1
Pengaruh Pelatihan “Meditasi Sadar Diri” Terhadap Penurunan Tingkat Distres Remaja yang Mengalami Kehamilan Pranikah Abstrak Remaja dengan kehamilan pranikah berisiko mengalami distres yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin. Mindfulness sebagai salah satu strategi emotional coping merupakan alternatif intervensi yang dapat membantu remaja mengatasi kondisi distres yang dialaminya. Pelatihan “Meditasi Sadar Diri” (MSD) yang digunakan sebagai intervensi distres ini menggunakan konsep Mindfulness Based Stress Reduction dan Mindfulness Based Cognitive Therapy. Melalui pelatihan MSD ini diharapkan remaja dapat meningkatkan mindfulness sebagai sumber daya koping sehingga pada akhirnya mampu menurunkan distres kehamilan. Hipotesis yang diajukan adalah: (1) Ada perbedaan tingkat distres remaja yang mengalami kehamilan pranikah sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan, tingkat distres remaja setelah mengikuti pelatihan lebih rendah daripada sebelum mengikuti pelatihan. (2) Ada perbedaan tingkat mindfulness remaja sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan, tingkat mindfulness setelah pelatihan lebih tinggi daripada sebelum mengikuti pelatihan. Partisipan dalam pelatihan adalah remaja usia 15-22 tahun yang mengalami kehamilan pranikah. Metode penelitian yang digunakan adalah action research, dengan model kuasi eksperimen the one group pretestposttest design. Pelatihan MSD dilaksanakan selama 2 minggu, dengan 9 sesi dalam 4 pertemuan berdurasi 150-180 menit per pertemuan. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan pelatihan MSD mampu menurunkan tingkat distres kehamilan remaja dengan nilai z= -1,841 dan p=0,033 (p<0,05) dan meningkatkan tingkat mindfulness dengan nilai z= 1,841 dan p= 0,033 (p<0,05). Hasil analisis kualitatif menunjukkan partisipan mengalami penurunan pada aspek-aspek distres kehamilan dan mampu meningkatkan kemampuan mindfulness yang ditandai dengan adanya kesadaran, fokus pada saat ini, dan sikap responsif. Kata kunci: Kehamilan pranikah, distres, mindfulness, Meditasi Sadar Diri
PENGANTAR Kehamilan Pranikah Kehamilan merupakan salah satu fase perkembangan yang melibatkan adanya perubahan baik secara fisik maupun psikologis bagi calon ibu dan pasangan (Duncan & Bardacke, 2010). Kehamilan biasanya dipersepsi sebagai peristiwa positif dalam hidup, namun proses transisi menjadi seorang ibu ini dapat juga dipersepsi sebagai situasi penuh tekanan karena ada perubahan hormon dan fisik yang turut berperan, ditandai oleh adanya kesedihan, merasa sendiri, dan tidak berdaya (Hart & McMahon, 2006). Berbagai perubahan tersebut kemudian dapat memicu timbulnya distres pada ibu hamil. Pada kasus kehamilan pranikah, karena proses yang tidak terencana tersebut dapat membuat ibu melihatnya sebagai peristiwa yang mengancam, sehingga
2
mengarah pada timbulnya distres (Kaye, 2008). Distres pada masa kehamilan dapat berdampak pada kesehatan bayi (DiPietro, Costigan, & Gurewitsch, 2003), kedekatan emosi ibu dengan anak (Figueiredo & Costa, 2009), perkembangan anak di tahap selanjutnya (Vieten & Astin, 2008) dan simtom depresi pada ibu (dalam Masih, Spence, & Oei, 2007). Hasil wawancara dengan ibu yang kehamilannya terjadi saat ia remaja dan tidak dalam ikatan pernikahan menunjukkan adanya gangguan emosi yang ditandai dengan seringnya menangis, menarik diri dari lingkungan, merasa tidak berdaya, cemas, kehilangan konsentrasi, emosi mudah berubah-ubah dan sulit merasakan kebahagiaan atas kehamilannya. Adapun beberapa kutipan dari wawancara dengan salah satu narasumber yang pernah mengalami kehamilan di usia remaja (A, 22 tahun) adalah sebagai berikut: “ Kalo aku sih karena ngerasa stres banget ya waktu itu… jadi ngapangapain suka ga konsen… nonton tv ya bengong, diajak ngomong sering ga nyambung. Apa sih, kaya‟ linglung gitu rasanya. Banyak banget beban pikiran……” Pernyataan ini menunjukkan subjek merasa kehilangan konsentrasi dalam aktivitas kesehariannya karena merasa tertekan secara psikologis “…. Aku kan selama hamil itu gampang banget mood naik turun..nangis terus berbulan-bulan tapi kalo inget mau punya bayi ya seneng lagi. Paling kubawa jalan-jalan……” Pernyataan ini menunjukkan ketidakstabilan kondisi emosi subjek yang sulit ia kendalikan. Di satu sisi ia merasa bahagia karena akan memiliki anak, namun situasi kehamilan yang terjadi sebelum pernikahan menyebabkan subjek sulit merasa bahagia seutuhnya. “Sampe lahiranku prematur trus pendarahan ya karena kondisiku memang ga bagus. “ Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa subjek menyadari kondisi psikologisnya selama mengandung akhirnya berakibat pada proses kelahiran yang tidak normal. Data wawancara dari remaja lain yang pernah mengalami kehamilan pranikah (M, 22 tahun) menunjukkan adanya perasaan tertekan dari
3
sejak fase mengandung, melahirkan, hingga mengurus anak. Perasaan tertekan ini muncul karena dalam tiap fase tersebut subjek harus menghadapi masalah yang berbeda-beda tanpa persiapan yang mencukupi. Data ini ditunjukkan melalui kutipan pernyataan sebagai berikut: “Sampai usia (kandungan) empat bulan itu tertekan banget. Aku hadepin semua sendiri tanpa ada satu orangpun yang bantu. Ga mau ketemu orang-orang… dah sampai habis airmata rasanya yang ngga karuan……….. Setelah nikahpun ya masih kaya‟ gitu rasanya, meskipun lebih enteng karena ga harus bohong lagi” “Sebenernya ya…. Sampe anakku lahir pun aku ga merasakan bahagia..masalah tu rasanya banyak banget dari sejak awal.. sampe terakhiran pun, ga tau harus ngapain.. ngurus anak sendiri karena suami kan jauh tinggalnya. Baru bisa yah..lebih happy lah setelah udah bisa kuliah lagi, kerja lagi, sosialisasi lagi sama temen-temen” Subjek remaja lain yang saat dilakukannya wawancara sedang mengalami kehamilan pranikah (D, 18 tahun) mengatakan ketidaksiapannya menjadi ibu dalam waktu dekat. Kehamilan yang saat ini menginjak usia 7 bulan dilalui subjek dengan penuh kekhawatiran akan masa depan bayinya kelak. Kekhawatiran ini lebih disebabkan masalah finansial, ketiadaan dukungan dari teman-teman, dan pemikiran bahwa dirinya tidak akan dapat bersekolah lagi. Adapun kutipan wawancara dengan subjek D adalah sebagai berikut: “Ya mbak…malu, saya banyak di rumah, teman-teman ya ga ada
yang jenguk.Cuma satu yang masih sering nanyain. Kayaknya susah jg mbak kalo mau ketemu mereka trus sekolah lagi, padahal saya nya juga ingin..tapi uangnya dari mana? Wong mas I (suami subjek) juga baru kerja jadi buruh. Serabutan mbak apa aja yg penting dapet (uang). Pusing saya mbak, mau gimana hidup saya besok-besok…” Hasil wawancara dengan tiga remaja yang mengalami kehamilan pranikah menunjukkan bahwa peristiwa kehamilan yang tidak direncanakan mengakibatkan remaja sulit merasa bahagia atas kehamilannya dan kesulitan menyesuaikan diri dengan peran barunya. Meskipun dalam salah satu wawancara subjek A dapat mengungkapkan perasaan bahagianya, namun kemudian diketahui ia sebenarnya menginginkan kehamilan tersebut datang
4
lebih lambat dan kerap menyesali kehamilannya saat itu. Kondisi yang sama ditunjukkan oleh subjek M dimana sejak awal kehamilan hingga melahirkan ia sulit merasa bahagia dan tidak dapat menerima peran baru sebagai orangtua dengan tanggung jawab yang berat. Pada subjek D, ditemukan kondisi menyesali kehamilannya dan sempat berkeinginan menggugurkan kandungannya. Baik subjek A maupun M mengalami ketidakstabilan emosi akibat beban pikiran yang terlalu banyak, dan ditandai dengan sering menangis, merasa tidak berdaya, kecemasan, menarik diri, dan sulit konsentrasi. Perasaan ini muncul sebagai akibat perasaan tertekan karena melihat kehamilan yang terjadi tanpa direncanakan sebagai peristiwa yang mengancam. Fenomena kehamilan pranikah ini merupakan salah satu masalah sosial yang cukup krusial
di masyarakat saat ini. Beberapa Puskesmas di wilayah
Sleman Yogyakarta mencatat angka calon pengantin (caten) plus yang cukup tinggi. Caten plus sendiri adalah calon pengantin yang tercatat positif hamil sebelum menikah. Data yang dikumpulkan di beberapa Puskesmas tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Sleman, setiap tahun terjadi peningkatan kasus pernikahan dini yang disebabkan karena sudah hamil terlebih dahulu. Pada tahun 2010 jumlah pernikahan dini mencapai 48 pasangan. Kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 79 pasangan. Sedangkan pada tahun 2012 hingga akhir April sudah 19 pasangan yang dinikahkan dalam usia yang masih muda. Pada tahun 2012, pernikahan dini terbanyak tercatat di Kecamatan Godean dan Kalasan (Koran Tribun Jogja, 2012). Di Yogyakarta sendiri menurut Data BKKBN tahun 2010 dari penelitian terhadap 1.160 mahasiswa, 37% di antaranya mengalami kehamilan di luar nikah (Kertapati, 2011). Data
yang
didapat Departement of Making Pregnancy Safer WHO (Manglaterra, Pendse, McClure, & Rosen, 2008) menunjukkan setiap tahunnya 16 juta remaja di dunia antara usia 15-19 tahun telah melahirkan, jumlah ini mewakili 11% dari seluruh kelahiran di dunia. Kehamilan pranikah pada akhirnya akan mengarah kepada konsekuensi meneruskan kehamilan atau menghentikan kehamilan dengan cara aborsi baik karena tekanan pihak lain maupun keinginan sendiri (Coleman, 2006). Kedua pilihan tersebut memiliki korelasi yang cukup besar terhadap kesejahteraan psikologis ibu selanjutnya. Menurut survey kasus aborsi di Indonesia sepanjang 2006 terdapat 2 juta kasus dan bertambah setiap tahunnya hingga pada tahun
5
2008 tercatat 2,6 juta kasus aborsi. 700.000 pelaku aborsi di antaranya berusia di bawah 20 tahun (www.ceria.bkkbn.go.id). Data dari BKKBN juga menunjukkan estimasi terjadinya aborsi di Indonesia adalah 2,4 juta per tahun, dengan 800.000 di antaranya terjadi di kalangan remaja (Kertapati, 2010). Hasil studi menunjukkan remaja yang memilih melakukan aborsi ditemukan berisiko menghadapi masalah kecemasan, gangguan tidur, penyalahgunaan obat, (dalam Coleman, 2006), depresi, perasaan bersalah, dan distres (Ely, Flaherty, & Cuddeback, 2010). Di sisi lain mereka yang memutuskan meneruskan kehamilan akan dihadapkan pada berbagai risiko, di antaranya stigma masyarakat, kekerasan dari orangtua (Atuyambe et al., 2008) ; kesehatan ibu dan bayi, depresi, distres (Ispa, 2007); kecemasan, masalah kepercayaan diri, tidak mendapat dukungan keluarga dan stigma masyarakat (Kaye, 2008); putus sekolah dan kemiskinan (Medoff,
2009);
serta
pernikahan dini dan
ketidakstabilan pernikahan (Wei, Chen, Su, & Williams, 2010). Berbagai risiko tersebut tidak hanya dialami ibu remaja selama masa kehamilannya namun dapat berakibat jangka panjang hingga pada anak hasil kehamilan pranikah tersebut. Anak yang lahir dari ibu remaja berisiko lahir secara prematur dan berisiko tinggi mengalami kematian (Wei, Chen, Su, & Williams, 2010). Keputusan meneruskan kehamilan dan mengikatkan diri dalam pernikahan juga belum menjadi jaminan munculnya penyesuaian diri yang baik terhadap peran baru remaja sebagai orangtua. Hal ini dikarenakan kondisi yang menyertai kehamilan dan pernikahan tersebut biasanya terjadi secara mendadak tanpa perencanaan sebelumnya. Individu pada usia remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi antara lain: menerima dan memahami peran seks usia remaja, kemandirian emosional dan ekonomi, mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa, memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga, serta mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat (Hurlock, 1973). Tugas-tugas ini akan sulit dipenuhi ketika remaja di saat bersamaan harus mengalami kehamilan di luar pernikahan karena belum siap secara emosi, kognitif, dan finansial dalam memasuki peran barunya sebagai orangtua. Karakteristik remaja yang self-oriented, ambivalensi antara ingin merdeka namun membutuhkan orang lain, serta ketidakstabilan emosi juga dapat menjadi
6
penghalang bagi proses transisi peran baru tersebut (Wei, Chen, Su, & Williams, 2010). Remaja yang mengetahui dirinya hamil, dalam proses selanjutnya akan merasakan bahwa dirinya harus mengorbankan banyak hal akibat situasi yang tidak terencana sebelumnya, seperti masa bersosialisasi dengan teman, pekerjaan, dan pendidikan (Duncan, Coatsworth, & Greenberg, 2009). Remaja yang mengalami kehamilan juga akan menghadapi issue penting terkait pendidikan, keuangan, pernikahan, dan pengasuhan anak (Wei, Chen, Su, & Williams, 2010) ; kecemasan, hilangnya kepercayaan diri, kurangnya support finansial, moral, dan material baik dari orangtua maupun pasangan, serta risiko stigma negatif dari masyarakat dan pekerja kesehatan sebagai konsekuensi meneruskan kehamilannya (Kaye, 2008) . Kondisi ini menyebabkan remaja semakin sulit menerima kehamilannya dengan bahagia dan menyebabkan munculnya berbagai keluhan psikologis. Keluhan-keluhan psikologis tersebut merupakan indikator adanya distres pada remaja yang mengalami kehamilan pranikah. Distres Stres adalah kondisi ketika sebuah peristiwa yang dialami individu menyebabkan ketegangan fisik, mental,ataupun emosional (Penedo, Antoni, & Scneiderman, 2008). Menurut Lazarus (Davis, 1999) secara umum stres dapat diartikan sebagai suatu gejala umum yang dialami individu, bercirikan adanya pengalaman mencemaskan atau menegangkan yang bersifat intensif dan relatif menekan. Kondisi ini muncul karena keadaan atau situasi eksternal yang terus memaksa individu memenuhi tuntutan yang tidak biasa pada dirinya. Lazarus (dalam Rice, 1999; dan Taylor, 1995) menegaskan bahwa stres terjadi ketika kemampuan atau sumber daya yang dimiliki seseorang dinilai tidak mencukupi untuk mengatasi tuntutan situasi. Baum (Taylor, 1995) mengatakan bahwa stres adalah pengalaman emosi negatif, dan tekanan untuk beradaptasi dengan kondisi serta norma sosial (Rice, 1999; Lazarus & Folkman, 1984 dalam Taylor, 1995) yang diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis, kognitif, dan perilaku secara langsung terhadap munculnya kejadian yang dianggap menekan, tidak terkontrol, dan diluar kemampuan individu untuk mengatasinya (Lazarus dalam Taylor, 1995). Stres
7
memiliki makna positif dan negatif. Ketika tekanan atau stresor mendorong individu lebih produktif maka ia mengalami eustres yang memberi dampak positif. Sebaliknya jika stresor justru menimbulkan masalah fisik dan psikologis, maka stres yang dialami individu disebut distres (stres yang berdampak negatif). Berdasarkan definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa distres adalah kondisi ketika tekanan atau stresor dipersepsi negatif karena individu tidak memiliki
sumber
daya
yang
memadai
untuk
mengatasinya
sehingga
menimbulkan masalah pada aspek fisik, kognitif, emosi, dan perilaku. Selanjutnya peneliti menurunkan definisi distres kehamilan tersebut ke dalam beberapa aspek dan indikator,yaitu: 1. Aspek fisik Aspek ini ditandai adanya gangguan fisik, kelelahan, dan rentan terhadap penyakit; 2. Aspek emosi Aspek ini ditandai adanya labilitas perasaan, kecemasan, dan penurunan minat terhadap aktivitas 3. Aspek kognitif Aspek ini ditandai adanya persepsi negatif terhadap perubahan fisik yang terjadi selama kehamilan, persepsi negatif terhadap perubahan peran yang
mendadak,
persepsi
negatif
terhadap
kemampuan
untuk
menghadapi tekanan yang muncul selama kehamilan 4. Aspek perilaku Aspek ini ditandai dengan menarik diri dari lingkungan sosial, adanya upaya untuk menutupi kehamilan, melakukan tindakan yang mengabaikan kesehatan janin, nafsu makan berubah drastis, dan gangguan tidur.
Sumber distres menurut Sarafino (1998) dibedakan menjadi: (a) distres yang bersumber dari dalam diri individu, (b)
distres yang bersumber dari
keluarga, dan (c) distres yang bersumber dari masyarakat/lingkungan. Remaja yang mengalami kehamilan pranikah harus berhadapan dengan ketiga sumber ini secara simultan, bahkan tidak jarang secara bersamaan. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat distres mereka cenderung lebih sulit diatasi dibandingkan pada kehamilan biasa. Hal ini didukung pendapat Logsdon, Birkimer, Ratterman, Cahill, & Cahill (2002) yang mengatakan remaja yang harus menghadapi tugas
8
perkembangan dan tantangan kehamilan secara bersamaan biasanya akan merasa tidak siap dan kurang memiliki sumber informasi sehingga menyebabkan timbulnya distres. Hasil asesmen awal yang dilakukan peneliti menunjukkan remaja caten plus yang melakukan konseling pra pernikahan menunjukkan sumber distres yang berbeda-beda selama masa kehamilan. Stresor di awal masa kehamilan biasanya
terkait
perubahan
fisik,
resolusi
kehamilan
(diteruskan
atau
digugurkan), dan masalah penerimaan dari pasangan, keluarga, dan sosial. Saat keputusan menikah sudah diambil, hal-hal yang kemudian menjadi stresor hingga akhir kehamilan biasanya terkait finansial, penyesuaian peran, serta informasi seputar perawatan kehamilan dan bayi yang masih belum dimiliki remaja. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan Aryani (2012) dan Aristianie (2012) juga menyebutkan bahwa stresor wanita yang mengalami kehamilan pranikah lebih beragam dan akan terus berubah dari sejak pertama diketahui hamil, memutuskan menikah, hingga menjelang persalinan. Informasi ini menunjukkan bahwa sepanjang masa kehamilan hingga melahirkan, ibu remaja yang mengalami kehamilan pranikah memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami distres dibanding pada kehamilan normal. Berdasarkan uraian di atas, intervensi untuk membantu remaja yang mengalami kehamilan pranikah agar beradaptasi terhadap peran barunya dan mengatasi distres yang timbul akibat kehamilan tersebut amatlah dibutuhkan. Distres dan Mindfulness Remaja yang mengalami kehamilan pranikah mengalami kondisi penuh tekanan (stressful event). Hasil wawancara dengan subjek M (22 th) menunjukkan bahwa perasaan tertekan yang dialaminya tidak terselesaikan hanya dengan jalan menikah. Subjek M dan subjek A (22 th) menyatakan perasaan tertekan ini terus muncul selama masa kehamilannya. Mereka menjadi mudah terseret pada arus pikiran yang menghakimi keberadaannya saat ini menyesali peristiwa masa lalu, dan mengkhawatirkan masa depannya. Kondisi inilah yang disebut dengan mindlessness yang didefinisikan Langer (Synder & Lopez, 2006) sebagai saat dimana pikiran individu terperangkap dalam pola yang dangkal sehingga tidak mampu memahami konteks suatu peristiwa secara utuh.
9
Hal ini menyebabkan remaja kurang mampu memaknai peristiwa yang dialaminya dan terfokus pada penilaian baik-buruk terhadap peristiwa tersebut. Kondisi mindlessness yang dialami remaja tersebut selanjutnya mempengaruhi kemampuan remaja merespon kebutuhan diri,terutama terkait kebutuhan tubuhnya selama kehamilan. Langer (Synder & Lopez,2006) menjelaskan bahwa ketika kondisi mindlessness terjadi, individu dapat kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri karena tidak mampu menyadari reaksi-reaksi fisik yang menjadi alarm penyesuaian diri. Dalam kasus kehamilan pranikah, reaksi fisik yang sebenarnya normal terjadi pada kehamilan pada umumnya menjadi lebih meningkat intensitasnya dikarenakan remaja tidak mampu menyadari dan merespon reaksi fisik tersebut. Lazarus (dalam Taylor, 1995) menyebutkan bahwa ketika individu menghadapi situasi tertentu, ia akan masuk ke dalam primary appraisal dan mempersepsi apakah situasi tersebut dianggap mengancam, netral, atau menyenangkan. Apabila persepsi individu melihat situasi tersebut sebagai ancaman, dalam proses secondary appraisal ia kemudian akan mengukur apakah memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi situasi tersebut atau tidak. Dalam kasus kehamilan pranikah, di tahap primary appraisal remaja menilai
peristiwa
ketidakmampuannya
tersebut melihat
sebagai konteks
situasi
yang
masalah
mengancam
secara
utuh.
karena Kondisi
mindlessness yang dialami remaja juga membuatnya merasa kehilangan kontrol terhadap situasi di sekitarnya. Reaksi distres kemudian muncul sebagai hasil proses secondary appraisal dimana remaja merasa tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menghadapi situasi menekan tersebut. Pada prakteknya, mindfulness akan membantu individu memperkuat sumber daya internalnya dan meningkatkan kemampuan individu mengakses sumber daya tersebut (Kabat-Zinn, 1990). Saat kondisi mindful tercapai, perhatian tidak akan terfokus pada masa lalu ataupun masa depan, dan individu tidak akan memberikan penilaian atau menolak apa yang sedang terjadi saat ini. Kesadaran yang muncul akan membantu individu melihat situasi ini secara lebih jelas, sehingga muncul sudut pandang baru dalam melihat permasalahan maupun alternatif pemecahannya (Kabat-Zinn, 1990). Jenis perhatian semacam ini akan membentuk energi, pikiran yang jernih, dan kebahagiaan (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Hal ini dapat tercapai karena mindfulness memiliki
10
beberapa kualitas positif yang muncul secara sadar antara lain: tanpa penilaian, tanpa
pemaksaan,
penerimaan,
kesabaran,
kepercayaan,
keterbukaan,
pelepasan, kelembutan, empati, rasa syukur, dan kasih sayang. (Shapiro dalam Synder dan Lopez, 2006). Kondisi mindful juga akan memberikan kesadaran pada individu bahwa ia memiliki kontrol terhadap pilihan-pilihannya sehingga mendorong munculnya responsif, bukannya reaktif terhadap situasi di sekitarnya (Kabat-Zinn, 1990). Mindfulness memiliki definisi operasional yang bervariasi (Fielding, 2009). Pendekatan ini berakar dari filosofi Buddha dan merupakan bentuk ketrampilan yang dapat membantu individu agar memiliki kesadaran dan tidak bersikap reaktif akan apa yang terjadi saat ini, sebuah cara untuk memaknai peristiwa baik positif, negatif, maupun netral sehingga mampu mengatasi perasaan tertekan dan menimbulkan kesejahteraan diri (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). KabatZinn (2003) mendefinisikan mindfulness sebagai kesadaran yang muncul akibat memberi perhatian terhadap sebuah pengalaman saat ini secara disengaja dan tanpa penilaian agar mampu merespon dengan penerimaan, dan bukannya bereaksi, terhadap pengalaman yang dialami sehari-hari. Mindfulness terfokus pada peningkatan kemampuan mengobservasi atau mengamati perubahan kondisi psikologis tanpa bertujuan secara sengaja mencapai tingkatan tersebut (Brown & Ryan, 2003) Berdasarkan defnisi yang telah dijelaskan para ahli, komponen utama dalam mindfulness adalah: kesadaran (awareness), pengalaman saat ini (present experience), dan penerimaan (acceptance). Baer et al (2006 dalam Duncan, Coatsworth, & Greenberg, 2009) menyebutkan lima kemampuan
dalam
mindfulness adalah: Bertindak dengan kesadaran (acting with awareness), kemampuan
mengobservasi
(observing),
kemampuan
mendeskripsikan
(describing), sikap non-reaktif terhadap pengalaman, dan sikap tanpa penilaian terhadap pengalaman. Brown & Ryan (2003) menyatakan aspek-aspek dalam mindfulness yaitu: (1) Acting with Awareness, (2) Present Focus, (3) Responsiveness, (4) Social Awareness. Kata mindfulness sendiri dapat diartikan sebagai konstruk psikologis, proses psikologis (being mindful), bentuk psikoterapi, atau bentuk latihan yang dapat membentuk mindfulness (seperti meditasi). Mindfulness baik secara konstruk psikologis maupun dasar psikoterapi telah terbukti secara efektif
11
mempengaruhi penerimaan diri (Thompson & Waltz, 2007; Carson & Langer, 2006), komunikasi orangtua-anak (Duncan, Coatsworth, & Greenberg, 2009), regulasi emosi, kesejahteraan diri, dan problem solving (Feldman, Hayes, Kumar, Greeson, & Laurenceau, 2007; Brown & Ryan, 2003), distres, depresi, kecemasan (Feldman et al, 2006; Vieten & Astin, 2007) baik pada populasi klinis maupun non-klinis. Mindfulness mengajak individu untuk mampu melalui pengalaman yang sulit atau tidak menyenangkan tanpa menghindarinya (Fielding, 2009). Pada prakteknya mindfulness dapat membentuk terciptanya perasaan relaks, namun demikian mindfulness bukanlah salah satu teknik relaksasi, karena fokus mindfulness adalah mengembangkan kapasitas individu untuk mengamati perubahan fisiologis dan mental tanpa dengan sengaja bertujuan untuk mencapai perasaan relaks tersebut (Vieten & Astin, 2008). Penelitian ini akan menggunakan tiga aspek utama mindfulness yaitu: 1). Acting with awareness, 2) Present moment , 3) Responsiveness. Acting with awareness merepresentasikan kondisi dimana individu mampu menyadari sensasi fisik dan psikologis baik saat kondisi menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Secara bersamaan hal ini akan membawa individu pada present moment, yaitu kondisi disini dan saat ini. Keterbukaan pada present moment akan membantu individu melihat situasi dalam konteks yang lebih menyeluruh dan membuka sudut pandang baru dalam melihat situasi tersebut. Pada akhirnya, kualitas ini akan membantu individu bersikap aktif terhadap stimulus dan bukannya reaktif yang ditandai dengan sikap responsiveness. Lebih lanjut hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Acting with awareness Responsiveness
Stimulus
Present moment
Gambar 1. Kerangka model mindfulness
12
Intervensi Berbasis Mindfulness Penanganan terhadap distres dalam berbagai setting klinis telah dilakukan melalui berbagai upaya pendekatan, di antaranya menggunakan program Pendampingan psikologis melalui telepon (Wei, Chen, Su, & Williams, 2010), Program berbasis komunitas: Multi-Family Group (MFG; McDonald et al, 2008) dan intervensi berbasis mindfulness (Gold et al., 2009; Viesten & Astin, 2007; Cordon, Brown, & Gibson, 2009). Pendampingan psikologis bagi remaja yang mengalami kehamilan pranikah melalui telepon (Wei, Chen, Su, & Williams, 2010) merupakan alernatif intervensi yang memiliki jangkauan layanan yang cukup luas. Intervensi ini dapat menangani subjek yang lebih banyak dibanding intervensi jenis lain. Namun luasnya jangkauan layanan tersebut sekaligus menjadi keterbatasan karena dapat terhambat oleh jaringan telepon yang belum memadai. Selain itu diperlukan pula kompetensi dari staff yang cukup baik untuk mendampingi remaja tanpa bertatap muka secara langsung. Dengan metode ini, pengukuran efektivitas intervensi juga akan sulit dilakukan sebab subjek tidak dapat diberikan pretest dan posttest. Intervensi Multi-Family Group (MFG) (McDonald, et al., 2008) merupakan program berbasis komunitas yang bertujuan membantu remaja beradaptasi dengan peran barunya sebagai ibu, menghadapi stigma negatif dari masyarakat, menurunkan distres, dan mengatasi internal konflik dari keluarga yang kurang suportif. Hasil studi ini menunjukkan pengaruh yang signifikan pada kualitas hubungan ibu-bayi, self-efficacy, kemampuan manajemen konflik remaja dalam mengatasi konflik dengan lingkungannya, social support, dan pada tingkat distres secara keseluruhan. Keterbatasan penelitian ini terdapat pada jumlah partisipan yang harus melibatkan beberapa anggota keluarga dan institusi sekolah. Karakteristik subjek remaja yang mengalami kehamilan pranikah cenderung ingin menyembunyikan kehamilannya karena rasa malu, sehingga keterlibatan banyak pihak dalam model intervensi ini dapat menyulitkan pada proses penjaringan subjek. Terapi mindfulness terbukti efektif untuk meningkatkan afek positif, menurunkan distres (Vieten & Astin, 2008), kecemasan, depresi, dan afek negatif pada wanita hamil (Duncan & Bardacke, 2010) maupun pada karakteristik subjek
13
lainnya (Cordon, Brown, & Gibson, 2009; Gold, Smith, Hopper, Herney, Tansey, & Hulland, 2010). Di Indonesia, terapi berbasis mindfulness telah terbukti meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orangtua yang memiliki anak remaja (Tegawati, 2011) dan pada orang dengan HIV AIDS (Dewi, 2012). Teknik mindfulness lebih berfokus untuk membantu individu merasakan pengalaman subjektif melalui latihan-latihan sehingga manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh subjek intervensi. Peserta tidak dibebani dengan materi psikoedukasi yang cukup padat, waktu pelaksanaan yang panjang, serta latihan di rumah yang beragam sehingga limitasi intervensi penanganan distres dengan pendekatan lain dapat diatasi dengan teknik ini. Berdasarkan hasil-hasil asesmen dan penelitian sebelumnya tersebut maka peneliti memilih fokus pada intervensi berbasis mindfulness untuk mengatasi
distres
pada
remaja
yang
mengalami
kehamilan
pranikah.
Berdasarkan definisi dan bukti efektivitas mindfulness berdasar penelitian sebelumnya, maka peneliti membangun asumsi dasar bahwa mindfulness sebagai sebuah bentuk psikoterapi dapat memberikan pengaruh bagi penurunan tingkat distres remaja yang mengalami kehamilan pranikah. Beberapa penelitian tentang kehamilan pranikah sebelumnya lebih banyak mendiskusikan tentang efek kehamilan pranikah tersebut dan program-program pencegahan perilaku seks bebas sebagai pendahulu fenomena kehamilan pranikah. Masih sedikit studi yang memfokuskan pada peningkatan kualitas kehidupan remaja yang telah mengalami kehamilan pranikah. Studi pendahuluan yang dilakukan Aryani (2012) dan Ariestiani (2012) memberikan informasi bahwa intervensi sekunder merupakan jenis intervensi yang dibutuhkan pada subjek yang mengalami kehamilan pranikah. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa tingkat distres subjek yang tinggi di awal kehamilannya akan menurun ketika keputusan menikah sudah diambil, dan akan meningkat kembali menjelang persalinan. Fluktuasi tingkat distres ini menunjukkan bahwa remaja dengan kehamilan pranikah perlu diberikan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi distres dalam setiap periode kehamilannya. Pelatihan dukungan sosial yang dilakukan Aryani (2012) dan Aristianie (2012) merupakan bentuk pelatiahan pemberdayaan sumber daya eksternal untuk penanganan distres, sementara fokus dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sumber daya internal individu.
14
Hasil temuan penelitian yang dilakukan Aryani (2012) dan Aristianie (2012) tersebut menjadi salah satu dasar bagi pengembangan intervensi yang dilakukan dalam pelatihan ini. Perubahan yang dilakukan dari penelitian sebelumnya ada pada modifikasi aitem-aitem alat ukur distres yang lebih disesuaikan dengan jenis stresor setelah subjek menikah dan
karakteristik
inklusi subjek yang lebih spesifik, sementara repetisi yang dilakukan berupa metode penjaringan subjek dan pengambilan data. Praktik
mindfulness
meliputi
mengembangkan
kesadaran
tanpa
penilaian akan seluruh aspek dari sebuah pengalaman di saat ini (present moment) dan merespon pengalaman tersebut dengan penerimaan. Para klinisi menemukan kendala dalam mengintegrasikan pendekatan mindfulness dengan praktik klinis (Fielding, 2009). Oleh karena itu, Daleiden dan Chorpita (dalam Fielding 2009) menyatakan bahwa saat ini, klinisi yang ingin melakukan intervensi dengan pendekatan mindfulness dapat menempuh dua cara, yaitu harus
mengadaptasi
sebuah
manual
intervensi
yang
berprotokol
atau
menentukan berdasarkan teori mengenai elemen mana dari mindfulness yang dapat diintegrasikan ke dalam praktik klinis. Baer dan Huss (dalam Fielding, 2009) menyatakan bahwa saat ini terdapat beberapa intervensi berbasis mindfulness yang dianggap memiliki dukungan empirik terbaik, dan dua diantaranya adalah Mindfulness Based Stres Reduction (MBSR) dan Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT). Mindfulness Based Stres Reduction (MBSR) merupakan salah satu jenis terapi berbasis mindfulness yang fokus melatih kesadaran melalui teknik meditasi. Dengan berlatih mengobservasi sensasi tubuh (body scan meditation), individu dapat mencapai kondisi mindful dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk ketika melakukan aktivitas rutin seperti berjalan, makan, berdiri, dll (Germer, Siegel, Fulton, 2005). MBSR bertujuan mengubah hubungan individu dengan situasi dan pikiran yang penuh distres. Hal ini dicapai dengan cara menurunkan reaksi emosional
dan
meningkatkan
penilaian
kognitif
secara
positif.
Mindful
Motherhood (Vieten & Astin, 2007) merupakan salah satu terapi mindfulness yang dikembangkan dari MBSR dan telah terbukti mampu mengatasi distres, depresi, dan kecemasan pada subjek ibu hamil. Mindfulness-Based
Cognitive
Therapy
(MBCT)
adalah
intervensi
berbasis mindfulness yang mengintegrasikan aspek Cognitive Behavioral
15
Therapy (CBT) ke dalam format MBSR dalam sesi yang berdurasi lebih singkat. Awalnya intervensi ini digunakan terhadap pasien yang mengalami depresi berat yang kronis. Intervensi ini menambahkan elemen tradisional seperti psikoedukasi dan latihan untuk membedakan pikiran dan fakta. Namun MBCT lebih fokus untuk mengajak pasien menggunakan pendekatan decentered terhadap pengalaman internal daripada mengajarkan klien untuk merubah pikiran (Fielding, 2009) Intervensi berbasis Mindfulness pada studi ini selanjutnya akan disebut dengan Pelatihan “Meditasi Sadar Diri” (MSD) yang
dikembangkan berdasar
konsep Mindfulness Based Stres Reduction dan Mindfulness Based Cognitive Therapy.
Pelatihan
MSD
bertujuan
untuk
meningkatkan
keterampilan
mindfulness sebagai salah satu strategi koping terhadap distres sehingga peningkatan pada variabel ini dapat diasosiasikan dengan penurunan tingkat distres remaja yang mengalami kehamilan pranikah. Fokus pelatihan MSD adalah kemampuan individu untuk menyadari segala reaksi fisik dan psikologis yang dialami dari waktu ke waktu. Diharapkan hasil penelitian ini selanjutnya dapat menjadi alternatif intervensi sekunder bagi penanganan kasus kehamilan pranikah di Indonesia . Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian adalah menguji pengaruh pelatihan “Meditasi Sadar Diri” terhadap penurunan distres pada remaja yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. Hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Ada perbedaan tingkat distres remaja yang mengalami kehamilan pranikah sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan MSD, tingkat distres remaja setelah mengikuti pelatihan lebih rendah daripada sebelum mengikuti pelatihan. (2) Ada perbedaan tingkat mindfulness remaja yang mengalami kehamilan pranikah sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan MSD, tingkat mindfulness remaja setelah mengikuti pelatihan lebih tinggi daripada sebelum mengikuti pelatihan. Adapun kerangka berpikir penelitian ini adalah sebagai berikut:
16
POTENTIAL STRESSOR REMAJA: Kehamilan Pranikah PRIMARY APPRAISAL: Individu terjebak pada pikiran yang menghakimi dirinya sendiri, merenungi masa lalu, mengkhawatirkan masa depan sehingga tidak terfokus pada present moment. Kehamilan dipersepsi mengancam dan tidak menyenangkan. Individu berada pada kondisi mindlessness
PELATIHAN MINDFULNESS Prinsip: Kesadaran tanpa proses pemikiran Fokus pada present moment Responsiveness Tujuan: Menyadari pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh Menerima pengalaman saat ini tanpa penilaian Mampu bersikap responsif, bukannya reaktif terhadap peristiwa. Keterbukaan terhadap pengalaman saat ini Menyadari Automatic Reaction
SECONDARY APPRAISAL: Individu menilai sumberdaya internal dalam dirinya tidak mencukupi untuk menghadapi stressor event dan merasa kehilangan kontrol terhadap situasi tersebut
DISTRES (Fisiologis, Kognitif, Emosi, Perilaku)
Mindfulness sebagai coping distres yang lebih adaptif dan adekuat meningkat
Breakdown: penurunan ketegangan mental dan fisik
Kemungkinan adanya perasaan tertekan tetap ada, namun juga diimbangi dengan kesadaran akan sensasi tubuh: pernapasan, tekanan otot, aliran darah, denyut jantung Kesadaran mengenai situasi dalam konteks menyeluruh Strategi emotion-focused Strategi problem-focused Melihat alternatif pilihan lain Ketenangan dan kejernihan pikiran Perasaan mampu mengatasi masalah
DISTRES MENURUN
Gambar 2. Kerangka konsep penelitian : Mempengaruhi : Interaksi
: Intervensi : Efek Intervensi