PENGENDALIAN KUALITAS PRODUKSI MEBEL DI PT. MAJAWANA DENGAN DIAGRAM KONTROL D2 (MAHALANOBIS DISTANCE) Taufiq Primananda1 , Slamet Mulyono2 , Dedy Dwi Prastyo2 1 Mahasiswa Jurusan Statistika FMIPA-ITS Surabaya (1306100052) e-mail :
[email protected] 2 Dosen Jurusan Statistika FMIPA-ITS Surabaya ABSTRAK Salah satu metode untuk memonitor proses produksi dengan diagram kontrol adalah dengan Statistical Process Control (SPC). SPC biasa dipakai dalam industri manufaktur. Salah satunya adalah dalam perusahaan mebel. Penerapan SPC dalam industri manufaktur dilakukan karena banyak konsumen yang mengutamakan kualitas produk. PT. Majawana adalah salah satu perusahaan mebel terbesar di Jawa Tengah yang selalu berusaha meningkatkan kualitas demi kepuasan pelanggan. Meskipun sudah melakukan perbaikan kualitas, tetap masih ada produk yang cacat karena tidak memenuhi karakteristik kualitas. Dengan memonitor hasil produksi maka akan terlihat bahwa proses itu sudah stabil atau belum. Diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) merupakan salah satu diagram kontrol yang dapat digunakan untuk memonitor ketidaksuaian produksi yang bersifat multiatribut. Dengan menggunakan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance), proses produksi berdasarkan karakteristik kecacatan bulan Juli 2009 sampai Desember 2009 menunjukkan hasil yang belum stabil. Hal ini dikarenakan terdapat 1 pengamatan dari 25 pengamatan atau sebanyak 4 persen pengamatan yang teridentifikasi tidak terkontrol. Kata Kunci : SPC, Multiatribut, Diagram Kontrol D2(Mahalanobis Distance)
1. Pendahuluan Sektor industri merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan di negara Indonesia. Perusahaan mebel adalah salah satu industri yang mengekspor produknya yang akan menghasilkan devisa bagi negara. PT. Majawana adalah salah satu perusahaan mebel terbesar di Jawa Tengah yang selalu berusaha meningkatkan kualitas demi kepuasan pelanggan. Meskipun sudah melakukan perbaikan kualitas, tetap masih ada produk yang cacat karena tidak memenuhi karakteristik kualitas. Dengan memonitor hasil produksi maka akan terlihat bahwa proses itu sudah stabil atau belum. Sehingga dapat diketahui apa saja yang menyebabkan proses itu tidak stabil. PT. Majawana memproduksi berbagai jenis mebel, salah satunya adalah kursi indoor. Kursi indoor adalah produk yang penjualannya paling banyak. Dengan semakin banyaknya permintaan, tentunya perusahaan ingin meminimalisasi kerusakan yang terjadi demi kepuasan pelanggan. Dari situlah
perusahaan perlu memonitor kestabilan proses produksi kursi indoor tersebut terutama pada bagian pewarnaan (finishing), karena pada bagian ini sering terjadi ketidaksuaian. Montgomery (2005) menjelaskan bahwa salah satu metode untuk memonitor proses produksi dengan diagram kontrol adalah dengan Statistical Process Control (SPC). SPC biasa dipakai dalam industri manufaktur. Salah satunya adalah dalam perusahaan mebel. Penerapan SPC dalam industri manufaktur dilakukan karena banyak konsumen yang mengutamakan kualitas produk. Diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) merupakan salah satu diagram kontrol yang dapat digunakan untuk konsep multivariat tetapi dapat digunakan dalam kasus multinomial, yaitu variabel dikategorikan menjadi cacat pertama, cacat kedua sampai cacat yang dimiliki dalam produk tersebut dan sisanya adalah yang baik (Mukhopadhyay, 2008). Mukhopadhyay telah menerapkan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) pada industri
1
manufaktur. Mukhopadhyay (2008) menerapkan metode ini pada studi kasus cacat pengecatan, tetapi hanya melihat pengamatan mana yang terkendali dan tidak, belum sampai pada melihat kestabilan proses berikutnya. Diagram kontrol D2 memperhitungkan berbagai kategori cacat secara mendalam untuk meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi pergeseran. Oleh karena itu, untuk memahami kinerja keseluruhan proses dengan mempertimbangkan semua kategori cacat pada saat yang sama, peta kendali D2 sangat efektif. Ini memungkinkan diagram kontrol D2 diterapkan pada perusahaan mebel. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis stabilitas produksi mebel PT. Majawana dengan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance). Penelitian ini hanya pada bagian Quality Control 2 yang memeriksa cacat finishing kursi indoor dengan karakteristik atribut yang dimiliki di PT. Majawana pada tahun 2009. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan masukan kepada PT. Majawana mengenai stabilitas produksi mebel di perusahaan tersebut yang nantinya dapat digunakan untuk menentukan kebijakan yang tepat dan memperkenalkan kepada PT. Majawana mengenai metode pengontrolan kualitas produk mebel menggunakan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance). 2. Diagram Kontrol Multivariat Atribut Banyak karakteristik kualitas tidak dapat dengan mudah dinyatakan secara numerik karena kualitas pada banyak kasus dapat dilihat secara langsung tanpa melakukan pengukuran secara detail. Dalam hal seperti itu, biasanya tiap obyek yang diperiksa akan diklasifikasikan sebagai obyek yang sesuai dengan spesifikasi pada karakteristik kualitas tersebut (diberi nilai nol) atau obyek tidak sesuai dengan spesifikasi (diberi nilai satu). Karakteristik kualitas seperti ini disebut atribut.(Montgomery, 2005). Batas spesifikasi merupakan batas atau standar yang ditentukan perusahaan. Analisis multivariat adalah metode analisis statistik yang digunakan untuk mengolah data secara serentak dengan banyak variabel (Johnson dan Wichern, 2002). Data multivariat diperoleh dari hasil pengukuran lebih
dari satu karakteristik pada setiap individu dari anggota sampel. Sehingga, jika pemeriksaan obyek secara atribut dilakukan pada lebih dari satu karakteristik kualitas, diagram kontrol yang digunakan adalah diagram kontrol multiatribut (Mukhopadhyay, 2008). 3. Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Jarak Mahalanobis adalah ukuran yang menyatakan jarak nilai setiap kasus dari rata – rata seluruh kasus (Siregar, 2003). Prinsip Mahalanobis Distance adalah menghitung jarak di ruang multidimensional antara sebuah pengamatan dengan pusat dari semua pengamatan (Hair dan Anderson, 1998). Untuk data atribut, diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) dengan konsep menghitung jarak proporsi jumlah ketidaksesuaian sebuah pengamatan terhadap rata-rata proporsi dari seluruh pengamatan untuk setiap variabel (Mukhopadhyay, 2008). Struktur datanya dapat dilihat pada Tabel 1 dan proporsi ketidaksuaian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Struktur Data Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) dengan Jumlah ketidaksesuaian
Pengamatan 1 2 ⋮ r ⋮ m Total
n n1 n2 ⋮ nr ⋮ nm N
X1 n11 n21 ⋮ nr1 ⋮ nm1 n.1
X2 n12 n22 ⋮ nr2 ⋮ nm2 n.2
….. Xk Total ….. n1k n1. ….. n2k n2. ⋮ ⋮ ….. nrk nr. ⋮ ⋮ ….. nmk nm. n.k
Tabel 2 Proporsi ketidaksesuaian
Pengamatan X1 1 2 ⋮ ⋮ r ⋮ ⋮ m ̅
X2
⋮ ⋮ ̅
….. Xk … … ⋮ … ⋮ … ̅
⋮ ⋮
2
dengan : nr = jumlah sampel tiap pengamatan ke – r, r = 1,2,…,m Xk = variabel ke – k nrk = jumlah ketidaksesuaian pengamatan ke - r variabel ke-k = jarak mahalanobis pengamatan ke – r = proporsi ketidaksesuaian pengamatan ke-r variabel ke-k. ̅ = rata-rata proporsi ketidaksesuaian variabel ke-k ̅ =
∑
Misalkan ada m pengamatan dengan k variabel, maka pr T = [pr1 , pr2 , … , prk ] adalah vektor proporsi pengamatan ke – r untuk setiap variabel terhadap jumlah sampel pada pengamatan ke –r (nr) dengan r = 1,2,……,m. pr T~ multinomial dengan parameter r T . pr T adalah proporsi kategori cacat dan kategori tidak cacat, sehingga diperoleh ∑ = 1 dan perhitungan jarak mahalanobis pada multinomial untuk masing – masing pengamatan adalah sebagai berikut = pr − p
dengan :
p
p
∑r
T
∑r
= [pr1 , pr2 , … , prk
= [p , p , … , pk ]T
pr − p
⋯ ⋯ ⋱ ⋯
− ̅ ̅ ⎤ − ̅ ̅ ⎥ ⋯ ⎥ ̅ (1 − ̅ )⎦
Karena ∑ merupakan matriks singular (Rao dan Bhimasankaram, 1992), maka generalized inverse dari matriks ∑ adalah ∑ = diag p
,p
, …, pk
(2)
Sehingga diperoleh matriks ∑r sebagai berikut ∑r = nr ∑
−
= nr diag p
,p
, … , pk
0
⋯
⋮ 0
⋱ ⋯
nr
p2
⋯
0
⎤ 0⎥ ⎥ ⋮⎥ nr ⎥ pk ⎦
Persamaan jarak mahalanobis untuk masingmasing pengamatan adalah nr ⎡p ⎢ 1 ⎢0 = [(pr1 -p1 ) (pr2 -p2 ) ⋯ (prk -pk ) ] ⎢ ⎢⋮ ⎢0 ⎣
0
nr p2 ⋮ 0
⋯ ⋯ ⋱
⋯
0⎤ ⎥ 0⎥ ⎥ ⋮⎥ nr ⎥ pk ⎦
=
k s=1
nr ( rs
s
s)
pr1 -p1 pr2 -p2 ⋮ prk -pk
pr1 − p1⎤ pr2 − p2⎥⎥ ⋮ ⎥ prk − pk ⎥⎦
⎡ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣
n p − pk n p − p1 n pr2 − p2 = r r1 ⋯ r rk p1 p2 pk
r
]T
− ̅ ̅ ̅ (1 − ̅ ) ⋯ ⋯
⎡ ⎢0 =⎢ ⎢⋮ ⎢0 ⎣
(1)
= generalized inverse matriks ∑r ∑r = matriks varian kovarian dari vektor pr dan nilainya sama dengan nr ∑ ̅ (1 − ̅ ) ⎡ ⋯ ∑=⎢ ⋯ ⎢ −p ⎣ 1 pk
nr
p1
(3)
Perhitungan nilai (Mahalanobis Distance) antara dan ̅ adalah sebagai berikut pr,p
= nr (pr − p)T ∑
(pr − p)
(4)
Berdasarkan konsep perhitungan statistik T Hotelling pada penjelasan sebelumnya maka pr , p
~
k-1, nr
2
(5)
Mukhopadhyay (2008) menjelaskan bahwa derajat bebas pertama untuk distribusi multinomial adalah k-1, bukan k, seperti distribusi multinormal karena ∑ = 1. Sedangkan derajat bebas ke dua adalah nr, bukan nr -1, karena ∑r merupakan penaksir tak bias untuk ∑ populasi dengan ukuran sampel sebanyak nr. Batas kontrol untuk diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) dengan tingkat signifikan α adalah sebagai berikut
3
4. Diagram Pareto Diagram pareto merupakan alat pengendalian kualitas statistik untuk melakukan perbaikan kualitas (Montgomery, 2005). Diagram pareto berbentuk histogram frekuensi ketidaksesuaian (cacat) berdasarkan penyebab ketidaksesuaian dan diurutkan mulai dari frekuensi paling besar sampai paling kecil. Variabel yang diutamakan dalam perbaikan proses adalah variabel yang paling banyak menyebabkan proses tidak terkontrol. Berikut ini adalah contoh dari diagram Pareto :
Gambar 1 Diagram Pareto
5. Proses Produksi Secara Umum Proses produksi di PT. Majawana secara umum adalah sebagai berikut. 1. Bahan baku yang berupa kayu gelondongan, terutama kayu mahoni didatangkan dari berbagai daerah. 2. Kayu – kayu tersebut dibelah menjadi bentuk papan sesuai dengan kebutuhan. 3. Lembaran – lambaran papan lalu dimasukkan kedalam oven untuk dikeringkan agar kadar air dalam papan tersebut hilang dan mudah untuk diolah ke proses selanjutnya. 4. Setelah dikeringkan kemudian dibuat komponen – komponen, contohnya kaki meja, lengan kursi dll. 5. Berikutnya masuk ke bagian tukang kayu, apabila ada desain ukirannya
maka terlebih dahulu diukir sebelum dirakit, jika tidak ada maka langsung kebagian perakitan. 6. Masuk ke bagian QC tahap pertama, jika keadaan produk sesuai, maka bisa langsung di amplas dan finishing, jika tidak maka kembali ke tukang kayu. Proses pada QC pertama adalah pemeriksaan dalam perakitan komponen maupun hasil pengukiran apakah sudah sesuai dengan yang ditentukan oleh perusahaan atau belum. Perkakitan komponen yang dimaksud adalah menyambung komponen satu dengan yang lainnya, misalnya mengecek apakah sambungan itu sudah tepat atau belum dan apakah hasil pengukirannya sudah sesuai atau belum. 7. Masuk dibagian amplas untuk dihaluskan dan finishing, yakni dengan cara dicat menggunakan sprayer. Masuk ke bagian QC tahap kedua yakni memeriksa bagian amplas dan finishing. Pada QC kedua adalah pemeriksaan hasil amplas, finishing(pewarnaan) dan pemasangan kain dan busa. Setelah diamplas kemudian dilakukan pengecatan. Menurut pihak perusahaan, pada QC 2 ini lebih banyak terjadi ketidaksuaian dibandingkan dengan QC 1 yakni pada proses pewarnaan. 8. Jika keadaan baik langsung di kemas.
6. Metodologi Penelitian Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder tentang cacat pada produksi kursi indoor mulai Januari 2009 sampai Desember 2009. Pengamatan yang
digunakan sebanyak 50 pengamatan dengan jumlah n sampel dalam setiap pengamatan 100 kursi dan variabel ada sebanyak 6 variabel. Sampel diambil pada 20 produksi pertama tiap hari yang mana ada 5 hari kerja yang kemudian dikumpulkan perminggu.
4
Tabel 3 Struktur Data Diagram Kontrol D2 PT. Majawana(Mahalanobis Distance) pada finishing dengan Jumlah cacat
Pengamatan 1 2 3
X2
n n1 n2 n3
X1 n11 n21 n31
n12 n22 n32
⋮
r
nr
nr1
nr2
⋮
⋮
nm1
nm2
m
nm
50
n50
n50 1
n50 2
Total
N
n.1
n.2
Xk
Total
n1k n2k n3k
n1. n2. n3.
nrk
nr.
nmk
nm.
n50 k
n50 .
n.k
Tabel 4 Struktur Data Diagram Kontrol D2 PT. Majawana(Mahalanobis Distance) pada finishing dengan Proporsi cacat
Pengamatan
X1
X2
Xk
1
p12
2
p11
p1k
r
m
50
p21
p22
pr1
pr2
pm1
pm2
p50 1
p50 2
p
prk
p
p2k
pmk
p50 k
1 2
r
m
50
pk
dengan nr = jumlah sampel tiap pengamatan ke – r, r = 1,2,…,m Xk = variabel ke – k nrk = jumlah ketidaksesuaian pengamatan ke - r variabel ke-k = jarak mahalanobis pengamatan ke – r = proporsi ketidaksesuaian pengamatan ke-r variabel ke-k. ̅ = rata-rata proporsi ketidaksesuaian variabel ke-k ̅ =
∑
Variabel yang digunakan dalam penelitian kali ini merupakan karakteristik kualitas atribut jenis cacat pada bagian finishing produksi kursi indoor, yaitu.
1. Pengamplasan kasar adalah hasil pengamplasan dari barang sebelum di cat terlihat masih ada seperti serabut – serabut kecil dan jika diraba terasa kasar (X1). 2. Popping adalah benjolan-benjolan kecil pada lapisan cat kering yang jika diperhatikan lebih seksama akan kelihatan lubang-lubang kecil di puncaknya (X2). 3. Pin hole merupakan lubang-lubang kecil seperti lubang jarum pada lapisan cat kering (X3). 4. Cratering merupakan salah satu kerusakan pengecatan yang ditandai dengan terjadinya kawah-kawah kecil pada permukaan lapisan cat yang menyebar secara merata pada daerah yang terkena (X4). 5. Orange Peel yaitu permukaan lapisan cat tidak rata dan bergelombang seperti kulit jeruk (X5). 7. Hasil Dan Pembahasan Untuk melihat karakteristik kecacatan kursi Indoor periode produksi Januari 2009 – Desember 2009 digunakan diagram pareto. Pada diagram pareto, dilakukan pengurutan dari jumlah frekuensi tertinggi ke yang paling rendah. Pengurutan dilakukan dari kiri ke kanan dengan frekuensi cacat tertinggi ke cacat paling rendah. Diagram pareto digunakan untuk mengetahui penyebab utama dari kecacatan atau kecacatan yang dominan.
Gambar 5 Diagram Pareto Kecacatan Kursi Indoor
5
Diagram pareto ini didapatkan dengan menjumlahkan seluruh cacat tiap pengamatan dalam tiap variabel. Kemudian diurutkan mulai dari yang paling besar ke paling kecil. Gambar 5 merupakan diagram pareto kecacatan kursi indoor dengan garis horisontal menunjukkan variabel karakteristik kualitas, garis vertikal kiri menunjukan banyaknya kecacatan yang terjadi pada masing-masing variabel dan garis vertikal kanan menunjukkan persentase kecacatan. Jumlah data pada periode Januari 2009 sampai Desember 2009 ada 5000 data dengan rincian total cacat 342 dan sisanya 4658 yang tidak cacat. Data yang digunakan dalam pareto ini hanya data kecacatan yang jumlahnya 342. Diketahui bahwa jumlah kecacatan terbesar adalah variabel amplas kasar dengan persentase sebesar 41,8% atau sebanyak 143 cacat. 143 didapatkan dari penjumlahan seluruh cacat pada tiap pengamatan pada variabel amplas kasar, 80 diperoleh dari penjumlahan seluruh cacat pada tiap pengamatan pada variabel orange peel, begitu juga sampai pada variabel terakhir. Variabel dengan jumlah kecacatan terbesar kedua adalah Orange Peel yaitu sebesar 23.4% atau sebanyak 80 cacat. Dengan keadaan ini diharapkan perusahaan bisa meminimalisasi tingkat kecacatan pada periode berikutnya dengan memprioritaskan pengecekan pada bagian pengamplasan karena frekuensi amplas kasar paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Penerapan Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Pada penelitian kali ini, penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) dilakukan pada fase I dan fase II. Montgomery (2005) menjelaskan bahwa penerapan diagram kontrol fase I dilakukan pada data sampel hasil proses produksi periode sekarang dan periode sebelumnya untuk memperoleh taksiran parameter. Oleh karena itu, penerapan diagram kontrol fase I dilakukan sampai menunjukkan keadaan proses terkendali . Sedangkan Penerapan diagram kontrol fase II dilakukan untuk pengontrolan proses produksi pada periode berikutnya dengan menggunakan taksiran parameter yang telah diperoleh pada fase I. Jika pada fase II ada pengamatan tidak terkendali maka dikatakan proses pada periode
berikutnya belum stabil. Apabila sudah terkendali maka dikatakan proses telah stabil. Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Fase I Penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) pada fase I menggunakan data cacat produksi pada bulan Januari 2009 sampai dengan Juni 2009. Sesuai dengan konsep perhitungan nilai jarak dalam diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) yang telah dijelaskan pada bab metodologi penelitian, diperoleh diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) seperti pada Gambar 6. Diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase I menggunakan = 0,05 dan BKA=
100 6-1
(100 6+2)
F6-1, 100
6+2; 0,05
dengan nr
merupakan jumlah sampel masing-masing pengamatan dan k adalah jumlah variabel yang digunakan dan item yang tidak cacat, yaitu enam. Nilai BKA yang ditunjukkan pada Gambar 4 adalah 12,02709 dan BKB adalah 0. Dengan nilai BKA dan BKB tersebut, terlihat pada Gambar 6 ada pengamatan yang diluar batas kendali, yaitu pengamatan 20 14 12
BKA
10 8 Nilai D2
6 4 2 0
BKB
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 Gambar 6 Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Fase I iterasi I Tabel 4 Pengamatan out of control Fase II
Pengamatan ke -
Nilai D2
BKA
20 12,1352637 12,02709 Penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) pada fase I dilakukan untuk memperoleh taksiran parameter, maka pengamatan yang ditunjukkan dalam diagram kontrol harus dalam keadaan terkontrol . Untuk memperoleh keadaan pengamatan yang
6
terkontrol, maka pengamatan - pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol dihilangkan pada proses iterasi selanjutnya. Hal ini dilakukan secara iteratif sampai tidak terdapat pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol atau telah terkontrol. Untuk menghasilkan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) yang menggambarkan keadaan observasi telah terkontrol, dibutuhkan dua kali iterasi. Berdasarkan Gambar 7, dilakukan iterasi I yaitu pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol dalam hal ini pengamatan 20 dihilangkan. Dari hasil iterasi I, dilakukan pengontrolan kembali dengan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) dan ternyata sudah tidak ditemukan pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol atau proses telah terkontrol. 14 12
BKA
10 8 Nilai D2
6 4 2 0
BKB
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 Gambar 7 Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Fase I iterasi II
Setelah keadaan pengamatan pada fase I telah terkontrol, diperoleh taksiran parameter. Tabel 5 Nilai Taksiran Parameter
terjadi karena variabel amplas kasar dapat mempengaruhi semua variabel lainnya dan juga mempunyai jumlah cacat paling besar. Nilai taksiran parameter yang diperoleh pada penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase I tersebut, untuk selanjutnya digunakan dalam perhitungan nilai jarak pada diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase II. Sehingga pada penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase II tidak perlu dihitung rata-rata proporsi kecacatan pada masing-masing variabel. Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Fase II Data yang digunakan dalam penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase II adalah data kecacatan bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009. Oleh karena nilai taksiran parameter sudah diperoleh pada penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase I, maka pada fase II digunakan BKA = (Montgomery, 2005). (k, ) Sedangkan untuk perhitungan jarak Mahalanobis fase II, rata-rata taksiran proporsi untuk tiap variabel menggunakan nilai taksiran parameter yang telah diperoleh pada fase I. Sehingga, pada fase II tidak perlu menghitung rata-rata taksiran proporsi untuk tiap variabel. Dengan = 0,05 dan k adalah jumlah variabel yang digunakan dan item yang tidak cacat yaitu enam, diperoleh nilai BKA pada diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase II sebesar 12,591 dan BKB adalah 0. Dengan nilai BKA dan BKB tersebut, hasil penerapan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase II ditunjukkan pada Gambar 8 berikut.
Taksiran proporsi yang terkendali
Nilai
P
0,027917
P
0,008333
P
0,005
15
P
0,015417
10
P
0,005417
20
BKA
0,937917 P Tabel 5 menunjukkan taksiran parameter yang merupakan hasil rata-rata proporsi ketidaksesuaian pada masing-masing variabel. Rata-rata proporsi ketidaksesuaian terbesar yaitu pada variabel amplas kasar. Hal ini dapat terjadi
5
Nilai D
0
BKB
2
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Gambar 8 Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) Fase II
7
Tabel 6 Pengamatan out of control Fase II 2
Pengamatan ke -
Nilai D
BKA
16
16,48862
12,59159
Berdasarkan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) fase II, secara grafik terlihat bahwa terdapat pengamatan tidak terkontrol karena memiliki nilai D2 yang lebih besar dari BKA. Yakni terdapat 1 pengamatan dari 25 pengamatan tidak terkendali atau sebanyak 4% pengamatan tidak terkontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas finishing berdasarkan data kecacatan kurang stabil. 8. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan yang sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Dengan menggunakan diagram kontrol D2 (Mahalanobis Distance) melalui fase I dan fase II, yang mana fase I menggunakan periode Januari 2009 – Juni 2009 dan didapatkan taksiran parameter proporsi yang akan diterapkan pada fase II. Dengan melihat fase II yang menggunakan periode Juli 2009 – Desember 2009 , proses produksi kursi indoor PT. Majawana berdasarkan karakteristik kecacatan belum stabil. Ini dikarenakan ada 1 pengamatan dari 25 pengamatan atau 4 persen pengamatan diketahui tidak terkendali. Pada penelitian ini hanya diteliti apakah proses pada periode selanjutnya itu sudah stabil atau belum. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya diteliti faktor – faktor apa saja yang menyebabkan ketidaksuaian/kecacatan pada proses finishing. Dalam penerapan diagram kontrol D2, data diasumsikan tidak ada korelasi.
Montgomery, D. C. 2005. Introduction to Statistical Quality Control Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons, inc. Mukhopadhyay,A.R. Attribute
2008.
Control
Multivariate Chart
Using
Mahalanobis D2 Statistic. Journal of Applied Statistics,Vol.35, No.4, 421-429. Rao, A.R. and Bhimasankaram, P. 1992. Linear Algebra, New Delhi:. McGraw Hill Siregar, S. L. 2003. Korelasi Kanonikal. URL : www.google.com (diakses tanggal 26 Mei 2010).
Hair, J. F. and Anderson, R.E. 1998.Multivariate Data Analysis, 5th. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Johnson,A.R. and Wichern,D.W.2002. Applied Multivariate Statistical Analysis 5th .New Jersey : Prentice Hall, Inc. Marizar, E. S. 2005. Designing Furniture. Media Pressindo : Yogyakarta.
8