13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No.44 Th.2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah sakit juga dapat dikatakan sebagai sebuah tempat produksi yang melakukan proses secara sistematis, komplek, dengan proses yang rumit dan berada pada lingkungan yang selalu berubah. Sebagai organisasi yang menghasilkan jasa dari pelayanan dan barang barang kesehatan tentunya dapat memanfaatkan ilmu ekonomi agar mencapai pelayanan yang efisien, dengan menjadikan aktivitas sosial di rumah sakit sebagai aktivitas ekonomi yang dapat memberikan suatu potensi income bagi rumah sakit supaya dapat memotivasi penyelenggaraan kegiatan pelayanan yang lebih optimal (Trisnantoro, 2004). Dalam perkembangannya, rumah sakit telah berubah dari suatu lembaga kemanusiaan dan sosial murni menjadi suatu lembaga yang lebih berorientasi kepada bisnis, terlebih setelah para pemodal diperbolehkan mendirikan rumah sakit dibawah badan hukum dengan tujuan profit, untuk itu manajemen rumah sakit perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru guna menyikapi gejala gejala perubahan di lingkungan rumah sakit apa saja yang dapat membantu peningkatan income rumah sakit, selama tidak melanggar kode etika dan menghindari komersialisasi (Bastian, 2008). Dalam upaya meningkatkan pendapatannya rumah sakit juga tergantung pada perkembangan teknologi kedokteran, salah satunya adalah obat yang dihasilkan oleh industri farmasi (Trisnantoro, 2005). Obat-obatan sebagai suatu sumber daya penting dalam perawatan pasien, harus dikelola secara efektif dan efisien, dimana
14
pengendalian dan pengawasan seluruh obat di rumah sakit berada dibawah tanggung jawab instalasi farmasi rumah sakit (JCI, 2011). Penyediaan obat-obat di rumah sakit ini merupakan bagian dari alur manajemen obat
dimulai dari
penulisan resep dan berakhir dengan pemberian obat kepada pasien. IFRS bertanggungjawab terhadap penyediaan obat di rumah sakit baik dari segi kualitas obat sampai dengan pemberian informasi yang jelas kepada pasien tentang penggunaan obat serta efek sampingnya (Stephens, 2011). Isu mengenai obat-obatan ini menjadi sangat penting menurut Hawkins et al. (2007), karena obat menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kesehatan, jadi masalah pengobatan harus memiliki suatu sistem yang bisa di akses oleh semua segmen masyarakat. Selanjutnya, obat merupakan pengeluaran tertinggi setelah gaji pegawai, di beberapa negara hal-hal yang berhubungan dengan pengeluaran kesehatan mencapai 80%. Di negara berkembang obat bisa mewakili 25 sampai 50% dari total pengeluaran kesehatan masyarakat umum dan swasta. Ketiga, beberapa penelitian menemukan bahwa banyak pengeluaran obat yang tidak efisien, yang sebenarnya bisa disimpan menjadi dana atau investasi. Dengan semakin berkembangnya jenis penyakit yang diderita oleh pasien maka jenis obat baru akan tumbuh ditambah adanya kenaikan biaya obat-obatan maka pertumbuhan pendapatan dari banyaknya resep bisa meningkat (penelitian di Inggris antara tahun 2001 dan 2007 kenaikan biaya resep mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan pemasukan dari perawatan primer rutin yang hanya 50%), asumsikan saja bila 90% pasien mengambil kebutuhan obatnya di rumah sakit, maka peningkatan sumber pendapatan utama rumah sakit bisa didapatkan dari instalasi farmasi (Fitzpatrick, 2011). Instalasi farmasi merupakan salah satu revenue center utama mengingat lebih dari 90% pelayanan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi, dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi (Yusmainita, 2002),
sehingga tidak mengherankan apabila instalasi farmasi
sering mendapat prioritas tinggi dalam pengelolaan manajemen rumah sakit (Roberts, 2011).
15
Pelayanan instalasi farmasi rumah sakit meliputi semua unit yang terdapat di rumah sakit diantaranya unit rawat jalan dan rawat inap, dimana keduanya memiliki alur pelayanan resep yang berbeda dengan pola asuh kefarmasian yang berbeda pula. Pasien rawat jalan berbeda dengan pasien rawat inap, dimana tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat tidak bisa dikontrol dan juga tidak semua resep dibeli dari instalasi rumah sakit, sehingga tidak bisa dipastikan kebenaran dan keamanannya. Disamping obat-obat yang ditulis pada resep, ada kemungkinan pasien juga menggunakan obat lain yang dibeli dari apotek luar, toko obat, atau didapat dari keluarganya (Siregar & Amalia, 2004). Melihat peningkatan jumlah kunjungan yang cukup tinggi, pasien rawat jalan merupakan salah satu sumber potensi pemasukan bagi rumah sakit, karena pada saat ini ada perubahan pemahaman dari pelayanan pasien inap ke pasien rawat jalan dan kemajuan teknologi yang pesat telah memfokuskan fasilitas yang ada sekarang untuk merencanakan kegiatan pengembangan penunjang medis dan pusat-pusat pelayanan pasien rawat jalan mandiri (Bastian, 2008). Dari
kondisi
dan
pernyataan-pernyataan
diatas
disimpulkan
bahwa
pengelolaan instalasi farmasi rumah sakit bisa meningkatkan pendapatan rumah sakit, bila dikelola dengan baik dengan adanya kesadaran dari semua pihak baik manajemen rumah sakit dan tim farmasi akan pentingnya mengambil peluang yang ada, salah satunya adalah pengelolaan resep dari pasien rawat jalan (Rossignol, 2005). Sebagai sebuah Rumah Sakit Umum Daerah, RSUD Sekarwangi yang mulanya murni sebagai rumah sakit yang bernaung dan melakukan aktifitasnya dibawah pengawasan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, mempunyai visi dan misi memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat Kabupaten Sukabumi, tetapi dengan statusnya sekarang sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) mulai melakukan kegiatannya secara mandiri dan mempunyai strategi ke arah peningkatan pendapatan yang dikelola sendiri (Sekarwangi, 2013). RSUD Sekarwangi sampai saat ini masih termasuk kedalam klasifikasi sebagai rumah sakit kelas C, berdiri di atas lahan seluas 5 Ha dengan luas
16
bangunan 6580 meter persegi dengan fasilitas pelayanan unit gawat darurat 24 jam, pelayanan rawat inap dengan 173 tempat tidur meliputi kategori VIP, Kls I, Kls II, kls III, High Care unit (HCU) dan ruang isolasi dengan Bed Occupancy Rate (BOR) 80%, Lenght of Stay (LOS) 3-4 hari, pelayanan rawat jalan dengan 14 poliklinik terdiri atas poliklinik umum, poliklinik gigi dan mulut, poliklinik konsultasi gizi, poliklinik fisioterapi dan 10 poliklinik spesialis, 8 unit penunjang medis dan non medis, dilengkapi 1 area perkantoran. Di bawah ini adalah gambaran mengenai kunjungan pasien ke RSUD Sekarwangi.
Tabel 1. Kunjungan Pasien Rawat jalan dan Rawat Inap RSUD Sekarwangi Tahun 2008 s.d tahun 2012 Rawat Jalan Kategori
TAHUN
Umum Askes Jamsostek Perusahaan Jamkesmas Jamkesda
2008 27510 8675 1539 0 10102 451
2009 30192 9099 1246 1098 11210 526
2010 31863 10487 1363 2143 9200 5101
2011 30375 10536 1474 2966 10306 5956
2012 26200 9486 1147 2329 10826 8933
TOTAL
50786
55555
58430
61973
59460
Rawat Inap Kategori
TAHUN
Umum Askes Jamsostek Perusahaan Jamkesmas
2008 7487 848 140 13 4969
2009 5493 790 189 0 8044
2010 5959 952 0 349 3949
2011 5305 1025 0 474 2444
2012 4110 1195 0 595 1772
Jamkesda
0
0
7455
3533
11209
13457
14516
18864
12781
18285
TOTAL
Sumber: Instalasi Rekam Medik RSUD Sekarwangi tahun 2013
17
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap ke RSUD Sekarwangi cenderung meningkat terutama adanya kenaikan yang sangat signifikan dari tahun 2009 ke tahun 2010, meskipun di tahun 2012 mengalami sedikit penurunan. Bila dilihat dalam grafik perkembangannya adalah sebagai berikut: 180000 160000
Jumlah Pasien
140000 120000 100000
Total
80000
Rawat Inap
60000
Rawat Jalan
40000 20000 0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
sumber: Rekam medik RSUD Sekarwangi th. 2012
Gambar 1. Perkembangan kunjungan pasien ke RSUD Sekarwangi Th.2008 s.d 2012
Pada tahun 2009 tepatnya pada tanggal 31 Desember 2009 RSUD Sekarwangi telah ditetapkan menjadi PPK BLUD melalui Keputusan Bupati Sukabumi nomor 900 / Kep. 789-RSUD Sekarwangi / 2009 tentang Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK – BLUD) secara penuh pada Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi Kabupaten Sukabumi dan memiliki wewenang dalam hal pengelolaan keuangan, meliputi pendapatan, mobilitas dana, perbendaharaan, verifikasi dan akuntansi. Sebagai rumah sakit yang sudah menjadi BLUD, tentunya RSUD Sekarwangi memiliki orientasi yang mulai berubah kearah pencapaian pendapatan yang lebih meningkat bahkan mencari
18
keuntungan dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Dari observasi awal didapatkan data mengenai kondisi pendapatan RSUD Sekarwangi sebagai berikut:
Tabel 2. Pendapatan RSUD Sekarwangi Bulan Januari s.d Juni Tahun 2013 Jenis /asal pendapatan
Target pencapaian tahun 2013
Sampai bulan mei 2013
Pendapatan bulan juni 2013
Pencapaian s/d bulan juni 2013
%
Pasien Umum IGD
794.000.000
305.405.707
74.400.300
379.806.007
47,83
Rawat Inap
2.879.000.000
1.129286.725
263.440.905
1.392.727.630
48,38
Rawat jalan
980.000.000
422.287.087
57.789.200
480.076.287
48,99
Operasi
550.000.000
216.045.700
36.550.400
252.596.100
45,93
Anaestesi
105.000.000
44.032.850
7.659.900
51.692.750
49,23
EKG
75.000.000
28.580.900
5.770.000
34.350.900
45,80
USG
50.000.000
19.277.000
3.628.000
22.905.000
45,81
Fisioterapi
27.000.000
11.156.500
2.408.750
13.565.250
50,24
Konsul Gizi
1.500.000
657.000
94.000
751.000
50,07
Laboratorium
790.000.000
309.769.521
67.752.802
377.522.323
47,79
Rontgen
120.000.000
37.258.050
8.855.500
46.113.550
38,43
Farmasi
2.600.000.000
1.131.889.499
334.946.208
1.466.835.707
56,42
Ambulan
230.000.000
93.506.100
5.988.000
99.494.100
43,26
Cost sharing
855.000.000
325.993.582
62.407.821
388.401.403
45,43
10.000.000.000
5.004.462.944
0
5.004.462.944
50.04
8.000.000.000
3.940.013.796
646.894.536
4.586.908.332
57.34
5.250.000
20.809.417
0
20.809.417
396.37
Perusahaan
2.497.750.000
833.969.138
136.078.656
970.047.794
38.84
Askes sosial
1.340.000.000
562.612.000
82.281.500
644.893.500
48.13
17.5000.000
5.583.716
0
5.583.716
31.91
9.000.000
3.750.000
1.250.000
5.000.000
55.56
Parkir
18.000.000
7.500.000
1.500.000
9.000.000
50.00
Limbah
6.000.000
2.045.500
330.500
2.376.000
39.60
45.000.000
17.071.217
5.712.209
22.783.426
49.33
32.000.000.000
14.472.983.949
1.805.739.187
16.278.702.136
50.87
Pasien Jaminan Jamkesmas Jamkesda Jamkesda Bogor
Askes komersial Lain-lain Sewa tempat
Jasa Giro
Jumlah
Sumber: Laporan Bagian Keuangan RSUD Sekarwangi januari s.d Juni Tahun 2013
19
Dari tabel 2 diketahui jumlah pendapatan RSUD Sekarwangi sampai triwulan kedua belum mencapai target yang diharapkan, tetapi dapat dilihat bahwa instalasi farmasi menempati urutan pertama sebagai sumber pemasukan pendapatan RSUD Sekarwangi, belum termasuk pemakaian bahan habis pakai di kamar operasi, anestesi, instalasi rawat inap dan instalasi gawat darurat. Karena itu sudah sepantasnya pihak manajemen rumah sakit untuk menyoroti instalasi farmasi dan menjadikan prioritas utama untuk dilakukan pembenahan dalam upaya pencapaian target pendapatan. Mulai tahun 2010 pengadaan perbekalan farmasi untuk obat, bahan habis pakai dan alat kesehatan di instalasi farmasi dilakukan sesuai dengan keputusan Bupati Sukabumi No. 900/kep.789-RSUD Sekarwangi/2009 pasal 39 tentang pengadaan barang atau jasa yang dananya bersumber dari jasa layanan/operasional RSUD Sekarwangi. Instalasi Farmasi RSUD Sekarwangi memberikan pelayanan kepada seluruh pasien yang berkunjung ke RSUD Sekarwangi baik itu pasien umum, askes, jamkesmas, jamkesda, jamsostek dan jampersal. Dalam kegiatan operasionalnya, Instalasi Farmasi RSUD Sekarwangi melaksanakan kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan pendistribusian obat, alat kesehatan medis dan bahan habis pakai baik kepada pasien maupun petugas rumah sakit. Produk yang disediakan oleh Instalasi Farmasi RSUD Sekarwangi meliputi bahan habis pakai alat kesehatan, bahan habis pakai obat, obat generik, obat paten, gas medis, Pharmacy home care, konseling obat, dan pelayanan Informasi obat (Sekarwangi, 2013). Sampai dengan bulan Agustus 2012 sumber daya manusia di IFRS RSUD Sekarwangi sejumlah 18 orang, dipimpin oleh seorang apoteker sebagai kepala instalasi, dibantu oleh satu orang apoteker yang bertanggung jawab di bagian gudang dan distribusi obat. Pembagian tugas lainnya adalah gudang farmasi 2 orang, depo umum 5 orang, depo jamkes dan askes 3 orang, bagian produksi 1 orang, distribusi gas medis 1 orang, depo ponek 1 orang, depo UGD 4 orang. Jumlah ini dirasa masih kurang, khusus untuk depo rawat jalan dan sekaligus depo umum dengan jumlah tenaga 5 orang harus dibagi 2 shift tentunya harus ditambah
20
terutama untuk shift pagi dimana pada shift pagi jumlah pasien yang berkunjung ke IFRS tentunya lebih banyak dibandingkan shift sore (Roberts, 2011). Berikut adalah laporan data resep yang masuk ke Instalasi Farmasi RSUD Sekarwangi.
Tabel 3. Jumlah Resep Masuk ke IFRS Rawat jalan dan Rawat Inap Tahun 2008 s.d 2012 Tahun Segmen Pasar Umum
2008
2009
2010
2011
2012
66648
28713
39031
17275
21165
Askes sosial
3872
5540
4776
5204
1258
Perusahaan
1590
1851
3484
4590
2784
Jamsostek
726
901
1241
1509
954
Jamkesmas
0
31118
20824
30828
30131
Jamkesda
26450
13784
29760
37186
26995
Total
99286
81887
99782
96591
83287
Sumber: Renstra IFRS tahun 2013 dan Rekam Medik RSUD Sekarwangi tahun 2013
Data pada tabel 3 menjelaskan tentang jumlah resep yang masuk ke instalasi farmasi berdasarkan jenis pasien. Pasien umum adalah pasien yang membayar tunai, pasien perusahaan adalah semua karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bekerjasama dengan RSUD Sekarwangi dalam hal pelayanan konsultasi dan pengobatan, pasien jamsostek adalah pasien yang terdaftar yang memiliki kartu jamsostek. Pasien jamkesmas adalah pasien yang memiliki kartu berobat jaminan kesehatan masyarakat. Pasien jamkesda adalah pasien yang membawa surat keterangan sebagai pasien miskin yang di tanggung oleh pemerintah daerah, dan pasien askes sosial adalah seluruh pasien yang memiliki kartu Askes. Dari tabel diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah dalam 5 tahun terakhir trend kunjungan resep pasien umum mengalami penurunan namun dengan bergantinya
21
manajemen pada tahun 2012, data pada tahun tersebut mengalami kenaikan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Tabel 4. Jumlah Resep Pasien Umum ke IFRS th 2008-2012 Instalasi
2008
2009
2010
2011
2012
Rawat Jalan
26947
13889
9862
4745
9532
Rawat Inap
39701
14824
29815
12530
11633
Jumlah
66648
28713
39031
17275
21165
Sumber; Renstra IFRS 2013 dan laporan rekam medik 2013
Data pada tabel 4 memperlihatkan adanya penurunan resep dari pasien dengan kategori umum atau tunai yang masuk ke IFRS Sekarwangi. Cukup besarnya penurunan jumlah resep umum yang masuk dari pasien rawat jalan tentunya berpengaruh terhadap hilangnya pendapatan yang seharusnya diterima oleh rumah sakit. Indikasi masih banyaknya resep yang keluar dari IFRS harus dicari faktor-faktor penyebab baik dari sisi internal ataupun eksternal. Faktor internal tentunya dilihat dari sisi manajemen IFRS, sedangkan faktor eksternal dilihat dari sisi pasien sebagai pengguna IFRS dan faktor lingkungan sekitar rumah sakit. Dari pengamatan yang dilakukan sebelumnya, kondisi IFRS RSUD Sekarwangi yang ada sekarang ini sudah dirancang untuk mencapai tujuan peningkatan pendapatan IFRS, melalui target pencapaian 100% resep masuk ke instalasi farmasi dengan cara menempatkan lokasi depo farmasi rawat jalan dekat dengan alur keluar pasien poli dan menempatkan 3 orang petugas untuk shift pagi. Akan tetapi bila kita melihat data-data yang ada, hasilnya belum maksimal. Terlihat dari tabel dibawah ini adanya kesenjangan dari jumlah resep yang masuk bila dibandingkan dengan jumlah kunjungan masih terdapat rentang yang mencolok.
22
Tabel 5. Selisih Jumlah Kunjungan Pasien Umum dengan Resep yang Masuk ke IFRS dari Instalasi Rawat Jalan Tahun 2008 s.d 2012 Tahun
Jumlah kunjungan rawat jalan pasien umum
Jumlah resep tunai rawat jalan yang dilayani IFRS
Selisih
% resep umum yang keluar
2008
27510
26947
563
2%
2009
30192
13889
16303
53%
2010
31863
9862
22001
69%
2011
30375
4745
25630
84%
2012
26200
9532
16668
63%
Sumber: Renstra IFRS RSUD Sekarwangi tahun 2013
Tabel diatas dibuat dengan asumsi semua pasien mendapatkan resep dan setiap pasien mendapatkan satu lembar resep, maka terlihat dari tabel diatas selama 5 tahun terakhir peningkatan jumlah resep umum yang keluar dari IFRS sangat signifikan. Dimana kondisi ini akan mempengaruhi pendapatan dan laba yang seharusnya diperoleh IFRS, karena pendapatan IFRS tentunya didapat dari pemasukan resep. Dari seluruh pengamatan diatas didapat gambaran bahwa jumlah kunjungan pasien rawat jalan ke RSUD Sekarwangi cukup tinggi, tetapi pada kenyataannya di RSUD Sekarwangi tidak semua resep dilayani oleh instalasi farmasi, terutama untuk resep dari pasien umum. Situasi ini merupakan suatu permasalahan karena bisa mengakibatkan turunnya pendapatan instalasi farmasi. Banyaknya jumlah resep yang keluar merupakan indikasi terdapat banyak faktor penyebab hilangnya potensi pendapatan bagi Instalasi Farmasi RSUD Sekarwangi selain yang sudah dijabarkan diatas yang apabila di analisis, rumah sakit bisa mengetahui secara pasti dan segera melakukan perbaikan sehingga bisa menjadikan instalasi farmasi khususnya di bagian rawat jalan, sebagai sumber pendapatan yang cukup besar bagi rumah sakit. Kondisi ini sebetulnya sudah terjadi dari tahun ke tahun tanpa ada monitoring, evaluasi dan perbaikan dari pihak manajemen rumah sakit. Keadaan ini seharusnya menjadi sorotan bagi pihak manajemen RSUD Sekarwangi karena jika pelayanan dalam pendistribusian
23
obat di instalasi farmasi tidak dikelola secara cermat dan penuh tanggung jawab maka dapat diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit dari obat dan bahan habis pakai tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan di beberapa rumah sakit, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan resep pasien rawat inap, presentase resep pasien rawat jalan yang keluar dari instalasi farmasi rumah sakit masih cukup tinggi, dengan berbagai macam faktor penyebab yang cukup bervariasi. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan bisa dilihat banyaknya pendapatan instalasi farmasi yang keluar terjadi karena faktor internal dan eksternal misalnya adanya keberadaan apotek lain di wilayah kerja rumah sakit atau bahkan didalam lingkungan rumah sakit, dan yang paling banyak disoroti adalah buruknya pelayanan apotek rawat jalan baik dari segi manajemen obat ataupun sistem marketing kepada pasien (Edi, 2003). Kondisi ini bila dibiarkan dan tidak dilakukan perbaikan akan mempengaruhi rumah sakit dari segi citra rumah sakit sebagai pusat pelayanan yang bermutu dan mudah dijangkau oleh pasien akan menurun sehingga berakibat salah satunya adanya penurunan yang berkelanjutan dari kunjungan pasien ke rumah sakit sehingga akan mempengaruhi pendapatan rumah sakit. Dari sisi kepentingan pasien, bila pelayanan yang diterima buruk atau tidak memuaskan, pasien cenderung akan mencari alternatif lain yang keamanan dari kualitas dan fungsi obatnya tidak bisa dijamin, dimana situasi ini akan merugikan pasiennya sendiri (Youngberg, 2011). Demikian juga dari segi pendapatan yang tidak masuk, tentunya bila kondisi ini berlarut-larut dan tidak segera dihitung berapa besarnya, rumah sakit tidak bisa mengetahui secara pasti berapa besar jumlah rupiah resep yang keluar dari IFRS yang sebetulnya bila diketahui dan bisa segera diantisipasi, rumah sakit tidak bisa memperkirakan kerugian akibat besarnya nilai rupiah yang keluar dari IFRS. Padahal besarnya nilai rupiah resep yang keluar bisa menjadi sumber keuangan untuk operasional rumah sakit agar bisa lebih berkembang dan juga meningkatkan kesejahteran karyawan rumah sakit yang bisa meningkatkan kinerja karyawan
24
dengan hasil akhir sebuah rumah sakit yang memiliki citra baik dimata karyawan dan masyarakat (Rahajeng et al., 2010). Untuk itu dirasa perlu dilakukan penelitian yang lebih bersifat eksploratif mengenai faktor penyebab permasalahan diatas sehingga ke depannya rumah sakit dapat melakukan perbaikan, monitoring dan pelayanan yang paripurna terhadap IFRS untuk meningkatkan kualitas rumah sakit sebagai institusi pelayanan yang paripurna, meskipun memiliki tujuan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan rumah sakit tetapi tetap bersifat patient oriented (Siregar & Amalia, 2004).
B. Perumusan Masalah Dari semua penjelasan dan data yang ada, didapatkan permasalahan bahwa selama lima tahun terakhir mulai tahun 2008 sampai 2012 dan diprediksi sampai saat ini di instalasi farmasi RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi, masih banyak pasien umum rawat jalan yang membeli resep di luar instalasi farmasi, terlihat dari tingginya presentase selisih antara jumlah kunjungan dengan jumlah resep yang dilayani di instalasi farmasi. Tetapi pihak IFRS belum pernah menghitung secara komprehensif, berapa besarnya nilai resep yang keluar dari instalasi farmasi, dan apa yang menjadi penyebab resep keluar ini pun belum diketahui secara mendalam dari sisi eksternal pasien. Dimana seharusnya resep yang keluar ini bisa merupakan salah satu sumber pemasukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan jumlah pendapatan.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan kajian potensi pendapatan yang hilang akibat resep pasien umum yang keluar dari instalasi farmasi. Tujuan ini dibagi atas beberapa sub tujuan sebagai berikut: 1. Kajian nilai rupiah yang hilang serta persentase jumlah resep pasien umum rawat jalan yang keluar dari Apotek RSUD Sekarwangi. 2. Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resep keluar dari instalasi farmasi rumah sakit, dari sisi persepsi 7P pasien terhadap pelayanan IFRS.
25
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi pihak instalasi farmasi, untuk bisa melakukan evaluasi manajemen pelayanan obat yang lebih berkualitas. 2. Sebagai masukan bagi pihak manajemen rumah sakit sebagai upaya pengembangan sistem pelayanan resep yang lebih efektif dan efisien, terutama untuk resep pasien umum agar bisa melihat potensi yang ada dan menekan jumlah resep yang keluar dari instalasi farmasi rumah sakit 3. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RSUD Sekarwangi sebagai BLUD, dan melalui dinas terkait intervensi apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk perbaikan dari permasalahan yang ada. 4. Bagi peneliti dalam rangka penerapan teori manajemen dan ilmu yang sudah didapatkan untuk dilakukan pada situasi lapangan.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berhubungan dengan keluarnya resep atau resep yang tidak dilayani di Instalasi farmasi, diantaranya adalah: 1. Zaenab (1997), Tesisnya meneliti tentang pelayanan resep pasien rawat jalan di apotik RSUD Kabupaten Bantul yang mengungkapkan mengenai faktor penyebab rendahnya pelayanan di apotik berdasarkan 7 P ( Process, Product, People, Place, Physical Evidence, Promotion dan Price). Penelitian menggunakan rancangan deskriptif analitis dan bersifat ekploratif dibagi dalam 2 sub-penelitian yaitu 7P ditinjau dari manajemen rumah sakit dan 7 P ditinjau dari minat pasien. Cara pengumpulan data dengan wawancara mendalam, kuesioner, observasi proses pelayanan dan dokumen. Perbedaan dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan nilai resep umum rawat jalan. 2. Edi (2003), melakukan analisis terhadap faktor-faktor pengambilan resep diluar apotek RS Bakti Timah Pangkal Pinang. Penelitian sama-sama
bersifat
eksploratif menggunakan rancangan cross sectional untuk mencari faktorfaktor melalui pendapat pasien terhadap pelayanan apotek dari sisi marketing
26
mix 7P. Perbedaannya adalah kriteria pasien hanya pada pasien yang tidak membeli obat di apotek rumah sakit dan mengambil data retrospektif. 3. Purwastuti (2005), dalam penelitiannya melakukan analisis faktor faktor pelayanan farmasi yang memprediksi keputusan beli obat ulang dengan pendekatan persepsi pasien klinik umum di unit rawat jalan RS telogorejo Semarang. Jenis penelitian Cross-sectional pada 90 pasien klinik umum yang baru pertama kali membeli obat. Data di analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan uji chi-square dan logistik regresi dengan metode enter pada tingkat kesalahan 5%. Persamaan dalam penelitian ini adalah melihat persepsi dan sikap pasien umum di rawat jalan yang mengakibatkan perilaku atau tindakan masuknya resep ke instalasi farmasi. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian ini hanya dilakukan pada pasien lama, dan teknik analisis yang dipilih.