PENGEMBANGAN METODA BIOASSAY SEBAGAI BIOMONITORING DALAM UPAYA PENINGKATAN KINERJA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) KEGIATAN INDUSTRI PT. X DEVELOPING BIOASSAY METHOD AS BIOMONITORING FOR PERFORMANCE IMPROVEMENT OF WASTE WATER TREATMENT PLANT (WWTP) INDUSTRIAL ACTIVITY AT PT. X Erine Sofie Alamanda1 dan Dwina Roosmini2 Program Studi Magister Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10, Bandung, 40132 1 Email :
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak: Kualitas air di lingkungan telah mengalami penurunan akibat limbah dari kegiatan industri. Pengurangan beban pencemar dari limbah dapat dilakukan dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan mengoptimalkan kinerjanya. Biomonitoring IPAL pada penelitian ini dilakukan melalui karakterisasi dan uji toksisitas terhadap sampel air berbagai unit IPAL. Karakterisasi parameter fisika dan kimia didasarkan pada KepMenLH No. 51 Tahun 1995 dan SK Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999. Sedangkan uji toksisitas dilakukan melalui metoda TIE (Toxicity Identification Evaluation) fasa I menggunakan Daphnia magna. Hasil karakterisasi parameter fisika dan kimia dibandingkan secara deskriptif terhadap baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri. Hasil uji toksisitas diolah menggunakan metoda Probit Program Version 1.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH, TSS dan COD efluen masih berada diatas baku mutu yang ditetapkan. Hasil terhadap uji toksisitas sampel air dari berbagai unit proses menunjukkan bahwa tingkat toksisitas berkurang setelah diberikan perlakuan menggunakan metoda TIE. Uji toksisitas setelah penyesuaian pH menurunkan toksisitas, mengindikasikan adanya kation logam dan CN dalam sampel. Uji toksisitas setelah filtrasi menurunkan toksisitas berkaitan dengan adanya endapan kation logam yang dapat disaring. Uji toksisitas setelah aerasi menurunkan toksisitas, mengindikasikan adanya kandungan amoniak. Toksisitas sampel air berkurang pada uji toksisitas setelah reaksi oksidasi reduksi dan setelah penambahan EDTA dalam konsentrasi tiosulfat dan EDTA yang tepat. Hal ini menunjukkan adanya kandungan logam. Pada uji toksisitas setelah perubahan pH, semakin tinggi pH toksisitasnya meningkat. Hal tersebut menunjukkan adanya kandungan amoniak. Kata kunci: elektroplating, IPAL, karakterisasi, TIE, uji toksisitas
Abstract: Water quality in the environment has decreased because of industrial activity waste. Pollutant load reduction can be processed by building a Wastewater Treatment Plant (WWTP) and optimize its performance. Biomonitoring of WWTP in this study was conducted through characterization and toxicity test of the various units of the WWTP water samples. Characterization of physical and chemical parameters based on Decision Environment Ministers No. 51, 1995 and West Java Governor Decree No. 6, 1999. While toxicity tests conducted by the TIE (Toxicity Identification Evaluation) phase I method using Daphnia magna. Characterization results of physical and chemical parameters compared descriptively to the effluent quality standard for industrial activity. Toxicity test results processed using Probit Program Version 1.5 method. The results showed that pH, TSS and COD of the effluent still above the specified quality standards. Toxicity tests results of water samples from various units indicates that the level of toxicity is reduced after TIE method treatments. Toxicity after pH adjustment tests decrease, indicating a metal cations and CN in the samples. Toxicity after filtration tests decrease, associated with deposition of metal cations that can be filtered. Toxicity after aeration tests decrease, indicating ammonia. Toxicity after oxidant-reduction and EDTA chelation tests were reduced in the appropriate thiosulfate and EDTA concentration. That shows the metal compounds. In the toxicity after Graduated pH tests, the higher pH gave the higher toxicity. That shows the ammonia compounds. Keywords: electroplating, WWTP, characterization, TIE, toxicity test
2-11
PENDAHULUAN Air merupakan senyawa penting yang diperlukan bagi kelangsungan hidup makhluk hidup. Akan tetapi, saat ini sumber-sumber air telah mengalami penurunan kualitas. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan industri. Sebagai upaya untuk menurunkan bahaya beban pencemar dapat dilakukan dengan tidak diperkenankannya kegiatan industri membuang langsung air limbahnya ke lingkungan. Pengurangan beban pencemar dilakukan dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan meningkatkan kinerjanya agar konsentrasi pencemar yang semula dapat mencemari lingkungan diharapkan berkurang dan memenuhi baku mutu efluen yang ditetapkan. Pemerintah Indonesia telah mengatur mengenai baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri, yaitu Kep-51/MenLH/10/1995. Demikian juga pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengatur dalam Kep-06/KepDa Tk I Jabar/1999. Setiap IPAL sebaiknya melalukan monitoring secara berkala untuk menilai kualitas efluen. Selain monitoring kualitas fisika dan kimia air, saat ini telah dikembangkan pemantauan secara biologi yang dikenal sebagai biomonitoring (Bartram and Balance, 1996). Biomonitoring adalah monitoring kualitas air secara biologi yang dilakukan dengan melihat keberadaan sekelompok organisme penunjuk (bioindikator) yang hidup di perairan. Zhou, et. al. (2008) menjelaskan bahwa biomonitoring meliputi analisis terhadap bioakumulasi, biotoksisitas dan biomarker. Salah satu uji untuk menganalisis toksisitas adalah metoda uji hayati (bioassay) menggunakan hewan uji yang berfungsi sebagai bioindikator pencemaran akuatik dengan penentuan LC50 selama 24 jam (USEPA, 1999). Burgess et. al. (2013) menyatakan terdapat dua pendekatan untuk menguji kualitas lingkungan seperti limbah kota dan industri, perairan intersisial dan sedimen untuk mengidentifikasi kontaminan antropogenik penyebab toksisitas. Pendekatan pertama adalah TIE (Toxicity Identification Evaluation) dan kedua adalah EDA (Effects-Directed Analysis). TIE adalah uji toksisitas akuatik yang digunakan untuk menjajaki perubahan toksisitas pada efluen dengan cara mengisolasi dan memindahkan toksikan jenis tertentu atau menambahkan senyawa kimia pada efluen (USEPA, 1991). Prosedur TIE terdiri dari tiga fasa. Fasa I adalah karakterisasi toksikan efluen, fasa II didesain untuk mengidentifikasi toksikan, dan fasa III dilaksanakan untuk mengkonfirmasi penyebab toksisitas (USEPA, 1991). Ningsih (2005) mengevaluasi IPAL Cisirung menggunakan metoda TIE fasa I dengan hewan uji Daphnia magna. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai BOD dan COD yang tinggi dari hasil analisa kimia memperlihatkan masih tingginya jumlah kandungan materi organik dalam sampel efluen. TIE fasa I yang dilakukan memperlihatkan hasil uji toksisitas efluen setelah aerasi dan perubahan pH mengindikasikan adanya kandungan amoniak dalam sampel. Selain itu, uji toksisitas setelah penyesuaian pH, reaksi oksidasi reduksi dan penambahan EDTA menunjukkan adanya kandungan logam dalam sampel. Yi, et. al. (2011) mengemukakan bahwa efluen dari industri pelapisan logam dan karet menyebabkan toksisitas akut pada Daphnia magna dengan tingkat yang berbeda. Pada industri pelapisan logam tingginya tingkat Cl- dan SO42- yang berasal dari NaHSO3 dan NaOCl sebagai reducing agent adalah penyebab toksisitas. Penelitian lain pada industri pelapisan logam dilakukan juga oleh Kim et al. (2008). Penelitian menggunakan metode TIE menunjukkan bahwa senyawa organik dan logam yang terkandung dalam limbah industri pelapisan logam menunjukan toksisitas pada Daphnia dalam 48 jam yang menyebabkan imobilisasi. Penelitian menggunakan metode TIE juga dilakukan oleh de Schepper et. al. (2010) terhadap truk tangki efluen air limbah. TIE menggunakan EDTA dan penambahan karbon aktif, menyatakan senyawa organik sebagai sumber utama toksisitas. de Melo et. al. (2013) juga melakukan penelitian menggunakan metoda TIE pada IPAL industri kosmetik. Analisis 2-12
fisika kimia dan ekotoksikologi dari influen dan efluen mengungkapkan air hasil pengolahan menunjukkan toksisitas akut tinggi pada Daphnia similis dan toksisitas kronis pada Ceriodaphnia dubia dan Pseudokirchneriella subcapitata. Toksisitas ini dikaitkan dengan padatan tersuspensi, senyawa volatile atau sublatable dan senyawa organik non-polar atau polar yang dapat dipulihkan melalui filtrasi dan aerasi. Berdasarkan uraian tersebut maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian terkait pengembangan metoda bioassay sebagai biomonitoring dalam upaya peningkatan kinerja instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kegiatan industri untuk perbaikan kualitas badan air penerima.
METODOLOGI PENELITIAN Sampel air pada penelitian ini diambil dari berbagai unit proses IPAL PT. X. PT. X adalah industri elektroplating. Titik pengambilan sampel terdiri dari bak ekualisasi, tangki reduksi-presipitasi, bak sedimentasi dan effluen. Karakterisasi awal dilakukan selama lima hari produksi mulai dari Senin sampai Jumat. Frekuensi pengambilan sampel adalah tiga kali sehari, yaitu pagi hari pukul 08.00, siang hari pukul 12.30 dan sore hari pukul 16.00. Parameter fisika dan kimia yang dianalisis didasarkan pada KepMenLH No. 51 tahun 1995 dan SK. Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999. Adapun parameter tersebut adalah pH, TSS, sianida dan logam berat (Cr, Zn, Ni, Cu, Pb dan Cd). Serta parameter tambahan yaitu COD didasarkan pada EPA (2011) mengenai efluen standard industri pelapisan logam. Untuk karakterisasi sampel air uji toksisitas, selain perameter tersebut, terdapat parameter lain yang dianalisis untuk menunjang hasil uji toksisitas yaitu DO, konduktivitas, salinitas dan amoniak. Evaluasi Identifikasi Toksisitas fasa 1 didesain untuk menguji toksisitas sampel air. Hewan uji yang digunakan adalah Daphnia magna. Diagram alir TIE fasa 1 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram Alir Evaluasi Identifikasi Toksisitas Fasa 1 (USEPA, 1991 dimodifikasi oleh Ningsih, 2005)
2-13
Pengolahan Data Data hasil karakteristik sampel air IPAL dibandingkan secara deskriptif dengan baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yang terdapat pada KepMenLH No. 51 tahun 1995 dan SK. Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999 serta EPA 2011 untuk COD. Sedangkan untuk menentukan LC50 seluruh uji TIE, data mortalitas Daphnia magna yang terkumpul diolah menggunakan metoda Probit Program Version 1.5. Untuk membandingkan uji toksisitas inisial dan dasar digunakan program data analyze dari Microsoft excel 2007 dengan metode t-Test Paired Two Samples for Means dengan tingkat kepercayaan 95%. Hipotesisnya adalah sebagai berikut : H0 : µinisial = µdasar, tidak ada perbedaan nyata antara uji toksisitas inisial dan dasar. H1 : µinisial ≠ µdasar, terdapat perbedaan nyata antara uji toksisitas inisial dan dasar. Kriteria uji : Ho diterima jika thit ttabel dan H0 ditolak jika thit ttabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakterisasi Awal Sampel Air Karakterisasi awal sampel air dilakukan untuk melihat konsentrasi harian parameter fisika dan kimia sampel air. Hasil dari analisis ini kemudian digunakan untuk menentukan metode serta hari pengambilan sampel untuk uji toksisitas. Adapun parameter yang diuji adalah pH, TSS, sianida, logam berat (Cr, Zn, Ni, Cu, Pb dan Cd) serta parameter tambahan yaitu COD. Hasil karakterisasi dapat dilihat pada Gambar 2 – Gambar 7.
Gambar 2 Hasil Pengukuran pH Efluen
Gambar 3 Kandungan TSS Efluen
Gambar 4 Kandungan COD Efluen
Gambar 5 Kandungan CN Efluen
2-14
Gambar 7 Kandungan Zn Efluen
Gambar 6 Kandungan Cr Efluen Ket Gambar 2-Gambar 7 :
Baku mutu berdasarkan KepMenLH No. 51 Tahun 1995 dan SK Gubernur Jabar No. 6 Tahun 1999
Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai pH pada hari Senin, Selasa dan Kamis berada di atas baku mutu. Nilai TSS berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa sampel Senin, Kamis dan Jumat berada di atas baku mutu. Berdasarkan Gambar 4, seluruh sampel memiliki kandungan COD diatas baku mutu. Gambar 5 menunjukkan seluruh sampel memiliki kandungan CN di bawah baku mutu. Seluruh sampel memiliki kandungan Cr diatas baku mutu berdasarkan Gambar 6 dan berdasarkan Gambar 7 seluruh sampel memiliki kandungan Zn di bawah baku mutu. Untuk logam Cu, Pb, Cd dan Ni keberadaannya tidak terdeteksi di seluruh sampel air efluen menunjukan bahwa seluruh sampel air berada di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Diketahui bahwa baku mutu logam Cu 0,6 mg/L, Pb 0,1 mg/L, Cd 0,05 mg/L dan Ni adalah 1,0 mg/L. Melihat hasil karakterisasi seluruh parameter fisika dan kimia pada Gambar 2Gambar 7, maka pengambilan sampel untuk uji tokisitas dilakukan secara komposit dan juga diputuskan mengambil sampel berdasarkan kualitas efluen pada kondisi terburuk yaitu hari senin karena pada hari tersebut beberapa parameter seperti pH, TSS dan COD berada pada konsentrasi yang tinggi. Karakterisasi Sampel Air Untuk Uji Toksisitas Berdasarkan hasil karakterisasi awal terhadap sampel air IPAL, maka sampel air untuk uji toksisitas dikumpulkan secara komposit dan diambil pada hari Senin sebagai efluen terburuk. Sampel air diambil dari berbagai unit IPAL. Terdapat empat titik pengambilan sampel yaitu bak ekualisasi (unit A), tangki reduksi-presipitasi (unit B), bak sedimentasi (unit C) dan effluen (Unit D). Hasil karakterisasi untuk uji toksisitas dapat dilihat pada Tabel 1.
2-15
Tabel 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Sampel Air Berbagai Unit IPAL Parameter pH TSS COD Sianida Kromium Zinc Tembaga Nikel Timbal, Kadmium, DO Konduktivitas Salinitas Amoniak
Satuan mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Unit A 7,2 23 128 0,012 1,12 0,36 0,013 0,45
Unit B 10 48 160 0,035 0,61 0,33 0,001 0,22
Unit C 9,6 31 160 0,024 0,24 0,31 0,001 0,09
Unit D 9,6 26 224 0,018 0,12 0,18 0,001 0,01
mg/L
0,001
0,001
0,001
0,001
mg/L mS ppt mg/L
7,17 6,00 3,1 0,4
6,15 5,80 2,9 4,4
5,04 5,04 2,5 2,61
5,58 2,44 0,4 2,23
Baku mutu 6-9 20 100 0,2 0,5 1,0 0,6 1,0 0,1; 0,05;
Ket : Baku mutu berdasarkan KepMenLH No. 51 Tahun 1995 dan SK Gubernur Jabar No. 6 Tahun 1999
Hasil Uji Evaluasi Identifikasi Toksisitas (TIE) Fasa 1 Uji Toksisitas Inisial Nilai LC50 Uji toksisitas inisial akan digunakan untuk menentukan konsentrasi larutan pada uji TIE berikutnya. Menurut USEPA (1991), nilai LC50 yang digunakan adalah LC50 24 jam. Namun, dari Tabel 2 diketahui bahwa pada jam ke-24 nilai LC50 masih sangat tinggi yang menandakan bahwa larutan belum toksik untuk Daphnia. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan LC50 48 jam. Untuk unit A, data mortalitas tidak bisa diolah sehingga nilai LC50 tidak didapatkan. Pada konsentrasi 100%; 50%; 25%; 12,5% dan 6,25% terjadi kematian total pada Daphnia. Kemudian sampel air diencerkan menjadi 3,12%; 1,56%; 0,78%; 0,39%; 0,2%; 0,1%; 0,05% namun sampel air sepertinya terlalu toksik bagi Daphnia sehingga masih menyebabkan kematian total. Tabel 2. Hasil Uji Toksisitas Inisial Sampel Air Seluruh Unit IPAL PT. X Sampel air Unit A Unit B Unit C Unit D
24 jam 251 103 131
Nilai LC50 (%) 48 jam 72 jam 17 24 27 -
96 jam -
Konsentrasi larutan uji TIE berikutnya adalah 4x-, 2x-, 1x- dan 0,5x- LC50 48 jam tersebut. Adapun konsentrasi larutan untuk uji TIE selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konsentrasi Larutan Setiap Unit IPAL Untuk Berbagai Uji TIE Unit Unit B Unit C
4x-LC50 48 jam 68 96
Konsentrasi larutan (%) 2x-LC50 48 jam 1x-LC50 48 jam 34 17 48 24 2-16
0,5x-LC50 48 jam 8,5 12
Unit D 108 54 27 13,5 Oleh karena nilai 4x-LC50 48 jam unit D sedikit melewati konsentrasi maksimum larutan, maka konsentrasi untuk unit D menggunakan konsentrasi 100%; 50%; 25% dan 12,5%. Khusus untuk unit A, karena data mortalitas tidak bisa diolah sehingga nilai LC50 tidak bisa didapatkan, maka diputuskan mengambil nilai LC50 berdasarkan pengenceran terkecil yg pernah dilakukan yaitu 0,05%. Dengan asumsi, setelah dilakukan berbagai uji TIE, sampel air tersebut berkurang toksisitasnya. Jadi, konsentrasi larutan unit A untuk uji TIE selanjutnya adalah 0,2%; 0,1%; 0,05% dan 0,02%. Uji Toksisitas Dasar Tabel 4. Perbandingan Uji Toksisitas Inisial dan Uji Toksisitas Dasar Nilai LC50 (%) Unit A B C D
Uji 24 jam Inisial Dasar Inisial Dasar Inisial Dasar Inisial Dasar
251 218 103 110 131 187
Hasil t-Test thitung : 0 ttabel : 1,79 thitung : 1 ttabel : 1,79 thitung : -0,43 ttabel : 1,79
48 jam
72 jam
96 jam
17 25 24 28 27 34
12 8 14 16 11 14
6 5 8 6 6 6
Berdasarkan hasil program data analyze dengan metode t-Test Paired Two Samples for Means dengan tingkat kepercayaan 95% (Tabel 4) didapatkan nilai thitung untuk unit B, C dan D masing-masing adalah 0, 1 dan -0,43. Dari angka tersebut, diketahui bahwa seluruh unit IPAL memiliki nilai thitung < ttabel. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima yang berarti tidak ada perbedaan nyata antara uji toksisitas inisial dan dasar. Karena tidak ada perbedaan yang nyata antara hasil uji toksisitas inisial dengan uji toksisitas dasar, maka dianggap tidak terjadi perubahan toksikan pada sampel air. Oleh karena itu, pengerjaan uji TIE dapat dilanjutkan. Uji Toksisitas Setelah Penyesuaian pH Toksisitas sampel air dari seluruh unit berkurang setelah dilakukan penyesuaian pH terhadap sampel air. Toksisitas sampel dengan penyesuaian pH 11 paling rendah diantara yang lainnya. Kemudian diikuti oleh penyesuaian pH 3. Toksisitas dengan penyesuaian pH 11 paling rendah dikarenakan terjadi pengendapan kation logam dalam bentuk hidroksida. Terbentuknya endapan ini memindahkan toksikan dari bentuk larutannya. Sebagai contoh, logam Cu. Persamaan reaksi Cu pada suasana basa adalah sebagai berikut : Cu2+ + 2 OH- Cu(OH)2
………………(1)
Logam lain yang membentuk hidroksida pada pH 11 diantaranya Cd, Pb, Ni, Hg, Mn, Ag, dan lain sebagainya (Vogel, 1979). Toksisitas sampel dengan penyesuaian pH 3 sedikit berkurang dibandingkan dengan uji dasar disebabkan adanya penguapan anion toksik. Vogel (1979) menyatakan terdapat dua 2-17
anion toksik yang mudah menguap pada suasana asam sehingga keberadaannya dalam sampel air berkurang. Senyawa tersebut adalah CN- dan S2-. Pada penelitian ini, diduga anion tersebut adalah CN- karena diketahui adanya kandungan CN pada sampel dengan konsentrasi 0,012 mg/L pada unit A; 0,035 mg/L pada unit B; 0,024 mg/L pada unit C dan 0,018 mg/L pada unit D. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : CN- + HCl HCN
+ Cl- ………………(2)(Vogel, 1979)
Uji Toksisitas Setelah Aerasi Hasil uji toksisitas aerasi pH 11 pada semua unit paling rendah diantara pH yang lain. Menurut Vogel (1979) senyawa yang mudah menguap pada pH 11 adalah NH3. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya kandungan NH3 pada sampel air dengan konsentrasi 0,4 mg/L pada unit A; 4,4 mg/L pada unit B; 2,61 mg/L pada unit C dan 2,23 mg/L pada unit D. Pada unit B, C dan D hasil uji toksisitas aerasi pH i lebih tidak toksik dibandingkan pH 3. Vogel (1979) menyatakan senyawa yang mudah menguap pada pH 3 adalah H2S. Karena dalam proses produksinya PT. X tidak menggunakan H2S maka pada sampel air tidak ditemukan adanya kandungan H2S. Hal itu menyebabkan hasil uji aerasi pH 3 tidak terlalu mengalami penurunan toksisitas dibandingkan dengan hasil uji dasar. Uji Toksisitas Setelah Filtrasi Hasil uji toksisitas setelah filtrasi pada seluruh unit IPAL paling rendah terjadi pada pH 11. Kemudian diikuti oleh pH 3 dan pH i. Uji filtrasi pada pH 11 paling rendah toksisitasnya disebabkan adanya pengendapan kation logam seperti yang telah dijelaskan pada uji toksisitas setelah penyesuaian pH. Dengan terjadinya pengendapan saja toksisitasnya berkurang, ditambah lagi dengan adanya filtrasi, endapan yang terbentuk dapat terangkat dari sampel air. Terangkatnya endapan tersebut memperkecil toksikan masuk kedalam tubuh Daphnia. Uji Toksisitas Setelah Reaksi Oksidasi-Reduksi Untuk uji ini digunakan sodium tiosulfat. Jumlah sodium tiosulfat yang ditambahkan pada sampel air adalah 0,5x-; 0,25x-; dan 0,125x- LC50 48 jam. Pada unit A, B dan D pengurangan toksisitas terjadi seiring dengan bertambah besarnya konsentrasi sodium tiosulfat yang diberikan. Tiosulfat berfungsi sebagai agen kelat untuk beberapa logam kation seperti Cd2+, Cu2+, Ag2+, Hg2+, dll. Jadi, semakin banyak sodium tiosulfat yang diberikan semakin banyak kation logam yang terikat sehingga toksisitasnya berkurang. Pada unit C, toksisitas paling rendah ditunjukkan oleh penambahan sodium tiosulfat 0,25x LC50 48 jam. Ini mungkin terjadi karena kadar tiosulfat yang berlebih dapat berikatan dengan oksigen terlarut dalam larutan yang dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah DO dalam larutan. Berdasarkan hasil uji DO terhadap seluruh unit IPAL, diketahui bahwa unit C memiliki kadar DO paling rendah diantara unit lain yaitu sebesar 5,04 mg/L. Oleh karena itu, kadar tiosulfat yang berlebihan pada unit C sedikit mengganggu kehidupan Daphnia. Uji Toksisitas Setelah Penambahan EDTA Dalam uji ini digunakan Na-EDTA. Na-EDTA yang ditambahkan pada sampel yaitu 0,2 ml, 0,05 ml dan 0,0125 ml. EDTA adalah agen pengikat yang kuat untuk membentuk kompleks non-toksik dengan beberapa logam. Pada unit A, hasil uji toksisitas setelah penambahan EDTA hanya dapat dilihat pada penambahan EDTA 0,0125 ml. Pada penambahan EDTA 0,2 ml dan 0,05 terjadi kematian total sehingga nilai LC50 tidak 2-18
didapatkan. Hal ini dapat terjadi karena penambahan EDTA yang terlalu banyak justru akan mengikat mineral yang dibutuhkan Daphnia untuk hidup sehingga meningkatkan jumlah kematian. Pada unit B, C dan D toksisitas terendah ditunjukan pada penambahan EDTA 0,05 ml. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi EDTA yang cocok untuk mengikat kation logam. Pada penambahan EDTA 0,0125 ml konsentrasinya terlalu sedikit dan tidak cukup untuk mengikat kation logam yang terkandung dalam sampel air sehingga sampel air masih toksik untuk Daphnia. Sedangkan pada penambahan EDTA 0,2 ml konsentrasinya terlalu besar sehingga mineral yang dibutuhkan Daphnia untuk menunjang kehidupannya ikut terikat sehingga menyebabkan kematian. Uji Toksisitas Setelah Perubahan pH Uji toksisitas setelah perubahan pH digunakan untuk mengetahui keberadaan senyawa dalam sampel air yang toksisitasnya dipengaruhi oleh perubahan pH. Salah satu senyawa yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pH adalah amonium. NH4+ dalam larutan basa akan menjadi NH3 dan bersifat lebih toksik (USEPA, 1991). NH4+ + OH- NH3 + H2O
………………(3)
Sampel seluruh unit IPAL menunjukkan tingkat toksisitas paling tinggi terjadi pada pH 8. Semakin tinggi pH maka semakin toksik sampel air. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya kandungan amoniak pada pengujian sampel air. Konsentrasi amoniak pada unit A hingga unit D berturut-turut adalah 0,4 mg/L; 4,4 mg/L; 2,61 mg/L dan 2,23 mg/L.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja IPAL PT. X tidak optimal di beberapa proses pengolahan limbah. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa pH, TSS dan COD efluen masih berada diatas baku mutu yang ditetapkan. Hasil terhadap uji toksisitas sampel air dari berbagai unit proses menunjukkan bahwa tingkat toksisitas berkurang setelah diberikan perlakuan menggunakan metoda TIE. Uji toksisitas setelah penyesuaian pH menurunkan tosisitas sampel. Hal ini mengindikasikan adanya kation logam dan CN dalam sampel. Uji toksisitas setelah filtrasi menurunkan toksisitas sampel air berkaitan dengan adanya endapan kation logam yang dapat disaring. Uji toksisitas setelah aerasi menurunkan toksisitas sampel air mengindikasikan adanya kandungan amoniak. Toksisitas sampel air berkurang pada uji toksisitas setelah reaksi oksidasi reduksi dan setelah penambahan EDTA dalam konsentrasi tiosulfat dan EDTA yang tepat. Hal ini menunjukkan adanya kandungan logam. Pada uji toksisitas setelah perubahan pH, semakin tinggi pH toksisitasnya meningkat. Hal tersebut menunjukkan adanya kandungan amoniak. Daftar Pustaka Bartram, J. and Balance, R. 1996. Water Quality Monitoring : A Practical Guide to the Design and Implementation of Freshwater Quality Studies and Monitoring Programmes. United Nations Environment Programme and the World Health Organization. Burgess, R. M., Kay T. H., Werner B., Marja L. 2013. Effects-Directed Analysis (EDA) and Toxicity Identification Evaluation (TIE) : Complementary but Different Approaches for Diagnosing Causes of Environmental Toxicity. Environmental Toxicology and Chemistry. Volume 32 (9):1935-1945.
2-19
de Melo, E. D., Ann H. M., Lucas H. de Souza L., Renata C., Barros B., Izabella M. F. Campos. 2013. Toxicity Identification Evaluation of Cosmetics Industry Wastewater. Journal of Hazardous Materials. Volumes 244–245:329–334. de Schepper, W., Dries J., Geuens L. 2010. Wastewater Treatment Plant Modeling Supported Toxicity Identification and Evaluation of a Tank Truck Cleaning Effluent. Ecotoxicol Environ Saf. Volume 73(5):702-9. Kim, E., Jun Y.R., and Jo H. J. 2008. Toxicity Identification in Metal Plating Effluent : Implications in Establishing Effluent Discharge Limits Using Bioassays in Korea. Mar Pollut Bull. 57(6-12):637-644. Ningsih, R. L. 2005. Evaluasi Identifikasi Toksisitas Fasa I Sebagai Bagian Dari Evaluasi Reduksi Toksisitas Pada Efluen Instalasi Pengolahan Air Limbah (Studi Kasus : Instalasi Pengolahan Air Limbah Cisirung). Tesis. ITB. Bandung. USEPA. 1991. Methods for Aquatic Toxicity Identification Evaluations : Phase I Toxicity Characterisation Procedures. EPA/600/6‐91/003. USEPA. 1999. Toxicity Reduction Evaluation Guidance for Municipal Wastewater Treatment Plants. EPA 833‐B‐99‐002. Vogel. 1979. Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis. Richard Clay (The Chaucer Press) Ltd. Great Britain. Yi X., Kim E., Jo H. J., Han T., Jung J. 2011. A Comparative Study on Toxicity Identification of Industrial Effluents Using Daphnia Magna. Bull Environ Contam Toxicol. Volume 87(3):319-23. Zhou, Q., Zhang,J., Fu, J., Shi, J., Jiang, G. 2008. Biomonitoring : An Appealing Tool for Assessment of Metal Pollution in the Aquatic Ecosystem. Chinese Academy of Sciences. Beijing.
2-20