Pengembangan Air Minum Indonesia Dari Masa ke Masa 1800an – 2009
1
2
BEBERAPA CATATAN SEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA 1800 – 2005
Pengembangan Air Minum Indonesia Dari Masa ke Masa 1800an – 2009
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat PEMENUHAN air minum merupakan hak dasar setiap individu yang harus dipenuhi Negara. Perwujudan penyediaan layanan air minum yang memenuhi prinsip 4-K (kualitas, kuantitas, kontinuitas dan keterjangkauan) menghadapi beberapa tantangan, seperti tidak meratanya ketersediaan air baku, urbanisasi, pencemaran air dan perubahan iklim serta keterbatasan pendanaan, yang perlu dihadapi tidak hanya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah saja, melainkan juga oleh BUMN dan BUMD sebagai penyelenggara SPAM, dan seluruh masyarakat.
4
Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, kondisi akses aman air minum di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup berarti, yaitu terjadi peningkatan cakupan hampir sebesar 30 persen, dari sebesar 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 67,73 persen pada tahun 2014. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sudah berusaha keras untuk menyediakan layanan air minum kepada masyarakat dengan segala keterbatasan yang ada seperti minimnya pendanaan, keterbatasan air baku, tidak sehatnya kinerja pengelolaan pelayanan air minum serta rendah dan tidak meratanya SDM yang berkompetensi. Namun Pemerintah dan Pemerintah
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Daerah tidak boleh berpuas diri, karena target capaian kedepan akan lebih berat lagi. Negara harus hadir dalam pemenuhan hak rakyat atas air. Dimana hal tersebut sudah sejalan dengan arah RPJMN 2015-2019 dengan mewujudkan 100 persen akses air minum yang aman pada tahun 2019. Jika kita menilik rangkaian peristiwa di tanah air tentang penyediaan layanan air minum, kita patut berbangga karena sejak awal diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia, kita telah mampu menanggung investasi pembangunan infrastruktur air minum. Dinamika pembangunan infrastruktur air minum yang telah kita lalui merupakan perjalanan panjang yang seharusnya memupuk semangat kita untuk terus melakukan peningkatan pelayanan air minum bagi masyarakat Indonesia. Sungguh, sejarah telah memberikan contoh teladan semangat juang untuk memenuhi hak atas air untuk seluruh rakyat Indonesia. Saya menyambut baik terbitnya buku “Pengembangan Air Minum Indonesia dari Masa ke Masa 1800an - 2009”. Buku ini dapat memberi gambaran kepada kita tentang bagaimana praktek-praktek pembangunan infrastruktur air minum Indonesia dimulai dari jaman pra Kemerdekaan hingga era modernisasi saat ini. Saya berharap generasi saat ini mendapat kumpulan informasi berharga dan nilai-nilai semangat yang terkandung dalam Buku ini, dan meneruskan perjuangan pembangunan infrastruktur dan penyelenggaraan menuju 100 persen akses air minum yang aman untuk masyarakat Indonesia. Jakarta, November 2015
M. Basuki Hardjomuljono Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
5
Kata Pengantar Direktur Jenderal Cipta Karya
Kata Pengantar Direktur Jenderal Cipta Karya
6
AKSES air minum aman untuk 100 persen masyarakat Indonesia merupakan tujuan dari perjalanan panjang penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum di negeri ini. Program percepatan akses air minum yang aman untuk masyarakat ternyata telah dilakukan sejak tahun 1950-an, di mulai dengan adanya percepatan peningkatan produksi air minum oleh Pemerintah Kotapraja Jakarta dengan pembangunan instalasi berskala raksasa, yaitu IPA Pejompongan I. Dari catatan sejarah ini bisa kita ketahui bahwa perjuangan pelayanan air minum untuk masyarakat sering kalah berlomba dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Walaupun demikian, upaya Pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi terlihat meningkat dengan mengesankan dari waktu ke waktu. Prioritas pembangunan prasarana dan sarana air minum yang pada awal kemerdekaan dilakukan di kota-kota besar, kota dengan pelabuhan, kota industri, wisata dan objek
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
vital lainnya, terus berkembang dengan pembangunan IPA secara besar-besaran di beberapa ibukota provinsi, yang merata ke kota besar dan kota sedang kemudian kota kecil. Pemerintah terus melancarkan program akselerasi dengan pelayanan di Ibu Kota Kecamatan (IKK) dan kemudian di perdesaan. Catatan sejarah dalam buku ini diharapkan dapat kembali mengingatkan kita akan upaya pemerintah dari masa ke masa untuk meningkatkan akses aman air minum untuk masyarakat. Saya berharap dengan terbitnya buku “Pengembangan Air Minum Indonesia dari Masa ke Masa 1800an – 2009” ini, generasi kini dan seterusnya tidak kendur semangatnya untuk mewujudkan pelayanan 100 persen bagi masyarakat dan nantinya mempertahankan pencapaian tersebut baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya, maupun keterjangkauannya. Terima kasih kami ucapkan kepada para narasumber yang telah bersedia mencurahkan waktu dan pikirannya untuk menyumbangkan pengalaman sejarahnya melalui buku ini, semoga generasi mendatang dapat kembali mencatatkan sejarah keberhasilan pelayanan air minum di Indonesia. Jakarta, November 2015
7 Andreas Suhono Direktur Jenderal Cipta Karya
Sambutan Direktur Jenderal Cipta Karya
Kata Pengantar Kepala BPPSPAM
Kata Pengantar Kepala BPPSPAM
KITA ketahui bersama bahwa pelayanan air minum adalah hak asasi manusia yang harus disediakan oleh negara. Dari catatan pengembangan air minum dari masa ke masa dapat diketahui bahwa Pemerintah sebagai representasi negara telah sejak awal kemerdekaan terus berupaya memenuhi hak asasi akan pelayanan air minum tersebut. Penyusunan buku “Pengembangan Air Minum Indonesia dari Masa ke Masa 1800an – 2009” ini mencoba menyajikan kembali rangkaian upaya peningkatan pelayanan air minum di negara kita.
8
Sejarah telah memberikan pembelajaran berupa praktek-praktek pelayanan air minum terbaik di masanya. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana SPAM telah sejak awal kemerdekaan dilakukan guna mengejar ketertinggalan dan laju pertumbuhan penduduk. Dinamika kebijakan Pemerintah dari masa ke masa menandai perbaikan pendekatan yang dilakukan untuk memberikan pelayanan yang semakin baik. Dari masa pra Kemerdekaan, beragam sumber pendanaan yaitu APBN, APBD, BUMN, BUMD, pinjaman luar negeri, pendanaan badan usaha swasta dan masyarakat, telah
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
diakses dengan tujuan utama untuk peningkatan penyediaan dan pelayanan air minum secara merata untuk masyarakat Indonesia. Sesuai judul buku ini, kami mencoba merangkum peristiwa yang terjadi antara tahun 1800an hingga 2009. Alasan kami membatasi hanya sampai dengan tahun 2009, kami beranggapan bahwa tahun 2009 merupakan akhir dari dasawarsa pertama era reformasi yang ditandai oleh lahirnya UU 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan peraturan-peraturan pelaksanaan berupa peraturan-peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Kami mengucapkan terima kasih kepada para narasumber dan tim penyusun yang telah memberikan kontribusi besar terhadap penyempurnaan buku ini. Terbitnya buku ini diharapkan dapat menjadi media alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dari generasi ke generasi. Semoga buku ini memacu semangat Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memenuhi hak rakyat atas air demi tercipta kehidupan masyarakat Indonesia yang sehat, bersih dan produktif. Jakarta, November 2015
9 Sri Hartoyo Plt. Kepala BPPSPAM
Kata Pengantar Kepala BPPSPAM
Sekapur Sirih dari Penyusun
Sekapur Sirih dari Penyusun MENGENAL sejarah adalah merupakan keniscayaan, sejarah air minum tidak terkecuali. Buku ini mencoba merangkum sejarah panjang perjalanan pengembangan sistem penyediaann air minum (SPAM) di Indonesia, dimulai dari jaman prakemerdekaan, sekitar tahun 1800-an, sampai tahun 2009 yaitu akhir dasarwarsa pertama era reformasi. Tulisan pengantar ini menyajikan rangkuman singkat dari pengembangan air minum Indonesia, sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi generasi penerus.
10
Sistem penyediaan air minum di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman itu, sekitar tahun 1800-an, Sir Stamford Raffles, Lieutenant-Governor of British Java (1811–1815), mencatat bahwa penduduk pulau Jawa waktu itu sudah terbiasa merebus air sebelum diminum untuk menjaga kesehatan, kebiasaan yang kemudian ditiru oleh penjajah Belanda. Awalnya, orangorang yang tinggal di Batavia menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber air minum yang ditampung di sebuah reservoir. Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Walaupun demikian, tidak semua orang Belanda dan ambtenaar mau minum air kali Ciliwung. Khususnya para ambtenaar kelas atas menggunakan air yang didatangkan dari luar Batavia. Sebagaimana halnya dengan di Batavia, di kota-kota lainnya yang didiami orang Belanda, dibangun pula sarana penyediaan air minum walaupun masih terbatas, dan umumnya memanfatkan sumber mata air. Pada akhir masa penjajahan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 3.000 liter per detik yang terdapat di 180 kota. Setelah Indonesia merdeka, pada beberapa tahun pertama dapat dikatakan hampir tidak ada pembangunan bidang air minum di Indonesia, karena masih disibukkan dengan perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai daerah. Pembangunan sarana air minum mulai dilakukan sejak tahun 1952, yang dapat dibagi dalam tiga kurun waktu yang berbeda: (i) era awal kemerdekaan, (ii) era orde baru dan (iii) era awal orde reformasi. Masa awal kemerdekaan dimulai dengan peningkatan kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta, yang diikuti oleh kota-kota besar lainnya, dalam kerangka Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Hasilnya, hingga tahun 1968, kapasitas produksi air minum sudah mencapai 9.000 liter per detik, dengan cakupan pelayanan di daerah perkotaan sebesar 19 persen.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Pembangunan pada era Orde Baru, yang dimulai pada tahun 1969, merupakan awal pembangunan bidang air minum yang lebih sistematis dan terencana, dimana pembangunan dilakukan secara bertahap melalui rencana pembangunan jangka panjang dan lima tahunan atau Repelita. Era ini berakhir pada Repelita VI dengan berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan dimulainya era reformasi. Penulisan ini mencakup juga era awal reformasi (satu dasawarsa) tahun 1999 sampai 2009, dimana pada lima tahun pertama kondisi pemerintahan berubah-ubah dan baru pada lima tahun kedua (2004-2009) pemerintahan sudah mulai stabil. Perkembangan air minum pada setiap era ditandai dengan beragam perubahan dalam kebijakan dan pendekatan penanganan yang berdampak pada organisasi dan penyelenggaraan air minum. Semua ini merupakan pembelajaran yang berharga bagi generasi penerus untuk pengembangan air minum yang lebih baik di tanah air tercinta. Jaman telah berubah, tantangan sudah berbeda, tapi pengalaman masa lalu mudah-mudahan dapat dijadikan inspirasi untuk perbaikan di masa datang, terutama bagi para penentu kebijakan bidang air minum. Buku “Pengembangan Air Minum Indonesia dari Masa ke Masa, 1800an-2009” ini pada awalnya diprakarsai oleh Ir. Budi Yuwono Dipl. SE sewaktu menjabat Direktur Jenderal Cipta Karya (2007-2012), dan dirangkai kembali serta difinalkan oleh sebuah tim yang terdiri dari para pejabat purna tugas di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan difasilitasi oleh Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM). Kementerian PUPR mendorong penulisan buku ini selaku penanggung jawab bidang air minum secara nasional. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan banyak masukan dan informasi yang sangat berharga. Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada Ir. Hidayat Notosugondo yang pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Teknik Penyehatan tahun 1960 dan Direktur Teknik Penyehatan hingga tahun 1976. Kemudian beliau menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya sampai 1981 dan Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum sampai 1986 sebelum akhirnya pensiun. Beliau adalah salah seorang pelaku sejarah perjalanan pengembangan air minum di Indonesia yang paling berperan dalam periode awalnya. Semoga niat baik ini mendapat ridha Allah SWT. Amin. Jakarta, November 2015 Tim Penyusun
11
Daftar Isi
Sambutan & Kata Pengantar
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 4 Kata Pengantar dari Direktur Jenderal Cipta Karya 6 Kata Pengantar dari Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum 8 Prolog 10
12
2
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
Sarana air minum diutamakan untuk orang Belanda dan Ambtenaar 25 Pelayanan air minum di Batavia 27
1
Pendahuluan
Air minum dan sanitasi lingkungan sebagai kebutuhan dan prasarana dasar permukiman 17 Pelayanan air minum dan sanitasi lingkungan yang tidak layak dan akibatnya 19
Pelayanan air minum hanya terdapat di kota-kota yang dihuni orang Belanda 28 Kelembagaan pelayanan air minum pada saat itu 29 Teknologi pengolahan air minum 33
Lingkungan strategis global dan pengaruhnya terhadap perkembangan air minum dan sanitasi di Indonesia 19 Penulisan tentang pengembangan air minum di Indonesia 22
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
4
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Pengalaman baru dalam dalam pengembangan SPAM 53 Pelita I (1969-1974): Pembangunan yang berfokus pada rehabilitasi dan ekstensifikasi secara terbatas 56
3
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 37 IPA Pejompongan I, Tonggak Sejarah Pembangunan Air Minum di Indonesia 39 Menimba ilmu teknik penyehatan di luar negeri 41
Pelita II (1974-1978): Langkahlangkah perbaikan pengelolaan air minum 58 Pelita III (1979-1983): Pemerataan pembangunan prasarana dan sarana air minum 60
13
Pelita IV 1984-1988: Resesi tidak menghalangi pembangunan 62 Pelita V (1989-1993): Tahap kerangka lepas landas 67
Kerjasama luar negeri dan tata laksana proyek 42
Pelita VI (1994-1998): Pijakan landasan pembangunan jangka panjang tahap kedua 68
Institusi pengelola pelayanan air minum 48
Kebijakan–kebijakan pengembangan air minum selama era Orde Baru 68
Pembangunan air minum di kotakota besar prioritas 49 Undang Undang yang melandasi pendirian PDAM sebagai badan usaha 50
Daftar Isi
Daftar Isi
5
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
Epilog
Dasawarsa awal reformasi 77 1999 – 2004: Masa peralihan 79 2005 – 2009: Periode Pelaksanaan RPJMN Tahap I dari RPJP 2005 - 2025 80 Terbentuknya Badan Pendukung Pengembangan SPAM 81
Daftar Boks
14
Boks 1. Kisah Dibalik Pembangunan IPA Pejompongan I di Jakarta 40 Boks 2. Terbentuknya Direktorat Teknik Penyehatan dan berdirinya Jurusan Teknik Penyehatan di Institut Teknologi Bandung 47 Boks 3. Terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya 48 Boks 4. Penggunaan Istilah Air Minum dan Air Bersih 59
Boks 6. Lahirnya Undang Undang 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebagai Landasan Kebijakan Pengembangan SPAM 81 Boks 7. Kisah Sukses Regionalisasi PDAM 86 Boks 8. Kisah Sukses Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) 87
Boks 5. Umbulan, Potensi Rp 126 Milyar Per Tahun yang Belum Termanfaatkan 63 PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Daftar Gambar
Kaum Ambtenaar yang sering memanfaatkan mata air sebagai sumber utama air minum 20 Intake Sumber Air Baku Tirta Bulian, Tebing Tinggi 24 Kali Ciliwung yang dulu pernah digunakan sebagai sumber air minum oleh penduduk Jakarta 30
Menara air kapasitas 750 m3 di Kotamadya Manado, Sulawesi Utara 66
Menara Air (water tower) sebagai tangki persediaan air yang dibangun Belanda 35
Masyarakat memanfaatkan hidran umum 67
Pengolahan air bersih di Bandung dengan menggunakan teknologi Degremon, Perancis Foto tahun 1962 36B Kontaktor lokal sedang mengerjakan proyek fisik 42 Sungai dan air terjun Ciomas tahun 1910 44 IPA Kedasih, karya putra bangsa 51A
IPA Beton 100 l/det di Purwodadi, Jawa Tengah 75 Instalasi Pengolahan Air Sederhana (IPAS) MAUK 76A Menara air konstruksi beton kapasitas 700 M3 di Purwodadi, Jawa Tengah 76B Pompa air minum peninggalan Belanda yang masih berfungsi 82
IPA Sangkuriang, Bandung 51B
Unit Aerasi pada IPA Aetra Tangerang 88A
IPA Pejompongan I – Jakarta, yang menggunakan teknologi modern pada masanya 52
IPA Aetra Tangerang yang memiliki kapasitas 900 l/det 88B
Salah satu mata air yang menyuplai PDAM Tirtanadi Medan cabang Sibolangit 64 Control room IPA Pejompongan 65
15
Pipa-pipa yang menyalurkan air minum 90 Air olahan PDAM yang dapat langsung diminum 91
Daftar Boks
16
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
1
PENDAHULUAN
Air Minum dan Sanitasi Lingkungan Sebagai Kebutuhan Dan Prasarana Dasar Permukiman
17
Pendahuluan
Pendahuluan Air merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Air dan permukiman selalu menjadi perhatian manusia sejak jaman dahulu kala.
18 BANYAK kota kuno berkembang di tepi-tepi kumpulan air (danau dan sungai) yang dapat menyokong kehidupan. Pada masa 3000 tahun sebelum Masehi telah muncul peradaban di lembah Mesopotamia (dataran di antara sungai Tigris dan Efrat) di Timur Tengah, di tepi Sungai Nil, Mesir dan di lembah Sungai Indus1. Permukiman pada awalnya tidak dapat dipisahkan dari kedekatannya dengan sumber air. Dalam perkembangannya, permukiman sebagai bagian dari lingkungan hunian tidak hanya memerlukan air, akan tetapi juga prasarana dan sarana dasar serta utilitas umum lainnya seperti sarana sanitasi. Prasarana dan sarana sanitasi lingkungan tersebut meliputi air limbah, persampahan dan drainase, yang kemudian dikenal sebagai prasarana penyehatan lingkungan permukiman (PLP). Ketersediaan dan kondisi prasarana dan sarana dasar ini sangat menentukan kualitas lingkungan permukiman tersebut dan derajat kesehatan penghuninya. Penyediaan air minum dapat dilakukan melalui upaya masing-masing orang/ keluarga (secara individu) seperti sumur gali/pompa, penampungan air hujan (PAH) dan mengambil langsung ke sumber air (mata air atau sungai). Apabila kebutuhan telah lebih meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya permukiman, maka upaya yang dilakukan secara individu tidak lagi dapat diandalkan. Oleh karena itu
1. Sumber: Wikipedia
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
diupayakan secara terpusat melalui sistem perpipaan, yang dimulai dari permukiman yang sudah mulai berkembang dan padat seperti di kawasan perkotaan. Pelayanan Air Minum dan Sanitasi Lingkungan yang Tidak Layak dan Akibatnya Pelayanan air minum dan pengelolaan sanitasi lingkungan yang tidak layak mengakibatkan penurunan derajat kesehatan masyarakat. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, masih terdapat 37 jenis penyakit tradisional yang berhubungan dengan air minum dan sanitasi lingkungan yang kurang layak, yang terbagi atas kelompok penyakit, yaitu waterborne diseases, water washed diseases, water-based diseases, water-related diseases,water-related vectors, dan vectorrelated diseases. Masing-masing kelompok tersebut dijelaskan dalam uraikan berikut: a) Waterborne disease adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air seperti diare, tifus, disentri, hipatitis A dan E, yang merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada balita di Indonesia setelah infeksi saluran pernafasan atas atau ISPA. b) Water washed disease adalah penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air untuk keperluan sehari-hari seperti scabies, infeksi kulit dan selaput lendir (dermatitis), trachoma, lepra, frambusia dan lain-lain. c) Water based disease adalah penyakit yang bibitnya dan sebagian dari siklus kehidupannya berhubungan dengan air, antara lain schistosomiasis. d) Water related vectors adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit yang sebagian atau seluruhnya berada diair seperti malaria, demam berdarah (dengue fever), filariasis dan sebagainya. e) Vector related disease adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor yang sebagian atau seluruh kehidupannya berkaitan dengan sampah seperti diare dan lain lain.
19
Sementara itu dibeberapa daerah mulai muncul penyakit akibat “modern hazard” seperti akibat air minum yang tercemar limbah industri, limbah pertanian (pestisida, herbisida) serta limbah penambangan emas yang menggunakan merkuri secara tidak terkendali. Dengan demikian masalah kesehatan lingkungan di Indonesia saat ini mengalami beban ganda. Kondisi pengelolaan air minum secara nasional saat ini juga mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar, antara lain berupa biaya perawatan kesehatan, kehilangan produktivitas sumberdaya manusia dan kehilangan produksi dalam negeri serta menurunnya pendapatan dari sektor pariwisata. Lingkungan strategis global dan pengaruhnya terhadap perkembangan air minum dan sanitasi di Indonesia Pada lingkungan global, peristiwa strategis penting didunia internasional yang membahas masalah air ditandai dengan pertemuan yang diadakan di Mar del Plata, Argentina, pada bulan Maret 1977, dimana PBB menyelenggarakan konferensi air
Pendahuluan
Pendahuluan
20
Kaum Ambtenaar yang sering memanfaatkan mata air sebagai sumber utama air minum
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
21
Pendahuluan
Pendahuluan
sedunia yang menjadi tonggak awal yang lebih kuat dalam mendorong kesadaran dunia akan pentingnya air dalam pembangunan yang berkelanjutan. Rencana Aksi Mardel Plata memproklamirkan tahun 1981-1990 sebagai dekade air minum dan sanitasi international, sebagai upaya bersama untuk meningkatkan pelayanan air minum dan sanitasi. Dalam catatan Badan Kesehatan Dunia PBB, hingga saat ini setiap tahun lebih kurang 3,4 juta penduduk dunia, umumnya anak-anak meninggal2 sebagai akibat pelayanan air minum dan sanitasi yang kurang layak. Komitmen-komitmen internasional mengenai Sumber Daya Air, termasuk masalah air minum dan sanitasi, terus bergulir. Prinsip Dublin, sebagai hasil dari Konferensi di Dublin pada Januari 1992, ditujukan untuk manajemen air secara bijaksana dengan fokus perhatian pada kemiskinan. Puncak peristiwa adalah kesepakatan Rio De Janeiro (Juni 1992), yang dikenal dengan Earth Summit dengan Agenda 21nya, untuk pembangunan yang berkelanjutan, dimana salah satu dari Agenda 21 mencantumkan penyediaan air dan sanitasi.
22
Kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium dengan sasaran tahun 2015, dan akses universal atas air minum dan sanitasinya pada tahun 2025 adalah bentuk-bentuk perhatian PBB yang tanpa henti mendorong negara-negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang, untuk memprioritaskan pengembangan air minum dan sanitasi. Dengan semakin berkembangnya permasalahan dalam air minum dan sanitasi sebagaimana disampaikan diatas, jelaslah betapa pentingnya sarana air minum dan sanitasi bagi kita semua. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian penuh atas pengembangan air minum dan sanitasi, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan situasi sesuai jamannnya, sejak awal kemerdekaan sampai sekarang. Pengembangan air minum dan sanitasi tidak hanya menyangkut aspek fisik/teknis, akan tetapi juga hal-hal yang sifatnya non-fisik/non-teknis seperti aspek-aspek pengaturan, kelembagaan, pembiayaan dan pengelolaannya. Penulisan Tentang Pengembangan Air Minum di Indonesia Untuk dapat mengetahui dan memahami upaya pengembangan air minum dan sanitasi di Indonesia dari masa ke masa, para pelaku yang pada saat itu turut menangani dan menjadi saksi hidup pengembangan air minum sejak awal tahun 1960-an sampai sekarang berupaya untuk menuliskannya dalam bentuk buku, yang diberi judul: “Pengembangan Air Minum Indonesia dari Masa ke Masa, 1800an 2009”. Buku ini memuat perjalanan panjang sejarah air minum di Indonesia sejak 2. Sumber: http://www.who.int/water_sanitation_health/takingcharge.html
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
tahun 1800-an sampai tahun 2009, yang dibagi dalam beberapa kurun waktu, yaitu pra-kemerdekaan (1800an sampai 1945), awal kemerdekaan (1945-1968), Orde Baru (1969-1998) dan dasawarsa awal reformasi (1998-2009), terdiri atas lima Bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Pelayanan Air Minum di Era Pra Kemerdekaan, Bab III Pengembangan Air Minum di awal Kemerdekaan, Bab IV Pengembangan Air Minum pada Era Orde Baru (1969-1998) dan Bab V Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1999-2009), dengan kurun waktu sebagai berikut:
23 Penulisan Buku ini difasilitasi oleh Direktorat Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Dit. Pengembangan SPAM) dan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Walaupun masalah air dan sanitasi merupakan dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling berkaitan, namun buku ini hanya membatasi pada masalah pengembangan air minum, dengan harapan suatu saat nanti sejarah pengembangan sanitasi di Indonesia juga dapat dibukukan. Tentu saja tidak mungkin memasukkan seluruh peristiwa pengembangan air minum itu secara lengkap dalam sebuah buku yang sederhana ini. Yang diharapkan dari penyusunan buku ini adalah bahwa generasi penerus dapat mengetahui dan memahami, serta mengambil hikmah dari pengalaman, pemikiran, kejadian dan langkah-langkah pendahulunya, baik yang dianggap berhasil atau belum, sebagai bahan pembelajaran bagi generasi penerus. Dengan demikian maka generasi penerus dapat melanjutkan keberhasilan yang telah dicapai dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, yang telah diperbuat oleh generasi sebelumnya.
Pendahuluan
Intake Sumber Air Baku Tirta Bulian, Tebing Tinggi
24
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
2
PELAYANAN AIR MINUM DI ERA PRAKEMERDEKAAN
Sarana air minum diutamakan untuk orang Belanda dan Ambtenaar
25
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
26
Sejarah Indonesia mencatat bahwa masa kolonialisme, masa penjajahan Belanda di Indonesia, dimulai tahun 1602, terhitung sejak pendirian VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), perusahaan Belanda yang semula bertujuan mengumpulkan hasil-hasil bumi Indonesia untuk diboyong dan diperdagangkan di Eropa.
KEHADIRAN perusahaan yang bersifat oktopus (menggurita) itu dikawal oleh tentara Belanda, yang akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan ataupun kesultanan yang ada di Indonesia, lalu menjajahnya hingga tahun 1945. Tidak jelas kapan persisnya suatu sistem penyediaan air minum mulai ada di Indonesia. Suatu catatan menyebutkan, bahwa di masa pra kemerdekaan layanan air minum sudah hadir pada era 1800-an. Sir Stamford Raffles, penguasa Inggris selama penjajahannya di Pulau Jawa (1811-1815), yang juga dikenal sebagai ilmuwan, mencatat bahwa penduduk di Pulau Jawa telah terbiasa merebus air sebelum diminum untuk menjaga kesehatan. Kebiasaan ini kemudian ditiru oleh bangsa Belanda yang tinggal di Batavia (sebelumnya bernama Jayakarta, kemudian diganti Belanda menjadi Batavia, sekarang Jakarta). Di Batavia, pada tahun 1880-an3 ada tuan tanah yang 3. Sumber: Buku Direktori PERPAMSI
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
memiliki sumur yang airnya sangat jernih. Pemilik tanah itu pun memperdagangkan air sumur tersebut dengan harga 1,5 gulden per drum (200 liter). Ada catatan lain, ketika itu para ambtenaar di Banjarmasin melakukan kebiasaan mengendapkan cadangan air minumnya selama satu hari sebelum dimasak. Awalnya, orang-orang yang tinggal di Batavia, selain mendapatkan air minum dari sumur gali, menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber air minum. Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Air sungai pun waktu itu diperdagangkan dengan harga 2-3 sen per kaleng (20 liter). Seorang analis Belanda Dr. de Haan tahun 1648 memberi nilai sangat baik (voortreffelijk) atas air Ciliwung. Air sungai ditampung di reservoir (semacam waduk) yang dalam bahasa Belanda disebut waterplaats. Reservoir itu semula dibangun di dekat benteng Jacatra (Jakarta) di utara kota, kemudian dipindahkan ke kali di daerah Molenvliet (sekarang lebih dikenal dengan nama Harmoni), tak jauh dari Istana Negara yang sekarang. Reservoir itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian tiga meter. Dari sana air diangkut oleh para pedagang air untuk dijajakan di daerah Kota. Pola penyediaan air seperti itu tentu saja tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan karena tanpa melalui pengolahan apapun. Maka pada akhir abad ke-18 dan dasawarsa pertama abad ke-19, mulailah muncul wabah penyakit menular, mulai dari disentri, tifus, bahkan kolera. Karena itu, tidak semua orang Belanda mau minum air Ciliwung. Khusus para ambtenaar4 kelas atas, mereka menggunakan air yang terkenal dengan sebutan ayer Belanda yang didatangkan dari luar Batavia. Tetapi harganya sangat mahal, satu ringgit (2,5 gulden) per guci kecil. Kaum ambtenaar kelas lebih rendah membeli air yang khusus didatangkan dari Bogor yang mutunya jauh lebih baik dan lebih aman, walau dengan harga yang jauh lebih mahal dari air Ciliwung. Pelayanan Air Minum Di Batavia Sistem penyediaan air minum perpipaan di Batavia dimulai pada tahun 1843 yang sumber airnya berasal dari sejumlah sumur bor dalam yang dibuat di 14 lokasi. Pada waktu itu air sumur bor yang dibangun Belanda kurang disukai karena kalau dipakai untuk menyeduh teh, airnya berwarna hitam karena kandungan besi (Fe) yang tinggi. Momen inilah kemudian yang menjadi titik tolak inovasi para insinyur Belanda untuk meningkatkan pelayanan air minum melalui perpipaan bagi para warga kelas elite Batavia. Pada tahun 1918 dibuatlah bangunan penangkap mata air Ciburial di Ciomas, Bogor dengan kapasitas 500 liter per detik yang mulai berfungsi pada tahun 1922. Air dari tujuh mata air Ciburial tersebut sebelum dialirkan ke Jakarta melalui pipa, dikumpulkan terlebih dulu di bak penampungan yang dinamakan bron-kaptering yang 4. Sebutan untuk pegawai negeri pada jaman Belanda, biasanya berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja dan pergi serta pulang kerja naik sepeda. (Sumber: Jakarta.go.id)
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
27
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
dilengkapi dengan saringan, terdiri atas batu-batu koral di samping dan di atasnya, ditutup dengan beton sehingga air hujan tidak bisa masuk. Untuk mengalirkan air dari Bogor ke Jakarta, dibangun pipa transmisi dengan diameter 500 mm sepanjang 57 km dan beberapa buah bak pemecah tekanan. Pada tahun yang sama dibangun sebuah reservoir yang sering disebut dengan Gudang Air di Kramatjati untuk menampung air yang mengalir deras dari Ciomas. Gudang Air tersebut berkapasitas 20.000 meter kubik. Dari gudang air itulah kemudian air disalurkan ke pusat kota di Batavia. Pada tahun 1931 dilakukan penambahan kapasitas dengan memanfaatkan sembilan mata air Ciburial lainnya. Bersamaan dengan itu berdirilah Perusahaan Air Saluran. Dengan tersedianya air dari Ciburial, sumur-sumur bor kemudian ditutup.
28
Tentang pelayanan air di Batavia, Majalah Kotapraja terbitan Februari 1953 antara lain menulis: “Air dialirkan melalui pipa-pipa beton terus ke Gedung Mata Air dan di gedung inilah baru diobat dengan caporit 5 kg/24 djam. Dari Gedung Mata Air ini ia dialirkan ke gedung penjimpanan air (water reservoir) melalui pipa-pipa besi wadja dari ukuran 450 mm, 475 mm, 500 mm, dan sampai 550 mm. Masa berdjalan 9 tahun lamanja, pada tahun 1931 penambahan mata air perlu dilakukan, dan dibendunglah sembilan mata air lagi di dalam suatu sumur beton (putcaptering). Dengan melalui pipa-pipa besi tuang ia dialirkan ke sebuah gedung. Dan, setelah berkumpul di gedung baru ini, baru ia dialirkan pula ke gedung jang kita sebutkan di atas. Dan, untuk penampungan tambahan ini, maka ditambah pula pipa-pipa ukuran 500 mm dan 550 mm. Dan, dengan itu pulalah menjadi saluran-saluran jang terbentang dari Tjiomas ke Tjibinong menjadi dua saluran.” Pelayanan air minum hanya terdapat di kota-kota yang dihuni orang Belanda Sebagaimana dengan di Batavia, di kota-kota lainnya di Indonesia yang didiami orang Belanda, dibangun pula sarana penyediaan air minum walau kapasitasnya tidak sepadan dengan jumlah penduduknya. Sarananya pun masih sederhana, umumnya memanfaatkan sumber mata air, misalnya di Tarutung5 (Sumatera Utara) dan di Surabaya6, Jawa Timur. Air ledeng seperti itu terdapat juga di berbagai kota lain, dimana terdapat sumber berupa mata air yang cukup besar. Yang jelas, pembangunan sarana air minum di masa itu memang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan orang Belanda dan lapisan masyarakat atas yang berkuasa waktu itu (ambtenaar). Lapisan 5. Di sebuah kota kecil, Tarutung, di Sumatera Utara, fasilitas air minum perpipaan sudah ada sejak masa penjajahan. Pemerintah kolonial pada masa itu membangun pipa transmisi dari sebuah mata air di suatu kaki gunung, sekitar tujuh kilometer panjangnya untuk mengalirkan air sampai ke kota. Di seputar kota, di mana orang-orang Belanda tinggal, dibangun jaringan pipa distribusi. 6. Di Surabaya tahun 1890, atas jasa-jasanya merintis penyediaan air minum, dua orang Belanda bernama Mouner dan Bernie diberi konsesi mengelola mata air Umbulan di Pasuruan. Mereka memasang pipa sepanjang lebih dari 60 km dari wilayah Pasuruan hingga ke kota Surabaya, yang pengerjaannya dilakukan dalam dua tahun. Waktu itu, rumah-rumah yang dianggap mewah diwajibkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk berlangganan, dan dalam waktu tiga tahun, perusahaan air minum itu memiliki 1.588 pelanggan. Pada tahun 1900 berdirilah perusahaan air minum Kota Surabaya. Tahun 1906, perusahaan air minum itu dijadikan Dinas Air Minum Kota Surabaya, yang kemudian menjadi PDAM Kota Surabaya sampai sekarang.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
masyarakat mayoritas yang berkedudukan sosial lebih rendah dan ekonomi lemah kurang mendapat perhatian. Mereka menggunakan air sumur dangkal, air sungai dan lainnya, yang tentu saja tidak terjamin kesehatannya. Di beberapa tempat yang dikaruniai dengan mata air, sebagian warganya beruntung dapat mengambil langsung dari mata air tersebut sebagai sumber air minum mereka. Kota-kota besar maupun kecil yang didiami orang Belanda di masa pra kemerdekaan adalah kota-kota yang memiliki arti strategis bagi Belanda, baik dari segi politis dan keamanan, maupun dari sudut perekonomian seperti pertambangan, perniagaan, perkebunan dan pelabuhan. Sebut saja misalnya Jakarta, Bandung, Bogor, Cirebon dan Sukabumi di Jawa Barat, Semarang, Salatiga, Banyumas, Cilacap, Yogyakarta, Solo dan Magelang di Jawa Tengah. Di Magelang, misalnya, sekitar tahun 1880-1890, Dinas Pengairan Belanda membangun saluran air sepanjang 12 km dari sebuah bendung di Sungai Elo ke pusat kota Magelang, Jawa Tengah, untuk keperluan air minum dan irigasi. Kota-kota penting bagi Belanda di Jawa Timur antara lain Surabaya, Malang, Banyuwangi, Madiun dan Jember. Sedangkan di Sumatera antara lain Banda Aceh, Sigli, Lhoksumawe, Medan, Brastagi, Pematangsiantar, Prapat, Sibolga, Padangsidempuan, Tarutung, Bukittinggi, Padang, Sawahlunto, Jambi, Palembang, Bengkulu, Pekanbaru dan Dumai. Di Kalimantan terdapat kota-kota penting seperti Banjarmasin, Pontianak dan Balikpapan, lalu Makassar, Manado dan Bitung di Sulawesi, dan Ambon serta Ternate di Maluku. Diperkirakan jumlah kota di seluruh Indonesia yang memiliki SPAM perpipaan di akhir pemerintahan Hindia Belanda berjumlah 180 kota, dengan cakupan pelayanan yang sangat terbatas (8 persen penduduk perkotaan). Kelembagaan pelayanan air minum pada saat itu Pengelolaan penyediaan air minum di berbagai kota tersebut diatas pada saat itu diatur pemerintah Hindia Belanda dengan membentuk badan hukum berupa bedrijven (perusahaan) atau diensten (kedinasan). Contoh-contoh badan hukum berbentuk perusahaan antara lain adalah: 1. Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Kotapraja) yang terdapat di kota-kota Batavia, Surabaya, Madiun, Salatiga, Bandung, Bogor, Sukabumi, Semarang, dan sebagainya. 2. Provinciaal Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Provinsi) yang antara lain terdapat di kota Mojokerto dan sekitarnya. Pada masa itu, perusahaan air minum kotapraja (waterleiding bedrijf) menginduk ke Departemen Kesehatan Masyarakat (Department van Volksgezondheid), karena air minum erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, yang mengawasi kualitas
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
29
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
30
Kali Ciliwung yang dulu pernah digunakan sebagai sumber air minum oleh penduduk Jakarta
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
31
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
produksi7. Karena milik pemerintah kotapraja, perusahaan air minum itu dibiayai oleh pemerintah. Selain itu, ada juga pelayanan air minum yang dikelola swasta8 seperti di Tanjungpinang (yang kemudian menjadi Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM). Perusahaanperusahaan asing seperti Caltex di Dumai dan BPM di Balikpapan juga menyediakan air minum walau terbatas untuk kebutuhan karyawan-karyawan mereka yang biasanya tinggal di kompleks-kompleks perumahan perusahaan-perusahaan tersebut. Di pelosok Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pelayanan air minum dilakukan melalui hidran umum yang dikelola oleh perusahaan tambang minyak asing (yang kemudian diambil alih oleh Pertamina setelah Indonesia merdeka).
32
Penyediaan air minum sistem perpipaan, dengan melibatkan perusahaan swasta, antara lain juga dikembangkan Belanda di Sumatera Utara, yaitu di Medan dan Binjai. Di Medan, Waterleiding Maatschappij Ajer (baca: ayer) Bersih adalah perusahaan air minum yang merupakan suatu konsorsium yang dipimpin oleh Deli Maatschappij9. Perusahaan air minum tersebut didirikan untuk memenuhi kebutuhan kota Medan yang berkembang sangat pesat sejak Sultan Deli memindahkan pusat pemerintahannya dari Bengkalis ke Medan, dimana jumlah penduduknya meningkat pesat, sejalan dengan peningkatan kegiatan di bidang niaga dan industri. Sebelum perusahaan air minum itu dibentuk, pemerintah kolonial Belanda terlebih dulu membentuk sebuah lembaga bernama Gemeentefonds (dana kotapraja) dalam rangka merespons perkembangan kota Medan. Pengurus lembaga dana kotapraja itu terdiri atas pegawai pemerintah (ambtenaar) dan swasta. Melalui lembaga itulah dibuka kesempatan kepada swasta untuk ambil bagian dalam pembangunan infrastruktur di Medan, termasuk penyediaan air minum. Pendirian dan penetapan Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih sebagai operator 7. Kementerian PU di jaman kolonial disebut Ministerij van Verker en Waterstaat (Kementerian Perhubungan dan Pengairan), yang kemudian berubah menjadi Burgerlijke Openbare Werken atau BOW. BOW ini memiliki dinasdinas di tingkat provinsi dan kabupaten yang menangani masalah ke PU-an, meliputi hanya jalan dan jembatan, pengairan/irigasi dan gedung-gedung negara. Selain gedung-gedung, masalah-masalah lainnya seperti air minum dan sanitasi tidak menjadi tanggung jawab BOW, karena keterkaitannya cenderung dengan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, air minum dan sanitasi menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan, yang pada jaman kolonial dulu namanya Departement van Volksgezondheid (DVG) atau Departemen Kesehatan Masyarakat. 8. Pada masa kolonial, prasarana umum (air, listrik, kereta api) biasanya dikelola oleh pemerintah kota setempat, tapi ada juga yang dikelola swasta. Di Semarang misalnya, listrik dikelola oleh swasta ANIEM (Algemene Nederlands Indische Electriciteit Maatschappij), di Bandung oleh GEBEO (Gemeentelijke Elektriciteit Bedrijf Bandung). 9. Pada tahun 1898 ada perusahaan swasta yang mengajukan proposal mendirikan instalasi pengolahan sederhana dengan menyaring air di Binjai yang tak jauh dari Medan. Perusahaan itu bernama G.D. Langereis & Co. Tetapi karena pembangunan instalasinya terlalu mahal, proyek air minum tersebut batal dibangun. Namun melihat adanya peluang bisnis, yakni kebutuhan air minum di kota Medan yang sangat mendesak, pada tahun 1903 sebuah perusahaan swasta bernama Deli Maatschappij, meminta konsesi pengelolaan sarana air minum kepada pemerintah Hindia Belanda. Dengan bantuan konsultan yang sengaja didatangkan dari Belanda, ditemukanlah lokasi yang dinilai baik untuk mendirikan instalasi pengolahan di sebuah dataran tinggi bernama Bandar Baru di luar kota Medan. Di masa itu masalah hukum dan perundang-undangan telah digunakan sebagai payung hukum suatu kegiatan di bidang pelayanan publik, termasuk perusahaan air minum. Berdasarkan payung hukum itu dikeluarkanlah izin konsesi yang disahkan tanggal 3 April 1905 dengan uang jaminan sebesar 5.000 gulden. Izin itu diberikan setelah segala persyaratan teknis dipenuhi. Sebagian besar pipa transmisi adalah pipa besi tuang. Pipa-pipa dan aksesori pipa yang digunakan oleh Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih Medan didatangkan dari Negeri Belanda, sedangkan akuaduk dibuat dari beton.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
didasarkan pada akta yang dikeluarkan di Negeri Belanda dengan modal awal sebesar 500.000 gulden. Berdasarkan kontrak konsesi, Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Medan dahulu itu boleh memungut rekening air kepada pelanggan selama 25 tahun. Setelah itu pemerintah kolonial akan mengambil alih perusahaan tersebut kapan saja. Konsesi itu didasarkan pada Surat Keputusan Pemerintah (gouvernements besluit) yang dikeluarkan tanggal 8 Desember 1905. Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Medan dapat menyalurkan air minum sebanyak 3.000 meter kubik per hari. Perusahaan inilah yang menjadi cikal bakal PDAM Tirtanadi Sumatera Utara yang sekarang. Tidak hanya di Medan, di banyak kota lainnya di mana orang-orang Belanda tinggal, dalam waktu yang hampir bersamaan berdiri perusahaan air minum. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari, air minum itu juga ditujukan untuk keperluan lain seperti keperluan dinas pemadam kebakaran, keperluan lokomotif di berbagai stasiun kereta api, pabrik es, pabrik tekstil, dan sebagainya. Untuk sebagian kota, seperti yang terjadi di Medan, pihak swasta memang diberi konsesi atau hak mengelola, tetapi pada prinsipnya, pengelolaan penyediaan air minum berada di bawah kendali dan pengaturan pemerintah kotapraja (diensten – dinas) dan sebagian lain berupa perusahaan (bedrijven) atau perusahaan air minum kotapraja (Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf). Perusahaan air minum serupa juga muncul di kota-kota lainnya seperti Salatiga, Surabaya, Madiun, Bogor dan Sukabumi. Teknologi pengolahan air minum Kebanyakan dari sistem penyediaan air minum mendapatkan sumber airnya dari mata air yang terdapat di dataran tinggi. Air baku yang berasal dari dataran tinggi biasanya dialirkan ke kota dengan pipa secara gravitasi tanpa melalui proses pengolahan, hanya dibubuhi kaporit sebagai desinfektan. Namun untuk kota Cirebon misalnya, karena mengandung zat besi yang cukup tinggi, mata air diolah terlebih dahulu dengan teknologi aerasi. Sistem yang dibangun Belanda pada tahun 1937 tersebut berada di salah satu kawasan sumber mata air Paniis yang terletak di lereng Gunung Ciremai. Air dari mata air tersebut dialirkan ke Cirebon secara gravitasi dengan kapasitas 30 liter per detik. Kota-kota yang tidak memiliki sumber mata air, atau mata airnya terlalu jauh, seperti Makassar, Palembang, Bengkulu dan Surabaya pada umumnya memanfaatkan air permukaan melalui proses pengolahan. Teknologi pengolahan air minum yang digunakan di era prakemerdekaan masih konvensional10. Proses koagulasi/flokulasi, pengendapan, dan penyaringan dilakukan dengan cara sederhana dan terpisah. Instalasi pengolahan dengan saringan pasir lambat juga pernah dibangun Pemerintah Hindia Belanda, antara lain di Sigli, Sumatera Utara. Pada masa penjajahan Belanda Sigli merupakan kota di mana terdapat bengkel kereta api yang melayani transportasi
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
33
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
dari Medan ke Banda Aceh. Karena kota ini menjadi kota penting pada masa itu kota Sigli dilengkapi dengan penyediaan air minum, melalui pembuatan reservoir penampung, lalu air sungai dialirkan melalui kaskade yang diberi lapisan plat tembaga untuk mencegah tumbuhnya lumut, sebelum masuk ke saringan lambat. Namun karena keadaan keamanan yang tidak kondusif pada masa setelah kemerdekaan, instalasi pengolahan saringan lambat tersebut rusak (atau tepatnya dirusak) dan tidak berfungsi lagi. Belanda juga membangun menara-menara air sebagai tangki persediaan, yang juga berfungsi untuk meratakan tekanan air dalam jaringan perpipaan distribusi. Menara air yang dibangun di Medan pada tahun 1908 berkapasitas 1.200 meter kubik yang terbuat dari besi. Sebagian dari menara-menara air itu kini telah menjadi landmark kota. Menara air di Magelang berkapasitas 1.750 meter kubik misalnya, yang dibangun tahun 1916-1920 dengan biaya 550.000 gulden telah menjadi saksi sejarah pengembangan sistem penyediaan air minum di kota itu. Menara tersebut tingginya 21,2 meter, ditopang oleh 32 pilar. Menara air di Cirebon berkapasitas 875 meter kubik dibangun tahun 1937 dan masih berfungsi hingga sekarang.
34
Untuk sambungan rumah, pelayanannya masih terbatas hanya bagi warga Belanda dan golongan atas (ambtenaar). Bagi masyarakat umum disediakan fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat setempat, tetapi dalam pengawasan kotapraja. Di akhir masa pra kemerdekaan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia tercatat sekitar 3.000 liter per detik yang terdapat di 180 kota. Tidak jelas berapa biaya investasinya. Yang menarik adalah bahwa sebagian dari investasi prasarana, termasuk air minum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dimaskukkan dimasukkan sebagai utang Pemerintah Hindia Belanda yang harus dibayar kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, yang jumlahnya ditaksir 6,5 miliar gulden. Jumlah itulah yang dituntut oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945. Tuntutan itu diungkapkan oleh sejarawan Lambert Giebels lewat tulisannya di de GroeneAmsterdammer edisi Januari 2000 berjudul “De Indonesische Injectie” alias Sumbangan Indonesia11. Tuntutan itu disampaikan pihak Belanda kepada utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam rangka penyerahan kedaulatan Republik Indonesia di penghujung Perang Kemerdekaan RI. Semula Belanda menuntut pembayaran 6,5 miliar gulden, tetapi akhirnya sepakat atas angka 4,5 miliar yang diajukan pihak Indonesia. 10. Teknologi konvensional yang dimaksud adalah bahwa prosesnya dilakukan secara sederhana dan terpisah, misalnya untuk proses pencampuran dan koagulasi dilakukan melalui saluran bersekat dan berbelok belok (baffled channel), bak pengendap terbuat dari bak yang luas tanpa tambahan sekat/pipa pengendap (plate/tube settler). Pada sistem yang lebih baru, proses koagulasi/flokulasi dilakukan dengan cara heliocoidal, bahkan pada instalasi pengolahan modern, semua proses itu telah dipadukan dalam satu unit. 11. Sumber: http://www.groene.nl/artikel/de-indonesische-injectie
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Menara Air (water tower) sebagai tangki persediaan air yang dibangun Belanda
Patut pula dicatat, perusahaan-perusahaan air minum itu, baik yang swasta maupun yang diselenggarakan oleh kotapraja, memungut tagihan air minum yang dipakai pelanggannya. Sebagai contoh, Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Kota Medan menerapkan tarif air bersih yang disepakati oleh Direktur Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda seperti berikut ini: No. Jenis tarif
Tarif per m3 (gulden)*
1.
Untuk menyiram jalan, lapangan, pertamanan, pembersihan parit
0,05
2.
Untuk badan amal seperti rumah sakit dll
3.
Untuk kantor umum dengan pemakaian minimal 10 m3
0,20
4.
Untuk pemakaian rumah tangga, kandang hewan dan menyiram halaman dengan pemakaian minimal 5 m3 per bulan
0,20
5.
Untuk hotel, restoran, dan gedung pertemuan dengan pemakaian minimal 25 m3 per bulan
0,20
6.
Untuk keperluan industri dengan pemakaian minimal 12,5 m3 per bulan
0,40
0,10
* gulden sekarang sudah berganti menjadi uero
Pelayanan Air Minum Di Era Pra Kemerdekaan
35
36
Pengolahan air bersih di Bandung dengan menggunakan teknologi Degremon, Perancis Foto tahun 1962
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
3 PENGEMBANGAN AIR MINUM DI AWAL KEMERDEKAAN
Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana
37
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan Dalam lima tahun pertama era kemerdekaan, 1945 – 1950, dapat dikatakan hampir tidak ada pembangunan bidang air minum di Indonesia.
38
PADA MASA ITU bangsa Indonesia masih disibukkan dengan perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai daerah. Di sisi lain, pada masa itu sebagian besar masyarakatnya belum terlalu sulit mendapatkan air bersih dari sumber-sumber tradisional seperti sumur-sumur dangkal, mata air, dan sumber-sumber lain yang relatif masih baik. Usai perang kemerdekaan, barulah pemerintah Indonesia mulai melancarkan pembangunan, termasuk bidang air minum yang terbengkalai karena Perang Dunia II (1939-1945) dan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945–1950. Para pelaku sejarah pengembangan sektor air minum Indonesia mencatat bahwa di awalawal kemerdekaan, kebijakan yang diambil pada waktu itu adalah memprioritaskan pembangunan sarana air minum pada kota-kota besar, kota dengan pelabuhan, kota perdagangan, wisata dan objek-objek vital lainnya. Sesuai dengan kebijakan itu pula maka pada tahun 1952 dilakukan peningkatan kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta sebagai ibu kota negara. Itulah proyek yang pada jamannya disebut-sebut sebagai proyek raksasa, yakni pembangunan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA) Pejompongan I berkapasitas 2.000 liter per detik. Salah satu langkah penting di awal kemerdekaan itu, yakni bahwa Pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (RPNSB) Tahap I meliputi periode 1961–1968, dimana didalamnya termasuk rencana pengembangan sistem penyediaan air minum. Dalam kerangka Rencana Pembangunan Nasional PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Semesta Berencana itulah dilaksanakan pembangunan instalasi pengolahan air minum di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Manado dan Pontianak. Juga ada pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) di beberapa ibu kota provinsi atas kerja sama dengan sebuah perusahaan asal Perancis. Pembangunan IPA Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter per detik, selain untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin banyak, juga ditujukan untuk menyukseskan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) usai penyelenggaraan Asian Games di Jakarta tahun 1964. IPA Pejompongan I, tonggak sejarah pembangunan air minum di Indonesia Pembangunan IPA Pejompongan I didorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak penduduk kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, kota Jakarta pada awal era kemerdekaan memang tampil bagai sebuah magnet yang sangat kuat menarik warga pendatang dari seluruh penjuru tanah air untuk mengadu nasib. Terjadilah urbanisasi besar-besaran yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk amat pesat. Pada tahun 1950, penduduk Jakarta telah meningkat menjadi tiga kali lipat dari tahun 1922. Pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta memang sangat pesat seperti terlihat di bawah ini.
39 Tahun
Jumlah Penduduk
1900 1500 1930
500.000 (etnis Eropa 37.000)
1950 725.000 197012
Sekitar 3.500.000
Salah satu kebutuhan pokok warga Jakarta yang terus bertambah banyak adalah air minum. Ketika saluran mata air Ciburial di Bogor dibangun tahun 1922 untuk Jakarta, kapasitasnya hanya 500 liter per detik. Dengan jumlah penduduk yang telah berlipat ganda pada tahun 1950-an, menurut perhitungan diperlukan produksi air minum sebanyak 2.000 liter per detik. Maka disusunlah program percepatan peningkatan produksi air minum oleh Pemerintah Kotapraja Jakarta. Mengingat bahwa IPA Pejompongan I merupakan tonggak sejarah modern pengembangan air minum di tanah air, kisah di balik pembangunan instalasi berskala raksasa (pada waktu itu) diuraikan secara lengkap dalam Boks berikut.
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
KISAH DIBALIK PEMBANGUNAN INSTALASI PEJOMPONGAN I DI JAKARTA
Hidayat Notosugondo, salah seorang pelaku sejarah dalam pengembangan air minum di Indonesia, mengutarakan pengalamannya dalam pembangunan IPA Pejompongan I di Jakarta sebagai berikut: "Pada waktu Kotamadya (sebelum menjadi Daerah Khusus Ibukota - DKI) Jakarta pada tahun 1952 berencana memperluas kapasitas pelayanan air minum, konsultasi mengenai perencanaan dan usulan pembiayaannya diajukan ke Departemen Kesehatan. Perlu diketahui, bahwa sejak zaman kolonial hingga awal kemerdekaan Indonesia, perusahaan waterleiding menginduk ke Departemen Kesehatan karena departemen itulah yang bertanggung jawab mengawasi kualitas produksi. Kapasitas pelayanan yang ada dari mata air Ciburial, sebesar 500 liter per detik, yang dibangun di zaman kolonial dikhawatirkan tidak akan mencukupi lagi. Maka untuk mengantisipasi kekurangan penyediaan itu direncanakan membangun instalasi air bersih dengan kapasitas 1.000 liter per detik.
40
Untuk membangun proyek besar dan modern itu tentu diperlukan kontraktor yang memiliki reputasi yang baik. Melalui proses pelelangan, terpilihlah sebuah perusahaan asing bernama Dorr Oliver Co. Sampai taraf pemberian “letter of intent” kepada kontraktor tersebut, penanganannya masih dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Tetapi ketika memasuki pembicaraan mengenai pelaksanaan pembangunannya secara fisik, Departemen Kesehatan berpendapat bahwa pekerjaan itu bukan bidangnya, melainkan bidang Departemen Pekerjaan Umum. Maka dibentuklah Jawatan Teknik Penyehatan di bawah Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Kepala Jawatan yang pertama adalah Ir. Lie Tjong Hian yang pada waktu itu sebenarnya sudah berstatus pensiun. Struktur organisasi Jawatan pada waktu itu sangat sederhana, hanya terdiri atas Bagian Air Minum (Kabag dirangkap oleh Ir. Lie Tjong Hian dengan Pak Suradi sebagai pelaksana harian). Dengan dibentuknya Jawatan Teknik Penyehatan, maka pembangunan proyek-proyek air minum dan sanitasi, mulai dari survei, perencanaan, pelaksanaan, dan penganggarannya menjadi tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai Kepala Bagian Jawatan Teknik Penyehatan, tugas pertama Ir. Lie pada waktu itu adalah membatalkan pemberian Letter of Intent yang telah diberikan kepada Dorr Oliver Co. karena ada penawaran yang lebih menarik dari Degremont S.A. (Perancis), yaitu membangun instalasi kapasitas 2.000 liter per detik, jadi kapasitas dua kali lipat dengan harga yang sama.”. Kenapa sampai pelaksanaan proyek pindah tangan, kisahnya unik. Agar mendapat gambaran tentang instalasi yang akan dibangun, Dorr Oliver Co. mengundang pejabat Jawatan Teknik Penyehatan (Agus Prawiranegara) ke Negeri Belanda untuk meninjau beberapa instalasi yang pernah dibangun perusahaan itu di sana. Dalam perjalanan pulang, Degremont yang mendengar rencana pembangunan instalasi besar di Jakarta menemuinya. Dari dialog yang terjadi Degremont mengetahui bahwa IPA yang akan dibangun berkapasitas 1.000 liter per detik. Tetapi ketika mendengar bahwa harganya tergolong tinggi, pihak Degremont menawarkan harga yang sama namun kapasitas dua kali lipat, 2.000 liter per detik. Setelah hal itu dilaporkan kepada Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
yang ketika itu dijabat Putuhena, Menteri memutuskan supaya proyek itu dialihkan ke Degremont, dan letter of intent yang ditandatangani bersama Dorr Oliver Co. dibatalkan. Yang terjadi kemudian, Departemen Kesehatan yang menandatangani letter of intent, tetapi Departemen Pekerjaan Umum yang membatalkannya. Dapat dikatakan, tugas besar pertama Kepala Jawatan Teknik Penyehatan ketika itu, Ir. Lie, adalah membatalkan letter of intent dengan Dorr Oliver Co. Pembangunan Instalasi Penjernihan Air Minum Pejompongan I tersebut dimulai 1 Desember 1954 dengan biaya investasi sebesar Rp 70 juta. Angka itu tentu sudah sangat berbeda nilainya saat ini, mengingat mata uang rupiah sudah berkali-kali mengalami devaluasi, bahkan pernah mengalami penurunan nilai hingga seperseribunya. Pembangunan IPA Pejompongan I tidak terlepas dari peran Presiden Sukarno dan Walikota Sjamsurijal pada waktu itu. Sebuah majalah bernama Madjalah Kotapradja terbitan Februari 1953 mencatat latar belakang pembangunan Pejompongan I, dimana Presiden Sukarno berkeinginan agar Jakarta selaku ibu kota negara memiliki sistem pelayanan air minum yang prima. Apalagi, sekitar satu dasawarsa kemudian di Jakarta akan berlangsung Asian Games, pesta olahraga se-Asia. Pada waktu pemerintahan Walikota Sudiro-lah, gagasan membangun instalasi besar di Jakarta terlaksana. Instalasi tersebut mengambil air Kali Ciliwung sebagai air baku, dimana setelah dilakukan pengolahan, maka maka kualitas air yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan. Proyek dengan biaya Rp 70 juta itu disebut-sebut sebagai proyek raksasa. Pembangunan IPA Pejompongan dimulai secara resmi tanggal 23 Desember 1953 dan mulai mengalirkan produksinya pada tahun 1957. Kehadiran IPA tersebut dipandang sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah pengembangan sistem penyediaan air minum di Indonesia, dan itulah proyek raksasa pertama di bidang air minum yang dilakukan di Indonesia. pengerjaannya memakan waktu 2,5 tahun dengan melibatkan 1.000 tenaga kerja. Seluruh peralatan instalasi, termasuk pipapipa transmisi dan distribusi didatangkan dari Perancis.
Boks 1. Kisah Dibalik Pembangunan IPA Pejompongan I di Jakarta
Menimba ilmu teknik penyehatan di luar negeri Di awal-awal kemerdekaan berlangsung persiapan nasionalisasi perusahaanperusahaan air minum peninggalan Belanda. Sayangnya, orang Indonesia yang memiliki kemampuan di bidang teknik penyehatan masih langka, sehingga pada masa-masa itu Pemerintah mengirim para mahasiswa dan dosen di bidang teknik untuk memperdalam ilmu teknik penyehatan (sanitary engineering) ke luar negeri. Ilmu teknik penyehatan adalah ilmu keteknikan yang terkait dengan kesehatan secara perventif, antara lain pembangunan sistem penyediaan air minum, sistem pengelolaan air limbah dan pengelolaan persampahan. Tujuannya agar mereka kelak dapat mengembangkan dan mengelola sistem penyediaan air minum yang diambil alih itu sebagaimana mestinya. Selain itu, agar Indonesia memiliki tenaga-tenaga yang ahli dalam pengembangan serta pengelolaan sistem penyediaan air minum. Salah seorang diantara mereka adalah Mertonegoro, yang kelak kemudian menjadi guru besar Teknik Penyehatan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebelumnya, yakni sekitar bulan Mei 1949, Ir. Djuanda selaku Menteri Pekerjaan Umum pada waktu itu memang sudah memerintahkan kepada para pemimpin perusahaan air minum bentukan Belanda di
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
41
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
seluruh Indonesia untuk mempersiapkan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan air minum tersebut. Hasil Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap Pertama dalam bidang air minum yang dilancarkan Pemerintah dalam periode 1961-1968 antara lain adalah bahwa hingga tahun 1968 kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia sudah mencapai 9.000 liter per detik. Dengan kapasitas sebesar itu, cakupan pelayanan di daerah perkotaan mencapai 19 persen. Jika dibandingkan dengan kapasitas produksi air minum perpipaan di perkotaan pada akhir prakemerdekaan atau akhir zaman penjajahan, yakni 3.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan sebesar 8 persen, maka dalam 23 tahun sejak Indonesia merdeka, telah terjadi peningkatan kapasitas dua kali lipat, yakni sebesar 6.000 liter per detik.
42
Kerjasama luar negeri dan tata laksana proyek Patut dicatat bahwa kemampuan keuangan Pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan masih sangat terbatas. Untuk membangun proyek besar seperti IPA Pejompongan I itu, Pemerintah harus mengupayakan pinjaman luar negeri. Harus diakui bahwa proses untuk mendapatkan pinjaman itu sendiri pada waktu ini sangat berbeda dan unik. Pejabat-pejabat Indonesia yang berwenang di bidang pembangunan biasanya mengajukan permintaan pinjaman luar negeri melalui kontraktor-kontraktor asing yang memenangkan tender pembangunan proyek. Dalam hal ini, Degremont yang menjadi penghubung, berperan besar dalam meyakinkan Pemerintah Perancis untuk memberikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia. Dengan demikian terjadilah kerjasama segitiga antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Perancis dan Degremont dalam serangkaian pembangunan IPA di sejumlah
Kontaktor lokal sedang mengerjakan proyek fisik
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
ibu kota provinsi di Indonesia. Hingga saat ini, “jejak” Degremont masih dapat dilihat di berbagai kota di Indonesia, seperti di Bandung, Semarang, Banjarmasin dan di kotakota lainnya. Kesiapan operator kita dalam mengoperasikan teknologi yang diterapkan Degremont ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Teknologi yang digunakan di IPA Pejompongan I misalnya, sudah tergolong teknologi modern di zamannya. Air baku diambil dari Kanal Banjir Barat di bilangan Karet, Jakarta Pusat, yang dipompa melalui pipa transmisi ke instalasi pengolahan. Air yang masih keruh dibubuhi aluminium sulfat agar kandungan lumpur mengendap di perangkat accelator yang berkapasitas olah 2.000 liter per detik. Berbagai perangkat yang digunakan di IPA Pejompongan I sudah cukup canggih, bahkan ada yang semiotomatis. Sistem yang modern belum tentu menjamin kelancaran produksi apabila tidak disertai disiplin operatornya. Beberapa catatan13 membuktikan hal ini. Di era awal kemerdekaan itu, mekanisme pendanaan dan tata laksana proyek masih sangat sederhana dan praktis. Pada prinsipnya, untuk setiap kebutuhan anggaran pembangunan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT)14 mengajukan anggarannya ke Departemen Keuangan. Pengajuan anggaran itu disertai nota penjelasan. Anggaran yang disetujui kemudian diotorisasi sebelum diturunkan melalui rekening Bank Indonesia atas nama Pejabat atau Bendaharawan proyek yang ditunjuk. Pada saat itu, jabatan pimpinan proyek (pimpro) biasa dirangkap oleh seorang pejabat struktural setingkat pejabat eselon dua. Proses pelelangan pun tidak serumit seperti sekarang. Tagihan oleh pemborong yang telah dievaluasi dan disetujui oleh konsultan pengawas misalnya, dapat langsung diajukan kepada Pimpinan Proyek, dan Pimpinan Proyek biasanya kepala jawatan yang membidangi proyek. Dalam hal bidang air minum, Kepala Jawatan Teknik Penyehatan bahkan merangkap sebagai Bendaharawan Proyek. Maka segera setelah segala persyaratan administrasi dipenuhi, pembayaran dapat langsung dilakukan dengan menerbitkan cek kepada pemborong. Kemudian cek itu dapat langsung dicairkan di Bank Indonesia tanpa melalui KPN (Kantor Perbendaharaan Negara). Begitu sederhananya prosedur yang harus dijalani, sehingga untuk urusan pemborongan pekerjaan fisik waktu itu diterapkan sebuah sistem yang disebut cost plus fee. Artinya, 13. Sebagaimana diketahui pada instalasi ini apabila salah satu filter-nya kotor sirene akan berbunyi, yang memberikan indikasi ada filter yang kotor. Operator harus segera menuju ke filter yang kotor tersebut dan menekan tombol pencucian dan filter akan mencuci secara otomatis. Namun sirene itu sangat mengganggu operator karena bunyinya tidak kenal waktu (bisa jam 2-3 malam), hingga alarm itu dimatikan. Akibatnya pencucian filter menjadi tidak terkontrol hingga kapasitas instalasi menjadi turun sampai 50 persen setelah dua tahun operasi. Degremont terpaksa didatangkan untuk mengambil alih operasi dan mengembalikannya ke kapasitas semula. Dalam kesempatan itu Degremont minta agar disiplin kerja benar-benar ditegakkan oleh para operator, dan menyarankan agar pencucuian filter dilakukan hanya malam hari agar tidak mengganggu pelayanan kepada konsumen. 14. Departemen PUT kemudian berubah menjadi Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) dan setelah berubah beberapa kali, sekarang menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
43
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
44
Sungai dan air terjun Ciomas tahun 1910
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
45
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
kontraktor atau pemborong (lokal) yang mengerjakan proyek fisik akan menerima fee sebesar 10 persen dari nilai biaya (cost) konstruksi yang dikeluarkan. Pada proyek-proyek pembangunan yang menggunakan dana bantuan/pinjaman luar negeri, prosedur tata laksana proyeknya agak berbeda. Setelah proses pelelangan tender internasional dilakukan, anggaran biaya luar negeri dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang dibutuhkan dibahas terlebih dahulu dengan Bank Indonesia. Pembahasan berkisar pada hal ikhwal syarat-syarat pembayaran, bunga pinjaman, dan sebagainya. Setelah segala hal disepakati, baik oleh Bank Indonesia maupun oleh kontraktor pemenang tender, Bank Indonesia kemudian mengajukan anggaran valuta asing yang dibutuhkan untuk mendapatkan otorisasi. Pembayaran atas pinjaman tersebut dilakukan dengan penerbitan surat utang yang disebut promissory notes, yang dapat dicairkan sesuai dengan tanggal jatuh temponya. Secara keseluruhan, proses tata laksana proyek Bantuan Luar Negeri itu hanya memakan waktu maksimal empat bulan, mulai dari pemasangan pengumuman undangan pelelangan hingga penandatanganan kontrak.
46
Model kemitraan yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan Perancis dalam pelaksanaan pembangunan proyek IPA Pejompongan I di Jakarta, juga diterapkan pemerintah Indonesia dalam mendapatkan pinjaman dana untuk membangun sejumlah instalasi pengolahan air minum di sejumlah ibu kota provinsi pada waktu itu. Dana-dana bantuan luar negeri itu ada yang berstatus hibah (grant), tetapi sebagian besar adalah pinjaman (loan). Sebagian besar dari dana pinjaman itu didasarkan pada kesepakatan bilateral, dan biasanya langsung diarahkan untuk membiayai proyek tertentu. Jawatan Teknik Penyehatan kemudian berganti nama menjadi Direktorat Teknik Penyehatan, yang kemudian pecah menjadi dua Direktorat, yaitu Direktorat Air Bersih dan Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman. Sejarah terbentuknya Direktorat Teknik Penyehatan dan jurusan Teknik Penyehatan di ITB bisa dilihat pada Boks berikut.
TERBENTUKNYA DIREKTORAT TEKNIK PENYEHATAN DAN BERDIRINYA JURUSAN TEKNIK PENYEHATAN DI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Direktorat Teknik Penyehatan, yang dalam perjalanan sejarahnya telah berganti nama beberapa kali, tidak lepas dari peran Jawatan Teknik Penyehatan yang dibentuk sebelumnya. Sebagaimana dikisahkan Hidayat Notosugondo, yang pernah memangku jabatan sebagai kepala di Jawatan tersebut, Jawatan Teknik Penyehatan terbentuk tahun 1952, pada waktu itu pejabat-pejabat inti di situ sangat terbatas15 dengan struktur organisasi yang sangat 15. Pejabat inti pada waktu itu terdiri dari Ir. Lie Tjiong Hian (statusnya sudah pensiun), Ir. Winkelman (warganegara Belanda yang diperbantukan dari Departemen Kesehatan), Prodjosoetirto, Djajakusuma, Nona David, Suradi dan Moeljono, BE.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
sederhana. Pembentukan Direktorat Teknik Penyehatan tidak lepas dari pembangunan IPA Pejompongan I. Pada saat itu tanggung jawab bidang air minum berada di bawah Departemen Kesehatan. Pada saat pembangunan IPA Pejompongan I yang bersifat sangat teknis, maka Departemen Kesehatan merasa bahwa itu bukan kompetensinya dan menyerahkan tanggung jawab pembangunan IPA tersebut kepada Departemen Pekerjaan Umum. Sejak itu, dibentuklah Jawatan Teknik Penyehatan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum16. Selama enam tahun sejak berdiri, hanya ada satu sarjana teknik di Jawatan itu, yaitu Ir. Lie Tjiong Hian yang sebenarnya sudah berstatus pensiun. Pada waktu itu memang tidak banyak sarjana teknik yang tertarik pada bidang ini. Banyak lulusan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (kemudian menjadi ITB – Institut Teknologi Bandung) tidak bersedia ditempatkan di jawatan itu, boleh jadi karena tidak tahu eksistensinya atau apa sesungguhnya Jawatan Teknik Penyehatan itu. Baru pada sekitar 1961-62, pada waktu Jawatan Teknik Penyehatan berganti nama menjadi Direktorat Teknik Penyehatan, banyak sarjana-sarjana baru lulusan Jurusan Teknik Penyehatan ITB yang mulai bekerja disana17. Pada tanggal 10 Oktober 1962, jadi sekitar 10 tahun setelah Jawatan Teknik Penyehatan berdiri, terbentuklah Jurusan Teknik Penyehatan di Institut Teknik Bandung (ITB), yang tentu tak terlepas dari sejarah pengembangan air minum dan sanitasi di Indonesia. Jurusan ini adalah yang pertama ada di Indonesia, yang sejak tahun 1984 berubah namanya menjadi Jurusan Teknik Lingkungan. Sebenarnya, sebelum Jurusan Teknik Penyehatan ITB terbentuk, pengetahuan tentang teknik penyehatan sudah diajarkan kepada mahasiswa jurusan Teknik Sipil ITB. Di antara para dosen mata kuliah teknik penyehatan yang terkemuka antara lain Prof. Mertonegoro dan Prof. Soetedjo. Peran Jurusan Teknik Penyehatan ITB berlanjut pada saat lulusannya banyak yang mengabdikan dirinya pada Direktorat Teknik Penyehatan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Pada waktu itu, rata-rata ada sekitar 30-an insinyur Teknik Penyehatan yang dihasilkan jurusan itu setiap tahunnya. Mereka inilah yang kemudian menjadi perintis, penggerak dan pelaksana berbagai program pembangunan di bidang air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia. Pada waktu itu, hampir sepertiga lulusan Teknik Penyehatan ITB berkiprah di Direktorat Teknik Penyehatan Departemen Pekerjaan Umum18, selebihnya menjadi dosen, pegawai Pemda DKI, menjadi pegawai PDAM, Departemen Kesehatan dan ada pula yang bekerja sebagai konsultan, kontraktor dan wiraswasta.
Boks 2. Terbentuknya Direktorat Teknik Penyehatan dan berdirinya Jurusan Teknik Penyehatan di Institut Teknologi Bandung
16. Struktur Organisasi Jawatan terdiri dari Bagian Air Minum, Bagian Assainering, Bagian Umum dan Keuangan, dan Bagian Personalia, dengan beberapa tenaga administrasi, Jawatan berkantor di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta. 17. Beberapa diantaranya adalah Ir. Soesanto Mertodiningrat, Ir. Soeratmo Notodipuro (sarjana teknik mesin), Ir. Soepeno Moeksan (sarjana teknik elektro), dan beberapa sarjana muda lulusan Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) seperti Soedarwo, Artoyo, Soenarto, Ilham, Iskandar Tamin, Ruyadi, Irvan JR, Noer Burhanuddin, Chamim, Koesnadi. 18. Beberapa diantaranya adalah Ir. Darmawan Saleh, Ir. Aziz Sasmitadihardja, Ir. A.R. Tambing, Ir. Oemarsidik, Ir. Rahadjo, Ir. Rachmat Rani, Ir. Budiman Arif, Ir. Priyono Salim, Ir. Parulian Sidabutar, Ir. Suwandi Sanoedi, Ir. Benyamin Karyabdi, Ir. Paul Adinatapradja, Ir. Krisno Darusman, Ir. Sorta Hutagalung, Drs. Soedirman, Ir. Boediati Abiyoga, Ir. Eben Koesbini.
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
47
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
Pembentukan Direktorat Jenderal Cipta Karya, dimana Direktorat Teknik Penyehatan bernaung, juga memiliki kisah tersendiri, lihat Boks berikut, yang diceritakan oleh Hidayat Notosugondo.
TERBENTUKNYA DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA
Sejarah terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya juga tidak terlepas dari peran Hidayat Notosugondo, salah seorang pelaku yang juga terlibat didalamnya. Menurut Hidayat, istilah Cipta Karya pertama kali digunakan oleh Presiden Soekarno pada waktu pemerintahan Kabinet Ampera (yang juga dikenal sebagai “Kabinet 100 Menteri”, karena begitu banyaknya jumlah menteri yang ada dalam kabinet), sebelum pecahnya peristiwa G30S. Pada waktu itu Kompertemen PU terdiri dari beberapa Departemen, yaitu: 1. Departemen Jalan dan Jembatan, dengan Brigadir Jenderal Hartawan sebagai menteri; 2. Departemen Pengairan, dengan Ir. P.C. Haryasudirdja sebagai menteri; 3. Departemen Listrik dan Ketenagaan, dengan Ir. Setiadi Reksoprojo sebagai menteri; 4. Departemen Cipta Karya dan Konstruksi, dengan David Chen sebagai menteri; 5. Departemen Jalan Lintas Sumatera, dengan Ir. Slamat Bratanata sebagai menteri; dan 6. Menteri Muda PU Urusan Konstruksi, dengan Ir. Soetami sebagai menteri. Departemen-departemen tersebut termasuk beberapa departemen lainnya ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Jenderal Suprayogi.
48
Setelah G30S meletus dan dilanjutkan dengan pemerintahan Orde Baru, diadakanlah restrukturisasi kabinet. Kompartemen PU disederhanakan menjadi Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Dept. PUTL) dengan Ir, Soetami sebagai menterinya. Departemen Jalan dan Jembatan menjadi Direktorat Jenderal Bina Marga dengan Jenderal Sarsono sebagai Direktur Jenderal, sedangkan Departemen Pengairan menjadi Direktorat Jenderal Pengairan dengan Ir. Soejono Sosrodarsono sebagai Direktur Jendral, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya dengan Ir. Rahmat Wiradisuria sebagai Direktur Jenderal yang pertama. Karena satu direktorat jenderal tidak boleh mempunyai lebih dari empat direktorat, maka Direktorat Teknik Penyehatan yang semula berada dibawah Direktorat Jenderal Pengairan, dipindah ke Direktorat Jenderal Cipta Karya. Dengan demikian Direktorat Jenderal Cipta Karya membawahkan empat direktorat dan satu lembaga penelitian, yaitu: 1. Direktorat Perumahan Rakyat, 2. Direktorat Perencanaan Tata Kota dan Daerah, 3. Direktorat Tata Bangunan, 4. Direktorat Teknik Penyehatan, dan 5. Lembaga Penelitian Masalah Bangunan (LPMB).
Boks 3. Terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya
Institusi pengelola pelayanan air minum Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dapat dikatakan negeri ini hanya bermodalkan kapasitas produksi air minum 3.000 liter per detik yang tersebar di kota-kota tertentu yang dulu dihuni orang-orang Belanda. Sarana dan prasarana fisik
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
air minum tersebut adalah peninggalan Belanda. Dalam hal kelembagaan, Belanda meninggalkan embrio seperti perusahaan air minum kotapraja (gemeente) atau dinas (diensten) air minum, yang kesemuanya berinduk ke Departemen Kesehatan, yang sekaligus juga berfungsi sebagai institusi yang mengawasi standar mutu air minum. Di awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia melanjutkan hal itu sebagaimana juga banyak sistem dan peraturan peninggalan pemerintah kolonial yang sempat diadopsi oleh pemerintah. Barulah setelah pembangunan sistem penyediaan air minum berskala besar dimulai, dari instalasi pengolahan hingga ke jaringan pipa distribusinya tanggung jawab atas bidang air minum dialihkan (secara sukarela) oleh Departemen Kesehatan kepada Departemen Pekerjaan Umum, tetapi fungsi pengawasan atas standar mutu air minum tetap menjadi wewenang Departemen Kesehatan19. Sejalan dengan tegaknya kedaulatan RI, pada tahun 1950 Pemerintah mulai mengupayakan berbagai langkah untuk mengembangkan sistem penyediaan air minum, baik dari segi pembangunan dan rehabilitasi fisik, maupun dari sudut kelembagaan, pemanfaatan teknis teknologis, regulasi, dan pembiayaannya. Dalam kelembagaan, masih terdapat berbagai bentuk pengelolaan yang berbeda-beda di berbagai daerah. Selain yang dikelola oleh PDAM dan Dinas, ada sistem air minum yang dikelola TNI-AL seperti di Sabang, atau Perusahaan Air Minum sebagai cabang dari Perseroan Terbatas milik Pemerintah Daerah Tingkat I, atau Dinas Air Minum yang termasuk dalam organisasi Pemerintah Daerah Tingkat II, atau Dinas Air Minum Provinsi yang bernaung di bawah Dinas Pengairan PU Provinsi, serta Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Tingkat II, dan Air Minum Negara (antara lain di Singaraja, Bali). Selain itu juga ada usaha air minum yang dikelola pengelola pelabuhan, dimana kelebihan produksinya dijual kepada masyarakat di sekitarnya. Pertamina juga mengelola sarana penyediaan air minum yang umumnya merupakan peninggalan perusahaan minyak Belanda dan asing lainnya, yang dinasionalisasi setelah Indonesia merdeka. Selain untuk keperluan sendiri, khususnya pegawai-pegawai Pertamina, kelebihan produksinya juga dijual kepada masyarakat di sekitar wilayah kerja Pertamina tersebut. Ada pula beberapa pengusaha tertentu, misalnya hotel, yang kemudian menjual kelebihan produksinya kepada masyarakat di sekitarnya. Pembangunan air minum di kota-kota besar prioritas Pada awal-awal kemerdekaan, pengembangan sistem penyediaan air minum masih 19. Perihal pengalihan peran dan tanggung jawab itu, Ir. Hidayat Notosugondo pada suatu kesempatan melontarkan anekdot: “....kalau zaman dulu, lembaga yang merasa suatu proyek bukan bidangnya, dengan sukarela mempersilakan lembaga yang lebih berkompeten untuk melaksanakannya, tetapi zaman sekarang mungkin berbeda.”
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
49
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
terbatas pada pembangunan IPA di beberapa kota besar/ibu kota provinsi seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Padang, Manado dan Makassar. Pada era awal kemerdekaan ini, peningkatan kapasitas produksi berupa pembangunan secara fisik menjadi prioritas sesuai dengan penetapan Badan Perancang Nasional (sekarang Bappenas). Setelah proyek-proyek tersebut selesai, sesuai dengan PP No. 18 tahun 1953 tentang pelaksanaan desentralisasi/penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat termasuk bidang Pekerjaan Umum, pengelolaan sistem penyediaan air minum (SPAM) pun kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Mayoritas sistem penyediaan air minum itu telah mengambil bentuk sebagai badan usaha milik daerah dengan nama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Proyek pembangunan SPAM skala besar di kota-kota besar/ibukota provinsi tersebut dilaksanakan setelah Jawatan Teknik Penyehatan terbentuk pada akhir tahun 1952. Beberapa IPA/SPAM skala besar yang dibangun di era itu adalah: Kota
50
Jakarta Bandung Surabaya Semarang Banjarmasin Manado Padang Jakarta Makassar
IPA/SPAM Tahun Pejompongan I Tamansari Ngagel Kaligarang A. Yani Paal II Gunung Pangilun Pejompongan II Panaikang
1954 1956 1958 1960 1962 1962 1962 1967 1969
Kapasitas liter/detik 2.000 1.000 1.000 500 500 500 250 3.000 1.000
Undang Undang yang melandasi pendirian PDAM sebagai badan usaha Hal yang cukup penting dalam periode awal kemerdekaan itu adalah diterbitkannya UU No. 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, termasuk didalamnya tentang pembentukan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sebagai badan usaha milik daerah. Undang-undang tersebut dikelak kemudian hari cukup kontroversial karena memberikan legitimasi kepada Pemerintah Daerah untuk memungut bagi hasil dari PDAM sebagai pendapatan asli daerah (PAD) kepada PDAM, terlepas apakah cakupan pelayanan PDAM sudah cukup luas dan kondisi keuangan PDAM memungkinkan atau tidak untuk menyetor PAD. Padahal, selain merupakan badan usaha milik daerah, PDAM juga memiliki fungsi sosial untuk memberikan pelayanan air minum kepada masyarakat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
IPA Kedasih, karya putra bangsa
51
IPA Sangkuriang, Bandung
IPA Pejompongan I – Jakarta, yang menggunakan teknologi modern pada masanya
52
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
4 PENGEMBANGAN AIR MINUM PADA ERA ORDE BARU
Pengalaman baru dalam pengembangan SPAM
Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan
53
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
54
Dengan berakhirnya era Orde Lama dengan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana-nya, dalam situasi sosial politik dan pertahanan keamanan yang relatif stabil pada era Orde Baru, pembangunan di segala bidang secara terencana dimulai dengan persiapan yang cukup matang (1967-1968).
INSTITUSI pemerintahan telah lengkap, rencana pembangunan jangka panjang (25 tahun) telah tersusun diikuti dengan rencana pembangunan lima tahunan (repelita). Masa Orde Baru selama kurang lebih 30 tahun telah melalui satu periode pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama (1969-1994) dan satu periode jangka menengah berikutnya yaitu Pelita VI (1994-1998). Periode ini dimulai dengan melakukan rehabilitasi atas sarana yang sudah ada, yang dilanjutkan dengan ekstensifikasi dan perluasan cakupan pelayanan air minum di perkotaan maupun di perdesaan. Periode Orde Baru ini berakhir pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997-1998. Dalam era Orde Baru ini diletakkan prinsip prinsip pembangunan yang antara lain berorientasi kepada kebutuhan dan pemerataan. Meskipun inisiatif pembangunan sarana air minum dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pada hakekatnya air minum dan sanitasi merupakan urusan yang telah telah PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
didesentralisasikan dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah sesuai dengan PP 18 tahun 1953. Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum, sebagai penanggung jawab bidang air minum tingkat nasional, dalam rangka PEMBINAAN dan sehubungan dengan keterbatasan dana dan sumber daya manusia di daerah, maka Depertamen Pekerjaan Umum melakukan pembangunan sarana air minum sebagai investasi awal (initial investment) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan oleh masingmasing pemerintah daerah. Secara umum pengembangan air minum pada masa Orde Baru meliputi kebijakan prioritas pengembangan, pendanaan, teknis-teknologis, kelembagaan, pengaturan, dan peran serta masyarakat. Dalam setiap tahapan jangka menengah (pelita) berkembang kebijakan dan strategi yang spesifik atau khusus, sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dengan tetap memperhatikan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Dalam prioritas pengembangan, kebijakannya antara lain adalah (a) melanjutkan proyek-proyek yang telah dimulai pada periode sebelumnya; (b) rehabilitasi dan optimalisasi sistem penyediaan air minum yang telah ada di seluruh provinsi; dan (c) perluasan (ekstensifikasi) secara bertahap di seluruh provinsi, baik untuk kota-kota metropolitan, kota besar, kota sedang, kota kecil dan ibukota kecamatan (IKK) maupun perdesaan. Besaran kapasitas perluasan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) yaitu sebesar 60 liter per orang per hari untuk melayani 60 persen penduduk perkotaan melalui sambungan rumah dan hidran umum. Dalam aspek pendanaan, kebijakannya diawali dengan mengandalkan pada dana APBN (murni). Selanjutnya memanfaatkan dana bantuan luar negeri dengan mengutamakan bantuan hibah (grant) antara lain bantuan dari Pemeritah Australia (Denpasar, Cilacap dan Bandar Lampung), Selandia Baru (Bengkulu) dan Jerman (Sumatera Barat), pinjaman bilateral (antara lain dari Jepang, Belanda, Jerman) dan kemudian pinjaman multilateral (Bank Dunia, ADB). Kebijakan teknis-teknologis pada saat itu masih memanfaatkan teknologi yang ada dengan modifikasi secara terbatas, khususnya untuk proyek rehabilitasi dan perluasan. Untuk proyek-proyek baru (ekstensifikasi) dimulailah penyiapan rencana induk, studi kelayakan dan perencanaan detail sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku. Dalam pemilihan sumber air baku, sejauh mungkin digunakan mata air, air tanah dalam secara terbatas dan pemanfaatan air permukaan, terutama untuk kota-kota metropolitan, besar dan sedang. Dalam aspek kelembagaan, pada tahun 1969 dibentuk proyek-proyek air minum di setiap provinsi (PPSAB – Proyek Penyediaan Sarana Air Bersih), dipimpin oleh seorang Pimpinan Proyek (Pimpro) dari pusat, yang bertanggung jawab kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui Direktur Jenderal Cipta Karya selaku atasan Pimpinan Proyek. Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
55
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
PPSAB melaksanakan kegiatan pembangunan air minum pada kota-kota di provinsi yang bersangkutan, yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi dan Kepala Kantor Wilayah Pekerjaan Umum Provinsi selaku pembantu atasan langsung Pimpro. Seluruh pelaksanaan pembangunan dilakukan melalui mekanisme penganggaran yang dikenal sebagai DIP (Daftar Isian Proyek) tahunan sebagai jabaran pelaksanaan dari Pelita yang telah disusun. Untuk mengelola proyek yang sudah selesai dibentuklah Badan Pengelola Air Minum (BPAM) bagi kota-kota yang belum memiliki PDAM, yang merupakan cikal bakal terbentuknya PDAM Dengan meningkatnya jumlah PDAM, maka atas inisiatif beberapa Direktur PDAM waktu itu, terbentuklah Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) yang merupakan asosiasi PDAM diseluruh Indonesia20. Pada periode ini pula terbit sejumlah peraturan perundangan dalam bidang air minum, yang pada dasarnya mengatur penyelenggaraan dalam penyediaan, pengembangan dan pengelolaan bidang air minum, yang akan diuraikan lebih lanjut.
56
Pelita I (1969-1974): Pembangunan yang berfokus pada rehabilitasi dan ekstensifikasi secara terbatas Pada Pembangunan Lima Tahun Pertama (Pelita I, 1969-1974), kebijakan pembangunan air minum dititik beratkan pada rehabilitasi maupun perluasan secara terbatas dari sistem yang sudah ada, dengan sumber pembiayaan dari APBN. Target yang direncanakan adalah 8.000 liter per detik, sehingga total kapasitas produksi di akhir Pelita I diharapkan menjadi 17.000 liter per detik. Upaya perluasan atau ekstensifikasi meliputi perluasan sistem penyediaan air minum yang lama dan pembangunan sistem penyediaan air minum yang baru. Namun proyek-proyek pembangunan yang baru lebih bersifat “cepat menghasilkan” (quick yielding) karena memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak. Pada masa ini telah dirintis adanya pinjaman OECF (Overseas Economic Cooperation Fund) dari Jepang untuk memenuhi kebutuhan air minum kota Jakarta yang sudah sangat mendesak. Selain kota Jakarta, sistem pinjaman untuk pembangunan air minum juga dilaksanakan di lima kota lainnya, yaitu Jambi, Purwokerto, Malang, Banyuwangi dan Samarinda dengan pinjaman dari Bank Dunia. Sejak Pelita I, Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) melakukan 20. PERPAMSI berdiri secara resmi pada tanggal 8 April 1972. Gagasan pendirian Perpamsi di cetuskan oleh beberapa Direktur PDAM yang pada masa itu jumlahnya baru sekitar 50 PDAM di seluruh Indonesia. Para tokoh yang mensponsori berdirinya organisasi seprofesi di lingkungan PDAM tersebut antara lain Ir. Irwin Nazir (Direkur Utama PAM DKI Jaya) bersama dengan Drs. Sahat Panjaitan, Ir. Achmad W.A (Direktur Utama PDAM Kodya Bandung), Ir.Soebiyanto (Direktur Utama PDAM Kodya Semarang), Ir.Haryono (Direktur Utama PDAM Yogyakarta), Ir. Moch. Dahlan (Direktur Utama PDAM Kodya Surabaya), dan Ir. Pedi Nata Soewarna (Direktur Utama PDAM Kodya Pontianak). Sumber: www.perpamsi.or.id.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
evaluasi atas semua pengajuan proyek yang akan didanai bantuan luar negeri. Jika dianggap layak, proyek-proyek tersebut dimasukkan ke dalam daftar, yang dikenal sebagai Blue Book. Selanjutnya Bappenas akan mendistribusikan Blue Book tersebut kepada negara-negara pemberi bantuan dan berbagai lembaga keuangan internasional sebagai bahan pertimbangan untuk memberi pinjaman bagi pembangunan bidang air minum. Selain tata laksana pendanaan bantuan luar negeri, satu hal positif lain yang patut dicatat dari proses kemitraan luar negeri dengan tata laksana proyek yang lebih tertib itu adalah bahwa para pemangku kebijakan dan kepentingan di bidang air minum di Indonesia mulai mengenal sistem pelelangan internasional, baik untuk pekerjaan jasa konsultan maupun kontraktor, yang ketika itu sudah mulai memperkenalkan prinsipprinsip transparansi dan kompetisi yang sehat. Selama pelaksanaan Pelita I, khusus untuk pengembangan air minum, Indonesia juga mengenal prosedur penyusunan kerangka acuan kerja (term of reference) dalam rencana pembuatan suatu studi kelayakan (feasibility study). Butir penting yang perlu dicatat di era tersebut yakni upaya perbaikan manajemen PDAM dengan penyusunan peraturan-peraturan pokok teknik penyehatan air minum. Pada era itulah kursuskursus peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) mulai dilaksanakan dengan melibatkan tenaga ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization - WHO). Selain itu, perlu pula dicatat bahwa sebagian besar pekerjaan studi kelayakan dan perencanaan teknis masih dilakukan secara swakelola oleh staf Direktorat Teknik Penyehatan, yang didukung dengan peralatan gambar dan alat-alat survey serta laboratorium pemeriksaan kualitas air yang memadai. Laboratorium ini memiliki kemampuan melakukan analisis kimia dan mikrobiologi air minum dan air limbah guna menjamin bahwa sistem yang dibangun menghasilkan air yang memenuhi syarat kesehatan. Selain itu laboratorium ini juga mampu melakukan analisis pasir saringan yang untuk menjamin bahwa pasir yang disuplai oleh pemasok sesuai dengan persyaratan teknis ukuran pasir untuk saringan. Adanya laboratorium ini merupakan hal mendesak pada waktu itu karena meskipun sudah ada Direktorat Penelitian Masalah Bangunan (DPMB), namun masih dalam keadaan baru berkembang, belum mampu menjawab kebutuhan Direktorat Teknik Penyehatan yang menghadapi tugas pembangunan yang berat meliputi seluruh wilayah Indonesia. Meskipun PDAM sudah terbentuk di banyak kota, pengelolaan prasarana dan sarana air bersih pada Pelita I, di sebagian besar daerah masih dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II, yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip pengusahaan sebagaimana mestinya sebuah perusahaan pelayanan publik. Pada akhir Pelita I, yaitu tahun 1974, kapasitas produksi air minum telah meningkat Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
57
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
menjadi 15.222 liter perdetik, walau belum mencapai sasaran yang ditentukan sebelumnya yaitu 17.000 liter perdetik. Pelita II (1974-1978): Langkah-langkah perbaikan pengelolaan air minum Pada Pelita II pemerintah mulai menyusun Rencana Induk Air Minum untuk 120 kota dan pembuatan detail desain untuk 110 kota. Di bidang pengembangan institusi, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki pengelolaan air minum yang ada dengan mendorong dilakukannya pengalihan status dari Jawatan/ Dinas menjadi Perusahaan Daerah. Pada waktu itu target pembangunan dan pelayanan air minum adalah sebesar 12.000 liter per detik termasuk didalamnya sisa target yang belum dicapai pada Pelita I.
58
Dalam Pelita II Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam sistem pembiayaan, yaitu untuk kota-kota yang sudah mampu diarahkan dapat melaksanakan pembangunan air minumnya dengan cara pinjaman penuh atau sebagian. Persyaratan yang menunjang kebijaksanaan tersebut adalah pembentukan PDAM yang sehat dan mampu dalam mengelola sistem penyediaan air minum, disamping sebanyak mungkin melakukan pelayanan sambungan rumahnya sehingga pendapatannya meningkat. Dengan demikian PDAM tersebut dapat mengembalikan biaya investasi yang dipinjamnya. Saat itu dimulailah pembentukan PDAM di banyak daerah di seluruh tanah air. Mengingat prosedur pembentukan PDAM cukup memakan waktu, maka mulai akhir Pelita II di daerah-daerah dibentuk Badan Pengelola Air Minum (BPAM) yang merupakan lembaga transisi sebelum PDAM terbentuk, dengan dana operasional yang sepenuhnya ditunjang oleh Pemerintah Pusat. BPAM ini menjadi cikal bakal atau embrionya PDAM. Sejalan dengan hal tersebut diambil langkah-langkah untuk memperbaiki pengelolaan air minum dengan melanjutkan penyelenggaraan programprogram penataran bagi tenaga-tenaga pengelola PDAM. Pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia mendapat bantuan pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk pembangunan prasarana dan sarana perkotaan di Kotamadya Bandung, yang didalamnya tercakup kegiatan pembangunan prasarana dan sarana air minum. Bantuan tersebut dikenal sebagai Bandung Urban Development Project (BUDP), yang merupakan awal dari pola penanganan prasarana dan sarana kota secara terpadu. BUDP kemudian disusul dengan Medan Urban Development Project (MUDP). Selain itu, dalam rangka meningkatkan peran provinsi dalam koordinasi pelaksanaan proyek-proyek di daerah, dibentuk Provincial Monitoring Development Unit (PMDU) pada tingkat provinsi, di seluruh provinsi di Indonesia. PMDU ini dibentuk dalam rangka program pinjaman Bank Dunia. Unit ini melekat pada fungsi Dinas Cipta Karya Provinsi dan dalam perkembangannya berubah menjadi Provincial Management Development Unit (PMDU). PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Pada periode itu pula diupayakan ekstensifikasi dalam rangka pemerataan pengadaan sistem penyediaan air minum hingga mencapai kota-kota sedang dan kecil. Klasifikasi kota didasarkan pada jumlah penduduk. Kota berpenduduk satu juta ke atas dikategorikan sebagai kota metropolitan, yang berpenduduk 500.000 hingga satu juta masuk kategori kota besar, yang berpenduduk 100.000 hingga 500.000 dikelompokkan sebagai kota sedang, dan yang berpenduduk kurang dari 20.000 disebut sebagai kota kecil. Pada saat itu muncul penggunaan istilah air bersih sebagai pengganti air minum, istilah air bersih digunakan oleh PPSAB, sedangkan PDAM (dan BPAM) tetap menggunakan istilah air minum.
PENGGUNAAN ISTILAH AIR MINUM DAN AIR BERSIH Sekitar tahun 1970-an, penggunaan istilah air minum dan air bersih sempat menimbulkan perbedaan pendapat diantara para pelaku bidang pengembangan air minum. Kelompok yang cenderung menggunakan istilah air minum mengacu kepada definisi air minum yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, antara lain dalam rangka pengaturan kualitas air minum, dimana air minum didefinisikan sebagai air yang dapat langsung diminum. Kelompok yang menggunakan istilah air bersih digunakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan pertimbangan bahwa air yang diproduksi instalasi pengolahan tidak hanya digunakan untuk minum, akan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya, seperti mandi, memasak dan mencuci. Oleh karena itu kelompok ini berpendapat bahwa istilah air minum kurang tepat karena seolah-olah hanya untuk minum saja. Istilah air bersih kemudian tercermin dalam penggunaan nama proyek-proyek air minum di provinsi, yang dinamai proyek penyediaan sarana air bersih (PPSAB), bukan proyek penyediaan sarana air minum, meskipun istilah air minum digunakan oleh PDAM dan BPAM. (Sejak terbitnya UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No 16/2005 tentang pengembangan SPAM, istilah yang digunakan adalah air minum.
59
Mengacu pada padanannya dalam Bahasa Inggris, Hidayat Notosugondo berpendapat bahwa “drinking water is the one that is safe to drink” sedangkan “potable water is the one that is safe to drink, pleasant to the taste and usable for domestic purposes.”21 Definisi air bersih yang diajukan Hidayat Notosugondo ternyata sejalan dengan definisi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, yang menyatakan bahwa “drinking water is water used for domestic purposes, drinking, cooking and personal hygiene)22 , meskipun WHO dan UNICEF menggunakan istilah “drinking water.” Tampaknya perbedaan istilah tersebut bergantung pada definisi yang menyertainya, dan selanjutnya istilah air minum digunakan dengan pengertian bahwa penggunaannya tidak hanya terbatas untuk keperluan minum saja, akan tetapi juga mencakup kebutuhan rumah tangga lainnya seperti untuk memasak, mencuci dan membersihkan diri.
Boks 4. Penggunaan Istilah Air Minum dan Air Bersih
21. Sesuai dengan definisi dalam buku Water Supply & Sewerage oleh Ernest W. Steel. 22. Sumber: http://www.who.int/water_sanitation_health/mdg1/en/
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969–1998)
Pada akhir Pelita II, hasil pembangunan air minum adalah sebesar 5.030 liter per detik yang tersebar di 96 kota, dengan jumlah sambungan rumah sebanyak 310.000 yang dapat melayani 2,5 juta penduduk. Hasilnya, hingga akhir Pelita II, kapasitas produksi air minum yang telah terpasang di seluruh Indonesia meningkat menjadi 20.252 liter perdetik. Pelita III (1979-1983): Pemerataan pembangunan prasarana dan sarana air minum Dalam Pelita III Pemerintah mulai menerapkan landasan kebijakan yang mengacu pada pelaksanaan pembangunan secara tekno-ekonomis yang efisien dengan menitik beratkan pada pelayanan bagi penduduk perkotaan dalam jangka pendek, antara lain dengan mulai diperkenalkannya pedekatan standar kebutuhan minimal air minum (BNA atau basic need approach), dengan pemakaian sebesai 60 liter per orang perhari, melalui pelayanan sambungan rumah (SR) dan hidran umum HU dengan rasio SR/HU sebesar 50 : 50, dan pelayanan bagi 60 persen penduduk perkotaan.
60
Kebijakan pembiayaan yang diterapkan yaitu untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau minimum di kota-kota kecil yang dimungkinkan mendapatkan bantuan penuh dari pemerintah, sedangkan bagi kota yang dengan tingkat pelayanan 125 liter per orang per hari dimungkinkan untuk mendapat bantuan dari pemerintah daerah dan sebagian dari pinjaman. Bagi kota-kota dengan tingkat pelayanan diatas 125 liter per orang per hari dilakukan melalui jalur perbankan. Pengelola PDAM dan BPAM didorong untuk mencapai kondisi tercapainya tingkat pendapatan tertentu yang memungkinkan pembiayaan bagi operasi dan pemeliharaannya atau dikenal dengan istilah “break even point”. Mulai Pelita III pemerintah membangun prasarana dan sarana air minum dengan dana APBN bagi 396 ibukota kecamatan (IKK) dengan standar pelayanan di bawah kebutuhan dasar (30 liter per orang per hari) dan dengan menerapkan teknologi pembatas aliran23, serta dimulainya pembangunan IKK dengan menggunakan standar modul instalasi pengolahan air (IPA). Dalam Pelita III yang menonjol adalah proyek-proyek yang “quick yielding” untuk mengejar ketertinggalam pencapaian target, melalui pembangunan IPA Paket di hampir seluruh pelosok Nusantara. Kebijakan ini sejalan dengan penetapan dasawarsa 1981-1990 sebagai Dekade Air Minum dan Sanitasi Internasional oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Dalam rangka akselerasi dan ekstensifikasi, pada era 1979-1984, tepatnya pada awal Pelita III, ada program pembangunan sarana air minum secara fisik 23. Pada saat itu Direktorat Teknik Penyehatan melakukan uji coba alat pembatas air (flow restrictor dengan orifice) pada sambungan rumah untuk mengatur agar aliran air konstan. Hal ini dilakukan agar pemakaian merata, dan tidak terjadi pemakaian air berlebihan oleh sebagian pelanggan. Uji coba ini selanjutnya diaplikasikan pada program air minum untuk ibukota kecamatan (IKK). Dalam perkembangan selanjutnya sistem ini tidak memberikan hasil yang memuaskan karena banyak masyarakat yang tidak puas dengan sistem pelayanan yang terbatas.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
di 200 kota, yang tidak terlepas dari program di era sebelumnya. Ke-200 kota terdiri atas 10 kota besar, 40 kota sedang dan 150 kota kecil. Sebagaimana dalam Pelita sebelumnya, pada periode ini pun diupayakan untuk mendapatkan dana hibah secara bilateral seperti dari Belanda, Australia dan Jerman (GTZ), dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia dan Jerman (KfW). Dalam periode ini sejarah mencatat munculnya inovasi desain IPA yang dibuat oleh tenaga ahli di lingkungan Ditjen Cipta Karya sendiri, yang memiliki berbagai keunggulan dalam efisiensi dan biaya, serta dapat diterapkan pada IPA konvesional yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Inovasinya terletak pada proses pencampuran (mixing) yang menggunakan aliran heliocoidal, serta pengendapan dengan aplikasi tube/plate settler. IPA yang kemudian diberi nama Kedasih tersebut (singkatan dari Keluaran Direktorat Air Bersih), telah diaplikasikan di banyak tempat di seluruh tanah air24. Pada saat itu pula dikembangkan IPA Paket, dimana komponen-komponennya diproduksi secara masal di pabriknya, lalu kemudian dirakit (assemble) di lokasi proyek. Adapun kegiatan di lokasi proyek hanya mempersiapkan fondasi yang diperlukan serta memadukan komponen-komponen IPA menjadi sebuah IPA yang siap berproduksi, setelah sebelumnya mendapatkan sertifikasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG), Departemen Pekerjaan Umum. Program paket IPA tersebut diarahkan untuk Program Paket I untuk 50 kota, kebanyakan ibu kota kabupaten, Program Paket II untuk 60 kota, juga kebanyakan ibu kota kabupaten, dan Program IKK sebanyak 1.700 kecamatan. Untuk mencapai target, Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Cipta Karya mendorong berdirinya industri-industri paket instalasi pengolahan air. Dengan kehadiran industri tersebut, Pemerintah dapat dengan cepat menyampaikan pesanan, atau bahkan membeli secara tunai persediaan IPA di pabrik. Merespons program Pemerintah dalam pembangunan IPA paket secara masal, beberapa perusahaan mengembangkan usahanya dalam memproduksi IPA paket dalam berbagai sistem pengolahan25. Untuk pelaksanaan Program Paket I, yakni 50 kota dan Paket II, 60 kota seperti disebutkan di muka, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah menandatangani kontrak 24. IPA Kedasih pertama kali dikembangkan oleh Ir. Poedjastanto Soemardono, CES, DEA dari Direktorat Air Bersih, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, yang melakukan kajian terhadap penggunaan bentuk heliocoidal dalam proses koagulasi dan flokulasi yang lebih efisien dalam operasinya. Nama Kedasih kemudian diabadikan dalam IPA Paket yang menggunakan bentuk heliocoidal tersebut, baik pada IPA baru maupun peningkatan IPA yang sudah ada. IPA Kedasih mendapatkan nomor SNI (Standar Nasional Indonesia) pada tahun 2002. 25. Dalam hal ini sistem Pielkenroth (PT Boma Stork), sistem PCI (Patterson Candy International), sistem Neptune Microfloc (PT Sumber Tjipta Djaja).
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
61
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
dengan tiga pemborong/fabrikan yang menawarkan tiga sistem pengolahan yang berbeda (Pielkenroth, Patterson Candy dan Neptune Microfloc). Ketiga macam sistem yang mereka gunakan pada dasarnya sama, yaitu sistem konvensional, yang pengoperasiannya sederhana, tidak seperti sistem accelator atau pulsator. Perbedaannya hanya pada proses pengolahannya. Pada proses pengendapannya, yang satu menggunakan tube settlers, sedang yang lainnya plate settler. Demikian pula pada proses filtrasi dan disinfeksi, masing-masing perusahaan mempunyai sistem sendiri-sendiri. Yang penting, apa pun sistemnya, mereka harus menghasilkan kualitas air yang memenuhi syarat-syarat air minum. Dengan pembangunan secara masal tersebut, pada akhir Pelita III (1979-1984), kapasitas terpasang sistem penyediaan air minum meningkat dari 21.000 liter perdetik menjadi 26.000 liter perdetik. Berlandaskan pencapaian itulah Pemerintah pada waktu itu berani menetapkan standar kebutuhan air minum di Indonesia 60 liter perorang perhari. Masih dalam rangka percepatan pembangunan sarana air minum, Pemerintah melanjutkan program pembentukan BPAM. Selama Pelita III setidaknya terbentuk 28 BPAM, sehingga pada akhir Pelita III terdapat 150 BPAM.
62
Pada akhir Pelita III (1979-1984), Direktorat Teknik Penyehatan dipecah menjadi dua direktorat, yakni Direktorat Air Bersih (DAB) dan Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP). Pemecahan itu dilakukan karena pada awal Pelita III sektor penyehatan lingkungan sanitasi semakin menuntut perhatian besar dari Pemerintah. Berbagai program penyehatan lingkungan dilancarkan seperti pembangunan instalasi pengolahan air limbah di sejumlah kota besar, instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) dan pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill di kota-kota besar dan sedang, perbaikan kampung, dan proyek percontohan pengelolaan sampah dan air limbah sistem modul, dengan harapan dapat diikuti oleh Pemda-Pemda di wilayahnya masing-masing. Pada periode ini dilakukan upaya untuk membuat sistem regional dengan memanfaatkan sumber mata air Umbulan yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Dengan kapasitasnya yang cukup besar, sumber mata air Umbulan dapat melayani kebutuhan air Kota Surabaya dan beberapa kota lainnya. Meskipun studinya sudah dilakukan secara lengkap sejak tahun 1975 dengan bantuan USAID melalui konsultan Camp Dresser and McKee (CDM) dari Amerika Serikat, pelaksanaan proyek raksasa ini selalu mengalami berbagai kendala. Padahal apabila dilaksanakan, sistem Umbulan dapat melayani Kota Surabaya dan kota-kota disekitarnya seperti Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Perjalanan panjang proyek ini, yang sampai sekarang belum juga dapat terlaksana, diuraikan secara lengkap dalam Boks berikut.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
UMBULAN, POTENSI RP 126 MILYAR PER TAHUN YANG BELUM TERMANFAATKAN Umbulan adalah sebuah mata air yang sangat besar dengan kualitas prima, terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sumber air ini memiliki debit 5.000 liter perdetik. Airnya sangat jernih sehingga tidak perlu diolah terlebih dahulu kecuali khlorinasi. Dalam upaya memenuhi kebutuhan kota Surabaya, Pemerintah merasa perlu mempertimbangkan pemanfaatan mata air tersebut. Selain untuk kota Surabaya, mata air Umbulan dapat pula sekaligus melayani kota-kota Pasuruan, Sidoarjo, Gresik dan kota-kota lain di sepanjang jalur pipa transmisi Umbulan-Surabaya. Studi kelayakan proyek ini mulai dikerjakan tahun 1975 oleh Konsultan Camp, Dresser & McKee dari Amerika Serikat dan sejumlah studi kelayakan selanjutnya telah dilakukan oleh berbagai pihak. Hasil studi kelayakan tersebut dari sudut teknis dan ekonomis dinilai sangat menjanjikan, tetapi dana yang diperlukan sangat besar, waktu itu diperkirakan menelan biaya hingga US$ 25 juta, belum termasuk biaya dalam mata uang rupiah. Karena kemampuan finansial Pemerintah terbatas, maka dipertimbangkan untuk melibatkan investor swasta untuk membiayai proyek itu. Dalam perkembangannya, keterlibatan swasta belum dapat diteruskan, karena menurunnya minat mereka untuk melanjutkan prosesnya, yang disebabkan oleh berbagai kendala yang berkaitan dengan aspek-aspek pembiayaan dan pengaturan, yang belum dapat diselesaikan sampai sekarang. Sudah tentu penundaan pelaksanaan proyek itu sangat merugikan, baik finansial maupun dari sudut pelayanan masyarakat. Dengan asumsi harga air Rp 1.000 permeter kubik, kapasitas 5.000 liter per detik dan kehilangan air 20 persen, maka kerugian diperkirakan bisa mencapai Rp 126 milyar setiap tahun tahunnya. Sampai dengan awal era reformasi, potensi mata air Umbulan yang demikian besar belum juga dimanfaatkan secara maksimal. Hanya sebagian kecil air yang dialirkan dari mata air itu yang sudah tersalur ke Surabaya dan Pasuruan, dan itu sudah berlangsung sejak era prakemerdekaan.
63
Boks 5. Umbulan, Potensi Rp 126 Milyar Per Tahun yang Belum Termanfaatkan
Pelita IV 1984-1988: Resesi tidak menghalangi pembangunan Pada Pelita IV, dalam kesepakatan bersama dengan Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum mulai menangani prasarana dan sarana air minum dengan sistem perpipaan di daerah perdesaan. Sebagaimana telah disebutkan dimuka, berdasarkan Inpres Kesehatan, pada Pelita III Departemen Kesehatan merintis penyediaan sarana air bersih di daerah perdesaan sebagai bagian dari upaya memerangi penyakit menular dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Pada periode Pelita IV, pengembangan sistem penyediaan air minum perpipaan di perdesaan terus dilanjutkan. Untuk daerah perkotaan, sasaran pembangunan lebih ditekankan pada pemanfaatan kapasitas produksi air minum terpasang, operasi dan pmeliharaan dan pengendalian kebocoran. Selain itu dilakukan pula peningkatan kemampuan BPAM agar segera dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dan menjadi PDAM. Berkat pembinaan
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
64
Salah satu mata air yang menyuplai PDAM Tirtanadi Medan cabang Sibolangit
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
65
Control room IPA Pejompongan
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Menara air kapasitas 750 m3 di Kotamadya Manado, Sulawesi Utara
66
para karyawan BPAM sehingga dinilai mampu mengelola PDAM, sebanyak 20 BPAM akhirnya dialihkan statusnya menjadi PDAM dan langsung diserahkan kepada Pemda di mana BPAM itu berada. Pada awal Pelita IV (1987/1988), jumlah PDAM telah mencapai 114 dan BPAM sebanyak 157 buah. Sebagian dari BPAM itu sudah dalam kondisi siap diserahkan kepada Pemda untuk kemudian diubah statusnya menjadi PDAM. Dari 114 PDAM tersebut di atas, 40 PDAM dinilai sudah siap untuk mandiri. Artinya, PDAM itu sudah mampu mengupayakan sendiri sumber-sumber dana bagi pembangunan baru atau memperluas prasarana air minum di wilayah pelayanannya. Dan setelah lima tahun berjalan, pada akhir Pelita IV, perbandingan jumlah BPAM dan PDAM telah berubah, yakni dari 157 menjadi 148 BPAM dan dari 114 menjadi 137 PDAM. Perubahan komposisi itu terjadi karena ada sejumlah BPAM yang beralih status menjadi PDAM. Berarti terjadi kecenderungan positif atas BPAM yang mulai dibentuk pada era Pelita II. Pada akhir Pelita IV, penambahan kapasitas produksi air minum adalah sebesar 14.000 liter perdetik bagi 800.000 sambungan rumah untuk memenuhi kebutuhan sekitar 8,2 juta jiwa penduduk.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Pada tahun 1985 dilancarkan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) atau Integrated Urban Infrastructure Development Program (IUIDP). P3KT merupakan pola pendekatan pembangunan dari bawah ke atas (bottom up approach), dan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun rencana sampai dengan pelaksanaannya yang merupakan wujud dari azas desentralisasi secara nyata dan bertanggung jawab. Keterpaduan proses pembangunan dalam P3KT tidak hanya terbatas pada segi pembangunan fisiknya saja melainkan juga sumber-sumber pembiayaannya, baik dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun PDAM. Sejak pencanangannya berbagai program pembangunan prasarana kota dilaksanakan secara terpadu, dimana didalamnya termasuk program-program pengembangan sistem penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan perkotaan. Pendekatan keterpaduan dalam P3KT diuraikan secara lebih lengkap dalam Kebijakan–Kebijakan Pengembangan Air Minum Selama Era Orde Baru. Selain itu, juga dibuat konsensus antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri tentang pola penyaluran pinjaman kepada PDAM-PDAM. Telah disinggung di bagian lain buku ini, bahwa untuk pembiayaan proyek air minum, Departemen Keuangan berkoordinasi dengan BAPPENAS, dan melalui prosedur DIP (Daftar Isian Proyek) Pemerintah Pusat memberikan bantuan kepada Pemerintah Daerah untuk diteruskan kepada PDAM sebagai equity. Sedangkan untuk pengembangan air minum perdesaan diterapkan sistem pembiayaan proyek, antara lain dengan prosedur Inpres Kesehatan. Pelita V (1989-1993): Tahap kerangka lepas landas Pelita V merupakan tahap kerangka lepas landas Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJP-II). Berbeda dengan Pelita sebelumnya, pada Pelita V, pembangunan prasarana dan sarana air minum, selain berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar penduduk Masyarakat memanfaatkan hidran umum
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
67
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
juga harus dapat menunjang sektor-sektor industri dan perdagangan. Dengan target kapasitas sebesar 14.000 liter per detik, diharapkan dapat dimanfaatkan oleh 6 juta penduduk di 820 kota serta pelayanan air minum perdesaan bagi 42 juta jiwa di 3000 desa. Sasaran pelayanan pada Pelita V adalah 80 persen penduduk perkotaan dan 60 persen penduduk perdesaan. Departemen Pekerjaan Umum mulai melaksanakan penanganan air minum baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan penekanan khusus pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah kumuh dan miskin. Pelita VI (1994-1998): Pijakan landasan pembangunan jangka panjang tahap kedua Pelita VI merupakan pijakan landasan baru bagi pemerintah untuk memulai periode pembangunan jangka panjang tahap dua. Banyak kemajuan yang dicapai pada Pelita III, antara lain penurunan angka kemiskinan dari 70 juta jiwa (60 persen) pada tahun 1970 menjadi 27 juta jiwa (15 persen) pada tahun 1990. Pendapatan perkapita meningkat dari US$ 70 pada awal Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJP I) menjadi US$ 650 pada akhir PJP I. Demikian pula usia harapan hidup meningkat dari 45,7 tahun pada tahun 1970 menjadi 62,7 tahun pada tahun 1993, dan tingkat kematian bayi menurun dari 145 per 1000 kelahiran menjadi 58 per 1000 kelahiran hidup.
68
Pelita VI menitik beratkan pada pembangunan air minum di perkotaan dengan kegiatan peningkatan pengelolaan melalui penurunan kebocoran dan 30 persen menjadi 25 persen, peningkatan dan perluasan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menunjang perkembangan ekonomi kota dan kawasan pertumbuhan, pemanfaatan kapasitas produksi yang sudah terpasang melalui perluasan jaringan distribusi dan sambungan rumah serta hidran umum dan terminal air. Peningkatan kapasita produksi dan distribusi sebesar 30.000 liter per detik sehingga dapat menambah jumlah pelayanan sebanyak 22 juta jiwa serta peningkatan efisiensi pengelolaan dan pengusahaan PDAM. Program penyediaan dan pengelolaan air minum perdesaan meliputi peningkatan produksi dan pemanfaatan yang sudah dibangun untuk 22.000 desa. Pembangunan sistem perpipaan untuk wilayah perdesaan yang berfungsi sebagai pengembangan terpadu antar desa, pengembangan penerapan teknologi tepat guna, peningkatan swadaya masyarakat desa, peningkan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan air minum bagi kesehatan serta pengoperasikan dan pemeliharaan prasarana dan sarana air minum perdesaan. Kebijakan–kebijakan pengembangan air minum selama era Orde Baru Dalam melaksanakan pembangunan sarana air minum selama era Orde Baru, dasar– dasar kebijakan yang telah dipertimbangkan meliputi hal-hal sebagai berikut: A. Prinsip- Prinsip Pembangunan 1. Pembangunan harus berorientasi pada kebutuhan (demand) dan pemberdayaan masyarakat. PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
2. Air minum merupakan kebutuhan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 3. Pembangunan harus menjangkau sebanyak mungkin penduduk. 4. Pembangunan harus merata dan dinikmati hasil-hasilnya oleh seluruh lapisan masyarakat. 5. Pemakai air harus membayar jasa pelayanan air minum. 6. Pembangunan sarana air minum di perkotaan harus didorong menuju terjadinya pemulihan biaya investasi. Sedangkan di perdesaan, didorong untuk dapat memenuhi biaya operasi dan pemeliharaannya. 7. Pembangunan harus terpadu dengan sektor-sektor lainnya. 8. Pembangunan harus berwawasan lingkungan. B. Peraturan Perundang-undangan Peraturan dan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan penyediaan air minum cukup banyak. Sejumlah peraturan telah diterbitkan diantaranya Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dan berbagai peraturan peaksanaannya, Undang-Undang No.14 Tahun 1987 yang mengatur tentang penyelenggaraan sebagian urusan pekerjaan umum kepada Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II, Undang-undang No. 4 Tahun 1982 dan peraturan pelaksanaannya mengenai ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup, UndangUndang No. 23 Tahun 1992 tentang penyehatan lingkungan dan peraturanperaturan pelaksanaannya. Konservasi sumber-sumber air, pengembangan dan pemanfaatan air, pengendalian pencemaran, pengelolaan pelayanan dan lain sebagainya yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut pada dasarnya merupakan cerminan dari upaya pemerintah memelihara dan memanfaatkan karunia Tuhan YME. Namun masalah utamanya tampaknya bukan menyangkut ketidakpastian hukum tetapi lebih pada persoalan penegakan hukum. Contohnya upaya konservasi dan perlindungan kawasan resapan air, situ–situ air dan lain-lain terhadap pembangunan permukiman yang kian gencar serta penggundulan lahan juga membuat banyak masalah. C. Proses Pinjaman Bantuan Luar Negeri Dengan sistem pinjaman dua tingkat (two-step loan), Bank Dunia memberi pinjaman kepada Pemerintah Pusat, dan selanjutnya pinjaman itu diteruskan kepada penerima pinjaman, dalam hal ini PDAM. Segala bentuk kewajiban yang menjadi tanggung jawab PDAM sebagai penerima pinjaman disesuaikan berdasarkan loan-equity ratio, serta syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati dalam negosiasi. Namun karena kemampuan Pemerintah Daerah dan PDAM pada masa itu masih sangat terbatas, tidak seluruh beban pinjaman ditimpakan kepada mereka. Sebagian dari pinjaman itu ditanggung Pemerintah Pusat dalam bentuk equity. Besaran loan-equity ratio itu berkisar antara 60%-40%, tergantung pada kemampuan Pemda/PDAM penerima pinjaman. Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
69
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Karena proyek-proyek berbantuan luar negeri itu melibatkan pemangku kebijakan dan banyak pemangku kepentingan, dalam proses negosiasi dengan lembagalembaga donor seperti Bank Dunia misalnya, maka delegasi pemerintah Indonesia biasanya terdiri atas unsur-unsur Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah dan PDAM terkait. Bagi Pemerintah, kehadiran unsur Pemerintah Daerah dan PDAM dalam proses negosiasi itu sangat penting dan menentukan, sebab pada prinsipnya PDAM merupakan ujung tombak dari proses kemitraan yang melibatkan dana bantuan luar negeri itu. D. Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum Perkotaan Kebutuhan air minum penduduk di perkotaan lebih banyak mengandalkan pada pasokan air dari PDAM. Konsentrasi penduduk perkotaan yang lebih padat serta sumber air baku yang terbatas dan cenderung mudah tercemar karena berbagai aktivitas manusia, menuntut penanganan penyediaan air minum yang terpusat. Selain itu pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota yang cukup pesat menyebabkan kesenjangan kebutuhan air minum terjadi, sehingga cakupan pelayanan mengalami penurunan. Tuntutan penduduk perkotaan akan kualitas dan kuantitas yang memadai juga turut mewarnai berbagai masalah yang dihadapi dalam pembangunan sistem penyediaan air minum perkotaan.
70
Penanganan penyediaan air minum untuk daerah perkotaan dilakukan dengan dua pendekatan. Bagi kota- kota yang berkembang, penyediaan air minumnya ditangani dengan perencanaan secara tailor made disesuaikan kebutuhan nyata. Sedang untuk kota-kota yang tumbuh tidak terlampau pesat, pembangunan sistem penyediaan air minumnya dilakukan dengan penggunaan modular atau standarisasi dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. E. Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan (IKK) Sistem penyediaan air minum dengan perpipaan untuk sebagian masyarakat telah dikenal sejak jaman kolonial, tetapi terbatas hanya di kota-kota besar dan sedang saja, itupun dengan cakupan pelayanan yang sangat terbatas. Untuk kota-kota kecil, apalagi di ibu kota kecamatan dan perdesaan, umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional untuk memenuhi kebutuhan air minumnya. Sesuai kebijakan mulai Pelita III untuk mencapai pemerataan dan percepatan penyediaan air minum diperkenalkan proyek air minum sistem IKK dengan sasaran ibu kota kecamatan. Konsep dasar sistem IKK tersebut meliputi kriteria perencanaan sebagai berikut: • Kebutuhan air minum yang dilayani melalui hidran umum ditetapkan sebesar 30 liter/orang/hari, dan kebutuhan air yang digunakan untuk melayani sambungan rumah ditetapkan sebesar 60 liter/orang/hari; • Penduduk dilayani minimum 50 persen, dengan perbandingan jumlah penduduk yang dilayani sambungan rumah dan hidran umum adalah 50:50; • Kebocoran diperhitungkan sebesar 15 persen, dan jaringan pipa didesain berdasarkan aliran rata-rata, tanpa memperhitungkan beban puncak; PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
• Menggunakan modul standar unit produksi (umumnya IPA paket) yang terdiri dari 2,5 liter/detik, 5 liter/detik dan 10 liter/detik untuk melayani jumlah penduduk 3.600 sampai 20.000 jiwa; • Pada ujung-ujung pipa pelayanan aliran dibatasi dengan alat pembatas aliran (flow restrictor). Sistem yang dikembangkan pada IKK memiliki jaringan pipa yang dirancang dengan aliran rata-rata, sehingga mengurangi ukuran (diameter) pipa dan menghemat biaya. Di semua sistem IKK, pelayanan air minum ke rumah-rumah dilengkapi dengan alat pembatas aliran (flow restrictor) dengan maksud supaya aliran air ke pelanggan merata. Aliran air memang jadi lemah, tapi jumlah (volume) air per satuan waktu per rumah tetap. Pendekatan ini membuat banyak pelanggan tidak sabar, dan akhirnya membuka alat pembatas aliran tersebut. Ini adalah kelemahan dari sistem ini yang merupakan aplikasi dari ujicoba pembatasan aliran sebelumnya. Dalam program IKK ini, sampai dengan TA 1997/98, sasaran yang telah dicapai adalah sebagai berikut: IKK yang dibangun dengan dana APBN murni sebanyak 396 unit, yang dibangun dengan pinjaman Pemerintah Belanda sebanyak 99 unit, dengan dana pinjaman Denmark 44 unit, dengan dana pinjaman Perancis 100 unit, dengan dana hibah JICA 22 unit, dengan dana pinjaman OECF 51 unit, dengan dana pinjaman IBRD 100 unit, dan dengan dana pinjaman ADB 279 unit. Seluruh kotakota yang telah dibangun dengan sistem IKK adalah 1091 unit. F. Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum Perdesaan Penduduk perdesaan memperoleh air minum dengan berbagai cara. Di daerah dimana air tanah dangkalnya cukup baik umumnya memanfaatkan sumursumur gali. Adapula yang mengambil dari sungai atau saluran irigasi terdekat, penampungan air hujan (PAH), bahkan di daerah pegunungan umumnya mereka menempuh jarak yang cukup jauh untuk mengambil air dari sumber mata air. Cara penanganan air minum untuk daerah pedesaan yang ditempuh adalah dengan memberdayakan penduduk desa melalui kegiatan kegiatan penyuluhan dan penerapan teknologi sederhana/ tepat guna yang diharapkan dapat mendorong penduduk menjadi mampu meringankan beban hidup sehari-hari. Penerapan teknologi tepat guna merupakan teknologi sederhana, yang penerapannya dapat cepat dilaksanakan dan memberi manfaat langsung dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Pada daerah/ desa yang pada musim kemarau mengalami kesulitan memperoleh air minum seperti daerah permukiman yang tergantung pada air hujan, sumber air baku tercemar, pasokan air tanah berkurang dan air tanah payau, penanganan pasokan air minum tersebut tidak mudah, bahkan memerlukan biaya yang cukup besar. Berbagai cara untuk mengatasinya dilakukan melalui dua pendekatan. Pendekatan Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
71
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
pertama adalah penanganan yang bersifat darurat. Sedang yang kedua penanganan lebih bersifat pada upaya pemenuhan kebutuhan air minum yang berjangka panjang. G. Pembangunan Sarana Air Minum di Kawasan Terpencil dan Penerapan Teknologi Tepat Guna Selain membangun sarana air minum di kota-kota kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 100 ribu jiwa, pada Pelita III Pemerintah juga memberi perhatian khusus untuk membangun sarana air minum di kawasan-kawasan terpencil dan di perdesaan. Teknologi yang digunakan untuk daerah terpencil dan perdesaan adalah teknologi tepat guna yang diharapkan dapat dibangun dengan bahan dan tenaga kerja setempat. Beberapa pendekatan teknologi tepat guna yang diterapkan antara lain Saringan Rumah Tangga (SARUT) dan Sistem Pengolahan Air Sederhana (SIPAS). Dengan pendekatan tersebut diharapkan masyarakat setempat dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan dan pengelolaannya. Hanya saja, pembinaan terhadap masyarakat perdesaan tidak berada di bawah kendali Departemen Pekerjaan Umum, melainkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPMPL) pada Departemen Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (Ditjen PMD) pada Departemen Dalam Negeri.
72
Pendekatan teknologi tepat guna dengan pelibatan masyarakat ini menjadi cikal bakal program-program air minum dan sanitasi perdesaan berbasis masyarakat (community-based water and sanitation program), yang antara lain dibiayai dengan dana Inpres Bantuan Sarana Kesehatan (Inpres Kesehatan), yang kemudian melahirkan program-program Sanimas (Sanitasi Berbasis Masyarakat) dan Pamsimas (Program Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Pemerintah tidak hanya memikirkan pelayanan air minum di perkotaan maupun di perdesaan, banyak masyarakat kita yang masih kesulitan mendapatkan air bersih yang layak karena posisi geografis atau potensi alamnya kurang menguntungkan. Sumber mata air sangat jauh letaknya dan tidak ekonomis untuk dimanfaatkan, sedangkan sumber air permukaan yang ada airnya payau atau asin. Di daerah Gunung Kidul, misalnya, yang dikenal sebagai daerah sulit air, Pemerintah telah mengupayakan untuk mendapatkan sumber air bawah tanah, salah satunya dari Goa Bribin dengan cara memompa air dari sungai bawah tanah yang ternyata melimpah. Inovasi teknologi dalam SPAM juga terus dikembangkan, misalnya penggunaan kincir angin dan sinar matahari sebagai penggerak pompa untuk menaikkan air dari bawah tanah ke permukaan. Uji coba pemanfaatan kincir angin antara lain dilakukan di Medan (Sumatera Utara), Nusa Penida (Bali) dan Tambakrejo (Jawa Timur), sedangkan uji coba pemanfaatan sinar matahari dilakukan di Lombok Barat.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
H. Kebijakan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu Pemerintah meluncurkan pendekatan keterpaduan dalam pembangunan prasarana perkotaan, dimana didalamnya termasuk pembangunan bidang air minum dan penyehatan lingkungan permukiman. Pendekatan keterpaduan, yang kemudian dikenal dengan pendekatan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) tersebut ditetapkan melalui Kebijaksanaan Pembangunan Perkotaan di Indonesia yang berisi enam butir kebijaksanaan sebagai berikut: 1. Pembangunan prasarana perkotaan serta pemeliharaannya pada prinsipnya merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (Tingkat II) yang bersangkutan (Kotamadya/Kabupaten), dengan bantuan dan bimbingan dari Pemerintah Daerah Tingkat I (Pusat) dan Pemerintah Pusat; 2. Perencanaan dan penyusunan program serta penentuan prioritas investasi untuk pembangunan perkotaan bagi masing-masing tingkat pemerintahan akan terus disempurnakan berdasarkan pendekatan desentralisasi dan/atau dekonsentrasi serta keterpaduan seperti yang antara lain telah dilaksanakan melalui “Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (PPPKT/IUIDP); 3. Dalam rangka mengembangkan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyediaan prasarana perkotaan maka akan lebih ditingkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam mobilisasi sumber-sumber dana dan optimasi penggunaan pendapatannya; 4. Sesuai dengan prinsip desentralisasi dari wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam pembangunan prasarana perkotaan maka akan disempurnakan pula sistem pendanaan guna pembangunan prasarana perkotaan, dengan: a. Menyempurnakan/memantapkan tatacara pinjaman dan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam menyediakan investasi prasarana perkotaan; b. Menyertakan insentif untuk mobilisasi sumber daya local dan dana pinjaman; 5. Kemampuan tenaga dan kelembagaan dari Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II dalam melaksanakan kegiatan pembangunan perkotaan secara lebih efektif akan ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaan dan penyempurnaan prosedur sejauh hal tersebut diperlukan serta latihan/ penataran berdasarkan suatu program pendidikan dan latihan terpadu bagi pengembangan ketenagaan aparatur Pemerintah Daerah; dan 6. Koordinasi dan konsultasi antara berbagai instansi dan tingkat pemerintahan (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II) yang terkait dalam pembangunan prasarana perkotaan akan dilanjutkan dan dimantapkan guna meningkatkan kelancaran perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan serta menyediakan tata-cara (mekanisme) untuk menelaah lebih lanjut dan merumuskan rekomendasi berbagai kebijaksanaan untuk masa depan. Keenam kebijakan tersebut menjadi landasan operasional pembangunan prasarana perkotaan pada waktu itu, dimana air minum dan penyehatan lingkungan Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
73
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
permukiman (air limbah, persampahan dan drainase) termasuk didalamnya. Dalam pelaksanaannya, melalui Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan (TKPP) yang terdiri dari Panitia Pengarah dan empat Kelompok Kerja Tetap. Ketua dan anggota Panitia Pengarah dan Kelompok Kerja Tetap terdiri para pejabat Eselon I dan II dari lintas kementerian (waktu itu disebut departemen), yaitu Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan dan Departemen Pekerjaan Umum). Kebijaksanaan keterpaduan tersebut diatas diambil Pemerintah sebagai bagian dari kerangka Pinjaman Sektor Perkotaan (Urban Sector Loan) dari Bank Dunia. Melalui pendekatan P3KT, pembangunan prasarana perkotaan pada waktu itu dilaksanakan secara terpadu dan kewilayahan, melalui program-program pembangunan prasarana kota terpadu (Urban Development Program – UDP) seperti East Java UDP, West Java – Sumatera UDP, Bandar Lampung UDP, Central Java UDP, Medan UDP, yang kesemuanya merupakan kelanjutan dari program sebelumnya seperti Urban I sampai V (program perbaikan kampung/KIP), Bandung UDP (BUDP), Cirebon UDP (CUDP), Yogyakarta UDP (YUDP), dsb.
74
Pendekatan keterpaduan memberikan dampak positif yang besar dalam upaya peningkatan keterpaduan antar program dan antar sektor dalam pembangunan prasarana perkotaan jangka menengah di daerah, serta dalam upaya peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota dalam mobilisasi sumber-sumber pendanaan, serta peningkatan kelembagaan, antara lain melalui penyiapan PJM (Program Jangka Menengah) RIAP (Revenue Improvement Action Plan – Rencana Kegiatan Peningkatan Pendapatan) dan LIDAP (Local Institutional Development Action Plan – Rencana Kegiatan Pengembangan Kelembagaan di Daerah). Pendekatan keterpaduan ini berlangsung selama beberapa tahun, dari tahun 1987 sampai sekitar tahun 2000-an. Meskipun pendekatan keterpaduan dianggap berhasil, tetapi hal yang kurang menguntungkan dari pendekatan ini adalah bahwa untuk sektor air minum dan sanitasi, daerah seolah seperti “anak ayam kehilangan induk” pada saat adanya perubahan struktur organisasi Departemen Pekerjaan Umum dari berbasis sektor menjadi berbasis wilayah. Pada waktu itu, Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) sebagai satminkal (satuan administrasi pangkal) berubah nama dan direktoratnya menjadi berbasis kewilayahan. Baru pada tahun 2004, nama Pekerjaan Umum kembali digunakan dan direktorat di lingkungan DJCK kembali berbasis sektor. I. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam mempersiapkan sumber daya manusia, Pemerintah Pusat membangun dan menyediakan balai pendidikan dan pelatihan (diklat) yang berlingkup nasional. PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Salah satu di antaranya adalah balai training and technical assistance bagi para pelaksana PDAM, khususnya para operator, yang dibangun di Bekasi dengan bantuan hibah pemerintah Jepang, dan kemudian di Wiyung (Surabaya) untuk melayani kebutuhan pelatihan di wilayah timur Indonesia Ratusan orang, baik dari BPAM sebelum dialihkan ke Pemda maupun dari PDAM secara bergantian dikirim ke balai pendidikan dan latihan itu untuk menimba pengetahuan dan pengalaman mengoperasikan berbagai bagian dari PDAM. Untuk kebutuhan internal Direktorat Teknik Penyehatan, upaya meningkatkan kompetensi di bidang air minum juga telah dilakukan, antara lain tenaga-tenaga sarjana muda dari ATPU (Akademi Teknik Pekerjaan Umum) yang banyak bertugas di Direktorat Teknik Penyehatan, diberi kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya di ITB sehingga menjadi S1 Teknik Penyehatan. Untuk tenagatenaga lulusan SMA dan STM diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di beberapa politeknik di dalam negeri. Pada periode 1985-1990 diadakan program pendidikan lanjutan di International Insitutute for Hydraulic and Environmental Engineering (IHE) di Delft, Negeri Belanda bagi para pejabat pemerintah, dipusat maupun di daerah, melalui kelas khusus Indonesia di bidang air minum dan sanitasi. Pesertanya berasal dari seluruh Indonesia, dengan jumlah seratus orang untuk program diploma (Dipl. SE) dan seratus orang untuk program kursus singkat, jadi masing-masing sekitar 20 orang per tahun.
75 IPA Beton 100 l/det di Purwodadi, Jawa Tengah
Pengembangan Air Minum Pada Era Orde Baru
Instalasi Pengolahan Air Sederhana (IPAS) MAUK
76
Menara air konstruksi beton kapasitas 700 M3 di Purwodadi, Jawa Tengah
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
5 PENGEMBANGAN AIR MINUM DI AWAL ERA REFORMASI
Dasawarsa awal reformasi
77
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
78
Reformasi politik yang terjadi sejak tahun 1998 melahirkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah. Dalam mewujudkan otonomi daerah tersebut telah diterbitkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU tersebut selanjutya ditindaklanjuti dengan keluarnya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk pengaturan bidang air minum telah diterbitkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No.16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Dasawarsa pertama era reformasi diawali dengan kondisi pemerintahan yang sering terjadi perubahan. Baru pada tahun 2004 kondisi pemerintatah menjadi lebih stabil sehingga pengembangan bidang air minum menjadi lebih terarah dan terencana, yang PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
didukung dengan telah tersusunnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20052025. 1999 – 2004: Masa peralihan Dalam lima tahun pertama era reformasi terjadi beberapa kali perubahan pemerintahan, termasuk tugas dan fungsi kementerian pekerjaan umum. Pada masa itu (tahun 2000) Departemen Pekerjaan Umum terbagi dua, yaitu Kementerian Negara Pekerjaan Umum (Meneg PU) yang menangani masalah kebijakan dan pembinaan, sedangkan Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Kimbangwil) yang menangani masalah pembangunan. Setahun kemudian (2001) kedua lembaga ini bergabung kembali menjadi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Penanganan bidang air minum berada pada Direktorat Jenderal Perkotaan dan Perdesaan (Ditjen Kotdes). Pada tahun 2005, nama Pekerjaan Umum kembali digunakan menggantikan Kimpraswil, dan Ditjen Kotdes kembali menjadi Ditjen Cipta Karya. Pengembangan air minum selama periode ini adalah melanjutkan kegiatan proyekproyek bantuan luar negeri yang disiapkan melalui pendekatan P3KT sebelumnya, seperti Semarang-Surakarta UDP, Sulawesi II UDP, Bali Urban Infrastructure Project (BUIP). Pada waktu itu, untuk mengatasi masalah pengangguran yang meluas akibat krisis ekonomi, banyak proyek-proyek air minum yang dilaksanakan dengan pendekatan padat karya dengan dana APBN, dimana kegiatan proyek dilaksanakan dengan sebanyak mungkin mengandalkan tenaga manusia dan kontrak-kontrak pekerjaan dipecah menjadi beberapa paket. Beberapa proyek yang melakukan pendekatan padat karya diantaranya adalah pembangunan saluran air baku dari Bendung Klambu ke Kudu untuk air minum kota Semarang (SSUDP), yang sebetulnya akan lebih efektif dan efisien apabila menggunakan peralatan berat. Kegiatan baru yang menonjol pada saat itu adalah program yang menangani lokasilokasi (desa/dusun/kampung) yang rawan air minum, baik di perkotaan maupun di perdesaan, terutama untuk masyaakat yang kurang mampu. Kegiatan ini berbasis masyarakat dan didanai dari APBN yang diperoleh dari pengurangan dana subsidi energi, sehingga kegiatan ini disebut Program SE-AB (Subsidi Energi untuk Air Bersih). Kegiatan ini berjalan selama empat tahu, dari tahun 2001 sampai dengan 2004, dengan dana rata-rata Rp. 300 milyar per tahun. Jumlah lokasi yang ditangani meliputi 1300 desa/dusun/kampung/kelurahan. Pada periode ini dimulailah semangat gerakan Millennium Development Goals (MDGs), yakni komitmen global yang diluncurkan Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 2000 untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Pemerintah Indonesia ikut menandatangani dan menyatakan komitmennya untuk menyukseskan
Pengembangan Air Minum Di Awal Era Reformasi
79
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
gerakan ini. Dalam hal air minum dan sanitasi, target MDGs adalah mengurangi hingga separuh dari penduduk yang belum memiliki akses ke sarana air minum yang aman, pada tahun 2015. Pada periode ini juga diluncurkan program yang diberi nama WASPOLA26 (Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning), yang merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia yang difasilitasi oleh WSP-EAP (Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific) dari Bank Dunia. Program ini memberikan bantuan fasilitasi bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam berbagai program pengelolaan layanan air minum dan sanitasi. Pada tahun 2004 (akhir masa peralihan awal era reformasi), penduduk Indonesia yang telah memiliki akses air minum aman, baik melalui sistem perpipaan maupun non-perpipaan terlindungi telah mencapai 48,81 persen. Secara lebih rinci capaian air minum aman ini meliputi akses air minum aman nasional 48,81 persen, akses air minum perkotaan 56,77 persen dan akses air minum perdesaan 42,93 persen27.
80
2005 – 2009: Periode Pelaksanaan RPJMN Tahap I dari RPJP 2005 - 2025 Periode ini ditandai dengan adanya peraturan perundangan yang lebih lengkap, baik yang terkait dengan pemerintahan umum (UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), maupun yang terkait dengan sektor/teknis (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air28, dan telah tersusunnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025), serta RPJMN 2005-2009. Periode ini merupakan tahap pertama pembangunan jangka panjang dimaksud. Untuk peraturan perudangan tentang air minum yang lebih jelas dan menyeluruh ditandai dengan diterbitkannya PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan SPAM. Dalam PP 16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM diatur mengenai penyelenggaraan SPAM mulai dari merencanakan, melaksanakan konstruksi, mengelola fisik dan nonfisiknya. Diatur pula tentang kelembagaan yang boleh tampil sebagai penyelenggaranya mulai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dapat bekerjasama dengan Koperasi, Badan Usaha Swasta, dan atau kelompok masyarakat sebagai penyelenggara sistem penyediaan air minum. Lihat Boks berikut tentang terbitnya UU 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan air Minum.
26. Program ini berlanjut menjadi WASPOLA II (2003-2009) dan WASPOLA Facility (2009-2014) 27. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia, 2013, Bappenas, 2014. 28. UU No 7/2004 tentang sumberdaya air telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015 karena ada beberapa pasal yang dianggap bertentangan UUD 1945. Pembatalan ini termasuk peraturan perundangan turunannya termasuk PP 16/2005. Pada saat buku ini disusun, Undang Undang dan peraturan penggantinya sedang dalam proses penyiapan.
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
LAHIRNYA UNDANG UNDANG 7/2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DAN PP 16/2005 TENTANG PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM SEBAGAI LANDASAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SPAM Pada tahun 2004 terbit Undang Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti UU 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Terbitnya UU baru ini tidak terlepas dari adanya perubahan paradigma sumber daya air meliputi pembangunan yang bekelanjutan, otonomi daerah, hak asasi manusia, demokratisasi dan globalisasi serta terjadinya reformasi di segala bidang pada tahun 1998. UU 7 tahun 2004 juga cerminan perwujudan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu: (i) pemanfaatan sumber daya air harus diabadikan kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat di segala bidang; (ii) sumber daya air harus dilindungi dan djaga kelestariannya. Pengelolaan sumber daya air mencakup kegiatan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air. Pengembangan SPAM merupakan bagian dari pendayagunaan sumber daya air. Pada tahun 2005 terbit Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, sebagai salah satu amanat dari UU 7 tahun 2004, dimana dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 40 UU 7 tahun 2004 diperlukan sebuah peraturan pemerintah. Dalam PP 16 tahun 2005, pengembangan SPAM diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan kesesuaian, keberlanjutan, keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas. Pengaturan pengembangan SPAM bertujuan untuk (i) terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau; (ii) tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan dasar; dan (iii) tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan pelayanan. PP 16 tahun 2005 ini mengamanatkan penyusunan Peraturan-peraturan Menteri Pekerjaan Umum antara lain tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM, penyelenggaraan pengembangan SPAM perpipaan dan bukan perpipaan, badan pendukung pengembangan SPAM, pedoman pembinaan penyelenggaraan SPAM, pedoman kerjasama pengusahaan pengembangan SPAM, dan pedoman pemberian izin penyelenggaraan pengembangan SPAM untuk kebutuhan sendiri.
Boks 6. Lahirnya Undang Undang 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebagai Landasan Kebijakan Pengembangan SPAM
Terbentuknya Badan Pendukung Pengembangan SPAM Undang Undang 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ini juga yang mendasari terbentuknya Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum atau BPPSPAM29, yang dibentuk pada tahun 2005 sebagai amanat Peraturan Pemerintah No. 16/2005 melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 294 tahun 2005. BPPSPAM merupakan badan non-struktural yang berada dibawah dan bertanggung 29. Sumber: http://www.bppspam.com
Pengembangan Air Minum Di Awal Era Reformasi
81
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
jawab kepada Menteri Pekerjaan Umum, dibentuk dengan maksud untuk membantu Pemerintah dalam mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM. Dalam rangka mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM tersebut, BPPSPAM mempunyai peran (i) mendorong peningkatan kinerja pelayanan penyelenggaraan SPAM; (ii) memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi; serta (iii) mengembangkan sistem pembiayaan dan pola investasi pengembangan SPAM. BPPSPAM bertugas mendukung dan memberikan bantuan dalam rangka mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan berfungsi (i) memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan strategi; (ii) membantu Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penerapan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM) oleh penyelenggara dan masyarakat; (iii) melaksanakan evaluasi terhadap standar kualitas dan kinerja pelayanan penyelenggaraan SPAM; (iv) memberikan rekomendasi tindak turun tangan terhadap penyimpangan standar kualitas dan kinerja pelayanan penyelenggaraan; (v) mendukung dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan SPAM oleh koperasi dan badan usaha swasta; dan (vi) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam menjaga kepentingan yang seimbang antara penyelenggara dan masyarakat.
82
BPPSPAM juga berperan dalam mendorong peningkatan kinerja penyelenggara terutama PDAM melalui kajian-kajian pengembangan SPAM, kegiatan penyusunan Rencana Tindak Turun Tangan (RT3), pendampingan penyusunan business plan, pendampingan restrukturisasi utang, pendampingan kerjasama kepengusahaan SPAM, pendampingan pinjaman perbankan dan kegiatan lain dalam rangka tercapainya tujuan pengaturan SPAM.
Pompa air minum peninggalan Belanda yang masih berfungsi
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Didasari semangat reformasi yang menuntut serba keterbukaan, diadakanlah rekapitulasi tentang pencapaian pengembangan sistem penyediaan air minum pada tahun 2005. Ternyata, cakupan pelayanan air minum di perkotaan baru mencapai 40 persen meliputi sekitar 33 juta penduduk, sedangkan di perdesaan baru mencapai 8 persen atau sekitar 10 juta jiwa. Total kapasitas produksi 95.540 liter perdetik, yang semestinya dapat memenuhi kebutuhan 95 juta penduduk. Tingkat kehilangan air rata-rata masih sangat tinggi, mencapai 40 persen sehingga yang terlayani baru sekitar 43 juta jiwa. Rendahnya cakupan pelayanan ini tidak terlepas dari kondisi PDAM yang sebagian besar mengalami kesulitan keuangan, yang diakibatkan oleh kurang baiknya pengelolaan PDAM. Awal tahun 2005, sekitar 90 persen PDAM dalam kondisi tidak layak operasi karena tingkat kerugian yang besar, utang yang membengkak karena tertunggak bertahuntahun. Secara akumulatif utang PDAM telah mencapai Rp 5,2 triliun. Selain itu, dana investasi tidak tersedia, bahkan dana operasional dan pemeliharaan sangat terbatas. Masalah-masalah yang dihadapi beragam, mulai dari kesulitan pembiayaan, tingkat kehilangan air yang tinggi, tarif yang lebih rendah dari biaya produksi, utang yang terus membengkak, mutu SDM yang memprihatinkan, kesulitan air baku, intervensi Pemda, dan sebagainya. Kondisi yang memprihatinkan itu tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Untuk mengatasi masalah tersebut Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Departemen Keuangan berusaha membantu PDAM mengatasi masalah yang dihadapi, antara lain dengan program penyehatan PDAM melalui dukungan hibah dari ASEM Trust Fund30 (Water Utility (PDAM) Rescue Program) yang dikelola Bank Dunia. Selain itu, melalui program WASAP B31 yang dikelola PERPAMSI, diadakan berbagai seminar, lokakarya, pelatihan, program twinning, pendampingan, dan kegiatan sejenis dalam rangka meningkatkan kemampuan pengelolaan PDAM. Kegiatan-kegiatan itu dimaksudkan untuk memberdayakan PDAM itu sendiri agar dapat mengatasi masalah yang dihadapinya. Salah satu dari berbagai masalah yang dihadapi PDAM adalah masalah utang yang terus membengkak, hampir tidak mungkin diselesaikan sendiri oleh PDAM. Melalui asosiasi PDAM yakni PERPAMSI, telah sejak lama dimintakan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, agar utang PDAM dihapus karena sangat mengganggu kondisi keuangan PDAM. Pemerintah cq. Departemen Keuangan kemudian melanjutkan upaya penyehatan PDAM dengan meluncurkan program restrukturisasi utang PDAM. Bunga dan denda 30. Asian-European Meeting (ASEM) Funds, dana hibah yang disediakan negara-negara Eropa untuk mengatasi krisis keuangan di Asia pada waktu itu. (Sumber: http://siteresources.worldbank.org/ASEM/Resources/TF1ICMs/Indonesia/Water+Utility+Rescue+Program+Bank+Executed.pdf). 31. Water and Sanitation Program B (WASAP B) adalah program hibah dari pemerintah Belanda melalui Bank Dunia (World Bank Institute), yang bertujuan meningkatkan tata kelola air minum perkotaan melalui peningkatan akuntabilitas dan profesionalisme PDAM, serta meningkatkan kemampuannya untuk menarik dana investasi.
Pengembangan Air Minum Di Awal Era Reformasi
83
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
dihapus, tetapi utang pokok tetap harus dilunasi dengan dicicil setelah dijadwal ulang. Restrukturisasi utang itu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 120/ PMK.05/2008 tentang restrukturisasi utang PDAM. Restrukturisasi utang tersebut membuat banyak PDAM yang selama ini tidak pernah menghasilkan kinerja keuangan yang menggembirakan karena selalu terbebani utang, merasa sangat tertolong. Bahkan tak sedikit di antaranya yang bisa memperbaiki kinerja keuangannya sehingga langsung positif, karena utangnya telah masuk kategori utang lancar.
84
Akumulasi bunga dan denda atas utang yang dihapus itu memang tidak sedikit, mencapai Rp 3,3 triliun, melebihi utang pokoknya. Di sisi lain, pihak PDAM tentu harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu agar restrukturisasi utang itu tidak siasia, tetapi benar-benar dimanfaatkan untuk menyehatkan PDAM yang bersangkutan. Pada periode ini situasi ekonomi sudah mulai stabil dan membaik. Kementerian Pekerjaan Umum terus mendukung pengembangan SPAM di kabupaten/kota sebagai bentuk pembinaan, walaupun sesuai dengan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dinyatakan bahwa sub bidang air minum merupakan urusan wajib bagi pemerintah kabupaten/kota, yang perlu diprioritaskan peningkatan cakupan pelayanannya sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Program-program air minum IKK, Perdesaan dan fasilitasi PDAM dengan dana APBN Kementerian Pekerjaan Umum setiap tahun terus meningkat, untuk mencapai sasaran RPJMN dan MDGs. Inovasi-inovasi pengembangan SPAM terus diupayakan baik dari aspek teknis teknologis maupun dalam sumber-sumber pendanaan. Untuk keterpaduan rencana dan pendanaan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, setiap Kabupaten/Kota menyusun RPIJM (Rencana Program Investasi Jangka Menengah) yang disepakati bersama. Program-program pengentasan kemiskinan di perkotaan antara lain dilakukan melalui program untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pada kawasan permukiman kumuh perkotaan. Program inilah yang kemudian melahirkan program-program sejenis di perkotaan (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan - P2KP) dan di perdesaan (Program Pembangunan Kecamatan - PPK) yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Program ini selanjutnya dikonsolidasikan menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM. Program-program IKK dan perdesaan juga dilanjutkan dengan dana APBN. Dalam rangka membuka akses pendanaan serta mempercepat program penyediaan air minum bagi PDAM yang memiliki kemampuan meminjam, Pemerintah menerbitkan Perpres No. 29 Tahun 2009 yang memberi kelonggaran pesyaratan pinjaman dari bank komersil nasional, berupa jaminan pemerintah dan subsidi bunga. Dalam perjalanannya, beberapa PDAM berpartisipasi dalama program ini, namun tampaknya program tidak berjalan lancar sebagaimana perkiraan sebelumnya. Persyaratan yang panjang dan berbelit, antara lain proses persetujuan DPRD dan proses di Kementerian PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Keuangan sendiri merupakan salah satu hambatan terhadap kelancaran program ini. Di sisi lain, kelemahan yang dirasakan dalam pengembangan air minum adalah masih belum adanya rencana sistem penyediaan air secara menyeluruh yang dimiliki pemerintah daerah, sehingga PDAM tidak memiliki acuan perencanaan jangka panjang. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Permen PU No 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, dimana didalamnya termasuk keharusan pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi, dan Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum atau RISPAM yang yang menyangkut rencana induk sistem air minum di perkotaan, yang dikelola PDAM, dan di perdesaan yang pada umumnya dikelola oleh masyarakat dengan menggunakan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. Selain itu, pemberlakuan asas desentralisasi dan otonomi daerah ternyata juga menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan. Era reformasi mendorong lahirnya banyak pemerintahan kabupatan dan pemerintahan kota yang baru, hasil pemekaran suatu wilayah. Sebuah wilayah kabupaten, mekar menjadi dua atau bahkan menjadi tiga kabupaten atau kota yang baru. Pemekaran wilayah itu berdampak terhadap masalah air minum, karena hampir selalu diikuti pemekaran (baca: pemisahan diri) unit-unit PDAM yang ada di wilayah yang bersangkutan. Memang ada sebagian PDAM yang dapat melalui masalah pemekaran itu dengan baik, tetapi sebagian besar justru melahirkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Misalnya, sering muncul konflik menyangkut penyerahan aset terkait seperti yang pernah dialami oleh PDAM Kabupaten Serang dengan PDAM hasil pemekarannya, yakni PDAM Kota Cilegon. Atau PDAM Kabupaten Donggala dan PDAM Kota Palu yang memiliki daerah pelayanan yang saling tumpang tindih. Di beberapa PDAM yang terpisah sebagai akibat pemekaran wilayah, walaupun tidak terjadi konflik atas pembagian aset, muncul masalah dari segi keekonomiannya, terutama PDAM-PDAM yang jumlah pelanggannya sedikit, serta masalah ketersediaaan air baku. Memang ada beberapa PDAM yang tidak mengikuti kecenderungan seperti itu, tapi jumlahnya tidak banyak. Misalnya PDAM Intan Banjar yang melayani dua wilayah pemerintahan, yakni Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru, dan PDAM Giri Menang yang melayani Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. [perlu informasi apakah ada lagi PDAM yang seperti ini] Hal itu terjadi karena adanya kesamaan persepsi antara manajemen PDAM dengan Kepala Daerah terkait. Patut dicatat bahwa kedua PDAM tersebutmerupakan model regionalisasi sistem penyediaan air minum yang cukup berhasil. Dalam boks berikut disampaikan latar belakang dibalik kisah sukses regionalisasi PDAM yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi PDAM lainnya.
Pengembangan Air Minum Di Awal Era Reformasi
85
Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi
KISAH SUKSES REGIONALISASI PDAM Ketika Kota Banjarbaru lepas dari Kabupaten Banjar tahun 1999, memang sudah muncul keinginan para pejabat teras Pemda Kota Banjarbaru untuk mendirikan PDAM. Langkah pertama, mereka ingin mengambil alih aset PDAM Kabupaten Banjar yang terdapat di wilayah Kota Banjarbaru yang selama ini juga dilayani PDAM Kabupaten Banjar. Hampir bersamaan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Banjar sendiri sedang berusaha membenahi PDAM Kabupaten Banjar yang kala itu dalam kondisi terpuruk karena manajemennya yang buruk. Upaya pembenahan diawali dengan mencari direktur utama yang profesional, memahami seluk-beluk PDAM dan memiliki integritas. Melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh suatu tim independen, terpilihlah seorang calon, yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan yang membantu pembenahan manajemen berbagai PDAM, menjadi direktur utama. Melihat perkembangan yang terjadi di lingkungan Pemda Kota Banjarbaru yang cenderung hendak membentuk PDAM, direktur utama yang baru terpilih itu melakukan pendekatan kepada Walikota Banjarbaru seraya memperkenalkan diri. Dalam dialog tersebut diketahui bahwa memang Pemda Kota Banjarbaru berencana membentuk PDAM. Dalam pertemuan itulah Walikota diberi pemahaman bahwa akan lebih menguntungkan, lebih efisien dan efektif, bila kedua Pemda (Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru) membesarkan PDAM yang sudah ada secara bersama-sama, daripada mendirikan sendiri PDAM yang baru.
86
Alasan utama yang disampaikan antara lain bahwa membentuk PDAM memerlukan biaya yang sangat besar, sedangkan dana yang dimiliki Pemda Kota Banjarbaru terbatas. Alasan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kota tidak tidak memiliki sumber air baku. Atas usulan tersebut, Walikota Banjarbaru dan Bupati Kab. Banjar bersepakat untuk memanfaatkan PDAM yang sudah ada, dengan pertimbangan bahwa dari sejak dulu Kota Banjarbaru sudah dilayani oleh PDAM Kabupaten Banjar. Keputusan tersebut didukung sepenuhnya oleh Gubernur Kalimantan Selatan. Sebagai realisasi dari kesepakatan tersebut kemudian dibuat perjanjian kerja sama antara kedua Pemda tersebut yang diketahui oleh Pemerintah Provinsi, yang didalamnya termasuk kesepakatan untuk mengubah nama PDAM menjadi PDAM Intan Banjar. Dengan dukungan dana investasi berupa penyertaan modal dari kedua Pemda, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat yang membiayai pengembangan air baku, PDAM Intan Banjar telah berubah dari kondisi terpuruk menjadi PDAM yang sehat dan berkembang, bahkan kemudian menjadi salah satu pusat pembelajaraan bagi PDAM lainnya. Sambungan rumah yang semula hanya sekitar 15.000 telah berlipat ganda menjadi sekitar 47.000 pada saat direktur utama PDAM menyelesaikan masa baktinya pada periode yang kedua.
Boks 7. Kisah Sukses Regionalisasi PDAM
Upaya BPPSPAM untuk menyehatkan PDAM-PDAM sudah mulai terlihat hasilnya, sudah bermunculan beberapa PDAM yang memiliki kinerja yang cukup baik dan menjadi acuan bagi PDAM lainnya, seperti PDAM Surabaya, Kota dan Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Surabaya, Malang, Palembang, Medan, Banjarmasin, Pontianak dan lain lain. PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Disamping itu, upaya untuk mendorong peran serta swasta dalam pengembangan SPAM juga sudah terlihat hasilnya, meskipun masih sangat terbatas, antara lain Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) di Kabupaten Tangerang serta Kerjasama Business-to-Business (B to B) di beberapa kota/kabupaten seperti di Kabupaten Sidoarjo, Kota Tangerang, Kabupaten Serang, dan lain sebagainya. Hingga tahun 2009, kurang lebih terdapat 20 proyek KPS dan B to B bidang pengembangan SPAM yang tersebar di berbagai kapulaten/kota di seluruh Indonesia. Keduapuluh proyek tersebut telah melayani penduduk melalui 1.832.000 sambungan rumah dengan totak kapasitas 22.380 liter per detik. Investasi yang ditanamkan swasta dalam hal ini adalah sebesar Rp 6,60 trilyun, Hal ini merupakan kontribusi yang sangat baik dan positif dari investor tanah air dan dari luar negeri terhadap pengembangan air minum di Indonesia.
KISAH SUKSES KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA (KPS) Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Kabupaten Tangerang, yaitu antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan PT. Aetra Air Tangerang merupakan KPS pertama yang terbilang sukses di Indonesia. Lingkup kerjasama ini meliputi pembangunan intake, jaringan transmisi, instalasi pengolahan air (IPA) 900 liter per detik, reservoir 10.000 m3, dan jaringan distribusi untuk 72.000 sambungan, baik sambungan rumah tangga maupun industri.
87
Saat ini penduduk di wilayah layanan KPS Kabupaten Tangerang mendapatkan air minum dengan pelayanan prima dengan tingkat kebocoran sistem perpipaan (non-revenue water, NRW) rata-rata 4 persen, tingkat NRW sebesar ini merupakan angka kebocoran terkecil di Indonesia, bahkan terkecil dibandingkan negara-negara tetangga.
Boks 8. Kisah Sukses Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
Pada akhir 2009, proporsi penduduk yang terlayani dengan sumber air minum yang terlindungi (akses aman) adalah sebesar 47,71 persen, dengan perincian sebagai berikut: perkotaan sebesar 49,82 persen dan perdesaan sebesar 45,72 persen. Total cakupan pelayanan air perpipaan secara nasional adalah 25,56 persen, terdiri dari 43,96 persen di perkotaan dan 11,54 persen di perdesaan32.
32. Sumber: DITPAM, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pengembangan Air Minum Di Awal Era Reformasi
Unit Aerasi pada IPA Aetra Tangerang
88
IPA Aetra Tangerang yang memiliki kapasitas 900 l/det
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
EPILOG
89
Epilog
Epilog KALAU pada awal kemerdekaan kita diwarisi pelayanan air minum yang masih sangat terbatas dan hanya terdapat di kota-kota yang dihuni warga Belanda dan para ambtenaar, maka pada tahun 2009, kita telah memiliki sarana air minum di semua kota metropolitan, ibu kota provinsi dan kabupaten bahkan di sebagian besar ibukota kecamatan dan di pelosok perdesaan, termasuk di daerah perbatasan, dan di daerah rawan dan sulit air. Sarana air minum juga sudah dibangun di banyak tempat untuk mendukung aktivitas pelabuhan, industri, wisata dan kawasan-kawasan strategis lainnya. Memang diakui bahwa sarana air minum yang telah dibangun tersebut belum dapat
90
Pipa-pipa yang menyalurkan air minum
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
sepenuhnya memenuhi harapan seluruh warga masyarakat, baik dari segi kualitas dan kuantitas maupun kontinuitasnya, namun hasil yang telah dicapai sampai dengan tahun 2009 telah mencerminkan kerja keras dan keseriusan Pemerintah, yang bersama-sama Pemerintah Daerah, memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan air minum yang aman, yang kemudian didukung sepenuhnya oleh masyarakat sendiri melalui program-program penyediaan air minum berbasis masyarakat, terutama di perdesaan. Penyusunan Buku ini tidak terlepas dari keterbatasan Tim Penyusun untuk menghimpun informasi dari bebagai fihak dan dari nara sumber, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan semuanya dalam waktu yang tersedia. Untuk itu Tim Penyusun membuka pintu selebar-lebarnya untuk berbagai masukan dan kritik membangun, yang akan menyempurnakan Buku ini menjadi lebih baik lagi. Semoga Buku ini juga diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi generasi penerus, untuk meneruskan cita-cita generasi sebelumnya, dalam rangka pemenuhan kebutuhan air minum yang aman bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa kecuali.
91
Air olahan PDAM yang dapat langsung diminum
Daftar Pustaka
1. Air Bersih, Upaya Menunjang Pembangunan Sektor Strategis, Departemen Pekerjaan Umum. 2. Buku Direktori PERPAMSI. 3. Artikel dalam Majalah De Groene Amsterdamer: Bijdrage aan wederopbouw Nederland, De Indonesische injectie, 5 Januari, 2000. 4. Artikel dalam Majalah Kotapraja, Februari 1953. 5. Ernsest W. Steel, Water Supply & Sewerage, 1960 6. World Health Organization (http://www.who.int/water_sanitation_health/mdg1/ en/) 7. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KNSP-SPAM), 2006 8. BPPSPAM (www.bppspam.com) 9. Indonesia Waterand Sanitation Program (WASAP), Programme Final Report, April 2013.
92
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
93
PROFIL NARA SUMBER
Ir. Budiman Arif
Tempat/Tgl Lahir : Bengkulu, 30 November 1944 Jabatan Terakhir : Sekretaris Jenderal Departemen PU Masa Kerja : 1968 – 2005 (37 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : ITB, Teknik Penyehatan lulus tahun 1968
94
Ir. Budi Yuwono, Dipl.SE
Tempat/Tgl Lahir : Tulungagung, 17 November 1952 Jabatan Terakhir : Direktur Jenderal Cipta Karya - Departemen PU Masa Kerja : 1978 – 2013 (35 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : ITB, Teknik Penyehatan lulus tahun 1978, S2 Tata Air Institute of Hydraulic Engineering Delft Belanda (1987)
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
Ir. Hidayat Notosugondo
Tempat/Tgl Lahir : Jepara, 11 Maret 1926 Jabatan Terakhir : Staf Ahli Menteri PU Masa Kerja : 1958 – 1986 (28 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : Universitas Indonesia, Fakultas Teknik Indonesia Tahun 1958
95
Ir. Darmawan Saleh
Tempat/Tgl Lahir : Yogyakarta, 15 November 1936 Jabatan Terakhir : Direktur PLP Departemen PU Masa Kerja : 1965 – 2001 (36 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : ITB, Teknik Penyehatan Tahun 1965
Ir. Rachmat Rani, Dipl.SE
Tempat/Tgl Lahir : Bandung, 13 Juli 1940 Jabatan Terakhir : Kepala Kanwil PU Prov. Bengkulu Masa Kerja : 1967 – 2002 (35 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : ITB, Teknik Penyehatan Tahun 1967
96
Ir. Priyono Salim, Dipl.SE
Tempat/Tgl Lahir : Padang, 30 April 1943 Jabatan Terakhir : Kasubdit Perencanaan, Direktorat Air Bersih Masa Kerja : 1968 – 2003 (35 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : ITB, Teknik Penyehatan Tahun 1968, S2 International Institute For Hidrolic & Sanitay Engineering
Ir. Risyana Sukarma
Tempat/Tgl Lahir : Bandung, 31 Oktober 1949 Jabatan Terakhir : Kasubdit Air Bersih, Bimtek Masa Kerja : 1976 – 1997 (19 th) Lulusan Universitasan Tahun Lulus : ITB, Teknik Penyehatan Tahun 1974
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009
TIM PRODUKSI Pengarah Andreas Suhono, Tamin M. Zakaria Amin, Sri Hartoyo Narasumber Hidayat Notosugondo, Budiman Arif, Budi Yuwono, Darmawan Saleh, Rachmat Rani, Priyono Salim, Risyana Sukarma Kontributor M. Aulawi Dzin Nun, Monhilal, Poedjastanto Soemardono, Hosen Utama, Susi Martini Dohar Sampeuli Simanjutak, Diana Kusumastuti, Victor Sihite, Alizar Anwar, Agus Sunara Penulis Budiman Arif, Risyana Sukarma Editor Miradian Isyana Wistyani, Arie Yanuartaba Ilustrator BPPSPAM Produksi BPPSPAM © 2015 (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
97 97
98
BADAN PENDUKUNG PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM BPPSPAM Jl. Wijaya I No. 68, Kebayoran Baru, Jakarta 12170 Telp/Fax. 021-72789126 www.bppspam.com
PENGEMBANGAN AIR MINUM INDONESIA DARI MASA KE MASA 1800an – 2009