Pengaruh Store Atmosphere terhadap Purchase Intention dengan Perceived Quality sebagai Variabel Intervening pada Victoria’s Secret Surabaya Devina Andrea Putri dan Prof. Hatane Semuel, S.E., MS. Program Manajemen Kepariwisataan Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak - Seiring berkembangnya bisnis ritel di Indonesia persaingan antar peritel semakin ketat dalam mendapatkan konsumen. Sebuah toko harus menciptakan store atmosphere sebaik mungkin yang mana sesuai dengan image yang ingin dibangun dan untuk meningkatkan purchase intention konsumen. Selain itu, store atmosphere yang baik dapat meningkatkan perceived service quality yang selanjutnya dapat membantu meningkatkan perceived product quality dan pada akhirnya dapat mendorong purchase intention konsumen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah store atmosphere Victoria’s Secret dapat mempengaruhi perceived quality dan purchase intention konsumen. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menyebarkan kuisioner ke 100 responden yang memiliki pengalaman berbelanja produk fragrance di Victoria’s Secret Surabaya, yaitu di Galaxy Mall dan Tunjungan Plaza Surabaya. Teknik sampling yang digunakan adalah judgement sampling. Kata kunci : Store atmosphere, perceived quality, perceived product quality, perceived service quality, purchase intention
1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara dengan arus jual – beli dan daya konsumtif masyarakatnya yang tinggi terutama di kota-kota besar di Indonesia. Berdasarkan Indeks Pembangunan Ritel Global (GRDI) 2015 yang dirilis oleh AT Karney, Indonesia berada di peringkat 12 dari 30 besar negara-negara berkembang dalam investasi ritel di seluruh dunia. Peringkat Ini merupakan tingkat pertumbuhan ritel tertinggi yang pernah dicapai Indonesia dalam indeks sejak 2001 (Dahwilani, 2015). Selain itu ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jawa Timur, Riza Wibowo menjelaskan bahwa setiap tahun rata-
rata peningkatan keterisian tenant mall di Jatim yakni 10%-15%. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan pengusaha-pengusaha baru baik bisnis makanan maupun produk pakaian, elektronik dan barang-barang lain. Reza menjelaskan bahwa saat ini ada 23 mal di Surabaya dengan jumlah pengunjung mal sekitar 50% dari total penduduk Surabaya sebanyak 3 juta orang. Rata-rata mal saat ini 40% diisi oleh tenant kuliner dan 60% adalah produk (Widarti, 2014). Dari beberapa data yang yang tertera diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konsumen di Indonesia, khususnya Surabaya memiliki daya beli yang tinggi. Dan tidak dapat dipungkiri apabila setiap tahunnya ada pertambahan tenant di dalam satu mal, berarti pesaingan antar tenant akan semakin ketat. Banyak bisnis ritel yang mungkin pada awalnya sempat booming tetapi setelah beberapa tahun berjalan bisnisnya merosot atau bahkan bangkrut karena berbagai macam alasan. Maka dari itu, peritel harus membuat strategi khusus untuk selalu menarik perhatian konsumen, membuat konsumen tertarik untuk masuk ke dalam toko dan mempengaruhi konsumen dengan berbagai cara untuk mau membeli produk yang ditawarkan demi menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensinya. Pada akhir tahun 2013 ada satu merek internasional yang masuk di pasar Surabaya. Merek yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama perempuan dewasa muda di Surabaya, yaitu Victoria’s Secret. Victoria’s Secret adalah peritel global yang menjual pakaian dalam wanita, busana, parfum, kosmetik, dengan supermodel dan fashion show yang terkenal di dunia. Victoria’s Secret di benua asia lebih berkonsentrasi pada produk beauty dan accessories nya, seperti ; fragrance, bodycare, cosmetics, cosmetic bags, bags, scaves, sunglasses, small leather goods dan luggage. Dalam penelitian ini produk yang digunakan fokus pada kategori fragrance yang disediakan dalam bentuk perfume, mist dan lotion. Victoria’s
2 Secret memiliki dua cabang di Surabaya, yaitu di Tunjungan Plaza dan Galaxy Mall. Menurut Kotler (1973), atmospherics adalah usaha untuk mendesain buying environments atau lingkungan belanja untuk mempengaruhi emosi konsumen, sehingga meningkatkan kemungkinan pembelian konsumen. Store atmosphere berbicara mengenai kesan yang peritel ingin sampaikan kepada konsumen melalui atribut-atributnya (Sezgin, 2014). Store atmosphere adalah karakteristik fisik dari toko yang dapat menggambarkan suatu kesan, menarik perhatian dan mempengaruhi psikologi konsumen (Berman dan Evans, 2010). Baker (1994; 2002) menyatakan bahwa atributatribut store atmosphere yang disebut sebagai store environment dapat mempengaruhi persepsi akan product quality dan service quality pada suatu toko. Menurut Aaker (1991; 2001), perceived quality adalah persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau superioritas produk atau pelayanan. Perceived quality dapat disebut juga sebagai evaluasi konsumen akan produk dan pelayanan dari suatu merek. Perceived quality didefinisikan sebagai penilaian konsumen secara subjektif. Jadi perceived quality bukanlah kualitas sesungguhnya melainkan penilaian pribadi konsumen. Ritel merupakan gabungan antara produk, pelayanan dan pengalaman berbelanja konsumen di dalam sebuah toko, sehingga melibatkan kegiatan seperti mencari produk dan interaksi antara konsumen dengan karyawan/karyawati (Ghatak, 2014). Jadi meskipun produk adalah hal utama yang ditonjolkan dari suatu toko ritel, pelayanan pun tidak dapat dijadikan suatu hal yang dikesampingkan. Karena saat ini kualitas pelayanan telah menjadi alat dasar bagi peritel untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan untuk meningkatkan pengalaman belanja konsumen (Bhaskar, 2011). Perceived product quality dan perceived service quality dapat mempengaruhi decision-making-process dari konsumen (Aaker, 1991). Kotler (2006) menyatakan bahwa purchase intention merupakan salah satu tahap yang ada di dalam decision-making-process pada consumer behaviour atau perilaku konsumen. Purchase intention atau niat beli konsumen timbul setelah konsumen mengevaluasi produk 2dari beberapa merek lalu memilih satu merek yang paling diminati dan sebelum keputusan pembelian konsumen. Semakin tinggi purchase intention berarti semakin tinggi pula kemungkinan
pembelian aktual (Schiffman dan Kanuk, 2007). Dari penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa atmospherics berpengaruh terhadap perceived quality pada food quality dan service quality pada restoran (Ha dan Jang, 2012). Penelitian Khan et al. (2015) di bidang fashion membuktikan bahwa perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention. Calvo et al. (2015) membuktikan bahwa perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention pada penelitian mengenai store brand. Penelitian Arshad (2014) pada perusahaan telekomunikasi membuktikan bahwa perceived service quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen. Wu et al. (2011) membuktikan adanya pengaruh dari perceived service quality pada purchase intention konsumen akan store brand pada drugstore. Ali dan Hussain (2015) membuktikan adanya pengaruh store atmosphere terhadap purchase intention pada retail chain outlet. Goswani dan Mathur (2014) meneliti tentang pengaruh atmospherics pada purchase intention pada beberapa toko ritel di pusat perbelanjaan. Dari seluruh fakta, teori dan hasil penelitian sebelumnya yang ada, penelitian ini dibuat untuk mengetahui pengaruh antar variabel dan mengaplikasikan konsep penelitian-penelitian sebelumnya pada salah satu global retailer pada kateogri fragrance yang membuka cabangnya di Tunjungan Plaza dan Galaxy Mall Surabaya, yaitu Victoria’s Secret. Peneliti memilih produk fragrance sebagai objek utama penelitian dibandingkan dengan produk-produk Victoria’s Secret yang lain, karena produk fragrance dianggap lebih tepat untuk mengaplikasikan konsep penelitian yang diajukan. Diharapkan bahwa penerapan store atmosphere yang baik dapat mempengaruhi perceived quality akan produk dan pelayanan yang positif, sehingga dapat meningkatkan purchase intention konsumen di Victoria’s Secret. Penelitian ini diberi judul “Pengaruh store atmosphere terhadap purchase intention melalui perceived quality sebagai variabel intervening pada Victoria’s Secret Surabaya”. RUMUSAN MASALAH a. Apakah store atmosphere berpengaruh terhadap perceived product quality Victoria’s Secret Surabaya? b. Apakah store atmosphere berpengaruh terhadap perceived service quality Victoria’s Secret Surabaya?
3 c. Apakah perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen Victoria’s Secret Surabaya? d. Apakah perceived service quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen Victoria’s Secret Surabaya? e. Apakah store atmosphere berpengaruh terhadap purchase intention konsumen Victoria’s Secret Surabaya?
2. LANDASAN TEORI 2.1.
Retailing Menurut Levy dan Weitz (2009) retailing adalah “the set of business activities that adds value to the products and service sold to consumers for their personal or family use” (p. 6). Retailing adalah serangkaian aktivitas bisnis yang menambah nilai dari produk dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk digunakan secara pribadi atau keluarga. Selain itu pendapat lain berasal dari Berman dan Evans (2010), ritel (eceran) meliputi aktivitas bisnis yang menjual produk dan jasa kepada konsumen untuk kebutuhan personal, keluarga atau rumah tangga. Yang dimaksud dengan ritel yaitu produk yang dijual langsung kepada konsumen akhir, mulai dari mobil, pakaian , makanan di restoran, tiket film, dan lain sebagainya. Toko atau kedai adalah sebuah tempat tertutup yang di dalamnya terjadi kegiatan perdagangan dengan jenis benda atau barang yang khusus, misalnya toko buku, toko buah, dan sebagainya. Secara fungsi ekonomi, istilah "toko" sesungguhnya hampir sama dengan "kedai" atau "warung". Akan tetapi pada perkembangan istilah, kedai dan warung cenderung bersifat tradisional dan sederhana, dan warung umumnya dikaitkan dengan tempat penjualan makanan dan minuman. Secara bangunan fisik, toko lebih terkesan mewah dan modern dalam arsitektur bangunannya daripada warung. Toko juga lebih moderen dalam hal barang-barang yang dijual dan proses transaksinya (Wikipedia,2015). 2.2. Store Atmosphere Istilah "atmosphere" diciptakan oleh (Kotler, 1973), atmosphere adalah kualitas dari suasana suatu toko yang terdiri dari unsur visual dan non-visual yang dapat mempengaruhi emosi dari konsumen, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan pembelian konsumen. Atmospherics selanjutnya menarik perhatian dari banyak peneliti untuk dikembangkan sehingga
akhirnya memiliki sebutan-sebutan baru dan pengelompokkan yang berbeda namun tetap memiliki arti yang sama. Berman & Evans (2010) menyatakan bahwa, “ For a store-based retailer Atmosphere (atmospherics) refers to the store’s physical characteristics that project an image and draw customers”. Yang berarti store atmosphere (atmosfer toko) mengacu pada karakteristik fisik toko yang memproyeksikan image (citra) dan menarik konsumen. Turley dan Milliman (2000) percaya bahwa store atmosphere berkontribusi dalam keberhasilan atau kegagalan suatu usaha. Levy dan Weitz (2009) menyataakan bahwa Atmospherics mengacu pada desain sebuah lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna, musik dan aroma untuk merangsang persepsi dan tanggapan emosional konsumen dan akhirnya mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Wakefield dan Baker (1998) membuktikan bahwa probabilitas konsumen tinggal lebih lama di dalam toko meningkat disebabkan oleh stimulus atmosphere. Ketika konsumen merasa puas dengan lingkungan toko, konsumen menghabiskan waktu lebih lama di toko tersebut dan membeli lebih banyak karena rangsangan lingkungan yang menyenangkan. Baker (1986) menyebut store atmosphere sebagai store environment, yang dikelompokkan menjadi ambient factors (music, lighting, smell), design factors (floor covering, wall covering, display/fixtures, color, cleanliness, cellings, dressing rooms, aisles, layout, signs) dan social factors (salespeople). Berman and Evans (2010, p. 509) mengemukakan bahwa store atmosphere dibagi menjadi ; exterior, general interior, store layout dan interior (point of purchase) display. Pada penelitian ini, dimensi store atmosphere yang digunakan adalah general interior dan layout : 2.2.1.
General Interior General interior merupakan desain di dalam toko yang meliputi atribut visual dan nonvisual dimana konsumen berinteraksi selama proses berbelanja. General interior dibagi menjadi : 2.2.1.1. Cleanliness Kebersihan dapat menjadi pertimbangan utama bagi konsumen untuk berbelanja di toko. Peritel harus memperhatikan dan merawat toko agar selalu terlihat bersih. Tidak peduli seberapa mahalnya desain interior sebuah toko, apabila terlihat kotor akan menimbulkan kesan yang
4 buruk (Berman dan Evans, 2010). Karpet kotor, lantai bernoda dan langit-langit toko yang buruk dapat menurunkan semangat belanja konsumen. Peritel dapat menyewa kru kebersihan profesional untuk membersihkan toko (Goswani dan Mathur, 2014). Kebersihan dari toko menciptakan kesan nyaman dan mewah dalam pikiran konsumen yang berpengaruh pada lamanya waktu berkunjung dan banyaknya pembelian (Yun dan Good, 2007). Maka dari itu, kebersihan dalam toko harus dijaga sedemikian rupa meskipun kelihatannya suatu hal yang kecil tapi ternyata bisa berdampak pada keputusan konsumen dalam memilih suatu toko untuk berbelanja. 2.2.1.2. Music Musik dapat mempengaruhi keputusan konsumen dalam berbelanja. Tempo musik dapat mempengaruhi persepsi waktu konsumen. Hal ini dapat mempengaruhi pelanggan sejauh mereka merasa nyaman dan memutuskan untuk tinggal lebih lama di toko (Banat dan Wandebori, 2012). Musik dapat mengatur cepat atau lambat perpindahan konsumen di dalam toko, menciptakan image dan menarik atau mengarahkan perhatian konsumen. Musik yang berirama lambat, musik klasik atau musik yang menenangkan dapat mendorong konsumen untuk lebih pelan, relax dan melihat produk dengan lebih seksama (Levy dan Weitz, 2009). Musik berbeda dengan objek visual, karena masuk melalui telinga dan secara tidak sadar dapat mempengaruhi hati, pikiran dan tubuh konsumen (Jain dan Bagdare, 2011). 2.2.1.3. Lighting Pencahayaan yang baik di dalam toko dapat berfungsi lebih dari sekedar menerangi ruangan. Yang pertama, pencahayaan dapat menonjolkan produk tertentu dan menarik perhatian konsumen secara strategis selama berada di dalam toko. Kedua, mengukir ruangan. Ketiga, menciptakan suasana tertentu seperti, warm and cozy ambience (suasana hangat dan nyaman). Tata cahaya yang baik mempunyai kualitas dan warna yang dapat membuat suasana lebih menarik dan terlihat berbeda bila dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya (Berman dan Evans, 2010). 2.2.1.4. Color Warna dapat membantu menciptakan suasana. Warm colors atau warna yang hangat (merah, emas dan kuning) dapat memberikan kesan emosional, semangat , panas , respon aktif.
Sedangkan cool colors atau warna yang dingin (putih, biru, hijau) memiliki efek damai, lembut dan menenangkan. Bauran warna dari toko juga harus sesuai dengan target konsumen dan jenis produknya (Levy dan Weitz, 2009). Misalnya warna-warna primer cocok untuk anak-anak, warna hot vivid (cerah menyala) cocok untuk remaja, warna pastel untuk perhiasan, warna terang untuk pakaian olahraga (Levy dan Weitz, 2004). 2.2.2.
Store Layout Definisi dari layout (tata ruang) toko adalah keseluruhan tempat penjualan dan bagaimana ini dibagi menjadi area-area yang spesifik. Tata letak juga terdiri dari pemanfaatan ruang, perencanaan lorong, dan pengaturan area. Ini mempengaruhi bagaimana barang disajikan dan berpengaruh langsung pada produk yang konsumen lihat selama kunjungannya (Banat dan Wandebori, 2012). Para peritel harus menentukan layout dasar dari toko. Setelah itu, peritel menggunakan signage (papan) dan teknik lain untuk mengarahkan konsumen di dalam toko dan membantu konsumen untuk menemukan lokasi dan informasi mengenai produk (Levy dan Weitz, 2009). 2.3.
Perceived Quality Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), perceived quality dibagi menjadi dua, yaitu perceived quality pada product dan service. Menurut Aaker (1991; 2001), perceived quality adalah persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau superioritas suatu produk atau pelayanan. Selain itu perceived quality dapat juga disebut sebagai evaluasi konsumen akan produk dan pelayanan pada suatu merek. Perceived quality adalah hasil keseluruhan pengalaman konsumen yang berasal dari berbagai rangsangan sensorik yang mana agak susah bagi konsumen untuk menganalisa tetapi dapat digunakan sebagai penilaian keseluruhan akan kualitas dari suatu merek (Zaithaml, 1988). Aaker (1991) berpendapat bahwa perceived quality dapat menunjukkan perbedaan yang menonjol dari suatu produk atau pelayanan dan menjadi membuat suatu merek selektif dalam pikiran konsumen. Perceived product quality adalah penilaian konsumen akan manfaat produk dan perasaan subjektif akan kualitas produk (Dodds et al., 1991). Menurut Baker et al. (2002), merchandise quality perception adalah persepsi akan superioritas produk yang dijual pada sebuah
5 toko. Service yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan dari karyawan/karyawati kepada konsumen pada saat berada di dalam toko. Perceived Service quality merupakan proses evaluasi konsumen, dimana konsumen membandingkan ekspektasi awal akan kualitas pelayanan dengan kualitas pelayanan aktual yang didapatkan (Grönroos, 1984). Menurut Arnauld et al. (2002), perceived service quality dapat diartikan sebagai evaluasi konsumen akan keseluruhan keunggulan dan superioritas dalam memberikan manfaat atau keuntungan yang diinginkan. 2.4.
Purchase Intention Kotler (2006) menyatakan bahwa purchase intention merupakan salah satu tahap yang ada di dalam decision-making-process pada consumer behaviour (perilaku konsumen) dan menjelaskan bahwa purchase intention (niat beli) adalah keinginan yang timbul untuk membeli setelah konsumen mengevaluasi produk pada beberapa merek lalu memilih satu merek yang paling diminati dan sebelum melakukan keputusan pembelian yang dipengaruhi oleh sikap (negatif atau respek) konsumen lain terhadap merek tersebut dan faktor situasional yang tidak terduga (pelayanan karyawan atau karyawati yang buruk, mendahulukan keperluan lain karena keadaan ekonomi).
Gambar 2.1. Langkah – langkah Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian Sumber : Kotler (2006). Purchase intention merupakan kemungkinan konsumen akan membeli produk tertentu di masa mendatang. Meningkatnya purchase intention konsumen berarti dapat
diartikan meningkatnya kemungkinan pembelian (Schiffman dan Kanuk, 2007). Macintosh dan Lockshin (1997) menyatakan bahwa di dalam ritel, purchase intention biasanya ditentukan dengan keinginan untuk tinggal lebih lama di dalam toko, keinginan untuk melakukan pembelian ulang, keinginan untuk membeli lebih banyak di masa yang akan datang, dan kemauan untuk merekomendasikan toko kepada orang lain (dalam Rahma dan Purwanegara, 2013). Donovan dan Rossiter (1982) menyatakan bahwa peritel harus memahami purchase intention untuk mengestimasi ketersediaan konsumen untuk kembali lagi ke toko dan memberikan word-ofmouth yang positif kepada konsumen lain. Dari berbagai teori di atas maka purchase intention diartikan sebagai niat yang muncul untuk membeli produk dari suatu merek yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian aktual konsumen. 2.5. 2.5.1.
HUBUNGAN ANTAR KONSEP Hubungan Store Atmosphere dengan Perceived Quality Store atmosphere dapat mempengaruhi perceived quality akan produk dan pelayanan dalam sebuah toko. Ada beberapa alasan yang mendasari hubungan tersebut. Pertama, pada saat konsumen datang ke suatu lingkungan yang asing, konsumen tidak memiliki informasi mengenai product quality dan service quality yang akan konsumen dapatkan. Sehingga, konsumen cenderung untuk menilai hal tersebut berdasarkan atribut-atribut dari store atmosphere, atau dengan kata lain store atmosphere dapat menjadi dasar evaluasi bagi konsumen untuk menilai kualitas produk dan pelayanan pada suatu toko. Kedua, apabila persepsi konsumen akan store atmosphere positif maka hal tersebut dapat menciptakan emosi positif yang dapat meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan tingkat kualitas produk dan pelayanan. Jadi, semakin positif store atmosphere yang dirasakan konsumen, maka dapat semakin meningkatkan perceived product quality dan perceived service quality dari suatu toko. Pernyataan ini didukung oleh teori dan penelitian yang ada. Schiffman dan Kanuk (2004) berpendapat bahwa perceived quality dapat dinilai dari atribut ekstrinsik dan atribut intrinsik. Atribut intrinsik adalah atribut yang melekat pada produk dan pelayanan itu sendiri. Atribut ekstrinsik adalah atribut yang berhubungan dengan produk atau pelayanan namun bukan bagian dari produk atau pelayanan secara langsung. Apabila
6 konsumen belum pernah menggunakan produk atau pelayanan dari perusahaan, maka konsumen biasanya dapat menilai kualitas produk dan pelayanan tersebut berdasarkan faktor ekstrinsiknya, seperti harga, iklan, dan citra merek. Dalam penelitian ini store atmosphere merupakan faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi persepsi konsumen akan kualitas produk dan pelayanan dari suatu toko. Baker et al. (1994) membuktikan bahwa secara bersamaan atribut - atribut store atmosphere yang disebut store environment dapat menyampaikan suatu pesan pada konsumen, sehingga konsumen dapat menarik kesimpulan mengenai tingkat kualitas produk dan pelayanan yang akan konsumen dapatkan. Store environment dapat menjadi dasar bagi konsumen untuk mengevaluasi kualitas produk (Kotler, 1973). Kotler (1973) menyatakan bahwa store atmosphere menggambarkan tingkat kepedulian kepada konsumennya. Carbone dan Haeckel (1994) menyatakan bahwa environmental aspect atau aspek lingkungan sekitar dapat membantu konsumen untuk mengevaluasi kualitas pelayanan di tempat tersebut. Baker (2002) membuktikan bahwa store environment dapat mempengaruhi perceived merchandise quality dan perceived service quality dari sebuah toko. Dalam studinya, Gardner dan Siomkos (1985) menemukan bahwa konsumen mengevaluasi merek parfum yang sama dengan lebih baik pada saat desain toko menggambarkan kesan high-image daripada desain toko yang menggambarkan kesan low-image. Selain itu, penelitian Ha dan Jang (2012) pada bidang restoran mengkonfirmasi bahwa atmospherics dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas makanan dan pelayanan pada restoran. Konsumen dapat menilai tingkat kualitas makanan dan pelayanan berdasarkan atmosphere yang dirasakan oleh konsumen bahkan sebelum konsumen mengkonsumsi makanan dan pelayanan, yang mana dapat mempengaruhi evaluasi konsumen pada saat konsumen mengkonsumsi makanan dan pelayanan. 2.5.2. Hubungan Perceived Quality dengan Purchase intention Perceived quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen. Apabila konsumen memiliki persepsi atau evaluasi yang positif akan produk dan pelayanan di suatu toko, maka ada kemungkinan bahwa konsumen akan melakukan pembelian aktual, berkunjung kembali,
melakukan pembelian ulang dan merekomendasikan toko tersebut kepada teman dan keluarga. Pernyataan ini didukung oleh teori dan penelitian yang ada. Aaker (1991) berpendapat bahwa perceived quality berhubungan langsung dengan decision-makingprocess dari konsumen. Perceived product quality dan perceived service quality memberikan nilai lebih dan membedakan merek dari pesaing sehingga memberikan konsumen alasan untuk memilih dan membeli produk pada merek tersebut. Selain itu Zeithaml (1996) menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara perceived service quality dan behaviour intention, seperti loyal to company, positive word of mouth dan willingness to recommend. Penelitian Khan et al. (2015) di bidang fashion membuktikan bahwa perceived product quality terhadap purchase intention. Calvo et al. (2015) membuktikan bahwa perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention pada penelitian mengenai store brand. Penelitian Arshad (2014) pada perusahaan telekomunikasi membuktikan bahwa perceived service quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen. Wu et al. (2011) membuktikan adanya pengaruh dari perceived service quality pada purchase intention konsumen pada produk drugstore. 2.5.3. Hubungan Store Atmosphere dengan Purchase intention Store atmosphere dapat mempengaruhi purchase intention konsumen. Karena store atmosphere berpengaruh langsung pada emosi konsumen selama konsumen berada di dalam toko. Apabila persepsi konsumen akan store atmosphere di suatu toko positif, maka pengalaman berbelanja di toko tersebut akan berkesan dan menyenangkan. Sehingga ada kemungkinan bahwa konsumen akan melakukan pembelian aktual, berkunjung kembali, melakukan pembelian ulang dan merekomendasikan toko tersebut kepada teman dan keluarga. Pernyataan ini didukung oleh teori dan penelitian yang ada. Kotler (1973) menyatakan bahwa atmospherics dapat mempengaruhi emosi konsumen, sehingga meingkatkan kemungkinan pembelian konsumen. Atmospheric berpengaruh terhadap consumer behaviour (Turley dan Miliman, 2000). Levy dan Weitz (2009), menyatakan bahwa peritel ingin agar desain toko dapat menarik pelanggan masuk ke dalam toko, memungkinkan mereka menemukan barang yang diinginkan dengan
7 mudah, membuat mereka berada di dalam toko untuk waktu yang lama, memotivasi mereka untuk membuat pembelian yang tidak direncanakan, merangsang pembelian, dan menyediakan pengalaman belanja yang menyenangkan. Penelitian Ali dan Hussain (2015) membuktikan adanya pengaruh store atmosphere (cleanliness, music, scent, temperature, lighting, color, display/layout) terhadap purchase intention pada retail chain outlet. Goswani dan Mathur (2014) meneliti tentang atmospherics (exterior, interior, layout dan visual merchandising) yang sering diperhatikan konsumen dan digunakan oleh para peritel di pusat perbelanjaan. Penelitian ini membutktikan bahwa atmospherics berpengaruh terhadap purchase intention konsumen. 2.6.
KERANGKA PEMIKIRAN
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang menekankan pada keluasan informasi (bukan kedalaman) sehingga metode ini cocok digunakan untuk populasi yang luas dengan variabel yang terbatas, sehingga data atau hasil riset dianggap merupakan representasi dari seluruh populasi (Sugiyono, 2011). 3.2.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis Causal Research (studi kausal). Penelitian kausal adalah penelitian yang bertujuan untuk menganalisa hubungan sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya (Umar, 2002, p. 105). Jadi penggunaan kausal daam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara satu variabel dengan variabel lainnya. Hubungan sebab akibat dari penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengaruh store atmosphere terhadap purchase intention dengan perceived quality sebagai variable intervening pada Victoria’s Secret Surabaya. 3.3. 3.3.1.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 2.7.
HIPOTESIS PENELITIAN
H1 :
Diduga store atmosphere berpengaruh terhadap perceived product quality Victoria’s Secret Surabaya. Diduga store atmosphere berpengaruh terhadap perceived service quality Victoria’s Secret Surabaya. Diduga perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen Victoria’s Secret Surabaya. Diduga perceived service quality berpengaruh terhadap purchase intention konsumen Victoria’s Secret Surabaya. Diduga store atmosphere berpengaruh terhadap purchase intention konsumen Victoria’s Secret Surabaya.
H2 :
H3 :
H4 :
H5 :
Gambaran Populasi dan Sampel Populasi Definisi populasi menurut Maholtra adalah agregat atau keseluruhan dari semua elemen yang memiliki beberapa karakteristik umum, yang terdiri dari alam semesta untuk tujuan masalah riset pemasaran (Maholtra, 2004, p. 314). “Target populasi adalah kumpulan elemen atau objek yang memiliki informasi yang dicari oleh peneliti dan tentang kesimpulan yang harus dibuat” (Maholtra, 2004, p. 315). Populasi dari penilitian ini adalah seluruh konsumen Victoria’s Secret di Surabaya. 3.3.2.
Sampel Jumlah sampel yang akan dijadikan penelitian sebanyak 100 orang dari populasi yang tak terhingga, karena saat ini tidak ada data yang valid mengenai populasi yang dipilih. Sampel ditetapkan sebanyak 100 orang yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Hair et al. (1999), yaitu : N = (Z/2)2 (P.Q)/e2 Sebelumnya penulis tidak pernah melakukan penelitian jumlah sampel, maka penentuan jumlah
8 sampel dilakukan dengan menentukan nilai p dan q masing-masing sebesar 0.5. Hal ini disebabkan kedua perkalian variable tersebut menghasilkan nilai terbesar. N = (Z/2)2 (P.Q)/e2 = (1.96) .
(0.5).(0.5) (0.1)2
= 96.04 ≈ 100 responden N = jumlah sampel minimal P = probabilitas sampel yang mewakili populasi = 0.5 Q = probabilitas sampel yang tidak mewakili populasi = 1-p Z2 = nilai distribusi normal untuk tingkat ketelitian α/2 1.96 3.4. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data Untuk teknik pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik non-probability sampling dimana tidak semua anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama dalam prosedur seleksi. Sebaliknya, mereka bergantung pada peniliaian pribadi peneliti (Malhotra, 2004, p. 320). Dalam proses penentuan sampel, penulis menggunakan teknik judgement sampling dimana elemen populasi dipilih berdasarkan penilaian peneliti (p. 322). Dalam penelitian ini kuisioner dibuat dalam bentuk google form yang dipublikasikan secara online melalui media sosial seperti Line dan Instragram. Selain itu digunakan pula teknik snowball untuk memperluas jangkauan penyebaran kuisioner. Jadi setelah responden mengisi kuisioner lalu peneliti menanyakan kepada responden apakah memiliki teman atau saudara yang memenuhi syarat untuk menjawab pertanyaan dibutuhkan oleh peneliti dan seterusnya. Dalam hal ini penilaian yang ditetapkan peneliti adalah : a) Data Primer : Data yang diperoleh dengan cara membagikan kuisioner kepada responden. Responden dari penelitian ini yaitu wanita dewasa muda berusia 18-35 tahun yang pernah berkunjung dan membeli produk fragrance dalam bentuk perfume, mist atau lotion di Victoria’s Secret Surabaya, yaitu di Tunjungan Plaza atau Galaxy Mall dalam tiga bulan terakhir. b) Data Sekunder : Data sekunder merupakan data penunjang yang dapat digunakan untuk membantu penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah media internet, jurnal penelitian dan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.5.
Skala Pengukuran Format kuisioner dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian (A) bersifat umum dan berkaitan dengan data pribadi responden, sedangkan bagian (B) merupakan pernyataanpernyataan mengenai store atmosphere, perceived quality dan purchase intention yang diukur dengan skala likert. Sebuah data diukur dengan menggunakan skala interval, yaitu “skala yang mempunyai jarak (interval) yang sama pada semua tingkat (rank) dengan suatu atribut yang hendak diukur” (Malhotra, 2004, p. 278). Metode penyusunan skala menggunakan skala Likert dimulai dari skala 1 (Sangat Tidak Setuju) sampai dengan skala 5 (Sangat Setuju), yang dicontohkan sebagai berikut : STS TS N S SS 3.6.
= Sangat Tidak Setuju = Tidak Setuju = Netral = Setuju = Sangat Setuju
= skor 1 = skor 2 = skor 3 = skor 4 = skor 5
Klasifikasi Variabel Sugiyono (2011, p. 3) mendefinisikan variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi : a) Variabel Eksogen Disebut juga variabel bebas yang merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab atau timbulnya variabel dependen (terikat/endogen). Dalam penelitian ini variabel eksogen/bebas (X) adalah store atmosphere. b) Variabel Endogen Disebut juga variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa indonesia sering disebut variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel endogen/terikat (Z) adalah purchase intention. c) Variabel Intervening. Menurut Sugiyono (2012), variabel intervening adalah yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur, Dalam penelitian ini yang menjadi variabel intervening (Y) adalah perceived quality.
9 3.7.
Definisi Operasional Variabel Untuk mempermudah pengukuran variabel penelitian, maka peneliti membutuhkan pengukuran definisi operasional dari variabelvariabel yang akan diteliti. Berikut ini dijelaskan definisi operasional variabel sesuai dengan kerangka konsep penelitian : 1. Variabel bebas/Eksogen yaitu store atmosphere (X). Store atmosphere merupakan persepsi konsumen akan atribut visual dan non-visual toko selama berbelanja di Victoria’s Secret. Store atmosphere dapat diukur dari : X1. General Interior General interior merupakan desain di dalam toko yang meliputi atribut visual dan non-visual dimana konsumen berinteraksi selama proses berbelanja. General interior dibagi menjadi : X1.1. Cleanliness Merupakan kebersihan di dalam toko. Indikator yang digunakan adalah : Kebersihan di Victoria’s Secret membuat konsumen nyaman. Rak-rak yang digunakan untuk menata produk di Victoria’s Secret terjaga kebersihannya. X1.2. Music Merupakan background lagu yang diputar atau dimainkan di dalam toko pada saat konsumen berbelanja. Indikator yang digunakan adalah : Musik di Victoria’s Secret membuat suasana menjadi lebih menyenangkan saat konsumen berbelanja. Musik di Victoria’s Secret menenangkan konsumen. X1.3. Lighting Merupakan teknik pencahayaan di dalam toko. Indikator yang digunakan adalah : Pencahayaan di Victoria’s Secret menyenangkan untuk dilihat. Perpaduan warna pencahayaan di Victoria’s Secret menarik perhatian konsumen akan produk. Pencahayaan di Victoria’s Secret membuat produk terlihat menarik. X1.4. Color Merupakan perpaduan warna yang mendominasi toko. Indikator yang digunakan adalah : Perpaduan warna Victoria’s Secret menarik.
Perpaduan warna dari Victoria’s Secret membuat persepsi positif dalam pikiran konsumen. X2. Store Layout Merupakan penataan dan pengelompokkan produk di dalam sebuah toko. Indikator yang digunakan adalah : Informasi yang disediakan Victoria’s Secret di dalam toko sudah cukup jelas. Cara penataan produk di Victoria’s Secret membuat konsumen dapat melihat produk dengan jelas. Penataan produk yang kreatif dan sistematis membantu konsumen dalam memilih produk. 2. Variabel antara / Intervening yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel eksogen dan menjadi perantara antara variabel eksogen dengan variabel endogen. Variabel intervening dalam penelitian ini adalah Perceived Quality (Y). Perceived Quality dibagi menjadi dua, yaitu Perceived product quality (Y1) dan perceived service quality (Y2) : Y1. Perceived product quality Merupakan persepsi atau evaluasi dari keseluruhan kualitas dan superioritas suatu produk. Perceived product quality dapat diukur dari : Produk Victoria’s Secret memiliki kualitas yang tinggi Produk Victoria’s Secret dapat diandalkan/dipercaya Produk Victoria’s Secret memberikan hasil yang konsumen inginkan Y2. Perceived service quality Merupakan persepsi atau evaluasi dari keseluruhan kualitas dan superioritas suatu pelayanan. Perceived service quality dapat diukur dari : Karyawati sopan dalam melayani konsumen Karyawati Victoria’s Secret berpenampilan baik Kayawati memberikan pengajaran yang relevan untuk memenuhi kebutuhan konsumen (informasi seputar produk dan cara pengaplikasian produk). 3. Variabel tak bebas/Endogen yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, seperti variabel eksogen dan intervening. Purchase
10 intention (Z) merupakan variabel endogen dalam penelitian ini. Purchase Intention merupakan niat konsumen untuk membeli produk dari suatu merek. Purchase Intention dapat diukur dari : Konsumen berminat untuk membeli produk Victoria’s Secret Konsumen berminat untuk berkunjung ke Victoria’s Secret di lain waktu. Konsumen berminat untuk membeli kembali produk Victoria’s Secret di masa yang akan datang. Konsumen bersedia untuk merekomendasikan Victoria’s Secret kepada teman dan keluarga. 3.8. Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.8.1. Uji Validitas Validitas adalah suatu derajat ketepatan alat ukur penelitian tentang isi sebenarnya yang diukur. Validitas item bertujuan untuk menguji apakah tiap butir pertanyaan benar-benar telah sah. Pengujian validitas dalam penelitian ini menggunkan spss statistics 19.0 yang mana syarat minimum agar indikator dianggap memenuhi syarat apabila r = 0,3. Maka dari itu apabila koefisien korelasi kurang dari 0,3 maka indikator atau pertanyaan dalam kuisioner tersebut dikatakan tidak valid. 3.8.2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah jawaban yang diberikan reponden dapat dipercaya atau diandalkan. Teknik pengujian realibilitas dalam penelitian ini menggunakan SPSS statistic 19.0 dengan menggunakan nilai Cronbach Alpha yaitu sebesar 0,6. Jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6 maka alat ukur yang digunakan adalah reliable (andal), jika kurang dari 0,6 maka tidak real. 3.8.3. Analisis Top Two Boxes Bottom Two Boxes Analisa Top Two Boxes Bottom Two Boxes adalah metode yang menggabungkan presentase jawaban responden dalam skala likert. Analisa ini digunakan untuk mengetahui perbandingan antara jumlah bottom option (skor 1,2) yaitu skala sangat tidak setuju dan tidak setuju dengan top option (skor 4,5) yaitu skala setuju dan sangat setuju.
3.9. Structural Equation Modeling (SEM) PLS Structural Equation Modeling (SEM) adalah generasi kedua metode analisis data multivariat yang sering digunakan dalam penelitian marketing karena dapat menguji secara teoritis model kausal aditif dan linear. Dengan SEM, pemasar dapat menguji hubungan yang ada di antara variabel untuk memprioritaskan sumber daya untuk melayani konsumen dengan lebih baik. Variabel laten yang tidak teramati dan sulit untuk diukur dapat digunakan dalam SEM untuk mengatasi masalah penelitian bisnis. PLS adalah perangkat lunak untuk SEM. Dalam penelitian ini digunakan SmartPls versi 3.0. PLS digunakan dalam sebuah penelitian apabila situasi yang ditemukan adalah sebagai berikut : Jumlah sampel kecil Teori yang tersedia terbatas Keakuratan prediksi adalah yang terpenting Ketepatan spesifikasi model tidak dapat dipastikan Penyusunan tahapan penggunaan PLSSEM dalam penelitian ini mengacu pada struktur yang disusun oleh Wong (2013), yaitu adalah sebagai berikut : 1. Evaluasi reliability, dibagi menjadi dua tahap, yaitu indicator reliability dan internal consistency reliability. 2. Evaluasi validity, dibagi menjadi dua tahap, yaitu convergent validity dan discriminant validity. 3. Uji path coefficient dan coefficient of determination. Metode bootsrapping untuk mencari nilai tstatistic untuk menguji hipotesis. 3.9.1. Goodness of Fit (Outer Model) 3.9.1.1. Composite Reliability Indicator reliability dan internal consistency reliability digunakan untuk mengukur seberapa andal atau dapat dipercayanya indikator yang ada. Nilai indicator reliability didapatkan dari pangkat dua angka outer loading yang merupakan korelasi antara item score atau component score dengan construct score yang dihitung dengan analisa PLS regression. Menurut Hulland (1999) apabila nilai indikator 0,70 atau lebih maka dapat dikatakan reliable (dalam Wong, 2013). Internal consistency reliability digunakan untuk mengukur keandalan sebuah latent variable. Cronbach alpha digunakan untuk mengukur internal consistency reliability. Latent
11 variable dapat dikatakan reliable apabila memiliki nilai internal consistency reliability nya lebih dari 0,70 atau lebih (Bagozzi dan Yi, 1988). 3.9.1.2. Convergent Validity dan Discriminant Validity Untuk mengukur validitas suatu latent variable, maka dilakukan dua uji validitas yang disebut convergent validity dan discriminant validity. Convergent validity dilihat berdasarkan nilai average variance extracted (AVE) yang didapat melalui partial least square regression. Nilai AVE harus lebih besar dari 0,50 agar dapat dikatakan valid (Bagozzi dan Yi, 1998). Adapun rumus dasar dari AVE adalah sebagai berikut : AVE
=
Ʃ𝝀𝒊𝟐 𝒗𝒂𝒓𝑭 Ʃ𝝀𝒊𝟐 𝒗𝒂𝒓𝑭+ Ʃ𝑸𝒊𝒊
λi2 , F dan Qii , adalah faktor loading, factor variance dan unique/error variance. Apabila F di set 1, maka Qii adalah 1- akar dari λi. Discriminant validity diukur dengan membandingkan angka dari akar pangkat dua nilai AVE dengan korelasi antar latent variable. Untuk melakukan hal ini secara terstruktur, maka dibuatlah tabel yang memuat korelasi antara latent variable dan juga dituliskan nilai akar pangkat dua dari AVE yang bercetak tebal untuk memudahkan pemeriksaan. Fornell dan Larcker (1981) menyarankan bahwa nilai AVE yang telah diakar pangkat dua tersebut harus lebih besar dari korelasi setiap latent variable yang berhubungan agar discriminat validity suatu variabel dapat dikatakan valid. 3.9.2. Goodness of Fit (Inner Model) 3.9.2.1. Path coefficient Coefficient of Determination (R2) dalam setiap variabel endogen dievaluasi dengan melihat presentase varian yang dijelaskan, yaitu dengan melihat R2 pada konstruk variabel endogen dengan menggunakan pengukuran R-square. Apabila nilai R2 antara 0,25 – 0,50 artinya lemah, 0,50 – 0,75 artinya sedang dan 0,75 keatas artinya substansial. Kuatnya pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam inner model dapat dilihat dari nilai path coefficient antara angka 0 sampai 1. Apabila nilai path coefficient mendekati angka 1, berarti pengaruh variabel eksogen semakin besar terhadap variabel endogen. Sedangkan apabila nilai path coefficient mendekati angka -1, artinya pengaruh variabel eksogen semakin kuat dalam memperlemah variabel endogennya.
3.9.2.2. T-test Apabila peneliti ingin melakukan uji hipotesis, maka T-test digunakan untuk mendapatkan nilai t-statistic, sehingga peneliti dapat mengatakan apakah pengaruh suatu variabel signifikan atau tidak. Pengaruh positif dan negatifnya dapat dilihat dari original sample yang didapat dari prosedur bootstrapping. Bootstrapping adalah suatu proses pengujian resampling yang dilakukan sistem komputer untuk mengukur akurasi pada sample estimate. Bootstrapping digunakan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang diamati. Nilai bootstrap >= 1,96 menunjukkan bahwa pengaruh variabel tersebut kuat, apabila nilainya dibawah 1,96 maka pengaruhnya lemah.
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1.
Gambaran Umum Perusahaan Victoria’s Secret adalah peritel terkemuka khusus pakaian intim wanita dan pakaian lainnya dengan koleksi busana yang menginspirasi, parfum, kosmetik yang bergengsi, dengan supermodel dan fashion show yang terkenal di dunia. Pada tahun 2012 penjualan nya mencapai 6.12 miliar dolar. Victoria’s Secret dimiliki oleh perusahaan swasta yang bernama L Brands yang merupakan family of brand yang memiliki merek-merek mendunia lainnya seperti; PINK, Bath & Body Works, La Senza dan Henri Bendel. Perusahaan ini menjual produknya melalui katalog (mengirimkan 375 juta per tahun), website, dan toko yang tersebar di berbagai belahan dunia. Victoria’s Secret memasarkan produk nya dengan beberapa cara yaitu : a) Victoria's Secret Fashion Show Victoria Secret Fashion Show adalah alat pemasaran tahunan untuk Limited Brands. Acara ini diisi oleh supermodel perempuan yang berjalan di panggung mewah dengan menggunakan produk-produk dari Victoria’s Secret dan beberapa artis atau aktor dunia yang menghibur. b) Victoria's Secret Angels Victoria’s Secret Angels adalah supermodel yang dikontrak selama beberapa tahun untuk menjadi model utama dalam pemotretan untuk iklan di majalah, website, social media dan fashion show tahunan tersebut. c) Social Media Victoria’s Secret mulai memasarkan produk nya melalui internet sejak tahun 2009. Social
12 media yang digunakan adalah Twitter, Pinterest, Instagram dan youtube. Victoria’s Secret di Indonesia dibawa oleh Valiram Group, yaitu retailer yang bermitra dengan ratusan merek-merek kelas dunia di asia pasifik. Victoria’s Secret di benua Asia lebih berkonsentrasi pada produk beauty dan accessories nya, seperti ; fragrance, bodycare, cosmetics, cosmetic bags, bags, scaves, sunglasses, small leather goods and luggage. Produk yang dipilih dalam penelitian ini adalah produk fragrance yang disediakan dalam bentuk perfume, mist dan lotion. Victoria’s Secret memiliki dua cabang di Surabaya, yaitu di Tunjungan Plaza dan Galaxy Mall. 4.2. 4.2.1.
Karakteristik Responden Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
4.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Perkerjaan Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Persentase Pekerjaan Frekuensi (%) Pelajar/Mahasiswa 64 64.0 Pegawai 22 22.0 Wirausaha 14 14.0 Total 100 100.0 4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran Persentase Pengeluaran/bulan Frekuensi (%) ≥ Rp. 16 15.5 1.000.000,00 Rp.1.000.000,00 49 49.0 Rp. 2.000.000,00 35
100
100.0
4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Transaksi Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Transaksi Mal GALAXY MALL TUNJUNGAN PLAZA Total
Frekuensi Persentase (%) 63
63.0
37
37.0
100
100.0
4.3. 4.3.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Usia Frekuensi Persentase (%) 18-26 tahun 84 84.0 27-35 tahun 16 16.0 Total 100 100.0
≥ Rp 2.000.000,00
Total
35.0
Uji Validitas dan Realibilitas Uji Validitas Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan program SPSS Statistics 19.0. Berdasarkan nilai pada kolom Corrected ItemTotal Correlation, dapat disimpulkan bahwa dimensi dari variabel store atmosphere, perceived quality dan purchase intention adalah valid. Karena melalui hasil yang diperoleh, nilai Corrected Item-Total Correlation > 0,3. Tabel 4.5 Uji Validitas Variabel Store Atmosphere Correcte d ItemDimensi Indikator Total Correlati on X1.1.1 0,485 Cleanline ss X1.1.2 0,495 X1.2.1 0,541 Music X1.2.2 0,645 General X1.3.1 0,532 Interior Lighting X1.3.2 0,596 X1.3.3 0,598 X1.4.1 0,589 Color X1.4.2 0,572 X2.1 0,633 Store X2.2 0,611 Layout X2.3 0,612 Tabel 4.6 Uji Validitas Variabel Perceived Quality Corrected Dimensi Indikator Item-Total Correlation Y1.1 0,650
13 Perceived Product Quality Perceived Service Quality
Y1.2
0,610
Y1.3
0,607
Y2.1 Y2.2 Y2.3
0,669 0,642 0,648
Tabel 4.7 Uji Validitas Variabel Purchase Intention Indikator Corrected Item-Total Correlation Z.1 Z.2 Z.3 Z.4
0,706 0,799 0,765 0,713
4.3.2.
Uji Reliabilitas Dengan menggunakan program SPSS Statistics 19.0 ditemukan bahwa variabel store atmosphere, perceived quality dan purchase intention reliabel karena nilai dari Cronbach’s Alpha adalah > 0,6. Tabel 4.8 Uji Realibilitas Variabel Store Atmosphere, Perceived Quality, dan Purchase Intention Variabel Cronbach's Alpha Store Atmosphere 0,879 Perceived Quality 0,851 Purchase Intention 0,882 4.4.
Tanggapan Responden Dari data yang diperoleh kemudian diolah untuk mengetahui bagaimana respon konsumen terhadap dimensi store atmosphere yang meliputi general interior (cleanliness, music, lighting, color) dan store layout, dimensi dari perceived quality yaitu perceived product quality dan perceived service quality dan dimensi dari purchase intention. Mean menunjukkan rata-rata jawaban dari konsumen dari pilihan sangat tidak setuju hingga sangat setuju yang diberi nilai 1-5. Semakin tinggi nilai mean dan standar deviasi maka berarti konsumen makin setuju dengan pernyataan yang diberikan dari setiap indikator pada penelitian ini. Berdasarkan data yang ada konsumen Victoria’s Secret memberikan nilai yang cukup tinggi terhadap setiap variabel dalam penelitian ini. Tabel 4.9 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Cleanliness Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation X1.1.1 0,95 0,00 4,45 0,59
X1.1.2 Total
0,91 0,93
0,00 0,00
4,37 4,41
0,64 0,61
Tabel 4.10 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Music Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation X1.2.1 0,76 0,04 4,00 0,81 X1.2.2 0,59 0,06 3,66 0,83 Total 0,67 0,05 3,83 0,82 Tabel 4.11 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Lighting Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation X1.3.1 0,69 0,04 3,95 0,89 X1.3.2 0,84 0,01 4,17 0,79 X1.3.3 0,84 0,01 4,18 0,75 Total 0,79 0,02 4,10 0,81 Tabel 4.12 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Color Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation X1.4.1 0,91 0,00 4,31 0,64 X1.4.2 0,80 0,02 4,11 0,82 Total 0,85 0,01 4,21 0,73 Tabel 4.13 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Store Layout Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation X2.1 0,64 0,08 3,75 0,92 X2.2 0,79 0,02 4,03 0,82 X2.3 0,80 0,02 4,02 0,76 Total 0,74 0,04 3,93 0,83 Tabel 4.14 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Perceived Product Quality Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation Y1.1 0,90 0,01 4,22 0,66 Y1.2 0,90 0,00 4,21 0,65 Y1.3 0,84 0,01 4,11 0,70 Total 0,88 0,00 4,18 0,67 Tabel 4.15 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Perceived Service Quality Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation Y2.1 0,73 0,06 3,88 0,84 Y2.2 0,79 0,05 3,95 0,75 Y2.3 0,68 0,06 3,76 0,79
14 Total
0,88
0,00
4,18
0,67
X1.3.3 X1.4.1 X1.4.2 X2.1 X2.2 X2.3
Tabel 4.16 Tanggapan Responden Terhadap Variabel Purchase Intention Std. Pertanyaan TTB BTB Mean Deviation Z.1 0,90 0,00 4,21 0,65 Z.2 0,86 0,00 4,27 0,66 Z.3 0,89 0,00 4,23 0,63 Z.4 0,85 0,01 4,10 0,70 Total 0,87 0,00 4,20 0,66 4.5 4.5.1
0,608 0,651 0,650 0,704 0,660 0,649
Tabel 4.18 Nilai Faktor Loading Variabel Perceived Quality Indikator Faktor Loading Y1.1 0,883 Y1.2 0,898 Y1.3 0,871 Y2.1 0,908 Y2.2 0,877 Y2.3 0,869
Analisa SEM Path Analysis
Tabel 4.19 Nilai Faktor Loading Variabel Purchase Intention Indikator Faktor Loading Z.1 0,818 Z.2 0,884 Z.3 0,887 Z.4 0,838
Gambar 4.1 Path Analysis dan Coefficient of Determination 4.5.2. Goodness of Fit – Outer Model Pengujian outer model dilakukan untuk menguji validitas dan reabilitas data. Uji validitas terdiri atas convergent validity (validitas konvergen) dan discriminant validity (validitas diskriminan), sedangkan realibilitas diuji dengan menggunakan statistik composite realibility. 1.
Convergent Validity Suatu indikator memenuhi convergent validity jika mempunyai nilai faktor loading diatas 0,5. Berikut ini adalah hasil validitas konvergen untuk variabel store atmosphere, perceived quality dan purchase intention : Tabel 4.17 Nilai Faktor Loading Variabel Store Atmosphere Indikator Faktor Loading X1.1.1 0,576 X1.1.2 0,645 X1.2.1 0,584 X1.2.2 0,635 X1.3.1 0,534 X1.3.2 0,615
Dari data yang diperoleh semua variabel dari penelitian ini memiliki convergent validity yang baik karena telah memenuhi nilai minimum yang telah ditetapkan. 2.
Discriminant Validity Pengujian discriminant validity dengan melihat nilai cross loadings. Model dikatakan memiliki discriminant validity yang baik apabila nilai cross loadings terhadap variabelnya adalah yang terbesar dibandingkan dengan variabel lainnya. Hasil validitas untuk variabel store atmsophere, perceived quality dan purchase intention adalah sebagai berikut :
X1.1.1 X1.1.2 X1.2.1 X1.2.2 X1.3.1 X1.3.2 X1.3.3 X1.4.1
Tabel 4.20 Cross Loadings Perceived Quality SA PPQ PSQ 0,27 0,27 0,58 0,30 0,32 0,64 0,11 0,35 0,58 0,03 0,27 0,63 0,21 0,15 0,53 0,16 0,22 0,62 0,22 0,30 0,61 0,34 0,25 0,65
PI 0,35 0,39 0,22 0,19 0,17 0,26 0,32 0,40
15 X1.4.2 X2.1 X2.2 X2.3 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y2.1 Y2.2 Y2.3 Z.1 Z.2 Z.3 Z.4
0,65 0,70 0,66 0,65 0,33 0,31 0,33 0,44 0,31 0,42 0,44 0,54 0,49 0,52
0,29 0,28 0,25 0,15 0,88 0,90 0,87 0,40 0,40 0,42 0,58 0,49 0,55 0,59
0,31 0,38 0,24 0,21 0,44 0,37 0,41 0,91 0,88 0,87 0,42 0,45 0,37 0,46
0,46 0,51 0,46 0,37 0,56 0,54 0,61 0,47 0,42 0,43 0,82 0,88 0,89 0,84
Pada tabel 4.20 dapat dilihat bahwa nilai indikator cross loadings telah memnuhi validitas diskriminan, karena nilai pada variabel yang dibentuknya lebih besar dibandingkan variabel yang lain. Dengan demikian validitas diskriminan untuk variabel store atmosphere, perceived quality (perceived product quality & perceived service quality) dan purchase intention dapat dikatakan baik 3.
Uji Reliabilitas Uji reliabilitas ini dapat diuji dengan menggunakan statistik composite reliability dimana nilai composite reliability harus diatas 0,7. Berikut ini adalah hasil dari uji reliabilitas : Tabel 4.21 Nilai Composite Reliability Composite Variabel Reliability Store Atmosphere 0,89 Perceived Product 0,91 Quality Perceived Service 0,92 Quality Purchase Intention 0,92 Pada tabel 4.21 dapat dilihat bahwa nilai composite reliability variabel store atmosphere adalah sebesar 0,89, perceived product quality sebesar 0,91, perceived service quality sebesar 0,92 dan purchase intention sebesar 0,92. Nilai composite reliability tersebut lebih besar dari 0,7. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel store atmosphere, perceived quality (perceived product quality dan perceived service quality) dan purchase intention telah reliable,
karena telah memenuhi composite reliability yang diharapkan. Goodness of Fit – Inner Model Diukur dengan menggunakan nilai RSquare. Berdasarkan pengolahan data menggunakan SmartPLS 3.0, dihasilkan nilai RSquare sebagai berikut : 4.5.3.
Tabel 4.22 Nilai R-Square Variabel R-Square Perceived Product Quality 0,247 Perceived Service Quality 0,197 Purchase Intention 0,565 Menurut hasil perhitungan R-Square yang ada, maka dapat dilakukan perhitungan QSquare sebagai berikut : Q2 = 1- (1-R12) (1-R22) (1-R32) Q2 = 1- (1-0,247) (1-0,197) (1-0,565)) Q2 = 1- (0,735) (0,803) (0,435) Q2 = 1- 0,256739175 Q2 = 0,743260825 Q = 0,8621257593878053 = 86,21% Rumus 4.1 Hasil Perhitungan Q-Square Berdasarkan rumus 4.1 dapat diketahui bahwa nilai Q-Square adalah sebesar 0,8621 atau sebesar 86,21%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai Q-Square berarti semakin baik model prediksi dari model penelitian yang diajukan. 4.6.
T-statistics dan Uji Hipotesis Nilai T-statistics diperoleh dari prosedur bootstrapping dimana nilai ini digunakan untuk menarik kesimpulan pada uji hipotesis. Nilai Tstatistic dengan level signifikansi 5% menjelaskan bahwa inner model akan signifikan apabila nilai T-statistics lebih besar dari 1,96 dan P Values harus kurang dari 0,05. Tabel 4.23 T-statistics T Statistics (│/OSTERR/│)
P Values
Store Atmosphere → Perceived Product Quality
1,89
0,06
Store Atmosphere →
5,19
0,00
16 Perceived Service Quality Perceived Product Quality → Purchase Intention Perceived Service Quality → Purchase Intention Store Atmosphere → Purchase Intention Perceived Service Quality → Perceived Product Quality
H1
H2
H3
H4
H5
6,43
0,00
1,70
0,09
4,58
0,00
3,20
0,00
Tabel 4.24 Kesimpulan Uji Hipotesis Keterangan Status Store Atmosphere berpengaruh terhadap Tidak perceived product Berpengaruh quality Store Atmosphere berpengaruh terhadap Berpengaruh perceived service quality Perceived Product Quality berpengaruh Berpengaruh terhadap purchase intention Perceived Service Quality berpengaruh Tidak terhadap purchase Berpengaruh intention Store atmosphere berpengaruh terhadap Berpengaruh purchase intention
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa store atmosphere dari Victoria’s Secret tidak berpengaruh terhadap perceived product quality karena nilai uji t-statistic < 1,96 yaitu hanya sebesar 1,89 dan P Values > 0,05 yaitu sebesar 0,06. Artinya persepsi konsumen akan store atmosphere Victoria’s Secret tidak dapat secara langsung mempengaruhi perceived product quality. Pada saat konsumen memiliki penilaian yang positif akan store atmosphere di Victoria’s Secret hal tersebut tidak dapat mempengaruhi konsumen untuk meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan tingkat
kualitas produk, terutama fragrance yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil berikut tidak sesuai dengan ide awal dari penelitian ini. Mungkin pada banyak teori-teori yang mendukung hipotesis diatas, namun pada produk fragrance Victoria’s Secret hubungan tersebut ditolak. Schiffman dan Kanuk (2004) menjelaskan bahwa perceived quality dapat dinilai dari atribut intrinsik dan ekstrinsik. Atribut instrinsik adalah atribut yang berhubungan dengan produk akan tetapi bukan menjadi bagian dari produk, yaitu seperti harga, iklan, citra merek, dan juga store atmosphere. Sedangkan atribut ekstrinsik adalah atribut yang melekat pada produk sendiri, yaitu seperti warna, ukuran, rasa, aroma, dan kemasan. Jadi pada penelitian ini konsumen Victoria’s Secret menilai tingkat kualitas produk fragrance Victoria’s Secret cukup berdasarkan pada atribut instrinsik. Dengan melihat warna, kemasan, merasakan aroma yang ada, konsumen dapat menilai tingkat kualitas fragrance Victoria’s Secret. Dengan demikian hasil peneltian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa adanya pengaruh dari store atmosphere terhadap perceived quality akan produk di bidang restoran (Ha dan Jang, 2012). Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa store atmosphere Victoria’s Secret berpengaruh terhadap perceived service quality dengan nilai uji t-statistic > 1,96 yaitu sebesar 5,146 dan P Values < 0,05 yaitu sebesar 0,00. Artinya semakin baik store atmosphere yang ditampilkan oleh Victoria’s Secret maka dapat meningkatkan perceived service quality di Victoria’s Secret. Pada saat konsumen merasa senang dengan store atmosphere yang dirasakan di Victoria’s Secret maka persepsi atau evaluasi konsumen akan tingkat pelayanan di Victoria’s Secret akan meningkat. Hasil peneltian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang telah membuktikan adanya pengaruh dari store atmosphere terhadap perceived quality akan pelayanan di bidang restoran (Ha dan Jang, 2012). Hasil penelitian tersebut juga mendukung teori yang ada bahwa store atmosphere dapat menjadi dasar evaluasi konsumen akan tingkat kualitas pelayanan (Carbone dan Haeckel, 1994) pada suatu tempat. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention dengan nilai uji tstatistics > 1,96 yaitu sebesar 6,43 dan P Values > 0,05 yaitu sebesar 0,00. Artinya semakin baik perceived product quality di Victoria’s Secret
17 maka dapat meningkatkan purchase intention dari konsumen. Berdasarkan penelitian ini purchase intention adalah seperti minat konsumen untuk membeli produk Victoria’s Secret, minat konsumen untuk berkunjung kembali, minat konsumen untuk membeli produk kembali dan kesediaan konsumen untuk merekomendasikan Victoria’s Secret kepada teman dan keluarga. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang telah membuktikan adanya pengaruh yang signifikan dari perceived product quality terhadap purchase intention (Ha dan Jang, 2012; Calvo et al., 2015; Khan et al., 2014). Hal ini membenarkan pernyataan Aaker (1991) yang menyatakaan bahwa persepsi atau evaluasi konsumen yang tinggi dapat memberikan suatu nilai plus sehingga memberikan alasan bagi konsumen untuk memilih dan membeli produk dari suatu merek. Kualitas produk di Victoria’s Secret bisa dikatakan baik karena sebagian besar konsumen memilih jawaban setuju terhadap pernyataan yang merupakan indikator dari perceived product quality dan dapat dilihat dari hasil rata-rata nilai perceived product quality yaitu sebesar 4,18. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa perceived service quality tidak terbukti berpengaruh terhadap purchase intention atau tidak mempengaruhi purchase intention secara signifikan karena nilai uji t-statistic < 1,96 yaitu hanya sebesar 1,70 dan P Values > 0,05 yaitu sebesar 0,09. Artinya tinggi atau rendahnya perceived service quality di Victoria’s Secret tidak mempengaruhi purchase intention dari konsumen. Konsumen berminat untuk membeli produk Victoria’s Secret bukan berdasarkan seberapa baik kualitas pelayanan yang didapatkan. Dengan begitu hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perceived service quality dapat mempengaruhi purchase intention dari konsumen (Ha dan Jang, 2012; Wu et al., 2011; Arshad, 2014). Akan tetapi kualitas pelayanan di Victoria’s Secret bisa dikatakan baik karena sebagian besar konsumen memilih jawaban setuju terhadap pernyataan yang merupakan indikator dari perceived service quality dan dapat dilihat dari hasil rata-rata nilai perceived service quality yaitu sebesar 3,86. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa store atmosphere berpengaruh terhadap purchase intention dengan nilai uji t-statistic > 1,96 yaitu sebesar 4,58 dan P Values < 0,05 yaitu sebesar 0,00. Artinya semakin baik store atmosphere yang ditampilkan di Victoria’s Secret
maka akan meningkatkan purchase intention dari konsumen. Berdasarkan penelitian ini purchase intention adalah seperti minat konsumen untuk membeli produk Victoria’s Secret, minat konsumen untuk berkunjung kembali, minat konsumen untuk membeli produk kembali dan kesediaan konsumen untuk merekomendasikan Victoria’s Secret kepada teman dan keluarga. Dengan demikian hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa store atmosphere dapat mempengarui purchase intention secara signifikan (Ali dan Hussain, 2011; Ha dan Jang, 2012; Goswani dan Mathur, 2014). Hal ini membenarkan pernyataan dari Kotler (1973) bahwa store atmosphere yang baik dapat mempengaruhi emosi konsumen secara langsung sehingga meningkatkan kemungkinan pembelian konsumen. Store atmosphere yang diterapkan di Victoria’s Secret bisa dikatakan baik. Hal ini ditunjukkan dari sebagian besar konsumen memilih jawaban setuju terhadap pernyataan yang merupakan indikator dari store atmosphere dan dapat dilihat dari hasil rata-rata nilai store atmosphere seperti general interior yaitu cleanliness, music, lighting, color adalah 4.41, 3.83, 4.10, 4.21 dan store layout sebesar 3.93. Hubungan direct atau langsung dari store atmosphere terhadap purchase intention berikut bekerja untuk konsumen yang sudah memiliki tujuan untuk berbelanja produk fragrance di Victoria’s Secret yang mana konsumen berikut juga diketahui tidak memandang kualitas dari produk maupun pelayanan dari Victoria’s Secret melainkan konsumen ini lebih berfokus akan value yang bisa didapatkan dari sisi entertaiment dan rasa senang yang didapatkan pada saat melihat dan merasakan store atmosphere yang diciptakan oleh Victoria’s Secret pada saat berbelanja yang mana selanjutnya dapat meningkatkan niat beli konsumen. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, penulis menduga bahwa adanya pengaruh dari perceived service quality terhadap perceived product quality. Setelah diuji menggunakan SmartPls 3.0, hasil dari hubungan tersebut dapat dibenarkan atau terbukti berpengaruh dengan nilai uji t-statistic > 1,96 yaitu sebesar 3,20 dan P Values < 0,05 yaitu sebesar 0,00. Jadi apabila perceived service quality di Victoria’s Secret baik, maka dapat meningkatkan perceived product quality. Pada saat konsumen memiliki persepsi atau evaluasi yang baik akan pelayanan di Victoria’s Secret, maka hal tersebut mendorong konsumen untuk memiliki persepsi atau evaluasi yang baik pula akan produk Victoria’s Secret.
18 Jadi, store atmosphere dapat mempengaruhi purchase intention secara indirect atau tidak langsung melalui perceived quality. Jadi, pada saat konsumen merasa bahwa store atmosphere di Victoria’s Secret baik, positif atau menyenangkan maka hal tersebut dapat meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas pelayanan di Victoria’s Secret yang mana selanjutnya dapat meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas produk dan pada akhirnya pada saat konsumen merasa bahwa produk Victoria’s Secret berkualitas tinggi maka hal tersebut dapat mendorong niat beli konsumen. Hubungan pengaruh secara indirect atau tidak langsung berikut bekerja untuk konsumen yang ingin berpindah merek fragrance atau dengan kata lain yaitu konsumen yang tidak memiliki rencana awal untuk membeli produk Victoria’s Secret dimana konsumen tersebut ingin melihat dan merasakan manfaat dan kelebihan produk dan pelayanan Victoria’s Secret terlebih dahulu yang mana selanjutnya dapat meningkatkan niat beli konsumen.
4.
5.
6.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut : 1. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa store atmosphere dapat mempengaruhi purchase intention secara langsung maupun tidak langsung melalui perceived quality. 2. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa store atmosphere tidak berpengaruh terhadap perceived product quality. Artinya persepsi konsumen akan store atmosphere Victoria’s Secret tidak dapat secara langsung meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas produk. Konsumen membangun persepsi atau evaluasi akan kualitas produk fragrance di Victoria’s Secret cukup berdasarkan faktor instrinsik yaitu ukuran, warna, aroma dan kemasan produk. 3. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa store atmosphere berpengaruh terhadap perceived service quality. Karena konsumen cenderung untuk membentuk persepsi atau mengevaluasi kualitas pelayanan berdasarkan seberapa baik store atmosphere yang konsumen lihat dan rasakan. Jadi, pada saat konsumen merasa bahwa store atmosphere dari Victoria’s
7.
Secret baik, positif atau menyenangkan maka hal tersebut dapat meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas pelayanan di Victoria’s Secret. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perceived product quality berpengaruh terhadap purchase intention. Jadi, pada saat konsumen memiliki persepsi atau evaluasi yang tinggi akan kualitas produk Victoria’s Secret, maka hal tersebut memberikan suatu nilai plus yang dapat meningkatkan niat beli konsumen. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perceived service quality tidak berpengaruh terhadap purchase intention. Artinya, tinggi atau rendahnya persepsi atau evaluasi konsumen akan tingkat kualitas pelayanan di Victoria’s Secret tidak dapat mempengaruhi niat beli konsumen atau dengan kata lain konsumen berminat membeli produk Victoria’s Secret bukan berdasarkan pada aspek pelayan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa store atmosphere berpengaruh terhadap purchase intention. Hal ini dikarenakan store atmosphere berhubungan langsung dengan emosi konsumen, jadi pada saat konsumen merasa bahwa store atmosphere di Victoria’s Secret baik, positif atau menyenangkan maka dapat meningkatkan niat beli konsumen. Pengaruh store atmosphere terhadap purchase intention secara langsung ditujukan untuk konsumen yang dari awal sudah memiliki tujuan atau berminat untuk berbelanja produk fragrance di Victoria’s Secret. Hubungan direct atau langsung dari store atmosphere terhadap purchase intention berikut bekerja untuk konsumen yang sudah memiliki tujuan untuk berbelanja produk fragrance di Victoria’s Secret yang mana konsumen berikut juga diketahui tidak memandang kualitas dari produk maupun pelayanan dari Victoria’s Secret melainkan konsumen ini lebih berfokus akan value yang bisa didapatkan dari sisi entertaiment dan rasa senang yang didapatkan pada saat melihat dan merasakan store atmosphere yang diciptakan oleh Victoria’s Secret pada saat berbelanja yang mana selanjutnya dapat meningkatkan niat beli konsumen. Hasil penelitian ini menemukan bahwa adanya pengaruh dari perceived service quality terhadap perceived product quality yang mana dapat menjadi jalur store atmosphere dalam mempengaruhi purchase
19 intention secara indirect atau tidak langsung. Jadi, pada saat konsumen merasa bahwa store atmosphere di Victoria’s Secret baik, positif atau menyenangkan maka hal tersebut dapat meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas pelayanan di Victoria’s Secret yang mana selanjutnya dapat meningkatkan persepsi atau evaluasi konsumen akan kualitas produk dan pada akhirnya pada saat konsumen merasa bahwa produk Victoria’s Secret berkualitas tinggi maka hal tersebut dapat mendorong niat beli konsumen. Hubungan pengaruh secara indirect atau tidak langsung berikut bekerja untuk konsumen yang ingin berpindah merek fragrance atau dengan kata lain yaitu konsumen yang tidak memiliki rencana awal untuk membeli produk Victoria’s Secret dimana konsumen tersebut ingin melihat dan merasakan manfaat dan kelebihan produk dan pelayanan Victoria’s Secret terlebih dahulu yang mana selanjutnya dapat meningkatkan niat beli konsumen. 5.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Sebaiknya pihak Victoria’s Secret dapat memperhatikan kembali bagaimana keadaan store atmosphere yang ada dan juga berusaha untuk menampilkan dan menciptakan store atmosphere sebaik mungkin sesuai dengan kesan dan pesan yang ingin disampaikan kepada konsumen. Karena berdasarkan penelitian yang ada terbukti bahwa store atmosphere yang baik dapat mempengaruhi emosi konsumen sehingga bisa mempengaruhi niat beli konsumen secara langsung maupun tidak langsung melalui perceived quality. 2. Cleanliness merupakan hal yang penting untuk kenyamanan konsumen pada saat berbelanja dan dapat menciptakan kesan mewah. Pihak Victoria’s Secret juga dapat meningkatkan kualitas music yang diputar di dalam toko karena music yang baik dapat menenangkan konsumen dan memperlambat waktu belanja konsumen. Pihak Victoria’s Secret juga dapat menciptakan kesan atau karakter merek yang ingin disampaikan kepada konsumen melalui color atau pilihan bauran warna pada sekeliling toko. Perpaduan pencahayaan atau lighting juga sangat berguna untuk membuat produk terlihat lebih
menarik dan juga untuk menonjolkan produkproduk secara khusus. Selain itu pihak Victoria’s Secret juga bisa mengatur store layout sedemikian rupa untuk faktor estetika dan kenyamanan konsumen dalam memilih produk. 3. Sebaiknya pihak Victoria’s Secret tetap menjaga dan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Karena hasil penelitian ini membuktikan bahwa perceived product quality dan perceived service quality berperan sebagai variabel intervening store atmosphere dalam mendorong purchase intention konsumen.
4. DAFTAR PUSTAKA Aaker, D. A. (1991). Managing brand equity : capitalizing on the value of brand name. New York: The Free Press. Aaker, D. A., & Mcloughlin, D. (2001). Strategic market management : global perspective. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd. Ali, M., & Hussain, R. (2015). Effect of store atmosphere on consumer purchase intention, 7(2), 35–43. http://doi.org/10.5539/ijms.v7n2p35 Arnauld, E. J., Price, L. L., & Zinkhan, G. M. (2002). Consumers. New York: Mc-GrawHill Hilgher Education. Arshad, R. (2014). Perceived service quality and customer satisfaction with mediating effect of purchase intention. Academy of Contemporary Research Journal, 8(2l), 40– 49. Retrieved from http://aocrj.org/archive/ Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1988). On the evaluation of structural equation models. Journal of the Academy of Marketing Science. http://doi.org/10.1177/00920703880160010 7 Baker, J. (1986). The role of the environment in marketing services: the consumer perspective. The Role of the Environment in Marketing Services: The Consumer Perspective, 79–89. Baker, J., Parasuraman, A., Grewal, D., & Voss, G. B. (2002). The influence of multiple store environment cues on perceived merchandise value and patronage intentions. Journal of Marketing, 66(2), 120–141. http://doi.org/10.1509/jmkg.66.2.120.18470
20 Baker, J., & Parasuraman, D. G. A. (1994). The influence of store environment on quality inferences and store image, 328–339. Banat, A., & Wandebori, H. (2012). Store design and store atmosphere effect on customer sales per visit. 2nd International Conference on Business, Economics, Management and Behavioral Sciences, 84–89. Berman, B., & Evans, J. R. (2010). Retail management : a strategic approach 11th ed. USA: Pearson Education, Inc. Bhaskar, N. U., & Shekhar, B. R. (2011). Impact of service quality on apparel retail customer satisfaction-a study of select metropolitan city hyderabad. Journal of Management Research, 3(2), 1–13. http://doi.org/10.5296/jmr.v3i2.674 Bohl, P. (2012). The effects of store atmosphere on shopping behaviour - a literature review. Corvinus Marketing Tanulmányok, 1–23. Retrieved from http://unipub.lib.unicorvinus.hu/669/1/CMT_2012-1.pdf Bowen, J. T., & Shoemaker, S. (1998). Loyalty: a strategic commitment. Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly. http://doi.org/10.1016/S00108804(03)90105-4 Calvo-Porral, C., Martínez-Fernández, V. A., Juanatey-Boga, O., & Lévy-Mangín, J. P. (2015). Measuring the influence of customer-based store brand equity in the purchase intention. Cuadernos de Gestion, 15(1), 93–118. http://doi.org/10.5295/cdg.130408cc Carbone, L. P., & Haeckel, S. H. (1994). Engineering customer experiences. marketing management, (January 1994), 8– 19. Dahwilani, D. M. (2015). Pertumbuhan ritel indonesia peringkat 12 dunia. Retrieved from http://ekbis.sindonews.com/read/1007773/3 4/pertumbuhan-ritel-indonesia-peringkat12-dunia-1433163799 Dodds, W. B., Monroe, K. B., & Grewal, D. (1991). Effects of price, brand, and store information on buyers’ product evaluations. Journal of Marketing Research, 28(3), 307. http://doi.org/10.2307/3172866 Donovan, R. J., & Rossiter, J. R. (1982). Store atmosphere : an environment psychology approach, 58(1), 34–57. Gardner, M. P., & Siomkos, G. J. (1985). Toward a methodology for assessing effects of instore atmospherics. Advances in Consumer
Research, 13(1), 27–31. Retrieved from http://www.aueb.gr/Users/siomkos/docs/art icles/Siomkos_Gardner_1986.pdf Ghatak, R. R. (2014). Managing service quality in indian apparel retail, 3(5), 268–278. Goswani, S., & Mathur, M. (2014). Store atmospheric factors driving customer purchase intention - an exploratory study, 6(2), 111–117. Grönroos, C. (1984). A service quality model and its marketing implications. European Journal of Marketing, 18(4), 36–44. http://doi.org/10.1108/EUM000000000478 4 Ha, J., & Jang, S. (2012). The effects of dining atmospherics on behavioral intentions through quality perception. Journal of Services Marketing, 26(3), 204–215. http://doi.org/10.1108/08876041211224004 Hair, J. F., Anderson, R. E., Tatham, R. L., & Black, W. C. (1999). Análisis multivariante. Madrid: Prentice Hall. Jain, R., & Bagdare, S. (2011). Music and consumption experience: a review. International Journal of Retail & Distribution Management, 39(4), 289–302. http://doi.org/10.1108/09590551111117554 Khan, N., Rahmani, S. H. R., Hoe, H. Y., & Chen, T. B. (2015). Causal relationships among dimensions of consumer-based brand equity and purchase intention: fashion industry. International Journal of Business and Management, 10(1), 172–181. http://doi.org/10.5539/ijbm.v10n1p172 Kotler, P., & Keller, K. V. (2006). Marketing management 12e. USA: Pearson Education, Inc. Kotler, P. (1973). Atmospherics as a marketing tool*, 49(4), 48–64. Lee, L.-S., Huang, S.-L., & Hsiao, S. (2013). Consumer perceived service quality of essential oil stores, 9(2), 184–193. Levy, M., & Weitz, B. A. (2009). Retailing management : seventh edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing management 5th ed. Boston: McGraw-Hill Companies, Inc. Maholtra, N. K. (2012). Basic marketing research : intergration of social media. Jakarta: PT Index Kelompok Gramedia. Malhotra, N. K. (2004). Marketing research. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall.
21 Milliman, R. E. (1986). The influence of background music on the behavior of restaurant patrons. The Israel Annals of Psychiatry and Related Disciplines, 13, 286–289. http://doi.org/10.1086/209068 Parasuraman, A., Zeithaml, V., & Berry, L. (1985). Conceptual model of service quality and its implications for future research. Journal of Marketing, 49, 41–50. http://doi.org/10.1016/S01482963(99)00084-3 Rahma, A. N., & Purwanegara, M. S. (2013). Effect on visual merchandising in fashion store on female consumer s ’ purchase intention, 1–13. Sciffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2007). Consumer behaviour 9th edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc. Sciffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2004). Consumer behaviour 8th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Sezgin, M., & Küçükköylü, S. (2014). Store’s atmosphere's importance in creating store's image in sustainable management of store and a research in konya(turkey) city. Journal of Advanced Management Science, 2(3), 186–191. http://doi.org/10.12720/joams.2.3.186-191 Sugiyono. (2011). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta Cv. Turley, L. W., & Milliman, R. E. (2000). Atmospheric effects on shopping behavior. Journal of Business Research, 49, 193–211. http://doi.org/10.1016/S01482963(99)00010-7 Umar, H. (2002). Metode penelitian untuk skripsi dan tesis bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Vo, T. T. N., & Nguyen, C. T. K. (2015). Factors influencing customer perceived quality and purchase intention toward private labels in the vietnam market: the moderating effects of store image. International Journal of Marketing Studies, 7(4), 51–63. http://doi.org/10.5539/ijms.v7n4p51 Wakefield, K. L., & Baker, J. (1998). Excitement at the mall: determinants and effects on shopping response. Journal of Retailing, 74(4), 515–539. http://doi.org/10.1016/S00224359(99)80106-7 Widarti, P. (2014). Pusat perbelanjaan: okupansi lewati angka 80%. jatim butuh mal baru? Retrieved from
http://kabar24.bisnis.com/read/20140929/7 8/260940/pusat-perbelanjaan-okupansilewati-angka-80.-jatim-butuh-mal-baru Wikipedia Ensiklopedia Bebas. (2015). Toko. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Toko Wikipedia, the free encyclopedia. (2015). Victoria’s Secret. Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Victoria%27s _Secret Wong, K. K. (2013). Partial least aquares structural equation modeling (PLS-SEM) techniques using SmartPLS. Marketing Bulletin, 24(1), 1–32. http://doi.org/10.1108/EBR-10-2013-0128 Wu, P. C. S., Yeh, G. Y.-Y., & Hsiao, C.-R. (2011). The effect of store image and service quality on brand image and purchase intention for private label brands. Australasian Marketing Journal, 19, 30–39. http://doi.org/10.1016/j.ausmj.2010.11.001 Yoo, C., Park, J., & MacInnis, D. J. (1998). Effects of store characteristics and in-store emotional experiences on store attitude. Journal of Business Research, 42(3), 253– 263. http://doi.org/10.1016/S01482963(97)00122-7 Yun, Z.-S., & Good, L. K. (2007). Developing customer loyalty from e-tail store image attributes. Managing Service Quality, 17(1), 4–22. http://doi.org/10.1108/09604520710720647 Zeithaml, V. A., Berry, L. L., & Parasuraman, A. (1996). The behavioral consequences of service quality. Journal of Marketing, 60, 31–46. http://doi.org/10.2307/1251929