Artikel Penelitian
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup terhadap Citra Diri Remaja
Fransiska Kaligis, Tjhin Wiguna, Ika Widyawati Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas pelatihan kecakapan hidup terhadap remaja siswa salah satu SMP di Jakarta Pusat. Sebanyak 40 orang siswa usia 11-15 tahun diambil secara acak untuk mengikuti penelitian. Desain penelitian adalah one group pre and post test. Selama lima minggu seluruh subyek mengikuti pelatihan kecakapan hidup yang terdiri atas modul meningkatkan harga diri, modul mengenali dan mengatasi emosi, modul menghadapi stress, modul menghadapi tekanan teman sebaya dan modul resolusi konflik. Sebelum dan dua minggu setelah pelatihan seluruh subyek dinilai dengan kuesioner citra diri Rosenberg’s yang diisi sendiri oleh subyek. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS, Wilcoxon Rank Test. Terjadi peningkatan citra diri setelah pelatihan kecakapan hidup. Terdapat peningkatan yang bermakna pada skor self consciousness (p=0,000), instability (p=0,000), low self esteem (p=0,002) dan negative perceived self (p=0,002). Pelatihan kecakapan hidup selama lima minggu mempunyai efek positif dalam meningkatkan kesehatan jiwa remaja dengan meningkatkan citra diri. Implementasi modul pelatihan secara kontinyu di sekolah dapat memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan pelatihan yang hanya dilakukan dalam waktu singkat. Kata kunci: kecakapan hidup, remaja, citra diri
100
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup
Effective ness of Life Skills Training in Increasing Adolescents Self Image Fransiska Kaligis, Tjhin Wiguna, Ika Widyawati Department of Psychiatry Faculty of Medicine Universitas of Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: The study aims at evaluating the effectiveness of Indonesian version of life skills training for adolescent students in one junior high school in Central of Jakarta. Forty junior high school students aged 11-15 year old, were randomly selected to participate in the study, using one group pre and post test design. Subjects were enrolled in a five-week life skills training consisting of 5 modules, i.e. enhancing self-esteem, coping with emotions, coping with stress, coping with peer pressures, and conflict resolution. They were assessed using self-rated Rosenberg’s self-image questionnaire, before and 2 weeks after the training. Statistical analysis is done by SPSS Wilcoxon Rank test for pair group. The study showed significant increase in self image after intervention. There were significant change in self image which were showed by the improvement of self consciousness score (p=0.000), instability score (p=0.000), low self esteem score (p=0.002) and negative-perceived self score (p=0.002). Five-week training on Indonesian version of life skills seemed to have a positive effect in enhancing adolescent mental health by improving their self image. Implementing these modules continuously in school will yield more benefit than only short term training. Key words: life skills, adolescent, self image
Pendahuluan Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak ke masa dewasa. Secara fisik maupun kejiwaan banyak hal yang terjadi dalam masa remaja. Periode ini amat penting dipersiapkan agar remaja nantinya dapat tumbuh dan berkembang menjadi seorang dewasa yang sehat dan produktif.1 Usia kanak akhir dan remaja awal (6-15 tahun) merupakan masa kritis bagi perkembangan perilaku dan kebiasaan yang positif. Pada periode ini anak mulai mampu berpikir abstrak dan memahami konsekuensi dari suatu kejadian serta menyelesaikan masalah-masalahnya. Timbul juga keinginan untuk semakin independen dari orang tuanya dan mempunyai kontrol terhadap dirinya sendiri. Pada masa ini hubungan dengan teman sebaya menjadi sangat dekat.2 Dengan perkembangan zaman saat ini setiap orang dihadapkan pada pesatnya perkembangan teknologi, informasi dan telekomunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan ini juga memberi dampak negatif, terutama bagi anak dan remaja yang secara mental masih belum matur. Orang tua yang bekerja mengakibatkan waktu kebersamaan dengan anak semakin sedikit, padahal sesuai dengan perkembangannya, anak perlu figur orang tua yang berperan dalam pembentukan pondasi pada tumbuh kembangnya.1,3 Di pihak, lain anak juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan kegiatan-kegiatan yang jarang melibatkan komunikasi interpersonal dengan
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009
teman sebaya. Akibatnya banyak anak menjadi kurang terampil dalam hubungan sosial.3 Sekolah juga berperan penting pada tahap-tahap perkembangan anak dan remaja, karena mereka menghabiskan hampir sepertiga waktunya setiap hari di sekolah. Pendidikan di sekolah seharusnya diartikan secara luas tidak hanya pemberian ilmu pengetahuan, tetapi juga pendidikan dalam hal pembentukan kepribadian, watak dan moral.4 Sebagian besar sekolah yang ada lebih banyak menekankan pendidikan pada aspek akademis dan menghilangkan pendidikan untuk membantu perkembangan perilaku dan mental emosional anak.3 Lingkungan sosial dan budaya yang tidak positif merupakan faktor risiko bagi remaja untuk terjebak dalam perilaku yang membahayakan kesehatan dan keselamatan remaja. Perilaku tersebut antara lain merokok, penggunaan narkoba atau minuman keras, seks sebelum menikah, tawuran, perilaku kriminal, atau bunuh diri. Dalam masa remaja yang begitu rawan dan penuh risiko, remaja perlu dibekali dasar untuk perkembangan jiwa yang sehat.5 Kondisi kesehatan jiwa yang baik amat diperlukan agar remaja mampu melewati masa transisinya dan dapat mencapai kedewasaan tanpa masalah yang berarti.4 Pendidikan kecakapan hidup (life skills education) merupakan pendidikan bagi anak usia sekolah untuk meningkatkan kompetensi psikososialnya. Kecakapan hidup
101
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup tersebut termasuk kemampuan menyelesaikan masalah, berpikir kritis, berkomunikasi dan membentuk hubungan interpersonal, empati, dan metode untuk menghadapi emosi. Dengan kemampuan ini anak dan remaja dapat berkembang mencapai derajat kesehatan jiwa yang positif dan tangguh.4 Pendidikan kecakapan hidup tidak bersifat menggurui atau memberi nasihat tentang apa yang harus dilakukan seorang anak, namun memberikan dasar yang kuat tentang pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar anak dapat memilih sendiri yang baik bagi dirinya.3 Quayle et.al6 dalam penelitiannya mendapatkan program optimisme dan kecakapan hidup (optimism and lifeskills program) efektif untuk pencegahan depresi dan membantu remaja memasuki masa transisi ke sekolah tinggi. Dalam penelitian ini didapatkan adanya penurunan gejala depresif dan meningkatnya harga diri pada kelompok intervensi. Zollinger et al7 yang mengevaluasi pengaruh pelatihan kecakapan hidup terhadap penggunaan rokok pada siswa sekolah menengah memperoleh hasil jumlah siswa perokok yang lebih rendah dan keinginan siswa untuk tetap berada pada keadaan bebas rokok setelah mengikuti program ini. Botvin et al8-10 menunjukkan keefektifan program Life Skills Training pada pencegahan penggunaan rokok, alkohol dan obat terlarang. Lebih jauh dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup bagi remaja mampu menurunkan penggunaan rokok sampai dengan 87%, penggunaan alkohol dan obat terlarang sampai 60-75%, menurunkan angka kekerasan, menurunkan perilaku berkendara yang membahayakan, serta menunjukkan efek pada perilaku berisiko infeksi HIV.10,11 UNICEF Myanmar12 melakukan pelatihan pada siswa sekolah dasar dan menengah tentang hidup sehat dan menghindari diri dari infeksi HIV/AIDS menggunakan modul pelatihan kecakapan hidup yang dibuat oleh WHO tahun 1997. Dari evaluasi didapatkan hasil adanya perubahan perilaku pada anak yang pernah mendapatkan pelatihan ini. Dalam suatu contoh evaluasi di komunitas didapatkan bahwa penderita HIV tidak lagi dikucilkan setelah masyarakat mengetahui cara penularan infeksi HIV. Hal ini merupakan dampak jangka panjang dari program tersebut setelah adanya penyebaran informasi yang diperoleh anak kepada orang tua maupun kerabatnya.12 Navarette (dalam modul UNICEF)13 yang melakukan penelitian pada pelajar usia 10-15 tahun di Columbia mendapatkan bahwa program pelatihan kecakapan hidup ini berpengaruh positif pada hubungan anak dengan orang tua dan menurunkan tingkat agresivitas anak. Selain itu terlihat juga bahwa anak lebih berani untuk mengemukakan pendapat di depan umum serta memiliki kapasitas yang lebih besar dalam mendengarkan teman. Disimpulkan oleh peneliti bahwa pelatihan ini mampu membantu anak menghadapi situasi sulit saat itu setelah kejadian pembantaian masal di Columbia. Di Indonesia telah dikembangkan Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja di Sekolah Melalui 102
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education).3 Modul pelatihan ini mengacu pada modul pelatihan kecakapan hidup (life skills education) yang dibuat oleh WHO tahun 1997, namun telah disesuaikan dengan kondisi dan budaya Indonesia. Pendidikan kecakapan hidup tersebut terdiri atas lima modul, yaitu modul meningkatkan harga diri, modul mengatasi emosi, modul menghadapi stres, modul menghadapi tekanan teman sebaya dan modul resolusi konflik. Modul ini memiliki sasaran pada pendidikan formal, yaitu pelajar SMP dan memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan jiwa pelajar sehingga mereka menjadi orang yang cerdas, mandiri, berkepribadian tangguh serta mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Namun demikian, saat ini belum ada sekolah di Jakarta yang menerapkan modul pendidikan kecakapan hidup tersebut. Selain itu belum ada juga penelitian yang menilai efektivitas modul pelatihan kecakapan hidup di Indonesia. Masalah kesehatan jiwa pada remaja di Jakarta cukup besar. Penelitian yang dilakukan oleh Rahadian14 tentang masalah perilaku dan emosi murid sekolah dasar kelas I-VI di Jakarta Pusat, mendapatkan hasil sebesar 29,2 % anak usia 911 tahun memiliki masalah perilaku dan emosi, dengan gambaran profil yang menonjol adalah keluhan somatik, cemas depresi, problem sosial dan problem atensi. Sementara itu pada anak usia lebih dari 11 tahun, 22,8% memiliki masalah perilaku dan emosi, dengan gambaran profil yang menonjol adalah keluhan somatik dan perilaku agresif. Survey yang dilakukan oleh Ang15 terhadap pelajar SMP di Jakarta Pusat menggunakan Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) menunjukkan proporsi masalah perilaku dan emosi yang cukup besar pada pelajar di SMP Trisula Jakarta Pusat, yaitu 52% (11/21) sampel memiliki skor total SDQ yang abnormal dan borderline. Pada penelitian ini akan dilakukan pelatihan modul kecakapan hidup terhadap pelajar di SMP Trisula Jakarta Pusat. Penelitian bertujuan menilai pengaruh pelatihan kecakapan hidup terhadap citra diri remaja di SMP Trisula Jakarta Pusat. Informasi tentang efektivitas pelatihan diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi kegiatan sosialisasi program ini di sekolah-sekolah menengah dalam rangka mencegah timbulnya permasalah kesehatan jiwa yang lebih besar. Metode Penelitian ini menggunakan rancangan desain penelitian one group pre- and post-test di SMP Trisula Jakarta Pusat. Waktu penelitian adalah bulan Agustus 2007-April 2008. Dari perhitungan besar sampel diperoleh jumlah 32 orang untuk mewakili jumlah keseluruhan siswa yang akan mengikuti pelatihan. Untuk menghindari kemungkinan drop out maka sampel menjadi 40 orang, dengan kemungkinan proporsi drop out sebesar 20%. Seluruh siswa SMP Trisula yang setuju untuk mengikuti pelatihan dengan menandatangani informed consent serta tidak mengalami gangguan jiwa berat yang Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup dinilai melalui wawancara klinis berjumlah 122 orang. Kemudian dengan stratified random sampling diambil 40 siswa untuk mengikuti pelatihan kecakapan hidup. Kuesioner citra diri Rosenberg’s diberikan sebelum dan dua minggu setelah diberikan pelatihan kecakapan hidup yang berjumlah 5 modul. Pelatihan kecakapan hidup dilakukan selama 5 minggu, tiga kali pertemuan setiap minggunya, yaitu setiap hari Senin, Rabu dan Kamis, pukul 13.00 dengan lama waktu berkisar 90-120 menit. Setiap pertemuan dipimpin oleh 2 fasilitator. Pelatihan dilakukan oleh 4 orang fasilitator yang memiliki latar belakang profesi dokter peserta program pendidikan dokter spesialis psikiatri, psikiater dan psikolog. Pendidikan kecakapan hidup ini terdiri dari lima modul. Masing-masing modul memiliki beberapa kegiatan yang saling terkait, sehingga dilakukan secara berurutan. Masingmasing modul berisi lembar fakta tentang masalah yang sesuai dengan topik modul; pertanyaan yang sering diajukan; petunjuk; struktur kegiatan yang setiap kegiatannya berisi tujuan, informasi untuk pengajar/fasilitator, proses, pertanyaan untuk siswa, kemungkinan reaksi yang diberikan oleh siswa, penegasan; lampiran-lampiran yang antara lain berisi rangkuman hal-hal penting dalam modul tersebut yang akan dibagikan untuk siswa.3 Metode yang digunakan adalah tanya jawab, diskusi dan bermain peran.3 Metode tanya jawab dilakukan dengan cara melemparkan pertanyaan pada peserta tentang suatu topik, kemudian peserta diminta untuk menjawab langsung pertanyaan tersebut. Keuntungan dari metode ini para peserta diajak untuk dapat mengungkapkan ide secara spontan, sehingga peserta dapat menggunakan imaginasinya dalam menjawab pertanyaan.3,13 Dalam diskusi kelompok di kelas, peserta diskusi membahas suatu topik dengan tujuan lebih memahami topik tersebut, memperoleh solusi terbaik dari topik tersebut, atau membangun suatu ide baru yang akan menjadi arah bagi kelompok tersebut. Keuntungan dari metode diskusi ini adalah masing-masing peserta memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman peserta lain dalam menyelesaikan masalah, meningkatkan pemahaman peserta terhadap suatu topik yang kemudian dapat mengaplikasikannya dalam konteks individual masing-masing peserta. Selain itu metode diskusi juga membantu mengembangkan kemampuan mendengar, empati dan bersikap asertif.13 Metode bermain peran (role play) adalah suatu kegiatan yang digambarkan dengan adanya seseorang yang memerankan suatu situasi tertentu dalam bentuk dramatisasi yang informal. Keuntungan dari metode ini adalah mengajak peserta untuk mempraktekkan langsung keterampilan yang dipelajari dalam suatu situasi kehidupan yang nyata, meningkatkan empati terhadap orang lain dan pandangan orang tersebut, serta meningkatkan pemahaman peserta terhadap perasaannya sendiri.13
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009
Waktu yang dialokasikan untuk masing-masing kegiatan dalam satu modul bervariasi antara 30 menit sampai 45 menit. Dalam satu modul terdiri dari 2 fase, sehingga pada pelaksanaannya dapat dilakukan dalam 2 sesi pertemuan. Setelah selesai membahas suatu kegiatan, diberikan penegasan pada setiap siswa terkait masing-masing modul. Kelima modul tersebut antara lain modul meningkatkan harga diri, mengatasi emosi, menghadapi stres, menghadapi tekanan teman sebaya dan resolusi konflik.3 Hasil Penelitian Penelitian telah dilaksanakan bulan Januari sampai dengan April 2008 di SMP Trisula Jakarta Pusat. Jumlah siswa yang mengikuti penelitian sebanyak 40 orang, terdiri dari 14 siswa laki laki dan 26 siswa perempuan. Sampel terbanyak berasal dari kelas 1 SMP, karena perbandingan jumlah murid di sekolah tersebut menunjukkan jumlah murid kelas 1 lebih besar dibandingkan dengan jumlah murid di kelas 2 maupun 3. Sebanyak 80,0% responden memiliki prestasi akademik di atas rata-rata kelas. Usia siswa yang terendah adalah 11 tahun dan yang tertinggi adalah 15 tahun (mean=12,88+1,99). Sebagian besar berasal dari suku Betawi (45,0%) dan beragama Islam (97,5%). Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden
(n = 40)
Usia siswa rata-rata (tahun)
12,88 + 1,99 Range: 11-15
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Agama Islam Kristen Suku menurut Ayah Jawa Sunda Batak Betawi Padang Aceh Palembang Lainnya Nilai rata-rata semester lalu Di atas rata-rata kelas Di bawah rata-rata kelas
14 (35,0%) 26 (65,0%) 39 (97,5%) 1 (2,5%) 8 (20,0%) 5 (12,5%) 1 (2,5%) 18 (45,0%) 3 (7,5%) 2 (5,0%) 2 (5,0%) 1 (2,5%) 32 (80,0%) 8 (20,0%)
Dari hasil kuesioner citra diri sebelum pelatihan, didapatkan hasil 18 orang memiliki kecenderungan self consciousness (45,0%), 34 orang memiliki kecenderungan instability (85,0%), sebanyak 37 orang (92,5%) memiliki kecenderungan low self-esteem dan 15 orang (37,5%) memiliki kecenderungan negative perceived self. Hasil kuesioner citra diri sebelum pelatihan dapat dilihat pada tabel 2.
103
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup Setelah diberikan pelatihan kecakapan hidup didapatkan perbaikan pada seluruh domain hasil pemeriksaan citra diri responden. Responden yang memiliki kecenderungan self consciousness berkurang menjadi 2 orang (5,0%), responden yang memiliki kecenderungan instability menjadi 10 orang (25,0%), yang memiliki kecenderungan low self-esteem menjadi 28 orang (70,0%) dan 4 orang (10,0%) responden yang memiliki kecenderungan negative perceived self. Hasil kuesioner citra diri sebelum pelatihan dapat dilihat pada tabel 4.5. dan setelah pelatihan dapat dilihat pada tabel 3.
Nilai kuesioner citra diri Rosenberg yang terdiri dari 23 pertanyaan, yang terbagi dalam 4 domain, digunakan untuk mengukur citra diri pelajar sebelum dan setelah intervensi. Means skor citra diri sebelum dan sesudah intervensi dibandingkan dengan uji Wilcoxon, karena sebaran data tidak normal. Diperoleh hasil adanya perbedaan bermakna pada seluruh dimensi citra diri responden (p<0,05) setelah mendapatkan intervensi. Kecenderungan self consciousness, kecenderungan instability, kecenderungan low self esteem dan negative self-perceived secara bermakna menurun pada responden yang mendapatkan intervensi pelatihan kecakapan hidup (life skills education).
Tabel 2. Hasil Kuesioner Citra Diri Responden Sebelum Pelatihan Frekuensi (n) Self consciousness Normal Kecenderungan self consciouness Stability Normal Kecenderungan instability Self-esteem Normal Kecenderungan low self esteem The perceived self Normal Kecenderungan negative perceived self
Diskusi Jumlah siswa yang mengikuti penelitian sebanyak 40 orang, namun hanya 34 siswa (85,0%) yang mengikuti keseluruhan modul sampai selesai. Empat orang siswa tidak hadir untuk satu kali pertemuan, dengan jumlah total kehadiran 93,3% dan 2 orang siswa absen dalam 2 pertemuan pada modul yang berbeda, dengan jumlah kehadiran 86,6%. Ketidakhadiran siswa dikarenakan siswa sakit, izin tidak masuk sekolah, dan harus mengikuti ulangan susulan pada waktu pelatihan. Ditetapkan seluruh siswa diikutkan dalam analisis data, karena menurut Quayle et al. 6 dalam penelitiannya untuk mengetahui efektivitas program life skills untuk gejala depresi pada pre-adolesence, dosis terendah untuk dapat menilai program pelatihan yang bertujuan preventif adalah mengikuti 3 sesi atau sekitar 49% dari keseluruhan sesi progam tersebut. Hal ini juga sesuai dengan Cunningham et al.16 dalam penelitiannya untuk membangun resilience pada masa remaja awal di sekolah, didapatkan mean waktu yang dihadiri oleh siswa adalah 6 jam.16 Dari hasil kuesioner citra diri sebelum pelatihan didapatkan sebagian besar responden memiliki kecenderungan besar dalam hal instability (85,0%) dan low self esteem (92,5%). Juga didapatkan hasil kecenderungan self consciousness dan negative perceived self yang cukup tinggi pada responden, yaitu sebesar 45,0% dan 37,5%. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa selama masa remaja sering kali timbul masalah pada citra diri karena adanya perubahan fisik yang dialami remaja dan cara berpikir remaja
Persentase (%)
22 18
55,0 45,0
6 34
15,0 85,0
3 37
7,5 92,5
25 15
62,5 37,5
Tabel 3. Hasil Kuesioner Citra Diri Responden Setelah Pelatihan Frekuensi (n) Self consciousness Normal Kecenderungan self consciouness Stability Normal Kecenderungan instability Self-esteem Normal Kecenderungan low self esteem The perceived self Normal Kecenderungan negative perceived self
Persentase (%)
38 2
95,0 5,0
30 10
75,0 25,0
12 28
30,0 70,0
36 4
90,0 10,0
Tabel 4. Citra diri Sebelum dan Setelah Pelatihan Kecakapan Hidup Sebelum pelatihan (pre-test) Self consciousness
Mean (+ Median Instability Mean (+ Median Low self esteem Mean (+ Median Negative perceived self Mean (+ Median
104
SD) SD) SD) SD)
2,30 2,00 3,33 3,00 3,50 3,00 1,30 1,00
+ 1,32 (0 – 5) + 1,00 (1 – 5) + 1,74 (0 – 7) + 1,30 (0 – 4)
Setelah pelatihan (post-test) 1,30 1,00 2,25 2,00 2,42 2,00 0,65 1,00
+ 0,79 (0 – 3) + 0,84 (0 – 5) + 1,41 (1 – 6) + 0,66 (0 – 2)
p
0,000 (Wilcoxon) 0,000 (Wilcoxon) 0,002 (Wilcoxon) 0,002 (Wilcoxon)
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup terhadap dirinya. Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain pada gambaran diri (self-conceptions), perasaan remaja terhadap dirinya sendiri atau seberapa positif/negatif perasaan seseorang dalam memandang dirinya (self-esteem), kekhawatiran terhadap citra dirinya (self-consciousness), stabilitas terhadap citra dirinya dari hari ke hari, serta identitas dirinya (sense of identity). Perasaan remaja terhadap dirinya dapat berfluktuasi dari hari ke hari, dan akan semakin stabil dengan peningkatan usia. Dibandingkan dengan anak usia lebih kecil, remaja dengan perkembangan kognitif yang lebih matur memandang dirinya lebih kompleks, abstrak, dan terfokus pada dirinya. Simmons, Rosenberg dan Rosenberg17 mengemukakan bahwa pada masa remaja awal terdapat tingkat terendah dari self esteem, tingkat tertinggi dari self consciousness dan tingkat tertinggi pada instabilitas. Hasil kuesioner citra diri siswa setelah intervensi menunjukkan perbaikan yang bermakna, pada keempat dimensi citra diri dalam kuesioner Rosenberg’s, yaitu self consciousness dan instability (p=0,000), serta low self esteem dan negative perceived self (p=0,002). Bandura menyatakan bahwa ketika seseorang dapat mempraktekkan dan melatih suatu perilaku baru, seperti mempelajari cara bagaimana menghadapi situasi yang bermasalah dengan berhasil, maka self efficacy dan self concept/self esteem dapat lebih meningkat.18 Grey. et al19 menemukan bahwa pada remaja penderita diabetes yang memperoleh pelatihan singkat sebanyak 4-10 pertemuan tentang keterampilan mengatasi masalah (coping skills training) memiliki self efficacy yang lebih baik setelah pelatihan dan dapat lebih mudah menghadapi kondisi yang dihadapi serta mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.19 Dari keempat dimensi citra diri dalam kuesioner Rosenberg’s didapatkan bahwa nilai low self esteem adalah yang terendah perubahannya dan yang tertinggi adalah pada dimensi instability. Menurut Rosenberg20 dalam menilai citra diri perlu dibedakan antara barometric self-esteem dengan baseline self esteem. Barometric self esteem dapat berubahubah dengan cepat dari waktu ke waktu, dari kejadian satu ke kejadian yang lain. Baseline self esteem sifatnya stabil, kurang berfluktuasi dan merupakan indikator yang lebih baik dalam menilai citra diri seseorang. Baseline self esteem ini dipengaruhi oleh banyak faktor sejak masa kecil, seperti sosial ekonomi, jenis kelamin, urutan lahir atau kemampuan akademik, dan tidak banyak berubah selama tahap remaja. Sementara itu barometric self esteem umumnya mengalami perubahan besar selama tahap remaja, karena sifat egosentrisme pada remaja yang sangat memperdulikan reaksi orang lain terhadap dirinya dan perilakunya. Pada masa itu juga remaja lebih aktif secara sosial serta peran teman sebaya bagi mereka sangatlah penting sehingga mereka lebih tertarik dengan pendapat teman tentang dirinya. Dalam kuesioner citra diri Rosenberg’s dimensi instability lebih menilai barometric self esteem, sementara pada dimensi low self esteem menilai baseline self
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009
esteem. Hal ini dapat menjelaskan bahwa setelah pelatihan kecakapan hidup ini dimensi low self esteem (baseline self esteem) cenderung lebih rendah perubahannya dibandingkan dengan dimensi instability (barometric self esteem). Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa modul pelatihan kecakapan hidup mempunyai efek yang positif dalam meningkatkan kesehatan jiwa remaja dengan meningkatnya citra diri remaja. Implementasi modul kecakapan hidup ini secara kontinyu di lingkungan sekolah dapat memberi keuntungan untuk meningkatkan kompetensi psikososial remaja, dibandingkan dengan intervensi dalam waktu yang singkat. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11. 12.
13. 14.
Pataki C S. Normal Adolescence. In: Sadock BJ, Sadock VA ed. Kaplan & Sadock’s Comprehensive textbook of psychiatry. 8 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 2005.p.303543. WHO. Skills for Health, Skills-based Health Education Including Life Skills: An Important Component of a Child-Friendly/HealthPromoting School. Geneva: WHO, 2001. Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa. Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja di Sekolah Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Jakarta: Depkes RI, 2006. WHO. Mental Health: Strengthening Mental Health Promotion. Ditunduh dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheet/fs220/ en/. 16 Mei 2007. Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat. Materi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja. Jakarta: Depkes RI, 2004. Quayle D, Dziurawiec S, Roberts C, Kane R, Ebsworthy G. The Effect of an Optimism and Lifeskills Program on Depressive Symptoms in Preadolescence. Behavior Change 2001;18,4:194203. Zollinger TW, Saywell RM, Muege CM, Wooldridge JS, Cummings SF, Caine VA. Impact of the Life Skills Training Curriculum on Middle School Students Tobacco Use in Marion County, Indiana, 1997-2000. J of School Health. 2003;73:338-46. Botvin GJ, Schinke SP, Epsten JA, Diaz T. Effectiveness of Culturally-focused and Generic Skills Training Approach to Alcohol and Drug Abuse among Minority Youths. Psy of Addict Behavior, 1994;8:116-27. Botvin GJ, Schinke SP, Epsten JA, Diaz T. Effectiveness of Culturally-focused and Generic Skills Training Approach to Alcohol and Drug Abuse among Minority Youths: Two-Year Follow-Up Result. Psy of Addict Behavior, 1995;9:183-94. Lifeskills Training Effective for Adolescent Drug Prevention. J of Psy Nur & Mental Health Services 2002;40,12:12. Life Skills Training Resource Fact Sheet. Ditunduh dari: http:// www.lifeskillstraining.com/resource_fact.php. 5 April 2007. UNICEF/EAPRO. The Mekong Project. A Pilot Life Skills Approach for HIV/AIDS Prevention Education in Schools. Lifeskills Education: Collected Materials on Lifeskills and Its Application for Promoting of Healthy Lifestyles and HIV/AIDS Prevention. Unicef, 1998. Ditunduh dari: http://www.unicef.org. 5 April 2007. Unicef. Life Skills-Based Education. Ditunduh dari: http:// www.unicef.org/lifeskills/. 5 April 2007. Rahadian RB. Prevalensi Problem Emosi dan Perilaku Pada Murid Sekolah Dasar Kelas I-VI Di Wilayah Jakarta Pusat. [Tesis] Jakarta: Universitas Indonesia; 2003.
105
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup 15. Ang EA. Karakteristik Gangguan Mental Pada Pelajar Sekolah Menengah Pertama di Wilayah Jakarta Pusat. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2007. 16. Cunningham EG, Brandon CM, Frydenberg E. Building Resilience in Early Adolescence through a Universal School-Based Prevention Program. Aus J of Guid Counseling, 1999;9:15-23. 17. Steinberg L. Identity. In Steinberg L. Adolescence. 5th ed. Boston: McGraw-Hill College; 1999.p.242-61. 18. Bandura A: Social Foundation of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. New Jersey: Prentice-Hall; 1986.
106
19. Grey M, Boland EA, Davidson M, Yu C, Sullivan-Bolyai S, Tamborlane WV. Short-Term Effects of Coping Skills Training as Adjunct to Intensive Therapy in Adolescents. Diabetes Care. 1998;21(6):902-8. 20. Rosenberg M, Schooler C, Schoenbach C. Self Esteem and Adolescent Problems: Modeling Reciprocal Effects. Ame Soc Rev, 1989;54:1004-18.
HQ
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 3, Maret 2009