PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU : Tugas Tanpa Akhir
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan III dengan Tema : “Rekonstruksi Profesionalisasi dan Pendidikan Guru untuk Percepatan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Universitas Pancasakti Tegal pada 19 Juni 2012 di Auditorium Universitas Pancasakti Tegal
Disusun oleh : Drs. Subiyanto, M.Pd.
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2012
PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU : Tugas Tanpa Akhir Oleh : Drs. Subiyanto, M.Pd. ABSTRAK Profesi diartikan sebagai suatu lapangan pekerjaan dimana dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur secara ilmiah, memiliki dedikasi sertamemenuhi lapangan pekerjaannya dengan berorientasi kepada pelayanan yang ekspert. Sedangkan profesionalisme atau yang dikenal dengan istilah profesionalisasi urgensinya mencakup unsur upaya dari profesi yang terorganisasi untuk memenuhi kriteria yang ideal dan mapan (established) dan unsur revitalisasi status melalui peningkatan kontinuitas ketrampilan serta pengetahuan para pelaksana sebagai wujud nyata dari sikap menerima tanggung jawab yang telah diterimanya. Sehingga jabatan profesional membutuhkan persyaratan pendidikan yang mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan nilai-nilai dan sikap serta ketrampilan yang sesuai dengan bidang profesionalnya. Apakah guru merupakan jabatan profesional? Jabatan profesi guru itu didasarkan pada kemampuan guru dalam menguasai isi pengajaran yang diajarkan dan mampu mengamankan konsep mengenai pengetahuan tersebut secara ekspert, memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab pribadi, sosial, etis dan religius serta mampu menciptakan rasa kesejawatan agar menimbulkan rasa aman dan perlindungan jabatan yang dikembangkan dalam kode etik organisasi profesi itu sendiri, sehingga harkat dan martabat guru dijunjung tinggi, baik oleh korp guru maupun oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan profesionalisme harus menjadi tugas tanpa akhir yang harus dilakukan dengan berbadai cara sampai kapanpun.
A. Profesionalisme Guru 1. Pengertian Profesi Semakin luas dan kompleksnya permasalahan dalam memperbaiki dan mempertahankan kualitas hidup di lingkungan masyarakat yang kritis dan peka menuntut adanya aneka ragam pengorganisasian dalam melaksanakan fungsinya. Tak heran jika masyarakat modern berupaya mengadakan spesialisasi pekerjaan, mendirikan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi untuk memudahkan sistem penyampaian dan pelayanan. Biasanya dalam hal yang menyangkut pelayanan kebutuhan yang mendasar, pelayanan profesional sangat diperlukan. Oleh sebab itu, profesi merupakan pengabdian diri pada suatu jabatan atau pelayanan, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
_____________________________________________ *) Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan III dengan Tema : “Rekonstruksi Profesionalisasi dan Pendidikan Guru untuk Percepatan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Universitas Pancasakti Tegal pada 19 Juni 2012 di Auditorium Universitas Pancasakti Tegal
Pengertian profesi menurut pendapat MC Cully yang dikutip oleh Tabrani Rusyan (1990 : 4) adalah : “... a vocation in wich professed knowledge of some department a learning science is used in its application to the of other on in the practice of an art found it”. Dari pengertian tersebut dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat profesional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara langsung dapat diabdikan bagi kemaslahatan orang lain. Lebih lanjut Sikun Pribadi (1976 : 16) mengatakan bahwa : “profesi pada hakekatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan diri kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu”. Berangkat dari rumusan profesi tersebut, dapat disimpulkan bahwa profesi diartikan sebagai suatu lapangan pekerjaan dimana dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur secara ilmiah, memiliki dedikasi sertamemenuhi lapangan pekerjaannya dengan berorientasi kepada pelayanan yang ekspert.
2. Persyaratan Profesi Implikasi dari pengertian profesi di atas, dapat dikemukakan bahwa sifat dan hakekat dari suatu profesi menuntut adanya persyaratan mendasar berupa ketrampilan teknis dan sikap kepribadian tersendiri. Secara umum persyaratan mendasar dari profesi dapat kita simak dari pendapat Mohammad Ali yang dikutip oleh Tabrani Rusyan (1990 : 6), yaitu : 1. Menuntut adanya ketrampilan yang berlandaskan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam. 2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya. 3. Menuntut adanya tingkat pendidikan tinggi. 4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya. 5. Memungkinkan pengembangan sejalan dengan dinamika kehidupan Berdasarkan persyaratan yang dituntut oleh suatu jabatan profesi, jelaslah bahwa untuk
suatu
jabatan
profesional
harus
melalui
jenjang
pendidikan
yang
mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan nilai-nilai dan sikap serta ketrampilan yang sesuai dengan bidang profesionalnya. Dari uraian di atas juga membawa implikasi
mendasar terhadap program tenaga pendidikan, salah satunya berkaitan dengan accountibility program pendidikan. Dalam konteks ini kompetensi lulusan tidak hanya ditentukan oleh program saja, tetapi dinilai pula oleh pemakai lulusan serta masyarakat umum. 3. Pengertian Profesionalisme Konsep profesionalisme atau yang dikenal dengan istilah profesionalisasi urgensinya mencakup unsur upaya dari profesi yang terorganisasi untuk memenuhi kriteria yang ideal dan mapan (established) dan unsur revitalisasi status melalui peningkatan kontinuitas ketrampilan serta pengetahuan para pelaksana sebagai wujud nyata dari sikap menerima tanggung jawab yang telah diterimanya. Pernyataan tersenbut di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Piet A. Sattertian yang mengatakan bahwa : “Profesionalisme menyangkut tiga dimensi, yaitu expert (ahli), sense of responsibility (memiliki rasa tanggung jawab) dan l’esprit de corps (memiliki rasa kesejawatan)”. Lebih lanjut disimpulkan bahwa profsionalisme adalah usaha yang dilakukan untuk mencapai tingkat profesi yang optimal, sehingga seseorang mampu berdiri pada jenjang yang lebih tinggi. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui ‘pre-service education’, ‘in-service education’ maupun ‘in-service training’. Profsionalisme dapat disamakan dengan professional development (pengembangan profesional) yang bertujuan untuk self-improvement. 4. Ciri-Ciri Profesionalisme Sebagai penegas bahwa profesionalisme sebagai upaya optimal melalui pengabdian diri pada suatu jabatan yang didasarkan panggilan pekerjaan, maka akan tergambar dalam ciri profesi yang dikutip dari suatu publikasi terbitan British Institute of Management sebagai berikut : a. Suatu profesi menunjukan bahwa orang itu lebih mementingkan layanan kemanusiaan daripada kepentingan pribadi. b. Masyarakat mengakui bahwa profesi itu mempunyai status yang tinggi. c. Praktek profesi itu didasarkan pada suatu penguasaan pengetahuan yang khusus. d. Profesi itu selalu ditantang agar orangnya memiliki keaktifan intelektual. e. Hak untuk standar kualitifikasi profesional ditetapkan dan dijamin oleh kelompok organisasi profesi.
(B.J. Chandler, 1960). Dari ciri profesi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri orang yang memiliki profesionalisme tinggi adalah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Liebermana (1956), sebagai berikut : a. Mengutamakan tugas layanan sosial lebih dari pada mencari keuntungan sendiri. b. Memperolehnya melalui persiapan profesional dalam jangka waktu tertentu. c. Memiliki otonomi yang tinggi maksudnya, orang itu memiliki kebebasan akademis di dalam mengungkapkan kemampuan diri dan ia bertanggung jawab atas kemampuan dan keahliannya itu. d. Mempunyai kode etik. e. Memiliki pertumbuhan dalam jabatan 5. Guru sebagai Jabatan Profesionalisme Berdasarkan uraian tentang pengertian dan ciri dari profesi, maka dapat kita simpulkan bahwa kondisi tersebut dapat menunjukkan bahwa itu merupakan bukti otentik mengenai pengakuan jabatan guru sebagai suatu profesi. Hal ini dipertegas oleh B.J. Chandler bahwa : “Mengajar adalah suatu jabatan profesi yang mempunyai kekhususan dimana kekhususan tersebut memerlukan kelengkapan mengajar dan/atau ketrampilan yang menggambarkan bahwa seseorang melakukan tugas mengajar yaitu membimbing manusia”. Ini berarti bahwa dalam segala tingkah laku atau kegiatan guru, baik dalam rangka proses mengajar maupun dalam kehidupan masyarakat, harus senantiasa bercirikan profesinya. Jadi ciri-ciri tersebut akan tercermin di dalam kegiatan di masyarakat dan di dalam tugas pokoknya yaitu memperbaiki dan menyempurnakan proses kegiatan belajar mengajar bagi anak didiknya. Oleh karena itu, masyarakat menempatkan guru pada tempat yang terhormat karena dari seorang guru diharapkan memperoleh ilmu pengetahuan. Kedudukan ini merupakan penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, tetapi sekaligus merupakan tantangan yang menuntut prestise dan prestasi yang senantiasa terpuji dan teruji dari setiap guru, bukan saja di depan kelas, tidak saja di batas-batas pagar sekolah tetapi juga di tengah-tengah masyarakat. 6. Ciri-Ciri Guru sebagai Jabatan Profesionalisme B.J. Chandler (1960) menjelaskan bahwa ciri-ciri profesi dalam bidang pendidikan bagi guru adalah sebagai berikut :
a. Mengutamakan layanan sosial. b. Mempunyai status yang tinggi. c. Memiliki pengetahuan yang khusus (dalam hal mengajar dan mendidik). d. Memiliki kegiatan intelektual. e. Memiliki hak untuk memperoleh standar kualifikasi profesional. f. Mempunyai kode etik profesi yang ditentukan oleh organisasi Sedangkan Robert Rickey (1962 : 207-208) mengemukakan : a. Adanya komitmen dari guru bahwa jabatan itu mengharuskan pengikutnya menjunjung tinggi martabat kemanusiaan lebih dari pada mencari keuntungan diri sendiri, b. Suatu profesi mensyaratkan orangnya mengikuti, c. Harus selalu menambah pengetahuan agar terus bertumbuh dalam jabatannya, d. Memiliki kode etik jabatan, e. Memiliki kemampuan intelektual untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi, f. Selalu ingin belajar mengenai bidang keahlian yang ditekuni, g. Menjadi anggota dari suatu organisasi profesi, h. Jabatan itu dipandang sebagai suatu karir hidup. Lebih lanjut Hoyle ( 1971 : 80-81) menyimpulkan bahwa ciri-ciri guru sebagai suatu profesi sebagai berikut : a. Hakikat suatu profesi ialah bahwa seseorang itu lebih mengutamakan tugasnya sebagai suatu layanan sosial. b. Suatu profesi dilandasi dengan memiliki sejumlah pengetahuan yang sistematis. c. Suatu profesi punya otonomi yang tinggi, artinya orang itu akan memiliki kebebasan yang besar dalam melakukan tugasnya karena merasa mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi. d. suatu profesi dikatakan mempunyai otonomi kalau orang itu dapat mengatur dirinya atas tanggung jawabnya sendiri. e. Suatu profesi mempunyai kode etik. f. Suatu profesi umumnya mengalami pertumbuhan terus menerus. Pandangan Hoyle tersebut mengarahkan kita bahwa jabatan profesi guru itu didasarkan pada kemampuan guru dalam menguasai isi pengajaran yang diajarkan dan mampu mengamankan konsep mengenai pengetahuan tersebut secara ekspert, memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab pribadi, sosial, etis dan religius serta mampu menciptakan rasa kesejawatan agar menimbulkan rasa aman dan perlindungan jabatan yang dikembangkan dalam kode etik organisasi profesi itu sendiri, sehingga harkat dan martabat guru dijunjung tinggi, baik oleh korp guru maupun oleh masyarakat pada umumnya.
B. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru 1. Pengembangan Profesional Guru Konsep
pengembangan
guru
sebagai
suatu
profesi
tidak
hanya
mempermasalahkan kelancaran perputaran roda sistem saja, akan tetapi juga memikirkan pengembangan sistem (system improvement). Hal ini berarti bahwa persyaratan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dibutuhkan harus dimantapkan, ditingkatkan dan dikembangkan sehingga memiliki kompetensi yang diperlukan, yang akhirnya dapat memberikan pelayanan profesional sesuai peranan yang dimainkan. Maka pembinaan dan pengembangan profesi guru akan meningkatkan kualitas dan pelayanan. Konsep lain mengenai pengembangan profesional menurut Eric Hoyle (1998 : 43-44), mencakup dua dimensi utama, yaitu “... the improvement of status and the improvement of practice”. Ia mengemukakan bahwa dimensi pertama meliputi upaya dari profesi yang terorganir untuk memenuhi kriteria profesi yang ideal atau apabila telah mencapai tingkat mapan, maka upaya itu berupa mempertahankan serta membina posisi itu. Pengembangan profesional dalam dimensi penyempurnaan status ini mengandung implikasi, antara lain peningkatan periode latihan angota-anggota profesi yang memiliki kualitas sehingga terlihat jelas batas atau perbedaan antara mereka yang secara resmi berhak melaksanakan kegiatan itu dengan yang tidak, peningkatan kontrol terhadap aktivitas profesi, kontrol atau latihan/kegitan anggota profesi. Pengembangan profesional dimensi kedua adalah penyempurnaannya (improvement of practice) yang meliputi penyempurnaan secara terus menerus ketrampilan serta pengetahuan dari pelaksanaannya. Maka dalam hal ini, konsep pengembangan profesional itu dapat disamakan dengan profesionalisasi (profesional development). 2. Faktor Penentu Profesionalisasi Jabatan guru Faktor
penentu
profesionalisasi
jabatan
guru
adalah
faktor
yang
mempengaruhi pengakuan jabatan guru sebagai suatu profesi, antara lain : a. Accountability Program Pendidikan Tenaga Pendidik Mengingat jabatan guru sebagai suatu profesi, sehingga membawa konsekuensi fundamental terhadap program pendidikan tenaga kependidikan
termasuk IKIP atau STKIP/LPTK yang menghasilkan guru. Salah satu diantaranya adalah berkenaan dengan accountability program pendidikan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa keberhasilan program pendidikan, dalam hal ini yang dimaksud adalah kompetensi lulusannya, tidak saja ditentukan oleh pembina program (pengajar), akan tetapi ditentukan pula oleh pemakai lulusan serta masyarakat pada umumnya yang langsung atau tidak langsung akan terkena akibat dari lulusan program pendidikan tersebut. Dapat dikemukakan bahwa wawasan tentang accountability program pendidikan suatu lembaga pendidikan guru sekurang-kurangnya ditentukan oleh lembaga penghasil (dalam hal ini PTN) termasuk dosen, kelompok profesional dan pemakai lulusan. Dengan demikian, maka penilaian berhasil tidaknya lulusan suatu program pendidikan tidak secara subyektif dimulai oleh orang dalam lembaga itu sendiri, tetapi turut dinilai oleh pemakai lulusan dan kelompok profesional. Dengan adanya pihak luar yang bertindak sebagai penilai inilah yang menjadi esensi peletakan bagi pembentukan profesional yang berkesinambungan yang dilaksanakan atas dasar kesadaran dan inisiatif sendiri. b. Pendekatan Kompetensi Pendekatan kompetensi dalam suatu lembaga pendidikan profesional sangat menentukan karena tingkat keprofesionalan lapangan kerja sangat ditentukan oleh kemampuan pelayanan yang diberikan. Lebih lanjut A. Tabrani Rusyan, Drs. (1990 : 10), mengemukakan tentang peranan kompetensi sebagai berikut : “Bahwa kompetensi adalah untuk mengembangkan dan mendemontrasikan perilaku bukan sekedar mempelajari ketempilanketrampilan tertentu, akan tetapi merupakan penggabungan dan aplikasi suatu ketrampilan dan pengetahuan yang paling tertentu dan akhirnya mengacu kedalam bentuk perilaku nyata”. Hal ini menunjukan bahwa pendekatan kompetensi harus ditunjang oleh aspek lain yang dikuasai, teori-teori tentang kependidikan, kemampuan mengambil keputusan yang situsional berdasarkan nilai, sikap dan kepribadian. Dengan demikian, LPTK membekali lulusannya dengan perangkat kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang akan dijangkau para lulusan. Pendekatan
kompetensi
ini
lebih
ditekankan
pada
pembentukan
kompetensi secara langsung dan sistematis, yaitu dengan cara mengkaji serta
menguji kaitan antara persyaratan, tugas, kompetensi dan pengalaman belajar yang diberikan pada para calon guru. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa pendekatan kompetensi secara langsung mau meyakinkan bahwa lulusannya mampu dan dapat melaksanakan tugas-tugas kependidikan dan tidak sekedar tahu tentang tugas-tugas kependidikan, penyusunan kurikulum maupun yang hubungannya dengan lisan, tetapi lebih kepada kemampuan profesional yang meliputi profesionalisasi secara psikis, mental, moral dan intelektual. c. Integrasi Isi Metode serta Teori Praktek dalam Pelaksanaan Program Pendidikan Suatu program pendidikan guru yang mementingkan tugas-tugas profesional sangat tepat bilamana mengintegrasikan isi (content) dengan metodemetode serta teori-teori dengan praktek. Dalam kenyataannya pendekatan linear terhadap teori dituntaskan dulu barulah praktek, tidak lagi mujarab, maka seharusnya digantikan dengan pendekatan berlapis berulang yang integratif (sandwich system), dimana setelah teori tertentu, maka diberikan kesempatan untuk melaksanakan praktek dan teori lebih bermakna dan praktenya lebih terarah. Sistem pendidikan integratif ini mensyaratkan adanya pelayanan profesional yang melibatkan sikap dan nilai yang sangat dibutuhkan oleh suatu lapangan profesional seperti halnya guru. Nilai dan sikap tersebut tidak saja memberikan dampak dalam menyikapi dan melaksanakan tugas-tugas lapangan, tetapi juga mempengaruhi sikap yang selalu ingin meningkatkan dan mengembangkan kemampuan profesional sesuai dengan perkembangan yang telah terjadi dari waktu ke waktu. d. Kode Etik Organisasi Profesional Kode etik bagi suatu organisasi profesional sangat penting dan mendasar, karena merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh anggotanya. Karena merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku itulah, maka dengan sendirinya kode etik ini berfungsi untuk mendinamisir setiap anggotanya untuk meningkatkan pelayanan sebagai suatu pengabdian di satu pihak, di pihak lain dapat mendinamisator setiap anggotanya untuk selalu mawas diri dengan penuh kesadaran, selalu memperhatikan dan memerlukan peningkatan dan pengembangan profesionalnya. e. Periode In Service Masa sesudah pendidikan “pre-service” adalah masa yang paling penting dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional. Hal ini
memerlukan suatu sistem pembinaan tersendiri yang memerlukan ketekunan dari perencana dan pengawas di bidang kependidikannya, yaitu kantor Depdikbud setempat, kepala sekolah serta rekan-rekan guru di mana guru tersebut bekerja. Dengan pengawasan yang efektif dan efisien dari supervisor, Depdikbud, organisasi profesi, kepala sekolah dan guru senior secara terus menerus, maka pengetahuan dan ketrampilan serta sikap pengabdian profesional guru secara perlahan-lahan akan tumbuh dan berkembang. f. Organisasi Profesional Organisasi profesional yang berfungsi sebagai dinamisator dan motivator pengembangan
diri
serta
melakukan
perlindungan
anggota-anggotanya
mensyaratkan adanya peran pengawasan terhadap kualitas dan moral pelayanan yang diberikan anggotanya kepada masyarakat. Selain itu juga sebagai wahana dalam menyiapkan kode etik yang dapat mengatur keseluruhan tingkah laku dan sikap para anggotanya serta dapat menyusun ketentuan tentang persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh sesseorang untuk menjadi anggota profesi tersebut. 3. Strategi Pengembangan Dalam strategi ini diterapkan konsep-konsep yang nantinya mampu mengembangkan profesionalisme secara berkesinambungan. Strategi ini mencakup dua dimensi besar yakni “Come Structure and Go Structure”. Dimensi pertama, yaitu Come Structure, adalah : “Strategi yang membicaran tentang darimana peserta dari berbagai daerah datang ke Ibukota Republik Indonesia, Ibukota Propinsi, maupun Ibukota Kabupaten atau Kotamadya” (Piet A. Sahertian : 1994 : 71). Jadi Come Stucture bertendensi untuk mengadakan sentralisasi program, dimana para peserta ditarik dalam suatu forum program pendidikan dengan melibatkan seluruh acara yang didasarkan pada kepentingan, yakni bersifat lokal, regional maupun nasional, yang tentunya ini akan melahirkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif (kelemahan). Lebih lanjut Piet A. Sahertian (1994 : 72), mengemukakan bahwa Come Structure
ini
akan
memunculkan
kekurangannya adalah sebagai berikut :
keuntungan
dan
kekurangan.
Adapun
1. Dilihat dari segi penatar, mereka tinggal di tempat dan fasilitas cukup terpenuhi. 2. Dari segi penatar, mereka yang datang dari daerah tentu mendapat kesempatan untuk melihat Ibukota Republik Indonesia, mereka dapat bertemu dengan orang lain dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dan sebagai kelemahan dari strategi datang (Come Structure) adalah begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk biaya perjalanan, akomodasi dan konsumsi. Jumlah uang yang dikeluarkan tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh selama penataran. Strategi yang kedua adalah strategi pergi (Go Structure). Dalam hal ini para penatar/fasilitator/narasumber dari pusatlah yang datang ke daerah-daerah. Sehingga dengan strategi ini akan melahirkan keuntungan “yang pergi hanya penatar, hanya beberapa orang saja sehingga lebih hemat biaya”. (Piet. A. Sahertian, 1994 : 72). Namun ternyata dengan strategi ini menimbulkan permasalahan sebagaimana yang diungkapkan oleh Piet A. Sahertian ( 1994 : 72), yang menyatakan bahwa : “Kelemahan yang muncul dari “Go Structure” adalah yang eprgi menatar jumlahnya terbatas, tugasnya tentu berat karena perjalanan jauh. Fasilitas penunjangnya tentu tidak selengkap di pusat. Dilihat dari segi peserta, mereka kurang mendapat wawasan yang luas karena dilaksanakan di daerah sendiri”. Berangkat dari pernyatan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemerintah telah berupaya membantu pembinaan dan pengembangan profesional guru untuk melangkah pada tingkatan yang lebih baik. Strategi tersebut dilakukan secara sentralisasi dan desentralisasi, yang keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan secara tersendiri, sehingga perlunya integrity strategy yang mampu mengayomi antara yang satu dengan yang lainnya.
REFERENSI Cece Wijaya, Drs., Tabrani Rusyan, Drs. A., (1991), Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosdakarya, Bandung. Moh. Uzer Usman, Drs., (1992), Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung. Piet A. Sahertian, 1994, Pengembangan Profesionalisme (Come Structure and Go Structure) Raka Joni, T., 1980, Pengembangan Kurikulum IKIP/FIP/FKg.: Suatu Kasus Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan P3G, Jakarta. Samana, A., Drs., M.Pd., 1994, Profesionalisme Pendidikan (Kompetensi dan Pengembangannya), Kanisius, Yogyakarta.