1
Pengaruh Nutrisi dan Salinitas terhadap Produktivitas Lipida dari Botryococcus braunii Elfrida Dina Febriana, Henry Mukti, dan Siti Zullaikah, ST. MT. PhD Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Mikroorganisme merupakan sumber penghasil minyak paling solutif. Dari berbagai spesies mikroorganisme, penghasil lipid terbanyak dipegang oleh Botryococcus braunii yaitu lipid content mencapai 86% dry mass nya. Beberapa faktor yang diteliti dalam penelitian ini yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi lipid dari Botryococcus braunii ini adalah pengaruh jenis nutrisi dan salinitas. Prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut : Bibit Botryococcus braunii yang diambil dari Laboratoium BBBPAP Jepara dikultur dalam sebuah photobioreactor bersekat dengan variabel konstan berupa suhu lingkungan ± 29 0C, Intensitas cahaya ± 5000 lux, rasio gelap : terang 12 : 12, pH ± 7, dan waktu pemanenan 7 hari. Variabel bebasnya nutrisi Walne, dan salinitas menggunakan NaCl sebanyak 12 g/L (10,8 ppt), 15 g/L (14,55 ppt), 30 g/L (27,8 ppt) dan 45 g/L (40,1 ppt), air payau (2,94 ppt) dan air laut (25,4 ppt). Selama masa kultur tersebut, setiap periode 8 jam sekali dilakukan pengukuran konsentrasi sel menggunakan spektrofotometer UV-VIS panjang gelombang 652 nm. Sesudah 7 hari pengulturan, dilakukan proses filtrasi, drying dan ekstraksi dengan metode soxhlet menggunakan pelarut nhexane untuk mendapatkan senyawa trigliserida sebagai bahan baku biodiesel yang diharapkan. Dan yang terakhir dilakukan analisa GC-MS untuk mengetahui kandungan Trigliserida. Kesimpulan yang didapat bahwa produktivitas lipid paling tinggi didapat pada kondisi operasi intensitas cahaya ± 5000 lux, waktu prakultur lima hari, salinitas 25,4 ppt (air laut) menggunakan nutrisi walne, waktu pengkulturan tujuh hari, dengan lipid yang dihasilkan sebanyak 0,2223 gram Kata kunci : Botryococcus braunii, Hidrokarbon, Biomassa, Salinitas, Media Walne
Kesadaran menipis
I. PENDAHULUAN
akan cadangan minyak bumi yang semakin menyebabkan maraknya upaya – upaya pengembangan di bidang energi alternatif terbarukan. Salah satu energi alternatif terbarukan yang sudah dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel merupakan senyawa alkil ester yang didapat dari proses transesterifikasi senyawa hidrokarbon yang bisa didapat dari hewan atau tumbuhan. Beberapa penelitian terbaru di berbagai negara [1] menunjukkan bahwa mikroalga mempunyai potensi sebagai bahan baku biodiesel lebih baik jika dibandingkan dengan tumbuhan dikarenakan faktor harga bahan baku relatif lebih murah (pada umumnya, 30% dari total biaya produksi biodiesel adalah biaya bahan baku), optimalisasi luas lahan penanaman dan waktu panen yang singkat [2]. Dari berbagai jenis spesies mikroalga, Botryococcus braunii merupakan spesies mikroalga terbaik dalam hal
mensintesis berbagai senyawa hidrokarbon (lipida), yaitu antara 26% - 86% dari berat keringnya [3]. Baik pertumbuhan maupun produktivitas lipida Botryococcus braunii dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut yaitu : nutrisi [1], suhu [2], intensitas cahaya dan lama pencahayaannya [3], salinitas [4], kandungan nitrogen di dalam media tumbuhnya [5] dan pengaruh keberadaan organisme kompetitor dalam kultur [6]. Upaya untuk meningkatkan produktivitas lipida dalam mikroalga, dapat dilakukan dengan cara mengondisikan mikroalga dalam keadaan stress (tekanan) tertentu [7]. Hal ini disebabkan dalam keadaan stress tertentu, mikroalga terstimulasi untuk mensintesis lipida lebih banyak dari keadaan normalnya sebagai bentuk mekanisme mikroalga dalam melakukan perlindungan diri dan adaptasi terhadap kondisi di lingkungan tumbuhnya. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menerapkan nitrogen starvation [8], intensitas cahaya 10.000 lux [9], suhu penanaman di atas 300C [10] dan lama pencahayaan 24 jam [28] sebagai bentuk stress (tekanan) yang diberikan pada Botryococcus braunii. Indonesia sendiri merupakan negara maritim dengan wilayah perairannya seluas 5,8 juta km2 dan wilayah daratannya seluas 1,9 juta km2 sehingga hampir 75 % wilayah Indonesia berupa perairan. Dan luas perairan laut kedaulatannya adalah 3,1 juta km2 atau 54% dari wilayah perairan total Indonesia. Dengan memanfaatkan potensi wilayah perairan laut Indonesia tersebut, mikroalga Botryococcus braunii dapat menghasilkan lipida yang lebih banyak dibandingkan dengan kelapa sawit dan jarak yang sudah dikembangkan di Indonesia saat ini. Wilayah perairan laut di Indonesia mempunyai salinitas yang sangat beragam. Sehingga penting untuk mengetahui bagaimana pengaruh salinitas yang beragam tersebut terhadap karakteristik pertumbuhan maupun produktivitas lipida Botryococcus braunii. Di Indonesia sendiri sudah dikembangkan pembudidayaan Botryococcus braunii namun hanya dalam skala laboratorium yaitu di Laboratorium BBPBAP (Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau) Jepara. Di laboratorium BBPBAP Jepara dibudidayakan Botryococcus braunii menggunakan jenis nutrisi Walne. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana pengaruh penggunaan nutrisi Walne ini terhadap karakteristik pertumbuhan maupun produktivitas lipida Botryococcus braunii. Oleh karena itu pada penelitian ini dipelajari pengaruh jenis nutrisi dan salinitas terhadap karakteristik pertumbuhan dan produksi lipid dalam tubuh Botryococcus braunii untuk acuan pengembangan produksi biodiesel secara komersial dan
2 berkelanjutan dalam menanggulangi krisis energi yang sedang terjadi. II. URAIAN PENELITIAN 1. Tahap Pra – Kultur. Tahap ini merupakan tahap pembibitan 2. Tahap Kultur. Tahap kultur ini merupakan tahap penanaman. Media yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah larutan NaCl dengan konsentrasi 12 g/L, 15 g/L, 30 g/L, 45 g/L, air laut dengan konsentrasi 25,4 ppt dan air payau dengan konsentrasi 2,94 ppt. Komposisi kultur adalah 200 ml bibit Botryococcus braunii dan 800 ml media kultur. Pengulturan dilakukan dalam sebuah kolam fotobioreaktor dengan pencahayaan menggunakan cahaya neon 36 watt dengan intensitas cahaya sebesar 5000 lux selama 12 jam per hari. Kemudian melakukan pengukuran absorbansi untuk memantau pertumbuhan Botryococcus braunii setiap 8 jam menggunakan spektrofotometer UV – VIS. 3. Tahap Pemanenan dan Pengeringan. Pada tahap ini, media kultur yang bercampur dengan mikroalga Botryococcus braunii dipisahkan menggunakan centrifuge dengan kecepatan putar 4000 rpm selama 20 menit sampai didapat slurry Botryococcus braunii yang bebas dari kandungan garam. Kemudian proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 1050C sampai diperoleh berat konstan. Kemudian melakukan analisa biomassa menggunakan metode gravimetri. Kemudian mikroalga dihaluskan sampai menjadi serbuk mikroalga dan mengemasnya. 4. Tahap Ekstraksi Ekstraksi bertujuan untuk mengambil senyawa hidrokarbon dari biomassa mikroalga. Ekstraksi ini menggunakan metode soxhlet dengan suhu 900C selama 4 jam dengan pelarut nhexane sebanyak 250 ml. Kemudian dilanjutkan proses destilasi yang bertujuan untuk memisahkan solvent (n-hexane) dan hidrokarbon yang terekstrak. Tahap destilasi ini dilakukan selama 3 jam pada suhu 800C. 5. Tahap Analisa Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga macam yaitu analisa biomassa menggunakan metode gravimetri, analisa lipid content merupakan rasio antara massa biomass kering mikroalga terhadap massa lipida mikroalga, analisa produktivitas lipida merupakan biomassa dikali lipid content dan analisa GC-MS untuk megetahui komposisi lipida Botryococcus braunii. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kurva Kalibrasi Absorbansi Hubungan antara derajat absorbansi dengan konsentrasi biomass dalam media kultur dapat diketahui dengan cara membuat kurva kalibrasi berupa garis linear yang menghubungkan antara absorbansi (OD) media kultur dengan konsentrasi biomass (gram/liter) di dalamnya. Untuk membuat kurva kalibrasi absorbansi ini dilakukan proses kalibrasi. Sebuah kultur bibit Botryococcus braunii dengan konsentrasi
pekat (indikasi : warna kultur adalah hijau gelap) diencerkan secara bertahap dengan menggunakan pengenceran 50% di setiap tahapnya. Setiap kultur hasil dari tiap tahap pengenceran kemudian diukur derajat absorbansinya dan dikeringkan sampai didapatkan berat kering dari biomass di dalam kultur tersebut. Dari proses kalibrasi ini didapat hubungan matematis antara derajat absorbansi dengan konsentrasi biomass dalam media kultur sesuai grafik berikut :
Grafik 4.1 Kurva Kalibrasi Absorbansi Sehingga konsentrasi biomass dalam media kultur dapat diketahui dari besaran absorbansinya dengan menggunakan persamaan kurva kalibrasi absorbansi yaitu y = 0,649 x. B. Produktivitas Lipida Botryococcus braunii Besaran lain yang diamati dalam penelitian ini selain laju pertumbuhan kultur Botryococcus braunii adalah produktivitas lipida Botryococcus braunii pada berbagai kondisi salinitas. Faktor lain yang berpengaruh selain intensitas cahaya dan salinitas media adalah kondisi pra – kultur. Kondisi dan proses yang diterapkan sebelum kultur juga mempengaruhi kondisi mikroalga yang akan dikultur nantinya. Pada umumnya, pemilihan kondisi pra – kultur yang digunakan didasarkan pada kondisi paling optimum. Hal ini bertujuan agar bibit mikroalga yang akan digunakan untuk dikultur merupakan bibit yang dalam kondisi terbaiknya. Sehingga variabel yang dipilih berkaitan dengan kondisi pra – kultur adalah lama waktu pra – kultur. Pemilihan lama waktu pra – kultur sebagai variabel yang diamati adalah karena keterkaitannya dengan efisiensi waktu untuk pengembangan proses produksi biodiesel dari lipida mikroalga di kemudian hari. Sehingga dalam penelitian ini diamati pengaruh lama waktu pra – kultur selain pengaruh salinitas dan nutrisi, terhadap produktivitas lipida Botryococcus braunii selama tujuh hari pengulturan dengan menggunakan intensitas cahaya 5.000 lux. Berikut adalah hasil produktivitas lipida yang didapat. B.1 Pengaruh Waktu Pra – Kultur Pada Produktivitas Lipida Kondisi pengulturan menggunakan intensitas cahaya 5.000 lux, lama pencahayaan 12 jam per hari, jenis kultur adalah fototropik, waktu pengulturan tujuh hari, jenis nutrisi yang digunakan adalah walne, jenis media adalah larutan NaCl dengan salinitas dan waktu pra – kultur yang berbeda. Didapat hasil sebagai berikut :
3
Grafik 4.2 : Produktivitas Lipida kultur selama tujuh hari pengulturan dengan menggunakan intensitas cahaya 5000 lux pada berbagai salinitas dan waktu kultur yang berbeda.
Grafik 4.4 : Perbandingan Biomass Weight dengan produktivitas lipida dalam kultur, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada berbagai salinitas.
Grafik 4.3 : Produktivitas Lipida kultur selama tujuh hari pengulturan dengan menggunakan intensitas cahaya 5000 lux pada berbagai salinitas dan waktu kultur yang berbeda.
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan dengan menggunakan waktu pra – kultur lima hari diperoleh produktivitas lipid yang lebih tinggi daripada waktu pra – kultur 10 hari. Lama waktu pra – kultur mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi biomass awal yang akan dikultur. Semakin cepat waktu pra – kultur, semakin rendah konsentrasi biomass yang ada di dalam pra – kultur. Sehingga konsentrasi biomass yang digunakan oleh variabel waktu pra – kultur lima hari lebih rendah dibandingkan konsentrasi biomass dengan variabel waktu pra – kultur 10 hari. Dari grafik di atas, baik media yang menggunakan nutrisi walne maupun tanpa nutrisi walne, juga didapatkan bahwa produktivitas lipida dengan waktu pra – kultur lima hari lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas lipida dengan waktu pra – kultur 10 hari. Hal ini mendukung pernyataan beberapa referensi di bidang mikroalga yang menyatakan bahwa semakin stress kondisi yang diterapkan pada kultur mikroalga dapat memacu mikroalga untuk memproduksi lipida semakin banyak (produktivitas lipida tinggi). Kondisi stress yang dimaksud disini adalah konsentrasi biomass. Konsentrasi biomass yang lebih rendah dapat menghasilkan produktivitas lipida yang lebih banyak dibandingkan dengan kultur dengan konsentrasi biomass yang tinggi. Hal ini juga terlihat dalam grafik berikut :
Grafik 4.5 : Perbandingan Biomass Weight dengan produktivitas lipida dalam kultur, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada berbagai salinitas.
Dari kedua grafik di atas, baik untuk pengulturan dengan waktu pra – kultur lima hari maupun 10 hari, didapat bahwa besarnya biomass weight dalam kultur berbanding terbalik dengan produktivitas lipidnya. Dengan bertambahnya salinitas media kultur, biomass weight dalam kultur semakin rendah namun produktivitas lipidnya meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu pra – kultur yang lebih cepat (indikasi: konsentrasi biomass rendah) dapat menghasilkan produktivitas lipida yang lebih tinggi dibandingkan waktu pra – kultur yang lebih lama.
4 B.2 Pengaruh Nutrisi Pada Produktivitas Lipida Dalam penelitian ini juga diamati pengaruh nutrisi terhadap produktivitas lipida. Membandingkan bagaimana produktivitas lipida kultur Botryococccus braunii jika menggunakan nutrisi walne dengan tanpa menggunakan nutrisi walne. Hasil yang didapat seperti pada grafik berikut :
Grafik 4.8 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan tanpa nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada media air laut dan air payau.
Grafik 4.6 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan tanpa nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada berbagai salinitas.
Grafik 4.9 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan tanpa nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada media air laut dan air payau.
Grafik 4.7 : Produktivitas lipida dalam kultur dengan nutrisi dan tanpa nutrisi, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari. Pada media air laut dan air payau.
Nutrisi merupakan sumber mineral yang dibutuhkan oleh mikroalga untuk mendukung proses sintesis lipida dalam tubuhnya. Sehingga tanpa adanya asupan mineral yang cukup dan dibutuhkan untuk proses sintesis lipida, akan menyebabkan produktivitas lipida kultur mikroalga yang dihasilkan dari sintesis lipid oleh Botryococcus braunii tidak dapat berlangsung dengan maksimal. C. Air Laut dan Air Payau Sebagai Media Kultur Penelitian ini juga mengamati bagaimana produktivitas lipida Botryococccus braunii jika dikultur dalam media alami yang diambil langsung dari alam. Media yang digunakan untuk dibandingkan dalam penelitian ini adalah air laut (salinitas 25,4 ppt) dan air payau (salinitas 2,94 ppt). Berikut adalah hasil produktivitas lipid yang didapat :
Berdasarkan literatur, Botryococcus braunii hidup secara optimum di perairan payau. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Botryococcus braunii menghasilkan lipid lebih banyak di media air laut. Hal ini terlihat dari produktivitas lipid kultur Botryococcus braunii di dalam media air laut (salinitas 25,4 ppt) lebih tinggi jika dibandingkan dengan di dalam media air payau (salinitas 2,94 ppt). Berikut merupakan hasil penelitian yang didapat dengan menggunakan media air laut dan air payau sebagi media kultur:
5 Tabel 4.1 : Hasil Gravimetri Biomassa, Produktivitas lipida dan Lipid Content Kultur Botryococcus braunii menggunakan waktu pra – kultur lima hari. No
Media Kultur
Biomassa (g/L)
Produktivitas Lipida (g/L)
Lipid Content (Lipid weight / Biomass weight)
1
Payau+Walne
0,4891
0,074
0,1513
2
Payau+Walne
0,1967
0,0714
0,3630
3
Payau
0,3515
0,0616
0,1752
4
Payau
0,2283
0,0566
0,2479
5
Laut+Walne
1,5437
0,2223
0,1440
6
Laut+Walne
1,0843
0,1989
0,1834
7
Laut
1,0716
0,1333
0,1244
8
Laut
1,0206
0,1971
0,1931
Tabel 4.2 : Hasil Gravimetri Biomassa, Produktivitas lipida dan Lipid Content Kultur Botryococcus braunii menggunakan waktu pra – kultur 10 hari. No
Media Kultur
Biomassa (gram)
Produktivitas Lipida (g/L)
Lipid Content (Lipid weight / Biomass weight)
1
Payau+Walne
0,8639
0,0884
0,1023
2
Payau+Walne
0,1625
0,0418
0,2572
3
Payau
0,2472
0,0351
0,1419
4
Payau
0,4052
0,0465
0,1147
5
Laut+Walne
0,8724
0,1115
0,1278
6
Laut+Walne
0,337
0,0735
0,2181
7
Laut
0,6632
0,0933
0,1406
8
Laut
0,529
0,0432
0,0816
Berdasarkan tabel di atas, perbandingan antara biomass weight, lipid weight dan lipid content seperti pada grafik di bawah ini :
Grafik 4.11 : Biomassa–Produktivitas Lipida–Lipid Content kultur Botryococcus braunii, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari dengan media air laut dan air payau.
Dari hasil pengulturan menggunakan media air laut dan air payau didapati lagi bahwa biomass weight dan produktivitas lipid (Lipid Weight) merupakan besaran yang berbanding terbalik. Jika dibandingkan pada antar salinitas yang digunakan, yaitu air payau dan air laut, dimana biomass weight tinggi didapatkan produktivitas lipidnya rendah. Namun dalam hal ini, pemilihan media yang diambil dari alam secara langsung ini ternyata justru memberikan hasil yang berbeda dengan jika menggunakan larutan NaCl sebagai media. Pada media NaCl, semakin tinggi salinitas, semakin rendah konsentrasi biomass akhir yang didapat dan semakin tinggi produktivitas lipidnya. Namun dalam media alam, didapati bahwa semakin tinggi salinitas (air laut), konsentrasi biomass yang didapat lebih tinggi dari konsentrasi biomass dengan salinitas media rendah (air payau). Dan produktivitas lipid (lipid weight) paling tinggi dihasilkan pada media kultur dengan salinitas tinggi (air laut). Namun didapat bahwa lipid content, yaitu rasio lipid terhadap berat kering mikroalga, adalah lebih tinggi pengulturan dengan salinitas rendah (air payau). Hal ini dapat disebabkan oleh karna jumlah dan komposisi kandungan mineral yang ada di dalam air payau dan air laut merupakan besaran yang tidak diukur dan dikontrol dalam penelitian ini dengan maksud untuk mengetahui bagaimana produktivitas lipid kultur Botryococcus braunii di dalam media alam (air laut dan air payau). IV. KESIMPULAN/RINGKASAN
Grafik 4.10 : Biomassa–Produktivitas Lipida–Lipid Content kultur Botryococcus braunii, pada intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari, lama pencahayaan 12 jam per hari, waktu pengulturan tujuh hari dengan media air laut dan air payau.
Dari hasil penelitian ini dapat dibuat beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Semakin tinggi salinitas media kultur Botryococcus braunii semakin rendah laju pertumbuhan Botryococcus braunii dan semakin tinggi produktivitas lipida dari kultur Botryococcus braunii selama tujuh hari pengulturan. 2. Waktu pra – kultur juga mempengaruhi produktivitas lipida kultur Botryococcus braunii. Waktu pra – kultur lima hari
6 menunjukkan hasil produktivitas lipida yang lebih banyak dibandingkan dengan waktu pra – kultur 10 hari. 3. Adanya nutrisi walne sebagai asupan mineral dapat meningkatkan produktivitas lipida dalam kultur Botryococcus braunii. 4. Produktivitas lipida paling tinggi didapat pada kondisi pengulturan dengan intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur lima hari, media Air Laut (salinitas 25,4 ppt) menggunakan nutrisi walne, waktu pengulturan tujuh hari, yaitu lipida yang dihasilkan sebanyak 0,2223 gram/liter. 5. Lipid Content paling banyak didapat pada kondisi pengulturan dengan intensitas cahaya 5.000 lux, waktu pra – kultur 10 hari, salinitas 45 ppt larutan NaCl menggunakan nutrisi walne, waktu pengulturan tujuh hari, yaitu 58,23% dari berat kering mikroalga Botryococcus braunii UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng, selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS, dan juga kepada Siti Zullaikah, ST. MT. PhD selaku sponsor dana penelitian ini dan selaku dosen pembimbing penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1]
D. R. Erricson, “Edible Fats and Oils Processing: Basic Principles and Modern Practices : World Conference Proceedings (Book style with paper title and editor),” The American Oil Chemists Society (1990) 124-126. [2] A. Pandey, C. Arroche, S. C. Ricke, C. Dussap, E. Gnansounou, “Biofuels (Book style)”. Academic Press (2011) 362-362. [3] T. H. Applewhite, “Proceedings of the world conference on oilseed (Book style with paper title and editor)”. The American Oil Chemists Society (1993) 120-122. [4] H. Dewajani, “Potensi Minyak Kapuk Randu (Ceiba Pentandra) sebagai Bahan Baku Biodiesel,” Politeknik Negeri Malang (2008). [5] M. E. Borges, “Estimation Of The Content Of Fatty Acid Methyl Esters (FAME) In Biodiesel Samples From Dynamic Viscocity Measurements,” Chemical Engineering Departement, University of La Laguna, Spain (2010). [6] X. Liu, H. HE, Y. Wang, S. Zhu, X. Piao, “Transesterification Of Soybean Oil To Biodiesel Using Cao As A Solid Base Catalyst,” State Key Laboratory of Chemical Engineering, Tsinghua University, Beijing, China (2007). [7] W. L. Masterton, C. N. Hurley, E. J. Neth, “Chemical Principels and Reactions (Book style)”, Cengage Learning (2011). [8] F. Ma, M. A. Hanna, “Biodiesel Production : A Review,” Departement of Food Science and Technology, University of Nebraska, Lincoln:USA (1998). [9] Y. H. Taufiq-Yap, H. V. Lee, M. Z. Hussein, R. Yunus, “Calcium Based Mixed Oxide Catalysts For Methanolysis of Jatropha Curcas Oil To Biodiesel”. University Putra Malaysia, Selangor, Malaysia (2010). [10] S. Sankaranarayan, C. A. Antonyraj, S. Kannan, “Transesterification of edible, non-edible, and used cooking oils for biodiesel production using calcined layered double hydroxides as reusable base catalysts,” Centre Salt and Marine Chemicals Research Institute, GB Marg, Bhavenagar, India(2011).