Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN AKRET BERBASIS LIFE SKILL PADA PEREMPUAN PEDESAAN oleh : Nikodemus Niko Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Padjdjaran, Bandung
ABSTRAK Pendidikan merupakan salah satu dari aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Namun pada kenyataannya masih banyak kaum perempuan pedesaan yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Misalnya di Dusun Manang masih banyak terdapat perempuan miskin di yang seakan menjadi alasan utama bagi mereka untuk mengenyam sebuah pendidikan. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan apa adanya sesuai fakta yang didapatkan di lapangan. Terdapat faktor yang menghambat perempuan di pedesaan untuk mendapatkan pendidikan yaitu faktor ekonomi, warga di Dusun Manang rata-rata bekerja sebagai petani sehingga mereka beranggapan bahwa pendidikan itu mahal. Sehingga model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan Akret (aktif-kreatif) berbasis life skill pada perempuan pedesaan cocok untuk diterapkan di Dusun Manang. Keaksaraan fungsional ini penting untuk pengenalan aksara bagi mereka yang belum bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Kemudian dengan menggunakan pendekatan Akret (aktif-kreatif) yang mana perempuan pedesaan yang akan menjadi peserta didik tidak hanya terpaku pada materi membaca, menulis dan berhitung saja, tetapi peserta didik dituntut aktif dan juga kreatif. Mereka dapat berkreativitas sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki, oleh karena itu juga penulis menggunakan basis life skill sebagai landasan mereka berkreasi dan belajar. Life skill ini diharapka dapat menjadi tujuan dasar yang bermakna dan bermanfaat bagi perempuan pedesaan di Dusun Manang untuk keberlanjutan kehidupan mereka. Kata Kunci: Keaksaraan Fungsional, life skill, perempuan
Pendahuluan Daerah pedesaan sangat diidentikkan dengan daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Pembangunan infrastruktur di daerah pedesaan pun semakin giat digalakkan oleh pemerintah baik daerah maupun pusat. Oleh karena itu penduduk di daerah pedesaan memiliki fungsi yang sangat penting untuk mendukung lancarnya pembangunan ini. Karena pentingnya daerah pedesaan sebagai sarana pembangunan yang merata di Indonesia, maka pembangunan untuk masyarakat pedesaan perlu diperhatikan baik pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun sarana dan prasarana yang mereka butuhkan. Pentingnya sumber daya manusia yang ada pada masyarakat khususnya bagi kaum perempuan di daerah pedesaan untuk menjadikaan mereka lebih maju dan sejahtera agar dapat sejajar dengan masyarakat di luar lingkungan mereka. Tentu hal ini membutuhkan keseriusan semua pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Tanpa demikian maka tidak
29
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
akan ada terjadi perubahan ke arah yang lebih baik untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu program pengentasan buta aksara masih dianggap starategis karena mempunyai alasan aktual. Pada sisi lain kemelekaksaraan merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Keberadaan perempuan di seluruh belahan dunia sudah dipastikan ada dalam setiap aliran sungai kehidupan. Sebagai human tentunya perempuan turut berpartisipasi serta berkontribusi secara langsung di dalam lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Menjalani perannya di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, perempuan akhirnya secara individu maupun kolektif melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari pekerjaan secara fisik maupun secara pemikiran. Kondisi yang terjadi di dusun manang, desa cowet, kecamatan balai, kabupaten sanggau, kalimantan barat ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai esensi pendidikan itu sendiri, sehingga perempuan yang tinggal di pedesaan banyak yang hanya menamatkan pendidikan di bangku Sekolah Dasar (SD) atau bahkan tidak sekolah. Seperti yang terjadi di Dusun Manang ini, menurut data yang penulis dapatkan bahwa dari sekitar 60 kepala keluarga (KK) yang penduduknya berjumlah sekitar 300 orang hanya sekitar 8 atau 9 orang saja yang dapat menyelesaikan Sekolah sampai ke jenjang SMA, selebihnya tidak bersekolah atau hanya tamat SD. Kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya putus sekolah di Dusun Manang. Perempuan-perempuan yang ada di dusun manang ini kemudian lebih banyak memutuskan mengurus rumah tangga, beternak babi serta bertani. Kalaupun ada yang mau bekerja, mereka memilih menjadi pembantu rumah tangga yang kemudian meninggalkan area tempat tinggal mereka menuju daerah perkotaan.Beberapa kasus yang terjadi pada perempuan pedesaan, seperti menikah di usia dini. Hal ini juga sebagai salah satu penyebab banyaknya angka putus sekolah di kalangan remaja karena minimnya pengetahuan yang diterima. Rata-rata perempuan yang ada di dusun manang setelah tamat di bangku sekolah dasar, lalu kemudian bekerja dan menikah. Melihat kenyataan yang ada di dusun manang ini ternyata masih banyak terdapat perempuanperempuan yang buta huruf. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengembangkan sebuah pembelajaran keaksaraan fungsional yang menggunakan cara ajar yang berbeda dari cara-cara yang sudah ada. Hakekatnya penelitian ini memiliki tujuan utama yang akan dicapai, yaknimenemukan solusi dalam rangka memberantas buta huruf dengan mengembangkan model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan akret (aktif-kreatif) berbasis life skill pada perempuan pedesaan di dusun manang. 1. Konsep Masyarakat Miskin di Pedesaan Kemiskinan merupakan sebuah masalah rumit bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih terus diupayakan penyelesaiannya. Tidak terkecuali kemiskinan yang terjadi di wilayah pedesaan. Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang waktu yang sangat lama ini bukan hanya suatu gejala yang cukup dijelaskan sebagai realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak hanya sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat, melainkan juga realitas struktural dan tata nilai kemasyarakatan yang merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Kemiskinan yang terjadi di pedesaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor kultural yang dinamis, kemiskinan di daerah pedesaan ini juga terjadi karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka. Sasono (1987:39) mengatakan bahwa proses penghancuran kesempatan itu telah berlangsung sejak zaman feodalisme kerajaan-kerajaan (Hindu maupun Islam), zaman kolonialisme dan akhirnya zaman ketergantungan sekarang ini. Penghancuran kesempatan yang terjadi sebagai akibat proses eksploitasi. Hal ini terlihat pada perempuan pedesaan saat ini yang
30
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
mana pekerjaan-pekerjaan mereka di sawah atau di ladang kemudian di ambil alih oleh alat-alat canggih dan modern. Ukuran kemiskinan dalam kehidupan modern pada masa kini adalah mereka tidak menikmati fasilisitas pendidikan, pelayanan kesehatan, akses teknologi, dan kemudahankemudahan lainnya yang tersedia pada zaman modern. Piven dan Cloward (dalam Suharto, 2009:15) menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial. 1. Kukurangan materi. Kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kesulitan yang dihadapi orang dalam memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar. 2. Kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” disini sering dikaitkan dengan standar atau garis kemiskinan (poverty line) yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu komunitas ke komunitas lainnya dalam satu negara. 3. Kesulitan memenuhi kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial (social exclusion), ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, dan informasi. Usaha untuk memahami orang miskin dan kemiskinan tidak bisa hanya mendasarkan diri pada pandangan stereotype atas etos kerja yang menganggap bahwa orang miskin itu malas dan tidak hemat. David Cox (dalam, Suharto 2009:18) membagi kemiskinan dalam beberapa dimensi, antara lain: 1) Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi melahirkan negara pemenang dan negara kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negaranegara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. 2) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). 3) Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan mereka, seperti bias gender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi. Kemiskinan pada masyarakat pedesaan ini merupakan akar dari masalah pendidikan yang ada di daerah pedesaan. Kemiskinan yang terjadi sebagai akibat dari tidak adanya akses menuju pendidikan yang lebih baik. 2. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan bangsa berarti memberdayakan setiap warga negara agar mampu berbuat seimbang baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, antara hak dan kewajiban, menjadi warga negara yang bersikap dan berbuat demokratis terhadap sesama manusia menuju masyarakat yang memahami akan hak, kewenangan dan tanggungjawab mereka dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Hiryanto, 2011:3). Sumodingrat (1996) menyatakan memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan (Hiryanto, 2008:2). Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat bermaksud untuk mengembangkan
31
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
kemampuan masyarakat agar secara berdiri sendiri memiliki ketrampilan untuk mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah proses perubahan. Perubahan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat dapat terjadi pada level mikro, intermeidate maupun makro (Soetomo, 2011:85). Sehubungan dengan hal itu Long (1977) membedakan pembangunan masyarakat menjadi dua yaitu improvement dan transformation aproach (Soetomo, 2011:86). Perubahan dalam pendekatan transformation lebih fokus pada perubahan pada level sistem dan struktur sosialnya. Warga masyarakat lapisan tertentu kondisi kehidupannya rendah lebih disebabkan sebagai korban dari struktur yang bermasalah. Proses pemberdayaan masyarakat berarti kemampuan seseorang untuk memahami dan mengendalikan keadaan sosial, ekonomi dan kemampuan politiknya yang sangat diperlukan dalam upaya memperbaiki keduduknnya dimasyarakat, dengan kata lain proses pemberdayaan adalah setiap usaha pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan kepekaan pada warga masyarakat terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik sehingga pada akhirnya warga masyarakat memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat, atau menjadi masayarakat yang berdaya melalui pendidikan. 3. Konsep Pendidikan Non-Formal Agar Masyarakat memiliki kemampuan mengembangkan potensinya dalam rangka pemberdayaan masyarakat maka peran pendidikan nonformal sangat strategis. Pendidikan Luar sekolah, atau pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan yang terorganisasi dan sistematis di luar sistem persekolahan yang mapam, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu didalam mencapai tujuan belajarnya (Sudjana, dalam Hiryanto 2008: 5). Program pendidikan non-formal sebagaimana tercantum dalam pasal 26 ayat 3 UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia diri, pendidikan kepemudaaan, pendidikan pemberdayaan perempuan pendidikan keaksaraan, pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Pendidikan non-formal atau pendidikan luar sekolah ini bertujuan menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat mendapatkan pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Hiryanto, 2008:16). 4. Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian ini hakikatnya berpijak pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Sukarni dan Muhammad Tahir (2014) dengan judul Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional dengan Pendekatan Akret berbasis life skill pada masyarakat pesisir pantai Ampenan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. fokus penelitiannya berupa: a). Ruang (tempat) dalam aspek fisik, dalam hal ini bangunan, gedung tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran Keaksaraan Fungsional, ruang yang digunakan untuk proses pembelajaran; b). Aktor (pelaku) yaitu orang-orang yang terlibat dalam suatu situasi tertentu dalam hal ini proses pembelajaran Keaksaraan Fungsional; c). Kegiatan yaitu aktivitas yang dilakukan para aktor dalam situasi tertentu; d). Objek, yaitu benda-benda di sekitar tempat itu berada; e). Kejadian, atau peristiwa yang merupakan rangkaian kegiatan tertentu; f). Waktu, saat terjadinya peristiwa atau aktivtas yang dilakukan para aktor; g). Tujuan, dalam hal ini sesuatu yang ingin dicapai oleh aktor serta makna aktivitas bagi dirinya.
32
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
Teknik pengumpulan data penelitian yaitu menggunakan observasi dan teknik wawancara, selain itu dalam mengumpulkan data penelitian peneliti juga menggunakan metode pendukung yaitu dokumentasi. Teknik dokumentasi ini dimaksudkan untuk melengkapi data hasil observasi dan wawancara. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa untuk mengembangkan model pembelajaran Keaksaraan Fungsional dengan pendekatan Akret berbasis life skill dibutuhkan kesiapan para warga belajar. Dalam pelaksanaan pembelajaran Keaksaraan Fungsional diharapkan adanya warga belajar yang siap belajar. Kesiapan warga belajar ditunjukkan dengan apreasi mereka terhadap proses pembelajaran. Berdasarkan deskripsi data penelitian dan hasil penelitian yang diteliti sebanyak 20 orang warga belajar. Secara umum seluruh warga belajar tersebut menginginkan pembelajaran Keaksaraan Fungsional dan siap untuk mengikuti pembelajaran. Kesiapan tersebut mereka tunjukkan dengan keseriusan dalam mengikuti proses pembelajaran Keaksaraan Fungsional. Kesamaan karya ilmiah ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Sukarni dan Muhammad Tahir adalah penggunaan model pembelajaran Keaksaraan Fungsional dengan Pendekatan Akret berbasis life skill sebagai suatu solusi pemberantasan buta aksara. Namun yang membedakan karya ilmiah ini adalah subjek kajiannya. Dalam penelitian yang di lakukan Sukarni dan Tahir bahwa sasaran dari peserta belajar dengan model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan Akret berbasis life skill ini adalah masyarakat di pesisir pantai Ampenan, sedangkan dalam karya ilmiah ini hanya sebatas pengembangan dengan sasaran peserta belajarnya adalah perempuan pedesaan di Dusun Manang, Desa Cowet, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dalam bentuk penelitian deskriptif analisis. Penggunaan jenis penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman secara konprehensif dan mendetail mengenai persepsi perempuan pedesaan mengenai arti penting pendidikan sehingga dapat ditemukan suatu pengembangan model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan akret berbasis life skill pada perempuan pedesaan di dusun manang, desa cowet. Kecamatan balai, kabupaten sanggau. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2013).Williams (dalam Moleong, 2007) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam penelitian kualitatif, metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive dalam menentukan subjek penelitian. Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini terdiri dari perempuan pedesaan yang bersedia diwawancarai di lapangan.Untuk memperoleh informasi yang tepat dan akurat, peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Teknik observasi yaitu peneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat kondisi aktivitas perempuan pedesaan di Dusun Manang. Selain itu observasi dilakukan terhadap informan, perilaku informan selama wawancara, interaksi informan dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.
33
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
Menurut Patton (dalam Djelani, 2010) bahwa hasil observasi menjadi data penting karena: a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang akan atau terjadi. b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. c. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara. d. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari. e. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspetif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasaan pengamatan akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena. Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer akan dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada informan, dan jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam (Soehartono, 2008). Teknik wawancara dilakukan oleh peneliti pada saat akan turun ke lapangan. Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan (Moleong, 2007). Maksud mengadakan wawancara, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2007) antara lain: mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Jenis wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara terstruktur, dengan tujuan mencari jawaban atas pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian disusun terlebih dahuli sesuai dengan keadaan dan ciri yang khas dari informan. Pengembangan Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional dengan Pendekatan Akret Berbasis Life Skill. Pengembangan model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan Akret berbasis life skillini merupakan pengembangan dari model yang sudah ada sebelumnya. Selain dengan alasan murah, model ini juga menggunakan metode ajar yang sangat sederhana. Awalnya model pendidikan ini di rancang dengan pengembangan model pendidikan yang diterapkan pada masyarakat pesisir pantai Ampenan (Sukarni & Tahir, 2014). Kemudian yang membedakan antara penerapan pendidikan ini adalah sasaran dan beberapa cara ajar, dalam penulisan ini pendidikan aksara diperuntukkan bagi perempuan pedesaan di Dusun Manang. Pendidikan keaksaraan ini tidak akan ada artinya apabila hanya berdiri sendiri tanpa ada topangan dari pemerintah. Pendidikan keaksaraan ini berdampak sangat luas dan diharapkan menjadi lokomotif dalam perbaikan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di Dusun Manang. Oleh karena itulah diperlukan program pembelajaran yang tepat dengan melibatkan masyarakat dalam hal ini perempuan pedesaan agar timbul kesadaran, pemberdayaan dan mandiri dari dalam diri mereka sendiri. Pendidikan keaksaraan merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan kemampuan warga belajar dalam menguasai dan menggunakan membaca, menulis dan berhitung (calistung), berpikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan (Sudjana, dalam Sukarni&Tahir, 2014:2). Tujuan pendidikan keaksaraan yaitu mengupayakan kemampuan, pemahaman, serta penyesuaian diri guna mengatasi kondisi hidup dan pekerjaan pada perempuan pedesaan. Pendidikan keaksaraan tidak hanya membelajarkan kemampuan membaca menulis dan berhitung saja tetapi pemanfaatan hasil belajar untuk kehidupan.
34
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
Pembelajarannya harus sinergi antara berbagai sumber daya yang ada di lingkungan dengan warga (perempuan pedesaan) yang akan menjadi peserta belajar. Hal ini sejalan dengan konsep life skill yang merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup. Kecakapan hidup (life skill) dapat didefinisikan sebagai suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup untuk kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi (Sukarni&Tahir, 2014:4). Mengapa life skill ini penting dikembangkan bagi perempuan pedesaan? Penulis melihat bahwa Life skill ini merupakan suatu kecakapan dasar keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bermakna dan bermanfaat bagi peningkatan taraf kehidupan. Selain itujuga sebagai landasan untuk memunculkan harkat dan martabat perempuan dan juga memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu alternatif pembelajaran keaksaraan yang efektif dan efisien. Cara yang kemudian penulis kembangkan yaitu apabila perempuan di pedesaan belajar diberi kesempatan untuk memahami, mengenal dan memanfaatkan lingkungan sekitar melalui pembelajaran dengan pendekatan Akret (Aktif dan Kreatif). Pada pendekatan Akret peserta didik bukan hanya dituntut aktif saja, tetapi juga dituntut kreatif. Dalam melaksanakan aktivitas dan kreativitasnya, peserta didik diberi kesempatan oleh sumber belajar untuk berkreasi sesuai kemampuan yang dimilikinya. Selain itu kepada peserta didik juga diberi kesempatan untuk mengenal dan mempergunakan (mendayagunakan) potensi lingkungan sekitarnya. Bagaimana mengoptimalkan potensi perempuan pedesaan melalui pengembangan pembelajaran keaksaraan fungsional dengan kemampuan dan keterampilannya melalui model pembelajaran Akret berbasis life skill. Pada model pembelajaran Akret menyajikan materi sesuai dengan kebutuhan peserta yang ikut belajar, sifatnya konkrit, peserta didik belajar aktif dan kreatif dalam pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai modal dasar untuk meningkatkan penghasilan. Beberapa ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan Akret (Ridawati, dalam Sukarni&Tahir, 2014:4) sebagai berikut: a) Tidak terbatas di ruang kelas; b) Melibatkan sesama peserta didik dalam semua kegiatan pembelajaran; c) Berorientasi pada hasil dan proses; d) Peserta didik harus proaktif; e) Menggunakan sumber lingkungan. Dalam melaksanakan aktivitas dan kreativitasnya, peserta didik diberi kesempatan oleh sumber belajar (tutor) untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu kepada peserta didik juga diberi kesempatan untuk mengenal dan mempergunakan (mendayagunakan) potensi lingkungan sekitarnya. Misalnya di Dusun Manang peserta didik dapat mendayagunakan bahan mentah sepertibuloh(bambu) untuk membuat kerajinan seperti bakul nasi, keranjang, dan lain sebagainya. Orientasi belajar ini sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan. Sehingga menjadikan mereka menyenangi materi yang bersifat praktek yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh perempuan pedesaan. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan mereka menghendaki pengetahuan dan keterampilan yang hasilnya dapat dirasakan langsung sehingga dapat menambah penghasilan mereka sehari-hari. Pembelajaran Keaksaraan Fungsional dalam bentuk praktek keterampilan sangat menarik bagi peserta didik belajar, dan secara tidak langsung para perempuan pedesaan belajar sudah dapat memahami tujuan pembelajaran Keaksaraan Fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu warga belajar memahami besarnya manfaat lingkungan dan potensi daerah sekitarnya. Apabila ditinjau dari suasana pembelajaran maka pendekatan Akret (Aktif-Kreatif) telah tampak pada proses pembelajaran. Tutor telah melibatkan warga belajar dalam kegiatan pembelajaran dengan kalimat lain warga belajar telah mengikuti prinsip learning by doing.
35
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
Apabila ditinjau dari segi tutor dapat dideskripsikan bahwa tutor harus memiliki semangat yang tinggi untuk memberikan motivasi kepada peserta didik. Hal ini akan ditunjukkan dengan selalu hadir pada setiap pembelajaran.Tutur sendiri bisa dari kalangan perempuan pedesaan yang sudah tamat SMP atau setidaknya pernah duduk di bangku SMP. Disamping itu pula bila ada warga belajar yang tidak hadir, tutor mengadakan visitasi ke rumah peserta belajar. Dalam upaya mempermudah peserta didik belajar memahami materi, tutor dapat membuat cara mengajar sederhana dengan diikuti oleh bahasa daerah yang digunakan di Dusun Manang (Dayak Mali) sehingga materi mudah dipahami warga belajar. Semangat dan keseriusan tutor dan peserta belajar dalam proses pembelajaran dapat membuahkan hasil yang menggembirakan nantinya bagi perempuan pedesaan di Dusun Manang khususnya. Kesimpulan Perlu adanya aksi nyata untuk merealisasikan pelaksanaan model pembelajaran keaksaraan fungsional melalui pendekatan belajaran Akret berbasis life skill bagi perempuan pedesaan dalam rangka mengentas buta huruf di Dusun Manang, Desa Cowet, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau, tentunya didukung dengan persiapan matang dalam hal penunjukan pranata sosial yang akan dilibatkan, pendataan warga (perempuan pedesaan) yang akan menjadi peserta kelompok belajar, jumlah anggota kelompok belajar, serta kesiapan sumber daya yang ada untuk menunjang proses pembelajaran. Perlu dilakukan penggalian sumber pendanaan dari pemerintah daerah maupun pusat untuk merealisasi program pengembangan model pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan Akret berbasis life skill bagi perempuan pedesaan ini, mengingat masih sangat banyak masyarakat pedesaan terutama perempuan yang buta huruf. Selain itu perlu juga dibuat panduan yang berisi konsep pengamatan dan pemantauan program pembelajaran keaksaraan fungsional dengan pendekatan Akret berbasis life skill bagi perempuan pedesaan ini baik itu ditinjau dari manfaat untuk keluarga yang akan menjadi peserta program, pemerintah daerah maupun untuk pemerintah pusat agar program dapat di monitoring dengan baik karena yang terpenting adalah kebermanfaatan program ini bagi masyarakat luas. Daftar Pustaka Djelani, Y. 2010. Peranan Keluarga Dalam Penanganan Penderita Humman Immunodeficiency Virus dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Kecamatan Pontianak Barat. Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura. Hiryanto. 2008. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal. Bappeda Bantul. Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung. Sasono, A. 1987. Masalah Kemiskinan dan Fatalisme.UI-Press: Jakarta. Soetomo. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta: Bandung. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta: Bandung. Suharto, E. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Alfabeta: Bandung. Soehartono, I. (2008). Metode Penelitian Sosial. Remaja Rosdakarya: Bandung. Sukarni, S.&Tahir, M. 2014. Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Dengan Pendekatan Akret Berbasis Life Skill Pada Masyarakat Pesisir Pantai Ampenan. Universitas Nusa Tenggara Barat. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
36