parameter swelling power (Lampiran 4), besarnya peningkatan nilai swelling power pengukusan bertekanan dan tidak bertekanan untuk seluruh taraf lama waktu pengukusan menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hal ini menunjukkan lama waktu pengukusan hingga 15 menit tidak menyebabkan perbedaan peningkatan porousitas serat dengan lama pemanasan 5 dan 10 menit.
c. Freeze Thaw Stability Freeze thaw stability menggambarkan daya tahan suatu bahan mengalami sinerisis atau penirisan air setelah pembekuan. Semakin tinggi % sinerisis suatu bahan, maka akan semakin rendah pula freeze thaw stability bahan tersebut. Hasil pengujian freeze thaw stability bekatul segar menunjukkan nilai
%
sineris
mengindikasikan
yang
tertinggi,
yaitu
bahwa
bekatul
segar
97,00%.
Hal
mengalami
tersebut kerusakan
bentuk/tekstur setelah penyimpanan beku. Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa proses pengukusan, baik bertekanan maupun tidak bertekanan, tidak menurunkan % sinerisis bekatul segar. Hal ini diduga karena uap air yang dihasilkan pada proses pengukusan hanya terikat secara lemah sehingga ketika dilakukan uji freeze thaw stability tetap terjadi penirisan air dari jaringan bekatul. Pada Tabel 2 juga dapat dilihat peningkatan lama pengukusan 5, 10, dan 15 menit tidak berpengaruh terhadap % sinerisis bekatul terstabilisasi. Hal ini diduga karena perbedaan lama pemanasan 5, 10, dan 15 menit tidak secara signifikan meningkatkan perbedaan kemampuan pengikatan air pada jaringan bekatul.
25
Berdasarkan pengujian komposisi kimia maupun fungsional bekatul terstabilisasi dengan cara pengukusan tidak bertekanan dan bertekanan, lama pemanasan terbaik untuk proses stabilisasi adalah 5 menit. Lama pemanasan tersebut dipilih karena bekatul terstabilisasi yang dihasilkan memiliki kadar air terendah, yaitu 10,69 % untuk bekatul kukus (pengukusan tidak bertekanan) dan 10,44 % untuk bekatul autoklaf (pengukusan bertekanan), yang diduga memiliki keawetan dan daya simpan yang lebih lama.
B. Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Teknologi Pengeringan Drum Dryer Proses stabilisasi bekatul dengan pengukusan dapat meningkatkan kadar air bekatul terstabilisasi. Menurut Barber dan Barber (1980) peningkatan kadar air bekatul terstabilisasi dapat memicu kembali aktifnya enzim lipase. Hal ini mengakibatkan terjadinya kembali hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol yang pada akhirnya menyebabkan ketengikan pada bekatul terstabilisasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengeringan untuk menurunkan kadar air bekatul terstabilisasi. Pada penelitian ini, pengeringan bekatul terstabilisasi dilakukan dengan drum dryer. Alat tersebut dapat mengeringkan bahan secara efisien dan menghasilkan produk berbentuk remahan yang mudah direhidrasi kembali. (Tang et al., 2003; Okos et al., 2007). Dengan kelebihan tersebut diharapkan pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku pada berbagai jenis makanan kesehatan dapat dioptimalkan. Proses pengeringan bekatul terstabilisasi dengan drum dryer dilakukan pada tekanan 4 bar, kerenggangan antar rol 0,5 mm, perbandingan konsentrasi pasta 1 : 2 (bekatul terstabilisasi : air). Penetapan perbandingan konsentrasi pasta 1 : 2, dilakukan berdasarkan hasil perlakuan terbaik Janathan (2007), kemudian divalidasi dengan trial and error. Penggunaan konsentrasi pasta yang lebih pekat dari perbandingan 1 : 2 menghasilkan produk yang tidak kering dan sulit dituang. Sedangkan penggunaan konsentrasi pasta yang lebih encer dari perbandingan 1 : 2 menghasilkan produk berbentuk bubuk halus,
26
namun terdapat banyak loss karena pasta banyak yang lolos dari celah antar drum. Menurut Tang et. al. (2003), laju pengeringan menggunakan drum dryer salah satunya sangat ditentukan oleh kecepatan putaran. Semakin besar kecepatan yang digunakan, maka proses pengeringan akan berlangsung dengan cepat sehingga kandungan air yang diuapkan dari bahan pun semakin sedikit pula. Pada penelitian ini dilakukan tiga taraf perlakuan kecepatan putaran drum dyer 4, 6, dan 8 rpm. Taraf perlakuan tersebut ditentukan berdasarkan hasil trial and error kecepatan 2, 4, 6, 8, dan 10 rpm. Berdasarkan pengamatan produk yang dihasilkan, kecepatan putaran 2 rpm menghasilkan produk yang gosong, kecepatan 10 rpm menghasilkan produk yang masih basah, sedangkan kecepatan putaran 4, 6, dan 8 rpm menghasilkan produk berbentuk lembaran kering yang baik.
Tabel 3. Hasil analisis proksimat, sifat fungsional, dan mikrobiologis bekatul segar dan produk pengeringan bekatul terstabilisasi Parameter
Bekatul Segar
Bekatul Kukus Kering
Bekatul Autoklaf Kering
4 rpm 6 rpm 8 rpm 4 rpm 6 rpm 8 rpm
Kadar air (% bb )
10,79
3,40
Kadar protein (% bk)
12,34
12,14 12,45 12,31 12,32 12,30 12,24
Kadar lemak (% bk)
11,30
9,31
9,63
9,32
9,57
9,42
9,17
Kadar abu (% bk)
7,79
7,67
7,67
7,76
7,71
7,78
7,69
Kadar serat kasar (% bk) Kadar karbohidrat by difference (% bk) Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) Kelarutan (%)
11,51
10,93 10,77 10,74 10,68 10,97 10,54
46,27
56,54 56,09 55,98 57,42 56,31 57,44
0,295
0,529 0,516 0,538 0,431 0,486 0,556
17,98
20,16 20,80 16,38 18,49 20,34 20,44
Swelling power (%) Freeze thaw stability (% sinerisis) Total mikroorganisme (koloni/g)
6,72
12,02 12,37 10,68 11,59 11,71 11,04
96,67
90,56 92,13 94,70 93,52 94,22 92,32
Total E. coli (koloni/g)
3,41
3,88
2,30
3,22
2,91
0
0
0
0
0
0
0
-
-
-
-
-
-
-
Hasil pengeringan bekatul terstabilisasi kukus dan autoklaf yang berupa lembaran bekatul kering selanjutnya digiling menggunakan waring blender dan
27
diayak dengan ayakan 60 mesh. Pemilihan ayakan dengan ukuran 60 mesh mengikuti standar tingkat kehalusan tepung terigu dan tepung beras. Pada penelitian ini, bekatul terstabilisasi hasil pengeringan drum dryer selanjutnya disebut bekatul kukus dan autoklaf kering. Hasil analisis proksimat, sifat fungsional, dan mikrobiologis kedua jenis produk bekatul tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
1. Komposisi Kimia a. Kadar Air Kadar air produk yang dikeringkan dengan drum dryer salah satunya sangat ditentukan oleh kecepatan putaran drum (Brennan, 2006). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pengeringan bekatul terstabiliasi secara umum menunjukkan penurunan kadar air bekatul seiring penurunan kecepatan putaran drum dryer. Kadar air bekatul kukus kering hasil pengeringan menggunakan kecepatan putaraan 8, 6, dan 4 rpm adalah 3,88, 3,41, dan 3,40 %, sedangkan kadar air bekatul autoklaf hasil pengeringan dengan kecepatan yang sama adalah 2,91, 3,22, 2,30 %. Hal ini menunjukkan penurunan kecepatan putaran drum akan meningkatkan jumlah air yang diuapkan dari bekatul terstabilisasi yang dikeringkan. Penurunan kecepatan putaran akan memperpanjang waktu kontak bahan dengan permukaan drum sehingga proses pengeringan berlangsung lebih lama. Pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa proses pengeringan bekatul terstabilisasi menunjukkan bekatul kukus kering memiliki kadar air yang relatif lebih tinggi dibandingkan bekatul autoklaf kering. Rata-rata kadar air bekatul kukus kering adalah 3,56 % bk, sedangkan bekatul autoklaf kering 2,81 % bk. Hal tersebut diduga karena hasil bekatul terstabilisasi dengan cara pengukusan bertekanan mengunakan autoklaf memiliki struktur pori yang lebih besar dibandingkan bekatul hasil pengukusan tidak bertekanan. Karena itu, kandungan air yang terdapat pada bekatul autoklaf lebih cepat menguap ketika dikeringkan.
28
b. Kadar Protein Panas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya denaturasi protein. Menurut Pomeranz (1985), denaturasi protein merupakan proses perubahan struktur tersier maupun sekunder molekul protein tanpa disertai pemutusan ikatan peptida molekul-molekul tersebut. Berdasarkan hasil pengujian, kadar protein bekatul kukus kering untuk seluruh perlakuan kecepatan putaran drum berkisar antara 12,14 hingga 12,45 % bk, sedangkan bekatul autoklaf kering berkisar antara 12,24 hingga 12,32 % bk. Nilai tersebut relatif sama dengan kadar protein bekatul segar yang besarnya 12,34 % bk (Tabel 3). Tidak berbedanya nilai tersebut lebih dikarenakan analisis protein yang digunakan didasarkan pada perhitungan nilai N secara total. Dengan demikian protein bekatul yang terdenaturasi selama pengeringan tetap terhitung. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Ramesh (1999), bahwasanya total jumlah nilai protein kasar relatif tidak berubah dengan adanya proses pemanasan.
c. Kadar Lemak Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar lemak bekatul yang semula sebesar 11,30 % menjadi 9,42 % bk untuk bekatul kukus kering dan 9,37 % bk untuk bekatul autoklaf kering (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan telah terjadi kerusakan lemak akibat pemanasan bertahap, baik pada saat stabilisasi bekatul maupun pengeringan bekatul hasil stabilisasi. Dari Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa kadar lemak untuk seluruh perlakuan kecepatan putaran pengeringan tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Ini menunjukkan pengeringan bekatul terstabilisasi hingga 4 rpm tidak menyebabkan perbedaan kerusakan lemak bekatul yang signifikan bila dibandingkan dengan kecepatan putaran 6 dan 8 rpm.
29
d. Kadar Abu Pada proses pengabuan, zat organik suatu bahan akan terurai menjadi air dan karbondioksida, sedangkan zat anorganik (mineral) akan tertinggal dalam bentuk abu. Proses tersebut berlangsung pada suhu 600 o
C (Sudarmadji et al., 1989). Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa kadar abu bekatul kukus kering
berkisar antara 7,67 hingga 7,71 % bk, sedangkan bekatul autoklaf kering berkisar antara 7,69 hingga 7,78 % bk. Nilai tersebut cenderung tetap bila dibandingkan dengan kadar abu bekatul segar yang besarnya adalah 7,79 % bk. Tidak berubahnya kadar abu bekatul diduga karena suhu yang digunakan pada proses stabilisasi maupun pengeringan tidak lebih dari 120 oC. Sudarmadji et al., (1989) zat anorganik sebagai senyawaan garam mineral hanya akan terurai pada suhu di atas 600 oC.
e. Kadar Serat Kasar Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa hasil analisis kadar serat bekatul segar adalah 11,51 % bk. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis kadar serat bekatul kukus kering dan autoklaf kering yang masing-masing besarnya adalah 7,70 % dan 7,73 % bk. Penurunan nilai tersebut
diduga
karena
sebagian
ikatan
rantai
polimer
serat
terdekomposisi akibat pemanasan selama proses stabilisasi dan pengeringan. Hal ini menyebabkan sebagian serat dengan rantai polimer yang lebih pendek larut dalam asam dan basa encer selama pengujian. Berdasarkan analisis ragam terhadap analisis kadar serat bekatul kukus kering dan autoklaf kering, diketahui seluruh perlakuan kecepatan putaran tidak menunjukan hasil yang berbeda (Lampiran 6). Ini menunjukkan bahwa penggunaan kecepatan putaran drum yang lebih lambat hingga 4 rpm tidak menghasilkan kerusakan atau pemutusan ikatan rantai polimer serat bekatul yang berbeda dengan kecepatan putaran 6 dan 8 rpm.
30
f. Kadar Karbohidrat (by difference) Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar karbohidrat bekatul kukus kering berkisar antara 55,98 hingga 56,54 % bk, sedangkan bekatul autoklaf kering berkisar antara 56,31 hingga 57,44 % bk. Bila dibandingkan dengan kadar karbohidrat bekatul segar yang besarnya 46,27 % bk, maka dapat dilihat seolah terjadi peningkatan akibat pemanasan pada proses stabilisasi dan pengeringan bekatul. Seperti yang telah diutarakan pada pembahasan sebelumnya, pemanasan tidak menyebabkan perubahan jumlah atau kandungan karbohidrat dalam suatu bahan. Peningkatan kadar karbohidrat yang terjadi pada bekatul kukus kering dan autoklaf kering dikarenakan adanya penurunan komponen lain.
g. Bilangan TBA Nilangan TBA menggambarkan tingkat ketengikan minyak yang terjadi pada suatu makanan. Secara umum peningkatan bilangan TBA pada suatu bahan, menunjukkan semakin tingginya tingkat ketengikan minyak pada bahan tersebut. Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa bilangan TBA bekatul kukus kering dan autoklaf kering lebih besar dibandingkan dengan bilangan TBA bekatul segar yang besarnya 0,295 mg malonaldehid/kg sampel. Bilangan TBA kedua bekatul kering tersebut pada kecepatan 4, 6, dan 8 rpm adalah 0,480, 0,501, dan 0,552 mg malonaldehid/kg sampel (Lampiran 5). Peningkatan bilangan TBA pada bekatul kering diduga karena adanya pemanasan pada proses pengeringan bekatul terstabilisasi. Menurut Ketaren (1996), pemanasan mengunakan suhu tinggi selama proses pengolahan dapat menyebabkan proses oksidasi pada lemak pangan. Hasil analisis ragam bilangan TBA bekatul kukus kering dan autoklaf kering relatif menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara ketiga kecepatan putaran drum. Ini menunjukkan variasi lama pemanasan yang direpresentasikan oleh ketiga kecepatan putaran tidak menyebakan
31
peningkatan bilangan TBA yang berbeda pada bekatul kering yang dihasilkan.
2. Sifat Fungsional a. Kelarutan Penerapan teknologi pengeringan drum dapat meningkatkan kelarutan bekatul kering di dalam air. Menurut Ramesh (1999) pemanasan
akan
menyebabkan
kerusakan
jaringan
sehingga
mengakibatkan lepasnya nutrisi yang larut air. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, nilai kelarutan bekatul segar yang semula sebesar 17,98 % meningkat hingga 19,11 % untuk bekatul kukus kering dan 19,76 % bk untuk bekatul autoklaf kering. Hasil pengujian analisis ragam parameter kelarutan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa bekatul kukus dan autoklaf kering tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk seluruh perlakuan. Hal ini diduga karena waktu yang pengeringan yang direpresentasikan ketiga kecepatan tersebut tidak jauh berbeda sehingga tidak menyebabkan kerusakan jaringan yang berbeda pula.
b. Swelling Power Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai swelling power bekatul kukus kering dan autoklaf kering mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan bekatul segar yang besarnya 6,72 %. Nilai ratarata swelling power bekatul kukus kering dan autoklaf kering menggunakan kecepatan putaran 4, 6, dan 8 rpm masing-masing adalah 11,80, 12,04, dan 10,86 % (Lampiran 5). Menurut Daud (2006) peningkatan tersebut dapat terjadi karena pengeringan berlangsung secara cepat menggunakan panas dari permukaan drum sehingga bahan menjadi porous dan bersifat mudah menyerap air. Hasil analisis ragam pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa taraf kecepatan putaran 4 rpm tidak menghasilkan nilai swelling power yang berbeda dengan 6 rpm, namun berbeda dengan kecepatan putaran 8 rpm
32
yang menghasilkan nilai swelling power lebih rendah. Hal ini diduga karena pengeringan menggunakan kecepatan 4 dan 6 rpm memiliki waktu pengeringan yang lebih lama sehingga menghasilkan produk bekatul kering yang lebih porous dibandingakan dengan kecepatan 8 rpm.
c. Freeze Thaw Stability Proses pengeringan menggunakan drum dryer pada bekatul terstabilisasi mengakibatkan kecenderungan penurunan % sinerisis bekatul. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 bahwasanya % sinerisis bekatul segar yang semula sebesar 96,67 % mengalami penurunan dengan kisaran antara 92,04 hingga 93,51 %. Penurunan yang terjadi diduga karena pengeringan meningkatkan keporosan bekatul kering, sehingga meningkatkan kemampuan serat untuk mengikat air. Menurut Bao dan Bergman (2004) kemampuan pengikatan air oleh serat dapat terjadi akibat terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai polimer serat dengan unsure hidrogen molekul air. Ikatan tersebut memungkinkan air terikat lebih kuat sehingga menurunkan jumlah air yang terpisah dari jaringan serat bekatul setelah pembekuan dan thawing. Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan (Lampiran 6), dapat dilihat bahwa pengujian freeze thaw stability menunjukkan nilai % sinerisis yang tidak berbeda untuk seluruh perlakuan kecepatan putaran drum. Hal ini diduga karena ketiga taraf kecepatan 4, 6, dan 8 rpm tidak mengakibatkan perbedaan tingkat keporousan bekatul kukus kering dan utoklaf kering.
d. Water Retention Capacity Pengujian water retention capacity (WRC) dilakukan untuk mengetahui kemampuan bekatul menyerap air. Pengujian dilakukan pada rentang suhu 65-95 oC dengan interval 5 oC. Kemampuan bekatul menyerap air sangat dipengaruhi oleh kandungan serat bekatul. Gugus hidroksil pada serat memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen
33
dengan molekul air. Semakin tinggi komponen serat, semakin besar kecenderungan molekul air yang terikat sehingga penyerapan air semakin besar. 30 Bekatul segar
WRC (%)
25
Kukus 4 rpm
20
Autoklaf 4 rpm
15
Kukus 6 rpm
10
Autoklaf 6 rpm
5
Kukus 8 rpm
0
Autoklaf 8 rpm 65
70
75
80
85
90
95
Suhu (oC)
Gambar 6. Grafik hubungan suhu (oC) terhadap water retention capacity (%) bekatul segar dan produk bekatul Pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa nilai WRC bekatul segar, bekatul kukus kering dan autoklaf kering mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan (Lampiran 2 dan 5). Menurut Bao dan Bergman (2004) pemanasan dapat meningkatkan energi kinetik air sehingga meningkatkan kemampuan serat mengikat air. Nilai WRC bekatul kukus kering dan autoklaf kering yang lebih tinggi dibandingkan dengan bekatul segar diduga karena pemanasan pada proses stabilisasi dan pengeringan menyebabkan pori-pori serat bekatul kian membesar sehingga meningkatkan kemampuannya dalam menyerap air. Pada Gambar 6 juga dapat dilihat bahwa nilai WRC bekatul kering untuk seluruh taraf perlakuan kecepatan putaran drum mengalami peningkatan yang relatif sama. Kesamaan tersebut diduga karena pengeringan dengan variasi kecepatan putaran yang digunakan tidak menghasilkan perbedaan jumlah kandungan serat didalamnya.
34
e. Oil Retention Capacity Berbeda dengan WRC, pengujian oil retention capacity (ORC) dilakukan untuk mengukur kemampuan suatu bahan dalam menyerap minyak. Kemampuan ini ditentukan oleh adanya kandungan lemak dan serat (Yuliasih, 2008). Lemak dapat membentuk lapisan yang bersifat hidrofobik pada permukaan jaringan serat, sedangkan serat memiliki kemampuan menyerap minyak. Kandungan lemak dan serat yang tinggi pada bekatul, menyebabkan bekatul memiliki kemampuan penyerapan
ORC (%)
minyak yang tinggi. 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Bekatul segar Kukus 4 rpm Autoklaf 4 rpm Kukus 6 rpm Autoklaf 6 rpm Kukus 8 rpm 65
70
75
80
85
90
95
Autoklaf 8 rpm
Suhu (oC)
Gambar 7. Grafik hubungan suhu (oC) terhadap oil retention capacity (%) bekatul segar dan produk bekatul Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa hasil pengujian ORC bekatul segar, bekatul kukus kering dan autoklaf kering menunjukkan kecenderungan peningkatan kemampuan penyerapan minyak seiring peningkatan suhu. Peningkatan tersebut diduga karena pemanasan pada saat pengujian meningkatkan keporousan jaringan serat sehingga memperbesar volume ruang yang akan diisi oleh minyak. Senada dengan dugaan tersebut, proses pemanasan pada tahap stabilisasi dan pengeringan bekatul merupakan penyebab mengapa nilai ORC produk bekatul kukus kering dan autoklaf kering sedikit lebih besar dibandingkan dengan bekatul segar.
35
3. Uji Mikrobiologi a. Total Mikroorganisme Mutu suatu produk pangan salah satunya ditentukan oleh jumlah mikroorganisme
yang
terdapat
dalam
bahan
pangan
tersebut.
Kontaminasi mikroorganisme pada produk pangan menyebabkan bahan pangan cepat mengalami penurunan mutu seperti kebusukan, berjamur, berlendir dan asam. Pengujian total mikroorganisme menggunakan metode total plate count (TPC) dilakukan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang terdapat pada bekatul segar dengan menghitung jumlah koloni yang muncul pada cawan. Menurut Hadioetomo (1985), metode ini didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel mikroorganisme yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Dari Tabel 3 dapat dilihat hasil pengujian TPC menunjukkan tidak ditemukan adanya mikroorganisme baik pada bekatul segar maupun bekatul kering. Tidak ditemukannya mikroorganisme pada bekatul segar diduga karena padi yang digiling memiliki kadar air yang rendah sehingga tidak memungkinkan terjadinya aktivitas pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kadar air bekatul segar sebesar 10,79 % bb. Sedangkan tidak ditemukannya mikroorganisme pada bekatul kering diduga karena proses stabilisasi pemanasan basah yang dilakukan untuk menginaktivasi enzim lipase bekatul segar juga ikut membunuh mikroorganisme yang terdapat didalamnya.
b. Total E. coli Total E. coli pada suatu bahan makanan merupakan parameter mutu yang sangat menentukan kelayakan bahan tersebut untuk dikonsumsi. Apa bila pada suatu bahan makanan ditemukan E. coli, maka dapat menyebabkan penyakit diare bahkan kematian bagi yang mengkonsumsinya. Pencemaran E. coli pada bahan makanan dapat terjadi selama proses pengolahan yang berlangsung secara tidak higienis.
36
Hasil pengujian total E. coli baik pada bekatul segar maupun bekatul kering menunjukkan hasil negatif atau dengan kata lain tidak ditemukan bakteri E. coli pada bekatul segar dan bekatul kering yang dianalisis. Tidak ditemukannya E. coli pada bekatul segar dapat disimpulkan tidak terjadi pencemaran baik yang bersumber dari peralatan maupun dari penanganan yang tidak higienis selama proses penggilingan padi. Sedangkan tidak ditemukannya E. coli pada bekatul kukus kering dan autoklaf kering, diduga karena proses stabilisasi pemanasan basah dan pengeringan membunuh E. coli yang mengontaminasi selama proses pengolahan.
Kadar air yang rendah sangat penting untuk mempertahankan kandungan nutrisi
produk bekatul
dari kemungkinan
kerusakan kimia maupun
mikrobiologi selama penyimpanan. Sementara itu, kemampuan swelling power yang tinggi menunjukkan kemudahan produk bekatul untuk direhidrasi kembali dengan penambahan air. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku pada aneka produk pangan instant. Berdasarkan pengujian kadar air dan nilai swelling power, kecepatan putaran drum 4 rpm dipilih sebagai kecepatan putaran terbaik untuk pengeringan bekatul terstabilisasi. Hasil pengeringan drum dengan kecepatan putaran drum 4 rpm memiliki kadar air terendah dan nilai swelling power yang cukup tinggi, yaitu sebesar 3,40 % dan 12,02 % untuk bekatul kukus kering dan 2,30 % serta 11,59 % untuk bekatul autoklaf kering.
C. Perubahan Mutu Bekatul Terstabilisasi Selama Penyimpanan Bekatul kering yang memiliki komposisi kimia dan sifat fungsional terbaik diharapkan memiliki ketahanan mutu yang baik atau stabil selama penyimpanan. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan produk bekatul kering sebelum dilakukan penyimpanan. Hasil analisis ragam terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional bekatul kukus kering dan autoklaf kering pada Lampiran 7 menunjukkan hasil yang berbeda pada parameter kadar air, protein, freeze thaw stability, dan
37
bilangan TBA. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa besarnya nilai kadar air, protein, freeze thaw stability, dan bilangan TBA bekatul autoklaf kering lebih baik dibandingkan dengan bekatul kukus kering. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bekatul autoklaf kering selanjutnya dipilih sebagai produk bekatul yang akan dianalisis perubahan mutunya selama penyimpanan. Selama penyimpanan dilakukan pengamatan terhadap parameter kadar air, bilangan TBA, dan kecerahan. Ketiga parameter tersebut dipilih karena diduga akan mengalami perubahan selama penyimpanan. 1. Kadar Air Dalam bahan pangan, air memiliki peranan yang besar dalam menentukan mutu pangan itu sendiri. Hal ini disebabkan air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun kimiawi suatu bahan. Menurut Syarief dan Halid (1993), kedua aktivitas tersebut berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme maupun enzim, ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatis, sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur, dan citarasa serta nilai gizi suatu bahan pangan. 8
Kadar air (%)
7 6 5 4
Suhu 35 oC
3
Suhu 45 oC
2
Suhu 50 oC
1 0 0
2
4
6
8
10
Lama penyimpanan (minggu)
Gambar 8. Grafik hubungan lama penyimpanan (minggu) dengan kadar air (%) produk bekatul Pada Gambar 8, dapat dilihat kadar air produk bekatul yang disimpan pada inkubator dengan suhu 35, 45, dan 50 oC mengalami penurunan selama penyimpanan minggu pertama. Hal ini diduga, saat pertama kali dikemas 38
kandungan air produk bekatul relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan air yang ada di udara dalam kemasan. Perbedaan tersebut menyebabkan pelepasan air dari bahan ke udara dalam kemasan sebagai bentuk pencapaian titik kesetimbangan kelembaban. Pada minggu pertama hingga minggu kedua, keseluruhan produk bekatul yang disimpan mengalami peningkatan kadar air. Arpah (2001) menyatakan peningkatan kadar
air
yang
terjadi
terus-menerus
selama
penyimpanan
akan
meningkatkan laju penurunan mutu produk pangan. Namun demikian, peningkatan kadar air produk bekatul tidak terjadi secara terus menerus. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8, produk bekatul mengalami kecenderungan penurunan kadar air setelah minggu ke-3 hingga akhir penyimpanan. Penurunan paling signifikan terjadi pada produk bekatul yang disimpan pada inkubator dengan suhu 50 oC. Sebagai bahan pangan kering, produk bekatul memiliki sifat higroskopis. Bahan yang memiliki sifat higroskopis mudah menyerap uap air dari lingkungan ketika kelembaban udara di lingkungan tinggi. Sebaliknya, bila kelembaban atau kandungan uap air di udara rendah, bahan yang higroskopis memiliki kecenderungan melepaskan uap air. Pemanasan yang terjadi secara simultan di dalam ruangan inkubator selama penyimpanan, menyebabkan uap air jenuh keluar melalui lubang ventilasi. Hal ini menyebabkan penurunan kelembaban di dalam ruangan inkubator. Di sisi lain pemanasan secara simultan selama penyimpanan menyebabkan
kemasan
metalize
memuai
sehingga
meningkatkan
kemampuan permeabilitasnya. Hal ini diduga meningkatkan proses penguapan air produk bekatul ke ruang inkubator sehingga menyebabkan penurunan kadar air produk bekatul selama penyimpanan.
2. Bilangan TBA Keberadaan asam lemak tak jenuh pada minyak bekatul berupa asam oleat
dan
linoleat,
menyebabkan
bekatul
mudah
tengik
selama
penyimpanan. Menurut Ketaren (1986), hal ini dikarenakan asam lemak tak
39
jenuh memiliki sifat mudah teroksidasi. Tingkat oksidasi minyak akan semakin meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Proses oksidasi asam lemak tak jenuh oleh oksigen akan membentuk senyawa hidroperoksida. Senyawa tersebut sangat labil dan segera terurai menjadi senyawa karbon rantai pendek seperti aldehid, keton, maupun alkohol.
Pengukuran
bilangan
TBA digunakan untuk
menghitung
banyaknya senyawa aldehid yang terbentuk selama penyimpanan dan
(mg malonaldehid/kg sampel)
bertanggung jawab terhadap ketengikan produk bekatul. 0.35 0.30 0.25 0.20 Suhu 35 oC
0.15 0.10
Suhu 45 oC
0.05
Suhu 50 oC
0.00 0
2
4
6
8
10
Lama penyimpanan (minggu)
Gambar 9. Grafik hubungan lama penyimpanan (minggu) dengan bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) produk bekatul Pada Gambar 9, diketahui bilangan TBA produk bekatul yang disimpan pada inkubator dengan suhu 35 oC mengalami peningkatan hingga minggu ke-7 penyimpanan. Sedangkan produk bekatul yang disimpan pada inkubator dengan suhu 45 dan 50
o
C, masing-masing mengalami
peningkatan TBA hingga minggu ke-5 dan ke-3 penyimpanan. Peningkatan bilangan TBA yang terjadi pada produk bekatul menunjukkan proses ketengikan akan terus meningkat seiring peningkatan lama waktu penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadi peningkatan proses oksidasi pada minyak seiring kenaikan suhu dan oksigen yang berasal dari peningkatan permeabilitas kemasan selama penyimpanan. Penurunan bilangan TBA yang terjadi pada minggu ke-7, 5, dan 3 penyimpanan untuk produk bekatul yang disimpan pada inkubator bersuhu 35, 45, dan 50 oC,
40
diduga teroksidasi lebih lanjutnya senyawa aldehid seiring peningkatan pemanasan. Penurunan senyawa aldehid pada produk bekatul selama penyimpanan dikarenakan proses tersebut menyebabkan bilangan TBA yang dihasilkan pun menurun.
3. Kecerahan Tingkat penerimaan produk pangan dapat dipengaruhi oleh perubahan warna. Menurut Arpah (2001), perubahan warna pada produk makanan menunjukkan perubahan nilai gizi produk pangan tersebut. Oleh karenanya perubahan warna sering dijadikan indikator terhadap penurunan mutu
Kecerahan (L)
produk pangan. 80 78 76 74 72 70 68 66 64 62 60
Suhu 30 oC Suhu 45 oC Suhu 50 oC
0
2
4
6
8
10
Lama penyimpanan (minggu)
Gambar 10. Grafik hubungan lama penyimpanan (minggu) dengan kecerahan (L) produk bekatul Kecerahan produk makanan merupakan salah satu indikator warna yang umumnya digunakan untuk melihat perubahan mutu makanan. Pada Gambar 10, nilai kecerahan produk bekatul yang disimpan pada inkubator dengan suhu 30 dan 45 oC cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti hingga minggu ke-7 penyimpanan. Penurunan nilai kecerahan baru terjadi pada minggu ke-7 hingga ke-8 penyimpanan. Pada produk bekatul yang disimpan pada inkubator bersuhu 50 oC, perubahan kecerahan relatif tidak terjadi hingga minggu ke-5. Penurunan kecerahan baru terjadi setelah minggu ke-5 penyimpanan.
41
Besarnya penurunan menunjukkan terjadinya reaksi pencoklatan nonenzimatis yang yang dipicu oleh pemanasan secara simultan selama penyimpanan. Menurut Syarief dan Halid (1993), reaksi pencoklatan nonenzimatis (reaksi Mailard) dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung gula pereduksi dan protein. Proses tersebut terjadi pada bahan pangan yang disimpan cukup lama dan dipengaruhi oleh suhu, pH, dan aw. Menurut Barber dan Barber (1980), pada bekatul terdapat gula sederhana dalam bentuk glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Glukosa dan fruktosa yang merupakan gula pereduksi pada bekatul diduga menyebabkan reaksi Mailard yang terjadi pada produk bekatul.
42
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Proses stabilisasi bekatul dengan cara pengukusan bertekanan dan tidak bertekanan selama 5, 10, dan 15 menit tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan kadar air, kelarutan, dan swelling power bekatul terstabilisasi, namun juga berpengaruh terhadap penurunan kadar protein, lemak, dan bilangan TBA. Berdasarkan pengujian kadar air bekatul terstabilisasi, lama pengukusan lima menit merupakan kondisi lama pemanasan basah terbaik dengan kadar air terendah, yaitu 10,69 % untuk metode pengukusan tidak bertekanan dan 10,44 % untuk metode pengukusan bertekanan. Proses pengeringan bekatul terstabilisasi menggunakan kecepatan putaran drum 4, 6, dan 8 rpm berpengaruh terhadap peningkatan bilangan TBA, kelarutan, swelling power, dan freeze thaw stability, serta berpengaruh terhadap penurunan kadar air, lemak, dan serat kasar bekatul kukus kering maupun autoklaf kering. Berdasarkan pengujian kadar air dan nilai swelling power, kecepatan putaran drum 4 rpm dipilih sebagai kecepatan putaran terbaik Produk bekatul kukus kering memiliki karakteristik dengan kadar air 3,40 %, lemak 9,31% (bk), protein 12,14 % (bk), abu 7,67 % (bk), serat kasar 10,93 % (bk), karbohidrat (by difference) 56,54 % (bk), bilangan TBA 0,530 mg malonaldehid per kg sampel, kelarutan 20,16 %, swelling power 12, 02 %, dan freeze thaw stability 90,56 %. Untuk produk autoklaf kering diperoleh karakteristik dengan kadar air 2,30 %, lemak 9,57 % (bk), protein 12,32 % (bk), abu 7,71% (bk), serat kasar 10,68 % (bk), karbohidrat (by difference) 57,42 % (bk), uji TBA 0,430 mg malonaldehid per kg sampel, kelarutan 18,49 %, swelling power 11,59 %, dan freeze thaw stability 93,52 %. Bekatul autoklaf kering merupakan produk terpilih yang diamati perubahan mutunya selama penyimpanan. Analisis perubahan mutu dengan pendekatan kadar air, menunjukkan kecenderungan penurunan kadar air selama penyimpanan setelah minggu ke-3 seiring penurunan kelembaban pada ruang inkubator. Pada pendekatan bilangan TBA, peningkatan ketengikan produk bekatul terjadi seiring meningkatnya proses oksidasi selama penyimpanan.
Pada pendekatan kecerahan, produk bekatul memiliki kecerahan yang relatif stabil hingga minggu ke-7 dan mulai menurun setelahnya karena pemanasan simultan yang memicu proses pencoklatan non-enzimatis.
B. Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan produk bekatul terstabilisasi kering sebagai bahan baku produk makanan sereal.
44
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, S. Yasni, dan S. Budiyanto. 1989. Analisa Pangan. PAU-IPB, Bogor. Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Makanan. Program Pasca Sarjana Ilmu Pangan-IPB, Bogor. Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of The Association of Official Chemist, Virginia. Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Method of The Association of Official Chemist, Virginia. Badan Pusat Statistik. 2008. Luas Lahan Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia. BPS, Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 19-2897-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba. BSN, Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4439-1998 tentang Bekatul. BSN, Jakarta. Bao, J. dan C. J. Bergman. 2004. The functionality of rice starch. Di dalam. Eliasson, A. N. (Ed). Starch in Food. Woodhead Publishing Limited, Cambridge. Barber, S. dan C. B. de Barber. 1980. Rice bran: chemistry and technology. Di dalam. Luh, B. S. (Ed). Rice Production and Utilization. AVI Publishing Company, Inc., Connecticut. Bond, N. 2004. Rice milling. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Cereal Chemist, Minnesota. Brennan, J. G. 2006. Evaporation and dehydration. Di dalam. Brennan, J. G. (Ed). Food Processing Handbook. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co., Weinheim. Brennan, J. G, J. R. Butter, N. D. Cowell, A. E. V. Lilly. 1969. Food Engineering Operation. Elsevier Publishing Company Limited, New York. Champagne, E. T. 1994. Brown rice stabilization. Di dalam. Marshall, W. E. dan J. I. Wadsworth. (Ed). Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Damayanthi, E., L. T. Tjing, dan L. Arbianto. 2007. Rice Bran. Penebar Swadaya, Jakarta. Damardjati, D. S., B. A. S. Santosa, dan S. Widowati. 1987. Prospek pengembangan bekatul awet untuk nutrifikasi makanan. Risalah Seminar Bahan Tambahan Makanan. PATPI-GAPMI-PAU IPB, Bogor. Daud, W. R. W. 2006. Drum dryers. Di dalam. Majumdar, A. S. Handbook of Industrial Drying. Taylor & Francis Group. London.
Ellis, M. J. 1999. The methodology of shelf life determination. Di dalam. Man, C. M. D. dan A. A. Jones. (Ed). Shelf Life Evaluation of Foods. A Chapman & Hall Food Science Book, Maryland. FAO. 2001. Food Balance Sheet. Food and Agricultural Organization of The United Nations, Roma. Floros, J.D. 1993. Shelf life prediction. Di dalam. Man, C. M. D. dan A. A. Jones. (Ed). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, Glasgow. Godber, J. S. dan B. O. Juliano. 2004. Rice lipid. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Cereal Chemist, Minnesota. Hadipernata, M. 2007. Mengolah dedak menjadi minyak (rice bran oil). Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 (4): 8-10. Hadioetomo, R. S. 1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. PT Gramedia, Jakarta. Hamilton, R. J. 1983. The chemistry of rancidity in foods. Di dalam. Allen, J. C. dan R. J. Hamilton. (Ed). Rancidity in Food. Applied Science Publisher, London. Houston, F. D. 1972. Rice bran and polish. Di dalam. Houston, F. D. (Ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Cereal Chemist, Minnesota. Hargrove, K. L. 1994. Processing and utilization of rice bran in the united states. Di dalam. Marshall, Wayne E. dan James I. Wadsworth. (Ed). Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Juliano, B. O. 1985. Rice bran. Di dalam. Juliano, B. O. (Ed). Rice Chemistry and Technology. 3rd Edition. American Assosiation of Cereal Chemist, Minnesota. Janathan. 2007. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kahlon, T. S., F. I. Chow, dan R. N. Sayre. 1994. Cholestrol-lowering properties of rice bran. Journal of Cereal Food World. 39 (2) : 99-102. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. Luh, B. S., S. Barber, dan C. B. de Barber. 1991. Rice bran: chemistry and technology. Di dalam. Luh, B. S. (Ed). Rice Utilization, Vol. II. Van Nostrand Reinhold, New York. Man, C. M. D. 2004. Shelf life testing. Di dalam. Steele, R. (Ed). Undertstanding and Measuring The Shelf-Life of Food. Woodhead Publishing Limited, Cambridge.
46
Majumdar, A. S. 1995. Handbook of Industrial Drying, 2nd Edition, Marcel Dekker, Inc., New York. Maroulis, Z. B. dan G. D. Saravacos. 2003. Food Process Design. Marcel Dekker, Inc., New York. Mizrahi, S. 2004. Accelerated shelf-life test. Di dalam. Steele, R. (Ed). Undertstanding and Measuring The Shelf-Life of Food. Woodhead Publishing Limited, Cambridge. Okos, M. R., O. Campanella, G. Narsimhan, R. K. Singh, dan A. C. Weitnauer. 2007. Food dehydration. Di dalam. Heldmand, D. R. dan D. B. Lund. (Ed). Handbook of Food Engineering, 2nd Edition. CRC Press, Boca Raton. Orthoefer, F. T. dan J. Eastman. 2004. Rice bran and oil. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Cereal Chemist, Minnesota. Perez, L. A. B., E. A. Acevedo, L. S. Hernandes, dan O. P. Lopez. 1999. Isolation and partial characterization of banana starches. Journal Agriculture and Food Chemistry. 47: 854-857. Pomeranz, Y. 1985. Functional Properties of Food Components. Academic Press, Inc., London. Ramesh, M. N. 1999. Food preservation by heat treatment. Di dalam. Rahman, M. S. (Ed). Handbook of Food Preservation. Marcel Dekker, Inc., New York. Samli, H. E., N. Senkoylu, H. Akyurek, dan A. Agma. 2006. Using rice bran in lying hen diets. Journal of Central European Agriculture. 7 (1): 135-140. Sayre, R. N., D. K. Nayyar, dan R. M. Saunders. 1985. Extraction and refining of edible oil from extrusion stabilized rice bran. Journal of American Oil Chemistry. 62: 1040-1043. Singh, R. P. 1999. Scientific principles of shelf life evaluation. Di dalam. Man, C. M. D. dan A. A. Jones. (Ed). Shelf Life Evaluation of Foods. A Chapman & Hall Food Science Book, Maryland. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. PAU-IPB, Bogor. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta. Tang, J, H. Feng, dan G. Q. Shen. 2003. Drum drying. Di dalam. Encyclopedia of Agricultural, Food, and Biological Engineering. Marcel Dekker, Inc., New York. Widowati, S. 2001. Pemanfaatan hasil penggilingan padi dalam menunjang sistem agroindustri di pedesaan. Buletin AgroBio 4 (1): 33-38. Wilkinson, H. C. dan E. T. Champagne. 2004. Value-added rice products. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Cereal Chemist, Minnesota.
47
Winarno, F. G, S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta. Wirakartakusumah, M. A., D. Hermanianto, dan N. Andarwulan. 1989. Prinsip Teknologi Pangan. PAU-IPB, Bogor. Yuliasih, I. 2008. Fraksinasi dan Asetilasi Pati Sagu serta Aplikasi Produknya sebagai Bahan Campuran Plastik Sintetis. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
48
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis.
1.
Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. Sampel tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 5 jam. Setelah itu, sampel didinginkan dalam desikator untuk kemudian ditimbang bobot akhirnya. Hal ini dilakukan hingga diperoleh bobot akhir yang konstan. Kadar air (%) = bobot awal sampel (g) – bobot akhir sampel (g) x 100 % bobot awal sampel (g)
2.
Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC, 1999) Sampel sebanyak 0,1 gram dicampur dengan 1 gram katalis (dibuat dengan mencampurkan 1 gram CuSO4 dan 1,2 gram Na2SO4) dan 2,5 ml H2SO4. Campuran tersebut selanjutnya dididihkan dalam labu Kjeldahl hingga jernih. Setelah dingin, campuran diencerkan dengan aquades hingga 25 ml dan ditambahkan 50 ml NaOH 6 N. Destilasi dilakukan selama 4 menit secara otomatis. Destilat yang diperoleh ditampung di dalam 50 ml asam borat dengan penambahan 2 tetes indikator mengsel. Hasil destilasi selanjutnya dititrasi dengan H2SO4 0,02 N. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein (%) = (ml H2SO4 – ml blanko) x N x 14.007 x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H2SO4
3.
Kadar Lemak Kasar (modifikasi metode Soxhlet AOAC, 1995) Sebanyak 2-5 gram sampel, yang telah dihilangkan kandungan airnya, dibungkus dengan kertas saring yang juga telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Selanjutnya sampel dimasukkkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet dan ditambahkan pelarut heksan secukupnya. Proses dilanjutkan dengan refluks selama ± 6 jam hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Setelah itu, sampel dikeluarkan dari Soxhlet dan dikering
49
anginkan untuk kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC hingga perubahan bobotnya konstan. Kadar lemak (%) = bobot awal sampel (g) – bobot akhir sampel (g) x 100 % bobot awal sampel (g) 4.
Kadar Abu (AOAC, 1999) Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot keringnya. Sebelum diabukan, sampel dipanaskan terlebih dahulu di atas pemanas destruksi hingga tidak berasap lagi dan menjadi arang. Setelah itu, sampel diabukan dalam tanur listrik pada suhu 600 oC hingga terbentuk warna abu-abu. Selanjutnya sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobot akhirnya. Hal ini dilakukan hingga diperoleh bobot akhir yang konstan. Kadar abu (%) = bobot abu setelah pengabuan (g) x 100 % bobot awal sampel (g)
5.
Kadar Karbohidrat (By Difference) Kadar karbohidrat secara (by difference) dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air % bb + kadar protein % bk + kadar lemak % bk + kadar abu % bk + kadar serat % bk)
6.
Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2 gram sampel diletakkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan dengan 100 ml H2SO4 0,325 N. Campuran tersebut selanjutnya dihidrolisis dalam autoklaf pada suhu 105 oC selama 15 menit. Hasil hidrolisis selanjutnya ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml dan dihidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Sampel kemudian disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Setelah itu kertas saring dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N, air panas, dan terakhir dengan 25 ml aseton/alkohol. Kertas saring yang telah dibilas, kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam dan dilanjutkan hingga perubahan bobotnya konstan. 50
Kadar serat kasar (%) = a – b x 100 % c dengan : a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot awal sampel (g)
7.
Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebanyak 10 gram ditambahkan dengan 50 ml aquades dan dihancurkan dengan waring blender selama 2 menit. Sampel lalu dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml aquades dan ditambahkan dengan 2.5 ml HCl 4 M. Selanjutnya campuran ditambahkan batu didih untuk mencegah terbentuknya buih, kemudian didestilasi pada suhu tinggi hingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit. Destilat diaduk merata dan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi bertutup. Selanjutnya destilat tersebut dicampur merata dengan 5 ml pereaksi TBA dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Blanko dibuat dengan cara yang sama, yakni dengan mencampurkan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi TBA. Setelah itu tabung reaksi didinginkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada λ 528 nm. Bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA =
3 x 7,8 x D Bobot sampel (D = nilai absorbansi sampel – nilai absorbansi blanko)
8.
Uji Kelarutan dan Swelling Power (modifikasi metode Perez et al., 1999) Sebanyak 0,5 gram sampel dilarutkan dengan 50 ml aquades dalam erlenmeyer 250 ml. Campuran tersebut selanjutnya dipanaskan di atas penangas air pada suhu 70 oC selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu.Kemudian sebanyak 30 ml larutan jernih pada suspensi tersebut diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Setelah itu cawan petri dikeringkan dengan oven pada suhu 100 oC hingga diperoleh bobot akhir yang konstan.
51
Kelarutan (%) = (b – a) x 50 ml x 100 % 0.5 g x 30 ml Swelling power (%) =
(d – c) x 100 % Bobot sampel (g) x (100 - % kelarutan)
dengan : a = bobot cawan petri awal/kosong (g) b = bobot cawan petri akhir (g) c = bobot erlenmeyer awal/kosong (g) d = bobot erlenmeyer akhir (g)
9.
Freeze-Thaw Stability (modifikasi metode Perez et al., 1999) Sampel sebanyak 50 mg disuspensikan dalam tabung reaksi berulir yang berisi 5 ml air. Kemudian suspensi tersebut disimpan dalam freezer. Setelah 18 jam, suspensi didiamkan pada suhu kamar selama 6 jam. Selanjutnya sebanyak 2 ml suspensi disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan10000 rpm. Jumlah air yang terpisah diukur dan dinyatakan sebagai % sinerisis atau freeze-thaw stability. Sineresis (%) = ml air yang terpisah x 100 % 2 ml sampel
10. Water Retention Capacity (modifikasi metode Perez et al., 1999) Sebanyak 0,15 gram sampel ditambah dengan 5 ml aquades dan masing-masing dimasukkan ke dalam tujuh buah tabung reaksi. Masingmasing tabung tersebut selanjutnya dipanaskan pada suhu 65, 70, 75, 80, 85, 90, dan 95 oC selama 15 menit. Kemudian sebanyak 4 ml larutan yang telah dipanaskan tersebut, dipindahkan dari ketujuh tabung reaksi ke dalam tujuh buah tabung sentifugasi untuk kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Supernatan kemudian didekantasi lalu volume air yang terpisah diukur. Water retention capacity (%) = (4 ml – volume air yang terpisah) x 100 % 4 ml
52
11. Oil Retention Capacity (modifikasi metode Perez et al., 1999) Sebanyak 0,15 gram sampel ditambah dengan 5 ml minyak makan dan masing-masing dimasukkan ke dalam tujuh buah tabung reaksi. Masingmasing tabung tersebut selanjutnya dipanaskan pada suhu 65, 70, 75, 80, 85, 90, dan 95 oC selama 15 menit. Kemudian sebanyak 4 ml larutan yang telah dipanaskan tersebut, dipindahkan dari ketujuh tabung reaksi ke dalam tujuh buah tabung sentifugasi untuk kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Supernatan kemudian didekantasi lalu volume minyak yang terpisah diukur. Oil retention capacity (%) = (4 ml – volume minyak yang terpisah) x 100 % 4 ml 12. Total Mikroorganisme (SNI 19-2897-1992) Pengujian total mikroorganisme dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroorganisme yang terkandung di dalam suatu bahan. Pengujian ini dilakukan dengan metode total plate count (TPC). Pada uji ini, sampel sebanyak 1 gram diencerkan dengan 9 ml larutan fisiologis sehingga terbentuk pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan kembali dengan memipet 1 ml larutan dan dicampurkan dengan 9 ml larutan garam fisiologis sehingga dihasilkan pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan terus hingga didapatkan pengenceran 10-5. Pada pengenceran 10-4 dan 10-5, masing-masing dipipetkan 1 ml ke cawan petri dan dan dituangkan pada media agar plate count agar (PCA) sebanyak 15 ml hingga menutupi dasar cawan. Selanjutnya cawan diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 2 hari. Seluruh koloni mikroorganisme yang tumbuh pada media dihitung. Proses penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan alat quebec colony counter.
13. Total E. coli (SNI 19-2897-1992) Pengujian total E. coli dilakukan untuk mengetahui adanya cemaran bakteri E. coli yang terdapat pada suatu bahan. Prinsip uji dilakukukan seperti halnya pengujian menggunakan metode total plate count (TPC). Sebanyak 1 gram sampel diencerkan dengan 9 ml larutan fisiologis sehingga terbentuk pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan kembali dengan memipet 1 ml 53
larutan dan dicampurkan dengan 9 ml larutan garam fisiologis sehingga dihasilkan pengenceran 10-2. Selanjutnya sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dituangkan pada cawan petri dan ditambahkan media agar eosine methylene blue (EMB) sebanyak 15 ml hingga menutupi dasar cawan. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 40 oC selama 2 hari. Bakteri E. coli yang tumbuh ditandai dengan terbentuknya koloni bewarna biru metalik. Proses penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan alat quebec colony counter .
14. Pengukuran Kecerahan Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan alat colortech colormeter. Dalam proses pengukuran, sensor alat colortech colormeter ditempelkan pada bahan untuk kemudian dilakukan penyinaran. Nilai L yang terukur menunjukkan tingkat kecerahan. Semakin besar nilai L menunjukkan tingkat kecerahan bahan semakin meningkat.
54
Lampiran 2. Hasil Analisis Water Retention Capacity (WRC) dan Oil Retention Capacity (ORC) Bekatul Segar.
Parameter WRC ORC
65 13.2 27.21
70 15.37 29.14
Suhu (oC) 75 80 15.79 16.66 28.04 28.12
85 18.50 28.70
90 18.01 29.66
95 21.87 31.22
55
Lampiran 3. Hasil Karakterisasi Bekatul Terstabilisasi dengan Metode Pemanasan Basah. 1. Kadar Air (%) Sampel Kukus Autoklaf Rata-rata
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 11.88 9.50 10.69 11.38 9.51 10.44 10.57
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.09 10.50 11.30 11.49 10.87 11.18 11.24
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 14.61 10.75 12.68 12.32 11.39 11.85 12.26
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.36 12.91 12.63 13.29 12.48 12.88 12.76
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.75 13.39 13.07 11.83 12.10 11.97 12.52
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 13.18 13.15 13.16 14.17 14.84 14.50 13.83
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.80 12.77 12.78 13.60 14.42 14.01 13.40
2. Kadar Protein (% bk) Sampel Kukus Autoklaf Rata-rata
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 13.11 13.06 13.09 12.51 11.80 12.15 12.62
3. Kadar Lemak (% bk) Sampel Kukus Autoklaf Rata-rata
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 13.15 13.06 13.10 13.13 15.30 14.22 13.66
56
4. Kadar Abu (% bk) Lama Pengukusan (menit) Sampel 5 10 15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 7.38 7.94 7.66 7.34 7.82 7.58 7.57 7.47 7.52 Autoklaf 7.37 8.18 7.78 7.37 7.25 7.31 7.63 8.00 7.82 Rata-rata 7.72 7.45 7.67 5. Kadar Serat Kasar (% bk) Sampel
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 7.04 7.88 7.46 Autoklaf 7.76 7.79 7.77 Rata-rata 7.62
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 7.25 7.87 7.56 7.71 7.45 7.58 7.57
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 6.50 7.00 6.75 7.22 7.38 7.30 7.03
6. Kadar Karbohidrat (By Difference) (% bk) Lama Pengukusan (menit) Sampel 5 10 15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 47.45 48.56 48.00 47.78 47.75 47.77 45.77 48.62 47.19 Autoklaf 47.86 47.43 47.64 45.98 47.12 46.55 47.40 46.71 47.06 Rata-rata 47.82 47.16 47.13
57
7. Bilangan TBA (mg malanoldehid/kg sampel) Lama Pengukusan (menit) Sampel 5 10 15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 0.365 0.490 0.428 0.235 0.245 0.240 0.420 0.420 0.420 Autoklaf 0.351 0.320 0.335 0.468 0.437 0.452 0.386 0.363 0.374 Rata-rata 0.381 0.333 0.397 8. Kelarutan (%) Sampel Kukus Autoklaf Rata-rata
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 28.64 18.44 23.54 15.00 16.67 15.84 19.69
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 25.67 15.00 20.33 26.65 22.54 24.59 22.46
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 27.33 17.32 22.32 24.37 25.47 24.92 23.62
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 9.14 4.87 7.00 7.69 7.97 7.83 7.41
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 10.84 5.36 8.10 8.94 8.26 8.60 8.35
9. Swelling Power (%) Sampel Kukus Autoklaf Rata-rata
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 7.26 6.63 6.95 6.48 6.76 6.62 6.78
58
10. Freeze-Thaw Stability (%) Sampel
5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 96.28 97.25 96.76 Autoklaf 95.00 97.50 96.25 Rata-rata 96.51
Lama Pengukusan (menit) 10 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 94.50 94.75 94.63 96.75 98.00 97.38 96.00
15 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 96.50 96.50 96.50 96.25 98.75 97.50 97.00
59
Lampiran 4. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Hasil Karakterisasi Bekatul Terstabilisasi dengan Metode Pemanasan Basah. 1. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Air Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat 11.715 0.956 30.048 42.719
Kuadrat Tengah 2 5.857 1 0.956 20 1.502 23 df
F Hitung
F Tabel
3.899 0.636
3.49 4.35
Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel Uji Lanjut Duncan Analisis Kadar Air Lama pengukusan 5 menit 10 menit 15 menit
N
Subset
1 2 8 10.5650 8 11.2350 11.2350 8 12.2638
2. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Protein Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df F Hitung F Tabel Kuadrat Tengah 0.227 2 0.114 0.213 3.49 2.118 1 2.118 3.977 4.35 10.651 20 0.533 12.996 23
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 3. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Lemak Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat 0.772 9.028 7.499 17.299
Kuadrat Tengah 2 0.386 1 9.028 20 0.375 23 df
F Hitung F Tabel 1.029 24.080
3.49 4.35
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
60
4. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Abu Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df F Hitung F Tabel Kuadrat Tengah 0.339 2 0.170 0.915 3.49 0.014 1 0.014 0.076 4.35 3.704 20 0.185 4.057 23
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 5. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Serat Kasar Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah 1.726 2 0.863 0.522 1 0.522 8.137 20 0.407 10.385 23
F Hitung
F Tabel
2.121 1.283
3.49 4.35
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 6. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah 2.479 2 1.240 1.978 1 1.978 35.202 20 1.760 39.659 23
F Hitung
F Tabel
0.704 1.124
3.49 4.35
F Hitung
F Tabel
0.724 0.488
3.49 4.35
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 7. Analisis Ragam (ANOVA) Bilangan TBA Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah df Kuadrat 0.011 2 0.004 1 0.151 20 0.166 23
Kuadrat Tengah 0.005 0.004 0.008
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
61
8. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kelarutan Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df F Hitung F Tabel Kuadrat Tengah 65.436 2 32.718 0.640 3.49 0.476 1 0.476 0.009 4.35 1023.102 20 51.155 1089.014 23
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 9. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Swelling Power Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah 9.996 2 4.998 0.663 1 0.663 82.701 20 4.135 93.36 23
F Hitung
F Tabel
1.209 0.160
3.49 4.35
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 10. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Freeze Thaw Stability Sumber Keragaman Lama pengukusan Pengukusan Galat Total Keterangan :
Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah 4.000 2 2.000 6.988 1 6.988 50.415 20 2.521 61.403 23
F Hitung
F Tabel
0.793 2.772
3.49 4.35
Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
62
Lampiran 5. Hasil Karakterisasi Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Drum Dryer.
1.
Kadar Air (%) Kecepatan Putaran (rpm) 4 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 3.61 3.19 3.40 3.80 3.01 3.41 Autoklaf 2.20 2.39 2.30 3.37 3.07 3.22 Rata-rata 2.85 3.31 Sampel
2.
Kadar Protein (% bk) Sampel
4 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 12.17 12.12 12.14 Autoklaf 12.31 12.33 12.32 Rata-rata 12.23 3.
8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 3.96 3.81 3.88 2.72 3.10 2.91 3.40
Kecepatan Putaran (rpm) 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.42 12.47 12.45 12.41 12.19 12.30 12.37
8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.15 12.47 12.31 12.19 12.29 12.24 12.28
Kecepatan Putaran (rpm) 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 9.81 9.45 9.63 9.31 9.52 9.42 9.52
8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 9.04 9.60 9.32 9.03 9.32 9.17 9.25
Kadar Lemak (% bk) Sampel Kukus Autoklaf Rata-rata
4 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 9.31 9.32 9.31 9.33 9.81 9.57 9.44
63
4.
Kadar Abu (% bk) Kecepatan Putaran (rpm) Sampel 4 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 7.60 7.74 7.67 7.63 7.70 7.67 Autoklaf 7.70 7.71 7.71 7.78 7.78 7.78 Rata-rata 7.69 7.72
5.
8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 7.70 7.83 7.76 7.73 7.65 7.69 7.73
Kadar Serat Kasar (% bk) Kecepatan Putaran (rpm) 4 6 8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 10.68 11.18 10.93 10.52 11.01 10.77 10.68 10.80 10.74 Autoklaf 10.43 10.93 10.68 11.13 10.82 10.97 10.37 10.71 10.54 Rata-rata 10.81 10.87 10.64 Sampel
6.
Kadar Karbohidrat (By Difference) (% bk) Kecepatan Putaran (rpm) Sampel 4 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 56.64 56.45 56.54 55.82 56.36 56.09 Autoklaf 58.02 56.82 57.42 56.00 56.61 56.31 Rata-rata 56.98 56.20
8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 56.48 55.49 55.98 57.96 56.93 57.44 56.71
64
7.
Bilangan TBA (mg malanoldehid/kg sampel) Kecepatan Putaran (rpm) Sampel 4 6 8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 0.537 0.521 0.529 0.631 0.401 0.516 0.531 0.544 0.538 Autoklaf 0.440 0.423 0.431 0.481 0.490 0.486 0.548 0.585 0.566 Rata-rata 0.480 0.501 0.552
8.
Kelarutan (%) Kecepatan Putaran (rpm) 4 6 8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 16.83 23.49 20.16 19.54 22.05 20.80 15.77 16.98 16.38 Autoklaf 18.90 18.09 18.49 18.93 21.76 20.34 20.89 20.00 20.44 Rata-rata 19.33 20.57 18.41 Sampel
9.
Swelling Power (%) Sampel
4 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 11.13 12.90 12.02 Autoklaf 11.43 11.75 11.59 Rata-rata 11.80
Kecepatan Putaran (rpm) 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 12.57 12.17 12.37 11.59 11.84 11.71 12.04
8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 10.72 10.64 10.68 11.41 10.68 11.04 10.86
65
10. Freeze-Thaw Stability (%) Kecepatan Putaran (rpm) Sampel 4 6 8 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Kukus 89.97 91.16 90.56 92.15 92.11 92.13 94.79 94.62 94.70 Autoklaf 94.36 92.69 93.52 95.12 93.33 94.22 93.02 91.63 92.32 Rata-rata 92.04 93.18 93.51 11. Water Retention Capacity (%) Kecepatan putaran 4 rpm
6 rpm 8 rpm
Sampel Autoklaf Kukus Rata-rata Autoklaf Kukus Rata-rata Autoklaf Kukus Rata-rata
65 22.56 20.83 21.70 22.77 22.58 22.68 21.52 20.53 21.02
70 21.91 24.83 23.37 21.95 22.36 22.15 20.86 21.64 21.25
75 21.55 24.65 23.10 23.05 26.31 24.68 23.95 23.93 23.94
Suhu (oC) 80 28.06 24.56 26.31 23.05 24.95 24.00 25.22 25.78 25.50
85 26.24 26.72 26.48 27.73 27.61 27.67 27.66 26.29 26.97
90 25.56 26.00 25.78 27.52 26.08 26.80 27.48 26.31 26.89
95 25.07 26.59 25.83 26.85 24.42 25.64 27.08 25.81 26.44
66
12. Oil Retention Capacity (%) Kecepatan putaran 4 rpm
6 rpm 8 rpm
Sampel Autoklaf Kukus Rata-rata Autoklaf Kukus Rata-rata Autoklaf Kukus Rata-rata
65 29.54 30.51 30.02 32.20 29.13 30.67 30.58 31.20 30.89
70 30.53 28.47 29.50 32.79 29.77 31.28 28.25 25.10 26.67
75 31.02 30.59 30.81 29.86 29.96 29.91 29.78 30.06 29.92
Suhu (oC) 80 29.67 28.52 29.10 30.54 31.54 31.04 29.74 29.37 29.56
85 32.69 31.46 32.07 30.49 31.52 31.01 31.35 31.52 31.43
90 35.38 32.30 33.84 31.97 31.02 31.50 32.19 31.87 32.03
95 34.92 32.07 33.50 33.51 35.92 34.71 30.96 32.06 31.51
67
Lampiran 6. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Hasil Karakterisasi Pengeringan Bekatul Terstabilisasi dengan Drum Dryer. 1.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Air Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
1.396 3.420 2.322 7.138
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 0.698 3.420 0.116
6.011 29.460
3.49 4.35
Keterangan : Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel Uji Lanjut Duncan Analisis Kadar Air Kecepatan putaran N 4 rpm 6 rpm 8 rpm 2.
8 8 8
Subset 1
2
2.8475 3.3113 3.3963
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Protein Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
0.086 0.001 1.003 1.089
Kuadrat Tengah F Hitung 0.043 0.001 0.050
0.854 0.021
F Tabel 3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 3.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Lemak Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
0.328 0.007 1.703 2.038
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 0.164 0.007 0.085
1.927 0.078
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
68
4.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Abu Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
0.008 0.005 0.121 0.134
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 0.004 0.005 0.006
0.620 0.890
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 5.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Serat Kasar Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
0.222 0.036 2.693 2.951
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 0.111 0.036 0.135
0.826 0.268
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 6.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2.540 4.369 9.417
2 1 20
16.353
23
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel
1.270 4.369 0.471
2.697 9.280
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 7.
Analisis Ragam (ANOVA) Bilangan TBA Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
0.022 0.007 0.138 0.167
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 0.011 0.007 0.007
1.595 .954
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
69
8.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kelarutan Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
18.805 2.535 134.048 155.388
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 9.403 2.535 6.702
1.403 0.378
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 9.
Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Swelling Power Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
6.237 0.348 9.542 16.127
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 3.119 0.348 0.477
6.537 0.729
3.49 4.35
Keterangan : Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel Uji Lanjut Duncan Analisis Swelling Power Kecepatan putaran N 8 rpm 4 rpm 6 rpm
8 8 8
Subset 1 2 10.8613 11.8025 12.0425
10. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Freeze Thaw Stability Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat
df
Kecepatan putaran Stabilisasi Galat Total
2 1 20 23
9.474 4.779 63.505 77.758
Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 4.737 4.779 3.175
1.492 1.505
3.49 4.35
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
70
Lampiran 7. Analisis Ragam Hasil Analisis Komposisi Kimia dan Sifat Fungsional Bekatul Kukus Kering dan Autoklaf Kering.
1. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Air Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
2,442 0,415 2,857
1 6 7
2,442 0,069
35,349
5.99
Keterangan : Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel 2. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Protein Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,061 0,012 0,073
1 6 7
0,061 0,002
31,957
5.99
Keterangan : Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel 3. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Lemak Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,130 0,241 0,371
1 6 7
0,130 0,040
3,236
5.99
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 4. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Abu Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,003 0,024 0,028
1 6 7
0,003 0,004
0,789
5.99
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
71
5. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Serat Kasar Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,123 1,003 1,125
1 6 7
0,123 0,167
0,733
5.99
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 6. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,794 0,842 1,635
1 6 7
0,794 0,140
5,660
5.99
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 7. Analisis Ragam (ANOVA) Bilangan TBA Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,019 0,002 0,021
1 6 7
0,019 0,000
54,647
5.99
Keterangan : Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel 8. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Kelarutan Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
5,544 63,153 68,697
1 6 7
5,544 10,525
0,527
5.99
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel
72
9. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Swelling Power Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
0,370 4,384 4,754
1 6 7
0,370 0,731
0,506
5.99
Keterangan : Terima Ho karena Fhitung < Ftabel 10. Analisis Ragam (ANOVA) Analisis Freeze Thaw Stability Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel Antar Group Dalam Group Total
17,523 14,981 32,505
1 6 7
17,523 2,497
7,018
5.99
Keterangan : Tolak Ho karena Fhitung > Ftabel
73
Lampiran 8. Hasil Perubahan Mutu Produk Bekatul Selama Penyimpanan
1. Kadar Air Sampel Ulangan 1 35 C Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 o 45 C Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 o 55 C Ulangan 2 Rata-rata o
0 6.59 6.90 6.74 6.59 6.90 6.74 6.59 6.90 6.74
1 5.95 6.05 6.00 5.80 7.01 6.40 5.75 6.07 5.91
Kadar Air (%) Minggu Ke2 3 4 5 6 6.36 6.85 6.49 6.16 6.48 6.79 6.61 6.87 6.68 6.82 6.58 6.73 6.68 6.42 6.65 6.46 6.61 6.43 6.09 6.17 6.89 7.06 6.88 6.50 6.57 6.68 6.83 6.66 6.29 6.37 6.30 6.31 5.21 4.65 4.65 6.22 6.12 6.38 4.88 5.47 6.26 6.21 5.80 4.76 5.06
7 6.44 6.78 6.61 6.26 6.69 6.48 4.77 4.43 4.60
8 6.10 6.63 6.37 6.06 6.08 6.07 3.62 3.52 3.57
2. Bilangan TBA Sampel Ulangan 1
35 oC Ulangan 2
45 oC
55 oC
Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) Minggu Ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.102 0.137 0.189 0.160 0.179 0.191 0.198 0.215 0.193 0.109 0.119 0.170 0.163 0.174 0.178 0.165 0.187 0.179 0.106 0.128 0.179 0.161 0.177 0.184 0.181 0.201 0.186 0.102 0.139 0.176 0.216 0.232 0.324 0.251 0.237 0.229 0.109 0.135 0.205 0.205 0.222 0.249 0.239 0.239 0.228 0.106 0.137 0.191 0.211 0.227 0.287 0.245 0.238 0.228 0.102 0.153 0.220 0.237 0.226 0.198 0.195 0.204 0.176 0.109 0.157 0.212 0.269 0.225 0.200 0.202 0.183 0.154 0.106 0.155 0.216 0.253 0.225 0.199 0.199 0.194 0.165 74
3. Swelling Power Sampel
0 Ulangan 1 12.02 35 oC Ulangan 2 11.94 Rata-rata 11.98 Ulangan 1 12.02 45 oC Ulangan 2 11.94 Rata-rata 11.98 Ulangan 1 12.02 o 55 C Ulangan 2 11.94 Rata-rata 11.98
1 12.01 12.68 12.34 13.41 12.39 12.90 11.17 11.57 11.37
Swelling Power (% ) Minggu Ke2 3 4 5 6 12.13 12.28 11.35 11.67 11.94 12.02 11.83 11.21 11.98 11.55 12.08 12.05 11.28 11.82 11.75 12.78 13.23 11.59 11.37 11.14 12.55 12.57 11.21 10.77 12.12 12.66 12.90 11.40 11.07 11.63 11.28 11.25 11.31 11.00 10.15 11.47 11.77 11.31 12.95 10.33 11.38 11.51 11.31 11.98 10.24
7 12.20 12.89 12.54 11.24 12.15 11.70 12.11 9.76 10.94
8 11.71 12.15 11.93 11.04 11.63 11.33 11.60 10.14 10.87
4. Kecerahan (L) Sampel 35 oC
45 oC
55 oC
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
0 69.41 70.44 69.93 69.41 70.44 69.93 69.41 70.44 69.93
1 69.44 68.83 69.14 69.27 68.94 69.11 69.81 70.29 70.05
Kecerahan (L) Minggu Ke2 3 4 5 6 69.77 68.95 68.05 69.56 69.30 69.82 69.60 70.25 69.98 69.92 69.79 69.27 69.15 69.77 69.61 69.56 69.44 69.90 69.96 69.57 70.32 69.19 70.53 70.40 69.85 69.94 69.31 70.22 70.18 69.71 69.41 69.09 67.80 69.57 67.52 69.51 69.87 65.69 69.13 69.50 69.46 69.48 66.75 69.35 68.51
7 69.63 70.07 69.85 69.76 70.26 70.01 69.17 68.09 68.63
8 68.65 68.87 68.76 68.60 69.47 69.04 68.42 65.19 66.80
75