Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
PENGEMBANGAN NONDIRECTIVE TEACHING MODEL BERORIENTASI BUDAYA LOKAL BESERTA PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR DI BULELENG
I Nyoman Gita, I Made Ardana, Gst Ayu Mahayukti, & I Gst Ngr Pujawan Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha Abstrak Tujuan Penelitian pada tahun kedua adalah untuk menemukan Nondirective Teaching Model berorientasi budaya lokal beserta perangkat pembelajaran matematika yang praktis dan efektif. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang dilandasi teori Plomp. Penelitian ini dirancang dalam 2 tahun. Prosedur penelitian pada tahun kedua adalah: fase tes, evaluasi, dan revisi. Kepraktisan model diukur berdasarkan pertimbangan validator, pernyataan guru bahwa model dapat diterapkan di kelas, dan keterlaksanaan model. Keefektifan model diukur berdasarkan aktivitas siswa, prestasi belajar siswa, dan tanggapan siswa terhadap model. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi, angket, dan wawancara. Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Nondirective Teaching Model berorientasi budaya lokal beserta perangkat pembelajaran matematika merupakan model dan perangkat yang valid, praktis dan efektif. Kata-kata kunci : nondirective teaching, budaya, dan model
Abstract The aim of research at the second year is to discovery a Nondirective Teaching Model Oriented on Culture and Tool Mathematics Leaning for Elementary Schools in practice and effective. This study was a research development type based on Plomp theories. This research was designed up to 2 years. The research procedure at the second year included test, evaluation, and revision phase. Practicability of model is measured based on the consideration of validator, teacher claim that model can be applied in the classroom and the implementation model. The effectiveness of model is measured based on student activities, student
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
304
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
achievement and student response to the model. The obtained data were collected using observation sheet, questionnaire, and interview then analyzed descriptively. The Research finding showed that: Nondirective Teaching Model Oriented on Culture and Tool Mathematics Leaning for Elementary Schools are all validity, practice, and effective. Keywords : nondirective teaching, culture, and models. Pendahuluan Berdasarkan pengalaman peneliti dalam berkolaborasi dengan guru mitra membelajarkan siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri Singaraja dalam kegiatan Academic Staff Deployment (ASD) dan hasil tes yang disebarkan pada siswa, menunjukkan bahwa kebanyakan (hampir 90%) siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika terutama konsep bilangan bulat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan semakin banyak siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika yang lain karena konsep bilangan bulat sangat banyak digunakan sebagai prasyarat. Oleh karena itu kesulitan siswa memahami konsep sangat perlu ditangani mengingat materi matematika bersifat hirarkis. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka peneliti melakukan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika pada SD di Buleleng. Berdasarkan hasil observasi, dan diskusi diidentifikasi permasalahan sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran cenderung bersifat prosedural. Dengan pembelajaran yang bersifat prosedural ini mengakibatkan pengetahuan siswa bersifat prosedural dan rendahnya pemahaman konsep matematika siswa. Namun demikian, bukan berarti pengetahuan prosedural tidak diperlukan, melainkan pemahaman prosedural dan konseptual perlu saling melengkapi (Van de Walle: 1990). Kedua, siswa mengikuti pelajaran secara pasif dan kurang memperhatikan penjelasan guru. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran yang dilakukan oleh guru belum memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi sendiri konsep yang dipelajari. Di samping itu, pembelajaran belum memanfaatkan teori belajar dan belum tersedianya perangkat pembelajaran yang memadai. Sehubungan dengan hal itu dipandang perlu untuk mengembangkan Nondirective Teaching Model berorientasi Budaya Lokal dan perangkat
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
305
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
pembelajaran matematika sehingga siswa memahami konsep tidak hanya melalui ceramah saja melainkan mereka aktif memahami konsep melalui pengkajian permasalahan yang dikaji sehingga konsep yang dipelajari dapat dipahami secara baik. Mantra (Ardhana dan Sudharta, 1990) mengemukakan “ada beberapa konsepsi utama budaya Bali seperti konsepsi skala-niskala; desa-kala-patra; konsepsi yang lalu, kini, akan datang; tri-hita-karana; taksu dan jengah yang dapat dipakai dalam membina ketahanan budaya dan landasan bagi pengembangan berbagai segi kehidupan masyarakat”. Mengingat konsepsi utama tersebut dapat dipakai sebagai landasan bagi pengembangan berbagai segi kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan, maka konsepsi utama tersebut perlu dipertimbangkan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. Widja (1990; 24) mengatakan” konsep-konsep dasar budaya seperti rwabhineda, tri-hita-karana, dan desa-kala-patra dapat dikaitkan dengan proses pendidikan untuk menunjang pembangunan”. Berdasarkan pendapat di atas, maka konsepsi-konsepsi utama yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran antara lain: konsepsi rwabhineda, konsepsi tri-hitakarana, konsepsi desa-kala-patra, dan konsepsi taksu dan jengah. Konsepsi yang cukup penting juga dipertimbangkan dalam pembelajaran adalah konsepsi taksu dan jengah. Ardhana dan Sudharta (1990: 13) mengatakan “Taksu merupakan kekuatan dalam yang memberikan kecerdasan dan keindahan. Taksu terwujud sebagai anugrah Tuhan dan merupakan hasil kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang tertentu secara murni dan disiplin. Konsep jengah dalam kontek budaya memiliki konotasi semangat. Konsep taksu dan jengah ini merupakan dua kekuatan dalam yang saling mengisi”. Konsepsi ini memiliki makna yang sangat kuat dalam pembelajaran karena konsepsi taksu dan jengah mengandung pengertian sebagai kemampuan dasar, kedisiplinan, dan motivasi intrinsik. Dengan kombinasi kedua konsepsi ini, maka siswa akan memiliki sinergi dalam memahami suatu konsepsi yang sedang dibelajarkan. Model NDTM merupakan model pembelajaran yang memperhatikan dan memaksimalkan budaya siswa. Pembelajaran dengan menggunakan model NDTM mengantarkan siswa belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa, sehingga dapat memaksimalkan kenyamanan dalam belajar dan keyakinan siswa terhadap kemampuan akademisnya. Dengan keyakinan yang tinggi dari siswa terhadap kemampuan akademisnya atau memiliki tingkat keyakinan yang tinggi terhadap keberhasilan, maka hal ini dapat
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
306
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
menimbulkan upaya yang keras dari siswa untuk meraih keberhasilan dan pada akhirnya mereka mampu meraih prestasi yang diinginkannya. Sehubungan dengan itu Lefcourt, Schunk, (Shell, Covin, dan Bruning), dan Wilhite (Nur; 1999) mengatakan: “beberapa peneliti telah menemukan bahwa siswa yang memiliki keyakinan kendali-diri yang tinggi memiliki nilai dan skor tes yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang sama inteligensinya namun memiliki keyakinan kendali-diri yang rendah”. Di samping itu, jika keyakinan yang tinggi terhadap keberhasilan yang dimiliki siswa dikombinasikan dengan budaya Bali khususnya konsepsi jengah (semangat/motivasi), maka dapat mengakibatkan adanya kecenderungan siswa berusaha untuk berhasil dan memilih kegiatan yang berorientasi pada tujuan dan berorientasi pada keberhasilan. Dengan kata lain, kombinasi NDTM dengan budaya Bali, khususnya konsepsi jengah dapat menimbulkan motivasi berprestasi pada siswa. Dengan motivasi berprestasi yang tinggi dari siswa, maka siswa akan lebih bertahan dalam tugas-tugas atau belajarnya sampai mereka meraih keberhasilannya. Motivasi berprestasi ini dimaksimalkan melalui penemuan yang dilakukan siswa, misalnya menemukan langkah-langkah dan hubungan antara penjumlahan bilangan positif dengan positif dengan pengurangan bilangan positif dengan negatif dan lainnya yang sejenis. Di samping itu, motivasi berprestasi juga dimaksimalkan melalui kalimat-kalimat sugesti, baik yang disampaikan secara lisan oleh guru maupun dalam bentuk tulisan yang tertera pada LKS maupun buku siswa. Kalimat-kalimat yang dimaksud antara lain: “aku tidak pernah menyerah..…”, “aku harus bisa… dan pasti bisa..…”, “teman lain bisa...aku pasti bisa…..”, “aku tidak boleh ketinggalan dari teman lain..”, “Aku pasti dapat mengerjakan dengan benar...” dan sebagainya. Untuk menghindari terjadinya optimis yang berlebihan yang dapat menimbulkan kesombongan pada diri siswa, maka penggunaan kalimat sugesti dapat dihentikan pada siswa yang telah memiliki rasa percaya diri dalam belajar. Untuk memaksimalkan motivasi berprestasi juga dibuat suasana belajar yang menyenangkan/nyaman bagi siswa. Kenyamanan dapat terjadi karena: 1) siswa diberikan kesempatan yang sama untuk memahami pelajaran/ mencapai prestasi belajar yang baik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki; 2) adanya situasi saling menghargai perbedaan pendapat tanpa harus mempertajam perbedaan yang ada dan tidak cepat menyalahkan pendapat teman (konsepsi rwabhineda).; 3) adanya situasi belajar yang saling ketergantungan positif, artinya setiap anggota kelompok belajar mempunyai
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
307
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
tanggung jawab yang sama untuk meraih prestasi individu dan prestasi kelompok dengan harapan masing-masing anggota kelompok memiliki pemahaman yang memadai mengenai materi yang sedang dipelajari (konsepsi tri-hita-karana).; 4) menerima keragaman kemampuan siswa lain sehingga dapat memaksimalkan sifat rendah hati pada diri siswa. Dengan demikian, mengkombinasikan NDTM dan budaya siswa, terutama konsepsi jengah yang dirangkum dalam suatu model NDTM berorientasi budaya local dapat membantu siswa untuk meraih prestasi belajar sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki Dalam sistem pembelajaran ini bergantung pada penguasaan guru terhadap Nondirective Teaching Model berorientasi Budaya Lokal beserta perangkat dan penguasaan materi yang dibelajarkan. Dengan pembelajaran berorientasi budaya lokal ini siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan motivasi berprestasi yang tinggi dan mengacu pada hasil penelitian yang terdahulu, pembelajaran berdampak positif terhadap output berupa siswa aktif dalam pembelajaran, hasil belajar memadai dan sikap positif terhadap pembelajaran. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan, karena penelitian ini memfokuskan pada pengembangan model pembelajaran dan perangkat pembelajaran. Pengembangan penelitian ini merujuk pada model pengembangan Plomp (1999), yang pengembangannya meliputi beberapa fase seperti: 1) fase investigasi awal; 2) fase design/perancangan; 3) fase realisasi/konstruksi; 4) fase tes, evaluasi & revisi; dan 5) fase implementasi. Penelitian ini berlangsung selama 2 tahun. Pada tahun pertama telah dihasilkan prototype model dan perangkat pembelajaran yang valid. Pada tahun kedua dihasilkan prototype model dan perangkat pembelajaran yang praktis dan efektif. Subjek penelitian adalah siswa pada dua Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Buleleng yang telah terdaftar pada Dinas Kabupaten sebanyak 56 orang. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang kepraktisan dan keefektifan NDTM dan perangkat pembelajaran. Data tersebut dikumpulkan tes, observasi dan penyebaran kuesioner.. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan selanjutnya dibandingkan dengan kriteria yang telah ditentukan.
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
308
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
Hasil Hasil penelitian pada tahun kedua berupa model NDTM dan perangkat pembelajaran matematika yang praktis dan efektif. Kepraktisan Model; Kepraktisan model tercermin dari tingkat keterlaksanaan model. Berdasarkan hasil observasi terhadap pemunculan deskriptor dari setiap indikator keterlaksanaan model NDTM, tingkat keterlaksanaan model dapat dilaporkan seperti terlihat pada diagram 4.1.
Diagram 4.1 di atas, menunjukkan adanya peningkatan tingkat keterlaksanaan model. Pada pertemuan pertama dan kedua tingkat keterlaksanaan model berada dalam kategori sedang. Pada pertemuan ketiga, keempat, dan kelima terjadi peningkatan sehingga keterlakksanaan model berada dalam kategori tinggi. Akhirnya pada pertemuan keenam dan ketujuh keterlaksanaan model dapat ditingkatkan lagi sampai pada kategori sangat tinggi. Namun demikian jika dihitung rata-rata keterlaksanaan model diperoleh tingkat keterlaksanaan sebesar 85,95%, berada dalam kategori tinggi. Ini berarti bahwa model NDTM adalah model pembelajaran berorientasi local genius yang praktis. Keterlaksanaan yang tinggi dari model NDTM disebabkan adanya peningkatan kemampuan praktisi mengaplikasikan terutama dalam hal menggali prakonsepsi siswa, memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk beraktivitas, dan siswa telah mampu menerima pujian maupun kritikan dari anggota kelompok. Di samping terjadi peningkatan kemampuan praktisi memunculkan indikator yang disebut di atas, terjadi pula pemunculan indikator lain dari keterlaksanaan model. Keefektifan Model; Keefektifan model dilihat dari aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran, prestasi belajar siswa, dan
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
309
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
tanggapan siswa terhadap pelaksanaan model NDTM berorientasi local genius. Aktivitas siswa; Aktivitas belajar siswa dapat dilihat pada Diagram 4.2.
Diagram 4.2 menunjukkan bahwa terdapat 92,56% siswa berpendapat bahwa mereka telah merasakan dan melakukan aktivitas sesuai dengan yang diharapkan oleh model pembelajaran NDTM. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menerapkan model NDTM tergolong sangat tinggi. Prestasi belajar siswa; rata-rata (RT) = 74,46; Daya Serap (DS) = 74,46 %; Ketuntasan Belajar (KB) = 74,46%, dan Daya Capai Kurikulum (DCK) = 100%. Dengan demikian, daya serap dan ketuntasan belajar yang dicapai lebih besar dari kriteria yang ditetapkan yakni lebih besar dari daya serap 65%, dan ketuntasan belajar 85%. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa tergolong baik. Tanggapan Siswa terhadap Pembelajaran; berdasarkan hasil angket yang disebarkan terdapat 4 orang siswa (7,14%) yang memberi tanggapan negatif terhadap pelaksanaan model NDTM dan sisanya 52 orang siswa (92,86%) memberikan tanggapan positif. Mengingat lebih dari 85% siswa memberikan tanggapan positif terhadap pelaksanaan model NDTM. Dengan demikian dapat disimpulkan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan model NDTM tergolong positif. Karena prestasi belajar dan aktivitas belajar siswa berada dalam kategori baik serta tanggapan siswa positif terhadap pelaksanaan NDTM, maka pembelajaran dengan menerapkan NDTM adalah efektif. Disamping itu diperoleh hasil berkaitan dengan keterlaksanaan perangkat. Keterlaksanaan perangkat buku siswa, LKS, dan RP berada dalam
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
310
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
kategori baik sehingga pemanfaatannya.
dapat
dikatakan
5(3), 304-313
perangkat
praktis
dalam
Pembahasan Hasil penelitian pada tahun II ini menunjukkan bahwa model NDTM dan perangkat yang dihasilkan memenuhi kriteria kepraktisan dan keefektifan. Adapun syntax model NDTM yang dimaksud terdiri dari 4 fase seperti terlihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Syntax Model NDTM Phase 1 Defining the Helping Situation 2 Exploring the Problem 3 Developing Insight with Jengah conception 4 Planning and Decision Making 5 Integration Syntax model NDTM yang tertera pada Tabel 4.5 di atas menunjukkan secara tegas pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran khususnya konsepsi jengah. Pemanfaatan konsepsi jengah dalam model NDTM dapat berdampak pada meningkatnya konsep diri akademis siswa yakni keyakinan siswa terhadap kemampuan akademisnya. Siswa yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan akademis yang baik membawa dampak positif terhadap prestasi belajar siswa. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian Mars (1985: 15) mengatakan bahwa “ada korelasi positif antara konsep diri akademis dengan prestasi belajar”. Lebih lanjut dikatakan bahwa korelasi tertinggi terjadi antara konsep diri akademis matematika dengan prestasi belajar matematika. Mengingat konsepsi jengah merupakan kekuatan pendorong yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu dalam mencapai suatu tujuan, maka pemanfaatan konsepsi jengah dalam model NDTM berdampak pula terhadap meningkatnya motivasi belajar matematika siswa. Meningkatnya motivasi belajar matematika siswa dapat mendorong siswa untuk belajar matematika. Di samping itu siswa mengetahui dan menyadari mengapa mereka mengikuti pembelajaran dan siswa mampu memilih kegiatan yang dapat mengantarkan mereka untuk mencapai prestasi belajar diinginkan.
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
311
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
Konsepsi budaya Bali sangat membantu guru menciptakan suasana yang lebih nyaman bagi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Adanya situasi belajar yang saling ketergantungan positif, yakni setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama untuk meraih prestasi individu maupun prestasi kelompok (konsepsi tri-hita karana). Kalimat motivasi yang digunakan dalam mengembangkan situasi ini adalah mengingatkan siswa tentang “keberhasilan team tergantung keberhasilan setiap anggota team, untuk itu bantulah anggota team yang lemah”. Menghargai pendapat teman tanpa harus mempertajam perbedaan yang ada (konsepsi rwabhineda), dikembangkan melalui kalimat motivasi “bagaimana perasaanmu ketika pendapatmu dicemooh/disoraki temanmu”. Menumbuhkan sifat rendah hati pada diri siswa (konsepsi desa-kala-patra), dikembangkan dengan kalimat motivasi “jangan menyepelekan kemampuan temanmu, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan”. Pernyataan guru yang mengatakan bahwa setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama untuk meraih prestasi individu maupun prestasi kelompok, menumbuhkan sifat rendah hati pada diri siswa, dan mengungkapkan kalimat-kalimat sugesti yang mampu mengembangkan konsepsi jengah mereka menimbulkan adanya ketergantungan positif di antara mereka. Dengan demikian diharapkan diskusi kelompok berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan tidak terjadi dominasi di antara mereka. Di samping model NDTM yang dihasilkan, dihasilkan pula perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran dalam penelitian ini sangat membantu guru dalam membangkitkan konsepsi jengah siswa. Selain itu perangkat yang dihasilkan dapat membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Simpulan Model NDTM mempunyai syntax yang terdiri dari 5 fase yakni: Defining the Helping Situation, Exploring the Problem, Developing Insight with Jengah conception, Planning and Decision Making, dan Integration. Model NDTM merupakan model yang valid. Perangkat pembelajaran (RP, LKS, dan Buku Siswa) berada dalam kategorti baik. Berdasarkan simpulan yang dikemukakan di atas, maka peneliti merekomendasikan hal-hal berikut. 1) Agar komponen syntax model NDTM berorientasi budaya lokal dapat terlaksana dengan baik, guru perlu mengembangkan konsepsi jengah siswa dengan mengucapkan kalimat sugesti dengan serius, tepat, dan tegas; 2) Agar penerapan model NDTM
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
312
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
5(3), 304-313
berorientasi budaya lokal dapat berlangsung dengan baik, guru sangat perlu menyesuaikan diri dengan budaya yang dimiliki siswa; dan 3) Jika model NDTM diterapkan untuk materi lain diperlukan pengembangan perangkat. Ciri pokok perangkat yang dikembangkan hendaknya memuat kalimat sugesti. Kalimat sugesti ini diharapkan mampu mengembangkan konsepsi jengah siswa.
Daftar Rujukan Ardhana, I.G.G, Sudharta. R.T. 1990. Keserasian Transformasi Nilai dan Pembangunan Berwawasan Budaya dalam Masyarakat Bali. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Keserasian Transformasi Nilai dan Pembangunan Berwawasan Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra. Marsh H.W, Smith T.D & Barnes, J. 1985. Multidimensional Self-concept. Relation With Sex and Academic Acievement, Journal of Educational Psychology, Vol.77.No.5. Nur, M, dkk. 1999. Teori Belajar. Surabaya: University Press. Plomp, T. 1997. Educational and Training System Design. Enschede: University of Twente. Van de Walle. J A, 1990. Elementary School Mathematics (Teaching Developmentally). London: Logman. Widja, I G. 1990. Keserasian Transformasi Nilai dan Pembangunan Berwawasan Budaya dalam Masyarakat Bali, Perspektif Pendidikan. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Keserasian Transformasi Nilai dan Pembangunan Berwawasan Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra.
JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, Desember 2011
313