i
PENGARUH PEMBERIAN DUA JENIS PESTISIDA TERHADAP PERUBAHAN ASAM FENOLAT SERTA PRODUKSI CO2 DAN CH4 PADA TANAH GAMBUT
FUZI SUCIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pemberian Dua Jenis Pestisida terhadap Perubahan Asam Fenolat serta Produksi CO2 dan CH4 pada Tanah Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Fuzi Suciati A154130171
iii
RINGKASAN FUZI SUCIATI. Pengaruh Pemberian Dua Jenis Pestisida terhadap Perubahan Asam Fenolat serta Produksi CO2 dan CH4 pada Tanah Gambut. Dibimbing oleh SYAIFUL ANWAR dan DADANG. Tanah gambut mengandung bahan organik yang tinggi, dimana degradasi dan dekomposisi dari bahan organik ini akan menghasilkan beberapa senyawa organik di antaranya berbagai asam fenolat, CO2 dan CH4. Upaya umum petani dalam memastikan keberhasilan produksi pertanian di tanah gambut menggunakan pestisida sintetik untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit. Pestisida sintetik yang tanpa sengaja jatuh ke tanah gambut akan bereaksi dengan bahan organik dan produk degradasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi pestisida terhadap interaksi dan ikatan asamasam fenolat pada tanah gambut serta menganalisis kadar emisi CO2 dan CH4. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai Maret 2015 di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Analitik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong. Sampel berasal dari lahan gambut yang telah disawahkan yang terletak di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini menggunakan 2 jenis pestisida yaitu herbisida paraquat diklorida dan insektisida BPMC. Dosis pestisida yang digunakan mengacu pada dosis formulasi anjuran pemakaian, yaitu 4 liter ha-1 untuk paraquat dan 1 liter ha-1 untuk BPMC. Perlakuan menggunakan 3 dosis bahan aktif (setengah, satu dan dua kali dosis anjuran): 1104 μg kg-1, 2208 μg kg-1, 4416 μg kg-1 untuk paraquat dan 485 μg kg-1, 970 μg kg-1, 1940 μg kg-1 untuk BPMC dengan satu kontrol. Setelah diinkubasi 1, 7, 14 dan 28 hari dilakukan analisis yang meliputi asam fenolat, residu pestisida, gugus fungsional, CO2 dan CH4. Hasil penelitian ini menunjukan pemberian pestisida menurunkan jumlah asam-asam fenolat di dalam tanah gambut. Penggunaan bahan aktif paraquat dan BPMC memperlihatkan pola yang sama terhadap perubahan konsentrasi asam fenolat dalam tanah. Dosis bahan aktif BPMC 242.5 μg menunjukkan penurunan residu pestisida lebih tinggi dibandingkan dosis yang lainnya yaitu sebesar 95%. Secara umum penggunaan bahan aktif paraquat pada semua dosis menunjukkan penurunan residu pestisida 100%. Pemeriksaan gugus fungsional dengan FTIR tidak mendeteksi adanya jenis gugus fungsional baru pada semua dosis bahan aktif dan pada semua jenis bahan aktif. Namun perubahan intensitas puncak serapan dapat merupakan indikasi bahwa terjadi perubahan komposisi senyawa kimia dalam tanah gambut selama periode inkubasi. Penambahan perlakuan pestisida tidak meningkatkan emisi CO2 dan CH4. Kata Kunci: Tanah gambut, paraquat, BPMC, asam fenolat
iv
SUMMARY FUZI SUCIATI. The Effect of Pesticides Application on Phenolic Acid Changes and CO2 and CH4 Productions on Peat Soil. Supervised by SYAIFUL ANWAR and DADANG. Peat soil has high organic mattesr, in which their degradation produce organic compounds such as phenolic acid, CO2, and CH4. The phenolic acids known as toxic to plants cause plant growth retardation. Common practices of farmer to ensure crops production on peat soil are application of syntetic pesticide in order to control pests and diseases. Unintended syntetic pesticides that fall into peat soil will react with organic matters and its degradation products. This research was conducted from August 2014 to March 2015 at Soil Biotechnology Laboratory, Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University and Analytic Laboratory, Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT), Serpong. Soil samples were taken from paddy field peat soil at Kanamit Jaya Village, District of Maliku, Pulang Pisau, Central Kalimantan. This study was aimed at to evaluate the effect of two types pesticide; herbicide paraquate dichloride and insecticide BPMC, on phenolic acids of peat soil. The pesticide dosages used based on the recommended application dose, i.e 4 liter ha-1 for paraquat and 1 liter ha-1 for BPMC. Treatments were consisted of 3 levels of dosage (half, equal and twice): 1104 μg kg-1, 2208 μg kg-1, 4416 μg kg-1 for paraquat and 485 μg kg-1, 970 μg kg-1, 1940 μg kg-1 for BPMC with single control. After 1, 7, 14 and 28 days of incubation, soil in each treatment was analyzed for phenolic acid, pesticide residue, function groups, and CO2 and CH4 production. This research result showed that pesticide application could decrease total of phenolic acids in peat soil. Paraquat and BPMC applications showed the similar pattern in the cause of phenolic acids concentration in soil. BPMC at the dosage of 242.5 μg/500 g of soil showed 95% residues reduction, higher than other dosages. Meanwhile, all dosage of paraquat remoted in 100% reduction of residue. Analysis using FTIR did not detect any additional functional groups. However, altered intensity of absorption peaks could be an indication of compositional changes of chemical substances within peat soil during incubation period. Pesticide application did not increase CO2 dan CH4 emission. Key words: Peat soil, paraquat, BPMC, phenolic acid
v
© Hak Cipta IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
PENGARUH PEMBERIAN DUA JENIS PESTISIDA TERHADAP PERUBAHAN ASAM FENOLAT SERTA PRODUKSI CO2 DAN CH4 PADA TANAH GAMBUT
FUZI SUCIATI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Rahayu Widyastuti, MSc
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengaruh Pemberian Dua Jenis Pestisida terhadap Perubahan Asam Fenolat serta Produksi CO2 dan CH4 pada Tanah Gambut” dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarya kepada Dr. Syaiful Anwar, MSc dan Prof. Dr. Dadang, MSc. selaku pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, saran serta bimbingan selama proses penelitian hingga penulisan tesis ini selesai.
1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada: Dr.Rahayu Widyastuti, MSc selaku dosen penguji luar komisi yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran terhadap tesis ini. BPPT yang telah memberikan dukungan dana melalui beasiswa Pusbindiklat tahun 2013. DIPA IPB (Penelitian Unggulan Strategis Nasional) tahun 2014 yang telah mendanai penelitian ini. Budi Haryanto suamiku tercinta serta anak-anakku Shaumi Fitriani dan Syauqi Azka Firdaus atas kesabaran dan dorongan semangat. Ayahanda Yusman Sastraatmaja dan Ibunda Nena Hasanah atas asuhan, didikan, kasih sayang, doa restu yang tulus. Terima kasih pula kepada saudara-saudaraku Fazar Nugraha, Surya Permana dan Fatwa Tawakal. Kepala Balai Teknologi Lingkungan Bapak Arie Herlambang, Kepala Lab. Analitik Ibu Susi Sulistia, Kasie Program Bapak Dwindrata Basuki Aviantara, Kasubag TU Bapak Djoko Prasetyo, Ibu Nida Sopiah serta teman-teman di Balai Teknologi Lingkungan lainnya. Terimakasih atas kemudahan fasilitas yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian. Ibu Maulia Aries Susanti, Bapak Eman Sulaeman serta rekan-rekan seperjuangan di Program Pascasarjana Bioteknologi Tanah dan Lingkungan atas jalinan persahabatan, kerjasama, dan kebersamaan selama menempuh pendidikan. Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semuanya. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan. Aminn ya Rabbal A’lamin. Bogor, Januari 2016 Fuzi Suciati
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
xi xi xi 1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Sifat Kimia Tanah Gambut Emisi Karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4) Karbondioksida (CO2) Metana (CH4) Pestisida Herbisida Paraquat Insektisida buthylphenyl methylcarbamate (BPMC)
3 5 6 6 7 8 9 10
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Inkubasi dan Pengambilan Sampel Analisis Asam Fenolat Analisis Residu Pestisida Analisis Gugus Fungsional Pengukuran Produksi CO2 dan CH4 Analisa Data
11 12 12 12 13 13 13 14 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Sampel Tanah Gambut Asam Fenolat Asam Fenolat Setelah Perlakuan Asam Fenolat Murni Gugus Fungsional Interpretasi FTIR Tanah Gambut dengan Paraquat dan BPMC Interpretasi FTIR BPMC dengan Asam Kumarat dan Ferulat Murni Interpretasi FTIR Paraquat dengan Asam Kumarat dan Ferulat Murni Residu Pestisida Produksi CO2 dan CH4
15 15 15 19 22 22 25 29 31 33
SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
35 36 39
xi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Parameter utama tanah gambut 15 Hasil analisis jenis dan konsentrasi asam fenolat 16 Hasil analisis residu pestisida 29 Emisi CO2 dan CH4 hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada 30 berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Bahan organik dalam tanah gambut Struktur asam fenolat Rumus bangun paraquat Sintesis paraquat Rumus bangun BPMC Peta lokasi pengambilan sampel tanah gambut Bejana inkubasi Grafik komposisi asam fenolat hasil perlakuan pestisida paraquat pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Grafik komposisi asam fenolat hasil perlakuan pestisida BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Grafik total asam fenolat hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Grafik asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC setelah periode inkubasi 1-28 hari Spektra HPLC periode inkubasi 1 dan 14 hari asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida paraquat Ilustrasi ikatan antara pestisida paraquat dengan asam fenolat Spektra HPLC periode inkubasi 1dan 14 hari asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida BPMC Spektrum FTIR untuk kontrol Spektrum FTIR untuk A3 hari ke-28 Spektrum FTIR untuk B3 hari ke-28 Spektrum FTIR pestisida BPMC Spektrum FTIR asam kumarat murni Spektrum FTIR gabungan asam kumarat dengan BPMC Reaksi kondensasi antara gugus karboksilat dengan asam kumarat Reaksi kondensasi antara gugus karboksilat dengan asam ferulat Spektrum FTIR asam ferulat murni Spektrum FTIR gabungan asam ferulat dengan BPMC Reaksi autooksidasi dari paraquat Spektrum FTIR gabungan asam kumarat dengan paraquat Spektrum FTIR gabungan asam ferulat dengan paraquat Spektrum FTIR pestisida paraquat Ilustrasi bentuk ikatan antara bahan organik dengan herbisida diquat dan paraquat Pengaruh perlakuan pestisida terhadap rata-rata produksi CO2 dan CH4 Pengaruh waktu inkubasi terhadap rata-rata produksi CO2 dan CH4
5 6 10 10 10 11 13 16 17 19 20 21 21 22 24 24 25 26 26 27 27 28 28 29 29 30 30 31 32 33 33
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Komposisi asam fenolat hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Komposisi asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Bilangan gelombang serapan karakteristik gugus fungsional Contoh perhitungan konversi pestisida Produksi CO2 dan CH4 hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari
35 36 37 39 45
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan lahan suboptimal untuk pertanian karena kesuburannya yang rendah, pH sangat masam, kapasitas tukar kation yang sangat tinggi, kejenuhan basa rendah, dan drainase yang buruk (BBSDLP 2011). Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan diarahkan kepada lahan gambut karena mempunyai beberapa kelebihan di antaranya ketersediaan air melimpah dan topografi relatif datar (Noor 2001). Tanah gambut di Indonesia biasanya terbentuk dari dekomposisi pepohonan yang mempunyai kandungan lignin tinggi. Dekomposisi lignin ini akan menghasilkan beberapa senyawa asam organik seperti: asetat, butirat dan fenolat (Stevenson 1994). Tanah gambut di Jambi dan Kalimantan Tengah mengandung derivat asam fenolat yang penting, yaitu: ferulat, sinapat, kumarat,vanilat, siringat, galat dan hidroksibenzoat (Mario & Sabiham 2002). Asam fenolat bersifat toksik bagi tanaman karena menghambat pertumbuhan. Pada konsentrasi 250 μM menurunkan secara nyata serapan kalium oleh tanaman barley (Hartley & Whitehead 1984). Menurut Tadano et al. (1992) asam salisilat dan asam ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor pada gandum, asam ferulat pada konsentrasi 500 – 1000 μM juga menurunkan serapan fosfor pada kedelai serta asam hidroksibenzoat yang diberikan pada konsentrasi > 0.1 μM menurunkan bobot kering tanaman. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Wang et al. (1967) bahwa konsentrasi asam hidroksibenzoat sebesar 7 – 70 μM dapat menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan, sedangkan pada konsentrasi 360 μM menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar tebu. Pilihan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut menghadapi berbagai kendala di antaranya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Gangguan OPT (hama–penyakit–gulma) dapat mengakibatkan penurunan dan ketidaksinambungan produksi. Oleh karena itu, keberhasilan pengembangan lahan gambut menjadi lahan pertanian tidak lepas dari penggunaan pestisida. Pada saat pestisida diaplikasikan, kurang lebih hanya 20% yang mengenai sasaran, sedangkan 80% lainnya jatuh ke tanah atau terlindi ke perairan (Sa’id 1994). Tingginya kandungan bahan organik pada lahan gambut memungkinkan terjadinya mekanisme pengikatan pestisida oleh bahan organik karena memiliki gugus fungsional kimia, seperti: karboksil, hidroksil dan amina yang dapat berinteraksi dengan pestisida (Yong et al. 1992). Sebagian besar molekul pestisida bersifat non-polar sehingga keberadaan senyawa organik dalam gambut menjadi penting dalam hal pengikatan pestisida (Harrad 1996). Pedersen et al. (1995) mengungkapkan bahwa terikatnya pestisida pada senyawa organik gambut memengaruhi sifat dan mobilitasnya sehingga menyebabkan pestisida secara fisiologik menjadi tidak aktif dan sulit diurai oleh mikroba sehingga menurunkan pergerakan spasial pestisida. Selain itu Gerstler (1991) mengemukakan bahwa terikatnya pestisida dengan bahan organik mengurangi aktifitas asam fenolat.
2 Lahan gambut merupakan salah satu sumber emisi terbesar bila dirubah dari lingkungan hutan alam. Lahan gambut dikenal merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar dari sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan cadangan karbon sangat besar yaitu 550 Gt CO2-e, setara dengan 75% karbon di atmosfer atau setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten 2007). Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang mudah mengalami dekomposisi apabila ada perubahan kondisi lingkungan menjadi aerob. Proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan gas CO2 dan gas metan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fitriyani (2013), menunjukan bahwa pemberian pestisida pada tanah gambut selama 30 hari inkubasi memperlihatkan dimana bahan aktif paraquat menekan konsentrasi asamasam fenolat sebesar 56.9 % dari tanah gambut. Selain itu, penggunaan pestisida juga terdapat kaitannya dengan penurunan GRK. Hal ini dibuktikan oleh Susanti (2015) yang memperlihatkan hasil bahwa pestisida berbahan aktif Butylphenyl methylcarbamate (BPMC) yang diaplikasikan satu minggu sekali menurunkan emisi CO2 dan CH4 sebesar 26%. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan, maka pertanyaan penelitian ini yaitu: 1. Bagaimanakah pengaruh aplikasi dua jenis pestisida terhadap interaksi dan ikatan antara asam-asam fenolat pada tanah gambut ? 2. Bagaimanakah produksi CO2 dan CH4 berkorelasi dengan penambahan pestisida pada tanah gambut ? Tujuan Penelitian 1. Mengevaluasi pengaruh aplikasi dua jenis pestisida terhadap interaksi dan ikatan asam-asam fenolat pada tanah gambut. 2. Menganalisis kadar emisi CO2 dan CH4 pada tanah gambut dengan pemberian pestisida. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengungkap perilaku fisiko kimia asam fenolat dalam tanah gambut disawahkan dengan penambahan pestisida. Lebih jauh, informasi ilmiah yang didapat dari hasil studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam mengembangkan upaya monitoring lingkungan untuk mitigasi emisi gas CO2 dan CH4.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Gambut secara harafiah diartikan sebagai onggokan sisa tanaman yang terakumulasi dalam masa dari ratusan sampai bahkan ribuan tahun. Berdasarkan ilmu epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik yang terakumulasi secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat atau hanya sebagian yang mengalami perombakan (decomposed) (Noor 2010). Hardjowigeno (1986) Menyebutkan bahwa gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Akumulasi terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik. Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomi), tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0.1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0.1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff 2003). Penyebaran tanah gambut biasanya mengikuti pola landform yang terbentuk diantara dua sungai besar, biasanya berupa dataran rawa pasang surut dan dataran gambut. Landform tersebut terletak di belakang tanggul sungai. Tanah gambut yang menyebar langsung di belakang tanggul sungai dan pembentukannya dipengaruhi oleh luapan air sungai disebut gambut topogen, sedangkan yang terletak jauh di pedalaman dipengaruhi oleh air hujan biasa disebut gambut ombrogen. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (BBSDLP 201). Menurut Barchia (2006) berdasarkan bahan induknya gambut dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu yang pertama adalah gambut endapan, gambut ini biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Gambut endapan menyerap air sangat lambat serta mempunyai sifat sangat keras dan bergumpal. Gambut endapan tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman. Kedua adalah gambut berserat yang mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum, sebagian, atau seluruhnya terdekomposisi, dan terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan. Ketiga adalah
4 gambut kayuan, biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuannya mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian. Pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu (Andriesse 1988). Secara umum Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa tingkat kematangannya tanah gambut dapat dibedakan menjadi gambut Fibrik yaitu gambut yang belum melapuk atau tingkat dekomposisinya masih rendah, bahan asalnya masih bisa dikenali, bila diremas lebih dari 75% seratnya masih tersisa, berat jenis sangat rendah (≤ 0.1) berwarna kuning sampai pucat. Gambut hemik merupakan gambut setengah lapuk dengan tingkat dekomposisi sedang, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, bila diremas bahan seratnya 15-75%, berat jenis antara 0.07- 0.18, berwarna coklat muda sampai coklat tua. Gambut saprik adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, bila diremas kandungan seratnya kurang dari 15%, berwarna coklat tua sampai hitam. Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum (dasar gambut) dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik (Wahyunto & Mulyani 2011). Gambut mesotrofik adalah gambut dengan tingkat kesuburan sedang karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa yang sedang. Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Gambut eutrofik atau gambut yang subur di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan. Secara ekonomi lahan gambut berperan penting karena berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian padi sawah. Lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (<100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam (BBDSLP 2008). Pengembangan lahan gambut untuk pertanian dihadapkan pada beberapa kendala antara lain; secara umum lahan gambut memiliki kesuburan rendah dan mudah mengalami degradasi kesuburan. Hal ini ditandai dengan tanah yang masam (pH rendah), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah, mengandung asamasam organik beracun, serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) yang rendah. Gambut juga memiliki sifat kering tak balik, mudah mengalami subsidensi (penurunan permukaan), mudah terbakar, daya menahan beban (bearing capacity) yang rendah, dan memiliki potensi jangkitan penyakit (virulensi) yang tinggi, serta tingginya perkembangan organisme pengganggu tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman). Oleh karena itu keberhasilan pengembangan lahan gambut untuk pertanian pangan melibatkan upaya-upaya seperti pengeringan lahan, pengelolaan air dan lahan, pemupukan, pemberian amelioran, dan penggunaan pestisida.
5 Sifat Kimia Tanah Gambut Tanah gambut terbentuk dari timbunan bahan organik, sehingga kandungan karbon pada tanah gambut sangat tinggi. Kurang dari 5% tanah gambut di Indonesia adalah fraksi anorganik sedangkan lebih dari 95 % terdiri dari fraksi organik. Fraksi organik ini terdiri atas senyawa-senyawa humat sekitar 10% hingga 20%, sebagian besar terdiri atas senyawa-senyawa non-humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tanin, resin, suberin, dan sejumlah kecil protein, sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat dan humin (Stevenson 1994). Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya selebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11%. Dekomposisi tanah gambut kayu-kayuan kaya lignin dalam keadaan anaerob selain menghasilkan asam-asam alifatik juga menghasilkan asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi tanaman (Kononova 1968)
Gambar 1 Bahan organik dalam tanah gambut Senyawa fenolik mempunyai struktur yang khas, yaitu memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat pada satu atau lebih cincin aromatik benzena. Keempat senyawa seperti asam ferulat, sinapat, kafeat dan p-kumarat yang paling tersebar luas adalah senyawa yang merupakan bangunan dasar lignin.
6
Gambar 2 Struktur asam fenolat Emisi Karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4) Menurut konsep pedologi, gambut adalah sumber dan rosot sink karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian mengakibatkan terlepasnya gas rumah kaca (GRK) ke atmosfir, melalui proses oksidasi dan reduksi. Percepatan mineralisasi lahan gambut dapat mengubah fungsi gambut dari penambat karbon menjadi pelepas karbon berupa CO2 dan CH4 ke atmosfer, ini berarti meningkatkan pemanasan global. Fungsi lahan gambut yang begitu besar dan karakteristiknya yang unik, menyebabkan pengembangan lahan gambut tidak hanya berdampak terhadap lahan gambut itu sendiri tetapi juga terhadap lingkungan secara luas (regional dan global). Emisi GRK dari sektor pertanian sebagian besar dihasilkan dari proses respirasi yang terjadi di dalam tanah. Mosier et al. (2004) menyatakan lahan pertanian merupakan sumber utama emisi gas yang berasal dari kegiatan antropogenik. Gas rumah kaca yang dihasilkan di dalam tanah akan ditransportasikan ke atmosfer melalui lintasan difusi gas dan sebagian lain terlarut dalam air dan bergerak ke atmosfer melalui evapotranspirasi. Produksi dan transportasi GRK tersebut berkaitan erat dengan potensial redoks, pH, porositas serta aerasi yang secara praktikal dapat didekati dengan pengelolaan air (Suprihati 2007). Berikut ini adalah penjelasan mengenai beberapa gas rumah kaca yang utama. Karbondioksida (CO2) Karbondioksida merupakan jenis emisi gas yang memiliki konsentrasi paling tinggi di udara jika dibandingkan dengan emisi gas yang lain. Menurut informasi dari World Meteorogical Organization / WMO (2007), CO2 merupakan gas penyerap sinar inframerah yang utama, dihasilkan dari aktivitas antropogenik dan bertanggungjawab terhadap 63% dari total radiasi yang diterima bumi. CO2 juga berkontribusi dalam meningkatkan radiasi sebanyak 87% selama dekade terakhir dan 91% selama lima tahun terakhir. Emisi CO2 dapat berasal dari penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas bumi, serta dari industri semen dan konversi lahan. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74% dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24% dan industri semen sebesar 3% (Sugiyono 2006).
7 Terkait dengan emisi CO2 yang berasal dari lahan pertanian, Setyanto (2008) menyatakan karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Meskipun emisi CO2 sangat tinggi di lahan pertanian, tetapi gas ini akan kembali digunakan tanama n saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Produksi CO2 dari tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi akar tanaman dan mikroba. Praktek pengelolaan lahan yang berpengaruh terhadap penyimpanan dan pelepasan CO2 juga berkontribusi terhadap emisinya (Suprihati 2007). Karbon dioksida terbebaskan dari tanah ke atmosfer melalui proses respirasi. Respirasi tanah tersebut merupakan gabungan antara tiga proses biologi yaitu respirasi mikroorganisme, respirasi akar, dan respirasi hewan yang ada di permukaan tanah atau pada lapisan tanah atas dimana residu tanaman terkonsentrasi serta satu proses non-biologis, yaitu proses oksidasi kimia yang dapat terjadi pada suhu tinggi (Rastogi et al. 2002). Metana (CH4) Metana (CH4) berkontribusi sebanyak 18.6% dari total radiasi yang diterima bumi. Metana secara tidak langsung dapat menimbulkan efek negatif pada iklim permukaan bumi dengan cara mempengaruhi ozon pada lapisan troposfer dan uap air pada lapisan stratosfer. Metana teremisikan ke atmosfer melalui proses alami (± 40%, contoh : lahan basah dan rayap) dan sumber-sumber antropogenik (± 60%, contoh : eksploitasi bahan bakar fosil, lahan sawah, ruminansia, pembakaran biomassa, dan pengolahan tanah). Metana dapat dihilangkan dari atmosfer melalui reaksi dengan senyawa OH dan mampu bertahan di atmosfer selama ± 9 tahun. Selain waktu paruh yang lama, CH4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Bakteri metanotrop pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian dirubah menjadi CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfir dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B) (Setyanto 2008). Produksi gas rumah kaca metana (CH4) berasal dari dekomposisi bahan organik secara anaerob (Suprihati 2007). Menurut Mosier et al. (2004), produksi metana hanya terjadi dalam kondisi anaerobik seperti yang terjadi di daerah rawa alami dan sawah dataran rendah. Proses utama yang terjadi di lahan tergenang dan merupakan sumber CH4 adalah serangkaian reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang dimediasi oleh beberapa jenis mikoorganisme yang berbeda. Metana juga dikonsumsi di dalam tanah tetapi oleh bakteri dari kelas yang berbeda yaitu metanotrop. Konsumsi CH4 tersebut ada dalam jumlah yang kecil. Proses produksi metana (metanogenesis) terjadi pada lapisan anaerobik tanah oleh bakteri pendekomposisi bahan organik. Proses tersebut terjadi setelah sejumlah ion yang berperan sebagai elektron akseptor dalam oksidasi bahan organik menjadi CO2, seperti O2, nitrat, mangan, besi dan sulfat direduksi (Dubey 2005). Beberapa kemungkinan reaksi terbentuknya metana adalah sebagai berikut: 1. Reduksi H2 terhadap CO2 oleh metanogen kemoautotropik : CO2 + H2 → CH4+ 2H2O
8 2. Beberapa strain metanogen juga dapat menggunakan HCOOH atau CO sebagai substrat untuk memproduksi metana, CO2 dan H2 : 4HCOOH → CH4+ 3CO2+ 2H2O 4CO + 2H2O → CH4+ 3CO2 3. Metana juga bisa diproduksi oleh metilotrof metanogen dengan menggunakan substrat yang mengandung kelompok metil seperti metanol, asam asetat dan trimetilamin 4CH3OH → 3CH4+ CO2+ 2H2O CH3COOH → CH4+ CO2 4(CH3)3-N + 6H2O → 9CH4+ 3CO2+ 4NH3 Jumlah CH4 yang teremisi dari tanah ke atmosfer merupakan hasil keseimbangan dari dua proses yang saling berkebalikan, yaitu proses produksi dan oksidasi metana. Gas metana teremisikan dari tanah ke atmosfer melalui tiga jalur utama yaitu difusi, ebullition, dan transpor melalui tanaman (Dubey 2005). Proses difusi metana di dalam tanah berjalan lambat dan laju difusinya sangat rendah bila dibandingkan dengan dua jalur yang lain. Ebullition terjadi ketika CH4 teremisikan ke atmosfer dalam bentuk gelembung-gelembung gas. Gelembung metana pada umumnya terbentuk pada lapisan yang jenuh dengan air. Terbebasnya gelembung metan ke lapisan aerobik yang dekat dengan permukaan tanah menunjukkan tidak ada konsumsi metan oleh metanotrof atau ada tapi dalam jumlah yang kecil (Couwenberg 2009). Menurut Li (2000), ebullition hanya terjadi pada lapisan permukaan dan tingkatnya dikendalikan oleh konsentrasi CH4 di dalam tanah, temperatur, porositas tanah dan aerencym tanaman. Jalur distribusi emisi metana ke atmosfer yang dimediasi oleh tanaman terjadi melalui jaringan aerenchym. Menurut Couwenberg (2009), sebagian besar tanaman yang tumbuh di tanah yang basah/lembab memiliki jaringan aerenchym yang digunakan untuk mendistribusikan oksigen ke zona akar sebagai bentuk adaptasi sistem perakaran di tanah yang lembab. Keberadaan oksigen di zona perakaran memungkinkan terjadinya oksidasi metana di zona tersebut. Pada saat yang sama, metana yang ada di zona perakaran ditrasportasikan menuju atmosfer dengan melewati zona aerob melalui jaringan aerenchym. Pestisida Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama, dan sida berasal dari kata caedo yang berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan sebagai pembunuh hama. The United States Federal Environmental Pesticides Control Acts (1977) menyatakan pengertian pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk melindungi, menghancurkan, mengusir atau mengurangi serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, atau segala bentuk pengganggu yang berasal dari daratan atau perairan baik berupa tumbuhan maupun hewan, virus, bakteri atau mikroorganisme yang dinyatakan sebagai hama kecuali virus, bakteri maupun mikroorganisme lain yang terdapat pada manusia atau hewan lainnya, mengatur pertumbuhan tanaman, atau pengering tanaman.
9 Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1992 yang dimaksud dengan pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman. Menurut Sudarmo (1991) pestisida dapat digolongkan berdasarkan jenis sasarannya menjadi insektisida (serangga), fungisida (fungi/jamur), rodentisida (hewan pengerat/rodentia), herbisida (gulma), akarisida (tungau), bakterisida (bakteri), dan nematisida. Berdasarkan jenis bahan kimia penyusunnya pestisida digolongkan menjadi golongan organofosfat, karbamat, bipiridil, arsen, antikoagulan, organoklorin, organosulfur dan dinitrofenol. Pestisida berdasarkan bentuk bahan yang digunakan yaitu bahan aktif, bahan teknis dan formulasi. Berdasarkan sifat dan cara kerja herbisida terbagi menjadi racun sistemik dan racun kontak, sedangkan insektisida terbagi menjadi racun kontak, sistemik, perut dan fumigan. Racun sistemik artinya dapat diserap melalui sistem organisme misalnya akar atau daun kemudian diserap ke dalam jaringan tanaman sehingga menghasilkan peracunan pada hama. Racun kontak artinya langsung dapat menyerap melalui kulit pada saat pemberian insektisida atau dapat pula serangga target kemudian kena sisa insektisida (residu) beberapa waktu setelah penyemprotan. Pestisida masuk ke dalam tanah melalui tetesan dari tanaman, serangga yang telah terbunuh, perawatan pada pembibitan tanaman, lekukan akar tumbuhan, semprotan yang tidak mengenai organisme sasaran dan jaringan tubuh tanaman (Sudarmo 1991). Dekomposisi dan degradasi dapat terjadi karena aktivitas mikroorganisme tanah, aktivitas invertebrata tanah, termasuk cacing tanah, dan juga oleh enzim tanaman setelah diabsorpsi oleh akar. Produk akhir yang dihasilkan adalah karbon dioksida dan air, dan nitrat, sulfat atau fosfat jika pestisida mengandung nitrogen, sulfur, atau fosfor. Dekomposisi juga dapat terjadi pada tanah yang disterilkan termasuk degradasi kimia seperti, hidrolisis, reduksi dan oksidasi yang merupakan proses yang sangat penting. Pada permukaan tanah, kebanyakan dari pestisida didekomposisikan oleh sinar matahari (fotolisis) (Wild 1995). Herbisida Paraquat Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia 1,1’dimetil-4,4’-bipiridinium atau dalam bentuk paraquat dichloride [C12H14N2]Cl2, merupakan herbisida golongan bipiridil yang berefek toksik sangat tinggi. Paraquat merupakan pestisida kationik (Gevao 2000), dapat pula ditemukan secara komersial sebagai garam methyl sulfat (C12H14N2.2CH3SO4). Paraquat mempunyai ciri berupa padatan berwarna kuning keputihan dan berbau seperti ammonia akan tetapi biasanya dalam bentuk konsentrat 20-24% dengan berat molekul 257.16 g mol−1, sangat larut di dalam air, kurang larut dalam alkohol tidak larut dalam senyawa hidrokarbon, stabil dalam larutan asam atau netral dan tidak stabil dalam senyawa alkali. Paraquat mempunyai titik didih 1750 C – 1800 C atau sekitar 760 mmHg serta pH 6.5 – 7.5. Paraquat memiliki kemampuan menyerap sinar radiasi ultra violet pada panjang gelombang maksimum 260 nm, yaitu sebagai akibat transisi elektronik pada ikatan rangkap terkonjugasi dalam gugus bipiridil. Paraquat tereduksi berwarna biru dan menyerap sinar pada panjang gelombang 600 nm.
10 Paraquat disintesis pertama kali pada tahun 1882 oleh Weidel dan Russo. Kandungan paraquat pertama kali dijelaskan pada tahun 1958 dan mulai menjadi produk komersil pada tahun 1962. Paraquat diproduksi dengan cara menggabungkan piridin dengan natrium amida melalui reaksi oksidasi menghasilkan 4,4'-bipiridin, yang kemudian termetilasi dengan klorometana.
Gambar 3 Rumus bangun paraquat (Sumber : The pesticide manual 1997) Paraquat bekerja secara non-selektif menghancurkan jaringan tumbuhan dengan mengganggu atau merusak membran sel. Mekanisme utama yang terjadi, paraquat menimbulkan stres oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan (Sudarmo 1991). Insektisida Buthylphenyl methylcarbamate (BPMC) BPMC merupakan insektisida non-sistemik dengan kerja sebagai racun kontak. Nama resmi insektisida ini adalah fenobukarb, tetapi di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC yang merupakan singkatan dari nama kimianya, yaitu 2buthyl-2-phenyl N-methylcarbamate. BPMC berbentuk kristal berwarna kuning muda atau merah muda, memilki kelarutan 660 mg/l dalam air dan 200 g/l dalam dichloromethane, isopropylalcohol, toluene serta memiliki titik lebur 31-320C. Insektisida dari golongan karbamat termasuk golongan pestisida non ionik (Gevao 2000), relatif mudah diurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi dalam jaringan lemak hewan. digunakan untuk mengendalikan wereng dan trips pada beberapa tanaman, termasuk padi. Selain itu juga dapat mengendalikan ulat buah dan aphids pada kapas. Insektisida ini bekerja dengan cara menghambat enzim kholinesterase yang memiliki fungsi penting dalam sistem syaraf serangga sehingga mampu mematikan serangga pengganggu tanaman (Sudarmo 1991).
Gambar 5 Rumus bangun BPMC (Sumber : The pesticide manual 1997)
11
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai Maret 2015 di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis asam-asam fenolat dan residu pestisida dilakukan di Laboratorium Analitik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong. Analisis gugus fungsional dilakukan di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), BATAN. Sampel berasal dari lahan gambut yang telah disawahkan yang terletak di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi pengambilan sampel tanah terletak pada titik geografik 2 0 55’46” LU and 1140 10’16” BT.
Kanamit Jaya
Gambar 6 Peta lokasi pengambilan sampel tanah gambut
12 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu untuk pengambilan sampel tanah terdiri atas: cangkul, cool box, plastik sampel, parafilm dan wadah sampel, sedangkan untuk analisa di laboratorium terdiri atas: bejana inkubasi, timbangan analitik, micro pipet, magnetic stirrer, shaker, syringe, timbangan, vortex, oven, botol vial, gas chromatography (GC), high-performance liquid (HPLC) Shimadzu 20A, Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR) Shimadzu Prestige-21. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah: sampel tanah gambut dari Kalimantan Tengah, pestisida yaitu herbisida Gramoxon dengan bahan aktif paraquat dan insektisida Baycarb dengan bahan aktif buthylphenylmethyl carbamat (BMPC), metanol, TFA, methyl orange, indikator phenol phetalin, HCl, NaOH 0.2 N. Prosedur Penelitian Pengambilan sampel tanah merujuk pada Elsas & Smalla (1997) yang menggunakan metode random sampling pada lahan seluas satu hektar. Sampel tanah diambil secara komposit pada kedalaman 0 - 25 cm. Analisis fisik dan kimia tanah awal meliputi pH, kadar C-organik, N-total, kadar serat, warna dan tingkat dekomposisi. Penelitian ini menggunakan 2 jenis pestisida dengan 3 dosis (setengah, satu, dua kali dosis aplikasi) dan kontrol. Dosis pestisida yang digunakan mengacu pada dosis formulasi anjuran pemakaian, yaitu 4 liter ha-1 untuk paraquat dan 1 liter ha-1 untuk BPMC dengan bulk density gambut 0.25 g mL-1 dan ketebalan gambut terkena pestisida setebal 10 cm yang setara dengan dosis bahan aktif 2208 μg kg-1 tanah gambut untuk paraquat dan 970 μg kg-1 tanah gambut untuk BPMC. Perlakuan diberi kode sebagai berikut: K/kontrol (gambut tanpa pestisida); A1(gambut + bahan aktif paraquat 552 μg); A2 (gambut + bahan aktif paraquat 1104 μg); A3 (gambut + bahan aktif paraquat 2208 μg); B1 (gambut + bahan aktif BPMC 242.5 μg); B2 (gambut + bahan aktif BPMC 485 μg) dan B3 (gambut + bahan aktif BPMC 970 μg). Analisis yang dilakukan meliputi asam fenolat, residu pestisida, gugus fungsional, CO2 dan CH4. Selain itu, dilakukan perlakuan secara terpisah dengan mereaksikan asamasam fenolat murni dengan bahan aktif pestisida. Konsentrasi pestisida yang digunakan untuk paraquat 0.00389 mmol dan BPMC adalah 0.00482 mmol, sedangkan konsentrasi untuk asam-asam fenolat masing-masing 0.005 mmol. Kemudian dilakukan analisis asam fenolat dan gugus fungsional. Inkubasi dan Pengambilan Sampel Inkubasi dilakukan secara terbuka pada suhu kamar dengan sampel tanah sebanyak 500 g, kemudian ditambahkan pestisida sesuai dosis yang telah ditentukan (kapasitas lapang). Pengambilan sampel untuk pengukuran dilakukan setelah 1, 7, 14 dan 28 hari inkubasi. Waktu pengambilan sampel ditetapkan berdasarkan degradation time (DT50) pestisida yang merujuk kepada EPA (1998). Untuk pengambilan sampel CO2 dan CH4, tabung inkubasi ditutup pada suhu ruangan (28oC-30oC) di tempat gelap selama 24 jam sebelum waktu pengambilan
13 sampel yang telah ditentukan, sebelum ditutup terlebih dahulu dimasukkan tabung kecil yang berisi 5 ml KOH 0.2 N dalam bejana inkubasi. Pada tutup bejana dilakukan modifikasi dengan menambahkan selang kecil pada ujungnya dan diberikan Stop cock untuk pengambilan sampel gas CH4.
Gambar 7 Bejana inkubasi Analisis Asam Fenolat Sebanyak 5 gram sampel ditimbang kemudian diberikan metanol sebanyak 25 mL lalu dikocok menggunakan shaker selama 60 menit. Ekstrak disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm, kemudian disaring menggunakan milipore 0.2 μm. Sampel dianalisis mengunakan HPLC yang dilengkapi dengan kolom fasa balik C18 dan detektor tipe ultraviolet (UV) dengan lampu D2 pada panjang gelombang 280 nm. Sistem HPLC dioperasikan pada suhu kolom 30oC, kecepatan aliran 0.7 mL menit-1 dengan fasa gerak campuran TFA 0.1% dan metanol (75:25) (Deptan 2005). Analisis Residu Pestisida Analisis residu pestisida dilakukan dengan menimbang 20 g sampel tanah gambut, kemudian ditambahkan aseton dan diklorometan sebanyak 50 mL. Sampel kemudian dikocok menggunakan shaker selama 8 jam kemudian dilewatkan ke dalam kolom yang berisi florisil dan natrium sulfat (1:1). Setelah itu, dievaporasi selama 15 menit dan dilarutkan kembali dengan metanol sebanyak 25 mL. Analisis residu paraquat ditetapkan dengan HPLC 20A pada suhu 30oC dengan detektor ultraviolet (UV), serta kecepatan alir 0.5 mL menit-1 dengan fasa gerak campuran methanol-air (60:40). Analisis residu BPMC ditetapkan dengan GC yang dioperasikan pada suhu 60oC dengan fasa gerak gas helium serta kecepatan alir 1 mL menit-1 (Deptan 2003). Analisis Gugus Fungsional Analisis gugus fungsional dilakukan untuk mengetahui perubahan struktur kimia dari asam fenolat serta pestisida. Analisis dilakukan dengan menimbang. sebanyak 2 mg sampel tanah inkubasi ditambah 200 mg KBr kemudian ditabletkan. Selanjutnya sampel dianalisis menggunakan FTIR.
14 Pengukuran Produksi CO2 dan CH4 Menurut Anas (1989), konsentrasi CO2 dapat diukur dengan menggunakan metode titrasi asam-basa. Setelah sampel diinkubasi, larutan KOH sebanyak 5 ml dalam erlenmeyer ditambahkan 2 tetes indikator fenol petalin (PP) kemudian dititrasi dengan HCl yang telah distandarisasi dengan natrium borat dari warna merah muda menjadi bening. Selanjutnya diberikan indikator sindur metil (SM) dan dititrasi kembali dengan HCl dari berwarna sindur menjadi merah. Volume HCl yang digunakan kemudian dicatat. Setelah dititrasi produksi CO2 dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : r = (a−b) x t x 12 n Keterangan : r = jumlah CO2-C yang dihasilkan perkilogram tanah lembab per hari a = ml HCl untuk untuk bejana dengan contoh tanah b = ml HCl untuk bejana tanpa contoh tanah (blanko) t = normalitas HCl n = Gram sampel tanah
Produksi CH4 diukur menggunakan GC. Sampel gas diambil setelah waktu inkubasi bersama-sama pengukuran untuk sampel CO2. Sampel gas dari dalam bejana inkubasi diambil dengan jarum suntik (Syringe) volume 10 kemudian diinjeksikan kedalam GC. Penetapan dilakukan pada suhu kolom 48oC, suhu injektor dan detektor 140oC, kecepatan aliran gas 47 ml menit-1, yang dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID) dengan gas pembawa adalah helium. Perhitungan konsentrasi sampel yaitu dengan membandingkan area sampel yang di hasilkan dengan area standar dikalikan dengan konsentrasi standar. Rancangan yang digunakan pada analisis ini adalah rancangan acak lengkap faktorial (RALF) dengan 3 ulangan. Perlakuan pertama berupa pestisida yang terdiri dari K/kontrol (gambut tanpa pestisida), A1(gambut + bahan aktif paraquat 552 μg), A2 (gambut + bahan aktif paraquat 1104 μg), A3 (gambut + bahan aktif paraquat 2208 μg), B1 (gambut + bahan aktif BPMC 242.5 μg), B2 (gambut + bahan aktif BPMC 485 μg) dan B3 (gambut + bahan aktif BPMC 970 μg). Perlakuan kedua berupa waktu inkubasi yang teridiri dari 1, 7, 14, dan 28 hari, sehingga total unit percobaan menjadi 84 unit percobaan. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan pola perubahan asam-asam fenolat, residu pestisida dan gugus fungsional pada perlakuan jenis dan dosis pestisida yang berbeda. Analisis data CO2 dan CH4 menggunakan analisis sidik ragam menggunakan software Statistical Analysis System (SAS). Apabila pengaruh signifikan didapatkan, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%.
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Sampel Tanah Gambut Berdasarkan hasil analisis tanah awal didapatkan nilai pH sebesar 3.50 (Tabel 1). Dengan demikian, sampel tanah tersebut termasuk dalam kriteria sangat masam. Nilai pH ini sesuai dengan hasil penelitian Salampak (1999), dimana gambut Kalimantan Tengah umumnya memiliki pH pada kisaran 3.25–3.75. Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan dengan kandungan asam-asam organik, yaitu humat dan fulvat. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif karboksil dan fenol yang bersifat sebagai asam lemah. Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal yang terbentuk dari timbunan bahan organik dan miskin hara. Hal ini terlihat pada hasil analisa sampel tanah dimana kandungan C-organik sebesar 52.07% dan nilai N total sebesar 0.94%. Dari data tersebut diperoleh rasio C/N sebesar 55.3 yang sangat tinggi. Kadar serat menunjukkan volume serat 46%, warna munsell 10 YR 3/1 (very dark grey) dan kadar abu sebesar 10.24 %. Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai hubungan dengan tingkat kematangan gambut (Noor 2001), sehingga berdasarkan kriteria tersebut menurut Agus & Subiksa (2008) adalah hemik. Gambut hemik merupakan gambut setengah matang atau tingkat dekomposisi sedang, dimana proses degradasi masih berjalan. Gambut hemik sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, bila diremas bahan seratnya 15-75%, berwarna coklat kemerahan sampai coklat tua. Menurut Inggriani et al. (2014) mikrob indigenus yang berasal dari tanah gambut didominasi oleh fungi dan actinomycetes. Tabel 1 Parameter utama tanah gambut Parameter pH C-organik (%) N-total (%) C/N ratio Kadar abu (%) Kadar air (%) Volume serat (%) Warna munsell Tingkat dekomposisi
Nilai 3.50 52.07 0.94 55.39 10.24 70.87 46 10 YR 3/1 (very dark grey) hemik
Keterangan: Data dipergunakan bersama dengan peneliti Maipah Diapati.
Asam Fenolat Hasil penelitian asam fenolat sebelum perlakuan menunjukkan bahwa ferulat dan vanilat mendominasi asam fenolat, masing-masing dengan kadar sebesar 1.327 dan 1.291 mg kg-1. Asam fenolat lain seperti galat, protokatekuat, hidroksibenzoat, siringat dan fumarat kadarnya berada dalam kisaran 0.4 – 0.6 mg kg-1 (Tabel 2). Asam Fenolat Setelah Perlakuan Hasil penelitian untuk A1 menunjukkan bahwa penurunan tertinggi dialami oleh asam protokatekuat 46.7%, sedangkan terendah adalah asam ferulat
16 20.04%. Hal ini menandakan bahwa pada penambahan bahan aktif paraquat 552 μg tidak berpengaruh secara nyata terhadap proses biodegradasi asam fenolat dalam tanah oleh mikrob. Berbeda dengan ferulat dan vanilat yang secara konsisten menunjukkan penurunan konsentrasi untuk seluruh periode masa inkubasi, asam fenolat yang lain justru menunjukkan sedikit peningkatan konsentrasi pada pengamatan hari ke-14. Namun, asam ferulat dan vanilat mendominasi komposisi dari asam fenolat yang ada untuk seluruh kisaran waktu masa inkubasi. Konsentrasi asam fenolat mengalami penurunan dibanding kontrol hingga hari ke-28 setelah masa inkubasi (Gambar 8 dan tabel lampiran 1). Tabel 2 Hasil analisis jenis dan konsentrasi asam fenolat Asam fenolat Asam ferulat Asam vanilat Asam kumarat Asam hidroksibenzoat Asam siringat Asam protokatekuat Asam galat Total asam fenolat
Konsentrasi (mg kg-1) 1.327 1.291 0.574 0.538 0.538 0.466 0.430 5.164
Gambar 8 Grafik komposisi asam fenolat hasil perlakuan pestisida paraquat pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari
17
Gambar 9 Grafik komposisi asam fenolat hasil perlakuan pestisida BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Pola yang sama sebagaimana halnya A1 juga diperlihatkan oleh B1. Selama periode masa inkubasi seluruh asam fenolat secara konsisten memperlihatkan kecenderungan penurunan konsentrasi dalam kisaran 16.4–39.4%. Pada perlakuan bahan aktif BPMC 242.5 μg penurunan asam fenolat terbesar terjadi pada asam protokatekuat, sedangkan penurunan terendah terjadi pada asam ferulat (Gambar 9 dan tabel lampiran 1). Pada perlakuan A2 untuk hari ke-28 setelah masa inkubasi, konsentrasi asam fenolat menunjukkan kecenderungan naik kecuali untuk asam protokatekuat dan galat (Gambar 8 tabel lampiran 1). Bahkan kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada asam ferulat, yakni sebesar 21%. Pada hari ke-28, hanya asam galat yang mengalami penurunan konsentrasi cukup nyata yakni sebesar 31%. Seperti halnya pada sampel A1 untuk seluruh masa inkubasi selama empat minggu konsentrasi asam vanilat dan ferulat mendominasi komposisi asam fenolat. Pada awal pengamatan jumlah konsentrasi keduanya menyusun komposisi sebesar 50.7%, sedangkan pada hari ke-28 sebesar 50.0%. Pada periode inkubasi sampai dengan hari ke-14, konsentrasi asam fenolat secara umum menurun dan mulai meningkat pada saat menuju periode inkubasi hari ke-28. Diduga bahwa setelah hari ke-14 dampak aplikasi pemberian bahan aktif paraquat 1104 μg menunjukkan daya toksik terhadap aktivitas enzimatik mikrob yang berperan dalam melakukan
18 biodegradasi asam fenolat. Secara umum, hasil pada sampel B2 memperlihatkan pola perubahan konsentrasi asam fenolat yang fluktuatif selama periode inkubasi, kecuali asam ferulat yang menunjukkan penurunan secara konsisten. Berbeda dengan perlakuan A2, pada B2 penurunan tertinggi sebesar 15.2% terjadi pada asam ferulat . Perlakuan A3 menunjukkan perubahan konsentrasi asam fenolat yang cukup fluktuatif sepanjang periode inkubasi 28 hari tersebut. Namun, hal yang berbeda diperlihatkan oleh perlakuan B3 yang memperlihatkan pola menurunnya konsentrasi asam fenolat. Penurunan tertinggi terjadi pada asam galat sebesar 39.1% dan terendah pada asam siringat sebesar 5.9%. Serupa dengan perlakuan penambahan pestisida paraquat untuk BPMC asam ferulat dan vanilat mendominasi komposisi dari asam fenolat yang ada untuk seluruh kisaran masa inkubasi. Walaupun penurunan derivat dari asam fenolat memperlihatkan hasil yang fluktuatif, tetapi hasil total konsentrasi asam fenolat selama masa inkubasi yang disajikan pada gambar 10 memperlihatkan bahwa asam fenolat mengalami penurunan. Perlakuan dengan bahan aktif paraquat untuk A1, A2 dan A3 masingmasing sebesar 21.4%, 20.8% dan 13.6%, sedangkan perlakuan dengan BPMC berturut-turut sebesar 26.5%, 20.3% dan 25.8%. Menurunnya konsentrasi asam-asam fenolat menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara pestisida dengan asam-asam fenolat melalui beberapa mekanisme seperti ikatan kovalen, gaya van der waals, pertukaran ion, ikatan hidrogen, pertukaran ligan dan interaksi hidrofobik (Khan 1989). Selain itu, menurut Bollag (1992) penurunan konsentrasi asam-asam fenolat juga dapat disebabkan karena adanya reaksi kopling antara pestisida dengan asam fenolat. Kopling adalah reaksi penggandengan yang dapat terjadi secara spontan dengan adanya keberadaan oksigen dan air. Selain itu, reaksi kopling dapat terjadi dengan bantuan enzim. Enzim yang mengkatalisis reaksi kopling dapat dibagi menjadi dua kelas yaitu peroksidase dan monofenol monooksigenase. Monofenol monooksigenanse masih terbagi menjadi tyrosinase dan lakase. Salah satu fungi yang menghasilkan lakase adalah Rhizoctonia praticola, fungi tersebut berperan dalam reaksi antara 4- chloroaniline dengan asam-asam fenolat seperti asam ferulat, siringat dan asam protokatekuat (Bollag et al. 1983). Terjadinya fluktuasi pada derivat asam fenolat bisa juga dikarenakan terjadi transformasi melalui oksidasi C dari asam fenolat satu menjadi asam fenolat dalam bentuk lain. Penelitian Gosh et al. (2005) menyatakan degradasi asam ferulat oleh white rot fungi schizophyllum comunne menghasilkan asam vanilat. Pada grafik terlihat tingginya ferulat dibarengi dengan tingginya vanilat (Gambar 8). Berdasarkan penelitian di atas maka kedua spesies tersebut merupakan white rot fungi yang memiliki kemampuan dalam mendegradasi lignin, selulosa dan hemiselulosa maupun mengkatalis reaksi kopling. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian Pati (Belum publikasi 2015) yang menyatakan bahwa di tanah gambut terdapat mikrob selulolitik dengan populasi 1.22 x105 CFU g-1 tanah untuk bakteri dan 19.26 x 104 CFU g-1 tanah untuk fungi.
19
Gambar 10 Grafik total asam fenolat hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Selain dari kelompok fungi, degradasi asam fenolat juga diperlihatkan oleh kelompok bakteri. Bakteri tanah genus Azotobacter strain SSB81 mampu memanfaatkan kedua 2.4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4- D) dan asam p kumarat dengan karbon dan nitrogen pada media bebas. Selain itu, strain SSB81 tersebut juga mampu menurunkan 2,4-D melalui 4 – asam chlorophenoksiasetat, 4 - klorofenol dan 4 – chlorocatechol pada orto/jalur oksidatif dan asam p – kumarat melalui asam p - hidroksibenzoat dan asam protokatekuat pada jalur non - oksidatif. Oleh karena itu, strain SSB81 berperan dalam proses biotransformasi asam kumarat baik jalur oksidatif maupun jalur non oksidatif untuk degradasi asam fenolat (Gauri et al. 2012). Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Pati (Belum publikasi 2015) bahwa terdapat populasi Azotobacter sebesar 27.10 x103 CFU gr-1 pada tanah gambut. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan tingginya konsentrasi fenolat pada bentuk yang satu dan rendahnya asam fenolat pada bentuk yang lain, diduga terjadi akibat perbedaan jenis bahan aktif dari setiap pestisida dan penguraian pestisida menjadi senyawa fenol oleh mikrob. Menurut Marianna (2004) dalam Susanti (2015) melaporkan bahwa fenol di tanah dapat berasal dari transformasi pestisida seperti melalui proses hidroksilasi-C dan menghasilkan senyawa fenolat. Asam Fenolat Murni Hasil penelitian untuk asam fenolat murni dengan perlakuan pestisida paraquat pada hari ke-1 menunjukkan bahwa asam-asam fenolat mengalami penurunan konsentrasi yang cukup signifikan yaitu dalam kisaran 19.48% sampai
20 30.55%. Penurunan tertinggi terjadi pada asam ferulat dan penurunan terendah pada asam protokatekuat, sedangkan asam galat mengalami kenaikan konsentrasi yang sangat tinggi. Kenaikan ini dikarenakan adanya peak pengganggu yang berasal dari pestisida paraquat sehingga menutupi peak asam galat. Dalam kondisi ini peak asam galat berada di dalam peak pengganggu tersebut sehingga konsentrasi asam galat yang rendah terbaca menjadi lebih tinggi dari seharusnya. Pada pengukuran hari ke-28 asam kumarat dan ferulat mengalami penurunan konsentrasi yang paling tinggi yaitu sebesar 75% dan 72 %, sedangkan asam hidroksi benzoat menunjukan penurunan terendah pada pengukuran hari ke- 28 (Gambar 10). Hasil analisa asam fenolat dengan perlakuan BPMC pada hari ke-1 menunjukkan bahwa asam protokatekuat mengalami penurunan konsentrasi paling tinggi sebesar 62.66% kemudian dilanjutkan dengan asam ferulat dengan penurunan sebesar 36.87%. Perlakuan BPMC pada hari ke-28 menunjukan bahwa asam ferulat menunjukan penurunan konsentrasi paling tinggi sebesar 75 %. Asam vanilat dan siringat mengalami kenaikan konsentrasi masing-masing sebesar 4.27% dan 1.78%. Puncak pengganggu yang terjadi pada perlakuan paraquat ternyata terjadi juga pada perlakuan BPMC (Gambar 10). Pada perlakuan pestisida paraquat dan BPMC inkubasi hari ke-14 dan 28, ditemukan pembelahan pada puncak asam ferulat dan kumarat. Hal ini diduga adanya senyawa baru yang terbentuk hasil reaksi antara asam-asam fenolat dan pestisida (Gambar 11 dan 12).
Gambar 11 Grafik asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC setelah periode inkubasi 1-28 hari
21
Kumarat
Ferulat
Gambar 12 Spektrum HPLC periode inkubasi 1 dan 14 hari asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida paraquat Seperti tampak pada Gambar 11 reaksi antara kumarat serta ferulat dengan pestisida paraquat menghasilkan empat macam produk yang berbeda. Keempat struktur molekul tersebut diduga merupakan hasil reaksi coupling antara pestisida dengan asam fenolat yang berlangsung melalui mekanisme pembentukan radikal bebas terkatalisis oleh foton seperti ditunjukkan pada reaksi di bawah ini.
Gambar 13 Ilustrasi ikatan antara pestisida paraquat dengan asam fenolat
22 Reaksi antara kumarat dengan paraquat menghasilkan struktur A dan B sedangkan reaksi antara ferulat dengan paraquat menghasilkan struktur C dan D. Puncak asam kumarat yang pada mulanya muncul pada waktu tambat 26 menit terbelah menjadi dua puncak yang masing-masing muncul pada waktu tambat 24.5 dan 25.5 menit. Puncak dengan waktu tambat 24.5 menit diperkirakan bersesuaian dengan struktur A yang lebih polar daripada struktur B. Baik struktur A maupun B lebih polar daripada asam kumarat sehingga keduanya terdeteksi lebih awal oleh detektor HPLC daripada asam kumarat. Puncak dengan waktu tambat 30.9 menit diperkirakan bersesuaian dengan struktur D sedangkan puncak dengan waktu tambat 32.5 bersesuaian dengan struktur C. Dengan demikian reaksi paraquat dengan ferulat menghasilkan 2 macam produk di mana salah satunya lebih tidak polar dibandingkan dengan asam ferulat. Aplikasi BPMC dengan asam kumarat dan asam ferulat diduga bahwa akan menyebabkan reaksi kondensasi. Reaksi kondensasi adalah reaksi penggabungan antara dua senyawa yang memiliki gugus fungsi.Dalam hal ini gugus karboksilat dari molekul asam kumarat dan asam ferulat akan menyumbangkan gugus hidroksil untuk bergabung dengan atom hidrogen yang disumbang oleh gugus amina molekul BPMC.
Kumarat
Ferulat
Gambar 14 Spektrum HPLC periode inkubasi 1dan 14 hari asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida BPMC Gugus Fungsional Interpretasi FTIR tanah gambut dengan paraquat dan BPMC Menyimak spektra FTIR untuk kontrol (Gambar 14), serapan pada bilangan gelombang dalam kisaran 3200 – 3400 cm-1 menyatakan serapan yang berasal dari gugus fungsional OH. Dikarenakan bentuknya yang melebar dan tidak setangkup memungkinkan gugus fungsional N–H juga ada bersama-sama. Serapan uluran C–H simetrik dan asimetrik juga muncul pada bilangan gelombang 2850 cm-1 dan 2950 cm-1. Puncak serapan pada 1725 cm-1 diperkirakan muncul karena ikatan C=O namun tampaknya berbaur dengan puncak serapan tekukan N–H yang terjadi pada kisaran bilangan gelombang 1640 – 1550 cm-1. Serapan pada 550 cm-1 dan 475 cm-1 diperkirakan muncul dari ikatan halida C–X. Meskipun terdapat puncak
23 serapan pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm-1 yang merupakan karakteristik ikatan C–O namun resolusi spektra yang kurang baik menyebabkan puncak tersebut menjadi baur dengan puncak-puncak serapan lainnya. Spektra FTIR untuk A1, A2 dan A3 tidak terdapat perbedaan secara signifikan. Dengan demikian, diambil sampel A3 yang mempunyai dosis paling tinggi dari penggunaan pestisida paraquat di pengukuran hari ke 28 digunakan sebagai contoh. Sampel tersebut menunjukkan karakteristik serapan untuk gugus fungsional hidroksida (Gambar 15). Serapan OH dicirikan dengan adanya serapan melebar yang muncul pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1. Selain itu, terlihat juga adanya serapan uluran C–H simetrik dan asimetrik yang muncul pada bilangan gelombang sekitar 2850 – 2950 cm-1. Pita uluran (stretching) C–H tersebut diduga berasal dari alkana karena kemunculannya berada di sebelah kanan bilangan gelombang 3000 cm-1. Serapan pada bilangan gelombang sekitar 1375 cm-1 dan 1465 cm-1 merupakan pita serapan tekukan (bending) untuk metil (CH3) dan metilena (CH2). Serapan dengan intensitas kuat yang muncul pada bilangan gelombang 1626 cm-1 merupakan petunjuk adanya gugus fungsional karbonil (C=O). Adanya serapan pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm-1 merupakan karakteristik adanya gugus fungsional C–N dengan intensitas serapan medium (m) – kuat (s, strong). Keadaan intensitas serapan yang kuat tersebut ditimbulkan oleh adanya gugus fungsional C–O. Serapan dengan tingkat intensitas kuat di bawah bilangan gelombang 600 cm-1 mengindikasi bahwa terdapat ikatan halida. Puncak serapan pada bilangan gelombang 540 cm-1 dapat ditimbulkan oleh serapan bromide sedangkan puncak pada bilangan gelombang 471 cm-1 dapat ditimbulkan oleh serapan iodida. Dengan demikian, pada sampel A3 dapat diprediksikan bahwa senyawaan yang dominan adalah berupa karboksilat, ester, alkohol atau senyawaan mengandung nitrogen serta halida. Hasil yang sama terjadi pada Spektra FTIR untuk B1, B2 dan B3. Oleh sebab itu, sampel B3 dijadikan sebagai contoh. Menyimak spektra FTIR sampel B3 puncak-puncak utama jenis gugus fungsional yang teramati tidak banyak mengalami perubahan. Satu-satunya puncak tambahan yang muncul pada minggu keempat adalah serapan pada bilangan gelombang 3061 cm-1 yang merupakan puncak serapan dari ikatan ganda alkena. Oleh sebab itu, dalam periode empat minggu pengamatan tersebut diduga terjadi proses pembentukan senyawa dengan uluran C–H yang aktif dalam FTIR. Serapan lebar pada bilangan gelombang sekitar 3380 cm-1 merupakan puncak serapan yang ditimbulkan dari uluran O–H. Puncak tersebut biasanya bertumpang tindih dengan puncak serapan N–H. Keberadaan adanya serapan karakteristik N–H yang bertumpang tidih dengan puncak serapan O–H dapat diverifikasi dengan adanya puncak serapan dari getaran tekuk NH yang muncul pada bilangan gelombang 1634 cm-1. Dari spektra juga tampak bahwa terdapat serapan dari uluran C–H metilena pada bilangan gelombang 2918 cm-1 serta uluran C–H metil pada bilangan gelombang 2849 cm-1. Keberadaan metilena dan metil tersebut dapat juga diverifikasi pada daerah sidik jari yakni adanya puncak serapan pada bilangan gelombang 1462 cm -1 yang merupakan tekukan C–H dari gugus CH2 serta serapan pada 1371 cm-1 yang merupakan tekukan C–H dari gugus CH3. Puncak serapan O–H yang muncul diduga merupakan senyawa alkohol atau fenol. Keberadaan serapan O–H yang merupakan bagian dari karboksilat tidak
24
30
%T
914,26
779,24
25
534,28
Serapan (% T)
20
1462,04 1614,42
1031,92
2341,58
10
1103,28
1371,39
468,70
1269,16
15
3400,50
2918,30 2848,86
5
0
4000 3600 3200 K2 minggu ke-2 (15/12/14)
2800
2400
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 15 Spektrum FTIR untuk kontrol 80 %T
2358,94
75
70
60
3697,54
779,24
1388,75 1469,76
1165,00
1712,79
45
1359,82
2848,86 2918,30
50
914,26
55 3068,75
Serapan (% T)
65
1614,42
534,28
40
30 4000 3600 3200 A3 minggu ke-3 (15/12/14)
2800
2400
2000
1800
1600
1400
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 16 Spektrum FTIR untuk A3 hari ke-28
1200
1000
800
600
470,63
1031,92
3452,58
35
400 1/cm
400 1/cm
25
60
%T
2360,87
52,5
45
37,5
Serapan (% T)
30
2800
2400
2000
1800
1600
677,01
534,28
1165,00
1400
1200
1000
800
600
466,77
4000 3600 3200 B3 minggu ke-3 (15/12/14)
1099,43
3415,93
7,5
1625,99
2918,30
1462,04
2848,86
15
796,60
912,33
22,5
400 1/cm
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 17 Spektrum FTIR untuk B3 hari ke-28 muncul dalam spektra karena tidak adanya serapan khas dari gugus fungsional C=O yang muncul sebagai serapan kuat pada kisaran bilangan gelombang 1630 – 1800 cm-1. Dugaan bahwa senyawaan fenol adalah dominan dalam sampel B3 tampak dari adanya serapan pada bilangan gelombang 1031 cm1 yang merupakan puncak serapan dari ikatan C–O. Puncak serapan pada kisaran bilangan gelombang 650 – 1000 cm-1 yang merupakan karakteristik serapan keluar bidang dari gugus fungsional C–H dari alkena atau aromatik juga mendukung bahwa senyawaan non fenolat mendominasi sampel B3 (Gambar 16). Interpretasi FTIR BPMC dengan asam Kumarat dan ferulat Murni Pada Gambar 18 dan Gambar 19 diperlihatkan serapan FTIR untuk BPMC dan asam kumarat secara berurutan. Gambar 20 menyajikan serapan FTIR hasil penambahan asam kumarat dengan pestisida BPMC. Membandingkan spektra FTIR pada Gambar 17 dengan Gambar 18 tampak bahwa pada penggabungan antara asam kumarat dengan pestisida BPMC telah memunculkan puncak serapan baru pada bilangan gelombang 1025 cm-1. Puncak serapan dalam kisaran 1350 – 1000 cm-1 dengan terik (intensity) medium sampai kuat adalah khas untuk getaran C–N. Sebagaimana terlihat juga dalam Gambar 19 bahwa asam kumarat kehilangan puncak serapan pada bilangan gelombang 1607 cm-1. Meski demikian, dengan memerhatikan bangun molekul
26 asam kumarat, puncak serapan tersebut belum dapat dipastikan muncul dari getaran ikatan dari jenis yang mana. 125
2937.59
Serapan (% T)
100
3412.08
3570.24
%T
1056.99
75
1091.71
50
1712.79
1359.82
0
4000 BPMC
3500
3000
2500
2000
1750
1500
Panjang gelombang (1/cm)
Serapan (% T)
Gambar 18 Spektrum FTIR pestisida BPMC
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 19 Spektrum FTIR asam kumarat murni
1219.01
1421.54
25
1250
1000
750 1/cm
Serapan (% T)
27
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 20 Spektrum FTIR gabungan asam kumarat dengan BPMC Hal ini memperkuat hasil pengukuran spektra HPLC bahwa telah terjadi reaksi antara asam kumarat dan pestisida BPMC melalui reaksi kondensasi. Di bawah ini ditunjukkan perkiraan reaksi kondensasi yang terjadi antara molekul asam kumarat dengan BPMC.
Gambar 21 Reaksi kondensasi antara gugus karboksilat dengan asam kumarat Spektra penambahan BPMC terhadap asam ferulat diperlihatkan pada Gambar 24 sedangkan serapan FTIR untuk asam ferulat murni ditunjukkan pada Gambar 23. Serupa dengan molekul asam kumarat spektra hasil campuran asam ferulat dengan BPMC juga menimbulkan puncak baru pada bilangan gelombang 1025 cm-1. Dengan demikian dugaan terjadinya reaksi kondensasi antara BPMC
28 dengan asan ferulat adalah sangat kuat. Di bawah ini disajikan reaksi kondensasi antar keduanya.
Gambar 22 Reaksi kondensasi antara gugus karboksilat dengan asam ferulat
40
%T
Serapan (% T)
35
30
25
20
4000 3500 asam f erulat
3000
2500
2000
1750
1500
1250
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 23 Spektrum FTIR asam ferulat murni
1000
750
500 1/cm
29 BPMC+Ferulat1 BPMC
120 %T 100
2831.50
60
0 4000 3500 BPMC+Ferulat
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1031.92 1022.27
1708.93
1361.74
20
1222.87
1421.54
3371.57
40
2943.37
Serapan (% T)
80
1000
750 1/cm
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 24 Spektrum FTIR gabungan asam ferulat dengan BPMC Interpretasi FTIR paraquat dengan asam kumarat dan ferulat murni Pada Gambar 24 dan Gambar 25 diperlihatkan serapan FTIR untuk pencampuran antara pestisida paraquat dengan dan asam kumarat dan ferulat. Sedangkan Spektra serapan FTIR untuk paraquat murni diperlihatkan pada Gambar 26. Menyimak ketiga spektra FTIR tersebut tampak bahwa bahan aktif paraquat mengalami gangguan yang memengaruhi secara kuat terhadap puncakpuncak serapan. Hal tersebut tampak pada hasil serapan yang justru memiliki nilai negatif sehin gga menyulitkan interpretasi. Gangguan bisa disebabkan paraquat mengalami kerusakan pada saat pengukuran. Hal tersebut karna paraquat mudah mengalami autooksidasi. Reaksi auotoksidasi dari paraquat dapat diilustrasikan pada Gambar 24
Gambar 25 Reaksi autooksidasi dari paraquat
30 paraguat +syringat paraguat
1658.78
3188.33
3415.93
2160.27
1382.96
2883.58
Serapan (% T)
%T
4000 3500 3000 2500 Subtraction of metanol1 f rom paraguat+siry ngat1
2000
1750
1500
1250
1000
Panjang gelombang (1/cm)
750 1/cm
Gambar 26 Spektrum FTIR gabungan asam kumarat dengan paraquat Paraguat+Ferulat1 - metanol1 praguat+ferulat
4000 3500 3000 2500 Subtraction of metanol1 f rom Paraguat+Ferulat1
1750
1217.08
1365.60
1737.86
2000
1658.78
3174.83
3452.58
2152.56
2839.22
Serapan (% T)
%T
1500
1250
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 27 Spektrum FTIR gabungan asam ferulat dengan paraquat
1000
750 1/cm
Serapan (% T)
31
Panjang gelombang (1/cm)
Gambar 28 Spektrum FTIR pestisida paraquat Residu Pestisida Residu pestisida dianalisis untuk mengetahui jumlah pestisida yang tersisa setelah mengalami adsorpsi atau degradasi. Degradasi pestisida dapat berjalan secara biologis maupun non-biologis. Degradasi pestisida adalah proses terjadinya penguraian pestisida oleh mikroba, reaksi kimia dan atau sinar matahari (Tarumingkeng 1992). Metabolisme dan kecepatan degradasi pestisida dipengaruhi oleh sifat tanah, temperatur, kelembaban tanah dan dosis pestisida. Setelah mengalami proses degradasi, pestisida mengalami transformasi secara oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi. Semua proses itu menentukan keberadaan bahan aktif pestisida di lingkungan. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan A1 yang diikubasi selama satu hari terdeteksi residu pestisida sebanyak 0.03 mg kg-1 dan pada minggu selanjutnya menjadi tidak terdeteksi pada saat pengukuran dilakukan (Tabel 3). Perlakuan A2 masih menyisakan residu paraquat sebanyak 0.02 mg kg-1 pada pengamatan hari ke-28 setelah inkubasi. Pada perlakuan A3 residu paraquat yang tersisa adalah 0.13 mg pada pengukuran hari ke-14 dan menjadi tidak terdeteksi pada hari ke -28 setelah inkubasi. Penambahan bahan aktif BPMC menunjukkan bahwa pada hari ke-28 masa inkubasi untuk perlakuan B1 masih menyisakan residu sebanyak 0.043 mg kg-1 (Tabel 3). Residu tersebut kira-kira setara dengan penurunan BPMC sebesar 89%, sehingga mengindikasikan hampir seluruh BPMC yang diaplikasikan mengalami degradasi atau sorpsi. Perlakuan B2 masih menyisakan residu BPMC sebanyak 0.111 mg kg-1 pada hari ke-28 setelah inkubasi, sedangkan untuk perlakuan B3
32 tampaknya terjadinya kejenuhan pada hari ke-14 yang menyebabkan proses degradasi menurun lambat menjadi 86 %. Tabel 3 Hasil analisis residu pestisida Waktu pengukuran Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
1 7 14 28 1 7 14 28 1 7 14 28
Perlakuan
A1
A2
A3
Konsentrasi paraquat (mg kg-1) 0.03 Tu Tu Tu 0.16 0.12 Tu 0.02 0.24 0.17 0.13 Tu
Konsentrasi BPMC (mg kg-1) 0.400 0.201 0.192 0.043 0.931 0.350 0.202 0.111 0.850 0.239 0.127 0.123
Perlakuan
B1
B2
B3
Keterangan: *tu=tidak terdeteksi
Penurunan konsentrasi paraquat lebih cepat dibandingkan BPMC dikarenakan paraquat dapat diserap dalam jumlah yang lebih banyak oleh humus, asam fulfat dan organo clay (Khan 1978). Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Stevenson (1994) bahwa diquat dan paraquat yang merupakan divalen, memiliki potensi untuk bereaksi dengan lebih dari satu sisi muatan negatif pada koloid humus tanah, misalnya melalui dua ion COO-. Bentuk ikatan antara diquat dan paraquat dengan senyawa humat dapat diilustrasikan pada Gambar 27. Menurut Roger et al. (1994), keberadaan pestisida pada lahan mineral sangat berbeda dengan pestisida pada lahan gambut. Adanya radikal-radikal bebas yang relatif stabil dalam asam humat dan fulfat, mendukung senyawa organik tanah meningkatkan transformasi abiotik berbagai pestisida dalam tanah (Khan 1978). Pernyataan tersebut didukung oleh Zimdahl (1993) yang menyebutkan bahwa pestisida dapat diadsorpsi sangat kuat, kuat, sedang dan lemah oleh koloid tanah. Tanah yang tinggi kandungan bahan organik dan liatnya mengadsorpsi pestisida lebih besar daripada tanah berpasir. Tingginya kandungan bahan organik pada tanah gambut juga meningkatkan proses dekomposisi pestisida karena bahan organik tanah bertindak sebagai ko-metabolit dan kemampuannya untuk mensuplai nutriens bagi mikroba dan sebagai sumber energi (Morrill et al. 1982). O R
CH3 O
3
C O Asam organik
N CH3
N
Paraquat
O
C
R
Asam organik
Gambar 29 Ilustrasi bentuk ikatan antara bahan organik dengan herbisida diquat dan paraquat
33 Produksi CO2 dan CH4 Ketebalan lapisan air di atas permukaan tanah menentukan laju dekomposisi karena berhubungan dengan suasana oksidasi dan reduksi yang berkaitan erat dalam menentukan produksi emisi gas CO2 dan CH4 (Susanti 2015). Dekomposisi gambut dalam kondisi reduktif (anaerob) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi oksidatif (aerob) dapat menghasilkan CO2.
Gambar 30 Pengaruh perlakuan pestisida terhadap rata-rata produksi CO2 dan CH4
Gambar 31 Pengaruh waktu inkubasi terhadap rata-rata produksi CO2 dan CH4
34
pemberian pestisida paraquat dan BPMC tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap rata – rata produksi CO2 dan CH4 yang dihasilkan (Tabel 4). Waktu inkubasi hari ke-28 menunjukkan rata – rata emisi CO2 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan waktu inkubasi hari ke-1, 7, dan 14. Sampel tanah yang diberi perlakuan penambahan pestisida setengah dosis dan dua kali dosis BPMC dengan waktu inkubasi selama 28 hari menunjukkan emisi CO2 tertinggi. Hal tersebut berbeda dengan emisi CO2 pada sampel tanah yang tidak diberi perlakuan penambahan pestisida maupun yang ditambahkan pestisida paraquat dan BPMC pada semua dosis perlakuan namun dengan waktu inkubasi kurang dari 28 hari (hari ke-1, 7 dan 14). Waktu inkubasi hari ke-28 menunjukkan rata – rata produksi CH4 lebih tinggi dibandingkan semua waktu inkubasi. Pemberian paraquat dua kali dosis rekomendasi kemudian diinkubasi selama 28 hari menunjukkan kadar emisi CH4 cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 4). Berdasarkan hasil analisa, pemberian pestisida pada tanah gambut menunjukkan kecenderungan yang sama terhadap produksi CO2 dan CH4 sepanjang periode inkubasi. Meskipun menunjukkan kecenderungan yang sama ternyata pengaruh perlakuan penambahan pestisida terhadap respon produksi CO2 dan CH4 tampaknya tidak ada. Hal ini berbeda dengan pernyataan Fitriani (2013) yang menegaskan bahwa pemberian pestisida dengan dosis anjuran selama 30 hari inkubasi akan meningkatkan produksi CO2. Aplikasi pestisida memang tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan emisi CO2 dan CH4, tetapi terjadi kecenderungan peningkatan emisi CO2 dan CH4 seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Peningkatan emisi CO2 dan CH4 diduga berasal dari degradasi dan dekomposisi asam fenolat serta respirasi mikrob. Reaksi degradasi dan dekomposisi ini melalui reaksi demetoksilasi. Proses ini adalah terdegradasinya grup metoksil pada cincin benzen dalam suasana aerobik dan menghasilkan reaksi oksidasi CO2. Penambahan pestisida kepada tanah gambut cenderung memperlihatkan pola produksi CH4 yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol pada periode inkubasi kurang dari l4 hari. Pengurangan emisi dengan penambahan pestisida berhubungan dengan berkuranganya populasi mikrob metanogen. Pengurangan tersebut dapat dikarenakan kondisi lingkungan matriks tanah yang bersifat aerobik. Selain itu menurut Isminingsih (2009) bahwa dekomposisi bahan organik pada kondisi aerobik dan anaerobik yang secara berturut-turut menghasilkan CO2 dan CH4 merupakan penyebab keduanya memiliki nilai yang berlawanan. Lahan pertanian lebih banyak tergenang (anaerobik) maka CH4 yang dihasilkan lebih tinggi begitupun sebaliknya. Faktor lain yang mempengaruhi produksi CH4 yaitu dengan adanya pestisida, pertumbuhan mikrob metanogen juga dapat menjadi terhambat sehingga menurunkan laju emisi CH4, hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Cahyaningtyas (2012) bahwa penambahan insektisida karbamat pada tanah inceptinol yang diberi biochar sekam menurunkan emisi CH4 sebesar 33.2%. Perlakuan B1 (penambahan setengah dosis BPMC) menunjukkan emisi metana yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tidak adanya penurunan emisi CH4 dibandingkan dengan kontrol pada perlakuan B1 diduga karena dosis tersebut belum memiliki daya toksisitas yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob
35 metanogen, sehingga emisi CH4 pada perlakuan tersebut cenderung tidak mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Kimura et al. (1993) melaporkan bahwa selain pestisida proses pembentukan CH4 sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, suhu, pH, kelembaban dan Eh tanah.
36
5 SIMPULAN Pestisida BPMC dan paraquat dapat berinteraksi dengan asam fenolat melalui reaksi kondensasi atau coupling. Akibat dari adanya interaksi tersebut konsentrasi asam fenolat menjadi berkurang. Hal tersebut diperkuat dengan adanya perubahan intensitas puncak serapan pada spektra FTIR yang merupakan indikasi terjadi perubahan komposisi senyawa kimia, akan tetapi jenis gugus fungsional yang dihasilkan dari interaksi antara pestisida BPMC dan paraquat dengan asam fenolat tidak berubah. Penambahan paraquat 552 μg maupun BPMC 242.5 μg tidak berpengaruh terhadap perubahan komposisi asam fenolat, namun peningkatan dosis aplikasi (1104 μg paraquat, 485 μg BPMC) dan dua kali dosis (2208 μg paraquat, 970 μg BPMC) menunjukkan adanya potensi terhambatnya proses biodegradasi asam fenolat. Penambahan pestisida BPMC dan paraquat tidak menunjukkan korelasi linier dengan meningkatnya produksi CO2 maupun perubahan emisi CH4. Kenaikan produksi CO2 dan CH4 berkorelasi linier dengan masa inkubasi.
37
DAFTAR PUSTAKA Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor (ID). Anas I. 1989. Petunjuk Laboratorium Biologi dalam Praktek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor (ID); Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antara Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Andrriesse JP. 1988. Nature and management of tropical peat soil. Roma (IT): FAO Soil Bulletin 5:5. Barchia MF. 2006. Gambut: Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. [BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelajutan. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bollag JM , Myers C J, Minard RD. 1992. Biological and chemical interactions of pesticides with soil organic matter. The Science of the Total Environment. 205-217. Cahayaningtyas WP, Sumantri I. 2012. Pengaruh penambahan biochar limbah pertanian dan pestisida pada inkubasi tanah inceptisol untuk menekan emisi gas metana (CH4) sebagai gas rumah kaca. J. Teknologi Kimia dan Industri 1(1): 521-527 [Deptan] Departemen Pertanian. 2003. Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian. Jakarta (ID): Departemen Petanian. Dubey SK. 2005. Microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem: A Review. Ecology and Environmental Research 3(2): 1-27. Elsas JD, Smalla K. 1996. Methods for Sampling Soil Microbes. Di dalam Christon JH, Knudsen GR, Melnerney MJ, Stetzenbach LD, Walter MV, editor. Manual of Environmental Microbiologi. pp. 383-390. Washington D. C. (US): ASM Press. [EPA] Environmental Protection Agency. 1998. Fate, Transport and Transformation Test Guidelines. OPPTS 835. 1220. Sedimen and Soil Adsorption/Desorption Isotherm. United State Environmental Protection Agency. Fitriyani IH. 2013. Uji pemberian paraquat, difenolconazole dan buthylphenylmethyl carbamat (BPMC) terhadap emisi CO2 dan CH4 serta perubahan konsentrasi asam-asam fenolat di tanah gambut [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gauri SS, Mandal SM, Dey S, Pati BR. 2012. Biotransformation of pcoumaricacid and 2,4-dichlorophenoxy acetic acidby Azotobacter sp. strain SSB81. Biores Tech. 126:350–353 Gerstler Z. 1991. Behaviour of Organic Agrochemicals in Irrigated Soils. Di dalam Richardson M.L, editor. Chemistry, Agriculture and the Environment. Cambridge (GB): Royal Society of Chemistry. Gevao B, Semple KT, Jones KC. 2000. Bound pesticide residues in soils: a review. Enviro Pol. 108 (2000): 3-14.
38 Gosh S, Sachan A, Mitra A. 2005. Degradation of ferulic acid by white root fungus Schizophyllum Commune. J. of Mycrob and Biothec. 21(3): 385388 Hardjowigeno S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (ID). Harrad SJ. 1996. The Environmental Behaviour of Toxic Organic Chemicals. Di dalam Harrison R.M, editor. Pollution, Cause, Effects and Control. Cambridge (GB): The Royal Society of Chemistry. Hartley RD, Whitehead DC. 1984. Phenolic Acids in Soil and Their Influence of Plant Growth and Soil Microbial Processes. Di dalam Vaughan D, Malcolm R.E, editor. Soil Organic Matter and Biological Activity. Lancaster (GB): Martinus Nijhoff, DR W. Junk Publisher. Isminingsih. 2009. Studi kecenderungan emisi gas rumah kaca (GRK) dan neraca karbon pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi [Tesis]. Bogor (ID): Institut pertanian bogor. Khan SU. 1989. The Interaction of Organic Matter with Pesticides. Di dalam Schnitzer M, Khan S.U, editor. Soil Organic Matter. New York (US): Elsivier Scientific Publishing Company. Kimura RP, Asai K, Watanabe A, Murase J, Kuwatsuka S. 1993. Suppression of Soil Science an Geology. Netherland (NL): Wageningen Agricultural University Kononova MM. 1968. Transformation of organic matter and their relation to soil fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056. Lynn WC, McKinzie WE, Grossman RB.1974. Field laboratory test for characterization of histosol. Di dalam Andahl AR, editor. Histosols: Their Characteristics, Classification, and Use. Madison (US): Soil Science Society of America. Mario MD, Sabiham S. 2002. Penggunaan tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar Fe tinggi sebagai amelioran dalam meningkatkan produksi dan stabilitas gambut. J Agroteksos. 2(1): 35-45. Mosier AR, Halvorson AD, Peterson GA, Robertson GP, Sherrod L. 2004. Measurement of net global warming potensialin three agroecosytems. Nutr. Cycl. Agroecosyst.72: 67-76. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Jakarta (ID): Kanisius. Pati MD. 2015. Studi populasi mikrob fungsional serta produksi CO2 dan CH4 pada tanah gambut yang diaplikasikan dua jenis pestisida [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pedersen HJ, Kudsk P, Helweg A. 1995. Adsorption and ED50 values of five soils applied herbicides. Pes Sci. 44: 131-136. Polak B. 1975. Character and Occurrence of Peat Deposits in the Malaysian tropics. Di dalam Barstra GJ, Casparie WA, editor. Modern Quaternary Research in Southeast Asia. Rotterdam (NL): Balkema Rastogi G, Sani RK. 2002. Molecular techniques to assess microbial community structure, function, and dynamics in the environment. In Ahmad I, Ahmad F, Pichtel J, editor. Microbes and Microbial Technology: Agricultural and Environmental Applications. California (US) : Springer.
39 Roger PA, Simpson I, Oficial R, Ardales S and Jimenez R. 1994. Effect of pesticides on soil and water microflora and mesofauna in wetland ricefields: a summary of current knowledge and extrapolation to temperate environments. Australian Journal of Experimental Agriculture. 34, 1057-1068. Sa’id EG. 1994. Dampak negatif pestisida, sebuah catatan bagi kita semua. J Agrotek. 2(1): 71-72. Salampak. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyanto P, Burhan H. 2008. The effect of water regime and soil management on methane emission reduction from rice field. Jurnal Irigasi Vol. 4, No. 2, November 2008 Soil Survey Staff. 2003. Key to Soil taxonomy. 9th Edition. United States Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Service. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. Ed ke2. New York (US): John Wiley & Sons Inc. Sudarmo S. 1991. Pestisida. Yogyakarta (ID): Kanisius Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administasi. Bandung (ID): Alfabeta. Suprihati. 2007. Populasi mikroba dan flux metana serta nitrooksida pada tanah sawah: pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Susanti MA. 2015. Dampak penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas lingkungan dan emisi karbon di lahan gambut yang disawahkan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tadano, Yonebayashi K, Saito N. 1992. Effect of Phenolic Acids on the Growth and Occurrence of Sterility in Crop plant. Di dalam Kyuma K, Vijarnsorn P, Zakaria A, editor. Coastal Lowland Ecosystems in Southern Thailand and Malaysia. Kyoto (JP): Showado-printing Co.Skyoku Tarumingkeng RC. 1992. Insektisida. Jakarta (ID): Penerbit Ukrida. The Pesticide Manual, 11th Edition CDS Tomlin The British Crop Protection Council, Farnham, Surrey, United Kingdom.1997. Yong RN, Mohamed AMO, Warkentin BP. 1992. Principle of Contaminant Transport in Soils. Amsterdam (NL): Elsevier Science Publisher. Wang TSC, Yang TK, Chuang TT. 1967. Soil phenolic acids as plant growth inhibitors. Soil Sci. 103:239 –246. Wahyunto, Mulyani A. 2011. Sebaran Lahan Gambut di Indonesia. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. [WMO] World Meteorogical Organization. 2007. WMO statement on the status of the global climate in 2007. Zimdahl RL. 1993. Weed crop Competition. USA: I.P.P.C. Oregon
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1 Komposisi asam fenolat hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Waktu pengukuran
Jenis asam fenolat dan konsentrasi asam fenolat (mg kg-1) Galat
Protokatekuat
Hidroksi benzoat
Vanilat
Siringat
Kumarat
Ferulat
Total
Hari keHari keHari keHari keHari keHari keHari ke-
Kontrol
0.388 0.365 0.639 0.844 0.456 0.410 1.365 4.766 1 0.384 0.387 0.498 0.935 0.428 0.456 0.235 3.523 7 0.364 0.364 0.412 0.873 0.364 0.436 0.921 3.733 14 0.353 0.353 0.403 0.831 0.453 0.403 1.832 4.321 28 0.474 0.650 0.574 1.262 0.574 0.650 1.377 5.559 1 0.445 0.377 0.514 1.096 0.411 0.548 1.233 4.625 A 7 0.396 0.396 0.539 1.007 0.467 0.575 1.294 4.674 1 14 0.377 0.346 0.440 0.912 0.377 0.503 1.101 4.057 28 0.623 0.513 0.513 0.843 0.477 0.587 1.320 4.876 1 0.525 0.370 0.432 0.772 0.370 0.494 1.266 4.230 A 7 0.523 0.369 0.431 0.707 0.338 0.492 1.230 4.091 2 14 0.429 0.390 0.535 0.836 0.507 0.624 1.599 4.920 28 0.525 0.375 0.525 0.837 0.450 0.607 1.340 4.659 1 0.581 0.472 0.586 0.508 0.472 0.581 1.308 4.509 A 7 0.419 0.419 0.586 0.642 0.753 0.474 1.116 4.409 3 14 0.478 0.503 0.534 0.775 0.409 0.635 1.127 4.461 28 0.643 0.429 0.500 0.857 0.464 0.536 1.071 4.500 1 0.460 0.394 0.460 0.788 0.427 0.526 1.182 4.237 7 B 1 0.425 0.389 0.495 0.920 0.425 0.566 1.079 4.300 14 0.439 0.282 0.395 0.818 0.367 0.480 1.016 3.797 28 0.442 0.479 0.442 0.663 0.379 0.549 1.178 4.131 1 0.471 0.438 0.505 0.626 0.438 0.539 1.108 4.124 7 B 2 0.342 0.411 0.514 0.651 0.445 0.514 0.978 3.855 14 0.408 0.446 0.520 0.668 0.483 0.594 0.998 4.118 28 0.611 0.395 0.503 0.575 0.431 0.611 1.257 4.383 1 0.369 0.369 0.492 0.769 0.339 0.492 1.077 3.908 7 B 3 0.320 0.378 0.408 0.582 0.349 0.466 1.019 3.522 14 0.372 0.372 0.541 0.608 0.406 0.507 1.027 3.833 28 Keterangan : kode “A” adalah pestisida paraquat dan “B” adalah pestisida BPMC, A1: 0.5 dosis, A2: 1 dosis A3: 2 dosis, B1: 0.5 dosis, B2: 1 dosis, B3: 2 dosis.
42 Lampiran 2 Komposisi asam fenolat murni hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari
0 1 7 14 28 1 7 14 28
3.36 7.9 9.81 10.08 9.77 6.4 14.23 12.28 11.12
A
Hari ke-
Galat
B
Hari ke-
Waktu pengukuran
Jenis asam fenolat dan konsentrasi asam fenolat (mg L-1) ProtokaHidroksi Vanilat Siringat Kumarat tekuat benzoat
3.08 2.48 2.64 2.49 2.31 1.15 1.64 1.36 1.9
2.68 2.15 2.38 2.44 2.37 2.34 2.71 2.8 1.82
3.28 2.5 2.77 2.83 2.75 2.74 3.2 3.39 3.42
3.96 3.05 3.38 3.42 3.34 3.3 3.9 3.98 4.03
3.32 2.67 2.98 0.82 0.83 2.9 3.41 0.7 0.82
Ferulat
3.96 2.75 2.91 1.12 1.1 2.5 2.87 1.54 1.38
43 Lampiran 3 Bilangan gelombang serapan karakteristik gugus fungsional Gugus fungsional
Serapan karakteristik (cm-1)
Kuat serapan*
Catatan
Uluran C – H alkil
2950 – 2850
m atau s
Uluran C – H alkenil
3100 – 3010
m
Uluran C=H alkenil
1680 – 1620
v
Ikatan C – H alkana terjadi dalam banyak molekul sehingga kurang bermanfaat dalam penetapan bangun molekul Serapan di atas 3000 cm-1 sering kali merupakan indikasi ketidak jenuhan
Uluran C – H alkunil
∽3300
S
Uluran C:::H alkunil Uluran C – H aromatik Tekukan C – H aromatik
2260 - 2100 ∽3030 860 – 680
v v S
Tekukan C=C Uluran OH alkohol/fenol
1700 – 1500 3550 – 3200
m lebar, s
Uluran OH karboksilat
3000 – 2500
lebar, v
Uluran N – H amina
3500 – 3300
m
Uluran N – H amida
3700 – 3500
m
Uluran C:::N nitril
2260 – 2220
m
Uluran C=O aldehida
1740 – 1690
s
Uluran C=O keton
1750 – 1680
s
Uluran C=O ester
1750 – 1735
s
Uluran C=O karboksilat
1780 – 1710
s
Uluran C=O amida
1690 – 1630
s
Keterangan: *s = strong/kuat, m = medium, v = vague/lemah
Amina primer memberikan dua serapan uluran N – H, amina sekunder hanya satu, sedangkan amina tertier tidak ada serapan Seperti halnya amina, amida memberikan nol hingga dua serapan N – H, bergantung tipenya Serapan uluran karboniladalah paling kuat dalam spektra inframerah dan sangat bermanfaat dalam penetapan bangun molekul sebab dapat digunakan untuk menentukan jumlah gugus karbonil (jika puncak tidak tumpang tindih) serta memperkirakan tipenya
44 Lampiran 4 Contoh perhitungan konversi pestisida
Bahan aktif BPMC Dosis 1 Ha 104 m3 Tanah percobaan Tanah 500 000 Kg memerlukan BPMC WBPMC untuk satu kali dosis
: 485 g /L : 1000 mL/ 500 L air : 104 m3 : 500000 kg : 0.5 kg : 1 L x 485 g/L = 485 g : 0.5 kg x 485 g = 485 µg 500000 kg
Bahan aktif Paraquat Dosis aplikasi 1 Ha 104 m3 Tanah percobaan Tanah 500 000 Kg memerlukan Paraquat Wparaquat untuk satu kali dosis
: 276 g /L : 4000 mL/ 500 L air : 104 m3 : 500000 kg : 500000 kg : 0.5 kg : 4 L x 276 g/L = 1104 g : 0.5 kg x 1104 g = 1104 µg 500000 kg
45 Lampiran 5 Produksi CO2 dan CH4 hasil perlakuan pestisida paraquat dan BPMC pada berbagai dosis setelah periode inkubasi 1-28 hari Kode sampel Kontrol A1 A2 A3 B1 B2 B3 Rata – rata waktu Kontrol A1 A2 A3 B1 B2 B3 Rata – rata waktu
1 21.9 22.3 22.3 22.6 23.0 25.8 23.4 23.1
1.81 1.66 1.67 1.68 2.07 1.71 1.90 1.79
Produksi CO2 (mg C-CO2 kg-1) Hari ke7 14 27.7 26.5 26.8 26.8 28.4 26.5 27.4 27.2
36.8 35.5 36.2 36.6 36.3 36.3 35.5 36.2
Produksi CH4 (mg kg-1) 2.12 2.24 1.82 1.83 1.75 1.84 1.76 1.89 1.53 2.49 1.14 1.90 2.03 1.99 1.73 2.03
Keterangan: Data dipergunakan bersama dengan peneliti Maipa Diapati.
28 52.0 53.0 53.0 53.0 54.0 52.4 54.0 53.1
2.26 2.04 1.71 2.38 2.37 1.83 1.97 2.10
Rata – rata perlakuan 34.6 34.4 34.7 34.8 35.4 35.3 35.1
2.11 1.84 1.74 1.96 2.12 1.65 1.98
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tangal 28 November 1983 sebagai putri dari pasangan Bapak Yusman Sastraatmaja dan Ibu Nena Hasanah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah pada tahun 2005 dengan Budi Haryanto dan dikaruniai dua orang putra yaitu Shaumi Fitriani dan Syauqi Azka Firdaus. Penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor pada tahun 2003. Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Nusa Bangsa (UNB) dan lulus pada tahun 2008. Penulis adalah staf di Balai Teknologi Lingkungan-BPPT Puspiptek Serpong, pada tahun 2013 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi strata-2 (S2) di Mayor Bioteknologi Tanah dan Lingkungan (BTL) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB) atas biaya dari Pusbindiklat-BPPT. Bagian tesis ini sedang diajukan ke International Peat society dan Jurnal Tanah dan Iklim, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor dengan judul ”Pengaruh Pemberian Dua Jenis PestisidaTerhadap Transformasi Asam Fenolat serta Produksi CO2 dan CH4 Pada Tanah Gambut”