BioSMART Volume 5, Nomor 1 Halaman: 67-71
ISSN: 1411-321X April 2003
Pengaruh Penggunaan Bio-Starter EM-4 terhadap Kualitas Kompos Sampah Organik Kota Surakarta The effect of bio-starter EM-4 application on the quality of organic-waste compost in Surakarta EKO MURNIYANTO, MUHAMMAD ALHAN Politeknik Pratama Mulia, Surakarta 57143 Diterima: 19 Nopember 2001. Disetujui: 19 Desember 2002
ABSTRACT The purpose of the research was to study the effect of bio-starter EM-4 against the quality of the organic waste compost especially for the content of C, N, C/N ratio, and polyphenol. Completely randomized design (CRD) of the factorial 2 × 7 in triplicate was used in this study. The first factor considered was two level of bio-starter namely EM-4 and without EM-4, and the second factor was the kind of waste, by using 7 levels namely stem, branch, the mate fruits, skin fruits, seed, leaf and waste product. The result indicated that there was not any direct influence of certain bio-starter against the change of compost weight, although the decreasing the compost weight and the relative ratio C/N during 10 weeks processing generally occurred. Keyword: organic waste, compost quality.
PENDAHULUAN Masalah sampah tidak perlu terjadi manakala sistem pengelolaan dilakukan secara menyeluruh. Sumber, jumlah macam bahan dan teknik pengolahan merupakan satu sub sistem yang dapat diketahui atau diperhitungkan. Penduduk sebagai sub sistem lain berpengaruh terhadap jumlah sampah. Kepadatan penduduk dan aktifitas yang dilakukan membawa konsekuensi terhadap limbah terutama sampah. Produksi sampah di Jakarta sebanyak 30.552 m3, Bandung 6890 m3 dan Sleman 1529 m3 setiap hari (Sahwan, 1999). Penanganan sampah dapat dilakukan secara tepat manakala diketahui jumlah dan mutunya sejak dari sumber hingga tempat “pemusnahan”. Sutanto (1999) telah merancang teknologi pemusnahan sampah dengan metode sanitary land fill. Metode ini efektif jika sampah segera dibenam di dalam tanah. Namun jika kemampuan daya tampung dibanding volume sampah serta peralatan pembenaman tidak seimbang, sampah akan mengakibatkan pengaruh negatif. Pembenaman sampah menimbulkan pelindian yang dapat mengkontaminasi air tanah pada daerah bawah (Murniyanto dan Sugiyarto 2002). Cara lain dalam penanganan sampah seperti pengomposan telah banyak dilakukan (Sahwan, 1999). Kurangnya pemahaman kualitas sampah dan proses pengomposan menyebabkan kompos yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan. Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) senyawa organik yang ada dalam bahan. Perombakan menyangkut tiga hal yang berlangsung secara bersamaan, yaitu: (i) pematahan fisik oleh biota dan atau abiotik (comminution process), (ii) pelumatan bahan dan penyederhanaan senyawa kompleks secara enzimatis
(catabolism process), dan (iii) pencucian bahan terlarut dalam air (hydrolysis) (Cadish dan Ehaliotis, 1996). Biostarter in-situ dapat meningkatkan kerja perombakan. Bakteri selulolitik jerami yang dibiakkan bersama Azotobacter dan Azospirillum secara sinergis mempercepat laju dekomposisi jerami padi (Ekawati, 1999). Di samping biota, kualitas bahan dan keadaan lingkungan juga berpengaruh terhadap laju perombakan. Kadar lignin, nisbah lignin-nitrogen, polifenol, dan tanin di dalam bahan mempengaruhi aktivitas dekomposer (Cadish dan Ehaliotis, 1996), demikian pula cahaya, suhu, kelembaban, ketersediaan oksigen dan air. Adanya air ber-suhu 25oC, pada kedalaman 70-108 cm selama 13 minggu mengakibatkan laju perombakan bahan organik sebesar y = 2,2 + 5,5 x (Mg NO3/g tanah), namun air yang berlebih menyebabkan perombakan berlangsung secara anaerob, sehingga lambat (Casman dan Manns, 1980 dalam Amelung et al., 1997). Produk biostarter sintetik dari perusahaan dapat dimanfaatkan untuk pengomposan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peran bio-starter EM-4 (Effective Microorganism-4) terhadap kualitas kompos sampah organik kota Surakarta pada kandungan C, N, nisbah C/N dan polifenol. BAHAN DAN METODE Sampel sampah ditetapkan secara purposive dari Pasar Legi, Harjodaksino, Kleco, tempat pembuangan akhir (TPA) Putri Cempo, dan sampah rumah tangga, masingmasing sebanyak satu meter kubik sampah diambil pada hari Minggu, Rabu, dan Jumat. © 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 67-71
68
Sampah organik dipisahkan dari sampah bukan organik, selanjutnya sampah organik dipilah lagi menjadi (i) kulit, (ii) daun, (iii) daging buah, (iv) biji, (v) batang/bonggol, (vi) ranting dan (vii) lainnya (daging; limbah olahan). Selanjutnya masing-masing golongan sampah organik sebanyak 1 kg diambil dan dirajang sepanjang kurang lebih 4 cm untuk bahan kompos. Pengomposan dilakukan dengan metode bak terbuka (open windrow) pada suhu kamar. Kelembaban harian diatur secara konstan pada kisaran 70% dengan penambahan air. Komposisi kimia kompos yang diukur meliputi kadar C, N, nisbah C/N, dan polifenol. Penelitian menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial 2 x 7 dengan tiga ulangan. Faktor pertama jenis bio-starter dengan dua aras yaitu menggunakan EM-4 (Efektif Microorganism-4) dan tanpa EM-4. Faktor kedua, jenis sampah dengan tujuh aras yaitu batang, ranting, daging buah, kulit buah, biji, daun dan limbah olahan. Variabel pengamatan meliputi bobot, kadar C, N, nisbah C/N pada 0, 4, 6, 8 dan 10 minggu, serta polifenol pada awal dan akhir pengomposan. Bobot kompos dianalisa dengan cara penimbangan, kadar C ditentukan dengan metode Walkey-Black, kadar N ditentukan dengan metode Kjeldhal dan kadar polifenol ditentukan dengan metode Folin-Denis (Anderson dan Ingram, 1993). Uji ini dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
TPA dan dibongkar, sampah akan dipilih-pilih oleh pemulung, sebagian sampah organik segar dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi milik pemulung dan masyarakat sekitar, sedangkan sisanya diratakan sehingga secara alami mengalami proses pelindian yang dapat dilihat secara visual, sehingga merangsang kehidupan lalat, nyamuk dan menimbulkan bau tidak sedap. Keadaan ini telah disadari oleh pengelola dan telah diupayakan untuk mengatasinya, namun volume sampah yang terus meningkat dan daya tampung TPA yang terbatas (13 ha), menyebabkan upaya tersebut kurang efektif, sehingga perlu ditemukan cara penanganan yang lebih efektif untuk jangka panjang. Komposisi sampah organik Kenyataan meningkatnya volume sampah organik (Tabel 1), mengindikasikan adanya peningkatan pola konsumsi masyarakat terutama jenis makanan berupa daun atau menggunakan komponen daun. Komposisi sampah organik jenis daun memiliki jumlah paling besar dibanding lainnya, sedangkan jumlah terendah berupa lemak yang bersumber dari limbah daging dan tempe (Tabel 2). Bijibijian menduduki urutan kedua, jika dapat dimanfaatkan sebagai bibit melalui pesemaian boleh jadi digunakan untuk penghijauan lahan-lahan kritis atau terancam kritis, mengingat biji yang terbuang terutama berupa tanaman buah-buahan (Tabel 3). Tabel 2. Komposisi sampah organik kota Surakarta tahun 2001.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi, komposisi dan penanganan sampah Selama tahun 1999-2000, terjadi peningkatan volume sampah yang ditampung di TPA Putri Cempo, yakni sebesar 217 ton per hari pada tahun 1999 menjadi 250 ton per hari pada tahun 2000 (DKP, 2000). Diduga total volume sampah kota Surakarta masih lebih besar dari jumlah tersebut, karena adanya pemusnahan sendiri oleh masyarakat dengan cara membakar, membenam atau pemanfaatan oleh pemulung, meskipun arus penanganan sampah telah ditetapkan yaitu sumber Æ tempat penampungan sementara (TPS) Æ tempat penampungan akhir (TPA). Peningkatan volume sampah tersebut diikuti perubahan komposisinya (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi sampah kota Surakarta. Persentase (Tahun) 1999 2000 77,43 64,10 Organik 1 12,71 17,20 Karton/kertas 2 4,14 10,31 Plastik 3 – 1,16 Kaca/gelas 4 2,71 0,90 Logam 5 2,01 6,33 Lainnya 6 Sumber: DKP (2000) dan analisis data primer. No
Jenis
Penanganan teknis sampah pada TPA Putri Cempo sebenarnya direncanakan dengan sistem sanitary landfill, namun karena rusaknya alat-alat berat, maka penanganan sampah berubah menjadi hamparan terbuka (open dumping). Dalam keadaan ini, pada saat sampah masuk
No
Jenis
1 2 3 4 5 6 7
Batang Ranting Daging buah Kulit buah Biji Daun Lainnya
Persentase (sumber) Rumah tangga Pasar/lain 7,93 26,63 2,59 9,81 6,97 14,02 8,89 15,42 16,14 0,01 57,45 26,17 0,03 7,94
Tabel 3. Macam-macam bahan asal sampah organik. Macam
No
Jenis
1.
Batang
Rumah tangga Pisang, bayam
2.
Ranting
Jambu, tanaman hias
3.
Daging buah
4.
Kulit buah
5. 6.
Biji Daun
Lombok,brambang, wortel, sukun, timun, pisang, salak Brambang, bawang, nangka, lamtoro, jeruk, pisang, petai Mangga Jati, dadap, pisang, kobis
7.
Lainnya
Tahu, tempe
Pasar/lain Jagung, petsai, kangkung, pisang Jahe, laos, ubi kayu, pisang, jeruk, kentang Jagung, jeruk, pisang, pepaya, keluwih Mangga, kelapa, kedondong Mangga Jati, dadap, pisang, kobis, mangga, tanaman hias Daging
Jenis sampah daun dapat bersumber dari limbah sayuran, pembungkus makanan, dan seresah tanaman pekarangan. Komposisi sampah daun yang sangat tinggi menimbulkan kesempatan bagi pemulung dan masyarakat di sekitar TPA Putri Cempo untuk menjadikannya sebagai
MURNIYANTO dan ALHAN – Sampah Kota Surakarta
pakan ternak sapi. Di satu sisi, sistem peternakan ini sangat menguntungkan karena terjadi penekanan biaya pakan dan laju pertumbuhan ternak yang tinggi akibat ketersediaan pakan yang melimpah, namun perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya residu toksin yang merugikan konsumen di dalam daging ternak, karena sumber pakan berupa limbah dan ditangani secara terbuka.
69
kulit buah, daun, daging buah dan batang/ranting. Biji merupakan komponen tanaman yang berfungsi sebagai gudang penyimpan hasil fotosintesis, sedangkan kulit buah berfungsi sebagai pelindung, tersusun dari tannin, lilin dan asesoris yang sulit dirombak. Batang dan ranting tanaman hortikultura kelompok berair, memiliki laju perombakan lebih tinggi dibanding kelompok lain.
Kualitas sampah organik Pengetahuan mengenai kualitas sampah merupakan langkah awal yang diperlukan untuk menangani sampah secara tepat. Dengan diketahuinya kualitas sampah, upaya pengolahannya menjadi kompos dapat ditetapkan. Komposisi senyawa organik yang menentukan kualitas sampah meliputi C, N, pilifenol dan lignin (Handayanto et al., 1994). Kualitas sampah organik sebelum pengomposan disajikan dalam Tabel 4.
Efektifitas bio-starter EM-4 Dalam penelitian ini, perlakuan EM-4 tidak menunjukkan pengaruh yang berarti terhadap laju perombakan sampah. Beberapa penyebabnya diperkirakan adalah: Pertama, efektivitas EM-4 sudah menurun mengingat telah dibuka sebelumnya dan disimpan pada suhu kamar. Kedua, terjadi kompetisi mikroorganisme yang berasal dari EM-4 dengan mikroorganisme ikutan dari bahan (sampah), mengingat tidak dilakukan sterilisasi terhadap bahan awal. Ketiga, setiap bahan dan keadaan lingkungan membentuk Tabel 4. Kualitas sampah organik sebelum pengomposan. jenis mikroorganisme tertentu. Keempat, peran enzim, baik yang terbentuk secara situasional maupun aktivitas Persentase mikroorganisme, mempengaruhi laju perombakan bahan. No Jenis C-org N-tot C/N Polifenol Kelima, peningkatan suhu selama proses pengomposan 2,64 27,00 2,29 60,91 Batang 1 akan menekan pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas 2,43 30,00 2,00 59,76 Ranting 2 perombakan sampah. 1,97 34,00 1,83 61,84 Daging buah 3 Menurut Sahwan (1999), pengomposan sampah kota 2,85 35,00 1,89 66,66 Kulit buah 4 dapat meningkatkan suhu hingga di atas 70°C, sementara * 41,00 2,07 96,74 Biji 5 untuk bakteri termofilik pada suhu tersebut aktivitasnya 4,06 33,00 2,05 67,46 Daun 6 1,27 16,00 5,48 89,13 Lainnya 7 mulai menurun, karena rentang suhu optimum + 60°C. * = tidak terdeteksi. Penurunan volume, peningkatan berat jenis, dan perubahan bobot sampah bersifat fluktuatif sejalan dengan Masing-masing bagian tanaman, umur dan jenis penambahan waktu pengomposan hingga minggu tumbuhan serta keadaan lingkungan tempat tumbuh kedelapan. Dalam penelitian ini, perbandingan perubahan berpengaruh terhadap kualitas organik sampah. Secara bobot meningkat hingga minggu kedelapan dan menurun umum, bagian jaringan yang tua mengandung C dan lignin pada minggu kesepuluh. Peningkatan microbial biomass lebih tinggi, sebaliknya jaringan muda mengandung N dan boleh jadi sebagai penyebabnya. Biomassa mikrobia polifenol lebih tinggi. meningkat hingga minggu ke delapan, lalu menurun pada minggu kesepuluh karena mati akibat berkurangnya energi Persentase bobot kompos yang tersedia atau terbentuknya senyawa-senyawa toksin Sebagaimana yang dilakukan Sahwan (1999) pada (Cadish dan Ehaliotis, 1996). pengomposan sampah dari Sleman, dalam penelitian ini Secara umum kadar N total menurun selama pengomjuga terjadi perubahan bobot sampah selama proses posan untuk semua jenis bahan, baik yang menggunakan pengomposan (Tabel 5). Nisbah perubahan bobot yang EM-4 maupun tidak. Namun, jika dicermati penurunan ini merupakan perbandingan antara bobot kering oven bersifat fluktuatif setiap minggunya. Pengomposan terhaterhadap bobot basah, terus meningkat sampai minggu dap sampah organik ini menunjukkan nisbah C/N yang kedelapan setelah pengom-posan, kemudian menurun pada bervariasi untuk masing-masing bahan. Kualitas terbaik minggu kesepuluh. Secara umum jenis sampah sisa olahan/ berasal dari bahan daun dan lainnya (nisbah C/N < 10), lainnya (berupa lemak seperti tahu, tempe, dan daging) kualitas sedang berasal dari batang, ranting, da-ging dan mengalami perubahan bobot sampah tertinggi, diikuti biji, kulit buah (nisbah C/N 10- 15), sedang kualitas buruk berasal dari sampah yang berupa bijibijian. Kenyataan di atas menunjuk-kan Tabel 5. Nisbah perubahan bobot kompos (%). bahwa pengolahan sampah dengan pengomposan dapat menurunkan nisbah Dengan EM-4 Tanpa EM-4 C/N. Sebagaimana penelitian Sahwan Jenis Minggu keMinggu ke(1999), pengomposan sampah kota di 4 6 8 10 4 6 8 10* Yogyakarta dapat menurunkan nisbah C/N 21,47 21,73 21,77 17,90 22,13 27,00 27,62 17,71 Batang hingga 10,9-13,9. Bahan organik dapat 13,69 14,03 14,55 15,15 14,11 14,77 14,78 14,07 Ranting digunakan sebagai pupuk tanaman apabila Daging buah 11,87 14,19 14,23 9,49 11,87 15,02 15,38 10,98 16,12 18,64 21,43 12,42 18,74 19,11 20,57 17,38 Kulit buah mengandung nisbah C/N di bawah 20. 45,31 49,75 55,83 50,53 40,75 51,21 51,93 Biji 25,43 28,21 28,43 28,92 23,57 29,47 29,72 Daun 33,65 39,76 45,42 30,11 34,46 48,86 53,86 Lainnya P 0.05 ns**) ns**) Keterangan: *) minggu setelah pengomposan, **) tidak berbeda nyata.
37,03 21,79 34,37
90 80
Dengan EM-4
BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 67-71
70
Gambar 1. Perubahan C/N ratio sampah organik selama 10 minggu pengomposan. Keterangan: buah,
= kulit buah,
= biji,
= daun, dan
= batang,
= ranting,
= daging
= lainnya.
Kualitas senyawa organik Penurunan kandungan polifenol pada batang, ranting, daging, kulit buah, dan daun terjadi setelah 10 MSP (minggu setelah pengomposan) (Tabel 6). Tampaknya peningkatan kelembaban selama pengomposan menjadi penyebab penurunan kandungan polifenol, karena senyawa ini mudah larut dalam air. Di samping peningkatan populasi dan aktivitas biota pendegradasi ikatan kompleks organik sehingga memecah fenol. Pada jenis bahan lain (tahu, tempe, daging) kadar polifenol justru meningkat, diduga karena kandungan lemaknya yang tinggi. Keadaan sama terjadi pada C organik dan N total (Tabel 7 dan 8 ).
Tabel 6. Kandungan polifenol organik kompos. Jenis
0 MSP 10 MSP EM Non EM EM Non EM 0,64 0,64 2,64 2,64 Batang 2,61 1,78 2,43 2,43 Ranting 1,19 1,28 1,97 1,97 Daging buah 4,16 4,45 2,85 2,85 Kulit buah 3,53 3,01 * * Biji 2,59 3,06 4,06 4,06 Daun 2,77 2,20 1,27 1,27 Lainnya MSP = minggu setelah pengomposan; * = tidak terdeteksi.
Tabel 7. Kandungan C organik kompos. 0 MSP EM Non EM 60,91 60,91 Batang 59,76 59,76 Ranting 61,84 61,84 Daging buah 66,66 66,66 Kulit buah 96,74 96,74 Biji 67,46 67,46 Daun 89,13 89,13 Lainnya MSP = minggu setelah pengomposan Tabel 8. Kandungan N-total organik kompos. Jenis
4 MSP EM Non EM 39,95 44,77 40,87 40,63 41,75 42,70 43,10 40,84 59,90 60,60 43,77 42,16 57,23 46,51
6 MSP EM Non EM 41,86 37,80 35,23 44,90 35,10 37,13 37,80 34,22 51,31 55,95 40,51 36,96 56,28 52,72
8 MSP EM Non EM 27,00 27,68 28,72 27,65 28,32 35,10 31,05 27,06 47,81 42,83 3,036 29,70 20,28 23,91
10 MSP EM Non EM 30,00 30,64 28,72 33,26 33,33 33,33 27,39 29,35 45,86 45,72 30,00 31,31 34,85 35,50
MURNIYANTO dan ALHAN – Sampah Kota Surakarta
0 MSP EM Non EM 2,29 2,29 Batang 2,00 2,00 Ranting 1,83 1,83 Daging buah 1,89 1,89 Kulit buah 2,07 2,07 Biji 2,05 2,05 Daun 5,48 5,48 Lainnya MSP = minggu setelah pengomposan Jenis
EM 2,19 1,81 2,24 2,24 1,26 2,04 5,14
4 MSP Non EM 1,39 1,56 2,54 2,00 1,11 2,67 4,34
Terjadi fluktuasi perubahan nisbah C/N selama mingguminggu pengamatan (Gambar 1). Contohnya dengan menggunakan EM-4, jenis bahan batang, mula-mula menurun nisbah C/N-nya, namun pada minggu kesepuluh mengalami peningkatan. Kenyataan ini mengin-dikasikan bahwa terjadi peningkatan populasi dan aktivitas biota, meskipun umur biota tidak lebih dari 10 minggu setelah aplikasi atau pada umur tersebut bahan telah habis sehingga biota mengalami penurunan aktivitas dan mati. Kematian biota akan menambah biomassa sehingga meningkatkan C (Cadish dan Ehaliotis, 1996) sedangkan tanpa menggunakan EM-4, pada bahan yang sama, perubahan C organik menunjukkan pola kuadratik. Kompe-tisi aktivitas intra biota, disinyalir menjadi penyebabnya (Tian et al., 1996). Contoh lain, dengan menggunakan EM-4, hanya daging buah saja yang mengalami penurunan kandungan C organik selama pengomposan, sementara tanpa menggunakan EM-4 hal ini terjadi pada bahan kulit buah, biji dan daun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kurang ada pengaruh penggunaan EM-4 terhadap kualitas organik sampah yang dikomposkan. KESIMPULAN Terjadi peningkatan volume sampah Kota Surakarta, rata-rata sebesar 17 ton per hari. Komposisi sampah didominasi jenis sampah organik (77,43%) dan dapat dibuat kompos dengan atau tanpa biostarter EM-4. Pengomposan sampah organik selama 10 minggu menurunkan persentase bobot kompos, polifenol, C– organik dan nisbah C/N, tetapi meningkatkan N total.
EM 1,71 2,87 2,52 2,35 0,66 2,27 3,33
6 MSP Non EM 1,45 2,43 2,94 2,02 0,71 2,29 4,33
EM 1,71 2,27 2,99 2,03 0,72 2,16 3,07
71 8 MSP Non EM 1,81 1,88 2,37 2,28 1,45 2,85 3,30
10 MSP EM Non EM 1,54 1,66 1,88 1,64 2,81 2,57 2,17 2,01 1,10 0,77 2,46 3,05 5,00 5,89
DAFTAR PUSTAKA Amelung, W., K.W. Flach and W. Zech, 1977. Climat effect on soil organik matter composition in the great plants. Journal of Soil Science Society of America 61: 115 – 123. Anderson, J.M. and J.S.I. Ingram. 1993. Tropical soil biology and fertility: A handbook of methods.Wallingford: CAB International. Cadish, G. and C.E. Ehaliotis. 1996. The soil microbial biomass: concepts, methodologies and applications in the study of nutrient cycling in soils. Agrivita 19 (4): 171 – 183. Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP). 2000. Petunjuk Penanganan Sampah, Penghijauan, dan Keindahan Kota. Surakarta: Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Pemerintah Kota Surakarta. Ekawati, I. 1999. Peningkatan Kecepatan Dekomposisi Jerami Limbah Panen, Suatu Upaya Mengatasi Masalah Kesuburan Lahan Pertanian. [Disertasi]. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Handayanto, E., G. Cadish, and K.E. Giller. 1994. Nitrogen release from prunung of legume net grow trees in relation to quality of the prunings and incubation method. Plant and Soil 160: 237-248.
Murniyanto dan Sugiyarto. 2002. Kualitas Air Tanah di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kota Surakarta: Kandungan Bahan Anorganik. Surakarta: Politeknik Pratama Mulya. Sahwan, F.L. 1999. Karakteristik kompos dari sampah kota di plant pengomposan Tambakboyo, Kabupaten Dati II Sleman, Yogyakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia-BPPT 75-79. Sutanto, H.B.H. 1999. TPA-sanitary landfill +, komponen kota sehat yang terabaikan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia-BPPT 88-100. Tian, G., L, Brussaard, and B.T. Kang. 1996. Eathwarm and millipendenhaced degradation of plant residues in relation to their chemical compositions, incubation temperature and soil moisture. In: Biological Effect of Plant Residues With Confronting Chemical Compositions on Plant and Soil Under Humid Tropical Conditions. Wageningen: Grafish Service Centrum of Landbouw Universiteit.