Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Pengemas Makanan Ramah Lingkungan, Berbasis Limbah Cair Tahu (Whey) Sebagai Edible Film Ika Zuwanna, Fitriani, *Hesti Meilina Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111, Indonesia. *Corresponding Author:
[email protected] Abstrak Edible film merupakan bahan pengemas organik yang terbuat dari senyawa hidrokoloid dan lemak, digunakan dengan cara pembungkusan. Pengemas organik ini dapat diperbaruhi (renewable) dan dapat diuraikan (biodegradable). Dalam limbah cair tahu (whey) terdapat banyak senyawa organik seperti karbohidrat, protein dan lemak. Penelitian ini mencoba menggunakan limbah cair tahu (whey) sebagai bahan baku dengan penambahan hidrokoloid dan plasticizier yang tepat untuk menghasilkan ketahanan dan kemuluran yang baik terhadap edible film. Ada dua tahapan pengembangan ilmu yang akan dikaji dalam penelitian ini. Tahap pertama adalah penyaringan dan sterilisasi limbah cair tahu (whey). Tahap kedua penelitian adalah limbah cair cair tahu (whey) yang telah disaring dan disterilisasi akan dibuat edible film, dimana desain dan metode penelitian menggunakan rancang acak lengkap (RAL). Variasi konsentrasi plasticizier yaitu sorbitol dan pemakaian hidrokoloid yaitu Carboxymethyl Cellulosa (CMC) yang akan diberikan pada sampel sehingga diperoleh hasil yang optimal. Kualitas dan karakterisasi edible film yang dihasilkan akan dievaluasi mencakup struktur gugus fungsi menggunakan Fourier transform infra-red spectroscopy (FTIR), uji ketebalan menggunakan mikrometer sekrup, kekuatan tarik, uji laju transmisi uap air, uji komposisi nutrisi, uji degradasi dan aplikasi pada makanan. Dari hasil penelitian pembuatan edible film dari limbah cair tahu (whey) dengan penambahan plasticizier dan hidrokoloid diperoleh nilai tensile srenght berkisar 2,84-5,39 kgf/mm2, elongasi berkisar 11,16%–49,55%, ketebalan berkisar 0,001-0,05 mm dan laju transmisi uap air (WVTR) pada konsentrasi CMC 3% dengan konsentrasi sorbitol 1%, 3% dan 5% diperoleh berturut-turut yaitu 2,60 gram/m2/jam; 2,27 gram/m2/jam dan 3,25 gram/m2/jam. Kata kunci: edible film, pengemas makanan, limbah cair tahu (whey), hidrokoloid, plasticizier. Pendahuluan Salah satu makanan yang digemari masyarakat ialah tahu, baik masyarakat kalangan bawah hingga atas. Tahu merupakan makanan yang bergizi, sehat dan harganya murah. Pabrik tahu dapat dijumpai dengan mudah diseluruh kota di Indonesia. Pada umumnya pabrik tahu tergolong ke dalam pabrik skala kecil yang dikelola oleh rakyat. Namun sangat disayangkan, ternyata masih banyak pabrik tahu yang masih membuang air limbahnya secara sembarangan keselokan atau sungai-sungai disekitar pabrik, sehingga dapat menimbulkan bau busuk, air tercemar dan berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar. Pada proses produksi air banyak digunakan sebagai bahan pencuci dan merebus kedelai. Akibat dari besarnya pemakaian air pada proses pembuatan tahu, limbah yang dihasilkan cukup besar. Apabila ditinjau dari Kep03/MENKLH/11/1991 tentang baku mutu limbah cair, maka pabrik tahu memerlukan unit pengolahan limbah sebelum limbah dibuang ke lingkungan. Pada saat ini sebagian besar industri tahu masih merupakan pabrik kecil yang belum dilengkapi dengan unit pengolah air limbah, sistem anaerobik ialah unit pengolah limbah yang umum digunakan oleh pabrik skala kecil dengan efisiensi pengolahan 60-90%. A77
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Dengan sistem anaerobik tersebut, limbahyang dibuang ke perairan memiliki kadar zat organik (BOD) yang masih tinggi yaitu sekitar 400–1400 mg/l. Pada saat proses produksinya pabrik tahu menghasilkan limbah cair berupa whey yang cukup besar. Alternatif permasalahan ini adalah dengan memanfaatkan limbah cair tahu (whey) menjadi edible film. Edible film ialah salah satu solusi yang ramah lingkungan sebagai bahan pengemas pangan yang dalam 10 tahun terakhir mendapat perhatian serius dari para ahli pangan. Edible film diperoleh dari sumber bahan yang dapat diperbaruhi (renewable) dan dapat diuraikan (biodegradable) sehingga memiliki potensi yang sangat baik untuk pengemas makanan. Hal ini di karenakan didalam air limbah tahu (whey) masih mengandung bahan-bahan organik seperti protein, lemak dan karbohidrat. Yahya, 2013 menyatakan bahwa di dalam limbah cair tahu mengandung protein (23,35%), lemak (5,54%), karbohidrat (26,92%), abu (17,03%), serat kasar (16,53%), dan air (10,53%), dimana limbah cair tahu (whey) tersebut bisa dimanfaatkan sebagai edible film. Hasil dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa edible film yang berbahan whey saja tidak menghasilkan karakterisitik yang baik, seperti tidak transparan, mudah rapuh dan tidak elastis. Gounga, dkk (2007) menyatakan bahwa karakteristik edible film berbahan whey protein adalah elastis, transparan dan tidak mudah rapuh. Sehingga perlu adanya bahan penyusun lainnya yang ditambahkan pada edible film yaitu hidrokoloid dan platicizier. Penambahan hidrokoloid pada proses pembuatan edible film dapat memberikan interaksi sinergis sehingga karakteristik edible film menjadi jauh lebih baik serta dapat menurunkan kandungan air yang terdapat pada bahan pangan. Berdasarkan penelitian Roiyana., dkk (2012) hidrokoloid yang ditambahkan pada edible film dapat meningkatkan susut bobot dan digunakan sebagai penghambat proses pematangan buah. Salah satu kelemahan edible film adalah bersifat rapuh dan tidak memilki elastisitas yang bagus. Plasticizer adalah bahan yang sering ditambahkan pada saat pembuatan edible film, dimana dapat memperbaiki karakteristik edible film menjadi tidak mudah rapuh dan elastis. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka kelarutannya juga akan semakin meningkat yang disebabkan karena sifat plasticizer yang hidrofilik. Mali, dkk (2004) menyebutkan bahwa gliserol dan sorbitol ialah salah satu plasticizer yang digunakan dalam pembuatan edible film. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah cair tahu (whey), Carboxymethyl Cellulosa (CMC), sorbitol, gliserol, silika gel,dan aquades. Metode Pembuatan Edible Film Pembuatan edible film diawali dengan proses pembuatan larutan edible film dengan mencampurkan 20 ml limbah cair tahu (whey) dengan aquades sampai 100 ml. Larutan pembentuk film tersebut dipanaskan pada suhu 85ºC selama 30 menit dengan hot plate. Selanjutnya diberi penambahan hidrokoloid yaitu Carboxymethyl Cellulosa (CMC) konsentrasi 1, 3, 5, 7 dan 9 % (b/v) dengan pengadukan cepat sampai hidrokoloid larut. Kemudian ditambahkan plasticizier yaitu sorbitol dengan konsentrasi 1, 3, 5, 7 dan 9 % (b/v) untuk meningkatkan elastisitas edible film yang dihasilkan. Larutan edible film yang telah dipanaskan, dimasukkan kedalam kulkas, proses ini bertujuan untuk menghilangkan gelembung gas (degassing) yang terbentuk selama pencampuran. Selanjutnya dilakukan pencetakkan dengan menuangkan larutan sebanyak 25 ml ke cawan petri. Cawan petri yang berisi larutan edible film selanjutnya dikeringkan dengan oven drying pada suhu 55ºC selama 12 jam. Edible film yang telah kering didinginkan dalam ruang terbuka sampai suhu mencapai suhu ruangan, lalu dilepas dari cawan petri dengan hati-hati. Edible film disimpan dalam wadah tertutup, sebelum dianalisis (modifikasi dari metode Gounga, 2007; Aritonang 2009, dan Oses dkk., 2009).
A78
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Karakterisasi Edible Film 1. Analisa Morfologi a. Uji Fourier Transform Infra Red (FTIR) Analisa FTIR ini dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada edible film. Sampel yang berupa film, ditempatkan ke dalam set holder, kemudian dicari spektrum yang sesuai. Hasilnya di dapat berupa difraktogram hubungan antara bilangan gelombang dengan intensitas. Spektrum FTIR di rekam menggunakan spektrometer pada suhu ruang (Darni dan Utami, 2010). b. Ketebalan Edible Film Pengukuran ketebalan film menggunakan mikrometer sekrup. Nilai ketebalan yang didapat merupakan rataan dari pengukuran pada lima tempat yang berbeda. c. Kekuatan Tarik (Tensile strength) Pengukuran kekuatan tarik dan kemuluran dilakukan dengan cara memotong sampel edible film yang akan diuji dengan ukuran 8 cm x 3 cm. Edible film dikaitkan secara horizontal pada penjepit/pengait yang ada pada alat digital gauge HF 500 dengan luasan edible film yang dijepit 1,5 cm dikedua sisi panjangnya. Nilai kekuatan tarik maksimal film diukur pada saat film menjelang putus (Bourtoom, 2008). d. Kemuluran (Elongasi) Kemuluran adalah kemampuan rentang edible film yang dihasilkan. Kemuluran dihitung dengan rumus : E = 100 x (dsesudah – dsebelum)/ dsebelum Rumus tersebut menunjukkan d adalah jarak antara penjepit pemegang sampel sebelum atau setelah sampel ditarik hingga putus (Bourtoom, 2008). e. Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR) Edible film dipotong membuat lingkaran dengan diameter 2,8 cm. Gelas ditimbang sebelum digunakan, setelah itu edible film diletakkan pada permukaan gelas yang sebelumya telah diisi 3 gr silika gel. Gelas yang berisi sampel selanjutnya ditimbang dan diletakkan dalam desikator terkontrol (kelembaban ±55%). Setiap sejam (selama 10 jam) gelas dikeluarkan dari desikator dan ditimbang. Nilai WVTR dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai WVTR = f.
Uji komposisi nutrisi pada edible film Dilakukan pengujian komposisi nutrisi pada kandungan edible film, yaitu uji kadar air, karbohidrat, protein dan lemak.
g. Uji degradasi Uji degradasi dilakukan dengan melihat sifat biodegradable edible film yang diuji dengan cara mengubur film dalam tanah. Pengujian biodegradable dilakukan dengan menimbang film sebelum dan sesudah penguburan dalam tanah untuk diketahui berat susut film (Widyaningsih dkk., 2012). h. Aplikasi edible film pada makanan Pengujian ini ditentukan dengan cara melapiskan atau membungkus buah nanas dengan edible film yang dihasilkan. Kemudian diuji susut berat dan kerusakan lemak. Aplikasi film dengan cara ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan McHugh dan Sanesi (2000). Buah dibungkus dengan edible film lalu dibiarkan selama 5 hari untuk melihat perubahan yang terjadi.
A79
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Hasil dan Pembahasan Kekuatan tarik (tensile strenght) Kekuatan tarik merupakan ukuran untuk kekuatan film secara spesifik serta tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus/sobek (Krisna, 2011). Pengujian kuat tarik dilakukan dengan menggunakan Electronic System Universal Testing Machines berdasarkan standar ASTM D638. Sampel yang diuji daya tarik film adalah sampel dengan penambahan sorbitol konsentrasi 1,3 dan 5% dikarenakan konsentrasi 7 dan 9% tidak memenuhi persyaratan untuk uji daya tarik. Hubungan kosentrasi CMC (carboxyl methyl cellulosa) dengan konsentrasi sorbitol terhadap tensile strenght pada edible film disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan kosentrasi CMC (carboxyl methyl cellulosa) dengan konsentrasi sorbitol terhadap tensile strenght pada edible film Berdasarkan Gambar 1. menunjukkan bahwa komposisi CMC 1,3,5 dan 7% serta penambahan plasticizier yaitu sorbitol pada konsentrasi 1,3 dan 5% tidak memberikan peningkatan nilai tensile strenght yang signifikan. Nilai tensile strenght yang diperoleh berkisar 2,84-5,39 kgf/mm2. Nilai tensile strenght optimum diperoleh pada penambahan konsentrasi sorbitol 5% dan konsentrasi CMC 7% yaitu sebesar 5,39 kgf/mm 2. Hal ini disebabkan pada komposisi konsentrasi CMC 7% dan sorbitol 5% merupakan kondisi pembentukan edible film yang maksimum untuk mencapai nilai tensile strenght tertinggi. Menurut Magfiroh, dkk (2013) pada titik jenuh molekul-molekul plasticizier yaitu sorbitol terdispersi merata dan berinteraksi diantara struktur rantai polimer dan menyebabkan rantai-rantai polimer lebih sulit bergerak. Hal inilah yang menyebabkan kekuatan tarik edible film meningkat dikarenakan adanya gaya intermolekuler antar rantai pada campuran tersebut. Bila kadar sorbitol ditingkatkan akan mengakibatkan kekuatan tarik menjadi menurun. Maka pada komposisi maksimum, semua CMC tepat bereaksi dengan sorbitol. Pada konsentrasi CMC yang lebih tinggi lagi yaitu konsentrasi 9% dengan konsentrasi sorbitol 1, 3, 5, 7dan 9 % selama dilakukan percobaan terlihat bahwa CMC tidak mampu lagi untuk mengikat sorbitol, sehingga edible film yang dihasilkan keras dan rapuh, jika konsentrasi sorbitol ditambahkan lagi maka molekul-molekul sorbitol yang berlebih berada dalam fase tersendiri diluar fase polimer. Kondisi ini akan menurunkan gaya intermolekuler antar rantai polimer pada CMC dan bahan baku utama yang digunakan yaitu whey. Elongasi Elongasi merupakan sifat mekanik yang erat hubungannya dengan sifat fisik film. Elongasi menunjukkan perubahan panjang maksimum film saat memperoleh gaya tarik hingga film terputus (Krisna, 2011). Elongasi diukur menggunakan Computer Type Universal Machine, Hubungan kosentrasi CMC (carboxyl methyl cellulosa) dengan konsentrasi sorbitol terhadap elongasi pada edible film disajikan pada Gambar 2.
A80
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Gambar 2.
Hubungan kosentrasi CMC (carboxyl methyl cellulosa) dengan konsentrasi sorbitol terhadap elongasi pada edible film
Berdasarkan Gambar 2. menunjukkan bahwa penambahan CMC dengan konsentrasi1, 3, 5 dan 7% serta plasticizier yaitu sorbitol pada konsentrasi 1, 3 dan 5% rata-rata berkisar 11,16–49,55%. Persen elongasi optimum yang diperoleh pada penambahan konsentrasi CMC 7% dan konsentrasi sorbitol 5% yaitu sebesar 49,55%. Hal ini disebabkan karena pada komposisi konsentrasi CMC 7% dan sorbitol 5% merupakan komposisi campuran yang paling banyak, maka kadar campuran meningkatkan kelembaban film yang menyebabkan film menjadi elastis. Menurut Krisna (2011) tanpa adanya bahan pengental dan plasticizier, film yang terbuat dari pati atau amilosa akan rapuh, maka penambahan bahan pengental dan plasticizier dibutuhkan untuk mengatasi kerapuhan yang disebabkan oleh gaya intermolekuler molekul pada bahan baku utama pembuatan yaitu whey. Rata-rata persen elongasi yang didapatkan pada penelitian ini relatif lebih baik dibandingkan dengan edible film dari tepung komposit glukomanan umbi iles-iles dan maizena pada penelitian yang dilakukan oleh Siswanti (2008) yang memilki persen elongasi berkisar antara 13,7–19,5% serta edible film berbahan dasar pektin pada penelitian yang dilakukan oleh Wirawan dan Prasetya, (2012) yang memilki nilai elongasi 31,58% . Uji ketebalan Ketebalan merupakan sifat fisik yang akan mempengaruhi laju transmisi uap air dan kekuatan tarik dari edible film. Penambahan konsentrasi CMC dan sorbitol juga mempengaruhi ketebalan dari edible film, dimana ikatan yang terbentuk antara hidrokoloid dan sorbitol dengan limbah cair tahu (whey) menambah tingkat ketebalannya. Hubungan antara konsentrasi CMC dan sorbitol yang ditambahkan pada edible film dengan nilai ratarata ketebalan edible film disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan konsentrasi CMC (carboxyl methyl cellulosa) dengan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan pada edible film Gambar 3. menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi CMC dan sorbitol cenderung menghasilkan rata-rata ketebalan yang berbeda. Rata-rata ketebalan edible film dengan perbedaan jenis plasticizer antara 0,01 – 0,05 mm dengan perlakuan konsentrasi CMC dan sorbitol masing-masing yaitu sebesar 1, 3, 5, 7 dan 9%. Krisna (2011) menyatakan bahwa rata-rata standar ketebalan edible film kurang dari 0,25 mm. Ketebalan edible film ini relatif A81
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
lebih tipis dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan pati sebagai bahan baku utama pembuatan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Prihatiningsih (2000) bahwa edible film yang dihasilkan dari pati jagung (zein) yang menggunakan sorbitol dan asam palmitat sebagai plasticizer memiliki ketebalan 0,08-0,13 mm, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Warkoyo, dkk., (2014) edible film berbahan pati umbi kimpul dan kalium sorbat memiliki ketebalan yaitu 0,065-0,081 mm. Uji laju transmisi uap air (water vapor transmission rate/WVTR) Zulferiyenni dkk, (2014) menyatakan bahwa nilai laju transmisi uap air sangat penting untuk diketahui, hal ini dikarenakan nilai laju transmisi uap air (WVTR) digunakan untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas. Pengemasan makanan dengan edible film diharapkan mampu menahan uap air dari produk ke lingkungan maupun sebaliknya. Nilai laju transmisi uap air (water vapor transmission rate/WVTR) pada edible film dengan penambahan konsentrasi CMC dan sorbitol yang berbeda disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan konsentrasi CMC (carboxyl methyl cellulosa) dengan konsentrasi sorbitol terhadap laju transmisi uap air (WVTR) pada edible film Dari Gambar 4. dapat dilihat bahwa proses pembuatan edible film dengan bahan baku limbah cair tahu serta variasi konsentrasi hidrokoloid dan plasticizer diperoleh nilai laju uap air yang berbeda. Laju uap air yang paling optimum terdapat pada konsentrasi CMC 3 % dan 5 % dimana konsentrasi sorbitol masing-masing 1, 3 dan 5%. Pada konsentrasi CMC 3% dan konsentrasi sorbitol 1, 3, dan 5% diperoleh nilai laju transmisi uap air berturutturut yaitu 2,60 gram/m2/jam; 2,27 gram/m2/jam dan 3,25 gram/m2/jam. Sedangkan pada konsentrasi CMC 5% nilai laju transmisi uap air berturut-turut adalah 1,78 gram/m 2/jam; 2,68 gram/m2/jam dan 2,92 gram/m2/jam. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusnadi dan Budyanto (2013) dengan bahan baku ekstrak daun jati dan penambahan konsentrasi gliserol 20% yaitu 11,63 gram/m 2/jam dan lebih besar dibandingkan dengan menggunakan protein whey dengan konsentrasi 1-1,5% sekitar 0,010-0,014 gram/m2/jam (Al Awwaly dkk., 2010). Menurut Japanesse Industrial Standard (JIS) dalam Mindarwati (2006) plastik film yang baik untuk pengemasan makanan adalah film yang mempunyai nilai permeabilitas uap air maksimal 7 gr/ (m2/hari). Semakin tinggi konsentrasi sorbitol maka mempengaruhi laju transmisi uap air. Hal ini dikarenakan laju transmisi uap air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat kimia polimer dan struktur dasar polimer. Semakin besar kandungan polisakarida dan protein maka nilai laju transmisi uap air akan semakin besar, dimana polimer tersebut mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Penambahan plasticizier sorbitol cukup baik untuk menggurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekul (Widyaningsih dkk., 2012). Uji komposisi nutrisi pada edible film Komposisi edible film dengan menggunakan bahan baku limbah cair tahu (whey) sangat perlu diketahui agar dapat diketahui kandungan nutrisi yang terkandung pada edible film tersebut. Komposisi nutrisi pada edible film disajikan pada Tabel 1.
A82
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Tabel 1. Komposisi nutrisi pada edible film No. Parameter uji Metode uji 1. Protein Kjedahl 2. Karbohidrat Luff scoorl 3. Lemak Sokletasi 4. Air -
Hasil uji (%) 0,17 0,11 0,14 99,58
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat kandungan air sangat tinggi hal ini dikarenakan limbah cair tahu memiliki kandungan air yang tinggi dibandingkan kandungan protein, karbohidrat serta lemak. Pada penelitian ini konsentrasi limbah cair tahu (whey) yaitu 20 ml dengan variasi konsentrasi hidrokoloid serta plasticizier. Semakin tinggi konsentrasi limbah cair tahu maka kandungan nutrisi yang terdapat pada edible film akan semakin besar pula. Kusumawati dan Putri (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi pati jagung maka akan mempengaruhi kadar nutrisi pada edible film. Uji degradasi Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui laju degradasi dan tingkat ketahanan edible film terhadap mikroba pengurai, kelembaban tanah dan faktor fisika kimia yang terdapat pada tanah, sehingga dapat diperkirakan berapa lama edible film tersebut dapat terurai sempurna. Uji degradasi edible film berbahan dasar limbah cair tahu dilakukan dengan cara penguburan edible film dalam media tanah. Tanah yang digunakan pada penelitian ini yaitu tanah yang bersumber dari tempat pembuangan sampah. Pengujian dilakukan pada 25 sampel edible film. Penimbangan sampel dilakukan 2 hari sekali dalam 20 hari. Degradasi edible film ditandai dengan perubahan fisik pada edible film yaitu terbentuknya lubanglubang pada permukaan edible film mulai rapuh dan pecah. Widyaningsih, dkk (2012) menjelaskan bahwa degradasi polimer digunakan untuk menyatakan perubahan fisik akibat reaksi kimia yang mencakup pemutusan ikatan dalam molekul. Reaksi degradasi kimia dalam polimer linier menyebabkan turunnya berat molekul atau pemendekkan panjang rantai. Hasil uji degradasi pada salah satu sampel edible film disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji degradasi pada edible film dengan konsentrasi CMC 1% dan sorbitol 1% Hari 0 2 4 6 8 10
Pada Tabel 2. menunjukkan bahwa penambahan CMC dan sorbitol berpengaruh terhadap degradasi edible film. Hasil uji degradasi pada konsentrasi CMC 1% dan sorbitol 1%, menunjukkan proses terdegradasi sempurna pada hari ke-10. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi tersebut CMC dan sorbitol yang ditambahkan terbilang kecil, sehingga pemutusan rantai polimer oleh bakteri yang terdapat dalam tanah akan terjadi semakin cepat. Sedangkan pada konsentrasi CMC 9% dan sorbitol 5, 7 dan 9% pada hari ke-20 masih dalam keadaan tidak terurai sempurna dikarenakan konsentrasi CMC dan sorbitol yang tinggi. Dapat dilihat bahwa penambahan CMC dan sorbitol yang semakin tinggi dapat mempengaruhi laju degradasi pada edible film dimana semakin banyak CMC dan sorbitol yang ditambahkan, maka semakin lama waktu yang diperlukan oleh mikroba untuk memustuskan ikatan-ikatan pada struktur hidrokoloid dan plasticizier (Suryani dkk., 2005).
Aplikasi edible film pada makanan A83
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Sampai saat ini edible film telah banyak dipergunakan dalam proses penyimpanan makanan dan buah-buahan, maka dari itu perlu adanya pengujian langsung edible film pada makanan untuk melihat proses respirasi dan lamanya proses pembusukan yang terjadi pada makanan. Dalam hal ini buah nanas yang banyak mengandung air dan cepat membusuk apabila dibiarkan terlalu lama. Perbandingan buah nanas yang telah dikemas menggunakan edible film dengan tidak menggunakan edible film disajikan pada Gambar 5.
(a) (b) Gambar 5. tampak kanan (a) buah nanas yang dibungkus dengan plastik konvesional, tampak kiri (b) buah nanas yang dibungkus dengan edible film Pada Gambar 5. diatas menunjukkan pengemasan buah nanas dengan menggunakan plastik konvesional biasa dan edible film setelah 5 hari. Dapat dilihat bahwa buah nanas yang dibungkus dengan edible film tampak kering dan masih bagus dibandingkan dengan buah nanas yang dibungkus dengan plastik konvesional biasa yang menghasilkan buah nanas yang telah berair dan membusuk. Hal ini disebabkan edible film mampu menghambat proses pembusukkan dan memperpanjang umur simpan yang membuat edible film menyerap cairan yang ada pada buah nanas tersebut. Galus dan Kadzinska (2015) menjelaskan bahwa ketika menggunakan edible film untuk meminimalisir proses terjadinya pembusukkan pada buah, sebuah modifikasi atmosfer dapat terbentuk diantara buah yang akan mengurangi laju respirasi, dimana dalam hal ini protein dan multikomponen lainnya yang ditambahkan pada edible film akan membentuk tahanan yang baik terhadap substansi nonpolar seperti oksigen dan karbon dioksida. Uji Fourier Transform Infra Red (FTIR) Analisis spektroskopi inframerah bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi dari senyawa organik maupun anorganik. Dalam penelitian ini analisis spektroskopi inframerah digunakan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam sampel edible film berbasis limbah cair tahu. Edible film yang telah dibuat dianalisa gugus fungsi yang terdapat pada edible film, hasil FTIR tersebut disajikan pada Gambar 6 dan 7 serta pada Tabel 3 dan 4.
Gambar 6. Spektrum FTIR edible film dengan konsentrasi limbah cair tahu (whey) 20 ml, hidrokoloid 1 % dan plasticizier 1%
A84
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Gambar 7. Spektrum FTIR edible film dengan konsentrasi limbah cair tahu (whey) 20 ml, hidrokoloid 1 % dan plasticizier 3% Tabel 3. Analisis FTIR edible film dengan konsentrasi limbah cair tahu (whey) 20 ml, hidrokoloid 1 % dan plasticizier 1% Pustaka(Skoog, Holler, Nieman., 1998 dalam Zulferiyenni dkk., 2014) 3200-3600 2850-2970 2100-2260 1610-1680 1340-1470 690-900
Gugus Fungsi O-H Alkohol ikatan hydrogen C-H Alkana C≡C Alkuna C=C Alkena C-H Alkana C-H Cincin Aromatik
Bilangan Gelombang (cm-1) 3232,7 2929,87 2150,63 1641,42 1355,96 864,11
Tabel 4. Analisis FTIR edible film dengan konsentrasi limbah cair tahu (whey) 20 ml, hidrokoloid 1 % dan plasticizier 3 % Pustaka (Skoog, Holler, Nieman., Bilangan Gelombang Gugus Fungsi 1998 dalam Zulferiyenni (cm-1) dkk., 2014) 3200-3600 O-H Alkohol ikatan 3321,42 hydrogen 2850-2970 C-H Alkana 2870,08 O-H Ikatan Hidrogen Asam 2500-2700 2565.33 Karboksilat 2100-2260 C≡C Alkuna 2140,99 1610-1680 C=C Alkena 1666,5 1500-1600 C=C Cincin Aromatik 1510,26 1340-1470 C-H Alkana 1354.03 690-900 C-H Cincin Aromatik 883,4 Dari Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa dengan adanya variasi konsentrasi plasticizier diperoleh beberapa puncak vibrasi yang khas dari suatu molekul selulosa, seperti gugus fungsi hidroksil (-OH) pada daerah gelombang 3232,7-3321,42 cm -1, C-H aromatik pada daerah 864,11-1510,26 cm-1 dan C≡C alkuna pada daerah 2150,63-2140,99 cm-1. Daerah gelombang untuk Untuk gugus fungsi lainnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Pada edible film dengan konsentrasi sorbitol 3% tidak menggalami perubahan gugus fungsi, namun hanya terjadi perubahan puncak vibrasi saja yaitu gugus fungsi hidroksil (-OH) pada daerah gelombang 3321,42 cm-1, C-H aromatik pada daerah 1500-1600 cm-1 dan C≡C alkuna pada daerah 2140,99 cm-1. Jika dilihat dari spektrum FTIR yang terbaca pada Gambar 4.6 dan 4.7, pada proses pembentukan edible film tidak ada gugus fungsi baru yang terbentuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa edible film yang dihasilkan merupakan proses pencampuran (blending) secara fisika.
A85
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Kesimpulan Karakteristik dan kinerja edible film dipengaruhi oleh perlakuan dalam pembuatan edible film. Pada penelitian ini edible film dimodifikasi dengan penambahan hidrokoloid dan plasticizier. Berdasarkan hasil analisa edible film dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Penambahan hidrokoloid dan plasticizier pada edible film sangat berpengaruh terhadap kualitas edible film. Hal ini terbukti pada pengujian sifat mekanik yaitu pada uji tensile srenght diperoleh nilai berkisar 2,84-5,39 kgf/mm 2 dan pada uji elongasi nilai yang diperoleh berkisar 11,16 – 49,55% serta pada uji ketebalan berkisar 0,001-0,05 mm. 2. Nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang paling optimum yaitu dengan konsentrasi CMC 3%-5%. Pada konsentrasi CMC 3 % dengan konsentrasi sorbitol 1, 3 dan 5% diperoleh nilai laju transmisi uap air berturut-turut yaitu 2,60 gram/m2/jam; 2,27 gram/m2/jam dan 3,25 gram/m2/jam. Sedangkan pada konsentrasi CMC 5% diperoleh nilai laju transmisi uap air berturut-turut adalah 1,78 gram/m2/jam; 2,68 gram/m2/jam dan 2,92 gram/m2/jam. 3. Edible film dapat memperpanjang umur simpan suatu makanan, hal ini dapat dilihat bahwa buah nanas yang dibungkus dengan edible film tampak kering dan masih bagus dibandingkan dengan buah nanas yang dibungkus dengan plastik konvesional biasa. Sedangkan pada uji degradasi didapatkan bahwa rata-rata edible film dapat terdegradasi dalam waktu yang cepat dibandingkan dengan plastik konvesional biasa. Ucapan Terimakasih Kami mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Darmadi, MT selaku ketua jurusan teknik kimia, ibu Dr. Hesti Meilina, S.T., Msi selaku dosen pembimbing penelitian, ibu Dr. Sri Aprilia, S.T., MT selaku co pembimbing penelitian, bapak Dr. Fauzi, S.T., MT selaku koordinator penelitian dan laboran teknik kimia universitas syiah kuala. Daftar Pustaka Al Awwaly, K. U., Manab, A dan Wahyuni, E. 2010. Pembuatan Edible Film Protein Whey: Kajian Rasio Protein dan Gliserol Terhadap Sifat Fisik dan Kimia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, 5(1) : 45-56. Bourtoom, T. 2008. Edible Film and Coatings: characteristics and properties. International Food Journal, 15 (3) : 237-248. Darni, Y dan Utami, H. (2010). Studi Pembuatan dan Karakteristik Sifat Mekanik dan Hidrofobisitas Bioplastik dari Pati Sorgum. Jurnal Rekaya Kimia dan Lingkungan, 7 (4) : 88-93. Galus, S dan Kadzinska, J. 2015. Food Applications Of Emulsion-Based Edible Film and Coatings. Trends in Food Science & Technology 45 :273-283. Gounga, M. E., Xu, S. Y dan Wang, Z. 2007. Whey protein isolate-based edible films as affected by protein concentration, glycerol ratio and pullulan addition in film formation. Engineering Food Journal, 83 : 521- 530. Krisna, D. D. 2011. Pengaruh Regelatinasi dan Modifikasi Hidrotermal Terhadap Sifat Fisik pada Pembuatan Edible Film dari Pati Kacang Merah (Vigna Angularis Sp.).Tesis Program Studi Magister Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. Kusnadi, J. P dan Budyanto. 2013. Formulasi edible film antibacterial active packaging dengan penambahan ekstrak antibakteri daun jati, Skripsi Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang. Kusumawati, D. H dan Putri, W. D. R. 2013. Karakteristik fisik dan kimia edible film pati jagung yang di inkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 1(1): 90-100. Magfiroh, Sumarni, W. dan Susatyo, E. B. 2013. Sintesis dan Karakterisasi Edible Film Kitosan Termodifikasi PVA dan Sorbitol. Journal of Chemical Science, 2 (1). Mali, S. M. V. E., Grossmann, M. A., Garcia, M. N., Martino dan N. E. Zaritzky. 2004. Barrier, Mechanical And Optical Properties Of Plasticized Yam Starch Film. Carbohydrate Polymers, : 129-135. McHugh T. H dan Sanesi E, 2000. A Novel Method to Improve the Quality and Extend the Shelf Life of Fresh-Cut Apples. Journal Food Science. 56 (3) : 480-485.
A86
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Mindarwati, M. 2006. Kajian pembuatan edible film komposit dari karagenan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prihatiningsih, N. 2000. Pengaruh penambahan sorbitol dan asam palmitat terhadap ketebalan film dan sifat mekanik edible film dari zein. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Skripsi. Roiyana, M. Izzati, M dan Prihastani, E. 2012. Potensi dan Efisiensi Senyawa Hidrokoloid Nabati Sebagai Bahan Penunda Pematangan Buah. Jurusan Biologi, Fakultas Sains danMatematik. Universitas Diponegoro. Siswanti. 2008. Karakteristik Edibel Film Dari Tepung Komposit Glukomanan Umbi Iles-iles (Amorphopallus Muelleri Blume) dan Tepung Maizena. Skripsi. UNS. Surakarta. Suryani, A., Hanbali, E dan Hidayat, E. 2005. Aneka Produk Film Olahan Limbah Ikan dan Udang. Penebar Swadaya. Jakarta Warkoyo, B., Rahardjo, D. W., Marseno, J. N. W dan Karyadi. 2014. Sifat fisik, mekanik dan barrier edible film berbasis pati umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang diinkorporasi dengan kalium sorbat. Agritech, 34(1): 72-81. Widyaningsih, S., Dwi K dan Yuni T. N. 2012. Pengaruh Penambahan Sorbitol dan Kalsium Karbonat Terhadap Karakteristik dan Sifat Biodegradasi Film dari Pati Kulit Pisang. 7 (1) : 69-81. Wirawan, S. K. A dan Prasetya, E. 2012. Pengaruh plasticizer pada karakteristik edible film dari pektin. Jurnal Food Science, 14 (1) : 61-67. Yahya, L.A.2013.http://lebak-kauman.blogspot.co.id/2013/02/pemanfaatan-limbah-cairtahu-sebagai.html (28 Maret 2017). Zulferiyenni, Marniza dan Sari, E. N. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Tapioka Terhadap Karakteristik Biodegradable Film Berbasis Ampas Rumput Laut. Jurnal teknologi dan Industri Hasil Pertanian, 19 (3) : 257-273.
A87