Rizki Wahyuni Aris
PENGARUH PENGENDALIAN OBAT DENGAN ANALISIS ABC, EOQ DAN ROP TERHADAP EFISIENSI PENGELOLAAN OBAT REGULER KELAS A DI IFRSUD KARANGANYAR. Rizki Wahyuni Aris1*, Gunawan P.W 2, Satibi3 1
Stikes Mandala Waluya Kendari, Indonesia Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi, Surakarta 3 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2
Abstrak Pengendalian obat merupakan kegiatan yang mempengaruhi fungsi manajemen rumah sakit dalam memberikan pelayanan, obat merupakan salah satu komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Hasil observasi di IFRSUD Karanganyar memperlihatkan masalah yaitu ketidakpatuhan dokter pada formularium, kekosongan obat, resep yang tidak terlayani, sehingga apabila tidak dilakukan pengendalian obat yang baik mengakibatkan kerugian bagi rumah sakit secara sosial maupun ekonomi. Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh penerapan metode EOQ (Economic Order Quantity) dan ROP (Re Order Point) berdasarkan analisis ABC (Always. Better, Control) dan mengetahui efisiensi pengelolaan obat pasien reguler di IFRSUD Karanganyar. Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimental tanpa kontrol dengan pengamatan runtun waktu (time series design) sebelum, selama dan sesudah intervensi. Data primer diperoleh dari intervensi yang dilakukan pada obat reguler kelas A dari analisis ABC. Pengukuran kinerja menggunakan tiga indikator nilai persediaan, ITOR (Inventory Turn Over Ratio), dan tingkat layanan. Data sekunder diperoleh dari bagian keuangan. Hasil dari pengukuran dari pengukuran kinerja sebelum, selama dan sesudah intervensi dianalisis dengan menggunakan Anova One Way. Analisis dilakukan melalui nilai persediaan obat, ITOR dan customer service level di IFRSUD Karanganyar. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan metode EOQ terhadap obat reguler khususnya kelompok A di IFRSUD Karanganyar, dapat mengendalikan obat reguler di IFRSUD Karangnyar yang ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai persediaan sebesar Rp 228.253.514 menjadi Rp 189.559.565. Peningkatan nilai ITOR 0,52 menjadi 0,93. Peningkatan tingkat layanan 99,14% menjadi 99,74%. Abstract Drug control is an activity that affects the function of hospital management in providing services, drug is one important component of health care service. The observations in IFRSUD Karanganyar showing noncompliance issues, which included physicians on formulary, emptiness drugs, prescriptions that are not provided, so if no good drug control would result in losses for the hospital socially and economic. Research objectives were to analyze the effect of the application of EOQ (Economic Order Quantity) and ROP (Re Order Point) method based on analysis of ABC (Always. Better, Control) and determine the efficiency of the management of the patient's medication regularly in IFRSUD Karanganyar. The research is using the quasi experimental uncontrolled experiment plan with time series observations (time series design) before, during and after the intervention. Primary data Mandala Pharmacon Indonesia,Vol.1, No 1,2015-41
Rizki Wahyuni Aris
derived from the interventions made in the regular class A drugs from the ABC analysis. Measurment of the performance is using three indicators which are Inventories Value, ITOR (Inventory Turn Over Ratio), and Service Levels. Secondary data derived from the finance department. The results of the measurement of the performance measurements before, during and after the intervention as analyzed by One Way Anova. The analysis was conducted by the value of drug inventory, itor (Inventory Turn Over Ratio) and customer service levels in IFRSUD Karanganyar. The research result it can be concluded that the EOQ method on regular drug focus group A in IFRSUD Karanganyar, regular drug control in IFRSUD Karangnyar indicated by the decline in inventori value by Rp 228,253,514 become Rp 189,559,565. Increasing the value itor from 0,52 become 0,93. Increasing the prescription from 99,14% become 99,74%. Pendahuluan Obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan, selain itu karena obat sudah merupakan kebutuhan masyarakat, maka presepsi masyarakat tentang hasil dari pelayanan kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke rumah sakit. (Depkes. RI, 2009). Dalam Quick dkk (1997) Pengelolaan obat di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan obat. Menurut Heizer dan Render, salah satu indikator efisiensi dalam mengendalikan persediaan adalah Inventory Turn Over Ratio (ITOR) atau rasio perputaran persediaan. Jumlah pasien yang terus meningkat pada RSUD Karanganyar membuat IFRSUD Karanganyar harus meningkatkan mutu pelayanan dalam baik ketersedian obat dan tingkat layanan pada pasien. Masalah yang terjadi di IFRSUD Karanganyar yaitu adanya ketidakpatuhan dokter terhadap formularium yang ada di RSUD Karanganyar, karena hal tersebut perputaran obat terhambat sehingga terjadi penumpukan obat, perputaran modal terhambat, permintaan yang meningkat pada item obat di luar formularium. Sementara pihak IFRS harus tetap memfokuskan pengadaan obat yang menyerap anggaran hingga 75%. Hal ini akan mempengaruhi tingkat layanan pada pasien yang berdampak pada mutu pelayanan di rumah sakit tersebut.
Ketidak efisienan pengelolaan obat di IFRSUD Karanganyar maka perlu dilakukan penerapan metode analisis ABC EOQ dan ROP. Salah satu metode yang digunakan untuk pengendalian obat. Metodologi Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimental tanpa kontrol dengan pengamatan runtun waktu (time series design) sebelum (4 minggu), selama (4 minggu) dan sesudah (4 minggu) intervensi untuk mengetahui apakah penerapan EOQ dan ROP dapat meningkatkan nilai persediaan, nilai ITOR, dan nilai tingkat layanan. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang meliputi data obat reguler kelas A, nilai persediaan, nilai ITOR dan nilai tingkat layanan. Dan pada data sekunder diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak – pihak yang terkait pada saat penelitian dilaksanakan, yang berhubungan dengan biaya penyimpanan dan biaya persediaan. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dimulai dengan mengelompokkan obat reguler dengan metode ABC pada tahap sebelum intervensi dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.
Mandala Pharmacon Indonesia,Vol.1, No 1,2015-42
Rizki Wahyuni Aris
Hasil Analisis Metode ABC Tabel 1. Hasil Pengelompokkan Obat Reguler berdasarkan Analisis ABC Kelom Jum %It Nilai %Pema pok lah em Pemakai kaian item an (Rp) A 80 21,1 5.162.29 79,88 6 7.299 B 138 36,5 1.110.07 17,17 0 3.386 C 160 42,3 190.046. 2,94 2 726 Sumber : Instalasi Farmasi RSUD Karanganyar
diperoleh dari hasil wawan cara dengan pihak IFRSUD Karanganyar. 2. Biaya Pemesanan Tabel 3.Komponen dan total biaya pemesanan untuk sekali pemesanan Keterangan Biaya Pemesanan Biaya Materai Rp 2.833 Biaya Tel/Fax Rp 2.800 Blanko Rp 1.000 Biaya Upah SDM Rp 1.967 Total Biaya Rp 8.600 pemesanan Sumber : Data sekunder yang diolah
Tabel 1 diperoleh hasil kelompok A berjumlah 80 item atau 21,16% dari total item obat dengan Jumlah pemakaian Rp. 5.162.297.299 atau 79,88%. Kelompok B berjumlah 138 item atau 36,50% dari total item obat dengan Jumlah pemakaian Rp.1.110.073.386 atau 17,17%, dan Kelompok C berjumlah 284 item atau 42,32% dari total item obat dengan jumlah pemakaian Rp. 190.046.726 atau 2,94% . Dari hasil yang telah diperoleh dalam analisis dengan metode ABC ini menunjukkan bahwa kelompok obat A mempunyai jumlah item obat yang paling sedikit, kelompok obat B dengan jumlah item sedang dan kelompok C mempunyai kelompok item paling banyak. Pengendalian EOQ dan ROP Dari data yang telah diperoleh kebutuhan obat kategori A dapat dihitung jumlah pemesanan yang optimum setiap kali pemesanan, namun dalam menentukan jumlah pemesanan optimum harus diketahui biaya penyimpanan dan biaya pemesanan terlebih dahulu. 1. Biaya Penyimpanan Tabel 2. Biaya penyimpanan Keterangan Persentase (%) Biaya penyimpanan 20%
Dari tabel 3 Total biaya pemesanan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu Rp 8.600, Besarnya biaya pemesanan tidak tergantung dari besarnya nilai atau banyaknya barang yang dipesan sehingga setiap item obat yang dipesan membutuhkan biaya pemesanan yang sama yaitu Rp 8.600. Pada pemesanan tiap item obat perlu ditentukan jumlah obat yang dipesan dan kapan dipesan kembali juga bagaimana cara pemesanannnya agar pememsanan tersebut lebih ekonomis. Pengaruh Metode EOQ dan ROP Metode EOQ merupakan metode untuk mengetahui berapa besar obat yang harus dipesan, sedangkan untuk metode ROP merupakan metode untuk mengetahui waktu pemesanan kembali setelah perhitungan EOQ pada obat, agar tidak terjadi kekosongan obat. Pendekatan indikator yang digunakan penelitian ini yaitu nilai persediaan, nilai ITOR dan tingkat layanan, untuk mengukur seberapa besar efisiensi pengaruh penerapan metode EOQ dan ROP. Penelitian ini mengkhususkan pada kelompok A obat reguler untuk penerapan EOQ dan ROP.
Sumber : Data sekunder yang diolah
Dari tabel 2 memperlihatkan hasil untuk biaya penyimpanan sebesar 20% yang Mandala Pharmacon Indonesia,Vol.1, No 1,2015-43
Rizki Wahyuni Aris
1. Nilai Persediaan Tabel 4. Nilai Persediaan obat per minggu sebelum, selama dan sesudah intervensi Tahap Ming HPP NP(Rp Rerata gu ke (Rp) ) NP per mingg u (Rp) Stok 248.17 awal 2.979 Sebel I 105.20 247.17 228.25 um II 3.899 6.806 3.514 Interv III 131.99 222.56 ensi IV 9.909 6.626 (Nove 111.73 231.34 mber) 3.011 5.629 128.55 211.92 9.060 4.997 Selam I 150.49 232.35 226.93 a II 0.110 0.091 0.683 Interv III 141.99 247.80 ensi IV 9.091 7.111 (Janu 165.67 221.96 ari) 5.460 7.617 173.46 205.59 8.146 7.916 Sesud I 171.88 205.35 189.55 ah II 3.037 0.091 9.565 Interv III 175.24 190.91 ensi IV 6.677 6.490 (Febr 175.66 183.11 uari) 5.600 2.883 185.77 178.85 3.490 8.798 Sumber : Data primer yang diolah Dari data tabel 4 nilai persediaan sebelum tahap intervensi masih belum stabil. Terlihat rerata nilai persediaan yang masih tinggi, menunjukkan bahwa belum efisiennya anggaran obat. Selama proses intervensi dilaksanakan, pemesanan obat dilakukan berdasarkan nilai EOQ yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan tetap mempertimbangkan nilai ROP yang diperoleh, sehingga diharapkan tidak akan terjadi stock out dalam proses pelayanan yang dilakukan.
2. ITOR ITOR adalah rasio perputaran persediaan, yaitu antara penjualan dan persediaan. Berdasarkan Quick et. al (1997), nilai ITOR sebaiknya meningkat dalam kurun waktu tertentu. Tabel 5. Perbedaan ITOR obat sebelum, selama dan sesudah intervensi dengan EOQ Tahap Min ITOR Rerata ggu (Per ITOR ke minggu (Per ) minggu) Sebelum I 0,42 0,52 Intervensi II 0,59 (November) III 0,48 IV 0,60 Selama I 0,64 0,69 Intervensi II 0,57 (Januari) III 0,74 IV 0,83 Sesudah I 0,83 0,93 Intevensi II 0,91 (Februari) III 0,95 IV 1,03 Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel 5 menunjukkan rerata nilai ITOR yang meningkat dari tahap sebelum, selama dan sesudah intervensi dilakukan. Memperlihatkan bahwa pengaruh intervensi yang dilakukan memeberikan dampak yang baik khususnya pada peningkatan nilai ITOR, yang mempertegas bahwa perputaran obat reguler khususnya kelas A sudah mulai jauh lebih baik dari sebelum dilakukannnya intervensi di IFRSUD Karanagnyar. 3. Tingkat Layanan Indikator lain pada penelitian ini adalah tingkat layanan resep (Customer Service Level). Tingkat layanan adalah salah satu tolak ukur efektivitas pengelolaan obat yang menggambarkan seberapa jauh persediaan obat berguna atau mendukung operasional intalasi farmasi disuatu rumah sakit.
Mandala Pharmacon Indonesia,Vol.1, No 1,2015-44
Rizki Wahyuni Aris
Tabel 6. Perbedaan Tingkat Layanan (Customer Service Level) sebelum, selama dan sesudah intervensi dengan EOQ. Tahap Minggu Tingkat Rerata Ke Layanan tingkat (%) layanan per minggu (%) Sebelum I 99,08 99,14 Intervensi II 99,35 (November) III 99,00 IV 99,16 Selama I 99,33 99,50 Intervensi II 99,41 (Januari) III 99,61 IV 99,66 Sesudah I 99,68 99,74 Intervensi II 99,70 (Februari) III 99,79 IV 99,81 Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel 11 terlihat bahwa tingkat layanan di Instalasi Farmasi Rumah sakit Karangnyar cenderung efektif, dengan mempunyai persentase tingkat resep yang terlayani mendekati 100%. Semakin tinggi tingkat layanan maka persediaan makin mampu terpenuhi dan menunjang kebutuhan di apotek, yang berarti pula semakin efektif. Rasio layanan tertinggi adalah 100% yang berarti bahwa pemenuhan terhadap pasien yang memerlukan obat terlayani atau terpenuhi. Rasio layanan terendah adalah 0% , yang dimana tidak satupun permintaan obat dapat dilayani. Kesimpulan Penerapan metode EOQ (Economic Order Quantity) dan ROP (Re Order Point) terhadap obat reguler khususnya kelompok A di IFRSUD Karanganyar, dapat mengendalikan obat reguler di IFRSUD Karangnyar yang ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai persediaan sebesar Rp. 38.693.949, peningkatan Inventory Turn Over Ratio sebesar 0,41 kali
perminggu, peningkatan Tingkat Layanan sebesar 0,6% dan ada pengaruh signifikan. Daftar Pustaka Depkes RI., 2009, Undang-undang Republik Indonesia No. 36/2009 tentang Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Handoko, T.H., 1999, Manajemen edisi Kedua, BPFF, Yogyakarta. Pudjaningsih., Santoso B., 2006. Pengembangan Indikator Efisiensi Obat di Instalasi Farmasi Rumah sakit PKU Muhammadiyah, Jurnal Logika, Vol 03:01. Quick, J.D., Hume, M., Rankin, J.R., O’Connor, R.W., 1997, Managing Drug Supply, Second Edition, Revised and Expanded, Kumarin Press, West Hartford. Rubaah,
N,U., 2009, Pengendalian Pengadaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Cibabat dengan Analisis ABC dan EOQ, Jurnal Manajemen dan Pelayaann Farmasi, Vol 2 : 4.
RSUD Karanganyar., 2010, Profil Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karangnyar, Karanganyar, Jawa Tengah. WHO, 1993, How to Investigate Drug Use in Health Facillities, Selected Drug Use Indicator, Action Program on Essential Drug, WHO, Geneve
Mandala Pharmacon Indonesia,Vol.1, No 1,2015-45