Pusat Penelitian Informatika - LIPI
PENGECORAN SUDU TURBIN AIR AKSIAL KAPASITAS DAYA 102 kW DENGAN BAHAN PADUAN TEMBAGA ALLOY 8A Agus Salim Peneliti pada Bidang Peralatan Transportasi Puslit Telimek LIPI
ABSTRAK Telah dilakukan pengecoran sudu turbin air tipe aksial dengan bahan paduan tembaga alloy 8A. Pemilihan jenis bahan ini didasarkan atas sifat ketahanan korosinya yang baik di lingkungan air tawar dan sifat mekaniknya yang unggul. Perencanaan dan pelaksanaan proses pengecoran memberikan hasil yang cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan pengujian laboratorium yang meliputi pemeriksaan porositas, uji kekerasan, uji tarik dan struktur mikro. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa produk hasil coran bebas dari cacat rongga atau keropos dengan sifat bahan sebagai berikut: kekuatan tarik (σu) 41,9 kg/mm2, kekuatan luluh (σy) 23,5 kg/ mm2, kekerasan 102 BHN dan kekasaran butir 12µm.
PENDAHULUAN Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan pemilihan bahan dan perencanaan proses untuk membuat sudu turbin air tipe aksial melalui proses pengecoran. Sudu turbin merupakan komponen utama untuk mengubah energi aliran air menjadi energi putaran poros (Nengah, Diasta I., 1991), sehingga dalam menjalankan fungsi tersebut, sudu harus dapat mengatasi beban mekanik yang diterimanya serta harus memiliki ketahanan korosi yang baik di lingkungan air tawar. Salah satu material yang memenuhi persyaratan tersebut adalah paduan tembaga alloy 8A (American Society for Metals, 1985). Paduan ini juga sering disebut dengan High Strength Brass Casting atau Manganese Bronze. Bahan ini memiliki komposisi paduan sebagai berikut (American Society for Metals, 1985) : Cu (55,0%-60,0%); Fe (0,4% - 2,0%); Al (0,5% - 1,5%); Mn (1,5% maks.); Pb (0,3% maks.); Sn (1,0% maks.); Ni (0,5% maks.); Zn (35,0% - 40%). Beberapa sifat mekaniknya adalah1: kekuatan tarik (σu) = 49,3kg/mm2; kekuatan luluh (σy)= 19,6kg/mm2; perpanjangan= 30%; kekerasan = 98 BHN; kekuatan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Teknik
1
Bandung, 29 – 30 Juli 2003
impak = 43,4Nm; kekuatan lelah = 14,9kg/mm2. Material ini memiliki ketahanan korosi yang baik di lingkungan air tawar maupun air laut yang tidak mengandung asam (American Society for Metals, 1985).
PERENCANAAN PROSES Paduan HBsC memiliki sifat mampu cor yang relatif rendah (AFS, 1965) karena adanya beberapa unsur paduan yang mudah teroksidasi membentuk kotoran seperti alumunium, seng dan timah, sehingga sistem saluran harus direncanakan dengan hati-hati agar mampu mencegah masuknya kotoran kedalam rongga cetak. Penyusutan yang besar dari paduan ini (4,5% volume) menuntut perencanaan riser atau penambah yang memadai agar hasil coran terbebas dari cacat rongga penyusutan. Paduan ini memiliki karakteristik pembekuan progresif atau tipe pembekuan kulit. Kelompok paduan ini memiliki hambatan penambahan cairan (CFR) yang rendah (AFS, 1965) atau memiliki efektifitas penambah yang lebih besar. Paduan HBsC memiliki CFR 26%, angka ini relatif kecil dibandingkan baja yang memilki harga 54% (AFS, 1965). Perencanaan Penambah Dalam perencanaan penambah harus diperhatikan dua hal yaitu ukuran penambah dan penempatannya. Riser harus menjamin tersedianya cairan sebagai penambah selama proses pembekuan benda cor berlangsung. Hal ini dapat dipenuhi jika ukuran riser sedemikian rupa sehingga riser membeku lebih lambat dibandingkan dengan benda kerja. Sedangkan penempatan riser harus diperhatikan agar riser tetap mampu mensuplai cairan hingga ke bagian benda yang terakhir membeku. Kecepatan pembekuan berbanding dengan kuadrat rasio volume coran dengan luas kulitnya atau sering disebut dengan modul, dengan demikian penentuan ukuran riser ditentukan oleh parameter ini. Jika benda kerja berbentuk pelat maka besaran modul dapat diwakili dengan tebal pelat. Dengan prinsip yang sama Naval Reseach Laboratory (Richard, A. Flin, 1963) mengembangkan metoda perhitungan riser dengan menggunakan bilangan factor bentuk (fb) yang dihitung dengan persamaan berikut: fb = (panjang + lebar)/ tebal
2
Pemaparan Hasil Litbang 2003
Pusat Penelitian Informatika - LIPI
Gambar 1. Dengan panjang, lebar dan tebal sudu berturut-turut adalah 272mm, 164mm dan 25mm, maka factor bentuk dari sudu adalah : (272+164)/25 = 17,4. Dari gambar 1a dapat ditentukan perbandingan volume riser dengan volume benda kerja (Vr /Vc) = 0,3. Dengan volume coran = 0,78 liter, maka volume riser = 0,235 liter. Dari
gambar 1b dengan mengambil
perbandingan antara tinggi dan diameter riser sama dengan satu maka volume riser dapat dipenuhi dengan diameter dan tinggi riser sebesar 70 mm. Selanjutnya perlu ditentukan dimensi sambungan riser dengan benda kerja atau disebut dengan riser neck agar tidak terjadi pembekuan dini pada daerah tersebut. Berdasarkan gambar 2, ditentukan ukuran penampang sambungan riser 30mm x 30mm, dengan panjang 20mm.
Gambar 2. Sambungan riser
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Teknik
3
Bandung, 29 – 30 Juli 2003
Penempatan riser dipilih pada daerah pangkal sudu. Pemilihan ini didasarkan pada bentuk sudu yang ketebalannya semakin membesar kearah pangkal sudu, sehingga daerah tersebut akan membeku paling akhir. Perencanaan Sistem Saluran Yang pertama harus dilakukan dalam merencanakan sistem saluran adalah penentuan waktu tuang agar tidak terjadi penyumbatan dingin akibat pembekuan aliran logam cair ditengah jalan. Waktu penuangan ini dapat ditentukan dengan persamaan (Richard, A. Flin, 1963) : tf = k . w1/2 Dengan konstanta k untuk paduan tembaga = 1,3 dan berat coran w =30,8 lb maka lama waktu penuangan adalah 7,1 detik. Dengan waktu penuangan tersebut selanjutnya dapat dihitung luas penampang saluran masuk, Ag melalui persamaan berikut (Richard, A. Flin, 1963) Ag=
2. Am ( ht − ht − hm ) n.t f 2 g
Dengan mengetahui luas proyeksi daun sudu (Am)= 41114,8 mm2; tinggi saluran turun (ht) = 100mm; tebal benda (hm) = 25 mm dengan jumlah saluran masuk,n=2 maka luas penampang terkecil dari saluran adalah 190 mm2 atau dibulatkan menjadi 200 mm2. Saluran masuk ini ditempatkan pada daerah pangkal sudu dan ujung sudu untuk menghidari jarak pengisian yang terlalu jauh. Luas penampang saluran pengalir atau runner ditetapkan sebesar dua kali saluran masuk dengan tujuan untuk menurunkan laju aliran sehingga memberi kesempatan terjadinya pemisahan kotoran dari logam cair. Penempatan saluran masuk pada riser dibuat pada arah tangensial agar terjadi efek pusaran atau swirl sehingga kotoran yang umumnya lebih ringan dari cairan logam tidak terbawa masuk kedalam rongga cetakan. PELAKSANAAN PROSES Pembuatan Cetakan Cetakan dibuat dari jenis green sand dengan komposisi bentonit 8%; kadar air 5% yang memberikan kekuatan basah 8,2 psi dan skala permeabilitas 51. Kondisi ini sesuai dengan rekomendasi AFS untuk cetakan paduan tembaga. Cetakan dibuat dengan cara manual atau hand molding karena pola yang digunakan berupa pola lepas dengan permukaan pisah yang tidak rata. 4
Pemaparan Hasil Litbang 2003
Pusat Penelitian Informatika - LIPI
Peleburan dan Pemaduan Peleburan dilakukan dengan menggunakan tungku kapasitas 200kg berbahan bakar minyak solar. Untuk membuat paduan HBsC seberat 200 kg digunakan bahan dasar scrap kuningan 35%Zn dengan komposisi muatan bahan baku sebagai berikut: 185 kg kuningan; 4kg Fe; 3kg Al; 3kg Mn; 2kg Sn; 1kg Ni dan 5,6kg Zn. Setelah tungku dipanaskan, bahan dasar kuningan dimasukkan sampai mencair pada temperatur 950oC. Setelah temperatur mencapai 1000oC, Fe dan Ni dimasukkan terlebih dahulu sebelum unsur paduan lainnya dengan alasan titik leburnya yang relatif lebih tinggi akan tetapi kurang reaktif terhadap oksidasi. Setelah itu dilakukan proses deoksidasi selama kurang lebih 5 menit untuk mengurangi jumlah oksigen terlarut yang kemudian diikuti dengan menambahkan unsur-unsur paduan lainnya. Penambahan seng dilebihkan sebanyak 5% untuk mengkompensasi kehilangan akibat terjadinya flaring yaitu terbakarnya uap seng pada saat temperatur mencapai titik didihnya. Pendidihan seng ini bermanfaat mengurangi jumlah gasgas yang terlarut dalam logam cair sebelum proses penuangan. Setelah dilakukan pengadukan secukupnya, temperatur dinaikkan mencapai 1150oC atau 50oC lebih tinggi dari temperatur penuangan, setelah itu dilakukan penuangan.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan sampel dengan spektrometer memberikan komposisi paduan sebagai berikut: Zn 38%; Fe 2,3%; Al 1,3%; Mn 1,4; Pb 0,6%; Sn 1,8%; Ni 0,5%; Cu sisanya. Hasil pemeriksaan dengan uji tarik dan uji kekerasan pada sampel yang dibuat terpisah adalah sebagai berikut: Sifat mekanik Kekerasan Kekuatan tarik, (σu) Kekutan luluh (σy) Elongasi
Sampel 102BHN
HBsC Alloy 8A 98BHN
41,9kg/mm2
49kg/mm2
23,5kg/mm2 16,3%
19,6kg/mm2 30%
Pemeriksaan komposisi menunjukkan hasil yang mendekati paduan HBsC kecuali unsur Fe, Pb dan Sn yang menunjukkan penyimpangan sedikit lebih besar. Masuknya unsur Fe yang berlebih kemungkinan berasal dari sisa-sisa besi yang terdapat pada ladel penuang. Kedeputian Ilmu Pengetahuan Teknik
5
Bandung, 29 – 30 Juli 2003
Sedangkan kelebihan Pb dan Sn dapat berasal dari scrap bahan baku kuningan yang digunakan. Pengujian mekanik menunjukkan kekerasan dan kekuatan luluh yang lebih tinggi. Dari kekerasan dan kekuatan luluh yang lebih tinggi tersebut, material seharusnya memiliki kekuatan tarik yang lebih tinggi pula. Akan tetapi hasil uji tarik menunjukkan hasil yang sebaliknya. Setelah dilakukan pengamatan lebih lanjut ditemukan adanya cacat pengecoran berupa makroinklusi pada permukaan patahan spesimen uji tarik. Hal ini diduga sebagai penyebab diperolehnya data kekuatan tarik yang lebih rendah.
Gambar 3. Hasil cor dengan saluran Pemeriksaan cacat rongga dilakukan dengan cara membelah salah satu benda kerja hasil pengecoran pada daerah yang memiliki resiko terjadinya cacat paling besar yaitu potongan melintang pada arah sumbu tangkai sudu. Pemeriksaan visual tidak menunjukkan adanya cacat rongga pada seluruh bidang potong. Dengan pembesaran 40x menunjukkan adanya mikroporositas dengan diameter kurang 25 µm yang terdapat pada sambungan pangkal sudu dengan poros tangkai, dimana pada posisi tersebut merupakan daerah hot spot atau pusat panas. Foto mikro dengan pembesaran 160x memperlihatkan besar butir rata-rata 12µm. Ukuran butir ini lebih halus dibandingkan dengan bahan kuningan yang digunakan sebagai bahan baku. Hal ini membuktikan efek penghalusan butir dapat dicapai dengan proses pemaduan. Kekuatan yang lebih tinggi dari paduan HBsC dibanding paduan kuningan, diakibatkan oleh dua hal2). Metoda penguatan yang pertama adalah dengan penghalusan butir yang dilakukan 6
Pemaparan Hasil Litbang 2003
Pusat Penelitian Informatika - LIPI
dengan cara menambahkan unsur Fe yang berfungsi sebagai inokulan, cara yang kedua adalah penambahan unsur Al yang berfungsi untuk meningkatkan terbentuknya fasa β yang keras.
KESIMPULAN DAN SARAN Perencanaan proses telah menghasilkan produk yang bebas dari cacat makroporitas baik di permukaan maupun di dalam coran. Komposisi unsur paduan dan sifat mekanik material kurang menunjukkan kesesuaian dengan standar alloy 8A sebagaimana yang ditunjukkan pada hasil pemeriksaan Pemeriksaan metalografi menunjukkan besar butir yang lebih halus dibandingkan dengan bahan kuningan 35%Zn Perlu dilakukan uji tarik ulang dengan menggunakan sampel yang bebas dari cacat coran.
DAFTAR PUSTAKA American Society for Metals, (1985), “Metals Handbook”, Vol.I, ninth edition. AFS, (1965), “Copper base Alloy Foundry Practice”, third edition, USA. Richard,A. Flin, (1963), “Fundamental of Metal Casting”, second edition, Wesley Publishing Company, USA. Nengah, Diasta I., (1991), “Perencanaan Turbin Air Aksial dengan CAD”, Tugas Akhir, Teknik Mesin ITB.
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Teknik
7