Pengembangan Material Sorben Berbasis Zeolite dan Clay Alam sebagai Media Desalinasi Air Laut Edy Wibowo1,2,*, Mamat Rokhmat, Sutisna1, Khairurrijal dan Mikrajuddin Abdullah1* 1
Laboratorium Sintesis dan Fungsionalisasi Nanomaterial, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia 2 Prodi Teknik Fisika, Fakultas Teknik Elektro, Universitas Telkom, Jl. Telekomunikasi No. 1 Bandung 40257, Indonesia *Penulis utama. Alamat email:
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Telah dikembangkan material pengikat ion (material sorben) berbasis material alam sebagai media desalinasi air laut. Material alam yang digunakan berupa clay, tanah, karang dan zeolite. Aktivasi termal dilakukan untuk meningkatkan sorpsibilitas material. Sorpsibilitas material terhadap ion-ion garam air laut dinyatakan dengan efisiensi reduksi. Efisiensi reduksi tertinggi sebesar 4% diperoleh dari aktivasi tanah pada suhu 600 °C dan zeolite pada suhu 200 °C. Efisiensi reduksi meningkat secara liniar dengan penambahan dosis material sorben. Sorpsibilitas zeolite dan tanah darat dapat ditingkatkan melalui aktivasi termal pada suhu yang relatif rendah sehingga berpotensi dijadikan sebagai low cost material sorben untuk desalinasi air laut. Kata kunci: material alam, aktivasi termal, pengikat ion, sorpsibilitas, salinitas, desalinasi.
© Institut Teknologi Bandung. Hak cipta dilindungi.
Diterima 5 Juni 2016 • Direvisi 27 September 2016 • Disetujui 8 Oktober 2016 • Tersedia online 20 Juni 2017 Kutip artikel ini sebagai berikut: Wibowo, E., M.R. Sutisna, Khairurrijal, M. Abdullah, Pengembangan Material Sorben Berbasis Zeolite dan Clay Alam sebagai Media Desalinasi Air Laut, J. Matem. Sains, 2017, 22, 37-41. PENDAHULUAN
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia yang utama. Pertambahan jumlah penduduk diikuti dengan peningkatan berbagai kegiatan industri dan pertanian menyebabkan kebutuhan air bersih meningkat drastis. Di sisi lain, produksi limbah air dan potensi pencemaran air bersih akibat limbah industri, limbah pertanian dan limbah rumah tangga juga meningkat. Jika keadaan ini terus berlangsung tanpa diikuti penanganan yang tepat, maka ketersediaan air bersih semakin lama akan semakin berkurang. Indonesia mempunyai sumber daya air laut yang melimpah. Dua pertiga luas wilayah Indonesia berupa lautan, sehingga jika dikelola lebih lanjut dapat dijadikan sebagai reservoir air bersih. Teknik mengolah air laut menjadi air bersih dikenal dengan istilah desalinasi air laut. Berbagai teknologi desalinasi telah dikembangkan dan digunakan untuk menambah persediaan air bersih dunia seperti multi-stage flash distillation (MSF), multiple effect distillation (MED), vapor compression distillation (VCD), reverse osmosis (RO), electrodialysis (ED), dan freezing [1-3]. Secara garis besar teknologi tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu berbasis termal dan berbasis membran. Teknologi desalinasi berbasis membran menghasilkan air bersih dengan cara pemisahan molekul, sedangkan teknologi berbasis termal bekerja dengan memecah ikatan antara molekul air melalui proses distilasi maupun kristalisasi. Kendala utama dari kedua teknologi ini adalah diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam DOI Number: 10.5614/jms.2017.22.1.10
pengoperasiannya. Selain itu, teknologi di Indonesia saat ini masih sangat terbatas sehingga belum mampu mewujudkan teknologi secanggih itu. Perlu dikembangkan teknologi desalinasi yang lebih sederhana, lebih ekonomis serta mempunyai biaya pengadaan dan perawatan yang relatif lebih terjangkau. Salah satu teknologi yang dapat dijadikan pilihan untuk dikembangkan sebagai teknologi ekodesalinasi air laut adalah desalinasi menggunakan material pengikat ion. Sistem desalinasi ini tidak bergantung pada cuaca seperti halnya teknologi desalinasi menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi termal. Sistem desalinasi ini tidak menggunakan teknologi membran seperti pada proses RO dan juga tidak memerlukan energi listrik sepertihalnya pada proses ED. Proses desalinasi menggunakan material pengikat molekul-molekul garam tidak memerlukan pasokan energi dari luar selama proses reaksi. Material alam yang berpotensi dijadikan sebagai material pengikat ion adalah material dari jenis zeolite dan clay [4-5]. Selain harganya murah, ketersediaan material tersebut di alam juga melimpah, akan tetapi pada kondisi alaminya kemampuan sorpsi dari kedua jenis material tersebut masih rendah. Proses aktivasi yang tepat, perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sorpsi material tersebut. Dalam penelitian ini selain zeolite dan clay, juga digunakan tanah dan karang. Hal ini bertujuan untuk menemukan material baru ISSN 0854-5154 | eISSN 2442-7349
38
Wibowo dkk. / J. Matem. Sains, 2017, 22, 37-41
yang berpotensi sebagai sorben. Dalam makalah ini, dipaparkan pengaruh aktivasi termal terhadap sorpsibilitas material sorben dalam mereduksi salinitas air laut. EKSPERIMEN
Penelitian ini difokuskan pada aktivasi material alam untuk dijadikan sebagai material pengikat ion. Material amal yang digunakan berupa clay, zeolite dan tanah dari berbagai daerah di Indonesia. Aktivasi dilakukan dengan pemanasan menggunakan furnace pada rentang suhu 200 °C sampai 600°C selama 3 jam. Sebelum diaktivasi, material mentah tersebut dihaluskan kemudian diayak untuk mendapatkan ukuran yang seragam. Penghalusan dan pengayakan material dilakukan secara mekanik sederhana menggunakan mortar dan ayakan. Penentuan distribusi ukuran serbuk dilakukan dengan fiting Log Normal menggunakan sofware Origin. Sorpsibilitas material diujicobakan untuk mereduksi salinitas air laut. Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan Salinometer. Data hasil pengukuran perubahan salinitas dinyatakan dalam besaran efisiensi reduksi. Fourier Transfor Infra-Red (FTIR) digunakan untuk analisis perubahanstruktur ikat molekul setelah proses aktivasi.
Al dan Si dalam jumlah tertentu sehingga kerangka material menjadi kekurangan muatan namun tidak sampai rusak. Akibatnya proses subtitusi isomorfik untuk menyeimbangkan muatan listrik pada kerangka material meningkat. Peningkatan porositas dan laju subtitusi isomorfik ini diharapkan akan meningkatkan efektivitas sorbsi ion-ion garam melalui mekanisme absorpsi. Selain menghilangkan zat-zat penyumbat pori, aktivasi termal juga dimaksudkan untuk membersihkan permukaan material agar menjadi lebih reaktif ketika berinteraksi dengan ion-ion logam dalam air laut.
(b)
(a)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 menunjukkan sempel material alam yang telah dihaluskan. Material tersebut dihaluskan dengan tujuan untuk meningkatkan luas permukaan sehingga memiliki kontak efektif yang luas. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan efektivitas sorbsi ion-ion garam pada permukaan maupun struktur padatan material. Proses sorbsi ini diharapkan terjadi baik melalui adsorpsi (pengikatan ion logam pada permukaan material) maupun melalui mekanisme absorpsi (pengikatan ion logam pada struktur dalam material). Aktivasi dilakukan pada rentang temperatur 200 °C sampai 600 °C selama 3 jam. Aktivasi termal yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan porisitas material melalaui mekanisme pembuangan molekul air dan zat-zat organik yang menyumbat saluran pori material. Aktivasi juga bertujuan untuk menghilangkan atom -------------------------------------------------------------------------------ABSTRACT: We have developed a sorbent based natural materials for seawater desalination application. We used clays, soil, rock and zeolite as raw materials. We conducted a thermal activation process to improve the sorption ability of the materials. The sorption ability of materials were tested to reduce the salinity of seawater and it is expressed by the reduction efficiency. The highest reduction efficiency (4%) was obtained from the activation of the soil at temperature of 600°C and the zeolite at a temperature of 200°C. It can be seen that the reduction efficiency was linearly increased with the increase of the doses of sorbent. We observed that the sorption ability of zeolite can be enhanced through thermal activation at a relatively low temperature so that it was potentially used as a low-cost sorbent material for seawater desalination. Keywords: natural materials, thermal activation, sorption, salinity, seawater, desalination __________________________________________________
© Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Hak cipta dilindungi.
(c)
(d)
Gambar 1. Material alam yang telah dihaluskan, (a) Clay Cibodas, (b) Zeolite, (c) Clay Plered dan (d) Tanah. Distribusi ukuran serbuk material ditentukan dengan cara fitting data menggunakan fungsi Log Normal. Dari perhitungan yang dilakukan, diperoleh distribusi ukuran yang cukup seragam dengan diameter rata-rata sebesar 0.77 mm. Pada material sorben, diperlukan ukuran serbuk yang kecil dan seragam dikarenakan semakin kecil ukuran serbuk maka luas efektif material (luas permukan per volum) semakin besar. Sorben material dengan luas efektif tinggi akan memiliki kemampuan sorpsi permukaan yang juga tinggi [6]. Keseragaman ukuran berkontribusi pada keseragaman sifat sorpsi material yang dihasilkan [7]. Gambar 3 menunjukkan spektrum FTIR dari clay, tanah, karang dan zeolit yang diaktifkan pada 200 °C sampai 600 °C selama 3 jam. Dapat dilihat bahwa material clay, karang, tanah, dan zeolite memiliki struktur molekul ikatan yang berbeda. Namun, semua material memiliki puncak-puncak dominan yang identik di derah 1000 cm-1 dan 796 cm-1. Kedua puncak tersebut dihasilkan oleh vibrasi asymmetric stretching (νas) dari ikatan Si-O (Si) dan Si-O (Al) [3-5]. Kedua puncak tersebut menunjukkan bahwa semua bahan tadi memiliki elemen dominan yang sama yaitu Si dan Al (Aluminium silikat). Pada material dari jenis clay baik yang berasal dari Plered, ISSN 0854-5154 | eISSN 2442-7349
39
Wibowo dkk. / J. Matem. Sains, 2017, 22, 37-41
Cibodas maupun Sadanah, teramati spektrum FTIR yang hampir sama. Terlihat puncak-puncak vibrasi pada daerah 468 cm-1, 670 cm-1 dan 900 cm-1 untuk semua jenis clay. Puncakpuncak ini juga teramati pada karang dan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa clay, karang dan tanah memiliki unsur penyusun yang identik namun dengan struktur dan komposisi yang tidak sama. Puncak vibrasi pada daerah 468 cm-1 bersesuaian dengan antiphase bending vibrations (δ) O-Si-O, sedangkan puncak 670 cm-1 dan 900 cm-1 mengindikasikan adanya symmetric stretching vibrations (νs) ikatan Si-O-Al [6, 8]. Puncak spektrum yang lebih sedikit teramati pada zeolite. Pada zeolite puncak vibrasi hanya teramati pada daerah 1000 cm-1 dan 796 cm-1.
dari desorpsi atom-atom Si dan Al yang seharusnya berkontribusi dalam meningkatkan porositas material menjadi tidak tampak. Sebagai akibatnya luas permukaan zeolite yang diharapkan meningkat justru menjadi lebih kecil saat dilakukan aktivasi pada suhu yang lebih tinggi. Tabel 1 menunjukkan efisiensi reduksi berbagai material alam setelah diaktivasi termal. Uji efektivitas material pengikat ion dilakukan dengan memasukkan 3,5 g serbuk dari masingmasing material teraktivasi kedalam 100 ml sampel air laut yang di tempatkan dalam botol. Tiap-tiap botol kemudian digoncang secara mekanik agar material sorpsi yang ditambahkan dapat tercampur secara homogen dalam air laut. Pengukuran salinitas dilakukan satu hari setelah pencampuran dan kondisi air laut telah kembali jernih dikarenakan seluruh material pengikat ion telah terendapkan di dasar botol. Dari hasil pengukuran salinitas ditentukan efisiensi reduksi dengan menggunakan Persamaan 1.
( S S ') x100% S
(1)
dengan η, S, dan S’ adalah efisiensi reduksi, salinitas awal dan salinitas akhir larutan.
Gambar 2. Distribusi ukuran serbuk material yang telah dihaluskan Dari spektrum FTIR, dapat dilihat bahwa luas daerah di bawah puncak vibrasi dari semua material mengalami penurunan ketika temperatur aktivasi dinaikkan. Luas suatu puncak vibrasi mengindikasikan banyak sedikitnya ikatan molekul dalam material. Semakin banyak jumlah suatu molekul dalam material akan dihasilkan puncak vibrasi yang luas pada daerah vibrasi molekul tersebut. Sebaliknya puncak vibrasi dengan luasan lebih kecil mengindikasikan jumlah molekul yang juga lebih sedikit. Material yang diaktivasi pada suhu yang lebih tinggi memiliki luas daerah di bawah kurva yang lebih kecil dibandingkan dengan material yang diaktivasi pada suhu lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada aktivasi dengan suhu tinggi, jumlah atom Al dan Si yang terdesorpsi semakin banyak sehingga porositas material meningkat. Akibatnya sorpsibilitas dari clay, tanah dan karang semakin tinggi ketika material tersebut di aktivasi pada suhu tinggi. Berbeda dengan material lain, sorpsibilitas zeolite semakin menurun ketika diaktivasi pada suhu yang semakin tinggi. Fenomena ini mengindikasikan bahwa peningkatan suhu aktivasi pada zeolite justru menyebabkan penurunan luas permukaan zeolite. Hal ini diduga terjadi karena adanya solidifikasi akibat proses sintering; perapatan permukaan material karena pemanasan pada suhu tinggi [9]. Pada zeolite efek sintering yang terjadi diduga lebih dominan sehingga dampak
© Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Hak cipta dilindungi.
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa sorpsibilitas clay dari Pleret mengalami sedikit peningkatan setelah diaktivasi. Efisiensi reduksi clay sebelum diaktivasi sebesar 0,0%. Nilai efisiensi meningkat menjadi 0,3% ketika clay Pleret diaktivasi pada 200 °C dan 300 °C. Efisiensi reduksi meningkat menjadi 0,6% setelah diaktivasi pada 400°C. Aktivasi pada 500 °C juga tidak meningkatkan efisiensi reduksi menjadi lebih besar dari 0,6%. Efisiensi reduksi meningkat menajdi 0,9% ketika suhu aktivasi dinaikkan menjadi 600 °C. Untuk clay dari Cibodas nilai efisiensi reduksi sebelum diaktivasi adalah 0,0%. Sorpsibilitas clay dari Cibodas meningkat seiring dengan peningkatan temperatur aktivasi. Tabel 1. Efisiensi reduksi berbagai material alam setelah diaktivasi termal. Efisiensi reduksi dari material pengikat ion (%) Temperatur Ta aktivasi (°C) Ple Cibo Kar Zeol Sada na ret das ang ite nah h Tanpa aktivasi 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.0 200 0.3 0.3 0.3 1.4 4.0 0.4 300 0.3 0.6 0.6 2.3 2.9 0.6 400 0.6 0.6 0.9 3.4 2.3 0.6 500 0.6 0.9 0.9 3.4 2.0 0.9 600 0.9 0.9 1.1 4.0 1.7 0.9
Nilai efisiensi reduksi meningkat menjadi 0,3% dan 0,6% ketika clay diaktivasi pada 200°C dan 300°C. Efisiensi reduksi tertinggi sebesar 0,9% terjadi pada temperatur akativasi 500°C. Aktivasi pada temperatur yang lebih tinggi (600°C) tidak meningkatkan efisiensi reduksi. Perilaku yang sama ISSN 0854-5154 | eISSN 2442-7349
40
Wibowo dkk. / J. Matem. Sains, 2017, 22, 37-41
juga teramati pada sorpsibilitas clay dari Sadanah. Efisiensi tertinggi sebesar 0,9% diperoleh saat clay diaktivasi pada 500 °C, begitu juga saat diaktivasi pada 600 °C. Pada material sorben berbasis karang, efisiensi reduksi tertinggi sebesar 1,1% diperoleh dari aktivasi pada 600 °C. Aktivasi pada suhu yang lebih rendah menghasilkan material sorben dengan efisiensi reduksi yang juga lebih rendah. Efisiensi reduksi karang saat diaktivasi pada 500 °C, 400 °C, 300 °C dan 200 °C adalah 0,9%, 0,9%, 0,6% dan 0,3%, sedangkan efisiensi reduksi karang yang belum diaktivasi adalah 0,0%. Peningkatan efisiensi reduksi sebagai fungsi penambahan temperatur aktivasi juga terjadi pada material sorben berbasis tanah, namun besarnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan material sorben berbasis clay dan karang. Pada aktivasi pada suhu yang relatif rendah (300 °C), dihasilkan material sorpsi dengan efisiensi reduksi 2,3%. Nilai ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi reduksi maksimum untuk clay dan karang meskipun telah diaktivasi pada temperatur yang jauh lebih tinggi. Efisiensi reduksi tanah meningkat menjadi 3,4% ketika diaktivasi pada 400 °C. ketika temperatur aktivasi dinaikkan menjadi 600 °C, efisiensi reduksi tanah mencapai 4,0%.
Gambar 3. Splektrum FTIR dari (a) Clay Pleret, (b) Clay Cibodas, (c) Karang, (d) Tanah,(e) Zeolite, dan (f) Clay Sadanah. Peningkatan sorpsibilitas material dalam mereduksi salinitas air laut ditunjukkan dengan nilai efisiensi reduksi yang semakin meningkat. Meningkatnya efisiensi reduksi mataerial sorben mengindikasikan proses aktivasi yang dilakukan telah © Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Hak cipta dilindungi.
berhasil meningkatkan luas permukaan material sorben. Peningkatan luas efektif ini dikarenakan terjadinya mekanisme pembersihan zat-zat pengotor yang menyumbat permukaan material selama proses aktivas serta terjadinya dealuminasi maupun desilikonisasi [10,11]. Semakin tinggi suhu aktivasi yang digunakan maka semakin banyak atom Al dan Si yang terdesorpsi sehingga semakin banyak jumlah ion yang dapat diserap untuk menyeimbangkan kembali muatan neto dalam kerangka material [12-16]. Fenomena ini sesui dengan spektrum FTIR yang menunjukkan semakin tinggi suhu aktivasi maka puncak FTIR material semakin rendah. Semakin rendah puncak FTIR yang dihasilkan menunjukkan bahwa atomatom yang terdesopsi semakin banyak [17-19]. Tidak seperti jenis material yang lain, sorpsibilitas zeolite justru menurun dengan peningkatan temperatur aktivasi. Efisiensi reduksi tertinggi sebesar 4,0% diperoleh pada temperatur aktivasi yang rendah yaitu 200 °C. Ketika temperatur aktivasi dinaikkan menjadi 300 °C, 400 °C, 500 °C dan 600 °C, efisiensi reduksi zeolite turun menjadi 2,9%, 2,3%, 2,0%, dan 1,7%. Efisiensi reduksi terendah sebesar 0,1% dimiliki oleh zeolite yang tidak diaktivasi. Diduga peningkatan suhu aktivasi pada zeolite menyebabkan penurunan luas permukaan zeolite karena terjadinya solidifikasi akibat proses sintering [2,20]. Untuk zeolite, aktivasi termal yang optimum terjadi bukan pada suhu tinggi namun pada suhu rendah yaitu 200 °C. Dapat dilihat, jika dibandingkan dengan tanah maupun material clay, material sorben berbasis zeolite memiliki kelebihan secara ekonomis karena dapat diaktivasi pada suhu rendah. Material alam dengan karakteristik seperti ini, sangat sesuai dikembangkan sebagai material sorben yang ekonomis untuk digunakan dalam teknologi desalinasi air laut sederhana.
Gambar 4. Efisiensi reduksi sebagai fungsi dari variasi dosis sorben material berbasis zeolite. Gambar 4 menunjukkan grafik efisiensi reduksi material sorben berbasis zeolite sebagai fungsi dari penambahan dosis material. Peningkatan efisiensi reduksi terjadi secara linear terhadap dosis material sorben yang digunakan. Dapat dilihat,
ISSN 0854-5154 | eISSN 2442-7349
41
Wibowo dkk. / J. Matem. Sains, 2017, 22, 37-41
saat digunakan 5 g sorben, diperoleh efisieensi reduksi sebesar 6%. Ketika dosis sorben ditingkatkan menjadi 7,5 g, efisiensi reduksinya meningkat menjadi lebih dari 9%. Efisiensi reduksi meningkat menjadi lebih dari 12% ketika digunakan 10 g material sorben. Fenomena ini membuktikan bahwa sorpsibilitas berbanding lurus dengan luas permukaan sorben. Penambahan dosis sorben menyebabkan penambahan luas permukaan efektif yang mengalami kontak dengan air laut. Akibatnya, semakin banyak ion garam yang teradsorpsi maka penurunan salinitas air laut menjadi semakin besar. Penurunan salinitas ini dinyatakan dengan nilai efisiensi reduski. Semakin besar penurunan salinitas air laut, maka nilai efisiensi reduksinya yang semakin tinggi. KESIMPULAN
Telah dikembangkan material pengikat ion berbasis materi-al alam sebagai media desalinasi air laut. Material alam yang digunakan berupa clay, tanah, karang dan zeolite. Aktivasi termal dilakukan untuk meningkatkan sorpsibilitas material. Kemampuan sorbsi ion pada air laut diuji menggunakan Salinometer dan dinyatakan dengan efisiensi reduksi. Terlihat bahwa pada material sorben berbasis clay, tanah dan karang sorpsibilitas material meningkat sebanding dengan penambahan temperatur aktivasi. Sebaiknya, sorpsibilitas zeolite menurut ketika temperatur aktivasi di-naikkan menjadi lebih dari 200 °C. Efisiensi reduksi tertinggi sebesar 4 % diperoleh dari aktivasi tanah pada suhu 600 °C dan zeolite pada suhu 200 °C. Efisiensi reduksi dapat diting-katkan dengan penambahan dosis material sorben yang digunakan. Zeolite dan tanah berpotensi dikembangkan menjadi material sorben yang ekonomis karena harganya murah, ketersediaanya melimpah dan dapat diaktivasi pada suhu rendah. UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh Kementrian Ristek Dikti (Grant No. 310y/I1.C01/PL/2015). REFERENSI [1] E. Wibowo, M. Rokhmat, Sutisna, R. Murniati, Khairurrijal and M. Abdullah, Thermally Activated Clay to Compete Zeolite for Seawater Desalination, Advanced Materials Research, 1112 (2015) 154-157. [2] J. Kyziol-Komosinska, C. Rosik-Dulewska, M. Franus, P. Antoszczyszyn-Szpicka, J. Czupiol, I. Krzyzewska, Sorption capacities of natural and synthetic zeolites for Cu(II) Ions, Pol. J. Environ. Stud., 3, 24 (2015) 1111-1123. [3] E. Wibowo, M. Rokhmat, Sutisna, Khairurrijal dan M. Abdullah, Reduksi Salinitas Air Laut Menggunakan Zeolite Teraktivasi Termal sebagai Material Pengikat Ion, Prosiding Seminar Nasional Material, 2014, pp. 114-117. [4] M. Lenarda, M. Da Ros, M. Casagrade, L. Storaro, R. Ganzerla, Post-synthetic thermal and chemical treatments of H-BEA
© Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Hak cipta dilindungi.
zeolite: effects on the catalytic activity, Inorganica Chemica Acta, 349 (2003) 195-202. [5] M. Gougazeh and J.-Ch. Buhl, Synthesis and characterization of zeolite A by hydrothermal transformation of natural Jordanian kaolin, Journal of the Association of Arab Universities for Basic and Applied Science, 15 (2014) 35-42. [6] T. Mosti, N.A. Rowson, M.J.H. Simmons, Kinetic study of the removal of heavy metals from acid mine drainage by natural zeolite, Int. J. Miner. Process, 92 (2011) 42-49. [7] J. Cejka, A. Corma & S. Zones. 2010. Zeolite and Catalysis (Synthesis, Reactions and Application). Wiley-VCH: Weinheim, Germany. [8] V.H. Bekkum, E.M. Flanigen, P.A. Jacobs, J.C. 1991. Jansen. Introduction to zeolite science and practice, 2nd revised Ed. Elsevier, Amsterdam. [9] S. Balci, Effect of heating and acid pre-treatment on pore size distribution of sepiolite, Clay Minerals, 34 (1999) 647-655. [10] B. Yilmaz, A. Ucar, B. Oteyaka, V. Uz, Properties of zeolitic tuff (clinoptilolite) blended Portland cement, Building and Environment 42 (2007) 3808-3815. [11] K. Elaiopoulos, Th. Perraki, E. Grigoropoulou, Mineralogical study and porosimetry measurements of zeolites from Scaloma area, Thrace, Greece, Microporous and Mesoporous Materials 112 (2008) 441-449. [12] O. Korkuna, R. Leboda, J. Skubiszewska-Zieba, T. Vrublevs’ka, V.M. Gun’ko, J. Ryczkowski, Structural and physicochemical properties of natural zeolite: clinoptilolite and mordenite, Microporous and Mesoporous Materials 87 (2006) 143-254. [13] E. Polat, M. Karaca, H. Demir, A.N. Onus, Use of natural zeolite (clinoptilolite) in agriculture, Journal of Fruit and Ornamental Plant Research 12 (2004) 183-189. [14] J. Hou, J. Yuan, R. Shang, Synthesis and characterization of zeolite W and its ion-exchange properties to K+ in seawater, Powder Technology, 226 (2012) 222-224. [15] X. Zhang, D. Tang, G. Jiang, Synthesis of zeolite NaA at room temperature: The effect of synthesis parameters on crystal size and its size distribution, Advanced Powder Technology, 24 (2013) 689-696. [16] Y. Ma, C. Yan, A. Alshameri, X. Qiu, C. Zhou, D. Li. Synthesis and characterization of 13X zeolite from low-grade natural kaolin, Advanced Powder Technology, 25 (2014) 495-499. [17] S. Su, H. Ma, X. Chun. Hydrothermal synthesis of zeolite A from K-feldspar and its crystallization mechanism, Advanced Powder Technology (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.apt.2015.11.011. [18] A. Ates, Role of modification of natural zeolite in removal of manganese from aqueous solutions, Powder Technology, 264 (2014) 86-95. [19] P. R. Shukla, S Wang, H.M. Ang, M. O. Tadé, Synthesis, characterisation, and adsorption evaluation of carbon-naturalzeolite composites, Advanced Powder Technology, 20 (2009) 245-250. [20] G.E. Christidis, D. Moraetis, E. Keheyan, L. Akhalbedashvili, N. Kekelidze, R. Gevarkyan, H. Yeritsyan, H. Sargsyan, Chemical and thermal modification of HEU-type zeolitic materials from Armenia, Georgia and Greece, Applied Clay Science 24 (2003) 79-91.
ISSN 0854-5154 | eISSN 2442-7349
42
Wibowo dkk. / J. Matem. Sains, 2017, 22, 37-41
42