1
PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUMSILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN I Made Pasek Kimiartha dan Hosta Ardhyananta Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak— Pemakaian aluminium khususnya pada industry otomotif seperti pembuatan piston, blok mesin, cylinder head, valve dan sebagainya dituntut memiliki kekuatan dan termal stress yang baik. Paduan Al-10,5Si merupakan paduan yang cocok untuk dijadikan bahan untuk pembuatan piston motor karena memiliki sifat tahan terhadap korosi serta kekuatan yang baik dan juga sangat ringan. Selain itu paduan ini juga memiliki koefisien pemuaian termal yang rendah dan sebagai penghantar panas yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh penambahan tembaga terhadap sifat mekanik dan struktur mikro pada paduan Al-Si-Cu. Paduan tersebut nantinya akan dipadukan dengan variasi prosentase tembaga sebesar 0, 1, 2, 3, 4 wt%. Dilebur didalam tungku dan dibiarkan membeku dalam krusibel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tembaga menaikkan sifat mekanik. Nilai kekerasan tertinggi terdapat pada 4 wt% Cu yaitu 92,2 HB, dan nilai terendah terdapat pada 0 wt% Cu yaitu 83 HB. Koefisien ekspansi termal menurun dengan penambahan tembaga. Nilai terendah terdapat pada paduan dengan 4 wt% Cu yaitu 205,5x10-6/°C, dan nilai tertinggi terdapat pada paduan dengan 2 wt% Cu yaitu 230x10-6/°C. Kata kunci— Aluminium-Silikon, Tembaga, Sifat Mekanik, Struktur Mikro, Pengecoran.
I. PENDAHULUAN
P
esatnya pertumbuhan industri aluminium dikaitkan dengan paduan unik dari sifat yang membuatnya menjadi salah satu bahan serbaguna dan bahan konstruksi. Aluminium berbobot ringan, namun beberapa dari paduan memiliki kekuatan lebih besar dari baja struktural. Memiliki konduktivitas listrik dan termal yang baik dan reflektifitas tinggi. Aluminium juga sangat tahan korosi di bawah berbagai kondisi kerja dan tidak beracun. Dengan semua sifat-sifat yang luar biasa, tidak mengherankan bahwa paduan aluminium telah datang dan menjadi bagian penting utama sebagai bahan teknik [1]. Pemakaian aluminium khususnya pada industri otomotif juga terus meningkat dan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Banyak komponen otomotif yang terbuat dari paduan aluminium, diantaranya adalah piston, blok mesin, cylinder head, valve dan lain sebagainya. Penggunaan paduan aluminium untuk komponen otomotif dituntut memiliki
kekuatan yang baik. Agar aluminium mempunyai kekuatan yang baik biasanya logam aluminium dipadukan dengan unsur-unsur seperti: Cu, Si, Mg, Ni dan sebagainya [2]. Pengecoran atau penuangan (casting) merupakan salah satu proses pembentukan bahan baku/bahan benda kerja yang relative mahal dimana pengendalian kualitas benda kerja dimulai sejak bahan dalam keadaan mentah. Komposisi unsur serta kadarnya dianalisis agar diperoleh suatu bahan sesuai dengan kebutuhan sifat produk yang direncanakan. Proses penuangan juga merupakan seni pengolahan logam menjadi benda kerja yang paling tua dan mungkin sebelum pembentukan dengan penyayatan (chipping) dilakukan [3]. Proses pemaduan dilakukan sebelum proses pengecoran, yakni saat peleburan logam. Proses pemaduan logam dilakukan melalui peleburan dan pengecoran berdasarkan berbagai faktor antara lain temperatur lebur material yang relatif rendah, kapasitas yang relatif besar, dan efisiensi waktu yang tinggi. Sebagai paduan yang ringan dengan konduktivitas termal yang tinggi, aluminium banyak digunakan sebagai bahan pembuat piston. Selain daripada itu panas harus disalurkan ke luar melalui torak, oleh karenanya penyaluran panasnya harus baik. Selanjutnya torak itu harus kuat. Dengan semua persyaratan itulah pemilihannya harus jatuh pada aluminium dengan paduannya [2]. Pada pembuatan piston kendaraan bermotor secara umum digunakan paduan aluminium alloy yaitu Al-Si. Campuran silicon dalam aluminium jenis ini menghasilkan keuntungan-keuntungan seperti sifat mampu cor yang baik, mudah dilakukan proses permesinan dan ketahanan terhadap korosi yang baik. Untuk meningkatkan mampu cor yang baik dan meningkatkan ketangguhannya, paduan Al-Si ini juga dapat ditambahkan unsur-unsur lain seperti Cu, Mg atau Ni. Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian mengenai sifat mekanik dan struktur mikro terhadap penambahan tembaga (Cu) dalam paduan aluminium-silikon. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan paduan hasil coran mempunyai sifat mekanik yang baik sehingga dapat meningkatkan daya guna paduan aluminium dengan mengatur komposisi berat Tembaga (Cu) sehingga sangat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. II. METODOLOGI PENELITIAN Paduan aluminium-silikon Al-10,5Si sebagai logam utama dalam penelitian ini diperoleh di pasaran dalam bentuk
2 ingot, sedangkan tembaga (Cu) sebagai unsur pemadu diperoleh dari UD. Sutindo Sejahtera dalam bentuk silinder pejal. Variasi persen berat unsur pemadu yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4% tembaga (Cu). Pembuatan spesimen dilakukan dengan meletakkan bahan di dalam krusibel keramik, memasukkan ke dalan tungku dan melebur pada temperatur 1100 °C dengan holding time 60 menit. Pengadukan dilakukan saat logam telah cair, bertujuan untuk meningkatkan homogenitas paduan. Pendinginan dilakukan di dalam tungku sehingga paduan membeku di dalam krusibel. Pembongkaran hasil coran dilakukan setelah temperatur kamar tercapai dan melakukan pemotongan hasil coran untuk kemudian dijadikan spesimen uji. Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji komposisi, uji metalografi, uji XRD, uji kekerasan serta uji ekspansi termal. A. Pengujian Komposisi Kimia Coran Pengujian komposisi paduan hasil coran bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia hasil coran terutama AluminiumSilikon setelah penambahan tembaga. Preparasi spesimen dilakukan dengan memotong hasil coran sesuai ukuran holder pada EDX dan meratakan permukaan spesimen. B. Pengujian XRD Pengujian XRD dilakukan dengan mengambil sampel hasil coran berupa padatan dari setiap penambahan komposisi tembaga, kemudian diletakkan disebuah holder untuk selanjutnya diuji dengan menggunakan alat PAN Analytical. Pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi hasil coran Al-10,5%Si tanpa penambahan tembaga terhadap hasil pengujian difraksi sinar-X (XRD). Pengujian dilakukan dengan sinar-X menggunakan Range sudut 10° - 90° dan menggunakan panjang gelombang CuKα sebesar 1.54060 Å. Identifikasi fasa hasil pengujian XRD pada penelitian ini melalui search match dengan Software X’pert Graphic & Identity serta dengan pencocokan manual dengan kartu PDF dari software PCPDFWIN untuk puncak-puncak yang teridentifikasi saat search match dengan sebelumnya mengidentifikasi unsur-unsur atau senyawa yang dapat muncul setelah proses melting. C. Pengujian Metalografi Pengujian metalografi dilakukan dengan menghaluskan permukaan spesimen dengan kertas abrasif SiC mulai dari grade 80 hingga 2000 dan memoles dengan alumina. Penentuan etsa dilakukan sesuai standar ASTM E 407 menggunakan campuran antara HF (Hydrofluoric Acid) dengan Aquades masing-masing 1 mL dan 200 mL. Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan menggunakan mikroskop Olympus BX51M di Laboratorium Metalurgi Jurusan Teknik Material dan Metalurgi ITS yang terintegrasi dengan satu set personal computer. D. Pengujian Kekerasan Pengujian kekerasan material spesimen dilakukan dengan menggunakan metode uji kekerasan yang dilakukan sesuai dengan ASTM E 10. Menggunakan indentor dengan diameter 2,5 mm dan pembebanan 62,5 kgf. Pengujian dilakukan
dengan memberikan 5 indentasi pada setiap 1 spesimen sehingga didapat 5 nilai kekerasan brinell pada setiap spesimen, kemudian menghitung rata-rata nilai kekerasan brinell untuk setiap spesimen. E. Pengujian Ekspansi Termal Ekspansi Termal (Thermal expansion) adalah suatu istilah yang dgunakan untuk menunjukkan perubahan dimensi yang terjadi pada saat tempetur dinaikkan atau diturunkan. Faktor yang mempengaruhi Thermal expansion adalah vibrasi yang terjadi antara dua atom ketika temperatur dinaikkan. Perubahan dimensional yang terjadi ditentukan oleh kekuatan ikatan antar atom dan pengaturan posisi atom dalam material. Ketika kekuatan antar atom meningkat maka melting point akan naik dan koefisien thermal expansion akan turun. Koefisien ekspansi termal dapat ditentukan dengan persamaan:
dengan : α L0 Lt T0 Tt
= koefisien ekspansi termal (°C-1) = panjang sampel pada temperatur T0 = panjang sampel pada temperatur Tt = temperatur awal (°C) = temperatur akhir (°C)
Spesimen dipanaskan dalam furnace dari temperatur kamar hingga temperatur 100°C dan 300°C. Kemudian pengamatan perubahan panjang akan diukur dan dicari rata-rata koefisien ekspansi termal. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Kimia Coran Komposisi kimia hasil coran ditunjukkan pada Tabel 1 yang didapat dari hasil pengujian EDX. Komposisi tembaga meningkat setiap penambahan tembaga sedangkan komposisi aluminium menurun pada penambahan 2% Cu dan meningkat kembali pada penambahan 3% dan 4% Cu. Sedangkan komposisi silikon pada paduan terjadi sebaliknya dibandingkan dengan komposisi aluminium yang dimana meningkat pada penambahan 2% hingga 3% Cu dan kembali turun pada penambahan 4% Cu. Tabel 1 Komposisi Kimia Coran
Kenaikan prosentase tembaga tidak selalu sesuai dengan variasi prosentase unsur pemadu yang diberikan saat penyiapan bahan karena homogenitas paduan pada seluruh bagian hasil coran sangat sulit untuk dicapai. Oleh karena itu prosentase tembaga pada paduan yang ditunjukkan oleh Tabel 1 memiliki kemungkinan untuk kurang maupun lebih dari
3 variasi prosentase tembaga yang diberikan pada saat penyiapan bahan. B. Pengujian XRD Hasil XRD Al-10,5Si tanpa penambahan tembaga ditunjukkan oleh Gambar 1. Hasil XRD menunjukkan terbentuknya α-Aluminium dan Silikon. Peak α-Aluminium ditunjukkan pada puncak tertinggi 2 theta di 38.4424 (111), 44.6577 (200), dan 78.2006 (311) sedangkan 3 puncak peak tertinggi fasa Silikon terdapat pada 2 theta 28.3693 (111), 47.2273 (220) dan 56.0418 (311).
Gambar 1 Hasil XRD Coran (a) Al-10,5Si (b) 1 wt% Cu (c) 2 wt% Cu (d) 3 wt% Cu (e) 4 wt% Cu Kemudian pada paduan coran Al-10,5Si ditambahkan tembaga dengan komposisi 1%, 2%, 3%, dan 4% Cu yang menghasilkan peak XRD pada Gambar 2. Terlihat pada Gambar 2 tampak terjadi perubahan tinggi peak dan timbulnya peak baru akibat adanya penambahan komposisi tembaga. Hal ini terbukti dari adanya perbedaan tinggi puncak dan timbulnya peak baru pada setiap variasi penambahan tembaga sehingga dapat dikatakan indikasi terbentuknya senyawa baru yaitu senyawa Al2Cu. Seiring bertambahnya komposisi tembaga maka tinggi intensitas senyawa Al2Cu juga akan semakin meningkat. Terlihat adanya kenaikan intensitas Al2Cu pada posisi 2 theta 20.5944 seiring bertambahnya komposisi tembaga pada paduan coran. C. Pengamatan Struktur Mikro Struktur mikro diamati dengan menggunakan mikroskop dengan metode Brightfield sehingga permukaan yang tegak lurus arah lensa akan berwarna cerah, sedangkan permukaan yang tidak tegak lurus akan berwarna gelap. Struktur mikro paduan Al-10,5Si dengan penambahan tembaga dapat dilihat pada Gambar 3 hingga7. Struktur mikro pada Gambar 3 hingga 7 menunjukkan bahwa dengan setiap penambahan unsur tembaga pada paduan akan membentuk morfologi struktur mikro yang berbeda. Terlihat pada gambar terbentuk dua fasa yang dominan dengan bentuk morfologi
yang berbeda yaitu fasa α-aluminium dan fasa silikon primer. Dengan setiap penambahan unsur tembaga, unsur-unsur silikon akan membentuk kelompok-kelompok dan juga sebagian ada yang masuk ke dalam matriksnya maupun pada fasa yang kaya silikon. Hal tersebut menyebabkan fasa eutektik Al-Si yang terbentuk sebelumnya pada Gambar 3 menjadi semakin berkurang dari Gambar 4 hingga 7 karena fasa silikonnya sendiri membentuk kelompok-kelompok (koloni) dan sebagian kecil masuk ke dalam matriksnya dan bahkan semakin banyak membentuk silikon primer berukuran besar (coarse). Dengan masuknya silikon ke dalam matriks maka matriksnya akan menjadi lebih keras, hal tersebut disebabkan karena silikon sendiri lebih keras dari pada aluminium, disamping itu juga disebabkan dengan masuknya silikon maka akan diperlukan energi yang lebih besar untuk mendeformasikan material tersebut. Gambar 3 hinga 7 juga menunjukkan bahwa terdapat partikel silikon berbentuk jarum yang dihasilkan akibat adanya unsur Fe dalam paduan yang dapat meningkatkan ketahanan aus. Selain itu juga terdapat presipitat Al2Cu yang terlihat di beberapa gambar seperti pada Gambar 7 (B) yang dimana berbentuk bercak kecoklatan. Adanya penambahan tembaga yang kurang dari batas kelarutannya yaitu kurang dari 5,56% di dalam paduan biner maka tembaga tersebut larut dalam aluminium membentuk solid solution dan membentuk presipitat Al2Cu. Keberadaan presipitat ini karena ukurannya yang relatif sangat kecil dan jumlahnya sedikit, tidak bisa teridentifikasi dalam penelitian ini. Selain itu fasa Al2Cu tidak dapat diukur dengan menggunakan mikroskop optik karena masalah kekontrasan warna [4]. α-Al B A Eutektik Al-Si
Porositas
Silikon Primer
α-Al
Gambar 2 Imej Mikroskop Optik Paduan Al-10,5Si Tanpa Penambahan Cu (a) Perbesaran 200x (b) Perbesaran 500x
A
α-Al
B
Al2Cu α-Al
Eutektik Al-Si
Silikon Primer
Gambar 3 Imej Mikroskop Optik Paduan Al-10,5Si-1%Cu (a) Perbesaran 200x (b) Perbesaran 500x
4
A
B
Eutektik Al-Si
α-Al
Silikon Primer
α-Al Al2Cu
Gambar 4 Imej Mikroskop Optik Paduan Al-10,5Si 2%Cu (a) Perbesaran 200x (b) Perbesaran 500x
Silikon Primer
A
B
Gambar 7 Nilai Kekerasan Brinell
Silikon Primer
α-Al α-Al Al2Cu
Gambar 5 Imej Mikroskop Optik Paduan Al-10,5Si-3%Cu (a) Perbesaran 200x (b) Perbesaran 500x
A Silikon Primer
α-Al
B
α-Al
Al2Cu
Porositas
Silikon Primer
Gambar 6 Imej Mikroskop Optik Paduan Al-10,5Si-4%Cu (a) Perbesaran 200x (b) Perbesaran 500x D. Hasil Uji Kekerasan Berdasarkan hasil pengujian didapatkan diameter indentasi pada spesimen uji semakin mengecil seiring bertambahnya prosentase tembaga dalam paduan. Hal ini menyebabkan nilai kekerasan brinell semakin meningkat dengan bertambahnya kadar tembaga dalam paduan Al-10,5Si. Diameter indentasi yang didapat dari hasi pengujian pada tiap spesimen tidak selalu sama antara satu sumbu dengan sumbu lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat kesulitan untuk menentukan tepi dari hasil indentasi pada spesimen uji, namun perbedaan diameter ini masih dalam skala 10-5m sehingga hanya memberi sedikit pengaruh pada hasil akhir perhitungan.
Nilai kekerasan brinell meningkat dengan bertambahnya prosentase tembaga dalam paduan, hal ini terjadi karena pada saat penambahan Cu semakin besar, Si mempunyai kecenderungan untuk membentuk suatu kelompok dan sebagian menyebar ke dalam matriks. Dengan masuknya silikon ke dalam matriks maka matriksnya akan menjadi lebih keras, hal tersebut disebabkan karena silikon sendiri lebih keras dari pada aluminium, disamping itu juga disebabkan dengan masuknya silikon maka akan diperlukan energi yang lebih besar untuk mendeformasikan material tersebut. Selain itu adanya Cu yang kurang dari batas kelarutannya maka Cu tersebut larut dalam Al membentuk solid solution dan membentuk presipitat Al2Cu. Presipitat ini akan menyebabkan terjadinya tegangan pada lattis kristal Al, karena presipitat ini tersebar merata dalam lattis kristal maka dapat dikatakan seluruh lattis menjadi tegang sehingga menyebabkan kekerasan menjadi naik. Dengan bertambahnya Cu maka Al2Cu yang terbentuk juga semakin besar, sehingga lattis kristal akan semakin tegang, dengan semakin tegangnya lattis kristal inilah yang menyebabkan tingginya nilai kekerasan dengan dinaikkannya Cu [5]. E. Pengujian Ekspansi Termal Terlihat pada grafik Gambar 9 menunjukkan tentang perubahan nilai koefisien ekspansi termal awal benda uji seiring dengan naiknya temperatur. Secara umum dapat dilihat bahwa pada temperatur diatas temperatur kamar, kedua material mengalami perubahan termal ekspansi, namun perubahan termal ekspansi untuk setiap penambahan komposisi Tembaga berbeda-beda. Adanya kenaikan nilai koefisian ekspansi termal menunjukkan adanya pertambahan dimensi.
5 [5]
Gambar 8 Nilai Rata-Rata Koefisen Ekspansi Termal Berdasarkan Gambar dan Tabel bahwa penambahan komposisi Tembaga akan mengurangi nilai koefisien ekspansi termal paduan coran Al-Si-Cu. Spesimen tanpa penambahan Tembaga mempunyai rata-rata nilai koefisen ekspansi termal sebesar 224x10-6/°C, dengan 1% Cu sebesar 215x10-6/°C, dengan 2% Cu sebesar 230x10-6/°C, dengan 3% Cu sebesar 207x10-6/°C dan dengan 4% Cu sebesar 205,5x10-6/°C. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan komposisi Tembaga pada coran akan lebih tahan terhadap thermal stress. IV. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini didapatkan bahwa penambahan tembaga pada paduan Al-10,5Si dapat mempengaruhi bentuk morfologi struktur mikro dan muncul dua fasa yang dominan, fasa kaya Al dan fasa kaya Si dan juga terbentuk senyawa Al2Cu. Penambahan tembaga pada paduan Al-10,5Si dapat menaikkan nilai kekerasan. Nilai rata-rata kekerasan tertinggi terdapat pada hasil coran dengan 4 wt% Cu yaitu 92,2 HB, sedangkan nilai terendah terdapat pada hasil coran dengan 0 wt% Cu yaitu 83 HB. Penambahan tembaga pada paduan Al-10,5Si menurunkan nilai rata-rata koefisien ekspansi termal. Data terendah diperoleh pada komposisi 4 wt% Cu yaitu 205,5x10-6/°C, sedangkan data nilai tertinggi diperoleh pada komposisi 2 wt% Cu yaitu 230x106 /°C. DAFTAR PUSTAKA William F. Smith. Structure And Properties of Engineering Alloys. McGraw-Hill Book Company Inc (1993). [2] G. L. J. Van Vliet, W. Both. Teknologi Untuk Bangunan Mesin: Bahan-Bahan 1. Penerbit Erlangga (1984). [3] Hardi Sudjana. Teknik Pengecoran Untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (2008). [4] Muzaffer Zeren, Erdem Karakulak, Serap Gumus. Influence of Cu Addition On Microstructure and Hardness of Near-Eutectic Al-Si-xCu-Alloys. Transaction of Nonferrous Metals Society of China. Volume 21: 1698-1702 (2010). [1]
Muhyin dan Suhariyanto. Pengaruh Cu Terhadap Sifat Mekanik dan Struktur Mikro Pada Paduan Al-Si-Mg. Prosiding Pertemuan Ilmiah Sains Materi (1997).