PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PETANI ANGGREK TERHADAP KINERJA USAHA: Kasus di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan
PUSPITASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha: Kasus di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, serta Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Puspitasari NIM H451100311
RINGKASAN PUSPITASARI.Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha: Kasus di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, serta Kecamatan Serpong, Kota Tanggerang Selatan. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan ANNA FARIYANTI. Peluang pengembangan anggrek di Indonesia masih sangat besar jika dilihat dari potensi sumberdaya genetik yang melimpah. Selain itu, kondisi agroklimat, ketersediaan lahan yang relatif luas, adanya dukungan tenaga kerja dan teknologi, serta potensi pasar di dalam dan luar negeri, merupakan keunggulan komparatif yang sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif. Salah satu penyebab masih rendahnya kinerja industri anggrek nasional adalah karena masih kurangnya kompetensi yang dimiliki petani anggrek, seperti; (1) kurangnya pengetahuan terhadap preferensi konsumen, (2) kurangnya penguasaan teknologi, baik teknologi pembibitan, budidaya, maupun pascapanen, serta (3) kurangnya ketanggapan terhadap informasi pasar. Tujuan penelitian ini adalah; (1) mengidentifikasi karakteristik petani anggrek, (2) menganalisis pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap perilaku kewirausahaan petani anggrek, dan (3) menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usaha anggrek. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Gunung sindur, Parung, dan Serpong, dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan bagian dari sentra anggrek di Jawa Barat dan Banten. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dengan jumlah sampel 115 orang. Data penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik petani anggrek, dan analisis dengan menggunakan Model Persamaan Struktural (Structural Equation Models). Hasil penelitian menunjukan, karakteristik petani anggrek di Kecamatan Gunung sindur, Parung dan Serpong secara umum antara lain: (1) tingkat pendidikan petani anggrek dapat dikatakan cukup dengan mayoritas lulusan SLTA, (2) memiliki pengalaman yang cukup lama dalam berusahatani anggrek, hal ini karena mayoritas merupakan usaha turun temurun, (3) bagi sebagian besar petani usaha ini merupakan mata pencaharian utama, (4) umumnya modal usaha didapatkan dari modal pribadi, namun dirasa tidak memadai, (5) taraf hidup dan kesejahteraan petani anggrek pada umumnya masih rendah, dikarenakan skala usaha yang kecil, yang pada akhirnya berimbas pada pendapatan, dan mayoritas petani anggrek hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hasil pengujian dengan SEM menunjukan Faktor Internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku Kewirausahaan, Faktor Internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku Kewirausahaaan, dengan koefisien pengaruh 0.56. Faktor internal diukur berdasarkan indikator skala usaha, kepemilikan modal usaha, kepemilikan sarana/prasarana produksi, motivasi berprestasi, persepsi terhadap usaha dan intensi berwirausaha anggrek. Peningkatan Faktor Internal akan meningkatkan perilaku kewirausahaan petani anggrek. hal ini menunjukan bahwa peningkatan skala usaha, keinginan
berwirausahatani, motif berprestasi dan persepsi terhadap usaha yang tinggi, dapat meningkatkan perilaku kewirausahaan. Faktor Eksternal berpengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien pengaruh sebesar -0.15. Sementara Faktor Eksternal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan, hal ini dikarenakan dukungan pemerintah berupa pendidikan dan penyuluhan, bantuan modal dan saprodi, promosi dan pemasaran, regulasi usaha, serta ketersediaan informasi pasar belum sesuai dengan kebutuhan petani dan belum tepat sasaran. Jika dilihat dari kondisi di lapangan, secara umum dukungan pemerintah dalam hal penyuluhan dan pelatihan, bantuan pengadaan modal dan sarana produksi, promosi dan pemasaran, regulasi usaha, serta ketersediaan informasi pasar, sampai dengan saat ini dirasakan belum cukup memadai, dan belum mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan pada petani anggrek. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, pemerintah melalui dinas instansi terkait belum menunjukan keberpihakan yang besar, serta kurang mampu memahami kebutuhan serta persoalan yang dihadapi petani, sehingga bantuan yang sudah pernah diberikan dirasakan belum sesuai dengan kebutuhan petani. Variabel laten Perilaku Kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Usaha. Variabel laten perilaku kewirausahaan berpengaruh langsung dan positif terhadap kinerja usaha dengan koefisien pengaruh sebesar 0.55, dan t-hitung 7,51 maka pengaruhnya signifikan pada taraf nyata 5%. Dengan demikian peningkatan perilaku kewirausahaan akan meningkatkan kinerja usaha petani anggrek. Hal ini menunjukan bahwa perilaku kewirausahaan berperan penting dalam peningkatan kinerja usaha, sehingga dengan ketekunan, ketanggapan terhadap peluang, inovatif, keberanian mengambil risiko dan kemandirian pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja usaha. Kata kunci: perilaku kewirausahaan, kinerja usaha, petani anggrek, Structural Equation Models (SEM).
SUMMARY PUSPITASARI. The Influence Analysis of Entrepreneurial Behaviour of Orchid Farmers on Bussiness Performance: Cases in Gunung Sindur and Parung, Bogor Regency, and in Serpong, Tangerang Selatan Municipality. Supervised by RITA NURMALINA dan ANNA FARIYANTI. The opportunities of orchid development in Indonesia is still potentially increased because of the genetic resources of orchid are abundant, in addition the agro-climatic conditions, availability of land is relatively wide, the support of labor and technology, and the potential market at domestic and abroad, those are comparative advantage that potential to be developed into a competitive advantage. But instead, the performance of orchid industrialization still in low performance. The low performance of the national orchid industry due to the lack of competence orchid farmers, such as: (1) lack of knowledge of consumer preferences, (2) lack of technology in breeding, cultivation, and post-harvest, and (3 ) lack of responsiveness to the market information. The present of orchid farmers entrepreneurial behavior hopely could increase the bussiness performance. In order that, the purpose of the research are; (1) describe the orchid farmers characteristics, (2) to analyse the influence of internal and external factors on entreprenerial behavior, and (3) to analyse the influence of entreprenenurial behavior on bussiness performance. This research used 115 data of orchid farmers, than its analized by SEM using Lisrel 8.3 programs. Based on the results obtained that the characteristics of orchid farmers generally include: (1) the majority of the level of education orchid are high school graduates, (2) they have quite long experience in orchid cultivation, (3) for most farmers this effort is the main livelihood, (4) generally, the venture capital obtained from private equity, (5) the standard of living and welfare of orchid growers generally still in low conditions, due to small-scale enterprises, which in turn impact on revenue, and the majority of orchid growers were oriented only for daily needs. The result by using SEM are; (1) The Entrepreneurial behavior is influenced positively and significantly by the internal factors,instead (2) The external factors gave the negative and significant influences, but it’s directly influence the bussiness performance positively and significantly, (3) entrepreneurial behavior gave positive and significant effect on business performance. SEM shows the test results with the internal factors positive and significant impact on enterpreneur behavior with effect coefficient 0,56. Internal factors measured by indicators; venture scale, capital ownership, ownership of production facilities and infrastructure, motivation achievement, the perception of orchids business and entrepreneurship intentions. Increasing the internal factors will increase the entrepreneurial behavior orchid growers. This shows the increase in business scale, enterpreneurial intentions, motivation achievement and perceptions of high effort, can increase entrepreneurial behavior. External factors significantly and negatively related with entrepreneurial behavior, which the influence coefficient is -0.15. While External Factors significantly and negatively related to entrepreneurial behavior, this is due to
government support in the aspect of education and counseling, assistance and capital inputs, promotion and marketing, business regulations, and the availability of market information, are not in accordance with the needs of farmers and not on target. Generally the government support in terms of extension and training, procurement assistance and capital inputs, promotion and marketing, business regulations, and the availability of market information, until now felt not sufficient, and not support the formation of behavioral entrepreneurship. Overall, the governments through the relevant agencies are less able to understand the needs and problems faced by the farmers, so that the benefits that have been given are not in accordance with the perceived needs of farmers. Entrepreneurship Behaviour is positively and significantly impact on business performance. Entrepreneurial behavior direct and positive impact on the performance of the business with coefficient effect 0,55, and t-value 7.51 on the 5% significance level. Thus the increase of entrepreneurial behavior will improve the business performance of orchid growers. This shows that entrepreneurial behavior is an important role in improving business performance, so with diligence, responsiveness to opportunities, innovative, risk-taking and independence will ultimately affect the performance of the business.
Keyword: entrepreneurial behavior, business performance, orchid farmers, structural equation models (SEM).
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PETANI ANGGREK TERHADAP KINERJA USAHA: Kasus di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan
PUSPITASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Tesis
Nama NIM
: Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha: Kasus di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, serta Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan : Puspitasari : H451100311
Disetujui oleh Komisi Pembimbing,
Prof.Dr.Ir. Rita Nurmalina, MS Ketua
Dr.Ir. Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis,
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 08 Februari 2013
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr. Wahyu Budi Priatna, MSi
Penguji Program Studi
:
Dr. Ir. Suharno, MAdev
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha” dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam khususnya kepada: 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Anna Fariyanti, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi, bantuan, kritikan, masukan dan saran yang sangat berharga yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. Dr. Wahyu Budi Priatna, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian dan pada ujian tesis selaku Dosen Penguji Luar Komisi, yang telah memberikan banyak arahan, masukan dan saran sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Serta Dr. Ir. Suharno, MAdev selaku Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr. Ir. Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh Staf Program Studi Agribisnis atas bantuan, dan kemudahan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan pada Program Studi Agribisnis. Staf Pengajar, khususnya kepada Ir. Harmini, MSi dan Roni Jayawinangun atas bantuan dan bimbingannya dalam menganalisis data penelitian. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan dan dukungan biaya yang diberikan kepada penulis selama masa tugas belajar S2 ini berlangsung. Sahabat sekaligus kakak Nur Qomariah Hayati atas bantuannya, kerjasamanya dan dorongan semangatnya. Abdul Muis Hasibuan dan Jemmy Rinaldi yang telah memberikan masukan selama penelitian dan penyusunan tesis. Adik-adik, Cila Apriande, Putri Indah, Annisa Dwi Utami, atas bantuannya. Arifayani Rahman dan Asrul Koes atas dorongan dan persahabatannya. Serta teman-teman seperjuangan di MSA angkatan I atas kebersamaan yang indah selama menempuh studi. Terima kasih kepada Bapak Zainal, Bapak Joko As’ad (PT. Eka Karya Graha), Bapak Sukedi, Bapak Muslih, Bapak Tatang Suryana, Ibu Utie, Ibu Sari, Mbak Sri, dan seluruh petani/pelaku usaha anggrek selaku responden atas bantuan dan dukungannya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini. Penghargaan yang tinggi dan terima kasih kepada ibunda Hj. Haryati dan ayahanda Ir. H. Dody Hidayat, serta Bapak mertua Karnaen Idi, atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tiada putus. Serta semua keluarga, khususnya Iceu Agustinisari dan Otto Badrusyawaludin atas bantuannya selama menempuh studi.
9.
Terima kasih khusus kepada suamiku tercinta Andria Kurniawan dan anak-anakku tersayang Muhammad Aydin Yusuf dan Muhammad Hasan Fikri, atas dorongan, pengorbanaan, keikhlasan dan kasih sayangnya selama penulis menempuh studi.
Semoga Allah SWT yang Maha Rahman dan Maha Rahim memberikan balasan yang setimpal atas segala kebaikan kehadiratnya-Nya kelak. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, April 2013 Puspitasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 5 9 9 9
2
TINJAUAN PUSATAKA Perilaku Kewirausahaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Kondisi Permasalahan dan Strategi Pengembangan Industri Anggrek Nasional Pendekatan SEM untuk Analisis Perilaku dan Kinerja
10
3
KERANGKA PEMIKIRAN Teori Kewirausahaan Teori Perilaku Kewirausahaan Teori Kinerja Usaha Kerangka Teori Konseptual
18 18 18 20 21
4
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Variabel dan Pengukuran Metode Analisis Data
22 22 23 23 23 26
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Usaha Tani Anggrek di Wilayah Gunung Sindur, Parung, dan Serpong Karakteristik Responden Faktor Internal Petani Anggrek Faktor Eksternal Petani Anggrek Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Kinerja Usaha Tani Analisis Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha dengan Pendekatan SEM
31
10 12 14 16
31 34 43 46 50 53 55
Kecocokan Model Struktural Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek dan Kinerja Usaha Implikasi Kebijakan 6
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 61 64 67 67 68
DAFTAR PUSTAKA
69
LAMPIRAN
73
RIWAYAT HIDUP
99
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20
Luas Panen dan Produksi Tanaman Hias Unggulan Nasional Tahun 2009-2010 Produksi Tanaman Hias Unggulan Nasional Tahun 2008-2010 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Impor Anggrek di Indonesia Tahun 2006-2010. Produktivitas Anggrek Nasional Tahun 2009-2010 Sentra Produksi Anggrek Nasional di Jawa Barat Tahun 2011 Komoditas Tanaman Unggulan Provinsi Banten Tahun 20102011 Sentra Produksi Tanaman Anggrek di Kota Tanggerang Selatan Provinsi Banten Variabel Indikator Faktor Internal Variabel Indikator Faktor Eksternal Variabel Indikator Perilaku Kewirausahaan Variabel Indikator Kinerja Usaha Kriteria Goodness of Fit Hasil pengujian Kesesuaian Model Persepsi Petani Terhadap Faktor Internal Persepsi Petani Terhadap Faktor Eksternal Persepsi Petani Terhadap Perilaku Kewirausahaan Persepsi Petani Terhadap Kinerja Usaha Muatan Faktor dan t-Value Variabel Manifest Pengujian Realibilitas Model Pengukuran Hasil Uji Kecocokan Model Komposisi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek dan Kinerja Usaha
3 3 4 6 22 22 22 24 24 25 25 29 43 46 51 54 56 58 59 61
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10. 11. 12.
Perkembangan Produksi Anggrek Indonesia Tahun 1997-2010 Kerangka Pemikiran Konsetual Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha Model SEM Analisis Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin Sebaran Responden Menurut Kisaran Usia Petani Sebaran Responden Menurut Pendidikan Formal Sebaran Responden Menurut Pengalaman Usaha Tani Anggrek Sebaran Luas Lahan Petani Anggrek Sebaran Pendapatan dari Usaha Tani Anggrek Per Bulan Sebaran Kepemilikan Lahan Anggrek Nilai t Model Struktural Estimasi Loading Factor Model Struktural
4 21
28 34 36 37 38 38 39 40 60 60
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Peta Kabupaten dan Kota Sentra dan Pengembangan Produksi Anggrek di Provinsi Jawa Barat Produksi Anggrek di Jawa Barat dalam Satuan Tangkai Tahun 2012 Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan di Jawa Barat Tahun 2012 Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan di Jawa Barat dan Unggulan Nasional Tahun 2012 Kuesioner Penelitian Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek terhadap Kinerja Usaha Model Struktural Awal Sebelum Respesifikasi Hasil Pengolahan Data dengan Lisrel 8.30
74 75 76 77 78 84 85
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kewirausahaan merupakan penggerak utama dalam mempercepat pemulihan dan perkembangan perekonomian suatu bangsa. Peran kewirausahaan selain dalam peningkatan output dan pendapatan per kapita, juga berperan sebagai pemacu ekspor, penyerap tenaga kerja, serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Pentingnya kewirausahaan dalam meningkatkan perekonomian sebagaimana menurut Acs (2008) yang menyatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi didorong oleh empat faktor produksi, yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan kewirausahaan. Aktivitas kewirausahaan merupakan leader yang dapat menggerakan faktor-faktor lainnya, karena seorang wirausaha akan menggunakan keahlian kewirausahaannya untuk mengorganisasi tanah, modal dan tenaga kerja dalam memproduksi barang dan jasa. Disamping itu, wirausaha berperan dalam pembangunan ekonomi dengan menghasilkan dan mewujudkan gagasan-gagasan yang inovatif, diantaranya inovasi produk, proses, pemasaran dan organisasi. Adanya inovasi dapat meningkatkan pangsa pasar dan pengembangan perusahaan, yang pada akhirnya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, serta meningkatnya efisiensi pasar dengan semakin bertambahnya wirausaha yang sukses (Praag, 2005). Indonesia sebagai negara berkembang dengan potensi sumberdaya yang besar sudah selayaknya menempatkan aktivitas kewirausahaan sebagai prioritas utama, menurut Wirasasmita (2010) negara yang kaya sumberdaya alam akan tetap ada dalam golongan negara berpendapatan rendah, apabila tidak memiliki wirausaha yang mampu mengolah sumberdaya alam tersebut untuk kesejahteraan negaranya. Hal ini sejalan dengan pendapat Daryanto (2004) yang menyatakan, pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif semata berupa kekayaan alam yang berlimpah, upah tenaga kerja murah dan posisi strategis, saat ini sulit dipertahankan lagi, tetapi harus pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan. Penerapan konsep kewirausahaan dalam pengembangan sektor pertanian diharapkan mampu meningkatkan kinerja pertanian, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia, selain sebagai penyedia pangan masyarakat dan bahan baku bagi industri, sektor ini juga berkontribusi terhadap Product Domestic Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja terbesar, dan sumber devisa negara. Pada tahun 2011 kontribusi PDB dari sektor pertanian mencapai 14,7 persen, menempati posisi kedua setelah sektor industri pengolahan yaitu 24,3 persen. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 39,33 juta orang atau 40,50 persen dari total orang bekerja sebesar 109,67 juta jiwa (BPS, 2012), jumlah ini jauh di atas penyerapan tenaga kerja sektor-sektor lain seperti sektor industri, jasa, perdagangan dan lain-lain. Jika dibandingkan antara tingginya jumlah penyerapan tenaga kerja dengan kontribusinya terhadap PDB dapat dilihat adanya ketimpangan yang sangat besar. Ketimpangan tersebut menunjukkan rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian serta kurangnya nilai tambah dari produk-produk pertanian. Sebagai akibatnya,
2
kesejahteraan rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian akan lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industri. Dengan demikian usaha penyelarasan antara sektor pertanian yang merupakan leading sector perekonomian dengan aktivitas kewirausahaan diharapkan mampu mengatasi ketimpangan tersebut. Menurut Krisnamurthi (2001) kewirausahaan bukan hanya sekedar pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsipprinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha, jika konsep ini dimiliki oleh semua pelaku bisnis pertanian, maka dapat dipastikan pertanian akan lebih berkembang dan tumbuh dengan pesat. Hal tersebut dikarenakan cerminan dari perilaku kewirausahaan diantaranya adalah, gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya yang tersedia, mampu memanfaatkan perubahan dan perkembangan tren serta preferensi konsumen sebagai sumber inovasi peluang bisnis, mampu mencari peluang baru di tengah persaingan, inovatif dengan menciptakan produk dan teknik usaha baru, bekerja dengan lebih efektif dan efisien, serta berani mengambil risiko untuk mengembangkan bisnisnya (Dirlanudin, 2010). Perilaku kewirausahaan (entreperenenurial behavior) akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan berupa pertumbuhan ekonomi, seperti pendapat Praag (2005) yang menyatakan bahwa, perilaku kewirausahaan memiliki dampak yang kuat terhadap stabilitas ekonomi dan kekuatan wilayah, karena perusahaan yang berperilaku kewirausahaan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan inovasi, penciptaan lapangan kerja dan kesiapan menghadapi globalisasi. Salah satu sektor pertanian yang strategis adalah hortikultura. Subsektor ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga agribisnis hortikultura dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan petani mulai dari yang berskala kecil sampai besar. Hortikultura memiliki keunggulan dibandingkan subsektor lainnnya seperti nilai jual yang tinggi, keragaman jenis, dan potensi serapan pasar domestik dan dunia yang terus meningkat. Namun, potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena agribisnis hortikultura masih menghadapi beberapa permasalahan. Faktor yang menghambat pengembangannya, antara lain rendahnya produktivitas, lokasi yang terpencar, skala usaha yang sempit dan belum efisien, serta kurangnya dukungan kebijakan dan regulasi di bidang perbankan, transportasi dan perdagangan. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing komoditas-komoditas hortikultura nasional relatif kurang jika dibandingkan dengan negara lain (Ditjenhorti, 2011). Tanaman hortikultura memiliki fungsi esensial bagi tubuh, seperti sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat, selain itu juga dapat memberikan fungsi keindahan atau estetika seperti tanaman hias. Industri florikultura atau tanaman hias dapat menjadi potensi pertanian masa depan, dan sumber devisa negara. Saat ini kontribusi produksi florikultura terhadap hortikultura nasional baru mencapai 13,34% (Ditjen PPHP, 2011). Hal ini menunjukan bahwa potensi industri tanaman hias atau florikultura nasional belum tergali secara optimal. Salah satu komoditas unggulan tanaman hias Indonesia adalah anggrek. Anggrek merupakan salah satu identitas nasional yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 4/1993, anggrek jenis Phalaenopsis amabilis atau yang lebih dikenal dengan anggrek bulan merupakan salah satu bunga nasional Indonesia yang diberi nama “Puspa Pesona”. Anggrek
3
yang merupakan tanaman asli Indonesia yang unik dan eksotik layak dijadikan sebagai komoditas andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. Usahatani anggrek tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan sentra produksi utama Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Bali dan Kalimantan Barat. Dilihat dari luas areal panen tanaman hias, anggrek menempati peringkat ketiga setelah krisan dan mawar (Tabel 1). Pada tahun 2010, luas panen anggrek mencapai 1,39 juta m2 dengan produksi 14,05 juta tangkai. Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Tanaman Hias Unggulan Nasional Tahun 2009-2010 Tahun 2009 Luas Panen Produksi (m2) (tangkai) 9.742.677 107.847.072 3.614.480 60.191.362 1.308.199 16.205.949 815.709 51.047.807
Komoditas Krisan Mawar Anggrek Sedap Malam
Tahun 2010 Luas Panen Produksi (m2) (tangkai) 10.024.605 185.232.970 3.844.434 82.351.332 1.391.206 14.050.445 623.463 59.298.954
Sumber : BPS (2011)
Selama kurun waktu 2008-2010 produksi anggrek menempati posisi ke-4 setelah Krisan, Mawar, dan Sedap Malam. Perkembangan industri anggrek nasional dapat dikatakan lebih lambat dibandingkan dengan tanaman hias lain, dimana persentase produksi anggrek dalam kurun waktu tersebut justru mengalami penurunan (Tabel.2). Tabel 2. Produksi Tanaman Hias Unggulan Nasional Tahun 2008-2010 Tanaman Hias Krisan Mawar Sedap Malam Anggrek
Produksi (Tangkai) 2008 99,158,942 39,131,603 25,180,043 15,430,040
2009 107,847,072 60,191,362 51,047,807 16,205,949
2010 185,232,970 82,351,332 59,298,954 14,050,445
Pertumbuhan/ Penurunan (%) 2008-2009 2009-2010 8.76 71.76 53.82 36.82 102.73 16.16 5.03 -13.30
Sumber : BPS (2011)
Dilihat dari trend produksi pada periode 1997 - 2010, walaupun terjadi fluktuasi produksi, namun masih menunjukkan trend meningkat. Sehingga dapat dikatakan anggrek memiliki prospek pasar yang cerah di masa mendatang (Gambar 1) .
4
Gambar 1. Perkembangan produksi anggrek Indonesia, 1997-2010 (Sumber, BPS, 2011) Kinerja perdagangan ekspor-impor anggrek cenderung mengalami penurunan pada lima tahun terakhir (Tabel 3). Dibandingkan dengan peningkatan produksi, maka penurunan ekspor dan impor anggrek menunjukkan bahwa konsumen anggrek Indonesia cenderung memilih anggrek produksi dalam negeri, walaupun dari sisi kinerja perdagangan internasional terlihat kecenderungan menurun. Kondisi tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai peluang dengan semakin terbukanya peluang di pasar anggrek domestik tanpa harus mengabaikan pangsa di pasar internasional. Tabel 3. Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Anggrek Di Indonesia Tahun 2006-2010 Ekspor Volume (Kg) 620.115 202.804 164.104 121.664 55.842
Nilai (US$) 2.573.179 1.166.671 740.751 1.040.544 899.397
Impor Volume (Kg) Nilai (US$) 309.047 548.601 72.689 480.204 34.651 78.265 64.343 434.071 26.801 40.154
Sumber : Ditjenhorti (2011)
Peluang pengembangan anggrek di Indonesia masih sangat besar jika dilihat dari potensi sumberdaya genetik yang diperkirakan mencapai kurang lebih 5.000 spesies. Selain itu, kondisi agroklimat, ketersediaan lahan yang relatif luas, adanya dukungan tenaga kerja dan teknologi, serta potensi pasar di dalam dan luar negeri, merupakan keunggulan komparatif yang sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif. Menurut informasi dari Ditjen Hortikultura (2011) kebun anggrek yang tersebar di Indonesia luasannya belum terlalu besar, bahkan mengalami penurunan, saat ini luas kebun anggrek di Indonesia kurang lebih 130 Ha, yang tersebar di beberapa provinsi dalam bentuk kebun koleksi dan kebun komersial, sebagian besar target pasarnya untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negri, dan sebagian kecil untuk di ekspor. Jika
5
dibandingkan dengan Malaysia yang mempunyai kebun anggrek komersial seluas 800 Ha yang berorientasi ekspor, dan Thailand yang memiliki kebun anggrek seluas 3400 Ha, dimana sebagian besar juga ditujukan untuk ekspor, serta Taiwan yang memiliki 500 kebun seluas 170 hektar yang mampu mengekspor ke Jepang, Amerika, Belanda, dapat dikatakan bahwa industri anggrek nasional masih tertinggal dibandingkan negara-negara tersebut. Pada era globalisasi perdagangan dan dengan diberlakukannya ACFTA (Asean-China Free Trade Area) sejak tahun 2007, membuat peluang ekspor semakin terbuka, namun ancaman produk impor juga semakin besar. Persaingan antar negara produsen florikultura semakin ketat, begitu juga dengan persaingan komoditas anggrek. Inovasi dalam peningkatan produksi dan penganekaragaman produk anggrek yang berkualitas, unik dan eksotik menjadi sangat penting, karena akan mempermudah perluasan pasar dan meningkatkan kemampuan bersaing di pasar dalam dan luar negeri. Anggrek nasional di dalam negeri pun harus mampu bersaing dengan produk impor sebagai wujud adanya perilaku inovatif yang dimiliki oleh wirausaha. Menurut Krisnamurthi (2001), wirausahawan adalah orang yang mempunyai keinginan melakukan usaha yang bersifat inovatif, walau disadari sepenuhnya bahwa setiap inovasi pasti mengandung risiko. Wirausahawan akan senantiasa melatih intuisinya dalam menjajagi kegiatan inovasi yang menguntungkan dan menantang untuk diusahakan. Kesuksesan suatu inovasi tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan teknologi, namun permintaan pelanggan dan pasar merupakan faktor utama bagi suksesnya inovasi. Pengembangan anggrek ke depan, ditentukan oleh faktor sumberdaya manusia (SDM) unggul atau berdaya saing. Sebagaimana disampaikan Pambudy dan Dabukke (2010) bahwa, dalam era persaingan sekarang ini, yang bersaing sebenarnya bukan komoditas pertaniannya, tetapi adalah orang-orang yang berada dibalik produk itu. Selanjutnya SDM atau kelompok orang yang paling penting dalam kancah persaingan perdagangan produk pertanian adalah petaninya, pedagangnya, serta pengusahanya. Dengan kata lain, yang bersaing adalah wirausahanya. Adanya konsep perilaku kewirausahaan pada pelaku usaha merupakan hal yang penting, karena akan berdampak pada kinerja usaha, Krisnamurthi (2001) berpendapat bahwa pengembangan perilaku kewirausahaan akan menumbuhkan sikap positif dalam berwirausaha dalam bentuk kemampuan sikap untuk mengendalikan keadaan dan memfokuskan perhatian pada kegiatan-kegiatan atau hasil yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan pelaku usaha yang berperilaku kewirausahaan akan lebih aktif dalam memanfaatkan peluang, inovatif dan berani mengambil risiko. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa adanya perilaku kewirausahaan pelaku usaha dapat berpengaruh terhadap kinerja usaha. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam untuk mengetahui perilaku kewirausahaan petani anggrek, serta melihat pengaruhnya terhadap kinerja usaha, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap perkembangan kinerja industri anggrek nasional. Perumusan Masalah Prediksi kebutuhan anggrek, baik di pasar domestik maupun internasional diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dengan semakin
6
meningkatnya permintaan untuk hobiis (rumah tangga), florist, perkantoran, gedung pertemuan, serta berkembangnya industri pariwisata, katering dan perhotelan, sehingga pengembangan industri anggrek nasional dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan petani dan devisa negara. Jika dilihat dari potensi sumberdaya anggrek yang dimiliki Indonesia, sudah selayaknya komoditas anggrek dimanfaatkan sebagai komoditas andalan dalam pembangunan ekonomi nasional, bahkan dengan kekayaan genetik anggrek yang begitu besar, Indonesia berpotensi menguasai perdagangan anggrek di pasar internasional. Namun demikian, saat ini kinerja industri anggrek nasional dapat dikatakan masih rendah, diantaranya adalah; (1) ketidakmampuan penyediaan anggrek yang sesuai dengan selera konsumen, dalam hal keanekaragaman, warna dan keunikan, serta mutu tanaman anggrek yang rendah, (2) sistem produksi yang belum efisien dan harga produk yang relatif mahal, (3) rata-rata produktivitas anggrek masih lebih rendah bila dibandingkan dengan potensi genetiknya, yaitu hanya 4-5 tangkai/tanaman, sedangkan potensi genetiknya bisa mencapai 8-10 tangkai/tanaman, serta (4) kontinuitas ketersediaan anggrek nasional yang masih kurang terjamin (Badan Litbang Pertanian, 2007). Salah satu sentra produksi anggrek nasional adalah Jawa Barat dan Banten. Pada tahun 2010 kontribusi kedua provinsi tersebut 32,8% dari total produksi anggrek nasional, yaitu sebesar 4.602.607 tangkai. Namun demikian, jika dilihat dari produktivitasnya pada tahun 2009-2010, kinerja industri anggrek di kedua Provinsi tersebut menunjukan penurunan yang cukup tajam (Tabel.4). Tabel 4. Produktivitas Anggrek Nasional Tahun 2009-2010 2009 Propinsi
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Banten Bali Lain-lain Total
2010 Produksi (Tangkai)
Produktivitas (Tangkai/M2)
Pertumbuhan/ Penurunan (%) ProdukProduksi tivitas (09-10) (09-10)
Produksi (Tangkai)
Produktivitas (Tangkai/M2)
1,258,047
9.58
1,305,565
7.6
3.78
-20.67
5,582,076
17.33
2,412,619
7.79
-56.78
-55.05
985,222
4.35
452,886
5.46
-54.03
25.52
2,180,521
6.74
3,430,362
6.6
57.32
-2.08
1,453,304
17.47
2,189,988
7.82
50.69
-55.24
574,426
3.41
1,209,106
6.26
110.49
83.58
4,172,535 16,205,94 9
27.85
3,049,919
19.83
-26.90
-28.80
12.39
14,050,445
7.68
-13.30
-38.01
Sumber : BPS (2012)
Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) penurunan produktivitas tersebut akibat kualitas benih yang digunakan kurang baik, yaitu menggunakan keiki untuk perbanyakannya, serta dipengaruhi juga oleh perubahan iklim yang ekstrim sehingga menyebabkan produksi bunga anggrek menurun.
7
Ditinjau dari sisi lokasi, kedua wilayah tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan dibandingkan dengan wilayah sentra anggrek lainnya, yaitu dalam hal akses terhadap ketersediaan bahan input dan teknologi budidaya yang lebih mudah, serta akses informasi dan permodalan yang relatif lebih tersedia, karena kedua lokasi tersebut lebih dekat dengan pusat pemerintahan, lembaga penelitian dan pengembangan di bawah Kemeterian Pertanian, dan perguruan tinggi, serta adanya pusat Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI), Konsorsium Anggrek dan Asosiasi Petani Anggrek Indonesia (APAI). Perhatian pemerintah, terhadap perkembangan anggrek diwujudkan dengan adanya Klinik Anggrek Batavia yang merupakan wadah layanan informasi peranggrekan nasional yang mencakup masalah teknis budidaya hingga layanan pendidikan dan pelatihan untuk pengguna. Pengguna dalam hal ini adalah petani, pedagang, praktisi, pelajar, peneliti, dan hobbies. Klinik dikelola oleh BPTP Jakarta bekerjasama dengan BBI Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Klinik ini didukung oleh para pakar anggrek nasional (Malang, Bandung, Jakarta), dan Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai sumber informasi dan teknologi, serta Ditjen Hortikultura sebagai institusi pendukung pengembangan anggrek secara nasional. Selain itu dari segi pemasaran, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah mengembangkan pusat pemasaran anggrek potong dan anggrek pot di Taman Anggrek Ragunan (TAR) dan Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP), selain berfungsi sebagai ajang promosi, keberadaan TAR dan TAIP juga mampu menata rantai pasokan dari produsen sampai ke konsumen akhir secara lebih efisien. Demikian juga jika dilihat dari potensi pasar, permintaan terhadap anggrek tentunya lebih banyak di kota besar, seiring dengan semakin tingginya nilai estetika masyarakat perkotaan. Adanya peluang yang besar dari potensi pengembangan sumberdaya anggrek, serta berbagai dukungan pemerintah, keberadaan gapoktan dan asosiasi penggemar anggrek, nyatanya belum dapat meningkatkan kinerja usaha anggrek di Jawa Barat dan Banten, yang terlihat dari produktivitasnya yang semakin menurun. Beberapa kendala dalam pengembangan usaha anggrek diantaranya adalah; ketergantungan akan benih impor, skala usaha masih kecil, industri pendukung belum berkembang, kemampuan sumber daya manusia (SDM) belum memadai, budidaya dan pascapanen yang kurang tepat dan efisien, selain itu regulasi dan kebijakan juga kurang kondusif sehingga menyebabkan produk anggrek Indonesia kurang berdayasaing (Ditjenhorti, 2012). Disamping itu, secara umum masih rendahnya kinerja industri anggrek nasional salah satunya disebabkan oleh masih kurangnya kompetensi yang dimiliki petani anggrek, seperti; (1) kurangnya pengetahuan terhadap preferensi konsumen, (2) kurangnya penguasaan teknologi, baik teknologi pembibitan, budidaya, maupun pascapanen, (3) kurangnya koordinasi antar pelaku agribisnis, serta (4) kurangnya ketanggapan terhadap informasi pasar, padahal kecepatan akses terhadap informasi pasar sangat berguna dalam penyusunan jadwal produksi yang tepat, peningkatan produksi dan mutu, jaminan kontinuitas pasokan, dan pengelolaan usaha secara profesional (Badan Litbang Pertanian, 2007). Sedangkan dari aspek teknik budidaya, masih rendahnya produksi anggrek nasional juga dikarenakan petani yang menggunakan benih yang sesuai standar mutu untuk produksi bunga masih terbatas, kebanyakan petani kecil membeli benih anggrek hanya sekali, selanjutnya benih tersebut digunakan secara terus-menerus tanpa ada upaya untuk
8
memperbaharui. Penggunaan benih tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas genetik secara drastis, dan ketahanan terhadap hama penyakit. (Badan Litbang Pertanian, 2007). Dengan demikian dalam peningkatan kinerja industri anggrek nasional, faktor sumberdaya manusia (SDM) merupakan faktor penentu, sebagaimana menurut Pambudy dan Dabukke (2010) yang menyatakan bahwa, pengembangan SDM pertanian atau pengusaha tani (wirausaha-agribisnis) merupakan prioritas yang perlu diperhatikan, sebab SDM pertanian tersebut yang merencanakan, melaksanakan dan menanggung risiko produksi, juga memutuskan untuk mengadopsi atau menunda penerapan suatu teknologi untuk mendapatkan nilai tambah. Selain itu pentingnya peran sumberdaya manusia dalam pencapaian keunggulan kompetitif juga diungkapkan oleh Krisnamurthi (2001), yaitu faktor manusia menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian keunggulan kompetitif, karena pada manusia akan diperoleh kreativitas dan inovasi, pada manusia juga melekat kemampuan dan keberanian serta sikap memanfaatkan peluang dan mengatasi kesulitan. Penguasaan dan pemanfaatan teknologi juga akan terletak pada manusia, disamping kemampuan untuk mendapatkan modal, informasi dan jaringan usaha. Berdasarkan kenyataannya keberhasilan petani mencapai kinerja usahatani yang tinggi tidak hanya ditentukan oleh kegiatan teknik budidaya semata tetapi juga lebih ditentukan oleh kemampuan petani, baik sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang diaktualisasikan dalam menjalankan usahataninya mulai dari persiapan tanam sampai pemasaran produk yang dihasilkan (Darmadji, 2011). Mengacu pada pendapat tersebut, maka potensi-potensi petani yang tercermin dalam perilaku kewirausahaannya dapat dijadikan sebagai alternatif pendekatan dalam peningkatan kinerja usahatani. Penerapan konsep perilaku kewirausahaan pada petani anggrek diharapkan dapat mempengaruhi kinerja industri anggrek nasional. Karena dengan adanya perilaku kewirausahaan pada petani anggrek, diharapkan akan terbangun perilaku menjadi lebih aktif dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi bisnis anggrek, inovatif dalam proses produksi maupun penciptaan produk baru, serta berani mengambil risiko usaha. Selain itu petani anggrek juga diharapkan menjadi lebih aktif dalam mengusahakan dukungan dan keberpihakan pemerintah, melakukan upaya pengembangan informasi usaha dan pencitraan untuk mengundang para investor untuk masuk ke dalam bisnis anggrek, mampu menghasilkan produk anggrek yang unik dan eksotik, berkualitas, dan dengan harga yang kompetitif, serta giat melakukan promosi, baik di dalam maupun luar negri, dengan demikian kinerja usaha anggrek akan semakin meningkat dan mampu meraih daya saing di pasar nasional dan internasional. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa masih rendahnya kinerja usaha anggrek dipengaruhi oleh faktor sumberdaya manusia petani anggrek ditinjau dari perilaku kewirausahaannya, maka masalah yang akan diteliti adalah: 1. Bagaimanakah karakteristik petani anggrek dalam menjalankan usahataninya? 2. Bagaimanakah pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap perilaku kewirausahaan petani anggrek?
9
3.
Bagaimanakah pengaruh perilaku kewirausahaan petani anggrek terhadap kinerja usaha anggrek? Tujuan Penelitian
1. 2. 3.
Tujuan penelitian ini adalah: Mengidentifikasi karakteristik petani anggrek. Menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan petani anggrek. Menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan petani anggrek terhadap kinerja usaha anggrek. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pembinaan dan pengembangan industri anggrek nasional yang berdaya saing khususnya di Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor. Diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui apakah dengan menganalisa perilaku kewirausahaan petani anggrek dapat dijadikan alternatif pendekatan lain dalam peningkatan kinerja usaha anggrek di tanah air. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmiah di bidang kewirausahaan, dan dapat digunakan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam meningkatkan dan mengembangkan kewirausahaan petani anggrek. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang Selatan, sebagai studi kasus, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat menyimpulkan kondisi di wilayah lainnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kewirausahaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Delmar (1995) mendifinisikan perilaku kewirausahaan sebagai tindakan yang dilakukan wirausaha dalam mewujudkan tujuan usahanya. Tindakan tersebut mengarah pada konsep-konsep kewirausahaan yaitu tindakan yang menunjukkan kreativitas, inovasi dan berani berisiko. Sependapat dengan hal tersebut, menurut Dirlanudin (2010), perilaku wirausaha dalam konteks pengembangan usaha kecil adalah perilaku yang dimiliki pengusaha kecil dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian dalam mengambil risiko, inovatif dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Ditambahkan pula bahwa, pengusaha yang memiliki pola perilaku wirausaha adalah mereka yang secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru, bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil risiko. Dalam penelitiannya Dirlanudin mengukur perilaku wirausaha dari tiga aspek yaitu: (i) kognitif, terkait dengan kemampuan manajerial dan pemasaran; (ii) afektif, terkait dengan komitmen, disiplin, kejujuran, semangat dan kesadaran mengutamakan kualitas; dan (iii) motorik, terkait dengan kemampuan teknis, kreatif, inovatif, efisien dan keberanian mengambil risiko. Menurut pendapat Zimmerer dan Scarborough (2008) kewirausahaan adalah hasil dari suatu proses sistematis, yang menerapkan kreativitas dan inovasi untuk memenuhi kebutuhan dan peluang pasar, dengan menggunakan strategi serta fokus terhadap ide-ide baru dan wawasan baru untuk menciptakan produk atau layanan yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Senada dengan hal tersebut Kasmir (2006) menyatakan bahwa kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha yang merupakan hasil dari adanya kreativitas dan inovasi yang terus menerus untuk menemukan sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku kreatif dan inovatif merupakan karakteristik utama dari perilaku kewirausahaan. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara baru dalam menghadapi masalah dan peluang, sedangkan inovasi adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu yang berbeda, atau menerapkan solusi kreatif dalam menghadapi permasalahan dan peluang untuk tujuan menciptakan kekayaan bagi individu dan nilai tambah bagi masyarakat (Kao, et.al, 2001). Kreativitas dan inovasi merupakan hal yang penting dalam mencapai kesuksesan suatu usaha, karena dengan kreativitas dan inovasi suatu usaha dapat mencapai keunggulan kompetitif. Selain itu, inovasi merupakan unsur yang penting untuk meningkatkan kemampuan bertahan, menghadapi persaingan bisnis dan pertumbuhan perusahaan. Penelitian Pambudy (1999) menggunakan parameter dari perilaku wirausaha terdiri dari tiga aspek, yaitu pengetahuan, sikap mental dan keterampilan. Parameter tersebut digunakan pula dalam penelitian Sapar (2006) yang menggunakan parameter peubah perilaku kewirausahaan meliputi; (1) pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang bahan baku, strategi berdagang, konsumen, dan manajemen keuangan, (2) sikap, yaitu sikap dalam berusaha,
11
pandangan dalam menjalankan usaha, dan semangat berusaha, serta (3) keterampilan, yaitu keterampilan dalam memilih bahan baku, perencanaan usaha dan penggunaan modal. Dirlanudin (2010) dan Sapar (2006) membagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kewirausahaan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Dalam penelitian Sapar (2006) disebutkan bahwa faktor internal adalah ciri-ciri pribadi, status sosial dan ekonomi seseorang. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan adalah umur, pendidikan, pengalaman berusaha, motivasi, persepsi terhadap usaha dan besar usaha. Sedangkan faktor eksternal, diantaranya adalah modal, keluarga, lingkungan tempat bekerja, peluang pembinaan usaha dan ketersediaan bahan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa faktor internal dan ekternal secara nyata mempengaruhi perilaku wirausaha pedagang kaki lima di Kabupaten Bogor. Berbeda dengan penelitian Dirlanudin (2010) yang menggunakan indikator tingkat ketekunan, kepemilikan sumber usaha, kekosmopolitan, penggunaan modal usaha dan kontribusi bagi keluarga ke dalam faktor internal, sedangkan indikator faktor eksternal diantaranya adalah pandangan masyarakat tentang wirausaha, kekompakan antar pengusaha kecil, berfungsinya forum usaha kecil dan nilai kebiasaan masyarakat. Dari hasil penelitiannya terhadap perilaku wirausaha pengusaha kecil industri agro menunjukan bahwa faktor internal masih kurang memadai terhadap perkembangan perilaku wirausaha, sedangkan faktor eksternal relatif kondusif terhadap perkembangan perilaku wirausaha. Senada dengan penelitian Harijati (2007) mengenai pengaruh faktor individu dan faktor lingkungan terhadap kompetensi agribisnis petani sayuran lahan sempit, faktor individu diukur berdasarkan umur, tingkat pendidikan, pengalaman, kebutuhan, motivasi dan sifat kewirausahaan. Sedangkan faktor lingkungan diukur dari pembelajaran agribisnis, akses sarana agribisnis, akses sumber modal, akses sumber informasi dan akses kelompok tani. Hasil analisis jalur Path pada penelitian Pambudy (1999) menunjukan bahwa umur dan penghasilan mempunyai hubungan struktural positif dengan perilaku wirausaha peternak ayam buras skala kecil, sedangkan lamanya beternak mempunyai hubungan struktural yang negatif. Selain itu, variabel pengetahuan, sikap mental dan keterampilan beternak peternak ayam buras skala kecil, menengah dan besar mempunyai hubungan struktural positif terhadap perilaku wirausaha peternak. Perilaku berwirausaha peternak ayam buras dan broiler dipengaruhi oleh faktor informasi usaha dan kelembagaan. Disamping itu hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa, meskipun secara langsung tidak ada kaitan antara pendidikan dan semangat wirausaha, tetapi dalam menjalankan usahanya, wirausaha perlu memiliki beberapa pengetahuan dasar yang memadai agar usahanya berhasil, karena manajemen yang buruk, kurangnya pengalaman dan pengawasan keuangan yang buruk merupakan hal-hal yang menjadi kegagalan wirausaha dalam mencapai keberhasilan usaha. Penelitian yang dilakukan Kellermanns et.al (2008) pada perusahaan keluarga (Family Business) menunjukan bahwa, perilaku kewirausahaan dari sebuah perusahaan keluarga dipengaruhi oleh karakteristik dari pemimpin perusahaannya, yaitu usia dan lamanya masa kepemilikan, serta faktor banyaknya jumlah generasi keluarga yang terlibat dalam perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa faktor usia tidak mempunyai hubungan yang siginifikan
12
terhadap perilaku kewirausahaan, sedangkan lamanya kepemilikan perusahaan dan banyaknya generasi yang terlibat menunjukkan prediktor penting dari pertumbuhan lapangan kerja. Penelitian mengenai pengaruh faktor kelembagaan terhadap perilaku kewirausahaan yang dilakukan oleh Welter dan Smallbone (2011), menunjukan bahwa faktor kelembagaan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik dan hukum serta sosial budaya dimana pengusaha tersebut menjalankan usahanya, dapat menjadi pendukung ataupun sebagai pembatas dalam menjalankan usaha. Kelembagaan formal yang umum terdapat di setiap negara diantaranya adalah aturan yang mengatur masuk dan keluar industri, hak kepemilikan atau hak cipta, serta pengembangan usaha melalui undang-undang kontrak dan hukum kepailitan. kelembagaan yang merupakan peraturan yang berlaku di masyarakat, yang jika berjalan dengan stabil dan efisien dapat memfasilitasi pengembangan kewirausahaan menjadi lebih produktif karena dapat mengurangi ketidakpastian dan risiko usaha, dapat mengurangi biaya transaksi dan memungkinkan hubungan transaksi ekonomi berlandaskan kontrak hukum. Penelitian Riyanti (2003) membuktikan bahwa perilaku inovatif yang merupakan bagian dari perilaku wirausaha, merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan usaha. Dalam penelitiannya didapatkan bahwa faktor demografi yang berpengaruh terhadap perilaku inovatif diantaranya adalah; (1) Usia, usia berkaitan dengan keberhasilan dan prestasi kerja seseorang bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha, dengan bertambahnya usia seorang wirausaha maka akan semakin banyak pengalaman di bidang usahanya. Perbedaan usia menyiratkan perbedaan kemantapan karir; (2) Pengalaman atau keterlibatan dalam pengelolaan usaha sejenis. Wirausaha yang berpengalaman mengelola usaha sebelumnya, mampu melihat lebih banyak jalan untuk membuka bisnis baru dibanding dengan orang dengan jalur karir yang berbeda. Pengalaman dapat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan usaha; (3) Pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha. Pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah dan penyimpangan dalam praktik bisnis. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan inovasi. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Hisrich et.al (2008) mengatakan proses kewirausahaan merupakan proses untuk mengembangkan usaha baru, produk baru, dan membawa produk yang ada ke pasar yang baru. Pengusaha harus mampu menemukan, mengevaluasi dan mengembangkan sebuah peluang dengan mengatasi kekuatan yang menghalangi terciptanya sesuatu yang baru melalui tahapan; (1) identifikasi dan evaluasi peluang, (2) Pengembangan rencana bisnis, (3) Penetapan sumberdaya yang dibutuhkan, dan (4) Manajemen perusahaan yang dihasilkan. Seorang wirausahawan akan berperilaku kreatif, mampu melakukan terobosan baru dan bersedia mengambil risiko. Perilaku kewirausahaan dapat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja usaha, sebagaimana menurut Wirasasmita (2011) perusahaan yang berperilaku kewirausahaan yang menerapkan sifat inovatif dalam produksi dapat
13
meminimalkan biaya atau mencegah kenaikan biaya dan memaksimalkan output, hal ini dikarenakan adanya kombinasi input baru yang menghasilkan output yang lebih besar dibandingkan sebelumnya, selain itu adanya inovasi dapat menghasilkan penghematan penggunaan input, sehingga biaya produksi keseluruhan menjadi rendah atau mencegah kenaikan biaya, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan laba perusahaan dan pertumbuhan. Inovatif dianggap karakteristik utama dari kewirausahaan. Dari perspektif kewirausahaan fungsi produksi dirumuskan sebagai berikut : Q = F (X|,inovasi). Variabel inovasi merupakan "Market Shifter" atau penggerak permintaan, hal ini karena inovasi menghasilkan keunikan dari produk yang dapat berbentuk keunggulan teknikal, kualitas dan pelayanan yang dapat menciptakan nilai bagi pelanggan karena kecocokan dengan preferensi atau ekspektasinya. Pengaruh dari adanya inovasi dalam fungsi produksi merubah hubungan input-output, yaitu; (a) Kombinasi input baru menghasilkan output yang Iebih besar dibandingkan sebelumnya, dan (b) Inovasi baru menghasilkan penghematan penggunaan input, sehingga biaya produksi keseluruhan menjadi rendah atau mencegah kenaikan biaya. Teori laba dalam perspektif kewirausahaan, yaitu laba merupakan fungsi dari inovasi. Dalam rumus : Laba = f (inovasi produk, inovasi proses dan inovasi manajerial), dimana sumber inovasi dapat bersifat eksogeneous/ dari luar dan dari dalam/endogeneous yaitu persaingan dengan dirinya sendiri, atau keinginan menghasilkan/produk atau proses yang Iebih balk dari sebelumnya (Wirasasmita, 2011). Secara umum keberhasilan kinerja usaha dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah penjualan atau perluasan pangsa pasar dan peningkatan pendapatan. Dari hasil penelitian Dirlanudin (2010) menujukan bahwa perilaku wirausaha berpengaruh langsung dan bernilai positif terhadap keberhasilan usaha kecil industri agro. Indikator keberhasilan pengusaha kecil yang digunakan adalah peningkatan jumlah pelanggan, kecenderungan loyalitas pelanggan, perluasan pangsa pasar, kemampuan bersaing, dan peningkatan pendapatan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga pengusaha kecil industri agro. Serupa dengan penelitian Fauzi (2004), dimana variabel sikap kewirausahaan, orientasi pasar dan pembelajaran organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja bisnis. variabel kinerja bisnis dibentuk oleh indikatorindikator perluasan pangsa pasar, persentase penjualan produk baru dan ROI perusahaan. Sedangkan pada penelitian Padi (2005), indikator dari kinerja petani ikan diantaranya adalah adanya peningkatan produktivitas dan pemasaran hasil. Demikian juga hasil penelitian Kellermanns et.al (2008) menyebutkan bahwa perilaku kewirausahaan dipandang sebagai elemen penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan keluarga karena membantu menciptakan lapangan kerja dan kekayaan bagi anggota keluarga. Tanpa perilaku kewirausahaan, perusahaan keluarga kemungkinan akan menjadi stagnan, sehingga membatasi potensi untuk mencapai kesuksesan perusahaan dan pertumbuhan di masa depan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perilaku kewirausahaan dari seorang pemimpin perusahaan merupakan faktor kunci dalam pertumbuhan lapangan kerja di perusahaan keluarga. Runyan et.al (2008), melakukan penelitian tentang pengaruh entrepreneurial orientation (EO) dan small business orientation (SBO) terhadap usaha kecil. Fokus tujuan SBO berbeda dari EO, yaitu pengusaha yang
14
berorientasi kewirausahaan akan cenderung melakukan inovasi, yaitu dengan memperkenalkan barang baru dan metode baru yang lebih efektif dan efisien, membuka pasar baru dan mencari peluang sumber pasokan baru, bersikap proaktif, serta berani mengambil risiko. Sedangkan pengusaha yang berorientasi pada usaha kecil (SBO), memiliki preferensi yang kurang untuk melakukan inovasi, tidak aktif dalam pemasaran dan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Kinerja yang dihasilkan perusahaan dengan EO tentunya akan lebih baik dalam meningkatkan pendapatan perusahaan. Pada penelitian Riyanti (2003), perilaku inovatif pada pengusaha berpengaruh positif dan siginifikan terhadap keberhasilan usaha. Dan indikator keberhasilan usaha kecil dapat dilihat dari peningkatan dalam akumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan, perluasan usaha dan perbaikan sarana fisik. Sedangkan hasil penelitian Asmarani (2006) dan Sapar (2011), menunjukan bahwa adanya motivasi dan kemandirian yang merupakan bagian dari tipe kepribadian wirausaha personal achiever, memegang peranan penting dalam menciptakan kinerja usaha yang baik, yang pada akhirnya dapat menciptakan hasil dengan keunggulan bersaing. Kondisi, Permasalahan dan Strategi Pengembangan Industri Anggrek Nasional Bunga anggrek banyak dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk hiasan dan dekorasi ruangan, upacara keagamaan, ucapan selamat dan duka cita, serta dapat menjadi salah satu alternatif pilihan sebagai tanaman koleksi. Anggrek dipilih menjadi tanaman koleksi karena keindahan bunganya, warnanya yang beraneka ragam, keunikan bentuknya dan daya tahan bunganya yang relatif lebih lama daripada jenis bunga lain. Anggrek memiliki penggemar yang terhimpun dalam Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI), yaitu sebuah organisasi nirlaba yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap kelestarian dan pengembangan industri anggrek nasional. Anggrek yang dominan disukai masyarakat sehingga diproduksi dalam jumlah besar adalah jenis Dendrobium. Dendrobium hibrida maupun spesies banyak disukai hobiis, perangkai bunga, dekorator, dan pedagang. Konsumen memilih Dendrobium karena bunganya cukup besar, tegak, kuat, jumlah kuntumnya banyak, warnanya cerah, dan lama waktu segarnya setelah dipotong cukup panjang. Usahatani anggrek secara komersial dapat dibedakan menjadi empat bidang usaha yang saling berkaitan, yakni usaha pembibitan (breeder), usaha menumbuhkan dan produksi bunga (grower), usaha/perdagangan tanaman, dan perdagangan bunga (florist). Anggrek merupakan tanaman yang cukup sulit dibudidayakan dan membutuhkan waktu yang lama sampai didapatkan tanaman berbunga yaitu sekitar 4 tahun. Pertumbuhan anggrek yang lama menyebabkan waktu produksi menjadi lambat. Salah satu program Kementerian Pertanian agar usaha anggrek memberikan keuntungan yang maksimal adalah dengan pengembangan anggrek kearah komersialisasi dan industri usaha anggrek melalui segmentasi usaha. Model pengembangan anggrek dengan penataan rantai pasok melalui segmentasi usaha adalah sebagai berikut (Ditjenhorti, 2012) : Pola 1 : Botolan – kompot – jual ke pelaku usaha kompot 1.
15
Pola 2 : Botolan – kompot – seedling – jual ke pelaku usaha seedling Pola 3 : Seedling – remaja – jual ke pelaku usaha remaja Pola 4 : seedling – remaja – berbunga – jual ke konsumen Pola 5 : remaja – berbunga – jual ke konsumen Sentra produksi tanaman anggrek Dendrobium terutama berada di daerah Bogor, Tangerang selatan, Jawa Tengah, Sumatra, Irian Jaya dan Jawa Timur. Sentra produksi tanaman anggrek Vanda terutama berada di daerah Tangerang Selatan, Gunung Sindur (Bogor) serta Deli Serdang (Medan). Dan sentra produksi anggrek bulan atau Phalaenopsis terutama berada di daerah Bogor, Karawang, Cianjur, Lembang, Lawang, Prigen dan Salatiga. Sedangkan untuk sentra pemasaran tanaman anggrek Dendrobium di dalam negeri terutama adalah di sekitar Jabodetabek dan hampir sebagian wilayah Indonesia. Dan sentra pemasaran tanaman Anggrek Vanda terutama di daerah Jabar, Jakarta, Jatim, Aceh dan Sumatra (Ditjenhorti, 2011). Industri anggrek nasional berpotensi untuk dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan sumberdaya genetik anggrek yang melimpah, tenaga kerja memadai dan relatif murah, kondisi iklim yang mendukung, dan kemudahan untuk melakukan promosi. Selain itu menurut Damayanti (2011), Sinulingga, (2006), dan Arumsari (2000) anggrek memiliki segmen pasar tersendiri, yaitu para pencinta anggrek (hobiis), perhotelan, gedung pertemuan, perkantoran, catering, tempat wisata dan florist, sehingga permintaan terhadap anggrek relatif stabil meskipun pada saat terjadi krisis, dan peluang meningkatkan pangsa pasar baik nasional maupun internasional masih terbuka lebar. Komoditas anggrek memiliki daya saing tertinggi dibandingkan dengan komoditas tanaman hias lainnya di wilayah DKI Jakarta (Ernawati, 2008). Disamping itu anggrek nasional juga memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan, baik skala nasional maupun internasional, namun dari sisi daya saing dengan komoditas anggrek di negara tetangga, terutama dengan Thailand dan Singapura, anggrek nasional masih jauh tertinggal. Masih rendahnya daya saing anggrek nasional diantaranya juga disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang maksimal, rendahnya penguasaan teknologi, minimnya dukungan pemerintah, dan kurangnya peranan lembaga keuangan sebagai penyandang dana (Kartikasari, 2008). Senada dengan pernyataan tersebut, Sinulingga (2006), Ernawati (2008), dan Utami (2008) menyebutkan beberapa permasalahan dalam pengembangan agribisnis anggrek yaitu kurangnya penyediaan bibit unggul, teknik budidaya yang kurang tepat, teknologi pascapanen yang belum ditangani secara intensif, kurangnya informasi pasar, kurangnya strategi pemasaran dan permodalan. Selain itu, masih rendahnya produksi anggrek juga disebabkan karena pengusaha belum mampu memanfaatkan secara maksimal sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi persaingan yang ada, serta memanfaatkan peluang pasar (Nurmaryam, 2011). Hal ini menunjukan masih rendahnya perilaku kewirausahaan dalam usaha anggrek. Hasil penelitian Utami (2008) dan Sinulingga (2006), menyatakan beberapa alternatif strategi dalam pengembangan industri anggrek adalah dengan meningkatkan produksi, menjaga kontinuitas distribusi produk, mempertahankan dan memperluas pangsa pasar, serta meningkatkan kinerja pemasaran dan intensitas promosi. Sedangkan menurut Damayanti (2011), untuk meningkatkan keuntungan usahatani anggrek dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah 2. 3. 4. 5.
16
penjualan dan melakukan manajemen produksi yang baik, serta meningkatkan skala usaha, sehingga biaya produksi akan lebih efisien, dan target penjualan akan semakin besar. Dan hasil penelitian Nurmaryam (2011), menyatakan bahwa strategi untuk pengembangan usaha anggrek yaitu dengan mempertahankan pelayanan terbaik untuk konsumen, mengembangkan litbang dengan memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang, mencari alternatif untuk memperoleh sumber modal usaha, meningkatkan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan, melakukan riset pasar untuk memantau perkembangan produk dan tingkat persaingan, dan memperbaiki sistem manajemen perusahaan. Kebijakan pemerintah di bidang perdagangan dan investasi bidang tanaman hias belum banyak membantu pelaku usaha dalam pengembangan agribisnis tanaman hias. Kebijakan penurunan tarif impor produk hortikultura menjadi 5 persen dan benih sebesar 0 persen menyebabkan produk anggrek kalah bersaing dengan produsen dari negara lain. Demikian juga dengan naiknya jasa karantina lebih dari 100 persen per tanaman dan sulitnya pengurusan ijin usaha budidaya serta perdagangan/ ekspor anggrek (CITES), semakin menambah surutnya semangat investor menginisiasi usaha budidaya komoditas florikultura umumnya dan anggrek khususnya. Selain itu rendahnya daya saing produk florikultura Indonesia di pasaran dunia termasuk anggrek dipengaruhi juga oleh belum adanya kebijakan pemerintah dalam bidang transportasi udara. Tidak tersedianya fasilitas kargo pada maskapai penerbangan nasional menyebabkan biaya angkut produk florikultura dikenakan tarif komersial yang berimplikasi tingginya harga produk florikultura di pasaran dunia (Badan Litbang Pertanian, 2007). Usaha anggrek umumnya berskala kecil, hal ini dikarenakan adanya kesulitan untuk mengembangkan bisnis anggrek menjadi berskala menengah atau besar yang disebabkan oleh kendala modal. Anggrek adalah bisnis yang padat modal, total biaya usahatani anggrek Dendrobium dengan luas rumah seree 1000m2 (kapasitas 15.000 tanaman), per empat bulan mencapai Rp. 173.514.227, R/C ratio 1,53 dan B/C ratio 0,53 (Ditjenhorti, 2011). Dengan demikian, pengembangan industri anggrek nasional sudah saatnya ditekankan pada industri yang bersifat padat modal dan didukung dengan teknologi tinggi. Untuk mendukung hal tersebut, petani ataupun pengusaha anggrek diharapkan dapat berupaya mengembangkan informasi usaha dan pencitraan untuk mengundang para investor untuk masuk ke dalam bisnis anggrek, serta meminta pemerintah agar menyediakan regulasi yang kondusif bagi penanaman modal di sektor pertanian tanah air, khususnya pada komoditas anggrek. Pendekatan Structural Equation Models (SEM) untuk Analisis Perilaku dan Kinerja Pendekatan structural equation modeling (SEM) banyak digunakan untuk menganalisis perilaku, termasuk perilaku berwirausaha dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dirlanudin (2010) menggunakan model SEM untuk melihat perilaku berwirausaha dan dampaknya terhadap keberhasilan usaha kecil berbasis industri agro. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Wijaya (2008), Sapar (2011), Darmadji (2012), dan Mair (2002). Dalam penelitian Dirlanudin (2010), perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, serta
17
kebijakan pemerintah. Jumlah variabel yang digunakan adalah 32, dengan jumlah responden 250 orang. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Sapar (2011) dengan alat analisis SEM, menunjukan pengelolaan yang baik dari faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja penyuluh dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian itu sendiri yang pada akhirnya dapat mengubah kompetensi petani menjadi lebih baik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh diantaranya adalah, karakteristik, kompetensi, motivasi, dan kemandirian. Mair (2002) melakukan penelitian pengaruh perilaku kewirausahaan pada 150 orang manajer. Hasil analisis dengan menggunakan SEM menunjukan sebagian besar perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh interpretasi subjektif, aspek kognitif, serta karakteristik emosional. Selain itu adanya sikap proaktif, dan sikap percaya diri terhadap kemampuan berwirausaha juga dapat mempengaruhi perilaku kewirausahaan. Darmadji (2012) melakukan penelitian kewirausahaan petani cabe dan padi. Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan analisis SEM (Structural Equation Models) dapat ditunjukkan bahwa: (1) faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kewirausahaan petani cabe adalah faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan ekonomi, sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kewirausahaan petani padi adalah faktor lingkungan ekonomi dan lingkungan fisik. (2) kewirausahaan petani, baik pada petani cabe maupun petani padi berpengaruh terhadap kinerja usahatani, kapasitas manajemen, dan proses teknis biologis. Fauzi (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh sikap kewirausahaan, orientasi pasar dan pembelajaran organisasional terhadap kinerja bisnis, dengan menggunakan alat analisis SEM. Penelitian dilakukan terhadap 100 responden karyawan setingkat manajer. Hasil analisis data menunjukan bahwa kinerja bisnis dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Teori Kewirausahaan Berdasarkan Kao kewirausahaan adalah menciptakan kekayaan bagi individu dan nilai tambah kepada masyarakat melalui usaha baru dan inovasi (Kao, et.al, 1996). Senada dengan pendapat Robert C. Ronstad (Kuratko, 2009) kewirausahaan adalah proses dinamis menciptakan kekayaan, dengan menghasilkan suatu produk atau jasa. Produk atau layanan itu sendiri mungkin saja tidak baru, tetapi mempunyai nilai lebih. Hal ini dikarenakan adanya kemampuan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia secara terampil, atau dengan kata lain adanya kreativitas dan inovasi mampu memberikan nilai tambah pada suatu produk. Penciptaan nilai tambah diwujudkan dengan keterampilan dalam memanfaatkan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia, dan keterampilan dalam membangun rencana bisnis yang kuat, serta kemampuan untuk mengenali kesempatan dalam berbagai situasi. Dengan kata lain kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dapat berwujud inovasi dalam hal produk atau jasa, pemasaran, proses produksi, pengelolaan sumberdaya manusia (SDM), alternatif bahan input, atau dalam penerapan teknologi baru. Menurut Robert .C. Ronstad (Kuratko, 2009), secara umum diakui bahwa pengusaha berperan sebagai agen perubahan, karena dengan kreatifitas, ide-ide inovatif dalam menjalankan perusahaan, usaha atau bisnis dapat mengalami pertumbuhan dan menguntungkan. Sedangkan menurut Zimmerer dan Scarborough (2005) pengertian wirausaha adalah orang yang menciptakan bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian, demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi berbagai peluang penting dan menggabungkan sumberdaya yang diperlukan untuk mengkapitalisasi bagi permodalan usahanya. Senada dengan pernyataan tersebut, menurut KPPU (2009) wirausahawan (pengusaha) adalah seseorang yang mengkombinasikan berbagai faktor produksi untuk ditransformasi menjadi output berupa barang dan jasa. Dalam upaya tersebut, dia harus menanggung risiko kegagalan. Atas keberanian menanggung risiko, pengusaha mendapat balas jasa berupa laba. Makin besar (tinggi) risikonya, laba yang diharapkan harus semakin besar. Teori Perilaku Kewirausahaan Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal, namun sebagian besar perilaku individu merupakan respon terhadap stimulus eksternal. Teori Atribusi merupakan teori yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku seseorang, teori atribusi ini dicetuskan oleh Fritz Heider. Menurut Heider ada dua sumber atribusi terhadap tingkah laku; (1). atribusi internal atau atribusi disposisional, dan (2) atribusi ekternal atau atribusi lingkungan. Konsep tersebut dikenal juga dengan nama “Causal Attribution” yaitu proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku, penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan
19
kualitas pribadi atau personal, dan penyebab eksternal (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi (Mustafa, 2011). Menurut para ahli psikologi sosial adanya interaksi individu dengan orang lain adalah faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku (Atkinson, et.al, 1994). Menurut Irwanto et.al (1996) unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective) serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psycomotoric) dan tindakan nyata (action). Sedangkan tiga determinan yang mempengaruhi terjadinya perilaku, yaitu; (1) determinan yang berasal dari lingkungan (dukungan, desakan,keadaan bahaya, dan lain-lain), (2) determinan dari dalam diri individu (harapan/cita-cita, emosi, insting, keinginan, dan lain-lain), dan (3) tujuan/insentif/nilai dari suatu obyek. faktor-faktor ini berasal dari dalam diri individu (kepuasan kerja, tanggung jawab), atau dari luar individu (status, uang). Menurut Skiner (Irwanto. et.al, 1996) perilaku dapat dibedakan menjadi; (1) perilaku yang alami (innate behavior), dan (2) perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu yang berupa refleks dan insting. Sedangkan perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Sebagian besar perilaku pada manusia merupakan perilaku yang dibentuk, perilaku yang diperoleh, dan dapat dikendalikan, sehingga perilaku dapat berubah melalui proses belajar. Teori Mc Clelland membedakan tiga kebutuhan utama yang mempengaruhi perilaku manusia, yaitu kebutuhan berprestasi atau n-ach, kebutuhan untuk berkuasa atau n-power, dan kebutuhan untuk berafiliasi atau naffiliasi. Kebutuhan berprestasi atau n-ach tercermin dari perilaku individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan (standar of exellenceI). Orang seperti ini menyukai tugas-tugas yang menantang, tanggung jawab secara pribadi, dan terbuka untuk umpan balik guna memperbaiki prestasi inovatif-kreatifnya. Nach merupakan hasil dari suatu proses belajar, sehingga n-ach dapat ditingkatkan melalui latihan (Irwanto,et.al, 1996). Motivasi adalah suatu konstruk teoritis mengenai terjadinya perilaku. Konstruk teoritis ini meliputi aspek-aspek pengaturan (regulasi), pengarahan (direksi), serta tujuan (insentif global) dari perilaku. Seluruh aktivitas mental yang dirasakan/ dialami yang memberikan kondisi hingga terjadinya perilaku disebut motif (Irwanto, et.al, 1996). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada, dan perilaku didorong oleh motif tertentu. Menurut Furnham (1994) terbentuknya perilaku kewirausahaan merupakan proses pembelajaran dari interaksi individu dalam suatu organisasi usaha. Pengertian dari perilaku kewirausahaan menurut Fogel, et.al (2005) adalah tindakan yang terdiri dari kegiatan mengumpulkan informasi, mengolahnya, identifikasi peluang, pengambilan resiko, mengelola perusahaan baru dan masuk pasar, mencari dukungan finansial, keahlian teknologi dan input lainnya. Senada dengan hal tersebut, Kuratko (2009) menyatakan bahwa kewirausahaan tidak hanya sekedar penciptaan bisnis semata, namun disertai dengan perilaku aktif mencari peluang, berani mengambil risiko, serta memiliki kegigihan dalam berkreativitas untuk menghasilkan bisnis yang inovatif. Menurut Bird (1996) perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-
20
nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima risiko dan kreatif. Empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu; (1) faktor individu yang merupakan kondisi orang-orang yang ada dalam organisasi, (2) faktor organisasi menyangkut kondisi internal, keberadaan, serta daya tahan lembaga tersebut, (3) faktor lingkungan merupakan faktor yang berada di luar organisasi dan dapat mempengaruhi keberadaan organisasi, dan (4) faktor proses, sebagai aktivitas kerja yang terjadi dalam organisasi termasuk terjadinya interaksi antara individu yang satu dengan lainnya. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku kewirausahaan adalah tindakan seorang wirausaha dalam menjalankan usahanya yang mencerminkan karakteristik kewirausahaan, seperti tekun, kreatif dan inovatif, berani mengambil risiko dan tanggap terhadap peluang. Perilaku tidak terjadi secara spontan dan tanpa tujuan, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa timbulnya perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam individu (internal) dan faktor-faktor lingkungan (eksternal), yang berorientasi terhadap tujuan dari suatu usaha. Teori Kinerja Usaha Kinerja adalah hasil kerja individu maupun perusahaan dalam rangka mencapai tujuan, yaitu dalam bentuk profitabilitas/ kemampulabaan dan kesejahteraan, sebagaimana menurut Baye (2008), performance refers to the profits and social welfare that result in a given industry. Demikian pula menurut KPPU (2009) kinerja suatu usaha atau industri dapat berupa pertumbuhan industri, efisiensi, inovasi, profitabilitas, tingkat kepuasan konsumen dan sebagainya yang merupakan bagian dari kesejahteraan masyarakat. Paradigman struktur-perilaku-kinerja (structure-conduct-performance paradigm), memperlihatkan bagaimana ketiga aspek dari industri tersebut saling terkait. Struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam mengalokasikan sumberdaya yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap baik buruknya kinerja (Baye, 2008). Perusahaan yang berada di pasar yang tingkat persaingannya tinggi tentunya mempunyai perilaku yang relatif berbeda dengan perusahaan dengan kondisi persaingan pasar yang rendah. Perilaku tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kinerja usaha dapat diukur berdasarkan beberapa indikator, yaitu profit (current profitability and profitability over the longer term), dan pangsa pasar (market share or growth market share). Kinerja suatu usaha tergantung pada kompetensi dari manajernya, yaitu keterampilan, pengalaman, motivasi, serta adanya dedikasi dan sensitifitas dalam mengelola usaha (Sloman dan Sutcliffe, 2004). Menurut Praag (2005) keberhasilan kinerja usaha dapat dilihat dari adanya keberlangsungan dan pertumbuhan usaha, penambahan tenaga kerja, peningkatan keuntungan dan pendapatan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Indikator kinerja sebagai tujuan utama dari sebuah organisasi bisnis. Diantaranya adalah keuntungan (profit), Return of investment (ROI) atau pengembalian investasi, tercapainya efisiensi dan penggunaan sumber daya keuangan untuk mendukung pengembangan usaha dan mengelola usaha dengan efektif dan efisien dilihat dari sisi keuangan. Menurut Day (Dirlanudin, 2010) performance outcomes atau kinerja usaha meliputi (1) satisfaction (kepuasan) terkait dengan semakin banyak
21
pihak merasa terpuaskan oleh keberadaan perusahaan, (2) loyality (loyalitas) menyangkut kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) market share (pangsa pasar) kemampuan memperluas pangsa pasar, dan (4) profitability (peningkatan pendapatan), ditandai dengan adanya peningkatan profit yang signifikan. Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka pada penelitian ini indikator kinerja yang akan diukur adalah; (1) peningkatan pendapatan, (2) perluasan wilayah pemasaran, dan (3) keunggulan bersaing. Kerangka Pemikiran Konseptual Penerapan konsep perilaku kewirausahaan dapat mempengaruhi kinerja usaha menjadi lebih baik dan berkembang. Perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari diri pribadi, dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan. Berdasarkan teori maupun studi empirik, faktor-faktor internal yang yang akan diteliti dan dikaji pada penelitian ini diantaranya, pendidikan, pengalaman, skala usaha, kepemilikan modal usaha, kepemilikan sarana dan prasarana produksi, motivasi berprestasi, keinginan berwirausaha, persepsi terhadap usaha. Sedangkan faktor eksternal diantaranya, ketersediaan bahan input, dukungan penyuluhan dan pelatihan, bantuan modal usaha, dukungan promosi dan pemasaran, dukungan regulasi usaha, kekompakan pengusaha anggrek dan akses terhadap informasi pasar. Indikator bagi perilaku kewirausahaan adalah tekun berusaha, tanggap terhadap peluang, inovatiF, berani mengambil risiko dan bersikap mandiri. Indikator kinerja usaha yang digunakan adalah peningkatan pendapatan, perluasan wilayah pemasaran, dan keunggulan bersaingKerangka pemikiran konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Faktor Internal : 1. Pendidikan 2. Pengalaman 3. Kepemilikan modal 4. Kepemilikan sarana/prasarana produksi 5. Motivasi berprestasi 6. Skala usaha 7. Persepsi terhadap usaha 8. Kepemilikan sumber usaha
-
Perilaku Kewirausahaan Pengusaha Anggrek: Tekun Berusaha Tanggap terhadap peluang Inovatif Berani mengambil risiko Bersikap Mandiri
Faktor Eksternal : 1. Ketersediaan Bahan input 2. Penyuluhan dan Pelatihan 3. Modal dan Saprotan 4. Promosi dan Pemasaran 5. regulasi usaha 6. kekompakan pengusaha anggrek 7. Akses terhadap informasi pasar
Kinerja usaha Anggrek : - Meningkatnya pendapatan - Perluasan wilayah pemasaran - Keunggulan bersaing
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Pengusaha Anggrek terhadap Kinerja Usaha
4 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan bagian dari sentra anggrek di Provinsi Jawa Barat (Tabel 5) dan Banten. Disamping itu anggrek telah dicanangkan sebagai ikon Bogor dan Tangerang Selatan, sehingga dimungkinkan mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah untuk pengembangannya. Pada ketiga daerah tersebut umumnya petani menanam anggrek jenis dendrobium, dan penjualannya sebagian besar untuk wilayah Jabodetabek. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2012. Tabel 5. Sentra Produksi Anggrek Nasional di Jawa Barat Tahun 2011 Produksi Kecamatan Utama Kabupaten/Kota (tangkai) Bogor 1.878.403 Gunung Sindur Karawang 553.422 Cikampek Cirebon 160.950 Sawangan Sumber : Dinas Pertanian Jawa Barat (2012)
Berdasarkan Data Statistik Daerah Provinsi Banten tahun 2012, anggrek merupakan komoditas tanaman unggulan selain padi, dengan tingkat produksi tertinggi ketiga di Indonesia (Tabel 6). Sentra tanaman anggrek sebagai komoditas unggulan tersebut berada di Kota Tangerang Selatan. Tabel 6. Komoditas Tanaman Unggulan Provinsi Banten Tahun 2010-2011 Tanaman Satuan 2010 2011 Anggrek Tangkai 2.189.988 3.673.559 Melinjo Ton 36.642 30.409 Aren Ton 1.708 1.708 Melon Ton 750 802 Durian Ton 8.759 26.291 Sumber : Statistik Daerah Provinsi Banten (2012)
Di Tangerang Selatan, sentra anggrek terbesar kedua adalah di Kecamatan serpong dengan mayoritas jenis anggrek yang ditanam adalah jenis Dendrobium (Tabel 7), baik untuk bunga potong (cutted plant) maupun bunga pot. Tabel 7. Sentra Produksi Tanaman Anggrek di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten Tahun 2012 Produksi Kecamatan Luas Lahan Jenis Anggrek (tangkai) Pamulang 209.500 m2 4.886.400 Anggrek Tanah Serpong 40.250 m2 462.000 Anggrek Dendrobium Setu 6.550 m2 300.000 Anggrek Dendrobium Sumber : Ditjenhorti (2012)
23
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Sumber data primer mencakup seluruh metode pengumpulan data dari sumber asal (original sources) dan dikumpulkan secara khusus untuk tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk tujuan yang lain daripada tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani anggrek, serta penggalian informasi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Sedangkan data data sekunder diperoleh dari Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP), dan Badan Pusat Statistik. Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling, hal ini dikarenakan tidak adanya data yang pasti mengenai ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey melalui wawancara dengan panduan kuesioner terhadap petani anggrek, dengan kriteria yaitu petani pemilik usaha, yang merupakan pengambil keputusan dalam budidaya tanaman anggrek tersebut. Sampel yang digunakan berjumlah 115 responden, dengan komposisi 78 orang petani di Kecamatan Gunung Sindur, 30 orang petani di Kecamatan Serpong dan 7 orang Petani di Kecamatan Parung. Pengumpulan data primer dibantu oleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dan Ketua Kelompok Tani setempat, yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu mengenai pertanyaanpertanyaan dalam kuesioner, sehingga dapat menguasai materi, serta mempunyai pemahaman yang sama. Variabel dan Pengukuran Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel laten dan variabel manifest sebagai indikator dari variabel laten. Pengukuran peubah variabel-variabel didasarkan pada konsep yang telah terbukti secara empiris, sehingga dapat diimplementasikan di lapangan serta mampu diukur sebagaimana seharusnya. Faktor Internal Petani Anggrek Faktor internal adalah faktor penyebab perilaku yang berasal dari atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal. Indikator dari faktor internal adalah sebagai berikut:
24
Tabel 8. Variabel Indikator/ Manifest Faktor Internal (X1) Variabel Manifest Pendidikan (X1.1)
Keterangan Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal.
Pengalaman (X1.2)
Lamanya berusahatani anggrek (tahun)
Skala Usaha (X1.3)
Luas lahan yang digunakan untuk berusahatani anggrek (m2)
Kepemilikan Modal Usaha (X1.4)
Tingkat kepemilikan modal/biaya yang dimiliki petani untuk menjalankan usahatani anggrek
Kepemilikan Sarana dan Prasarana Produksi (X1.5)
Tingkat kepemilikan petani akan sarana (benih, pupuk, pestisida, media tanam) dan prasarana (rumah lindung, instalasi pengairan, sprayer, jalan)
Motivasi Berprestasi (X1.6)
Dorongan atau keinginan petani anggrek untuk mencapai kesuksesan dalam berusahatani anggrek.
Persepsi Terhadap Usaha (X1.7)
Pandangan petani anggrek terhadap usaha anggrek
Keinginan Berusahatani Anggrek (X1.8)
Sejauhmana keinginan petani anggrek untuk menjalani dan mempertahankan usaha anggrek
Faktor Eksternal Petani Anggrek Faktor eksternal (external causality) adalah faktor penyebab perilaku yang berasal dari lingkungan atau situasi. Indikator dari faktor internal dapat dilihat pada Tabel 9. Pada faktor eksternal, pengukuran variabel dengan menggunakan skala likert, yang menghasilkan nilai skala ordinal. Tabel 9. Variabel Indikator/ Manifest Faktor eksternal (X2) Variabel Manifest Ketersediaan Bahan Input (X2.1)
Keterangan Ketersediaan bahan input adalah tingkat kemudahan dalam mendapatkan bahan input untuk berusahatani anggrek, bahan input ini berupa benih, pupuk, pestisida, media tanam, pot, dan lain sebagainya.
Dukungan Penyuluhan dan pelatihan (X2.2)
Perhatian pemerintah berupa penyuluhan dan pelatihan mengenai usahatani anggrek yang sudah pernah diberikan selama ini
Bantuan modal dan sarana produksi (X2.3)
Bantuan dari pemerintah baik dalam bentuk modal maupun sarana produksi yang sudah pernah diberikan selama ini
Dukungan promosi dan pemasaran (X2.4)
Dukungan pemerintah dalam kegiatan promosi dan kemudahan pemasaran anggrek
Dukungan regulasi usaha (X2.5)
kebijakan/ regulasi yang mendukung pengembangan usaha anggrek
Kekompakan antar pengusaha anggrek (X2.6)
Sikap saling membantu diantara petani anggrek
Akses terhadap informasi pasar (X2.7)
Kemudahan mendapatkan informasi harga dan peluang pasar
25
Perilaku Kewirausahaan Perilaku kewirausahaan (Y1) pada penelitian ini adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang wirausaha (petani anggrek) dalam menjalankan usahanya, yang didasari pada karakteristik kewirausahaan. Indikator perilaku kewirausahaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Tabel 10): Tabel 10. Variabel Manifest Perilaku Kewirausahaan (Y1) Variabel Manifest Tekun Berusaha (Y1.1)
Keterangan Tingkat kegigihan menekuni usaha, serta sesabaran menjalankan dan menghadapi kesulitan dalam berusaha
Ketanggapan terhadap peluang (Y1.2)
kemampuan untuk mengenali peluang/ berorientasi pada peluang
Inovatif (Y1.3)
Kemampuan petani untuk menciptakan gagasan, produk atau proses yang baru
Berani mengambil risiko (Y1.4)
Keberanian menghadapi risiko dalam menjalankan usaha, dengan memperhitungkan secara cermat dan menyiapkan antisipasi penyelesaian
Mandiri (Y1.5)
Bekerja sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau pada instansi pemerintah, dan dapat mengambil keputusan strategis dalam menjalankan usahanya
Pengukuran variabel perilaku kewirausahaan adalah dengan menggunakan skala likert yang menghasilkan nilai skala ordinal. Kinerja Usaha Kinerja usaha adalah hasil yang diperoleh dalam menjalankan suatu usaha untuk mencapai tujuan. Variabel-variabel indikator dari kinerja usaha dapat dilihat pada Tabel 11. Pada variabel kinerja usaha, pengukuran variabel dilakukan berdasarkan persepsi petani dengan menggunakan skala likert, yang menghasilkan nilai skala ordinal. Tabel 11. Variabel Indikator/ Manifest Kinerja Usaha (Y2) Variabel Manifest Perluasan Wilayah Pemasaran (Y2.1)
Keterangan Mampu memperoleh pangsa pasar baru / wilayah pemasaran semakin luas
Peningkatan Pendapatan (Y2.2)
Pendapatan yang meningkat dari periode sebelumnya
Keunggulan Bersaing (Y2.3)
Produk yang dihasilkan memiliki kelebihan/keunggulan/ dibandingkan produk petani lain, tidak mudah ditiru, dan tidak mudah digantikan
26
Metode Analisis Data Analisis deskriptif dilakukan pada data identitas responden untuk menggambarkan karakteristik petani anggrek. Disamping itu hasil dari wawancara dengan kuesioner dianalisis dalam bentuk sebaran dalam bentuk persentase. Data hasil penelitian untuk mengetahui pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usaha, dianalisis dengan Model Persamaan Struktural atau SEM (Structural Equation Models), dengan menggunakan software Lisrel 8.3. SEM merupakan analisis yang mampu menjelaskan keterkaitan variabel secara kompleks, serta efek langsung maupun tidak langsung dari satu atau beberapa variabel terhadap variabel lainnya. Termasuk dalam SEM ini ialah Analisis Faktor konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis), Analisis Jalur (Path Analysis) dan regresi (regression). Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk mengidentifikasi konstruk atau ide dasar dari sejumlah variabel independen, kemudian dikombinasikan dengan analisis regresi yang akan mengungkap seberapa kuat konstruk tersebut mempengaruhi satu atau lebih variabel dependen. Struktur faktor ditentukan berdasarkan teori yang telah mapan dan data empiris digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa struktur tersebut telah terbukti secara empiris (Kusnendi, 2008). Karakteristik utama SEM adalah sebagai berikut : 1. SEM merupakan kombinasi teknik analisis data multivariate interdependensi dan dependensi, yaitu analisis faktor konfirmatori dan analisis jalur. Variabel yang dianalisis adalah variabel laten (konstruk), yaitu variabel 2. yang tidak dapat diobservasi langsung tetapi diukur melalui indikatorindikator terukur atau variabel manifest SEM bertujuan bukan untuk menghasilkan model melainkan menguji atau 3. mengkonfirmasikan model berbasis teori, yaitu model pengukuran dan model struktural. Menurut Wijanto (2008) SEM terdiri dari dua komponen yaitu (1) model pengukuran (Measurement Model) yang mengukur hubungan antara variabel laten dengan variabel manifest nya, dan (2) model struktural (Structural Model) yang menunjukan hubungan kausal diantara variabel laten. Menguji model terdiri dari dua hal, (1) menguji kesesuaian model secara keseluruhan (overall model fit test), pengujian ini dilakukan dengan menggunakan ukuran Goodness of Fit Test (GFT) dan (2) menguji secara individual kebermaknaan (test of significance) hasil estimasi parameter model, pengujian ini dilakukan dengan menggunakan statistik uji t. Dalam SEM, unobserved variable atau disebut juga variable laten dan ), merupakan variabelkonstruk laten dilambangkan dengan bentuk elips ( variabel yang tidak terobservasi sehingga diukur dengan menggunakan indikatorindikator masing-masing atau variabel manifest nya. Sedangkan observed variable digambarkan dengan simbol kotak ( ), digunakan untuk mengukur variabel laten. Di samping itu, semua indikator variabel laten eksogen/penyebab dinotasikan dengan X, sedang indikator variabel endogen/akibat sebagai Y. Menurut Wijaya (2009) dalam penelitian sebaiknya menggunakan minimal 3 (tiga) variabel manifest, jika kurang dari nilai tersebut maka analisis akan bermasalah, dan kesalahan (error) tidak dapat dibuat model. Model yang
27
menggunakan hanya dua indikator manifest per variable laten akan sulit diidentifikasi dan estimasi-estimasi kesalahan akan tidak reliabel. Variabel teramati (observed variable) atau variabel terukur (measured variable) adalah variabel yang dapat diamati atau dapat diukur secara empiris dan sering disebut sebagai indikator. Variabel teramati merupakan efek atau ukuran dari variabel laten. Variabel teramati yang berkaitan atau merupakan efek dari variabel laten eksogen (ksi) diberi notasi matematik dengan label X, sedangkan yang berkaitan dengan variabel laten endogen (eta) diberi label Y (Wijanto, 2008) Model struktural menggambarkan hubungan-hubungan yang ada diantara variabel-variabel laten. Hubungan tersebut serupa dengan sebuah persamaan regresi linier diantara variabel-variabel laten tersebut. Beberapa persamaan regresi linier tersebut membentuk sebuah persamaan simultan variabel-variabel laten. Parameter yang menunjukan regresi variabel laten endogen pada variabel laten eksogen diberi label γ (gamma). Sedangkan untuk regresi variabel laten endogen pada variabel endogen yang lain diberi label β(beta). Dalam SEM variabelvariabel laten eksogen dapat ber-“covary” secara bebas dan matrik kovarian variabel ini diberi tanda φ (phi). Model pengukuran menghubungkan variabel laten dengan variabelvariabel teramati atau indikator yang berbentuk analisis faktor. Muatan faktor atau “factor loadings” yang menghubungkan variabel-variabel laten dengan variabel teramati diberi label λ (lambda). Untuk mengukur variabel teramati (manifest) pada kuesioner digunakan skala likert. Skala likert dikenal sebagai summated ratings method. Ciri khas dari skala likert adalah bahwa makin tinggi skor yang diperoleh, merupakan indikasi bahwa penilaian terhadap suatu objek semakin positif, demikian sebaliknya. Penerapan SEM pada penelitian memerlukan orientasi yang berbeda dengan penerapan statistik. Prosedur dalam SEM lebih menekankan penggunaan kovarian. Dalam analisis statistik, fungsi yang diminimumkan adalah perbedaan antara nilai-nilai yang diamati dengan yang diprediksi, maka pada SEM yang diminimumkan adalah perbedaan antara kovarian sampel dengan kovarian yang diprediksi oleh model. Dengan demikian, yang dimaksud residual dalam SEM adalah perbedaan antara kovarian yang diprediksi/dicocokan (predicted/fitted) dengan kovarian yang diamati. Pada penelitian dengan alat analisis SEM, ukuran sampel yang digunakan adalah (n) x 5 observasi untuk setiap estimated parameter, sehingga apabila misalnya jumlah (n) = 20 maka besarnya sampel adalah 100 responden. Jumlah ini merupakan sampel penentuan awal saja, karena apabila muncul data yang tidak normal dari data tersebut, maka jumlah sampel tersebut di atas tidak sesuai lagi (Wijaya, 2009). Model awal persamaan struktural yang menunjukkan pengaruh perilaku kewirausahaan pengusaha anggrek dalam meningkatkan kinerja usaha anggrek dapat dilihat pada Gambar 3. Dimana FI adalah faktor internal, FE adalah faktor eksternal, PK adalah perilaku kewirausahaan, dan KU adalah kinerja usaha. Penelitian ini untuk pengembangan modelnya menggunakan metode “Model Development Strategy” atau “Model Generating”. Berdasarkan Wijanto (2008), penggunaan metode tersebut karena pada strategi pemodelan penelitian ini, model awal dispesifikasikan dan data empiris dikumpulkan. Jika model awal tersebut tidak cocok dengan data empiris yang ada maka model dimodifikasi dan
28
diuji kembali dengan data yang sama. Langkah ini bertujuan agar lebih menemukan model yang cocok dengan data dan parameter dapat diartikan dengan baik. Hal ini dilakukan karena pada penelitian sebelumnya yang menjadi acuan penelitian ini dibangun berdasarkan kondisi kewirausahaan pada pedagang kaki lima, dan UMKM agribisnis. 1 x.1 x.2 y.1
x.3 x.4
1
y.2
y.3
y.4
y.5
FI
x.5
1
y.6 PK
x.6
KU
1
y.7 y.8
x.7 x.8
1 x.9 1 x.10
1 x.11
1
FE
x.12
1 x.13
1
1
x.14
1 x.15
Gambar. 3. Structural Equation Model (SEM) Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha
Secara matematis, formulasi model persamaan struktural dirumuskan sebagai berikut : 1. Model Persamaan Struktural 1 = 11 + 22 + 1 .......................................................... (1) 2 = 1. 1 + 22 + 2 ........................................................ (2) 2.
Model Pengukuran Variabel Laten Eksogen X1.1 = x1.1 + 1.1 ................................................................ (3) X1.2 = x1.2 + 1.2 ................................................................ (4) X1.3 = x1.3 + 1.3 ................................................................ (5) X1.4 = x1.4 + 1.4 ................................................................ (6) X1.5 = x1.5 + 1.5 ................................................................ (7) X1.6 = x1.6 + 1.6 ................................................................ (8) X1.7 = x1.7 + 1.7 ................................................................ (9) X1.8 = x1.8 + 1.8 .................................................................. (10) X2.1 = x2.1 + 2.1 ................................................................ (11)
29
X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X2.7 3.
= = = = = =
x2.2 + 2.2 ............................................................. (12) x2.3 + 2.3 ................................................................ (13) x2.4 + 2.4 ................................................................ (14) x2.5 + 2.5 ................................................................ (15) x2.6 + 2.6 ................................................................ (16) x2.7 + 2.7 ................................................................ (17)
Model Pengukuran Variabel Laten Endogen Y1.1 = y1.1 + 1.1 ..................................................................(18) Y1.2 = y1.2 + 1.2 ................................................................. (19) Y1.3 = y1.3 + 1.3 .................................................................. (20) Y1.4 = y1.4 + 1.4 .................................................................. (21) Y1.5 = y1.5 + 1.5 .................................................................. (22) Y2.1 = y2.1 + 2.1 ................................................................. (23) Y2.2 = y2.2 + 2.2 .................................................................. (24) Y2.3 = y2.3 + 2.3 ................................................................... (25)
Dimana : 1 2 1 1,2,...n X1,2,...n Y1.2,...n x.1,2,...n y1,2,...n ,
= = = = = = = = = = =
variabel laten endogen perilaku kewirausahaan variable laten endogen kinerja usaha koefisien hubungan koefisien hubungan model persamaan struktural komponen error variabel laten eksogen faktor internal dan eksternal variabel indikator pada laten eksogen variabel indikator pada laten endogen muatan faktor variabel indikator pada laten eksogen muatan faktor variabel indikator pada laten endogen error pada model hubungan variabel indikator
Wijaya (2009) menyebutkan bahwa tujuan utama dari analisis SEM adalah menguji fit suatu model yaitu kesesuaian model teoritis dengan data empiris. Kriteria untuk menentukan goodness of fit model SEM disajikan dalam Tabel. 5 berikut: Tabel 12. Kriteria Goodness of Fit Hasil Pengujian Kesesuaian Model Kriteria Indeks Ukuran Nilai Acuan Chi kuadrat (χ2) Sekecil mungkin P – value ≥ 0,05 RMSEA ≤ 0,08 RMR GFI AGFI NFI CFI Sumber: Wijaya (2009)
0,08 0,90 0,90 0,90 0,90
30
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Penjelasan dari masing – masing kriteria tersebut adalah sebagai berikut: Chi kuadrat (χ2) dan P–value (probabilitas) merupakan alat uji untuk mengukur overall fit. Model dikategorikan baik jika memiliki χ2 = 0 yang berarti tidak ada perbedaan antara model teoritis dan empiris. Tingkat signifikansi model yang ditetapkan adalah P ≥ 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan antara model teoritis dan empiris. CMIN/df atau χ2/df merupakan rasio antara χ2 (chi square) dengan derajat bebas (degree of freedom). Ukuran ini digunakan karena χ2 sangat sensitif terhadap jumlah observasi. RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) menunjukkan goodness of fit yang diharapkan model diestimasikan dalam populasi. Nilai RMSEA ≤ 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu didasarkan pada degree of freedom. RMSEA merupakan ukuran atau indeks yang mencoba memperbaiki karakteristik statistik Chi-square yang cenderung menolak model jika ukuran sampel relatif besar. Kriteria RMSEA adalah semakin rendah nilai RMSEA menunjukan matriks kovariansi sampel dengan matriks kovariansi populasi cenderung tidak berbeda. Karena itu suatu model dikatakan fit dengan data apabila model mampu menghasilkan nilai RMSEA yang mendekati nol. GFI (Goodness of Fit Index) digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan. Nilai GFI yang semakin mendekati 1 menujukkan tingkat kesesuaian model yang lebih baik. AGFI (Adjusted GFI) merupakan GFI yang disesuaikan dengan degree of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model. Nilai AGFI yang semakin mendekati 1 menunjukkan tingkat kesesuaian model yang lebih baik. TLI (Tucker – Lewis Index) adalah sebuah alternatif Incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang direkomendasikan untuk diterimanya sebuah model adalah ≥ 0,9. CFI (Comparative Fit Index) merupakan model kesesuaian incremental yang juga membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik adalah jika CFI ≥ 0,9.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Usahatani Anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong Secara historis perkembangan tanaman anggrek di Kecamatan Gunung Sindur dan Serpong dimulai pada tahun 1985-1989. Di Kecamatan Serpong yang berada di sebelah utara Kecamatan Gunung Sindur terdapat sebuah perusahaan bunga potong anggrek Dendrobium, yaitu PT. PAGI (Papayarwarna Agro Indonesia), dimana petani anggrek di wilayah Serpong, Gunung Sindur dan sekitarnya menjadi petani plasma bagi perusahaan tersebut. Namun PT. PAGI tidak dapat bertahan dan akhirnya gulung tikar. Namun demikian, karena petani telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang budidaya dan usaha anggrek Dendrobium, maka petani-petani tersebut tetap melanjutkan usahataninya, dan bahkan dapat menarik sebagian warga untuk ikut menggeluti usahatani anggrek hingga saat ini. Umumnya petani anggrek di ketiga wilayah penelitian mengusahakan anggrek dalam bentuk pot plant, hal ini dikarenakan mengusahan pot plant dirasa lebih menguntungkan dibandingkan bunga potong (cut flower). Pada usaha pot plant perputaran uang lebih cepat dan dari segi risiko usaha juga lebih kecil. Beberapa kendala dalam mengusahakan bunga potong (cut flower) diantaranya: a. Memerlukan kebun yang luas, atau bahkan lebih baik dalam skala industri. Sehingga masa produksi/panen dapat diatur waktunya secara lebih efisien. Karena setelah dipotong tanaman mengalami masa recovery yang cukup lama setelah dipanen, yaitu lebih dari dua bulan, hal ini menyebabkan margin keuntungan menjadi tipis. b. Terdapat persyaratan ukuran/grade bunga yang harus dipenuhi, yaitu kualitas S, M dan L. c. Jumlah tanaman anggrek yang memenuhi kriteria bunga potong sangat terbatas, dari segi warna bunga, vase life, bentuk dan kekokohan tangkai. d. Benih/bibit bunga potong yang berkualitas baik sulit didapatkan. Umumnya petani memperbanyak tanaman dengan menggunakan keiki, namun produktivitasnya semakin menurun. e. Biaya pemeliharan bunga potong relatif lebih tinggi dibandingkan bunga pot, terutama untuk biaya pemupukan. Anggrek potong jenis Dendrobium putih yang dibudidayakan di Gunung sindur dan serpong merupakan tanaman sejak tahun 1985, yang berasal dari PT. PAGI, sehingga sudah berumur kurang lebih 27 tahun. Secara genetis, umur produktif tanaman anggrek bunga potong adalah dua tahun hingga enam tahun. Pada tahun kedua sampai tahun ketiga tanaman anggrek Dendrobium bunga potong mampu berproduksi sebesar 20 persen, selanjutnya pada tahun ketiga hingga tahun keempat masa produksi puncak (100%), kemudian mulai pada tahun kelima sampai tahun keenam mulai mengalami penurunan hingga 40 persen. Setelah umur lima tahun tanaman anggrek potong harus diganti dengan tanaman yang baru, karena tanaman sudah tidak mampu lagi menghasilkan produksi bunga dengan kualitas yang memenuhi standar kualitas bunga potong (Hayati, 2013). Namun demikian, umumnya petani belum melakukan pembaharuan bibit, yang menyebabkan produktivitas tanaman semakin berkurang, yang sebelumnya bisa
32
mencapai 10-12 tangkai/tanaman, saat ini hanya 5-7 tangkai/tanaman, hal ini menyebabkan keuntungan dalam usahatani anggrek potong semakin mengalami penurunan. Kebun anggrek dengan luasan 1000m2 dapat ditanami 9.000 pot tanaman anggrek potong. Pada masa diawal penanaman, produksi bunga potong pada luasan 1000 m2 bisa mencapai 500 tangkai/minggu, namun saat ini hanya berkisar 200-300 tangkai/minggu. Penyebab sebagian besar petani anggrek Dendrobium bunga potong tidak melakukan pembaharuan bibit, adalah karena terbatasnya ketersediaan varietas bibit unggul, dan seandainya tersedia harganya sangat mahal karena berasal dari impor. Selain dikarenakan potensi genetis tanaman yang sudah menurun, menurunnya produktivitas tanaman anggrek potong juga diperparah oleh kondisi cuaca yang ekstrim. Produksi anggrek pot yang kurang bermutu dapat diakibatkan oleh pemeliharaan yang kurang baik sehingga produktivitas rendah, dan karena adanya benih impor yang bermutu rendah. Hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa ketika membeli benih, petani tidak mengetahui informasi yang jelas mengenai kualitas benih, petani hanya memperoleh informasi mengenai jenis, bentuk dan warna bunga melalui gambar. Benih dari importir dikirimkan ke petani dikemas dengan karung, dan ukuran benih berkisar 3–5 cm. Benih dengan ukuran tersebut membutuhkan waktu sampai 1 tahun untuk dapat dipanen. Kondisi tersebut dikeluhkan petani karena lamanya waktu pemeliharaan semakin membuat margin keuntungan menipis. Petani membeli benih sekitar dua atau tiga bulan sekali, tergantung kebutuhan, dan harga tiap benih berkisar antara Rp. 4.100 – Rp. 4.300. Untuk kebun anggrek pot (potted plant) dengan luasan 1000m2 dapat ditanami 12.000 pot tanaman anggrek. Permintaan akan anggrek potong, khususnya jenis Dendrobium putih, semakin meningkat, namun petani yang mengusahakan anggrek tersebut semakin berkurang, hal ini menyebabkan ketersediaan anggrek potong kurang dari kebutuhan pasar, terutama pada saat hari raya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut terkadang anggrek dipanen lebih cepat. Umumnya anggrek potong dipanen ketika jumlah bunga yang mekar pada satu tangkai mencapai 60%-80%, namun ketika permintaan tinggi, 40% mekar pun sudah dipanen. Meningkatnya permintaan anggrek potong jenis Dendrobium putih dikarenakan semakin meningkatnya nilai estetika di masyarakat, khususnya di perkotaaan. Rangkaian bunga anggrek semakin diminati dan menjadi tren untuk mempercantik ruangan, maupun sebagai hantaran terutama pada saat hari raya. Warna putih selalu dibutuhkan dalam rangkaian bunga karena dianggap sebagai warna yang netral jika dirangkai bersama bunga lain, dan sesuai untuk berbagai tema acara. Umumnya anggrek Dendrobium potong yang dihasilkan oleh petani di Kecamatan Gunung Sindur dan Kecamatan Serpong dijual ke pedagang pengumpul lokal, untuk selanjutnya dijual ke Pasar Bunga Rawabelong di DKI Jakarta. Pasar Bunga Rawa Belong merupakan pusat promosi dan pemasaran bunga potong terbesar di Indonesia, yang menyediakan beragam produk bunga potong dan tanaman hias produksi dalam negeri maupun dari mancanegara. Pasar Rawa Belong beroperasi hampir 24 jam sehari. Kegiatan utamanya sebagai pasar grosir para pedagang dari berbagai daerah. Pada siang hingga sore hari fungsi pasar berubah menjadi pusat retail atau eceran. Selanjutnya dalam jangka panjang, pusat promosi ini akan melakukan penyempurnaan manajemen pengelolaan yang
33
terintegrasi sehingga lebih efektif dan efisien dalam pemberian layanan kepada masyarakat (Hayati, 2013). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, permasalahan dalam usahatani anggrek di wilayah Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten Bogor diantaranya: 1. Media tanam anggrek yang kurang berkualitas, dikarenakan sulitnya mencari arang dengan kualitas baik. 2. Kondisi cuaca ekstrim, terutama dengan adanya cuaca panas yang terik. 3. Informasi pasar dan harga tidak menentu, ketika produksi banyak permintaan kurang, sehingga harga turun. 4. Kesulitan untuk berinvestasi dan menambah modal. 5. Instalasi air belum memadai, sedangkan anggrek harus disiram 2 kali sehari. 6. Surplus keuntungan kurang, salah satunya dikarenakan rantai pemasaran yang panjang dan tidak efisien. Harapan Petani kedepan adalah ingin adanya pusat pemasaran anggrek di wilayah kota atau kabupaten Bogor, sehingga produk anggrek terutama anggrek potong tidak perlu dijual ke Rawa Belong. 7. Kurangnya kemampuan memenuhi kebutuhan pupuk dan pestisida, hal ini dikarenakan modal dari dana pribadi yang masih terbatas. Permasalahan tersebut tidak jauh berbeda dengan permasalahan pada usahatani anggrek di Kecamatan Serpong, Kota Tanggerang Selatan, diantaranya : 1. Semakin sulit mendapatkan media tanam yang berkualitas. 2. Umumnya pupuk diperoleh dari impor, hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap impor. 3. Kekurangan modal untuk menambah luasan lahan, baik untuk menjadi milik maupun sewa. 4. Sulit mendapatkan bibit dendrobium yang berwarna putih, khususnya untuk standar kualitas bunga potong. 5. Kondisi cuaca yang ekstrim, jika musim kemarau tanaman mudah kekurangan air, sedangkan jika musim hujan tanaman mudah menjadi busuk 6. Kekurangan modal usaha, baik untuk mendapatkan bibit dengan kualitas yang lebih baik, maupun untuk pengadaan saprotan. 7. Kesulitan mendeteksi penyakit tanaman, karena kurangnya pengetahuan mengenai OPT. 8. Kesulitan mengatasi hama dan penyakit tanaman, dan sulit mendapatkan pestisida yang cocok. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, dan dari hasil pengumpulan data di lapangan ,menunjukan prioritas dukungan Pemerintah yang dibutuhkan petani anggrek dalam mengelola usahanya, jika diurutkan adalah sebagai berikut: 1. Bantuan benih bermutu, pupuk dan pestisida. 2. Bantuan permodalan/pinjaman lunak, terutama untuk pengembangan usaha anggrek. 3. Bantuan promosi dan pemasaran.
34
4. 5. 6. 7.
Adanya kebaruan dan ketersediaan bibit unggulan bermutu dan media tanam. Pendidikan dan pelatihan tentang teknologi budidaya anggrek. Pendidikan dan pelatihan tentang bisnis anggrek. Kemudahan dalam perijinan usaha dan pajak.
Saat ini anggrek telah dijadikan ikon Bogor dan Tanggerang Selatan. Dalam pengembangannya di Kabupaten Bogor, khususnya di daerah sentra seperti di Gunung Sindur, perhatian pemerintah setempat diwujudkan dengan adanya pembentukan Kelompok Tani, penyelenggaraan penyuluhan dan Sekolah Lapang (SL), serta pemberian bantuan bibit bunga potong sejak 3 tahun terakhir, yaitu tahun 2010 sampai 2012. Di Tanggerang Selatan terdapat program pengembangan kawasan anggrek, yaitu dengan memanfaatkan lahan milik masyarakat, dan lahan tidur milik negara dan swasta untuk ditanami anggrek. Selain itu dibentuk pula klaster-klaster anggrek di daerah sentra. Bahkan sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam mengembangkan anggrek sebagai komoditas unggulan di Kota Tangsel, Pemerintah Kota Tangsel mengeluarkan kebijakan wajib menanam tanaman anggrek diseluruh kantor pemerintahan yang ada di wilayah itu. Karakteristik Responden Karakteristik umum petani anggrek yang diperoleh dari pengumpulan data di lapangan terdiri dari jenis kelamin, usia, pendidikan formal, pengalaman, luas lahan, pendapatan, dan kepemilikan lahan. Jenis Kelamin Responden Jenis kelamin petani anggrek didominasi oleh laki-laki yaitu mencapai 82% (Gambar.4), namun demikian dalam usaha anggrek terkadang istri dan anggota keluarga lainnya juga membantu sebagai tenaga kerja tambahan. Umumnya petani wanita yang menggeluti usahatani anggrek ini adalah yang menjalankan usaha turun temurun dari suami atau orangtua, namun ada juga yang tertarik untuk menggeluti usahatani anggrek karena ingin menambah pendapatan bagi keluarga, ataupun karena hobi.
Gambar 4. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin, di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012
35
Usia Responden Sebagian besar petani anggrek yang menjadi responden berada pada kisaran usia yang masih produktif, dimana hampir 50 persen dari responden berada pada kisaran usia 41 – 56 tahun, dan disusul oleh responden pada kisaran usia 25 - 40 tahun sebanyak 34 persen. Sedangkan 12 persen diantaranya sudah berumur di atas 56 tahun dan hanya 4 persen yang berumur di bawah 25 tahun (Gambar 5). Menurut Hurlock (Riyanti, 2003) perkembangan karir berjalan seiring dengan proses perkembangan manusia, yang mengelompokkan perkembangan karir manusia menjadi tiga kelompok usia, yaitu (1) usia dewasa awal antara 18 sampai 40 tahun, ciri khasnya terkait dengan tugas pengembangan dalam membentuk keluarga dan pekerjaan, memiliki tugas pokok, memilih bidang pekerjaan yang cocok dengan bakat, minat dan faktor psikologis yang dimiliki sehingga kesehatan mental dan fisiknya tetap terjaga; (2) usia dewasa madya antara 40 sampai 60 tahun, ciri khasnya keberhasilan dalam pekerjaan. Keberhasilan itu biasanya dicapai pada usia empat puluh dan lima puluh, pada usia ini kebanyakan mencapai prestasi puncak, memiliki pekerjaan yang lebih baik dibanding dengan pekerjaan yang dimiliki ketika masih muda; (3) usia dewasa akhir diatas 60 tahun, pada masa ini mulai mengurangi kegiatan kariernya, karena menurunnya kesehatan dan fisik, lebih banyak melakukan kegiatan sosial dan menikmati hasil jerih payah selama bekerja. Mengacu pada pendapat Hurlock, petani yang termasuk masa dewasa awal (18 sampai 40 tahun) sebanyak 53.8 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani anggrek sudah memilih bidang ini sebagai pekerjaan yang cocok dengan bakat, minat dan faktor psikologisnya. Jika dilihat berdasarkan banyaknya petani anggrek yang menginjak usia dewasa madya (49,6%), maka seharusnya Petani tersebut sudah mencapai prestasi puncak, atau sudah mencapai keberhasilan dalam menjalankan usahatani anggrek. Petani dalam kisaran usia produktif tersebut masih potensial untuk mengembangkan diri dan mengembangkan usahataninya. Disamping itu komposisi umur petani tersebut menunjukkan bahwa usahatani anggrek masih merupakan sumber mata pencaharaian yang menarik bagi tenaga kerja usia produktif di ketiga wilayah penelitian. Masih minimnya petani anggrek di bawah usia 25 tahun dapat mengindikasikan rendahnya minat tenaga usia muda terhadap sektor pertanian, dengan demikian diperlukan pembinaan yang dapat meningkatkan motivasi agar mereka tertarik untuk berkecimpung di sektor pertanian, khususnya pada usahatani anggrek yang merupakan komoditas tanaman hias yang patut dilestarikan. Disamping itu anggrek mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, serta prospek yang cerah untuk dikembangkan.
36
Gambar 5. Kisaran Usia Petani di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012
Pendidikan Formal Responden Tingkat pendidikan formal responden sebagian besar adalah lulus SMU, yaitu mencapai 46% (Gambar 6). Tingkat pendidikan diharapkan dapat berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi, yang dapat memperbaiki pengelolaan usahatani baik dari teknis budidaya hingga pascapanen dan teknik pemasaran. Pendidikan formal yang lebih tinggi akan sangat berperanan dalam kemampuan menganalisis berbagai situasi, wawasan berpikir dan pemanfaatan teknologi terkini. Namun pada kenyataannya seseorang berpendidikan yang lebih rendah dengan pengalaman yang lebih banyak juga mampu mencapai kesuksesan dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih tinggi, sebagaimana menurut Priatna (2011) wirausaha dengan pendidikan yang relatif rendah dengan berbekal pengalamannya, mungkin sekali memiliki kemampuan yang dicapai oleh wirausaha kecil dengan pendidikan lebih tinggi, tetapi waktu yang dibutuhkan biasanya cenderung lebih lama. Menurut Welter dan Smallbone (2011), seorang wirausaha dengan modal pendidikan dan pengetahuan yang memadai dapat membantu untuk lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan pendidikan, wirausaha dapat mengeksploitasi peluang, juga mungkin akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan struktur kelembagaan yang berubah-ubah, mereka dapat lebih mudah melakukan kontak bisnis dan membangun jaringan sosial untuk mengatasi hambatan dalam kelembagaan. Demikian juga dengan pendapat Hadiati (2007) Pendidikan dapat lebih memperluas interaksi. Keberadaan petani dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan mampu menjadi pembimbing bagi petani lain yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya lebih rendah. Tingkat pendidikan dapat menentukan kualitas kinerja seseorang, khususnya dalam mencerna informasi. Selama ini sektor pertanian dinilai kurang dapat memberikan insentif dibanding sektor lain, sehingga cenderung kurang diminati oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan petani dikhawatirkan akan makin menurunkan kualitas di sektor pertanian, karena kurang mampu merespon tuntutan kebutuhan pasar.
37
Gambar 6. Sebaran Pendidikan Formal Pengusaha Anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012
Pengalaman Berusahatani Anggrek Petani anggrek rata-rata terbanyak berpengalaman 5-10 tahun sebanyak 29,6 persen (Gambar 7), hal ini menunjukan para petani tersebut sudah cukup berpengalaman dalam menjalankan usaha anggrek, baik dari proses budidaya hingga pemasaran, dengan demikian lebih berpeluang untuk mengembangkan usahanya untuk mencapai keberhasilan. Petani dengan pengalaman kurang dari lima tahun menempati urutan kedua terbanyak, hal ini menunjukan banyaknya petani yang meneruskan usahatani anggrek dari orangtua maupun suami, juga adanya petani-petani baru yang tertarik menggeluti usahatani anggrek. Kemampuan sumberdaya manusia (SDM) petani anggrek umumnya didasarkan pada pengalaman bekerja (learning by doing) di lingkungan keluarga dan tetangga yang mengusahakan anggrek. karena sebagian besar usahatani anggrek ini merupakan usahatani dengan luasan yang tidak terlalu besar, dan merupakan usaha turun-temurun atau usaha keluarga, sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak, sebagian besar dilakukan oleh petani seorang diri, atau dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Dengan demikian dalam hal ketersediaan sumberdaya manusia atau tenaga kerja untuk berusahatani anggrek dirasa sudah cukup memadai. Dari hasil wawancara di lapangan, didapatkan 67 persen responden telah memiliki sumber daya manusia (pegawai) yang cukup memadai, yaitu cukup jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan dengan kondisi yang cukup terampil, sedangkan beberapa responden merasa jumlah tenaga yang ada saat ini tidak memadai dalam hal jumlah, namun mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menggaji tambahan tenaga.
38
Gambar 7. Pengalaman Berusahatani Anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012
Luas Lahan Usahatani Anggrek Luas lahan usahatani anggrek sebagian besar pada kisaran 500 - 1000 m2 (35,7%), kemudian disusul pada kisaran kurang dari 500 m2 (33%), hal ini menunjukan bahwa umumnya anggrek masih diusahakan pada skala usaha yang kecil, yang pada akhirnya dapat berimbas pada pendapatan (Gambar 8). Sebagian besar lahan pertanian anggrek yang kurang dari 500 m2 berada di wilayah Serpong, yang merupakan lahan yang lebih baru diusahakan.
Gambar 8. Sebaran luas lahan usahatani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012 Anggrek memiliki potensi yang sangat besar, namun lahan pertanamannya semakin terbatas, diantaranya dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan, terutama di daerah Parung dan Serpong. Dengan dicanangkannya anggrek sebagai ikon daerah Bogor dan Tanggerang Selatan, diharapkan usahatani anggrek akan tetap bertahan dan berkembang sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat di daerah tersebut. Khususnya di daerah Tanggerang Selatan, akan diberlakukan program pengembangan kawasan anggrek, yaitu dengan memanfaatkan lahan tidur milik warga maupun swasta untuk dijadikan pertanian anggrek. Program tersebut mendorong agar masyarakat dapat meningkatkan minat berusahatani anggrek dengan memanfaatkan lahan yang tersedia. Sedangkan untuk daerah sentra diupayakan pembentukan klaster anggrek. Pembentukan klaster anggrek
39
ditujang dengan penataan yang rapih, mulai dari jalan hingga pintu masuk ke lokasi pertanaman anggrek, diharapkan kedepannya klaster tersebut akan menjadi area wisata anggrek yang menarik untuk dikunjungi masyarakat. Pendapatan Responden Dari sisi pendapatan yang diperoleh dari usahatani anggrek, rata-rata paling banyak dalam kisaran Rp. 1.000.000–Rp. 2.000.000 per bulan yang mencapai 40% dari total responden, diikuti dengan petani yang berpendapatan Rp. 2.100.000–Rp. 3.000.000 per bulan yang mencapai 22,6% (Gambar.9). Sebagian besar petani mengakui bahwa usaha ini merupakan sumber pendapatan utama keluarga. Namun dengan penghasilan tersebut hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan sangat sulit untuk menyisihkan sebagai tambahan modal. Namun demikian, umumnya para petani anggrek tersebut tidak hanya mengusahakan anggrek, tetapi mereka mengusahakan pula tanaman hias lainnya, seperti anthurium, aglaonema, puring, dan sebagainya. Sebagaimana menurut Friederike dan Smallbone (2011) diversifikasi dari suatu usaha dapat berupa kegiatan tambahan dalam perdagangan atau jasa, kegiatan tambahan tersebut dapat berkontribusi untuk membiayai kegiatan utama bisnis dalam situasi dimana akses untuk mendapatkan modal eksternal langka, sedangkan kondisi penjualan berfluktuasi dan tidak pasti. Sebagian kecil petani anggrek ada juga yang menambah penghasilan dengan menjalani profesi yang lain, seperti menjadi buruh bangunan.
Gambar 9. Sebaran pendapatan dari usahatani anggrek per bulan di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012 Komoditas anggrek mempunyai harga yang relatif stabil dibandingkan dengan tanaman hias yang lain, namun hal tersebut dapat menyebabkan margin keuntungan petani tidak banyak atau dapat dikatakan tipis jika dibandingkan dengan tanaman hias lainnya. Umumnya tanaman hias lainnya semakin lama dan besar pertumbuhannya maka harganya pun akan semakin meningkat, tidak demikian dengan anggrek, tanaman anggrek dalam pot yang belum laku terjual, akan membutuhkan waktu sekitar 9 bulan untuk kembali berbunga dan dapat dijual, dalam kurun waktu tersebut tentunya memerlukan pemeliharaan yang memerlukan biaya, namun ketika berbunga dan dijual kembali harganya tidak
40
mengalami peningkatan yang berarti, atau relatif sama dengan harga 9 bulan sebelumnya. Kepemilikan Lahan Usahatani Anggrek Status kepemilikan lahan petani anggrek sebagian besar merupakan lahan milik pribadi yaitu mencapai (65,9%), sebagian lainnya merupakan lahan sewa (19,1%) dan sisanya (15,7%) merupakan lahan milik pribadi yang ditambah dengan lahan sewa (Gambar 10). Wilayah kabupaten Bogor dan Tangerang Selatan cenderung mengalami perkembangan fisik yang cukup pesat, sehingga dapat mempengaruhi luasan lahan untuk pertanian yang pada akhirnya dapat mengurangi jumlah petaninya, hal tersebut dapat terlihat dari pembangunan jalan raya, perumahan, pertokoan, perkantoran, wilayah industri, tempat wisata dan lain sebagainya, hal tersebut terjadi terutama di daerah Parung dan Serpong. Dengan adanya fenomena alih fungsi lahan diharapkan pemerintah setempat dapat terus memberikan motivasi serta dukungan pada para petani agar dapat mempertahankan dan melestarikan usahatani anggrek, khususnya sebagai ikon daerah.
Gambar 10. Sebaran Kepemilikan Lahan Anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Parung dan Serpong, Tahun 2012 Berdasarkan analisis deskriptif di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum taraf hidup dan kesejahteraan petani anggrek dapat dikatakan relatif masih rendah, dan usahataninya masih bersifat subsisten, atau berorientasi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jika dilihat dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, maka usahatani anggrek di ketiga wilayah penelitian secara umum dapat dikelompokan menjadi usaha mikro, yaitu usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa usahatani anggrek di daerah Gunung sindur, Parung dan Serpong tergolong Small Scale Tradisional Family Enterprise (SSTFE) atau disebut juga UMKM tradisional, yang berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan tidak ada pemisahan
41
keuangan/kekayaan antara perusahaan dan keluarga. Sebagaimana menurut Wirasasmita (2011) Small Scale Tradisional Family Enterprise (SSTFE) tidak memiliki orientasi pertumbuhan dan keinovativan. Struktur organisasi UMKM tradisional adalah “Owner-Manager” untuk selama-lamanya dan tidak adanya pemisahan keuangan/kekayaan antara perusahaan dan keluarga, sehingga sering juga disebut perusahaan kecil tradisional keluarga, yang berorientasi pemenuhan kebutuhan keluarga yang langsung dipenuhi dari perusahaan tersebut. Hasil pengamatan di ketiga wilayah penelitian menunjukan bahwa, meskipun dengan berbagai keterbatasan, tantangan dan kesulitan yang dihadapi, petani-petani anggrek tersebut tetap berusaha menekuni usahatani anggrek, dengan demikian dibutuhkan perhatian pemerintah dalam pengembangan usahataninya. Pengembangan usahatani anggrek dapat dilakukan melalui pendekatan agribisnis. Agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem integratif yang terdiri dari beberapa subsistem yaitu; (1) subsistem pengadaan sarana produksi pertanian, (2) subsistem produksi/ usahatani, (3) subsistem pengolahan dan industri hasil pertanian, (4) subsistem pemasaran hasil, (5) subsistem kelembagaan dan penunjang kegiatan pertanian (Krisnamurthi, 2001). Dengan demikian dalam pengembangan anggrek tidak hanya dilakukan terhadap aspek-aspek yang berada dalam subsistem usahatani (on farm), akan tetapi sangat ditentukan oleh keterkaitannya dengan subsistem lain. Keterkaitan tersebut mulai dari pengadaan sarana produksi (off farm) atau subsistem hulu, kegiatan usaha tani (on farm), hingga kegiatan industri, distribusi dan pemasaran atau subsistem hilir, didukung oleh subsistem kelembangaan sebagai penunjangnya Subsistem Agribisnis Hulu (up stream-off farm agribusiness) Permasalahan yang mendasar pada subsistem hulu adalah ketergantungan terhadap benih impor. Jika melihat potensi yang dimiliki Indonesia dalam hal sumberdaya alam, Indonesia sangat kaya dengan potensi anggrek spesies/anggrek alam, dan dapat dikatakan bahwa anggrek-anggrek yang diimpor indukannya berasal dari Indonesia. Indonesia masih memiliki anggrek alam yang ada perlu diidentifikasi dan dikaji untuk dimanfaatkan sebagai indukan dalam melakukan persilangan untuk menghasilkan varietas-varietas unggul baru yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pengembangan anggrek di Indonesia kedepannya adalah berusaha melepaskan diri dari ketergantungan dari benih impor, dengan memanfaatkan benih nasional. Untuk itu, perlu menata sistem perbenihan agar bisa menghasilkan benih unggul secara klonal, agar dihasilkan benih yang seragam dan masal. Dan hal yang tidak kalah penting adalah, dihasilkannya varietas unggul baru yang sesuai dengan selera pasar, hal ini menjadi kunci pokok berkembangnya industri perbenihan anggrek nasional.
42
Subsistem Agribisnis Usahatani (on farm agribusiness) Pada subsistem on farm peningkatan produksi dan mutu tanaman anggrek dapat dilakukan melalui penerapan SOP (standar operasional prosedur) berbasis GAP (good agricultural practices) dan GHP (good handling practices) melalui pendekatan Sekolah Lapang (SL). Teknik budidaya anggrek meliputi cara memelihara tanaman secara tepat, sehingga semua kebutuhan yang diperlukan anggrek untuk pertumbuhannya dapat terpenuhi. Dengan pendekatan SOP berbasis GAP diharapkan dapat meningkatkan produktivitas anggrek, karena teknik budidaya yang tepat sesuai SOP mengatur mulai dari pemilihan benih, media tanam, pot, teknik pemupukan, pengairan, dan pengendalian organism pengganggu tanaman (OPT). Subsistem Agribisnis Hilir ( down stream-off farm agribusiness) Pada subsistem agribisnis, nilai tambah (value added) yang terbesar berada pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, sedangkan subsistem usahatani (on farm) sangat kecil (Krisnamurthi, 2001), sehingga petani yang berada pada subsistem ini akan selalu menerima pendapatan yang relatif rendah. Kenyataan di lapangan menunjukan ketersediaan peluang pasar anggrek yang cukup besar ternyata belum mampu memberikan kemampuan akses langsung ke dalam mekanisme pasar bagi petani. Petani tidak dapat langsung akses terhadap pasar karena harus melalui pedagang pengumpul. Petani anggrek tidak mempunyai kemandirian menentukan harga jual. Bahkan bagi sebagian besar petani justru keberadaan pedagang pengumpul dapat membantu memasarkan anggrek. Akibatnya posisi tawar petani rendah dan tunduk terhadap keputusan harga dari pedagang pengumpul. Salah satu program Ditjen Hortikultura agar usaha anggrek memberikan keuntungan yang maksimal, adalah dengan pengembangan anggrek kearah komersialisasi dan industri usaha anggrek melalui segmentasi usaha. Model pengembangan anggrek dengan penataan rantai pasok melalui segmentasi usaha adalah sebagai berikut (Ditjenhorti, 2012) : Pola 1 : Botolan – kompot – jual ke pelaku usaha kompot 1. 2. Pola 2 : Botolan – kompot – seedling – jual ke pelaku usaha seedling 3. Pola 3 : Seedling – remaja – jual ke pelaku usaha remaja 4. Pola 4 : seedling – remaja – berbunga – jual ke konsumen 5. Pola 5 : remaja – berbunga – jual ke konsumen Disamping penataan rantai pasok, dukungan pemerintah yang lebih konkrit adalah dengan mempromosikan anggrek dengan lebih gencar, misalnya promosi anggrek di setiap acara atau kegiatan kedinasan. Subsistem Kelembagaan dan Kegiatan Penunjang (supporting institution and activities) Pemerintah melalui dinas setempat, dapat memfasilitasi peningkatan kualitas SDM dalam rangka mendukung pengembangan sistem dan usaha anggrek
43
diantaranya dengan peningkatan penguasaan teknologi melalui pelatihan atau magang, pembinaan kewirausahaan dan kemampuan manajerial agribisnis, dan peningkatan kompetensi petani. Kegiatan tersebut misalnya bisa dilakukan dengan diklat Co-operatif Entrepreneur (Wirakoperasi), pelatihan kultur jaringan skala rumah tangga, pelatihan merangkai bunga, memfasilitasi Petani untuk mengikuti pameran, dan lain sebagainya. Disamping itu agar usahatani anggrek cepat berkembang petani harus tanggap terhadap peluang dan berani mengambil risiko usaha, salah satu contohnya yaitu dengan meminjam uang untuk menambah modal melalui lembaga keuangan. Bantuan modal usaha juga bisa didapatkan dari pemerintah, misalnya melalui KUT. Namun bantuan modal dari pemerintah tersebut harus tepat sasaran dan harus ada pembinaan dalam mengelolanya, sehingga petani mampu mengelola keuangan secara lebih efektif dan efisien, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan modal usahanya untuk meningkatkan skala usahanya. Faktor Internal Petani Anggrek Faktor internal petani anggrek (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal yang diperlihatkan dalam menjalankan usahanya. Indikator faktor internal atau variabel manifest pada penelitian ini diukur dari, tingkat kepemilikan modal usaha dan tingkat kepemilikan sarana/prasarana produksi, keinginan berwirausahatani anggrek, persepsi terhadap usahatani anggrek, serta motivasi untuk menjadi petani anggrek yang sukses. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 13, dapat dinyatakan bahwa pada umumnya persepsi petani terhadap indikator faktor internal menunjukan kecenderungan yang cukup tinggi.
Tabel 13. Persepsi Petani Anggrek terhadap Faktor Internal Petani Anggrek di Gunung Sindur, Parung dan Serpong Tahun 2012 Persepsi Petani Anggrek (%) Faktor Internal Kepemilikan modal usaha
Sangat Tidak Setuju 10.73
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
37.27
46.36
5.64
0.00
Kepemilikan sarana/ prasarana
5.45
24.55
61.81
8.81
0.00
Keinginan berusahatani Anggrek
0.00
0.00
20.00
60.00
20.00
Persepsi terhadap usaha Anggrek
0.00
0.00
19.13
64.35
16.52
Motivasi berprestasi
0.00
0.00
12.17
51.30
36.52
Penjelasan mengenai persepsi petani terhadap faktor internal berdasarkan data pada Tabel 13 adalah sebagai berikut :
44
Kepemilikan Modal Usaha Berdasarkan data pada Tabel. 13 dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan modal usaha menunjukan kecenderungan tidak memadai, atau dapat dikatakan modal untuk berusahatani anggrek masih terbatas dan belum sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden yang memilih jawaban netral (46,36%) dan tidak setuju (37,27%). Hasil pengamatan di lapangan meunjukan sebagian besar petani (93%) mengaku bahwa modal usahatani anggrek tersebut berasal dari pribadi, sedangkan sebagian lain ada yang berasal dari investor atau join. Selama menjalankan usahatani anggrek 56 persen petani mengaku hanya sekali-kali menyisihkan hasil usahanya untuk tambahan modal, dan hanya 12 persen yang mengaku selalu menyisihkan hasil usahanya untuk tambahan modal, hal ini dikarenakan umumnya keuntungan dari penjualan anggrek hanya cukup untuk kebutuhan hidup seharihari, dan belum adanya pemisahan antara kekayaan pribadi dengan modal untuk usaha. Kepemilikan Sarana/ Prasarana Produksi Tingkat kepemilikan sarana/prasarana produksi secara umum menunjukan kecenderungan yang rendah, namun demikian masih dirasa cukup memadai untuk menjalankan usahatani anggrek, hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden yang memilih jawaban netral (61,81%) dan tidak setuju (24,55%). Sarana produksi berupa bibit, pupuk, pestisida, dan lain-lain, saat ini relatif masih mudah didapatkan, namun sangat terkait dengan kepemilikan modal usaha. Ketika memiliki modal cukup, petani mampu membeli bibit melalui importir dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, namun ketika kekurangan modal, petani tidak akan mampu membeli bibit dalam jumlah yang dibutuhkan, sehingga terkadang mereka memperbanyak tanaman dengan menggunakan keiki (anakan), atau membeli bibit hasil silangan dari petani lokal/setempat. Bahkan terkadang dalam suatu waktu petani tidak mampu memenuhi kebutuhan bibitnya, sehingga jumlah tanaman dalam kebun tidak penuh atau mengalami terlambat tanam. Pemberian pupuk dan pestisida merupakan hal yang penting, sehingga meskipun modal terbatas, petani tetap mengusahakan kedua perlakuan tersebut, tetapi mungkin dengan kualitas dan dosis yang lebih rendah dari seharusnya. Untuk luasan 1000m2, biaya pemeliharaan bunga anggrek potong bervariasi antara Rp. 200.000,-/bulan sampai dengan Rp. 250.000,-/bulan sedangkan untuk bunga pot sebesar Rp. 150.000,-/bulan sampai dengan Rp. 200.000,-/bulan, tergantung jenis pupuk, pestisida, serta dosis dan intensitas pemberiannya. Prasarana produksi berupa rumah sere atau rumah berparanet umumnya dalam kondisi cukup terpelihara. Namun instalasi air dirasakan belum memadai karena belum adanya jetpump, dan sebagian besar belum menggunakan sprayer, padahal penyiraman untuk pemeliharaan anggrek dilakukan dua kali dalam sehari. Keinginan berusahatani anggrek Keinginan berusahatani anggrek diukur melalui seberapa besar keinginan petani anggrek untuk menjalani dan mempertahankan usaha anggrek. Dari hasil
45
penelitian diketahui bahwa keinginan petani dalam berusahatani anggrek cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju (60,00%). Berdasarkan pengamatan di lapangan, usahatani anggrek ini merupakan pekerjaan utama dan merupakan sumber utama pendapatan keluarga bagi sebagian besar petani anggrek (70,4%), sedangkan sebagian lainnya menjadikan usahatani ini sebagai usaha sampingan dengan pekerjaan utama sebagai pegawai kelurahan, guru, petani padi, petani tanaman hias lain, peternak ayam, buruh bangunan dan penyewaan rumah petak. Sebagian besar petani tidak berkeinginan untuk pindah usaha karena menurut mereka usahatani anggrek mempunyai prospek yang cerah, namun umumnya juga karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggeluti usaha lain, disamping keterbatasan permodalan serta keterbatasan sarana dan prasarana lainnya. Persepsi Terhadap Usaha Persepsi petani terhadap keyakinan akan keberhasilan berusahatani anggrek, menunjukan keyakinan yang tinggi, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju (64,35%). Berdasarkan data di lapangan, 52 persen petani anggrek menganggap usaha ini menguntungkan dan memiliki prospek yang cerah. Adanya persepsi tersebut mampu meningkatkan kepercayaan diri petani untuk terus menekuni usahatani anggrek. Hal ini tentunya perlu didukung oleh pemerintah setempat dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi keberlangsungan usahatani anggrek, serta memberikan insentif yang menarik bagi pelaku usahatani anggrek. Misalnya dengan menyediakan informasi mengenai preferensi konsumen dan peluang pasar, pemberian bantuan modal, sarana dan prasarana bagi perkembangan usahanya. Motivasi Berprestasi Berdasarkan banyaknya responden yang memilih jawaban setuju (51,30%) dan sangat setuju (36,52%), dapat dikatakan bahwa petani memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi petani anggrek yang sukses. Adanya motivasi dapat mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu. Menurut David Mc Clelland, motivasi berprestasi tercermin dari perilaku individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan (standard of excellence), dengan demikian individu tersebut akan menyukai tugas-tugas yang menantang, tanggung jawab secara pribadi, dan terbuka untuk umpan balik guna memperbaiki prestasi inovatif-kreatifnya. Menurut Rogers perilaku manusia dikuasai oleh the actualizing tendency, yaitu suatu kecenderungan inheren manusia untuk mengembangkan kapasitasnya sedemikian rupa guna memelihara dan mengembangkan diri. Motivasi yang timbul akibat kecenderungan ini meningkatkan kemandirian dan mengembangkan kreativitas (Irwanto.et.al, 1996). Dengan demikian, adanya motivasi untuk menjadi petani anggrek yang sukses akan mendorong petani untuk mencapai suatu target dalam berusahatani, didukung dengan keberaniannya dalam menghadapi
46
risiko berusaha, dan selalu belajar dari kegagalan yang justru akan meningkatkan kreativitas dan inovasinya. Standar kesuksesan bagi masing-masing petani berbeda, namun realita di lapangan menunjukan bahwa umumnya sebagian besar petani menjalankan usahatani anggrek hanya berorientasi untuk mencukupi kebutuhan hidup seharihari dan mampu memberikan pendidikan yang baik bagi putra-putri mereka. Motivasi petani anggrek dalam mencapai kesuksesan umumnya belum mampu mengembangkan kapasitas petani untuk berinovasi dalam usahanya. Salah satu upaya untuk mencapai keberhasilan suatu usaha tentunya adalah dengan berupaya menggali berbagai informasi tentang usaha tersebut, baik informasi tentang teknik budidaya, kebutuhan pasar, preferensi konsumen, dan sebagainya. Menurut sebagian besar responden (62%), dalam menjalankan usahanya mereka selalu berusaha menggali informasi terbaru mengenai usaha budidaya atau bisinis anggrek, umumnya melalui sesama petani anggrek, pedagang pengumpul/konsumen, dan PPL setempat. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, faktor internal petani anggrek menyangkut tingkat kepemilikan modal usaha dan tingkat kepemilikan sarana/prasarana produksi, keinginan berwirausahatani anggrek, persepsi terhadap usahatani anggrek, serta motivasi untuk berprestasi, kenyataannya telah cukup memadai untuk dijadikan pondasi kuat bagi pengembangan usahatani anggrek. Faktor Eksternal Petani Anggrek Faktor eksternal (external causality) merupakan faktor penyebab perilaku yang terdapat dalam lingkungan atau situasi. Indikator faktor eksternal diantaranya adalah; ketersediaan bahan input, penyuluhan dan pelatihan, bantuan modal dan saprotan, dukungan promosi dan pemasaran, dukungan regulasi usaha, kekompakan petani anggrek, dan akses terhadap informasi pasar. Pada Tabel 14. dapat dilihat persepsi petani anggrek terhadap indikator-indikator faktor eksternal wirausaha Petani anggrek secara umum menunjukan kecenderungan yang netral. Tabel 14 . Persepsi Petani Anggrek Terhadap Faktor Eksternal di Gunung Sindur, Parung dan Serpong Tahun 2012 Persepsi Petani (%) Faktor Eksternal
Ketersediaan Bahan Input Penyuluhan dan Pelatihan Bantuan Modal dan Saprotan Promosi dan Pemasaran Regulasi usaha Kekompakan Petani Anggrek Akses terhadap Informasi
Sangat Tidak Setuju 0.87 0.87 0.87 3.48 2.61 0.00 0.00
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
5.22 13.04 13.91 16.52 16.52 2.61
26.09 40.87 48.70 45.22 52.17 14.78
58.26 40.87 31.30 33.04 28.70 61.74
9.57 4.35 5.22 1.74 0.00 20.87
4.35
55.65
36.52
3.48
Penjelasan mengenai persepsi petani terhadap faktor eksternal petani, berdasarkan Tabel 14 adalah sebagai berikut :
47
Ketersediaan bahan input Ketersediaan bahan input seperti bibit, pupuk, pestisida, media tanam, dan lain-lain selama ini dianggap relatif mudah didapatkan asalkan ada modal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada Tabel 14, dimana sebagian besar responden memilih jawaban setuju (58,26%). Kondisi di lapangan menunjukan bahwa ketersediaan bibit umumnya didapatkan dari importir, sehingga menimbulkan ketergantungan terhadap impor. Hal ini dikarenakan industri perbenihan anggrek nasional belum mampu menyediakan benih sesuai dengan kebutuhan, bahkan PT. Eka Karya yang merupakan produsen anggrek terbesar di Indonesia masih mengimpor benih dari Jepang. Ketersediaan bibit bunga potong sampai dengan saat ini sulit didapatkan, hal ini karenakan bibit dari importir pun umumnya diperuntukan bagi bunga anggrek pot (potted plant). Menurut Ditjen Hortikultura (2012) beberapa kendala dalam industri perbenihan nasional diantaranya : a. Hasil Silangan masih belum mengarah preferensi pasar. Perbanyakan benih secara generatif/biji, sehingga pertumbuhan tidak b. seragam. c. Kompetensi SDM dan peralatan/sarana produksi benih masih terbatas. d. Indonesia belum memiliki perbenihan anggrek berskala besar yang dapat diandalkan untuk memasok kebutuhan benih nasional. e. Penyilang, pelaku usaha, Lembaga penelitian pemerintah, dan perguruan tinggi belum sepenuhnya bersinergi mendukung industri perbenihan. Ketersediaan media tanam berupa arang masih mudah didapatkan, namun media tanam yang lebih berkualitas seperti kaliandra sudah sulit didapatkan. Dan belum adanya kebaruan media tanam dengan kualitas yang lebih baik daripada arang. Sedangkan ketersediaan pupuk dan pestisida baik yang diperoleh dari impor maupun produk lokal juga masih relatif mudah didapatkan. Dukungan Penyuluhan dan Pendidikan Persepsi petani terhadap dukungan pemerintah dalam kegiatan penyuluhan dan pendidikan bagi bagi petani dirasa cukup memadai. Data Tabel 14 menunjukan 40,87 persen petani menjawab netral, dan 40,87 persen petani menjawab setuju. Dukungan pemerintah berupa penyuluhan dan pendidikan sudah pernah dirasakan oleh 60 persen petani anggrek, berupa Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT), dan pelatihan pembuatan pupuk organik. Namun demikian kegiatan penyuluhan masih dirasa kurang memadai karena Petugas Penyuluh Lapang (PPL) kurang memahami seluk-beluk usahatani anggrek, selain itu pendidikan dan pelatihan yang diberikan masih di seputar teknik budidaya, para petani berharap adanya pelatihan dan pendidikan mengenai bisnis anggrek, teknik persilangan untuk menghasilkan anggrek jenis baru, dan teknik perbanyakan anggrek dengan kultur jaringan. Pemerintah Kabupaten Bogor bisa mengikuti jejak Pemerintah Kota Bogor dalam pengembangan benih anggrek dengan memberdayakan petani. Pemkot Bogor sudah mulai merintis pelatihan teknik kultur jaringan skala rumah tangga
48
bagi petani anggrek. Hal ini dimaksudkan agar petani mempunyai keterampilan untuk menghasilkan bibit anggrek sendiri dan mulai melepaskan diri dari ketergantungan impor. Kedepannya Program pengembangan anggrek di kota Bogor adalah sebagai produsen benih anggrek. Bantuan Modal dan Saprotan Persepsi petani terhadap keberadaan bantuan modal dan saprotan dari pemerintah menunjukan hasil yang cukup. Hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban netral (48,70%). Selama ini perhatian pemerintah berupa bantuan modal usaha memang belum dirasakan oleh petani, namun demikian dengan adanya program pengembangan anggrek sebagai ikon daerah Tangerang Selatan, program pemberian bantuan berupa modal usaha di wilayah Serpong sedang dalam proses pengajuan melalui masing-masing kelompok tani. Pada tahun 2010 sampai dengan 2012 petani anggrek di wilayah Gunung Sindur dan Serpong, pernah menerima bantuan bibit dari Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, yaitu berupa pemberian benih anggrek potong dan pot jenis Dendrobium. Namun benih tersebut berasal dari biji, sehingga pertumbuhannya tidak seragam. Distribusi pemberian benih anggrek tersebut adalah sebagai berikut : Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor 1. - Th 2010 : Dendrobium bunga potong sebanyak 3.000 batang. - Th 2011 : Dendrobium pot plant sebanyak 500 batang. - Th 2012 : Dendrobium bunga potong sebanyak 5.000 batang. 2. Kecamatan Serpong, Kota Tanggerang Selatan - Th. 2012 : Dendrobium bunga potong sebanyak 5.000 batang. Dukungan Promosi dan Pemasaran Dukungan promosi dan pemasaran dirasakan telah cukup memadai, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban netral (45,22%) dan setuju (33,04%). Dukungan tersebut dirasa telah cukup memadai dengan adanya Pasar Bunga Rawa Belong, Taman Anggrek Ragunan (TAR), dan Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP). Sebagian besar produk petani anggrek dari wilayah penelitian ini dijual melalui Pasar Rawa Belong, dan sebagian lagi dijual kepada beberapa pedagang anggrek di TAR dan TAIP, serta wilayah Jabodetabek lainnya. Namun demikian petani di daerah Gunung Sindur dan Parung mengharapkan anggrek mereka dapat dipusatkan penjualannya di kota Bogor, dengan harapan dapat memperpendek jarak pemasaran yang berimbas terhadap peningkatan farmer’s share. Sebagai gambaran, anggrek potong dendrobium putih yang dijual ke Rawa Belong dihargai Rp. 2000 per tangkai, harga di Rawa Belong mencapai Rp. 3.500 – Rp. 4.000 per tangkai. Sedangkan jika dijual kepada pedagang di kota Bogor, anggrek tersebut dihargai Rp. 3.500 per tangkai. Disamping penataan rantai pemasaran, perlu adanya dukungan promosi yang lebih gencar, agar petani dapat semakin bersemangat meningkatkan keunggulan produk anggreknya. Dari data di lapangan hanya sekitar 10 persen petani yang pernah mengikuti ajang pameran, itupun dilakukan dengan cara dititipkan atau join.
49
Petani anggrek mengharapkan adanya kontribusi pemerintah sebagai fasilitator dalam memperluas jaringan usaha (network), misalnya dengan mengikutkan dan mempromosikan produk petani melalui acara atau kegiatan kedinasan, membangun kemitraan usaha, serta secara intensif menyediakan informasi mengenai peluang pasar, preferensi konsumen, dan perkiraan jumlah anggrek yang dibutuhkan pasar. Dukungan Regulasi Usaha Dukungan pemerintah berupa regulasi usaha dirasakan cenderung kurang memadai, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban netral (52,17%). Salah satu yang menyebabkannya adalah adanya kebijakan mengenai pembatasan impor produk hortikultura yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 89/Permentan/OT.1540/12/2011 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah buahan dan/atau Sayuran Buah Segar ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Permentan No. 15/2012 dan 16/2012 tentang Pengawasan Impor Hortikultura dengan pembatasan pintu masuk impor dari 8 pelabuhan menjadi hanya 4 pelabuhan. Tujuan peraturan tersebut seyogyanya adalah dalam rangka membatasi masuknya hama penyakit untuk melindungi kepentingan konsumen, namun justru hal ini menimbulkan kekhawatiran petani karena bibit anggrek selama ini diperoleh melalui impor dari Thailand dan Taiwan, dengan adanya peraturan tersebut dikhawatirkan pasokan bibit anggrek akan terhambat. Selain itu adanya peraturan mengenai karantina juga dirasakan petani cukup menghambat, yaitu adanya biaya tambahan untuk sewa gudang selama di dalam karantina. Pada tahun 2012 diterbitkan Peraturan pemerintah terbaru yang berkaitan dengan impor anggrek yaitu Permentan No.60 tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Komoditas anggrek termasuk ke dalam 13 komoditas yang sementara dilarang masuk, serta memerlukan RIPH dalam pengadaan impornya. Peraturan ini dimaksudkan untuk melindung petani, dengan mengatur keseimbangan impor melalui sistem buka tutup, saat musim panen impor ditutup, tetapi ketika tidak musim panen impor dapat dipertimbangkan untuk dibuka kembali. Namun demikian untuk komoditas anggrek peraturan ini dirasa kurang tepat, adanya peraturan tersebut justru dapat menghambat usahatani anggrek tanah air, hal ini dikarenakan sebagian besar bibit (80%) yang digunakan berasal dari impor, dan baik petani maupun pengusaha anggrek belum mampu menyediakan atau menghasilkan bibit/benih secara masal dan berkesinambungan dengan kualitas yang baik dan seragam. Program pemerintah untuk mengembangkan industri perbenihan anggrek belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Dengan demikian, disamping pengetatan peraturan impor, pemerintah juga harus fokus dalam menggiatkan dan mengembangkan produksi lokal, khususnya untuk benih anggrek. Karena permasalahan bukan hanya terletak pada impor, tetapi pada produksi, yaitu bagaimana agar produksi dalam negeri meningkat sehingga tidak diisi dengan produk impor. Dengan demikian secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, pemerintah melalui dinas instansi terkait, dirasa belum menunjukan keberpihakan yang besar pada pengembangan usahatani anggrek di Indonesia.
50
Kekompakan Petani Anggrek Kekompakan diantara petani anggrek menunjukan hasil yang sangat baik, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju (61,74%). Umumnya petani di daerah Gunung Sindur, parung dan Serpong tergabung dalam kelompok tani, mereka bekerja sama menghadapi permasalahan dan tantangan dalam berusahatani anggrek untuk kemajuan bersama. Namun demikian untuk meningkatkan usahatani anggrek diperlukan kelompok tani yang mempunyai Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang jelas, atau dapat berbentuk koperasi petani yang berbadan hukum. Budaya Indonesia yang gemar bergotong-royong dan mengutamakan kepentingan bersama tentunya merupakan hal sangat baik dalam pengembangan usahatani anggrek, dan dapat menjadi pondasi yang kuat bagi terbentuknya koperasi anggrek. Dengan adanya koperasi diharapkan dapat mempermudah dalam mendapatkan tambahan modal bagi pengembangan usaha, baik dari pemerintah maupun swasta. Akses Informasi Pasar Informasi pasar yang meliputi bentuk, corak dan warna bunga yang diinginkan, peluang pasar, serta jumlah yang dibutuhkan, dirasa belum memadai. Dari hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden menjawab netral (55,65%). Belum memadainya informasi pasar dapat menyulitkan dalam perencanaan produksi. Namun demikian dari pengalamannya selama ini petani anggrek umumnya sudah mengetahui jenis-jenis anggrek yang sekiranya akan disukai oleh konsumen. Keberhasilan usaha ditentukan antara lain oleh kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen atau pasar. Petani membutuhkan informasi tentang komoditas yang ditanam petani lain agar tidak terjadi kelebihan produksi di pasar yang dapat menyebabkan harga turun. Umumnya petani memanfaatkan pedagang pengumpul dan petugas PPL sebagai informan atau intelejen dalam menjalankan usahanya. Informasi tersebut dapat menjadi sumber inovasi dan strategi usaha yang menguntungkan. Ketersediaan informasi mengenai peluang pasar dan harga merupakan salah satu cara agar petani memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Secara keseluruhan persepsi petani terhadap faktor eksternal masih menunjukan kecenderungan yang cukup. Namun petani anggrek beranggapan bahwa faktor eksternal merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan dan perkembangan usahatani anggrek mereka.
Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa persepsi petani terhadap perilaku kewirausahaan secara keseluruhan menunjukan kecenderungan yang tinggi. Persepsi petani pada perilaku tekun berusaha, tanggap terhadap peluang, keberanian dalam mengambil risiko dan bersikap mandiri menunjukan kecenderungan yang tinggi, hanya saja pada perilaku mampu berinovasi masih menunjukan hasil yang rendah.
51
Tabel 15. Persepsi Petani Anggrek Terhadap Perilaku Kewirausahaan di Gunung Sindur, Parung dan Serpong Tahun 2012 Persepsi Petani (%) Perilaku Kewirausahaan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
Tekun Berusaha
0.00
0.00
13.04
58.26
28.70
Tanggap terhadap Peluang
0.00 0.87
1.74 57.39
26.96 20.00
57.39 20.87
13.91 0.87
0.00 0.00
6.09 0.00
36.52 23.48
51.30 69.57
6.09 6.96
Mampu berinovasi Berani mengambil risiko Bersikap mandiri
Penjelasan mengenai persepsi petani terhadap perilaku kewirausahaan (Tabel 15) adalah sebagai berikut : Tekun Berusaha Sebagaimana diketahui secara umum usahatani anggrek merupakan usaha yang membutuhkan ketekunan dalam merawat dan membesarkan tanaman dari mulai benih sampai dengan berbunga. Persepsi petani terhadap perilaku tekun berusaha menunjukan hasil yang sangat baik. Hal ini ditunjukan dengan mayoritas petani memilih jawaban setuju (58,26%) dan sangat setuju (28,70%). Perilaku tekun ini ditunjukan dengan kegigihan menekuni usahatani anggrek, serta kesabaran dalam menjalankan dan menghadapi kesulitan dalam berusaha. Menurut para petani, kunci dalam memelihara anggrek agar tumbuh subur adalah sabar dan disiplin. Tanaman anggrek harus dipupuk dan disiram secara teratur. Selain itu tanaman anggrek harus selalu diawasi agar tidak terserang hama dan penyakit. Petani harus sabar dalam merawat anggrek dalam jangka waktu relatif lama, karena tak menutup kemungkinan anggrek baru akan berbunga dan menghasilkan keuntungan setelah 1 sampai 3 tahun perawatan. Tanggap terhadap Peluang Persepsi petani terhadap perilaku tanggap terhadap peluang menunjukan hasil yang baik. Hal ini ditunjukan dengan sebagian besar petani memilih jawaban setuju (57,39%). Kenyataan di lapangan menunjukan petani anggrek cukup tanggap terhadap peluang, namun hanya sebagian kecil yang mampu memanfaatkan peluang tersebut untuk mengembangkan usaha mereka. Sikap tanggap terhadap peluang ini akan lebih berkontribusi terhadap perkembangan usaha jika ditindaklanjuti dengan tindakan kreatif dan inovatif, serta keberanian dalam mengambil risiko usaha. Sikap tanggap terhadap peluang ditujukan petani dengan melakukan diversifikasi produk, serta kegiatan tambahan dalam pemasaran. Misalnya ketika tanaman Anthurium dan puring menjadi tren di masyarakat, petani anggrek turut membudidayakan tanaman tersebut. Disamping itu, ada juga petani yang mengusahakan jenis anggrek spesies yang memiliki nilai jual yang tinggi,
52
meskipun cukup beresiko dalam pemeliharaannya. Selain itu beberapa petani pernah mengikuti ajang pameran tanaman hias. Kegiatan-kegiatan tambahan tersebut pada akhirnya dapat berkontribusi untuk membiayai kegiatan utama bisnis dalam situasi dimana akses untuk mendapatkan modal eksternal sulit, sedangkan kondisi penjualan berfluktuasi dan tidak pasti. Inovatif Berdasarkan hasil survei menunjukan persepsi petani terhadap perilaku inovatif adalah rendah. Hal tersebut ditunjukan dengan sebagian besar petani memilih jawaban tidak setuju (57,39%). Umumnya petani anggrek cenderung tidak melakukan inovasi karena sudah merasa cukup dengan kinerja yang telah dihasilkan, baik dari sisi teknik budidaya maupun produk anggrek yang dihasilkan. Di samping itu petani anggrek pada umumnya belum mampu dan belum cukup berani untuk mengambil risiko dalam menerapkan inovasi yang belum banyak diyakini prospeknya, dengan demikian petani masih melakukan kebiasaan-kebiasaan lamanya dalam berusahatani. Padahal adanya inovasi merupakan kunci dari keunggulan bersaing dan dapat meningkatkan pertumbuhan suatu usaha. Perilaku inovatif dianggap karakteristik utama dari kewirausahaan dibandingkan dengan karakterikstik lain. Hal ini dikarenakan seorang wirausaha adalah orang-orang yang mau belajar dan mempraktekan inovasi secara sistematis, yang oleh karenanya segala risiko yang mungkin timbul telah diantisipasi jauh sebelumnya sehingga risiko tersebut justru berada dalam pengendaliannya (Krisnamurthi, 2011). Petani anggrek seyogyanya harus mengikuti perkembangan teknologi, terutama teknologi yang berkaitan dengan teknis usahatani anggrek. Hal ini merupakan cerminan dari perilaku inovatif, sebab perilaku inovatif tidak hanya ditunjukkan dengan membuat sesuatu (barang atau jasa) yang baru atau belum pernah ada tetapi dapat ditunjukkan pula dengan mengadopsi teknologi modern yang mampu memberikan nilai tambah bagi suatu usaha. Dengan demikian untuk menerapkan inovasi baru, misalnya dalam hal teknik budidaya, petani memerlukan penyuluhan dan pendampingan yang intensif dari pemerintah atau dinas pertanian setempat. Selain itu petani perlu diberdayakan daya kreatif dan inovatifnya, misalnya melalui pelatihan dan pendidikan. Berani Mengambil Risiko Pada dasarnya usaha di bidang pertanian memiliki risiko yang tinggi karena sangat tergantung pada kondisi cuaca, dan adanya serangan hama dan penyakit yang relatif sulit diprediksi kemunculannya. Demikian juga dengan usaha anggrek mempunyai risiko yang cukup tinggi, baik dari sisi on farm maupun kepastian pasarnya. Dari hasil penelitian menunjukan sebagian besar petani memilih jawaban setuju (51,30%), dengan demikian persepsi petani terhadap perilaku berani mengambil risiko menunjukan hasil yang cukup tinggi. Hal ini menunjukan bahwa petani anggrek dalam menjalankan usahatani ini sudah mampu memperhitungkan risiko yang mungkin timbul. Semakin lamanya
53
pengalaman dalam mengelola usahatani anggrek dapat menjadi pengetahuan dalam mengatasi risiko usaha tersebut. Bagi petani risiko yang timbul selama menjalankan usahatani anggrek masih dianggap dalam batas wajar dan mampu diatasi oleh petani, dari hasil survei menunjukan sebagian besar petani (73%) menganggap tingkat kesulitan dalam menjalankan usahatani anggrek ini tidak sulit, dengan frekuensi permasalahan yang cukup jarang terjadi. Permasalahan tersebut terutama adalah faktor cuaca yang ekstrim, tingkat hama dan penyakit tanaman yang tinggi, dan kualitas benih anggrek yang semakin menurun. Bersikap Mandiri Persepsi petani terhadap perilaku bersikap mandiri menunjukan hasil yang tinggi. Hal tersebut berdasarkan data di lapangan bahwa sebagian besar petani memilih jawaban setuju (69,57%). Kemandirian petani anggrek ditunjukan dengan perilaku mereka yang tidak berpangku tangan menunggu perhatian serta bantuan dari pemerintah setempat, justru dapat dikatakan keberadaan dan keteguhan petani untuk terus menekuni usaha ini sangat baik, mereka bisa bertahan dengan kondisi modal yang sangat terbatas, sarana dan prasarana yang terbatas, dan dengan pendapatan yang terbatas pula. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa petani anggrek sebenarnya telah menunjukkan perilaku kewirausahaan yang cukup tinggi, namun masih kurang kemampuannya dalam berinovasi, dan belum sepenuhnya berorientasi bisnis karena umumnya masih bersifat subsisten. Padahal perilaku inovatif merupakan hal yang penting dalam mencapai kesuksesan berwirausaha. Sebagaimana hasil penelitian Runyan et.al (2008) tentang pengaruh entrepreneurial orientation (EO) dan small business orientation (SBO) terhadap usaha kecil. Fokus tujuan SBO berbeda dari EO, pengusaha yang berorientasi kewirausahaan akan cenderung melakukan inovasi, yaitu dengan memperkenalkan barang baru dan metode baru yang lebih efektif dan efisien, membuka pasar baru dan mencari peluang sumber pasokan baru, bersikap proaktif, serta berani mengambil risiko. Sedangkan pengusaha yang berorientasi pada usaha kecil (SBO), memiliki preferensi yang kurang untuk melakukan inovasi, tidak aktif dalam pemasaran dan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Kinerja yang dihasilkan perusahaan dengan EO tentunya akan lebih baik dalam meningkatkan pendapatan perusahaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa petani anggrek yang mempunyai EO adalah petani yang memiliki kemampuan manajerial, bersikap proaktif dan mampu memanfaatkan peluang, serta inovatif, baik dalam proses produksi maupun inovasi produk. Kinerja Usahatani Indikator-indikator kinerja usahatani anggrek diantaranya, peningkatan pendapatan, meningkatnya wilayah pemasaran dan keunggulan bersaing. Persepsi petani terhadap variabel-variabel indikator kinerja usaha menunjukan kecenderungan yang cukup meningkat (Tabel. 16).
54
Tabel 16. Persepsi Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usahatani Anggrek di Gunung Sindur, Parung dan Serpong Tahun 2012 Persepsi Petani (%) Kinerja Usahatani
Meningkatnya wilayah Pemasaran Peningkatan Pendapatan Keunggulan Bersaing
Sangat Tidak Setuju 0.00 0.00 0.00
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
4.35 4.35 4.35
58.26 63.48 66.96
30.43 26.96 25.22
6.96 5.22 3.48
Penjelasan mengenai persepsi petani terhadap variabel kinerja usaha (Tabel 16) adalah sebagai berikut : Meningkatnya wilayah Pemasaran Berdasarkan data Tabel 16 mayoritas reponden memilih jawaban netral (58,26%) dan setuju (30,43%), sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi petani terhadap meningkatnya wilayah pemasaran anggrek menunjukan kecenderungan yang cukup meningkat. Adanya kecenderungan tersebut dapat menjadi indikasi semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap anggrek, serta semakin dikenalnya ketiga wilayah tersebut sebagai sentra penghasil anggrek. Sebagian besar penjualan anggrek dilakukan ke Pasar Rawa Belong, dan sebagian lainnya diambil oleh pedagang dari TAIP dan TAR, serta pedagang anggrek lainnya di wilayah Jabodetabek. Beberapa petani anggrek mampu memperluas wilayah pemasaran mencapai kawasan di luar Pulau Jawa, seperti ke daerah Padang dan Jambi. Peningkatan Pendapatan Persepsi petani terhadap peningkatan pendapatan dari usahatani anggrek menunjukan hasil yang cukup. Hal ini ditunjukan dari mayoritas petani yang memilih jawaban netral (63,48%). Berdasarkan keterangan di lapangan, bahwa meningkatnya wilayah pemasaran ternyata tidak serta merta diikuti dengan meningkatnya pendapatan mereka, hal ini dikarenakan volume anggrek yang dijual tidak bertambah. Keterbatasan kemampuan dan sulitnya permodalan menyebabkan petani anggrek tidak mampu meningkatkan skala usaha mereka, yang akhirnya berimbas pada jumlah produksi anggrek yang cenderung stagnan. Profil petani anggrek yang sebagian besar masih bergerak pada skala kecil dan belum fokus dalam pemilihan jenis maupun stadia tanamannya, merupakan salah satu kendala dalam usaha anggrek. Hal ini dikarenakan dalam membudidayakan sampai memasarkan membutuhkan waktu yang cukup lama, dimana ada petani yang mengusahakan anggrek mulai dari botolan sampai berbunga, kompot sampai berbunga, atau dari seedling sampai berbunga, sehingga untuk mendapatkan hasil petani anggrek harus menunggu cukup lama yaitu 5 – 18 bulan, hal tersebut dapat berimbas pada pendapatan mereka.
55
Keunggulan Bersaing Keunggulan bersaing dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menciptakan nilai unggul suatu produk guna menghadapi persaingan. Persepsi petani terhadap keunggulan produk anggrek mereka sebagian besar adalah netral (66,96%). Hasil penelitian menunjukan produksi anggrek petani cenderung tidak berbeda antara satu petani dengan petani yang lain atau dapat dikatakan tidak memiliki kelebihan/keunggulan. Hal tersebut salah satunya dikarenakan bibit anggrek yang dipergunakan umumnya berasal dari sumber atau importir yang sama. Dalam satu kuota pemesanan biasanya satu jenis anggrek dipesan oleh beberapa orang petani. Umumnya petani yang mempunyai produk yang lebih unggul adalah petani yang memiliki keinginan dan kemampuan untuk berinovasi, misalnya dengan melakukan penyilangan untuk menghasilkan anggrek jenis baru. Ataupun petani dengan skala usaha yang lebih besar, yaitu > 1000 m2 dan memiliki modal usaha yang lebih memadai. Petani dengan kemampuan modal yang lebih dapat membudidayakan anggrek lain selain jenis Dendrobium hibrida, yaitu jenis anggrek Vanda, Oncidium dan spesies yang memiliki harga lebih mahal di pasaran. Adanya inovasi merupakan kunci dari keunggulan bersaing dan dapat meningkatkan pertumbuhan suatu usaha. Inovatif dianggap karakteristik utama dari kewirausahaan dibandingkan dengan karakterikstik lain. Menurut Wirasasmita (2011) variabel inovatif merupakan market shifter atau penggerak permintaan. Variabel inovatif menghasilkan keunikan dari produk yang dapat berbentuk keunggulan teknikal, kualitas dan pelayanan yang dapat menciptakan nilai bagi pelanggan karena kecocokan dengan preferensi atau ekspektasi customer. Adanya inovasi selain dipicu oleh persaingan dari luar, juga karena persaingan dengan dirinya sendiri, yaitu keinginan untuk menghasilkan produk yang lebih baik dari produk-produk yang dihasilkan sebelumnya. Dengan demikian agar dihasilkan produk anggrek yang memiliki keunggulan bersaing, diperlukan pembinaan dan pelatihan yang mampu meningkatkan kreativitas dan inovasi petani anggrek. Analisis Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek terhadap Kinerja Usaha dengan Pendekatan Structural Equation Models (SEM) Analisis Model Pengukuran Tahap pengujian ini untuk memastikan bahwa konstruk yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi kriteria valid dan reliabel. Model pengukuran di dalam SEM menjelaskan keeratan hubungan antara variabel laten dengan variabel indikatornya (manifest). Nilai keeratan hubungan ini dilihat dari nilai muatan faktor atau loading factor (λ). Semakin besar nilai muatan faktor ini, maka semakin besar pula hubungan keeratan variabel indikator terhadap variabel latennya. Dengan kata lain, nilai muatan faktor dapat menjelaskan seberapa besar suatu variabel indikator mampu merepresentasikan variabel laten tertentu.
56
Koefisien muatan faktor digunakan untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas indikator dalam mengukur variabel latennya. Hasil analisis model pengukuran dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Muatan faktor dan t-value Variabel Manifest Variabel Laten
Variabel Manifest
Faktor Internal (FI)
Pendidikan Pengalaman Skala Usaha Kepemilikan Modal Usaha Kepemilikan Sarana/Prasarana Intensi berwirausaha Motif Berprestasi Persepsi Terhadap usaha Faktor Eksternal Ketersediaan Bahan Input (FE) Penyuluhan dan pelatihan Dukungan modal dan sarana produksi Dukungan promosi dan pemasaran Dukungan regulasi usaha Kekompakan petani anggrek Akses informasi pasar Perilaku Tekun Berusaha Kewirausahaan Tanggap terhadap peluang Inovatif Berani mengambil risiko Mandiri Kinerja Usaha Perluasan wil pemasaran Peningkatan pendapatan Kemampuan bersaing
Muatan Faktor 0.17 0.06 0.42 0.27 0.19
t-value
Validitas
0.92 2.69* 6.95* 3.80* 2.78*
Tidak Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Tidak Valid
0.72 0.73 0.73 0.42 0.66 0.42
11.76* 11.30* 12.08* 5.68* 7.11* 2.74*
Valid Valid Valid Valid Valid Valid
0.57
5.85*
Valid
0.56 0.49
6.38* 5.68*
Valid Valid
0.50 0.63 0.70 0.53 0.70 0.56 0.78 0.58 0.48
3.60* 8.63* 6.90* 6.67* 10.88* 7.77* 9.99* 6.37* 6.71*
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
*) signifikan pada taraf nyata 5%
Uji Validitas Uji Validitas adalah pengujian untuk mengetahui kemampuan indikatorindikator suatu konstruk (variabel laten) dapat menjadi indikator pengukuran secara akurat (Wijanto, 2008). Langkah ini bertujuan untuk mendapatkan keyakinan bahwa keseluruhan variabel teramati memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebagai pengukuran. Indikator dengan loading factor yang tinggi memiliki konstribusi yang lebih tinggi untuk menjelaskan konstruk latennya. Sebaliknya pada indikator dengan loading factor rendah memiliki konstribusi yang lemah untuk menjelaskan konstruk latennya. Berdasarkan teori yang dikemukakan Ferdinand suatu indikator dikatakan valid jika koefisien bobot faktornya secara statistik signifikan, serta estimasi tidak kurang dari 0,4 (Kusnendi, 2010).
57
Dari hasil pengujian (Tabel 17), variabel; (1) pengalaman, (2) pendidikan, (3) kepemilikan modal usaha dan (4) kepemilikan sarana/prasarana usaha, tidak menunjukan hasil yang valid, sehingga keempat variabel manifest tersebut tidak dapat disertakan dalam pengujian selanjutnya. Dengan perkataan lain keempat variabel tersebut tidak cukup merepresentasikan faktor internal. Variabel indikator yang memiliki nilai kontribusi yang tinggi dengan nilai muatan faktor 0.73 adalah variabel motif berprestasi dan persepsi terhadap usaha. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam bertindak maupun dalam menentukan pilihan-pilihan, serta memecahkan masalahmasalah yang dihadapi demi terpenuhinya kebutuhan, yang pada akhirnya dapat menentukan tingkat keberhasilan dalam kehidupan seseorang. Pengalaman dalam melakukan suatu kegiatan maupun berbisnis merupakan nilai tambah yang sangat berharga sebab semakin lama seseorang menekuni suatu bidang kegiatan maka semakin terampil dalam menjalankan usahanya serta memiliki kepekaan yang tinggi dalam membaca peluang usaha, yang pada akhirnya mampu memberi peluang besar untuk mencapai keberhasilan. Namun demikian, pada penelitian ini didapatkan bahwa pendidikan dan pengalaman petani anggrek tidak mampu membawa perubahan yang berarti, kemungkinan disebabkan karena cara pengelolaan masih tradisional tidak mau berubah ke yang lebih modern, seperi teknologi good agricultural practice (GAP), serta keterbatasan permodalan, dan sifat usaha yang umumnya bersifat subsisten. Adapun untuk model pengukuran pada variabel laten eksogen faktor eksternal (FE), variabel indikator yang memiliki nilai kontribusi yang tinggi dengan nilai muatan faktor 0.66 adalah variabel dukungan pemerintah dalam pendidikan dan penyuluhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa hal yang paling merepresentasikan faktor eksternal adalah dukungan pemerintah dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Variabel lainnya, seperti; bantuan pemerintah dalam pengadaan modal dan sarana produksi, dukungan pemerintah dalam promosi dan pemasaran, ketersediaan bahan input/saprotan, kekompakan atau sikap saling membantu diantara pengusaha anggrek dan ketersediaan informasi pasar cukup merepresentasikan faktor eksternal. Hasil pengukuran pada variabel perilaku kewirausahaan menunjukan variabel tanggap terhadap peluang dan berani mengambil risiko memiliki nilai kontribusi tertinggi, dengan muatan faktor 0.70. Hal ini berarti bahwa perilaku kewirausahaan petani lebih direprsentasikan oleh kedua variabel tersebut. Variabel inovatif dalam menjalani usaha kurang merepresentasikan perilaku kewirausahaan petani anggrek. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa umumnya petani/pengusaha anggrek tersebut belum menghasilkan inovasi, baik inovasi produksi, produk anggrek, maupun pemasaran. Padahal adanya inovasi merupakan hal yang utama dalam mencapai keunggulan bersaing. Kondisi ini juga terjadi pada UKM di Papua, sebagaimana hasil penelitian Rente (2010), indikator yang paling besar berperan dalam membentuk perilaku kewirausahaan adalah ketekunan, dimana mereka memiliki kesabaran dan ketelatenan dalam mengelola usahanya, dalam hal ini dibidang agribisnis, sedangkan indikator yang paling rendah dari perilaku kewirausahaan UKM di Papua adalah inovatif. Sementara pada variabel kinerja usaha, tingkat keeratan hubungan atau kontribusi tertinggi ditunjukkan oleh variabel perluasan wilayah pemasaran, dengan nilai loading faktor 0.78. Hal ini berarti bahwa kinerja usaha anggrek
58
lebih direprsentasikan oleh wilayah pemasaran anggrek yang semakin meningkat. Variabel peningkatan pendapatan kurang merepresentasikan kinerja usaha. Hal ini dikerenakan meskipun wilayah pemasaran meningkat, tetapi volume penjualan tidak bertambah, sehingga pendapatan atau keuntungan dari usaha anggrek ini cenderung tidak mengalami peningkatan. Adapun variabel kemampuan bersaing juga kurang merepresentasikan kinerja usaha anggrek. Realita di lapangan menunjukan hal ini dikarenakan bibit yang ditanam berasal dari sumber/importir yang sama, dimana pemesanan bibit dilakukan secara kolektif oleh masingmasing kelompok tani. Selain itu teknik budidaya yang dilakukan juga relatif sama, sehingga produk anggrek yang dihasilkan kualitasnya relatif seragam dan tidak ada yang memiliki keunggulan dibanding yang lain. Uji Reliabilitas Tujuan dari uji reliabilitas adalah untuk menguji konsistensi dari tiap pernyataan yang ada dalam kuesioner sebagai pengukuran suatu variabel laten (Wijanto, 2008). Uji reliabilitas menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat memberikan hasil yang relatif sama apabila dilakukan pengukuran kembali pada variabel yang sama. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan cara menghitung construct reliability (CR) dan variance extracted (VE) dari masing-masing variabel teramati (Hair et.al, 1995 dalam Wijanto, 2008). Penghitungan construct reliability (CR) dan variance extracted (VE) menggunakan rumus berikut : construct reliability (CR) =
∑ Std. Loading) 2 (∑Std. Loading)2 + ∑ej
variance extracted (VE) =
∑Std. Loading 2 ∑ Std. Loading 2 + ∑ej
dimana : Std. Loading : Standardized loading Ej : Measurement error Reliabilitas konstruk pembentuk model pengukuran dianalisis dengan menggunakan kriteria construct reliability (CR) > 0,70 dan Variance extracted (VE) > 0,50. Tabel 18. Pengujian Realibilitas Model Pengukuran Variabel Laten Faktor Internal Faktor Eksternal Perilaku Kewirausahaan Kinerja Usaha
CR 0.82 0.76 0.83 0.76
Reliabilitas Baik Baik Baik Baik
VE 0.54 0.32 0.50 0.53
Reliabilitas Baik Cukup Baik Baik Baik
Berdasarkan hasil pengujian sebagaimana tercantum pada Tabel 18, dapat dikatakan bahwa masing-masing variabel laten memiliki nilai CR dan VE yang mendukung realibilitas yang baik. Artinya indikator-indikator yang digunakan memiliki kekonsistenan tinggi, sehingga jika dilakukan penelitian ulang pada waktu yang berbeda, reponden akan memberikan jawaban yang reliabel/konsisten.
59
Kecocokan Model Struktural Analisis Kecocokan Keseluruhan Model Uji kecocokan model struktural dilakukan dengan mengevaluasi kecocokan keseluruhan model dengan ukuran Goodness of Fit (GOF). Kebaikan model secara keseluruhan dievaluasi menggunakan beberapa ukuran, seperti; statistic chi square, Root Mean Square Residual (RMR), Adjusted Goodness of fit index (AGFI), Goodness of fit Index (GFI), Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), Comparative Fit Index (CFI) dan Normed Fit Index (NFI). Hasil olahan data penelitian (Tabel 19), diperoleh nilai chi-square sebesar 157,10 , derajat bebas (df) 129, dan nilai p-value 0.045. Salah satu karakteristik dari Chi-Square Statistic adalah semakin tinggi nilainya maka akan dihasilkan nilai P-value yang relatif rendah, yang mengindikasikan bahwa, antara matriks kovariansi/korelasi sampel dengan matriks kovarians/korelasi populasi yang diestimasi memiliki perbedaan yang nyata. Namun demikian model dapat dikatakan fit dengan data apabila statistik Chi-Square yang diperoleh mampu menghasilkan nilai P-value sama dengan atau lebih besar dari tingkat kesalahan yang ditolelir, yaitu sebesar 0,05 (Kusnendi, 2008). Hasil penelitian menunjukan nilai p-value yang mendekati 0,05 yaitu 0,045. Tabel 19. Hasil Uji Kebaikan/ Kecocokan Model (Goodness of Fit Test) Goodness-of-Fit P-value X2/df RMSEA RMR GFI AGFI NFI CFI
Nilai yang Disarankan < 0,05 < 2,00 0,08 0,08 0,90 0,90 0,90 0,90
Hasil 0,045 1,22 0,044 0,072 0,93 0,90 0,93 1,00
Keterangan Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit
Pada Tabel 19 dapat dilihat model yang diperoleh sudah baik (Good Fit) dan memenuhi nilai yang disarankan, dengan demikian, model yang telah diperoleh tidak perlu dilakukan respesifikasi lagi, dan dapat disimpulkan bahwa secara umum data yang digunakan pada penelitian ini memiliki kecocokan yang baik dengan model penelitian, atau model fit dengan data sampel. Analisa Model Struktural Model struktural dalam analisis SEM menjelaskan hubungan kausal antara variabel laten eksogen dan variabel laten endogen. Dalam hal ini, model struktural yang diperoleh menjelaskan pengaruh antara faktor internal dan faktor eksternal terhadap perilaku kewirausahaan, perilaku kewirausahaan (PK) dengan kinerja usaha (KU), dan pengaruh langsung antara faktor eksternal dengan kinerja usaha, serta pengaruh tidak langsung antara faktor internal dan eksternal terhadap kinerja usaha.
60
Gambar 11 dan 12 menunjukan model hubungan kausal antara faktorfaktor yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku kewirausahaan dan kinerja usaha. Dari model tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh antara variabel laten yang satu terhadap variabel laten lainnya adalah positif dan nyata. 6.6 4
SK.Usaha
2.7 4
Motivasi
Tekun
2.7 4
Persepsi
2.7 4
Keinginan
5.1 6
Input Penyuluhan Ban.Modal
0.64 -7 4 0.79 4.2 0.750 2.8 9
8.63
11.30
11.76
Tg.Peluang 1.81
6.90
INTERNAL
7.24
6.67
PK
Inovatif
10.88
2.4
2.31 7 3.8 1.6 9 2.63 - 0.2 1.07 4 3.4 - 80.1
0.48
6.95
12.08
- 2.34 1.52 3 4.0
Promosi Regulasi
3.27
-2.59
7.74
6.80
Risiko
5.68 7.11 2.74
EKSTERNAL
4.87
KU
Mandiri
5.85
9.99
6.38
6.37
5.68
6.71
0.0 3 3.58 0.75 2.950.0 7 1.4 2 3.87 0.36
Pemasaran 0.96
3.60
Pendptan
Kompak
Unggul
0.0 6 2.631.49 0.2 1 4.41
Aks.Info
Chi-Square=157.10, df=129, P-value=0.04674, RMSEA=0.044
Gambar 11. Nilai t Model Struktural Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek terhadap Kinerja Usaha
0.75
0.25
0.25
Skl Usaha Motivasi Persepsi Keinginan
0.65
Input
0.38
Tg.Peluang
0.05 0.31
Inovatif
0.0 0 0.48
0.42 0.63
0.73
0.70
0.73 0.25
Tekun
0.74
INTERNAL
0.56
PK
0.53 0.70
-0.15
0.55
0.55
0.42 0.36 - 0.3 0.16 1 0.71
Penyuluhan
0.66 0.42
Bant.Modal
0.3 4 0.55 0.23
Promosi
- 0.00.3 0.15 1 0.52 - 3 0.02
Regulasi
0.09 0.09 0.56 -
Kompak
0.57
EKSTERNAL
0.40
KU
Mandiri 0.78
0.56
0.58
0.49
0.48
Pemasaran
0.50
0.10 0.54
Risiko
Pendapatan
Unggul
Aks.Info
Chi-Square=157.34, df=129, P-value=0.04550, RMSEA=0.044
Gambar 12. Estimasi Loading Factor Model Struktural Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek terhadap Kinerja Usaha
0.08 0.33 0.0 1 0.1 4 0.42 0.03 0.14 0.0 1 0.42 0.15 0.0 2 0.51
61
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek dan Kinerja Usaha Analisis pengaruh antar peubah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Structural Equation Models (SEM) dengan Program Lisrel 8.30. Hasil pengolahan data menunjukan komposisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan petani anggrek dan kinerja usaha (Tabel 20). Tabel 20. Komposisi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek dan Kinerja Usaha No 1.
2.
Peubah Laten Perilaku Wirausaha (η2) R2 = 0.31 Faktor Internal (η1) Faktor Eksternal (ξ1) Kinerja Usaha R2 = 040 Perilaku Kewirausahaan(η2) Faktor Internal Faktor Eksternal(ξ1)
TE
Total DE
IE
0.56* -0.15*
0.56* -0.15*
0.00 0.00
0.55* 0.31* 0.32*
0.55* 0.00 0.40*
0.00 0.31* -0.08*
Keterangan: TE (Total Effefct; DE (Direct Effect); dan IE (Indirect Efect) *pengaruh nyata pada α 0.05
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Berdasarkan komposisi faktor-faktor yang berpengaruh (Tabel. 20), dapat diketahui bahwa faktor internal dan eksternal berpengaruh langsung terhadap perilaku kewirausahaan petani anggrek. Faktor Internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku Kewirausahaaan, dengan koefisien pengaruh 0.56. Faktor internal diukur berdasarkan indikator skala usaha, kepemilikan modal usaha, kepemilikan sarana/prasarana produksi, motivasi berprestasi, persepsi terhadap usaha dan intensi berwirausaha anggrek. Peningkatan Faktor Internal akan meningkatkan perilaku kewirausahaan petani anggrek. Faktor Eksternal berpengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien pengaruh sebesar -0.15. Jika ditinjau dari kondisi data, hal ini dikarenakan persepsi petani mengenai perilaku kewirausahaan tinggi, tetapi persepsi terhadap faktor eksternal rendah, dengan kata lain peningkatan persepsi petani tentang perilaku kewirausahaan tidak diikuti dengan peningkatan persepsi terhadap faktor eksternal. Jika dilihat dari kondisi di lapangan, hal ini sesuai dengan kondisi bahwa secara umum dukungan pemerintah dalam hal penyuluhan dan pelatihan, bantuan pengadaan modal dan sarana produksi, promosi dan pemasaran, regulasi usaha, serta ketersediaan informasi pasar, sampai dengan saat ini dirasakan belum cukup memadai, dan belum mendukung terbentuknya perilaku kewirausahaan pada petani anggrek. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, pemerintah melalui dinas instansi terkait belum menunjukan keberpihakan yang besar, serta kurang
62
mampu memahami kebutuhan serta persoalan yang dihadapi petani, sehingga bantuan yang sudah pernah diberikan dirasakan belum sesuai dengan kebutuhan petani. Hasil persamaan menunjukan nilai koefisien determinan (R2) pada persamaan Perilaku Kewirausahaan sebesar 0,31. Artinya variansi pada faktor internal dan eksternal secara bersama-sama mampu menjelaskan 31% perubahan pada variabel laten perilaku kewirausahaan, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukan bahwa perilaku kewirausahaan dipengaruhi secara langsung oleh faktor internal yang merupakan faktor dari individu petani, dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan, sebagaimana menurut Friederike and Smallbone (2011) perilaku kewirausahaan tidak bersifat mekanistik atau homogen dalam menghadapi tekanan eksternal tetapi dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks dari faktor internal dan eksternal, sehingga terdapat heterogenitas dalam perilaku kewirausahaan karena tidak semua pengusaha bertindak dan bereaksi dengan cara yang sama dalam menghadapi tekanan kelembagaan. Heterogenitas tindakan pengusaha umumnya dipengaruhi oleh; (1) firm size (ukuran perusahaan), (2) The nature of venture (sifat usaha) dan (3) human capital (sumberdaya manusia). Perilaku kewirausahaan petani anggrek dapat ditumbuhkan dengan peningkatan motivasi petani anggrek untuk mencapai kesuksesan dalam berusaha anggrek, persepsi yang baik terhadap usahatani anggrek dan adanya keinginan untuk berwirausaha anggrek. Tingginya persepsi terhadap usahatani anggrek dapat menumbuhkan keyakinan untuk menjadi sukses melalui usahatani anggrek, sehingga akan membuahkan ketekunan dalam berusaha dan tidak akan mudah menyerah bila menghadapi kendala. Adanya motivasi untuk menjadi petani anggrek yang sukses, pada akhirnya akan berdampak pada keberanian untuk menghadapi risiko yang lebih tinggi serta keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Selain itu, Perilaku kewirausahaan akan berkembang sejalan dengan pertambahan skala usaha, yang diikuti dengan pertambahan modal usaha, serta semakin memadainya sarana dan prasarana produksi anggrek. Perilaku kewirausahaan petani anggrek dapat lebih ditumbuhkembangkan, namun dalam perkembangannya membutuhkan waktu dan memerlukan dukungan lingkungan yang kondusif. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa, perilaku kewirausahaan dapat berkembang jika didukung oleh bantuan dan dukungan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan, dan tepat sasaran. Diantaranya, adanya jaminan ketersediaan bahan input, adanya bantuan dan dukungan pemerintah berupa permodalan, adanya kegiatan pendidikan dan penyuluhan yang intensif dan sesuai dengan kebutuhan petani, regulasi yang mendukung iklim usaha yang baik, promosi yang berkesinambungan dan pemasaran yang efisien, serta tersedianya informasi pasar yang up to date. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Usaha Anggrek Berdasarkan Tabel 20 menunjukan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha adalah perilaku kewirausahaan dan faktor eksternal, sedangkan faktor internal berpengaruh tidak langsung.
63
Variabel laten perilaku kewirausahaan berpengaruh langsung dan positif terhadap kinerja usaha dengan koefisien pengaruh sebesar 0.55, dan t-hitung 7,51 maka pengaruhnya signifikan pada taraf nyata 5%. Dengan demikian peningkatan perilaku kewirausahaan akan meningkatkan kinerja usaha petani anggrek. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan ketekunan, ketanggapan terhadap peluang usaha, inovatif, keberanian mengambil risiko dan bersikap mandiri dalam menjalankan usahatani anggrek pada akhirnya akan berpengaruh pada peningkatan kinerja usaha. Sebagaimana hasil penelitian Fauzi (2006) dan Dirlanudin (2010) menujukan bahwa perilaku wirausaha berpengaruh langsung dan bernilai positif terhadap keberhasilan usaha, yaitu peningkatan jumlah pelanggan, kecenderungan loyalitas pelanggan, perluasan pangsa pasar, kemampuan bersaing, dan peningkatan pendapatan. Kinerja usaha tergantung pada tindakan (perilaku) yang diambil oleh pengusaha dan kondisi internal pribadi yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bisnis. Faktor Eksternal berpengaruh langsung dan posistif terhadap kinerja usaha, dengan koefisien pengaruh 0,41 dan t-hitung 4,90. faktor eksternal berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha, hal ini dapat dijelaskan karena kinerja usaha ditentukan oleh kondisi lingkungan, misalnya kondisi pasar, untuk menghasilkan kinerja usaha yang baik diperlukan pengetahuan tentang jumlah permintaan atau kebutuhan konsumen (informasi pasar), yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh tindakan pengusaha yang mampu menangkap peluang pasar. Perilaku kewirausahaan seorang pengusaha tinggi tetapi kinerja usaha rendah, hal ini bisa disebabkan karena adanya peristiwa tak terduga atau tak terkendali yang tidak dapat dikendalikan oleh pelaku usaha, misalnya seorang pelaku usaha ingin mengembangkan usahanya, tetapi persaingan dalam bisnis tersebut yang sangat ketat, atau terhalang oleh keputusan politik/ kebijakan pemerintah (Delmar, 1996). Pentingnya pengaruh lingkungan dan kelembagaan terhadap suatu usaha juga dikemukakan Welter dan Smallbone (2011), dimana kelembagaan yang terbentuk dari peraturan yang berlaku di masyarakat, yang ketika berjalan dengan stabil dan efisien dapat memfasilitasi pengembangan kewirausahaan menjadi lebih produktif, karena dapat mengurangi ketidakpastian dan risiko usaha, serta dapat mengurangi biaya transaksi, dan memungkinkan hubungan transaksi ekonomi berlandaskan kontrak hukum. Peraturan ini meliputi kelembagaan formal, seperti lembaga hukum, dan organisasi kemasyarakatan, serta kelembagaan informal yang mengacu pada kode etik, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian secara keseluruhan faktor eksternal merupakan faktor yang penting dalam mendukung keberlangsungan dan keberhasilan suatu usaha. Faktor internal berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0.31 terhadap kinerja usaha. Dengan demikian faktor internal seorang petani anggrek sebenarnya berpengaruh terhadap kinerja usaha, yang diwujudkan melalui perilaku kewirausahaan yang diperlihatkan dalam menjalankan usahataninya. Sebagaimana menurut Rente (2010) faktor penentu kesuksesan UKM terdiri dari faktor internal dan eksternal. Penentu sukses internal adalah penentu yang berasal dari perusahan itu sendiri, seperti manajemen keuangan, manajemen perusahaan, lokasi usaha, proses produksi, manajemen personalia, dan ketersediaan dana. Sedangkan Penentu sukses eksternal adalah kebijakan pemerintah, situasi pasar, infrastruktur, serta informasi pasar,
64
Nilai koefisien determinan (R2) yang didapatkan dari hasil pengujian adalah sebesar 0.40, artinya variabel kinerja usaha mampu dijelaskan 40% oleh variansi dari variabel perilaku kewirausahaan dan faktor eksternal, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Salah satu contoh pentingnya pengaruh dari perilaku kewirausahaan dan faktor eksternal terhadap peningkatan kinerja usaha adalah, pengembangan perilaku inovatif yang didukung oleh adanya informasi pasar dapat meningkatan kinerja usaha yang ditunjukan dengan peningkatan keunggulan bersaing. Sebagaimana hasil penelitian Dewi (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi derajat inovasi produk yang dilakukan maka akan semakin tinggi derajat keunggulan bersaing, dimana terdapat pengaruh positif dan signifikan antara inovasi produk terhadap keunggulan bersaing. hal ini menunjukan bahwa kemauan perusahaan untuk mengembangkan inovasi produknya ternyata memberikan dampak pada peningkatan kemampuan perusahaan dalam menghadapi persaingan. Hasil penelitian menujukan bahwa kinerja usaha akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ketekunan, ketanggapan terhadap peluang, keberanian mengambil risiko, kemandirian, dan yang paling utama adalah dengan menumbuhkembangkan perilaku inovatif. Serta didukung dengan adanya bantuan dan upaya pemerintah melalui dinas setempat untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan usaha anggrek. Sebagaimana menurut Krisnamurthi (2001) tantangan pembangunan agribisnis adalah untuk membangun kemampuan agribisnis memenuhi kebutuhan hidup pelakunya, terutama petani, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini akan dapat dilakukan jika dapat dibangun keunggulan kompetitif pertanian berbasis keunggulan komparatifnya. Keunggulan kompetitif tersebut akan mampu dicapai jika faktor pendorong perkembangannya adalah inovasi dan kreativitas (innovation driven) yang sejalan dengan peran tenaga kerja berbasis pengetahuan (knowledge-based labour) yang lebih dominan. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa faktor internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, faktor internal petani anggrek yang menyangkut tingkat kepemilikan modal usaha dan tingkat kepemilikan sarana/prasarana produksi, keinginan berwirausahatani anggrek, persepsi terhadap usahatani anggrek, serta motivasi untuk berprestasi, kenyataannya telah cukup memadai untuk dijadikan pondasi kuat bagi pengembangan usahatani anggrek. Sehingga perlu adanya dukungan dan perhatian dari pemerintah/dinas terkait yang dapat membuat iklim berusaha anggrek menjadi lebih kondusif, yang pada akhirnya mampu memotivasi petani anggrek untuk terus berusaha dan meningkatkan kesejahteraannya, diantaranya dengan : a. Memfasilitasi terbentuknya Koperasi Petani Anggrek. Koperasi sebagai lembaga yang berbadan hukum diharapkan dapat membantu petani dalam mengembangkan bisnis anggrek, terutama yang berhubungan dengan pihak pemerintah, swasta dan bank. Koperasi dapat memfasilitasi pinjaman modal Petani untuk keperluan pengembangan usaha anggrek.
65
b.
c.
d.
Membina petani untuk terbiasa menyisihkan sebagian pendapatan, agar petani menyadari bahwa harus ada dana yang diinvestasikan untuk tambahan modal. Tambahan modal tersebut dapat bermanfaat bagi pemeliharaan dan pengembangan sarana produksi, serta peningkatan skala usaha. Program tabungan dapat difasilitasi oleh Koperasi, misalnya dengan sistem on the plant basis. Koperasi dapat menjadi pusat pemasaran, sehingga tidak lagi melalui tengkulak, dengan demikian dapat menjadikan posisi tawar petani menjadi lebih baik. Selain itu Koperasi dapat menjadi showroom/ show window yang menyediakan informasi mengenai produk-produk anggrek yang dihasilkan petani. Koperasi dapat memfasilitasi pembelian dan penyediaan saprotan (benih, pupuk, pestisida, media tanam, dan sebagainya), serta membiayai keikutsertaan dalam kegiatan pameran/promosi. Dengan pembiayaan bersama diharapkan dapat meningkatkan efisiensi keuangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor eksternal berpengaruh negatif terhadap perilaku kewirausahaan petani anggrek, hal tersebut mengindikasikan masih rendahnya dukungan pemerintah, dan dukungan yang sudah pernah diberikan belum sesuai dengan kebutuhan petani atau dapat dikatakan belum tepat sasaran. Dengan demikian dukungan pemerintah perlu ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan petani, diantaranya adalah : a. Aktif melakukan penyuluhan dan pendidikan agar petani mau dan mampu menerapkan teknik budidaya berdasarkan Good Agricultural Practices (GAP) dan teknik pasca panen berdasarkan Good Handling Practices (GHP). b. Memberikan bantuan modal, misalnya memfasilitasi petani dengan pembiayaan kredit pertanian. Program pemberian bantuan modal ini dengan didampingi PPL dalam pengelolaannya. c. Menata rantai pemasaran dan meningkatkan promosi, misalnya dengan memberikan jaminan kemudahan transportasi untuk pengangkutan produk anggrek. Serta secara aktif melakukan promosi anggrek di setiap even kedinasan, baik di dalam maupun di luar negri. d. Menjamin kemudahan dan kontinuitas ketersediaan bibit unggul dan media tanam yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menggiatkan industri perbenihan anggrek dalam negri, dan pengaturan segmentasi usaha anggrek, serta menyediakan media tanam yang berkualitas dan ramah lingkungan. e. Regulasi usaha yang mendukung, terutama dalam menjamin kemudahan dan kontinuitas ketersediaan bibit. Selain itu, dengan adanya kemudahan prosedur karantina. f. Kemudahan mendapatkan informasi pasar, yaitu dengan aktif melakukan market intelligent yang dapat membantu dalam perencanaan produksi. Sebagaimana hasil penelitian ini yang membuktikan bahwa perilaku kewirausahaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja usaha, dengan demikian peran petani sebagai pelaku utama usahatani anggrek, perlu dimaksimalkan potensi kemampuannya, kreativitas dan inovasinya. Karena
66
kenyataannya, keberhasilan petani mencapai kinerja usahatani yang tinggi tidak hanya ditentukan oleh kegiatan teknik budidaya semata, tetapi juga lebih ditentukan oleh kemampuan petani, baik sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diaktualisasikan dalam menjalankan usahataninya mulai dari persiapan tanam sampai pemasaran produk yang dihasilkan. Dengan kata lain keberhasilan usahatani ditentukan oleh tindakan atau perilaku petani dalam menjalankan usahataninya. Salah satu perilaku kewirausahaan yang penting dalam pengembangan usaha adalah perilaku inovatif. Perilaku inovatif dapat muncul melalui kreativitas. Dengan demikian perlu adanya kegiatan yang dapat mengembangkan kreativitas petani anggrek, dari kreativitas tersebut akan muncul produk, jasa atau ide baru yang menjadi sumber dari inovasi baru untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Kreativitas dapat diasah dengan mengikuti seminar-seminar kewirausahaan, berdiskusi dengan petani/pengusaha yang lebih berpengalaman, dengan mengikuti ajang promosi dan pameran, dan lain sebagainya.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Karakteristik petani anggrek di wilayah Gunung sindur, Parung dan Serpong secara umum antara lain: (1) Tingkat pendidikan petani anggrek mayoritas lulusan SLTA, (2) mereka memiliki pengalaman yang cukup dalam berusahatani anggrek, (3) bagi sebagian besar petani usaha ini merupakan mata pencaharian utama, (4) umumnya modal usaha didapatkan dari modal pribadi dan dirasa tidak memadai, (5) taraf hidup dan kesejahteraan petani anggrek pada umumnya masih rendah, dikarenakan skala usaha yang kecil, serta mayoritas petani anggrek hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Faktor internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku Kewirausahaan, hal ini menunjukan bahwa peningkatan skala usaha, keinginan berwirausahatani, motif berprestasi dan persepsi terhadap usaha yang tinggi, dapat meningkatkan perilaku kewirausahaan. Sementara Faktor Eksternal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan, hal ini dikarenakan dukungan pemerintah berupa penyuluhan dan pelatihan, bantuan modal dan saprodi, promosi dan pemasaran, regulasi usaha, serta ketersediaan informasi pasar belum sesuai dengan kebutuhan petani dan belum tepat sasaran. Variabel laten Perilaku Kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Usaha. Hal ini menunjukan bahwa perilaku kewirausahaan berperan penting dalam peningkatan kinerja usaha, sehingga dengan ketekunan, ketanggapan terhadap peluang, inovatif, keberanian mengambil risiko dan kemandirian pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja usaha. Saran
1.
2.
Hasil penelitian menunjukan faktor internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan. Dengan demikian dapat dikatakan meskipun dalam kondisi keterbatasan, baik modal maupun dukungan sarana dan prasarana, serta tingkat kesejahteraan yang masih relatif rendah, petani anggrek mempunyai keinginan berwirausahatani yang tinggi, serta persepsi terhadap usahatani anggrek yang baik, sehingga perlu adanya dukungan dan perhatian dari pemerintah/dinas terkait yang dapat membuat iklim berusaha anggrek menjadi lebih kondusif, dan membuat petani anggrek lebih termotivasi untuk menjadi petani anggrek yang sukses, salah satunya dengan memberikan pembinaan yang dapat merubah orientasi petani yang sebelumnya hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (subsisten) menjadi berorientasi bisnis, atau berorientasi laba, pertumbuhan dan inovasi, Adanya pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usaha menunjukan perlu adanya pembinaan yang dapat mengembangkan perilaku kewirausahaan petani anggrek sebagai pelaku utama dalam industri anggrek, terutama pada perilaku inovatif. Misalnya melalui diklat
68
3.
Co-operative Entrepreneur, pelatihan kultur jaringan skala rumah tangga, merangkai bunga, dan lain sebagainya. Selain itu pemerintah setempat perlu aktif mendorong dan memfasilitasi petani untuk mengikuti ajang pameran dan promosi. Diharapkan dari kreatifitas akan muncul inovasi baru, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja usaha anggrek dan meningkatkan kesejahteraan petani anggrek. Adanya penambahan variabel-variabel yang digunakan untuk penelitian selanjutnya, misalnya variabel intensi dansikap kewirasahaan. Hal ini terkait dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang masih rendah, yang menunjukan bahwa variabel-variabel endogen yang digunakan dalam penelitian ini belum mampu mereprentasikan pengaruh yang kuat terhadap variabel eksogen.
DAFTAR PUSTAKA Acs, Z.J. 2008. Foundations of High Impact Entrepreneurship. The Jena Economic Research Papers. The Friedrich Schiller University and the Max Planck Institute of Economics, Jena, Germany. Asmarani, D.E. 2006. Analisis Pengaruh Perencanaan Strategi Terhadap Kinerja Perusahaan dalam Upaya Menciptakan Keunggulan Bersaing [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Universitas Dipenogoro. Semarang Arumsari. 2000. Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Tingkat Pendapatan Petani Anggrek Dendrobium [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengmbangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. Edisi Kedua. Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 19. Desember 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Bird, M.J. 1996. Entrepreneurial Behaviour. McGraw-Hill Irwin, Singapore. Damayanti, D. 2011. Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Daryanto. 2011. Anggrek RI Tertinggal di Pasar Internasional. Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian. http://www.antaranews.com/print/1144329097/ anggrek-ri-tertinggal-di-pasar-internasional. Diunduh tanggal 20 April 2012 Jam 19.30 WIB. Daryanto, A. 2004. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Identifikasi Komoditas Unggulan dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi Regional. AGRIMEDIA. Vol. 9. No. 2. Manajemen Bisnis-IPB. Bogor. --------------.2010. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Dalam Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. Delmar, Frederic.1996. Entrepreneurial Behavior and Business Performance. Dissertation. Ekonomiska Forknings Institute. Stockholm. Dewi, Sensi. T. 2006. Analisis Pengaruh Orientasi dan Inovasi Produksi terhadap Keunggulan Bersaing untuk Meningkatkan Kinerja Pemasaran. Tesis. Program Studi Magister Manajemen. Universitas Dipenogoro. Semarang. Direktorat Jendral Hortikultura.2011. Strategi Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Hortikultura untuk Ekspor. Makalah Seminar. Kementerian Pertanian. Jakarta. --------------------------------------.2011. Pedoman Umum Pelaksanaan dan Pengembangan Hortikultura Tahun 2012.Kementerian Pertanian. Jakarta. --------------------------------------.2011. Pedoman Integrasi Sistem Pengembangan Industri Anggrek. Kementerian Pertanian. Jakarta. --------------------------------------.2012. Seri Pintar Tanaman Anggrek. Kementerian Pertanian. Jakarta. --------------------------------------.2012. Road Map Anggrek Indonesia. Kementerrian Pertanian. Jakarta.
70
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP). 2011. Pengembangan Kelembagaan dan Jaringan Pemasaran Produk Florikultura Nasional [Makalah]. Kementerian Pertanian. Jakarta. -------------------------------------------------------------------------------------------. 2005. Road Map Pasca Panen dan Pemasran Anggrek 2005-2010. Departemen Pertanian. Jakarta. Dirlanudin. 2010. Perilaku Wirausaha dan Keberdayaan Pengusaha Kecil Industri Agro: Kasus di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ernawati, S. 2007. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Anggrek di DKI Jakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Endres, Anthony and C.R. Woods. 2006. Modern Theories of Entrepreneurial Behavior: A Caomparison and Appraisal. Small Business Economics. Vol 26: 189–202. University of Auckland. New Zealand. Fauzi, Hasmi. A. 2004. Analisis Pengaruh Sikap Kewirausahaan, Orientasi Pasara dan Pembelajaran Organisasional terhadap Kinerja Bisnis. Tesis. Program Studi Magister Manajemen. Universitas Dipenogoro. Semarang. Fogel, Kathy, Ashton Hawk, Randall Morck and Bernard Young. 2005. Institutional Obstacles to Entrepreneurship. Oxford Handbook of Entrepreneurship. Oxford University Press. Furnham, A. 1994. Personality at work (The Role of Individual Differences in The Workplace. Routledge. London. Harijati, Sri. 2007. Potensi dan Pengembangan Kompetensi Agribisnis Petani Berlahan Sempit: Kasus Petani Sayuran di Kota dan Pinggiran Jakarta dan Bandung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hayati, N. Qomariah. 2013. Pengembangan Varietas Baru Anggrek Dendrobium Bunga Potong dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hisrich, R.D. M.P. Peters, and D.A. Sheperd. 2008. Kewirausahaan (Entrepreneurship). Edisi 7. Salemba Empat. Jakarta. Irawan, B., et.al. 2007. Kinerja dan Prospek Pembangunan Hortikultura. Dalam Prosiding Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Kao, Raymond, Kenneth R. Kao and Rowland R. Kao. 2002. Entrepreneurism. Imperial College Press. London. Kartikasari, M.A. 2008. Analisis Daya Saing Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar Internasional [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kasmir. 2006. Kewirausahaan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian. Jakarta. Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU). 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Buku Ajar. KPPU. Jakarta. Komoditas Tanaman Unggulan Banten. http://litbang.bantenprov.go.id/2012/data/ RPJMD%20Provinsi%20Banten%202012-2017.pdf. Diunduh tanggal 10 Februari 2013 jam 21.00 WIB.
71
Krisnamurthi, B. 2001. Agribisnis. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Bogor. Kristanto, H. 2009. Kewirausahaan Pendekatan Manajemen dan Praktik. Graha Ilmu. Yogyakarta. Kuratko, D. 2009. Introduction to Entrepreneurship. Eight Edition. International Student Edition. Canada Mair, J. 2002. Entrepreneurial Behaviour in Large Traditional Firm: Exploring Key Drivers. Research Paper No. 466. Research Division IESE, University of Navarra, Barcelona – Spain. Mustafa, Hasan (2011). Perilaku Manusia dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis. Vol.7, No.2. Center for Business Studies. Fisip. Universitas Parahyangan. Bandung. Padi. 2005. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kinerja Kewirausahaan Petani Ikan [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Pambudy, R., Frans BM Dabukke. 2010. Tantangan dan Agenda Masa Depan Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Indonesia. Dalam Refleksi Agribisnis 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih.IPB Press. Bogor. Pambudy, R. 1999. Paeranan Ilmu Penyuluhan dalam Pengembangan Agribisnis. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Institut Pertanian Bogor. Praag, C. Mirjam. 2005. Successful Entrepreneurship. Edward Elgar. Cheltenham. United Kingdom. Rente, Yohanes. 2010. Pengaruh Budaya Etnis dan Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha Mikro Kecil Agribisnis. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 12, No.2. September 2010: 133-141. Jakarta. Riyanti, B.P. 2003. Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. PT. Grasindo. Jakarta. Sapar. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang KakiLima [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. --------. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya Pada Kompetensi Petani Kakao di Empat Wilayah Sulawesi Selatan [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sarwono dan Sarlito Wirawan. 2004. Teori-Teori Psikologi Sosial. Rajawali Pers. Jakarta. Sentra Produksi Komoditas Unggulan Jawa Barat dan Unggulan Nasional. http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/547. Diunduh tanggal 10 Februari 2013 jam 21.30 WIB. Sinulingga, M.H. 2006. Analisis Manajemen Strategis PT. Anggrek Persada Indah Dalam Menghadapi Bisnis Anggrek Dendrobium. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sloman, J, and Mark Sutcliffe. 2004. Economics for Business. Third Edition. Pearson Education. England. Utami, I.W. 2008. Strategi Pengembangan Agribisnis Anggrek di Bogor [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Welter, Friederike, David Smallbone. 2011. Institutional Perspectives on Entrepreneurial Behavior in Challenging Environments. Journal of Small Business Management. Januari 2011. Vol 1, pg. 107-125. ABI/ INFORM. Global.
72
Wijanto, S.H. 2008. Structural Equation Modelling dengan Lisrel 8.8: Konsep dan Tutorial. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Wijaya, T. 2009. Analisis Structural Equation Modelling Menggunakan AMOS. Penerbit Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Wirasasmita, Yuyun. 2011. Ekonomika Kewirausahaan. Buletin Manajemen Kewirausahaan. Edisi Maret 2011. Hal. 3-5. Fakultas Ekonomi. Universitas Padjadjaran. Bandung. Wirasasmita, Y. 2010. Pengelolaan Inovasi Menuju Keunggulan Kompetitif. Buletin Manajemen Kewirausahaan. Edisi September 2010. Fakultas Ekonomi. Universitas Padjadjaran. Bandung. Zimmerer, T and Norman M. Scarborough. 2008.Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil. Salemba Empat. Jakarta.
LAMPIRAN
74
Lampiran 1. Peta Kabupaten dan Kota Sentra dan Pengembangan Produksi Anggrek di Provinsi Jawa Barat
75
Lampiran 2. Produksi Anggrek di Jawa Barat dalam Satuan Tangkai, Tahun 2012 Kabupaten/ Tahun Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Bogor 540,171 688,175 3,093,879 1,546,334 2,659,782 Sukabumi 48,075 16,610 8,680 1,250 5,150 Cianjur 550,258 3,811 19,522 367 645 Bandung 74,249 227,347 86,929 93,467 66,999 Garut 2,036 5,520 2,259 4,454 12,426 Tasikmalaya 301 0 36 0 0 Ciamis 5,639 12,209 1,332 14,469 9,798 Kuningan 2,162 3,342 1,288 1,806 768 Cirebon 897 1,134 31 1,105 0 Majalengka 0 0 0 0 0 Sumedang 10,288 1,311 1,501 2,811 547 Indramayu 124 323 551 1,646 70 Subang 27,035 5,135 5,895 3,104 1,684 Purwakarta 6,589 14,996 7,573 5,004 4,691 Karawang 150,660 906,032 61,650 2,412 2,805 Bekasi 150 650 2,555 1,410 0 Bandung Barat 0 14,712 15,330 139,410 801,770 Kota Bogor 22,610 46,317 666,766 145,200 151,200 Kota Sukabumi 48,397 1,039 2,611 1,840 968 Kota Bandung 560 330 25,761 17,485 6,700 Kota Cirebon 3,394 1,234 2,337 596 920 Kota Bekasi 5,090 0 1,718 7,840 17,390 Kota Depok 158,482 3,662,323 1,568,967 415,845 337,097 Kota Cimahi 1,023 2,902 4,063 2,612 3,610 Kota Tasik 1,149 106 192 228 415 Kota Banjar 57 2,435 650 1,924 500 Total 1,659,396 5,617,993 5,582,076 2,412,619 4,085,935
76
Lampiran 3. Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan di Jawa Barat Tahun 2012 No. Komoditas
Kabupaten/ Kota
Produksi (tangkai)
Kecamatan Utama
1 Anggrek
Bogor Karawang Cirebon Bandung
1.878.403 553.422 160.950 16.378.091
Cianjur
5.907.463
3 Sedap malam
Sukabumi Bandung Cianjur
2.543.150 5.803.664 1.834.953
4 Mawar
Tasikmalaya Bandung
592.000 4.907.037
Cianjur
324.183
Gunung Sindur Cikampek Sawangan Parompong, Lembang, Cisarua Sukaresmi, Pacet, Cugenang, Cipanasa Nangrak, Cibadak Banjaran, Soreang Warungkondang, Sukaluyu Indihiang Parompong, Lembang, Cisarua Cipanas, Sukaresmi
2 Krisan
77
Lampiran 4. Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan Jawa Barat dan Unggulan Nasional Tahun 2012 No 1
Komoditas Anggrek
Kabupaten/Kota Kota Depok, Bogor, Karawang, Bandung, Kota Bogor
Keterangan Unggulan daerah
2
Krisan
Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi, Bogor
Unggulan daerah
3
Sedap Malam
Bandung Barat, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Bogor
Unggulan daerah
4
Mawar
Bandung Barat, Cianjur, Bogor, Kota Bogor, Kota Depok
Unggulan daerah
5
Gerbera
Bandung Barat, Cianjur, Kota Depok, Kota Bogor
Unggulan daerah
6
Melati
Cirebon, Kota Cirebon
Unggulan daerah
7
Anthurium
Garut, Bandung Barat, Sukabumi
Unggulan daerah
8
Anyelir
Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi
Unggulan daerah
9
Gladiol
Bandung Barat, Cianjur, Kota Bogor, Sukabumi, Bogor
Unggulan daerah
10
Heliconia
Kota Depok, Bogor, Bandung Barat, Kota Bogor
Unggulan daerah
11
Dracaena
Sukabumi, Kota Bogor, Cianjur, Bogor
Unggulan daerah
12
Palem
Karawang, Kota Depok, Bandung Barat, Bekasi, Kota Bogor
Unggulan daerah
78
Lampiran 5. KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PETANI ANGGREK TERHADAP KINERJA USAHA Saya Puspitasari (H451100311) Mahasiswa Program Studi Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, yang sedang melakukan penelitian tentang “Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha.” Lembar kuesioner ini akan digunakan sebagai bahan pengumpulan data dalam penyusunan tesis. Partisipasi Bapak/ Ibu sangat saya harapkan dalam pengisian kuesioner ini secara lengkap dan jujur demi tercapainya hasil yang diinginkan. Masukan dan informasi yang Bapak/ Ibu berikan akan sangat berguna bagi peningkatan pengembangan usaha Anggrek di Indonesia. Terima kasih atas bantuan dan kesediaan meluangkan waktu untuk pengisian kuesioner ini. Screening Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban pilihan Anda 1. Apakah Bapak/ Ibu merupakan pengambil keputusan atau pimpinan dalam menjalankan usaha anggrek? a. Ya
b. Tidak
Jika Ya, mohon lanjut ke pertanyaan selanjutnya; jika Tidak, Bapak/Ibu tidak perlu melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya, terima kasih.
Identitas Responden Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban pilihan Anda 1. N a m a : .................................................................... 2. Jenis Kelamin : [ ] Laki-laki [ ] perempuan 3. Umur : ............ tahun 4. Alamat : ......................................................................................... 5. Status Pernikahan : a. sudah menikah b. belum menikah 6. Jumlah anggota keluarga (suami, istri, anak) : ............... orang 7. Apakah pendidikan terakhir anda : a. SD c. SMU e. Sarjana/ S1 g. Lainnya…………. b. SLTP d. D1/D2/D3 f. Pascasarjana S2/S3 8. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti diklat/pelatihan/training mengenai budidaya/ usaha anggrek? a. Pernah b. Tidak pernah
79
Jika pernah mohon diisi tabel berikut ini : No. Pelatihan Usaha Anggrek Waktu yang pernah diikuti Pelatiham
Lama Pelatihan
Tempat
1. 2. 3. 9.
Apakah usaha anggrek ini merupakan : a. Pekerjaan utama, dengan usaha sampingan sebagai ............................... b. Pekerjaan sampingan, dengan usaha utama sebagai ...............................
10. Pendapatan anda perbulan dari usaha anggrek a. < Rp. 1.000.000,b. Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 2.000.000,c. Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 3.000.000,d. Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 4.000.000,e. Rp. 4.000.000,- s/d Rp. 5.000.000,f. > Rp. 5.000.000 11. Pendapatan anda perbulan diluar usaha tani a. b. c. d. e. f. 12. 13. 14. 15.
< Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 4.000.000,- s/d Rp. 5.000.000
Rp. 2.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 4.000.000,Rp. 5.000.000,-
Status lahan : a. milik b. sewa c. milik dan sewa Luas lahan yang digarap (untuk tanaman anggrek) : ................... m2 Jumlah tenaga kerja/ pegawai : ……………. Orang Jenis Anggrek yang diproduksi oleh Bapak/Ibu : a. …………………………………. d. ………………………………….. b. …………………………………. e. ………………………………….. c. …………………………………. f. …………………………………...
16. Produksi : a. Anggrek………………. pot/bulan b. Anggrek potong……… tangkai/bulan Gambaran Pengusaha Anggrek 1. 2. 3.
Sudah berapa lama Bapak/Ibu menekuni usaha ini? ……………. Tahun Berapa jam Bapak/Ibu bekerja dalam sehari untuk menjalankan usaha Anggrek ini? …… Apakah yang mendorong Bapak/ Ibu melakukan usaha ini? (dapat memilih lebih dari satu jawaban) a. Usaha turun temurun d. Tidak punya pilihan lain b. Diajak Keluarga/ Teman/ Instansi e. Lainnya…………………………
80
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
12. 13.
c. Usaha ini menguntungkan ………………………… Manfaat apakah yang Bapak/ Ibu peroleh dari usaha ini? (dapat memilih lebih dari satu jawaban, mohon diurutkan) a. Sumber pendapatan utama keluarga (…) b. Sebagai tambahan pendapatan (….) c. Usaha ini memiliki prospek yang baik (.....) d. Lainnya……………………………… (….) Menurut pendapat Bapak/ Ibu adakah masalah yang dihadapi dalam menjalankan usaha ini? a. Tidak ada b. Kadang-kadang, masalahnya …………………………………………… c. Sering, masalahnya……………………………..………….…………… Menurut pendapat Bapak/Ibu bagaimanakah tingkat kesulitan dalam menjalankan usaha ini? a. Sangat Tidak sulit c. Cukup Sulit e. Sangat Sulit b. Tidak sulit d. Sulit Modal usaha anggrek saat ini didapatkan dari : (dapat memilih lebih dari satu jawaban, mohon diurutkan) a. Pribadi (….) d. Bantuan Pemerintah (missal: KUT) (….) b. Patungan (….) e. Lainnya …………………………… (….) c. Bank Pemerintah/Swasta (….) Apakah Bapak/Ibu memiliki sumber daya manusia (pegawai) yang memadai (jumlah pegawai sesuai dengan kebutuhan dan terampil)? a. Sangat tidak memadai, mengapa …………………………………………. b. Tidak memadai, mengapa ………………………………………………… c. Cukup memadai, mengapa ………………………………………………... d. Memadai, mengapa ……………………………………………………….. e. Sangat memadai, mengapa ……………………………………………….. Apakah Bapak/Ibu selalu menyisihkan hasil usahanya untuk tambahan modal? a. Tidak pernah b. Sekali-kali c. Sering d. Selalu Dalam menjalankan usaha ini selalu berkomunikasi dengan petani anggrek lainnya dalam menghadapi tantangan usaha. a. Tidak pernah b. Sekali-kali c. Sering d. Selalu Dalam menjalankan usaha ini selalu berusaha menggali informasi terbaru mengenai usaha budidaya atau bisinis anggrek. a. Tidak pernah b. Sekali-kali c. Sering d. Selalu Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti ajang promosi/ pameran anggrek a. Tidak pernah b. Sekali-kali c. Sering d. Selalu Dukungan pemerintah yang paling dibutuhkan oleh Bapak/Ibu dalam menjalankan usaha anggrek ini adalah berupa (dapat memilih lebih dari satu jawaban, mohon diurutkan) a. Bantuan permodalan/pinjaman lunak (…..) b. Bantuan benih bermutu, pupuk dan pestisida (…..) c. Adanya kebaruan dan ketersediaan bibit unggulan bermutu dan media tanam (…..) d. Pendidikan dan pelatihan tentang budidaya anggrek (…..) e. Pendidikan dan pelatihan tentang bisnis anggrek (…..) f. Bantuan promosi dan pemasaran (…..)
81
g. Kemudahan dalam perijinan usaha dan pajak (…..) h. Lainnya ………………………………………………………………(…..) Faktor Internal Pengusaha Anggrek (Skala Likert)
1.
No.
Pertanyaan
1.
Saya memiliki modal usaha (biaya) yang memadai
2.
Saya memiliki sarana/ prasarana produksi (rumah lindung, sumber air dengan instalasinya, jalan untuk perawatan, sprayer, dan peralatan pertanian lainnya ) yang sudah memadai Saya ingin menjadi Petani/ wirausaha anggrek yang sukses Saya mempunyai keyakinan akan keberhasilan usaha anggrek ini. Saya berniat ingin terus berusahatani anggrek
3.
4.
5.
2.
Sangat tidak setuju 1
Tidak setuju
Netral
Setuju
Sangat setuju
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Netral
Setuju
Sangat setuju
Faktor Eksternal Pengusaha Anggrek (Skala Likert)
No. 1.
2.
3.
4.
Pertanyaan Bahan input/ sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida, media tanam, dll) untuk menjalankan usaha ini mudah didapatkan Dukungan pemerintah dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan sudah memadai Dukungan pemerintah dalam pengadaan modal dan sarana produksi sudah memadai Dukungan pemerintah dalam promosi dan pemasaran sudah memadai
Sangat tidak setuju 1
Tidak setuju 2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
82
No.
Pertanyaan
5.
Dukungan pemerintah dalam regulasi usaha (ijin, pajak, karantina) sudah memadai. Diantara pengusaha anggrek memiliki sikap saling membantu dalam menjalankan usahanya Informasi pasar mudah didapatkan
6.
7.
3.
Pertanyaan
1.
Usaha anggrek ini memerlukan ketekunan berusaha/ kerja keras. Saya selalu mencari peluang dalam pengembangan usaha anggrek Saya mampu berinovasi atau berkreasi dalam proses budidaya anggrek, menghasilkan anggrek jenis baru dan pemasaran anggrek. Saya berani mengambil risiko atas usaha anggrek sedang yang dijalankan Saya bersikap mandiri dalam menjalankan dan mengembangkan usaha anggrek
3.
4.
5.
4.
Tidak setuju
Netral
Setuju
Sangat setuju
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Perilaku Kewirausahaan Pengusaha Anggrek (Skala Likert)
No.
2.
Sangat tidak setuju 1
Sangat tidak setuju 1
Tidak setuju
Netral
Setuju
Sangat setuju
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Tidak setuju
Netral
Setuju
Sangat setuju
2
3
4
5
Kinerja Pengusaha Anggrek (Skala Likert)
No.
Pertanyaan
1.
Wilayah pemasaran anggrek Bapak/ Ibu semakin meningkat
Sangat tidak setuju 1
83
No.
Pertanyaan
2.
Pendapatan (keuntungan) dari usaha anggrek ini semakin mengalami peningkatan Produk anggrek Bapak/ Ibu lebih diminati dibandingkan dengan produk dari pengusaha anggrek lainnya
3.
Sangat tidak setuju 1
1
Tidak setuju
Netral
Setuju
Sangat setuju
2
3
4
5
2
3
4
5
------ TERIMA KASIH ------
84
Lampiran 6. Model Struktural Awal Sebelum Respesifikasi Estimasi Loading Factors
0.77 0.90 0.74 0.78 0.79 0.2 9
PENGALA M PENDIDI K SKALAUS A SARANAP R MODA L MOTIVAS I
0.2 9
0.17 0.06 0.43 0.19 0.27 0.70 0.70 0.71
0.66 0.36 0.31 -0.16 0.71 0.33 0.220.51 -0.15 0.28 0.03 -0.09 0.000.50 -0.10 -0.10 0.56 0.55
INTENSI W KETERSE D PENYULU H MODALDA N
0.40
TANGGAPT
0.30
MAMPUBER
0.48
-0.05 0.60 0.69
INTERNAL€
PK
0.62
0.51
-0.00
0.67 -0.13
PERSEPS I
0.2 9
TEKUNBER
0.55
0.52
-0.08
BERANIME
0.34 0.01
BERSIKAP
0.44
PANGSAPA
0.13
PENINGKA
0.43-0.16
KEUNGGUL
0.50
0.13 0.41 0.65 0.42 0.60 0.58 0.50 0.49
EKSTERNA€
KU
0.40
-0.04
0.77 0.57 0.49
0.01
PROMOSI D
0.02
REGULAS I KEKOMPA K AKSESTE
R Chi-Square=347.90, df=207, P-value=0.00000, RMSEA=0.077
T-value 6.1 3 8.0 2 7.1 8 7.5 4 7.4 7 3.4 1 3.4 1 3.4 1 5.2 4 2.1 - 2.03 7 3.6 1.43 2.18 4 2.5 1.5 5 2.01 - 0.2 1.01 6 3.7 - 60.0 0.59 8 -2 0.69 4.2 0.70 8 2.7 6
PENGALA M
TEKUNBER
PENDIDI K SKALAUS A SARANAP R MODAL
MOTIVAS I PERSEPS I INTENSI W KETERSE D PENYULU H MODALDA N PROMOSI D
2.6 9 0.9 2 6.7 2 2.7 8 3.8 0 9.7 5 9.9 5 12.1 7
5.3 9 6.5 7 2.4 4 4.3 1 6.7 4 5.5 5 3.2 5
INTERNAL€
2.04
EKSTERNA€
PK
7.8 3
4.9 2
7.5 1
8.7 6 7.0 6 6.6 8 11.1 2 7.3 1
KU
REGULAS I KEKOMPA K AKSESTE R
Chi-Square=347.90, df=207, P-value=0.00000, RMSEA=0.077
Lampiran 7. Hasil Hasil Pengolahan Data dengan Lisrel 8.30
TANGGAPT
MAMPUBER
BERANIME
BERSIKAP 10.0 3 6.6 4 6.9 4
PANGSAPA
PENINGKA
KEUNGGUL
3.3 5 0.49 1.8 8 0.02 3.8 4 0.71 2.9 0.1 4 4 1.3 5 3.9 8 0.39 0.9 3
0.1 1 3.0 1 1.66 0.1 6 4.6 8
85
DATE: 1/15/2013 TIME: 1:27
L I S R E L 8.30
BY
Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Chicago, IL 60646-1704, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-99 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com
The following lines were read from file H:\SEM115\SEMSR.SPJ:
Analisis Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha Analisis Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha Observed Variables UMUR PENGALAM PENDIDIK SKALAUSA SARANAPR MODAL MOTIVASI PERSEPSI INTENSIW TEKUNBER
86
KETERSED PENYULUH MODALDAN PROMOSID REGULASI KEKOMPAK AKSESTER TANGGAPT MAMPUBER BERANIME BERSIKAP PANGSAPA PENINGKA KEUNGGUL Covariance Matrix From File H:\SEM115\SEMSR.COV Sample Size = 115 Latent Variables PK
'KU
L' INTERNAL EKSTERNA
Relationships TEKUNBER = PK TANGGAPT = PK MAMPUBER = PK BERANIME = PK BERSIKAP = PK PANGSAPA = 'KU
L'
PENINGKA = 'KU
L'
KEUNGGUL = 'KU
L'
SKALAUSA = INTERNAL MOTIVASI = INTERNAL PERSEPSI = INTERNAL INTENSIW = INTERNAL KETERSED = EKSTERNA PENYULUH = EKSTERNA MODALDAN = EKSTERNA PROMOSID = EKSTERNA REGULASI = EKSTERNA KEKOMPAK = EKSTERNA AKSESTER = EKSTERNA 'KU
L' = PK
PK
= INTERNAL EKSTERNA
'KU
L' = EKSTERNA
87
Set the Variance of INTERNAL to 1.00 Set the Variance of EKSTERNA to 1.00 Set the Error Variance of PK
to 0.71
Set the Error Variance of 'KU
L' to 0.66
Set the Error Covariance of TANGGAPT and TEKUNBER Free Set the Error Covariance of MAMPUBER and TANGGAPT Free Set the Error Covariance of BERSIKAP and TANGGAPT Free Set the Error Covariance of BERSIKAP and MAMPUBER Free Set the Error Covariance of PANGSAPA and MAMPUBER Free Set the Error Covariance of PENINGKA and MAMPUBER Free Set the Error Covariance of PENINGKA and PANGSAPA Free Set the Error Covariance of KEUNGGUL and PANGSAPA Free Set the Error Covariance of KEUNGGUL and PENINGKA Free Set the Error Covariance of MODALDAN and PENYULUH Free Set the Error Covariance of PROMOSID and KETERSED Free Set the Error Covariance of PROMOSID and MODALDAN Free Set the Error Covariance of REGULASI and MODALDAN Free Set the Error Covariance of REGULASI and PROMOSID Free Set the Error Covariance of KEKOMPAK and MODALDAN Free Set the Error Covariance of KEKOMPAK and PROMOSID Free Set the Error Covariance of AKSESTER and PENYULUH Free Set the Error Covariance of AKSESTER and MODALDAN Free Set the Error Covariance of AKSESTER and PROMOSID Free Set the Error Covariance of AKSESTER and REGULASI Free Set the Error Variance of PERSEPSI and the Error Variance of MOTIVASI Equal Set the Error Variance of INTENSIW and the Error Variance of MOTIVASI Equal Set the Error Variance of INTENSIW and the Error Variance of PERSEPSI Equal Path Diagram
88
Iterations = 250 Method of Estimation: Unweighted Least Squares End of Problem
Sample Size = 115
Analisis Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha
Covariance Matrix to be Analyzed
TEKUNBER TANGGAPT MAMPUBER BERANIME BERSIKAP PANGSAPA -------- -------- -------- -------- -------- -------TEKUNBER
0.80
TANGGAPT
0.40
MAMPUBER BERANIME BERSIKAP
0.43 0.44 0.37
0.82 0.38 0.46 0.31
0.77 0.38 0.31
0.84 0.51
0.73
PANGSAPA
0.20
0.35
0.35
0.32
0.16
0.79
PENINGKA
0.22
0.22
0.13
0.25
0.16
0.50
KEUNGGUL
0.12
0.16
0.06
0.09
0.03
0.26
SKALAUSA
0.07
0.14
0.01
0.22
0.10
0.14
MOTIVASI
0.24
0.31
0.15
0.28
0.20
0.15
PERSEPSI
0.27
0.34
0.25
0.27
0.15
0.27
INTENSIW
0.17
0.31
0.20
0.22
0.19
0.22
KETERSED
-0.04
0.10
0.04
0.09
0.00
0.15
-0.03
-0.17
PENYULUH MODALDAN PROMOSID
-0.26 -0.08 -0.10
0.11 0.16
0.02 0.03
-0.08 -0.03 0.01
-0.14 -0.09 -0.05
0.03 0.07 0.10
89
REGULASI KEKOMPAK AKSESTER
-0.12 -0.17 0.06
0.10 -0.03 0.08
-0.05
-0.08
-0.16
-0.04
0.18
0.09
-0.18 -0.08 0.11
0.10 0.19 0.32
Covariance Matrix to be Analyzed
PENINGKA KEUNGGUL SKALAUSA MOTIVASI PERSEPSI INTENSIW -------- -------- -------- -------- -------- -------PENINGKA KEUNGGUL
0.79 0.33
0.76
SKALAUSA
0.09
0.10
0.92
MOTIVASI
0.20
0.21
0.36
PERSEPSI
0.20
0.11
0.27
0.79 0.48
0.77
INTENSIW
0.16
0.14
0.37
0.51
0.56
0.79
KETERSED
0.17
0.16
0.03
0.18
0.11
0.14
PENYULUH
-0.01
MODALDAN PROMOSID REGULASI KEKOMPAK AKSESTER
0.00 0.01 -0.09 0.16 0.27
0.01 0.07 0.21 0.25 0.19 0.17
-0.05 -0.04 -0.15 -0.09 0.05 -0.03
0.08 0.12 0.04 0.01 0.05 0.15
-0.01 0.02 -0.07 0.00 -0.01 0.01
0.06 0.05 0.00 0.06 0.01 0.13
Covariance Matrix to be Analyzed
KETERSED PENYULUH MODALDAN PROMOSID REGULASI KEKOMPAK -------- -------- -------- -------- -------- -------KETERSED PENYULUH
0.82 0.26
0.79
90
MODALDAN PROMOSID REGULASI KEKOMPAK AKSESTER
0.24 0.08 0.17
0.46 0.45
0.19 0.15
0.58
0.30 0.18
0.88 0.58 0.46 0.24 0.12
0.88 0.63
0.83
0.30 0.20
0.30 0.19
0.80 0.16
Covariance Matrix to be Analyzed
AKSESTER -------AKSESTER
0.79
Analisis Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek Terhadap Kinerja Usaha Number of Iterations = 39 LISREL Estimates (Unweighted Least Squares)
TEKUNBER = 0.63*PK, Errorvar.= 0.38 , R² = 0.52 (0.072)
(0.12)
8.79
3.28
TANGGAPT = 0.70*PK, Errorvar.= 0.31 , R² = 0.62 (0.10)
(0.17)
7.02
1.81
MAMPUBER = 0.53*PK, Errorvar.= 0.48 , R² = 0.37 (0.079)
(0.13)
6.67
3.60
91
BERANIME = 0.70*PK, Errorvar.= 0.33 , R² = 0.61 (0.065)
(0.11)
10.86
2.95
BERSIKAP = 0.55*PK, Errorvar.= 0.42 , R² = 0.42 (0.070)
(0.11)
7.82
3.86
PANGSAPA = 0.78*KU L, Errorvar.= 0.14 , R² = 0.83 (0.079)
(0.14)
9.81
1.00
PENINGKA = 0.58*KU L, Errorvar.= 0.42 , R² = 0.47 (0.094)
(0.16)
6.19
2.65
KEUNGGUL = 0.48*KU L, Errorvar.= 0.51 , R² = 0.33 (0.070)
(0.12)
6.86
4.45
SKALAUSA = 0.42*INTERNAL, Errorvar.= 0.75 , R² = 0.19 (0.066)
(0.11)
6.35
6.53
MOTIVASI = 0.73*INTERNAL, Errorvar.= 0.25 , R² = 0.68 (0.065)
(0.090)
11.16
2.78
92
PERSEPSI = 0.73*INTERNAL, Errorvar.= 0.25 , R² = 0.68 (0.063)
(0.090)
11.47
2.78
INTENSIW = 0.74*INTERNAL, Errorvar.= 0.25 , R² = 0.68 (0.067)
(0.090)
10.91
2.78
KETERSED = 0.42*EKSTERNA, Errorvar.= 0.65 , R² = 0.21 (0.077)
(0.13)
5.39
5.12
PENYULUH = 0.66*EKSTERNA, Errorvar.= 0.36 , R² = 0.55 (0.086)
(0.15)
7.67
2.42
MODALDAN = 0.42*EKSTERNA, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.20 (0.15)
(0.18)
2.71
4.06
PROMOSID = 0.57*EKSTERNA, Errorvar.= 0.55 , R² = 0.38 (0.099)
(0.14)
5.77
3.87
REGULASI = 0.56*EKSTERNA, Errorvar.= 0.52 , R² = 0.38 (0.085)
(0.14)
6.62
3.65
93
KEKOMPAK = 0.49*EKSTERNA, Errorvar.= 0.56 , R² = 0.30 (0.097)
(0.13)
5.09
4.20
AKSESTER = 0.50*EKSTERNA, Errorvar.= 0.54 , R² = 0.32 (0.14)
(0.18)
3.64
2.91
Error Covariance for TANGGAPT and TEKUNBER = -0.05 (0.11) -0.48 Error Covariance for MAMPUBER and TANGGAPT = 0.0030 (0.12) 0.026 Error Covariance for BERSIKAP and TANGGAPT = -0.08 (0.11) -0.75 Error Covariance for BERSIKAP and MAMPUBER = 0.0069 (0.10) 0.067 Error Covariance for PANGSAPA and MAMPUBER = 0.14 (0.096) 1.42 Error Covariance for PENINGKA and MAMPUBER = -0.03 (0.096) -0.36 Error Covariance for PENINGKA and PANGSAPA = 0.0074
94
(0.099) 0.075 Error Covariance for KEUNGGUL and PANGSAPA = -0.15 (0.098) -1.48 Error Covariance for KEUNGGUL and PENINGKA = 0.022 (0.098) 0.22 Error Covariance for MODALDAN and PENYULUH = 0.31 (0.13) 2.31 Error Covariance for PROMOSID and KETERSED = -0.16 (0.10) -1.53 Error Covariance for PROMOSID and MODALDAN = 0.34 (0.14) 2.35 Error Covariance for REGULASI and MODALDAN = 0.23 (0.13) 1.68 Error Covariance for REGULASI and PROMOSID = 0.31 (0.11) 2.67 Error Covariance for KEKOMPAK and MODALDAN = 0.034 (0.12) 0.28 Error Covariance for KEKOMPAK and PROMOSID = 0.019 (0.11)
95
0.17 Error Covariance for AKSESTER and PENYULUH = -0.15 (0.14) -1.07 Error Covariance for AKSESTER and MODALDAN = -0.09 (0.14) -0.64 Error Covariance for AKSESTER and PROMOSID = -0.09 (0.12) -0.79 Error Covariance for AKSESTER and REGULASI = -0.10 (0.13) -0.75
PK = 0.56*INTERNAL - 0.15*EKSTERNA, Errorvar.= 0.71, R² = 0.31 (0.075) 7.38
(0.058) -2.58
KU L = 0.55*PK + 0.40*EKSTERNA, Errorvar.= 0.66, R² = 0.40 (0.081) (0.083) 6.79
4.85
Correlation Matrix of Independent Variables
INTERNAL EKSTERNA -------- -------INTERNAL
1.00
96
EKSTERNA
0.11
1.00
(0.05) 2.18
Covariance Matrix of Latent Variables
PK
KU L INTERNAL EKSTERNA
-------- -------- -------- -------PK
1.02
KU L
0.53
1.09
INTERNAL
0.54
0.34
1.00
EKSTERNA
-0.09
0.35
0.11
1.00
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 129 Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 157.34 (P = 0.046) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 28.34 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.68 ; 64.18)
Minimum Fit Function Value = 0.98 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.25 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0060 ; 0.56) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.044 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0068 ; 0.066) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.65
97
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.45 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.21 ; 2.76) ECVI for Saturated Model = 3.33 ECVI for Independence Model = 13.71
Chi-Square for Independence Model with 171 Degrees of Freedom = 1524.68 Independence AIC = 1562.68 Model AIC = 279.34 Saturated AIC = 380.00 Independence CAIC = 1633.83 Model CAIC = 507.78 Saturated CAIC = 1091.54
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.072 Standardized RMR = 0.089 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.90 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.63
Normed Fit Index (NFI) = 0.93 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.02 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.70 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.01 Relative Fit Index (RFI) = 0.90
Critical N (CN) = 173.15
98
The Modification Indices Suggest to Add the Path to from
Decrease in Chi-Square New Estimate
TANGGAPT KU L
8.5
0.40
KETERSED INTERNAL
7.9
0.18
AKSESTER INTERNAL
9.8
0.21
The Problem used 65872 Bytes (= 0.1% of Available Workspace)
Time used: 0.717 Seconds
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 17 September 1978, dari ayah Ir. H. Dody Hidayat dan ibu Hj. Haryati. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta, dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2010 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis melalui beasiswa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Pada Desember tahun 2003 penulis menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan sebagai Peneliti di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, dibawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Pada Juni 2006 hingga sekarang penulis di tempatkan di Bagian Tata Usaha, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura di Jakarta.