PENGARUH PEMBERIAN MINYAK ATSIRI DAUN KEMANGI (Ocimum americanum L.) TERHADAP MOTILITAS USUS MENCIT PUTIH JANTAN Dewi Sriyani, Fadlina Chany Saputri Program Sarjana Ekstensi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia ABSTRAK Kemangi (Ocimum americanum L.) merupakan tanaman yang mengandung minyak atsiri dengan sitral sebagai komponen utamanya. Efektivitas sitral dalam penghambatan terhadap motilitas usus telah dibuktikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian minyak atsiri daun kemangi (Ocimum americanum L.) terhadap motilitas usus mencit putih jantan. Sejumlah 30 ekor mencit putih jantan dibagi menjadi enam kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif yang diberi 0,2 ml CMC 0,5%, kelompok kontrol positif diberi atropin sulfat 0,08 ml/20 g BB, kelompok kontrol pembanding diberi emulsi sitral 0,1 mg/20 g BB, dan tiga kelompok bahan uji yang diberi emulsi minyak atsiri daun kemangi dengan dosis I, II, dan III berturut-turut, yaitu 0,5 mg/20 g BB; 1 mg/20 g BB; dan 2 mg/20 g BB. Kemudian diberikan suspensi charcoal meal sebanyak 0,2 ml secara oral, lalu mencit dikorbankan. Setelah itu dilakukan pengukuran sehingga diperoleh data persentase ratio dan hambatan motilitas usus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri daun kemangi dosis 2 mg/20 g BB memberikan efek penghambatan sebesar 59,79% yang tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dengan sitral dan atropin sulfat. Dengan demikian, minyak atsiri daun kemangi berpotensi sebagai karminatif, antidiare, dan antispasmodik Kata kunci : Ocimum americanum L., motilitas usus, atropin sulfat, charcoal meal, sitral ABSTRACT Kemangi (Ocimum americanum L.) is a plant that contains essential oils with citral as a main component. Effectivity of citral as intestinal motility inhibition was evaluated. The purpose of this study was to determine the effect of essential oil of kemangi leaves (Ocimum americanum L.) on white male mices intestinal motility. Thirty white male mices were divided into six groups, which the negative control group was given 0,2 ml of 0,5% CMC, the positive control group was given atropine sulfate 0,08 ml/20 g BW, the comparison control group was given emulsion citral 0,1 mg/20 g BW, and three of test materials groups were given volatile oil emulsion kemangi leaves (Ocimum americanum L.) doses 0,5 mg/20 g BW; 1 mg/20 g BW, and 2 mg/20 g BW. Then mices was given charcoal meal suspension 0,2 ml orally, and the animals were sacrificed. This measured was expressed as ratio and inhibition percentage. The results showed that the inhibition of essential oil of kemangi leaves (Ocimum americanum L.) dose 2 mg/20 g BW was 59,79%, it did not show significant different (p> 0.05) effect with citral and atropine sulfate. Altogether, essential oil of kemangi leaves (Ocimum americanum L.) has potential as a carminative, antidiarrheal, and antispasmodic agent. Keyword
: Ocimum americanum L., intestinal motility, atropine sulfate, charcoal meal, citral
1
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
2
PENDAHULUAN Dalam proses pencernaan, seringkali terdapat gangguan-gangguan saluran pencernaan yang biasa terjadi, antara lain mual, muntah, kembung, iritasi usus, diare, dan konstipasi (Patrick, 2005). Menurut Brooker (2008), gangguan cerna yang sering muncul adalah nyeri abdomen, perdarahan, dan diare. Gangguan-gangguan tersebut erat kaitannya dengan kondisi dari motilitas saluran pencernaan, yang dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan, khususnya motilitas usus. Pada setiap gangguan, pemilihan terapi harus dipertimbangkan secara hati-hati mengenai efek-efek yang berpotensi sebagai manfaat dari pada potensi efek sampingnya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam tanaman obat. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat kita (Masyud, 2010). Penggunaan obat tradisional sebagai upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pun cenderung meningkat karena adanya isu back to nature dan adanya kepercayaan masyarakat terhadap keunggulan obat tradisional dibandingkan dengan obat modern (Depkes RI, 1991). Salah satu tanaman berkhasiat yang ada di Indonesia adalah kemangi (Ocimum americanum L.). Daun kemangi banyak digunakan secara empiris sebagai peluruh air susu ibu, obat penurun panas, memperbaiki pencernaan, rematik, sariawan, muntah-muntah, mual, peluruh haid setelah bersalin, dan karminatif (Depkes RI, 1991). Sampai saat ini, belum pernah dilakukan penelitian terhadap kemangi tentang motilitas usus, namun spesies lain dari kemangi (Ocimum americanum L.), yaitu Ocimum gratissimum terbukti memiliki pengaruh terhadap pergerakan usus halus pada babi berupa penghambatan motilitas (Madeira et al., 2002). Offiah and Chikwendu (1999) juga menyatakan bahwa Ocimum gratisimum dapat menghambat motilitas usus mencit yang diamati berdasarkan metode charcoal meal. Berdasarkan penelitian Tangpu and Yadav (2006), diketahui bahwa efek penghambatan terhadap motilitas usus disebabkan oleh komponen minyak atsiri berupa sitral. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apakah daun kemangi (Ocimum americanum L.) yang juga mengandung sitral dapat memberikan pengaruh terhadap motilitas usus mencit putih jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian minyak atsiri daun kemangi (Ocimum americanum L.) terhadap motilitas usus mencit putih jantan.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
3
TINJAUAN TEORITIS Pencernaan adalah serangkaian sistem yang berperan dalam memecah molekul kompleks menjadi lebih sederhana agar bisa diserap oleh tubuh melalui organ pencernaan seperti usus halus. Usus halus merupakan suatu saluran dengan panjang sekitar 6,3 m (21 kaki) dengan diameter kecil 2,5 cm (1 inci). Usus ini berada dalam keadaan bergelung di dalam rongga abdomen dan terentang dari lambung sampai usus besar (Sheerwood, 2001). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Masingmasing bagian, baik itu duodenum, jejunum, maupun ileum memiliki peran dan fungsi yang dapat dibedakan berdasarkan lapisan dindingnya. Struktur dinding usus halus terdiri dari lapisan mukosa, mukosa muskularis, lapisan sub-mukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa (Schwartz, 1997). Pergerakan-pergerakan
pada
usus
halus,
baik
hewan
ruminansia
maupun
nonruminansia, pada dasarnya sama saja yaitu terdiri dari gerakan peristaltik, gerakan segmentasi dan gerakan pendulum (Frandson,1992). Gerakan usus halus ditimbulkan oleh otot yang terdiri dari sejumlah lapisan serabut memanjang (longitudinal) dan melingkar (sirkuler) serta otot sub-mukosa yang sangat kendor. Gerakan segmentasi merupakan serangkaian kontraksi yang tidak disebabkan oleh asam kimus, tetapi karena bercampur dengan getah cerna dan meningkatkan kontak dengan jonjot usus (villi intestinalis). Gerakan peristaltik terjadi akibat peregangan usus karena adanya aksi volume makanan yang meningkat (Shofiya, 2011). Sedangkan gerakan penduler terjadi pada lengkungan usus, menghambur keseluruh dinding usus, dan mencampurkan semua isi usus secara homogen (Schwartz, 2000). Motilitas usus halus merupakan perpaduan dari kontraksi, mioelektrik, tonus, dan pengangkutan. Kontraksi dapat berupa tonik maupun fasik ritmik yang mengakibatkan gerakan mencampur dan mendorong (Grasa et al., 2004). Motilitas usus didukung oleh berbagai perangkat kontraksi seperti otot polos penyusun dinding usus halus, pleksus intrinsik, maupun sel Interstitial Cell of Cajal yang memiliki sifat elektrik, sebagai pacemaker dalam gelombang pelan (Sang et al., 1998). Motilitas dari usus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu fungsi otonom otot polos, pleksus saraf intrinsik, dan saraf ekstrinsik. Menurut Sabiston (1995), usus halus mempunyai persarafan simpatis, yaitu nervus splachnicus dan nervus vagus pada persarafan parasimpatis. Nervus splachnicus menghantarkan neuron motorik simpatis ke ganglia simpatis, yang mengirimkan neuron ke dinding usus halus. Sedangkan nervus vagus merupakan sumber serabut sensorik dan motorik preganglion parasimpatis ke pleksus saraf intrinsik dinding usus. Serabut-serabut saraf
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
4
tersebut bekerja terhadap motilitas usus halus dimana neuron simpatis atau nervus adrenergik menghambat motilitas usus dan parasimpatis atau neuron kolinergik bekerja meningkatkan motilitas usus. Motilitas usus dibagi menjadi dua tahapan, yaitu (Sheerwood, 2001) : a.
Kontraksi segmentasi Segmentasi merupakan metode motilitas utama usus halus, yaitu dengan mencampur
dan mendorong kimus secara perlahan. Segmentasi terdiri dari kontraksi berbentuk cincin yang berosilasi (oscillating) otot polos sirkuler di sepanjang usus halus, diantara segmensegmen yang berkontraksi terdapat daerah-daerah yang berisi bolus kecil kimus. Cincin-cincin kontraktil timbul setiap beberapa sentimeter, membagi usus menjadi segmen-segmen seperti rantai usus. Segmen-segmen yang berkontraksi, setelah jeda singkat, melemas dan kontraksi berbentuk cincin kemudian muncul di daerah yang semula melemas. Kontraksi-kontraksi baru tersebut mendorong kimus di segmen yang semula lemas dalam dua arah ke daerah di sebelahnya yang sekarang melemas. Dengan demikian, segmen yang baru melemas menerima kimus dari kedua segmen yang berkontraksi di depan dan di belakangnya. Segera setelah itu, daerah-daerah yang berkontraksi dan melemas kembali bertukar. Dengan cara ini, kimus dihancurkan, dikocok, dan dicampur secara merata. Pencampuran tersebut memiliki fungsi ganda, yaitu mencampurkan kimus dengan getah pencernaan yang disekresikan ke dalam lumen usus halus dan memajankan seluruh kimus ke permukaan absorptif mukosa usus halus (Sheerwood, 2001). Diantara waktu makan, segmentasi akan sedikit atau tidak ada, tetapi segera setelah makan kontraksi segmental akan kuat. Baik duodenum maupun ileum mulai melakukan kontraksi segmental secara simultan sewaktu makanan pertama kali masuk usus halus. Duodenum mulai melakukan segmentasi terutama sebagai respons terhadap peregangan local yang ditimbulkan oleh adanya kimus. Segmentasi ileum yang kosong, dipihak lain, tampaknya ditimbulkan oleh gastrin, yang disekresikan sebagai respons terhadap keberadaan kimus di lambung (reflex gastroileum). Saraf-saraf ekstrinsik dapat memodifikasi kekuatan kontraksi-kontraksi tersebut. Rangsangan parasimpatis meningkatkan segmentasi, sedangkan stimulasi simpatis menekan aktivitas segmentasi (Sheerwood, 2001). Selain menyebabkan pencampuran kimus, segmentasi juga merupakan faktor utama mendorong kimus secara perlahan melewati usus halus. Sel-sel pemacu di duodenum mengalami depolarisasi spontan lebih cepat dibandingkan dengan sel-sel serupa di saluran bagian akhir. Kecepatan segmentasi di duodenum adalah 12 kontraksi per menit, sedangkan di ileum hanya sembilan kali per menit. Karena segmentasi terjadi lebih sering di bagian awal
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
5
usus halus dibandingkan di bagian akhir, lebih banyak kimus yang cenderung terdorong ke depan daripada ke belakang. Akibatnya, kimus secara sangat perlahan bergerak maju dari bagian awal usus halus ke bagian belakang, dan selama proses ini kimus mengalami gerakan maju mundur, sehingga dapat terjadi pencampuran dan penyerapan yang optimal. Mekanisme propulsive yang lambat ini menguntungkan karena akan tersedia cukup waktu untuk berlangsungnya proses pencernaan dan penyerapan. Isi usus biasanya memerlukan waktu tiga sampai lima jam untuk melintasi seluruh panjang usus halus (Sheerwood, 2001).
b.
Kompleks motilitas migratif Jika sebagian besar makanan sudah diserap, kontraksi segmental berhenti dan
digantikan oleh migrating motility complex (kompleks motilitas migratif atau “intestinal hauskeeper”) yang berlangsung diantara waktu makan. Motilitas di antara waktu makan ini berupa gelombang-gelombang peristaltik repetitif lambat yang berjalan singkat ke arah hulu usus sebelum lenyap. Gelombang berawal di lambung dan bermigrasi ke bawah usus halus. Jadi, setiap gelombang peristaltik baru dimulai di tempat yang terletak sedikit lebih ke bawah di usus halus. Gelombang peristaltik singkat ini memerlukan waktu sekitar 100-150 menit untuk akhirnya bermigrasi dari lambung ke bagian akhir usus halus, dengan setiap kontraksi menyapu semua sisa makanan sebelumnya ditambah debris mukosa dan bakteri ke arah kolon. Setelah akhir usus halus dicapai, siklus kembali dimulai dan terus terulang sampai makan berikutnya (Sheerwood, 2001).
Kemangi (Ocimum americanum L.) merupakan tanaman semak semusim dengan tinggi 30-150 cm. Sebagai kandungan utama, kemangi (Ocimum americanum L.) mengandung minyak atsiri berupa sitral (Siemonsma and Piluek ,1994). Daun kemangi (Ocimum americanum L.) banyak digunakan sebagai sayur mentah (lalapan), peluruh air susu ibu, obat penurun panas, memperbaiki saluran pencernaan, rematik, sariawan, panu, radang telinga, muntah, mual, peluruh haid setelah bersalin, dan karminatif (Depkes RI, 1991). Menurut Bhasin (2012), tanaman kemangi (Ocimum americanum L.) memiliki efek sebagai peluruh keringat, karminatif, dan stimulan. Hal ini terkait dengan adanya kandungan sitral dalam kemangi (Ocimum americanum L.). Minyak atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Berdasarkan penelitian analisis komponen minyak atsiri kemangi yang dilakukan Fadlianti (2010) dengan metode destilasi air, diperoleh hasil bahwa kemangi (Ocimum americanum L.) mengandung minyak atsiri berupa sitral. Dari
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
6
hasil analisis GC-MS yang dilakukan, diketahui adanya E-sitral (42,87 %), Z-sitral (33,24 %), nerol (19,56 %), 5-hepen-2-one (2,88 %), dan L-linalool (093 %) dalam daun kemangi segar. Sitral merupakan campuran dari dua monoterpen asiklik, yaitu geranial ( sitral atau sitral trans) dan neral (cis sitral atau sitral ) (Sadrei et al., 2003). Sitral bersifat volatil (mudah menguap), berwarna kuning muda dan beraroma lemon. Sitral berperan sebagai antimikroba, antiinflamasi, mempunyai efek diuretik, dan menstimulasi aktivitas sistem saraf pusat (Astuti, 2012). Atropin
sulfat
merupakan
antagonis
muskarinik
atau
antimuskarinik
atau
antikolinergik atau disebut juga adrenergik. Antagonis muskarinik digunakan untuk mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral, misalnya sebagai antispasmodik, penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum, pada bronkodilatasi, untuk memperoleh efek sentral, misalnya mengobati penyakit Parkinson, dan untuk memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna. Mekanisme kerja atropin sulfat adalah dengan memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Hambatan ini bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian asetilkolinestrase (Zunilda, 2007).
METODE PENELITIAN Alat: Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan hewan (A & D Jepang), timbangan analitik (Ohaus, USA), alat-alat gelas (Pyrex), kandang mencit, peralatan bedah, spuit (Terumo, Filipina), jarum suntik, dan sonde per oral.
Bahan: Minyak atsiri daun kemangi (MADK) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) Bogor, aquadest, CMC (Brataco Chemical, Indonesia), arang aktif (Brataco Chemical, Indonesia), alkohol 70%, atropin sulfat (PT. Ethica), sitral (Sigmaaldrich, Jerman), dan hewan uji yang digunakan adalah mencit putih jantan galur DDY (Deutschland, Denken, and Yoken) yang berumur kira-kira 1-2 bulan dengan bobot 15-25 g dalam kondisi sehat yang diperoleh dari LIPI.
Rancangan Penelitian Mencit diaklimatisasi selama satu minggu di dalam lingkungan laboratorium. Dengan pengelompokan secara acak, mencit dibagi menjadi enam kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor mencit. Pembagian kelompok dapat dilihat pada Tabel 1.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
7
Tabel 1. Kelompok perlakuan uji Kelompok
Jumlah Mencit
Perlakuan
Kontrol negatif
5
0,2 ml CMC 0,5% i.p + 0,2 ml Suspensi charcoal meal PO
Atropin Sulfat
5
Atropin sulfat 0,02 mg/20 g BB i.p + 0,2 ml Suspensi charcoal meal PO
Sitral
5
Emulsi Sitral 0,1 mg/20 g BB i.p + 0,2 ml Suspensi charcoal meal PO
MADK Dosis I
5
Emulsi minyak atsiri daun kemangi 0,5 mg/20 g BB i.p + 0,2 ml Suspensi charcoal meal PO
MADK Dosis II
5
Emulsi minyak atsiri daun kemangi 1 mg/20 g BB i.p + 0,2 ml Suspensi charcoal meal PO
MADK Dosis III
5
Emulsi minyak atsiri daun kemangi 2 mg/20 g BB i.p + 0,2 ml Suspensi charcoal meal PO
Keterangan : i.p PO MADK
= Intraperitoneal = Peroral = Minyak atsiri daun kemangi
Persiapan Hewan Uji Sebelum digunakan, mencit diadaptasikan (diaklimatisasi) selama satu minggu dalam kandang Laboratorium Farmakologi Farmasi UI agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Mencit diberi makan dan minum yang seragam dan dilakukan pengamatan rutin terhadap keadaan umum serta penimbangan berat badan mencit. Mencit yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi persyaratan, yaitu bermata jernih bersinar, bulu dan ekor tidak berdiri, tingkah laku normal, dan memiliki feses normal. Mencit yang memenuhi syarat, kemudian dipilih secara acak untuk digunakan pada penelitian.
Penetapan Dosis Minyak Atsiri daun kemangi Penelitian Tangpu and Yadav (2006) menunjukkan sitral memiliki aktivitas penghambatan terhadap transport charcoal meal dalam usus sebesar 47,66% pada dosis 5 mg/kg BB mencit. Dari hasil tersebut, maka dapat ditentukan dosis minyak atsiri daun kemangi, mengingat kandungan utama dari daun kemangi adalah sitral. Kandungan sitral dalam minyak atsiri daun kemangi sebesar 48,94% diperoleh berdasarkan hasil analisis dengan metode GC dari Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO). Dengan demikian, variasi dosis yang digunakan adalah 25 mg/kg BB, 50 mg/kg BB, dan 100 mg/kg BB mencit, maka dosis untuk mencit adalah :
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
8
a.
Dosis I
: 0,5 mg/20 g BB
b.
Dosis II
: 1 mg/20 g BB
c.
Dosis III : 2 mg/20 g BB
Uji Efektivitas Minyak Atsiri Daun Kemangi Prosedur Pengerjaan Sehari sebelum mencit dikorbankan, mencit dipuasakan dari makanan, namun tetap diberi minum selama 24 jam. Lalu mencit diberikan perlakuan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Lima menit kemudian, diberikan sebanyak 0,2 ml suspensi charcoal meal secara oral. Setalah 30 menit, mencit dikorbankan dengan cara dislokasi tulang leher. Untuk mendapatkan usus mencit dilakukan pengguntingan pada kulit bagian abdomen, lalu usus dipotong secara hati-hati mulai dari pylorus sampai caecum. Kemudian diukur panjang usus yang dilalui oleh suspensi charcoal meal dan panjang keseluruhan yang selanjutnya diihitung persentase ratio dan hambatan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Tangpu and Yadav, 2006; Offiah and Chikwendu, 1999; Pudjiastuti and Nugroho, 2006) :
Analisis Data Analisa data yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan program SPSS 16. Data persentase ratio yang diperoleh kemudian dilakukan uji Saphiro -Wilk untuk melihat normalitas data dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas data. Analisis dilanjutkan dengan uji analisis varians (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaan 95% sehingga untuk mengetahui apakah perbedaan yang diperoleh signifikan atau tidak. Jika terdapat perbedaan yang signifikan pada data, maka analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan antar tiap kelompok perlakuan (Besral, 2010). Untuk data persentase hambatan juga dilakukan uji Saphiro -Wilk untuk melihat normalitas data dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas data. Analisis dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui adanya perbedaan signifikan atau
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
9
tidak. Jika terdapat perbedaan signifikan pada data persentase hambatan, maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar tiap kelompok perlakuan (Besral, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN Data diperoleh dengan mengukur panjang usus yang dilalui charcoal dan dibandingkan dengan panjang usus seluruhnya sehingga diperoleh persentase ratio dan hambatannya. Hasil perhitungan persentase ratio dan hambatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Ratio dan Hambatan Motilitas Usus Perlakuan
Ratio (%) + SD
Hambatan (%) + SD
Kontrol negatif
64,42 + 0,083
0,00 + 0,000
Atropin Sulfat
27,51 + 0,064
57,29 + 0,082
Sitral
29,05 + 0,027
54,91 + 0,035
MADK Dosis I
53,97 + 0,062
16,23 + 0,042
MADK Dosis II
36,11 + 0,090
43,94 + 0,089
MADK Dosis III
25,90 + 0,021
59,79 + 0,039
Keterangan : SD MADK
= Standar deviasi = Minyak atsiri daun kemangi
Berdasarkan Tabel 2. persentase ratio pada kontrol negatif rata-rata adalah 64,42%. Berbeda dengan kontrol negatif, pada kontrol positif, yaitu atropin sulfat, persentase ratio yang diperoleh adalah 27,51%, yang artinya memiliki hambatan sebesar 57,29%. Persentase hambatan yang tinggi pada atropin sulfat tersebut menggambarkan bahwa metode pada pengujian terhadap motilitas usus mencit dalam penelitian ini dapat digunakan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, persentase hambatan oleh atropin sulfat sebagai kontrol positif terhadap motilitas usus menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan. Offiah and Chikwendu (1999) mendapatkan persentase hambatan pada motilitas usus mencit oleh atropin sulfat sebesar 57,23%. Pada penelitian Balekar et al. (2010),
persentase hambatan pada motilitas usus tikus dengan
menunjukkan angka 63,48%. Terdapat perbedaan antara hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian sebelumnya diduga karena terdapat perbedaan kondisi penelitian dan hewan uji yang digunakan.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
10
Tingginya hambatan pada kontrol positif, juga terlihat pada kontrol pembanding, sitral, yaitu sebesar 54,91%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tangpu and Yadav (2006) diperoleh persentase hambatan oleh sitral terhadap motilitas usus mencit sebesar 47,66%.
70
*** **
60
*** * **
Ratio (%)
50 40
* ** *
*
30
*
20 10 0 Kontrol negatif
Atropin sulfat
Sitral
MADK DI
MADK DII
MADK DIII
Kelompok
Gambar 1. Grafik persentase ratio Keterangan : *Berbeda secara signifikan pada α<0,05 dengan kontrol negatif; **Berbeda secara signifikan pada α<0,05 dengan kontrol positif (atropin sulfat); ***Berbeda secara signifikan pada α<0,05 dengan kontrol pembanding (sitral).
Pengujian pada minyak atsiri daun kemangi dosis I (0,5 mg/20g BB mencit), II (1 mg/20g BB mencit), dan III (2 mg/20g BB mencit) menunjukkan hambatan terhadap motilitas usus mencit berturut-turut 16,23%; 43,94%; dan
59,79%. Untuk melihat perbedaan
persentase ratio dari pengujian efektvitas minyak atsiri daun kemangi secara signifikan, dilakukan analisis statistik yang hasilnya dapat terlihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1. terlihat bahwa kontrol negatif menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan semua perlakuan, yaitu atropin sulfat, sitral, minyak atsiri dosis II (1 mg/20g BB mencit) dan III (2 mg/20g BB mencit), dan tentunya juga dengan dosis I (0,5 mg/20g BB mencit). Ini menggambarkan bahwa setiap perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini menunjukkan efek berupa hambatan terhadap motilitas usus mencit sesuai dengan dosis masing-masing.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
11
70 60
***
Hambatan (%)
50 40 30
*** **
20 10 0 Atropin sulfat
Sitral
MADK DI Kelompok
MADK DII
MADK DIII
Gambar 2. Grafik persentase hambatan Keterangan : **Berbeda secara signifikan pada α<0,05 dengan kontrol positif (atropin sulfat); ***Berbeda secara signifikan pada α<0,05 dengan kontrol pembanding (sitral).
Hasil analisis statistik data persentase ratio menunjukkan bahwa kontrol positif, yaitu atropin sulfat tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dengan kontrol pembanding, yaitu sitral dan minyak atsiri daun kemangi dosis III (2 mg/20g BB mencit). Hal ini juga terlihat dari analisis statistik data persentase hambatan (Gambar 2). Namun, pada analisis hambatan, atropin sulfat juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05) dengan minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit). Dengan demikian, diketahui bahwa sitral, minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit) dan III (2 mg/20g BB mencit) menunjukkan efektivitas yang sama dengan atropin sulfat. Pada hasil analisis statistik data persentase ratio memperlihatkan bahwa sitral, sebagai kontrol pembanding memiliki perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan minyak atsiri daun kemangi dosis I (0,5 mg/20g BB mencit). Namun, sitral tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dengan minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit) dan III (2 mg/20g BB mencit). Sedangkan hasil analisis statistik data persentase hambatan menunjukkan bahwa sitral memiliki perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit). Artinya, efektivitas dari minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit) berbeda dengan sitral. Hal ini dikarenakan dalam minyak atsiri daun
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
12
kemangi, tidak hanya terdapat sitral, tetapi juga terdapat komponen lain
yang diduga
memiliki efek antagonis. Sehingga, minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit) yang besarnya empat kali lipat dibandingkan dosis sitral, belum menunjukkan efektivitas yang tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dengan sitral. Dari analisis statistik selanjutnya, baik data persentase ratio maupun hambatan diperoleh hasil bahwa minyak atsiri daun kemangi dosis I (0,5 mg/20g BB mencit) menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit) dan III (2 mg/20g BB mencit). Minyak atsiri daun kemangi dosis II (1 mg/20g BB mencit) juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan minyak atsiri daun kemangi dosis III (2 mg/20g BB mencit). Dengan demikian, terlihat bahwa masing-masing dosis dari minyak atsiri daun kemangi memiliki efektivitas dalam penghambatan motilitas usus yang berbeda-beda. Dimana semakin tinggi dosis, maka semakin tinggi penghambatannya. Hal ini dikarenakan pada dosis yang lebih tinggi, kandungan sitral di dalamnya semakin besar. Penghambatan terhadap motilitas usus mencit yang diperlihatkan oleh minyak atsiri daun kemangi dan sitral pada penelitian ini menunjukkan efektivitas yang sama dengan atropin sulfat. Sehingga, diduga baik minyak atsiri daun kemangi maupun sitral memiliki mekanisme kerja yang sama dengan atropin sulfat sebagai antispasmodik dengan memblok asetilkolin di perifer, dalam hal ini adalah otot polos pada usus. Dengan adanya aktivitas ini menjadikan minyak atsiri daun kemangi berpotensi untuk digunakan sebagai karminatif, antidiare, dan juga antispasmodik. Dalam penelitian ini, kondisi usus yang diharapkan kosong melalui puasa ternyata tidaklah mudah didapatkan. Keterbatasan kandang yang digunakan menjadi faktor penting sulitnya hal tersebut. Namun, peneliti mencoba beberapa cara agar permasalahan ini dapat diatasi. Selain dengan mempuasakan mencit selama 24 jam, peneliti juga menggunakan berbagai alternatif alas kandang selama mencit dipuasakan. Dan ternyata, pemilihan alas berupa kertas yang berwarna putih lebih memudahkan pengamatan karena kimus yang terdapat di sepanjang usus cenderung berwarna putih. Hal ini jelas terlihat berbeda dengan warna hitam dari charcoal meal. Selain permasalahan kondisi usus mencit, manajemen waktu pengerjaan juga memiliki peranan penting dalam penelitian ini. Selama penelitian berlangsung, sebaiknya diupayakan agar jarak antara pembedahan mencit yang satu dengan lainnya tidak terlalu dekat, sehingga peneliti memiliki waktu yang cukup untuk merenggangkan usus mencit, memastikan keberadaan charcoal meal, dan sekaligus mengukur panjang usus yang dilalui charcoal meal
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
13
serta panjang usus seluruhnya. Hal ini dikarenakan kondisi usus yang dibiarkan terlebih dahulu akan lebih sulit direnggangkan dan tentu saja akan berpengaruh pada pengukurannya. Dengan manajemen waktu yang baik, kemungkinan kesalahan dalam pengukuran diharapkan dapat diminimalisir.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan: a.
Minyak atsiri daun kemangi (Ocimum americanum L.) dengan dosis 0,5 mg/20 g BB; 1 mg/20 g BB; dan 2 mg/20 g BB menunjukkan efek berupa penururunan motilitas usus mencit dengan persentase hambatan masing-masing 16,23%; 43,94%; dan 59,79%.
b.
Minyak atsiri daun kemangi (Ocimum americanum L.) dosis 2 mg/20 g BB memiliki efektivitas yang tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dengan sitral sebagai kontrol pembanding dan atropin sulfat sebagai kontrol positif.
c.
Minyak atsiri daun kemangi berpotensi untuk digunakan sebagai sebagai karminatif, antidiare, dan antispasmodik.
SARAN Penelitian ini menggunakan metode pengujian terhadap motilitas usus dengan charcoal meal sebagai penanda untuk mengetahui hambatan terhadap motilitas usus. Untuk mendapatkan data hambatan tersebut dapat juga digunakan metode lainnya, seperti metode enteropooling baik dengan induksi minyak jarak ataupun magnesium sulfat, uji aktivitas antidiare, atau juga uji secara in situ dengan menggunakan kimograf dan isolated organ bath. Untuk memperoleh data mengenai keamanan minyak atsiri daun kemangi, sebaiknya dilakukan uji toksisitas. Selain itu, penggunaan mencit sebagai hewan uji dapat juga diganti dengan hewan uji lain, seperti tikus.
KEPUSTAKAAN Astuti, E.P. (2012). Pemisahan Sitral dari Minyak Atsiri Serai Dapur (Cymbopogon citrats) sebagai Pelangsing Aromaterapi. Skripsi. FMIPA IPB. Balekar, N., Jain, D.K., Dixit, P., and Nair, V. (2010). Evaluation of Antidiarreal Activity of Ethanolic Stem Bark Extract of Albizzia lebbeck Linn. in rats. Songklanakarin J. Sci. Technol. 34 (3). 317-322. Besral. (2010). Pengolahan dan Analisa Data-1 Menggunakan SPSS. Depok: Departemen Biostatistika Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. 23-30, 58-64.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
14
Bhasin, Mala. (2012). Ocimum-Taxonomy, medical potentialities and economic value of essential oil. Journal of Biospere, 1. 48-50. Brooker, C. (2008). Ensiklopedia Keperawatan (Churchill Livingstone’s mini encyclopaedia of nursing). Editor : Estu Tiar. Jakarta : EGC. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1991a). Inventaris Tanaman Obat Indonesia Jilid I. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 420-421. Fadlianti, D. (2012). Karakterisasi Simplisia Isolasi dan Analisis Komponen Minyak Atsiri dari Daun Kemangi Segar dan Kering (Ocimum Folium) secara GC-MS. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Frandson, R.D. (1992). Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Keempat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Grasa, L., Rebollar, E., Arruebo, M.P., Plaza, M.A., and Murillo, M.D. (2004). The Role of Ca2+ in The Contractility of Rabbit Small Intestine In Vitro. Journal Physiol and Pharmacol 55, 3. 639-650. Madeira, S.V.F., Matos, F.J.A., Leal-Cardoso, J.H., and Criddle, D.N. (2002). Relaxant Effect of The Essential Oil of Ocimum gratissimum on Isolated Ileum of Guinea Pig. Journal of Ethnopharmacology, 81. 1-4. Masyhud. (2010). Lokakarya Nasional Tanaman Obat Indonesia. Siaran Pers Kementrian Kehutanan
Republik
Indonesia.
Juni
1,
2013
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6603. Offiah, V.N. and Chikwendu, U.A. (1999). Antidiarrhoeal effects of Ocimum gratissimum leaf extract in experimental animals. Journal of Ethnopharmacology 68. 327-330. Patrick, D. (2005). At a Glance Medicine. Editor : Amalia Saftri. Jakarta : Penerbit Erlangga, 223. Pudjiastuti dan Nugroho, Y.A. (2006). Uji Laksatif dan Toksisitas Akut Jus Daun Pace (Morinda citrofolia L.) pada Tikus Putih. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 14122855 Vol. 5, No. 1. Sabiston, D.C. (1995). Buku Ajar Bedah Bagian I. Editor : Jonatan Oswari. Jakarta : EGC, 551. Sang, D.K., Sanders, K.M., and Ward, S.M. (1998). Spontaneous Elctrical Rhythmicity in cultured Interstitil of Cajal from the murine small intestine. Reno : University of Nevada School of Medicine.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013
15
Schwartz, S. et al. (1997). Judul: Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah Edisi ke-6 Penerbit EGC 2000 Judul Animal physiology: Adaptation and Environment Penulis Knut SchmidtNielsen Edisi5, berilustrasi, direvisi Penerbit Cambridge University Press. Sherwood, L . (2001). Fisiologi Manusia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 570-573. Shofiya, A. (2011). Efek Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Tikus (Rattus norvegicus) Jantan terisolasi secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Farmasi: Universitas Sumatera Utara. Tangpu, V. and Yadav, A.K. (2006). Antidiarrhoeal activity of Cymbopogon citrates and its main constituent, citral. Pharmacologyonline 2. 290-298. Zunilda. (2007). Agonis dan Antagonis Muskarinik. Dalam Farmakologi dan Terapi ed. 5. Editor : Sulistia Ganiswara. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 48, 49, dan 51.
Pengaruh pemberian..., Dewi Sriyani, FF UI, 2013