PENGATURAN PERJANJIAN LISENSI BROADCASTING RIGHT KARYA SIARAN DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN1 Ni Ketut Supasti Dharmawan, Ida Ayu Sukihana, Anak Agung Sri Indrawati 2
Abstrak Dalam perkembangan dunia global, perjanjian lisensi berkaitan dengan Broadcastingmedia right atau hak siar atas suatu karya siaran menjadi sangat penting untuk didiskusikan khususnya dalam konteks lintas Negara karena pengaturannya tidak senantiasa selalu sama antara satu Negara dengan Negara lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) mengatur Lembaga Penyiaran mempunyai hak ekonomi serta setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran. UUHC mengatur bahwa pemilik Hak Terkait berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis dan wajib dicatatkan dalam daftar umum perjanjian lisensi Hak Cipta. Perjanjian lisensi yang tidak dicatat, tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. TRIPs Agreement maupun WPPT tidak mengatur secara spesifik tentang kewajiban bentuk tertulis maupun pendaftaran lisensi agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Dibandingkan dengan Singapure Commercial Law Ch 12 : Intellectual Property Law meskipun juga tidak mempersyaratkan lisensi dibuat secara tertulis namun sangat menganjurkan agar lisensi Hak Cipta dibuat dalam bentuk tertulis. Pemahaman tentang pengaturan perjanjian lisensi tentang Broadcasting Right dari Lembaga Penyiaran di satu sisi penting untuk disosialisasikan seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat canggih yang memudahkan pihakpihak melakukan publikasi atau siaran atas karya siaran, serta di sisi lain pemahaman terhadap sifat dasar perikatan perdata yang berbasis pada kesepakatan para pihak (hubungan privat). Sementara itu, dalam konteks perjanjian lisensi Hak Cipta juga tunduk pada pengaturan secara publik. Kata Kunci Perjanjian Lisensi, Broadcasting Right, Hak Cipta, Hak Terkait, Perikatan Perdata.
1
Artikel ini telah diseminarkan dalam Konferensi Nasional Hukum Perdata II “Karakteristik Hukum Perikatan Indonesia Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional”, diselenggarakan atas kerjasama FH UNUD dengan APHK pada tanggal 16-17 April 2015 di FH UNUD Denpasar Bali. 2 Tim Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
1
Pendahuluan Hukum yang berkaitan dengan Hak Cipta pada awalnya lebih banyak berfokus pada perlindungan atas karya cipta dari pencipta. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perlindungan hukum Hak Cipta lingkupnya tidak hanya mencakup Hak Cipta namun juga mencakup perlindungan terhadap Hak Terkait. Keberadaan Hak Terkait (Neighboring Rights) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Hak Cipta itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC) dapat diketahui bahwa yang dimaksud Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram atau Lembaga Penyiaran. Tercipta dan berkembangnya berbagai karya cipta seperti film, sinematografi, video, serta karya petunjukkan dapat dikemukakan berbanding lurus dengan tumbuh dan berkembangnya Lembaga Penyiaran/Organisasi Penyiaran di era globalisasi sekarang ini. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat juga berkolerasi penting dengan perlindungan dan penegakan hukum Hak Cipta, termasuk didalamnya Hak Terkait, khususnya terhadap karya siaran yang ditayangkan melalui media televisi oleh suatu Lembaga Penyiaran. Dalam praktiknya muncul berbagai persoalan hukum yang berkaitan dengan Hak Terkait, yaitu perlindungan atas Hak Siar suatu Lembaga Penyiaran, terutama pada saat suatu Lembaga Penyiaran telah memiliki Hak Siar berdasarkan perjanjian lisensi atas suatu karya cipta seperti film, atau event tertentu yang direkam ternyata ada pihak lain yang memanfaatkan secara komersial Hak Siar tersebut. Beberapa tulisan yang mengkaji perlindungan hukum bagi penerima lisensi Hak Terkait dalam bidang karya siaran diantaranya adalah kajian tentang perlindungan hukum bagi RCTI dan MNC Sky Vision sebagai pemegang Lisensi Media Right EURO 2012,3 serta kajian tentang 33
Georgina Tirza Sappetaw, 2015, Perlindungan Hukum Bagi RCTI dan MNC SKY Vision Selaku Pemegang Lisensi Media right Dan Official Broadcaster EURO 2012 Di Indonesia Atas
2
pelaksanaan perjanjian lisensi hak siar antara televisi swasta dengan rumah produksi dalam suatu kegiatan penyiaran secara rinci dan lengkap.4 Kajian tersebut lebih menitikberatkan pembahasan perlindungan hukum bagi penerima lisensi berkaitan dengan hak penyiaran. Sesungguhnya persoalan hukum yang berkaitan dengan perlindungan Hak Cipta termasuk didalamnya Hak Terkait di bidang Broadcasting Right atau Hak Penyiaran dalam dimensi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, tidak hanya penting dikaji hanya dari sisi pemberi lisensi maupun penerima lisensi atas karya siaran, namun juga sangat penting untuk memperhatikan perlindungan dan kepentingan dari masyarakat maupun pihak yang menikmati serta memanfaatkan karya siaran tersebut. Kajian yang komprehensif yang mengkaji bagaimana batasannya sebuah karya siaran dikategorikan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, apakah masyarakat memiliki kewajiban selalu mematuhi perjanjian lisensi yang dibuat hanya oleh para pihak, apakah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu mengikat masyarakat atau pihak ketiga, kapan pihak yang telah melisensi suatu karya yang mendapat perlindungan Hak Cipta maupun karya Hak Terkait mengikat pihak ketiga serta bagaimana mekanismenya. Kajian-kajian komprehensif yang mencoba mengkaji tidak hanya pemilik Hak Cipta namun juga masyarakat yang menggunakan maupun memanfaatkan karya cipta menjadi penting untuk dilakukan agar keberpihakan kepada semua pihak dalam rangka meningkatkan kepekaan terhadap social justice semakin tumbuh di Negeri Indonesia ini yang selalu dikomentari mengalami keterpurukan dalam soal berhukum.
Komersialisasi (Nonton Bareng) Oleh Pihak Lain Tanpa Izin, Jurnal Hukum, http://repository.unhas.ac.id, diakses tanggal 8 Juni 2015. 4 Lestanti & Andhika Furi, Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Siar Antara televise swasta dengan rumah Produksi: Study Kasus, http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian, diakses 8 Juni 2015.
3
Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini berfokus pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
pengaturan
lisensi
berkaitan
dengan
Hak
Penyiaran
(Broadcasting Right) atas karya siaran? 2. Bagaimanakah kekuatan mengikat perjanjian lisensi berkaitan dengan Broadcasting Right bagi pihak ketiga? Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normative (normative legal research), dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), serta pendekatan perbandingan (comparative approach), dengan meneliti bahan-bahan hukum yaitu: TRIPs Agreement, US Copyright Act, Singapore Copyright Act, Malaysia Copyright Act, WIPO, WPPT, serta U.U. No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Analisis bahan hukum menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Pengaturan Perjanjian Lisensi Berkaitan Dengan Broadcasting Right: Studi Keseimbangan Perlindungan antara Pencipta dengan Masyarakat Pengguna Dalam ranah hukum kekayaan intelektual khususnya bidang hukum hak cipta, perjanjian lisensi merupakan
salah satu mekanisme
untuk melindungi pihak
pencipta yang berdasarkan kemampuan intelektualnya serta kreatifitasnya mampu menghasilkan karya-karya cipta yang bermanfaat seperti buku, program komputer, film, senamatografi,
maupun karya cipta lainnya. Keberadaan perjanjian lisensi
sangat berperan untuk melindungi pencipta dalam mendapatkan perlindungan Hak Ekonomi manakala karyanya dipergunakan oleh pihak lainnya untuk tujuan yang 4
bersifat komersial. Namun demikian, mekanisme perlindungan yang disediakan oleh rezim hukum kekayaan intelektual termasuk di dalamnya perjanjian lisensi, jangan menjadi sarana perlindungan hanya bagi pencipta maupun pemilik hak kekayaan intelektual lainnya, namun secara seimbang juga mampu melindungi masyarakat pengguna dari karya-karya tersebut. Sebagai bagian kajian yang mencoba mengkaitkan antara perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dengan Hak Asasi Manusia, Susan Corbett mengemukakan bahwa sesungguhnya berdasarkan ketentuan Article 27 the Universal Declaration of Human Rights (the UDHR) telah memberikan perlindungan HAM yang seimbang (a balance protection) antara perlindungan HAM secara individual
dalam konteks perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
kepada para inventor maupun pencipta di satu sisi, serta memberikan perlindungan HAM
di sisi yang lain bagi masyarakat banyak untuk mendapatkan akses atas
penggunaan karya-karya (creative works).5 Kolaborasi antara pendekatan studi HAM dengan rezim hukum HKI kiranya dapat dijadikan fondasi bagi terciptanya keseimbangan hak antara reward disatu sisi bagi para pencipta yang telah menghasilkan karya-karya intelektual yang sangat kreatif dan bermanfaat, serta kepentingan masyarakat di sisi yang lain untuk mendapatkan akses dalam menggunakan karya tersebut. Landasan hukum terciptanya a balance of right selain dapat dicermati dari UDHR, ICCPR, maupun ICESCR, juga dapat dicermati dari the General Comment No. 17 yang mengatur: Human Rights are fundamental, inalienable and universal entitlements belonging to individual and under certain circumstances, groups of individuals and communities..... Although the wording of Article 15, paragraph 1(c), generally refers to the individual creator (“everyone”, “he”, “author”), the right to benefit from the protection of the moral and material interest resulting from one’s scientific, literary or artistic productions can, under certain circumstances, also be enjoyed by groups of individuals or by
5
Susan Corbett, 2006, A Human Rights Perspective on the Database Debate, E.I.P.R., p. 8.
5
communities6.
Dalam
konteks
keseimbangan
perlindungan
akses
dalam
memanfaatkan serta menikmati karya-karya intelektual, maka sudah selayaknya pengaturan perjanjian lisensi dalam bidang HKI termasuk didalamnya Hak Cipta yang berkaitan dengan karya siaran mampu mengakomodir kepentingan para pihak dalam perjanjian lisensi tersebut juga masyarakat luas. Perjanjian lisensi berkaitan dengan Hak Cipta atas karya ciptaan maupun Hak Terkait atas produk Hak Terkait di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC 2014), khususnya melalui Pasal 1 angka 20 serta Pasal 80 sampai Pasal 86. Berdasarkan Pasal 1 angka 20 UUHC 2014 diatur bahwa Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Dalam perjanjian lisensi syarat tertentu umumnya berkaitan dengan substansi-substansi apa saja yang diatur maupun disepakati dalam perjanjian tersebut. Ada beberapa substansi yang umumnya disepakati dalam perjanjian lisensi misalnya dalam lisensi penerbitan buku substansi yang diatur diantaranya meliputi: hak memperbanyak suatu karya tulis, hak mengumumkan karya tulis dengan cara pembacaan, penyiaran atau penyebaran dengan cara apapun sehingga dapat dibaca, didengar maupun dilihat orang lain, hak mengalihkan ciptaan karya tulis menjadi ciptaan derivative misalnya dalam bentuk karya film sinetron yang disiarkan oleh televisi, serta hak untuk menampilkan, memperagakan maupun mendeklamasikan karya tersebut di muka umum. 7 Di Indonesia sekarang ini melalui UUHC 2014 secara melalui ketentuan Pasal 3 secara tegas diatur tentang cakupan dari UUHC 2014 mengatur tentang Hak Cipta dan Hak Terkait. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHC 2014 dapat diketahui bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata 6
Peter K Yu, 2007, Challenges to the Development of a Human rights Framework for Intellectual Property, p. 97. Adopted from Reconceptualising Intellectual Property Interests in a Human Rights Framework, US Davis Law Review 40, p. 1039-1149. 7 Eddy Damian, 2005, Hukum Hak Cipta, PT Alumni, Bandung, h. 210.
6
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 jo Pasal 20 UUHC 2014 dapat diketahui bahwa Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif yaitu hak moral bagi pelaku pertunjukan, hak eksklusif yaitu hak ekonomi Pelaku Pertunjukan, hak eksklusif yaitu hak ekonomi Produser Fonogram, serta hak eksklusif yang meliputi hak ekonomi Lembaga Penyiaran. Adapun Hak Ekonomi dari Lembaga Penyiaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 UUHC 2014 meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran, dan/atau penggandaan fiksasi siaran. Lebih lanjut penegasan tentang perlindungan kepada pemegang Hak Terkait berhubungan dengan Broadcasting Right atas karya-karya siaran diatur melalui Pasal 25 (3) UUHC 2014 yang mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran. Pemanfaatan produk Hak Terkait seperti produk siaran yang dipegang suatu Lembaga Penyiaran Televisi untuk kepentingan komersial menjadi kajian penting serta hangat diperdebatkan seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Dimensi perlindungan serta praktik penegakan hukum Hak Cipta variannya semakin komplek, pertanyaan-pertanyaan kritis diajukan seperti: siapa yang mempunyai hak penyiarannya atas perekaman / pembuatan film atas karya pertunjukan seni Drama Tari dalam suatu pementasan / pertunjukan yang kemudian disiarkan?, begitu juga misalnya event pertandingan sepak bola siapa yang berhak menyiarkan, apakah hanya satu Lembaga Penyiaran yang berhak menyiarkan ? apakah hotel, restaurant atau warung klontong atau warung makan yang kebetulan menyetel TV yang sedang menyiarkan suatu event sepak bola ditonton oleh para pembelinya termasuk dalam kategori telah memanfaatkan produk Hak TerkaitBroadcasting Right secara komersial? Broadcasting Right atau yang di Indonesia juga dikenal dengan sebutan Media Right, yaitu Hak Penyiaran berkaitan dengan konten karya siaran secara tegas 7
dilindungi terutama dalam konteks penggunaan secara komersial. Adapun yang dimaksud dengan penggunaan secara komersial adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Dalam konteks pemanfaatan seperti itu maka pihak yang memanfaatkannya wajib mendapat izin dari pemilik maupun pemegangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 25 (3) UUHC 2014. Pemberian izin sebagai salah satu bentuk perlindungan diformulasikan dalam bentuk Perjanjian Lisensi. Secara lebih detail tentang Lisensi dan Lisensi Wajib baik bagi pencipta atau pemilik Hak Terkait diatur dalam Pasal 80 sampai Pasal 86 UUHC 2014. Pasal 80 UUHC mengatur bahwa: (1) Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2). (2) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama jangka waktu tertentu dan tidak melebihi masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait. (3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai kewajiban penerima Lisensi untuk memberikan Royalti kepada Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait selama jangka waktu Lisensi. (4) Penentuan besaran Royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pemberian Royalti dilakukan berdasarkan perjanjian Lisensi antara Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dan penerima Lisensi. (5) Besaran Royalti dalam perjanjian Lisensi harus ditetapkan berdasarkan kelaziman praktik yang berlaku dan memenuhi unsur keadilan. Dengan mencermati ketentuan tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa pengaturan perjanjian lisensi yang berkaitan dengan karya siaran Broadcasting Right di Indonesia berdasarkan UUHC 2014 pada prinsipnya mengatur bahwa: penyiaran karya siaran untuk tujuan komersial wajib mendapatkan izin dari 8
Lembaga Penyiaran.
Pemberian izin dalam format Perjanjian Lisensi wajib
dilakukan dalam bentuk Perjanjian Tertulis kepada pihak lain atau penerima lisensi untuk melakukan penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran, maupun penggandaan fiksasi siaran untuk tujuan komersial. Hukum Hak Cipta Indonesia tidak menentukan besarnya Royalti hanya mengatur Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan kerugian perekonomian bagi Indonesia, dilarang bertentangan dengan perundang-undangan. Pengaturan perjanjian lisensi seperti tersebut mengindikasikan bahwa pengaturan perjanjian lisensi Hak Cipta maupun produk Hak Terkait KUHPerdata, yaitu
tunduk pada Pasal 1338
berada pada ranah urusan privat yang pada intinya
memberikan kebebasan bagi para pihak untuk mengatur kesepakatan yang mereka buat serta berlaku sebagai undang-undang bagi mereka, namun dengan campur tangan Negara melalui pengaturan Lisensi dalam UUHC 2014 yang mengatur lisensi wajib dibuat dengan Perjanjian Tertulis dan tidak boleh menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan pengaturan tersebut dapat dicermati bahwa jangan sampai perjanjian lisensi hanya menguntungkan dan melindungi pihak-pihak yang melakukan perjanjian lisensi, namun juga harus memperhatikan dampak dari perjanjian tersebut yaitu tidak boleh merugikan perekonomian Indonesia. Misalnya pencantuman royalty yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal dapat menimbulkan kerugian perekonomian serta tidak ada akses untuk menikmati maupun memanfaatkan karya Hak Cipta maupun produk Hak Terkait. Dari ketentuan tersebut, tampaknya pengaturan Lisensi Hak Cipta di Indonesia sudah mencerminkan adanya a balance protection tidak hanya bagi para pihak akan tetapi juga bagi masyarakat banyak melalui penormaan yang mengatur tidak boleh merugikan perekonomian Indonesia. Dalam persepektif perbandingan, seperti misalnya dalam TRIPs Agreement yang merupakan konvensi internasional yang paling komperehensif dalam mengatur HKI secara internasional tidak ada mengatur perihal lisensi 9
dalam cakupan Hak Ciptanya atau yang dalam TRIPs Agreement dikenal dengan sebutan Copyright. Pada Bagian II Section 1 TRIPs Agreement yang berjudul Copyright and Related Rights hanya mengatur lingkup atau substansi yang dilindungi dalam Copyright yaitu dari Article 9 sampai dengan Article 14.TRIPs Agreement8. Perihal lisensi tidak diatur secara tegas dalam Copyright, berbeda halnya dalam Trademark mengatur tentang Lisensi dalam TRIPs Agreement. Namun demikian dapat dicermati bahwa TRIPs mengatur tentang izin penggunaan produk Hak Terkait yang berkaitan dengan Broadcasting Right melalui ketentuan Article 14 (3). Selain melalui TRIPs Agreement, perlindungan hukum terhadap karya siaran dalam konteks perlindungan Hak Kekayaan Intelektual juga dapat dikaji dari ketentuan WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT). Berdasarkan ketentuan Article 13 dan Article 14 WPPT dapat dikemukakan bahwa WPPT tidak mengatur secara tegas tentang lisensi, juga tentang besarnya royalty. WPPT mengatur perlindungan minimum Lembaga Penyiaran untuk memberikan izin atau melarang disiarkannya siaran mereka, fikasasi siaran mereka serta reproduksi. Art. 13 (d) WPPT mengatur: the communication to the public of their television broadcasts if such communication is made in places accessible to the public against payment of an entrance fee: it shall be a matter for the domestic law of the State where protection of this right is claimed to determine the conditions under which it may be exercised. Ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian lisensi juga dapat dicermati dari ketentuan Article 7 WPPT. Secara lebih detail pengaturan perjanjian lisensi dalam TRIPs Agreement dengan WPPT disajikan dalam uraian berikut ini:
8
F.Scott Kieff & Ralph Nack, 2008, International, United States and European Intellectual Property, Aspen Publishers, New York, p.54-55.
10
Gambar 1. Pengaturan Lisensi Broadcasting Right Dimensi Internasional
Sumber: bahan hukum diolah oleh Peneliti. Kekuatan Mengikat Perjanjian Lisensi berkaitan dengan Broadcasting Right Bagi Pihak Ketiga Dalam uraian sebelumnya telah diuraikan bahwa perjanjian lisensi berkaitan dengan Hak Cipta termasuk didalamnya karya-karya Broadcasting Right di Indonesia sesungguhnya ranahnya adalah hukum perdata seperti misalnya para pihak bebas menuangkan kesepakatan mereka yang berkaitan dengan pemanfaatan hak ekonomi ata kepemilikan kekayaan intelektual mereka dalam suatu perjanjian lisensi yang mengacu pada syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata serta kebebasan berkontrak sebagaimana diatur daam ketentuan Pasl 1338 KUH Perdata). Namun demikian dalam mewujudkan konstruksi perjanjian lisensi ini ada model campur tangan Negara yaitu melalui pengaturan perjanjian lisensi Hak Cipta yang mewajibkan kepada para pihak yang melakukan perjanjian mendaftarkan perjanjian lisensi mereka dalam Daftar umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta dengan dikenakan biaya agar dapat mengikat pihak ketiga. Secara lebih rinci Pasal 83 UUHC 2014 mengatur: 11
Perjanjian Lisensi
harus dicatatkan oleh Menteri dalam Daftar
umum
Perjanjian Lisensi Hak Cipta dengan dikenakan biaya
Jika Perjanjian Lisensi tidak dicatat dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak cipta maka Perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Keberadaan ketentuan Pasal 83 UUHC 2014 sesungguhnya dapat dicermati
sebagai salah satu ketentuan dalam hukum Hak Cipta di Indonesia yang juga tampaknya menawarkan suatu model perlindungan balance protection bagi kepentingan pemegang Hak Cipta maupun pemegang Hak Terkait dengan masyarakat pengguna dari karya-karya intelektual tersebut. Seperti misalnya jika ada pihak /organisasi/perusahaan yang mengaku pemegang lisensi atas karya siaran sebuah event di televisi serta menyatakan berhak untuk memungut royalty atas karya siaran tersebut, pihak tersebut tidak serta merta mendapatkan haknya. Pihak yang bersangkutan wajib terlebih dahulu membuktikan bahwa pihaknya memang benar sebagai penerima lisensi atau penerima sub lisensi yang nama dan identitasnya secara tegas tertulis dalam Perjanjian Lisensi yang dibuat dalam bentuk Perjanjian Tertulis serta sudah dicatatkan oleh Menteri dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta. Jika perjanjian lisensinya tidak maupun belum dicatatkan dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta, maka perjanjian lisensi tersebut tidak akan mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Sehubungan dengan kewajiban pencatatan perjanjian lisensi agar mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 83 UUHC 2014, jika dibandingkan dengan TRIPs Agreement ternyata tidak mengatur secara spesifik tentang aturan yang berkaitan dengan pendaftaran Lisensi. WPPT juga tidak mengatur secara exsplisit tentang ketentuan pencatatan Perjanjian Lisensi. Dapat dicermati dari pengaturan WPPT bahwa WPPT hanya mengatur perlindungan minimum serta berkaitan dengan hubungan hukum terhadap penyiaran karya siaran 12
mengacu pada Hukum Nasional (Domestic Law). Dalam konteks tersebut, jika tuntutan berkaitan dengan perlindungan terhadap pemegang lisensi atas karya siaran diajukan di wilah Indonesia, kiranya yang berlaku adalah hukum nasional Indonesia yaitu UUHC 2014, itu artinya pihak yang mengklaim dirinya berhak atas karya siaran atau Broadcasting Right berdasarkan perjanjian lisensi wajib membuktikan bahwa pihaknya telah mencatatkan perjanjian lisensinya kepada Menteri dan telah dicatatkan dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta. Jika tidak ada pencatatan seperti itu, maka tidak aka nada akibat hukum bagi pihak ketiga, jadi tidak boleh ada pemaksaan pemungutan royalty kepada masyarakat maupun stakeholders lainnya jika tidak ada alas bukti pencatatan sebagaimana diatur dalam Pasal 83 UUHC 2014. Pengaturan tentang kewajiban mencatatkan perjanjian lisensi tidak sama antara satu Negara dengan Negara lainnya, meskipun sama-sama Negara anggota WTO Agreement. Seperti misalnya di Sangapura berdasarkan the Law of Singapure, Commercial Law Ch 12: Intellectual Property Law, Section 1: Copyright And Neighbouring Rights diatur bahwa lisensi tidak wajib dilakukan dalam bentuk tertulis, namun disarankan dilakukan dalam bentuk tertulis terutama untuk lisensi yang bersifat eksklusif agar memiliki kekuatan mengikat. 9 Begitu juga di Amerika berdasarkan US Copyright Act tidak secara tegas mengatur bentuk lisensi atas Hak Cipta, namun secara eksplisit dikemukakan bahwa pendaftaran Copyright bukanlah meerupakan persyaratan bagi perlindungan Copyright. Namun demikian, the US Copyright Act sangat menganjurkan untuk meregistrasi Copyright karena keuntungan dari meregistrasi diantaranya: Registration establishes a public record of the
copyright claim and before an infringement suit may be filed in court, registration is necessary for works of US origin.10
9
Singapure Law Sg, Commercial Law Ch 12 Intellectual Property Law, Section 1 Copyrights and Neighbouring Rights, http://www.singaporelaw.sg/sglaw/laws-of-singapore/commercial-law/chapter12, diakses 13 Juni 2015. 10 US Copyright Office, 2012, Copyright Basic What is Coyright, http://www.copyright.gov/circs/circ01.pdf, diakses 10 Juni 2015.
13
Dengan mencermati model pengaturan the US Copyright Act maupun Commercial Act of Singapure khususnya Ch 12dan membandingkannya dengan pengaturan di Indonesia, tampaknya model pengaturan seperti di Indonesia yang mewajibkan adanya pencatatan perjanjian lisensi terlihat lebih memadai dalam hal memberikan perlindungan yang seimbang antara pemegang Hak Cipta maupun Hak Terkait dengan masyarakat ataupun Stakholders lainnya berkaitan dengan akses terhadap pemanfaatan karya siaran, karena dengan dicatatkan pada Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta dari asas hukum kebendaan telah memenuhi asas publisitas dengan asumsi masyarakat menjadi mengetahui keberadaan suatu karya cipta atau produk Hak Terkait yang mendapat perlindungan hukum melalui konstruksi perjanjian lisensi.
Berikut digambarkan dalam hubungan hukum
perjanjian lisensi Broadcasting Rights tampak bentuk pengaturan campur tangan Negara dalam hubungan privat yang
melindungi tidak hanya para pihak yang
melaksanakan perjanjian lisensi, namun juga masyarakat pengguna maupun stakeholder lainnya, dapat digambarkan dalam ragaan sebagai berikut:
14
Kesimpulan Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan lisensi berkaitan dengan Hak Penyiaran (Broadcasting Right) dalam kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia diatur berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menentukan bahwa perjanjian lisensi wajib dibuat dalam bentuk tertulis. Dalam perspektif perbandingan WPPT maupun TRIPs Agreement berkaitan dengan perjanjian lisensi di bidang Copyright tampaknya hanya mengatur perlindungan minimum dan tidak mengatur secara tegas prihal perjanjian lisensi. Tampak Campur tangan Negara dalam pengaturan lisensi di tingkat hukum nasional seperti halnya di Indonesia yang mewajibkan perjanjian lisensi dalam bentuk tertulis
serta penormaan “lisensi tidak boleh
mengakibatkan kerugian bagi perekonomian Negara” mencerminkan adanya
15
upaya perlindungan yang telah mengarah pada balance protection, yaitu suatu perlindungan yang tidak hanya bagi para pihak dalam perjanjian lisensi, namun juga bagi masyarakat yang menggunakan dan memperoleh manfaat dari karya tersebut. 2. Perjanjian lisensi berkaitan dengan Broadcasting Right baru akan memiliki kekuatan mengikat bagi pihak ketiga apabila perjanjian tersebut telah dicatatkan dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
16
DAFTAR BACAAN Eddy Damian. 2005. Hukum Hak Cipta. PT Alumni. Bandung. F.Scott Kieff & Ralph Nack. 2008. International. United States and European Intellectual Property. Aspen Publishers. New York. Georgina Tirza Sappetaw. 2015. Perlindungan Hukum Bagi RCTI dan MNC SKY Vision Selaku Pemegang Lisensi Media right Dan Official Broadcaster EURO 2012 Di Indonesia Atas Komersialisasi (Nonton Bareng) Oleh Pihak Lain Tanpa Izin. Jurnal Hukum. http://repository.unhas.ac.id. Diakses tanggal 8 Juni 2015. Lestanti & Andhika Furi. Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Siar Antara televise swasta dengan rumah Produksi: Study Kasus. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian. Diakses 8 Juni 2015. Peter K Yu. 2007. Challenges to the Development of a Human rights Framework for Intellectual Property. p. 97. Adopted from Reconceptualising Intellectual Property Interests in a Human Rights Framework. US Davis Law Review 40. Susan Corbett. 2006. A Human Rights Perspective on the Database Debate. E.I.P.R. Singapure Law Sg, Commercial Law Ch 12 Intellectual Property Law, Section 1 Copyrights and Neighbouring Rights, http://www.singaporelaw.sg/sglaw/laws-of-singapore/commerciallaw/chapter-12, diakses 13 Juni 2015. US Copyright Office, 2012, Copyright Basic What is Coyright, http://www.copyright.gov/circs/circ01.pdf TRIPs Agreement WIPO Performances And Phonograms Treaty Singapure Commercial Law Ch 12: Intellectual Property Law Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
17