PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN DAN STRUKTUR MODAL TERHADAP MANAJEMEN LABA Oleh: Dedy Hartanto (Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana) Yeterina Widi Nugrahanti (Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
ABSTRACT Earnings management is a matter of debate in the accounting’s world. Lots of pros and cons of whether earnings management should be done or not. Earnings management might occur because of the separation of ownership by the principal to control by agents in an organization, which would tend to cause the agency conflict between principal and agent. This study re-analyzed the factors that affect earnings management, ownership structure which is managerial ownership, institutional ownership and family ownership and capital structure, which is leverage and collateralizable assets, using a conditional revenue models belonging Stubben (2010) to detect is it have or haven’t effect on earnings management. This study used 137 sample of manufacturing companies listed on the Indonesian Stock Exchange (BEI) in 2011. As a result of managerial ownership, institutional ownership and family ownership negatively affect earnings management while collateralizable assets and leverage have no effect on earnings management. Keywords : earnings management, conditional revenue models, managerial ownership, institutional ownership, family ownership, leverage, collateralizable asset.
PENDAHULUAN Manajemen laba masih merupakan hal yang kontroversial di dalam akuntansi. Banyak sekali pro dan kontra mengenai apakah manajemen laba boleh di lakukan atau tidak. Apalagi banyak sekali skandal kasus pelaporan akuntansi yang berkaitan dengan manajemen laba. Salah satu kasus yang paling dikenal oleh masyarakat adalah kasus perusahaan Enron. Enron terbukti melakukan manajemen laba yaitu dengan cara melakukan manipulasi melalui lembaga auditornya, sehingga Enron dapat mendongkrak laba hampir mendekati USD 1 miliar. Padahal, eksekutif Enron hanya menikmati angka semu yang sebetulnya laba tersebut tidak pernah mereka dapatkan. Pada akhirnya skandal kasus manajemen laba Enron pun terkuak dan membuat perusahaan itu collapse. Utami (2006) mendefinisikan manajemen laba adalah suatu usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba termasuk perataan laba sesuai keinginan manajemen. Selain itu Purnomo dan Pratiwi (2009) mendefinisikan manajemen laba adalah suatu tindakan yang dilakukan manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba (income) yang dilaporkan yang dapat memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic 1
advantage) yang sesungguhnya tidak dialami oleh perusahaan dalam jangka panjang bahkan merugikan perusahaan. Sebenarnya, jika manajemen laba yang dilakukan perusahaan benar dan sesuai dengan peraturan yang ada, manajemen laba dapat bersifat efisien (meningkatkan keinformatifan laba dalam mengkomunikasikan informasi privat). Namun apabila manajemen laba tidak dilakukan dengan benar maka dapat bersifat oportunis (manajemen melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadinya) (Scott, 2000). Hal ini pula yang membuat manajemen sebagai agen memiliki konflik dengan pemilik perusahaan, karena agen bertanggung jawab dalam pengelolaan laba yang mengoptimalkan keuntungan perusahaan namun tidak sesuai dengan kepentingan pemilik saham. Sebelumnya banyak penelitian yang sudah dilakukan berkaitan dengan manajemen laba. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi manajemen laba seperti struktur kepemilikan dan struktur modal (Romandhoni dan Naomi, 2012). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa struktur kepemilikan (yang diukur dengan kepemilikan institusional) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan struktur modal (yang diukur dengan leverage dan collaterallizable assets) diperoleh hasil bahwa hanya collaterallizable assets saja yang berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mitra (2002), Koh (2003), Midiastuty dan Machfoedz (2003) juga menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba. Hasil penelitian Warfield et al., (1995) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba. Sedangkan penelitian Gabrielsen, et al. (1997) menemukan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian Arifin (2003) menunjukkan bahwa perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan keluarga masalah agensinya lebih baik jika dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik atau tanpa pengendali utama. Penelitian ini akan menganalisis kembali faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen laba, yaitu
kepemilikan keluarga, institusional serta manajerial dan struktur modal
menggunakan conditional revenue model milik Stubben (2010) untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba dengan alasan karena bahwa penelitian dengan model ini masih jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian pada umumnya menggunakan model discretionary accruals milik Jones (1991) yang kemudian di kembangkan oleh Dechow et. al (1995) yang dikenal dengan Modified Jones Model. Tujuan penelitian ini adalah untuk 2
mengetahui secara empiris mengenai pengaruh struktur kepemilikan antara lain kepemilikan keluarga, institusional serta manajerial dan struktur modal antara lain leverage dan collaterallizable assets terhadap manajemen laba. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi (1) perkembangan ilmu pengetahuan akuntansi terkait dengan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap manajemen laba, (2) dapat digunakan oleh pemakai laporan keuangan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan penilaian kinerja perusahaan dan pengambilan keputusan investasi, (3) bagi manajer perusahaan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengusahakan penyampaian informasi laporan keuangan yang akurat. TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Keagenan Teori keagenan yang dikemukakan oleh Jensen & Meckling (1976) menjelaskan adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dengan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi yang cenderung akan menimbulkan konflik keagenan antara principal dan agen. Teori keagenan berkaitan erat dengan hubungan antara agen dan principal dalam sebuah kontrak yang mengatur hubungan kerja antara kedua pihak tersebut. Satu orang atau lebih principal memerintah agen untuk melakukan suatu jasa atas nama principal dan memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi principal. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Principal sebagai pemegang saham diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agen disumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Karena perbedaan kepentingan inilah masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri yang akhirnya akan menimbulkan konflik antara principal dan agen, Jensen dan Meckling (1976), Watts & Zimmerman (1986) menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik diantara pihak – pihak yang berkepentingan. Dengan laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai pertanggung jawaban kinerjanya, principal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen. Sepanjang kontrak yang disepakati bisa menguntungkan kedua belah pihak maka permasalahan yang timbul pada perusahaan bisa diminimalisir.
3
Manajemen Laba Manajemen laba merupakan cara yang digunakan manajer untuk mempengaruhi angka laba secara sistematis dan sengaja dengan cara pemilihan kebijakan akuntansi dan prosedur akuntansi tertentu oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara ilmiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan (Scoot, 1997 dalam Halim, et al., 2005). Tindakan manajemen laba pada umumnya merupakan tindakan manajemen terhadap proses pelaporan keuangan, yang tujuannya untuk mempengaruhi hasil perhitungan laba perusahaan supaya sesuai dengan apa yang diharapkan. Adanya praktik manajemen laba akan membuat laba yang dilaporkan oleh perusahaan menjadi bias, dan tentunya hal tersebut akan mempengaruhi keputusan dari pemakai laporan keuangan. Setiawati dan Na’im (2000) menyatakan bahwa manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dapat mengurangi kepercayaan pemakai laporan keuangan untuk mempercayai informasi keuangan yang ada dalam laporan keuangan tersebut. Menurut Sulistyanto (2008), dikatakan bahwa manajemen laba dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab pada komponen akrual dapat dilakukan permainan angka melalui metode akuntansi yang digunakan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan laporan keuangan. Komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan. Beberapa penelitian sebelumnya telah diketahui bagaimana model untuk mendeteksi manajemen laba. Salah satu yang sering digunakan oleh penelitian terdahulu dalam mendeteksi manajemen terdahulu adalah Modified Jones Model. Jones model merupakan model pendeteksi manajemen laba pertama yang juga diperkenalkan oleh Jones (1991) yang kemudian dikembangkan oleh Dechow et al., (1995) yang dikenal dengan Modified Jones model. Modified Jones model
mencoba memperbaiki kelemahan model Jones yang hanya
menggunakan perubahan laba dengan menambahkan perubahan piutang untuk estimasi model. Estimasi tersebut mengasumsikan bahwa semua perubahan dalam penjualan kredit merupakan hasil manipulasi (Achmad, et al., 2007). Selisih antara perubahan pendapatan dan perubahan piutang juga dapat diartikan bahwa modified Jones model menggunakan total pendapatan kas yang secara sistematis mengecilkan jumlah manajemen laba (Stubben, 2010). Ada beberapa kelemahan dari modified Jones model seperti estimasi cross-sectional yang secara tidak langsung mengasumsikan bahwa perusahaan dalam industri yang sama 4
menghasilkan proses akrual yang sama. Selain itu, model akrual juga tidak menyediakan informasi untuk komponen mengelola laba perusahaan dimana model akrual tidak membedakan peningkatan diskresionari pada laba melalui pendapatan atau komponen beban, Stubben (2010). Melihat kelemahan dari penelitian mengenai manajemen laba, Stubben (2010) mengembangkan model yang menggunakan lebih banyak faktor untuk memprediksi manajemen laba. Stubben (2010) melakukan penelitian pada model akrual mengenai pengukuran manajemen laba dengan model revenue. Model revenue ini berbeda dengan model accrual yang telah biasa digunakan dalam pengukuran manajemen laba selama ini. Model revenue menggunakan piutang akrual daripada agregat akrual sebagai fungsi perubahan pendapatan. Menurut Stubben, piutang memiliki hubungan empiris langsung dan kuat dengan pendapatan. Selain itu, piutang juga merupakan fungsi yang digunakan dalam mengubah laporan pendapatan daripada pendapatan tunai. Conditional revenue model ini belum banyak di pakai dalam penelitian manajemen laba. Disamping karena model ini masih tergolong baru, beberapa peneliti lebih suka menggunakan model jones karena lebih umum digunakan. Pada penelitian ini, peneliti mencoba meneliti pengaruh struktur kepemilikan dan struktur modal dengan manajemen laba yang menggunakan conditional revenue model untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba. Alasannya adalah untuk memperbaiki kelemahan dari penelitian terdahulu tersebut dengan hasil yang lebih akurat.
Struktur Kepemilikan Konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan yang terkait tersebut. Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan. Penyebab konflik antara manajer dengan pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan 1) Aktivitas pencarian dana (financing decision) dan 2) Pembuatan keputusan yang berkaitan dengan bagaimana dana yang diperoleh tersebut diinvestasikan. Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri. (Ituriaga dan Sanz, 2000). Menurut pendekatan keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Pendekatan asimetri informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi 5
ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Pemilik akan berusaha membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi ditentukan maka langkah selanjutnya akan mengimplementasi strategi dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik, dapat dikatakan bahwa peran pemilik sangat penting dalam menentukan keberlangsungan perusahaan. Dalam penelitian ini akan dibahas tiga struktur kepemilikan yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan kepemilikan keluarga. 1. Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh direksi, manajemen, komisaris maupun setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (1976), salah satu mekanisme yang digunakan untuk mengatasi konflik keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial sehingga dapat mensejajarkan kepentingan pemilik dengan manajer. 2. Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba. Investor dari institusional dapat berpengaruh terhadap jalannya perusahaan karena hak voting yang mereka miliki. Hak voting tersebut mampu mengintervensi keputusan manajemen, misalnya keputusan investasi, merger, maupun sistem pengkajian efektif. Keberadaan investor institusional dipandang mampu menjadi alat monitoring yang efektif bagi perusahaan. 3. Kepemilikan Keluarga Kepemilikan saham di negara berkembang sebagian besar dikontrol oleh kepemilikan keluarga, termasuk
perusahaan di Indonesia (Arifin, 2003). Fama dan Jensen (1983)
menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki publik karena biaya pengawasan yang dikeluarkan atau monitoring cost nya lebih kecil. Sedangkan Maury (2006) berpendapat bahwa dengan adanya kepemilikan keluarga di suatu perusahaan maka perusahaan tersebut dapat meningkatkan profitabilitas di dalam perusahaan tersebut bila dibandingkan dengan perusahaan yang dikendalikan oleh pemilik nonkeluarga. Sedangkan menurut (Hoover, 2000), dalam sebuah usaha Suatu organisasi
6
dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan (Susanto et al, 2007).
Struktur Modal Menurut Sartono (2010) salah isu penting yang dihadapi oleh manajer keuangan adalah hubungan antara struktur modal dan nilai perusahaan. Beberapa teori tentang struktur modal telah dikembangkan untuk menganalisis pengaruh penggunaan utang terhadap nilai perusahaan dan biaya modal. Dua pertanyaan mendasar yang ingin dijawab oleh teori struktur modal menurut Sartono (2010) adalah: (1) dapatkan satu perusahaan meningkatkan kemakmuran pemegang saham dengan cara menggantikan sebagian modal sendiri dengan utang dan (2) jika bisa, berapa besar utang yang harus dipergunakan oleh perusahaan. Struktur modal sendiri diartikan sebagai kombinasi atau perimbangan antara utang dan modal sendiri (saham preferen dan saham biasa) yang digunakan perusahaan untuk merencanakan mendapatkan modal. Struktur modal sangat penting bagi perusahaan karena menyangkut kebijakan penggunaan sumber dana yang paling menguntungkan. Dalam mendanai kebutuhan pendanaan perusahaan dapat menggunakan modal sendiri dan modal asing atau utang (Ambarwati: 2010). Menurut pengertian ini maka keputusan penggunaan utang dalam mendapatkan modal akan berimplikasi pada munculnya biaya bunga, sedangkan penggunaan modal sendiri hanya akan berimpliklasi pada biaya oportunitas. Husnan (2008) juga menjelaskan bahwa teori struktur modal merupakan sebuah penjelasan mengenai ada tidaknya pengaruh perubahan komposisi modal terhadap nilai perusahaan, dengan asumsi keputusan investasi dan kebijakan dividen konstan. Dengan kata lain bahwa seandainya perusahaan mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang (atau sebaliknya) apakah harga saham akan berubah, apabila perusahaan tidak merubah keputusankeputusan keuangan lainnya. Dengan asumsi bahwa struktur modal dapat memaksimumkan nilai perusahaan maka manajer harus memperhatikan komposisi struktur modal yang optimal.
Kepemilikan Manajerial dan Manajemen Laba. Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership) yang besar membuat kepentingan pemilik atau pemegang saham akan dapat disejajarkan dengan kepentingan manajer. Konflik antara manajer dan pemilik saham terjadi karena ada perbedaan kepentingan dan keinginan untuk mengendalikan
7
perusahaan. Maka, jika kepemilikan terkonsentrasi pada manajemen perusahaan maka kendali akan menjadi semakin kuat dan cenderung menekan konflik keagenan. Semakin besar kepemilikan manajerial maka agency cost akan semakin turun. Hal ini dikarenakan semakin besar kepemilikan saham oleh manajerial, maka semakin besar informasi yang dimiliki oleh manajemen sekaligus sebagai pemilik perusahaan, sehingga hal tersebut mengakibatkan biaya agen yang digunakan untuk biaya monitoring semakin kecil, karena pemilik sudah merangkap sebagai manajemen (Jensen dan Meckling, 1976). Murphy (1985), Jensen dan Murphy (1990), serta Smith dan Watts (1992) dalam Sukartha (2007) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan program kebijakan renumerasi guna mengurangi masalah keagenan. Mereka menjelaskan bahwa kompensasi tetap berupa gaji, tunjangan, dan bonus terbukti dapat digunakan sebagai sarana untuk menyamakan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Hasil penelitian Midiastuty dan Mahfoedz (2003) yang menyatakan bahwa perusahaan yang dikelola manajer dan memiliki presentase tertentu dalam saham perusahaan dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Warfield et al.,(1995) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba dan berhubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan kandungan informasi dalam laba. Hasil yang sama juga diperoleh Jensen dan Meckling (1976), Dhaliwal et al. (1982), Morck et al. (1988) dan Pratana dan Mas’ud (2003) . Semakin tinggi kepemilikan manajerial maka akan semakin rendahnya moral hazard sehingga semakin kecil perilaku opportunis karena pihak manajemen harus lebih baik dalam bekerja karena manajer sendiri yang memiliki saham pada perusahaan yang bersangkutan, sehingga akan semakin menurunkan kemungkinan terjadinya manajemen laba. Berdasarkan dari teori diatas maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh manajer maka akan semakin kecil peluang manajemen perusahaan untuk melakukan praktik manajemen laba. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : H1 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Kepemilikan Institusional dan Manajemen Laba. Mitra (2002), Koh (2003), dan Midiastuty & Machfoedz (2003) menemukan bahwa kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk melakukan praktik manajemen laba. Investor Institusi, dianggap lebih berpengalaman dalam mendeteksi kesalahan yang terjadi. Investor institusi mempunyai kemampuan yang lebih lengkap untuk 8
memproses informasi dibandingkan investor individual. Dengan demikian, akan semakin membatasi manajemen dalam laporan keuangan. Investor Institusi mempunyai waktu yang banyak untuk melakukan analisis investasi, oleh karenanya investor institusi memiliki kemampuan yang baik untuk mengawasi tindakan manajemen. McConell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) dalam Cornertt et al., (2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku para manajer. Cornett et al., (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri sehingga mengurangi tindakan pengelolaan laba oleh manajer. Berdasarkan dari teori diatas maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh institusi maka akan semakin kecil pula peluang manajemen perusahaan untuk melakukan praktik manajemen laba. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : H2: Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap Manajemen Laba.
Kepemilikan Keluarga dan Manajemen Laba Hasil penelitian Arifin (2003) menunjukkan bahwa perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan keluarga atau negara atau institusi keuangan masalah agensinya lebih kecil jika dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik atau tanpa pengendali utama. Anderson dkk (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur. Jika kepemilikan keluarga lebih efisien, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi pengelolaan laba yang oportunis dapat dibatasi. Hasil penelitian Kim & Yi (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih tinggi akan cenderung kecil dalam melakukan manajemen laba. Semakin tinggi kepemilikan keluarga menunjukkan monitoring semakin baik karena tanggung jawab yang lebih besar sehingga akan semakin menurunkan kemungkinan manajemen laba dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan pada uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. 9
Berdasarkan pada uraian tersebut, maka hipotesisnya adalah: H3 : Kepemilikan Keluarga berpengaruh negatif terhadap Manajemen Laba.
Struktur Modal dan Manajemen Laba Penelitian di Indonesia, yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001) menemukan hubungan positif antara leverage dengan manajemen laba. Perusahaan dengan leverage tinggi, termotivasi melakukan manajemen laba untuk menghindari pelanggaran terhadap perjanjian utang oleh kreditur. Dhaliwal (1980) menguji pengaruh struktur modal terhadap pilihan metode akuntansi yang membuat hipotesis dalam penelitiannya bahwa perusahaan dengan leverage tinggi akan menawarkan standar akuntansi yang menurunkan atau menaikkan laba yang dilaporkan. Hasil penelitian ini konsisten dengan hipotesis bahwa perusahaan dengan leverage yang tinggi cenderung mengatur laba yang dilaporkan dengan menaikkan atau menurunkan laba dibandingkan dengan perusahaan dengan tingkat leverage yang rendah. Penelitian ini juga menggunakan variabel collateralizable assets sebagai proxy dari struktur modal. Titman & Wassels (1988) dikutip oleh Mollah (2000) mengemukakan bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang bersifat kolateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan pemegang sahamnya karena asset bisa berfungsi sebagai jaminan atas utang. Perusahaan yang memiliki nilai aset kolateral yang besar, maka pengawasan kreditor atas manajemen diindikasikan menjadi tidak terlalu intensif sehingga menurunkan kemungkinan bagi manajemen dalam melakukan manajemen laba. Oleh karena itu variabel collaterallizzable asset juga dijadikan proxy dalam penelitian ini. Dasar lain dari menambah variabel adalah penelitian yang dilakukan Sugeng (2009), yang menemukan bahwa pengawasan kreditur akan rendah pada perusahaan yang memiliki nilai aset tetap yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dan teori diatas maka dapat diketahui bahwa perusahaan dengan leverage yang tinggi dapat diindikasi bahwa perusahaan tersebut melakukan praktik manajemen laba. Selain itu perusahaan yang memiliki collaterallizable asset lebih tinggi akan membuat manajemen melakukan praktik manajemen laba yang rendah karena lemahnya pengawasan dari kreditor. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : H4 : Leverage berpengaruh positif terhadap Manajemen Laba H5 : Collaterallizable asset berpengaruh negatif terhadap Manajemen Laba
10
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI. Alasan dipilihnya perusahaan manufaktur adalah karena telah mewakili sebagian besar perusahaan yang terdaftar di BEI serta untuk homogenitas data. Sampel dipilih dengan metode purposive sampling. Dalam penelitian ini kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut : (1) Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan tahun 2011. (2) Peusahaan yang mempunyai laporan keuangan yang berakhir 31 Desember. (3) Perusahaan tidak mengalami company restructuring seperti akusisi dan merger serta perusahaan tidak mengalami perubahan kelompok industri. (4) Data perusahaan yang dibutuhkan untuk penelitian tersedia.
Model Penelitian Sesuai dengan kerangka konsep, maka model matematis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : CR = α0 + α1 KEL + α INS + α3 MAN + α4LVRG + α5COLSS + ε CR KEL INS MAN LVRG COLSS
= = = = = =
Conditional Revenue (Manajemen Laba) Kepemilikan Keluarga Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Leverage Collaterallizable Asset
Definisi Operasional Menurut Stubben (2010), pengakuan pendapatan lebih awal (premature revenue recognition) adalah bentuk paling umum dari manajemen pendapatan. Dengan adanya pengakuan pendapatan secara prematur yang dilakukan oleh perusahaan akan berdampak pada pendapatan itu sendiri dan piutang. Dengan mengakui dan mencatat pendapatan periode yang akan datang atau belum terealisasi mengakibatkan pendapatan periode berjalan lebih besar daripada pendapatan sesungguhnya. Akibatnya, seolah-olah kinerja perusahaan lebih baik daripada kinerja sesungguhnya (Sulistyanto, 2008). Seperti yang ditemukan Feroz et al. (1991) dalam Stubben (2010) lebih dari setengah kasus hukum SEC antara 1982 sampai 1989 terlibat hasil piutang yang berlebihan dari pengkuan pendapatan lebih awal. Dopuch et.al., (2005) dalam Stubben (2010), menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan akrual dan pendapatan bergantung pada faktor spesifik
11
perusahaan seperti kebijakan kredit dan perusahaan. Oleh karena itu Stubben (2010) membuat estimasi yang memberikan koefisien pendapatan untuk kebijakan kredit perusahaan. Berikut merupakan formula dari conditional revenue model : (Stubben, 2010) ΔARit = α + β1 ΔRit + β2 ΔRit×SIZEit + β3 ΔRit×AGEit + β4 ΔRit×AGE_SQ it + β5 ΔRit×GRR_Pit + β6 ΔRit×GRR_Nit + β7 ΔRit×GRMit + β8 ΔRit×GRM_SQit +ε it Keterangan : AR R SIZE AGE GRR_P GRR_N GRM
:piutang akrual :annual revenue : natural log dari total aset saat akhir tahun : natural log umur perusahaan : industry median adjusted revenue growth (= 0 jika negatif, 1 jika positif) : industry median adjusted revenue growth (=0 jika negatif, 1 jika positif) :industry median adjusted gross margin at end of fiscal year, didapat dari nilai rata-rata laba kotor akhir tahun perusahaan _SQ :square of variable Δ :annual change Metode perhitungan : 1. Perubahan Pendapatan Model kedua sebagai proksi dari manajemen laba adalah model revenue dari Stubben (2010). Perubahan pendapatan diperoleh dari : 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡 − 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡 − 1 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑒𝑡
2. Size Size merupakan ukuran perusahaan yang diperoleh melalui natural log dari total asset. 3. Age Age adalah umur perusahaan. Ukuran age ini diperoleh dengan me-natural log-kan umur perusahaan. Dan kemudian untuk age square dengan mengkuadratkan hasil dari natural log umur perusahaan listing di BEI (Sugeng, 2009). 4. Growth Rate in Revenue (GRR) 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡 − 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡 − 1 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡 − 1
Variabel Bebas dalam penelitian ini diopersionalisasikan sebagai berikut : 1.Kepemilikan manajerial (KEPMAN) adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005). Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. 12
2. Kepemilikan Institusional (KEPINS) merupakan persentase saham yang dimiliki investor institusional yang diperoleh dari laporan keuangan & profil perusahaan (Romandhoni dan Naomi, 2012). 3. Kepemilikan Keluarga (KEPKEL). Definisi keluarga dalam suatu perusahaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah perusahaan yang dimiliki oleh 20 % atau lebih oleh sebuah keluarga dalam tahun tertentu pada informasi laporan pemegang saham perusahaan (Anderson and Reeb 2003a). Pengukuran menggunakan variabel dummy, jika kepemilikan keluarga diatas 20% diberi skor 1 dan skor 0 jika sebaliknya, selain itu data didapat dari Conglomeration Indonesia 1998 yang dikeluarkan oleh Pusat Data Bisnis Indonesia. 4. Leverage (LVRAGE), merupakan rasio utang terhadap total asset perusahaan (Romandhoni dan Naomi, 2012). 5. Collateralizable assets (COLASS) merupakan bagian dari aset perusahaan yang bisa dijaminkan kepada pihak ketiga (kreditur). Atau dalam laporan keuangan, disebut asset tetap (fixed assets). (Romandhoni dan Naomi, 2012. Namun dalam penelitian ini selain asset tetap peneliti menambahkan total persediaan untuk beberapa perusahaan khusus, karena dalam beberapa perusahaan memiliki total persediaan yang lebih banyak daripada aset, sehingga akan lebih akurat jika yang diukur adalah persediaannya daripada asetnya.
HASIL ANALISIS DATA Proses Pemilihan Sampel Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, didapatkan 137 sampel seperti pada tabel 1. Tabel 4.1. Proses Sampling Kriteria Pengambilan Sampel
Jumlah
Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2011
151
Perusahaan yang tahun fiskalnya tidak berakhir pada 31 Desember
(4)
Perusahaan yang mengalami company restructuring seperti akusisi dan merger serta perusahaan mengalami perubahan kelompok industry
(15)
Perusahaan yang tidak memiliki data yang dibutuhkan untuk penelitian ini
(5)
Total sampel:
137
Sumber: Data sekunder yang Diolah
13
Statistik Deskriptif Statistik deskriptif dari variabel penelitian dijelaskan pada tabel 2 dan tabel 3 berikut ini: Tabel 2 Statistik Deskriptif De scriptive Statistics N KEPMAN KEPINS LV RAGE COLASS CR Valid N (listw ise)
137 137 137 137 137 137
Minimum ,00 ,07 ,00 10,12 ,00
Maximum ,22 ,86 6,72 14,34 1,12
Mean ,0441 ,4225 ,6543 12,1688 ,2573
Std. Deviation ,05238 ,21073 ,79369 ,77568 ,21867
Sumber: Data Sekunder yang Diolah Tabel 3. Frekuensi Kepemilikan Keluarga KEPKEL
Valid
,00 1,00 Total
Frequency 64 73 137
Percent 46,7 53,3 100,0
Valid Percent 46,7 53,3 100,0
Cumulative Percent 46,7 100,0
Sumber: Data Sekunder yang Diolah Untuk variabel kepemilikan keluarga ada 64 perusahaan yang tidak memiliki kepemilikan keluarga dan sisanya ada 73 perusahaan (53.3%) yang memiliki kepemilikan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak perusahaan yang memiliki kepemilikan keluarga daripada yang tidak memilikinya.
Hasil Pengujian Asumsi Klasik Uji asumsi klasik pada penelitian ini dilakukan dengan uji normalitas, multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas.Untuk pengujian normalitas data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Sminov. Berdasarkan pada hasil pengujian dapat diketahui bahwa signifikansi nilai Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,109 (> 0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa data pada penelitian ini normal. Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah antar variabel independen terjadi korelasi atau tidak. Jika nilai VIF < 10 dan Tolerance > 0,1, maka dipastikan tidak terjadi multikolinearitas. Berdasarkan pada hasil pengujian dapat diketahui bahwa ternyata hasil pengujian untuk multikolinearitas memiliki nilai tolerance untuk masing-masing variabel independen > 0,1 sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas pada penelitian ini.
14
Dalam penelitian ini untuk menguji heterokedastisitas digunakan uji Glejser. Dalam uji Glejser, nilai mutlak residual ( |u| ) diregresikan dengan variabel independen. Berdasarkan pada hasil pengujian dapat diketahui bahwa ternyata hasil pengujian heteroskedastisitas untuk masing-masing variabel independen memiliki nilai signifikansi di atas 0,05 sehingga dengan demikian dapat dikatakan tidak terjadi heteroskedastisitas.
Pengujian Hipotesis Setelah semua asumsi terpenuhi, maka berikutnya adalah melakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (manajemen laba). Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji t dengan hasil sebagai berikut: Tabel 4 Hasil Pengujian Hipotesis Variabel Constant KEPMAN KEPINS KEPKEL LVRAGE COLASS
Koefisien beta 0,723 -0,635 -0,197 -0,090 -0,011 -0,025
Sig. 0,024 0,085 (*) 0,033 (**) 0,015 (**) 0,667 0,329
Keterangan: (**) Signifikan pada level 1% (*) Signifikan pada level 5% Sumber: Data Sekunder yang Diolah Kepemilikan Manajerial dan Manajemen Laba Dari tabel 4 diketahui ternyata nilai signifikansi t untuk variabel KEPMAN adalah sebesar 0,085 < 0,10 sehingga artinya hipotesis pertama pada penelitian ini diterima pada level 10%. Nilai koefisien sebesar -0,635 menunjukkan arah pengaruh yang negatif. Jadi kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership) yang besar membuat kepentingan pemilik atau pemegang saham akan dapat disejajarkan dengan kepentingan manajer. Konflik antara manajer dan pemilik saham terjadi karena ada perbedaan kepentingan dan keinginan untuk mengendalikan perusahaan. Maka, jika kepemilikan terkonsentrasi pada manajemen perusahaan maka kendali akan menjadi semakin kuat dan cenderung menekan konflik keagenan. Murphy (1985), Jensen dan Murphy (1990), serta Smith dan Watts (1992) dalam Sukartha (2007) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan program kebijakan renumerasi guna mengurangi masalah 15
keagenan. Mereka menjelaskan bahwa kompensasi tetap berupa gaji, tunjangan, dan bonus terbukti dapat digunakan sebagai sarana untuk menyamakan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.
Namun, kepemilikan saham oleh manajer yang besar juga dapat
mempengaruhi tindakan manajemen laba, baik yang bersifat efisien maupun yang bersifat oportunis. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Midiastuty dan Mahfoedz (2003) yang menyatakan bahwa perusahaan yang dikelola manajer dan memiliki presentase tertentu dalam saham perusahaan dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Namun, Warfield et al.,(1995) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba dan berhubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan kandungan informasi dalam laba. Hasil yang sama juga diperoleh Jensen dan Meckling (1976), Dhaliwal et al. (1982), Morck et al. (1988) dan Pratana dan Mas’ud (2003) . Semakin tinggi kepemilikan manajerial maka akan semakin menunjukkan proses monitoring semakin ketat sehingga akan semakin menurunkan kemungkinan terjadinya manajemen laba karena adanya kesamaan kepentingan antara manajer dengan investor. Berdasarkan dari teori diatas maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh manajer maka akan semakin kecil peluang manajemen perusahaan untuk melakukan praktik manajemen laba. Misalnya perusahaan PT Dynaplast memiliki kepemilikan manajerial yang tinggi (95,80%) sehingga memiliki manajemen laba yang relatif rendah. Sebaliknya PT Asia Pacific Fiber Tbk memiliki kepemiilkan manajerial rendah (0,02%) sehingga manajemen laba tinggi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim & Yi (2005). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial maka mengindikasikan bahwa monitoring dari pihak perusahaan semakin kuat dan baik sehingga akan menurunkan terjadinya manajemen laba pada sebuah perusahaan. Kepemilikan Institusional dan Manajemen Laba Dari tabel 4 diketahui nilai signifikansi t untuk variabel KEPINS adalah sebesar 0,033 < 0,05 sehingga artinya hipotesis kedua pada penelitian ini diterima. Nilai koefisien regresi sebesar -0,197 menunjukkan arah pengaruh negatif. Jadi kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Mitra (2002), Koh (2003), dan Midiastuty & Machfoedz (2003) menemukan bahwa kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk melakukan praktik manajemen laba. Investor Institusi, dianggap lebih berpengalaman dalam mendeteksi 16
kesalahan yang terjadi. Investor intitusi mempunyai kemampuan yang lebih lengkap untuk memproses informasi dibandingkan investor individual. Dengan demikian, akan semakin membatasi manajemen dalam laporan keuangan. Investor Institusi mempunyai waktu yang banyak untuk melakukan analisis investasi, oleh karenanya investor institusi memiliki kemampuan yang baik untuk mengawasi tindakan manajemen. McConell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) dalam Cornertt et al., (2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku para manajer. Cornett et al., (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri sehingga mengurangi tindakan pengelolaan laba oleh manajer. Bedasarkan dari teori diatas maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh institusi maka akan semakin kecil pula peluang manajemen perusahaan untuk melakukan praktik manajemen laba. Misalnya perusahaan PT Sinar Mas Agro Resources And Technology Tbk (SMART Tbk) memiliki kepemilikan institusi yang tinggi (97,20%) sehingga cenderung memiliki manajemen laba yang rendah. Sebaliknya PT Indopoly Swakarsa Industry Tbk memiliki kepemilikan institusi rendah (0,10%) sehingga manajemen laba tinggi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Cornertt et al., (2006). Semakin tinggi kepemilikan institusional mengindikasikan adanya monitoring dari pihak luar yang semakin ketat sehingga pihak perusahaan akan semakin kecil kemungkinannya untuk melakukan manajemen laba. Kepemilikan Keluarga dan Manajemen Laba Dari tabel 4 diketahui nilai signifikansi t untuk variabel KEPKEL adalah sebesar 0,015 < 0,05 sehingga artinya hipotesis ketiga pada penelitian ini diterima. Nilai koefisien regresi sebesar -0,090 menunjukkan arah pengaruhnya negatif. Jadi kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan keluarga atau negara atau institusi keuangan masalah agensinya lebih kecil jika dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik atau tanpa pengendali utama. Anderson dkk (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur menganggap 17
kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur. Jika kepemilikan keluarga lebih efisien, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi pengelolaan laba yang oportunis dapat dibatasi. Hasil penelitian Kim & Yi (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih tinggi akan cenderung kecil dalam melakukan manajemen laba. Semakin tinggi kepemilikan keluarga menunjukkan monitoring semakin baik karena rasa tanggung jawab besar sehingga akan semakin menurunkan kemungkinan manajemen laba dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan pada uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Misalnya perusahaan yang memiliki kepemilikan keluarga seperti PT Siantar Top Tbk (56,4%) maka akan cenderung melakukan manajemen laba yang rendah. Sebaliknya PT Indo Acidatama Tbk memiliki kepemilikan keluarga rendah (0,02%) sehingga cenderung memiliki manajemen laba tinggi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Jensen dan Meckling (1976), Dhaliwal et al. (1982), Morck et al. (1988) dan Pratana dan Mas’ud (2003) . Semakin tinggi kepemilikan keluarga menunjukkan pengawasan dari pihak keluarga semakin ketat sehingga akan berpengaruh terhadap semakin kecil kemungkinan terjadinya manajemen laba. Leverage dan Manajemen Laba Dari tabel 4 diketahui nilai signifikansi t untuk variabel LVRAGE adalah sebesar 0,667 > 0,05 sehingga artinya hipotesis keempat pada penelitian ini ditolak. Jadi leverage tidak berpengaruh
terhadap
manajemen
laba.
Hasil
penelitian
ini
mendukung
penelitian Romandhoni dan Naomi (2012). Perusahaan dengan leverage yang tinggi dapat diindikasi bahwa perusahaan tersebut melakukan praktik manajemen laba. Selain itu perusahaan yang memiliki collaterallizable asset lebih tinggi akan membuat manajemen melakukan praktik manajemen laba karena lemahnya pengawasan dari kreditor. Tetapi hasil penelitian ini tidak berhasil membuktikannya dan hal ini dapat disebabkan karena investor memiliki pemikiran bahwa dengan leverage yang semakin tinggi bukan berarti bad news karena bisa saja ada perluasan usaha sehingga leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba (Widyaningdyah, 2001). Misalnya perusahaan yang memiliki leverage rendah seperti PT Sekar Laut (0,001%) maka tidak cenderung melakukan manajemen laba yang rendah. Sebaliknya PT Indofood Tbk memiliki leverage tinggi (6,72%) sehingga tidak cenderung memiliki manajemen laba tinggi. Alasan ditolaknya hipotesis ini atau tidak berpengaruhnya leverage terhadap manajemen laba adalah karena dilihat dari nilai statistik deskriptifnya nilai leverage cenderung 18
rendah sehingga tidak berpengaruh terhadap manajemen laba atau dengan kata lain tidak menjadi pertimbangan bagi perusahaan dan investor untuk indikasi manajemen laba perusahaan. Selain itu ada kemungkinan interaksi atau terjadi multikolinearitas antara variabel leverage dengan Collaterallizable asset karena dalam perhitungan leverage dan collateralizable asset sama – sama menggunakan aset, sehingga hipotesis ini ditolak. Hipotesis Kelima: “Collaterallizable asset berpengaruh negatif terhadap Manajemen Laba” Dari tabel 4 diketahui nilai signifikansi t untuk variabel COLASS adalah sebesar 0,329 > 0,05 sehingga artinya hipotesis kelima pada penelitian ini ditolak. Jadi collateralizable asset tidak berpengaruh
terhadap
manajemen laba. Hasil penelitian ini mendukung
penelitian Sugeng (2009). Misalnya perusahaan yang memiliki collateralizable asset rendah seperti PT Karwell (13.173.000.000) maka tidak cenderung melakukan manajemen laba yang tinggi.
Sebaliknya
PT
Indorama
Tbk
memiliki
collateralizable
asset
tinggi
(67.349.058.800.000) sehingga tidak cenderung memiliki manajemen laba rendah. Hal ini disebabkan karena dengan adanya collateralizable asset yang dilihat dari nilai statistik deskriptif kurang terlalu tinggi atau cenderung rendah tidak menjadi pertimbangan pihak manajemen untuk melakukan manajeman laba sehingga dapat disimpulkan bahwa collateralizable asset tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Alasan ditolaknya hipotesis penelitian ini adalah karena perusahaan pada penelitian ini yang menjadi sampel cenderung memiliki collateralizable asset yang tidak terlalu tinggi sehingga tidak menjadikan alasan perusahaan untuk melakukan manajemen laba atau dengan kata lain collateralizable asset tidak menjadi pertimbangan
utama manajemen dalam
melakukan manajemen laba sehingga menjadikan collateralizable asset tidak berpengaruh terhadap manajemen laba (Sugeng, 2009). Hal ini disebabkan karena proses monitoring dalam prakteknya oleh kreditur tidak dilakukan dengan ketat sehingga collateralizable asset tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Selain itu ada kemungkinan interaksi atau terjadi multikolinearitas antara variabel leverage dengan Collaterallizable asset sehingga membuat hipotesis ditolak, karena dalam perhitungan leverage dengan Collaterallizable asset melibatkan asset. PENUTUP Kesimpulan
19
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap Manajemen Laba. Leverage tidak berpengaruh terhadap Manajemen Laba. Begitu juga dengan Collaterallizable asset tidak berpengaruh terhadap Manajemen Laba. Hal ini disebabkan karena ada kemungkinan interaksi atau terjadi multikolinearitas antara variabel leverage dengan Collaterallizable asset sehingga membuat hipotesis ditolak. Implikasi Terapan Dari hasil penelitian dapat disarankan untuk investor sebaiknya dapat memperhatikan struktur kepemilikan karena dari hasil penelitian ini terbukti secara empiris bahwa kepemilikan keluarga, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Ini bisa dijadikan pertimbangan sebelum investor menanamkan dana dalam sebuah perusahaan, agar pihak investor tidak salah dalam menanamkan dananya di suatu perusahaan. Untuk Emiten berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan kepemilikan keluarga akan berpengaruh negatif manajemen laba, artinya jika kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan kepemilikan keluargatinggi maka manajemen laba akan rendah, atau sebaliknya. Untuk menghindari manajemen laba yang dilakukan secara oportunis sebaiknya perusahaan atau emiten menambah jumlah proporsi saham manajerial atau institusional atau keluarga yang bisa mengurangi masalah keagenan diantara pemilik dan manajer yang bisa mempengaruhi manajemen labadari perusahaan
tersebut. Dengan semakin besarnya
proporsi
saham
manajerial atau institusional atau keluarga diharapkan konflik yang terjadi antara pemilik dan manajer bisa meminimalkan manajemen laba secara oportunis. Keterbatasan Penelitian dan Saran Keterbatasan pada penelitian ini antara lain adalah dalam mengidentifikasi kepemilikan keluarga ada kemungkinan dilakukan secara subyektif oleh peneliti dengan melihat nama pemegang saham dari suatu perusahaan sehingga tidak cukup untuk digunakan sebagai kesimpulan bahwa kepemilikan tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan keluarga. Pada penelitian selanjutnya diharapkan pengidentifikasian kepemilikan keluarga tidak hanya dilakukan dengan cara subyektif.
20
REFERENSI Anderson, R.C., S.A. Mansi, and D.M. Reeb. 2002. Founding Family Ownership and the Agency Cost of Debt. http://www.ssrn.com . Anderson, R. C., Reeb, D. M. 2003a. Founding-family ownership and firm performance: Evidence from the S&P 500. The Journal of Finance, 58(3), 1301-1327. Arifin, Z. 2003. Masalah Agensi dan Mekanisme Kontrol pada Perusahaan dengan Struktur Kepemilikan Terkonsentrasi yang Dikontrol Keluarga: Bukti dari Perusahaan Publik di Indonesia. Disertasi Pascasarjana FEUI. Boediono, Gideon SB. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005. Cornett M. M, J. Marcuss, Saunders dan Tehranian H. (2006). Earnings Management, Corporate Governance, and True Financial Performance. http://papers.ssrn.com/. Darmawati, D. 2003. Corporate Governance dan Manajemen Laba: Suatu Studi Empiris. Jurnal Bisnis dan Akuntansi Vol.5 No.1, hlm.47-68. Dechow, P.M., Sloan, R.G., & Sweeney, A.P.(1995). Detecting Earnings Management, The Accounting Review 7, 193-225. Dechow, P. M dan Ilia D. Dichev. (2002). The Quality of Accruals and Earnings: The Role of Accrual Estimation Errors. The Accounting Review.Vol. 77. Gabrielsen, Gorm., Jeffrey D. Gramlich dan Thomas Plenborg. (1997). Managerial Ownership, Information Content of Earnings, and Discretionary Accruals in a Non-US Setting. Journal of Business Finance and Accounting, Vol.29. No.7 & 8. September/ Oktober, hal. 967-988. Gideon , SB. Boediono. (2005).Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005. Itturiaga, F. J.L. dan Sanz, J.A.R. 2000. Ownership Structure, Corporate Value and Firm Investment : A spanish Firms Simultaneous Equation Analysis.Working Paper Universidad de Valladolid. Hal. 1-32 Jensen, M., & Meckling, W. (1976). Theory ofthe firm : Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Finacial Economics, 305-369. Kim, J. and C.H. Yi. 2005. Ownership Structure, Business Group Affiliation, Listing Status, and Earnings Management: Evidence from Korea. http:// www.ssrn.com. Koh, P-S. 2003. On the Association between Institutional Ownership and Aggressive Corporate Earnings Management in Australia. The British Accounting Review Vol.35, hlm. 105.
21
Kvaal, Erlend, Langli J.C., Abdolmohammadi, Mohammad. 2012. Earning Management Priorities of Private Family Firms. BI Norwegian Business School. Midiastuty, Pratana Puspa dan Mahfoedz, Mas’ud. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi VI. IAI, 2003. Mitra, S. 2002. The Impact of Institutional Stock Ownership on A Firm’s Earnings Management Practice: An Empirical Investigation. Dissertation Louisiana State University. Mollah, A.S., Keasey, K., and Short, H. (2000). The Influence of Agency Cost on Dividend Policy in Emerging Market: Evidence from the Dhaka Stock Exchange. The Financial Review.November: 523–547. Purnomo, Budi dan Pratiwi. (2009). “Pengaruh Earning Power Terhadap Praktek Manajemen Laba (Earning Management), Studi Kasus Pada perusahaan Go Publik Sektor Manufaktur”, Jurnal Media Ekonomi, Vol. 14, No. 1. Romandhoni, Achmad dan Naomi, Prima. (2012). Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Struktur Modal. Seminar Nasional dan Call for Paper Universitas Atma Jaya Jogjakarta, Hal 172-184. Scott R.W. 2000. Financial Accounting Theory. Second Edition. University of Waterloo. Prentice Hall International, Inc. __________. 2003. Financial Accounting Theory. Third Edition. University of Waterloo. Prentice Hall International, Inc. Stubben, Sthepen R. 2010. Discretionary Revenues as a Measure of Earnings Management. The Accounting Review Vol. 85, No. 2, Maret 2010, Hal. 695-717. Sugeng, Bambang. 2009. Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Struktur Modal terhadap Kebijakan Inisiasi Dividen di Indonesia. Jurnal Ekonomi Bisnis Universitas Negeri Malang. Tahun 14. No 1. Sukartha, Made. 2007. Pengaruh Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial, dan Ukuran Perusahaan pada Kesejahteraan Pemegang Saham Perusahaan Target Akuisisi. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol. 10, No. 3, September 2007 . Hal. 243-267. Utami, Wiwik (2006), “Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur), Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.9, No. 2, Hal 178 – 179 . Warfield, Terry D., J.J. Wild, dan K.L. Wild. (1995). Managerial Ownership, Accounting Choices, and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics 20, hal. 61-91. Watts, R.L., & Zimmerman, J.L. 1986. Positive Accounting Theory. Englewood Clifts: Prentice Hall.
22
Widyaningdyah, Agnes, Utari. 2001. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan. Vol. 3. No. 2. Widiyoko H.C, dan Hadi, S. 2005, “Prediksi Laba dengan Menggunakan Informasi Arus Kas dan Manajemen Laba (Studi pada Perusahaan Non Bank yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2002)”, Sinergi Kajian Bisnis dan Manajemen, Hal 99-109. Yuhao,
Li. 2010. The Case Analysis of the Scandal of Enron. http://ccsenet.org/journal/index.php/ijbm/article/view/7627/5855. 20 Juli 2012.
23