PENGEMBANGAN PROGRAM KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR PESANTREN (Studi Kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara)
DIAN NOOR TAMZIS HANAFI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ii
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Januari 2009 Dian Noor Tamzis Hanafi NRP I354070225
iii
ABSTRACT DIAN NOOR TAMZIS HANAFI. Expansion of Life Skills Program for Community’s Empowerment Surrounding an Islamic Boarding School: A Case Study in Center of Community Learning’s Activities “Al-Wathoniyah” Village Sukosono Subdistrict Kedung District Jepara. Under direction of PUDJI MULJONO and HOLIL SOELAIMAN. Due to the post economic crisis in 1998 and global economic crisis situation since 2008, Indonesia deals with various social problems such as unemployment, the increasing of drop-out students, and the increasing rate of the poverty. This phenomenon drives the Department of National Education to carry out the Life Skills Program involving the society. The government policy in giving wide opportunity for the society to actively engage in education area is responded by the community of Village Sukosono Subdistrict Kedung District Jepara by establishing PKBM Al-Wathoniyah. PKBM carries out the external education school (pendidikan luar sekolah/PLS) including life skills program and cooperates with Mambaul Quran islamic boarding school. This establishment is driven by the relatively low level of wealth and education in Sukosono community. The implementation of this program needs to be evaluated and given feedback through research and action programs, in order for the program to be implemented better in the future. Keywords: wealth, external education school, life skills, PKBM, islamic boarding school.
iv
RINGKASAN
DIAN NOOR TAMZIS HANAFI. Pengembangan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan HOLIL SOELAIMAN. Pasca krisis ekonomi tahun 1998 dan dihadapkan pada situasi krisis keuangan global sejak tahun 2008, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan seperti banyaknya pengangguran, meningkatnya angka kriminalitas, maraknya permasalahan sosial misalnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis, bertambahnya anak putus sekolah, serta meningkatnya jumlah penduduk miskin. Dari segi ekonomi, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja dan tingkat pendidikan. Rendahnya daya serap ini karena sempitnya lapangan kerja dan kompetensi yang diinginkan oleh lembaga penerima tenaga kerja tidak dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja. Fenomena ini mendorong Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyelenggarakan Program Kecakapan Hidup (Life Skills), antara lain menyerahkan pengelolaannya kepada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Meskipun program ini dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat dalam peningkatan ekonomi dan perluasan jaringan, tetapi secara konsep dan implementasinya, terdapat perbedaan antara Depdiknas dengan WHO (World Health Organization). Kebijakan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut berperan serta aktif dalam dalam bidang pendidikan, menjadi dasar pembentukan PKBM Al-Wathoniyah di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. PKBM Al-Wathoniyah merupakan kelembagaan yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM) - meskipun tetap menggunakan aturan main yang ditetapkan pemerintah - berperan dalam bidang garapan pendidikan luar sekolah (PLS) dalam wilayah Desa Sukosono dan sekitarnya. Pendirian PKBM sesuai dengan konsep pendidikan berwawasan kemasyarakatan dan merupakan community based karena dibentuk dengan konsep DOUM tersebut. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah program kecakapan hidup (life skills) untuk memberikan alternatif jenis keterampilan yang dapat dikembangkan oleh warga belajarnya dalam memperoleh penghasilan agar tidak tergantung pada sektor meubel. Di Sukosono, penyelenggaraan life skills antara lain bekerja sama dengan pesantren Mamba’ul Qur’an, sebuah lembaga keagamaan Islam yang telah ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Sukosono. Salah satu faktor pendorong pembentukan PKBM Al-Wathoniyah adalah tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan masyarakat Desa Sukosono yang relatif rendah. Kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan krisis global, menjadi salah satu penyebab tingkat perekonomian masyarakat menjadi statis cenderung menurun. Hal ini karena sebagian besar masyarakat Sukosono bergerak dalam sektor permeubelan yang turut terkena imbas krisis di Indonesia, sehingga menambah jumlah warga yang menganggur dan tetap dalam kondisi miskin. Mahalnya bahan baku kayu, mahalnya harga produksi, dan kompetitifnya harga barang jadi sebagai akibat dari krisis, menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Sukosono.
v
Penyelenggaraan PLS oleh PKBM Al-Wathoniyah perlu mendapatkan evaluasi dan umpan balik melalui penelitian dan program aksi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui efektifitas penyelenggaraan program, mengetahui faktor pendukung dan penghambat program, serta merancang program aksi untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren melalui pengembangan life skills yang telah berjalan. Hasil analisis tersebut dijadikan tolok ukur untuk merancang strategi pengembangan program demi tercapainya tujuan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, melalui teknik Focus Group Discussion (FGD). Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel, berkembangnya industri kecil, kolaborasi dengan swasta dan dunia industri, memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta mendapatkan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga. Melalui FGD, dibentuk beberapa rencana program aksi tersebut, yaitu: program peningkatan mutu produk, yang dilakukan untuk tetap mempertahankan jenis life skills yang bermanfaat dan berlanjut sampai sekarang serta “menghidupkan” jenis keterampilan yang berhenti di tengah jalan; program pengembangan usaha, dengan pengembangan jejaring dan peningkatan kerja sama antar stakeholder; dan program pembentukan usaha baru, untuk menjangkau lebih banyak masyarakat yang memerlukan life skills, antara lain penyediaan alat peraga edukatif (APE) dan usaha bordir. Kata kunci: kesejahteraan, pendidikan luar sekolah, life skills, PKBM, pesantren.
v
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
PENGEMBANGAN PROGRAM KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR PESANTREN (Studi Kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara)
DIAN NOOR TAMZIS HANAFI
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
viii
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren (Studi Kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara)
Nama Mahasiswa
: Dian Noor Tamzis Hanafi
Nomor Pokok
: I354070225
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. Ketua
Drs. Holil Soelaiman, MSW, APU Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, M.S.
Tanggal ujian:29 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal lulus:
ix
PRAKATA Bismillahirrahmaanirrahim. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam sejahtera semoga disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan sahabatnya serta para penerus perjuangannya. Amin. Setiap manusia mengalami proses pembelajaran sepanjang hidupnya. Dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran itu dirumuskan dalam asas life long education (pendidikan sepanjang hayat). Dalam konsep tersebut, dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah (PLS). Penulis berusaha menganalisis salah satu jenis PLS berupa kecakapan hidup (life skills) - program yang digulirkan Depdiknas - yang diselenggarakan oleh PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat untuk menguasai keterampilan praktis yang dapat dimanfaatkan dalam mencari penghasilan. PLS fleksibel sifatnya, dapat dikolaborasikan dengan kelembagaan masyarakat yang telah ada. Penulis ingin mencari efektifitas pengembangan penyelenggaraan PLS khususnya life skills oleh PKBM yang antara lain dikolaborasikan dengan kelembagaan pesantren agar bermanfaat bagi masyarakat. Penulis menyadari bahwa Kajian Pengembangan Masyarakat ini bukan hasil jerih payah sendiri. Hasil ini diperoleh berkat bimbingan, dorongan, dukungan, dan doa yang tiada henti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih dari hati yang terdalam (jazakumullah khairal jazaa’) dan penghargaan setinggi-tingginya kepada institusi: Departemen Sosial RI c.q. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana dalam mengikuti program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat ini, Institut Pertanian Bogor, serta Pemerintah Kabupaten Kudus yang memberi kesempatan dan izin mengikuti kuliah. Secara khusus ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing: Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. dan Drs. Holil Soelaiman, MSW, APU. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Noor Salim dan Ibu Subingah; mertua, Papah Irlan Surapermana dan Mamah Siti Fatimah; istri dan anak tercinta, Ira Yulistiana dan Najmi Azira Rifa Hanafi; serta kakak-kakak dan adik-adik penulis. Begitu pun kepada Mas Zaenun Eko Riyanto, Tenaga Lapangan Dikmas Kecamatan Kedung atas segenap bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian kajian; serta temanteman MPM angkatan V atas segala cinta, persahabatan, pertemanan, kritik, dan saran. Semoga seluruh pengorbanan dari berbagai pihak tersebut, memperoleh balasan yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga kajian ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang tertarik dan berkeinginan mengembangkan program-program PLS khususnya program life skills melalui PKBM, atau pun sebatas sebagai bahan kajian bagi peneliti lain. Walhamdulillahirabbil ‘alamin. Bogor, Januari 2009 Dian Noor Tamzis Hanafi
x
RIWAYAT HIDUP Terlahir sebagai anak ketiga dari pasangan Noor Salim dan Subingah pada tanggal 26 Oktober 1976, penulis tumbuh dan berkembang di kota Jepara, kota kecil paling utara pulau Jawa. Tumbuh dalam keluarga guru, penulis sangat menyadari akan arti penting pendidikan dalam perkembangan watak dan perilaku seseorang. Pada tahun 1989, penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Jambu 2, tahun 1992 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2, dan tahun 1995 tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1; semuanya di Jepara. Pada tahun 1994, penulis menjadi Siswa Teladan Kabupaten Jepara. Kemudian tahun 1995 sampai dengan 1999, penulis berkesempatan untuk menjalani program pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor Sumedang. Semasa di STPDN, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun kedua di sekolah kedinasan tersebut. Setelah lulus pada tahun 1999, penulis ditugaskan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus. Penulis diberikan kepercayaan sebagai Kepala Seksi Pemerintahan di Kelurahan Purwosari Kecamatan Kota Kudus pada tahun 2005, setelah sebelumnya bekerja sebagai staf di Bagian Kepegawaian dan Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Kudus selama enam tahun. Pada tahun 2007, penulis tergerak untuk kembali memasuki dunia akademis melalui kesempatan yang diberikan oleh Departemen Sosial yang memberikan beasiswa untuk program pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerja sama Institut Pertanian Bogor dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Pada tahun yang sama, karena menjalankan tugas belajar di MPPM, penulis dipindahkan status kepegawaiannya ke Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kudus, sampai dengan sekarang. Pada Juli 2006, penulis melangsungkan pernikahan dengan Ira Yulistiana, seorang bidan muda anak kelima dari pasangan Irlan Surapermana dan Siti Fatimah. Satu tahun kemudian, pada Juni 2007, penulis mendapat titipan Allah berupa seorang anak perempuan yang penulis beri nama, Najmi Azira Rifa Hanafi.
xi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Rumusan Masalah .................................................................................. Tujuan Kajian ........................................................................................... Manfaat Kajian .........................................................................................
1 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis ...................................................................................... Konsep Pendidikan Nasional ........................................................... Pemberdayaan ................................................................................. Pesantren ......................................................................................... Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) .................................... Program Kecakapan Hidup (Life Skills) ........................................... Kelembagaan ................................................................................... Pemantauan dan Evaluasi ............................................................... Tinjauan terhadap Konsep Life Skills Depdiknas ............................ Kerangka Pikir Kajian ..............................................................................
10 10 15 17 23 26 31 33 35 41
METODOLOGI Strategi Kajian ......................................................................................... Lokasi dan Waktu .................................................................................... Cara Penentuan Responden dan Informan ............................................ Kriteria Responden ........................................................................... Kriteria Informan ................................................................................ Cara Pengumpulan dan Analisis Data .................................................... Teknik Pengumpulan Data ............................................................... Tahapan Cara Analisis Data ............................................................ Rancangan Penyusunan Program ..........................................................
44 44 46 46 46 46 46 48 49
PETA SOSIAL DESA SUKOSONO Gambaran Umum Lokasi ........................................................................ Kependudukan ........................................................................................ Perekonomian ......................................................................................... Pendidikan ............................................................................................... Pelapisan Sosial Ekonomi ....................................................................... Organisasi dan Kelembagaan ................................................................. Kelembagaan Formal ....................................................................... Kelembagaan Non Formal ............................................................... Tradisi ............................................................................................... Sumber Daya Lokal ................................................................................. Masalah Sosial dalam Pendidikan ..........................................................
50 51 54 56 58 61 61 61 62 62 65
xii
ANALISIS PROFIL PROGRAM LIFE SKILLS DI PKBM AL-WATHONIYAH Proses Pembentukan PKBM Al-Wathoniyah ........................................... Sarana Belajar ......................................................................................... Pesantren Mamba’ul Qur’an ................................................................... Pemilihan Program .................................................................................. Perekrutan Tutor dan Warga Belajar ...................................................... Proses Pencairan Dana .......................................................................... Penyelenggaraan Program Life skills .....................................................
70 74 77 82 86 87 89
ANALISIS EFEKTIFITAS PROGRAM LIFE SKILLS OLEH PKBM AL-WATHONIYAH Analisis Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah ........................................ 105 Perubahan Kelembagaan ................................................................ 105 Pilar Penopang Kelembagaan ......................................................... 110 PKBM sebagai Organisasi dan Kontrol terhadap Sumber Daya ..... 112 Analisis Proses Pembentukan PKBM Al-Wathoniyah ............................ 113 Analisis Penyelenggaran Pendidikan Luar Sekolah oleh PKBM ........... 116 Pemenuhan Syarat Minimal ............................................................. 116 Bidang-Bidang Kegiatan yang Dikelola ........................................... 118 Analisis Indikator Keberhasilan PKBM ............................................ 124 Analisis Efektifitas Program Life Skills .................................................... 126 Analisis Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Program Life Skills .................................................................................. 132 Faktor Pendukung ............................................................................ 132 Faktor Penghambat .......................................................................... 140 RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Focus Group Discussion ......................................................................... 144 Proses Jalannya Diskusi ................................................................... 145 Tanggapan Peserta Diskusi ............................................................. 147 Rancangan Program Aksi ....................................................................... 154 Latar Belakang ................................................................................. 154 Tujuan ............................................................................................... 155 Sasaran ............................................................................................ 156 Strategi ............................................................................................. 156 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan .............................................................................................. 166 Rekomendasi ........................................................................................... 167 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 170 LAMPIRAN ....................................................................................................... 175
xii
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Persentase Penduduk Sukosono menurut Tingkat Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan Tahun 2006 .............................................................
5
2 Perbedaan Konsep Life skills menurut WHO dan Depdiknas ..................... 39 3 Jadwal Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat ................................. 45 4 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data .......... 47 5 Wilayah Kerja Administrasi Kabupaten Jepara .......................................... 50 6 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur .............................................. 52 7 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Bagi 5 Tahun Ke Atas Tahun 2006 57 8 Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukosono Tahun 2006 ......... 58 9 Banyaknya Rumah Tangga Menurut Status Kesejahteraan pada Tahun 2006 ........................................................................................ 59 10 Komposisi Luas Wilayah Desa dan Pemanfaatannya .............................. 63 11 Penghargaan yang Pernah Diperoleh ........................................................ 74 12 Program yang Telah Dihasilkan .................................................................. 74 13 Sarana Belajar yang Digunakan ................................................................. 76 14 Program Pendidikan Luar Sekolah yang Diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah Tahun 2007 ........................................................................ 83 15 Jenis Life Skills, Koordinator, Peserta, dan Tingkat Keswadayaan yang Diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah ............................................ 103 16 Identifikasi Stakeholder Life Skills di Sukosono ......................................... 104 17 Perubahan Kelembagaan Pendidikan Luar Sekolah .................................. 110 18 Tiga Pilar Kelembagaan .............................................................................. 111 19 Data Nama Kejar, Tutor, dan Penyelenggara Program PBA di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara ....................... 120 20 Tahapan Pencairan Dana ........................................................................... 136
xiv
Halaman 21 Analisis Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan Masalah Program Life Skills ...................................................................................... 152 22 Program Peningkatan Mutu Produk ............................................................ 158 23 Operasionalisasi Program Peningkatan Mutu Produk ................................ 160 24 Jenis Life Skills, Kondisi, dan Rancangan Program Pengembangan Usaha ............................................................................... 163 25 Program Pembentukan Usaha Baru ........................................................... 165
xiv
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram Klasifikasi Life Skills ...................................................................... 27 2 Model Pencapaian Life Skills ....................................................................... 36 3 Kerangka Pikir Kajian ................................................................................... 43 4 Piramida Penduduk Desa Sukosono ........................................................... 52 5 Grafik Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa Sukosono 2006 ..... 60 6 Diagram Pemanfaatan Lahan Desa Sukosono Tahun 2006 ....................... 63 7 Pemanfaatan Lahan di Desa Sukosono Tahun 2006 .................................. 64 8 Diagram Alir Hubungan Kemiskinan dengan Penyelenggaraan Pendidikan 68 9 Gambar Pilar Penopang Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah ................... 112 10 Diagram Tulang Ikan Permasalahan Penyelenggaraan Life Skills ............ 141
PENDAHULUAN Latar Belakang Sampai dengan saat ini, kondisi kemiskinan di Indonesia masih memprihatinkan dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian utama. Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990an, kondisi masyarakat semakin terpuruk, ditambah dengan minimnya akses masyarakat miskin terhadap sumber daya, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, serta rendahnya kualitas masyarakat yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan. Kondisi yang demikian
dirasakan
semakin
membebani
masyarakat miskin.
Kebijakan
pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per tanggal 23 Mei 2008 silam, meskipun pada bulan Desember 2008 Pemerintah menurunkan harga BBM untuk bahan bakar bersubsidi tertentu, tetapi sudah cukup banyak menimbulkan dampak bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjukkan oleh fenomena sosial bahwa setiap terjadi kenaikan harga BBM selalu diikuti oleh kenaikan harga-harga sembilan bahan pokok (sembako), yang selanjutnya akan menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tidak langsungnya adalah menurunnya tingkat kesejahteraan sosial masyarakat yang ditandai dengan menurunnya pendapatan/penghasilan, daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat, dan melemahnya kondisi dunia usaha. Sementara dampak langsungnya adalah banyaknya pengangguran, meningkatnya angka kriminalitas, maraknya permasalahan sosial seperti anak jalanan, gelandangan dan pengemis, bertambahnya anak putus sekolah, meningkatnya jumlah penduduk dan rumah tangga miskin, penurunan pendapatan riil, serta ketidakpastian
jaminan
kesejahteraan
sosial
masyarakat.
BPS
(2007)
menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,2 juta jiwa. Pada saat Indonesia belum sepenuhnya keluar dari dampak krisis ekonomi 1998, kini kembali dihadapkan pada dampak krisis keuangan global sejak 2008. Krisis global dimulai dari krisis yang terjadi di Amerika Serikat (AS) yang berimbas sangat besar kepada industri-industri berbasis ekspor di banyak negara. Noorsyi (2008) mengungkapkan bahwa ketika industri manufaktur di AS benar-benar tersudut oleh produk-produk RRC dan permainan harga kontrak minyak tidak berhasil memukul daya saing, suka atau tidak suka pebisnis AS
2
mengambil keputusan merumahkan para pekerja. Sejumlah pabrik mobil pun ditutup. Hasilnya adalah gagal bayarnya pekerja manufaktur itu ke subprime mortgage. Efek berantai tidak dapat dihindari, industri keuangan AS melemah saat Merryl Lynch, Bear Sterns, dan Lehman Brothers menyatakan bangkrut. Lemahnya kondisi keuangan di AS tersebut diikuti oleh krisis di berbagai industri berbasis ekspor di berbagai negara akibat melemahnya permintaan pasar dunia. Kondisi ini turut mengakibatkan banyak industri berbasis ekspor di Indonesia mengalami kemunduran, antara lain industri meubel. Timbulnya krisis ekonomi dan krisis keuangan global yang berimbas kepada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan tersebut, menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan penguasaan keterampilan praktis dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain dapat ditempuh melalui jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah (PLS). Kemiskinan
merupakan
permasalahan
kompleks.
Suharto
(2006)
mengungkapkan bahwa, secara ekonomis, yang tampaknya menjadi sorotan bahwa seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin adalah karena lack of resources (ketiadaan atau ketidakmampuan mengakses sumber daya) yang disebabkan
karena
kurangnya
pengetahuan
dan
keterampilan,
serta
kurangnya dukungan pemerintah dan kelompok kuat, yang mana hal ini telah memudarkan spirit mereka untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan, sehingga mereka hidup dengan sikap apatis dan putus asa yang pada gilirannya memicu munculnya berbagai permasalahan sosial. Di satu sisi, struktur tenaga kerja Indonesia saat ini adalah 63,5% hanya berpendidikan SD ke bawah, serta tiap tahun terjadi penambahan angkatan kerja baru lebih dari 2 juta orang dan yang terserap di lapangan kerja, baik dalam sektor formal maupun informal, ratarata di bawah 10% (SUSENAS BPS 2000). Rendahnya daya serap ini bukan semata-mata sempitnya lapangan kerja, akan tetapi kompetensi yang diinginkan oleh lembaga penerima tenaga kerja tidak dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja. Melihat pemikiran dan realitas ini, maka sektor pendidikan merupakan sektor yang teramat penting bagi pemberantasan kemiskinan, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Peningkatan pendidikan merupakan upaya yang harus dilakukan terusmenerus,
karena
pendidikan
dipandang
sebagai
modal
penting
untuk
memutuskan rantai kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan dalam
3
jangka menengah dan panjang. Pentingnya pendidikan dalam kehidupan masyarakat menyebabkan United Nations Development Programme (Juklak Depdagri 1997) menetapkan bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu alat untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu wilayah. Demikian pula pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan BangsaBangsa (PBB) bulan September 2000, disepakati adanya Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), yang salah satunya adalah mencapai pendidikan dasar untuk masyarakat dunia. Dalam penanggulangan kemiskinan, kebijakan dan program yang dilakukan antara lain dengan membuka peluang bagi orang miskin, memberdayakan kelompok miskin, dan melindungi kelompok miskin. Untuk membuka peluang bagi kaum miskin, berbagai kebijakan dan program dapat dilaksanakan antara lain dengan: program peningkatan mutu, sarana, dan prasarana pendidikan, program beasiswa bagi anak-anak keluarga miskin, serta program pemberdayaan masyarakat, peningkatan pendidikan non formal dan keterampilan bagi masyarakat miskin. Fenomena dampak krisis berkepanjangan di Indonesia menuntut dunia pendidikan untuk mereform kebijakan pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (2004) telah merumuskan bahwa ada tiga tantangan besar di dunia pendidikan di Indonesia. Pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman kebutuhan atau keadaan daerah dan peserta didik serta mendorong partisipasi masyarakat. Depdiknas menjawab tantangan tersebut dengan menetapkan berbagai kebijakan
dan
upaya,
antara
lain
dengan
terus
mengupayakan
pemerataan/perluasan akses terhadap pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta mengembangkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat, sejalan dengan desentralisasi pendidikan. Khusus berkenaan dengan mutu dan relevansi, di samping mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi, juga mengarahkan sistem pendidikan di berbagai
4
jalur, jenis, dan jenjang pendidikan pada “pendidikan kecakapan hidup (life skills)” melalui pendekatan “broad based education” atau pendidikan berbasis pada kebutuhan masyarakat luas. Pendidikan life skills merupakan salah satu PLS,
yang
dikembangkan
dengan
konsep
pembelajaran
berwawasan
kemasyarakatan melalui pemanfaatan segala sumber daya yang ada dalam masyarakat dalam upaya penyelenggaraannya, dan merupakan community based karena ditujukan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Program Kecakapan Hidup (life skills) yang digulirkan oleh Depdiknas melalui Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, dalam petunjuk pelaksanaannya dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap warga belajar di bidang pekerjaan/usaha tertentu sesuai dengan bakat, minat, perkembangan fisik dan jiwanya, serta potensi lingkungannya. Penyelenggaraan pendidikan life skills diarahkan pada upaya pengentasan kemiskinan dan upaya memecahkan masalah pengangguran, oleh karena itu pemilihan keterampilan yang akan dipelajari oleh warga belajar didasarkan atas kebutuhan masyarakat, potensi lokal, dan kebutuhan pasar, sehingga diharapkan akan memberikan manfaat positif bagi warga belajar, masyarakat sekitar, dan pemerintah. Program ini diselenggarakan dengan melibatkan berbagai pihak yaitu lembaga-lembaga kursus, perguruan tinggi, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Terpadu (LPTM), serta Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Konsep life skills menurut WHO (World Health Organization) adalah kemampuan perilaku positif dan adaptif yang mendukung seseorang untuk secara efektif mengatasi tuntutan dan tantangan, selama hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa LSE (Life Skills Education) digolongkan sebagai pendidikan non formal, yang memberikan keterampilan personal, sosial, intelektual/akademis dan vokasional untuk bekerja secara mandiri. Hal ini berarti program life skills yang digulirkan Depdiknas menurut pengertian di atas haruslah mencakup semua jenis kecakapan hidup, bukan semata-mata menitikberatkan pada kecakapan vokasional saja. Karena jika hanya dititikberatkan pada vokasional, program ini lebih tepat apabila disebut sebagai living skills education/ income earning training. Tetapi dalam kajian ini, penulis menggunakan istilah life skills menurut pengertian Depdiknas, karena yang akan dikaji adalah program life skills yang telah digulirkan Depdiknas.
5
Melalui kegiatan pemetaan sosial yang dilaksanakan penulis pada Pebruari 2007, diketahui bahwa di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara terdapat sebuah PKBM, yaitu PKBM Al-Wathoniyah yang berpusat di Desa Sukosono. PKBM Al-Wathoniyah aktif menyelenggarakan kegiatan PLS, antara lain adalah program life skills menurut pengertian Depdiknas tersebut. Program life skills yang dilaksanakan meliputi seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan makanan ringan (rengginan), pembuatan roti bolu, serta sablon. Program ini dilaksanakan di Desa Sukosono Kecamatan Kedung, lokasi di mana PKBM Al-Wathoniyah berada. Beberapa program life skills lain yang juga diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah di luar Desa Sukosono, yaitu pembuatan terasi di Desa Bulak Baru dan kepiting keramba di Desa Surodadi. Pelapisan sosial ekonomi masyarakat Desa Sukosono dapat dilihat pada tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan. Berdasarkan tingkat kesejahteraan, jumlah rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I di Desa Sukosono mencapai 69,40%; suatu angka yang cukup besar. Berdasarkan pendidikan, masyarakat Sukosono dibedakan dari yang berpendidikan tinggi (sarjana dan diploma), menengah (SLTP dan SLTA), dan rendah (SD dan tidak tamat SD); di mana terlihat bahwa 74,05% penduduk Sukosono berada pada tingkat pendidikan rendah. Melihat bahwa sebagian besar masyarakat Sukosono berpendidikan rendah, hal ini berkorelasi dengan banyaknya masyarakat pada tingkat prasejahtera dan sejahtera I, seperti ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Persentase Penduduk Sukosono menurut Tingkat Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan Tahun 2006
No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan Tidak/belum bersekolah Rendah (SD dan belum/tidak tamat SD) Menengah (SLTP dan SLTA) Tinggi (sarjana dan diploma) Jumlah
Jumlah (orang)
%
Tingkat Kesejahteraan
Jumlah (rumah tangga)
%
622
12,93
Prasejahtera
619
36,52
3561
74,05
Sejahtera I
557
32,86
595
12,37
Sejahtera II
189
11,15
31
0,65
Sejahtera III
232
13,69
Sejahtera III+
98
5,78
1.695
100
4.809
100
Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah Mencermati tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat berpendidikan rendah cenderung rendah pula dalam struktur ekonomi.
6
Kesimpulan ini juga didukung oleh sejumlah penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan yang positif antara pendidikan dan kemajuan pembangunan suatu negara. BPS (2005) menyebutkan bahwa dalam lingkup rumah tangga, data menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga berhubungan erat dengan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Berdasarkan SUSENAS Tahun 2004 diketahui bahwa mayoritas penduduk miskin dikepalai oleh kepala rumah tangga berpendidikan tidak/belum tamat SD (41,67%), SD (38,36%), dan hanya 0,75% yang kepala rumah tangganya berpendidikan tinggi (di atas SLTA). Berdasarkan
jenis
mata
pencaharian,
sebagian
besar
penduduk
Sukosono bergerak dalam sektor permeubelan. Kondisi saat ini menyebabkan sektor permeubelan di Sukosono mengalami pasang-surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu dan kompetitifnya harga produksi. Harga bahan baku meubel meningkat tajam, sedangkan harga barang jadi tetap bahkan cenderung menurun. Apalagi dengan kompetitifnya harga produksi meubel yang terkadang harus “memaksa” pengusaha meubel menurunkan harga barang jadinya. Kondisi permeubelan yang tidak stabil ini, mengakibatkan tingkat perekonomian masyarakat statis cenderung menurun. Untuk memberikan alternatif jenis pekerjaan kepada masyarakat Sukosono agar tidak hanya bergantung pada sektor meubel, maka PKBM Al-Wathoniyah berupaya memberikan keterampilan praktis lain kepada masyarakat melalui program life skills. Penulis tertarik meneliti penyelenggaraan program life skills melalui PKBM untuk mengetahui efektif tidaknya program life skills dilaksanakan, serta mengidentifikasi potensi dan peluang dalam masyarakat yang mungkin untuk dikembangkan melalui pelaksanaan program life skills, dengan mengambil studi kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Hal ini karena prinsip yang digunakan dalam pembentukan PKBM beserta program-programnya adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM), yang
sesuai
dengan
prinsip
pengembangan
masyarakat
(community
development) yang menjadi disiplin ilmu penulis. Istilah PKBM terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berarti “buatan” pemerintah pusat. Tetapi,
dalam
proses
pembentukannya,
PKBM
menggunakan
prinsip
pengembangan masyarakat yang menekankan kepada partisipasi dan inisiatif masyarakat sendiri. Kesesuaian PKBM dengan pengembangan masyarakat,
7
dapat ditelaah dari pengertian pengembangan masyarakat, yaitu sebagai suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan, di mana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk menaikkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif masyarakat sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif. PKBM dibentuk dari, oleh, dan untuk
masyarakat
dengan
partisipasi
dan
inisiatif
masyarakat
sendiri,
memanfaatkan swadaya masyarakat, berintegrasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam usaha menaikkan pengetahuan dan keterampilan warga belajar dengan pelayanan teknis oleh Penilik PLS dan TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) agar pelaksanaan program berjalan dengan efektif. Menilik dari pengertian tersebut, PKBM dapat dikategorikan sebagai pengembangan masyarakat. Hal yang menarik dalam penyelenggaraan program ini di Desa Sukosono adalah bahwa penyelenggaraannya selain dengan masyarakat sekitar, dijalankan melalui kolaborasi antara PKBM Al-Wathoniyah dengan pesantren Mamba’ul Qur’an, dengan didampingi oleh dinas teknis terkait. Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya. Dalam hal ini, PKBM Al-Wathoniyah menyelenggarakan life skills sebagai bentuk fungsi dan peranannya dalam melayani kebutuhan PLS bagi masyarakat, dapat menunjukkan eksistensinya sebagai kelembagaan pendidikan di tengah masyarakat, selain karena alasan-alasan ekonomis. Bagi pemerintah khususnya Dinas dan Cabang Dinas P dan K, mendampingi penyelenggaraan program life skills merupakan salah satu tugas pokok dan fungsinya sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Bagi pesantren Mamba’ul Qur’an, life skills dapat melengkapi kegiatan pembelajaran bagi santrinya berupa transfer ilmu-ilmu duniawi dan ukhrowi dalam rangka memberikan bekal pengetahuan bagi para santri yang merupakan salah satu tugas pokoknya. Sedangkan bagi warga belajar, yang terdiri dari para santri dan masyarakat Sukosono dan sekitarnya, program ini turut membantu memberi keterampilan sebagai bekal di dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Bagi para santri, program ini melengkapi penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan di samping syahadah hafidz/hafidzoh (ijasah hapal Al-Qur’an dari pesantren) yang diterima para santri.
8
Secara mandiri dan alamiah, pesantren telah lama berjalan dengan konsep swadayanya, dan akan lebih baik apabila pesantren diberi ruang yang luas dalam mengisi pembangunan. Keberadaan pesantren ini bisa menjadi kapital sosial yang besar, apabila secara partisipatif disinergikan dan terintegrasi dalam kebijakan pembangunan. Pesantren dapat didorong untuk berdaya guna dan berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing, tidak hanya sebatas tempat pengembangan sumber daya manusia, akan tetapi juga pusat pengembangan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini berkembang sangat pesat bagi masyarakat sekitarnya. Pesantren selain memiliki lingkungan, juga milik lingkungannya. Untuk mengetahui potensi dan peluang yang mungkin untuk dikembangkan melalui pelaksanaan program PLS khususnya life skills, perlu dilakukan identifikasi kebutuhan dan sumber belajar masyarakat. Pemberdayaan lembaga pesantren merupakan hasil dari identifikasi kebutuhan dan sumber belajar masyarakat, di mana masyarakat pesantren (salafi) sudah mulai membuka diri dan menganggap pendidikan umum sama pentingnya dengan pendidikan keagamaan. Maka tugas selanjutnya adalah menjawab tantangan, “bagaimana mengembangkan program kecakapan hidup (life skills) untuk memberdayakan masyarakat sekitar pesantren”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang sesuai dengan kondisi di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana profil program life skills yang diselenggarakan PKBM AlWathoniyah sebagai community based education yang berkolaborasi dengan pesantren Mamba’ul Qur’an di Desa Sukosono? 2. Bagaimana efektifitas program life skills tersebut dilaksanakan? 3. Apa faktor pendukung dan faktor penghambat yang timbul dalam penyelenggaraan program life skills tersebut? 4. Bagaimana merancang program life skills di PKBM untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren? Tujuan Kajian Tujuan kajian secara umum adalah untuk mengkaji penyelenggaraan program life skills melalui PKBM untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantren. Sedangkan secara khusus tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
9
1. Menggambarkan profil program life skills yang diselenggarakan PKBM AlWathoniyah sebagai community based education yang berkolaborasi dengan pesantren Mamba’ul Qur’an di Desa Sukosono; 2. Menganalisis efektifitas program life skills dilaksanakan; 3. Menganalisis faktor pendukung dan faktor penghambat yang timbul dalam penyelenggaraan program life skills tersebut; 4. Merancang program life skills di PKBM untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren. Manfaat Kajian Manfaat dari kajian ini adalah: 1. Menambah wawasan dalam penyelenggaraan program PLS khususnya program life skills; 2. Memberikan masukan dan pertimbangan bagi PKBM Al-Wathoniyah dalam pengembangan PLS pada umumnya dan pengembangan program life skills pada khususnya di lingkungannya; 3. Memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Jepara (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara) dalam pembuatan kebijakan yang sesuai dalam rangka pengembangan program life skills.
10
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis
Konsep Pendidikan Nasional Pendidikan, menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005), seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Ahmadi dan Uhbiyati (1991) mencoba memberikan pengertian bahwa kata pendidikan, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, paedagogie, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan “again” diterjemahkan membimbing. Jadi, paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak. Sementara Hatimah dkk (2006) menulis bahwa pedagogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata paid dan agogus. Paid berarti anak, dan agogus berarti leader of. Pedagogi diartikan sebagai seni dan ilmu mendidik anak. Brodjonegoro (Ahmadi & Uhbiyati 1991) mengatakan bahwa pendidikan atau mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai terjadinya kedewasaan dalam arti jasmani dan rohani. Dunia pendidikan mengenal konsep life long education atau pendidikan sepanjang hayat (PSH) yaitu tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua (Cropley, diacu oleh Tirtarahardja & La Sulo 2005). Joesoef (1992) mengemukakan bahwa PSH dikenal dalam dunia pendidikan internasional sebagai asas pendidikan sebagaimana ditetapkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan dikemukakan oleh para pakar pendidikan internasional antara lain Edgar Fause, Paul Lengrand, dan Roland G. Paulston. Konsepkonsep tersebut menyatakan bahwa pendidikan yang sebelumnya selalu berorientasi pada sekolah, mulai diragukan orang artinya orang selalu bertanyatanya apakah yang dimaksud dengan pendidikan hanya terbatas pada sekolah saja. Beberapa hasil penelitian terhadap sekolah mengungkapkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah tidak akan membantu memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja, bahkan memperlebar jurang antara yang kaya
11
dan miskin karena hanya yang kaya yang mendapat kesempatan sekolah. Pada perkembangannya, konsep PSH diadopsi oleh banyak negara berkembang, sehingga negara-negara tersebut lebih berani mencari alternatif-alternatif dari sistem pendidikan yang ada khususnya pendidikan non formal. Konsep PSH telah menggeser anggapan bahwa proses pendidikan yang terjadi hanya di dunia sekolah; di luar sekolah sebenarnya terdapat pula proses pendidikan yang terjadi pada orang-perorang. Tujuan pendidikan nasional (Mujahidin 2005) pada hakikatnya adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal itu dapat terlihat pada rumusan Ki Hadjar Dewantara, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia, Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional 1965, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian “manusia seutuhnya” adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan tersebut, meskipun bersifat “eksplosif” (mengandung pengertian yang besar dan rumit), tetapi mencerminkan perpaduan pengembangan intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ). Pengembangan IQ terlihat dari tujuan mendidik manusia yang menguasai ilmu, cakap, dan kreatif. Pengembangan EQ termaktub dari tujuan mendidik manusia yang berkepribadian mandiri, demokratis, dan mempunyai rasa tanggung jawab. Adapun pengembangan SQ terumuskan dalam tujuan mendidik manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Visi pendidikan nasional di Indonesia (Hatimah et al 2008) adalah pendidikan yang mengutamakan kemandirian menuju keunggulan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Misi pendidikan nasional, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang ditempuh melalui pembelajaran dan pembudayaan bangsa dan masyarakat Indonesia agar setiap insan Indonesia berpendidikan, berbudaya, cerdas, berakar kuat pada moral dan budaya, dan berkeadilan sosial. Misi ini dijabarkan dalam misi jangka pendek yaitu pemulihan dari krisis, misi jangka menengah yakni pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan, dan misi jangka panjang yaitu tercapainya masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani (civil society). Hikam (dalam Tilaar 2000) merumuskan
12
masyarakat madani adalah masyarakat yang mengakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni negara dan menekankan kepada kebebasan individu yang bertanggung jawab. Selanjutnya Tilaar (2000) juga merumuskan bahwa masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan adalah masyarakat yang mengakui human dignity (martabat manusia) yang berarti pengakuan pada setiap orang untuk berkembang, mengatur dirinya sendiri baik secara perorangan maupun dalam hidup bersama. Pencapaian visi dan misi pendidikan tersebut dilaksanakan melalui pilarpilar pendidikan (Hatimah et al 2008; Winatapura et al 2007), yaitu bahwa pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to life together). Satu hal yang perlu dicatat bahwa proses pendidikan tidak terbatas hanya berlangsung dalam lembaga pendidikan, melainkan sesuai dengan prinsip PSH, terjadi di mana pun, misalnya dalam keluarga, di tengah masyarakat, dan bahkan dalam lingkungan kerja. Misi pendidikan yang diemban oleh kelembagaan-kelembagaan tersebut sama pentingnya dengan proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah atau institusi pendidikan lainnya. Lebih lanjut Hatimah et al (2008) menulis bahwa untuk menuju civil society, dikembangkan konsep demokratisasi pendidikan, yaitu bahwa proses pengambilan keputusan pendidikan melibatkan semua tingkatan secara maksimal. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan adalah: 1. perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan; 2. pendidikan untuk semua; 3. pemberdayaan dan pendayagunaan berbagai institusi kemasyarakatan; 4. pengakuan hak-hak masyarakat termasuk hak pendidikan; dan 5. kerja sama dengan dunia usaha dan industri. Dalam
dunia
pendidikan,
terdapat
tiga
bentuk
penyelenggaraan
pendidikan, yaitu bentuk formal, non formal, dan informal; yang oleh Ki Hadjar Dewantara (Wahyudin et al 2008) konsep ini dikenal sebagai “tri pusat pendidikan”. Demikian pula Philip H. Coombs (Joesoef 1992) membagi pendidikan dalam tiga macam pendidikan seperti diungkapkan Ki Hadjar Dewantara tersebut. Dalam pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal. Karena itu dalam konteks sistem pendidikan nasional, keluarga yang merupakan tempat berlangsungnya pendidikan informal, sekolah sebagai tempat pendidikan formal, dan masyarakat dalam kaitan dengan pendidikan non formal; merupakan komponen sistem pendidikan. Bentuk formal biasa kita kenal sebagai pendidikan yang berstruktur dan berprogram, sedangkan bentuk non formal biasanya singkat waktunya dan tujuannya untuk memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan atau keterampilan tertentu yang langsung dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Bentuk pendidikan informal tidak mengenal jangka waktu tertentu serta tidak berstruktur, dan terjadi seumur hidup karena melibatkan proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga jenis pendidikan dimaksud digabung menjadi dua bagian, yaitu pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah (PLS) yang mencakup pendidikan informal dan non formal. Dengan demikian, PLS bersifat lebih umum dan memiliki cakupan yang luas dalam kegiatan pembelajarannya. Pendidikan formal terlaksana di dalam pranata sosial yang disebut sekolah. Di dalam pendidikan sekolah kita kenal berbagai jenis dan jenjang di dalam program yang berstruktur yang dikenal sebagai kurikulum. Pola pikir yang dikembangkan
adalah
bahwa
sekolah
merupakan
sarana
penunjang
keberhasilan pembangunan. Sekolah dibagi atas tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Sedangkan pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas yang merupakan kelanjutan dari jenjang pendidikan menengah. Pendidikan non formal menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1, diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung PSH. Bentuk pendidikan non formal yang dikenal sebagai PLS, dikenal dalam
14
masyarakat dalam bentuk kursus-kursus. Biasanya lama pendidikan terbatas meskipun programnya tetap berstruktur. Tetapi, PLS tidak terbatas pada kursus semata, karena kita kenal adanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang setara dengan pendidikan Taman Kanak-Kanak, Kelompok Belajar Paket A, B, dan C yang setara dengan sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain kursus-kursus, terdapat juga program Keaksaraan Fungsional (KF), Pendidikan Perempuan, life skills, Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan magang yang diarahkan kepada penguasaan keterampilan fungsional, yaitu agar keterampilan yang dikuasai tersebut dapat difungsikan secara langsung untuk meningkatkan pendapatan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Kellog Fellow (Mujahidin 2005),
PLS
memiliki
tiga
model
pendekatan,
yaitu
model
pelengkap
(supplementary model), model sejajar (parallel model), dan model alternatif (alternative model). Model pelengkap menunjuk kepada kegiatan PLS yang dilaksanakan untuk menambah kemampuan peserta didik dalam masalahmasalah tertentu. Penyelenggaraan kegiatannya dilakukan di luar kegiatan pendidikan sekolah. Di Indonesia, PLS yang termasuk dalam kategori ini adalah bimbingan belajar siswa, pramuka, dan lain-lain. Model sejajar menunjuk pada penyelenggaraan PLS yang paralel dengan pendidikan sekolah. Kedua jenis pendidikan ini berjalan berdampingan dan saling menunjang antara yang satu dengan lainnya. Para peserta didik adalah mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Contoh dari pendekatan ini yaitu program SLTP Terbuka. Adapun model alternatif menunjuk kepada PLS sebagai alternatif pendidikan sekolah. Model ini memiliki kebebasan yang luas dalam mengembangkan sistem dan program-program PLS. Contoh dari pendekatan ini adalah berbagai kursus dan pelatihan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
dunia
pendidikan
saat
ini
dikembangkan
pula
konsep
pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan
yaitu
pembelajaran
yang
diselenggarakan
dengan
menggunakan berbagai potensi (sumber daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi; sedangkan community based education mempunyai makna pendidikan diselenggarakan dari masyarakat, oleh
15
masyarakat,
dan
untuk
masyarakat
sendiri.
Pembelajaran
berwawasan
kemasyarakatan harus didasarkan pada hal-hal: 1. kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi peserta didik; 2. pemanfaatan lingkungan dalam pembelajaran; 3. materi pembelajaran terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari peserta didik; 4. masalah yang diangkat dalam pembelajaran ada kesesuaian dengan kebutuhan peserta didik; 5. menekankan pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik; 6. menumbuhkan kerja sama di antara peserta didik; dan 7. menumbuhkan kemandirian. Pendidikan
memiliki
tiga
aspek,
sebagaimana
dikemukakan
Darmodihardjo (1978) yaitu (1) pembentukan kepribadian, (2) pengembangan ilmu pengetahuan, dan (3) pengetrapan ilmu pengetahuan yang berwujud keterampilan. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta nilai ilmu pengetahuan. Itu berarti bahwa ilmu pengetahuan yang benar bagi Indonesia adalah ilmu yang dapat diamalkan bagi pengembangan budi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah ilmiahnya. Pemberdayaan Pemberdayaan, menurut Kartasasmita (1996), adalah upaya untuk membangun, mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran (awareness) terhadap potensi yang dimiliki. Huraerah (2008) menulis bahwa pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment”, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantages). Sumodiningrat (1999, diacu oleh Riani 2005), mengatakan bahwa pemberdayaan berasal dari kata “memberi daya” atau “memberi enerji”. Dalam bahasa asing, pemberdayaan disebut sebagai empowerment. Istilah ini lebih cocok dengan istilah energizing karena lebih bersifat positif, menyalurkan sesuatu yang bersifat netral namun diperlukan secara hakiki. Di sini dapat dipahami pemberdayaan sebagai upaya memberi daya kepada mereka yang kurang atau tidak berdaya agar bisa mendayagunakan dirinya. Cook & Macaulay (1996) menggambarkan empowerment sebagai: membebaskan seseorang dari kendali yang kaku dan memberi orang tersebut kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-
16
idenya, keputusan-keputusannya, dan tindakan-tindakannya. Sementara Parsons (Suharto 2006) berpendapat bahwa pemberdayaan kebanyakan dilakukan secara kolektif dengan kelompok sebagai media intervensi, seperti pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok sebagai strategi dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka mampu memecahkan berbagai permasalahan kehidupan. Dalam perspektif ilmu kesejahteraan sosial, Payne (1997, diacu oleh Adi 2003) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya, ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Shardlow (1998) dan Biestek (1961, diacu oleh Adi 2003) menulis bahwa pemberdayaan sebagai suatu gagasan tidaklah jauh berbeda dengan salah satu prinsip dasar dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial yaitu ‘self-determination’ yang pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan dalam membentuk hari depannya. Dalam konsep pembangunan masyarakat, konsep pemberdayaan erat kaitannya dengan konsep-konsep yang melingkupinya antara lain, konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Partisipasi menurut Mikkelsel (1999), merupakan keterlibatan mental atau pikiran dan emosi seseorang dalam mendorong memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Sedangkan menurut Soelaiman (1985), partisipasi merupakan adalah keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. Bass et al (Sumardjo 2007) menyebutkan 7 (tujuh) tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri (self mobilization). Ketujuh urutan tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan partisipasi masyarakat
17
semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar. Strategi pembangunan
community
development
masyarakat.
Ife
(1995)
dikembangkan mengatakan
dalam
bahwa
konsep
community
development sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas. Melalui strategi pemberdayaan tersebut masyarakat akan memperluas partisipasinya dalam pembangunan secara menyeluruh dan secara bertahap yang mengakses kepada pembangunan kemandirian (Chamber 1996). Berbagai
macam
pendapat
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pemberdayaan yang dimaksud dalam penulisan kajian ini adalah proses peningkatan dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi yang lebih baik. Asumsinya adalah bahwa warga belajar yang terdiri dari masyarakat Desa Sukosono, santri pesantren Mamba’ul Qur’an, dan masyarakat sekitarnya didorong selain untuk terus meningkatkan kualitas terhadap pendalaman ilmuilmu agama Islam (ukhrowi) juga dapat turut serta aktif membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (duniawi) melalui program life skills. Untuk mencapai maksud tersebut, maka diperlukan adanya bentuk intervensi sosial dalam aras mikro (individu dan keluarga) yaitu kepada para santri dan masyarakat sekitar pesantren sebagai peserta program, aras messo (kelompokkelompok kecil) yaitu kepada PKBM dan pesantren sebagai penyelenggara program, serta aras makro (organisasi dan institusi yang lebih besar) yaitu kepada Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kedung serta instansi di atasnya. Pesantren Pesantren adalah suatu asrama tempat santri belajar mengaji (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990; Yandianto 1997). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pesantren merupakan pendidikan yang berbasis pada pendidikan keagamaan yang diselenggarakan kelompok masyarakat yang berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama. Secara etimologis, Thaba (1996) berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata pesantrian, yang berarti “tempat santri”. Kadang-kadang ikatan kata sant (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata tra (suka menolong)
18
sehingga pesantren juga berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik”. Mujahidin (2005) menulis bahwa kata pesantren atau santri diduga berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shastri dari akar kata shastra yang berarti “bukubuku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Geertz (Ziemek 1986; Mujahidin 2005) menjelaskan bahwa santri memiliki arti sempit dan luas. Santri secara sempit adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pesantren. Adapun dalam arti yang lebih luas, kata santri mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh. Dari pengertian Geertz dapat ditarik pemahaman bahwa santri hanya dikenal dalam struktur masyarakat Jawa dan sekaligus pembeda dari masyarakat yang disebut abangan dan priyayi. Menurut Thaba (1996), lembaga pendidikan seperti pesantren sebenarnya sudah ada pada masa HinduBudha, dalam bentuk pendidikan asrama-asrama. Islam kemudian mengadopsi dan mengislamkannya. Sehingga dalam diri pesantren terkandung dua makna: makna keislaman dan makna keaslian Indonesia (indigenous). Rahardjo (1998, diacu oleh Riani 2005) mengatakan lembaga pesantren seperti lembaga ‘gotong-royong’ yang dikatakan sebagai ciri khas, bagian dari tradisi dan merupakan hal yang ‘asli Indonesia’, yang merefleksikan pola kultural masyarakat Indonesia. Sehingga, pondok pesantren dengan cara hidupnya yang kolektif, merupakan perwujudan dari semangat dan tradisi gotong-royong atau sebagai wujud dari kapital sosial yang umumnya terdapat di perdesaan, di mana pesantren sebagian besar berada dan melakukan eksistensinya. Thaba (1996) menyebutkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan seseorang atau beberapa santri belajar pada pemimpin pesantren (kyai), dibantu oleh beberapa guru (ulama atau ustadz). Di dalamnya terdapat lima elemen dasar yang tidak terpisahkan: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab kuning, santri, dan kyai. Inilah yang disebut tradisi pesantren. Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid - pen) menyebutnya “subkultur” pesantren, yaitu kultur sosial-religius yang merupakan hasil interaksi kehidupan pondok, masjid, santri, dan ajaran ulama terdahulu yang tertuang dalam kitab klasik kehidupan kyai. Ziemek (Thaba 1996) menyebutkan tiga ciri pesantren: (1) kyai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; (2) pelajar (santri) secara pribadi diajari berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, paham, dan akidah keislaman;
19
(3) kyai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, tempat mereka sering disebut “pondok”. Menurut Zarkasyi, pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor (1970, diacu oleh Riani 2005), pesantren dibangun dari prinsip-prinsip dasar, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, kepercayaan pada diri sendiri, dan kebebasan. Dari prinsip-prinsip dasar tersebut lahir paling tidak dua pengaruh fenomenal yang berkembang, yaitu pertama, tradisi kepesantrenan sanggup bertahan dalam kurun waktu ratusan tahun. Kedua, karena sikap egaliter (percaya bahwa semua orang sederajat - pen) dari para kyai dan para pengasuhnya, pesantren menjadi pilihan alternatif yang diminati berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, fakta menunjukkan, di Indonesia terdapat puluhan ribu pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah, baik kota maupun desa. Kondisi saat ini, pesantren tidak lagi semata-mata berfungsi mendidik santri, tetapi telah berkembang menjadi lembaga sosial yang bergerak di luar pesantren, terutama masyarakat pedesaan. Hubungan antara pesantren dan masyarakat dijalin melalui aktifitas pengajian dan gotong-royong. Ada kalanya pesantren menjadi juru penerang masyarakat untuk menyukseskan program pemerintah seperti keluarga berencana, transmigrasi, pelestarian lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pendidikan formal/non formal. Islam sebagai pandangan hidup, sumber nilai, sumber inspirasi dan sumber motivasi, telah menempa manusia yang lahir dari pesantren menjadi manusia yang kokoh dalam wawasan, mental, dan akhlaknya. Untuk itu, secara ideal pesantren merupakan institusi penting yang harus terus dipelihara, dipacu keberadaannya dan diberdayakan komunitasnya. Melalui sejarah yang panjang, pesantren telah memainkan peran pentingnya dalam mengokohkan character building bangsa. Perjuangan merintis kemerdekaan bangsa tidak terlepas dari perjuangan para santri, yang berjuang secara fisik maupun diplomasi. Lahirnya berbagai organisasi sosial keislaman bahkan partai politik yang dipelopori para kyai dan santri menjadi bukti bahwa pesantren mempunyai kontribusi yang tidak kecil
terhadap
keberlangsungan
kehidupan
berbangsa,
bernegara,
dan
bermasyarakat Indonesia. Sampai dengan saat ini, dunia mengenal bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius dan terbesar jumlah umat Islamnya. Namun demikian, realitas lain menunjukkan tidak semua pesantren maju dan modern, serta tanggap dalam menangkap perubahan. Pesantren sering
20
diidentikkan dengan image: kemandegan (jumud), kumuh, dan menghasilkan manusia yang kurang berdaya serta kurang kompetitif. Dan tidak dipungkiri bahwa, kesenjangan perkembangan pesantren juga sangat kita rasakan dari data yang sering dijumpai di lapangan (Forum Lintas Pelaku 2002, diacu oleh Riani 2005). Senada dengan itu, Sidik (2000) menyatakan bahwa dunia pesantren sering diidentikkan dengan kejumudan, keterbelakangan, dan ketertinggalam terhadap dunia ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bagi sebagian kalangan masih meragukan potensi yang ada pada pondok pesantren. Selain itu, terdapat pendapat di kalangan pesantren, bahwa urusan duniawi tidak sepenting urusan ukhrowi, menjadikan pesantren makin tidak berdaya dalam kehidupan duniawi. Akibatnya, setelah santri menamatkan pendidikan pesantren untuk kemudian masuk ke kehidupan masyarakat umum, mereka kelabakan dan tidak siap menghadapi kemajuan jaman serta persaingan hidup yang semakin kompleks. Dari sisi lain, anggapan yang melekat pada pesantren tradisional adalah kemiskinan, baik dari segi kehidupan dunia maupun pengetahuan umum. Sehingga diperlukan lembaga kepesantrenan yang mampu memberikan pendidikan tambahan seperti pendidikan umum yang dilaksanakan di sekolahsekolah. Mundurnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia Islam menurut Sidik (2000) mengutip pendapat Prof. Dr. Abdus Salam, tidak terlepas dari pemikiran salah seorang cendekiawan terbesar Islam yaitu Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa mempelajari ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat alam raya dan fenomenanya) adalah tidak ada gunanya dibandingkan mempelajari ayat-ayat kitabiyyah (ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci). Pemikiran ini mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia Islam karena diucapkan oleh salah seorang cendekiawan besar pada jamannya. Sikap acuh terhadap bagian dunia lain yang mempelajari ayat-ayat kauniyyah, yang semula dikembangkan oleh dunia Islam itulah merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam. Mastuhu (dalam Mujahidin 2005) berpendapat bahwa sejak sekitar dua dasawarsa terakhir, pesantren mulai menurun harga dirinya di mata masyarakat. Pesantren dianggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tantangan pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat memiliki hati mendua terhadap pesantren. Pada satu sisi mereka masih mengharapkan pesantren dapat membina mental spiritual anak-anaknya. Pada sisi lainnya, mereka tidak
21
yakin pesantren dapat memberikan ilmu sebagai bekal hidup pada masa yang akan datang. Dalam kehidupan pesantren, segala sesuatu tidak lepas dari otoritas pemimpin atau kyai atau pengasuh pondok pesantren. Hal ini karena kyai merupakan panutan bagi komunitas santri. Usman (2006) mengungkapkan: Di kalangan komunitas santri, para kyai mempunyai posisi yang amat mulia karena dengan kemampuan dan pengetahuannya para kyai telah menempatkan dirinya sebagai ulama-ulama pewaris Nabi Muhammad SAW, atau menjadi ‘penjaga’ utama proses sosialisasi ajaran Islam. Anggapan demikian dalam perkembangannya menjadi tali pengikat ‘emosi-religius’ baik bagi lapisan bawah (yang kebanyakan bercirikan tradisional-agraris) maupun lapisan menengah yang telah mengenyam pendidikan modern. Dari sini, berkembanglah tradisi taqlid, yaitu suatu kepatuhan yang hampir tanpa syarat. Kyai
secara
tradisional
dianggap
mempunyai
otoritas
yang
tak
tergoyahkan dan kharismatik, walaupun di beberapa kasus, kepemimpinan kharismatik ini telah mulai tergeser oleh kepemimpinan rasional. Hal ini semakin menciptakan kehidupan yang lebih partisipatoris di dunia pesantren. Uraian di atas memperlihatkan bahwa pesantren merupakan perwujudan kultur asli Indonesia, muncul dari, oleh, dan untuk masyarakat. Peran para kyai sangat dominan dalam kehidupan pesantren, yang sangat berperan besar dalam perkembangan masyarakat. Pesantren selain memiliki lingkungan, juga milik lingkungannya. Dengan kemandiriannya, pesantren mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama. Mengingat posisi pesantren tersebut, dapat disimpulkan bahwa pesantren mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan masyarakat (community development) yang bila ‘dipertemukan’ dengan programprogram pemerintah yang tepat akan mempunyai manfaat yang besar pula. Berdasarkan perkembangan selanjutnya, pesantren dapat diklasifikasikan kepada empat jenis (Arifin 1995, diacu oleh Mujahidin 2005) yaitu: Pertama, pesantren salafi (tradisional), yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini adalah mencetak
kader-kader
dai
yang
akan
menyebarkan
Islam
di
tengah
masyarakatnya. Pada pesantren ini, seorang santri hanya dididik dengan ilmuilmu agama dan tidak diperkenankan mengikuti pendidikan formal. Kalaupun ilmu-ilmu itu diberikan, maka hal itu hanya sebatas pada ilmu yang berhubungan dengan keterampilan hidup.
22
Kedua, pesantren ribathi, yaitu pesantren yang mengkombinasikan pemberian materi agama dengan materi umum. Biasanya, selain tempat pengajian, pada pesantren ini juga disediakan pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini, selain untuk mempersiapkan kader dai, juga memberikan peluang kepada para santrinya untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelak mereka diharapkan dapat mengisi posisi-posisi strategis, baik di dalam pemerintahan maupun di tengah masyarakat. Ketiga, pesantren khalafi (modern), yaitu pesantren yang didesain dengan kurikulum yang disusun secara baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disebut khalafi, karena adanya berbagai perubahan yang dilakukan baik pada metode maupun materi pembelajaran. Para santri tidak hanya diberikan materi agama dan umum, tetapi juga berbagai materi yang berkaitan dengan skill atau vocational (keterampilan). Keempat, pesantren jami’i (asrama pelajar dan mahasiswa), yaitu pesantren yang memberikan pengajian kepada pelajar atau mahasiswa sebagai suplemen bagi mereka. Dalam perspektif pesantren ini, keberhasilan santri dalam belajar di sekolah formal lebih diutamakan. Oleh karena itu, materi dan waktu pembelajaran di pesantren disesuaikan dengan luangnya waktu pembelajaran di sekolah formal. Berbeda dengan Arifin, Ziemek (1986, diacu oleh Mujahidin 2005) membagi pesantren berdasarkan kelengkapan sarana dan fungsi dari pesantren tersebut. Atas dasar hal itu, pesantren dibagi kepada lima jenis, yaitu: Pertama, pesantren tarekat (pesantren kaum sufi), yaitu pesantren yang menyelenggarakan pengajian-pengajian yang teratur dalam masjid dengan sistem pengajaran yang bersifat pribadi. Di sini, beberapa orang santri diterima belajar dan berdiam di rumah kyai. Pesantren tarekat lebih menekankan kepada pendidikan santri dalam hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam pesantren ini banyak diajarkan berbagai tahapan untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai kegiatan, seperti melaksanakan riyadhoh, dzikir, dan sebagainya. Kedua, pesantren klasik/tradisional, yaitu pesantren yang memiliki asrama bagi para santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri sering terdiri dari rumah-rumah kayu/bambu untuk pemondokan maupun ruangan-ruangan belajar yang terpisah.
23
Ketiga, pesantren plus sekolah, yaitu pesantren dengan komponen-komponen klasik yang dilengkapi dengan suatu madrasah (sekolah) yang menunjukkan adanya dorongan modernisasi dan pembaruan Islam. Madrasah tersebut memiliki tingkatan kelas dan kurikulumnya berorientasi kepada sekolah-sekolah yang resmi. Keempat, pesantren, sekolah, plus pendidikan keterampilan; yaitu pesantren yang di samping menyelenggarakan sekolah, juga menyelenggarakan berbagai pendidikan keterampilan bagi
santri dan
warga
sekitarnya. Pendidikan
keterampilan tersebut antara lain jahit-menjahit, teknik elektro yang sederhana, perbengkelan, pertukangan, dan lain-lain. Kelima, pesantren modern, yaitu pesantren yang mencakup pendidikan keislaman klasik dan semua tingkat sekolah formal dari sekolah dasar hingga universitas. Selain itu, pesantren jenis ini juga menyelenggarakan program pendidikan
keterampilan.
Program-program
pendidikan
yang
berorientasi
lingkungan mendapat prioritas utama dari pesantren ini. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) PKBM adalah tempat di mana seluruh aktivitas kegiatan belajar masyarakat
diarahkan
pada
pemberdayaan
potensi
desa
baik
dari
pengembangan aspek ekonomi, sosial, maupun budaya yang dilaksanakan secara terpadu agar masyarakat mampu mengembangkan kualitas hidupnya secara mandiri. Atau dengan kata lain PKBM merupakan basis penyelenggaraan PLS yang berlokasi di tengah masyarakat; yang pengelolaannya berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM). Artinya bahwa prakarsa penyelenggaraan pembelajaran diharapkan dapat tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan kebutuhan masyarakat sendiri. Sehingga masyarakat setempat akan lebih mempunyai rasa memiliki yang selanjutnya kegiatan belajar tersebut dapat berkembang dan berkelanjutan (continuiting learning) dan berjalan optimal. PKBM
sebagai
tempat
pembelajaran
masyarakat
telah
dirintis
dan
disosialisasikan pembentukannya oleh Direktorat Dikmas Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas sejak tahun 1998 sebagai respon atas meningkatnya angka anak putus sekolah serta meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia pasca krisis ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi bahwa belum semua anak usia pendidikan dasar dan menengah (7-18 tahun) masuk sekolah dan/atau dapat menyelesaikan pendidikannya (putus sekolah). Berdasarkan hasil SUSENAS
24
2006, pada tahun 2002 BPS mencatat sekitar 3.580.000 anak usia pendidikan dasar yang tidak bersekolah dan sekitar 7,9 juta anak usia 16-18 tahun tidak bersekolah di SLTA. Penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 15 juta orang dan untuk kelompok usia 10-44 tahun tercatat sekitar 4 juta orang. Jumlah penduduk yang terindikasi buta aksara mengalami kenaikan, mencapai 9,1%. Apabila jumlah penduduk Indonesia adalah 200 juta jiwa, maka terdapat 18 juta jiwa lebih di Indonesia termasuk dalam kategori buta aksara. Di Kabupaten Jepara, masih tercatat 12,8% jumlah penduduk Kabupaten Jepara yang terindikasi buta aksara. Berbagai kelompok masyarakat yang tidak tertampung oleh jalur formal inilah yang sebagian harus dilayani melalui jalur pendidikan non formal, yang salah satunya diselenggarakan oleh PKBM. PKBM didefinisikan sebagai suatu wadah berbagai pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya; yang pengelolaannya berdasarkan prinsip DOUM (Direktori PKBM Jawa Barat 2006, diacu oleh Yuliantoro 2008). Dari konsepsi tersebut, terlihat penekanan pada aspek partisipasi
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pembelajaran/pendidikan.
Sejalan dengan Ife (1995) yang mengatakan bahwa community development sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas, maka penyelenggaraan pendidikan non formal melalui PKBM dapat diartikan sebagai community development. PKBM memberikan wahana bagi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar berupa pengetahuan dan keterampilan yang bermakna bagi kehidupannya, berfungsi sebagai wadah berbagai kegiatan belajar masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan masyarakat. Tujuan dibentuknya PKBM adalah untuk memperluas kesempatan warga belajar, khususnya bagi anak keluarga tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam bingkai konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan education)
pada
seperti
pendidikan diuraikan
berbasis terdahulu,
diimplementasikan dalam masyarakat.
masyarakat PKBM
(community
dibangun
dan
based coba
25
Terdapat empat bidang kegiatan yang dikelola PKBM, yaitu: 1) Pendidikan, meliputi: bimbingan, pengajaran, dan pelatihan keterampilan; 2) Pelayanan informasi: menghimpun dan memberikan layanan informasi dari PKBM kepada masyarakat sekitar dan lembaga luar; 3) Jaringan informasi dan kemitraan, meliputi: a. mengembangkan jaringan informasi dan kemitraan dengan lembaga lokal maupun di luar masyarakat; b. memelihara jaringan yang telah terbina; 4) Pembinaan tenaga kependidikan PKBM meliputi: meningkatkan kualitas kinerja tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, instruktur, maupun nara sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun difasilitasi dari luar (pemerintah). Secara operasional, PKBM merupakan tempat di mana kegiatan PLS dipusatkan pelaksanaannya dengan lokasi berada di tingkat kecamatan. Syarat minimal dapat didirikan PKBM adalah: 1. Adanya gedung sekolah/gedung lainnya yang kosong dan tidak dimanfaatkan; 2. Minimal dapat digunakan selama 5 tahun; 3. Ada izin tertulis dari pihak berwenang; 4. Memiliki sekurang-kurangnya 2 lokal; 5. Letaknya mudah dijangkau oleh masyarakat; serta 6. Adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan. Indikator keberhasilan PKBM yang ditetapkan Depdiknas adalah: 1. Keberhasilan pengelolaan a. Setiap hari ada kegiatan pembelajaran; b. Minimal diselenggarakan lima jenis kegiatan pembelajaran. 2. Keberhasilan proses pembelajaran a. Meningkatkan peran serta warga belajar dan masyarakat sekitarnya; b. Terciptanya suasana belajar yang kondusif; c. Semakin
meningkatnya
kemampuan
warga
belajar
dan
warga
masyarakat sekitar dalam mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya atau sebagai mata pencaharian warga desa setempat; d. Semakin meningkatnya kualitas hidup warga belajar dan masyarakat sekitar PKBM.
26
Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Life skills atau biasa disebut sebagai kecakapan hidup jika dirunut dari segi bahasa berasal dari dua kata yaitu life dan skill. Life berarti hidup, sedangkan skill adalah kecakapan, kepandaian, ketrampilan; sehingga life skills secara
bahasa
dapat
diartikan
sebagai
kecakapan,
kepandaian
atau
keterampilan hidup. Umumnya dalam penggunaan sehari-hari orang menyebut life skills dengan istilah kecakapan hidup. Penjelasan secara lebih komperehensif tentang kecakapan diajukan oleh IOWA State University (2003 dalam Nurohman 2008), dalam hal ini skill diartikan sebagai berikut, a skill is a learned ability to do something well. Kecakapan tidak hanya diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu, lebih daripada itu, kecakapan dimaknai sebagai kemampuan belajar untuk melakukan sesuatu secara lebih baik. Jadi mampu melakukan sesuatu saja belum cukup untuk dikatakan sebagai cakap, melainkan kemampuan untuk melakukan sesuatu tersebut harus ditunjukan secara lebih baik dan diperoleh melalui suatu aktivitas belajar. Demikianlah IOWA State University mensyaratkan aspek kesempurnaan dalam konteks skill. Life skills diartikan sebagai, are abilities individuals can learn that will help them to be successful in living a productive and satisfying life. Kecakapan hidup dimengerti sebagai kemampuan individual untuk dapat belajar sehingga seseorang memperoleh kesuksesan dalam hidupnya, produktif dan mampu memperoleh kepuasan hidup. Indikator seseorang telah memperoleh life skills dengan demikian dapat dilihat dari sejauhmana ia mampu eksis dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila seseorang mampu produktif dan membuat berbagai kesuksesan, maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki life skills yang baik. Definisi
lain
tentang
life
skills
diungkap
oleh
lifeskills4kids
(http://www.lifeskills4kid.com) bahwa, “In essence, life skills are an "owner's manual" for the human body. These skills help children learn how to maintain their bodies, grow as individuals, work well with others, make logical decisions, protect themselves when they have to and achieve their goals in life”. Secara esensial, life skills didefinisikan sebagai (semacam) petunjuk praktis yang membantu anak-anak untuk belajar bagaimana merawat tubuh, tumbuh untuk menjadi seorang individu, bekerja sama dengan orang lain,
27
membuat keputusan-keputusan yang logis, melindungi diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Sehingga dalam hal ini yang akan menjadi tolok ukur life skills pada diri seseorang adalah terletak pada kemampuannya untuk meraih tujuan (goal) hidupnya. Life skills memotivasi anak-anak dengan cara membantunya untuk memahami diri dan potensinya sendiri dalam kehidupan, sehingga mereka mampu menyusun tujuan-tujuan hidup dan melakukan proses problem solving apabila dihadapkan pada persoalanpersoalan hidup. Istilah life skills menurut Depdiknas (2002 dalam Nurohman 2008) tidak semata-mata diartikan memiliki ketrampilan tertentu (vocational job) saja, namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja dan mempergunakan teknologi. Depdiknas melukiskan komponen life skills dalam sebuah diagram sebagaimana tertera di bawah ini. Gambar 1. Diagram Klasifikasi Life Skills Personal Skills
General Life Skills
Thinking Skills
Social Skills
Life Skills Academic Skills
Specific Life Skills
Sumber: Depdiknas 2002
Vocational Skills
Life skills yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan setidaknya terbagi dalam dua kategori, yaitu pertama General Life Skills (GLS) yang terdiri dari kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, dan kecakapan sosial.
28
Sedangkan yang kedua adalah Spesific Life Skills (SLS) yang terdiri dari kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Life skills dengan demikian memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Pendidikan yang berorientasi pada life skills berarti harus senantiasa cerdas menangkap setiap kebutuhan masyarakat. Keduanya, yaitu lembaga pendidikan dan masyarakat harus mengupayakan adanya pola hubungan yang dinamis untuk mengomunikasikan berbagai persoalan yang harus ditangani oleh lembaga pendidikan. Menurut Broling (Depdiknas 2004) life skills adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri. Broling mengelompokkan life skills ke dalam tiga kelompok kecakapan, yaitu: (1) kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), (2) kecakapan hidup pribadi/sosial (personal/social skill), dan (3) kecakapan hidup bekerja (occupational skill). Kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill) antara lain meliputi: pengelolaan
kebutuhan
pribadi,
pengelolaan
rumah
pribadi,
kesadaran
kesehatan, kesadaran keamanan, pengelolaan makanan-gizi, pengelolaan pakaian, kesadaran pribadi sebagai warga negara, pengelolaan waktu luang, rekreasi, dan kesadaran lingkungan. Kecakapan hidup sosial/pribadi (personal/social skill) antara lain meliputi: kesadaran diri (minat, bakat, sikap, kecakapan), percaya diri, komunikasi dengan orang lain, tenggang rasa dan kepedulian pada sesama, hubungan antar personal,
pemahaman
dan
pemecahan
masalah,
menemukan
dan
mengembangkan kebiasaan positif, kemandirian dan kepemimpinan. Kecakapan hidup bekerja (occupational skill), meliputi: kecakapan memilih pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan keterampilan kerja, latihan keterampilan, penguasaan kompetensi, menjalankan suatu profesi, kesadaran untuk
menguasai
berbagai
keterampilan,
kemampuan
menguasai
dan
menerapkan teknologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan, dan menghasilkan produk barang dan jasa. WHO memberikan pengertian bahwa kecakapan hidup adalah berbagai keterampilan/kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan
29
dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. WHO mengelompokkan kecakapan hidup ke dalam lima kelompok, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan pribadi (personal skill), (2) kecakapan sosial (social skill), (3) kecakapan berpikir (thinking skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan kejuruan (vocational skill). UNICEF mendefinisikan life skill sebagai sesuatu yang lebih detail lagi dengan menggunakan tambahan based education. Life skill-based education adalah pendekatan pengembangan perilaku atau perubahan perilaku antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Keterampilan yang dimaksud menurut WHO, terdiri dari: keterampilan memecahkan masalah, keterampilan berpikir kritis,
keterampilan
keterampilan
mengambil
berhubungan
keputusan,
keterampilan
interpersonal,
keterampilan
berpikir
kreatif,
bernegosiasi,
keterampilan mengembangkan kesadaran diri, keterampilan berempati, dan keterampilan mengatasi stress dan emosi. Berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa hakikat pendidikan kecakapan hidup dalam pendidikan non formal adalah merupakan upaya untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup didasarkan atas prinsip empat pilar pendidikan, yaitu kemampuan belajar untuk mengetahui (learning to know) yang diikuti dengan belajar untuk tahu cara belajar (learning to learn), belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to life together). Secara operasional, program kecakapan hidup (Depdiknas 2004) dalam pendidikan non formal dipilah menjadi empat jenis, yaitu: 1. kecakapan pribadi (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri sendiri, kecakapan berpikir rasional, dan percaya diri; 2. kecakapan sosial (social skill), seperti kecakapan melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan tanggung jawab sosial; 3. kecakapan akademik (academic skill), seperti kecakapan dalam berpikir secara ilmiah, melakukan penelitian, dan percobaan dengan pendekatan ilmiah;
30
4. kecakapan vokasional (vocational skill) adalah kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat, seperti di bidang jasa (perbengkelan, jahit-menjahit), dan produksi barang tertentu (peternakan, pertanian, perkebunan). Keempat jenis kecakapan hidup di atas, dilandasi oleh kecakapan spiritual, yakni: keimanan, ketakwaan, moral, etika, dan budi pekerti yang luhur sebagai salah satu pengamalan dari sila pertama Pancasila. Dengan demikian, pendidikan kecakapan hidup diarahkan pada pembentukan manusia yang berakhlak mulia, cerdas, terampil, sehat, mandiri, serta memiliki produktivitas dan etos kerja tinggi. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup pada satuan dan program pendidikan non formal, utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran lebih ditekankan pada upaya pembelajaran yang dapat memberikan penghasilan (learning and earning). Secara khusus, pendidikan life skills menurut Depdiknas memberikan pelayanan kepada warga belajar agar: a) memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja baik bekerja mandiri (wira usaha) dan/atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa dengan penghasilan yang semakin layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; b) memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karyakarya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global; c) memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk dirinya sendiri maupun untuk anggota keluarganya; d) mempunyai
kesempatan
yang
sama
untuk
memperoleh
pendidikan
sepanjang hayat dalam rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat. Penyelenggaraan
pendidikan
life
skills
diarahkan
pada
upaya
pengentasan kemiskinan dan upaya memecahkan masalah pengangguran, oleh karena itu pemilihan keterampilan yang akan dipelajari oleh warga belajar didasarkan atas kebutuhan masyarakat, potensi lokal, dan kebutuhan pasar, sehingga diharapkan akan memberikan manfaat positif bagi warga belajar, masyarakat sekitar, dan pemerintah. Manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah sebagai berikut:
31
1. manfaat bagi warga belajar a) memiliki keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan sikap sebagai bekal untuk berusaha sendiri dan atau bekerja pada perusahaan terkait; b) memiliki penghasilan sendiri yang dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya; c) memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalismenya dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; d) memiliki keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan sikap positif/ bermanfaat yang dapat diberikan/ditularkan kepada sesamanya; 2. manfaat bagi masyarakat a) pengangguran berkurang; b) tumbuhnya aneka mata pencaharian baru yang diusahakan oleh masyarakat sekitar; c) berkurangnya kesenjangan sosial; d) keamanan masyarakat membaik; 3. manfaat bagi pemerintah a) meningkatnya kualitas sumber daya manusia; b) produktivitas bangsa meningkat; c) memajukan perdesaan; d) tumbuhnya kegiatan usaha ekonomi masyarakat; e) mencegah kerawanan sosial. Kelembagaan Nasdian (2007) menyebutkan bahwa kelembagaan pembangunan terdiri atas public sector, private sector, dan collective action sector. Public sector mengacu kepada lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat (public), private sector lebih dominan kepada swasta yang menjalankan kegiatan berdasarkan kepentingan normatif dan ekonomis, sedangkan collective action sector yang didefinisikan sebagai aktivitas bersama yang didasarkan pada keinginan mencapai tujuan tertentu, dengan jalan mengubah sesuatu secara temporer atau tetap, mengacu kepada lembaga yang diselenggarakan oleh komunitas secara kolektif. Ketiga jenis lembaga tersebut, dalam kaitannya dengan good governance (tata kelola yang baik), dapat mencapai tujuan pengembangan masyarakat apabila
32
bersinergi membangun jejaring yang kuat. PKBM dapat digolongkan dalam collective action sector karena dilakukan secara kolektif oleh elemen masyarakat, baik sebagai pengelola, tutor/nara sumber teknik, maupun warga belajar. Analisis kelembagaan sebagai collective action sector dengan melihat perubahan kelembagaan dalam dimensi historis dan prospek kelembagaan, pilar-pilar yang diperlukan untuk menopang kelembagaan, serta melihat kelembagaan sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Dengan melihat perubahan kelembagaan, merujuk pada teori Carney and Gedajlevic (2005, diacu oleh Nasdian 2008), bahwa perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi sebagai suatu “institutional and organizational coevolution”, penyelenggaraan PLS dapat dilihat berdasarkan perubahan atau evolusi antara pranata-pranata yang ada dengan organisasi penyelenggara yang terbentuk. Melalui alat analisis ini, dapat diketahui apakah pemerintah mulai memberikan ruang yang luas bagi masyarakat dalam menyelenggarakan PLS, dengan didukung oleh regulasi yang lebih memihak dan stimulan anggaran. Perubahan
program
PLS
termasuk
program
life
skills
yang
diselenggarakan melalui PKBM tersebut di atas secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi, walaupun faktor ini yang dominan. Selain faktor tersebut faktor struktur sosial masyarakat dan faktor kultural merupakan faktorfaktor yang dapat mempercepat atau memperlambat evolusi bersama pranata dan organisasi PKBM tersebut. Oleh karena itu, merujuk pendapat Scott (2008, diacu oleh Nasdian 2008), pada setiap tahap atau periode perubahan (evolusi bersama) tersebut perlu ditelaah apa dan bagaimana “pilar-pilar kelembagaan” yang mendukungnya. Tiga pilar kelembagaan tersebut meliputi pilar regulatif yang mendasarkan pada aturan pemerintah, pilar normatif mendasarkan pada kepentingan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta pilar cultural cognitif yang berbasis pada nilai-nilai dalam masyarakat. Bentuk-bentuk kelembagaan PLS yang dikonstruksikan sebagai hasil dari proses evolusi bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan (perubahan kelembagaan PLS) pada setiap periode atau tahap akan menunjukkan kekhasan dengan “pilar-pilar” penopang kelembagaan PKBM sebagai penyelenggara PLS.
Oleh karena itu, dengan kekhasan “pilar-pilar”
penopang kelembagaan PKBM akan berimplikasi sampai sejauh mana kelembagaan
PKBM
mampu
menjadi
“sistem
organisasi
dan
kontrol
33
sumberdaya”.
Dengan merujuk kepada konsepsi Schmid (1972, diacu oleh
Nasdian 2008), PKBM dapat dipandang sebagai suatu “sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya” yang memiliki tiga karakteristik utama dalam melaksanakan fungsi dan peranannya, yakni memiliki : (1) batas yurisdiksi; (2) property rights; dan (3) aturan representasi (rules of representation). Tiga karakteritik utama tersebut menjadi faktor “pengikat” suatu kelembagaan PKBM dalam melaksanakan fungsi dan peranannya. Kuatlemahnya kelembagaan PKBM dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dipengaruhi oleh sampai sejauh mana batas yurisdiksi, property rights, dan rules of representation dimiliki oleh kelembagaan PKBM. Pemantauan dan Evaluasi Dalam melakukan analisis terhadap suatu program diperlukan kegiatan pemantauan
dan
evaluasi.
Pemantauan
dan
evaluasi
dalam
praktek
pengembangan masyarakat merupakan salah satu langkah yang sangat penting yang harus dilakukan, sama pentingnya dengan langkah-langkah lainnya seperti need asessment, menyusun rencana intervensi, intervensi, serta tindak lanjut yang kesemuanya merupakan tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberian pertolongan dalam praktek pengembangan masyarakat. Secara umum, evaluasi diartikan sebagai kegiatan pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses atau hasil dari kegiatan dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu. Menurut Hendrakusumaatmaja (2007), evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan secara obyektif untuk menentukan keterkaitan, efisiensi, efektifitas dan dampak suatu upaya sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, sedangkan pemantauan meliputi kegiatan mengamati, meninjau kembali, mempelajari dan mengawasi yang dilakukan secara terus-menerus atau berkala. Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai dengan rencana, dan dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan upaya atau
kegiatan-kegiatan
yang
sedang
berjalan, membantu
perencanaan,
penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat pelaksanaan, saat berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu upaya selesai. Lebih lanjut Hendrakusumaatmaja (2007) menyebutkan beberapa tujuan pemantauan dan evaluasi, yaitu:
34
1. mengetahui pelaksanaan suatu upaya keberhasilan-kelemahan, kegagalan, penyimpangan, dan penyebabnya; 2. mengetahui pencapaian tujuan yang hendak dicapai; 3. mengetahui manfaat dan dampaknya terhadap kelompok sasaran; 4. membuat tindakan korektif secara dini; 5. mengoptimalkan upaya yang dilakukan (sumber daya manusia, dana, waktu); 6. menarik bahan pelajaran untuk perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan di masa mendatang secara lebih baik. Mengenai
pentingnya
hasil
pemantauan
dan
evaluasi,
adalah
sebagaimana disebutkan oleh Sumardjo (2008), yaitu: 1. sarana untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan manajemen program pemberdayaan fakir-miskin; 2. meningkatkan kualitas perencanaan secara partisipatif dan kolaboratif antar pihak terkait; 3. membantu pihak-pihak terkait dalam membuat keputusan secara partisipatif yang akuntabel (bertanggungjawab) secara tepat dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 4. membantu dalam membuat kebijakan secara tepat, konvergen, dan sinergis bagi pemerintah; 5. menunjukkan di mana dibutuhkan penyesuaian dan tindakan selanjutnya dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 6. menunjukkan di mana dibutuhkan tindak lanjut lebih lanjut dan mendalam; 7. memberikan informasi kepada masyarakat yang lebih luas. Efisiensi dan efektifitas merupakan dua konsep yang sangat penting dalam mengevaluasi suatu kegiatan program pengembangan masyarakat dan keduanya tidak dapat dipisahkan dalam mengukur pencapaian tujuan kegiatan. Informasi dari hasil evaluasi yang berkaitan dengan kedua tujuan itu dapat digunakan sebagai bahan untuk perbaikan ketika kegiatan selesai atau sedang berjalan dan sebagai bahan untuk menyusun rencana kegiatan berikutnya. Menurut teori sistem, Hartrisari (2007) mengungkapkan bahwa evaluasi dilakukan melalui pengukuran pencapaian pada tujuan sistem. Ukuran evaluasi sistem adalah efektif dan efisien. Efektif merupakan derajat ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan, misalnya pencapaian jumlah total penjualan dari target suatu perusahaan. Efisien merupakan pengukuran rasio output terhadap penggunaan input, misalnya tingkat penjualan tertentu dibandingkan terhadap jumlah
35
biaya yang dikeluarkan. Seringkali orang tidak dapat membedakan dengan benar arti kata efisien dan efektif, padahal pengertian kedua kata tersebut berbeda. Efektif berhubungan dengan mengukur ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan efisien berhubungan dengan ukuran keberhasilan dalam penggunaan input. Suatu sistem dapat dikatakan efektif tetapi tidak efisien jika dalam pencapaian tujuannya membutuhkan biaya yang besar. Sebaliknya suatu sistem dapat dikatakan efisien tetapi tidak efektif jika tujuan yang ditetapkan tidak tercapai walau biaya yang dikeluarkan relatif kecil. Turban (1999, diacu oleh Hartrisari 2007) memberikan acuan pembeda kata efektif dan efisien. Efektif adalah “doing the right thing” (melakukan hal yang benar); sedangkan efisien adalah “doing the thing right” (melakukan hal dengan benar). Berkaitan
dengan
penelitian
ini,
yang
salah
satunya
adalah
melaksanakan evaluasi terhadap program life skills, perlu dibangun indikator yang merupakan ciri khas penelitian evaluasi. Indikator tersebut meliputi indikator proses, indikator input (komponen), dan indikator eksternal, yang dapat menggambarkan keberhasilan program. Indikator proses diperlukan untuk mengetahui apakah pembentukan PKBM Al-Wathoniyah, penentuan jenis keterampilan life skills, serta penyelenggaraan kegiatan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Indikator input digunakan untuk mengetahui stakeholder (komponen) yang terlibat dalam program ini, dan komponen mana yang bertindak sebagai pekerja komunitas dalam bingkai pengembangan masyarakat. Sedangkan
indikator
eksternal
berhubungan
dengan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keberhasilan PKBM Al-Wathoniyah, misalnya regulasi pemerintah, pendanaan, motivasi penyelenggara dan warga belajar, faktor lingkungan yang berhubungan dengan jejaring dan kondisi perekonomian saat ini. Tinjauan terhadap Konsep Life Skills Depdiknas Secara
konseptual,
program-program
life
skills
disepakati
dan
dilaksanakan di berbagai negara di dunia dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang berlaku di negaranya masing-masing. Konsep-konsep life skills dikemukakan antara lain oleh Broling, Pat Hendriks (Iowa State University), UNICEF, WHO, dan Depdiknas sebagaimana diuraikan di bawah ini. Broling (http://www.google.com/lifeskills) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and attitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”.
36
Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional
seperti:
membaca,
menulis,
menghitung,
merumuskan,
dan
memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, menggunakan teknologi. Pendidikan kecakapan hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pat Hendriks (Iowa State) menggambarkan model pencapaian life skills sebagaimana disebutkan Steve McKinley (http://www.google.com/lifeskills): Gambar 2. Model Pencapaian Life Skills
Gambar di atas menyebutkan bahwa pencapaian life skills meliputi empat kuadran (4-H) yaitu HEART, HAND, HEALTH, HEAD. Jika diterjemahkan secara bebas maka konsep life skills
ditujukan untuk mencapai kemampuan
berhubungan dengan pihak lain di luar dirinya (Heart), kemampuan untuk bekerja
37
dan saling memberi (Hand), kemampuan untuk hidup sehat (Health), dan kemampuan untuk berpikir positif dalam mencapai tujuan (Head). Hal ini berarti bahwa life skills bukan hanya ditujukan untuk mencapai kemampuan menguasai keterampilan praktis semata. Lebih luas lagi, life skills ditujukan agar seseorang cakap dalam menjalani hidup dengan memanfaatkan segenap potensi yang dimilikinya baik kognisi (Head, Health), afeksi (Heart), maupun psikomotornya (Hand, Health). UNICEF mendefinisikan life skills sebagai: this term refers to a large group of psychosocial and interpersonal skills which can help people make informed decisions, communicate effectively, and develop coping and self managemen skills that may help them lead a healthy and productive life (http://www.unicef.org/lifeskills). Life skills menunjuk kepada kajian yang luas dari psikososial dan kemampuan berhubungan dengan orang lain yang dapat membantu seseorang menyusun keputusan, berkomunikasi secara efektif, dan membangun coping (kemampuan mental dalam mengatasi masalah) dan kemampuan mengatur diri yang membimbing seseorang untuk hidup sehat dan produktif. Lebih lanjut, UNICEF mengungkapkan bahwa life skills sebagai “a behaviour change or behaviour development approach designed to address a balance of three areas: knowledge, attitude and skills”. The UNICEF definition is based on research evidence that suggests that shifts in risk behaviour are unlikely if knowledge, attitudinal and skills based competency are not addressed. Life skills adalah suatu perubahan perilaku atau pendekatan pembangunan perilaku yang dialamatkan untuk menyeimbangkan tiga area: pengetahuan, perilaku, dan keterampilan. Berdasarkan penelitian, apabila ketiga area ini tidak seimbang maka tujuan perubahan perilaku tidak terwujud dengan baik. WHO mendefinisikan life skills sebagai, "the abilities for adaptive and positive behaviour that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life". Life skills adalah kemampuan untuk beradaptasi dan berperilaku positif yang memungkinkan seseorang menghadapi tantangan dan persaingan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Esensi life skills adalah kemampuan yang membantu meningkatkan mental dan berguna bagi para pemuda untuk menghadapi realita kehidupan. Sebagian besar profesional pengembangan masyarakat sepakat bahwa secara umum life skills diaplikasikan dalam konteks sosial dan kesehatan. Life skills
38
bermanfaat dalam area: pencegahan penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, kehamilan di luar nikah, pencegahan HIV/AIDS, dan pencegahan bunuh diri. Secara singkat, life skills memberdayakan para pemuda bertindak positif untuk melindungi diri sendiri dan meningkatkan perilaku hidup sehat dan hubungan sosial yang positif. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep life skills menurut UNICEF dan WHO dititikberatkan kepada usaha-usaha perubahan perilaku, yang diawali dengan perubahan pola pikir positif bagi para pemuda untuk dapat menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Berbeda dengan tersebut di atas, konsep life skills menurut Depdiknas dijabarkan melalui program yang dititikberatkan pada kemampuan untuk menguasai keterampilan praktis (vocational skill). Penulis melakukan analisis terhadap konsep life skills Depdiknas (Depdiknas 2004) sebagai berikut: a. Program life skills ditujukan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, sehingga dimungkinkan terjadi tumpang-tindih dengan tugas pokok dan fungsi Departemen Tenaga Kerja maupun Departemen Sosial yang lebih berkompeten menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Permasalahan kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang memerlukan sinergi
antara
berbagai
komponen
bangsa,
termasuk
departemen-
departemen pemerintah, tetapi jika saling tumpang-tindih hanya akan menyelesaikan masalah secara parsial. b. Depdiknas mendasarkan konsep life skills pada konsep WHO yang meliputi lima jenis skills: personal skill, thinking skill, social skill, academic skill, dan vocational skill; tetapi titik beratnya hanya pada vocational skill saja. Hal ini menjadikan life skills terbatasi dalam pengertian dan pelaksanaannya. Padahal esensi dari life skills adalah perubahan perilaku yang diawali dengan perubahan pola pikir, agar masyarakat dapat cakap dalam mengatasi berbagai persoalan hidup, bukan hanya pada persoalan ekonomi semata. c. Konsep life skills dipahami oleh masyarakat dan Dinas P dan K sebagai padanan dari kata keterampilan, atau keterampilan kerja. Orang yang punya life skills bisa dimaknakan sebagai orang yang terampil atau orang yang siap kerja, siap masuk dunia kerja. Dengan kata lain, life skills diartikan sebagai skill yang ujung-ujungnya adalah keterampilan yang bisa menghasilkan pendapatan
(income
earning).
Pemahaman
ini
bisa
jadi
karena
39
sosialisasi program yang dilaksanakan Depdiknas beserta jajarannya membatasi pengertian life skills yang seharusnya lebih luas. d. Program life skills dapat identik dengan pengertian “proyek” sebagaimana sering diartikan pada masa orde baru, yang menitikberatkan pada top-down approach. Hal ini menjadikan partisipasi masyarakat hanya sebatas sebagai “pelaksana” program yang telah digariskan pemerintah, atau berada pada kategori partisipasi fungsional, di mana masyarakat menjalankan kegiatan setelah pemerintah memutuskan dan menerbitkan petunjuk pelaksanaannya. Di beberapa tempat, pola pendekatan semacam ini akan dapat mematikan kreatifitas, prakarsa, dan inisiatif masyarakat sendiri. Lebih lanjut tentang konsep life skills, berikut ini disajikan analisis perbedaan konsep life skills menurut WHO dan Depdiknas sebagai berikut: Tabel 2. Perbedaan Konsep Life Skills menurut WHO dan Depdiknas Konsep life skills Tujuan Sasaran Kegiatan
Issue
Tindakan aksi
Jenis
WHO
Depdiknas
Mengubah perilaku, diawali Menanggulangi masalah kemisdengan perubahan berpikir positif kinan dan pengangguran Para pemuda/remaja Pengangguran, anak putus sekolah, penduduk miskin Masuk dalam kurikulum sekolah, Masuk dalam kegiatan pendidiktransfer pemahaman tentang an luar sekolah, mendorong masyarakat melakukan kegiatan hidup sehat dan berpikir positif penguasaan keterampilan praktis penyalahgunaan narkoba, pele- Pengangguran dan kemiskinan, cehan seksual, kehamilan di luar penguasaan ketrampilan praktis, nikah, pencegahan HIV/AIDS, mencari penghasilan pencegahan bunuh diri, dsb Sosialisasi perilaku hidup sehat Pemberian juknis dan stimulan modal bagi perorangan/kelompok dan berpikir positif yang dilakukan berulang-ulang melalui untuk menjalankan kegiatan/usaha sekolah, media massa Personal skill, thinking skill, social Vocational skill skill, academic skill, vocational skill
Sumber: Depdiknas 2002, http://www.google.com/lifeskills, diolah Penyelenggaraan program life skills di beberapa negara Amerika Latin mendasarkan pada konsep WHO (http://www.google.com/lifeskills), masuk dalam kurikulum sekolah mulai dari TK hingga SLTP, yang sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan kesehatan sejak dini. Anak-anak sekolah tersebut diberikan
pemahaman
dan
berpikir
kritis
mengenai
bahaya
merokok,
penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, kehamilan di luar nikah, HIV/AIDS,
40
dan permasalahan lain yang dihadapi di masa remaja. Melalui pemahaman tersebut, mereka mempunyai life skills (pengetahuan, berperilaku, dan berketerampilan) untuk dapat melindungi diri dari perilaku negatif, meningkatkan derajat kesehatan dan hubungan sosial di tengah masyarakat. Berbagai uraian di atas, menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar pada konsep dan aplikasi program life skills antara WHO dan Depdiknas. Depdiknas (2004) menyatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup pada satuan dan program pendidikan non formal, utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran lebih ditekankan pada upaya pembelajaran yang dapat memberikan penghasilan (learning and earning). Dengan demikian, Depdiknas telah memberikan batasan mengenai life skills yang diberikan melalui jalur non formal, yaitu dalam jenis vocational skills atau kecakapan dalam bidang pekerjaan tertentu bagi warga belajar; sementara personal skills, social skills, dan academic skills, bukan menjadi prioritas meskipun dalam implementasinya ketiga jenis life skills tersebut turut mengiringi. Personal skills terutama diperoleh karena dengan mengikuti program warga belajar dapat mengenal kemampuan diri sendiri terhadap penguasaan jenis keterampilan, dapat lebih berpikir rasional untuk menjalankan suatu usaha, dan lebih percaya diri apabila usahanya tersebut berhasil. Social skills didapatkan dalam interaksi antara tutor dan warga belajar, serta dalam kelompok-kelompok usaha yang dibentuk karena dalam menjalankan usaha bersama diperlukan kecakapan untuk melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan tanggung jawab sosial agar usaha dimaksud membuahkan hasil. Sedangkan academic skills lebih didapatkan oleh pengelola program/pengurus PKBM dalam pembuatan proposal yang didahului dengan analisis kebutuhan warga belajar dan kebutuhan pasar sehingga program dapat berkelanjutan. Tujuan utama penyelenggaraan program life skills di Desa Sukosono adalah
penguasaan
bidang
pekerjaan
tertentu (vocational
skills),
yaitu
keterampilan seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon. Jenis keterampilan tersebut diarahkan agar warga belajar langsung mempraktekkannya untuk mendapatkan penghasilan, kecuali jahit-menjahit dan bordir yang ditujukan sebagai bekal keterampilan bagi para santri. Beberapa program dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan, beberapa yang lain tidak dapat dilanjutkan dengan berbagai alasan. Menilik dari proses penyelenggaraan program ini yang hanya
41
menitikberatkan pada vocational skills, maka sebenarnya lebih tepat apabila disebut living skills education atau income earning training. Apabila program ini berlanjut pada masa yang akan datang, Depdiknas seyogianya memberi istilah yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman pemakaian istilah. Dalam kajian ini, penulis melakukan evaluasi terhadap program life skills sebagaimana dikeluarkan oleh Depdiknas, yaitu penulis mencoba menganalisis sejauh mana program life skills Depdiknas ini dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, bagaimana memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan program melalui musyawarah bersama. Sehingga rencana program aksi pengembangan masyarakat yang disusun adalah dalam rangka mengembangkan program yang telah dijalankan sebelumnya, tetapi tetap merekomendasikan
kepada
Depdiknas
untuk
menciptakan
konsep
penyelenggaraan program life skills yang sesuai dengan konsep yang disepakati oleh dunia internasional. Kerangka Pikir Kajian Dunia pendidikan saat ini mengembangkan konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community
based education). Community
based education
mensyaratkan bahwa pendidikan diselenggarakan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Sejalan dengan konsep ini, pemerintah melalui Depdiknas mendorong pembentukan PKBM di seluruh wilayah Indonesia. Proses
pembentukan
dan
penyelenggaraan
PKBM,
dalam
konsepnya,
menggunakan prinsip DOUM (dari, oleh, dan untuk masyarakat) yang berarti community based education. Melalui masyarakat,
PKBM karena
didorong masyarakat
adanya
pemberdayaan
diberikan
porsi
yang
dan
partisipasi
besar
dalam
menyelenggarakan pendidikan khususnya PLS. Pemberdayaan memungkinkan masyarakat menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga mempunyai kesadaran dan kekuasaan dalam membentuk hari depannya. Melalui pemberdayaan juga, masyarakat diberikan kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan-keputusannya, dan tindakan-tindakannya. Konsep pembedayaan berkaitan erat dengan partisipasi, yang merupakan keterlibatan aktif masyarakat
42
dalam pelaksanaan kegiatan atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. PKBM bergerak dalam bidang garapan PLS, yang menekankan pada pemberdayaan penyelenggaraan
dan
partisipasi
masyarakat
program-programnya,
salah
dalam
pembentukan
satunya
adalah
dan
program
kecakapan hidup (life skills). Depdiknas telah menetapkan program life skills sejak tahun 1998 sebagai respon atas meningkatnya angka anak putus sekolah serta meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia pasca krisis ekonomi. Program life skills yang dikelompokkan ke dalam PLS ini diselenggarakan antara lain melalui PKBM, termasuk di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono. Program life skills di Sukosono
telah
diselenggarakan
sejak
tahun
2003,
sehingga
demi
kesinambungan program diperlukan adanya pemantauan dan evaluasi, berupa evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif untuk menentukan efektifitas tindakan dan intervensi program life skills bagi kesejahteraan masyarakat, serta menilai dan merumuskan cara yang efektif dan kondisi yang kondusif untuk mencapai efektifitas program. Sedangkan evaluasi formatif dilakukan untuk membuat rekomendasi perbaikan program life skills di masa yang akan datang. Pemantauan dan evaluasi ini dimaksudkan agar program berjalan dengan efektif. Penyelenggaraan life skills (Depdiknas) di Sukosono tidak terlepas dari faktor penghambat dan faktor pendukung. Beberapa faktor penghambat berupa: belum tersosialisasinya program dengan baik, kendala persyaratan yang memberatkan PKBM, jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan warga belajar, kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan sehingga mempengaruhi motivasi, anggaran pemerintah yang “terbatas”, serta rendahnya honor tutor di samping kualitas tutor itu sendiri. Sedangkan beberapa faktor pendukung yaitu: terdapatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang program ini, terdapatnya anggaran dan pendampingan oleh dinas teknis terkait, telah terdapatnya PKBM Al-Wathoniyah sebagai penyelenggara program, keberadaan pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Sukosono
serta
dapat
bekerjasama
dengan
PKBM
untuk
menyelenggarakan program, dan adanya sasaran program yaitu para santri dan masyarakat sekitar pesantren.
43
Strategi yang perlu dikembangkan menuju keberhasilan program ini yaitu dengan melakukan sosialisasi yang intensif tentang keberadaan program life skills kepada masyarakat, melakukan need assessment tentang jenis keterampilan yang diinginkan warga belajar, menjalin kolaborasi dengan pesantren terutama dalam perekrutan warga belajar, menjalin kolaborasi dengan dunia industri dan perdagangan untuk menampung dan memasarkan produk hasil life skills, mendorong pemerintah mempermudah persyaratan dan pencairan dana, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyukseskan program. Dengan strategi tersebut, diharapkan program ini dapat menambah lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel, mengembangkan industri kecil (barang dan jasa) dari life skills yang diberikan, terjalin kolaborasi dengan swasta untuk menampung dan memasarkan produk, memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta dapat memberikan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam bentuk Gambar 3: Gambar 3. Kerangka Pikir Kajian
Faktor pendukung: ♣ adanya peraturan perundangan ♣ tersedianya anggaran dan pendampingan ♣ terbentuk PKBM ♣ keberadaan pesantren ♣ adanya sasaran program Dasar teoritis: ♣ community based education ♣ pemberdayaan dan partisipasi ♣ pemantauan dan evaluasi (sumatif dan formatif) ♣ efektifitas Dasar faktual: ♣ meningkatnya kemiskinan dan pengangguran ♣ rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
Rencana Aksi / Strategi Pengembangan:
Penyelenggaraan program life skills (Depdiknas)
Faktor penghambat: ♣ sosialisasi terbatas ♣ kendala persyaratan ♣ jenis keterampilan kurang sesuai ♣ motivasi warga belajar kurang maksimal ♣ terbatasnya dana dan kuota pemerintah ♣ rendahnya honor dan kualitas tutor
♣ sosialisasi intensif ♣ need assessment jenis keterampilan ♣ kolaborasi PKBM dan pesantren ♣ kolaborasi dengan dunia industri & perdagangan ♣ penyederhanaan birokrasi ♣ peran serta masyarakat ditingkatkan
Output / pemberdayaan masyarakat sekitar: ♣ lapangan kerja bertambah ♣ berkembangnya industri kecil ♣ kolaborasi dengan swasta ♣ kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan ♣ penghasilan masyarakat meningkat
44
METODOLOGI Strategi Kajian Tujuan dilaksanakannya penelitian dalam rangka Kajian Pengembangan Masyarakat ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah dalam suatu program, organisasi, atau komunitas. Tujuan kajian ini merupakan eksplanasi (penjelasan) sejauh mana program life skills dapat diterima dan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga merupakan deskripsi (penguraian) untuk mendokumentasikan penyelenggaraan program tersebut secara lengkap, rinci, dan mendalam. Sebagai tindak lanjut dari analisis penyelenggaraan program, dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) untuk menciptakan strategi agar PKBM lebih memaksimalkan program ini. Strategi kajian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Dengan studi kasus dimungkinkan untuk diperoleh informasi secara mendalam, sehingga dapat menjelaskan peristiwa/gejala sosial yang terjadi di masa sekarang, atau masih dalam rentang pengalaman/ingatan warga masyarakat yang dikaji. Yin (2002) mengatakan, “Studi kasus lebih dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer (masa kini), bila peristiwaperistiwa yang bersangkutan tak dapat dimanipulasi.” Dengan demikian penulis dapat mengkaji dan memaparkan program secara objektif. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan terhadap PKBM Al-Wathoniyah yang saat ini sedang melaksanakan program life skills beserta para stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan program. Jenis kajian ini (Patton 1990 dalam Sitorus dan Agusta 2007) adalah evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif untuk menentukan efektifitas tindakan dan intervensi program life skills bagi kesejahteraan masyarakat, serta menilai dan merumuskan cara yang efektif dan kondisi yang kondusif untuk mencapai efektifitas program. Sedangkan evaluasi formatif dilakukan untuk membuat rekomendasi perbaikan program life skills. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Beberapa alasan penentuan lokasi penelitian adalah:
45
a. telah terdapat PKBM Al-Wathoniyah yang menyelenggarakan program life skills yang digulirkan Depdiknas. Jenis keterampilan yang dikembangkan adalah seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan makanan ringan (rengginan), pembuatan roti bolu, dan sablon; b. terdapat kolaborasi penyelenggaraan program antara PKBM Al-Wathoniyah dengan pesantren salafi Mamba’ul Qur’an yang telah lama ada dan mengakar di Desa Sukosono. Sasaran program meliputi para santri, peserta Kelompok Belajar Paket B dan C yang diselenggarakan di pesantren ini, dan masyarakat sekitar pesantren. Di Kabupaten Jepara, hanya PKBM AlWathoniyah yang menyelenggarakan kegiatannya dengan berkolaborasi dengan pesantren, maka hal ini merupakan kekhasan penyelenggaraan; c. PKBM Al-Wathoniyah pada 1999 dan 2008 pernah menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah dan PLS eks-Karesidenan Pati, tetapi pada tahun-tahun berikutnya tidak mendapatkan penghargaan serupa. Hal ini menarik untuk dikaji; d. Masih terdapat potensi pengembangan program di masa mendatang. Waktu kajian lapangan mengacu pada pedoman pelaksanaan penelitian Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi, berikut ini: Tabel 3. Jadwal Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat
No.
Jenis Kegiatan
1. 2.
Pemetaan Sosial Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat Seminar kolokium Pembuatan rencana kerja lapangan (proposal) Pengumpulan data kajian Pengolahan, analisis data, pengolahan lapangan Seminar dan ujian Perbaikan dan penggandaaan laporan
3. 4.
5. 6.
7. 8.
2008 1
2
3
4
5
6
7
2009 8
9 10 11 12 1
2
3
46
Cara Penentuan Responden dan Informan Responden dipilih dari para pihak yang berkaitan erat dengan program life skills dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penulis berusaha memilih responden secara cermat dan tepat. Proses pemilihan responden dan informan dilakukan dengan menerapkan teknik bola salju (snow ball), yaitu dengan bertanya kepada teman atau kontak pribadi, terlibat bersama masyarakat, atau mendekati organisasi dan instansi terkait. Penentuan responden dan informan adalah yang memenuhi kriteria dan diharapkan representatif atau mewakili populasi. Kriteria Responden 1. Peserta didik atau warga belajar yang terdiri dari beberapa warga yang mengikuti program life skills, yang sekiranya dapat mewakili keseluruhan; 2. Pengurus PKBM sebagai penyelenggara program life skills; 3. Tutor atau tenaga pengajar program life skills; 4. Pengurus
pondok
pesantren
yang
berkolaborasi
dengan
PKBM
menyelenggarakan program life skills; 5. Penilik PLS dan Tenaga Lapangan Dikmas (TLD), sebagai pendamping penyelenggaraan PLS termasuk program life skills pada wilayah kecamatan. Kriteria informan 1. Aparat Desa Sukosono, yaitu kepala desa dan perangkat desa lainnya yang mengetahui keberadaan kegiatan program life skills di wilayahnya. 2. Aparat Kecamatan Kedung yang menangani kegiatan kemasyarakatan, Kepala Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung beserta stafnya yang menangani jalur-jalur pendidikan masyarakat. 3. Tokoh masyarakat, untuk mengetahui secara mendalam apakah program life skills ini memberikan kontribusi bagi masyarakat. Cara Pengumpulan dan Analisis Data Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diinginkan, maka dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data dengan metode (Sugiyono 2007):
47
1. Observasi Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung dan pencatatan yang sistematis sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas dan memberikan petunjuk yang berkaitan dengan masalah penulisan. Data atau gejala yang ingin diketahui adalah penyelenggaraan program life skills melalui PKBM AlWathoniyah. 2. Interview Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung kepada warga belajar, penyelenggara/pengurus PKBM, dan pihak-pihak lain yang terkait. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu faktor-faktor yang menjadi potensi dan penghambat pelaksanaan program life skills melalui PKBM Al-Wathoniyah. 3. Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus Group Discussion (FGD) Yaitu kegiatan untuk memahami kemampuan dan kemauan masyarakat berdasarkan potensi dan permasalahan yang ada untuk merancang program pengembangan masyarakat yang sesuai. 4. Studi Dokumentasi / Sumber Data Sekunder Teknik pengumpulan data dengan cara penelaahan dan pencatatan data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui instansi terkait guna mengetahui data yang diperlukan, misalnya data Kecamatan Kedung Dalam Angka, profil Desa Sukosono, data program-program PLS di wilayah Kecamatan Kedung, serta data kegiatan PKBM Al-Wathoniyah. Tujuan, jenis data, sumber data, dan metode pengumpulan data dapat disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data No.
Tujuan
Jenis Data
1
2
3
1. Menganalisis profil pesantren Mamba’ul Qur’an dan profil program life skills di PKBM
• proses pembentukan PKBM • sarana prasarana belajar • profil pesantren • pemilihan program • perekrutan tutor & WB
Metode OB WM SD FGD 4 5 6 7 √
√
√
-
√
√
√
-
√ -
√ √ √
√ √
-
Sumber Data 8 • Cabdin P dan K, TLD, Penilik PLS, aparat kecamatan,aparat desa • Pesantren (kyai, santri) • Pengurus PKBM,Tutor • Warga Belajar • Masyarakat
48
1
2
3 • pencairan dana • penyelenggaraan program
2. Menganalisis efektifitas program life skills
• analisis kelembagaan PKBM • analisis proses pembentukan PKBM • analisis penyelenggaraan PLS oleh PKBM • analisis efektifitas program 3. Menganalisis • analisis faktor faktor pendukung pendukung dan faktor peng- • analisis faktor hambat program penghambat life skills 4. Merancang pro- • FGD: proses diskusi, gram pemberdatanggapan peserta yaan melalui life • Rancangan program skills di PKBM Al- aksi: Latar belakang, Wathoniyah tujuan, sasaran, strategi
4
5
6
7
8
√
√ √
√ √
-
-
√
√
-
-
√
-
-
-
√
√
-
√
√
√
-
• Cabdin P dan K, TLD, Penilik PLS, aparat kecamatan,aparat desa • Pesantren (kyai, santri) • Pengurus PKBM,Tutor • Warga Belajar • Masyarakat • Cabdin P dan K, TLD, • Penilik PLS,aparat desa • Pesantren (kyai, santri) • Pengurus PKBM, • Tutor Warga Belajar • Masyarakat
√
√
√
-
√
√
√
-
-
-
-
√
-
-
-
√
• Cabang Dinas P dan K, TLD,Penilik PLS,kecamatan • Pengurus PKBM, Tutor • Warga belajar • Pesantren (kyai, santri) • Pengurus PKBM, Tutor • Warga belajar • Masyarakat
Keterangan: - OB = Observasi - WM = Wawancara Mendalam / interview - SD = Studi Dokumentasi - FGD = Focus Group Discussion Tahapan Cara Analisis Data 1. Reduksi data, yaitu melakukan kategori data. Kegiatan dalam reduksi data ini meliputi pemilihan data, pemilahan, dan penyederhanaan data. Penulis menyeleksi data yang telah dikumpulkan, kemudian membuat ringkasan dan mengkategorikan data berdasarkan tujuannya. Hasil dari pengkategorian data dijadikan konsep awal dalam diskusi kelompok. Selanjutnya dilakukan tukar pendapat dengan responden dan informan. 2. Penyajian data, yaitu mengkonstruksi data dalam bentuk narasi, grafik atau bagan, sehingga mempermudah dalam analisis masalah. Data yang telah dikategori bersama disajikan dalam bentuk bagan dalam diskusi kelompok. 3. Penarikan kesimpulan, yaitu menghubungkan suatu masalah dengan permasalahan yang lain secara kualitatif melalui diskusi, sehingga ditemukan
49
permasalahan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Alur penarikan kesimpulan dimulai dari analisis permasalahan dalam pelaksanaan program life skills di PKBM, faktor-faktor penghambat dan penunjang keberhasilan program.
Selanjutnya
pada
tahap
akhir
analisis
dilakukan
dengan
menghubungkan program life skills dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga mampu mendorong PKBM berdasarkan peluangpeluang atau potensi-potensi yang tersedia. Rancangan Penyusunan Program Penyusunan program dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat melalui diskusi kelompok, baik dalam perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), maupun pengawasan (controlling) atau monitoring dan evaluasi (monev). Hal ini dimaksudkan agar program yang dirancang sesuai dengan kondisi, kemampuan, dan kebutuhan masyarakat. Penyusunan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. identifikasi partisipan, meliputi: penyelenggara program life skills, warga belajar dan pihak-pihak yang terkait berdasarkan hasil identifikasi; 2. perumusan masalah, secara partisipatif melibatkan responden dan informan; 3. pengembangan program life skills yang diinginkan: a. program terselenggara dengan baik dalam masyarakat, didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai serta tenaga tutor yang kapabel; b. adanya dukungan dari kelembagaan lokal, swasta, dan pemerintah; c. tersedia lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel; d. berkembangnya industri kecil (barang dan jasa); e. kerja sama dengan swasta untuk penampungan dan pemasaran produk; f.
memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan;
g. memberikan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga. 4. monitoring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi (monev) melibatkan penilik PLS, TLD, pengajar/tutor, penyelenggara, dan warga belajar untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap program life skills yang telah dilaksanakan, serta penilaian terhadap tujuan-tujuan yang telah dicapai.
50
PETA SOSIAL DESA SUKOSONO Gambaran Umum Lokasi Wilayah kerja administrasi pemerintahan Kabupaten Jepara meliputi 14 kecamatan yang terdiri dari 194 desa dan 11 kelurahan. Perbandingan luas wilayah tiap kecamatan dan jarak ibukota kecamatan dari ibukota kabupaten dapat dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 5. Wilayah Kerja Administrasi Kabupaten Jepara
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecamatan Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Jepara Tahunan Mlonggo Bangsri Kembang Keling Karimunjawa Jumlah
Ha
Km
%
4.306,281 3.539,896 2.417,910 2.764,205 6.504,267 5.696,538 8.887,865 2.466,701 3.890,581 10.295,516 8.535,241 10.812,384 23.175,804 7.120,000
43,063 35,399 24,179 27,642 65,043 56,965 88,879 24,667 38,906 102,955 85,352 108,124 231,758 71,200
4,29 3,53 2,41 2,75 6,48 5,67 8,85 2,46 3,87 10,25 8,50 10,77 23,09 7,09
100.413,189
1.004,132
100
Km dari ibukota 9 15 18 27 23 28 12 0 7 9 16 21 36 90
Sumber: Profil Daerah Kabupaten Jepara 2004 Desa Sukosono - yang menjadi lokasi kajian - merupakan salah satu dari 18 Desa yang terdapat di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara, merupakan daerah di sekitar pesisir pantai utara Jawa (+ 3 km dari daerah pantai), berada pada ketinggian + 0 s.d. 3 m di atas permukaan laut, dan termasuk dalam klasifikasi
Desa
Swasembada
(Kecamatan
Kedung
2007).
Dilihat
dari
karakteristik wilayah, dapat dikategorikan sebagai wilayah perdesaan. Topografi wilayah berbukit-bukit, karena secara umum seluruh wilayah Kabupaten Jepara termasuk Kecamatan Kedung - berada dalam lingkup pegunungan Muria. Penduduk Desa Sukosono memiliki karakteristik masyarakat perdesaan yang memiliki ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang masih kuat, dibuktikan
51
dengan masih terlihatnya kebersamaan, kerja sama dan gotong-royong di antara warga masyarakat. Desa Sukosono merupakan wilayah paling utara Kecamatan Kedung, dengan batas wilayah sebagai berikut: a. sebelah utara
: Desa Langon Kecamatan Tahunan
b. sebelah selatan : Desa Kerso Kecamatan Kedung c. sebelah barat
: Desa Rau Kecamatan Kedung
d. sebelah timur
: Desa Dongos Kecamatan Kedung
Secara administratif, Desa Sukosono terdiri dari 8 RW dan 32 RT, mempunyai luas wilayah 383,352 ha. Jarak dengan ibukota Kecamatan Kedung + 5 km, sedangkan dengan ibukota kabupaten berjarak + 9 km, yang ditempuh dengan angkutan perdesaan (angkudes) selama + 30 menit atau 20 menit dengan mobil/sepeda motor. Tidak sulit untuk mencapai desa ini, karena infrastruktur perhubungan berupa jalan kabupaten sudah baik, selebar 5 m dengan aspal hot mix. Begitu pun dengan jalan desa, sebagian telah diaspal. Kegiatan keagamaan Islam terasa sangat kental karena seluruh masyarakat Desa Sukosono beragama Islam, terutama dipengaruhi oleh kultur Nahdlatul Ulama, di mana semua kegiatan yang lazim dilaksanakan oleh warga nahdliyin seperti pengajian, tahlilan, yasin-an, manakiban, berjanzi, kegiatan pengajian ibu-ibu, pengajian remaja, dan kegiatan lain; acapkali dilaksanakan tiap sore atau malam hari. Warga RT mengadakan pertemuan mingguan yang disebut dengan kumpulan RT atau RT-nan dengan tempat pelaksanaan bergilir di rumah-rumah warga.
Kependudukan Berdasarkan angka statistik, pada tahun 2006 jumlah penduduk Desa Sukosono adalah 5.582 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 2.793 jiwa dan 2.789 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah rumah tangga mencapai 1.695 KK atau rata-rata 3 jiwa per rumah tangga. Seluruh penduduk Sukosono merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Dengan jumlah jiwa sebanyak 5.582 dan luas wilayah 3,83 km², maka kepadatan penduduk Sukosono adalah 1.457 jiwa/km². Sex ratio penduduk cukup berimbang, yaitu 1.001,43 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan.
52
Data jumlah penduduk menurut kelompok umur per jenis kelamin dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jumlah jiwa L P Jml
Kelompok umur 0 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 - 14 tahun 15 -19 tahun 20 - 24 tahun 25 - 29 tahun 30 - 34 tahun 35 - 39 tahun 40 - 44 tahun 45 - 49 tahun 50 - 54 tahun 55 - 59 tahun 60 - 64 tahun 65 tahun ke atas Jumlah
316 290 313 301 236 234 192 172 174 132 107 108 109 109 2.793
315 285 312 321 222 233 201 168 171 130 109 104 109 109 2.789
631 575 625 622 458 467 393 340 345 262 216 212 218 218 5.582
Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah Data di atas jika disajikan dalam bentuk piramida penduduk adalah sebagai berikut: Gambar 4. Piramida Penduduk Desa Sukosono Laki-laki
Perempuan
65 + 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5-9 0-4 400
300
200
100
0
100
200
300
400
53
Berdasarkan piramida di atas terlihat bahwa struktur penduduk Desa Sukosono termasuk pada struktur umur peralihan dari struktur umur muda ke struktur umur tua. Proporsi penduduk yang usianya kurang dari 15 tahun sebanyak 32,80% belum menunjukkan struktur umur muda, di mana struktur umur penduduk dikatakan struktur umur muda jika proporsi penduduk yang usianya kurang dari 15 tahun mencapai 40%. Sedangkan proporsi penduduk yang umurnya lebih dari 65 tahun hanya sekitar 3% saja. Hal ini juga tidak menunjukkan struktur umur tua, karena kondisi struktur umur tua ditunjukkan dengan proporsi penduduk berumur 65 tahun ke atas mencapai lebih dari 10%. Struktur
penduduk
ini
merupakan
peluang
bagi
Desa
untuk
mengembangkan potensi wilayah. Mayoritas penduduk pada struktur transisi merupakan penduduk produktif, jika mempunyai kualitas yang baik maka merupakan potensi sumber daya manusia bagi Desa. Untuk meningkatkan kualitas, salah satu di antaranya melalui peningkatan pendidikan. Sebanyak 1.831 jiwa merupakan anak-anak usia 0 s.d. 14 tahun, tetapi data penduduk usia 65 tahun ke atas tidak tersedia karena yang ada adalah data usia 60 tahun ke atas, sebanyak 436 tahun. Apabila usia 60 - 64 tahun adalah separuh jumlah tersebut, maka penduduk usia 65 tahun ke atas dianggap 218 jiwa. Dengan asumsi tersebut maka jumlah keseluruhan penduduk tidak produktif adalah 2.049 jiwa, dan penduduk usia produktif berjumlah 3.533 jiwa. Berarti dilihat dari RBT (Rasio Beban Tanggungan), setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 58 orang penduduk usia tidak produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk Desa Sukosono memiliki rasio beban tanggungan yang tinggi (100:58). Pertumbuhan penduduk dilihat dari angka fertilitas, mortalitas, dan mobilitas penduduk adalah untuk tahun 2006 berjumlah 66 jiwa fertilitas, 18 jiwa untuk angka mortalitas, dan migrasi pindah datang sebanyak 5 jiwa, serta mutasi pindah pergi sebanyak 7 orang. Melihat angka statistik tersebut, maka pada tahun 2006 penduduk Desa Sukosono bertambah 46 orang atau 0,83% dari jumlah penduduk pada tahun 2007; suatu pertumbuhan penduduk yang relatif rendah. Rata-rata jiwa per rumah tangga adalah 3 jiwa, maka bisa jadi pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengaturan jumlah anak dalam keluarga yang juga merupakan program nasional Keluarga Berencana, cukup baik. Hal ini ditunjang oleh sarana dan prasarana kesehatan yang memadai,
54
berupa 1 buah puskesmas pembantu, 1 buah poliklinik desa, 1 orang tenaga dokter praktek, 1 orang bidan desa, dan 2 orang dukun bayi. Sebanyak 749 PUS merupakan peserta KB aktif dari 1.091 PUS yang ada. Alat kontrasepsi yang dipakai oleh PUS terdiri dari 9 orang pengguna IUD, 30 orang pengguna MOP, 2 orang MOW, 113 orang KB Inplan, 428 suntik, serta 167 menggunakan pil KB. Migrasi penduduk baik datang maupun pergi tidak begitu banyak, yang mengindikasikan bahwa penduduk Desa Sukosono merasa nyaman hidup dalam lingkungannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk merantau yang memang tidak menjadi tradisi di desa ini. Menurut penuturan Sekretaris Desa Sukosono, merantau yang dilakukan oleh penduduk tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan, tetapi pada suatu saat akan kembali lagi ke desa asalnya. Perekonomian Penduduk Desa Sukosono yang tercatat bekerja sebanyak 2.219 orang atau 40% dari total jumlah penduduk. Dari angka tersebut, 445 atau 20% terserap pada sektor industri meubel baik sebagai buruh industri, pengusaha pedagang meubel skala kecil dan sedang, 981 orang atau 44% menjadi petani dan buruh tani, selebihnya bekerja sebagai buruh bangunan, angkutan, PNS, TNI/Polri, pensiunan, dan lain-lain (jasa). Dengan luas lahan pertanian yang relatif sempit yaitu 6,13% dari luas wilayah Desa sementara sektor pertanian menyerap 44%, maka terlihat perbandingan yang kurang seimbang antara petani dengan lahan pertanian yang diusahakan. Dalam kenyataannya, para petani ini kemudian beralih profesi ke dalam sektor industri meubel. Hal ini diperkuat oleh penuturan perangkat desa Sukosono bahwa sebagian besar masyarakatnya bergerak pada sektor industri meubel. Dalam bidang peternakan, relatif tidak ada yang berprofesi sebagai peternak. Ternak yang dikembangkan hanya sebatas sebagai hobi dan aset semata serta tidak dikembangkan untuk peningkatan penghasilan. Jenis ternak yang dimiliki oleh masyarakat sebagaimana tercatat dalam Kecamatan Kedung Dalam Angka Tahun 2007, adalah sapi biasa sebanyak 31 ekor, kambing 77 ekor, domba 36 ekor, ayam kampung 599 ekor, serta itik manila 33 ekor. Secara umum, industri meubel yang saat ini berkembang menjadi industri furnitur di Kabupaten Jepara merupakan kerajinan warisan leluhur yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan telah menjadi produk unggulan. Berawal
55
dari kerajinan tangan yang menjadi industri kerajinan, ukiran Jepara terus berkembang menyebabkan Jepara mendapatkan julukan sebagai kota ukir. Dalam perkembangannya, bukan hanya ukiran saja yang menjadi komoditas andalan, melainkan juga meubel. Sektor meubel ini juga menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk Sukosono, sehingga berbicara mengenai industri meubel di Desa Sukosono tidak terlepas dari perkembangan industri meubel di Jepara. Seiring dengan perkembangan industri meubel di pasar nasional dan internasional, terjadi masa keemasan pada dekade 1990-an di mana setiap bulannya tidak kurang dari 800 kontainer dikirim dari Jepara ke luar negeri. Hal ini berimbas pada hampir wilayah di seluruh Kabupaten Jepara meliputi daerah Kecamatan Pecangaan, Kedung, Tahunan, Mlonggo, Bangsri, Batealit, Keling, Mayong, dan Jepara. Pasang-surutnya industri meubel di Jepara ini, juga berimbas pada masyarakat Desa Sukosono, antara lain dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Perkembangan industri meubel di Jepara mengalami pasang-surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu dan harga produksi. Pada kisaran tahun 1990, sebagian masyarakat Jepara melakukan banyak penebangan liar terhadap kayu jati yang pada saat itu dikuasai oleh Perhutani, antara lain karena lemahnya sektor pengamanan sebagai imbas dari krisis kepercayaan masyarakat pada masa reformasi. Maraknya penebangan liar ini, menyebabkan hutan jati semakin berkurang, di sisi lain ketergantungan bahan baku industri meubel akan kayu jati sangat besar. Kekurangan kebutuhan bahan baku tersebut dipenuhi dari luar Kabupaten Jepara, seperti Blora, Rembang, Wonogiri, Wonosari Jogjakarta, dan Jawa Barat. Permintaan yang tinggi mengakibatkan harga kayu jati menjadi mahal, yang akhirnya mendorong para pengrajin mengganti bahan baku dengan kayu hutan dan kayu kampung yang kualitasnya lebih rendah. Selain mahalnya bahan baku, rendahnya kualitas meubel Jepara juga dikarenakan terbatasnya kualitas pelaku industri dan perdagangan, selain karena keterpaksaan pelaku industri meubel mengganti bahan baku kayu jati Perhutani dengan bahan baku yang relatif lebih menurun kualitasnya untuk menyikapi mahalnya harga kayu jati dengan kualitas baik. Hal tersebut menyebabkan meubel dari Kabupaten Jepara beberapa tahun terakhir kurang diminati.
56
Masalah lainnya adalah kompetitifnya harga produksi meubel akibat menumpuknya barang jadi meubel menyebabkan harganya tetap cenderung menurun, terkadang “memaksa” pengusaha meubel ukuran kecil menurunkan harga barang jadinya. Di satu sisi harga bahan baku meningkat tajam, sedangkan harga barang jadi tetap cenderung menurun, sehingga terjadi pasang-surut dalam industri ini. “Perang harga” produksi meubel ini dianggap sesuatu hal yang wajar dalam dunia industri, karena yang penting adalah mempertahankan kualitas produksinya untuk dapat mempertahankan harga yang dikehendaki, dan tidak sampai menimbulkan konflik internal. Di Desa Sukosono, bahan baku kayu jati diperoleh pengrajin dari para pengepul. Industri meubel di desa ini 80%-nya berbahan baku jati, dan sisanya sebesar 20% berupa kayu mahoni. 70% kayu jati berupa kayu jati kampung yang tidak dibeli dari Perhutani, tetapi para pengepul membeli kayu dari daerah penghasil seperti dikemukakan di atas, sedangkan kayu jati yang ditanam masyarakat Sukosono masih belum dapat dimanfaatkan karena masih relatif muda. Pemasaran meubelnya lokalan, 90% di sekitar Jepara yaitu dicari pembeli sendiri dikirim ke luar kota seperti Semarang, Solo, dan Surabaya, dan sisanya sebesar 10% diekspor ke luar negeri melalui gudang-gudang besar. Untuk pemenuhan kebutuhan sembako, terdapat pasar yang walaupun tidak berada di Desa Sukosono tetapi relatif dekat dengan jarak + 5 km terletak di Desa Bugel. Terdapat 21 toko/kios barang kelontong, 2 warung, dan 11 warung makan yang aktif menyediakan kebutuhan masyarakat. Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Sukosono cukup berimbang, mulai dari tingkat pendidikan rendah, menengah, dan tinggi. Komposisi penduduk Desa Sukosono menurut pendidikan bagi umur 5 tahun ke atas pada tahun 2006, dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
57
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Bagi 5 Tahun Ke Atas Tahun 2006 No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1.
Perguruan Tinggi
20
2.
Akademi
11
3.
SLTA
299
4.
SLTP
296
5.
Tamat SD
572
6.
Belum/tidak tamat SD
7.
Tidak/belum bersekolah Jumlah
2.989 622 4.809
Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah Mencermati Tabel 7, terlihat bahwa 62,15% penduduk Sukosono berada pada tingkat belum/tidak tamat SD dan sebesar 12,93% termasuk tidak/belum pernah bersekolah. Hal ini mungkin disebabkan karena masih banyak yang masih bersekolah terutama yang berusia pendidikan dasar 7-15 tahun, atau belum berusia sekolah yaitu usia 5 dan 6 tahun, meskipun memang sebagian tidak pernah mengenyam pendidikan formal atau putus sekolah SD. Jumlah anak tamat SD yang melanjutkan ke SLTP sebanyak 52% atau hampir setengah anak lulusan SD tidak melanjutkan ke SLTP; sedangkan 99% lulusan SLTP melanjutkan ke SLTA. Menurut penuturan perangkat desa Sukosono, masyarakat sebenarnya cukup antusias dengan pendidikan. Indikasinya adalah para orang tua tetap berusaha menyekolahkan anaknya minimal sampai dengan SD meski terbentur oleh kendala biaya, walaupun ada juga pemikiran masyarakat yang lebih mementingkan bekerja dan mendapatkan uang daripada sekolah. Indikasi lainnya adalah terdapat pesantren baik pesantren putra dan putri yang didirikan oleh masyarakat, yang menyelenggarakan program Kejar Paket bagi masyarakat dengan gratis untuk menampung yang mau sekolah. Tercatat di data pondok pesantren Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara, pada tahun 2007 ada dua buah pesantren yang terdapat di desa ini yaitu Pondok Pesantren Mamba’ul Qur’an dan Nurul Hidayah dengan jumlah santri mencapai 437 orang. Fasilitas pendidikan di Desa Sukosono dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut:
58
Tabel 8. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukosono Tahun 2006
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenjang Pendidikan
Sekolah
Sarana dan Prasarana Gedung Murid Guru
Pendidikan formal: Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar Negeri Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Tsanawiyah
3 4 1 1
3 7 1 1
128 592 140 155
6 33 20 20
Pendidikan non formal: Pendidikan Anak Usia Dini Taman Pendidikan Quran PBA/Keaksaraan Fungsional Paket B Paket C TBM Life skills Pondok Pesantren Jumlah
1 5 2 17
5 2 19
160 20 22 160 437 1.814
8 6 9 1 29 132
Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, Dokumen Pesantren Depag Kab. Jepara Tahun 2007 dan Dokumen PLS Tahun 2007, diolah Selain itu, telah berdiri sebuah SMP Negeri Satu Atap pada tahun 2005, yang menempati lokasi dan bergabung dengan SD Negeri 3 Sukosono. Banyaknya sarana dan prasana pendidikan ini sejalan dengan program wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun. Hanya saja, banyaknya anak lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah cukup besar, dan ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Pelapisan Sosial Ekonomi Pelapisan sosial ekonomi masyarakat merupakan fenomena penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat lokal membangun suatu komunitas satu dengan lainnya. Fenomena tersebut timbul karena adanya sesuatu yang dihargai dalam kelompok sosial masyarakat. Dalam membicarakan pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat, Soekanto (1990) memulainya dengan “penghargaan”, dalam arti bibit tumbuh atau terjadinya pelapisan karena adanya sesuatu yang dihargai. Sesuatu itu mungkin dapat berupa uang, atau bendabenda bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, dan keturunan keluarga terhormat. Dengan kata lain, adanya penghargaan terhadap sesuatu
59
tersebut
mengakibatkan
anggota
masyarakat
mengidentifikasikan
dan
menetapkan seseorang dalam posisi tinggi atau rendah dalam masyarakatnya. Menurut Pitrim A. Sorikin, sebagaimana dikutip Soekanto (1990), bahwa sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Ini berdasarkan pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Masyarakat Desa Sukosono tidak terlepas dari fenomena tersebut. Pelapisan sosial dalam masyarakat antara lain berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan pemahaman terhadap agama. Berdasarkan kekayaan, dapat dibedakan dalam keluarga pra sejahtera sampai dengan keluarga sejahtera III plus. Tingkat kekayaan ini berkorelasi dengan tingkat pekerjaan penduduk seperti disinggung di atas, bahwa hanya 40% penduduk yang tercatat bekerja, sementara 60% penduduk menjadi pengangguran atau ibu rumah tangga. Banyaknya rumah tangga menurut status kesejahteraan pada tahun 2006 adalah tersaji dalam Tabel 9 berikut ini: Tabel 9. Banyaknya Rumah Tangga Menurut Status Kesejahteraan pada Tahun 2006
No.
Status Kesejahteraan
Jumlah rumah tangga
1.
Prasejahtera
619
2.
Sejahtera I
557
3.
Sejahtera II
189
4.
Sejahtera III
232
5.
Sejahtera III+
98
Jumlah
1.695
Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I mencapai 69,40%; suatu angka yang cukup besar. Besarnya tingkat kesejahteraan masyarakat Sukosono juga dapat dilihat pada jumlah rumah kurang sehat yang mencapai 459 buah, sedangkan rumah yang tergolong rumah sehat adalah 811 buah.
60
Grafik di bawah ini memperlihatkan rumah tangga di Desa Sukosono berdasarkan tingkat kesejahteraan, sebagai berikut: Gambar 5. Grafik Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa Sukosono 2006
700
600
619 557
500
400
300
232
200
189 100
98
0 P ras ejahtera
S ejahtera I
S ejahtera II
S ejahtera III
S ejahtera III+
Berdasarkan pendidikan, pelapisan sosial ekonomi masyarakat terlihat dari yang berpendidikan tinggi, menengah, dan rendah. Berpendidikan tinggi adalah sarjana dan diploma, menengah setingkat SMP dan SMA, sedangkan berpendidikan rendah bagi masyarakat yang lulusan SD atau tidak tamat SD. Data penduduk menurut tingkat pendidikan sebagaimana terlihat pada Tabel 7 di atas. Berdasarkan pemahaman pada agama, masyarakat masih menempatkan figur kyai sebagai orang yang dihormati dan diikuti. Hal ini diperkuat dengan budaya kaum nahdliyin yang kebanyakan mengikuti apa yang dikatakan oleh kyai yang dianutnya. Penghargaan lain diberikan kepada warga yang telah melaksanakan ibadah haji, yang berarti mempunyai status sosial dan ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan warga lainnya. Selain memperoleh gelar “haji” dari masyarakat, warga yang telah melaksanakan ibadah haji biasanya relatif mampu dalam hal ekonomi serta dianggap telah mempunyai pengetahuan yang mendalam terhadap agama Islam. Dalam hal kepemimpinan formal yaitu kepala desa, secara umum figur kepala desa diterima kepemimpinannya oleh masyarakat. Jika ada beberapa elemen masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, misalnya berkaitan dengan transparansi keuangan, hal tersebut masih dalam
61
batas wajar. Kepatuhan masyarakat terhadap kegiatan yang bersifat sosial keagamaan seperti gotong-royong pembangunan tempat ibadah, pengajian, kegiatan RT; masih terjaga dengan baik. Pada bulan September 2008 dilangsungkan pemilihan kepala desa dan terjadi pergantian kepala desa. Organisasi dan Kelembagaan Berbicara tentang kelembagaan, bukan hanya berbicara tentang lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi formal yang telah terbentuk, karena unsur utama yang penting dalam kelembagaan adalah adanya pola hubungan dan norma-norma yang disepakati bersama. Kelembagaan yang berkembang dapat
menjadi
potensi
yang
besar
dalam
penyelenggaraan
kegiatan
pengembangan masyarakat. Kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Desa Sukosono sebagai berikut: Kelembagaan Formal Kelembagaan formal yang dimaksudkan adalah lembaga/organisasi yang secara formal mempunyai struktur organisasi dan berbadan hukum. Terkait dengan pengertian ini, beberapa organisasi dapat disebut sebagai kelembagaan formal, yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), organisasi kepemudaan berupa Karang Taruna “Lestari”, organisasi massa Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dan Ikatan Remaja Masjid Baitur Rohman (Irmabat). Organisasi formal ini sedikit banyak mewarnai tata kehidupan masyarakat Sukosono. Kelembagaan Non Formal Berbeda dengan kelembagaan formal yang dibentuk dengan badan hukum, kelembagaan non formal tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan norma-norma yang disepakati bersama. Sebagai contoh kelembagaan non formal adalah kelompok pengajian yang banyak terdapat di Desa Sukosono, yang melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan Islam yaitu tahlilan, yasin-an, manakiban, berjanzi, kegiatan pengajian ibu-ibu, dan kegiatan-kegiatan lain yang sering dilakukan warga Nahdlatul Ulama.
62
Kelembagaan
lain
berupa
kegiatan
sosial
kemasyarakatan
yang
dikembangkan oleh para pemuda sebagai bentuk kepedulian para pemuda untuk masyarakat, yaitu sinoman. Sinoman artinya tenaga yang diperbantukan untuk kegiatan melayani tamu bagi warga yang punya hajat. Anggotanya berjumlah 150 orang, namun yang aktif kurang lebih 50 orang. Dalam setiap acara, tuan rumah memberikan uang yang besarnya relatif terjangkau. Uang ini kemudian dikumpulkan untuk kas perkumpulan, dan pada saat akhir tahun dipakai untuk kegiatan bersama, sedangkan untuk setiap anggota tidak mendapatkan honor. Ada juga bentuk kelembagaan kumpulan RT atau RT-nan yang diselenggarakan seminggu sekali dengan mengambil tempat bergilir pada setiap rumah. RT-nan ini sangat penting keberadaannya, selain untuk sosialisasi antar warga, juga dalam RT-nan dibicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi bersama untuk kemudian dicari solusi secara musyawarah mufakat. Keberadaan kelembagaan non formal yang hidup dan dijaga oleh masyarakat Desa Sukosono, menjadikan desa ini tetap dalam suasana kekeluargaan, gotong-royong, dan meminimalkan potensi konflik yang terjadi antar anggota masyarakat. Tradisi Tradisi bisa dianggap sebagai kelembagaan apabila terdapat pola hubungan dan norma-norma yang disepakati bersama. Secara umum, tradisi yang berkembang di Desa Sukosono adalah kegotongroyongan dan saling tolong-menolong sesama anggota masyarakat, misalnya pada saat terjadi hajatan seperti pernikahan dan sunatan, serta kematian. Tanpa diminta, masyarakat Desa Sukosono akan saling membantu tanpa mengharapkan imbalan. Keuntungan yang diperoleh adalah selain menjalin keakraban, akan menerima bantuan yang sama apabila yang bersangkutan menyelenggarakan hajatan. Terkait dengan masalah kematian, warga juga saling bantu-membantu tanpa diminta menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Sumber Daya Lokal Sebagian besar masyarakat Desa Sukosono bergerak di bidang industri meubel, baik sebagai pengrajin/tukang, pengusaha skala kecil dan sedang, serta jasa, misalnya pengepul bahan baku dan makelar gudang. Dalam industri ini, yang sangat diperlukan adalah keterampilan/skills untuk menciptakan tenaga
63
kerja terlatih. Kultur budaya Kabupaten Jepara sebagai kota ukir menjadikan masyarakat sejak lama akrab dengan permeubelan. Dilihat dari sisi ini, pendidikan formal tidaklah menjadi prioritas utama masyarakat, hanya sebatas pada pemenuhan pendidikan dasar. Selebihnya, banyak yang memilih mencari pekerjaan dengan bekal skills yang dimiliki berupa keahlian meubel yang telah dipelajari sejak kecil, serta etos kerja dan jiwa enterpreuner (kewirausahaan) yang tinggi. Jadi, sumber daya lokal berupa sumber daya manusia (SDM) masyarakat Sukosono sangat potensial untuk dikembangkan dalam industri meubel. Sumber daya agraria Desa Sukosono dapat dianalisis dari peruntukan lahan sebagaimana tersaji dalam Tabel 10 berikut ini: Tabel 10. Komposisi Luas Wilayah Desa dan Pemanfaatannya Pemanfaatan Lahan Luas (ha) Persentase Lahan sawah 23.470 6,12 0 0 • teknis 0 0 • ½ teknis 13.000 3,40 • sederhana PU 10.470 2,72 • Tadah hujan 2. Lahan kering 359.882 93,88 342.379 89,31 • Bangunan dan lahan sekitar 7.900 2,06 • Tegal 9.603 2,51 • Tanah lainnya Jumlah 383.352 100 Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah
No. 1.
Tabel di atas dapat disajikan dalam bentuk gambar di bawah ini: Gambar 6. Diagram Pemanfaatan Lahan Desa Sukosono tahun 2006
6.12%
93.88%
L ahan S awah
L ahan K ering
64
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, terlihat bahwa pemanfaatan lahan terbesar adalah diperuntukkan untuk lahan kering sebanyak 93,87%, di mana 89,31% berupa bangunan dan halaman sekitar. Sebagian besar warga desa mempunyai halaman dan tegalan di sekitar rumah yang disebut warga dengan istilah “alas” yang relatif luas, yang biasanya ditanami tanaman keras seperti jati, durian, mangga, jambu, randu, dan tanaman-tanaman perdu, serta singkong sehingga terlihat jarak antar rumah bisa mencapai 10-15 meter. Pohon jati merupakan bahan baku utama industri meubel sebagai komoditas unggulan, terutama meubel yang diusahakan penduduk Desa Sukosono yang 80%-nya berbahan baku kayu jati dan 20%-nya kayu mahoni, sehingga banyak warga yang memanfaatkan “alas” rumahnya untuk ditanami jati, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa dipanen. Sementara peruntukan lahan buat sawah hanya 6,13%. Pemanfaatan lahan di Desa Sukosono dapat dilihat dalam bentuk gambar seperti tertera di bawah ini: Gambar 7. Pemanfaatan Lahan di Desa Sukosono Tahun 2006
T anah lainnya 2.51%
L ahan S awah S ederhana P U 3.39%
T eg al 2.06%
L ahan S awah T adah Hujan 2.73%
B ang unan dan lahan s ekitar 89.31%
Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, kapital sosial yang terbentuk antara lain adanya pola kekerabatan (linkage) yang kental terbukti dengan masih terjaganya budaya gotong-royong dan tolong-menolong sesama masyarakat, serta hubungan keagamaan khususnya agama Islam yang dianut oleh seluruh
65
masyarakat Desa Sukosono, yang sedikit banyak membawa nilai-nilai yang baik dan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang pendidikan, terdapat dua buah pesantren yang aktif selain mengajarkan ilmu ukhrowi juga mengajarkan ilmu duniawi dengan cara bekerjasama dengan pemerintah dalam pelaksanaan program-program PLS. Program PLS diselenggarakan sebagai alternatif bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dengan gratis, misalnya menyelenggarakan Kelompok Belajar Paket B dan C. Kepedulian sebagian masyarakat Desa Sukosono juga tercermin pada pembentukan PKBM Al-Wathoniyah yang menggunakan prinsip DOUM dalam pembentukan dan penyelenggaraannya, termasuk di dalamnya adalah pengelola dan tutor yang diambil dari masyarakat sendiri, yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan PLS lainnya seperti life skills. Keberadaan pesantren dan PKBM menjadi alternatif di saat masyarakat tidak dapat meneruskan pendidikan formal. Masalah Sosial dalam Pendidikan Masalah sosial yang muncul dalam pendidikan di Desa Sukosono, baik secara umum maupun secara khusus dalam penyelenggaraan program PLS termasuk life skills, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. permasalahan umum penyelenggaraan pendidikan di Desa Sukosono: a. Pertama, tingkat kesadaran masyarakat tentang pendidikan masih rendah karena mereka lebih mementingkan bekerja mencari uang daripada sekolah. Tiap tahun memang ada trend peningkatan jumlah peserta didik usia sekolah dasar, tetapi secara umum relatif sedikit dibanding jumlah keseluruhan anak usia tersebut; b. Kedua, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa sekolah tidak ada gunanya, karena lulusan sekolah pada akhirnya hanya lungguh dingklik (duduk di kursi kecil) atau menganggur dan tidak bekerja; c. Ketiga, terdapat beberapa pandangan dan kebiasaan masyarakat yang tidak menempatkan pendidikan sebagai pilihan utama: (1) masyarakat beranggapan bahwa secara ekonomi mereka tidak mampu untuk mengikuti pendidikan, tetapi mampu untuk membeli materi misalnya membeli sepeda motor. Walaupun pemerintah telah berupaya membuat
66
kebijakan bahwa untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, biaya pendidikan tidaklah terlalu banyak dan masyarakat dapat menjangkaunya; (2) kedisiplinan peserta didik dalam mengikuti sekolah juga rendah. Mereka sering datang terlambat, kurang rajin belajar, dan kurang mempunyai kesadaran bahwa sekolah itu penting bagi masa depan mereka; dan (3) faktor lingkungan, yang cukup memberikan pengaruh terhadap motivasi anak untuk melanjutkan sekolah. Pola konsumtif terhadap barang-barang seperti sepeda motor, membawa pemahaman bahwa lebih penting bekerja daripada sekolah. Faktor lingkungan yang negatif seperti kenakalan remaja juga turut berpengaruh. 2. Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan PLS termasuk life skills oleh PKBM Al-Wathoniyah adalah kurangnya motivasi dan ketekunan warga belajar;
kurangnya
sosialisasi
program,
kualifikasi
tutor
yang
lebih
mendasarkan pada kemampuan alami dan pengalaman terhadap jenis pengalaman yang dimiliki. Masalah lainnya adalah perhatian Pemerintah yang dirasa kurang dan tidak memandang PLS sama pentingnya dengan pendidikan sekolah, antara lain terlihat pada minimnya anggaran yang diberikan, selain birokrasi pencairan anggaran yang panjang, sehingga tidak jarang program dijalankan dulu dengan “talangan” kas anggaran.
67
ANALISIS PROFIL PROGRAM LIFE SKILLS DI PKBM AL-WATHONIYAH
Pada bab terdahulu telah disinggung mengenai pentingnya pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. Suharto (2006) mengungkapkan bahwa, secara ekonomis, yang tampaknya menjadi sorotan bahwa seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin adalah karena lack of resources (ketiadaan atau ketidakmampuan mengakses sumber daya) yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan, serta kurangnya dukungan pemerintah dan kelompok kuat, yang mana hal ini telah memudarkan spirit mereka untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan. Sehingga mereka hidup dengan sikap apatis dan putus asa yang pada gilirannya memicu munculnya berbagai permasalahan sosial. Dengan kata lain, sektor pendidikan dipandang sebagai modal penting untuk memutuskan rantai kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang. Dalam dunia pendidikan dikenal adanya jalur pendidikan sekolah dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah yang meliputi pendidikan informal dan non formal, sebagaimana tersebut dalam bab terdahulu. Bentuk formal biasa kita kenal sebagai pendidikan yang berstruktur dan berprogram, sedangkan bentuk non formal biasanya singkat waktunya dan tujuannya untuk memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan atau keterampilan tertentu yang langsung dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Bentuk pendidikan informal tidak mengenal jangka waktu tertentu serta tidak berstruktur, dan terjadi seumur hidup karena melibatkan proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat. PKBM bergerak dalam bidang PLS atau pendidikan non formal, sehingga PKBM menjadi bagian yang berkontribusi positif dalam pemberian pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat yang belum tersentuh pendidikan formal secara maksimal. Hubungan antara kemiskinan dengan pendidikan di mana PKBM termasuk di dalamnya, dapat dilihat pada Gambar 8 sebagai berikut:
1
Gambar 8. Diagram Alir Hubungan Kemiskinan dengan Pendidikan
Lack of resources Penguasaan iptek rendah
Kurangnya dukungan
formal
Apatis,putus asa,semangat -
informal
Non formal
kemiskinan
Kebodohan/ keterbelakangan
IPM rendah
Pendidikan
pesantren
Sekolah formal
Keluarga, lingkungan Pendidikan luar sekolah
Kursus
TK SD SLTP SLTA Diploma Sarjana S2 S3 Partisipasi masyarakat
PKBM
Kesehatan rendah
Life skills PAUD
Kejar paket A,B,C
Pendidikan perempuan
Kelompok Belajar Usaha
Magang
Keaksaraan fungsional
Ket: diolah dari berbagai sumber 68
69
Asas pendidikan long life education menegaskan bahwa proses pendidikan tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah, tetapi berlangsung sepanjang hidup seseorang. Bagi sebagian besar orang, proses pendidikan di luar sekolah yang meliputi pendidikan informal dan non formal justru menempati porsi terbesar selama hayatnya. Untuk melengkapi dan memberikan alternatif kebutuhan pendidikan bagi masyarakat inilah maka PKBM Al-Wathoniyah didirikan di tengah-tengah masyarakat Sukosono dan menjalankan fungsinya. Sejalan
dengan
visi
pendidikan
nasional
yang
mengutamakan
kemandirian, PKBM Al-Wathoniyah memberikan alternatif pendidikan life skills yang dimaksudkan kepada penguasaan keterampilan praktis agar peserta/warga belajar dapat memanfaatkan keterampilan tersebut sebagai bekal untuk hidup mandiri, di samping alternatif PLS lainnya. PKBM Al-Wathoniyah dalam proses penyelenggaraan
pendidikannya
sejalan
dengan
konsep
demokratisasi
pendidikan karena memberikan alternatif perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat sekitarnya, dengan memberdayakan dan mendayagunakan berbagai institusi kemasyarakatan, serta melakukan upaya kerjasama dengan dunia usaha dan industri terkait dengan program life skills. Demikian pula PKBM Al-Wathoniyah telah menjalankan konsep pendidikan berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Hal ini karena program yang ditawarkan bermuara pada pembelajaran partisipatif yang berdasarkan pada keinginan dan kebutuhan warga belajar, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada demi kebermanfaatan dan kebermaknaan warga belajar. Berbasis masyarakat karena mengadopsi konsep dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Lebih lanjut, PKBM Al-Wathoniyah menjalankan tiga aspek pendidikan yaitu pembentukan kepribadian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manakala warga belajar telah menyelesaikan program. Dalam keterkaitan dengan penyelenggaraan PLS, PKBM Al-Wathoniyah melakukan tiga model pendekatan sesuai dengan Mujahidin (2005), yaitu model pelengkap (supplementary model), model sejajar (parallel model), dan model alternatif (alternative model). Sebagai model pelengkap, karena sebagian warga belajarnya adalah siswa/lulusan sekolah pendidikan formal sehingga jenis keterampilan diberikan misalnya sablon dan jahit-menjahit dapat melengkapi pendidikan formalnya. Sebagai model sejajar, beberapa program yang dijalankan
70
yaitu program Kelompok Belajar Paket B dan C merupakan program yang ditujukan bagi warga belajar yang tidak mengenyam pendidikan formal setingkat SLTP dan SLTA; program-program tersebut sejajar kedudukannya dengan sekolah formal untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga belajarnya. Sedangkan sebagai model alternatif, PKBM Al-Wathoniyah menyediakan berbagai kursus dan pelatihan praktis bagi penguasaan keterampilan. Berbagai program yang dilaksanakan dimaksudkan sebagai salah satu intervensi komunitas bagi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sesuai dengan konsep community development.
Proses Pembentukan PKBM Al-Wathoniyah Berdasarkan ketentuan-ketentuan mengenai PKBM seperti disebutkan pada bab terdahulu, di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara dibentuk PKBM Al-Wathoniyah pada tanggal 5 Oktober 1998, yang mendapatkan izin operasional pada tahun 2006 dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Nomor 421.7/0546 tanggal 5 September 2006 tentang Izin Operasional Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kabupaten Jepara, dan disahkan oleh Notaris H. Abdullah Qomar Nasikh, S.H. dengan Akta Nomor 28 tanggal 27 September 2006. Tetapi walaupun izin operasional baru berlaku tahun 2006, menurut RT (35 tahun, Ketua PKBM AlWathoniyah) tidak ada masalah dengan kelulusan warga belajarnya, semuanya diakui karena mendapatkan ijasah langsung dari Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas. Pembentukan diprakarsai oleh Penilik PLS waktu itu, MIM (unsur pemerintah) dan MF (unsur masyarakat), serta mendapat persetujuan Petinggi Sukosono - sebutan Kepala Desa dalam masyarakat Sukosono - waktu itu, AG, pada tahun 1998. Sebagian masyarakat antara lain pihak pesantren sempat menolak kehadiran PKBM ini karena pada saat itu suasana masyarakat sedang “panas” sebagai imbas adanya gerakan reformasi dan pendirian banyak partai politik, sehingga PKBM sempat dianggap sebagai pembentukan partai baru yaitu PKB “Matori”. Pada saat itu, terjadi krisis dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang antara lain dipicu oleh konflik antara K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur, mantan presiden ke-4 RI) selaku pendiri partai dengan Matori Abdul Jalil (salah seorang kader partai PKB, mantan Menteri Pertahanan era
71
Presiden Megawati). Akibat konflik ini, simpatisan PKB masyarakat Sukosono yang lebih memihak kepada Gus Dur mencurigai pembentukan PKBM sebagai partai politik baru bentukan Matori. Setelah diadakan dialog dengan pihak yang menolak, pada akhirnya masyarakat Sukosono menerima kehadiran PKBM. Dalam perkembangan selanjutnya, RT dikirim untuk mengikuti pelatihan PKBM di Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah selama 1 (satu) minggu. Pelatihan diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah dan dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Pendidikan Masyarakat Depdiknas saat itu, Umberto Sihombing. Kesempatan pelatihan tersebut dimanfaatkan lebih jauh untuk mengenal seluk-beluk PKBM. Pembentukan
PKBM
Al-Wathoniyah
berawal
dari
masyarakat,
diselenggarakan oleh masyarakat, dan diperuntukkan bagi masyarakat sendiri. Berawal dari informasi Penilik PLS bahwa terdapat program PKBM dari pemerintah pusat, kemudian direspon oleh masyarakat yang peduli dengan pendidikan dengan mengadakan rapat, dan dibentuklah PKBM Al-Wathoniyah. Penyelenggaraan PKBM Al-Wathoniyah didirikan dengan motivasi melayani masyarakat yang membutuhkan pendidikan, membelajarkan masyarakat secara umum dengan prinsip long life education dan pendidikan untuk semua, yaitu bahwa semua orang yang membutuhkan pendidikan harus dilayani dengan tidak pandang bulu, tidak memandang usia, tingkat ekonomi, status sosial, dan sebagainya. PKBM Al-Wathoniyah yang bersifat independen, sosial, dan tidak di bawah organisasi politik ini, pembentukannya dilatarbelakangi dengan semangat menyelenggarakan pendidikan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam visi, misi, maksud dan tujuan yang tertuang dalam Akta Notaris Pendirian PKBM AlWathoniyah sebagai berikut: 2. Visi: terwujudnya masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri, gemar belajar, berdaya saing, dan bertakwa; 3. Misi a. melaksanakan upaya pemberdayaan melalui tindakan terpadu yang berdimensi pembelajaran masyarakat; b. mengembangkan jaringan strategis dalam penguatan unit usaha dan menggali sumber-sumber yang ada; c. memperkuat kemandirian organisasi PKBM dalam pembelajaran, usaha ekonomi, dan pengembangan SDM.
72
4. Maksud dan tujuan a.
melaksanakan program pendidikan non formal (PNF);
b.
memberdayakan masyarakat melalui program pembelajaran latihan keterampilan dan membentuk unit-unit usaha dengan menggali segenap potensi yang ada;
c.
melaksanakan pelatihan tutor, pelatihan nara sumber teknik, dan pelatihan-pelatihan lainnya;
d.
membantu program pemerintah dalam bidang pembangunan manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa;
e.
meningkatkan taraf hidup serta memperbaiki lingkungan hidup sehat. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, pendirian PKBM Al-
Wathoniyah dapat berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (FK PKBM) Pusat Jakarta serta menyelenggarakan berbagai program pembelajaran atau pelatihan sesuai kebutuhan sebagai berikut: a. melaksanakan program-program pendidikan anak usia dini, Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional, Paket A, Paket B, Paket C, dan Kelompok Belajar Usaha, serta kegiatan pembelajaran masyarakat lainnya; b. mendirikan perpustakaan dan atau taman belajar masyarakat; c. menerbitkan buku-buku, majalah-majalah, brosur-brosur serta surat kabar dan media komunikasi lainnya sesuai dengan kemajuan teknologi; d. mendirikan kursus-kursus, sekolah keterampilan, dan lainnya; e. program kelompok belajar olahraga dan seni budaya; f.
mendirikan unit-unit usaha kewirausahaan koperasi;
g. program pemberdayaan ekonomi desa; h. mengadakan ceramah, dialog, seminar umum yang diisi oleh para nara sumber yang diperlukan baik dari dalam maupun luar negeri; i.
menjalankan program-program lain erat hubungannya dengan Pusat Kegaiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Program pembelajaran atau pelatihan tersebut di atas, meskipun belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan mengingat berbagai keterbatasan, tetapi dari segi normatif, perencanaan PKBM telah dirumuskan dengan baik, untuk mengantisipasi segala kegiatan PLS yang tidak tertangani dalam pendidikan formal. Dilihat dari sisi ini, terdapat “semangat” dalam menyelenggarakan kegiatannya, selanjutnya tergantung kepada bagaimana PKBM tetap konsisten
73
dan konsekuen, bukan hanya berhenti pada perumusan secara normatif semata. Pengorganisasian dan struktur PKBM Al-Wathoniyah yang berlaku selama lima tahun adalah sebagai berikut: 1. Pengorganisasian a. sasaran, adalah seluruh masyarakat yang ingin meningkatkan diri sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki; b. pengelola atau penanggung jawab PKBM adalah warga masyarakat sendiri yang memiliki kecakapan dan kemampuan serta setia mengabdi pada tugas-tugas kemasyarakatan. 2. Struktur Pengurus a. Pembina
: Drs. H. Masjhadi Fasja, M.Si. (pendiri)
b. Pelindung
: Petinggi (Kepala Desa) Sukosono
c.
Penanggung Jawab/Pengelola: 1) Ketua
: Rochmat Tamrin, SE
2) Sekretaris : Achmad Jamaluddin 3) Bendahara : Jazuli, S.Pd.I d. Koordinator-koordinator: - Penyelenggara Paket A, B, dan C : Rochmat Tamrin, SE - Penyelenggara PAUD
: Suyanti
- Penyelenggara TBM
: Abdul Ghofur
- Penyelenggara Kursus
: Siti Istiqomah, S.Pd
Struktur Pengurus PKBM Al-Wathoniyah ini mengalami pergantian beberapa kali, sampai pada kepengurusan yang sekarang. RT menjelaskan sebagai berikut: Pada awal pembentukan, kita sempat memasukkan unsur Pemerintah Kabupaten sampai dengan PLS Kecamatan Kedung sebagai Pembina dan Pengawas, tetapi akhirnya kita tiadakan dan pada saat kita bikin akta notarisnya, unsur pemerintah tidak kita sebutkan selain kepala desa. Hal ini kami laksanakan agar jangan sampai ada anggapan bahwa PKBM ini hanya “milik” PLS saja, sehingga menutup diri dari instansi lain. Maksudnya, bila ada instansi lain yang akan bekerja sama dengan PKBM, kita dapat terbuka melaksanakan segala program yang dijalankan. Misalnya, bisa saja dari Depag melaksanakan pendidikan luar sekolah dan memberikan dana, maka kita akan terbuka untuk itu karena PKBM bukan “milik” PLS saja. Hal ini juga sejalan dengan prinsip kemandirian PKBM, di mana terbentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dalam kepengurusan PKBM sekarang, Petinggi kita tempatkan sebagai
74
Pelindung, sebatas karena setiap kegiatan di Desa secara normatif harus sepengetahuan pemerintah desa. Dari data-data sekunder yang diperoleh, beberapa prestasi dan program yang dihasilkan PKBM Al-Wathoniyah sampai dengan tahun 2008, adalah: Tabel 11. Penghargaan yang Pernah Diperoleh No
Bentuk Penghargaan
Diperoleh dari
Tahun
1
Juara 3 Lomba Paket A Tingkat Jawa Tengah
Gubernur Jawa Tengah
1999
2
Juara 1 Lomba PKBM se-eks Karesidenan Pati
PLS Karesidenan Pati
2000
Sumber: Mengenal PKBM Al-Wathoniyah, Juli 2008 Tabel 12. Program yang Telah Dihasilkan No
Tamatan Program
Jumlah WB
Tahun
1
Kejar KF/PBA
130 orang
2006 -2008
2
Kejar Paket A
20 orang
2001
3
Kejar Paket B
145 orang
2001 - 2008
4
Kejar KBU / life skills
95 orang
1999 - 2008
5
PAUD
42 orang
2004 - 2008
JUMLAH
432 orang
Sumber: Mengenal PKBM Al-Wathoniyah, Juli 2008 Beberapa prestasi yang pernah didapat menunjukkan kesungguhan dalam menyelenggarakan program. Hal ini juga berarti bahwa PKBM AlWathoniyah mempunyai potensi yang baik dalam pengembangan program PLS di masa yang akan datang. Sarana Belajar Pada awal pendirian PKBM tahun 1998, ditandaskan oleh Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas bahwa PKBM harus menempati gedung tersendiri, atau bekas gedung sekolah yang kosong dan tidak dimanfaatkan, serta minimal mempunyai tiga lokal. Hal ini dimaksudkan agar PKBM benar-benar didirikan untuk melaksanakan PLS, tanpa didominasi oleh kepentingan ekonomis. Tetapi pada kebijakan saat ini dibuka peluang menyelenggarakan PKBM kepada
75
banyak lembaga kursus, Taman Pendidikan Qur’an (TPQ), dan lembaga pendidikan masyarakat lainnya yang sebetulnya sudah menggunakan gedung yang dimilikinya untuk kegiatan lain. Hal ini sebenarnya membuka peluang bagi pengelola program dalam melaksanakan kegiatan semata-mata hanya untuk mencari anggaran; tujuan penyelenggaraan PLS akhirnya mengarah kepada faktor ekonomis. Gedung sekretariat PKBM Al-Wathoniyah saat ini menempati tanah milik keluarga RT, yang baru dibangun dan dioperasikan pada akhir tahun 2008. Pada saat PKBM didirikan, sebenarnya gedung sekretariat PKBM akan dipusatkan di Pesantren Mamba’ul Qur’an dan sudah mendapat persetujuan oleh kyai pondok pesantren tersebut, MK, bahwa PKBM Al-Wathoniyah akan menggunakan salah satu gedung pesantren selama 5 (lima) tahun. Tetapi, dengan segala pertimbangan akhirnya rencana tersebut tidak dilaksanakan dan gedung yang dipakai kemudian adalah gedung Raudhatul Athfal (setingkat Taman KanakKanak) Muslimat Nahdlatul Ulama milik yayasan Sultan Fattah. Hal ini karena, keberadaan kegiatan di pesantren dikhawatirkan mengganggu para santri yang tujuan pokoknya adalah mengaji dan menghapal Al-Qur’an. Apabila program hanya ditujukan kepada para santri, waktu penyelenggaraan kegiatan bisa disiasati agar tidak mengganggu kegiatan pengajian. Tetapi karena melibatkan warga sekitar sebagai peserta, di mana akan banyak warga yang keluar masuk lingkungan pesantren untuk mengikuti program, yang tentu saja akan mengganggu kegiatan mengaji. Urgensi kepemilikan gedung sekretariat ini, karena kemungkinan pengembangan PLS pada masa mendatang akan dipusatkan di PKBM. Artinya pemerintah berkepentingan terhadap pengembangan PKBM untuk menangani kegiatan-kegiatan PLS, demi kemajuan pembangunan di bidang pendidikan. Mempunyai
gedung
sendiri
memungkinkan
pengembangan
PKBM
Al-
Wathoniyah lebih baik di masa yang akan datang. Berkaitan dengan sarana dan prasarana, beberapa prasarana telah tersedia, yaitu: gedung sekretariat, meja, kursi, lemari, komputer (7 unit), televisi (1 unit), kamera digital (1 buah), dan alat-alat keterampilan (mesin jahit, mesin bordir, perlengkapan sablon, mesin bobok, peralatan pertukangan, alat press plastik, timbangan kripik), dan peralatan permainan program PAUD / play group. Hanya saja sarana kegiatan belajar mengajar yang belum memadai, terkait
76
dengan modul yang sering terlambat diterimakan dari dinas pendidikan sedikit banyak mengganggu jalannya pengajaran. Sarana belajar yang digunakan terlihat pada tabel berikut: Tabel 13. Sarana Belajar yang Digunakan
No
Jenis Program
Data Dinding / Administrasi Program 1:1 1:2 1:3 1:1 1:2 1:3 Lengkap Cukup Kurang Meja Kursi
Modul
1
PAUD
-
-
√
-
-
√
-
√
-
2
Keaksaraan Fungsional
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Kejar KPB Kelas 1
-
-
√
√
-
-
-
√
-
4
Kejar KPB Kelas 3
-
-
√
√
-
-
-
√
-
5
Kejar Usaha/life skills
-
-
√
-
-
√
-
-
√
6
Kursus Bahasa Inggris
-
-
√
√
-
-
-
√
-
7
Kursus Komputer
√
-
-
√
-
-
-
√
-
8
TPQ
√
-
-
-
-
-
-
√
-
9
Majlis Taklim
-
-
-
-
-
-
-
-
√
10
Magang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11
TBM
-
-
-
-
-
-
-
√
-
Sumber: Laporan Perkembangan PKBM Al-Wathoniyah, September 2008 Keterangan : 1:1 = 1 sarana belajar dipakai 1 orang warga belajar 1:2 = 1 sarana belajar dipakai 2 orang warga belajar 1:3 = 1 sarana belajar dipakai 3 orang warga belajar Beberapa sarana dan prasarana kegiatan untuk keaksaraan fungsional, life skills, dan majlis taklim, dipenuhi dengan memanfaatkan sarana dan prasarana di tempat penyelenggaraan. Misalnya untuk kegiatan keaksaraan fungsional dan majlis taklim, karena berlokasi di kumpulan-kumpulan musholla dan masjid, maka sarana dan prasarana yang digunakan adalah inventaris musholla dan masjid. Kegiatan Kelompok Belajar Paket B, C, dan life skills yang diselenggarakan di pesantren Mamba’ul Qur’an juga memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren. Hal ini menunjukkan adanya kolaborasi yang baik antar stakeholder penyelenggara dalam memanfaatkan apa yang telah dimiliki. Terlihat adanya dukungan dari berbagai elemen masyarakat terkait penyelenggaraan PLS, yang berarti bahwa modal sosial masyarakat Desa Sukosono cukup membantu keberhasilan program.
77
Pesantren Mamba’ul Qur’an Pesantren Mamba’ul Qur’an merupakan pesantren yang didirikan atas prakarsa seorang kyai, MK, pada tahun 1980 dan termasuk pesantren tertua di wilayah Kecamatan Kedung. Pesantren yang ditujukan untuk mencerdaskan bangsa khususnya dalam bidang pengetahuan agama ini, baru mendapatkan akta notaris tahun 2007, karena sebelumnya belum pernah didaftarkan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara. Meskipun demikian, menurut penuturan kyai MK, bukan berarti tidak mendapatkan persetujuan operasional dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara karena kegiatan pesantren ini telah diketahui, tetapi secara legal formal baru diajukan pada tahun 2006. Pesantren ini merupakan pesantren milik pribadi kyai MK dan bukan pada yayasan tertentu, sebagaimana dituturkan oleh kyai MK (57 tahun) sendiri sebagai berikut: Pesantren ini bisa dikatakan milik pribadi. Mulai dari tanah milik sampai dengan bangunan, memang diniatkan untuk menjadi pesantren. Awalnya dipakai untuk rumah kemudian berkembang membuat bangunan pesantren sampai dengan sekarang. Pada waktu pembangunan, memang ada bantuan dari sana-sini dari orang-orang yang memahami dan bersedia menafkahkan harta di jalan Allah. Pembangunan juga bertahap sampai dengan kondisi saat ini. Pesantren ini berdiri tahun 1980/1981. Jadi usianya sudah 28 tahun, termasuk pesantren tertua di sini. Dari awal saya berinisiatif sendiri mendirikan pesantren ini, berkembang mulai dari kecil sampai dengan sekarang. Sampai dengan tahun 2007 memang tidak saya daftarkan registrasinya ke Depag, tapi sebenarnya Depag sudah tahu kalau di sini ada pesantren. Baru pada tahun 2006, saat beberapa pesantren mengajukan anggaran ke Kabupaten, saya juga akhirnya mengajukan anggaran. Hanya saja karena belum ada akta notarisnya, artinya dari segi legal-formal belum resmi, usulan saya belum disetujui. Akhirnya tahun 2007 saya mengajukan akta notaris kepada Notaris Dahlan Kosim Jepara, atas nama pesantren. Dalam akta itu disebutkan maksud dan tujuan pesantren didirikan dan sebagainya. Pesantren Mamba’ul Qur’an, walaupun tidak “besar” karena secara fisik hanya terdiri dari beberapa bangunan dan tidak menempati tanah yang luas, tetapi penting keberadaannya bagi masyarakat Desa Sukosono dan sekitarnya dalam lingkup Kabupaten Jepara, terutama untuk penyebarluasan ilmu-ilmu agama Islam. Sesuai dengan Thaba (1996) sebagaimana diuraikan dalam bab terdahulu, dalam pesantren ini juga terdapat lima elemen dasar “tradisi pesantren” yang tidak terpisahkan yaitu pondok, pengajaran kitab-kitab kuning, santri, kyai, dan masjid. Untuk elemen yang terakhir, yaitu masjid, meskipun tidak
78
terletak dalam lingkungan pesantren, tetapi berada tidak terlalu jauh dari pesantren. Untuk kegiatan sholat berjamaah, disediakan sebuah ruangan khusus. Sejalan dengan Ziemek (Thaba 1996), dalam pesantren ini juga terdapat ciri-ciri pesantren, yaitu kyai MK sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; santri yang terdiri dari santri mukim (tinggal dalam asrama) sebanyak 50 orang dan nglajo (pulangpergi dari rumahnya) sebanyak + 250 orang yang diajari secara pribadi berbagai kitab-kitab kuning, dan khusus bagi santri mukim, santri-santri tersebut tinggal bersama dalam pondok (asrama) beserta kyai dan pengajarnya serta membentuk suatu komunitas. Kehidupan komunitas pesantren ini tidak terlepas dari kharisma kyai MK. Dalam menjalankan kehidupannya, sesuai dengan Arifin (Mujahidin 2005), pesantren
Mamba’ul
Qur’an
terklasifikasi
dalam
jenis
pesantren
salafi
(tradisional), yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini adalah mencetak kader-kader dai yang akan menyebarkan Islam di tengah masyarakatnya. Banyak lulusannya kemudian mendirikan TPQ-TPQ, menjadi dai, menjadi hafidz/hafidzoh, atau melanjutkan nyantri ke pesantren yang lain. Dengan berciri khas pengajaran kitab suci Al-Qur’an, santri Mamba’ul Qur’an dididik dengan ilmu-ilmu agama berdasarkan kitab-kitab kuning yang memang lebih disukai oleh kaum nahdliyin, serta tidak mengikutkan santrinya ke jalur pendidikan formal. Yang diajarkan dalam pesantren ini bercirikan pada pengajaran Al-Qur’an, selain mengajarkan qitobah, qiro’ah, kitab tauhid, kitab fiqih, kitab ushul fiqih, kitab tafsir, kitab hadits, kitab tasawuf, kitab nahwu shorof, dan kitab akhlak. Secara umum, pesantren Mamba’ul Qur’an membagi dua jurusan bagi para santri, yaitu jurusan hafidzoh atau bil ghaib yang mengkhususkan untuk hapalan Al-Qur’an, dan jurusan kitab atau bin nadzor yang mempelajari kitab-kitab kuning tersebut. Kyai MK menjelaskan sebagai berikut: Ciri khas pondok ini adalah pengkajian Al-Qur’an, mulai dari pembelajaran alif ba ta, sampai dengan menghapal al-Qur’an. Tetapi kajian kitab-kitab salaf juga diberikan. Memang untuk pesantren NU, kitab-kitab salaf (kitab-kitab kuning, misal kitab fiqih, ushul fiqih, dsbpen) lebih disukai. Pemberian kajian kitab-kitab ini saya bagi tahap demi tahap, mulai dari tingkatan awal sampai dengan tingkat pendalaman. Dalam perkembangannya, kyai MK kemudian memperkenankan PKBM Al-Wathoniyah menjalankan program PLS berupa Kelompok Belajar Paket B,
79
Paket C, serta program life skills, tetapi tetap memprioritaskan tujuan pesantren yaitu pengajaran ilmu-ilmu agama Islam. Penyelenggaraan PLS ini tidak terlepas dari kesadaran kyai MK bahwa pemberian pelajaran setara pendidikan formal dan kecakapan hidup dapat menunjang seorang santri manakala sudah boyong (lulus) dan kembali ke masyarakatnya. Pesantren Mamba’ul Qur’an sesuai klasifikasi Ziemek (Mujahidin 2005), termasuk ke dalam jenis pesantren klasik/tradisional. Pesantren memiliki asrama bagi para santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri terdiri dari beberapa bangunan untuk kamar dan ruangan-ruangan belajar yang terpisah. Saat ini pesantren mempunyai lima bangunan terpisah yang terdiri dari enam lokal untuk pengajian termasuk yang dipakai untuk Paket B dan C, tujuh lokal untuk asrama, termasuk enam water closet (WC) dan kamar mandi. Meskipun dalam perkembangannya juga memberikan pengajaran pendidikan non formal dan keterampilan praktis, tetapi hal itu tetap bukan menjadi prioritas bagi pesantren tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Sukosono, pesantren Mamba’ul Qur’an mempunyai pola hubungan yang saling menguntungkan dan saling melengkapi. Pesantren cukup berbaur dengan masyarakat terutama yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan dan kegiatan PLS yang diselenggarakan bersama dengan PKBM Al-Wathoniyah. Di luar kegiatan tersebut, pesantren ini membatasi diri agar tidak terjebak dalam pengkotak-kotakan masyarakat Sukosono terkait dengan kegiatan kepartaian. Secara umum, pola hubungan yang saling menguntungkan ini sebagaimana dituturkan oleh kyai MK sebagai berikut: Tanggapan masyarakat dengan berdirinya pesantren ini alhamdulillah, antusias masyarakat sangat luar biasa. Sebelumnya tentu saya komunikasikan dengan tokoh-tokoh masyarakat sini. Saya sendiri bukan asli Sukosono, asli Kerso. Tetapi dari awal memang saya niatkan untuk mendirikan pesantren di Sukosono. Pada awalnya, saya hanya mengundang 25 orang calon wali murid di ruangan ini (ruang wawancara - pen), tetapi yang datang ada sekitar 100 orang. Tiap ada acara harlah, para alumni kita undang, yang hapal Al-qur’an biasanya mempunyai acara sendiri tahtiman Qur’an. Santrinya mulai dari sekitar Sukosono sendiri, saya memang berjuang diam-diam. Makin lama makin dikenal, dalam sepuluh tahun sudah banyak santri yang datang dari luar desa, lingkupnya seJepara. Bahkan ada dari luar Jepara sendiri. Termasuk yang angkatan pertama, ada anak Desa Rau yang semula dipesantrenkan di Kudus, tetapi begitu tahu bahwa di sini didirikan pesantren, orang tuanya kemudian memasukkan di pesantren ini.
80
Pesantren rutin mengadakan pengajian untuk warga sekitar. Setiap hari Ahad habis dzuhur saya melaksanakan pengajian umum untuk ibu-ibu sekitar sini. Jumlahnya ada sekitar 150 orang. Saya sendiri yang berceramah. Untuk bapak-bapaknya setiap hari Jumat 15 hari sekali, peserta sekitar 25 orang. Babak-bapaknya juga rata-rata sudah sepuh, pengajian khusus fida’an. Pesertanya tetap. Dulunya banyak, tetapi beberapa sudah meninggal. Memang yang masih aktif mengaji rata-rata yang sudah sepuh. Kegiatan pengajian rutin yang diselenggarakan pesantren dapat ditelaah dari pernyataan SMr (31 tahun), seorang warga Sukosono dan pembuat roti bolu, sebagai berikut: Pondok sering rutin mengadakan majlis taklim tiap minggu bagi ibuibu sekitar pondok. Banyak juga warga yang ikut kegiatan di pesantren misalnya ikut Kejar Paket. Jadi peserta Kejar Paket bukan hanya para santri, tetapi warga masyarakat sendiri. Selain itu, ada juga warga yang nyantri di sana. Pak Kyai Muhammad sendiri juga mengajar di beberapa sekolah, yaitu di Diniyah, di Wustho juga. Jadi pondok kesannya berbaur dan baik di mata masyarakat. Demikian juga dengan Y (24 tahun), seorang santri Mamba’ul Qur’an, menceritakan tentang kegiatan pesantren dengan masyarakat sekitar berikut ini: Setiap minggu diadakan majlis taklim buat ibu-ibu warga Sukosono, yang ngisi biasanya Pak Kyai. Kalau Bu Nyai biasanya ngisi pengajian tiap Selasa 2 minggu sekali, pesertanya juga ibu-ibu warga Sukosono. Kalau hari Kamis 2 minggu sekali, anaknya Pak Kyai ngisi acara manakiban. Terus tiap hari Jumat 2 minggu sekali juga diadakan fida’an, kalau pagi khusus untuk ibu-ibu, kalau siang habis Jumatan khusus untuk bapak-bapak warga Sukosono. Jadi hubungan dengan masyarakat juga terjalin baik. Kalau ada acara peringatan hari besar agama dan diadakan kegiatan, warga juga hadir dan kadang memberikan bantuan. Pola hubungan yang saling menguntungkan tersebut dapat digambarkan berikut ini: a. Pesantren Mamba’ul Qur’an berkepentingan untuk menjalankan syiar Islam kepada masyarakat sekitarnya, serta mencetak para hafidz/hafidzoh (penghapal Al-Qur’an). Para santri adalah dari berbagai lapisan masyarakat Sukosono dan sekitarnya dalam lingkup Kabupaten Jepara, bahkan luar kabupaten
seperti
Salatiga
dan
Purwodadi,
terutama
bagi
yang
mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada pendidikan agama Islam; b. Masyarakat antusias memasukkan anak-anaknya (usia SD s.d. SMA) ke dalam pesantren, dengan harapan anaknya menjadi para alim dalam ilmu
81
agama Islam, dengan biaya yang relatif terjangkau, yaitu Rp 10.000,00/bulan dan tambahan Rp 75.000,00/bulan bagi santri mukim yang digunakan untuk biaya operasional dan biaya makan/minum sehari-hari santri. Penyelenggaraan program PLS khususnya Kelompok Belajar Paket B, C, dan life skills hasil kerja sama pesantren dengan PKBM Al-Wathoniyah memungkinkan masyarakat selain para santri dapat keluar-masuk lingkungan pesantren, menjadikan pesantren bukanlah suatu lembaga “eksklusif” yang menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat; c. Pesantren sering mengadakan pengajian khusus bagi para warga Desa Sukosono dan sekitarnya, baik yang diselenggarakan rutin maupun insidental dengan mengundang kyai dari daerah lain menjadi penceramah. Berbagai kegiatan rutin seperti majlis taklim bagi ibu-ibu, manakiban, fida’an, dan tafsir Al-Qur’an, mendapatkan respon yang cukup positif di mata warga. Tidak jarang masyarakat memberikan bantuan sumbangan uang bagi kegiatan operasional pesantren, yang dimaksudkan untuk beramal. Profesi lain kyai MK sebagai guru Diniyah (setingkat SD), Wustho (setingkat SLTP), serta tutor Kejar Paket di Desa Sukosono, turut menggambarkan hubungan yang inklusif antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Pesantren Mamba’ul Qur’an hanya berkonsentrasi pada pengajaran hapalan Al-Qur’an dan pengkajian kitab-kitab kuning, tidak berafiliasi pada partai politik tertentu seperti beberapa pesantren lainnya. Hal ini, seperti dituturkan oleh kyai MK, karena dibutuhkan orang yang “kuat” mental untuk dapat berkecimpung dalam politik praktis. Sementara kyai MK berpegangan bahwa menyikapi permasalahan partai politik adalah dengan diam, mendasarkan pada sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa jika tidak mengetahui permasalahannya, lebih baik diam karena siapa yang diam maka dia akan selamat. Saya tidak sependapat dengan cara-cara seperti itu (cara-cara kelompok Islam yang memaksakan kehendak dan mengadakan pengrusakan - pen). Sebenarnya, hal itu disebabkan karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya. Kalau mereka mendalami Islam sebenar-benarnya, tentu mereka tidak akan melakukan hal semacam itu. Kalau menghadapi orang yang seperti itu, sebaiknya mereka diberitahukan secara baik-baik. Saya berpegangan pada sabda Rasul, bahwa jika tidak mengetahui permasalahannya, lebih baik diam. Karena siapa yang diam maka dia akan selamat.
82
Dulu pada waktu ada kasus di desa sebelah, Desa Dongos (pertikaian antara PKB dan P3 tahun 1999, satu orang meninggal pen), situasinya sangat “berbahaya”. Yang diam saja mendapatkan imbas, apalagi yang berbicara tapi tidak tahu yang dibicarakan. Di saat seperti itu saya lebih memilih diam karena berpegangan pada sabda Rasul tadi, bahwa yang diam akan selamat. Sampai ada yang mengatakan bahwa di Sukosono “tidak ada kyai” karena hanya diam saja. Semua harus disikapi bil hikmah, pasti ada hikmah. Pada akhirnya semua sudah dapat diredakan. Sekarang tidak terjadi lagi. Pesantren salafi seperti Mamba’ul Qur’an berpegangan pada sikap dan kharisma kyai pesantrennya. Setiap pendapat dan sikap kyai bisa diartikan sebagai perwujudan dari arah dan kebijakan pesantren. Dapat dikatakan bahwa pesantren ini hanya memilih untuk pengajaran kitab-kitab dan pengkajian AlQur’an semata, dan tidak berkecimpung dalam politik praktis, tidak melakukan upaya pemaksaan kehendak seperti halnya beberapa kelompok Islam, dan menekankan pada hubungan yang harmonis antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Sehubungan dengan program PLS yang diselenggarakan PKBM AlWathoniyah, pesantren Mamba’ul Qur’an cukup mendapatkan manfaat yang positif. Para santri dapat mengenyam pendidikan Paket B dan C yang setara dengan jenjang pendidikan formal SMP dan SMA, selain mendapatkan jenis keterampilan sablon serta jahit-menjahit dan bordir melalui program life skills. Para santri mendapatkan ilmu-ilmu agama yang menjadi prioritas, ditunjang dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis. Di lain pihak, kesediaan
pesantren
memberikan
tempat
beserta
sarana
prasarana
pembelajaran Paket B dan C membuka peluang kepada warga masyarakat untuk keluar masuk lingkungan pesantren, menjadikan pesantren bukan termasuk kelembagaan yang eksklusif di tengah masyarakat. Pemilihan Program Program yang diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah sebagaimana tertuang dalam akta pendirian, pada dasarnya telah dan sedang berlangsung sampai dengan saat ini. Beberapa program merupakan lanjutan dari program pemerintah pusat, di mana kurikulum dan petunjuk teknis diberikan oleh pemerintah, dan PKBM tinggal melaksanakan. Beberapa program ini antara lain PAUD, Kelompok Belajar Paket, Keaksaraan Fungsional, Pemberantasan Buta Aksara, dan Taman Belajar Masyarakat. Sementara beberapa program yang lain
83
diselenggarakan berdasarkan perencanaan yang dirumuskan PKBM sendiri, misalnya Kelompok Belajar Usaha dan life skills. Sampai dengan tahun 2007, data program PLS yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14. Program Pendidikan Luar Sekolah yang Diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah Tahun 2007 No PROGRAM
DESA
PENYELENGGARA
1. PAUD 2. PROGRAM PBA
Sukosono Jondang
PKBM PKBM
3. 4. 5. 6. 7.
NAMA KELOMPOK
PAUD Al Mashitoh Al Barokah, Al-Ikhlas, Al-Karomah, An Nur, Ar-Rahman Sowan Lor PKBM Nahdlotus Syubbyan, Nur Aini Sukosono PKBM Al Firdaus, Al Jannah, Ar Rahman, Ar Rohim Sowan Kidul PKBM At Taqwa, Al Muttaqin Wanusobo PKBM As- Salam Bugel PKBM Mangun Sejati KF Sukosono PKBM Al-Wathoniyah PAKET B Sukosono PKBM dan ponpes Mamba’ul Qur’an PAKET C Sukosono PKBM dan ponpes Mamba’ul Qur’an TBM Sukosono PKBM Mamba’ul Qur’an LIFE SKILLS Sukosono PKBM Al-Wathoniyah Bulak Baru PKBM/Olah Terasi Al-Wathoniyah Surodadi PKBM/Kepiting Keramba Al-Wathoniyah
Sumber: Data PLS Kecamatan Kedung Tahun 2007, diolah Keterangan: - PAUD - PBA - KF - Paket B - Paket C - TBM - Life Skills
: : : : : : :
Pendidikan Anak Usia Dini Pemberantasan Buta Aksara Keaksaraan Fungsional Pendidikan Luar Sekolah setara SLTP Pendidikan Luar Sekolah setara SLTA Taman Belajar Masyarakat Kecakapan Hidup
Program life skills berbeda pengertiannya dengan program Kelompok Belajar Usaha (KBU) yang pernah dilaksanakan oleh PKBM. KBU merujuk pada wadah kegiatan, fokusnya adalah pengembangan usaha; sedangkan life skills menunjuk pada jenis keterampilan dan fokusnya pada pemberian pelatihan keterampilan. Tidak semua jenis keterampilan yang diberikan melalui life skills diterapkan untuk usaha, misalnya jenis pelatihan jahit-menjahit dan bordir yang diberikan kepada para santri Mamba’ul Qur’an yang rata-rata masih berusia SD
84
s.d. SMA, maka life skills ini lebih kepada pemberian bekal keterampilan setelah mereka lulus dari pondok. KS (46 tahun), Penilik PLS Kecamatan Kedung, menyebutkan perbedaannya: Tentu berbeda, Mas. Kalau life skills itu kan yang diajarkan adalah keterampilan yang diminati warga, ditujukan untuk memproduksi, menciptakan, atau mencetak produk. Tujuannya agar peserta menjadi terampil. Kalau KBU kan ujungnya melakukan usaha atau untuk jualan lah. Setelah lulus apakah mereka pergunakan atau tidak, itu terserah kepada mereka sendiri. Melihat
penuturan
tersebut,
sebenarnya
terjadi
“penyimpangan”
pengertian life skills dengan living skills education / income earning skills. Life skills merujuk pada semua jenis kecakapan hidup yang meliputi kecakapan personal, sosial, intelektual/akademis dan vokasional, sementara pengertian yang dimaksudkan penilik PLS tersebut lebih kepada kecakapan vokasional yang lebih tepat disebut living skills education. Pada awalnya, jenis keterampilan praktis yang diberikan melalui program life skills PKBM ini meliputi seni ukir, jahitmenjahit, pembuatan krupuk (rengginan), dan roti bolu. Sejalan dengan perkembangannya, beberapa jenis keterampilan ini ada yang tetap eksis, ada yang tidak berjalan dengan beberapa alasan, ada pula yang merupakan penambahan jenis keterampilan. Jenis keterampilan yang pernah dicoba diselenggarakan walaupun akhirnya harus putus di tengah jalan adalah keterampilan seni ukir dan bobok. Sedangkan yang merupakan penambahan dan berlanjut sampai dengan saat ini adalah sablon. Perubahan jenis keterampilan ini menyesuaikan dengan minat dan situasi kondisi warga belajar sendiri. Secara umum, penetapan jenis keterampilan ditempuh melalui identifikasi pengelola PKBM bekerja sama dengan Penilik PLS, menghasilkan beberapa ide jenis keterampilan. Ide tersebut dilontarkan pada musyawarah dengan calon peserta yang diselenggarakan oleh PKBM, untuk dilakukan pembahasan apakah calon peserta menyetujuinya, atau mempunyai ide lain. Melalui forum musyawarah inilah, kemudian jenis keterampilan life skills ini ditetapkan. Hal ini diceritakan oleh RT sebagai berikut: Proses pemilihan program sendiri, melibatkan peserta sendiri. Jadi, pengurus PKBM didampingi oleh PLS, setelah melihat dan menganalisis kemungkinan pengembangannya antara lain melihat apakah jenis keterampilan ini sudah ada embrionya walaupun kecil, artinya apakah sudah ada yang menguasainya. Kemudian dirumuskan ide jenis keterampilan yang akan diberikan melalui life skills. Setelah itu kita mengundang orang-orang di wilayah Sukosono
85
yang sekiranya dapat dijadikan koordinator masing-masing kegiatan. Orang-orang ini tentunya kita kenal dengan baik karena tetanggatetangga kita sendiri. Kemudian diadakan musyawarah. Pada saat itulah ide itu kita keluarkan, dan menawarkan apakah mereka mau menerima dan bergabung, atau mengemukakan ide lain. Yang menjadi pertimbangan penetapan jenis keterampilan ini adalah, berdasarkan permintaan warga atau persetujuan warga atas penawaran kami, dan permintaan pasar sehingga ke depannya dapat lebih menjanjikan. Sebenarnya pengelola dan masyarakat bisa saling melengkapi. Artinya, PKBM berkeinginan menjalankan program PLS tetapi masyarakat juga dapat terpenuhi kebutuhan pendidikannya. Kadang karena persyaratan dan prosedur yang berbelit-belit, masyarakat jadi malas untuk mengikutinya. Di sisi lain, kita juga njagani agar jangan sampai masyarakat itu jadi nyagerke kepada kita dalam hal penyelenggaraan program. Menjawab
pertanyaan
apakah
ada
“pemaksaan”
terhadap
jenis
keterampilan yang ditetapkan, RT menjelaskan: Tentu tidak dipaksakan oleh pengurus, Mas. Karena kita mengharapkan program ini dapat berkesinambungan, maka harus didukung oleh peserta program sendiri. Saat itu kita menawarkan keterampilan seni ukir, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan krupuk (rengginan), dan roti bolu. Masing-masing jenis keterampilan ini, sesuai dengan ketentuan pendirian KBU yang ditetapkan PLS, membentuk kelompok-kelompok kecil sebanyak 5 (lima) orang, sehingga memenuhi jumlah minimal 20 orang. Mereka dijadikan koordinator sekaligus tutor karena mereka sudah menguasai jenis keterampilan tersebut dan bersedia melaksanakan program, dan diharapkan dapat mencari warga lainnya yang mempunyai bakat dan minat yang sama. Masing-masing kelompok ini diberikan dana stimulan sebesar Rp 500.000,00 yang mereka gunakan sebagai modal awal untuk membeli perlengkapan dan bahan-bahan produksi. Setelah itu mereka mengadakan pelatihan sekalian praktek selama 3 (tiga) hari dipandu oleh masing-masing koordinatornya. Setelah itu, mereka berjalan sendiri dan melaksanakan usaha. Keterlibatan PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung dalam penetapan jenis keterampilan life skills, sebagaimana dituturkan oleh KS sebagai berikut: Jadi alurnya seperti ini, Mas. Pemerintah dalam hal ini Pendidikan Luar Sekolah, menginformasikan dan mendorong kepada masyarakat untuk membentuk PKBM. Nah, PKBM ini kan harus mempunyai kegiatan. Pengurus didampingi PLS melihat situasi dan menggagas jenis keterampilan apa yang bisa dikembangkan di desa tersebut. Dari ide itu, kemudian ditawarkan kepada masyarakat, mereka mau menerima dan melaksanakan atau tidak. Apabila mau dan bersedia, baru kemudian diberikan materi pembelajaran. Kalau ada potensi yang bisa dikembangkan, maka PKBM kemudian membuat proposal pengajuan dana kepada Pemerintah Kabupaten
86
dan Propinsi untuk modal usaha. Soalnya kalau masyarakat sendiri kan tidak mempunyai jalur, memang harus melalui pengajuan PKBM ini. PLS Kecamatan menyetujui, dan selanjutnya apabila proposal diterima dan akan diberikan dana, diberikan langsung kepada pengelola. Dalam hal dana, Dinas Kecamatan tidak menerima tetapi dari Pemerintah Propinsi (jika itu APBD Propinsi - pen) langsung diberikan kepada Pengelola PKBM melalui rekening mereka. Kerja sama yang baik antara PKBM Al-Wathoniyah dengan seksi PLS Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung tidak terlepas dari kedudukan PKBM sebagai “mitra” PLS, artinya banyak kegiatan pendidikan luar sekolah yang menjadi tanggung jawab seksi PLS yang dipercayakan penyelenggaraannya kepada PKBM, selain oleh beberapa lembaga kursus/ yayasan yang juga bergerak di bidang PLS. Sebagai “mitra”, antara PKBM dan seksi PLS dituntut adanya kolaborasi dan komunikasi timbal-balik demi keberhasilan program-program PLS. Seksi PLS berkepentingan melaksanakan tugas pokoknya dalam mendampingi penyelenggaraan PLS di wilayahnya, sedangkan PKBM berkepentingan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Perekrutan Tutor dan Warga Belajar Perekrutan tenaga tutor atau nara sumber teknik dilakukan oleh PKBM dengan memfungsikan tenaga lokal yang sudah ada dalam masyarakat sendiri, sebagian adalah para guru sekolah swasta atau guru honor sekolah negeri, dengan kualifikasi pendidikan SMA, diploma, dan sarjana pendidikan. Profesi sebagai
guru
sekolah
turut
membantu
profesionalisme
mereka
dalam
menularkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja, terkait dengan tutor, yang masih menjadi kendala adalah tingkat kesejahteraan tutor yang relatif rendah ditandai dengan minimnya honor/uang transport yang diberikan, selain tidak adanya guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang khusus diberikan tugas untuk menjadi tutor sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk memajukan program. Selama ini, guru PNS hanya sebagai guru pamong, yaitu menjalankan tugas sebagai tutor di sela-sela kesibukannya sebagai guru sekolah formal. Sedangkan para tutor yang belum PNS, hanya mendapatkan honor yang relatif kecil. Berbagai upaya telah dilakukan, antara lain dengan “subsidi silang” anggaran antar program yang menjadi bidang garapan PKBM. Upaya lainnya adalah dengan mengajukan usul
87
peningkatan status para tutor menjadi PNS, karena posisi PNS dianggap sebagai posisi yang penting bagi para tutor dalam peningkatan penghasilan dan status sosial dalam masyarakat. Profesi sebagai tutor merangkap sebagai guru di berbagai sekolah swasta dalam rangka mendapatkan penghasilan lebih, kiranya dapat melemahkan semangat dan konsentrasi para tutor tersebut dalam memajukan program. Upaya mendapatkan anggaran uang transport dari Pemerintah
Kabupaten
Jepara
juga
telah
dilaksanakan,
tetapi
belum
mendapatkan respon yang positif mengingat keterbatasan APBD. Sasaran program yang dilaksanakan PKBM adalah seluruh warga Desa Sukosono dan sekitarnya yang membutuhkan pelayanan PLS. Beberapa cara telah ditempuh dalam perekrutannya, antara lain melalui cara door to door, penyebaran pamflet, pemasangan spanduk, melalui kumpulan-kumpulan mushola, sampai dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat / tokoh agama. Pendekatan kepada pengurus pesantren Mamba’ul Qur’an pun dilakukan, sehingga banyak santri yang menjadi warga belajar Kelompok Belajar Paket B, Paket C, maupun life skills. Ruang lingkup pengembangan tidak hanya difokuskan di Desa Sukosono, tetapi juga membuka kelas di sekitar Desa Sukosono. Sehubungan dengan perekrutan tenaga tutor atau nara sumber teknik dan warga belajar untuk program life skills, seperti diuraikan di atas, dilakukan setelah pengurus dan PLS Kecamatan Kedung merumuskan ide jenis keterampilan yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Perumusan ide ini termasuk memperhatikan siapa yang menjadi tutor, memperhatikan permintaan pasar, dan kemungkinan pengembangan life skills bagi pesertanya. Orang-orang yang direkrut untuk menjadi tutor dianggap sudah menguasai keterampilan dan bersedia untuk mengembangkannya, selain karena unsur kedekatan dengan pengurus secara personal. Para tutor ini kemudian merekrut beberapa warga untuk ikut bergabung dan menjadi peserta.
Proses Pencairan Dana Dalam menjalankan semua jenis kegiatannya, PKBM mendapatkan dana dari berbagai macam sumber, sebagaimana termaktub dalam akta pendirian PKBM Al-Wathoniyah adalah sebagai berikut: Harta kekayaan PKBM terdiri atas dan didapat dari:
88
1. Menerima bantuan, infaq, shodaqoh yang halal dan tidak mengikat dari perorangan atau badan-badan; 2. Menerima sokongan-sokongan/sumbangan-sumbangan atau subsidi berupa uang tunai, maupun benda/barang dari masyarakat maupun lembagalembaga pemerintah dan/atau badan swasta dari dalam maupun luar negeri yang tidak mengikat; 3. Menerima hibah, hibah wakaf, dan hibah biasa; 4. Sumbangan-sumbangan tetap; 5. Usaha-usaha PKBM lain yang sah serta tidak mengikat PKBM serta tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; 6. Menerima penghasilan dari usaha-usaha dan pendapatan-pendapatan lain yang sah sesuai dengan hukum yang berlaku; 7. Kekayaan PKBM yang berbentuk barang, barang apa pun juga tidak boleh dipergunakan untuk keperluan apa pun juga yang bertentangan dengan Anggaran Dasar serta maksud dan tujuan dari PKBM Menelaah dari sumber-sumber kekayaan PKBM di atas, terlihat bahwa sebagian besar mengandalkan pada sumbangan pihak lain. Hal ini menunjukkan kerentanan
PKBM
terhadap
kesinambungan
program,
manakala
tidak
memperoleh sumbangan dana maka program akan berhenti. Sementara mengandalkan dari usaha dan iuran peserta sendiri masih kesulitan, karena peserta sendiri pada umumnya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, dan usaha yang dirintis belum banyak menghasilkan. Beberapa jenis usaha, misalnya pendirian toko ATK (alat tulis kantor) dan kerja sama dengan PT Coca Cola Tbk, masih dalam proses perintisan. Selama ini sumber dana PKBM yang didapatkan berasal dari APBN, APBD Kabupaten dan Propinsi, iuran peserta, dan sumbangan yang tidak mengikat. Misalnya kegiatan Kelompok Belajar Paket, yang didapat melalui dua jalur pembiayaan. Pertama melalui APBN, yang diberikan setiap tahun anggaran kepada satu penyelenggara dalam satu kecamatan yang ditentukan oleh Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Kedua melalui swadana, diselenggarakan dengan anggaran sendiri yang diusahakan oleh penyelenggara, misalnya dengan iuran dari warga belajar, yang besarannya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagai contoh, pada tahun 2008, PKBM Al-Wathoniyah mendapatkan anggaran program Kelompok Belajar Paket B yang
89
bersumber pada APBN sebesar Rp 3.767.000,00 untuk tiga bulan yang diperuntukkan bagi honor / transport tutor sebesar Rp 135.000,00/bulan/tutor, ATK penyelenggara, honor penyelenggara sebesar Rp 100.000,00/bulan/orang, serta ATK Kelompok Belajar. Sedangkan untuk kegiatan Kejar Paket C bersumber pada iuran warga belajar, yang ditetapkan sebesar Rp 10.000,00 s.d. Rp 20.000,00 per bulan menurut kesanggupan masing-masing warga belajar. Berkaitan dengan program life skills, dana diperoleh dari APBN. Dana yang sifatnya block grant tersebut telah diberikan sebesar Rp 25.000.000,00 pada tahun 2003 untuk menjalankan semua jenis kegiatan meliputi Kelompok Belajar Paket, Kelompok Belajar Usaha atau life skills, Taman Belajar Masyarakat, Keaksaraan Fungsional, dan Magang. Proses penetapan besaran masing-masing kegiatan tersebut ditentukan melalui musyawarah pengurus dan segenap anggotanya secara transparan. Pencairan dana sendiri, langsung diberikan oleh Depdiknas kepada PKBM melalui rekening PKBM, tidak melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah maupun Kabupaten Jepara. Hal ini untuk mencegah timbulnya “potongan-potongan” anggaran dari instansi pemerintah. Dari kesepakatan antara pengelola PKBM dan warga belajar, diperoleh angka Rp 500.000,00 per jenis kegiatan life skills sebagai modal awal dalam penyelenggaraan program. Penyelenggaraan Program Life Skills Program life skills yang diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah meliputi seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon yang diselenggarakan di wilayah Desa Sukosono. Beberapa program life skills juga dilaksanakan di luar desa, yaitu kepiting keramba di Desa Surodadi dan pengolahan terasi di Desa Bulak Baru, masih dalam lingkup Kecamatan Kedung. Terkait perkembangan life skills di luar Desa Sukosono, KS menceritakan: PKBM Al-Wathoniyah juga menyelenggarakan life skills di luar Sukosono, yaitu kepiting keramba di Desa Surodadi dan pembuatan terasi di Bulak Baru. Kalau yang kepiting keramba memang tidak bisa berkembang atau gagal. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor alam yaitu kadar air laut yang kurang sesuai dengan kepiting yang dikembangkan, selain memang dibutuhkan ketekunan pengelolanya. Tetapi untuk terasi malah bisa berkembang. Pada awalnya, terasi dari Bulak Baru ini sudah dikerjakan oleh warga desa tersebut.
90
Hanya saja untuk pemasarannya malah dikirimkan ke Juwana Pati tanpa merk, kemudian oleh para pengusaha terasi di Juwana diberi merk Juwana. Ini kan jadi merugikan. PKBM kemudian mengelola terasi ini, dikemas di Bulak Baru sendiri dan dipasarkan sendiri. Ini bisa memberi nilai tambah dan ternyata diminati pasar. Buktinya pada waktu pameran PLS se-Jawa Tengah beberapa waktu lalu di Kabupaten Purworejo, terasi dan ikan asin dari Jepara yang paling laku diminati pengunjung. Kalau produk yang lain misalnya, asbak dan tempat Qur’an dari kayu malah tidak begitu diminati. Penuturan di atas menyiratkan bahwa jenis keterampilan yang selama ini ada dalam masyarakat dapat dikembangkankan dan tepat guna apabila dikelola dengan baik. Life skills yang diselenggarakan di Desa Sukosono dapat ditelaah dari proses pemilihan program, perekrutan tutor dan warga belajar, lokasi dan waktu penyelenggaraan kegiatan, keterlibatan stakeholder, dan pencairan dana pada masing-masing jenis keterampilan tersebut, sebagai berikut: 1. Seni ukir / meubel Pada kegiatan pemetaan sosial yang dilaksanakan pada bulan Pebruari 2008, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Sukosono bergerak dalam sektor permeubelan. Jenis keterampilan meubel, baik ukir maupun polosan, merupakan jenis keterampilan yang secara turun-temurun dikuasai oleh
sebagian
besar
masyarakat
Sukosono,
dan
menjadi
sumber
penghasilan bagi mereka. Industri meubel di Jepara merupakan kerajinan warisan leluhur yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan telah menjadi produk unggulan. Berawal dari kerajinan tangan yang menjadi industri kerajinan, meubel Jepara terus berkembang. Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja di Sukosono, baik sebagai buruh industri maupun pengusaha meubel skala kecil dan sedang. Hanya saja lebih banyak yang menjadi tukang kayu atau buruh industri meubel daripada yang menjadi pengusaha, artinya para tukang ini rentan terhadap pasang-surutnya meubel, tergantung kepada pengusaha meubel yang mempunyai modal dan akses pemasaran yang lebih baik. Sementara tukang hanya mengerjakan apa yang menjadi pesanan, selebihnya apabila tidak ada pesanan dan tidak berproduksi maka mereka pun akan menganggur, atau mencari pekerjaan menjadi tukang di tempat
lain.
Melihat
fenomena
ini,
pengurus
PKBM
berencana
mengembangkan kapasitas para tukang ini untuk bukan hanya bekerja sebagai pelaksana saja, tetapi diberi akses modal dan pemasaran sehingga
91
lebih meningkat statusnya menjadi pengusaha meubel melalui program life skills. Beberapa tukang diajak bergabung menjadi peserta program, diberikan stimulan modal yang dapat dipakai untuk membeli peralatan meubel dan menjalankan usaha secara kolektif. Tidak susah untuk merekrut tutor karena rata-rata sudah menguasai dan mahir dalam permeubelan, sehingga hanya diperlukan seseorang sebagai koordinator. Koordinator inilah yang merekrut lima orang (sesuai persyaratan) untuk bergabung, selanjutnya mereka menjalankan usaha meubel. Pada saat itu lokasi pelaksanaan program ditempatkan di brak (bengkel) meubel milik RT, dan langsung menjalankan usaha. Kondisi saat ini menyebabkan sektor permeubelan mengalami pasang-surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu, harga produksi, dan kompetitifnya harga barang jadi. Hal ini berimbas pada kesinambungan program, yang akhirnya berhenti dan tidak dilanjutkan. Menjadi seorang tukang lebih disukai daripada menjadi pengusaha karena tidak
dituntut
untuk
berfikir
dan
berusaha
”memutar
uang”
demi
meminimalkan pengeluaran dan memperoleh keuntungan. Menjadi tukang lebih realistis pada masa sekarang di mana sektor meubel cenderung menurun. Seorang pengusaha belum tentu dapat meraup keuntungan, sementara seorang tukang pasti mendapatkan penghasilan sebagai bayaran atas
produktifitasnya.
RT
sebagai
pengusaha
meubel
menceritakan
kesinambungan program life skills meubel ini sebagai berikut: Kalau ukir (meubel), memang tidak berkembang bahkan orangorangnya kembali kepada profesi lamanya yaitu menjadi tukang di brak-brak meubel. Hal ini terkait dengan pasang-surutnya industri meubel juga. Harga bahan baku menjadi mahal, sedangkan harga bahan jadi cenderung tetap. Jadi hasil penjualan tidak seimbang dengan proses produksi. Sebagai ilustrasi, harga kayu dulu Rp 400.000,00/kubik. Kalau dijadikan kursi bisa jadi 2 stel yang harganya per buah Rp 420.000,00. Berarti ada keuntungan + 50% setelah dikurangi bahan-bahan pelengkap lainnya seperti lem, paku, tenaga, dsb. Kalau sekarang, harga kayu per kubik menjadi Rp 700.000,00/kubik. Sementara harga kursi tetap Rp 420.000,00 per buah. Kan bisa tekor. Dari kendala ini, mereka akhirnya tidak melanjutkan usaha ini. Alat-alat yang mereka beli dari modal awal dulu, sekarang masih ada tersimpan. Memang kalau untuk mengembangkan meubel, dibutuhkan dana yang banyak. Upaya untuk tetap menjalankan program seni ukir dan meubel tetap dilakukan dengan kembali mengajukan proposal anggaran kepada Dinas
92
Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, tetapi karena keterbatasan kuota Pemerintah terkait proposal yang dapat diterima, akhirnya usaha ini belum membuahkan hasil. RT menuturkan usaha tersebut sebagai berikut: Sebenarnya ukir ini saya berniat untuk mengembangkannya bekerja sama dengan LSM FEDEP (Forum of Economic Development and Employment Promotion), suatu LSM yang berpusat di tetangga desa yaitu Desa Sukodono yang bergerak di bidang pengembangan keterampilan dengan program unggulan seni ukir yang dibiayai oleh Bank Dunia. Rencananya, PKBM akan merekrut warga masyarakat untuk menjadi peserta dan FEDEP yang memberikan pelatihan ukir dari pengolahan bahan baku sampai dengan finishing disertai dengan teorinya, dan mungkin diberikan cara-cara pemasaran yang baik. Tetapi sayangnya, proposal yang kami ajukan kepada PLS Propinsi tidak diterima sehingga ini pada akhirnya hanya sebatas rencana. Asumsi saya, mungkin anggaran pemerintah terbatas (Rp 25.000.000,00 per proposal yang diterima - pen) sementara yang mengajukan mungkin dinilai lebih membutuhkan dan berprospek bagus dibandingkan kami. Stakeholder yang terlibat dalam kegiatan life skills seni ukir/meubel adalah PLS Kecamatan Kedung dan pengurus PKBM sebagai penggagas ide, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah sebagai pemberi dana stimulan, para tukang yang direkrut sebagai peserta, dan RT sebagai pengusaha meubel yang berperan menyediakan tempat dan mencari order (pesanan) serta memasarkannya kepada gudang-gudang besar pemesan. Berkaitan dengan modal awal, seperti disinggung di atas, kelompok seni ukir/meubel ini medapatkan dana stimulan dari PKBM sebesar Rp 500.000,00 yang digunakan antara lain untuk membeli peralatan pertukangan dan bahan baku produksi meubel. 2. Bobok Jenis keterampilan bobok kayu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari industri meubel di Jepara. Beberapa barang jadi meubel memerlukan bobok selama proses produksinya, misalnya meja, kursi, almari; yang memerlukan pelubangan. Bobok diperlukan untuk melubangi kayu sesuai dengan pola yang diinginkan, berfungsi sebagai gergaji kecil untuk melubangi kayu, yang digerakkan dengan mesin. Seperti halnya jenis keterampilan seni ukir/meubel, bobok telah berkembang dan dikuasai oleh tukang yang berkecimpung di bidang perkayuan. Bobok merupakan suatu keterampilan yang secara alamiah
93
dimiliki oleh warga masyarakat dan dibutuhkan kreatifitas tinggi untuk dapat menguasainya. Tetapi karena masyarakat sudah terbiasa dengan perkayuan, maka jenis keterampilan ini dapat dijadikan program pembinaan oleh PKBM agar masyarakat dapat lebih berkembang. Perekrutan tenaga tutor dan warga belajar, seperti halnya seni ukir/ meubel, didahului dengan perumusan ide oleh pengelola PKBM termasuk siapa orang yang akan melaksanakan kegiatan bobok ini. Koordinator diserahkan kepada Jz (29 tahun, Bendahara PKBM Al-Wathoniyah) yang kemudian mencari lima orang yang akan diajak bergabung, menentukan waktu dan tempat penyelenggaraan, dan menjalankan usaha yang berkaitan dengan bobok. Mesin bobok dibeli dari modal awal yang diberikan sebesar Rp 500.000,00. Setelah mendapatkan lima orang, beberapa di antaranya belum menguasai bobok dengan baik sehingga kegiatan ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan keterampilan bobok. Kegiatan yang dilakukan adalah mencari order pengerjaan bobok pada brak-brak meubel yang memerlukan jasa bobok. Dalam perkembangannya, jenis usaha bobok juga tidak begitu berkembang. Hal ini karena pasar tidak merespon dengan baik, karena kebanyakan pengusaha meubel yang memerlukan pembobokan kayu, sudah memiliki mesin bobok sendiri karena harga mesin bobok relatif murah yaitu di bawah Rp 1.000.000,00. Sehingga jasa bobok yang ditawarkan oleh PKBM kurang mendapatkan respon balik dari pengusaha tersebut, karena sedikitnya order yang diterima. Permasalahan ini ditambah dengan lesunya industri meubel, menyebabkan warga belajar kembali kepada profesi sebelumnya yaitu menjadi tukang. Beberapa di antaranya memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Kegiatan yang dipusatkan di rumah HS (52 tahun) orang tua Jz ini hanya menyisakan mesin bobok yang tersimpan dan tidak terpakai. Tetapi sedikit banyak life skills bobok ini dapat meningkatkan keterampilan bagi beberapa pesertanya. Melihat permasalahan ini, yang perlu mendapatkan perhatian bagi koordinator adalah kerja sama dengan beberapa pengusaha meubel yang terdapat di Sukosono dan sekitarnya untuk memberi order pembobokan kayu kepada mereka secara rutin sehingga kegiatan tidak berhenti. Diperlukan perluasan jaringan untuk menawarkan jasa bobok, selain peningkatan mutu hasil bobokannya sehingga dapat diterima pasar. Hal ini yang belum dilakukan secara maksimal.
94
Dari deskripsi dua jenis kegiatan life skills di atas, terlihat kurang maksimalnya peran PKBM, selain tidak terlepas dari situasi dan kondisi pasangsurutnya industri meubel di Jepara. Kritikan terhadap PKBM atas beberapa jenis keterampilan yang tidak berkembang, antara lain disampaikan oleh Am (32 tahun), warga Desa Sukosono dan tutor kegiatan sablon sebagai berikut: Kelemahan PKBM itu menurut saya adalah kegiatannya bersifat temporer dan tidak terkoordinir. Absensi kegiatannya sering tidak ada, jadi dari segi administrasi masih kurang. Kalau dipaksakan membuat administrasi pasti kesulitan, datanya bisa jadi fiktif semua. Terus, biasanya kalau terbentuk kegiatan, setelah dilaksanakan kemudian masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Contohnya kegiatan life skills ini. Setelah program dijalankan, bantuan modal diberikan, kemudian masing-masing kelompok menjalankan kegiatannya sendiri-sendiri. Faktor lain yang menyebabkan ketidakberhasilan program di atas adalah faktor psikologi warga Sukosono, yang kurang ulet dan kurang sabar dalam menjalankan usaha, mengharapkan keuntungan yang banyak seperti pada saat industri meubel mengalami keemasan pada kurun waktu 1998 s.d. 2004. Alasan ini dikemukakan oleh RT sebagai berikut: Secara umum, jenis keterampilan ini kan memerlukan ketekunan dan kesabaran. Padahal masyarakat Sukosono yang terbiasa dengan meubel, di mana biasanya menjanjikan hasil yang lebih besar dan instant artinya kerja hari ini langsung bisa mendapatkan hasil atau paling lama dibayar mingguan, sementara kalau mengerjakan usaha lain seperti yang diberikan, kadang tidak langsung mendapatkan hasil. Diperlukan kesabaran dan ketekunan, kadang hasilnya juga tidak sebesar meubel. Istilahnya di sini adalah “maliter” artinya gengsi tidak mau mengurusi usaha dengan keuntungan kecil, maunya langsung menerima hasil yang besar. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan program, terdapat beberapa kelemahan yang berasal dari kondisi eksternal misalnya kondisi permeubelan dan permintaan pasar, maupun internal misalnya motivasi penyelenggara dan warga belajar. Pemilihan jenis keterampilan, permintaan pasar, keuletan, serta kesabaran peserta menjadi kunci yang perlu diperhatikan. Meskipun terdapat beberapa kelemahan dalam penyelenggaraan life skills, tetapi beberapa jenis keterampilan dapat berkembang dan berlanjut sampai dengan sekarang. Manfaat life skills ini dibenarkan oleh Jz sebagai berikut: Sebenarnya program life skill membekali warga belajar dengan keterampilan praktis. Ada keterampilan jahit dan bordir untuk warga belajar putri. Untuk putra, dibekali dengan keterampilan sablon. Dulu ada pertukangan, tetapi sepertinya warga belajar sudah pada mahir
95
dalam bidang perkayuan ini sehingga ditiadakan. Kita sendiri mengharapkan keterampilan ini dipakai warga belajar menaikkan taraf hidup kalau sudah lulus, Mas. Contohnya, ada lulusan life skills yang kemudian membuka usaha sablon di desa ini. Kalau untuk jahit, saya belum pantau sampai ke sana. Soalnya santri-santri ini rumahnya relatif jauh. Jadi kalau sudah lulus nyantri akan kembali ke daerah asalnya. Misalnya ada yang berasal dari Karimun Jawa dan Kalimantan. Beberapa jenis keterampilan hasil life skills masih berjalan sampai saat ini, seperti dideskripsikan dalam uraian di bawah ini. Beberapa jenis keterampilan tersebut adalah jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan usaha sablon. 3. Jahit-menjahit dan bordir Seperti halnya penetapan jenis keterampilan life skills yang lain, penetapan jahit-menjahit dan bordir dilakukan setelah dirumuskan oleh pengurus PKBM didampingi PLS Kecamatan Kedung. NI (34 tahun) sebelumnya telah menguasai jenis keterampilan jahit-menjahit dari lembaga kursus “Jenggala Course” Jepara, sedangkan keterampilan bordir dia peroleh dengan belajar sendiri dari buku. Sebelumnya, NI adalah santri Mamba’ul Qur’an yang sudah boyong dan kembali ke rumahnya, tetapi sebagai alumni, hubungan baiknya tetap terjaga dengan pesantren. Sebelum menikah, sering diminta oleh nyai pesantren untuk mengajari berbagai jenis keterampilan menyulam, kristik, keterampilan merangkai bunga kepada santri putri, atau membuat taplak-taplak meja sebagai barang inventaris pesantren. Melihat bahwa NI menguasai jahit-menjahit dan bordir serta mempunyai hubungan baik dengan pesantren, maka pengurus PKBM (RT dan Jz) merekrut NI sebagai tutor dan meminta izin kepada kyai sesuai tradisi pesantren untuk menyelenggarakan life skills di pesantren. PKBM menawarkan program life skills dengan sasaran para santri. Tujuan penyelenggaraan life skills di pesantren bukan mengarah pada pembentukan Kelompok Belajar Usaha, tetapi dimaksudkan untuk pemberian life skills sebagai bekal bagi para santri manakala sudah boyong dan kembali ke masyarakat. PKBM memberikan bantuan dana sesuai kesepakatan musyawarah sebesar Rp 500.000,00 kepada nyai pesantren, yang kemudian digunakan untuk membeli mesin jahit biasa, mesin jahit portable, dan mesin juki (bordir). Untuk menyiasati waktu kegiatan mengaji bagi para santri, maka lokasi life
96
skills ditempatkan di lingkungan pesantren, dalam sebuah ruangan khusus di mana semua mesin ditempatkan. Waktu penyelenggaraan seminggu sekali kepada santri yang berjumlah + 20 orang. Meskipun tidak terpakai untuk kegiatan usaha, tetapi life skills ini dirasakan manfaatnya bagi santri, seperti dijelaskan kyai MK: Manfaatnya positif, diamalkan setiap hari. Manfaatnya, alat-alat jahit, bordir, obras bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan pondok, untuk seragam santri, atau kebutuhan pakaian mereka sendiri. Beberapa anak mahir jahit-menjahit dan bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan teman-temannya dengan keahlian itu. Dulu ada latihan, sekarang rata-rata sudah bisa jadi tidak diajari lagi. Latihannya menyesuaikan dengan waktu luang dan jadwal pondok. Para santri dapat memanfaatkan keterampilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan seragam bagi santri sendiri. Prospek untuk usaha sebenarnya ada, tetapi kebijakan pesantren yang lebih menekankan kepada penguasaan ilmu agama melihat bahwa keterampilan yang diberikan hanya sebatas tambahan, sesuai dengan konsistensi pesantren sebagai pesantren salafi. Hal ini tidak menjadi permasalahan, karena tujuan life skills sendiri adalah memberikan bekal keterampilan kepada peserta, selanjutnya setelah lulus dapat dimanfaatkan untuk berusaha dan mendapatkan penghasilan. Saat ini life skills jahit-menjahit dan bordir masih dilaksanakan, tetapi tutornya diserahkan kepada para santri yang telah menguasai dengan baik. Hal ini karena NI memilih membuka usaha jahitan dan mengurus keluarga di rumahnya,
yang jaraknya + 500 m dari pesantren, sehingga tidak
mempunyai waktu luang untuk mengajar jahit-menjahit bagi santri. Tetapi, beberapa orang santri yang sudah diajarinya dan menguasai keterampilan tersebut, menggantikan posisinya sebagai tutor. Waktu pelaksanaan lebih fleksibel karena santri di waktu luangnya dapat setiap saat belajar dari santri lain yang sudah menguasai. Hal ini diceritakan oleh NI sebagai berikut: Dulu seminggu sekali saya mengajari menjahit di pondok kepada para santri perempuan. Kalau sekarang saya sudah jarang ke sana, karena pesenan jahitan saya banyak, sehingga jarang ada waktu luang ke sana. Dulu saya dibantu sama Santi dan Tutik, sekarang sudah pada “boyong” (lulus dari pondok - pen). Jadi kegiatan jahitmenjahit sekarang dipegang oleh Juwariyah. Kalau bordir, sepertinya sudah jarang digunakan karena tidak ada yang mengajari lagi. Bordir itu kan butuh ketekunan dan harus tiap hari latihan biar tangannya bisa luwes. Karena saya sekarang sibuk dengan pekerjaan rumah dan menjahit, tidak bisa sering ke sana lagi. Beda kalau mesin
97
bordirnya ditaruh di sini, saya bisa mengajari lagi kepada para santri. Tapi ya mereka yang harus bolak-balik ke sini. Kayaknya sih ini juga susah diambil waktunya, karena mereka kan tujuan utamanya mengaji, jadi kadang gak ada waktu untuk ke sini. Jadinya memang susah mencari waktu yang pas. Makanya mesin juki-nya jarang dipakai lagi kayaknya. Memang tidak mudah menguasai bordir, Mas. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Meskipun tidak dimanfaatkan untuk usaha, life skills jahit-menjahit dan bordir di pesantren terus dilanjutkan oleh para santri sebagai bekal tambahan di luar ilmu agama dan hapalan Al-Qur’an yang menjadi fokus pengajian. 4. Pembuatan rengginan Berawal
dari
tradisi
tahlilan
ruwahan,
yaitu
tahlilan
yang
diselenggarakan tiap bulan Sya’ban (Ruwah) sebelum bulan Ramadhan oleh warga Desa Sukosono, PKBM melihat peluang jenis makanan ringan rengginan untuk dijadikan usaha. Tahlilan ruwahan dilaksanakan dengan berkumpul, dan disuguhkan beberapa minuman dan makanan ringan sebagai jaminan (makanan ringan). Rengginan menjadi makanan yang sering disuguhkan dan disukai oleh warga. Karena sebelumnya harus dibeli di pasar karena belum ada warga Sukosono yang membuatnya, maka PKBM mengemukakan ide pembuatan rengginan tersebut dalam musyawarah. Ide yang ditawarkan disambut baik oleh Ms (38 tahun), kakak RT, yang bersedia menyelenggarakan life skills rengginan. Sebagai tutor adalah Mb T (75 tahun), nenek RT, yang menguasai jenis keterampilan ini karena pada saat itu belum ada yang bisa. Warga Sukosono berjumlah + 10 orang belajar membuat rengginan di rumah Mb T. Metodenya adalah berlatih sekaligus praktek karena pembuatan rengginan lebih cepat dikuasai apabila langsung dipraktekkan. Saat ini, kelompok Mb T sebanyak lima orang tetap menjalankan usaha, dan berkembang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan acara tahlilan ruwahan, tetapi untuk memenuhi kegiatan hajatan nikah, sunat, dan permintaan pedagang-pedagang pasar untuk dijual kembali. Selain Desa Sukosono, lingkup pemasaran juga meliputi desa-desa sekitar yaitu Rau, Petekeyan, Bugel, Langon, dan Ngabul dalam wilayah Kecamatan Kedung. Keuntungan produksi ini rata-rata mencapai 25%, ditunjang oleh prospek pemasaran yang cukup baik. Ms menjelaskannya sebagai berikut: Kalau ramai, banyak permintaan misalnya banyak hajatan, bisa menghabiskan 2 kwintal beras ketan. Modalnya + 250 ribu rupiah.
98
Kalau penjualannya, tiap 1 kg beras ketan, sekarang harganya 8.000 rupiah, menghasilkan rengginan 20 buah. Satu buahnya dijual seharga 600 rupiah. Kalau pesanannya sedikit ya untungnya sedikit. Rata-rata keuntungannya, + 25% dari modal. Kita bikin, kadang untuk memenuhi pesanan, kadang untuk stok. Tapi pasti habis karena banyak yang berminat. Sebenarnya prospeknya bagus. Sejalan dengan Ms berkaitan dengan prospek pengembangan rengginan, KS menyatakan: Rengginan itu kan sepintas hanya barang yang sepele. Tapi kalau berhasil dikembangkan, malah bisa menjadi “ikon” Desa Sukosono karena rasanya yang khas dan renyah, dan banyaknya permintaan warga sekitarnya. Di sini, setiap warga melaksanakan hajatan, biasanya rengginan menjadi hidangan ringan yang laris. Demikian juga dengan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan warga seperti pertemuan-pertemuan, kumpulan RT maupun pengajian. Artinya, banyaknya permintaan akan rengginan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha. Dari hal yang sepele bisa menjadi aset yang bernilai apabila dikembangkan dengan ketekunan. Contohnya, di daerah Kaliputu Kudus, itu ada pengusaha makanan “marning” (makanan ringan berasal dari jagung yang digoreng - pen) yang karena ketekunannya bisa menjadi sukses bahkan dapat mengekspor “marning” tersebut ke luar negeri. Dalam
pengembangannya
terdapat
beberapa
kendala
yang
seharusnya mendapatkan perhatian dari PKBM. Pertama, rengginan Desa Sukosono belum mempunyai izin usaha dari Pemerintah, sehingga persyaratan legal formal usaha belum terpenuhi. Kedua, masih mengandalkan pembuatan bumbunya kepada Mb T, sementara generasi berikutnya mengaku belum seenak Mb T dalam meracik bumbu. Ketiga, proses produksi masih memakai peralatan tradisional, yaitu panci besar, kompor kayu bakar, dan untuk menjemur dengan tampah besar yang disebut tèdè. Selain itu, proses pengeringan rengginan masih mengandalkan sinar matahari, yang berarti produksi hanya bisa dilakukan selama musim kemarau. 5. Pembuatan roti bolu Nara sumber teknik pembuatan roti bolu adalah SMr (31 tahun) yang diajak
bergabung
oleh
PKBM.
SMr
adalah
lulusan
Sekolah
Panti
Keterampilan Jepara yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Jepara untuk jenis keterampilan jahit-menjahit. Selepas kursus, kemudian membuka usaha jahit dan mengembangkan hobi memasak. Jenis masakan yang ditekuni adalah kateringan, pembuatan krupuk bawang, kripik singkong,
99
dan goreng-gorengan; dan menjadi usaha rumah tangga yang menghasilkan. Jadi sebelum menjadi tutor, SMr telah mempunyai usaha rumah tangga pembuatan makanan ringan tersebut. Keaktifannya di PKBM membuat RT memintanya untuk menjadi nara sumber teknik pembuatan makanan ringan, dengan membentuk kelompok dan mengerjakan usaha secara kolektif. SMr membentuk dua kelompok sebanyak sepuluh orang masing-masing lima orang diberi nama kelompok Cempaka yang berlokasi di rumahnya, mengajari sekaligus mempraktekkan bersama, dan melakukan produksi. Bermodal keterampilan dan bantuan sebesar Rp 500.000,00 dari PKBM, Kelompok Cempaka memulai usaha dan mendapatkan omzet yang cukup besar. SMr menceritakannya sebagai berikut: Omzetnya lumayan, Mas. Untuk pembuatan krupuk bawang setiap bulan menghabiskan 100 kg tepung, itu bisa menghasilkan 120 kg krupuk. Waktu itu harganya 7.500 rupiah per kilo. Jadi bisa sampai 8 juta rupiah sebulan. Kalau dibagi rata, setelah dikurangi bahan-bahan, masing-masing anggota mendapatkan 500 ribu rupiah. Besarnya sih bervariasi, itungannya dihitung tiap orang dapat membuat gorengan, krupuk, dan sebagainya itu berapa kilo, kemudian yang menjualnya itu dapat berapa per bulan. Dari situ kemudian kita bagi keuntungan berdasarkan produktifitasnya. Pemasarannya ke toko-toko di sepanjang jalan di Sukosono. Tiap posyandu juga kami yang menyediakan makanannya. Selama 2 tahun kami mengerjakan itu, tapi akhirnya bubar dan masing-masing mempunyai usaha sendiri sampai sekarang. Saya kemudian membuat roti bolu dan kateringan snack seperti dulu lagi. Selepas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun 2005, usaha makanan ringan kelompok Cempaka mengalami kemunduran, dan berakhir pada pembubaran kelompok. Kenaikan harga barang yang menyebabkan penurunan kualitas produksi, dan penurunan daya beli masyarakat
menjadi
penyebab
omzet
penjualan
menurun
sampai
setengahnya. Modal yang terkumpul beserta peralatan memasak dibagi habis dengan para anggota, yang kemudian memutuskan untuk menjalankan usaha rumah tangga sendiri-sendiri dengan bekal keterampilan telah yang diperoleh. SMr sendiri mengembangkan usaha kateringan makanan ringan untuk hajatan dan kumpulan, serta pembuatan roti bolu dibantu oleh lima orang saudaranya. Keuletan dan kesabaran berusaha membuahkan hasil yang baik. Usaha
rumah
tangga
yang
ditekuninya
mencapai
omzet
Rp
1.000.000,00/bulan, dipasarkan sendiri ke lingkup Desa Sukosono. Roti bolu
100
dan kateringan makanan ringan dipasarkan kepada warga yang mempunyai hajat, sedangkan untuk produksi sehari-hari dipasarkan ke sekolah-sekolah se-Sukosono: SD, MI, MTs, dan TPQ. Tetapi, kondisi saat ini, dipicu oleh kenaikan harga BBM bulan Mei tahun 2008 menyebabkan penciutan pemasaran sebagai imbas dari kenaikan harga barang dan penurunan daya beli masyarakat. Berkaitan dengan manfaat yang diperoleh setelah bergabung dengan PKBM Al-Wathoniyah, SMr memberi kesaksian: PKBM banyak manfaatnya. Ibu-ibu yang biasanya jagong (ngerumpi - pen), bisa diberi pekerjaan yang menghasilkan. Daripada jagong kan lebih baik bekerja. Ibu-ibu bisa diberi keterampilan, bisa menggunakan keterampilan itu untuk mendapatkan penghasilan. Hanya saja, PKBM cuma memberikan modal satu kali. Setelah itu kita yang harus memutar modal itu sendiri. Harapan saya untuk PKBM, kalau berlanjut akan lebih bagus. Yang dikembangkan, gorengan sama roti bolu sama-sama jalan. Modal tidak diberikan hanya satu kali saja. Life skills pembuatan roti bolu bermula dari usaha rumah tangga yang dijalankan oleh SMr, kemudian berkembang dan dilaksanakan secara berkelompok. Kenaikan harga BBM menjadi pemicu pembubaran kelompok, sehingga para anggota kelompok kemudian menjalankan usaha rumah tangga sendiri-sendiri. Dengan demikian, life skills ini sedikit banyak memberi manfaat kepada pesertanya. 6. Sablon Sablon mendapatkan perhatian PKBM untuk dikembangkan karena melihat
prospek
yang
baik.
Am
(32
tahun)
mengembangkan usaha sablon sebelumnya
yang
belum
ditawari
untuk
menguasai jenis
keterampilan ini, tetapi karena beberapa temannya mempunyai usaha sablon, Am bersedia untuk belajar dan mempraktekkan usaha ini. Setelah menguasai, Am yang adalah lulusan Mamba’ul Qur’an menjadi tutor sablon dengan sasaran awal para santri. Kyai MK menyediakan waktu seminggu sekali bagi para santri untuk belajar sablon sebagai kegiatan tambahan. Hanya saja, seperti diakui Am, mengajarkan sablon kepada para santri mempunyai kendala waktu penyelenggaraan. Sebelumnya saya belum pernah nyablon, Mas. Tapi pada saat ada tawaran dari PKBM, tidak ada salahnya saya mencobanya. Saya
101
baca buku-buku tentang sablon, dan mempraktekkannya. Saya juga belajar dari teman saya yang mempunyai usaha sablon dan percetakan off set. Setelah bisa, saya mencoba mengajarkan dan sekaligus mempraktekkannya kepada anak-anak pondok pesantren Mamba’ul Qur’an. Tetapi ada dilema manajemen waktu. Anak-anak pondok ini tujuan utamanya kan ngaji dan menghapalkan Qur’an. Membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan waktu setiap hari. Pokoknya setiap hari mereka mengaji, sedikit waktu luangnya. Padahal belajar sablon tidak bisa dalam waktu yang sebentar. Dulu dikasih waktu selama + 2 jam, tetapi untuk membuat satu buah sablon saja, untuk membuat klisenya, bisa lebih dari 2 jam. Kalau dihentikan dulu, gak bisa karena membuat klise itu kalau tidak langsung jadi maka screen-nya akan rusak, ketutup tinta. Akibatnya tidak bisa dipakai lagi. Memang susah menentukan waktu yang tepat. Sementara kalau disuruh belajar di rumah saya, juga tidak bisa karena anak-anak pondok itu tidak bisa setiap saat keluar dari pesantren, terutama yang mukim. Tidak maksimal memberi pengajaran kepada santri, walaupun pihak pesantren telah berinisiatif memenuhi kebutuhan alat-alat sablon, Am mencoba mengajarkan kepada para remaja Desa Sukosono, dan murid MTs Sultan Fattah sebanyak + 20 orang dengan mengambil lokasi di MTs Sultan Fattah. Faktor ketelatenan dan kesabaran proses pembuatan sablon menjadi kendala yang menyebabkan jenis keterampilan ini kurang bisa ditularkan kepada orang lain. Tingkat kesulitan dan ketelitian tinggi dalam pembuatan sablon, terutama untuk menjaga kestabilan tinta pada saat pembuatan klise, menjadi sebab para remaja yang diajari tidak sabar telaten untuk hal ini, akhirnya mereka kesulitan dan tidak bersedia lagi mencoba nyablon. Saat ini, Am masih menjalankan usaha sablon khususnya sablon kertas. Prospek yang baik sebagaimana disampaikan oleh Am berikut ini: Ketika menguasai cetak (sablon), prospek ke depannya bagus. Jika ditunjang alat-alat yang baik plus kemampuan program komputer corel/photoshop, bisa menerima pesanan. Hanya memang terbentur modal. Dulu diberi modal sebesar 500 ribu, itu dipakai untuk belanja screen per kotak plus bingkainya 54 ribu, kemudian rakel 2500/cm, kemudian hair dryer untuk pengeringan, screen spanduk 200 ribu. Saya dulu mencoba sablon kain, tapi kesulitan akhirnya saya mundur. Kalau lagi musim hajatan, yang membutuhkan cetak undangan kan banyak. Daripada memesan ke luar desa, kan bisa dilayani di sini sendiri tidak usah jauh-jauh. Jadi prospeknya itu bagus. Stakeholder yang terlibat dalam proses sablon, seperti diceritakan Am, adalah PKBM Al-Wathoniyah sebagai pemberi modal dan penanggung jawab kegiatan life skills, teman-teman Am yang telah lebih dahulu mempunyai
102
usaha sablon, penyedia bahan baku sablon dan kertas cetak yang diperoleh dari Kudus, dan masyarakat pengguna jasa sablon (cetak undangan). Dari berbagai jenis keterampilan life skills seperti diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Proses pemilihan jenis keterampilan berawal dari ide yang dicetuskan oleh pengurus PKBM Al-Wathoniyah dan PLS Kecamatan Kedung, dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, permintaan pasar, dan kemungkinan pengembangannya termasuk penentuan personil yang akan ditawari menjadi koordinator atau tutor; 2. Rumusan ide tersebut dibawa ke dalam forum diskusi yang diselenggarakan oleh
PKBM
pesantren
Al-Wathoniyah
Mamba’ul
dengan
Qur’an,
serta
mengundang personil
tokoh
yang
masyarakat,
dianggap
bisa
mengembangkan jenis keterampilan life skills; 3. Dalam forum musyawarah tersebut, ditawarkan apakah ide tersebut dapat diterima dan dilaksanakan, atau terdapat usulan lain. PKBM membuka diri untuk mendapatkan masukan, termasuk berapa jumlah modal awal yang diberikan,
bagaimana
proses
penyelenggaraan
kegiatan/usaha,
dan
seterusnya; 4. Penyelenggaraan life skills diserahkan kepada para koordinator setelah mendapatkan dana stimulan yang disepakati sebesar Rp 500.000,00 per jenis keterampilan. Lokasi dan waktu penyelenggaraan menyesuaikan situasi dan kondisi tergantung kesepakatan anggota kelompok yang akan terbentuk, sebagai berikut: keterampilan seni ukir/meubel di brak meubel milik RT, keterampilan bobok di rumah HS, jahit-menjahit di lingkungan pesantren Mamba’ul Qur’an, rengginan di rumah Mb T, roti bolu di rumah SMr, dan sablon di rumah Am; yang semuanya tersebar di wilayah Desa Sukosono. Hal ini menguntungkan dari segi sosialisasi program kegiatan bagi seluruh warga, meskipun masih terdapat sebagian warga yang belum mengetahui keberadaan PKBM Al-Wathoniyah; 5. Beberapa kendala ditemukan, antara lain pengawasan, pemantauan, dan pendampingan yang kurang maksimal dari PKBM. Sehingga setelah modal awal diberikan, para koordinator menjalankan kegiatan tersebut sendiri. “Pembiaran” ini menurut pengurus PKBM karena mengingat keterbatasan personil dan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian bagi warga belajar
103
untuk mengembangkan diri. Stakeholder pengembangan kegiatan belum maksimal, misalnya stakeholder pemasaran produk dan kerja sama dengan pihak pengusaha; 6. Pencairan dana life skills dilakukan setelah proposal disetujui Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, dan diserahkan dalam bentuk block grant untuk membiayai semua jenis kegiatan PKBM. Hal ini menandakan bahwa keberlangsungan PKBM masih tergantung dari dana block grant yang diberikan Pemerintah, sementara sumber pendanaan yang lain belum tergali. Uraian tentang perkembangan life skills di atas dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 15. Jenis Life Skills, Koordinator, Peserta, dan Tingkat Keswadayaan yang Diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah Peserta
Tingkat Keswadayaan Modal awal keg Omzet/ keuntungan skrg Pemrth Masy
Jenis Life Skills
Koordinator/ nara sumber teknik
1.
Seni ukir/meubel
MKh (masyarakat)
-
-
2
3
500.000 1.000.000
2.
Bobok
Jz (masyarakat)
-
-
5
-
500.000
3.
Jahitmenjahit dan bordir Pembuatan rengginan
NI, Jw (masy, santri)
-
20
-
-
500.000
Ms (masyarakat)
-
-
-
5.
Pembuatan roti bolu
SMr (masyarakat)
-
-
10
-
500.000
6.
Usaha sablon
Am (masyarakat/ alumni ponpes MQ)
20
5
20
-
500.000
No
4.
Santri Masy. L P L P
10 500.000
Keterangan
-
• Tidak berlanjut • Kendala: - bahan baku mahal - harga barang jadi tetap - industri meubel lesu - motivasi berkurang • alat tersimpan • Tidak berlanjut • Kendala: - pemasaran kurang baik krn kebanyakan pengusaha meubel sudah memiliki alat sendiri - kurang menjalin jaringan - industri meubel lesu - motivasi kurang - peserta ada yang memilih merantau ke Jakarta • alat tersimpan 300.000 • dimanfaatkan sebagai pembelajaran keterampilan santri putri • untuk kebutuhan intern santri 80.000 25% dari modal • Berlanjut, prospek bagus • Kendala: - belum punya izin usaha - mengandalkan pembuatan bumbu pada 1 orang - memakai peralatan tradisional - tergantung pd sinar matahari 500.000 1.000.000/orang • Berlanjut sebagai usaha perorangan • Prospek bagus • kendala modal 500.000 30% dari • Berlanjut, prospek bagus pembelian bahan • hanya dikembangkan 1 orang • pangsa pasar menengah ke bawah • Kendala: - kendala modal - ketekunan dan keuletan tinggi
104
Berdasarkan uraian di atas, teridentifikasi beberapa stakeholder yang berperan dalam input, proses, dan output untuk masing-masing jenis life skills tersebut, yang dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 16. Identifikasi Stakeholder Life Skills di Sukosono
No.
Jenis Life Skills
1
Seni ukir/meubel
2
Bobok
3
Jahitmenjahit dan bordir
4
Pembuatan rengginan
5
Pembuatan roti bolu
6
Usaha sablon
Stakeholder Input
Depdiknas yang menetapkan juklak/juknis, Dinas P dan K Prop. Jateng memberi stimulan dana, Dinas P dan K Kab. Jepara memberi dana dan juknis, Cabang Dinas P dan K Kec. Kedung sebagai pendamping, PKBM sebagai penggagas ide dan penyelenggara program, lembaga kursus
Proses
Output
para tukang yang direkrut sebagai peserta dan pelaksana kegiatan, pengusaha meubel yang mencari order (pesanan), penyedia bahan baku meubel, penyedia sarana transportasi peserta dan pelaksana kegiatan, koordinator yang mencari order (pesanan), penyedia bahan baku meubel, penyedia sarana transportasi Peserta kegiatan (para santri), penyedia bahan baku jahit-menjahit, kyai pesantren Penyedia bahan baku (ketan, bumbu-bumbu), peserta Penyedia bahan baku (toko/ pedagang pasar Bugel dan Jepara), peserta Peserta, penyedia bahan baku (kertas, tinta, alat sablon; di Kudus dan Jepara), pemilik percetakan off set
Pengusaha meubel yang menampung hasil produksi di gudanggudang meubel, konsumen
Pengusaha meubel yang memerlukan jasa bobok
Santri, kyai/nyai pesantren
Konsumen (warga masyarakat, pedagang pasar) Konsumen (warungwarung, anak sekolah, warga masyarakat, posyandu, TPA) Masyarakat
105
ANALISIS EFEKTIFITAS PROGRAM LIFE SKILLS OLEH PKBM AL-WATHONIYAH
Menganalisis efektifitas PKBM Al-Wathoniyah berarti menganalisis sejauh mana tujuan pembentukan PKBM itu tercapai. Untuk menganalisis efektifitas program life skills yang dilaksanakan, terlebih dahulu diperlukan analisis terhadap kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah itu sendiri, analisis proses pembentukan PKBM, pemenuhan syarat minimal pembentukan, analisis bidangbidang kegiatan yang dikelola, serta analisis indikator keberhasilan programprogram yang dicapai PKBM, termasuk di dalamnya program life skills. Selanjutnya, analisis efektifitas program life skills perlu dilakukan untuk mengetahui apakah jenis keterampilan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kehendak warga, apakah memberi manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah misalnya dalam perluasan jaringan maupun peningkatan ekonomi. Analisis terhadap efektifitas PKBM tersebut di atas, adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini. Analisis Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah PKBM dapat digolongkan dalam collective action sector karena dilakukan secara kolektif oleh elemen masyarakat, baik sebagai pengelola, tutor/nara sumber teknik, maupun warga belajar. Analisis kelembagaan PKBM AlWathoniyah sebagai collective action sector dengan melihat perubahan kelembagaan PKBM dalam dimensi historis dan prospek kelembagaan, pilarpilar yang diperlukan untuk menopang kelembagaan PKBM, serta melihat PKBM sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya, sebagai berikut: Perubahan Kelembagaan Menganalisis kelembagaan PKBM dari dimensi historis dan prospeknya, berkaitan dengan analisis terhadap penyelenggaraan PLS yang menjadi fokus kegiatannya. Kebijakan PKBM muncul setelah terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga terjadi perubahan kebijakan dalam implementasi PLS dalam kehidupan masyarakat.
106
Merujuk pada teori Carney and Gedajlevic (2005, diacu oleh Nasdian 2008), bahwa perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi sebagai suatu “institutional and organizational co-evolution”, penyelenggaraan PLS di Desa Sukosono dapat dilihat berdasarkan perubahan atau evolusi antara pranata-pranata yang ada dengan organisasi penyelenggara yang terbentuk, seperti diuraikan di bawah ini. Istilah life long education atau pendidikan sepanjang hayat (PSH) telah dikenal lama dalam dunia pendidikan internasional, terlebih setelah PBB menetapkan PSH sebagai asas pendidikan. Konsep-konsep dalam PSH tersebut menyatakan terjadi perubahan paradigma terhadap dunia pendidikan, dari yang berorientasi sekolah (formal) menuju ke batasan pendidikan yang lebih luas, meliputi juga PLS. Beberapa hasil penelitian terhadap sekolah mengungkapkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah tidak akan membantu memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja, bahkan memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin karena hanya yang kaya yang mendapat kesempatan sekolah. Kenyataannya, sepanjang kehidupan seseorang, dunia luar sekolah menempatkan porsi waktu yang lebih besar dibandingkan dunia sekolah. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan: berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2006 (Badan Pusat Statistik 2006) berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusia, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia adalah 7,3 tahun; rata-rata lama sekolah penduduk Propinsi Jawa Tengah mencapai 6,6 tahun, dan rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Jepara adalah 6,9 tahun. Apabila asumsi angka harapan hidup penduduk Indonesia adalah 70 tahun, maka terlihat bahwa dunia sekolah hanya “menyita” waktu + sepersepuluh sepanjang hidup seorang penduduk Indonesia. Konsep PSH membawa perubahan pemikiran tentang pentingnya PLS. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mendayagunakan dan mengembangkan PLS agar berperan lebih besar dalam pembangunan. Joesoef (2004) menyebutkan bahwa PLS pada umumnya lebih banyak yang bersifat praktis, agar segera dapat menerapkan hasil pendidikannya dalam praktek kerja dan merupakan respons dari pada kebutuhan khusus yang mendesak. Sebenarnya, konsep PLS telah diterapkan pada Sistem Pendidikan Nasional sejak masa orde baru, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Tetapi, penyelenggaraan PLS tampak lebih bersifat sentralistik karena berlandaskan pada konsep pembangunan (developmentalism), akibatnya ketika
107
mengalami krisis, masyarakat mengalami keterpurukan. Meskipun dunia pendidikan bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab terhadap krisis yang berkepanjangan, tetapi kenyataan ini mengindikasikan bahwa “proyek” PLS yang sentralistik tidak menciptakan masyarakat yang “tahan” terhadap terpaan krisis ekonomi. Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
yang penetapannya
dipicu setelah adanya
krisis
ekonomi yang
memunculkan gerakan reformasi, terjadi perubahan penyelenggaraan PLS melalui konsep broad based education, yaitu penyelenggaraan pendidikan berbasis keragaman dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Konsep ini memungkinkan pemerintah lebih mendorong masyarakat agar dapat turut andil dalam penyelenggaraan PLS, melalui regulasi yang lebih memihak. Masyarakat dapat berperan mendirikan lembaga-lembaga kursus, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Terpadu Masyarakat (LPTM), dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Depdiknas (2004) merumuskan batasan pengertian kelembagaan-kelembagaan pendidikan masyarakat tersebut sebagai berikut:
a) Lembaga kursus merupakan lembaga pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat (dulu dikenal dengan sebutan diklusemas kependekan dari pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat) yang berada di bawah pembinaan Dinas Pendidikan. Lembaga kursus berpengalaman menyelenggarakan pendidikan dan/atau latihan keterampilan dan profesi tertentu untuk masyarakat, didukung oleh fasilitas dan intruktur/tenaga pendidik yang kompeten.
b) LPTM adalah lembaga milik masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan (capacity building) masyarakat di bidang kecakapan hidup baik pangan maupun jasa. Sasaran LPTM adalah pemberdayaan masyarakat yang tergolong kurang beruntung.
c) PKBM merupakan salah satu satuan pendidikan non formal yang diprakarsai, dibentuk, dan dikelola sendiri oleh masyarakat, untuk pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat setempat.
Karenanya,
prinsip
PKBM
ialah
DOUM
dalam
rangka
mewujudkan pendidikan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat.
108
Artinya bahwa prakarsa penyelenggaraan pembelajaran diharapkan dapat tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan kebutuhan masyarakat sendiri, sehingga masyarakat setempat akan lebih mempunyai rasa memiliki yang selanjutnya kegiatan belajar tersebut dapat berkembang dan berkelanjutan. Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa pemerintah mulai memberikan ruang yang luas bagi masyarakat dalam menyelenggarakan PLS, dengan didukung oleh regulasi yang lebih memihak dan stimulan anggaran. Meskipun dalam pelaksanaannya terkadang terdapat kendala misalnya terlambatnya petunjuk teknis diberikan, minimnya stimulan anggaran, serta pendampingan yang kurang maksimal, tetapi secara konsep, pemerintah telah berupaya mendorong masyarakat untuk berperan lebih besar dalam PLS. Selanjutnya yang perlu dilihat adalah bagaimana kebijakan ini diimplementasikan di lapangan. Berkepanjangannya
krisis
ekonomi
telah
mendorong
pemerintah
merumuskan reformasi pendidikan termasuk dalam penyelenggaraan PLS, dari yang bersifat sentralistik menuju pemberdayaan masyarakat. Kritikan terhadap penyelenggaraan PLS yang bersifat top-down seperti dipraktekkan pada masa orde baru, adalah bahwa dalam proses penyelenggaraannya, “program” identik dengan “proyek”. Dalam kebijakan yang baru, walaupun dalam proses penyelenggaraan tetap berpedoman pada “garis” kebijakan Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan pemerintah, tetapi mengedepankan adanya partisipasi masyarakat. Hanya saja, dalam prakteknya, seperti ditemui oleh penulis di PKBM Al-Wathoniyah, prinsip partisipasi ini dalam program PLS (termasuk program life skills) tidak dibarengi dengan “konsistensi pendampingan” pemerintah dalam hal pendanaan, manajemen, dan kurikulum. Prinsip partisipasi ini tidak terlepas dari adanya pro-kontra pada awal pembentukan PKBM Al-Wathoniyah karena perbedaan persepsi di kalangan masyarakat Desa Sukosono, yaitu menganggap PKBM adalah partai politik. Pertama, dalam hal pendanaan, pada kenyataan yang ditemui penulis di lapangan, “partisipasi” masyarakat dalam hal ini tidak bisa lepas dari pendanaan pemerintah. Selain karena memang sudah teranggarkan dalam APBN/APBD, kondisi krisis yang berkepanjangan menyebabkan keterbatasan dana dari penyelenggara program (PKBM atau masyarakat), apalagi tidak adanya kontribusi berupa dana/iuran dari warga belajar yang notabene adalah warga miskin. Birokrasi pengucuran dana yang panjang, menjadikan penyelenggara
109
program tidak dapat melaksanakan tugasnya terutama pada awal tahun anggaran akibat keterbatasan dana, karena bergantung pada penetapan APBD/APBN yang sering terlambat. Kedua,
dalam
hal
manajemen,
keterbatasan
kemampuan
manajerial
pengelenggara program dan tutor, menuntut adanya pendampingan dari dinas terkait misalnya Dinas Pendidikan. Kenyataan di lapangan terlihat bahwa perekrutan tenaga tutor masih kurang optimal dari segi kualitas tutor itu sendiri. Tutor diambilkan dari masyarakat yang mengandalkan penguasaan keterampilan secara alami, yang diperoleh dari kursus bahkan otodidak, mengakibatkan program berjalan kurang maksimal. Ketiga, dalam hal kurikulum, sering terlambatnya panduan modul dan bahan ajar turut menyumbang keterlambatan penyelenggaraan pendidikan. Programprogram tertentu seperti life skills dan keaksaraan fungsional lebih banyak diserahkan kepada kreatifitas tutor dan pengelola program dalam perencanaan dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman. Dalam kenyataannya, kurikulum ini menyulitkan tutor yang terbatas kemampuannya untuk mencari atau membuat “tema” ajar tersebut. Untuk itu, tenaga pendamping sangat diperlukan untuk memacu para tutor
dalam
menyelenggarakan
pendidikan.
Tetapi
keterbatasan
jumlah
pendamping dirasa kurang, yaitu TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) sebanyak satu orang dan penilik PLS satu atau dua orang tiap kecamatan, apalagi untuk wilayah kecamatan yang luas dan terdapat banyak penyelenggaran program. TLD merupakan tenaga honor Dinas Pendidikan Propinsi, sedangkan penilik PLS merupakan pegawai Dinas Pendidikan setempat. Jika dalam pendidikan sekolah telah disusun kurikulum yang jelas dengan Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk setiap mata pelajaran setiap harinya, di mana tenaga pengajarnya relatif lebih memadai, lain halnya dengan PLS. Kurikulum diserahkan kepada daya kreativitas tutor menyikapi kebutuhan warga belajar; di satu sisi dapat fleksibel menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan warga belajar, tetapi di sisi lain dapat menyulitkan tutor dalam membuat bahan ajar, apalagi sering terlambatnya modul panduan yang diberikan oleh Depdiknas. Perubahan regulasi kelembagaan PLS sebagaimana diuraikan di atas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
110
Tabel 17. Perubahan Kelembagaan Pendidikan Luar Sekolah
Sebelum krisis ekonomi 1998
Setelah krisis ekonomi
Evolusi bersama antara pranata sosial (UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989) dan paradigma PLS yang berorientasi sentralistik dan topdown berlandaskan pembangunan (developmentalism)
Evolusi bersama antara pranata sosial (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003) dan paradigma PLS sebagai pengganti, penambah, pelengkap pendidikan sekolah yang berorientasi partisipasi dan otonomi daerah berlandaskan broad based education
Peran kelembagaan melaksanakan “proyek” pemerintah
sinergi antara program pemerintah dengan partisipasi masyarakat, antara lain membuahkan terbentuknya PKBM
Kurang efektif karena masyarakat tidak banyak terlibat sehingga tidak ada keberlanjutan
Efektif karena masyarakat terlibat aktif sehingga ada keberlanjutan
Perubahan kelembagaan
Efektivitas Kelembagaan
Berdasarkan teori perubahan kelembagaan atau “institutional and organizational co-evolution” tersebut, dapat dikonstruksikan hal-hal berikut: 1. Penyelenggaraan PLS di Desa Sukosono beradaptasi terhadap perubahan pranata sosial (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan nilai-nilai dalam masyarakat) dari berbasis sentralistik dan top-down menjadi desentralistik yang berdasar partisipatoris. Perubahan ini melahirkan PKBM Al-Wathoniyah sebagai mitra pemerintah dalam menyelenggarakan PLS; 2. Respons terhadap perubahan pranata sosial tersebut menimbulkan bentuk kelembagaan PLS baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat Sukosono; 3. Bentuk program yang baru tersebut merupakan sinergi dari pertukaran sistem norma dan nilai (asimilasi dan akulturasi) peraturan pemerintah dan nilai-nilai masyarakat Desa Sukosono. Pilar-Pilar Penopang Kelembagaan Perubahan
program
PLS
termasuk
program
life
skills
yang
diselenggarakan melalui PKBM tersebut di atas secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi, walaupun faktor ini yang dominan. Selain faktor tersebut faktor struktur sosial masyarakat dan faktor kultural merupakan faktor-
111
faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat evolusi bersama pranata dan organisasi PKBM tersebut. Oleh karena itu, merujuk pendapat Scott (2008, diacu oleh Nasdian 2008), pada setiap tahap atau periode perubahan (evolusi bersama) tersebut perlu ditelaah apa dan bagaimana “pilar-pilar kelembagaan” yang mendukungnya. Tabel 18. Tiga Pilar Kelembagaan Regulatif Basis Pemenuhan
Kebijaksanaan
Basis Tatanan Aturan regulasi
Normatif
Cultural-Cognitive
Tanggung-jawab sosial
Pertukaran pemahaman
Ekspetasi
Skema pendukung
Mekanisme
Paksaan
Normatif
Meniru
Logika
Instrumental
Tepat-guna
Ortodoks
Indikator
Aturan, Hukum, Sanksi Sertifikat, Akreditasi
Pengaruh
Khawatir-mantap
Memalukan-Penghargaan Kepastian-Kebingungan
Basis Legitimasi
Sanksi-Legal
Tata pengaturan secara Secara kultural diduMoral kung dengan pemahaman pendukung setempat
Kepercayaan umum
Sumber: Nasdian (2007) Dari tiga pilar kelembagaan tersebut, kelembagaan PKBM berada pada pilar regulatif dan normatif yang mendasarkan pada aturan pemerintah dan kepentingan struktur sosial, dan bukan pada pilar cultural-cognitif yang berbasis pada nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Basis Pemenuhan, PKBM menyelenggarakan PLS berdasarkan program pemerintah dan dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Basis Tatanan, bahwa penyelenggaraan PLS diatur pelaksanaannya melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional beserta aturan pelaksanaannya, yang dalam prakteknya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Mekanisme yang dikembangkan bersifat normatif dan demi kepentingan struktur sosial, penyelenggaraan PLS berdasarkan kepentingan ekonomis, di mana PKBM sendiri mempunyai kepentingan struktur sosial. Logika dalam penyelenggaraan PLS adalah instrumental dengan menggunakan petunjuk-petunjuk pelaksanaan, yang dimaksudkan agar program berjalan dengan tepat-guna sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
112
Indikator keberhasilan program adalah apakah program dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku, akreditasi bagi penyelenggara program (PKBM), dan pemanfaatan ilmu dan keterampilan yang diperoleh. Pengaruh
dilaksanakannya
program,
mengindikasikan
pemerintah
telah
melaksanakan kewajibannya dalam bidang PLS. Basis Legitimasi PLS adalah legal karena diatur melalui undang-undang beserta petunjuk pelaksanaannya. Dari
penjelasan
di
atas,
pilar-pilar
kelembagaan
PKBM
dapat
digambarkan sebagai berikut: Gambar 9. Pilar Penopang Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah Pilar Penopang Kelembagaan PKBM
Regulative
Normative
CulturalCognitive
Kontinum
PKBM sebagai Organisasi dan Kontrol terhadap Sumber Daya Dari perspektif kelembagaan, PKBM dapat dianalisis sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya menurut konsepsi Schmid (1972, diacu oleh Nasdian 2008), yaitu dengan melihat batas yurisdiksi; property rights; dan aturan representasi (rules of representation), sebagai berikut: 1. Batas Yurisdiksi; sampai sejauh mana peran kelembagaan dalam mengatur alokasi sumber daya. Kelembagaan PKBM bergerak pada sektor PLS, yaitu untuk memberikan layanan pendidikan bagi warga masyarakat yang tidak mungkin terlayani kebutuhan pendidikannya melalui jalur pendidikan formal/sekolah,
atau
untuk
memberikan
dukungan
dan
melengkapi
pendidikan formal di sekolah. Sasaran PLS diprioritaskan pada anak usia 0 – 6 tahun yang tidak terlayani dalam satuan pendidikan pra sekolah apa pun, penduduk buta huruf, siswa putus sekolah dalam dan antar jenjang, serta warga masyarakat lainnya yang ingin belajar kecakapan hidup untuk meningkatkan taraf hidupnya. 2. Property rights; “penguasaan” sumber daya oleh organisasi secara sosiologis tidak dapat dipisahkan dengan pengaturan oleh hukum formal-
113
positif, adat, dan tradisi serta kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengatur hubungan antar-komunitas terhadap sumber daya. Dilihat dari segi ini, PKBM Al-Wathoniyah dimiliki oleh masyarakat, karena pembentukannya
atas
prakarsa
dan
partisipasi
aktif
dari
sebagian
masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaan fungsinya harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sosial politik Desa Sukosono, tidak sematamata menjalankan petunjuk pelaksanaan PLS yang ditetapkan pemerintah. Dalam kenyataannya, karena masih adanya ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah dalam hal dana, manajemen, dan kurikulum; maka penguasaan PKBM terhadap sumber daya masih lemah. 3. Rules of representation; kelembagaan berperan sebagai fasilitasi partisipasi multi-pihak dalam satuan wilayah dengan berlandaskan kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumber daya yang dibatasi oleh pola hubungan vertikal. Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah menjadi fasilitator dalam mensinergikan kekuatan-kekuatan (multi-pihak) baik secara horizontal dan vertikal dalam batas wilayahnya. Secara vertikal mengacu pada aturan main yang ditetapkan pemerintah, khususnya Depdiknas dan Dinas P dan K Kabupaten Jepara. Secara horizontal, PKBM menjalin kemitraan dengan kelembagaan yang lain, misalnya Forum PKBM, Pemerintahan Desa Sukosono, pesantren, tokoh masyarakat dan tokoh agama, kumpulan musholla, kelembagaan pendidikan, dan kelembagaan agama demi tercapainya program PLS. Dalam hal ini PKBM Al-Wathoniyah belum maksimal dalam menjalin kemitraan secara horizontal. Dari uraian di atas, analisis kelembagaan sebagai suatu sistem dan kontrol terhadap sumber daya dalam lingkup fungsinya, PKBM Al-Wathoniyah lemah, tetapi dapat dikatakan sebagai rules of representation karena menjalin kemitraan dengan kelembagaan horizontal yaitu pesantren Mamba’ul Qur’an. Analisis Proses Pembentukan PKBM Al-Wathoniyah Upaya yang dilakukan oleh PKBM Al-Wathoniyah dalam memberikan pelayanan PLS kepada warga yang tidak terlayani kebutuhan formalnya sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dapat disebut
114
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Beberapa program seperti life skills yang memberikan bekal keterampilan dan stimulan modal, secara nyata dapat menambah penghasilan bagi warga belajarnya sehingga bisa mendayagunakan dirinya dan tercipta kemandirian. Hal ini sesuai dengan Sumodiningrat (1999), yang secara sederhana mengemukakan bahwa pemberdayaan sebagai upaya memberi daya kepada mereka yang kurang atau tidak berdaya agar bisa mendayagunakan dirinya. Strategi pemberdayaan dilakukan secara kolektif dengan kelompok sebagai media intervensi untuk meningkatkan keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari penghasilan. Beberapa program tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, tetapi sebagai kegiatan yang dinamis hal tersebut selayaknya mendapatkan umpan balik demi perbaikan di masa mendatang. Sebagian warga belajar yang pada awalnya tidak mempunyai kegiatan positif dapat memberdayakan dirinya melakukan kegiatan yang menghasilkan. Jenis keterampilan yang dipilih adalah sesuai dengan penawaran dari PKBM yang disetujui bersama, bukan merupakan “paksaan” dari pengelola program tersebut. Hal ini mendorong rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki. Dalam perspektif pekerjaan sosial, apa yang dilakukan oleh PKBM merupakan ‘self determination’ yang pada intinya mendorong warga belajar untuk mengikuti program keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga
warga
belajar
mempunyai
kesadaran
dan
kekuasaan
dalam
membentuk hari depannya. Kesesuaian PKBM dengan pengembangan masyarakat, ditelaah dari pengertian pengembangan masyarakat itu sendiri, yaitu sebagai suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan, di mana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk menaikkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian 2007). Sumardjo (2007) menyebutkan berbagai tafsiran makna partisipasi dalam pengembangan masyarakat, yaitu: 1. kontribusi sukarela dari seseorang dalam suatu hal/kegiatan; 2. adanya kesadaran (pemahaman), yang disertai disertai kemauan (sikap) dan kemampuan (tindakan) untuk menanggapi kegiatan;
115
3. suatu
proses
aktif
orang/kelompok
terkait,
mengambil
inisiatif
dan
menggunakan kebebasan untuk melakukan sesuatu hal; 4. keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam suatu perubahan yang dikehendakinya (ditentukan/diputuskannya sendiri). PKBM Al-Wathoniyah terbentuk dari partisipasi masyarakat, dapat dilihat dari adanya kontribusi sukarela dari beberapa pemrakarsa yaitu MIM (unsur pemerintah) dan MF (unsur masyarakat), serta mendapat persetujuan Petinggi (Kepala Desa) Sukosono waktu itu, AG. Berawal dari kebijakan pemerintah mengenai pembentukan PKBM, beberapa orang secara sukarela disertai kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk membentuk PKBM. Prakarsa ini ditindaklanjuti dengan musyawarah yang melibatkan kelompok masyarakat yang pada awalnya mendapatkan respon pro dan kontra. Respon ini menandakan bahwa tidak ada unsur paksaan dalam proses pembentukan PKBM AlWathoniyah. PKBM dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakatnya. Dari konsep ini terkandung makna partisipasi masyarakat dalam pembangunan karena di dalamnya terdapat keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah di dalam lingkungan masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. Secara perseorangan partisipasinya terwujud dalam mengikuti program menjadi warga belajar maupun tutor, secara kelompok terwujud dalam PKBM Al-Wathoniyah yang menjalankan program, sedangkan dalam kesatuan masyarakat dapat dilihat dari dukungan kapital sosial seperti kelembagaan pesantren, kumpulan-kumpulan musholla, yayasan pendidikan, dan Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Berdasarkan tipologi partisipasi menurut Bass et al (Sumardjo 2007) dan melihat proses pembentukan PKBM Al-Wathoniyah, maka jenis partisipasi yang digunakan adalah partisipasi fungsional, yaitu masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek. Pembentukan kelompok pada jenis partisipasi ini (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Musyawarah dilakukan setelah ada keputusan pemerintah mengenai pendirian PKBM, yang telah ditetapkan syarat-syarat, bidang kegiatan, dan indikator keberhasilan PKBM tersebut. Pada awalnya masih tergantung kepada pemerintah, tetapi secara bertahap berusaha menjalankan
116
program secara mandiri. Misalnya program life skills, penetapan jenis keterampilan didahului dengan perumusan ide dan dimusyawarahkan dengan calon pesertanya. Di sini peserta turut aktif merespon tawaran yang diberikan, kemudian setelah terjadi kesepakatan bersama, sehingga program dapat dijalankan. PKBM
Al-Wathoniyah
dibentuk
dengan
memanfaatkan
swadaya
masyarakat Sukosono dan berintegrasi dengan Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Hal ini karena pembentukan PKBM bukanlah suatu keharusan bagi masyarakat, tetapi menekankan pada inisiatif dan swadaya masyarakat sendiri. KS (unsur pemerintah) menjelaskan: Sebagai mitra PLS, setiap ada kegiatan PLS dan berhubungan dengan bidang garapan PKBM, kita selalu komunikasikan. Mendirikan PKBM itu tidak mudah, Mas. Di Jepara saja tidak semua kecamatan terdapat PKBM, misalnya Kecamatan Pecangaan itu tidak ada. Kan dibutuhkan orang yang memang peduli untuk menjadi pengelola, kemudian harus mempunyai gedung walaupun statusnya sewa dan paling tidak mempunyai tiga kegiatan. Misalnya play group, kejar paket, atau life skills. Tujuan pendirian PKBM adalah untuk menaikkan pengetahuan dan keterampilan warga belajar, beberapa program di antaranya seperti life skills dapat langsung dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan. Pendampingan tetap dilaksanakan oleh Penilik PLS dan TLD agar pelaksanaan program berjalan dengan efektif dan tercapai tujuannya. Menilik dari uraian tersebut, PKBM AlWathoniyah dapat dikategorikan sebagai pengembangan masyarakat.
Analisis Penyelenggaran Pendidikan Luar Sekolah oleh PKBM Pemenuhan Syarat Minimal Berdasarkan pemantauan yang dilakukan penulis, PKBM Al-Wathoniyah telah memenuhi persyaratan minimal pendirian yang ditetapkan oleh pemerintah: 1. memiliki gedung sekretariat. Pada kurun waktu 1998 s.d. 2008, sekretariat PKBM Al-Wathoniyah menempati gedung Raudhatul Athfal (RA) Muslimat Nahdlatul Ulama milik Yayasan Sultan Fattah yang berlokasi di RT 09 RW III Desa Sukosono di atas tanah seluas 725 m2 dengan luas bangunan 160 m2. Gedung tersebut oleh RA sebelumnya hanya digunakan insidentil, sehingga relatif kosong dan dapat dipergunakan oleh PKBM. Pada akhir tahun 2008,
117
PKBM Al-Wathoniyah telah memiliki gedung sekretriat sendiri yang terletak tidak jauh dari gedung RA tersebut; 2. pemanfaatan
gedung
RA
sebagai
sekretariat
PKBM
Al-Wathoniyah
mendapatkan persetujuan dari pihak Yayasan Sultan Fattah, yang telah berlangsung selama + sepuluh tahun, sehingga memenuhi syarat minimal lima tahun; 3. memiliki izin tertulis dari pihak berwenang. Meskipun secara legal formal baru mendapatkan izin pada tahun 2006 dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Nomor 421.7/05746 tanggal 5 September 2006 tentang Izin Operasional PKBM Kabupaten Jepara yang diperkuat dengan Akta Notaris H. Abdullah Qomar Nasikh Nomor 28 tanggal 27 September 2006 tentang Pendirian PKBM, PKBM Al-Wathoniyah telah beroperasi sejak tahun 1998 dan diakui keberadaannya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara, karena proses pendiriannya telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah; 4. memiliki beberapa lokal kegiatan yang tersebar di wilayah Kecamatan Kedung, misalnya PAUD di gedung sekretariat, keaksaraan fungsional di kumpulan-kumpulan musholla yang diselenggarakan di masjid/musholla di Sukosono, life skills berlokasi di beberapa tempat seperti dijelaskan terdahulu, dan Kelompok Belajar Paket berlokasi di pesantren Mamba’ul Qur’an. Hal ini telah memenuhi syarat pendirian minimal mempunyai dua lokal kegiatan; 5. letaknya mudah dijangkau oleh masyarakat karena berada di tengah-tengah masyarakat dan memanfaatkan kelembagaan yang sebelumnya telah ada dalam masyarakat; serta 6. adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan. Sampai dengan tahun 2008, + 432 orang telah selesai mengikuti berbagai program PLS yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah, yaitu: - Kejar Keaksaraan Fungsional
: 130 orang
- Kejar Paket A
: 20 orang
- Kejar Paket B
: 145 orang
- Kejar KBU / life skills
: 95 orang
- PAUD
: 42 orang
Data-data di atas menunjukkan bahwa PKBM Al-Wathoniyah mempunyai sasaran program warga Desa Sukosono dan sekitarnya dan mendapatkan respon yang cukup positif.
118
Bidang-Bidang Kegiatan yang Dikelola Pemerintah menetapkan batasan bidang kegiatan yang dapat dikelola PKBM, yaitu pendidikan, pelayanan informasi, jaringan informasi dan kemitraan, serta pembinaan tenaga kependidikan PKBM. Sejauh pengamatan penulis, dapat diketahui bidang-bidang garapan yang selama ini dikelola oleh PKBM AlWathoniyah, yaitu: 1) pendidikan, meliputi: bimbingan, pengajaran, dan pelatihan keterampilan. Sebagian besar kegiatan PKBM Al-Wathoniyah meliputi bidang pendidikan ini. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Program Pemberantasan Buta Aksara (PBA) atau Keaksaraan Fungsional (KF), Kelompok Belajar Paket B dan C, serta program life skills. a. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) PAUD yang diberi nama PAUD Al-Masithoh berdiri pada tanggal 17 Agustus 2004, diberi izin penyelenggara oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah Nomor 893.3/04938 tanggal 4 Oktober 2004 tentang Izin Penyelenggaraan Kursus Pendidikan Luar Sekolah yang Diselenggarakan Masyarakat dan diperkuat dengan keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Nomor 421.1/00248 tanggal 14 Desember 2006 tentang Pemberian Izin Menyelenggarakan Kursus. PAUD Al-Masithoh didirikan karena melihat potensi pengembangan di masa mendatang, di mana tercatat terdapat 911 anak Sukosono usia 0 - 6 tahun yang belum terlayani pendidikan usia dini-nya (Profil Desa Sukosono 2007). Saat ini, dengan didukung oleh alat-alat permainan anak yang memadai, peserta didik PAUD Al-Masithoh meliputi 25 anak warga Desa Sukosono dan sekitarnya, yang diampu oleh lima orang tenaga pendidik. Pada tanggal 12 Desember 2008, PAUD Al-Masithoh mendapatkan kunjungan dan penilaian dari Tim Penilai Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal Depdiknas untuk mendapatkan akreditasi. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari PAUD, menurut tim penilai tersebut, adalah agar kualifikasi tenaga pendidik berpendidikan sarjana, sementara pada saat ini sebagian tenaga pengajar PAUD AlMasithoh masih belum menamatkan sarjananya.
119
b. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) atau Keaksaraan Fungsional (KF) Depdiknas menyelenggarakan PBA didasarkan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut penilaian UNDP masih berada pada urutan ke-111 dari 175 negara, di mana angka melek huruf Indonesia mencapai 90,9% yang artinya terdapat 9,1% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang terindikasi buta aksara (BPS 2006). Penyelenggaraan PBA menggunakan metode tematik Pemberantasan buta aksara atau keaksaraan fungsional dilaksanakan PKBM Al-Wathoniyah di beberapa desa se-Kecamatan Kedung, yaitu Desa Jondang, Sowan Lor, Sowan Kidul, Wanusobo, Bugel, dan Sukosono, terbagi dalam 16 kelompok. Di luar kelompok-kelompok tersebut, terdapat pula kegiatan PBA yang diselenggarakan oleh selain PKBM Al-Wathoniyah, dengan total peserta 622 orang (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara 2007). Di Desa Sukosono sendiri, jumlah kelompok PBA adalah 13 kelompok dengan jumlah total peserta 270 orang, 4 kelompok di antaranya diselenggarakan oleh PKBM AlWathoniyah dengan peserta sebanyak 77 orang, sedangkan yang lain diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Jepara 57 berjumlah orang, Forum PKBM Kabupaten Jepara sejumlah 51 orang, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik IKIP Semarang sebanyak 67 orang. Mahasiswa KKN dapat menjadi penyelenggara PBA, setelah diadakan MoU antara pihak universitas dengan Depdiknas mengenai percepatan PBA dengan melibatkan mahasiswa KKN. Pembelajaran PBA “dipadatkan”, sehingga yang semula dialokasikan waktu 2 hari seminggu selama 6 bulan, oleh mahasiswa prosesnya menjadi 6 hari seminggu selama 2 bulan. Warga belajar tetap berhak mengikuti ujian dan mendapatkan SUKMA (Surat Keterangan Melek Aksara) atau dinyatakan lulus. Data penyelenggaraan PBA di Sukosono terlihat pada tabel berikut ini:
120
Tabel 19. Data Nama Kejar, Tutor, dan Penyelenggara Program PBA di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara No
NAMA KEJAR
TUTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Al Firdaus Al Jannah Ar Rohman Ar Rokhim As Salamah I As Salamah II As Salamah III Al Wathoniyah 1 Al Wathoniyah 2 Al Wathoniyah 3
Moh. Sulkan, S.Sos. Kosim A. Jamaludin, A.Ma.Pd. Umi Hidayah, S.Sos.I. Nur Ayati Dewi Anisah M. Nurroin, S.Hi M.Sulhan, S.Sos.I. Musri’ah, A.Ma. Jazuli, S.Pd.I.
11
Al Firdaus A
Mahasiswa KKN
12
Al Firdaus B
Mahasiswa KKN
13
Al Firdaus C
Mahasiswa KKN
PENYELENGGARA
JML WB L P
PKBM Al Wathoniyah 20 PKBM Al Wathoniyah 20 PKBM Al Wathoniyah 20 PKBM Al Wathoniyah 3 17 SKB Jepara 20 SKB Jepara 20 SKB Jepara 3 17 Forum PKBM 8 12 Forum PKBM 1 19 Forum PKBM 20 KKN Tematik IKIP 24 PGRI Semarang KKN Tematik IKIP 2 22 PGRI Semarang KKN Tematik IKIP 1 21 PGRI Semarang JUMLAH 18 252 % 6,66 93,33 JUMLAH TOTAL 270
Sumber: PLS Cabang Dinas P dan K Kec. Kedung, Desember 2007, diolah Kekhasan penyelenggaraan PBA di Desa Sukosono adalah tempat penyelenggaraan di berbagai kumpulan musholla yang banyak terdapat di sana. Tutor “mendatangi” tempat para warga belajar berkumpul, yang diselenggarakan pada sore hari, dan menyelenggarakan pengajaran pada saat kegiatan kumpulan musholla tersebut selesai. Program PBA dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pemberantasan selama enam bulan dan telah dilaksanakan tahun 2007. Sasarannya adalah yang benar-benar tidak bisa calistung (baca, tulis, hitung) dan perlu bimbingan terus-menerus. Tahap kedua adalah pembinaan, dilaksanakan selama tiga bulan pada tahun 2008. Sasarannya adalah yang telah melewati tahap pemberantasan dan bisa calistung, tetapi masih perlu didampingi. Tahap ketiga pelestarian, agar warga belajar tidak lupa akan hasil belajarnya, dilaksanakan dalam tahun 2008. Pada tahun 2008, PBA dinyatakan sudah tuntas dan semua warga belajar mendapatkan SUKMA.
121
c. Kelompok Belajar Paket A, B, dan C Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991, Kelompok Belajar Paket A dan B diselenggarakan bagi sekumpulan warga belajar untuk memperoleh pendidikan setara SD dan SLTP. Program Kejar Paket B, yaitu suatu kegiatan membelajarkan warga masyarakat melalui proses belajar dengan menggunakan buku Paket B sebagai sarana belajar utama, yang isinya terdiri atas pendidikan dasar umum dan pendidikan keterampilan untuk mengusahakan mata pencaharian, yang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sementara itu, Kejar Paket C, yaitu suatu kegiatan membelajarkan warga masyarakat melalui proses belajar yang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sejalan dengan konsep pendidikan berwawasan kemasyarakatan dan community based education, maka penyelenggaraan Kejar Paket A, B, dan C di Desa Sukosono dijalankan melalui kolaborasi antara PKBM Al-Wathoniyah dengan lembaga pesantren Mamba’ul Qur’an, dengan didampingi oleh dinas teknis terkait. Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya. Dalam hal ini, PKBM Al-Wathoniyah menyelenggarakan Kelompok Belajar Paket A, B, dan C sebagai bentuk fungsi dan peranannya dalam melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat, dapat menunjukkan eksistensinya sebagai kelembagaan pendidikan di tengah masyarakat, selain karena alasan-alasan ekonomis. Bagi pemerintah khususnya Dinas dan
Cabang
Dinas
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
mendampingi
penyelenggaraan program Kelompok Belajar Paket merupakan salah satu tugas
pokok
dan
fungsinya
sebagai
instansi
pemerintah
yang
bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Bagi pesantren Mamba’ul Qur’an, Kejar Paket B dapat melengkapi kegiatan pembelajaran bagi santrinya
berupa
ilmu-ilmu
duniawi
dan
ukhrowi
dalam
rangka
memberikan bekal pengetahuan bagi para santri. Sedangkan bagi warga belajar, yang terdiri dari santri serta masyarakat Sukosono dan sekitarnya, program ini turut membantu dalam menempuh pendidikan setara SLTP dan untuk memperoleh “ijasah negara” selain syahadah hafidz/hafidzoh (ijasah hapal Al-Qur’an dari pesantren) yang diterima para santri, sebagai bekal di dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
122
Kurikulum Kelompok Belajar Paket B sama dengan kurikulum yang dilaksanakan oleh sekolah formal setingkat SLTP, harus ditempuh oleh warga belajar selama tiga tahun penuh atau enam semester, dan wajib mengikuti ujian semesteran dan ujian nasional untuk dapat diluluskan. Begitu pula Kelompok Belajar Paket C, menggunakan kurikulum yang sama dengan yang dilaksanakan oleh SLTA dan ditempuh dalam enam semester. Sedangkan untuk Kejar Paket A, PKBM pada tahun 2002 meluluskan warga belajar sebanyak 20 orang. Sebagian besar warga belajar adalah santri pesantren Mamba’ul Qur’an yang berasal dari berbagai daerah yang tinggal di dalam pesantren, sebagian yang lain adalah warga Desa Sukosono dan sekitarnya. Kelompok Belajar Paket A, B, dan C dilaksanakan di lingkungan pesantren dengan memanfaatkan fasilitas pesantren. Kelas terbagi atas kelas laki-laki dan perempuan sesuai kebijakan pesantren, di mana tutor perempuan hanya dapat mengajar di kelas perempuan. Tetapi sebaliknya, tutor laki-laki dapat mengajar baik di kelas laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat dimaklumi karena kebijakan pesantren yang “membolehkan” laki-laki mengajar di kelas perempuan dan “melarang” perempuan mengajar di kelas laki-laki. Beberapa jenis pelajaran praktek seperti Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, hanya diberikan secara teoritis saja karena ada pelarangan dari pesantren tersebut. Dari tahun 2000 sampai dengan sekarang, PKBM Al-Wathoniyah telah meluluskan warga belajar Paket B sebanyak dua kali dengan jumlah seluruhnya mencapai 57 orang, dan saat ini sedang menyelenggarakan Kejar Paket B Kelas 7 dengan jumlah warga belajar 20 orang. Penyelenggaraan program Kejar Paket B di Desa Sukosono merupakan kolaborasi antara PKBM dan pesantren, sebagai usaha untuk mempertemukan ”program pemerintah” dengan ”program pesantren”. Kolaborasi
ini
memperlihatkan
adanya
upaya
mengorganisasikan
masyarakat, memanfaatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga
terwujud
sebagai
suatu
kegiatan
yang
didukung
oleh
kelembagaan masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang, dan tidak berpotensi menimbulkan konflik. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan pendidikan dasar dapat dipenuhi. Hal-hal yang mendasari keberhasilan program ini adalah rekrutmen warga belajar yang merupakan para santri
123
di mana figur kyai sebagai tokoh sentral pesantren mendukung penyelenggaraan program, tidak dibatasi oleh usia dan wilayah, tidak mendapatkan ”saingan” dari program sejenis, serta mendapat dukungan dari segenap modal sosial yang ada dalam masyarakat. d. Program life skills Program life skills yang diselenggarakan di Sukosono, seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, terdapat di Desa Sukosono, Desa Bulak Baru, dan Desa Surodadi. Di Desa Sukosono meliputi jenis keterampilan seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon dengan jumlah total + 95 orang. Di Desa Bulak Baru adalah jenis keterampilan olah terasi, sedangkan di Desa Surodadi berupa pembudidayaan kepiting keramba. 2) pelayanan informasi: menghimpun dan memberikan layanan informasi dari PKBM kepada masyarakat sekitar dan lembaga luar; PKBM Al-Wathoniyah telah mensosialisasi program-programnya ke seluruh warga Desa Sukosono, meskipun belum menjangkau keseluruhan, sebagaimana disebutkan oleh Ms: PKBM memberi manfaat bagi warga masyarakat, karena ada kegiatannya dan melibatkan masyarakat. 75% warga sudah mengetahui keberadaan PKBM, yang gak tahu biasanya yang sepuhsepuh (tua) itu. Masyarakat menerima keberadaan PKBM, hubungannya baik dengan masyarakat. serta SMr: Yang masih perlu diperhatikan, PKBM saya lihat belum diketahui oleh semua orang. Masih ada beberapa bagian yang belum tersentuh, masih ada warga yang belum mengetahui keberadaan PKBM. Sebenarnya orang-orang ini sudah pernah diundang mengikuti pertemuan, tetapi mereka tidak datang. Memang untuk menyatukan pikiran banyak orang itu kan susah. Meskipun demikian, PKBM secara umum telah dikenal dalam lingkungan warga Desa Sukosono dan sekitarnya. 3) jaringan informasi dan kemitraan, meliputi: a. mengembangkan jaringan informasi dan kemitraan dengan lembaga lokal maupun di luar masyarakat Beberapa upaya mengembangkan jaringan informasi dilakukan melalui Forum PKBM Kabupaten Jepara yang mempertemukan para
124
pengelola PKBM se-Kabupaten Jepara dengan mengadakan pertemuan rutin, selain tetap intensif mengadakan jalinan informasi dua arah dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara maupun Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Hanya perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif, misalnya belum terbentuk jaringan dengan pengusaha untuk pemasaran produk life skills. Saat ini, PKBM Al-Wathoniyah merintis kerja sama dengan PT. Coca Cola Tbk untuk membuka usaha toko, sebagai upaya untuk memperoleh tambahan anggaran kegiatan. Dalam bentuk kegiatan untuk membuka jaringan informasi, PKBM Al-Wathoniyah mempunyai Taman Belajar Masyarakat (TBM), yaitu kegiatan semacam perpustakaan yang dibuka bagi masyarakat Desa Sukosono. Meskipun buku-buku yang disediakan kurang lengkap, tetapi sebagai sebuah usaha menjalin jaringan informasi dan kemitraan dengan masyarakat, keberadaan TBM dapat dirasakan manfaatnya. b. memelihara jaringan yang telah terbina, baik secara personal maupun institusional dengan stakeholder yang berkaitan. 4) pembinaan tenaga kependidikan PKBM meliputi: meningkatkan kualitas kinerja tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, instruktur, maupun nara sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun difasilitasi dari luar (pemerintah). Beberapa
tutor
mendapatkan
kesempatan
untuk
meningkatkan
kapasitasnya sebagai tutor, terutama tutor PAUD. Terdapat tiga orang tutor yang pernah mendapatkan pelatihan PAUD tingkat Propinsi Jawa Tengah dan tingkat Kabupaten Jepara. Hanya saja, tutor untuk kegiatan lain belum mendapatkan kesempatan tersebut, hanya mengandalkan kemampuan alami (misalnya tutor life skills) dan back ground pendidikannya, misalnya tutor Kelompok Belajar Paket yang sebagian merupakan guru swasta. Analisis Indikator Keberhasilan PKBM Menganalisis efektifitas suatu kegiatan adalah untuk mengetahui apakah tujuan kegiatan tersebut telah dicapai. Jika efektif adalah melakukan hal yang benar (doing the right thing) yang berarti tercapai tujuannya, maka untuk mengetahui efektifitas PKBM diperlukan analisis apakah PKBM telah mencapai
125
keberhasilan sesuai dengan indikator yang ditetapkan oleh pemerintah karena pembentukan PKBM sendiri merupakan hasil dari kebijakan pemerintah. Indikator-indikator tersebut adalah: 1. keberhasilan pengelolaan a. setiap hari ada kegiatan pembelajaran; Beberapa program yang diselenggarakan PKBM menjalankan kegiatannya setiap hari. Misalnya PAUD menyelenggarakan kegiatan selama
lima
hari
dalam
seminggu.
Kelompok
Belajar
Paket
diselenggarakan setiap hari Selasa dan Jumat sore di pesantren Mamba’ul Qur’an, kegiatan PBA/KF setiap sore mengikuti jadwal kegiatan kumpulan musholla, sedangkan life skills kegiatannya menyesuaikan dengan keinginan warga belajar misalnya kegiatan jahit-menjahit dan bordir di pesantren, sedangkan beberapa jenis keterampilan sudah melakukan produksi setiap hari seperti pembuatan roti bolu dan rengginan, atau berdasarkan pesanan yaitu kegiatan sablon. Hal ini menandakan bahwa kegiatan pembelajaran dilakukan setiap hari. b. minimal diselenggarakan lima jenis kegiatan pembelajaran. Seperti telah dikemukakan di atas, terdapat enam kegiatan yang dilakukan PKBM saat ini yaitu PAUD, PBA/KF, Kejar Paket B, Kejar Paket C, TBM, dan life skills. Dengan kegiatan ini PKBM telah memenuhi persyaratan minimal diselenggarakannya kegiatan pembelajaran. 2. keberhasilan proses pembelajaran a. meningkatkan peran serta warga belajar dan masyarakat sekitarnya; Masyarakat dan warga berperan dalam proses pembentukan PKBM Al-Wathoniyah maupun proses pembelajarannya, antara lain peran serta sebagai penyelenggara program, peserta program atau warga belajar, maupun peran serta sebagai tutor atau nara sumber teknik. Peran serta ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan program, di mana pemerintah hanya bertindak sebagai pendamping. b. terciptanya suasana belajar yang kondusif; Suasana belajar tercipta secara kondusif karena menyesuaikan dengan aktivitas warga belajar sendiri. Lokasi pembelajaran yang menyesuaikan dengan tempat warga melakukan kegiatan, misalnya PBA
126
di kumpulan musholla, life skills di masing-masing lokasi yang disepakati, Kelompok Belajar Paket di pesantren di mana sebagian besar warga belajar berada, menjadikan suasana belajar tercipta dengan baik. c. semakin meningkatnya kemampuan warga belajar dan warga masyarakat sekitar dalam mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya atau sebagai mata pencaharian warga desa setempat; Beberapa lulusan program dapat memanfaatkan hasil belajarnya untuk
mencari
penghasilan,
misalnya
program
life
skills.
Jenis
keterampilan pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan. d. semakin meningkatnya kualitas hidup warga belajar dan masyarakat sekitar PKBM Indikator kualitas hidup yang paling sederhana dapat diukur dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan peningkatan penghasilan. Program PAUD, Kejar Paket, PBA/KF, dan TBM dapat meningkatkan ilmu pengetahuan warga belajar, sedangkan program life skills dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan. Uraian di atas menunjukkan bahwa secara normatif PKBM Al-Wathoniyah telah memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan pemerintah. Meskipun tingkat keberhasilan tersebut masih relatif, tetapi dari segi penyelenggaraan, PKBM telah melaksanakannya sesuai dengan ketentuan. Analisis Efektifitas Program Life Skills KS (46 tahun), penilik PLS Kecamatan Kedung mengatakan perihal efektifitas program yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah berikut ini: Menurut saya, PKBM Al-Wathoniyah menunjukkan perkembangan yang baik, makin banyak kegiatannya. Sebagai mitra kami, mitra PLS, PKBM cukup berhasil menyelenggarakan program, meskipun ada beberapa hal yang perlu mendapatkan pembinaan lebih lanjut dan terkendala keterbatasan kemampuan tutor, agar semakin meningkat. Menurut saya apa yang dilaksanakan sudah cukup efektif, karena telah mengembangkan apa yang sudah terdapat di masyarakat. Misalnya, kegiatan life skills bobok, yang memang masyarakat sini sudah mempunyai keterampilan bobok bagi yang berkecimpung di bidang perkayuan. Bobok ini kan suatu keterampilan yang secara alamiah dimiliki oleh warga masyarakat dan dibutuhkan kreatifitas tinggi untuk dapat menguasainya. Tetapi karena masyarakat sudah
127
terbiasa dengan perkayuan, maka jenis keterampilan ini dapat dijadikan program pembinaan oleh PKBM agar masyarakat dapat lebih berkembang. Contoh lain, pembuatan rengginan. Rengginan itu kan sepintas hanya barang yang sepele. Tapi kalau berhasil dikembangkan, malah bisa menjadi “ikon” Desa Sukosono karena rasanya yang khas dan renyah, dan banyaknya permintaan warga. Ukuran efektifitas menurut KS di atas adalah bahwa jenis life skills yang dikembangkan sudah sesuai dengan yang terdapat dalam masyarakat. Tetapi batasan tersebut masih terlalu sederhana, apabila dikaitkan dengan definisi operasional life skills yang dikemukakan oleh Depdiknas, maupun definisi efektifitas dalam hal pencapaian tujuan kegiatan. Secara umum, program life skills memberikan manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah baik dalam perluasan jaringan maupun peningkatan ekonomi, sebagai berikut: 1. manfaat bagi warga belajar Warga belajar mendapatkan manfaat dalam
hal penguasaan
keterampilan dari para tutor yang terlebih dahulu menguasai jenis keterampilan tersebut. Untuk jenis keterampilan seni ukir/meubel, meskipun warga belajar rata-rata sudah menguasainya, tetapi sedikit banyak program ini berusaha untuk meningkatkan kapasitas warga belajar untuk bukan hanya sebagai “tukang” tetapi dapat menjadi “pengusaha”. Hanya saja karena imbas pasang-surutnya industri permeubelan di Jepara, maka warga belajar pada akhirnya tidak melanjutkan usaha tersebut. Usaha perluasan jaringan dengan merintis kerja sama dengan LSM “FEDEP” belum membuahkan hasil karena ketergantungan anggaran PKBM kepada pemerintah. Begitu pun dengan keterampilan bobok, imbas permasalahan dalam industri meubel turut memberi andil terhadap berhentinya kegiatan life skills ini. Tetapi, beberapa peserta menjadi lebih menguasai bobok karena telah ada mesin bobok yang dapat digunakan berlatih. Dengan demikian, meskipun usaha bobok berhenti, pada akhirnya beberapa peserta mendapatkan hasil dengan menguasai jenis keterampilan ini. Jenis keterampilan jahit-menjahit dan bordir bagi para santri menjadi bekal manakala sudah lulus dari pesantren. Beberapa lulusan sudah memanfaatkan dengan menjalankan usaha jahit-menjahit, sebagaimana diceritakan oleh NI, tutor jahit-menjahit dan bordir bahwa dari 20 orang lebih yang diajari, ada beberapa yang sudah memanfaatkannya, sebagai berikut:
128
Ya, semua santri saya ajari. 20 orang lebih lah. Tapi yang bisa menguasai kan tidak semuanya, tergantung bakat dan ketekunannya. Beberapa yang sudah lulus sudah ada yang bisa membuka usaha jahit, misalnya Zarwati yang asal Demak. Setelah lulus dari mondok, kemarin sempat ketemu saya. Pas saya tanya sekarang kegiatannya apa, dia jawab kalau sekarang buka toko kecil-kecilan dan menerima jahitan. Katanya sih karena dulu saya ajari. Kalau yang lain saya tidak tahu soalnya kan rumahnya jauh-jauh. Ada yang dari Karimun Jawa, sekarang orangnya sudah menikah dengan orang Bugel. Tapi saya tidak tahu apakah dia juga jahitmenjahit atau tidak. Kalau yang bagus itu Juwariyah dan Siti Nur Anisah. Mungkin kalau sudah lulus mereka sudah mampu untuk usaha jahit atau konveksi. Demikian pula untuk jenis keterampilan pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon, ketiga jenis keterampilan ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa warga belajarnya, meskipun tidak semua warga belajar berkeinginan memanfaatkannya untuk memperoleh penghasilan. Dengan demikian, program life skills minimal dapat memberi manfaat bagi warga belajar dan tutor dari segi peningkatan ekonomi penularan ketrampilan, untuk: a) memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan sebagai bekal untuk berusaha sendiri; b) memiliki penghasilan sendiri yang dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya; c) memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang dapat ditularkan dari tutor atau nara sumber teknik kepada warga belajar; Namun, dalam perluasan jaringan, masih diperlukan pengembangan karena selama ini hanya mengandalkan kemampuan alami tanpa didukung oleh tenaga pengajar / tutor / nara sumber teknik yang lebih profesional, jaringan usaha yang lebih luas, dan akses pemasaran yang masih terbatas. Rengginan akan lebih berkembang
apabila
didukung
oleh jaringan
pemasaran yang baik di samping regenerasi pembuatnya, begitu pula dengan roti bolu dan sablon dapat lebih berkembang apabila pengelola PKBM dan PLS lebih meningkatkan upaya-upaya pendampingan, tidak hanya diserahkan kepada kemampuan kelompok atau perorangan untuk berkembang sendiri. 2. manfaat bagi masyarakat Masyarakat Sukosono dan sekitarnya menerima manfaat berupa:
129
a) dapat menjalankan usaha sehingga terhindar dari menganggur Kondisi industri meubel yang menjadi mata pencaharian utama keluarga bagi masyarakat saat ini statis cenderung menurun, sehingga banyak warga yang menganggur lantaran “tidak ada order”. Kalaupun ada, maka hasilnya kurang bisa membantu perekonomian keluarga. Sehingga, diselenggarakannya life skills bagi masyarakat yang berminat dapat menjadi
alternatif
sumber
penghasilan,
untuk
menghindari
dari
pengangguran. b) dapat menciptakan aneka mata pencaharian baru Rengginan merupakan makanan tradisional yang banyak diminati warga dalam
acara-acara
pertemuan.
Sebelumnya
warga
Sukosono
mendapatkan rengginan ini dari membeli di pasar Bugel yang berjarak + 5 kilometer dari Sukosono. Dengan adanya program life skills, maka warga Sukosono sendiri dapat memenuhi kebutuhan akan rengginan. Demikian juga dengan usaha sablon dan pembuatan roti bolu, hal ini merupakan aneka mata pencaharian baru bagi masyarakat. Masyarakat terbantu dengan tidak terlalu jauh mendapatkan roti bolu dan rengginan, serta dapat memesan cetak undangan sablon untuk keperluannya. c) dapat meningkatkan penghasilan; Dengan mempunyai usaha, masyarakat yang sebelumnya menganggur dapat mempunyai penghasilan bagi dirinya maupun keluarganya. Dari segi peningkatan penghasilan, program ini telah menyentuh beberapa bagian masyarakat. Tetapi dari segi perluasan jaringan, masih perlu mendapatkan tinjauan. Program seni ukir/meubel dan bobok akan lebih berkembang apabila para pengusaha meubel di Sukosono dan sekitarnya dapat diberdayagunakan untuk membantu program, misalnya dari segi pemasaran. Demikian juga kerja sama dengan pemerintah desa, upayaupaya ini belum digarap dengan maksimal sebagaimana diakui oleh RT sebagai berikut: Pemerintah Desa memang tidak kita libatkan, Mas. Karena kecenderungannya, Pemerintah Desa biasanya merasa berjasa sehingga kalau ada bantuan dana turun, mereka “merasa harus mendapatkan bagian”. Hal ini yang kita hindari, takutnya dana yang seharusnya untuk kegiatan harus terpotong untuk aparat desa. Makanya, kita cukup memberitahukan saja kalau kegiatan itu sudah dilaksanakan. Biasanya yang berkaitan dengan pencairan dana, kita
130
mengajukan proposal langsung kepada yang memberi dana, misalnya PLS Propinsi Jawa Tengah, atau ke Dinas P dan K Kabupaten Jepara. Dalam kepengurusan PKBM sekarang, Petinggi kita tempatkan sebagai Pelindung, sebatas karena setiap kegiatan di Desa secara normatif harus sepengetahuan Pemerintah Desa. Pada awal pembentukan, kita sempat memasukkan unsur Pemerintah Kabupaten sampai dengan PLS Kecamatan Kedung sebagai Pembina dan Pengawas, tetapi akhirnya kita tiadakan dan pada saat kita bikin akta notarisnya, unsur Pemerintah tidak kita sebutkan selain Kepala Desa. Hal ini kami laksanakan agar jangan sampai ada anggapan bahwa PKBM ini hanya “milik” PLS saja, sehingga menutup diri dari instansi lain. Maksudnya, bila ada instansi lain yang akan bekerja sama dengan PKBM, kita dapat terbuka melaksanakan segala program yang dijalankan. Misalnya, bisa saja dari Depag melaksanakan Pendidikan Luar Sekolah dan memberikan dana, maka kita akan terbuka untuk itu karena PKBM bukan “milik” PLS saja. Hal ini juga sejalan dengan prinsip kemandirian PKBM, terbentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kalau pengusaha dan pemilik toko, kita memang belum sampai ke sana. Untuk sementara, hasil produksi life skills ini dipasarkan mereka sendiri langsung ke masyarakat sekitar. 3. manfaat bagi pemerintah a) melaksanakan kewajibannya dalam penyelenggaraan pendidikan; Sudah menjadi kewajiban pemerintah - dari aras pusat hingga daerah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor pelayanan sosial selain jaminan sosial, pelayanan perumahan, kesehatan, dan pelayanan atau perawatan personal (Suharto 2007). Pemenuhan layanan sosial termasuk pendidikan - bagi pemerintah merupakan kewajiban utamanya dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyatnya. Indonesia,
sebagai
negara
berkembang,
sebenarnya
secara
konstitusional menganut sistem welfare state atau negara kesejahteraan, sebagaimana tersebut dalam Pembukaan dan pasal 34 UUD 1945, yakni menempatkan negara secara aktif dalam pemenuhan pelayanan sosial dasar kepada warga negaranya, terutama mereka yang tergolong lemah dan rentan serta memerlukan perlindungan khusus. Sehingga apabila pemerintah
tidak
menciptakan
kebijakan
yang
memihak
kepada
kesejahteraan rakyat, maka tujuan negara tidak terwujud. Soelaiman (2007) menyebutkan tentang Sistem Negara Kesejahteraan, yaitu mekanisme masyarakat beradab untuk memenuhi kebutuhan warganya sebagai bagian dari
haknya, dan untuk menciptakan
131
masyarakat yang lebih adil melalui penyediaan program dan pelayanan sosial untuk semua, dengan penekanan pendekatan institusional terhadap kesejahteraan dan dengan program paket dan manfaat universal, dengan tambahan selektif bila diperlukan bagi yang paling tidak beruntung. Dalam taraf implementasi penyelenggaraan pendidikan, tugas pemerintah tidak berhenti hanya dengan menciptakan suatu program saja, tetapi harus
konsekuen
memberikan
petunjuk
pelaksanaan,
kurikulum,
pendanaan, dan tenaga pendamping yang memadai. Selanjutnya, para pelaku pendidikan juga harus merespon kebijakan pemerintah tersebut dengan melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah ditetapkan. Upaya pemerintah untuk terus berinovatif mengembangkan PLS, berarti pemerintah telah menjalankan tugasnya. PLS termasuk life skills dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, masyarakat lebih produktif sehingga menumbuhkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat. Apabila usaha ekonomi masyarakat berkembang
dengan
baik, maka kemajuan
pembangunan baik perdesaan dan perkotaan menjadi lebih baik. Melalui life skills yang diselenggarakan oleh PKBM dengan pendampingan anggaran dan teknis dari pemerintah, dari sisi pemerintah hal ini membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Namun, penetapan kebijakan sektor pendidikan ini seyogianya tidak “asal memenuhi kewajiban”, tetapi benar-benar diarahkan bagi kesejahteraan rakyat. b) mendorong penciptaan lapangan kerja Pemerintah Kabupaten Jepara menghadapi lesunya industri meubel yang menjadi sektor basis bagi sebagian besar masyarakat Jepara. Industri meubel yang berbasis pada ekspor, menghadapi situasi krisis ekonomi dan krisis finansial global yang saat ini terjadi. Akibat langsung dari kondisi
ini
pengangguran
adalah dan
sepinya
order
pemutusan
meubel
hubungan
sehingga
kerja.
Setiap
timbulnya elemen
Pemerintah Kabupaten Jepara harus berupaya melaksanakan kewajiban dalam bidang tugasnya karena upaya menghadapi krisis ini tidak dapat dilaksanakan sendiri-sendiri. Program PLS yang dilaksanakan Dinas P
132
dan K Kabupaten Jepara, termasuk life skills, dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru di luar sektor meubel. c) upaya menghindarkan masyarakat dari pengangguran Program life skills - atau tepatnya living skills education - dapat memberikan jenis ketrampilan praktis yang dapat langsung dimanfaatkan untuk
memperoleh
penghasilan.
Apabila
warga
belajar
berminat
mengembangkan jenis ketrampilan tersebut, maka hal ini dapat menghindarkan diri dari pengangguran. Pemerintah merasakan manfaat karena dapat memecahkan masalah pengangguran. Analisis Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Program Life Skills Program life skills yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah pada tahun 2003, sebagian membuahkan hasil dan berlanjut sampai dengan sekarang, sebagian yang lain berhenti dan tidak berlanjut karena beberapa kendala. Keberlanjutan program life skills tidak terlepas dari pasang-surutnya dunia usaha yang tumbuh dalam masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor penghambat. Penulis berupaya menganalisis faktor-faktor tersebut, sebagaimana diuraikan di bawah ini. Faktor Pendukung Penulis mengidentifikasi beberapa faktor pendukung keberhasilan program life skills yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah, sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu. Beberapa faktor pendukung tersebut yaitu: (a) terdapatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang program ini, (b) terdapatnya anggaran dan pendampingan oleh dinas teknis terkait, (c) telah terbentuknya PKBM Al-Wathoniyah sebagai penyelenggara program, (d) keberadaan pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sukosono serta dapat bekerjasama dengan PKBM untuk menyelenggarakan program, dan (e) adanya sasaran program yaitu para santri dan masyarakat sekitar pesantren. a. Peraturan Perundangan Undang-Undang
Dasar
1945
mengamanatkan
upaya
untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar Pemerintah mengusahakan dan
133
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Menjalankan amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan pada 8 Juli 2003 pada pasal 54 menyebutkan tentang hak masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Hal ini membuka peluang luas kepada masyarakat untuk mendirikan berbagai satuan
pendidikan
yang
menyelenggarakan
pendidikan
formal
dan
pendidikan non formal atau PLS, antara lain disebutkan dalam pasal 26 undang-undang tersebut meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan pemberlakuan kebijakan tersebut, maka masyarakat mempunyai hak untuk mendirikan PKBM dalam rangka menyelenggarakan pendidikan non formal, termasuk pendidikan kecakapan
hidup
(life
skills).
Pembentukan
PKBM
sendiri
telah
disosialisasikan oleh Direktur Jenderal PLS dan Pemuda Depdiknas sejak tahun 1998 sebagai respon atas krisis ekonomi, sebelum diberlakukannya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru. Kebijakan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut menyelenggarakan pendidikan juga merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan, di mana pendidikan bukan lagi bersifat “sentralistik” karena ditujukan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Artinya, masyarakat berlaku sebagai subjek sekaligus objek pembangunan pendidikan. Kebijakan pemerintah tersebut bisa diartikan pula sebagai “pemberdayaan”, yaitu pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan.
134
Sebagai peraturan penyelenggaraan PLS, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, dan khusus tentang life skills Depdiknas menetapkan pedoman penyelenggaraan program kecakapan hidup (life skills) pada tahun 2004, serta Pedoman Program Kursus Wirausaha Pedesaan (KWD) pada tahun 2008. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pendirian PKBM tidak terlepas dari peraturan perundangan yang ditetapkan pemerintah, atau bahwa secara yuridis formal pembentukan PKBM berdasarkan pada ketetapan pemerintah. Dalam perspektif kelembagaan, pendirian PKBM ditopang oleh pilar regulatif, meskipun dalam proses pembentukannya melibatkan masyarakat yang berarti juga ditopang oleh pilar normatif dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial di bidang pendidikan. Peraturan perundangan tentang penyelenggaraan PLS yang sekarang berlaku, menurut RT sebagai berikut: Saya kira peraturan-peraturan yang ditetapkan Pemerintah sudah cukup baik dan cukup jelas untuk dilaksanakan dan tidak menghambat penyelenggaraan program. Hanya saja sering turun terlambat, sehingga yang mestinya bisa dikerjakan sekian bulan dalam satu tahun anggaran, kadang hanya dikerjakan dalam 3-4 bulan saja karena keterlambatan juknis (petunjuk teknis) diberikan. Kesaksian di atas menyebutkan bahwa tidak ada masalah dengan peraturan perundangan PLS yang selama ini diberlakukan. Dengan kata lain, peraturan perundangan ini menjadi faktor pendukung dari berdirinya PKBM dan penyelenggaraan PLS. b. Anggaran dan Pendampingan Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, seperti tertera dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional,
dapat
bersumber
dari
penyelenggara,
masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat, seperti PKBM, dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Ketentuan ini menyiratkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan dana operasional kepada masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan, melalui beberapa program.
135
Khusus tentang dana bantuan khusus yang diberikan bagi program life skills, pemerintah menetapkan pedoman penyelenggaraan program kecakapan hidup (life skills), yang antara lain mengatur tentang mekanisme pengajuan dana operasional life skills bagi penyelenggara program, yaitu lembagalembaga kursus, perguruan tinggi, LPTM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Terpadu Masyarakat), serta PKBM. Hanya saja, dalam implementasinya mekanisme penyaluran dana ini masih terbentur pada birokrasi yang relatif panjang, baik yang diajukan ke Dinas Pendidikan Propinsi maupun ke Depdiknas. Prosedur pelaksanaan dana bantuan harus melewati enam tahap (Depdiknas 2004), yaitu penyusunan proposal, pengajuan proposal, penilaian proposal, penetapan penerima bantuan, penandatanganan akad kerja sama penyaluran dana bantuan, dan pengambilan dana bantuan. Sebagai ilustrasi, jika pengajuan kepada dinas propinsi, maka penyusunan proposal dan pengajuan proposal dilakukan oleh PKBM, berarti waktu penyelesaiannya tergantung pada PKBM sendiri. Penilaian proposal dan penetapan penerima bantuan dilakukan oleh Tim Penilai yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan Propinsi. Apabila banyak daerah yang mengajukan proposal, maka Tim Penilai harus berkunjung ke tiap daerah untuk memverifikasi langsung ke lapangan, ditambah dengan proses administrasi, hal ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Selanjutnya pada tahap penandatanganan akad kerja sama, harus menghadirkan Kepala Dinas Propinsi, Ketua PKBM, Kasubdin PLS/PLSP Propinsi, dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten, hal ini juga membutuhkan waktu. Sementara proses pengambilan dana bantuan melalui kantor pos langsung ke rekening PKBM. Mekanisme birokrasi diperlukan agar program dapat berjalan tertib, tetapi semua pihak yang terlibat harus konsekuen menjalankan tugas dan kewajibannya agar tidak terjadi proses birokrasi yang berbelit-belit. Berdasarkan data sekunder dan wawancara yang dilakukan terkait proses pencairan dana ini, ilustrasi di atas dapat diperlihatkan tabel berikut:
136
Tabel 20. Tahapan Pencairan Dana No
Jenis Tahapan
Lama (+)
Bulan
Pihak Terkait
Ket
1
Penyusunan proposal
1 bulan
Mei
Pengurus PKBM Pengumuman diterima PKBM bulan Maret-April PKBM, Cabang - Juni proposal diajukan Dinas Kec, dan diseleksi Dinas Kab, Dinas Kab dan 14 proposal menjadi 5 Dinas Prop atau 6 proposal - Juli diajukan untuk diseleksi Dinas Prop, jumlah yang diterima tergantung “kuota” APBN Dinas Prop, Tim Prop melakukan PKBM verifikasi ke lokasi yang lolos seleksi adm, 2 atau 3 lokasi tiap kabupaten Dinas Prop Jumlah penerima bantuan menyesuaikan “kuota” atau sesuai APBN
2
Pengajuan proposal
2 bulan
Jun-Jul
3
Penilaian proposal
2 bulan
AgstSept
4
Penetapan penerima bantuan
1 bulan
Okt
5
Penandatanganan akad kerja sama penyaluran bantuan
1 hari
Okt
Dinas Prop, Dinas Kab, PKBM
Bersama-sama dengan PKBM lain penerima bantuan se-Prop
6
Pengambilan dana bantuan
1 bulan
Nop
Dinas Prop, PKBM, bank yang ditunjuk
Penyaluran langsung melalui rekening PKBM, tidak melalui Dinas Kab.
Sumber: Depdiknas (2004) dan hasil wawancara, diolah Dari tabel di atas, terlihat bahwa pencairan dana dilaksanakan pada bulan Nopember, dua bulan sebelum tahun anggaran berjalan berakhir. Sisa waktu dua bulan tersebut harus dimaksimalkan oleh PKBM untuk menyelenggarakan kegiatan, hal ini menyebabkan PKBM harus “menyiasati” kegiatan dengan anggaran sendiri terlebih dahulu. Terkait birokrasi ini, ZER (32
tahun),
TLD
(Tenaga
Lapangan
Dikmas)
Kecamatan
Kedung
menjelaskan: Dana operasional PKBM tidak bisa diberikan setiap bulan. Kadang kegiatan sudah dilaksanakan tetapi honornya belum diberikan. Terkendala masalah birokrasi pencairan dana, apalagi yang bersumber pada APBN. Beberapa PKBM menyikapinya dengan “ditalangi” dulu, baru digantikan setelah dananya turun. Saya tahu sekarang kondisi PKBM Al-Wathoniyah baru kosong kasnya. Kadang SPJ harus dikirimkan dulu, baru dapat gantinya. Memang kendala di PLS ini seperti itu, karena kendala birokrasi pencairan ini sering ada keterlambatan. Bukan dari pengurus PKBM yang memperlambat, tetapi birokrasi pencairan yang berbelit-belit. Sumber dana PKBM bukan hanya dari pemerintah, tetapi kondisi krisis saat ini menjadikan PKBM sulit mencari sumber dana selain yang
137
diberikan pemerintah. Terdapat ketergantungan yang tinggi dari PKBM kepada pemerintah, hal ini menyiratkan bahwa pengelola PKBM diharapkan berupaya mencari terobosan pencarian dana. Dana dapat berlaku sebagai faktor pendukung kegiatan, karena setiap kegiatan membutuhkan dana. Dalam hal ini, dana bantuan pemerintah mempunyai arti penting bagi kelanjutan program life skills. Tetapi, minimnya dana juga menjadi faktor penghambat kegiatan, misalnya tidak semua proposal dapat disetujui meskipun proposal kegiatan tersebut cukup prospektif. Contohnya proposal pengembangan seni ukir PKBM yang akan bekerja sama dengan “FEDEP” sebenarnya bagus untuk dilaksanakan, tetapi harus “ditolak” karena keterbatasan dana. Honor tutor yang kecil dan tidak “lancar” juga menjadi sebab motivasi melaksanakan kegiatan “naik-turun”. Terkait
dengan
pendampingan,
Depdiknas
(2005)
berupaya
memberikan tenaga teknis pelaksanaan PLS kepada PKBM, berupa tenaga yang berstatus PNS yaitu pamong belajar dan penilik PLS, serta tenaga yang berasal dari masyarakat yaitu tutor, Fasilitator Desa Insentif (FDI), Tenaga Lapangan Dikmas (TLD), pamong PAUD, inisiator pemuda, Sarjana Penggerak Pedesaan (SP3), dan nara sumber teknik. Dalam program life skills di Desa Sukosono, yang berperan aktif adalah penilik PLS, nara sumber teknik, TLD, dan pengelola PKBM sendiri. Kolaborasi antara pemerintah dengan unsur masyarakat tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan life skills berjalan dengan efektif dan efisien. Berdasarkan fakta di lapangan, TLD sangat penting keberadaannya bagi keberhasilan program. TLD memberikan manfaat bagi warga belajar dalam pemberian motivasi dan menumbuhkan kegiatan belajar mandiri dengan sering berinteraksi dengan warga belajar; bagi PKBM senantiasa membantu penyelesaian permasalahan
yang
timbul terutama dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program; membantu penataan
administrasi,
serta
membantu
menjalin
kemitraan
dengan
stakeholder yang terlibat. Bagi tutor, TLD membantu permasalahan dalam proses belajar mengajar, mencari bahan ajar, dan menumbuhkan motivasi. Permasalahan yang berkaitan dengan kurikulum dan manajemen seperti disebutkan pada bab terdahulu, melalui pendampingan TLD ini diharapkan dapat diselesaikan dengan baik. Mengingat pentingnya keberadaan TLD ini,
138
seyogianya pemerintah memberikan insentif yang memadai dan memfasilitasi peningkatan profesionalisme TLD dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, dari uraian di atas, terlihat bahwa anggaran pemerintah dan pendampingan dari tenaga teknis merupakan faktor pendukung keberhasilan life skills. c. Adanya PKBM Adanya
PKBM
Al-Wathoniyah
merupakan
faktor
pendukung
keberhasilan program life skills. Hal ini karena PKBM Al-Wathoniyah berfungsi sebagai unsur masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan; sehingga melalui PKBM program life skills dilaksanakan di tengah masyarakat. Artinya, jika tidak terdapat PKBM maka program life skills ini tidak dapat dilaksanakan. PKBM didirikan dengan beragam motivasi. Mengenai motivasi pendirian PKBM Al-Wathoniyah, RT menjelaskan: Makna pendidikan bagi saya adalah membelajarkan masyarakat secara umum dengan prinsip life long education dan pendidikan untuk semua, yaitu bahwa semua masyarakat yang membutuhkan pendidikan harus dilayani dengan tidak pandang bulu, tidak memandang usia, tingkat ekonomi, status sosial, dan sebagainya. Motivasi menyelenggarakan PKBM adalah melayani masyarakat yang membutuhkan pendidikan tanpa pandang bulu. Mengelola PKBM tidak ada keuntungan secara materi, lebih komitmen pada masyarakat. Apabila saya lebih mementingkan materi, maka saya lebih baik memilih menjadi TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), profesi yang saya tinggalkan setelah saya lebih fokus pada PKBM. Padahal, TLD saat ini lebih menjanjikan dari segi gaji/honor dari banyak kegiatan pendidikan, apalagi kemarin masuk dalam data base pegawai honorer yang akan diangkat menjadi PNS. Sementara mengelola PKBM banyak mengandung resiko karena harus berhadapan dengan masyarakat yang berkepentingan. Makanya mengelola PKBM harus luwes. Dengan motivasi yang baik, PKBM dapat menyelenggarakan program life skills dengan baik. Terbentuknya PKBM Al-Wathoniyah menjadi faktor pendukung keberhasilan life skills. d. Keberadaan Pesantren Pesantren Mamba’ul Qur’an merupakan lembaga keagamaan yang berakar dalam kehidupan masyarakat Sukosono, memberikan kontribusi
139
yang penting bagi syiar agama Islam. Kesadaran kyai pengasuh pondok pesantren untuk memberikan bekal ilmu pendidikan kepada santrinya bukan hanya
ilmu-ilmu
pengetahuan
agama saja,
dan
teknologi,
tetapi dilengkapi memberikan
jalan
dengan bekal ilmu bagi
PKBM
untuk
menyelenggarakan PLS termasuk life skills dalam lingkungan pesantren. Hal ini memberikan beberapa keuntungan dan dukungan bagi PKBM dan PLS, sebagai berikut: 1) keberadaan PKBM diakui oleh tokoh agama yang sedikit banyak mempunyai pengaruh dalam kehidupan masyarakat Sukosono. Hal ini memberi imbas yang baik dari unsur masyarakat lain, sehingga PKBM akan leluasa untuk menyelenggarakan program-program PLS. Pada saat awal pembentukan, timbulnya masyarakat yang kontra dapat diredam oleh adanya pengakuan keberadaan PKBM dari pesantren; 2) melalui pesantren, PKBM dapat mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat; 3) PKBM dapat memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh pesantren untuk proses belajar mengajar, karena beberapa penyelenggaraan program dilaksanakan
dalam
lingkungan
pesantren.
Sebaliknya,
pesantren
mendapatkan manfaat dari PKBM berupa pembelajaran yang ditujukan kepada para santri dengan persyaratan yang mudah, juga mendapatkan bantuan berupa peralatan jahit-menjahit dan bordir; 4) memudahkan PKBM dalam perekrutan warga belajar, karena sebagian sasaran program adalah santri dan masyarakat sekitarnya. Kelembagaan pesantren bagi PKBM dapat menjadi kapital sosial yang sangat mendukung keberhasilan program PLS termasuk life skills. e. Adanya Sasaran Program Syarat minimal didirikannya PKBM adalah adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan. Di Desa Sukosono, terdapat banyak sasaran program yang meliputi santri, warga Desa Sukosono, dan sekitarnya. Sampai dengan tahun 2008, + 432 orang telah selesai mengikuti berbagai program PLS yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah. Kondisi saat ini, masih banyak terdapat sasaran program yang belum memanfaatkan pelayanan PKBM. Menjadi tantangan bagi pengelola PKBM yang didampingi oleh penilik
140
PLS dan TLD untuk terus menyadarkan masyarakat yang apatis terhadap dunia pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau dan “mendekatkan”
masyarakat
dengan
lokasi
pendidikannya.
Apabila
masyarakat tetap apatis terhadap pendidikan dan tidak menerima PLS yang dikembangkan PKBM, maka PKBM Al-Wathoniyah pun tidak akan eksis. Artinya, PKBM tidak akan berlanjut keberadaannya apabila yang menjadi sasaran program tidak “tidak menyambut” dengan menjadi warga belajar. Adanya
sasaran
program
yang
harus
pendidikannya, menjamin keberlanjutan program
dilayani selain
kebutuhan
faktor
dana,
manajemen, kurikulum, dan motivasi penyelenggara. Menjadi hal yang tidak logis apabila PKBM menyelenggarakan program sedangkan tidak ada sasaran programnya. Faktor Penghambat Dalam pemetaan sosial, didapat beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam program life skills di Desa Sukosono, antara lain: (1) belum tersosialisasinya program dengan baik, (2) kendala persyaratan yang memberatkan PKBM, (3) jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan warga belajar, (4) kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan sehingga mempengaruhi motivasi, (5) anggaran pemerintah yang “terbatas”, serta (6) rendahnya honor dan kualitas tutor. Dalam diskusi yang diselenggarakan penulis selama melaksanakan penelitian bersama dengan pengurus PKBM, tutor, dan TLD Kecamatan Kedung, berbagai permasalahan tersebut dikelompokkan dalam empat permasalahan, seperti tertuang dalam diagram tulang ikan berikut ini:
141
Gambar 10. Diagram Tulang Ikan Permasalahan Penyelenggaraan Life Skills
KEBIJAKAN PEM-AN
SDM tutor motivasi tidak konsisten
kendala persyaratan
kesibukan
WB kendala penentuan waktu bljr
keterlambatan juknis
ingin serba instant
kesibukan personal
PKBM koordinasi intern dan ekstern krg
jenis keterampilan kurang sesuai
kualitas/penguasaan materi kurang maks
jaringan blm luas
pendampingan kurang maksimal kurang sosialisasi
ketergantungan thd pengurus
pemanfaatan life skills oleh WB
honor tutor rendah
sulit mendapat sumber lain
kuota dan dana APBN/D terbatas
kurang dukungan APBN/D
banyak WB kurang mampu
MANAJEMEN
DANA
Dalam diagram tulang ikan di atas, terdapat empat masalah utama yang teridentifikasi, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia a. Warga Belajar, terdapat permasalahan: motivasi yang tidak konsisten, kendala penentuan waktu belajar, kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan; b. Tutor, kualitas penguasaan materi kurang karena hanya mengandalkan keterampilan alami, kesibukan tutor dalam melakukan pekerjaan lain; c. Penyelenggara (PKBM): koordinasi intern dan ekstern organisasi masih kurang maksimal, kesibukan personil, dan ketergantungan kegiatan PKBM pada figur ketua dan beberapa pengurus. 2. Dana Pada uraian tentang faktor pendukung kegiatan, anggaran atau dana dapat berlaku sebagai faktor pendung maupun sebagai faktor penghambat
142
akibat minimnya dana yang dialokasikan. Dana dapat berlaku sebagai faktor pendukung kegiatan, karena setiap kegiatan membutuhkan dana. Dalam hal ini, dana bantuan pemerintah mempunyai arti penting bagi kelanjutan program life skills. Tetapi, minimnya dana juga menjadi faktor penghambat kegiatan, misalnya tidak semua proposal dapat disetujui meskipun proposal kegiatan tersebut cukup prospektif. Contohnya proposal pengembangan seni ukir PKBM yang akan bekerja sama dengan “FEDEP” sebenarnya bagus untuk dilaksanakan, tetapi harus “ditolak” karena keterbatasan dana. Honor tutor yang kecil dan tidak “lancar” juga menjadi sebab motivasi melaksanakan kegiatan “naik-turun”. Identifikasi dana sebagai faktor penghambat proses: a. Kurang dukungan APBN/D akibat minimnya anggaran yang dialokasikan untuk program ini menyebabkan kuota dan dana stimulan terbatas; b. sedikitnya honor tutor; c. banyak warga belajar kurang mampu sehingga tidak dapat memenuhi kesepakatan iuran; d. sulit mendapat dana dari sumber lain. 3. Manajemen a. masih terdapat warga masyarakat yang kurang mengetahui kegiatan life skills; b. beberapa jenis keterampilan tidak berhasil karena kendala pasangsurutnya dunia usaha, yang berarti ide yang dijalankan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada; c. jaringan pemasaran, kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah desa belum maksimal; d. PKBM hanya sekali menyalurkan dana stimulan, kemudian masingmasing life skills “dibiarkan” berkembang sendiri tanpa pendampingan yang maksimal. 4. Kebijakan pemerintah a. kendala persyaratan dan birokrasi yang berbelit-belit; b. keterlambatan penyerahan petunjuk teknis dari pemerintah kepada PKBM. Berbagai
permasalahan
tersebut
bukan
berarti
tidak
menjamin
sustainability program asalkan permasalahan tersebut dapat diatasi. Untuk pengembangan kelembagaan life skills agar dapat menjalankan fungsinya,
143
diperlukan arah kebijakan berupa insentif-insentif kelembagaan (institutional incentives) berupa: 1. Sumber Daya Manusia, dilakukan dengan terus-menerus memupuk motivasi warga belajar dan mengatur waktu penyelenggaraan program, peningkatan kualitas tutor melalui pelatihan dan buku-buku, melakukan koordinasi intern dan ekstern pengelola program antara lain dengan pendampingan dari dinas terkait, dan melibatkan semua pihak bukan hanya pada figur ketua dan beberapa pengurus saja. 2. Dana, dilakukan dengan memberikan usulan dan pertimbangan bagi penambahan dana operasional kepada pihak terkait, yaitu Depdiknas, Dinas dan Cabang Dinas P dan K Kabupaten Jepara. Program PLS selayaknya mendapatkan dukungan dana seperti halnya pendidikan formal, misalnya melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang selama ini hanya diperuntukkan bagi sekolah formal. Selain itu, pencairan dana dari APBN/D tidak
seharusnya
terlambat.
Pihak-pihak
yang
berkompeten
dengan
pencairan dana perlu didorong untuk dapat merealisasikan dana tepat waktu. 3. Manajemen, dilakukan dengan konsisten mensosialisasikan program life skills kepada masyarakat melalui berbagai cara misalnya spanduk, pamflet, door to door, kumpulan musholla, pesantren, dan sebagainya. Selanjutnya memunculkan ide life skills (vocational skills) yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat sekarang. Yang juga perlu dikembangkan adalah jaringan pemasaran dan kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah desa, sebagai upaya pengembangan bagi life skills yang masih berjalan. PKBM agar tetap konsisten mendampingi warga belajar yang telah melakukan usaha, sehingga tidak “berjalan sendiri-sendiri”. 4. Kebijakan pemerintah, memberi dorongan kepada pemerintah untuk membuat regulasi yang memihak kepada life skills, misalnya birokrasi pengajuan dan pencairan dana, menyetujui proposal yang potensial untuk dikembangkan, serta pemberian petunjuk teknis agar tidak terlambat. Insentif-insentif kelembagaan di atas dapat berjalan dengan efektif apabila dilakukan secara simultan demi tercapainya keberhasilan program.
144
RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Focus Group Discussion Focus Group Discussion (FGD) menurut Huraerah (2008) adalah sebuah diskusi yang dirancang khusus membicarakan suatu masalah secara terfokus. Penggunaan metode ini biasanya diarahkan oleh seorang moderator, dan dihadiri oleh peserta terpilih dalam jumlah terbatas. Menurut Saharuddin (2002), FGD merupakan teknik yang pertama kali dikembangkan dalam pemasaran produk-produk tertentu dengan melibatkan orang-orang yang tidak saling mengenali satu sama lain mengenai teknik-teknik pemasaran yang mereka jalankan dan hasil-hasil yang mereka capai. Tujuan FGD adalah untuk memperoleh masukan mengenai cara pemasaran produk yang dipasarkan oleh masik-masing peserta, serta melakukan evaluasi terhadap model pemasaran yang sedang berjalan, maka diharapkan dengan berdiskusi mengenai hal-hal di mana mereka tidak saling mengenali lapangan kegiatan masing-masing akan muncul gagasan pemasaran secara efektif. Mereka diharapkan saling berbagi informasi dan pengalaman masing-masing. Kalau masing-masing sudah saling mengenal, maka FGD menjadi tidak efektif lagi. Istilah “tidak saling mengenal” sebenarnya lebih tepat diartikan sebagai “tidak saling mengenali kiat-kiat masingmasing dalam suatu aktivitas yang terpisah”, dan karena itu mereka tergugah untuk berdiskusi. Boleh jadi secara pribadi mereka saling mengenal, tetapi tidak dalam aspek yang sedang didiskusikan. Pemahaman “tidak saling mengenali” seperti itu tampaknya lebih tepat untuk penerapan teknik FGD dalam pengembangan komunitas di mana masing-masing warga komunitas tentu saling mengenal secara pribadi. Berdasarkan pengertian di atas, penulis bekerja sama dengan pengurus PKBM Al-Wathoniyah menyelenggarakan FGD untuk merumuskan strategi pengembangan program life skills, sebagai upaya intervensi sosial pada aras messo (kelompok-kelompok kecil) yaitu kepada PKBM dan warga belajar. Dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam perancangan strategi dan aksi, diharapkan rancangan tersebut dapat berjalan secara efektif. FGD diselenggarakan dengan melibatkan beberapa stakeholder, terdiri atas 38 orang yaitu:
145
1. unsur pemerintah terdiri atas Penilik PLS dan TLD Kecamatan Kedung; 2. unsur Pondok Pesantren Mamba’ul Qur’an terdiri atas kyai dan para santri; 3. pengurus PKBM Al-Wathoniyah; 4. warga belajar; 5. warga masyarakat; 6. nara sumber teknik atau tutor life skills; dan 7. pengurus karang taruna. FGD dilaksanakan pada hari Senin tanggal 15 Desember 2008 bertempat di salah satu ruang mengaji pondok pesantren Mamba’ul Qur’an, dengan agenda: 1. membahas permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan program life skills dan pengembangan usaha; 2. mencari model pengembangan life skills yang partisipatif sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, potensi ekonomi lokal dan sumber daya yang ada berdasarkan pemikiran dan kesepakatan bersama seluruh stakeholder; 3. menyusun rencana aksi atau pengembangan program life skills di masa yang akan datang agar program berjalan efektif. Proses Jalannya Diskusi Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB dan diakhiri pukul 17.00 WIB, dilaksanakan di ruang mengaji pondok pesantren Mamba’ul Qur’an dengan cara lesehan (duduk di lantai tidak menggunakan kursi) yang merupakan salah satu ciri khas pondok pesantren salafiyah, dan memanfaatkan fasilitas yang dimiliki pesantren. Dalam kesempatan itu, dua penilik PLS Kecamatan Kedung tidak dapat hadir; KS tidak hadir karena sakit, dan AS berhalangan hadir karena sedang melaksanakan ibadah haji; sehingga dari unsur pemerintah diwakili oleh Tenaga Lapangan Dikmas. Adapun proses jalannya diskusi adalah sebagai berikut: 1. Diskusi diawali dengan pengantar dari Ketua PKBM yang menyampaikan terima kasih kepada pihak pesantren atas kesediaan dan perkenannya mengadakan diskusi di lingkungan pesantren, menyampaikan terima kasih kepada para peserta yang telah bersedia hadir, serta menyampaikan maksud dan tujuan diadakannya diskusi. Diskusi semacam ini, menurut beliau, dapat memberikan manfaat bagi penyerapan aspirasi dan masukan bagi kemajuan
146
program-program PLS yang diselenggarakan oleh PKBM, sekaligus sebagai bukti adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, PKBM, pesantren, dan warga masyarakat Sukosono. Dengan kerja sama yang baik diharapkan setiap kegiatan dapat membuahkan hasil yang baik bagi warga masyarakat. 2. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan presentasi oleh penulis yang menyampaikan hal-hal sebagai berikut: a. analisis penyelenggaraan program life skills yang merupakan hasil pengamatan berpartisipasi penulis, yaitu wawancara mendalam dengan berbagai pihak, diskusi kecil, dan penelusuran dokumentasi. Penulis memaparkan kondisi saat ini terhadap kesinambungan program; b. analisis faktor pendukung dan faktor penghambat pelaksanaan program. 1) Beberapa faktor pendukung tersebut yaitu: (a) terdapatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang program ini, (b) terdapatnya anggaran dan pendampingan oleh dinas teknis terkait, (c) telah terbentuknya PKBM Al-Wathoniyah sebagai penyelenggara program, (d) keberadaan Pondok Pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sukosono serta dapat bekerjasama dengan PKBM untuk menyelenggarakan program, dan (e) adanya sasaran program yaitu para santri dan masyarakat sekitar pesantren. 2) Beberapa faktor penghambat meliputi (a) belum tersosialisasinya program dengan baik, (b) kendala persyaratan yang memberatkan PKBM, (c) jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan warga belajar, (d) kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan sehingga mempengaruhi motivasi, (e) anggaran pemerintah yang “terbatas”, serta (f) rendahnya honor dan kualitas tutor. Faktor penghambat ini disajikan dalam bentuk diagram tulang ikan sebagaimana terlihat di Gambar 9 pada bab terdahulu. 3. Hasil analisis tersebut, diharapkan dapat dijadikan bahan diskusi, untuk mendapatkan masukan dan saran dalam rangka merancang sebuah rencana aksi demi perbaikan program life skills di masa yang akan datang. 4. Diskusi berjalan dengan baik, terjadi komunikasi dua arah antar semua peserta diskusi.
147
Tanggapan Peserta Diskusi Diskusi berjalan dengan dua arah dan komunikatif. Hal ini didukung dengan banyaknya tanggapan yang berupa pertanyaan, saran, maupun masukan kepada fasilitator dan PKBM. Para peserta yang memberikan tanggapan adalah sebagai berikut: 1. Bapak Md, guru swasta / tokoh masyarakat Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih telah diundang dalam acara ini karena baru sekali ini saya diberi undangan yang ditulis dalam surat acaranya adalah FGD. Setelah membaca surat ini, saya belum terlalu memahami apa maksud FGD ini. Maklum saya hanya guru MI. Tapi setelah Pak Dian menerangkan maksud dan tujuan serta pengertian dari kegiatan ini, alhamdulillah saya paham. Menanggapi apa yang disampaikan oleh Pak Dian tadi, saya yang dianggap sebagai tokoh masyarakat ingin menyampaikan bahwa dengan adanya PKBM yang sekarang dipimpin oleh pak Rochmat, warga masyarakat banyak tertolong. Contohnya di pondok ini, dan juga masyarakat sekitar pondok yang hanya mempunyai ijasah SD/MI dapat melanjutkan ke Paket B. Yang punya ijasah hanya SMP bisa melanjutkan ke Paket C. Di samping itu saya amati beberapa tahun yang lalu PKBM juga memberikan latihan keterampilan pada warga masyarakat. Saya senang sekali. Namun, akhir-akhir ini kok saya amati lagi, kegiatannya tidak begitu aktif. Hal ini yang perlu kita cari pokok permasalahannya. Terima kasih. 2. Bapak Am, nara sumber teknik sablon Terima kasih atas kesempatannya. Seperti yang disampaikan oleh Pak Mudhofir, saya selaku pengelola unit keterampilan sablon memang mempunyai kendala. Sehingga menjadikan penyebab kurang aktifnya kegiatan praktek sablon. Perlu kami sampaikan di sini bahwa banyak peserta keterampilan sablon yang putus di tengah jalan. Artinya mereka tidak sampai selesai hingga akhir proses. Penyebabnya adalah motivasi yang kurang dari warga belajar itu sendiri. Yang kedua, waktu belajar yang kurang karena untuk proses sablon sangat membutuhkan waktu lebih karena memang bertujuan untuk lebih mengoptimalkan hasil. Sedangkan warga belajar yang saat itu mengikuti keterampilan ini sebagian besar adalah para santri, sehingga ketika proses mencetak belum selesai, mereka harus kembali melaksanakan kegiatan utamanya yaitu mengaji. Di samping kedua hal tersebut, saya terkendala minimnya peralatan. Dulu kami mendapat bantuan modal sebesar 500 ribu rupiah, dan itu kita belanjakan untuk modal sehingga kita masih sangat kekurangan dalam operasionalnya. Ya kalau pas punya uang saya belikan untuk membeli tinta sablon, tetapi kalau ndak punya, saya minta siapa?
148
3. Bapak ASy, ketua Karang Taruna “Lestari” Desa Sukosono Terima kasih. Perkenalkan saya Ali Syahid, ketua karang taruna. Saya sudah pernah ketemu dengan Pak Dian di balai desa dulu waktu observasi. Saya sampaikan bahwa para pemuda desa ini belum begitu memahami life skills yang dijalankan PKBM. Yang kedua, saya memandang bahwa program life skills terutama untuk yang putri hanya terdapat di lingkungan pondok seperti menjahit dan bordir. Sablon ada di Sukosono bagian selatan. Sedangkan kami yang berada di daerah utara kalau ingin mengikuti keterampilan tersebut merasa kesulitan mengingat waktu dan lokasinya. Maka kami mengharapkan kami yang ada di Sukosono Lor ikut mendapatkan keterampilan tersebut. Syukursyukur kami yang para pemuda ini diberi keterampilan lain asalkan jangan jahit dan bordir (para peserta tertawa - pen). Sebagai gambaran kami yang di utara mempunyai keterampilan menggergaji kayu atau meubel kecil-kecilan lah gitu. Mungkin ada keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan dasar kami tersebut yang bisa difasilitasi oleh PKBM atau Bapak yang dari Dinas. 4. Bapak MK, kyai pesantren Mamba’ul Qur’an Langsung saja, saya sebagai pengasuh pondok pesantren ini mengucapkan banyak terima kasih karena telah diberi kepercayaan menjadi lokasi pelaksanaan keterampilan bagi masyarakat lewat PKBM. Sebenarnya hal ini sudah saya harapkan dulu, kebetulan ada pelaksanaan Kejar Paket di sini, kami mengusulkan kepada PKBM mbok yao santri kami diberi keterampilan. Dan alhamdulillah bisa terwujud dengan adanya yang di sini adalah menjahit dan bordir, yang sablon di tempatnya mas Amin, dan keterampilan lainnya. Di mana warga pesertanya sebenarnya tidak hanya dari pondok ini saja, tetapi masyarakat luar bisa mengikutinya termasuk adik-adik dari karang taruna. Seperti mas Ali Syahid ini bisa ikut keterampilan di sini, apalagi sambil mondok di sini (peserta diskusi tertawa - pen). Namun keterampilan di sini memang mohon maaf agak kurang lancar. Artinya dalam pelaksanaannya kami membutuhkan guru untuk mengajari santri-santri saya. Tetapi, masak dia tidak minum, datang ke sini jalan kaki, bawa kain sendiri atau istilah kami “malaikatan” (tidak ada apaapanya). Bisa diterjemahkan kami terkendala dana baik untuk honor tutor maupun pemberian sarana dan prasarana. Itu yang perlu kami sampaikan di sini. 5. Ibu SMr, nara sumber teknik makanan ringan Kami sampaikan kepada penyelenggara PKBM bahwa kami yang dipasrahi untuk mengelola keterampilan pembuatan snack, alhamdulillah masih bisa berjalan walaupun mengalami pasang-surut. Dulu waktu kami baru merintis awal, kami memang dalam satu kelompok yang terdiri dari 10 personil, memang mengalami banyak kendala terutama dulu waktu membuat krupuk bawang. Namun lambat laun usaha kami sudah dikenal masyarakat sehingga order menjadi meningkat bahkan kami sempat kewalahan. Akhirnya kami putuskan untuk menambah personil untuk mengatasi hal tersebut. Namun setelah beberapa waktu, beberapa teman kami melakukan usaha
149
sendiri. Di satu sisi memang suatu keberhasilan kami untuk memberikan keterampilan, di sisi lain kami terjadi penurunan omzet. Namun kami tetap bertahan. Sampai akhirnya terjadi krisis moneter yang mengakibatkan teman-teman yang baru berusaha tadi menjadi kolaps termasuk saya yang tidak sanggup lagi membeli bahan baku yang harganya semakin tinggi. Akhirnya saya banting setir untuk mengolah usaha pembuatan katering yang sifatnya disesuaikan dengan pesanan. Sedangkan yang masih rutin adalah menjual roti bolu. 6. Mbak SNA, santri Kami yang mengikuti keterampilan menjahit menyayangkan sekali dengan ketidaklancaran kegiatan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya tutor yang mengajar. Dulu ada mbak Nur Imanah, namun setelah mbak Nur mempunyai kesibukan lain dengan keluarga, maka untuk pelaksanaan kegiatan diminta saat itu untuk kami teruskan. Padahal kemampuan kami masih terbatas dan hanya mengandalkan keterampilan alami yang kami miliki. Sedangkan yang kami butuhkan adalah adanya penambahan pengetahuan terutama untuk jahit dan bordir. Maka dari itu kami mohon bisa dicarikan tutor yang bisa memberikan pelajaran lagi kepada kami. 7. Bapak Jz, bendahara PKBM, koordinator bobok Begini Pak Dian dan teman-teman. Kebetulan saya yang mengelola keterampilan bobok. Namun ketika program ini berjalan hingga dalam tempo waktu tiga bulan, banyak peserta yang keluar. Hal ini disebabkan mereka ingin cepat-cepat bisa. Padahal bobok sendiri membutuhkan waktu seperti sablon, untuk melancarkan gerakangerakan sehingga hasilnya bisa maksimal. Kebanyakan mereka akhirnya beralih untuk menggeluti keterampilan meubel yang sebenarnya sudah dikuasainya. Penyebabnya adalah mereka beranggapan meubel lebih cepat menguntungkan. Termasuk yang putri, mereka lebih senang pergi mengamplas daripada mempunyai keterampilan. Karena dengan mengamplas mereka cepat dapat uang. Tanggapan dari peserta diskusi ternyata ditanggapi beragam dari peserta termasuk dari fasilitator, baik menjawab pertanyaan maupun saran yang disampaikan. 8. Bapak RT, ketua PKBM Menanggapi apa yang telah disampaikan oleh teman-teman, baik oleh Pak Mudhofir, Pak Kyai Muhammad Kholil, Pak Jazuli, Mas Amin, dan lain-lain. Kami menyampaikan terima kasih atas saran-sarannya. Seperti yang tadi disampaikan Pak Mudhofir mengenai kurang aktifnya kegiatan, memang kami akui, kami kurang koordinasi yang disebabkan oleh kesibukan masing-masing personil. Sehingga saya sendiri sebagai ketua kurang banyak memonitor kegiatan tersebut. Di samping itu seperti yang disampaikan Kyai Muhammad, untuki honor pengajar kami mohon maaf sekali karena honor untuk mengajar terutama untuk jahit dan bordir hanya bisa diberikan beberapa bulan saja. Hal ini
150
disebabkan oleh terbatasnya anggaran dari pemerintah sehingga akhirnya seperti yang disampaikan tadi oleh Pak Kyai, kita menjadi “malaikatan” yang sebenarnya saya menilainya menjadi kurang menghargai pendidik-pendidik di sini. Maka dalam forum ini kami sampaikan mohon maaf dan kami ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada tutor yang masih bertahan dalam keadaan ini. Tetapi sampai kapan? Nah, kita perlu menjawab pertanyaan ini. Mohon bapak Eko selaku TLD memberikan masukan kepada kami. Menanggapi usulan Mas Syahid mengenai pemuda di Sukosono Lor yang menginginkan keterampilan lain, perlu kita rencanakan secara matang pelaksanaannya. Jangan sampai hasilnya menjadi kurang maksimal. Kasus yang terjadi pada unit keterampilan yang sudah ada, bisa dijadikan pelajaran kalau menginginkan melaksanakan kegiatan keterampilan di Sukosono Lor. Tapi kami sudah merencanakan; tadi sempat saya berbisik-bisik dengan pak Eko, mengenai keterampilan yang bisa dikembangkan di Sukosono Lor. Apalagi sudah mempunyai dasar ilmu meubel yaitu industri pembuatan APE (Alat Peraga Edukatif) yang nantinya bisa kita pasarkan hasil dari keterampilan tersebut untuk sekolah-sekolah yang ada di sekitar kita. Hal ini sangat berpotensi sekali, mengingat belum ada usaha sejenis. Untuk bahan baku, bisa menggunakan limbah-limbah industri meubel yang banyak terdapat di sekitar kita. 9. Bapak ZER, TLD Kecamatan Kedung Kami sampaikan bahwa kami dari dinas memang mempunyai beberapa alokasi kegiatan dan anggaran khususnya bagi pelaksanaan program life skills. Namun sifatnya adalah dana stimulan sehingga untuk keberlangsungannya kami serahkan kepada lembaga masingmasing untuk mengelolanya. Untuk mendapatkannya, memang tidak bisa mudah karena harus melewati proses seleksi di tingkat kabupaten dan propinsi sehingga kita perlu membuat proposal pengajuan yang nanti akan diseleksi di tingkat kabupaten. Namun kami akan berusaha untuk memperjuangkannya. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan setelah mendengar masukan, tanggapan dari peserta diskusi yang difasilitasi oleh Pak Dian. Saya menarik kesimpulan, ada satu permasalahan pokok yang perlu kita pecahkan di sini yaitu mengenai bagaimana menghidupkan kembali program life skills yang difasilitasi oleh PKBM. Faktor-faktor penyebab tadi sudah disampaikan dan sekarang bagaimana kita mencari pemecahan masalahnya. Saya mempunyai prinsip ‘jika tak kenal maka tak sayang’. Begitu juga program life skills ini, bagaimana bisa diminati masyarakat jika tidak dikenal masyarakat sendiri, maka perlu disosialisasikan melalui berbagai media, termasuk forum pengajian. Mengenai koordinasi intern pengurus bisa diintensifkan lagi pertemuan rutin, bisa mengundang kami dari Cabang Dinas agar terjadi hubungan yang baik antara PKBM dengan Cabang Dinas. Sedangkan yang bobok tadi, memang sekarang banyak pengusaha yang mempunyai mesin bobok sendiri, yang artinya usaha-usaha bobok di PKBM ini hanya sekedar melatih. Sedangkan untuk mengembangkan menjadi usaha yang menghasilkan kurang dapat maksimal. Perlu dipertimbangkan, apakah keterampilan ini akan diteruskan atau tidak. Nanti bisa dikembangkan pemikiran ini. Sehingga harapan kita, kita tidak melakukan sesuatu yang muspra (sia-sia).
151
10. Bapak DNTH, fasilitator Kalau boleh saya menambahkan, memang sebaiknya manajemen PKBM lebih pro aktif dan lebih menjalin kerja sama dengan berbagai stakeholder. Di samping itu, forum-forum semacam ini perlu dikembangkan sehingga segala permasalahan yang muncul cepat dapat tertangani. Contohnya adalah berdiskusi dengan Pak Kyai mengenai pembagian waktu belajar santri dan waktu belajar keterampilan sehingga tercipta suatu sinergi antara program pesantren dan pelaksanaan kegiatan life skills yang diadakan. Untuk memaksimalkan peran tutor memang harus bisa menempatkan diri sebagai tutor di mana dia adalah nara sumber teknis bagi pelaksanaan program life skills tersebut. Kalau dihadapkan pada permasalahan tiadanya tutor yang mempunyai kualifikasi khusus di bidang keterampilan tersebut, maka bisa diganti dengan tutor-tutor yang mempunyai bakat alami plus. Plus di sini maksudnya adalah sudah mempunyai bakat alami, tetapi juga ditambahi dengan motivasi untuk selalu ingin belajar agar kemampuannya meningkat, baik dengan membaca buku atau melakukan eksperimen yang berguna bagi para peserta keterampilan. 11. Bapak Irv, pengusaha Terima kasih, kami diundang di acara ini. Saya ini tukang, tetapi saya tukang yang mempunyai anak buah. Di sini kami hanya memberikan usulan dan pandangan dari sudut pandang seorang pengusaha. Saya melihat produk-produk yang dihasilkan dalam program keterampilan ini cukup bervariasi. Pada prinsipnya bagi kami, mutu produk adalah yang paling utama karena itu untuk menjaga kepercayaan konsumen. Di samping itu, produk yang dihasilkan harus mempunyai daya tarik tersendiri seperti lagu dangdut “pandangan pertama”. Konsumen biasanya tertarik pada suatu produk ketika melihat kemasan yang baik. Contoh, kita banyak melihat sayur-mayur yang dijual di swalayan itu sama dengan yang dijual di pasar tradisional. Tapi kalau kita melihat akan terlihat menarik barang yang ada di swalayan karena dikemas begitu bagus, menarik, dan mempunyai daya tawar yang tinggi. Padahal barangnya sama, fungsinya sama. Di samping itu, relasi juga penting. Kalau kita ingin produk kita dikenal, kita juga harus punya relasi sehingga mempunyai jaringan yang luas. Seperti kata pepatah, semakin banyak teman semakin banyak rejeki. Berbagai tanggapan, saran, dan hasil diskusi di atas dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
152
Tabel 21. Analisis Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan Masalah Program Life Skills No.
MASALAH
PENYEBAB
DAMPAK
POTENSI
KEBUTUHAN
PEMECAHAN MASALAH
1
2
3
4
5
6
7
1.
Sumber Daya Manusia a. warga belajar motivasi yang tidak konsisten, kendala penentuan waktu belajar; kecenderungan warga belajar serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan b. Tutor kualitas penguasaan materi kurang kesibukan tutor dalam melakukan pekerjaan
2.
c. Penyelenggara (PKBM): koordinasi intern dan ekstern organisasi kurang maksimal, ketergantungan kegiatan PKBM pada figur ketua dan beberapa pengurus Dana a. Kurang dukungan APBN/D b. sedikitnya honor tutor; c. banyak warga belajar kurang mampu
- industri meubel lesu - berbenturan dengan kegiatan pesantren - terbiasa mendapatkan penghasilan dari meubel yang relatif besar dan cepat
- life skills meubel dan bobok berhenti - kegiatan sablon di pesantren dihentikan - “semangat” warga belajar berkurang
- adanya kemauan warga di saat industri meubel lesu - Pesantren memberikan alokasi waktu - adanya kemauan dari pengelola program
- perlu sosialisasi program dengan baik untuk memotivasi warga - kesepakatan dengan pesantren mengenai waktu belajar
- Sosialisasi melalui penyebaran pamflet, spanduk, memanfaatkan kelembagaan yang ada - diskusi dengan kyai mengenai waktu belajar yang tepat
- karena hanya mengandalkan keterampilan alami - tutor punya kesibukan lain
- kurang maksimal memotivasi warga belajar
- Tutor mau belajar - Pendampingan dari Cabang Dinas baik - Bantuan buku literatur
- penguasaan materi tutor baik - tutor lebih fokus
- tutor mau belajar dan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki, misal membaca buku-buku
- bila ketua dan pengurus - Adanya kemauan - koordinasi antar - Kesibukan personil tidak sering memonitor, pengurus pengurus, antara - Keterbatasan personil kegiatan tidak berjalan menyelenggarakan pengurus dengan - motivasi kurang konsisten karena hanya maksimal program warga belajar berjalan merupakan - “semangat” - Merupakan tenaga baik “pengabdian” akibat menyelenggarakan muda, punya semangat - transparansi kecilnya honor program berkurang minimnya anggaran pemerintah yang dialokasikan minimnya anggaran Warga miskin dan pengangguran
- kuota dan dana bantuan terbatas - proposal tidak disetujui “semangat” berkurang - tidak dapat memenuhi kesepakatan iuran - kas PKBM terbatas
- Penambahan dana pemerintah
- dana tercukupi, penambahan dana APBN/D Masih ada kemauan Honor tutor ditambah Ada jenis keterampilan Warga mampu dari segi lain yang belum tergarap ekonomi
- pertemuan rutin - ketua dan pengurus saling terlibat dalam kegiatan PKBM termasuk life skills
- Pengajuan anggaran - Koordinasi PKBM dengan Cabang Dinas Pengajuan anggaran - Warga memanfaatkan hasil pelatihan, modal - membuat life skills baru
152
153
1
3.
4.
2
3
4
5
6
d. sulit mendapat dana dari sumber lain. Manajemen a. masih terdapat warga masyarakat yang kurang mengetahui kegiatan life skills; b. beberapa jenis keterampilan tidak berhasil
Bergantung pada anggaran pemerintah
Tidak dpt mengembang- Kerja sama dengan mendapat dana dari kan program pengusaha,PT Coca Cola sumber lain
Belum tersosialisasi dengan baik
Peserta terbatas
c. jaringan pemasaran, kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah desa belum maksimal; d. PKBM hanya sekali memberi dana stimulan, kemudian life skills “dibiarkan” berkembang sendiri tanpa pendampingan yang maksimal. Kebijakan pemerintah a. kendala persyaratan dan birokrasi yang berbelit-belit; b. keterlambatan petunjuk teknis dari pemerintah yang diberikan kepada PKBM.
- Potensi enterpreuner- Pemasaran terbatas, - pasang surut dunia ship warga keuntungan terbatas usaha - pemerintah desa belum - Pemerintah desa hanya - Banyak toko/warung - Pasar dekat sebatas “mengetahui” membantu maksimal - sebagian sudah dikenal - keterbatasan personil - kegiatan tidak terpantau - PKBM masih semangat menyelenggarakan - asas kemandirian, agar - berhentinya kegiatan program PLS tertentu dan tidak warga belajar mandiri - Tenaga pengurus berkelanjutan masih muda
karena kendala pasangsurutnya dunia usaha,
Birokrasi kompleks Birokrasi kompleks
Sosialisasi melalui kelembagaan yang ada: pengajian, kumpulan, musholla, pesantren, RT ide yang dijalankan Ada jenis keterampilan kurang sesuai dgn situasi lain yang belum tergarap dan kondisi yang ada;
- Anggaran turun terlambat - dana kas habis PKBM tidak dapat segera menjalankan program
Pendamping (TLD & Penilik PLS) semangat menjalankan pekerjaannya Cabang Dinas dan PKBM bekerja sama dengan baik
- Seluruh warga mengetahui - Warga mengikuti program Life skills disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini
-
-
7 Realisasi rencana pendirian toko ATK - Sosialisasi - Penambahan jenis life skills
- Tidak memaksakan program yang tidak berkembang - Peningkatan mutu produk Pemasaran luas - Perluasan jaringan Berjalan lancar - Pengemasan yang Keuntungan bertambah lebih baik - Peningkatan mutu produk PKBM mendampingi - Penambahan personil kegiatan - Kerja sama dengan PKBM melakukan Cabang Dinas lebih ditingkatkan pemantauan dan evaluasi
- Birokrasi tidak berbelitbelit - Pencairan dana cepat - Birokrasi tidak berbelitbelit - Dinas segera memberikan juknis
- Koordinasi dengan pemberi dana - PKBM pro aktif - PKBM pro aktif - koordinasi dengan Dinas dan Cabang Dinas
153
154
Rancangan Program Aksi
Dalam rangka mendapatkan strategi pengembangan program life skills melalui PKBM yang efektif untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren sebagaimana menjadi tujuan kajian ini, telah dilakukan serangkaian kegiatan dimulai
dari
pemetaan
sosial,
evaluasi
program,
dan
penelitian
yang
menganalisis tentang profil PKBM Al-Wathoniyah, profil program life skills, profil pesantren Mamba’ul Qur’an, profil masyarakat Sukosono, profil efektifitas penyelenggaraan program PLS khususnya life skills, serta analisis faktor pendukung dan faktor penghambat program. Proses pengumpulan data menggunakan pendekatan “tri-angulasi” yang mengombinasikan tiga kategori metode pengumpulan data, yakni review dokumen, pengamatan dan wawancara. Ketiga pendekatan tersebut memberi konstribusi yang saling melengkapi, karena itu sering digunakan secara bersamaan dalam
suatu penelitian guna
memperoleh data yang valid (Saharuddin 2002). Hasil penelitian tersebut diungkapkan dalam FGD dengan melibatkan stakeholder yang dipilih, agar berjalan sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat. FGD yang dilaksanakan menunjukkan adanya kemauan dan itikad baik dari berbagai pihak untuk menjadikan life skills sebagai program PLS yang mampu
memberikan
alternatif
kepada
masyarakat
untuk
mendapatkan
keterampilan praktis dan memperoleh penghasilan. Berdasarkan hasil diskusi, dirumuskan beberapa rancangan program aksi untuk menjadikan program life skills dapat lebih efektif dilaksanakan oleh PKBM Al-Wathoniyah,
dengan
melibatkan
berbagai
stakeholder
pemerintah,
masyarakat, dan swasta. Latar Belakang Seperti diuraikan pada bab terdahulu, di Desa Sukosono tercatat sebanyak 69,40% penduduk termasuk dalam rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I, antara lain disebabkan oleh tingkat pendidikan yang relatif rendah, yang berarti rendah pula dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah telah mendorong terbentuknya lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, antara lain melalui PKBM. Karena itu, di Desa Sukosono dibentuk PKBM Al-Wathoniyah untuk menyelenggarakan PLS yang
155
salah satu tujuannya adalah meningkatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengentasan kemiskinan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Sukosono, berdasarkan pada prinsip pembelajaran berwawasan kemasyarakatan melalui pemanfaatan segala sumber daya yang ada dalam masyarakat dalam upaya penyelenggaraannya, dan merupakan community based karena ditujukan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sebagian besar penduduk Sukosono bergerak dalam sektor permeubelan. Kondisi saat ini menyebabkan sektor permeubelan mengalami pasang-surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu, harga produksi, dan kompetitifnya harga barang jadi. Untuk memberikan alternatif jenis pekerjaan kepada masyarakat Sukosono agar tidak tergantung pada sektor meubel, maka PKBM Al-Wathoniyah berupaya memberikan keterampilan praktis lain kepada masyarakat melalui program life skills berupa seni ukir/meubel, bobok, jahitmenjahit dan bordir, pembuatan makanan ringan (rengginan), pembuatan roti bolu, dan sablon. Penyelenggaraan program ini tidak terlepas dari kolaborasi PKBM dengan pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Sukosono. Dalam prakteknya, jenis-jenis life skills di atas tidak semuanya berjalan efektif karena terdapat beberapa permasalahan seperti telah diuraikan pada bab terdahulu. Agar program ini berjalan sesuai dengan harapan, maka diperlukan intervensi program berupa rancangan aksi sebagai bentuk pengembangan dari program life skills yang telah berjalan. Tujuan Tujuan rancangan program aksi ini adalah agar PKBM Al-Wathoniyah dapat mengembangkan program life skills lebih efektif, sedapat mungkin mengatasi faktor penghambat yang muncul, sehingga terwujud hasil yang diharapkan yaitu terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel, berkembangnya industri kecil (barang dan jasa) dari life skills yang diberikan, kolaborasi dengan swasta untuk penampungan dan pemasaran produk, memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta dapat memberikan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga.
156
Sasaran Sasaran program meliputi warga belajar yang telah ada, warga miskin dan pengangguran di Desa Sukosono dan sekitarnya yang bersedia menjalankan program penuh kesungguhan dan motivasi yang tinggi. Sasaran ini meliputi santri dan masyarakat sekitarnya agar dapat meningkatkan kapasitas dirinya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan pengangguran. PKBM bertindak sebagai fasilitator, sedangkan pemerintah berlaku sebagai pendamping, pemberi dana stimulan, serta petunjuk teknis. Strategi Strategi dilaksanakan dengan identifikasi permasalahan dan pembuatan rancangan program aksi. Diharapkan rancangan tersebut dapat diimplementasikan sehingga tidak berhenti pada perencanaan semata. Identifikasi permasalahan dilaksanakan melalui forum FGD sebagai media untuk mempertemukan berbagai stakeholder program life skills agar permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara aspiratif. Melalui FGD juga dapat dirumuskan rancangan program aksi yang sesuai dengan keinginan stakeholder, dengan melihat situasi dan kondisi yang memungkinkan rancangan program tersebut berjalan dengan efektif. Selanjutnya, rancangan aksi tersebut diharapkan dapat berkelanjutan karena peserta program turut berperan aktif. Adapun rincian rancangan program aksi pengembangan life skills adalah sebagai berikut: 1. Program Peningkatan Mutu Produk Hal yang menjadi sebab keberhasilan pengembangan usaha adalah mutu produk. Apabila produk yang dihasilkan mempunyai daya saing (competitiveness) yang baik, ditunjang dengan aspek pemasaran yang baik pula, maka produk tersebut akan diterima oleh pasar sehingga dapat menunjang keberhasilan usaha. Jenis life skills yang dikembangkan sebagian telah berjalan dengan baik, tetapi tetap memerlukan usaha-usaha peningkatan mutu produk. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan ini adalah:
157
a. Jenis life skills yang masih berjalan perlu diberikan dorongan untuk tetap mempertahankan mutu produknya, sedangkan yang tidak berjalan bila memungkinkan “dihidupkan” kembali dengan strategi yang baru; b. Dorongan tersebut misalnya: penambahan modal yang diperoleh melalui pengajuan proposal kepada Dinas P dan K Propinsi maupun Dinas P dan K Kabupaten; penambahan peralatan; pengemasan produk lebih baik; serta perizinan usaha; c. menjalin kualitas hubungan antara PKBM, warga belajar, dan dinas teknis sehingga permasalahan terkait dengan mutu produk dapat dipecahkan bersama; d. Masing-masing koordinator bertambah motivasi dan semangatnya dalam menjalankan program. Kondisi saat ini, kondisi yang diinginkan, serta target untuk masingmasing jenis life skills disajikan dalam bentuk tabel 22. Kemudian, operasionalisasi rancangan program ini dirumuskan sesuai dengan tabel 23. Kedua tabel tersebut dapat disajikan berikut ini:
158
Tabel 22. Program Peningkatan Mutu Produk No.
Jenis Life Skills
1
2
Kondisi saat ini 3
Kondisi yang diinginkan
Target
4
5
Seni ukir/meubel
• Tidak berlanjut • Kendala: - bahan baku mahal - harga barang jadi tetap - industri meubel lesu - motivasi berkurang • alat tersimpan
- Pembuatan proposal pengajuan dana - Untuk saat ini, kondisi permeubelan kepada Dinas P dan K Propinsi, dengan sedang mengalami kemunduran. menampilkan pengembangan program Menghidupkan kembali life skills meubel bekerja sama dengan LSM diperlukan modal yang relatif besar agar FEDEP(Forum Economic Development tetap eksis dan berjalan lancar. Kondisi sekarang tidak memungkinkan and Employment Promotion) melanjutkan program, apabila - kerja sama dengan Penilik PLS dan TLD mengandalkan modal sendiri. dalam pembuatan proposal - Tetapi bila diberikan dana stimulan, maka - FEDEP diharapkan dapat memberikan pelatihan yang baik mengenai program dapat dikembangkan dengan penciptaan produk meubel yang melibatkan LSM FEDEP yang memfokusbermutu, ditambah kiat-kiat pemasaran kan diri dalam pengembangan meubel/ dan pengelolaan modal yang baik seni ukir, dengan melakukan pelatihan.
2
Bobok
• Tidak berlanjut • Kendala: - pemasaran kurang baik krn kebanyakan pengusaha meubel sudah memiliki alat sendiri - kurang menjalin jaringan - industri meubel lesu - motivasi kurang - peserta ada yang memilih merantau ke Jakarta • alat tersimpan
- lesunya industri meubel turut menghambat pengembangan usaha. - perlu peningkatan mutu produk bukan hanya menyediakan jasa bobok tetapi juga bubut yang relatif lebih banyak dibutuhkan konsumen. - perlu pembelian alat bubut - perlu kerja sama dengan pengusaha meubel untuk pemasaran produk
- pengadaan alat bubut - perekrutan warga belajar yang mempunyai etos kerja tinggi dan mau belajar - kerja sama dengan pengusaha meubel di lingkungan Desa Sukosono
3
Jahit-menjahit dan bordir
• dimanfaatkan sebagai pembelajaran keterampilan bagi santri putri • pembelajaran antar santri karena tutor punya kesibukan sendiri • memenuhi kebutuhan intern pesantren • mesin bordir yang ada saat ini jarang digunakan karena dibutuhkan ketelatenan
- kegiatan belajar jahit-menjahit dan bordir lebih diintensifkan - perlu pengaturan jadwal agar tidak berbenturan dengan kegiatan mengaji - semua santri diberi kesempatan yang sama
- ada jadwal khusus pembelajaran jahitmenjahit dan bordir - mendatangkan tutor (Nur Imanah) pada hari tertentu sehingga lebih maksimal
158
1
159
1
2
3
4
5
• Berlanjut, prospek bagus • Kendala: - belum punya izin usaha - mengandalkan pembuatan bumbu pada 1 orang - memakai peralatan tradisional - tergantung pd sinar matahari
-
ada tambahan modal mempunyai izin usaha dibuat kemasan yang lebih baik pemasaran lebih luas penambahan personil
- pengajuan proposal penambahan modal usaha - mengusahakan izin usaha ke dinas teknis terkait - pengemasan yang lebih baik - perekrutan personil
Pembuatan roti bolu
• Berlanjut sebagai usaha perorangan • Prospek bagus • kendala modal
-
ada tambahan modal pembentukan kelompok usaha baru mempertahankan mutu produksi pemasaran lebih luas
- pengajuan proposal penambahan modal usaha - pembentukan kelompok usaha baru - penambahan peralatan
Usaha sablon
• • • •
- ada tambahan modal - peserta benar-benar ingin belajar, mempunyai motivasi yang tinggi - penambahan peralatan - peningkatan kualitas produk kepada kelas menengah ke atas
- pengajuan proposal penambahan modal usaha - sasaran: remaja dan santri, tetapi pelaksanaan pelatihan di luar lingkungan santri sehingga tidak mengganggu mengaji
4
Pembuatan rengginan
5
6
Berlanjut, prospek bagus hanya dikembangkan 1 orang pangsa pasar menengah ke bawah Kendala: - kendala modal - ketekunan dan keuletan tinggi
159
160
Tabel 23 Operasionalisasi Program Peningkatan Mutu Produk
Masalah 1
Kegiatan
Pelaksana
2
3
Penanggung Jawab 4
Pendukung 5
Waktu 6
Bahan 7
Ket 8
Seni ukir/meubel • Tidak berlanjut • Kendala - intern * bahan baku mahal (kurang modal) * motivasi berkurang - ekstern * ongkos produksi mahal, harga barang jadi tetap * industri meubel lesu
Pengurus PKBM Kegiatan yang bisa dilakukan adl untuk penanganan masalah intern: Pembuatan proposal pengajuan dana ke Depdiknas
Ketua PKBM
Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K Jepara, LSM FEDEP
Pada bulan Maret
Komputer, ATK, buku pedoman penyusunan proposal
* LSM FEDEP diharapkan dapat memberikan pelatihan permeubelan dan strategi yang baik dalam proses produksi dan pemasaran. * Penambahan modal dapat menambah motivasi
Bobok • Tidak berlanjut • Kendala: - pemasaran kurang baik krn kebanyakan pengusaha meubel sudah memiliki alat sendiri - kurang menjalin jaringan - industri meubel lesu - motivasi kurang
• Penambahan Koordinator kegiatan keterampilan bubut untuk melengkapi kegiatan bobok (satu paket antara bobok dan bubut) • pembelian alat bubut • kerjasama dengan pengusaha meubel
Ketua PKBM
Penilik PLS, TLD, pengusaha meubel
Pada bulan Maret
Mesin dan peralatan bubut, bahan kayu
* Harga alat bubut + Rp 1.000.000,* Perlu kerja sama dengan pengusaha meubel untuk penyediaan alat bubut dan pemasaran * Pengadaan alat bubut dapat menambah motivasi
160
161
1
2
3
4
5
6
7
8
Ketua PKBM
Kyai pesantren
Pada bulan Maret
ATK
Ketua PKBM
Penilik PLS, TLD, kantor Pelayanan Satu Atap
Pada bulan Maret
Komputer, ATK, peralatan pengemasan
Dengan pengemasan yang lebih baik, maka produk akan lebih menarik konsumen
• Pembentukan Koordinator, kelompok baru pengurus PKBM • Pembuatan proposal pengajuan dana
Ketua PKBM
Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K Jepara
Pada bulan Maret
Komputer, ATK, buku pedoman penyusunan proposal
Pembentukan kelompok dengan disertai penambahan modal akan menambah motivasi
Sablon Koordinator, • Pembuatan • hanya dikembangkan 1 proposal peng- pengurus PKBM, kyai pesantren orang ajuan dana • warga belajar (santri • Peningkatan dan remaja Sukosono) kualitas kurang telaten produk kepada kelas • pangsa pasar menengah ke menengah ke bawah bawah • Kendala: • perumusan - kendala modal jadwal - ketekunan dan pelatihan keuletan tinggi
Ketua PKBM
Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K Jepara
Pada bulan Maret
Komputer, ATK, buku pedoman penyusunan proposal
Kerja sama dengan pesantren untuk perumusan jadwal pelatihan perlu dilakukan
Jahit dan bordir • tutor punya kesibukan sendiri • mesin bordir yang ada jarang digunakan
Perumusan Tutor, Nyai jadwal pelatihan pesantren, santri yang tetap, sehingga tutor dapat aktif
Rengginan • belum punya izin usaha • mengandalkan pembuatan bumbu pada 1 orang • memakai peralatan tradisional • tergantung pd sinar matahari
• Pengurusan izin usaha • Pengemasan yang lebih baik • meningkatkan kemampuan membuat bumbu
Roti bolu • Berlanjut sebagai usaha perorangan • kendala modal
Koordinator, warga belajar
* Jadwal yang tetap memungkinkan para santri dapat berlatih lebih intensif * Alat bordir dapat dimanfaatkan optimal
161
162
2. Program Pengembangan Usaha Jejaring (networking) sangat besar peranannya dalam keberlanjutan program. Beberapa jenis usaha yang dilaksanakan sebagai output dari life skills terhenti di tengah jalan karena jejaring yang terbatas. Demikian pula yang telah berjalan, akan lebih berkembang apabila terdapat jejaring yang luas baik dari sisi input, proses, maupun outputnya. Seni ukir/meubel dan bobok yang merupakan jenis usaha yang bergerak dalam permeubelan, dipengaruhi oleh pasang-surutnya industri tersebut. Tetapi, tidak semua pengusaha secara drastis mengalami kemunduran, asal tetap mempertahankan jejaring yang baik. Dari sisi input, modal tetap menjadi perihal yang penting. Karena itu, perlu dikembangkan usaha pencairan modal misalnya memanfaatkan kredit usaha kecil yang ditawarkan lembaga keuangan semacam bank, atau melalui program Kursus Wirausaha Orientasi Pedesaan (KWD) yang baru ditetapkan pemerintah pada tahun 2008. Jejaring dengan pengusaha meubel untuk mencari order sebagai solusi pemasaran, serta perekrutan peserta baru yang lebih mempunyai motivasi perlu dilaksanakan. Pembuatan makanan ringan berupa pembuatan roti bolu dan rengginan selama ini telah berjalan baik. Hanya aspek pemasaran yang terbatas perlu mendapatkan perhatian untuk ditingkatkan. Permasalahan belum adanya izin usaha, perlunya penambahan modal, dan pengemasan produk yang belum maksimal; bisa dipecahkan bersama antara PKBM, koordinator usaha, dan dinas teknis terkait. Keterampilan menjahit dan bordir yang selama ini dilaksanakan dalam lingkungan pesantren, agar tetap dipertahankan dengan menekankan pada penyediaan
waktu
belajar
khusus
di
luar
kegiatan
mengaji.
Perlu
dipertimbangkan mengembangkan usaha jahit dan bordir ini bukan hanya dalam lingkungan pesantren, dengan sasaran program warga Sukosono agar dapat lebih banyak menjangkau masyarakat. Program KWD yang baru ditetapkan pemerintah, perlu mendapatkan respon positif dari PKBM. Berkenaan dengan usaha sablon, selama ini perkembangannya terbatas. Beberapa penyebabnya adalah keterbatasan dana, kualitas produk hanya menjangkau “menengah ke bawah”, keterbatasan peralatan, dan keterbatasan personil. Untuk itu, selain mengembangkan mutu produk agar
163
meningkat ke pangsa pasar “menengah ke atas”, perlu pengembangan jejaring dengan pengusaha percetakan (sablon kertas) yang sudah mapan untuk memperluas pemasaran. Rancangan program pengembangan usaha tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut: Tabel 24. Jenis Life Skills, Kondisi, dan Rancangan Program Pengembangan Usaha No.
Jenis Life Skills
Kondisi
Rancangan Program
1.
Seni ukir/meubel
2.
Bobok
• Tidak berlanjut • Kendala: - pemasaran kurang baik krn kebanyakan pengusaha meubel sudah memiliki alat sendiri - kurang menjalin jaringan - industri meubel lesu - motivasi kurang - peserta ada yang memilih merantau ke Jakarta
3.
Jahitmenjahit dan bordir
• dimanfaatkan sebagai pembelajaran keterampilan bagi santri putri • hanya memenuhi kebutuhan intern pesantren
- Kegiatan: sosialisasi program kepada masyarakat, pembentukan kelompok usaha - pelaksana: koordinator, pengurus PKBM, warga belajar - penanggung jawab: Ketua PKBM - pendukung: Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K - waktu: Maret - bahan: peralatan jahit dan bordir - Keterangan: • Pengembangan usaha jahit dan bordir ini bukan hanya dalam lingkungan pesantren, • sasaran program masyarakat sekitar agar lebih menjangkau masyarakat.
4.
Pembuatan rengginan
• Berlanjut, prospek bagus • Kendala: - belum punya izin usaha - mengandalkan pembuatan bumbu pada 1 orang - memakai peralatan tradisional - tergantung pd sinar matahari
- Kegiatan: • pemasaran diperluas • mengurus izin usaha • perlunya penambahan modal, • pengemasan produk lebih baik - pelaksana: koordinator, pengurus
• Tidak berlanjut • Kendala: - bahan baku mahal - harga barang jadi tetap - industri meubel lesu - motivasi berkurang
- kegiatan: • pengajuan kredit usaha kecil yang ditawarkan lembaga keuangan semacam bank, atau Kursus Wirausaha Orientasi Pedesaan (KWD) yang baru ditetapkan pemerintah. • Jejaring dengan pengusaha meubel untuk mencari order sebagai solusi pemasaran, • serta perekrutan peserta baru yang lebih mempunyai motivasi perlu dilaksanakan - pelaksana: koordinator, pengurus PKBM, warga belajar - penanggung jawab: Ketua PKBM - pendukung: pengusaha meubel, Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K - waktu: Maret - bahan: komputer, ATK, pedoman
164
5.
Pembuatan roti bolu
6.
Usaha sablon
• Berlanjut sebagai usaha perorangan • Prospek bagus • kendala modal
PKBM, warga belajar - penanggung jawab: Ketua PKBM - pendukung: Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K, kantor Yantap, pedagang - waktu: Maret - keterangan: koordinasi antara PKBM, koordinator usaha,& dinas teknis terkait harus dilakukan
• Berlanjut, prospek bagus • hanya dikembangkan 1 orang • pangsa pasar menengah ke bawah • Kendala: - kendala modal - ketekunan dan keuletan tinggi
- Kegiatan: • penambahan modal • peningkatan kualitas produk ke “menengah ke atas” • penambahan peralatan, • perekrutan personil • pengembangan jejaring dengan pengusaha percetakan (sablon kertas) yang sudah mapan untuk memperluas pemasaran. - pelaksana: koordinator, pengurus PKBM, warga belajar - penanggung jawab: Ketua PKBM - pendukung: Penilik PLS, TLD, Dinas P dan K, pengusaha percetakan - waktu: Maret - keterangan: koordinasi antara PKBM, koordinator usaha, dan dinas teknis terkait harus dilakukan
3. Program Pembentukan Usaha Baru Masih rendahnya tingkat perekonomian masyarakat Sukosono serta masih banyaknya pengangguran, membuka peluang bagi PKBM untuk lebih meningkatkan program life skills. Peluang ini bersambut dengan program KWD yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, yang diarahkan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap warga masyarakat desa sebagai bekal untuk dapat bekerja dan/atau usaha mandiri sesuai dengan potensi/sumber daya lokal (local genius dan lokal resourses) di daerahnya (Depdiknas 2008). Apabila pengajuan proposal kegiatan KWD dapat lolos seleksi, dana yang diperoleh dapat menjadi modal untuk pengembangan usaha yang selama ini telah berjalan, melalui pengelolaan “subsidi silang” sebagaimana sering dilaksanakan oleh PKBM Al-Wathoniyah. Jenis usaha baru yang perlu dipertimbangkan adalah penyediaan APE (Alat Peraga Edukatif) dan bordir. APE diperlukan untuk alat-alat
165
permainan yang menunjang proses pembelajaran, terutama bagi anak-anak usia dini. Sasaran pemasaran APE adalah Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau play group, dan Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) yang banyak tersebar di wilayah Kecamatan Kedung. Selama ini, penyediaan APE belum menjadi fokus para pengusaha dan pengrajin meubel di Jepara, masih dibeli dari luar kota (Solo dan Jogja), sehingga memunculkan pasar yang potensial. Potensi yang besar ini dapat dimanfaatkan oleh PKBM, apabila proposal yang diajukan dapat disetujui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. Karena itu, pembuatan proposal yang baik perlu disiapkan oleh PKBM dengan didampingi oleh dinas teknis terkait. Jenis keterampilan life skills bordir, selama ini hanya diberikan kepada santri dan tidak diarahkan untuk usaha. Menurut RT, pihaknya telah berupaya untuk bekerja sama dengan UmH, warga Sukosono yang menguasai jenis keterampilan bordir dan bersedia menjalankan program. Perekrutan nara sumber teknik yang telah menguasai dengan baik jenis keterampilan tertentu, diharapkan
dapat
menjadikan
program
berjalan
dengan
baik
dan
berkelanjutan, memberikan manfaat yang dapat dirasakan oleh warga masyarakat. Tabel 25. Program Pembentukan Usaha Baru No.
MASALAH
PELUANG/POTENSI
1.
- Masih banyak warga yang belum mengikuti program - masih banyak pengangguran di Sukosono
- anggaran pemerintah (misal: program KWD yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Dirjen PNFI Depdiknas) - Keterampilan yang telah dimiliki - bahan baku (limbah kayu) tersedia - potensi pemasaran • APE: Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau play group, dan Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) yang banyak tersebar di wilayah Kecamatan Kedung. • belum banyak usaha penyediaan APE di Jepara • bordir: masyarakat, pasar
RANCANGAN PROGRAM - Kegiatan: • pembentukan usaha APE (Alat Peraga Edukatif) • Pembentukan usaha bordir - pelaksana: koordinator usaha, pengurus PKBM, WB - penanggung jawab: Ketua PKBM - pendukung: Penilik PLS, TLD, Dinas P & K, kantor Yantap - waktu: Maret - keterangan: koordinasi antara PKBM, koordinator usaha, dan dinas teknis terkait harus dilakukan
166
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Sebagian besar masyarakat Desa Sukosono berada pada tingkat prasejahtera dan sejahtera I dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan, menjadi salah satu penyebab tingkat perekonomian masyarakat menjadi statis cenderung menurun. Hal ini karena
sebagian
besar
masyarakat
Sukosono
bergerak
dalam
sektor
permeubelan yang turut terkena imbas krisis ekonomi di Indonesia, sehingga menambah jumlah warga yang menganggur dan tetap dalam kondisi miskin. PKBM Al-Wathoniyah merupakan kelembagaan lokal yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat Sukosono dan sekitarnya, berperan dalam bidang garapan pendidikan luar sekolah. Pendirian PKBM sesuai dengan konsep pendidikan berwawasan kemasyarakatan dan merupakan community based karena dibentuk dengan konsep DOUM tersebut. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah program kecakapan hidup (life skills) untuk memberikan alternatif jenis keterampilan yang dapat dikembangkan oleh warga belajarnya dalam memperoleh penghasilan, di mana penyelenggaraan antara lain bekerja sama
dengan
pesantren
Mamba’ul
Qur’an.
Jenis
keterampilan
yang
dikembangkan adalah seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon. Secara umum, penyelenggaraan pendidikan luar sekolah termasuk life skills yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah cukup efektif, karena sebagian besar programnya dirasakan manfaatnya bagi manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah dalam perluasan jaringan maupun peningkatan ekonomi. Efektifitas PKBM ini ditunjang dengan proses pembentukan yang melibatkan partisipasi warga, pemenuhan syarat minimal pembentukan, pengembangan bidang-bidang kegiatan yang dikelola, serta keberhasilan program yang dijalankan. Untuk program life skills, selain beberapa program dapat berjalan dan berlanjut sampai dengan sekarang, beberapa berhenti di tengah jalan karena beberapa sebab. Penyelenggaraan life skills tidak terlepas dari faktor pendukung dan faktor penghambat. Beberapa faktor pendukung tersebut yaitu: (a) terdapatnya
167
peraturan perundangan yang mengatur tentang program ini, (b) terdapatnya anggaran dan pendampingan oleh dinas teknis terkait, (c) telah terbentuknya PKBM Al-Wathoniyah
sebagai
penyelenggara
program,
(d)
keberadaan
pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Sukosono
serta
dapat
bekerjasama
dengan
PKBM
untuk
menyelenggarakan program, dan (e) adanya sasaran program yaitu para santri dan masyarakat sekitar pesantren. Beberapa
faktor
penghambat
yang
dihadapi,
antara
lain:
(1)
belum
tersosialisasinya program dengan baik, (2) kendala persyaratan yang memberatkan PKBM, (3) jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan warga belajar, (4) kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan sehingga mempengaruhi motivasi, (5) anggaran pemerintah yang “terbatas”, serta (6) rendahnya honor dan kualitas tutor. Melalui Focus Group Discussion (FGD), dibentuk beberapa rencana program aksi demi perbaikan program life skills untuk lebih memberdayakan masyarakat sekitar pesantren. Program
aksi tersebut adalah:
program
peningkatan mutu produk yang dilakukan untuk tetap mempertahankan jenis life skills
yang
bermanfaat
dan
berlanjut
sampai
dengan
sekarang
serta
“menghidupkan” jenis keterampilan yang berhenti di tengah jalan; program pengembangan usaha dengan pengembangan jejaring dan peningkatan kerja sama antar stakeholder; dan program pembentukan usaha baru untuk menjangkau lebih banyak masyarakat yang memerlukan life skills, antara lain penyediaan APE (Alat Peraga Edukatif) dan usaha bordir. Rekomendasi Rekomendasi berdasarkan kajian ini disampaikan kepada pemerintah, penyelenggara program, dan warga belajar, sebagai berikut: 1. Pemerintah Depdiknas hendaknya merumuskan konsep kebijakan program life skills secara utuh, tidak hanya menitikberatkan pada vocational skills semata. Program life skills dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah maupun PLS untuk mengubah pola pikir dan perilaku para remaja/pemuda dalam mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Perubahan ini akan dapat mengatasi persoalan remaja saat ini: pencegahan penyalahgunaan narkoba,
168
pelecehan seksual, kehamilan di luar nikah, pencegahan HIV/AIDS, dan pencegahan bunuh diri, pemahaman bahaya merokok, dan sebagainya. Secara operasional, pemerintah yang berkompeten terhadap program life skills - atau lebih tepat living skills education - ini adalah Dinas P dan K Kabupaten Jepara dan Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kedung; agar benar-benar melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendamping, pembuat kebijakan operasional kegiatan, pemberi stimulan dana, sekaligus sebagai pengawas yang memonitor penyelenggaraan program life skills, agar dapat berjalan dengan lebih efektif dan dirasakan manfaatnya. Pemerintah hendaknya membuat regulasi yang memihak kepada efektifitas program life skills, misalnya birokrasi pengajuan dan pencairan dana, menyetujui proposal yang potensial untuk dikembangkan, serta pemberian petunjuk teknis agar tidak terlambat. 2. Penyelenggara program Penyelenggara program meliputi pengurus PKBM Al-Wathoniyah, para tutur atau nara sumber teknik, dan pesantren Mamba’ul Qur’an, agar merealisasikan rencana program aksi yang dirumuskan dalam FGD. Pengurus
PKBM
harus
mengupayakan
penambahan
modal
melalui
pengajuan proposal kepada pemberi dana stimulan, senantiasa melakukan pengawasan dan pendampingan terhadap program life skills, menjalin kolaborasi dengan pesantren, pemerintah, dan stakeholder lainnya, serta melakukan koordinasi intern organisasi agar program-program PLS yang dikembangkan PKBM dapat efektif. Nara sumber teknik agar meningkatkan kedisiplinan dalam proses belajar-mengajar serta meningkatkan kemampuan penguasaan materi yang dimilikinya, antara lain dengan membaca buku-buku dan belajar kepada yang lebih menguasai. Pesantren
Mamba’ul
Qur’an
agar
tetap
memberi
dukungan
penyelenggaraan program, yaitu dengan turut mensosialisasikan program, memberi tempat dan waktu belajar-mengajar untuk beberapa jenis life skills, serta mendorong para santri untuk mengikuti program dengan baik. 3. Warga belajar Warga belajar agar tetap mempertahankan motivasi dalam belajar dan berlatih, mengurangi kecenderungan untuk ingin serba “instant” dalam
169
memperoleh penghasilan, serta berupaya menghilangkan ketergantungan modal kepada pemerintah, antara lain dengan benar-benar mengembangkan stimulan modal yang diterima untuk menjalankan usaha. Tanpa motivasi yang kuat, maka warga belajar akan kesulitan menjalankan kegiatan dan tidak menjamin sustainability program tersebut.
170
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis), edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Anonim. 20031. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Semarang: CV. Duta Nusindo. _______. 20032. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah. Semarang: CV. Duta Nusindo. _______. 20053. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Bandung: Fokusmedia. _______. 20074. Dokumen PLS Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. _______. 20085. Life Skills. Didownload dari http://www.lifeskills4kid.com tanggal 10 Pebruari 2008 pukul 17.19 WIB. _______. 20086. Modul 7: Life Skills. Didownload dari http://www.google.com/ lifeskills tanggal 10 Pebruari 2008 pukul 17.25 WIB. _______. 20087. Life Skills. Didownload dari http://www.google.com/lifeskills tanggal 10 Pebruari 2008 pukul 17.37 WIB. _______. 20088. Life Skills di Pesantren: Relevansi dan Kontekstualisasi. Didownload dari http://www.unicef.org/lifeskills tanggal 10 Pebruari 2008 pukul 17.05 WIB. [BPS] Badan Pusat Statistik. 20051. Analisis Biaya dan Manfaat Investasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: BPS. _______. 20062. Kegiatan Percepatan Penyediaan Data Statistik dalam rangka Kebijakan Dana Perimbangan Tahun 2007. Jakarta: BPS. [Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara. 2004. Profil Daerah Kabupaten Jepara. Chambers, Robert. 1996. Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius dan OXFAM.
171
Cook, Sarah & Steve Macaulay. 1996. Perfect Empowerment (Pemberdayaan yang Tepat). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Darmodihardjo, Darji. 1978. Pokok-Pokok Gagasan tentang Pendidikan di Indonesia (Berdasarkan Falsafah Pancasila). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. [Depdagri]
Departemen
Dalam
Negeri.
1997.
Petunjuk
Pelaksanaan
Pengembangan dan Pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam Perencanaan Pembangunan Daerah. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Pendidikan Non Formal. Jakarta: Direktorat Jenderal PLS dan Pemuda Depdiknas. _______. 20052. Pedoman Pelaksanaan Tugas Tenaga Lapangan (TLD). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal PLS dan Pemuda. _______. 20083. Pedoman Program Kursus Wirausaha Pedesaan (KWD). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal. Desa Sukosono. 2007. Profil Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Hanafi, Dian Noor Tamzis. 20081. Peta Sosial Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Laporan Hasil PL-1. _______. 20082. Pemberantasan Buta Aksara Melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (Studi Kasus di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara). Tugas Mata Kuliah Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. _______. 20083. Analisis dan Strategi Pengembangan Kelembagaan PKBM dalam Pemberantasan Buta Aksara di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Tugas Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Pembangunan. _______. 20084. Evaluasi Kegiatan Pengembangan Masyarakat di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Laporan Hasil PL-2. Hatimah, Ihat, et al. 2008. Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka.
172
Hartrisari. 2007. Bahan Ajar Mata Kuliah Analisis Sosial: Konsep Berpikir Sistem dan Permodelan. Bogor: Departemen KPM Institut Pertanian Bogor (IPB). Huraerah, Abu. 2008. Pengorganisasian & Pengembangan Masyarakat: Model & Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Humaniora. Ife, Jim. 1995. Community Development (Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice). Melbourne Australia: Longman Australia Pty Ltd. Joesoef, Soelaiman. 2004. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Cetakan Ketiga). Jakarta: Bumi Aksara. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembelajaran yang Berakar pada Masyarakat. Jakarta: Bappenas. Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. 2007. Kecamatan Kedung Dalam Angka Tahun 2006. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kolopaking, Lala M dan Fredian Tonny Nasdian. 2007. Tajuk Modul KPM-53C: Pengembangan
Masyarakat
dan
Kelembagaan
Pembangunan.
Bogor:
Departemen KPM IPB. McKinley, Steve. 2008. Positive Youth Development & Life Skill Development. Didownload dari http://www.google.com/lifeskills tanggal 10 Pebruari 2008 pukul 17.45 WIB. Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan terjemahan dari edisi Methods for Development Work and Research: A Guide for Practitioners. Jakarta: Yayasan OBOR Indonesia. Mujahidin, Endin. 2005. Pesantren Kilat Alternatif Pendidikan Agama di Luar Sekolah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Nasdian, Fredian Tonny. 2008. Posisi Kecamatan: Suatu Analisis dari Perspektif Kelembagaan. Bogor: Kerjasama IPB dengan USAID. Noorsy, Ichsanuddin. 2008. Kebenaran yang Tidak Menyenangkan. Opini dimuat dalam Media Indonesia tanggal 30 Oktober 2008. Jakarta: Media Indonesia. Nurohman. 2008. Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) dalam Pembelajaran IPA sebagai Upaya Peningkatan Life Skills Peserta Didik.
173
Didownload dari http://www.google.com/lifeskills tanggal 10 Pebruari 2008 pukul 17.10 WIB. [PKBM] Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Al-Wathoniyah. 20031. Mengenal PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) “Al-Wathoniyah”. Jepara: PKBM Al-Wathoniyah. _______. 20082. Laporan Perkembangan PKBM “Al-Wathoniyah”. Jepara: PKBM Al-Wathoniyah. Riani, Neni. 2005. Pemberdayaan Komunitas Pesantren Melalui Penyelenggaraan Pendidikan Alternatif. Bogor: Kajian Pengembangan Masyarakat. Saharuddin. 2002. Bahan Kuliah: Operasionalisasi Metode Tri-Angulasi dalam Pendekatan
Partisipatif
(pernah
disampaikan
dalam
Pelatihan
TOT
Peningkatan Kualitas SDM Aparat dan Propinsi di Bidang Pemberdayaan Masyarakat). Bogor: IPB. Sidik, H. Muhammad Ansorudin. 2000. Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren. Jakarta: Amzah. Sitorus, Felix M.T. dan
Ivanovich Agusta. 2007. Tajuk Modul SEP-527:
Metodologi Kajian Komunitas. Bogor: Departemen KPM FEMA IPB. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru Keempat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soelaiman, Holil. 19851. Partisipasi Masyarakat. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. _______. 20072. Bahan Perkuliahan PPS Kerjasama IPB - STKS: Filsafat dan Etika Pekerjaan Sosial. Bogor: Departemen KPM FEMA IPB. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Suharto. Edi, 20061. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. _______. 20062. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Edisi Revisi). Bandung: CV Alfabeta. _______. 20073. Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik. Bandung: CV Alfabeta.
174
_______. 20084. Kebijakan Publik Pro-“Poor”. Artikel dalam Harian Umum Pikiran Rakyat tanggal 10 Maret 2008. Bandung: Pikiran Rakyat. Sumardjo dan Saharuddin. 2007. Tajuk Modul KPM-53H: Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen KPM FEMA IPB. Syaukat, Yusman dan Sutara Hendrakusumaatmaja. 2007. Tajuk Modul KPM505: Pengembangan Ekonomi Berbasis Lokal. Bogor: Departemen KPM FEMA IPB. Thaba, Abdul Azis. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press. Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta. Usman, Sunyoto. 2006. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar. Wahyudin, Dinn, et al. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka. Winatapura, Udin S., et al. 2007. Materi dan Pembelajaran PKn SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Yandianto. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Percetakan M2S. Yin, Robert K. 2006. Studi Kasus (Desain dan Metode), Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Yuliantoro, Gito. 2008. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kelompok Belajar Usaha (KBU) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM): Studi Kasus di PKBM “Mitra Mandiri” Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Bogor: Kajian Pengembangan Masyarakat.
175
176
Lampiran Peta Kecamatan Kedung Desa Sukosono
skala 1 : 25.000
Lampiran Peta Desa Sukosono
177
178
PEDOMAN PENELUSURAN DOKUMEN Sumber: Dokumen Desa Sukosono Kecamatan Kedung Tahun 2007
I. WILAYAH 1. Luas wilayah 2. Letak wilayah dan batas desa 3. Peruntukan pemanfaatan wilayah 4. jarak (fisik dan sosial) dari pusat pertumbuhan (ibukota kecamatan, ibukota kabupaten, atau pertumbuhan penting lainnya) 5. Fasilitas fisik a. Jalan b. Sarana transportasi c. Sarana telekomunikasi d. Sarana kesehatan e. Sarana ekonomi (pasar, warung, bank, dll) f.
Jumlah jangkauan pelayanan
II. KEPENDUDUKAN 1. Jumlah penduduk Desa Sukosono 2. Jumlah Kepala Keluarga 3. Jumlah penduduk menurut: a. jenis kelamin b. golongan usia c. Rukun Tetangga d. Rukun warga 4. mobilitas penduduk: a. jumlah kelahiran b. jumlah kematian c. jumlah penduduk datang d. jumlah penduduk keluar 5. tekanan penduduk terhadap sumber daya 6. kepadatan agraris
A
179
III. PENDIDIKAN 1. Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan 2. jumlah penduduk usia sekolah yang sekolah 3. jumlah penduduk usia sekolah yang tidak sekolah/putus sekolah 4. fasilitas komunitas untuk pendidikan (sekolah, lembaga pesantren, lembaga kursus)
IV. PEKERJAAN 1. Jumlah penduduk menurut pekerjaan 2. mata pencaharian pokok penduduk lokal V. KELEMBAGAAN 1. lembaga kemasyarakatan penting yang ada (ekonomi, kekerabatan, keagamaan, pendidikan, dsb) 2. bentuk kelembagaan yang sudah mengarah pada organisasi (berukuran besar dan memiliki derajat formalitas tertentu)
180
PEDOMAN O B S E R V A S I
B
Sumber data (objek pengamatan): 1. 2. 3. 4. 5.
Lingkungan fisik wilayah Desa Sukosono Lingkungan PKBM/lembaga pendidikan kegiatan komunitas setempat kondisi rumah kepemilikan barang berharga
I.
WILAYAH 1. Pemanfaatan lahan 2. Topografi 3. Kepadatan 4. Pertanda fisik yang penting di desa (komunitas) 5. prasarana dan sarana transportasi 6. aksesibilitas lokasi (dapat dicapai dengan apa dan berapa jauh) 7. jarak (fisik dan sosial) dari pusat pertumbuhan (ibukota kecamatan, ibukota kabupaten, atau pertumbuhan penting lainnya) 8. kebersihan lingkungan 9. rumah (fasilitas: penerangan, MCK, kebersihan)
II. STRUKTUR KOMUNITAS 1. pelapisan sosial dan kepemimpinan pada komunitas 2. unsur utama pelapisan sosial (luas tanah, pekerjaan, pendidikan, atau lainnya) 3. siapa yang menjadi pemimpin formal dan non formal 4. sumber kepemimpinannya 5. bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap kepemimpinan 6. secara khusus, uraikan proses sosialisasi dalam komunitas (pola pengasuhan sistem kekerabatan) 7. bagaimana hubungan dan prasangka antar kelompok masyarakat 8. apakah ada assosiatif (assimilasi, akulturasi, dan kerjasama) dan proses dissosiatif (persaingan, kontroversi, atau konflik) 9. bentuk-bentuk diskriminasi terbuka dan tertutup
181
III. SISTEM MATA PENCAHARIAN 1. mata pencaharian pokok penduduk lokal 2. eksistensi unit-unit usaha ekonomi (warung, koperasi, pasar, meubel) 3. bagaimana sistem tataniaga input dan output hasil pertanian dan non pertanian 4. kaitan mata pencaharian dengan sumber daya lokal 5. gerak penduduk 6. sistem penguasaan sumber daya agraria 7. pola hubungan manusia dengan sumber daya 8. lembaga-lembaga (norma, organisasi, dsb) yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam IV. ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN 1. jejaring sosial secara horizontal dan vertikal 2. lembaga kemasyarakatan penting yang ada (ekonomi, kekerabatan, keagamaan, pendidikan, dsb) 3. uraikan norma yang berlaku di lembaga tersebut 4. bagaimana lembaga menjalankan fungsi kontrol sosial mempertahankan norma 5. bagaimana lembaga ini berkaitan dengan lembaga lain di luar komunitas dan proses perubahan kelembagaan V. KOMUNITAS 1. menguraikan hubungan manusia dengan ekosistemnya 2. identifikasi berbagai masalah sosial yang ada 3. pandangan masyarakat terhadap masalah tersebut 4. deskripsi masalah (karakteristik, frekuensi, intensitas, dan durasi masalah) 5. masalah sosial utama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat 6. identifikasi ketersediaan sumber daya yang ada pada masyarakat untuk mengatasi masalah sosial tersebut 7. pihak mana yang berperan dalam pengelolaan dan pengendalian sumber daya tersebut 8. deskripsi akses komunitas terhadap sumber daya tersebut 9. fenomena apa yang penting, beri makna 10. fasilitas komunitas untuk pendidikan (sekolah, lembaga pendidikan, dsb) 11. antusiasme masyarakat terhadap pendidikan
182
PEDOMAN OBSERVASI EVALUASI PROGRAM/KEGIATAN PENGEMBANG AN MASYARAKAT DI DESA SUKOSONO
MODEL A
1. Melihat
C
: Observasi ditujukan pada aktivitas peserta program/ kegiatan dan sarana dan prasarana yang digunakan dan hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan program kondisi
program
pengembangan
masyarakat/pemberdayaan
masyarakat yang ada 2. Inventarisir jenis-jenis program atau kegiatan yang pernah dilaksanakan. Melihat permasalahan sosial yang dominan. 3. Upaya dan apa yang telah dilakukan masyarakat dalam mengatasi masalah yang dihadapi 4. Potensi-potensi sosial lokal yang dimiliki masyarakat untuk pengembangan masyarakat 5. Menginventarisasi dan mengamati jenis-jenis katagori dan karakteristik lembaga dan organisasi lokal yang ada dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma atau aturan yang berlaku dalam kelembagaan 6. Melihat lingkungan sekitar di mana peserta program/kegiatan melakukan aktivitas 7. Melihat tempat di mana calon peserta program/kegiatan menerima penyuluhan sosial dan motivasi sosial serfta sarana dan prasarana yang digunakan 8. Melihat dan mengamati secara langsung kemampuan dan keterampilan petugas pendamping dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsi selama berintegrasi dengan peserta program atau kegiatan dalam setiap kesempatan 9. Melihat dan mengamati secara langsung perilaku peserta program/kegiatan dalam melaksanakan usaha (bersemangat, tekun, dan cekatan) 10. Melihat
dan
mengamati
secara
langsung
bagaimana
peserta
program/kegiatan bekerja dengan menggunakan keterampilan yang dimiliki 11. Melihat dan mengamati secara langsung bagaimana kerjasama yang terjalin dengan peserta program/kegiatan dalam melaksanakan usahanya 12. melihat dan mengamati secara langsung produktivitas peserta program/ kegiatan dalam pengadaan peralatan bahan baku, pembuatan barang-barang komoditi, dan pemasaran
183
13. Melihat dan mengamarti secara langsung bagaimana peserta program/ kegiatan dalam pembagian keuntungan usaha, tabungan kelompok, iuran, kesetiakawanan sosial, dan cara mengelola hasil usaha 14. Melihat dan mengamati kehidupan peserta program/kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, perumahan dan lingkungan 15. Melihat dan mengamati bagaimana perkembangan program/kegiatan yang dikembangkan berdasarkan alat ukur: a. organisasi dan administrasi b. kegiatan usaha c. pembagian tugas kelompok d. pembagian hasil usaha e. upaya pengembangan usaha f.
sekuritas pendanaan
16. Bagaimana kegiatan bantuan pengembangan usaha dilaksanakan? Jelaskan mengenai sasaran, waktu, metode, alat, pelaksana, pelaksanaan, dan pelaporan 17. Bagaimana kegiatan pendampingan dilaksanakan? Jelaskan mengenai sasaran, waktu, tempat dan pelaksana 18. Bagaimana
Anda
melihat
keberhasilan
pelaksanaan
pada
tahap
pada
tahap
pengembangan usaha ini? 19. Bagaimana
kegiatan
inventarisasi/registrasi
dilaksanakan
kemitraan usaha? Jelaskan mengenai sasaran, waktu, metode, alat, pelaksana, pelaksanaan, dan pelaporan? 20. Bagaimana kegiatan pendataan dan identifikasi dilaksanakan pada tahap kemitraan usaha? Jelaskan mengenai sasaran, tempat, alat, pelaksana, dan pelaksanaan? 21. Bagaimana kegiatan seleksi dilaksanakan pada tahap kemitraan usaha? Jelaskan mengenai sasaran, tempat, alat, pelaksana, dan pelaksanaan? 22. Bagaimana kegiatan bimbingan organisasi kemitraan usaha dilaksanakan pada tahap kemitraan usaha? Jelaskan mengenai sasaran, tempat, metode, alat, pelaksana, dan pelaksanaan? 23. Bagaimana kegiatan pelaksanaan kemitraan usaha dilaksanakan pada tahap kemitraan usaha? Jelaskan mengenai sasaran, tempat, metode, alat, pelaksana, dan pelaksanaan?
184
24. Bagaimana kegiatan perluasan jaringan kemitraan usaha dilaksanakan pada tahap kemitraan usaha? (tanyakan menganai sasaran, tempat, dan pelaksanaan) 25. Bagaimana Anda melihat keberhasilan pelaksanaan pada tahap kemitraan usaha ini?
185
PEDOMAN WAWANCAR A EVALUASI PROGRAM/KEGIATAN PENGEMBANG AN MASYARAKAT DI DESA SUKOSONO
D
MODEL B: IDENTIFIKASI PROGRAM
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Umur 3. Pendidikan 4. Status
: : : :
1. Adakah program/kegiatan yang diarahkan diperuntukkan bagi peningkatan kapasitas dan kualitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya (CD) yang pernah atau masih berlangsung? Seperti: Posyandu, PPK, PKK, program life skills, dsb a. Kalau ada, amati/analisis dan catat hasilnya -
sifatnya: swadaya, swadana, atau pemerintah
-
inisiatif berasal dari siapa
-
uraikan kegiatannya
-
bagaimana tahapan/prosedur pelaksanaan kegiatan
-
apa prasyarat bagi masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan
-
unsur-unsur apa yang terlibat (perorangan, LSM, lembaga, dsb)
-
adakah kriteria khusus bagi unsur yang terlibat
b. Kalau program/kegiatan tersebut bersifat swadaya/swadana, catat hasilnya. -
Apa ciri khusus komunitas tersebut?
-
Apa kapital sosial yang dimiliki?
-
Siapa motivatornya?
-
Termasuk ke dalam type apa kelembagaan yang terbentuk? (public sector, participatory sector, atau privat sector)
-
Bagaimana norma dan pola hubungan yang terbentuk?
-
Aspek/prinsip CD mana yang dominan dalam program
-
Apa keuntungan / manfaat yang diperoleh?
2. Bagaimana proses pengorganisasian masyarakat dalam mengikuti program tersebut? Catat hasilnya.
186
a. bagaimana metode yang digunakan (top down / bottom up) b. pendekatan apa yang diterapkan c. type partisipasi mana yang diterapkan 3. Bagaimana keberpihakan program/kegiatan tersebut terhadap kepentingan dan kebutuhan komunitas/masyarakat? Catat hasilnya. 4. Bagaimana penerapan asas prinsip CD dalam program/kegiatan tersebut? Catat hasilnya. 5. Aspek/prinsip CD mana yang menjadi sasaran/yang ingin dikembangkan? (terkait dengan tujuan). Catat hasilnya. 6. Bagaimana
partisipasi masyarakat
dalam
program/kegiatan
tersebut?
Bagaimana kerjasama yang terjalin antara peserta program/kegiatan dalam melaksanakan usahanya. Catat hasilnya.
187
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
E
Sumber informasi: 1. 2. 3. 4. 5.
tokoh masyarakat tokoh pendidikan penyelenggara program life skills tutor/pengajar/TLD warga belajar
I.
WILAYAH Sejarah wilayah Desa Sukosono (kejadian penting bagi komunitas setempat)
II. STRUKTUR KOMUNITAS 1. pelapisan sosial dan kepemimpinan pada komunitas 2. unsur utama pelapisan sosial (luas tanah, pekerjaan, pendidikan, atau lainnya) 3. siapa yang menjadi pemimpin formal dan non formal 4. sumber kepemimpinannya 5. bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap kepemimpinan 6. secara khusus, uraikan proses sosialisasi dalam komunitas (pola pengasuhan sistem kekerabatan) 7. bagaimana hubungan dan prasangka antar kelompok masyarakat 8. apakah ada assosiatif (assimilasi, akulturasi, dan kerjasama) dan proses dissosiatif (persaingan, kontroversi, atau konflik) 9. bentuk-bentuk diskriminasi terbuka dan tertutup 10. jejaring sosial dalam komunitas (horizontal dan vertikal) III. KELEMBAGAAN DAN ORGANISASI PENDIDIKAN 1. Pandangan masyarakat terhadap pendidikan 2. tradisi masyarakat terhadap pendidikan 3. pandangan masyarakat terhadap PKBM
IV. SISTEM EKONOMI 1. mata pencaharian pokok penduduk lokal 2. eksistensi unit-unit usaha ekonomi (warung, koperasi, pasar, meubel)
188
3. bagaimana sistem tataniaga input dan output hasil pertanian dan non pertanian 4. kaitan mata pencaharian dengan sumber daya lokal 5. gerak penduduk terhadap kegiatan ekonomi 6. sistem penguasaan sumber daya agraria 7. pola hubungan manusia dengan sumber daya 8. lembaga-lembaga (norma, organisasi, dsb) yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam 9. sistem pengupahan V. KEHIDUPAN KELUARGA 1. Kendala yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan 2. Tradisi VI. KEPEDULIAN KOMUNITAS TERHADAP PENDIDIKAN 1. Fasilitas yang disediakan komunitas untuk pendidikan 2. Fasilitas yang disediakan komunitas untuk keluarga 3. Kegiatan yang dilakukan komunitas bersama PKBM Al-Wathoniyah 4. Antusiasme masyarakat terhadap pendidikan 5. identifikasi berbagai masalah pendidikan yang ada VII. KAPITAL SOSIAL 1. nilai-nilai agama 2. kekerabatan 3. kepercayaan 4. kejujuran 5. jejaring 6. hubungan timbal-balik 7. kepedulian pemerintah
189
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Sumber informasi: Pengurus PKBM sebagai penyelenggaran program life skills IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Umur 3. Pendidikan 4. Status
: : : :
1. Apa makna pendidikan bagi Anda? 2. Apa motivasi Anda menyelenggarakan PKBM? 3. Bagaimana proses pembentukan PKBM Al-Wathoniyah? 4. Apakah sarana dan prasarana di PKBM sudah memadai? 5. Bagaimana kesiapan PKBM menyelenggarakan program life skills? 6. Bagaimana peran Pemerintah dalam pelaksanaan program life skills di PKBMAl-Wathoniyah? 7. Bagaimana sistem keuangan/anggaran dalam PKBM? 8. Bagaimana sistem penggajian terhadap para pengajar? 9. Bagaimana sistem iuran yang ditetapkan terhadap peserta didik? 10. Apa kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan program life skills? 11. Bagaimana Anda melihat keberhasilan pelaksanaan PKBM?
F
190
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
G
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Sumber informasi: Pengajar / tutor program life skills
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Umur 3. Pendidikan 4. Status
: : : :
1. Apa makna pendidikan bagi Anda? 2. Bagaimana proses rekruitmen Anda sebagai tutor? 3. Bagamana kualifikasi pendidikan yang diterapkan terhadap para pengajar program life skills? 4. Bagaimana kegiatan proses belajar mengajar dilaksanakan? 5. Apakah sarana dan prasarana pengajaran sudah memadai? 6. Apakah Anda memahami tupoksi Anda? 7. Keterampilan apa yang Anda miliki? 8. Bagaimana kurikulum program life skills diselenggarakan? 9. Bagaimana Anda melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas? 10. Bagaimana antusiasme peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajarmengajar? 11. Bagaimana dengan penggajian Anda, apakah sudah sesuai dengan harapan Anda? 12. Apa saja hambatan yang dihadapi selama ini? 13. Bagaimana Anda mengevaluasi kegiatan penyelenggaraan pendidikan selama ini? 14. Bagaimana harapan Anda ke depan dalam penyelenggaraan program life skills?
191
DAFTAR RESPONDEN DAN INFORMAN KPM
No
NAMA
USIA
I/R
JABATAN/PEKERJAAN
1. Kh 2. ZA 3. Su S NK Sar 4. HS 5. ASy Sam 6. KS AS Shd Ng 7. ZER
48 48 44 60 38 52 52 26 27 46 42 52 50 31
I I I I I I I I I I I I I I
Kasi Sosial BPS Kab. Jepara Sekretaris Kec. Kedung Perangkat Desa Sukosono
IPM Profil Masy Sukosono Pemetaan Sosial Desa Sukosono Kondisi Sosial Ekonomi Penyelenggaraan pendidikan, profil Sukosono Penyelenggaraan PLS di Kedung, perkembangan PKBM Al-Wathoniyah
8. MZ TP Jz R 9. RT
49 52 29 30 35
I I I I R/I
Tokoh masy / anggota BPD Ketua KT “Lestari”, guru Pengurus Irmabat Penilik PLS Kec. Kedung Penilik PLS Kec. Kedung Pengawas PAI SD Kedung Pengawas TK/SD Kedung Tenaga Lapangan Dikmas Kecamatan Kedung Kabid Dinas P dan K Jepara Kepsek SMP Satu Atap 3 Kdg Sekretaris PKBM, guru guru Ketua PKBM Al-Wathoniyah
10. KH. MK
57
R/I
Y Am 11. Ro
24 32 21
R R R
12. Kyai BR Mun Mus Skmn Mstf 13. Am SMr NI M Jz RT 14. unsur pemerintah (TLD Kec Kedung) unsur ponpes Mamba’ul Qur’an (kyai dan santri) pengurus PKBM Al-Wathoniyah; warga belajar; warga masyarakat; NST/ tutor life skills pengurus KT
56 43 31 27 42 32 31 34 38 29 35
R R R R R R R R R R R
Kyai pesantren Mamba’ul Qur’an Sukosono Santri Alumni santri Tukang / masyarakat kyai / ustadz pesantren Ustadz WB Paket C di pesantren Peserta Kejar Paket Wiraswasta sablon Wiraswasta roti bolu Wiraswasta menjahit Wiraswasta rengginan Koordinator bobok Pengusaha meubel 38 orang
TOPIK
Penyelenggaraan PLS di Kec. Kedung Penyelenggaraan Pendidikan (PS dan PLS) Penyelenggaraan Pendidikan di Sukosono, penyelenggaraan PKBM, penyelenggaraan life skills Penyelenggaraan Pesantren Mamba’ul Qur’an Kondisi Mata Pencaharian Utama Masyarakat Penyelenggaraan PLS di pesantren - penyelenggara - peserta Kejar Paket Penyelenggaraan program life skills: sablon, roti bolu, menjahit dan bordir, rengginan, bobok, meubel Rancangan Aksi Program
192
193
194
195
DI DEPAN BALAI DESA SUKOSONO
WAWANCARA KELOMPOK DENGAN PERANGKAT DESA SUKOSONO DI BALAI DESA SUKOSONO
KEGIATAN MEUBEL SKALA KECIL DI DESA SUKOSONO, PENUNJANG PEREKONOMIAN WARGA SUKOSONO
196
KEGIATAN PENGAJIAN DAN KUMPULAN, CONTOH KAPITAL SOSIAL DI SUKOSONO
“ALAS” ATAU LAHAN SEKITAR RUMAH MASYARAKAT SUKOSONO, BANYAK DITANAMI JATI DAN KAYU KERAS LAINNYA
WAWANCARA DENGAN BP. ROCHMAT, KETUA PKBM ALWATHONIYAH DI RUANG GURU MTs SULTAH FATTAH SUKOSONO
BERSAMA DENGAN BP. ROCHMAT, DI DEPAN GEDUNG RAUDHATUL ATHFAL, TEMPAT YANG DIFUNGSIKAN SEBAGAI SEKRETARIAT PKBM AL-WATHONIYAH SEBELUM MENEMPATI GEDUNG SENDIRI
197
BERBINCANG DENGAN BP. JAZULI, PENGURUS PKBM AL-WATHONIYAH DI SMPN SATU ATAP 3 SUKOSONO DAN PESANTREN MAMBA’UL QUR’AN
KEGIATAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH YANG DISELENGGARAKAN PKBM ALWATHONIYAH, ANTARA LAIN: KEJAR PAKET DAN PAUD
\
198
WAWANCARA MENDALAM DENGAN SALAH SEORANG USTADZ PONDOK PESANTREN PKBM MENYELENGGARAKAN PLS BERSAMA PONDOK PESANTREN
KEGIATAN SANTRI MENGIKUTI PLS, KOLABORASI PKBM AL-WATHONIYAH DENGAN PESANTREN MAMBA’UL QUR’AN
199
SUASANA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) DI SALAH SATU RUANG MENGAJI PESANTREN MAMBA’UL QUR’AN, SENIN 12 DESEMBER 2008