i digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PENGARUH MODEL CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH TERHADAP SIKAP NASIONALISME DITINJAU DARI KONSEP DIRI
(Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta)
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Oleh: GEDE PRAPTA CAHYANA S861008011
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
ii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PENGARUH MODEL CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH TERHADAP SIKAP NASIONALISME DITINJAU DARI KONSEP DIRI (Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta)
TESIS Oleh: GEDE PRAPTA CAHYANA NIM S861008011
Komisi
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
………………
……..………
………………
……..………
Pembimbing Pembimbing I
Prof. Dr. Sugiyanto NIP. 194911081976091001
Pembimbing II
Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. NIP. 195907081986012001
Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal ..........................2012 Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd. NIP. 195603031986031001 commit to user ii
iii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
iv digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama
: GEDE PRAPTA CAHYANA
NIM
: S861008011
Program Studi
: Pendidikan Sejarah
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Pengaruh Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Dalam Pembelajaran Sejarah terhadap Sikap Nasionalisme Ditinjau Dari Konsep Diri (Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta) betul-betul karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Demikian pernyatan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik yang berupa pencabutan gelar yang saya peroleh dari tesis ini. Surakarta, Yang membuat pernyataan,
GEDE PRAPTA CAHYANA S861008011 commit iv to user
v digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MOTTO
Hanya Bangsa yang tahu menghargai Pahlawan-Pahlawannya dapat menjadi Bangsa yang Besar (Bung Karno)
commit to user v
vi digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan kepada: 1. Bapak dan Ibuku Tercinta. 2. Adikku Terkasih. 3. Prof. Dr. N. Bawa Atmadja, M.A. 4. Wayah Durma. 5. Seluruh Keluarga Besarku. 6. Dewi Lestari Tersayang.
commit to user vi
vii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengaruh Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Dalam Pembelajaran Sejarah terhadap Sikap Nasionalisme Ditinjau Dari Konsep Diri (Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta), untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat magister pada Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini, terutama: 1. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin penelitian dan menggunakan fasilitas kampus. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan belajar dan ijin penelitian untuk menyeleaikan tesis ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah mendukung penuh penyelesaian tesis ini. 4. Prof. Dr. Sugiyanto selaku Pembimbing pertama yang telah membimbing commit to user sampai tesis ini selesai. penulis dengan penuh kesabaran dan ketelitian
viii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. selaku Pembimbing kedua yang juga telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan ketelitian sampai tesis ini selesai. 6. Kepala Sekolah SMP Negeri 24 Surakarta, Kepala Sekolah SMP Negeri 25 vii Surakarta, Kepala Sekolah SMP Negeri 19 Surakarta yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian di instansinya. 7. Teman-teman mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana angkatan 2010 yang telah memberikan semangat selama penyelesaian tesis ini. 8. Orang tua yang telah memberikan bimbingan dan dukungan dari awal kuliah sampai penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan, bimbingan, dan dukungan yang telah diberikan senantiasa mendapatkan anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis yakin bahwa tesis ini masih ada kekurangannya. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak demi perbaikan tesis ini agar menjadi lebih sempurna. Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan sejarah. Surakarta, Penulis
commit to user
ix digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ABSTRAK Gede Prapta Cahyana, S861008011, Pengaruh Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Sejarah Terhadap Sikap Nasionalisme Ditinjau dari Konsep Diri (Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta). Tesis : Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012 : (1) Prof. Dr. Sugiyanto (Pembimbing I), (2) Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. (Pembimbing II). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Perbedaan pengaruh antara model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan konvensional dalam pembelajaran sejarah di kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta terhadap sikap nasionalisme siswa, (2) Perbedaan pengaruh sikap nasionalisme siswa antara yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah di kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta, (3) Interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme di kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa SMP Kelas IX di Kota Madya Surakarta semester I Tahun Pelajaran 2011/2012. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage sampling. Berdasakan teknik tersebut diperoleh 90 siswa : 30 siswa SMP N 19 Surakarta sebagai kelompok eksperimen, 30 siswa SMP N 25 Surakarta sebagai kelompok kontrol, dan 30 siswa SMP N 24 Surakarta sebagai kelompok uji coba. Penelitian ini menggunakan koesioner dalam pengumpulan data tentang konsep diri dan sikap nasionalisme. Analisis hasil penelitian menggunakan teknik analisis varians (ANAVA) dua jalur (2 x 2). Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan : (1) Terdapat perbedaan pengaruh antara model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan konvensional terhadap sikap nasionalisme pada siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta dengan Fhitung = 93,922 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti H0 ditolak; (2) Terdapat perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki konsep diri rendah dan tinggi terhadap sikap nasionalisme siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta dengan Fhitung = 84,646 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti H0 ditolak; (3) Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta dengan Fhitung = 1,391 < Ftabel (α = 0,05) = 4,00 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti H0 diterima. Kata Kunci : Sikap Nasionalisme, Model Contextual Teaching and Learning commit to user (CTL), Konsep Diri. ix
x digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ABSTRACT Gede Prapta Cahyana, S861008011, The Influences of Contextual Teaching and Learning (CTL) Model in the History Teaching of Nationalism Attitude Observed from the Self-Concept (Study Experiments on Junior High School Students in Surakarta Municipality). Thesis Supervisor I : Prof. Dr. Sugiyanto. Thesis Supervisor II : Dra. Sutiyah, M.Pd., M. Hum. Postgraduate Thesis. History Education Studies. Postgraduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta. The objectives of this research are to find out : (1) The differences between the effect of Contextual Teaching and Learning (CTL) with conventional models in the teaching of history in grade IX junior high school in Surakarta Municipality toward nationalism attitude of students, (2) The effect of students attitude nationalism differences between students who have high level of self-concept and low level of self-concept in grade IX student junior high school in Surakarta Municipality, (3) The interactions effect between self-concept and model of learning toward nationalism attitude in grade IX student junior high school in Surakarta Municipality. This research employs quantitative experiment method. The populations are junior high school students of IX grade in Surakarta Municipality, academic year of 2011/2012. The sampling technique is multistage sampling. Based on the technique, 90 students were obtained: 30 students of SMP N 19 Surakarta as the experiment group, 30 students of SMP N 25 Surakarta as the control group, 30 students of SMP N 24 Surakarta as the trial group. This study used a questionnaire to gather data self-concept and attitude of nationalism. In Analyzing the results of the research, the researcher used two-way Analysis of Variance (ANAVA) technique. The result of the hypothesis experiment shows that: (1) There are differences of the influences of Contextual Teaching and Learning (CTL) and conventional learning model toward nationalism attitude in grade IX junior high school in Surakarta Municipality with F hit = 93,922 > F table (α = 0,05) = 4,00 significance level 0,05, means that H0 denied; (2) There are differences of the influences between students who have high level of self-concept and low level of selfconcept toward nationalism attitude in grade IX student junior high school in Surakarta Municipality with F hit = 84,646 > F table (α = 0,05) = 4,00 significance level 0,05, means that H0 denied; (3) There are no interactions between learning models in the teaching of history and the self-concept toward nationalism attitude in grade IX student junior high school in Surakarta Municipality with F hit = 1,391 < F table (α = 0,05) = 4,00 significance level 0,05, mean that H0 accepted. Keywords: Attitude Nationalism, Contextual Teaching and Learning Models, commit to user Self-Concept
x
xi digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............………………………….…….……….…..........
i
HALAMAN PERSETUJUAN...........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
iii
PERNYATAAN.....................................................................................................
iv
MOTTO.................................................................................................................
v
PERSEMBAHAN................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR........................................................................................
vii
ABSTRAK............................................................................................................
ix
ABSTRACT........................................................................................................
x
DAFTAR ISI ………..…………………………………………….......................
xi
DAFTAR TABEL...............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
xviii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………............
1
B. Perumusan Masalah ………………..............................................
9
C. Tujuan Penelitian ….………………………….....………............
9
D. Manfaat Penelitian ………………………….……....….……......
10
1. Manfaat Praktis ..........................................................................
10
2. Manfaat Teoritik .........................................................................
11
commit to user xi
xii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
12
A. Kajian Teori ... …………………………....………….................
12
1.
Hakikat Pembelajaran Sejarah................................................
12
2.
Sikap Nasionalisme…………………………………………
16
3.
Model CTL (Contextual Teaching and Learning)...................
25
4.
Model Pembelajaran Konvensional .………………………
48
5.
Perbandingan Model CTL (Contextual Teaching and Learning)
6.
BAB III
dengan
Model
Pembelajaran
Konvensional...........................................................................
51
Konsep diri………………………………………………….
53
B. Penelitian yang Relevan ...............................................................
60
C. Kerangka Berpikir …………………………….……....………....
63
D. Hipotesis Penelitian……………………………………………..
67
METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
68
A. Tempat dan Waktu Penelitian …………………....………….......
68
1. Tempat Penelitian …………………....…………......................
68
2. Waktu Penelitian …………………....…………........................
68
B. Jenis Penelitian ...........................................................................
69
C. Definisi Operasional…………………………………………….
72
D. Populasi, Sampel, dan Sampling ………………....……………...
75
1. Populasi .................…………………....………….....................
75
2. Sampel dan Sampling …………................................................
76
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………....…..………….
78
1. Metode Pengumpulan data ……................................................ commit to user
78
xiii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Instrumen Penelitian………………….....................................
79
3. Uji Coba Instrumen...................................................................
80
F. Teknik Analisis Data ....................................................................
84
1. Uji Prasyaratan Analisis ..........................................................
85
2. Uji Hipotesis ...........................................................................
87
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.........................
93
A. Deskripsi Data...............................................................................
93
B. Uji Persyaratan Analisis................................................................
110
1. Uji Normalitas ........................................................................
110
2. Uji Homogenitas ....................................................................
114
C. Pengujian Hipotesis......................................................................
115
D. Pembahasan Hasil Penelitian........................................................
118
E.
Keterbatasan Penelitian.................................................................
127
KESIMPULAN, IMPLIKASI , DAN SARAN.........................
129
A. Kesimpulan...................................................................................
129
B. Implikasi.......................................................................................
130
C. Saran.............................................................................................
132
DAFTAR PUSTAKA …………………………….……………………………..
131
BAB IV
BAB V
commit to user
xiv digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian……………………………………………
69
Tabel 3.2
Rancangan Penelitian Desain Faktorial 2 x 2 ………………
71
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Secara Keseluruhan (A1)………………………………………………………….
Tabel 4.2
94
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Secara Keseluruhan (A2)………………………..
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Rendah (B1)…………………………………..
Tabel 4.4
98
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Tinggi (B2)……………………………………
Tabel 4.5
96
100
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A1B2)…………………….
Tabel 4.6
102
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A1B2)……………………..
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Rendah commit to user
xi
105
xv digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(A2B1)……………………………………………………… Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Siswa
CTL (Contextual Teaching and Learning) Pada Yang
Memiliki
Konsep
Diri
Tinggi
(A2B2)……………………………………………………. Tabel 4.9
Tabel 4.10
107
109
Hasil Uji Homogenitas Variansi Skor Sikap Nasionalisme Siswa Keempat Kelompok Perlakuan………………………
114
Test of Between-Subjects Effects…………………………..
115
commit to user
xvi digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Bagan keterkaitan antarkomponen model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)……………...
44
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pikir Penelitian………………………..
67
Gambar 3.1 Bagan Pengembangan
Nonequivalent Control Group
Design………………………………………………………….
70
Gambar 4.1 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme
dengan
Model
Pembelajaran
Konvensional Secara Keseluruhan (A1)………………..
95
Gambar 4.2 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Secara Keseluruhan (A2)……………….
97
Gambar 4.3 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Rendah (B1)……….
99
Gambar 4.4 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Tinggi (B2)………...
101
Gambar 4.5 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme
dengan
Model
Pembelajaran
Konvensional Pada Siswa yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A1B1)…………………………………………. Gambar 4.6 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme
dengan Model commit to user
xiii
Pembelajaran
103
xvii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konvensional Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A1B2)…………………………………………..
106
Gambar 4.7 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A2B1)………………………………………….
108
Gambar 4.8 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A2B2)…………………………………………...
commit to user
110
xviii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.1
Silabus Pembelajaran Sejaran Kelas IX, Semester 1.....
138
Lampiran 1.2
RPP Model Pembelajaran CTL……………………….
143
Lampiran 1.3
RPP Model Pembelajaran Konvensional…………….
157
Lampiran 2.1
Kisi-Kisi Koesioner Konsep Diri Sebelum Diuji Cobakan………………………………………………
170
Lampiran 2.2
Instrumen Konsep Diri Sebelum Diuji-Cobakan……...
171
Lampiran 2.3
Hasil Try-Out Koesioner Konsep Diri………………...
176
Lampiran 2.4
Hasil Uji Validitas Try Out Koesioner Konsep Diri….
179
Lampiran 2.5
Hasil Uji Reliabilitas Try Out Koesioner Konsep Diri..
183
Lampiran 2.6
Kisi-Kisi Koesioner Konsep Diri Setelah Diuji Cobakan………………………………………………
186
Lampiran 2.7
Instrumen Konsep Diri Setelah diujicobakan………..
187
Lampiran 2.8
Hasil Koesioner Konsep Diri Kelas Kontrol, SMP Negeri 25 Surakarta…………………………………..
Lampiran 2.9
Hasil Koesioner Konsep Diri Kelas Eksperimen, SMP Negeri 19 Surakarta…………………………………..
Lampiran 3.1
Lampiran 3.2
191
193
Kisi-Kisi Koesioner Sikap Nasionalisme Sebelum Diujicobakan………………………………………….
195
Instrumen
196
Sikap
Nasionalisme
Sebelum
Diuji
Cobakan………………………………………………. Lampiran 3.3
Hasil Try Out Koesioner Sikap Nasionalisme………
Lampiran 3.4
Hasil Uji Validitas Try Out Koesioner Sikap commit to user
xv
204
xix digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nasionalisme…………………………………………. Lampiran 3.5
Hasil Uji Reliabilitas Try Out Koesioner Sikap Nasionalisme…………………………………………..
Lampiran 3.6
209
214
Kisi-Kisi Koesioner Sikap Nasionalisme Setelah Diujicobakan………………………………………….
217
Lampiran 3.7
Instrumen Sikap Nasionalisme Setelah Diujicobakan...
218
Lampiran 3.8
Hasil Koesioner Sikap Nasionalisme Kelas Kontrol, SMP Negeri 25 Surakarta……………………………..
Lampiran 3.9
Hasil
Koesioner
Sikap
Nasionalisme
224
Kelas
Eksperimen, SMP Negeri 19 Surakarta……………….
226
Lampiran 4.1
Uji Normalitas Pembelajaran Konvensional (A1)…….
228
Lampiran 4.2
Uji Normalitas Model Pembelajaran CTL (A2)………
230
Lampiran 4.3
Uji Normalitas Konsep Diri Rendah (B1)…………….
232
Lampiran 4.4
Uji Normalitas Konsep Diri Tinggi (B2)……………...
234
Lampiran 4.5
Uji Normalitas Model Pembelajaran Konvensional dengan Konsep Diri Rendah (A1B1)…………………
Lampiran 4.6
Uji Nomalitas Model Pembelajaran Konvensional dengan Konsep Diri Tinggi (A1B2)………………….
Lampiran 4.7
Lampiran 4.9
238
Uji Normalitas Model Pembelajaran CTL dengan Konsep Diri Rendah (A2B1)………………………….
Lampiran 4.8
236
240
Uji Normalitas Model Pembelajaran CTL dengan Konsep Diri Tinggi (A2B2)………………………….
242
Hasil Uji ANAVA……………………………………
244
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RINGKASAN
PENGARUH MODEL CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH TERHADAP SIKAP NASIONALISME DITINJAU DARI KONSEP DIRI
(Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
OLEH
GEDE PRAPTA CAHYANA S861008011
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Perbedaan pengaruh antara model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan konvensional dalam pembelajaran sejarah di kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta terhadap sikap nasionalisme siswa, (2) Perbedaan pengaruh sikap nasionalisme siswa antara yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah di kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta, (3) Interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme di kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa SMP Kelas IX di Kota Madya Surakarta semester I Tahun Pelajaran 2011/2012. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage sampling. Berdasakan teknik tersebut diperoleh 90 siswa : 30 siswa SMP N 19 Surakarta sebagai kelompok eksperimen, 30 siswa SMP N 25 Surakarta sebagai kelompok kontrol, dan 30 siswa SMP N 24 Surakarta sebagai kelompok uji coba. Penelitian ini menggunakan koesioner dalam pengumpulan data tentang konsep diri dan sikap nasionalisme. Analisis hasil penelitian menggunakan teknik analisis varians (ANAVA) dua jalur (2 x 2). Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan : (1) Terdapat perbedaan pengaruh antara model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan konvensional terhadap sikap nasionalisme pada siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta dengan Fhitung = 93,922 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti H0 ditolak; (2) Terdapat perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki konsep diri rendah dan tinggi terhadap sikap nasionalisme siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta dengan Fhitung = 84,646 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti H0 ditolak; (3) Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta dengan Fhitung = 1,391 < Ftabel (α = 0,05) = 4,00 taraf signifikansi 0,05, hal ini berarti H0 diterima.
Kata Kunci : Sikap Nasionalisme, Model Contextual Teaching and Learning (CTL), Konsep Diri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RINGKASAN PENGARUH MODEL CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH TERHADAP SIKAP NASIONALISME DITINJAU DARI KONSEP DIRI (Studi Eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta)
PENDAHULUAN
Berbicara masalah pendidikan secara tidak sadar merupakan usaha investasi sumber daya manusia (human investment) jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia (Kunandar, 2010 : v; Arifin, 2009 : 39). Pendidikan dapat dikatakan sebagai ujung tombak pembangunan bangsa dan negara hampir semua negara di belahan dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (2010 : 1) bahwa “pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri”. Pendidikan berusaha memperbaiki kualitas sumber daya manusia untuk dipersiapkan mengisi pembangunan yang semakin lama semakin berkembang. Selain itu, Wijatno (2009 : xv) menegaskan bahwa pada dasarnya tujuan dari pendidikan itu adalah untuk membentuk “bangsa yang ideal”. Pembentukan bangsa yang ideal inilah yang kemudian menjadi titik tolak, sehingga memacu bangsa Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang selalu
menempatkan
pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama. Hal ini terlihat dalam pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan “… mencerdaskan kehidupan bangsa …”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 (1) juga menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan (3) menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Kemudian dipertegas lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang dikaji oleh Rifai (2011 : 48) menyebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
yang
bermartabat
dalam
digilib.uns.ac.id
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan dasar itulah, di Indonesia telah melakukan berbagai perbaikan dan perubahan dalam sistem pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Salah satunya adalah terkait dengan perubahan kurikulum yakni dari kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984 berbasis materi (content-based curriculum), kurikulum 1994 berbasis pencapaian tujuan (Objective-based curriculum), kemudian disempurnakan menjadi kurikulum 1999, dan kurikulum 2004 berbasis kompetensi (Competency-based Curriculum). Perubahan kurikulum dalam pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting, karena proses pendidikan menyangkut proses “sosialisasi dan enkulturasi” (Widja, 1989 : 8). Namun sejalan dengan perubahan kurikulum, proses sosialisasi dan enkulturasi yang merupakan usaha perubahan untuk memanusiakan manusia dalam perkembangannya belum menunjukkan sesuatu yang membanggakan bagi seorang pendidik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa permasalahan baru yang muncul terkait terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, akibat memudarnya semangat nasionalisme yang dulu menjadi jargon utama dalam mempersatukan Negara Indonesia. Gellner yang dikaji Widja (2002 : 96) mengungkapkan bahwa “nationalism … does not have any very deep roots is the human psyche”, yang berarti memang nasionalisme sebagai satu kekuatan membangun bangsa telah mulai pudar peranannya. Kebanggaan terhadap tanah kelahiran dan tumpah darahnya sudah tidak kelihatan lagi. Keadaan ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang masih hangat diperbincangkan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Timor-Timur (Elson, 2009 : 399-404). Selain itu, kurangnya apresiasi generasi muda pada kebudayaan asli bangsa Indonesia, pola dan gaya hidup remaja yang lebih kebarat-baratan. Permasalahan yang terjadi di Indonesia terkait dengan krisis nasionalisme (identitas kebangsaan), sejatinya perlu dilakukan perubahan-perubahan untuk menata kembali seperti apa yang didapat dari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Semangat nasionalisme dibutuhkan untuk tetap eksisnya bangsa dan negara Indonesia. Nasionalisme yang tinggi dari warga negara akan mendorong jiwa rela berkorban untuk bangsa dan negara, sehingga akan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Kaelan (2008: 12) menegaskan bahwa dalam hidup berbangsa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak terombang-ambing di tengah-tengah masyarakat internasional. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa bangsa ini harus memiliki semangat nasionalisme yang kuat yang berasal sejarah bangsa. Terkait dengan permasalahan itu secara umum sekolah harus kembali berfungsi sebagai agen perubahan. Danim (2007 : 1) mengatakan bahwa sekolah mengemban tiga pilar fungsi, yakni; fungsi reproduksi, fungsi penyadaran, dan fungsi mediasi secara simultan. Hal ini menyangkut kehadiran institusi pendidikan yaitu sekolah sebagai wahana sosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses kemanusiaan, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar (Danim, 2007: 1-4). Selain berbagai fungsi sekolah di atas, dalam konteks kekinian sekolah juga memiliki fungsi sebagai wawasan wiyatamandala. Secara konsepsional, wawasan wiyatamandala mempunyai makna sebagai suatu paham, pandangan, atau tinjauan yang menempatkan
sekolah
sebagai
suatu
lingkungan
pendidikan,
dalam
artian
tempat
dilaksanakannya proses belajar-mengajar, proses pembudayaan manusia yang bebas dari pengaruh yang bersifat buruk, baik dari lingkungan sekolah maupun luar sekolah (Wahjosumidjo, 1999: 176). Kemudian secara khusus dalam perubahan itu sekolah harus bisa menempatkan beberapa mata pelajaran pada posisi sebagai agen perubahan, salah satunya adalah mata pelajaran sejarah. Hal ini terkait dengan peran pengajaran sejarah sangat penting dalam pembentukan sikap nasionalisme. Banyak kalangan sering tidak menyadari, bahkan melupakan fungsi dari pengajaran sejarah. Pengajaran sejarah pada dasarnya berfungsi bagi terbinanya identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama dalam membangun bangsa di masa kini maupun yang akan datang (Widja, 1989 : 7). Sebagaimana dikemukakan Gandhi (1995: 49) bahwa pengajaran sejarah menitik beratkan usahanya untuk mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanar air, sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia. Sejauh ini, pembelajaran sejarah masih sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal, dan kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber belajar. Suparno (1995: 8) menegaskan bahwa persepsi siswa terhadap pengajaran sejarah di satu pihak ada yang menyampaikan mengasyikkan, tetapi ada juga yang mengatakan pelajaran yang membosankan karena dipenuhi dengan fakta- fakta, tahun-tahun kejadian, dan nama-nama pelaku di tempat kejadian. Di lain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak dikeluhkan pula bahwa pelajaran sejarah tidak menjadi bagian dari salah satu mata pelajaran yang di ujian nasionalkan. Dengan demikian, anggapan terkait dengan mata pelajaran sejarah yang kurang bermanfaat berawal dari kurang menarik dan kurang bervariasinya model dan media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran sejarah. Proses pembelajaran yang berlangsung selama ini masih menggunakan metode yang konvensional, harus segara ditinggalkan, karena gagal menghasilkan siswa yang aktif, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran bisa dikatakan berhasil apabila memberi dampak dalam kehidupan siswa baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Trianto (2007 : 1) bahwa pendidikan yang ideal tidak saja berorientasi pada masa lalu dan masa kini, tetapi semestinya sudah berorientasi jauh ke masa yang akan datang. Hal ini didasarkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang, sehingga seorang pendidik harus merubah pemikirannya terkait dengan tujuan dari pembelajaran saat ini tidak hanya dipersiapkan untuk profesi yang ditekuninya, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Pembelajaran sejarah secara khusus disarankan tidak lagi terlalu menekankan hafalan fakta serta afektif doktriner tetapi lebih sarat dengan latihan berpikir “historis kritis analisis” (Widja, 2002 : 3). Dengan pendekatan baru ini siswa dibiasakan untuk melihat atau menerima gambaran sejarah dengan logika historis kritis (tidak pasif reseptif), sehingga siswa tidak harus selalu dituntun oleh guru dalam memaknai berbagai peristiwa sejarah yang dipelajarinya. Furqon Hidayatullah (2009 : 149) mengatakan bahawa fokus pembelajaran hendaknya diarahkan untuk mengembangkan lebih lanjut apa yang dipelajari, sehingga hasil yang diperoleh siswa dalam pembelajaran adalah “kail bukan ikan”. Maksudnya adalah dalam pembelajaran, siswa harus berusaha mencari pengetahuan sendiri, dan diharapkan mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu perlu adanya perubahan model pembelajaran yang lebih bermakna sehingga dapat membekali peserta didik dalam menghadapi permasalahan hidup yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Model pembelajaran yang sesuai dengan penjelasan di atas adalah model CTL (Kunandar, 2010 : 293) Model CTL merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan dicipatakan secara ilmiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak bekerja dan mengalami sendiri apa yang mereka pelajari, bukan sekedar mengetahuinya. Dalam hal ini peserta didik perlu mengetahui apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mereka dan bagaimana pencapaiannya. Sehingga mereka menyadari bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna bagi kehidupannya kelak. Dengan demikian mereka akan belajar lebih semangat dan penuh kesadaran. Berangkat dari gambaran di atas, penerapan model CTL dalam pembelajaran sejarah sangat menarik untuk diteliti di Kota Madya Surakarta. Hal ini dikarenakan oleh : pertama, Kota Madya Surakarta khususnya, Jawa Tengah umumnya merupakan bagian dari Negara Indonesia yang memiliki warisan budaya yang beraneka ragam dari leluhurnya, mulai dari kerajaan Kalingga, Mataram Hindu, Demak, Pajang, Mataram Islam, dan Kasunanan Surakarta, serta termasuk warisan cerita sejarah terkait dengan perjuangan rakyat untuk mempertahankan daerahnya dari penjajah menuju Kemerdekaan Republik Indonesia. Kebudayaan inilah secara garis besar dapat dijadikan sebagai modal utama dalam pengembangan model CTL. Kedua, dalam observasi yang dilakukan, pengembangan model CTL pada SMP Negeri di Kota Madya Surakarta masih jarang diterapakan, bahkan ada beberapa sekolah yang belum pernah menerapkannya, sehingga modal kedua terkait dengan memperkenalkan dan mengembangkan model CTL terkait dengan meningkatkan sikap nasionalisme siswa. Ketiga, pengambilan sekolah di Kota Madya Surakarta sebagai tempat penelitian juga terkait dengan kondisi sekolah yang terdiri dari siswa yang heterogen. Dengan kata lain di sekolah tersebut terdiri dari beberapa siswa yang berasal dari berbagai daerah dan agama, sehingga dapat memberikan cermin yang berbeda terkait sikap nasionalisme. Mengingat sikap nasionalisme siswa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembelajaran di kelas, tetapi diduga konsep diri juga berkontribusi terhadap sikap nasionalisme siswa, maka dalam penelitian ini mengambil judul tentang “Pengaruh Model CTL Dalam Pembelajaran Sejarah Terhadap Sikap Nasionalisme Ditinjau Dari Konsep Diri (Studi eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Madya Surakarta)”.
PEMBAHASAN Data hasil penelitian secara garis besar dapat dijabarkan masing-masing sel antarkolom dan antarbaris yang terdiri : (1) Data sikap nasionalisme siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran konvensional secara keseluruhan (A1), (2) Data sikap nasionalisme siswa yang diajarkan dengan model Contextual Teaching and Learning (CTL) secara keseluruhan (A2), (3) Data sikap nasionalisme siswa yang memiliki konsep diri rendah secara keseluruhan (B1), (4) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data sikap nasionalisme siswa yang memiliki konsep diri tinggi secara keseluruhan (B2), (5) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model pembelajaran konvensional dengan konsep diri rendah (A1B1), (6) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model pembelajaran konvensional dengan konsep diri tinggi (A1B2), (7) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model CTL dengan konsep diri rendah (A2B1), (8) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model CTL dengan konsep diri tinggi (A2B2). Untuk lebeih jelasnya deskripsi data ini dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 1. Diskripsi Data Masing-Masing Sel Antarkolom dan Antarbaris Skor
Data
N
A1
30
189
A2
30
B1
Skor
Mean
102
87
134,03
137,5
137,5
21,41
196
141
55
170,83
172,17
164,17
17,75
29
180
102
78
134,03
139,44
137,17
21,93
B2
31
196
143
53
169,65
171
167,25
18,51
A1B1
17
151
102
49
119,24
132,33
124,75
13,89
A1B2
13
189
143
46
153,38
117,5
172
11,61
A2B1
12
180
141
39
155
140,5
167,5
11,21
A2B2
18
196
153
43
181,39
188,5
173,33
12,70
Tertinggi Terendah
Median Modus
Standar
Range
Deviasi
Sumber : Data Primer
Kemudian terkait dengan prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas, dapat dijelas sebagai berikut. Tabel 2. Uji Normalitas Kolmogrov
Signifikansi
Smirov
Kenormalan
30
0,707
A2
30
B1 B2
α
Simpulan
0,700
0,05
Normal
0,730
0,661
0,05
Normal
29
0,585
0,884
0,05
Normal
31
1,138
0,150 0,05 commit to user
Normal
Data
N
A1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A1B1
17
0,650
0,791
0,05
Normal
A1B2
13
1,085
0,190
0,05
Normal
A2B1
12
0,534
0,938
0,05
Normal
A2B2
18
0,843
0,476
0,05
Normal
Sumber : Data Primer
Sedangkan untuk uji Homogenitas, dapat diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Variansi Skor Sikap Nasionalisme Siswa Keempat Kelompok Perlakuan Levene's Test of Equality of Error Variances Dependent Variable: Sikap Nasionalisme F
df1 .984
df2 3
Sig 56
.407
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: MP+KD+MP * KD Sumber : Data Primer Dari Tabel dapat dijelaskan bahwa Hasil perhitungan Levene test of homogeneity of varience menghasilkan nilai statistik F sebesar 0,984 dan nilai signifikansi sebesar 0,407. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan variansi populasi sama. Kemudian setelah dilakukan uji Normalitas dan homogenitas dilakukan, maka analisis dilanjutkan dengan uji hipotesis terkait dengan menyelidiki dua pengaruh utama dan satu pengaruh interaksi. Secara keseluruhan sudah terangkum dalam tabel hasil ANAVA yang disajikan pada tabel berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.
digilib.uns.ac.id
Test of Between-Subjects Effects
Dependent Variable : Sikap Nasionalisme
Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig
1428073.58
4
357018.397
2264.623
.000
MP
14806.386
1
14806.836
93.922
.000
KD
13344.506
1
13344.506
84.646
.000
219.288
1
219.288
1.391
.243
Error
8828.414
56
157.650
Total
1436902.000
60
Model
MP*KD
a.
R Squaered = .994 (Adjusted R Squared = .993)
a. Hipotesis Pertama : Terdapat Perbedaan yang positif dan signifikan antara penggunaan Model CTL dan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme pada siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta. Dari Tabel ANAVA di atas diperoleh harga Fhitung = 93,922 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00. Hal ini berarti hipotesis statistic (H0) pertama ditolak dan H1 diterima, sehingga terdapat perbedaan rata-rata antara model CTL dengan konvensional. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap nasionalisme yang diajar dengan model CTL lebih baik dari pada dengan model pembelajaran konvensional. b. Hipotesis Kedua : Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah terhadap sikap nasionalisme. Dari Tabel ANAVA di atas diperoleh harga Fhitung = 84,646 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00. Hal ini berarti hipotesis statistik (H0) pertama ditolak dan H1 diterima, sehingga terdapat perbedaan rata-rata sikap nasionalisme antara siswa yang memiliki konsep diri tinggi dengan siswa yang memiliki konsep diri rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa dengan konsep diri tinggi lebih baik dari pada siswa dengan konsep diri rendah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Hipotesis Ketiga : Terdapat interaksi yang positif dan signifikan antara Model CTL dengan konsep diri terhadap sikap nasionalisme dalam pembelajaran sejarah pada siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta. Dari Tabel ANAVA di atas diperoleh harga Fhitung = 1,391 < Ftabel (α = 0,05) = 4,00. Hal ini berarti hipotesis statistik (H0) diterima dan H1 di tolak. Dengan kata lain bahwa tidak terdapat interaksi antara penggunaan model CTL dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme.
Dari kesimpulan di atas terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antarkolom, yaitu bahwa sikap nasionalisme yang diajarkan dengan model CTL maupun pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional, begitu pula terkait dengan konsep diri yang dimiliki siswa. Karena tidak ada interaksi, maka tidak perlu dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Scheffe. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara model CTL (Contextual Teaching and Learning) dan Konvensional terhadap sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta, dimana penggunaan model CTL memperoleh sikap nasionalisme yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model konvensional.
2.
Konsep diri dapat mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta, dimana siswa yang termasuk ke dalam konsep diri tinggi tentunya memiliki skor sikap nasionalisme yang tinggi, sedangkan siswa yang termasuk ke dalam konsep diri rendah memiliki sikap nasionalisme yang rendah pula.
3.
Interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri tidak mempengaruhi sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung : CV. Satya Historika. Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Refika Aditama. Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta. Atkinson, Rita L., Richard C. Atkinson, & Ernest R. Hilgard. 1999. Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan, Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Atkinson, Rita L., Richard C. Atkinson, Edward E. Smith, & Daryl J. Bem. 1987. Pengatar Psikologi, Edisi Kesebelas, Jilid 2. Batam : Interaksara. Budiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : UNS Press. Calhoun, James F. & Joan Ross Acocella. 1990. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan, edisi Ketiga. Semarang : IKIP Semarang Press. Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara. Elson, R.E. 2008. The Idea Of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan (terjemahan Zia Anshor). Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta. Gagne, N.L & David C. Berliner. 1984. Educational Psychology. Boston : Dallas Genewa, ILL, Hopewell. N.J. Gandhi, I Made. 1995. “Pengalaman Sebagai Guru Sejarah” dalam Sutjiatiningsih, Sri. 1995. Pengajaran Sejarah, Kumpulan Makalah Simposium. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Jenderal Sejarah dan Nilai Tradisional. Grosby, Steven. 2011. Sejarah Nasionalisme, Asal Usul Bangsa dan Tanah Air (terjemahan Teguh Wahyu). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara. Hanafiah, Nanang. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hidayatullah, M. Furqon. 2009. Guru Sejati Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. Surakartta : Yuma Pustaka. Hilg, C.P. 1956. Saran- Saran Tentang Mengadjarkan Sedjarah. Djakarta : Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K. Issac, Stephen. 1984. Handbook In Reseach and Evaluation Second Edition. San Diego California: EdITS Publisher. Jumadi. 2002. Hubungan antara Konsep Diri dan Minat Belajar Sejarah dengan Pemahaman Sejarah Indonesia dan umum pada siswa SMU Negeri di Boyolali. Jakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta. Junanto, Subar. 2006. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Belajar Siswa Terhadap Pencapaian Kompentensi Mata Pelajaran Kewarganegaraan pada Siswa Kelas VII SMP Negeri Rayon Timur, Kabupaten Sragen Tahun Ajaran 2005/2006. Tesis.Surakarta : Program Studi Teknologi Pendidikan Program pascasarjana universitas sebelas maret. Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta : Paradigma. Kartodirdjo, Sartono. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta : Buku Kompas. Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah (Teaching of History). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Kunandar. 2010. Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta : Rajawali Pers. Mardapi, Djemari. 2008. Tehnik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Jogyakarta : Mitra 133 Cendikia. Margi, I Ketut. 2009. “Dari Etnosentrisme menuju Protonasionalisme : Upaya mengembangkan Sikap Anti Diskriminasi Etnis Pada Masyarakat Multikulutral Melalui Pendidikan Di Sekolah/Perguruan Tinggi” dalam Jurnal Sejarah Candra Sangkala. 2009. Singaraja : Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Ganesha. Mas’oed, Mohtar. 1998. “Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini” dalam Ichlasulamal & Armaidy Armawai. 1998. Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Nodia, Ghia. 1998. “Nasionalisme dan Demokrasi” dalam Diamond, Larry & Marc F. Plattner (ed). Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. Bandung : ITB Bandung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nurhadi, Burhan Yasin & Agus Gerrard Senduk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press. Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group. .2008. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Kencana. Sa’ud, Udin Syaefudin. 2011. Inovasi Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung:Alfabeta. Suparno, A. Suhaenah. 1995. “Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Memperkuat Jati Diri dan Integrasi Bangsa : Sudut Pandang Ilmu Pendidikan” dalam Sutjiatiningsih, Sri. 1995. Pengajaran Sejarah, Kumpulan Makalah Simposium. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Jenderal Sejarah dan Nilai Tradisional. Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wahjosumidjo. 2007. Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Prmasalahannya. Jakarta: Grasindo. Widarta. 2009. Hubungan Antara Sikap Nasionalisme dan Tingkat Pemahaman Tentang Masyarakat Multikultural dengan Wawasan Jati Diri Bangsa, Siswa SMA Negeri di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul. Surakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Widja, I Gde. 1989. Dasar- dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta : Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. . 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wijatno, Serian. 2009. Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efesien, Efektif, dan Ekonomi untuk Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan dan Mutu Lulusan. Jakarta : Salemba Empat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara masalah pendidikan secara tidak sadar merupakan usaha investasi sumber daya manusia (human investment) jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia (Kunandar, 2010 : v; Arifin, 2009 : 39). Pendidikan dapat dikatakan sebagai ujung tombak pembangunan bangsa dan negara hampir semua negara di belahan dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (2010 : 1) bahwa “pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri”. Pendidikan berusaha memperbaiki kualitas sumber daya manusia untuk dipersiapkan mengisi pembangunan yang semakin lama semakin berkembang. Selain itu, Wijatno (2009 : xv) menegaskan bahwa pada dasarnya tujuan dari pendidikan itu adalah untuk membentuk “bangsa yang ideal”. Lebih lanjut Wijatno (2009 : xv) menjelaskan bahwa : Bangsa yang ideal adalah bangsa yang cerdas dan berbudi luhur, yang dapat mengatasi setiap keadaan dan memberi kontribusi secara riil pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan pembangunan nasionalnya melalui hakikat pendidikan nasional yang berorientasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan atas permasalahan sumber daya manusia di era globalisasi. Pembentukan bangsa yang ideal inilah yang kemudian menjadi titik tolak, sehingga memacu bangsa Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang selalu menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama. Hal ini terlihat commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
dalam pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan “… mencerdaskan kehidupan bangsa …”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 (1) juga menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan (3) menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Kemudian dipertegas lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mnyebutkan bahwa : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Rifai, 2011 : 48). Dengan dasar itulah, di Indonesia telah melakukan berbagai perbaikan dan perubahan dalam sistem pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Salah satunya adalah terkait dengan perubahan kurikulum yakni dari kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984 berbasis materi (content-based curriculum), kurikulum 1994 berbasis pencapaian tujuan (Objective-based curriculum), kemudian disempurnakan menjadi kurikulum 1999, dan kurikulum 2004 berbasis kompetensi (Competency-based Curriculum). Perubahan kurikulum dalam pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting, karena proses pendidikan menyangkut proses “sosialisasi dan enkulturasi” (Widja, 1989 : 8). Artinya dalam sebuah pendidikan akan terjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
proses pewarisan dan penurunan nilai-nilai sosial kultural pada individu-individu sebagai anggota suatu kelompok. Dengan kata lain, nilai-nilai yang berkembang pada generasi terdahulu perlu diwariskan pada generasi masa kini, bukan saja untuk pengintegrasian individu ke dalam kelompok, tetapi juga sebagai bekal kekuatan untuk menghadapi masa kini dan masa yang akan datang. Proses sosialisasi dan enkulturasi yang merupakan usaha perubahan untuk memanusiakan manusia dalam perkembangannya belum menunjukkan sesuatu yang membanggakan bagi seorang pendidik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa permasalahan baru yang muncul terkait terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, akibat memudarnya semangat nasionalisme yang dulu menjadi jargon utama dalam mempersatukan Negara Indonesia. Gellner yang dikaji Widja (2002 : 96) mengungkapkan bahwa “nationalism … does not have any very deep roots is the human psyche”, yang berarti memang nasionalisme sebagai satu kekuatan membangun bangsa telah mulai pudar peranannya. Kebanggaan terhadap tanah kelahiran dan tumpah darahnya sudah tidak kelihatan lagi. Keadaan ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang masih hangat diperbincangkan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Timor-Timur (Elson, 2009 : 399-404). Selain itu, kurangnya apresiasi generasi muda pada kebudayaan asli bangsa Indonesia, pola dan gaya hidup remaja yang lebih kebarat-baratan. Permasalahan yang terjadi di Indonesia terkait dengan krisis nasionalisme (identitas kebangsaan), sejatinya perlu dilakukan perubahan-perubahan untuk menata kembali seperti apa yang didapat dari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
1945. Semangat nasionalisme dibutuhkan untuk tetap eksisnya bangsa dan negara Indonesia. Nasionalisme yang tinggi dari warga negara akan mendorong jiwa rela berkorban untuk bangsa dan negara, sehingga akan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Kaelan (2008: 12) menegaskan bahwa dalam hidup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak terombang-ambing di tengah-tengah masyarakat internasional. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa bangsa ini harus memiliki semangat nasionalisme yang kuat yang berasal sejarah bangsa. Terkait dengan permasalahan itu secara umum sekolah harus kembali berfungsi sebagai agen perubahan. Danim (2007 : 1) mengatakan bahwa sekolah mengemban tiga pilar fungsi, yakni; fungsi reproduksi, fungsi penyadaran, dan fungsi mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melaui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Fungsi reproduksi atau disebut juga fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaharu atau pengubah kondisi masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Fungsi penyadaran, atau disebut juga fungsi konservatif bermakna bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Pendidikan sebagai instrumen penyadaran, bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran untuk tetap berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral. Kedua fungsi itu akan menjadi lebih lengkap apabila pendidikan juga melakukan fungsi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
mediasi, yaitu menjembati fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal ini menyangkut kehadiran institusi pendidikan, dalam hal ini sekolah sebagai wahana sosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses kemanusiaan, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar (Danim, 2007: 1-4). Selain berbagai fungsi sekolah di atas, dalam konteks kekinian sekolah juga memiliki fungsi sebagai wawasan wiyatamandala. Secara semantik wawasan wiyatamandala terdiri dari tiga buah kata, yaitu; wawasan, wiyata, dan mandala. Wawasan berarti pandangan, tinjauan, atau konsepsi cara pandang terhadap sesuatu, sedang kata wiyata berarti pendidikan, dan mandala dapat diartikan lingkungan. Dengan demikian secara konsepsional, wawasan wiyatamandala mempunyai makna sebagai suatu paham, pandangan, atau tinjauan yang menempatkan sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan, dalam artian tempat dilaksanakannya proses belajar-mengajar, proses pembudayaan manusia yang bebas dari pengaruh yang bersifat buruk, baik dari lingkungan sekolah maupun luar sekolah (Wahjosumidjo, 1999: 176). Kemudian secara khusus dalam perubahan itu sekolah harus bisa menempatkan beberapa mata pelajaran pada posisi sebagai agen perubahan, salah satunya adalah mata pelajaran sejarah. Hal ini terkait dengan peran pengajaran sejarah sangat penting dalam pembentukan sikap nasionalisme. Banyak kalangan sering tidak menyadari, bahkan melupakan fungsi dari pengajaran sejarah. Pengajaran sejarah pada dasarnya berfungsi bagi terbinanya identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama dalam membangun bangsa di masa kini maupun yang akan datang (Widja, 1989 : 7). Sebagaimana dikemukakan Gandhi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
(1995: 49) bahwa pengajaran sejarah menitik beratkan usahanya untuk mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanar air, sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia. Sejauh ini, pembelajaran sejarah masih sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal, dan kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber belajar. Suparno (1995: 8) menegaskan bahwa persepsi siswa terhadap pengajaran sejarah di satu pihak ada yang menyampaikan mengasyikkan, tetapi ada juga yang mengatakan pelajaran yang membosankan karena dipenuhi dengan fakta- fakta, tahun-tahun kejadian, dan nama-nama pelaku di tempat kejadian. Di lain pihak dikeluhkan pula bahwa pelajaran sejarah tidak menjadi bagian dari salah satu mata pelajaran yang di ujian nasionalkan. Dengan demikian, anggapan terkait dengan mata pelajaran sejarah yang kurang bermanfaat berawal dari kurang menarik dan kurang bervariasinya model dan media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran sejarah. Proses pembelajaran yang berlangsung selama ini masih menggunakan metode yang konvensional, harus segara ditinggalkan, karena gagal menghasilkan siswa yang aktif, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran bisa dikatakan berhasil apabila memberi dampak dalam kehidupan siswa baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Trianto (2007 : 1) bahwa pendidikan yang ideal tidak saja berorientasi pada masa lalu dan masa kini, tetapi semestinya sudah berorientasi jauh ke masa yang akan datang. Hal ini didasarkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
sehingga seorang pendidik harus merubah pemikirannya terkait dengan tujuan dari pembelajaran saat ini tidak hanya dipersiapkan untuk profesi yang ditekuninya, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Pembelajaran sejarah secara khusus disarankan tidak lagi terlalu menekankan hafalan fakta serta afektif doktriner tetapi lebih sarat dengan latihan berpikir “historis kritis analisis” (Widja, 2002 : 3). Dengan pendekatan baru ini siswa dibiasakan untuk melihat atau menerima gambaran sejarah dengan logika historis kritis (tidak pasif reseptif), sehingga siswa tidak harus selalu dituntun oleh guru dalam memaknai berbagai peristiwa sejarah yang dipelajarinya. Furqon Hidayatullah (2009 : 149) mengatakan bahawa fokus pembelajaran hendaknya diarahkan untuk mengembangkan lebih lanjut apa yang dipelajari, sehingga hasil yang diperoleh siswa dalam pembelajaran adalah “kail bukan ikan”. Maksudnya adalah dalam pembelajaran, siswa harus berusaha mencari pengetahuan sendiri, dan diharapkan mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu perlu adanya perubahan model pembelajaran yang lebih bermakna sehingga dapat membekali peserta didik dalam menghadapi permasalahan hidup yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Model pembelajaran yang sesuai dengan penjelasan di atas adalah model CTL (Kunandar, 2010 : 293) Model CTL merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan dicipatakan secara ilmiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak bekerja dan mengalami sendiri apa yang mereka pelajari, bukan sekedar mengetahuinya. Dalam hal ini peserta didik perlu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
mengetahui apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana pencapaiannya. Sehingga mereka menyadari bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna bagi kehidupannya kelak. Dengan demikian mereka akan belajar lebih semangat dan penuh kesadaran. Berangkat dari gambaran di atas, penerapan model CTL dalam pembelajaran sejarah sangat menarik untuk diteliti di Kota Madya Surakarta. Hal ini dikarenakan oleh : pertama, Kota Madya Surakarta khususnya, Jawa Tengah umumnya merupakan bagian dari Negara Indonesia yang memiliki warisan budaya yang beraneka ragam dari leluhurnya, mulai dari kerajaan Kalingga, Mataram Hindu, Demak, Pajang, Mataram Islam, dan Kasunanan Surakarta, serta termasuk warisan cerita sejarah terkait dengan perjuangan rakyat untuk mempertahankan daerahnya dari penjajah menuju Kemerdekaan Republik Indonesia. Kebudayaan inilah secara garis besar dapat dijadikan sebagai modal utama dalam pengembangan model CTL. Kedua, dalam observasi yang dilakukan, pengembangan model CTL pada SMP Negeri di Kota Madya Surakarta masih jarang diterapakan, bahkan ada beberapa sekolah yang belum pernah menerapkannya, sehingga modal kedua terkait dengan memperkenalkan dan mengembangkan model CTL terkait dengan meningkatkan sikap nasionalisme siswa. Ketiga, pengambilan sekolah di Kota Madya Surakarta sebagai tempat penelitian juga terkait dengan kondisi sekolah yang terdiri dari siswa yang heterogen. Dengan kata lain di sekolah tersebut terdiri dari beberapa siswa yang berasal dari berbagai daerah dan agama, sehingga dapat memberikan cermin yang berbeda terkait sikap nasionalisme. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Mengingat sikap nasionalisme siswa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembelajaran di kelas, tetapi diduga konsep diri juga berkontribusi terhadap sikap nasionalisme siswa, maka dalam penelitian ini mengambil judul tentang “Pengaruh Model CTL Dalam Pembelajaran Sejarah Terhadap Sikap Nasionalisme Ditinjau Dari Konsep Diri (Studi eksperimen pada Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Madya Surakarta)”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara model CTL dengan konvensional dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme siswa ? 2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh sikap nasionalisme antara siswa yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah ? 3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme siswa ?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Perbedaan pengaruh antara model CTL dengan konvensional dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme siswa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
2. Perbedaan Pengaruh sikap nasionalisme antara siswa yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah. 3. Interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme siswa. D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat secara praktis maupun secara teoritik, yaitu : 1. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Bagi sekolah, dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran terkait dengan model CTL dan konvensional serta dapat menumbuhkan kembali sikap nasionalisme bagi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta.
b.
Bagi guru, dalam penelitian ini dapat menambah wawasan guru terkait dengan pengembangan model CTL dalam mata pelajaran sejarah khususnya dan mata pelajaran lain umumnya, sehingga dapat memacu pencapaian tujuan yang tidak hanya terkait dengan kognitif siswa, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor siswa.
c.
Bagi siswa, dalam penelitian ini dapat memberikan suasana belajar sejarah baru, lebih aktif, mandiri, dan tentunya dapat mengatasi kejenuhan siswa dalam belajar sejarah. Selain itu siswa dapat belajar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
sejarah terkait dengan pembentukan pribadinya sebagai manusia yang hidup di keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Manfaat Teoritik Manfaat teoritik yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Dapat dipakai sebagai bahan kajian lebih mendalam bagi penelitianpenelitian lanjutan yang sifatnya lebih luas dan mendalam baik dari sisi wilayah maupun substansi permasalahannya. b. Dapat memperkaya kajian terkait dengan pendidikan sejarah, terutama menyangkut model CTL dan konsep diri dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1.
Hakikat Pembelajaran Sejarah Secara umum istilah „pembelajaran‟ dan „sejarah‟ sudah lazim dikenal
oleh banyak pihak dalam berbagai kalangan. Istilah „pembelajaran‟ dapat diartikan sebagai sebuah proses komunikasi dua arah yaitu terdiri dari proses mengajar yang dilakukan oleh guru sebagai pendidik, dan belajar yang dilakukan oleh peserta didik atau murid (Sagala, 2011: 61). Pendapat lain menyatakan bahwa pembelajaran merupakan padanan dari instruction, yang artinya lebih luas dari pengajaran (Sa‟ud, 2011: 124). Pembelajaran tidak hanya berlaku dalam pendidikan melainkan dalam pelatihan atau upaya pembelajaran diri. Arifin (2011: 10) menambahkan bahwa pembelajaran dalam arti sempit dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara yang dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar (suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan dan pengalaman). Kemudian istilah „sejarah‟ dapat diartikan sebagai warisan kebudayaan umat manusia, atau memberikan ukuran latar belakang pengetahuan buat dapat menghargai sastra, seni, dan cara hidup orang-orang lain (Hilg, 1956: 10). Lebih lanjut, Widja (2002: 21) menambahkan bahwa warisan sejarah yang dimaksudkan tidak lain adalah warisan nilai-nilai sosial budaya suatu kelompok masyarakat user yang merupakan akar dari manacommit merekatomenemukan jati diri mereka. Sejarah
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
dapat memuaskan dengan cara yang unik nafsu ingin mengetahui seorang anak tentang orang-orang lain, tentang kehidupan, tokoh-tokoh, perbuatan-perbuatan, dan cita-citanya dan ia dapat membangun kekaguman dan gairah tentang seluruh dunia umat di masa yang lalu dan dewasa ini. Di sisi lain, konsep dasar sejarah dijelaskan dalam permendiknas No 22 Tahun 2006 yang dikutip oleh Aman (2011: 13) tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menegah bahwa Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asalusul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Dari penjelasan di atas dapat dikaitkan bahwa pembelajaran sejarah adalah suatu proses komunikasi dua arah terkait dengan kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan guru dan siswa untuk mencapai jati diri bangsa yang ditelaah lewat peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Hal ini ditekankan kembali oleh Aman (2011: 66) bahwa pembelajaran sejarah sebagai sub-sistem dari sistem kegiatan pendidikan, merupakan sarana efektif untuk meningkatkan integritas dan kepribadian bangsa melalui proses belajar mengajar. Pembelajaran sejarah merupakan usaha pembanding dalam kegiatan belajar, yang menunjuk pada pengaturan dan pengorganisasian lingkungan belajar mengajar sehingga mendorong serta menumbuhkan motivasi perserta didik untuk belajar dan mengembangkan diri. Sejalan dengan itu tugas pokok sejarah dalam pembelajaran adalah melatih kemampuan mental seperti berpikir kritis, dan menyimpan ingatan dan
imajinasi,
sekaligus
mempercepat
dan
memperdalam
pemahaman,
memberikan wawasan tentang cara kerja kekuatan sosial, ekonomi, politik dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
teknologi. Sehingga apabila dihubungkan dengan pengembangan kurikulum selama ini, pembelajaran sejarah setidaknya memiliki tiga dimensi tujuan yakni : meningkatkan kemampuan akademik (academic skill), memupuk kesadaran sejarah (historical consciousness), dan menanamkan semangat nasionalisme (nationalism) di kalangan peserta didik (Aman, 2011: vii). Sesuai dengan penjelasan di atas Kochhar (2008: 27-37 ) menyampaikan bahwa sasaran umum pembelajaran sejarah adalah sebagai berikut : (a) mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, (b) memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang, dan masyarakat, (c) membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai-nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya, (d) mengajarkan toleransi, (e) menanamkan sikap intelektual, (f) memperluas cakrawala intelektualitas, (g) mengajarkan prinsip-prinsip moral, (h) menanamkan orientasi ke masa depan, (i) memberikan pelatihan mental, (j) melatih siswa menangani isu-isu kontroversial, (k) membantu mencarikan jalan keluar bagi berbagai masalah social dan perseorangan, (l) memperkokoh rasa nasionalisme, (m) mengembangkan pemahaman internasional, dan (n) mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna. Djoko Suryo yang dikutip oleh Aman (2011: 62) merumuskan beberapa indikator terkait dengan pembelajaran sejarah, di antaranya sebagai berikut. 1. Pembelajaran sejarah memiliki tujuan, substansi, dan sasaran pada segi-segi yang bersifat normatif. 2. Nilai dan makna sejarah diarahkan pada kepentingan tujuan pendidikan daripada akademik atau ilmiah murni. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
3. Aplikasi pembelajaran sejarah bersifat pragmatic, sehingga dimensi dan substansi dipilih dan disesuaikan dengan tujuan, makna, dan nilai pendidikan yang hendak dicapai yakni sesuai dengan tujuan pendidikan. 4. Pembelajaran sejarah secara normatif harus relevan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional. 5. Pembelajaran sejarah harus memuat unsure pokok : Instruction, Intellectual training, dan pembelajaran moral bangsa dan civil society yang demokratis dan bertanggung jawab pada masa depan bangsa. 6. Pembelajaran
sejarah
tidak
hanya
menyajikan
pengetahuan
fakta
pengalaman kolektif dari masa lampau, tetapi harus memberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang dipelajarinya. 7. Interprestasi sejarah merupakan latihan berpikir secara intelektual kepada para peserta didik (learning process dan reasoning) dalam pembelajaran sejarah. 8. Pembelajaran
sejarah
(understanding),
berorientasi
meaning
historical
pada
humanistic
consciousness
dan
versthen
bukan
sekedar
pengetahuan kognitif dari pengetahuan (knowledge) dari bahan sejarah. 9. Nilai dan makna peristiwa kemanusian sebagai nilai-nilai universal di samping nilai partikular. 10. Virtue, religiusitas, dan keluhuran kemanuasian universal, dan nilai-nilai patriotism, nasionalisme, dan kewarganegaraan, serta nilai-nilai demokratis yang berwawasan nasional, penting dalam penyajian pembelajaran sejarah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
11. Pembelajaran sejarah tidak saja mendasari pembentukan kecerdasan atau intelektualitas, tetapi pembentukan martabat manusia yang tinggi. 12. Relevansi pembelajaran sejarah dengan orientasi pembangunan nasional berwawasan kemanusian dan kebudayaan. Berdasarkan catatan penjelasan arti, tujuan, dimensi, dan indikator dalam pembelajaran sejarah secara umum mengandung beberapa nilai, di antaranya : nilai keilmuan, nilai informatif, nilai pendidikan, nilai etika, nilai budaya, nilai politik, nilai nasionalisme, nilai internasional, nilai kerja, dan nilai kependidikan (Kochhar, 2008: 54-63). Sehingga terkait dengan pembelajaran sejarah, terutama pembelajaran sejarah nasional mulai dari SD (Sekolah Dasar) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) dapat disimpulkan bahwa secara garis besar berfungsi untuk menanamkan semangat berbangsa dan bertanah air atau dengan kata lain adalah dalam rangka character building peserta didik (Aman, 2011: 2). Pembelajaran sejarah harus mampu membangkitkan kesadaran empati (emphatic awareness) di kalangan peserta didik, yakni sikap simpati dan toleransi terhadap orang lain yang disertai dengan kemampuan mental dan sosial untuk mengembangkan imajinasi dan sikap kreatif, inovatif, serta patisipatif. 2.
Sikap Nasionalisme a. Konsep Sikap Menurut Calhoun, James F & Joan Ross Acocella (1990: 315) menyatakan bahwa “suatu sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kencenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu”. Dalam hal ini dapat dikatakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
sikap merupakan perilaku yang berdasarkan pada keyakinan. Fishbein dan Ajzen (dalam Mardapi, 2008: 105) mengatakan “sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep atau orang”. Selain itu konsep sikap juga diartikan sebagai satu konsep sentral dalam psikologi sosial yang menggabungkan fungsi afektif, emosi dan perasaan, ke dalam model manusia sebagai pengolah informasi sosial (Atkinson, Rita L., Richard C. Atkinson, & Ernest R. Hilgard, 1999: 371). Sikap dapat diartikan pula sebagai “cara seseorang melihat „sesuatu‟ secara mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada orang lain, ide, objek maupun kelompok tertentu” (Hutagalung, 2007). Dengan kata lain sikap merupakan cerminan jiwa seseorang atau bisa pula diartikan sebagai cara seseorang mengkomunikasikan perasaannya kepada orang lain melalui perilaku. Lebih lanjut Hutagalung mengatakan bahwa “jika perasaan seseorang terhadap „sesuatu‟ adalah positif maka akan terpancar pula perilaku positif dari individu bersangkutan menyikapi „sesuatu‟ yang dihadapinya itu, dan sebaliknya”. Sikap mengandung tiga komponen yaitu : (1) komponen kognitif (keyakinan), (2) Komponen emosi (perasaan), (3) komponen perilaku (tindakan) (Atkinson, Rita L., Richard C. Atkinson, & Ernest R. Hilgard, 1999: 371; Calhoun, James F & Joan Ross Acocella 1990: 315; Rakhmat, 2009: 100). Dengan komponen kognitif (keyakinan) dimaksudkan sikap berhubungan dengan pengetahuan, di mana seseorang berpikir atau merespon commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
suatu stimulus, ide dan konsep tentang suatu obyek. Komponen emosi (perasaan) dimaksudkan sikap berhubungan dengan emosional, di mana seseorang bereaksi Sedangkan
dengan
komponen
menggunakan emosi
perilaku
(tindakan)
berarti
dalam berinteraksi. sikap
merupakan
kencendrungan untuk bertingkah laku yakni melakukan sesuatu dengan menggunakan kepercayaan dan perasaan. Menurut Katz (yang dikutip Calhoun, James F & Joan Ross Acocella, 1990: 315) sikap mempunyai fungsi penting di antaranya : pertama, sikap mempunyai fungsi organisasi, maksudnya adalah keyakinan yang terkadung dalam sikap yang memungkinkan seseorang mengorganisasikan pengalaman sosial dan membebankan pada perintah tertentu dan memberinya makna. Kedua,
sikap
memberikan
fungsi
kegunaan,
maksudnnya
seseorang
menggunakan sikap untuk menegaskan sikap orang lain dan selanjutnya memperoleh
persetujuan
sosial.
Ketiga,
sikap
memberikan
fungsi
perlindungan, dalah hal ini dimaksudkan yaitu sikap menjaga seseorang dari ancaman terhadap harga dirinya. Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Edward E. Smith, & Daryl J. Bem (1987: 576-580) menyampaikan terkait dengan fungsi sikap yang terdiri dari : fungsi instrumental, fungsi pengetahuan, fungsi nilai-ekspresif, fungsi pertahanan ego, fungsi penyesuaian sosial. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1)
Fungsi instrumental dalam sikap dimaksudkan adalah sikap yang kita pegang karena alasan praktis, di mana konsep ini semata-mata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
mengekspresikan keadaan spesifik keinginan umum kita untuk mendapatkan manfaat atau hadiah dan menghindari hukuman. 2)
Fungsi pengetahuan dalam sikap dimaksudkan bahwa sikap yang menbantu kita dalam memahami dunia, yang membawa keteraturan bagi berbagai informasi yang harus diasimilasikan dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain fungsi ini berfungsi untuk mengorganisasi dan mengolah berbagai informasi secara efesien.
3)
Fungsi nilai-ekspresif dalam sikap dimaksudkan bahwa sikap mengekspresikan nilai-nilai kita atau mencerminkan konsep diri kita. Dalam hal ini sikap dapat memungkinkan memiliki sikap positif karena masih memegang kuat nilai-nilai tentang keanekaragaman, kebebasan, pribadi, toleransi, dan sikap juga memungkinkan memiliki sikap negatif karena sangat memegang keyakinan relegius.
4)
Fungsi pertahanan ego dalam sikap dimaksudkan bahwa sikap melindungi kita dari kecemasan atau dari ancaman bagi harga diri. Konsep pertahanan ego ini berasal dari teori psikoanalitik Freud, di mana dapat diartikan sebagai proyeksi individu merepresi implus yang tidak diterima dan kemudian mengekspresikan sikap bermusuhan kepada orang lain yang dirasakan memiliki implus yang sama.
5)
Fungsi penyesuaian sosial dalam sikap dimaksudkan bahwa sikap yang membantu kita merasa menjadi bagian dari komunitas, dan pada dasarnya sikap dapat berubah jika norma sosial berubah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan sebuah cerminan positif maupun negatif yang ditampilkan seseorang melalui perilaku terhadap orang lain, ide, objek maupun kelompok tertentu, yang di dalamnya terkandung komponen kognitif, afektif dan perilaku yang berfungsi dalam kehidupan seseorang. b.
Konsep Nasionalisme Nasionalisme menurut Grosby (2011: 55) sering dihubungkan dengan
istilah „Ibu Pertiwi‟, „Fatherland‟, dan „tanah air‟. Lebih lanjut Grosby menyatakan bahwa ketiga istilah tersebut merujuk pada “tanah asal” seseorang yang ditemukan pada semua periode sejarah. Dalam hal ini ketiga istilah ini diidentifikasi di suatu waktu tertentu dapat bertujuan sebagai “eksistensi bangsa” atau bisa juga tidak. Grosby (2011: 56) mengatakan salah satu komponen terpenting dalam nasionalisme adalah tanah. Tanah sangat dibutuhkan untuk hidup, karena telah memberikan kehidupan baik itu dalam bentuk tempat bermukim ataupun digunakan untuk menghasilkan sesuatu. Tanah sudah merupakan bagian dari individu maupun komunitas yang dalam perkembangannya akan diwariskan dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Maka dari itu tanah harus dipertahankan, dan istilah cinta tanah air sudah dikenal sejak dahulu seperti istilah dengan sebutan “ „ezrach ha „arets (penduduk asli tanah), „patris/patria‟ (fatherland), „watan‟-„mahabbat al-watan‟ (cinta tanah air)”. Istilah nasionalisme kembali muncul setelah berakhirnya Perang Dunia I (1914-1918). Perang Dunia I membangkitkan kesadaran di kalangan bangsacommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
bangsa terjajah. Ditambah lagi dengan terbentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diprakarsai oleh Woodrow Wilson. Pernyataan Woodrow Wilson yang terkenal sebagai “Hak Penentu Nasib Sendiri” yang berfungsi sebagai dasar peta baru Eropa sehabis perang Dunia I, yang menimbulkan dampak nasionalisme di daerah jajahan di mana-mana (Kartodirdjo, 2005: 5). Di Indonesia, nasionalisme juga muncul semenjak masih dalam pangkuan penjajahan. Menurut Sartono Kartodirdjo (2005: xi) awalnya perjalanan
nasionalisme
Indonesia
pada
tahun
1922
terbentuknya
perkumpulan dari mahasiswa yang datang dari “tanah Hindia” di negeri Belanda yang mengubah nama perkumpulannya menjadi Indonesische Vereeniging. Penyebutan “Indonesia” ini juga merubah konsep yang ada dalam organisasi itu yang sebelumnya merupakan perkumpulan social kemahasiswaan (geografis dan antropologis) menjadi organisasi politik. Hal ini ditambah lagi dengan berdirinya sebuah perkumpulan “di negeri sang penguasa” (het land de overheersers) yang bernama „Perhimpoenan Indonesia‟
(P.I.)
pada
tahun
1923.
Kekuatan
nasionalisme
untuk
memperjuangkan kemerdekaan mulai diperdendangkan seperti : mengganti nama majalah organisasi dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyan Indonesia Merdeka Sekarang. Perhimpoenan Indonesia ini kemudian juga menghasilkan tiga hal yang sangat fundamental yaitu : (1) Adanya sebuah bangsa yang bernama Indonesia; (2) Adanya sebuah negeri yang bernama Indonesia; dan (3) Bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya (Kartodirdjo, 2005: xii). Peristiwa ini bisa digunakan sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
tonggak sejarah terkait dengan munculnya gerakan nasionalisme antikolonialisme yang berasal dari negeri Belanda. Istilah nasionalisme pada tanggal 4 Juli 1927 juga digunakan oleh Sukarno dan Algemeene Studieclubnya untuk memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru yaitu Perserikatan Nasional Indonesia (Ricklefs, 2005: 277). Partai ini kemudian diubah menjadi Partai Nasional Indonesia pada bulan Mei 1928. Dalam hal ini partai ini dibentuk dengan tujuan yaitu kemerdekaan dari Kepulauan Indonesia yang akan dicapai secara non kooperatif dan dengan organisasi massa. Partai Nasionalisme Indonesia dapat dikatakan sebagai partai pertama yang menyangkut bangsa Indonesia dengan idelogi nasionalismenya di bidang politik. Nasionalime anti-kolonial di Indonesia kembali muncul pada tanggal 28 Oktober 1928 yang serig dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda”. Sumpah Pemuda merupakan tonggak nasionalisme yang dilakukan oleh para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia. Di dalam „Sumpah Pemuda‟-nya, kongres menyetujui tiga pengakuan : satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan bahasa Indonesia (Ricklefs, 2005: 282). Mengacu dari beberapa tonggak peristiwa di atas dapat digambarkan bahwa nasionalisme merupakan suatu sikap mental dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas atau pengabdian terhadap bangsa dan negara. Menurut Taufik Abdullah (2001: 47) nasionalisme adalah “sebuah cita-cita yang memberi batas antara kita yang sebangsa dengan mereka yang dari bangsa lain, antara negara kita dan negara mereka”. Dalam hal ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
dimaksudkan bahwa “nasionalisme lebih mengistimewakan hak kolektif yang didasarkan pada ras, kebudayaan, atau identitas bersama” (Nodia, 1998: 11). Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Mohtar Mas‟oed (1998: 213) bahwa nasionalisme itu penting, karena pada dasarnya nasionalisme : (1) Bisa memberikan identitas yang lebih teguh dan lebih bermakna dari pada ikatanikatan social; (2) Setting atau konteks kelembagaan nasionalis yang paling dikenal oleh sebagian besar manusia. Konsep nasionalisme dalam penelitian ini dapat dimunculkan dalam Standar Kompetensi “Memahami Usaha Mempertahankan Kemerdekaan” dengan
Kompetensi
Dasar
“Mendeskripsikan
usaha
perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia”, sehingga diharapkan dapat menambah atau merubah konsep nasionalisme siswa. Dan mengarah pada pemaknaan kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Dengan kata lain, dapat dijelaskan terdapat perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan atau kadar yang berbeda-beda. Dalam konteks ke-Indonesia-an, nasionalisme dapat dimaknai sebagai suatu tekad untuk hidup sebagai suatu bangsa di bawah suatu negara yang sama (Negara Kesatuan Republik Indonesia), terlepas dari perbedaan etnis, ras, agama atau golongan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
c. Sikap Nasionalisme Dari konsep di atas maka dapat dikatakan bahwa sikap nasionalisme adalah kesiapan suatu bangsa secara pontensial untuk merespon segala fenomena yang ada di lingkungan berbangsa dan bernegara yang diilhami oleh suatu semangat kebangsaan sehingga menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap apa yang dimiliki dan beritikad tinggi untuk mempertahankan dan megembangkannya. Dengan demikian dalam arti luas semua pernyataan mengenai sikap dapat mencerminkan suatu keyakinan atau opini. Dalam hubungannya dengan nasionalisme, terdapat tiga aspek yang menjadi tolak ukur dalam penelitian ini antara lain : (1) pernyataan yang berisikan tentang pengetahuan yang dihubungkan dengan nasionalisme; (2) pernyataan yang berisikan tentang perasaan yang dihubungkan dengan nasionalisme; (3) pernyataan yang berisikan tentang tindakan
yang dihubungkan dengan nasionalisme.
Kesemuanya tersebut akan tercakup pada tiga dimensi yang menjadi acuan dalam pebuatan test di antaranya terkait dengan sejarah perjuangan bangsa, kesadaran nasional sebagai suatu bangsa, serta sikap nasionalisme inovatif dan kreatif yang dimunculkan di era sekarang, dengan indikator di antaranya : (a) memahami hak dan kewajiban, (b) rela berkorban, (c) tenggang rasa, (d) jujur, (e) menghargai keputusan orang lain, (f) menghayati arti pentingnya berbangsa dan bernegara, (g) memahami arti pentingya cinta tanah air, (h) menguasai IPTEK, (i) mencintai produk dalam negeri, dan (j) upaya perbaikan dan pengembangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
3.
Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Model CTL merupakan salah satu konsep pembelajaran baru yang tidak
lagi berpusat pada guru (teacher centered), tetapi lebih menitikberatkan pada siswa (student centered). Pembelajaran ini memancing keterlibatan siswa untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan dapat menghubungkannya dalam kehidupannya yang nyata. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika siswa belajar (Sanjaya, 2006: 253). Maka dari itu, belajar dalam konteks model CTL dapat dikatakan bahwa pengetahuan sebagai fakta yang bukan untuk dihafal. Belajar yang sebenarnya adalah melalui sebuah proses berpengalaman, sehingga tidak saja aspek kognitif saja yang diperoleh siswa, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Menurut Nurhadi, dkk. (2004: 6), model CTL mengakui bahwa „belajar‟ merupakan sesuatu yang kompleks dan multidimensional yang jauh melampaui berbagai metode yang hanya berorientasi pada latihan/rangsangan/tanggapan. model CTL menganjurkan bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki (ingatan, pengalaman). Materi pelajaran akan tambah berarti jika siswa mempelajari materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka, dan menemukan arti di dalam proses pembelajarannya. Dengan demikian, pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Jadi, jelas bahwa pemanfaatan model CTL akan menciptakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
ruangan kelas yang memungkinkan siswa akan menjadi peserta aktif, bukan hanya pengamat yang pasif, dan bertanggungjawab terhadap belajarnya. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui. Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang. Sagala (2009: 87) menyatakan bahwa model CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Berns, Robert G. and Patricia M. Erickson (2001: 2) juga mengatakan hal yang sama, yaitu : Contextual teaching and learning is defined as a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning require. Model CTL juga dapat diartikan sebagai suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2006: 255). Dalam hal ini ditambahkan oleh Blanchard dalam Hudson, Charles & Dwan Holley Dennis yaitu : “Contextual Teaching and Learning Strategies: (1) Emphasize problemsolving (2) Recognize the need for teaching and learning to occur in a variety of contexts such as home, community, and work sites (3) Teach committheir to user students to monitor and direct own learning so they become self-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
regulated learners (4) Anchor teaching in students‟ diverse life-contexts (5) Encourage students to learn from each other and together and (6) Employ authentic assessment”. Menurut Hanafiah (2009: 67) model CTL merupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi, maupun kultural. Dengan demikian, peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dan ditransfer dari suatu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya. Berdasarkan konsep tersebut, ada tiga hal yang perlu dipahami. Pertama, model CTL menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan siswa hanya menerima pembelajaran, akan tetapi mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, model CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antar materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, model CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan. Artinya, model CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
memahami materi yang dipelajari, tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai prilaku dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks model CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata. Sehubungan dengan hal di atas Sanjaya (2005: 110) menambahkan lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan model CTL, yaitu : a. Dalam model CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa saja yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan yang utuh memiliki keterkaitan satu sama lain. b. model CTL adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan yang baru diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya. c. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya, dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
harus diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa. e. Melakukan
refleksi
(reflecting
knowledge)
terhadap
strategi
perkembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. Kunandar (2010: 300) menambahkan bahwa model CTL menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Oleh karena itu, model CTL harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut. a. Pengajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Pengajaran berbasis masalah (problem-based learning) adalah suatu model pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. b. Pengajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Pengajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang saling mengasihi antarsesama siswa. c. Pengajaran Berbasis Inkuiri (Inquiry Based Learning) Pengajaran berbasis inkuiri merupakan pembelajaran yang mendorong siswa untuk belajar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsepto user konsep atau prinsip-prinsip,commit dan guru mendorong siswa untuk melakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
percobaan yang memungkinkan siswa untuk menemukan sendiri prinsipprinsip atau konsep-konsep. d. Pengajaran Berbasis Proyek/tugas (Project Based Learning) Pengajaran
berbasis
proyek/tugas
merupakan
strategi
pembelajaran
komperhensif ketika lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah authentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Model ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri
dalam
mengkonstruk
(membentuk)
pembelajarannya
dan
mengkulminasikannya dalam produk nyata. e. Pengajaran Autentik (Authentic Instruction) Pengajaran autentik merupakan pengajaran yang memperkenalkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata. f. Belajar Berbasis Kerja (Work Based Learning) Belajar berbasis kerja merupakan pengajaran yang memerlukan suatu model agar memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
g. Belajar Berbasis Jasa Layanan (Service Learning) Belajar berbasis jasa layanan merupakan pengajaran yang memerlukan penggunaan metodelogi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut. Jadi, belajar berbasis jasa layanan menekankan antara pengalamanjasa-layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, model ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. Model CTL ini terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah nyata yang berasosiasi dengan peranan dan tanggungjawab mereka sebagai bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat, siswa dan selaku pekerja. Selanjutnya dalam model CTL terdapat empat prinsip yang melingkupinya yaitu, (a) kesalingbergantungan, (b) perbedaan, (c) pengaturan diri, dan (d) penilaian autentik (Hanafiah, 2009: 70; Johnson, 2009: 85-86). Berikut akan diuraikan prinsip model CTL secara lebih terperinci. a. Kesalingbergantungan Prinsip ini membuat hubungan yang bermakna (making meaningfull connections) antara proses pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa datang. Prinsip ini mengajak para pendidik mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, peserta didik, stakeholder, dan lingkungannya. Bekerjasama (collabrorating) akan dapat membantu peserta didik utuk belajar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
secara efektif dalam kelompok, membantu peserta didik untuk berinteraksi dengan orang lain, saling mengemukakan gagasan, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, mengumpulkan data, mengolah data, dan menentukan alternatif pemecahan masalah. Prinsip ini menyatukan juga berbagai pengalaman dari masing-masing peserta didik untuk mencapai standar akademik yang tinggi (reaching high standards) melalui pengidentifikasian tujuan dan memotivasi peserta didik untuk mencapainya. b. Perbedaan Prinsip diferensiasi adalah mendorong peserta didik menghasilkan keberagaman, perbedaan, dan keunikan. Terciptanya kemandirian dalam belajar (self-regulated learning) yang dapat mengkonstruksi minat peserta didik untuk belajar mandiri dalam konteks tim dengan mengkorelasikan bahan ajar dengan kehidupan nyata dalam rangka mencapai tujuan penuh makna (meaningfulness). Terciptanya berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) di kalangan peserta didik dalam rangka pengumpulan, analisis, dan sintesis data guna pemecahan masalah. Terciptanya kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi potensi pribadi dalam rangka menciptakan dan mengembangkan gaya belajar (style of learning) yang paling sesuai sehingga dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin secara aktif, keratif, efektif, inovatif, dan menyenangkan sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. c. Pengaturan diri Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan,
dan
disadari
oleh peserta didik commit to user
sendiri
dalam
rangka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
merealisasikan seluruh potensinya. Peserta didik secara sadar harus menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi, dan kritis menilai bukti. Melalui interaksi antrasiswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru, sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan menemukan sisi keterbatasan diri. d. Penilaian autentik Penggunaan penilaian autentik yaitu menantang peserta didik agar dapat mengaplikasikan berbagai informasi akademis baru dan keterampilannya ke dalam situasi kontekstual secara signifikan. Keempat prinsip inilah yang dijadikan landasan berpikir peneliti untuk melengkapi penelitian ini. Hal ini akan membantu peneliti dalam memahami model CTL. Selanjutnya Nurhadi, dkk. (2004: 31) menyatakan bahwa ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan model CTL di kelas. Ketujuh komponen utama tersebut
yaitu, konstruktivisme (Contructivisme),
bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment). Penerapan masing-masing komponen model CTL dapat dijelaskan sebagai berikut. a.
Konstruktivisme (Contructivisme) Menurut Sanjaya (2006: 264) konstruktivisme adalah proses membangun
atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Nurhadi, dkk. (2004: 33) menegaskan bahwa konstruktivisme commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
(Contructivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) model CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Esensi dari teori kontrukstivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasi suatu informasi kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran
harus
dikemas
menjadi
proses
„mengkonstruksi‟
bukan
„menerima‟ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Belajar lebih dari sekadar mengingat. Tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivitas, yang lebih menekankan pada hasil belajar. Dalam pandangan konstruktivisme, „startegi memperoleh‟ lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
(a) menjadikan
pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (b) memberi kesempatan siswa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
menemukan dan menerapkan idenya sendiri, (c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Mengenai implementasi konstruktivisme di kelas, Yager (dalam Nurhadi dkk, 2003: 35; Kunandar, 2010: 307) mengemukakan prosedur konstruktivisme sebagai berikut. 1) Carilah dan gunakanlah pertanyaan dan gagasan siswa untuk menuntun pelajaran dan keseluruhan unit pengajaran. 2) Biarkan siswa mengemukakan gagasan-gagasan mereka dulu. 3) Kembangkan kepemimpinan, kerja sama, pencarian informasi, dan aktivitas siswa sebagai hasil dari proses belajar. 4) Gunakan pemikiran, pengalaman, dan minat siswa untuk mengarahkan proses pembelajaran. 5) Kembangkan penggunaan alternatif sumber informasi baik dalam bentuk bahan tertulis maupun bahan-bahan para pakar. 6) Usahakan agar siswa mengemukakan sebab-sebab terjadinya sesuatu peristiwa dan situasi serta doronglah siswa agar mereka memprediksi sebab akibatnya. 7) Carilah gagasan-gagasan siswa sebelum guru menyajikan pendapatnya atau sebelum siswa mempelajari gagasan-gagasannya yang ada dalam buku teks atau sumber-sumber lainnya. 8) Buatlah siswa agar tertantang dengan konsepsi dan gagasan-gagasan yang ada dalam buku teks atau sumber-sumber lainnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
9) Buatlah agar siswa tertantang dengan konsepsi dan gagasan-gagasan mereka sendiri. 10) Sediakan waktu cukup untuk berefleksi dan menganalisis, menghormati dan menggunakan semua gagasan yang diketengahkan oleh seluruh siswa. 11) Doronglah siswa untuk melakukan analisis sendiri, mengumpulkan bukti nyata untuk mendukung gagasan-gagasan dan reformulasi gagasan sesuai dengan pengetahuan baru yang dipelajarinya. 12) Gunakanlah masalah yang diidentifikasi oleh siswa sesuai minatnya dan dampak yang ditimbulkannya. 13) Gunakanlah sumber-sumber lokal (manusia dan benda) sebagai sumbersumber informasi asli yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. 14) Libatkan siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah yang ada dalam kehidupan nyata. 15) Perluas belajar seputar jam pelajaran, ruangan kelas, dan lingkungan sekolah. 16) Pusatkan perhatian pada dampak sains pada setiap individu siswa. 17) Pandanglah konten sains itu sebagai sesuatu yang semata-mata ada untuk dikuasai siswa melalui testing. 18) Tekankan kesadaran karier terutama yang berhubungan dengan sains. Jadi,
model
CTL
pada
dasarnya
mendorong
agar
siswa
bisa
mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun oleh individu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Pengetahuan yang diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar itulah, maka penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran melalui model CTL didorong agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata. b. Bertanya (Qustioning) Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari kegiatan „bertanya‟. Qestioning merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk : (a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, (b) mengecek pemahaman siswa, (c) membangkitkan respon kepada siswa, (d) mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, (e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, (g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, (h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Kunandar, 2010: 310). Menurut Nurhadi, dkk. (2004: 45), bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
gagasan-gagasan. Jenis konteks yang dapat digunakan guru untuk menerapkan teknik bertanya dalam kelas adalah sebagai berikut. 1)
Bertanya adalah suatu cara untuk „masuk dan terlibat‟ dalam sesuatu hal. Bertanya adalah suatu alat yang digunakan oleh orang yang bertanya untuk memulai dan mempertahankan interaksi dengan orang lain.
2)
Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mendapatkan informasi. Bertanya dapat dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang suatu maksud atau oleh keingintahuan dan „kebutuhan untuk mengetahui‟.
3)
Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mengklarifikasi atau meyakinkan informasi.
4)
Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja
dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menumbuhkan dorongan untuk „bertanya‟ (Nurhadi, dkk., 2004: 46-47). c. Menemukan (Inquiry) Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada penemuan dan pencarian melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
guru bukanlah memepersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya (Sanjaya, 2006: 265). Senada dengan hal tersebut, Nurhadi, dkk. (2004: 43-44) menyatakan bahwa inkuiri pada dasarnya adalah suatu ide yang kompleks. Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan. Siklus inkuiri meliputi: (a) observasi (observation), (b) bertanya (questioning), (c) mengajukan dugaan (hipothesis), (d) pengumpulan data (data gathering), (e) penyimpulan (conclussion). Langkah-langkah kegiatan menemukan (inquiry) yaitu di antaranya : (a) merumuskan masalah, (b) mengamati atau melakukan observasi, (c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, (d) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens yang lain. d. Masyarakat belajar (Learning Community) Leo Semenovich (dalan Sanjaya, 2006: 267), seorang psikolog Rusia menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam model CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Nurhadi, dkk. (2004: 47) menambahkan bahwa hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antarkelompok, dan antara mereka yang tahu ke mereka yang belum tahu. Dalam kelas dengan pendekatan kontekstual, kegiatan pembelajaran dilakukan dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok
yang
heterogen.
Konsep
learning
community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antara kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Model pembelajaran dengan konsep learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam : (a) pembentukan kelompok kecil, (b) pembentukan kelompok besar, (c) mendatangkan „ahli‟ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, dsb.), (d) bekerja dengan kelas sederajat, (e) bekerja kelompok dengan kelas yang di atasnya, (f) bekerja dengan masyarakat. e. Pemodelan (Modeling) Komponen selanjutnya adalah pemodelan. Nurhadi, dkk. (2004:49-50) menyatakan dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
mengoperasikan sesuatu, contoh karya tulis, dan sebagainya. Dengan demikian, guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Dalam model CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat didatangkan dari luar. Dalam bukunya, Sanjaya (2006: 267) menyatakan yang dimaksud dengan pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Pemodelan merupakan asas yang cukup penting dalam model CTL sebab melalui pemodelan siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. f. Refleksi (Reflection) Refleksi juga bagian penting dalam pembelajaran dengan model CTL. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang, tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki oleh siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Dengan begitu, siswa merasa memeroleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya (Nurhadi, dkk., 204: 51). Hal senada juga diungkapkan Sanjaya (2006: 268) bahwa refleksi merupakan proses menggali pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
belajar itu akan dimasukkan ke dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pengajaran. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa : (a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, (b) catatan atau jurnal di buku siswa, (c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (d) diskusi, (e) hasil karya. g. Penilaian sebenarnya (Authentic Assesment) Proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan oleh guru pada saat ini biasanya ditekankan pada perkembangan aspek intelektual sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dalam model CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Sanjaya (2006: 269) mendefinisikan penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan oleh guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan oleh siswa. Penilaian ini dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilain ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Maka dari iu, tekanannya diarahkan pada proses belajar, bukan pada hasil belajar. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Hal senanda juga diungkapkan oleh Nurhadi, dkk. (2004: 52-53) bahwa assassment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assasment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu memelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi pada akhir periode pembelajaran. Assasment dalam hal ini menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan oleh siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata-mata melalui hasil. Karakteristik authentic assasment di antaranya : (a) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, (c) yang diukur
keterampilan
dan
performasi,
bukan
mengingat
fakta,
(d)
berkesinambungan, (e) integrasi, dan (f) dapat digunakan sebagai umpan balik (feed back). Hal-hal yang digunakan sebagai dasar penilaian prestasi siswa adalah : (a) proyek/kegiatan dan laporan, (b) PR, (c) kuis, (d) karya siswa, (e) presentasi atau penampilan siswa, (f) demonstrasi, (g) laporan, (h) jurnal, (i) hasil tes tulis, dan (j) karya tulis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Dalam penelitian ini, ketujuh komponen tersebut akan digunakan dalam pembelajaran terkait dengan penggunaan model CTL. Keterkaitan ketujuh komponen menurut Suyanto (2010: 11) sebagai berikut. Konstruktivisme Bertanya
Penilaian Otentik CTL
Inkuiri
Refleksi Pemodelan
Komunitas Belajar
Gambar 2.1 Bagan keterkaitan antarkomponen model CTL Sumber : Suyanto, 2010 : 11 Sehubungan dengan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa antara komponen yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling mendukung dalam model CTL. Kemudian sebagai suatu pembelajaran, model CTL tentunya memiliki beberapa keunggulan dan kelemahannya. Kelebihan dari model CTL di antaranya yaitu : a.
menempatkan siswa sebagai subyek belajar artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menentukan dan menggali sendiri materi pelajaran.
b.
Siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi saling menerima dan memberi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
c.
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata.
d.
Kemampuan didasarkan atas pengalaman.
e.
Tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah kepuasan diri.
f.
Tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri.
g.
Pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, sehingga setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya.
h.
Siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing.
i.
Pembelajaran bisa terjadi dimana saja dalam kontek dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan.
j.
Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara, misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara dan lain sebagainya. Sedangkan kelemahan dari model CTL di antaranya yaitu : a. Banyak menghabiskan waktu/ disiplin waktu. b. Belajar dalam bentuk kelompok sering disalahgunakan oleh siswa atau siswa membicarakan hal-hal diluar pelajaran. c. Kesiapan guru sebagai fasilitator.
Berdasarkan uraian diatas maka model CTL saat ini dirasakan sangat cocok diterapkan, karena pengetahuan yang didapat dari proses pembelajaran yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
selalu dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku siswa sehari-hari. Proses model CTL tentunya guru harus membuat desain (skenario) pembelajaran yang sekaligus dapat digunakan sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Skenario yang dimaksud adalah pengembangan dari setiap komponen model CTL dapat dilakukan sebagai berikut : a. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya. b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan. c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaanpertanyaan. d. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya. f. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. g. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa (Rusman, 2011: 199-200; Trianto, 2007: 106). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Dengan melihat berbagai keunggulan dan karakteristik serta skenario model CTL, maka dalam pembelajaran diharapkan siswa dapat mengembangkan dirinya dengan mempelajari materi yang disajikan guru melalui kontek kehidupan siswa dan mereka dapat menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga menyenangkan bagi siswa. Selain itu siswa juga akan mendapatkan secara langsung dari materi yang dipelajari, dan kemungkinan hasil belajar siswa nantinya menjadi lebih baik, serta siap menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan nantinya. Pembelajaran dengan menggunakan model CTL dalam mata pelajaran sejarah yang akan dieksperimenkan, guru bertugas membantu siswa mencapai tujuannya sesuai yang tercantum dalam kurikulum. Dengan kata lain, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Langkah-langkah penerapan pembelajaran dengan model CTL di kelas dalam mata pelajaran sejarah adalah sebagai berikut : (a) mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, (b) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan kontekstual untuk semua topik dalam pembelajaran sejarah, (c) mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya tentang materi sejarah, (d) mengembangkan belajar kelompok dengan diskusi kelompok, (e) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
bisa guru atau teman sebaya, (f) melakukan refleksi diakhir pertemuan, (g) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara selama proses pembelajaran berlangsung, karena keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intlektual saja tetapi perkembangan seluruh aspek (Syaiful, 2011: 92). 4. Model Pembelajaran Konvensional Model pembelajaran konvensional merupakan suatu pembelajaran yang secara umum masih bersifat teacher centered (berpusat pada guru) dalam proses belajar mengajar di kelas. Pembelajaran konvensional identik dengan metode ceramah yang merupakan sebuah bentuk interaksi belajar mengajar yang dilakukan melalui penjelasan atau penuturan secara lisan oleh guru terhadap sekelompok peserta didik. Pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah ini kadang-kadang salah ditafsirkan oleh perserta didik. Hal ini disebabkan oleh kurang pandainya penceramah memberikan informasi atau mungkin siswa yang bukan pendengar yang baik. Karena itu dalam pembelajaran dengan metode ceramah faktor yang terpenting adalah bahasa lisan yang berfungsi sebagai penyambung lidah guru ke siswa-siswanya. Gagne dan Berliner (1984: 456-457) mengatakan bahwa metode ceramah sesuai digunakan apabila : a. Tujuan pembelajaran berupa penyampaian informasi baru. b. Isi dari aktivitas pembelajaran berupa kompetensi yang bersifat langka, misalnya mengemukakan penemuan baru. c. Mampu membangkitkan minat terhadap mata pelajaran. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
d. Untuk mengantarkan penggunaan metode pengajaran yang lain dan pengarahan penyelesaian tugas-tugas belajar. Model pembelajaran konvensional juga sering dikenal dengan sebutan pembelajaran tradisonal. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung terpusat pada guru, sehingga siswa menjadi pasif (Trianto, 2007: 1). Pembelajaran lebih banyak belajar secara individu dengan menerima, mencatat dan menghafal materi pelajaran yang tidak dikaitkan dengan kehidupan nyata, akan tetapi materi pelajaran yang diberikan lebih bersifat teoritis dan abstrak. Pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu dalam pembelajaran konvensional ini tentunya tidak berkembang, karena kebenaran pengetahuan itu hanya bersumber dari seorang guru.
Guru
mempunyai
mengembangkan
tanggungjawab
pembelajaran
karena
penuh guru
dalam
penentu
memantau jalannya
dan
proses
pembelajaran. Guru dalam pembelajaran konvensional menganggap belajar sebagai aktivitas mengumpulkan atau menghafal fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan yaitu mengejar target kurikulum, sehingga model konvensional yang mendekati adalah dengan metode ceramah. Hal ini sesuai dengan sifat dari model pembelajaran konvensional (ceramah), yaitu: (1) tidak memberikan kesempatan untuk berdiskusi memecahkan masalah sehingga proses penyerapan pengetahuannya kurang tajam, (2) kurang memberi kesempatan
kepada
peserta
didik
untuk
mengembangkan
keberanian
mengemukakan pendapatnya, (3) pertanyaan lisan dalam model ceramah kurang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
dapat ditangkap oleh pendengarannya apalagi menggunakan kata-kata asing, (4) metode ceramah kurang cocok dengan tingkah laku kemampuan anak yang masih kecil (Syaiful, 2011: 202). Akibatnya dalam pembelajaran ini siswa akan terbiasa menerima apa saja yang diberikan oleh seorang guru tanpa berusaha menemukan sendiri konsepkonsep yang akan dipelajari. Guru dalam hal ini akan bangga apabila peserta didiknya mampu mengulang kembali materi yang sudah disampaikan oleh guru secara benar. Selain itu, penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar. Oleh sebab itu, kegiatan belajar siswa kurang optimal, sebab terbatas kepada mendengarkan uraian guru, mencatat, dan sekali-sekali bertanya kepada guru (Syaiful, 2011: 78). Dalam pembelajaran konvensional ini sebenarnya memiliki pola yang sama dengan model-model pembelajaran lainya, di antaranya : membuat perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan sampai pada evaluasi dari pembelajaran. Namun, yang membedakan disini adalah terkait dengan pengelolaan kelas guru berperan lebih aktif, lebih banyak aktifitasnya dibandingkan siswanya, karena guru telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajar secara tuntas, sedangkan siswanya berperan lebih pasif tanpa melakukan pengolahan bahan (Syaiful, 2011: 79). Lebih lanjut, Syaiful menggariskan terkait langkah-langkah model pembelajaran konvensional sebagai berikut : (1) persiapan (preparation) yaitu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematik dan rapi, (2) pertautan (aperception) bahan terdahulu yaitu guru memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah diajarkan, (3) penyajian (persentation) terhadap bahan baru, yaitu guru menyajikan dengan cara memberi ceramah atau menyuruh siswa menbaca bahan yang telah dipersiapkan diambil dari buku, teks tertentu yang ditulis oleh guru, (4) evaluasi (resitation) yaitu guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok-pokok yang telah dipelajari lisan dan tulisan. 5. Perbandingan Model CTL dengan Model Pembelajaran Konvensional Secara garis besar perbedaan antara Model CTL dan model pembelajaran konvensional menurut Sanjaya (2006: 261) dan disempurnakan oleh Nurhadi,dkk. (2004: 35-36) dan Kunandar (2007: 318-319) dapat dilihat yaitu, pertama siswa sebagai bagian pembelajaran dalam model CTL berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran, sehingga siswa dituntut untuk berpikir kritis dan terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, serta ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembelajaran dan membawa skema masingmasing kedalam proses pembelajaran. Berbeda dengan pembelajaran dengan model konvensional siswa hanya berperan pasif, di mana siswa hanya menerima informasi yang disampaikan oleh guru. Siswa dalam model CTL dapat belajar dari temannya melalui kegiatan kelompok, tetapi dalam model konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Kedua, pengembangan materi pembelajaran dengan menggunakan model CTL dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil dan atau masalah yang disimulasikan, sehingga perilaku yang dihasilkan dibangun atas kesadaran sendiri dan pengembangan keterampilannya atas dasar pemahaman. Berbeda dengan pengembangan model pembelajaran konvensional yang masih bersifat teoritis dan abstrak, sehingga perilaku yang dibangun atas dasar kebiasaan semata, dan keterampilan yang dikembangkan berdasarkan latihan. Ketiga, evaluasi dalam model CTL terkait hasil belajar dilihat melalui proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, sehingga pengalaman lebih yang dimiliki oleh siswa merupakan sebuah penghargaan tersendiri bagi siswa. Berbeda
dengan
evaluasi
yang
digunakan
dalam
model
pembelajaran
konvensional dilihat dari tes semata, sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran ini tidak memerhatikan pengalaman siswa. Dengan penjelasan di atas terkait dengan perbedaan model CTL dan model pembelajaran konvensional akan memberikan kesan bahwa model CTL lebih unggul dibandinkan model pembelajaran konvensional/tradisional yang masih masih banyak diterapkan selama ini. Perbedaan model CTL dengan model pembelajaran konvensional/tradisional ini sangat membantu peneliti sebagai pedoman dalam penelitian sehingga peneliti memiliki pijakan dalam menilai implementasi model CTL oleh guru dalam kegiatan pembelajaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
6. Konsep Diri a. Pengertian Konsep Diri Pada dasarnya seorang individu dalam kehidupannya berusaha untuk memperoleh arti tentang mereka hidup. Seseorang selalu memberikan pengertian terhadap apa yang mereka temukan dengan analisis yang mereka punya, walaupun apa yang mereka artikan itu berbeda dengan arti yang sebenarnya. Pengertian awal yang dimiliki oleh seseorang itulah yang disebut dengan konsep. Menurut Hurlock (1999: 41) berbicara masalah konsep bukan kesan indera langsung, melainkan hasil pengolahan dan kombinasi-penggabungan, atau perpaduan kesan indera yang terpisah-pisah. Lebih lanjut Hurlock (1999: 41) menjelaskan bahwa konsep bersifat simbolis sebab bergantung pada sifat situasi yang dihadapi maupun situasi lain, dan sifat benda, sehingga membuat konsep berubah secara berkesinambungan dengan adanya pengalaman dan penambahan pengetahuan baru. Tyson, James C. & Mary Ann Carroll (1970 : 25) menambahkan bahwa “A concept is an inference based upon the notation of recurrence in the context of variance which enables one to order and organize experience”. Konsep inilah yang kian hari semakin berkembang seiring dengan kemampuan intelektual seseorang yang didapat dari berbagai pengalaman dan pengetahuan. Berbicara masalah perkembangan sebuah konsep yang dimiliki seseorang Hurlock (1990: 39) menyatakan bahwa dua periode utama yang mencakup empat tahapan yang berlangsung dalam perkembangan konsep commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
seseorang. Dua periode itu yang dimaksudkan yaitu periode inteligensi sensorimotor dan periode intelegensi konseptual, sedangkan empat tahapan itu terdiri dari tahap sensorimotor, tahap praoprasional, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal. Periode inteligensi sensorimotor merupakan periode pengembangan atau eksplorasi pengertian akan dirinya sebagai terpisah dan berbeda dari lingkungan, hubungan sebab-akibat, waktu dan ruang. Periode ini meliputi tahap pertama rangkaian perkembangan kognitif yaitu tahap sensoriomotor. Periode selanjutnya yaitu periode inteligensi konseptual yang merupakan proses penalaran yang lebih abstrak dan pemecahan masalah. Periode ini meliputi tahap praoperasional, tahap operasi konkret, tahap operasi formal. Tahapan inilah yang berfungsi sebagai faktor perubahan dalam perkembangan konsep, dimana konsep meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan anak. Dengan kata lain seorang individu semakin siap dalam mengasosiasikan arti baru dengan pengalaman lama. Beberapa konsep umum yang dimiliki seseorang individu, satu di antaranya yang paling penting yaitu konsep diri. Konsep diri atau self-concept merupakan “evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri” (Santrock, 2003: 336). Dalam hal ini konsep diri lahir adanya seseorang yang yang ingin memahami dirinya. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Calhoun, James F. & Joan Ross Acocella (1990: 66) bahwa konsep diri itu merupakan “ramalan yang dipersiapkan untuk diri sendiri”. Konsep diri merupakan permulaan yang baik, karena bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman kita atau pikiran kita, perasaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
kita, persepsi kita, dan tingkah laku kita. Hal senada juga disampaikan oleh Hurlock (1990: 58) bahwa konsep diri merupakan “gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya”. Lebih lanjut Hurlock menyampaikan bahwa konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang tentang diri mereka sendiri, yang berupa karakteristik fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Menurut Rakhmat (2009: 99) konsep diri merupakan “pandangan dan perasaan kita tentang diri kita”. Lebih lanjut persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis, sehingga konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian anda tentang diri anda. Jadi pada dasarnya konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda rasakan terhadap diri anda. Rakhmat (2009: 100) menambahkan konsep diri memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra-diri (self image) dan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem). Pada dasarnya lebih lanjut Wiliam D. Brooks dan Philip Emmert (dalam Rakhmat, 2009: 100) menyampaikan komponen tersebut sangat berpengaruh terhadap pola komunikasi interpersonal. Selain itu, dalam konsep diri juga mengenal dimensi, di mana terdiri dari pengetehuan, harapan dan penilaian (Calhoun, James F. & Joan Ross Acocella, 1990: 67-71).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
b. Jenis-Jenis Konsep Diri Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, baik dengan sesama manusia (proses sosialisasi) maupun bukan manusia (hubungan non sosial), tentunya muncul pandangan diri anda tentang anda sendiri yang sering disebut konsep diri atau potret diri. Potret-diri inilah yang dapat dibagi menjadi tiga dimensi yaitu : pengetahuan anda tentang diri anda sendiri, pengharapan anda mengenai diri anda, dan penilaian tentang diri anda-sendiri (Calhoun James F & Joan Ross Acocella, 1995: 67-78). Lebih lanjut, Calhoun James F & Joan Ross Acocella mengatakan bahwa perkembangan konsep diri ketika lahir tidak memiliki konsep diri terkait dengan dimensinya yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, tidak memiliki pengharapan bagi diri anda sendiri, serta tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri. Berkembangnya konsep diri dikarenakan oleh adanya sentuhan dari lingkungan, yang membentuk sedikit demi sedikit konsep dasar yang merupakan bibit konsep diri. Namun, dengan tumbuhnya anak, konsep dirinya tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan yang serius. Konsep diri tentu saja terus berkembang sepanjang hidup, tetapi cenderung berkembang sepanjang garis yang telah terbentuk pada awal masa kanak-kanak. Lebih lanjut, perkembangan konsep diri ini ditentukan oleh sumber pokok informasi yaitu dari orang lain seperti : orang tua, teman sebaya, dan masyarakat. Dalam pengembangnya konsep diri dapat dibagi menjadi konsep diri negatif dan dan konsep diri positif (Calhoun, James F. & Joan Ross Acocella commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
1995: 72; Rakhmat, 2009 : 105). Konsep diri negatif terdapat dua jenis, yaitu (1) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan stabil dan keutuhan, dan (2) Pandangan yang merupakan lawan dari yang pertama, di sini konsep diri terlalu stabil, dan terlalu teratur. Sedangkan untuk konsep diri positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri dengan kata lain dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri. William D. Brooks dan Philip Emmert yang dikutip Rakhmat (2009: 105) merumuskan beberapa karakteristik orang yang memiliki konsep diri negatif, di antaranya sebagai berikut. 1) Ia peka pada kritik, dalam kenyataannya orang ini mudah marah, karena pada dasarnya kritik dipersepsikan sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. 2) Ia selalu responsif terhadap pujian, walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. 3) Ia mempunyai sifat hiperkritis, dalam hal ini ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan siapa pun. 4) Ia cenderung merasa tidak disenangi orang lain, ia merasa tidak diperhatikan, karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuhnya, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
5) Ia selalu bersikap pesimis terhadap kompetisi atau persaingan dengan orang lain dalam membuat prestasi. Hal ini dilengkapi oleh D.E. Hamachek yang dikutip Rakhmat (2009: 106) yang menyebutkan beberapa karakteristik orang yang mempunyai kosep diri positif, di antaranya sebagai berikut. 1)
Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Namun dalam perkembangnya, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan salah.
2)
Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
3)
Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
4)
Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5)
Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
6)
Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
7)
Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima pengahargaan tanpa merasa bersalah.
8)
Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9)
Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
10) Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu. 11) Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan social yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Berpegangan dari uraian yang dijelaskan sebelumnya ada banyak teori tentang konsep diri, namun dalam penelitian ini akan menggunakan dimensi konsep diri dari pendapatnya Hurlock yang disederhanakan menjadi 3 yaitu : (1) konsep diri fisik, (2) konsep diri akademis, dan (3) konsep diri sosial, dengan beberapa indikator sebagai berikut : (a) penampilan, (b) bentuk fisik, (c) kecerdasan, (d) ketekunan, (e) kemauan, (f) kesungguhan, (g) prestasi, (h) kepemimpinan, (i) prakarsa, (j) kerjasama, dan (k) toleransi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
B. Penelitian yang Relevan
1.
Yohanes Adi Pideksa (2009) yang berjudul “Pengaruh Pelaksanaan Model Pembelajaran Kontekstual dan Konvensional pada Materi aljabar terhadap Prestasi Belajar Matematika ditinjau dari Motivasi siswa”. Hasil dari penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual pada materi aljabar menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Pada dasarnya dalam penelitian ini dijelaskan bahwa siswa menjadi aktif dalam kegiatan belajar, serta lebih mudah memahami dan mengingat bahan pelajaran, sebab dalam pembelajaran kontekstual siswa dituntut mengalami sendiri proses menemukan suatu konsep dan bukan hanya menhafal saja. Penelitian ini memiliki kesamaan terkait dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual, serta model pembelajaran pembandingnya yaitu model pembelajaran konvensional, sehingga penelian ini dapat menjadi acuan dalam pengembangan penelitian yang peneliti lakukan. Namun berbicara masalah hasil diperoleh, tentunya berbeda, di mana penelitian yang akan dilakukan berlangsung dalam pembelajaran sejarah.
2.
Subar Junanto (2006) yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Belajar Siswa Terhadap Pencapaian Kompentensi Mata Pelajaran Kewarganegaraan pada Siswa Kelas VII SMP Negeri Rayon Timur, Kabupaten Sragen Tahun Ajaran 2005/2006”. Hasil dari penelitian commit penggunaan to user ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
kontekstual dalam pencapaian kompetensi mata pelajaran kewarganegaraan memperoleh skor yang lebih baik dibandingkan dengan pencapaian kompetensi yang diperoleh dengan pendekatan pembelajaran ekspositori. Dengan kata lain dapat disimpulkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontektual dapat meningkatkan prestasi siswa. Penelitian ini mempunyai relevansi yaitu mengenai konsep pembelajaran kontekstual. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah digunakan dalam mata pelajaran sejarah dan materi yang berbeda. Kemudian model yang digunakan sebagai pembanding dalam penelitian Subar Junanto adalah model ekspositori, sedangkan dalam penelitian ini adalah menggunakan model konvensional. Walaupun demikian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian yang peneliti lakukan. 3.
Widarta (2009) yang berjudul “Hubungan Antara Sikap Nasionalisme dan Tingkat Pemahaman Tentang Masyarakat Multikultural dengan Wawasan Jati Diri Bangsa, Siswa SMA Negeri di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa menumbuhkan aktualisasi jati diri bangsa dengan sikap nasionalisme tidak boleh diabaikan terkait dengan membangun pemahaman tentang masyarakat multikultural. Dengan kata lain sikap nasionalisme menjadi salah satu hal penting yang menentukan perkembangan tingkat pemahaman tentang wawasan jati diri bangsa. Semakin tinggi sikap nasionalisme yang dimiliki semakin tinggi juga wawasan tentang jadi diri bangsa. Penelitan ini mempunyai relevasi terkait dengan konsep sikap nasionalisme untuk mengetahui pemahaman commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
yang dimiliki siswa dalam menyikapi permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian Widarta lebih kearah penelitian korelasi atau hubungan antara variabel-variabelnya, sedang penelitian ini mencoba untuk mengarah ke perbadingan antara variabel antara model pembelajaran, konsep diri dan sikap nasionalisme. 4.
Jumadi (2002) yang berjudul “Hubungan antara Konsep Diri dan Minat Belajar Sejarah dengan Pemahaman Sejarah Indonesia dan umum pada siswa SMU Negeri di Boyolali”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa konsep diri tidak dapat diabaikan karena dapat mempengaruhi siswa dalam pemahaman sejarah Nasional Indonesia dan Umum. Konsep diri sebagai faktor internal dapat dijelaskan bahwa siswa yang memiliki konsep diri yang tinggi dapat mendukung pemahaman sejarah Indonesia dan umum lebih baik daripada siswa yang memiliki konsep diri rendah. Penelitian ini mempunyai relevansi terkait dengan konsep diri yang dimiliki oleh peserta didik. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terkait dengan arah penelitian yang digunakan oleh Jumadi lebih ke arah penelitian korelasi atau hubungan, sedang dalam penelitian ini lebih ke arah eksperimen. Kemudian, perbedaan yang dapat dilihat lagi adalah masalah objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mengambil sampel SMP Negeri di Kota Madya Surakarta, sedangkan dalam penelitian Jumadi mengambil sampel SMU Negeri di Boyolali. Dengan kata lain, perbedaan ini muncul dari jenjang sekolah yang diambil, dan tentunya akan mendapatkan hasil yang berbeda. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
5.
Gusraredi (1998) yang berjudul “Kontribusi Konsep Diri dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar Sejarah”. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa konsep diri tidak dapat menjadi prediktor yang baik terhadap prestasi belajar sejarah, namun konsep diri dapat menjadi prediktor yang baik bagi motivasi mahasiswa belajar sejarah kontenporer. Dengan kata lain dapat disampaikan bahwa konsep diri merupakan faktor internal, namun dalam perkembangannya konsep diri di masing-masing individu sebagai daya dukung tentunya berbeda antar individu, tergantung dari pengalaman dan lingkungannya. Penelitian ini mempunyai relevansi tekait dengan konsep diri peserta didik dalam mata pelajaran sejarah. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sampel yang digunakan dalam penelitian dan materi yang akan diajarkan.
C. Kerangka Berpikir
1. Perbedaan
Penggunaan
Model
CTL
dan
Model
Pembelajaran
Konvensional terhadap Sikap Nasionalisme Dalam kegiatan pembelajaran metode diperlukan oleh guru dan penggunaanya secara bervariasi, disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Guru tidak harus terpaku pada salah satu strategi pembelajaran saja, melainkan dapat menggunakan berbagai strategi sehingga jalannya pembelajaran tidak membosankan. Model CTL dapat dipilih untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam pembelajaran. Dalam model ini, siswa dilibatkan secara penuh dalam kegiatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
pembelajaran dan siswa didorong untuk beraktifitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam kegiatan pembelajaran model CTL siswa bukan lagi sekedar mencatat dan mendengarkan, tetapi siswa lebih diarahkan untuk mengkonstruksi pengalamannya secara langsung dengan harapan perkembangan siswa terjadi secara utuh, tidak hanya berkembang dalam aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Hal yang tidak kalah penting juga, dalam pembelajaran dengan menggunakan model CTL, siswa dipancing untuk bisa memunculkan sikap nasionalisme. Selebihnya, pembelajaran konvensional merupakan suatu proses pembelajaran yang berpijak pada gaya-gaya lama atau tradisional yang masih bersifat konvensional. Dalam hal ini pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah ceramah. Konsep pembelajaran ini masih berpusat pada guru. Guru adalah satu-satunya sumber pengetahuan dalam sebuah pembelajaran. Dalam penelitian ini proses pembelajaran kontekstual diharapkan lebih baik dari pembelajaran konvensional terkait dengan sikap nasionalisme. Konsepnya model CTL
memberi kesempatan lebih kepada siswa untuk
menunjukkan pemahamannya dan menerapkan pengetahuan, serta keterampilan dan kebiasaan berpikir dalam berbagai konteks serta belajar menjadi lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di samping itu juga dapat menghasilkan karya nyata dari proses atau perbuatannya yang dapat diamati dan dinilai. Oleh karena itu, dengan model CTL dalam pembelajaran sejarah siswa bisa memulai mengevaluasi dan mengkontruksi kembali sikap nasionalisme yang dimilikinya dalam membangun bangsa ke depan. Siswa diharapkan memaknai setiap topik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
yang dipelajari kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang, sehingga sikap nasionalisme terbentuk dengan baik. 2. Perbedaan Konsep Diri Tinggi dan Konsep Diri Rendah terhadap Sikap Nasionalisme Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan faktor bawaan dari lahir, melainkan terbentuk seiring dengan proses sosialisasi serta interaksi antara individu dengan lingkungannya yang berjalan secara terus-menerus dan terdeferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya karena konsep diri berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri siswa, guru lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku seorang siswa. Konsep diri penting bagi setiap individu karena konsep diri dapat menuntun perilaku untuk lebih adaptif dengan lingkungan, agar dapat melaksanakan fungsi sosial dalam hidup bermasyarakat dengan baik. Informasi pengharapan dan pengertian yang membentuk konsep diri terutama berasal dari interaksi dengan orang lain baik itu orang tua, teman sebaya dan lingkungan masyarakat disekitar kita. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku atau perilaku yang memberi arah kepada sikap seseorang terhadap objek. Sikap dalam hal ini diartikan sebagai tingkah laku yang berdasar pada keyakinan. Pengertian lain mengenai sikap adalah pandangan hidup bisa bersifat sementara atau permanen (selama-lamanya). Namun untuk keduanya tetap perlu memahami commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
dulu karakteristik suatu objek sebelum memberikan respon. Apalagi untuk menentukan sikap sebagai pandangan hidup, seseorang harus benar-benar mengetahui, menggali dan menguji semua informasi tentang objeknya. Jika dihubungkan dengan penelitian ini tentunya siswa yang mempunyai konsep diri yang tinggi akan juga berpengaruh terhadap sikap nasionalisme yang mereka miliki, begitu pula sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri rendah akan berpengaruh terhadap sikap nasionalisme. 3.
Interaksi antara Model CTL dan Model Pembelajaran Konvensional terhadap Sikap Nasionalisme ditinjau dari Konsep Diri Beberapa komponen dalam dunia pendidikan saling terkait antara satu
dengan yang lain. Komponen yang dimaksudkan adalah konsep diri dan sikap nasionalisme siswa dalam pembelajaran. Sikap nasionalisme siswa ditentukan oleh kesesuaian antara kondisi siswa yang dimaksud disini adalah konsep diri dengan pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Apabila pembelajaran yang diterapakan tersebut tidak sesuai dengan konsep diri siswa mungkin saja akan menghasilkan sikap nasionalisme yang berbeda. Bagi siswa yang memiliki konsep diri tinggi dengan Model CTL dalam pelajaran sejarah, sikap nasionalismenya ada lebih tinggi dari pada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Sebaliknya bagi siswa yang memiliki konsep diri rendah dengan Model CTL dalam pelajaran sejarah ada mempunyai sikap nasionalisme yang lebih tinggi jika dibanding dengan siswa yang melakukan pembelajaran konvensional. Dengan demikian diduga terdapat kontribusi konsep diri terhadap sikap nasionalisme commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
siswa disamping pengaruh pembelajaran itu sendiri terhadap sikap nasionalisme siswa. Model Pembelajaran Kontekstual Meningkatkan Sikap Nasionalisme Konsep Diri
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pikir Penelitian
D. Hipotesis Penelitian Dari kerangka pemikiran di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara penggunaan model pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta. 2. Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan sikap nasionalisme antara siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah. 3. Terdapat interaksi yang positif dan signifikan antara model CTL dalam pembelajaran sejarah di SMP Negeri Kota Madya Surakarta dengan konsep diri terhadap sikap nasionalisme siswa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Madya Surakarta yaitu : di SMP Negeri 19 Surakarta, SMP Negeri 24 Surakarta, SMP Negeri 25 Surakarta. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : a. Penggunaan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) masih jarang digunakan dalam pembelajaran sejarah di SMP Negeri se-Kota Madya Surakarta. b. Lokasi sekolah berada di daerah perkotaan, di mana asumsi awalnya daerah perkotaan memiliki sikap nasionalisme yang rendah dibandingkan dengan sekolah yang berada di daerah pedesaan. Dasar pemikirannya adalah kehidupan di perkotaan bersifat heterogen dan terbuka, sehingga rasa nasionalisme masih sangat disanksikan. c. Jumlah populasi memungkinkan untuk dilakukan penelitian.
2. Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Negeri Kelas IX Semester 1 Tahun Pelajaran 2011/2012 di Kota Madya Surakarta selama sepuluh bulan yaitu dari bulan September 2011 sampai dengan Juni 2012. Kegiatan commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
penelitian meliputi persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan. Waktu dan kegiatan penelitian secara terperinci seperti tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 . Jadwal Penelitian No. 1.
2011
Kegiatan Persiapan dan perijinan
2.
Sep
Okt
√
√
Uji coba dan analisis
Des
Pelaksanaan
Peb
Mar
√
√
√
Apr
Mei
Jun
√
√
√
√
Penelitian
√
a. Eksperimen
√
b. Analisis data 4.
Jan
√
instrumen penelitian 3.
Nov
Penulisan laporan
B. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian Experimental. Menurut Sugiyono (2009 : 114) mengatakan bahwa “bentuk eksperimen
ini
merupakan
pengembangan
dari
true
experimental
design”…“desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen”. Dalam pengembangannya penelitian ini menggunakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
bentuk desain Nonequivalent Control Group Design. Pengembangan ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Kelas Eksperimen
Model
Konsep Diri
CTL Sikap Nasionalisme Model
Kelas Kontrol
Konsep Diri
Pembelajaran Konvensional
Gambar 3.1 : Bagan Pengembangan Nonequivalent Control Group Design Dalam gambar di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat pembagian kelompok menjadi dua bagian, yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen merupakan kelompok yang mendapatkan perlakuan, yakni dengan penggunaan model CTL dalam pembelajaran sejarah, sementara itu kelompok kontrol adalah kelompok pembanding yang dalam pembelajaran sejarah tidak diberikan perlakuan, maksudnya tetap menggunakan model pembelajaran konvensional, yaitu metode ceramah. Dengan demikian, dapat diketahui pengaruh variabel-variabel independen (penggunaan model CTL sebagai variabel independen manipulatif dan konsep diri sebagai variabel atributif) terhadap variabel dependen (sikap nasionalisme). Dalam hal ini antara variabel independen manipulatif dan atributif bisa terjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
saling mempengaruhi baik itu bersifat memperkuat atau memperlemah variabel dependennya. Di bawah ini desain yang digunakan dalam penelitian, yaitu desain factorial 2 x 2 dengan teknik analisis varian (Anava Two Way). Tabel 3.2 Rancangan Penelitian Desain Faktorial 2 x 2 Konsep Diri (B) Konsep Diri Rendah (B1) Konsep Diri Tinggi (B2)
Model Pembelajaran (A) Konvensional (A1) CTL (A2) A1B1
A2B1
A1B2
A2B2
Keterangan : A1
: kelompok siswa yang diberi perlakuan model pembelajaran konvensional.
A2
: kelompok siswa yang diberi perlakuan model CTL.
B1
: kelompok siswa dengan konsep diri rendah.
B2
: kelompok siswa dengan konsep diri tinggi.
A1B1
: kelompok siswa dengan konsep diri rendah yang diberikan perlakuan model pembelajaran konvensional.
A1B2
: kelompok siswa dengan konsep diri tinggi yang diberikan perlakuan model pembelajaran konvensional.
A2B1
: kelompok siswa dengan konsep diri rendah yang diberikan perlakuan model CTL.
A2B2
: kelompok siswa dengan konsep diri tinggi yang diberikan perlakuan model CTL.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
C. Definisi Operasional Penelitian ini melibatkan tiga variabel, yaitu dua variabel bebas (model pembelajaran sebagai variabel manipulatif dan konsep diri sebagai variabel atributif) serta satu variabel terikat, yaitu sikap nasionalisme. Uraian dari ketiga variabel penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Model CTL adalah konsep pembelajaran yang penerapannya terdapat beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian antara lain yaitu : siswa didorong untuk merekontruksi sendiri pengetahuan dalam pembelajaran secara kelompok dengan anggota yang heterogen. Anggota kelompok dapat saling menerima atau memberi masukan dan pertanyaan. Dalam pembelajaran ini guru sangat diperlukan, namun siswa juga sangat berperan dalam kegiatan pembelajaran terkait dengan posisinya sebagai model. Pada akhir pembelajaran siswa memberikan kesimpulan, sedang penilaian dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung, karena dalam pembelajaran kontekstual penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar, tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Sedangkan model pembelajaran konvensional adalah penerapan pembelajaran yang umumnya dilakukan sampai sekarang dalam mata pelajaran sejarah, pembelajaran yang dimaksudkan adalah pembelajaran yang menggunakan ceramah atau penyampaian materi dengan lisan. Pembelajaran ini jika dilihat dari segi landasan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
epistemologinya kurang memberikan porsi lebih banyak kepada siswa sebagai upaya konstruksi pengetahuan yang terbingkai dalam proses pembelajaran. Guru lebih dominan dalam pembahasan dan pengembangan materi dibandingkan dengan siswa sebagai objek, sehingga dalam proses pembelajaran itu lebih terlihat sebagai pola mentranfer ilmu pengetahuan secara utuh dari guru kepada siswa. Pada dasarnya dalam penelitian ini penggunaan model CTL dan konvensional terarah pada satu tujuan yaitu terkait dengan sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa. Dengan penggunaan model CTL diharapakan sikap nasionalisme siswa lebih baik daripada penggunaan model pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh guru. Penggunaan model CTL dan konvensional tentunya disesuaikan dengan Standar Kompetensi (SK) “Memahami Usaha Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia”
dengan
Kompetensi
Dasar
(KD)
“Mengidentifikasi Usaha Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”. Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di atas akan dipersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai pedoman masing-masing model pembelajaran tersebut, sedangkan penerapannya akan dibantu oleh guru model, yaitu guru sejarah Kelas IX di SMP Negeri 19 Surakarta sebagai sekolah eksperimen dan SMP Negeri 25 Surakarta sebagai sekolah kontrol. 2. Konsep diri merupakan gambaran, cara pandang, keyakinan, pemikiran dan perasaan terhadap hal-hal yang dimiliki oleh seseorang tentang dirinya sendiri, misalnya kemampuan, karakter diri, sikap, perasaan, kebutuhan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
tujuan hidup, dan penampilan diri. Dengan kata lain konsep diri itu merupakan cerminan seseorang untuk menilai, mengukur, atau menakar hal-hal yang ada dalam dirinya. Konsep diri ini meliputi konsep diri fisik, konsep diri akademik, dan konsep diri sosial. Dimensi dari konsep diri dalam penelitian ini akan memperoleh data dari menyebarkan kuesioner. Sedangkan alat ukur instrumen menggunakan skala Likert, dimana pernyataan yang diajukan baik pernyataan positif maupun negatif dinilai oleh subjek dengan jawaban sangat setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju (KS), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan rentangan skor 1-5 untuk pernyataan negatif dan kebalikannya rentangan skor 5-1 untuk pernyataan positif. Pedoman yang digunakan dalam menentukan konsep diri tinggi dan rendah adalah rata-rata (mean) skor konsep diri yang diperoleh dengan kuesioner konsep diri. Kriteria konsep diri tinggi jika skornya di atas atau sama dengan rata-rata, sedangkan rendah jika di bawah rata-rata dari seluruh sampel baik itu kelompok eksperimen maupun kontrol. 3. Sikap nasionalisme adalah kesadaran siswa untuk cenderung menerima, merespon, menilai, dan menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang lahir dari sosialisasi melalui suatu pembelajaran sehingga menumbuhkan rasa memiliki dan berkewajiban mempertahankan keberadaan bangsanya. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada sikap nasionalisme siswa terhadap materi-materi yang berkaitan dengan wawasan kebangsaan. Dengan demikian objek yang dilihat dari sikap nasionalisme siswa adalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
terkait dengan wawasan kebangsaan yang dimunculkan dalam beberapa dimensi yakni : (1) sejarah perjuangan bangsa, (2) kesadaran nasional sebagai suatu bangsa, (3) sikap nasionalisme inovatif dan kreatif yang dimunculkan di era sekarang. Data sikap nasionalisme siswa dikumpulkan mengikuti dimensi-dimensi di atas yang dimunculkan
dalam bentuk
kuesioner. Dalam penelitian ini, terkait dengan tiga dimensi di atas mengacu pada materi perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan di awal tahun 1945 sampai 1949.
D. Populasi, Sampel dan Sampling 1. Populasi Menurut Sugiyono (2009 : 117) “populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa populasi merupakan suatu komunitas yang di dalamnya terdapat aspek-aspek tertentu yang diselidiki oleh peneliti. Aspek-aspek yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah pengaruh model CTL terhadap sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Koda Madya Surakarta ditinjau dari konsep diri. Populasi penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Madya Surakarta, namun bukan siswa secara langsung, melainkan sekolah yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Madya Surkarta yang berjumlah 27 sekolah. Populasi yang diambil bersifat homogen karena memiliki derajat keseragaman yaitu siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
Negeri di Kota Madya Surakarta dengan alasan materi sejarah yang diajarkan yaitu “Mendeskripsikan usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia” untuk menumbuhkan sikap nasionalisme yang tinggi. Siswa yang memiliki sikap nasionalisme tinggi biasanya memiliki konsep diri yang kuat, sehingga siswa mampu mengerti hakikat dari nasionalisme dalam peristiwa sejarah. 2. Sampel dan Sampling Sampel merupakan “bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut” (Sugiyono, 2009 : 118). Dalam penelitian ini, semua sekolah mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Hal
ini
dikarenakan oleh, dari 27 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Madya Surakarta, semuanya merupakan sekolah negeri yang memiliki kurikulum dan kompetensi dasar yang sama. Sampling merupakan “teknik pengambilan sampel” (Sugiyono, 2009 : 118). Teknik pengambilan sampel yang dialakukan dalam penelitian ini adalah multistage sampling (teknik pengambilan sampel secara bertahap) yang diberlakukan bagi kelompok SMP Negeri yang ada di Kota Madya Surakarta. Adapun tahapan pengambilan sampel itu diuraikan sebagai berikut. a. Menentukan sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian dengan menggunakan random sampling, dimana dilakukan penarikan sampel secara acak untuk menentukan sekolah yang menjadi sampel dari 27 sekolah di Kota Madya Surakarta. Berdasarkan sampling tersebut terpilih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
tiga sekolah, yaitu SMP Negeri 19 Surakarta, SMP Negeri 24 Surakarta, SMP Negeri 25 Surakarta. b. Menentukan sekolah sebagai kelompok uji coba instrumen, eksperimen, dan kontrol dengan cara random sampling. Dari tiga sekolah yang terpilih, secara random terpilih SMP Negeri 24 Surakarta dijadikan sebagai kelompok uji coba instrumen, SMP Negeri 19 Surakarta sebagai kelompok eksperimen, dan SMP Negeri 25 Surakarta sebagai kelompok kontrol. c. Menentukan kelas yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian terkait dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual terhadap sikap nasionalisme. Dalam penentuan kelas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan cara proposive sampling. Adapun kelas yang dijadikan tempat penelitian adalah kelas IX, hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi yaitu “memahami usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia”, dengan Kompetensi Dasar yaitu “mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. d. Menentukan kelas uji coba instrumen, eksperimen, dan kontrol dengan menggunakan random sampling, di mana dilakukan penarikan secara acak untuk menentukan kelas di kelompok uji coba instrumen, eksperimen, dan kontrol. Berdasarkan sampling tersebut terpilih tiga kelas dari hasil penentuan, yaitu kelas IX-C yang berjumlah 30 siswa di SMP Negeri 24 Surakarta sebagai kelas uji coba instrumen, kelas IX-E yang berjumlah 30 siswa di SMP Negeri 19 Surakarta sebagai kelas eksperimen, kelas IX-D commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
yang berjumlah 30 siswa di SMP Negeri 25 Surakarta sebagai kelas kontrol. Jadi, dari tahapan sampling yang dilakukan diperoleh sampel keseluruhan kelas baik itu kelas uji coba instrumen, kelas eksperimen, kelas kontrol berjumlah 90 siswa. Dalam hal ini kelas eksperimen dikenai perlakuan dengan model CTL, sedangkan kelas kontrol dikenai perlakuan model pembelajaran konvensional.
E. Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada adalah metode kuesioner. Menurut Sugiyono (2009 : 199) kuesioner merupakan “tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya”. Kuesioner yang dikembangkan dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang konsep diri dan sikap nasionalisme. Kuesioner yang dikembangkan untuk melihat variabel konsep diri dan sikap nasionalisme menggunakan skala pengukuran yang dikembangkan oleh Likert dengan rentang angka 1 sampai 5. Dasar pertimbangan menggunakan skala Likert dalam penelitian ini terkait dengan variabel konsep diri adalah sebagai berikut. 1) Untuk memperoleh informasi tentang diri responden terkait dengan variabel konsep diri. 2) Mempermudah responden untuk menjawab pernyataan yang dinilai paling sesuai dengan dirinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
3) Mempermudah pelaksanaan penelitian terkait dengan skor yang sudah ditentukan. Pegembangan skala Likert dalam penelitian ini mempunyai lima katagori jawaban dan sistem penskorannya, sebagai berikut. a. Skor untuk item positif, dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Sangat Setuju
: Skor 5
2) Setuju
: Skor 4
3) Kurang Setuju
: Skor 3
4) Tidak Setuju
: Skor 2
5) Sangat Tidak Setuju
: Skor 1
b. Skor untuk item negatif dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Sangat Setuju
: Skor 1
2) Setuju
: Skor 2
3) Kurang Setuju
: Skor 3
4) Tidak Setuju
: Skor 4
5) Sangat Tidak Setuju
: Skor 5
Pengembangan kuesioner ini didasarkan pada indikator-indikator sesuai dengan landasan teori yang dituangkan dalam bentuk kisi-kisi kuesioner konsep diri. 2. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah “suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati” (Sugiyono, 2009 : 148). Dalam hal ini fenomena alam maupun sosial itu merupakan variabel penelitian. Instrumen commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
penelitian ini merupakan cerminan dari apa yang kita ukur. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berupa kuesioner konsep diri dan sikap nasionalisme.
3. Uji Coba Instrumen Sebelum mengambil data penelitian, instrumen yang berupa kuesioner untuk mengukur konsep diri dan sikap nasionalisme terlebih dahulu diujicobakan. Uji coba instrumen dilaksanakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas intrumen
penelitian.
Dari
uji
coba
inilah
kemudian
dianalisis
untuk
mempertimbangkan apakah butir pernyataan dalam instrumen penelitian layak atau tidak untuk digunakan sebagai instrumen pengumpulan data pada penelitian yang sebenarnya. Dengan kata lain, instrumen yang valid dan reliabel saja yang akan digunakan dalam penelitian, sedangkan instrumen yang tidak valid dan tidak reliabel akan dianulir atau dibuang. a. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Konsep Diri 1) Uji Validitas Uji validitas butir kuesioner konsep diri dilakukan dengan skor butir dipandang sebagai X dan skor total dipandang sebagai Y, kemudian diuji validitasnya dengan rumus korelasi product moment, sebagai berikut.
√[
]
Keterangan :
rxy Y
= koefesien validitas commit to user = Skor rata-rata dari Y
(Arikunto, 2003: 327)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
∑xy
= jumah butir dikalikan skor total
X
= skor rata-rata dari X
n
= jumlah peserta tes Hasil penghitungan kemudian dibandingkan dengan angka kritik dari
tabel korelasi nilai r dengan taraf signifikansi 5%. Kriteria pengujian valid jika r hitung > r tabel atau tidak valid jika r hitung < r tabel. Berdasarkan hasil uji validitas dengan rumus korelasi product moment diketahui bahwa butir soal yang valid 35 butir, yaitu nomor 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 38, 39, dan 40. Dari 35 butir kuesioner yang sudah valid, terhitung sudah mewakili semua indikator yang tercantum dalam kisi-kisi, sehingga semua butir kuesioner yang valid dapat digunakan dalam penelitian ini (Analisis validitas kuesioner konsep diri dapat dilihat pada lampiran 2.4) 2)
Uji Reliabilitas Reliabilitas juga dapat diartikan sama dengan konsistensi atau keajegan.
Suatu instrumen dikatakan mempunyai nilai reliabilitas tinggi, apabila tes yang dibuat mempunyai hasil konsisten dalam mengukur yang hendak diukur. Dalam penelitian ini untuk mencari reliabilitas kuesioner menggunakan tehnik Alpha Cronbach sebagai berikut. r 11
2 n si = 1 2 st n 1
dengan: to user r 11 = indeks reliabilitascommit instrument
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
n
= banyaknya butir instrument
s i2
= variansi belahan ke-i, i= 1,2,…,k (k≤n)
s t2
= variansi skor-skor yang diperoleh subjek uji coba
Kreteria: instrument reliable jika r 11 ≥ 0,70 (Arikunto, 2003 : 180) Berdasarkan hasil uji reliabilitas dengan rumus α – Cronbach diketahui bahwa reliabilitas kuesioner konsep diri adalah 0,958. Hal itu berarti kuesioner konsep diri dapat dikatakan reliabel karena r hitung = 0,958 > 0,70. (Analisis reliabilitas angket konsep diri selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.5). b. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Sikap Nasionalisme 1)
Uji Validitas Uji validitas butir kuesioner Sikap Nasionalisme dilakukan dengan skor
butir dipandang sebagai X dan skor total dipandang sebagai Y, kemudian diuji validitasnya dengan rumus korelasi product moment, sebagai berikut.
√[
]
Keterangan :
rxy
= koefesien validitas
Y
= Skor rata-rata dari Y
∑xy
= jumah butir dikalikan skor total
X
= skor rata-rata dari X
n
= jumlah peserta tes commit to user
(Arikunto, 2003: 327)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
Hasil penghitungan kemudian dibandingkan dengan angka kritik dari tabel korelasi nilai r dengan taraf signifikansi 5%. Kriteria pengujian valid jika r hitung > r tabel atau tidak valid jika r hitung < r tabel. Berdasarkan hasil uji validitas dengan rumus korelasi product moment diketahui bahwa butir soal yang valid 40 butir, yaitu nomor 1, 2, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 14, 16, 17, 19, 20, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 31, 33, 34, 36, 38, 40, 42, 43, 44, 45, 46, 49, 51, 52, 54, 55, 58, 59, 60, 62, dan 64. Dari 40 butir kuesioner yang sudah valid, terhitung sudah mewakili semua indikator yang tercantum dalam kisi-kisi, sehingga semua butir kuesioner yang valid dapat digunakan dalam penelitian ini (Analisis validitas kuesioner Sikap Nasionalisme dapat dilihat pada lampiran 3.4) 2) Uji Reliabilitas Reliabilitas merupakan ukuran yang menunjukkan hasil yang dapat dipercaya apabila alat ukur itu diujicobakan berkali-kali. Dalam penelitian ini untuk mencari reliabilitas kuesioner menggunakan tehnik Alpha Cronbach sebagai berikut. r 11
2 n si = 1 2 st n 1
dengan: r 11 = indeks reliabilitas instrument n
= banyaknya butir instrument
s i2
= variansi belahan ke-i, i= 1,2,…,k (k≤n)
s t2
commit to user = variansi skor-skor yang diperoleh subjek uji coba
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
Kreteria: instrument reliable jika r 11 ≥ 0,70 (Arikunto, 2003 : 180)
Berdasarkan hasil uji reliabilitas dengan rumus α – Cronbach diketahui bahwa reliabilitas kuesioner sikap nasionalisme adalah 0,961. Hal ini berarti kuesioner sikap nasionalisme dapat dikatakan reliable, karena r hitung 0,961 > 0,70. (Analisis reliabilitas angket konsep diri selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3.5).
F. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dianalisis untuk menguji kebenaran hipotesis dan memperoleh kesimpulan. Berdasarkan banyaknya faktor dari variabel bebas yang dilibatkan dalam penelitian ini maka rancangan analisis data menggunakan rancangan faktorial 2 x 2. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis variansi (Anava) dua jalan dengan maksud dapat mengetahui berapa besar pengaruh perlakuan terhadap respon dari eksperimen. Analisis variansi dua jalan (2 x 2) membutuhkan dua persyaratan, yaitu uji variansi yang sama (uji homogenitas) untuk setiap kelompok perlakuan dan populasi berdistribusi secara normal (uji normalitas). Untuk itu, sebelum uji hipotesis dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat, baik uji normalitas maupun homogenitas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
1. Uji Persyaratan Analisis Uji persyaratan analisis digunakan untuk membuktikan bahwa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berangkat dari titik tolak yang sama. Analisis ini terdiri atas uji normalitas dan uji homogenitas. a. Uji Normalitas Pengujian normalitas sampel menggunakan uji Lilliefors Significance Correction dari Kolmogorov-Smirnov pada taraf signifikansi α = 0,05. Berikut langkah yang dilalui terkait dengan teknik uji Lilliefors sebagai berikut : 1). Hipotesis H 0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. H 1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. 2). α = 0,05 3). Statistik uji yang digunakan : L = Maks F z i S z i Dengan F zi = P(Z≤z): Z ~ N (0,1) S(z i ) = proporsi cacah z≤z i , terhadap seluruh z i zi =
X1 X s
4). Daerah Kritik DK = L L La:n dengan n adalah ukuran sampel. 5). Keputusan uji H 0 diterima jika harga statistik uji terletak diluar daerah kritik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
(Budiyono, 2009 : 170-171)
Uji normalitas ditujukan terhadap H0 yang menyatakan bahwa sampel berasal dari populasi yang terdistribusi secara normal. Penerimaan dan penolakan H0 didasarkan pada kreteria jika nilai signifikansi > 0,05 maka distribusi data normal, sedangkan jika nilai signifikansi < 0,05 maka distribusi data tidak normal. b. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas variansi populasi menggunakan uji Levenee’s test of homogenity of variance pada taraf signifikansi α = 0,05 %. Dengan rumus yang diuraikan sebagai berikut :
S
2
f (x i
i
x) 2
n 1
F
S1 S2
F(1 p )( 1 . 2 )
1 Fp ( 1 2 )
(Sudjana, 1982: 91, 146, 242) Keterangan: N
: banyaknya subjek
X
: rerata
S
: simpangan baku
Penerimaan atau penolakan homogenitas didasarkan pada kriteria jika nilai signifikansi > 0,05 dan < 0.95 maka dapat dikatakan bahwa terdapat kesamaan varians (homogenitas) dua kelompok yang dibandingkan, commit to user sedangkan jika nilai sig. atau signifikansi < 0,05 atau > 0.95 maka dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
dikatakan bahwa tidak terdapat kesamaan varians (homogenitas) dua kelompok yang dibandingkan.
2. Uji Hipotesis Uji Hipotesis dalam analisis data penelitian menggunakan teknik analisis variansi dua jalan (desain faktorial 2 x 2) pada taraf signifikansi 0,05 dan dilanjutkan dengan uji komparasi ganda Scheffe. a.
Model untuk data pada populasi ini adalah: X ijk μ+α i j ij ijk Dengan: X ijk = data amatan ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j.
= rata-rata dari seluruh data i = i = efek baris ke-i pada variabel terikat.
j = j = efek kolom ke-j pada variabel terikat.
ij = ij i j = kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j pada variabel terikat.
ijk = deviasi data X ijk terhadap rataan populasi ij yang berdistribusi normal dengan rataan 0. i = 1, 2 dengan
commit to user 1 = Model Pembelajaran Konvensional
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
2 = Model Pembelajaran CTL j = 1, 2 dengan
1 = Konsep Diri rendah 2 = Konsep Diri tinggi (Budiyono, 2009 : 207).
b. Prosedur 1) Hipotesis: (a) H o A : 1 = 0 untuk setiap i = 1,2 Tidak ada pengaruh model pembelajaran terhadap sikap nasionalisme H 1A : paling sedikit ada satu 1 yang tidak nol Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap sikap nasionalisme (b) H o B : j = 0, untuk setiap j = 1, 2, 3 Tidak ada pengaruh konsep diri terhadap sikap nasionalisme H 1B : paling sedikit ada satu j yang tidak nol Terdapat pengaruh konsep diri terhadap sikap nasionalisme (c) H oA B : ( ) ij = 0, untuk setiap i = 1, 2 dan j = 1, 2 Tidak ada interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
H 1 AB : Paling sedikit ada satu ( ) ij yang tidak nol Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme 2) Taraf Signifikasi = 0,05 3) Komputasi Pada analisis variansi dua jalan dengan sel tidak sama, dilakukan perhitungan sebagai berikut: N=
n
ij
= banyaknya seluruh data amatan; dengan n ij = banyaknya dat
i, j
amatan pada sel ke-ij.
nh
pq = rerata harmonik frekuensi seluruh sel; 1 i , j nij
p = banyaknya baris q = banyaknya kolom
G2 (1) = ; dengan G = pq
AB
ij
= jumlah rataan semua sel
i, j
X ijk 2 (2) = SSij ; dengan SS ij = X ijk nijk k i, j
(3) =
i
2
Ai2 ; dengan A i =commit jumlah rataan pada baris ke-i j AB toij =user p
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
(4) =
B 2j
j
(5) =
q
AB
; dengan B j =
AB
ij
= jumlah rataan pada kolom ke-j
i
2 ij
; dengan AB ij = rataan pada sel ij
i, j
Kemudian dihitung lima jumlah kuadrat pada analisis variansi dua jalan pada sel tidak sama, yaitu jumlah kuadrat baris (JKA), jumlah kuadrat kolom (JKB), jumlah kuadrat interaksi (JKAB), jumlah kuadrat galat (JKG), dan jumlah total (JKT) dengan rumus sebagai berikut: JKA = n h 3 1 JKB = n h 4 1 JKAB = n h 1 5 3 4 JKG = (2) JKT = JKA+JKB+JKAB+JKG Derajat kebebasan masing-masing jumlah kuadrat di atas adalah: dkA = p-1
dkB = q-1
dkAB = (p-1)(q-1)
dkG = N-pq
dkT = N-1 Selanjutnya menghitung rataan kuadrat sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
RKA =
JKA dk A
RKAB =
JKAB dk AB
RKB =
JKB dKB
RKG =
JKG dkG
4) Statistik Uji Fa =
RKA RKG
Fb =
RKB RKG
F ab =
RKAB RKG
5) Daerah Kritik: Untuk F a ; DK = {F/F>F ; p 1; N pq }
Untuk F b ; DK = {F/F> F :q 1; N pq }
Untuk F ab ; DK = {F/F> F ; p 1q 1; N pq } 6) Keputusan Uji: H o ditolak jika F obs DK (Budiyono, 2004:228-230) Berdasarkan uji analisis di atas dapat digunakan untuk menentukan langkah selanjutnya apakah perlu uji lanjut pasca ANAVA atau tidak. Jika H o A commit to user ditolak, maka tidak perlu dilakukan uji komparasi ANAVA antar baris, sebab
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
kalaupun dilakukan komparasi ganda antara rataan siswa yang menggunakan model CTL dan rataan siswa yang menggunakan model pembelajaran
konvensional, dapat dipastikan bahwa hipotesisnya juga akan ditolak (Budiyono, 2009: 219). Untuk mengetahui mana yang lebih baik dapat dilihat pada rataan marginalnya. Jika H o B ditolak, maka perlu dilakukan komparasi ganda pasca ANAVA antar kolom. Sedang jika H oA B ditolak, juga perlu dilakukan komparasi pada pasca ANAVA antar sel (Budiyono, 2009 : 215).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data Data yang telah terkumpul melalui penelitian ditabulasikan sesuai dengan keperluan analisis data yang tercantum dalam rancangan penelitian yang bertujuan untuk mendapat gambaran umum mengenai penyebaran atau distribusi data. Data hasil penelitian yang akan diolah dengan menggunakan Anova dua jalur yang terlebih dahulu akan dijabarkan deskripsi data masing-masing sel antarkolom dan antarbaris yang terdiri : (1) Data sikap nasionalisme siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran konvensional secara keseluruhan (A1), (2) Data sikap nasionalisme siswa yang diajarkan dengan model Contextual Teaching and Learning (CTL) secara keseluruhan (A2), (3) Data sikap nasionalisme siswa yang memiliki konsep diri rendah secara keseluruhan (B1), (4) Data sikap nasionalisme siswa yang memiliki konsep diri tinggi secara keseluruhan (B2), (5) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model pembelajaran konvensional dengan konsep diri rendah (A1B1), (6) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model pembelajaran konvensional dengan konsep diri tinggi (A1B2), (7) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model CTL dengan konsep diri rendah (A2B1), (8) Data sikap nasionalisme siswa yang diterapkan berupa model CTL dengan konsep diri tinggi (A2B2). commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
a. Data
Sikap
Nasionalisme
Siswa
dengan
Model
Pembelajaran
Konvensional Secara Keseluruhan (A1) Dari
hasil
analisis
mengenai
sikap
nasionalisme
siswa
dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional secara keseluruhan diketahui bahwa : N = 30, skor tertinggi = 189,00 dan skor terendah = 102,00 sehingga rentangannya (range) = 87. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 134,0333, Median = 137,5, Modus = 137,5, Standar Deviasi = 21,4114. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan model pembelajaran konvensional secara keseluruhan terdiri dari 6 kelas dengan panjang kelas 15. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas secara keseluruhan (A1) disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Secara Keseluruhan (A1) No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
Fkum (%)
1
102 – 116
7
23,333
23,333
2
117 – 131
8
26,667
50
3
132 – 146
4
13,333
63,333
4
147 – 161
10
33,333
96,667
5
162 – 176
0
0
96,667
6
177 – 191
1
3,333
100
30
100
Jumlah Sumber : Data Primer
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme dengan meggunakan model pembelajaran konvensional secara keseluruhan dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut.
Gambar 4.1 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Secara Keseluruhan (A1)
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 4 (13,33 %) berada pada kelompok rata-rata, 15 (50 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 11 (36.67 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa dengan menggunakan model pembelajaran konvensional secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas rata-rata sebanyak 19 (63,33 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 11 (36,67 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 30. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
b.
Data
Sikap
Nasionalisme
Siswa
dengan
Model
CTL
Secara
nasionalisme
siswa
dengan
Keseluruhan (A2) Dari
hasil
analisis
mengenai
sikap
menggunakan model CTL secara keseluruhan diketahui bahwa : N = 30, skor tertinggi = 196,00 dan skor terendah = 141,00 sehingga rentangannya (range) = 55. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 170,8333, Median = 172,167, Modus = 164,167, Standar Deviasi = 17,7513. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan model CTL secara keseluruhan (A2) terdiri dari 6 kelas dengan panjang kelas 10. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas secara keseluruhan dapat disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Secara Keseluruhan (A2) No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
1
141 – 150
5
16,667
16,667
2
151 – 160
6
20
36,667
3
161 – 170
3
10
46,667
4
171 – 180
6
20
66,667
5
181 – 190
5
16,667
83,334
6
191 – 200
5
16,667
100
Jumlah
30
100
Sumber : Data Primer
commit to user
Fkum (%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme dengan menggunakan model CTL secara keseluruhan dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut :
Gambar 4.2 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Secara Keseluruhan (A2)
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 6 (20 %) berada pada kelompok rata-rata, 14 (46,67 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 10 (33.34 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa dengan menggunakan model CTL secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas rata-rata sebanyak 20 (66,67 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 10 (33,34 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
c.
Data Sikap Nasionalisme Siswa Kelompok Konsep Diri Rendah (B1) Dari hasil analisis mengenai sikap nasionalisme siswa dengan konsep
diri rendah secara keseluruhan diketahui bahwa : N = 29, skor tertinggi = 180,00 dan skor terendah = 102,00 sehingga rentangannya (range) = 78. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 134, 0345, Median = 139,438, Modus = 137,167, Standar Deviasi = 21,9309. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan konsep diri rendah terdiri dari 6 kelas dengan panjang kelas 14. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas secara keseluruhan dapat disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Rendah (B1) No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
1
102 -115
7
24, 138
24,138
2
116 -129
7
24,138
48,276
3
130 – 143
3
10,345
58,621
4
144 -157
8
27,586
86,207
5
158 – 171
3
10,345
96,552
6
172 – 185
1
3,448
100
Jumlah
29
100
Sumber : Data Primer
commit to user
Fkum (%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme pada kelompok siswa dengan konsep diri rendah secara keseluruhan dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut :
Gambar 4.3 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Rendah (B1)
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 3 (10,35 %) berada pada kelompok rata-rata, 14 (48,28 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 12 (41,38 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa dengan konsep diri rendah secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas rata-rata sebanyak 17 (58,63 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 12 (41,38 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 29. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
d.
Data Sikap Nasionalisme Siswa Kelompok Konsep Diri Tinggi (B2) Dari hasil analisis mengenai sikap nasionalisme siswa dengan konsep diri
tinggi secara keseluruhan diketahui bahwa : N = 31, skor tertinggi = 196,00 dan skor terendah = 143,00 sehingga rentangannya (range) = 53. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 169,6452, Median = 171, Modus = 167,25 , Standar Deviasi = 18,5104. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan konsep diri tinggi terdiri dari 6 kelas dengan panjang kelas 9. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas secara keseluruhan dapat disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Tinggi (B2)
No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
1
143 – 151
7
22,581
22,581
2
152 – 160
7
22,581
45,162
3
161 – 169
1
3,226
48,388
4
170 -178
3
9,677
58,065
5
179 -187
3
9,677
67,742
6
188 – 196
10
32,258
100
Jumlah
31
100
Sumber : Data Primer
commit to user
Fkum (%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme pada kelompok siswa dengan konsep diri tinggi secara keseluruhan dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut :
Gambar 4.4 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Konsep Diri Tinggi (B2)
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 3 (9,68 %) berada pada kelompok rata-rata, 15 (48,39 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 13 (41,94 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas rata-rata sebanyak 18 (58,07 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 10 (33,34 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 31.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
e.
Data Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A1B1) Dari
hasil
analisis
mengenai
sikap
nasionalisme
siswa
dengan
menggunakan model konvensional pada siswa yang memiliki konsep diri rendah diketahui bahwa : N = 17, skor tertinggi = 151,00 dan skor terendah = 102,00 sehingga rentangannya (range) = 49. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 119,235, Median = 132,333, Modus = 124,75, Standar Deviasi = 13,8903. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan model pembelajaran konvensional pada siswa yang memiliki konsep diri rendah terdiri dari 5 kelas dengan panjang kelas 10. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas dapat disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A1B2) No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
1
102 – 111
6
35,294
35,294
2
112 – 121
3
17, 647
52,942
3
122 – 131
6
35,294
88,236
4
132 – 141
1
5,882
94,118
5
142 – 151
1
5,882
100
Jumlah
17
100
Sumber : Data Primer commit to user
Fkum (%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme dengan model pembelajaran konvensional pada kelompok siswa dengan konsep diri rendah dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut :
Gambar 4.5 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A1B1)
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 3 (17,65 %) berada pada kelompok rata-rata, 6 (35,29 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 8 (47,06 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dengan memiliki konsep diri rendah secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan ratacommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
rata dan diatas rata-rata sebanyak 9 (52,94 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 8 (47,06 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 17.
f.
Data Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A1B2) Dari
hasil
analisis
mengenai
sikap
nasionalisme
siswa
dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa yang memiliki konsep diri tinggi diketahui bahwa : N = 13, skor tertinggi = 189,00 dan skor terendah = 143,00 sehingga rentangannya (range) = 46. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 153,3846 , Median = 117,5, Modus = 172, Standar Deviasi = 11,6085. Distribusi frekuensi skor sikap nasionalisme siswa dengan model pembelajaran konvensional pada siswa yang memiliki konsep diri tinggi terdiri dari 5 kelas dengan panjang kelas 10. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi skor sikap nasionalisme siswa, dapat dilihat bahwa sebanyak 5 (38,46 %) berada pada kelompok rata-rata, 7 (53,85 %) siswa berada pada kelompok di atas rata-rata dan 1 (7,69 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa dengan menggunakan model konvensional dengan memiliki konsep diri tinggi secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas rata-rata sebanyak 12 (92,31%), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 1 (7,69 %) dari jumlah keseluruhan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
responden (N) = 13. Berikut data hasil perhitungan di atas secara keseluruhan dapat disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A1B2) No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
Fkum (%)
1
143 – 152
7
53,846
53,846
2
153 – 162
5
38,461
92,307
3
163 – 172
0
0
92,307
4
173 – 182
0
0
92,307
5
183 – 192
1
7,692
100
Jumlah
13
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme dengan model pembelajaran konvensional pada kelompok siswa dengan konsep diri tinggi dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
Gambar 4.6 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Konvensional Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A1B2)
g.
Data Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A2B1) Dari hasil analisis mengenai sikap nasionalisme siswa dengan
menggunakan model CTL pada siswa yang memiliki konsep diri rendah diketahui bahwa : N = 12, skor tertinggi = 180,00 dan skor terendah = 141,00 sehingga rentangannya (range) = 39. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 155,00, Median = 140,5, Modus = 167,5, Standar Deviasi = 11,2088. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan model CTL pada siswa yang memiliki konsep diri rendah terdiri dari 5 kelas dengan panjang kelas 9. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas dapat disajikan pada tabel berikut : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A2B1)
No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
Fkum (%)
1
141 – 149
4
33,333
41,667
2
150 – 158
5
41,667
75
3
159 – 167
1
8,333
83,333
4
168 – 176
1
8,333
91,666
5
177 – 185
1
8,333
100
Jumlah
12
100
Sumber : Data Primer
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 5 (41,67 %) berada pada kelompok rata-rata, 4 (33,33 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 3 (25 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa dengan menggunakan model CTL yang memiliki konsep diri rendah secara keseluruhan sudah baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas rata-rata sebanyak 9 (75 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 3 (25 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 12. Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme dengan model CTL pada kelompok siswa dengan konsep diri rendah secara keseluruhan dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
Gambar 4.7 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Rendah (A2B1)
h.
Data Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A2B2) Dari
hasil
analisis
mengenai
sikap
nasionalisme
siswa
dengan
menggunakan model CTL pada siswa yang memiliki konsep diri tinggi diketahui bahwa : N = 18, skor tertinggi = 196,00 dan skor terendah = 153,00, sehingga rentangannya (range) = 43. Berdasarkan perhitungan statistik dasar yang dibantu dengan program SPSS diperoleh Mean = 181,3889, Median = 188,5, Modus = 173,333, Standar Deviasi = 12,7008. Distribusi frekuensi skor Sikap Nasionalisme siswa dengan model CTL pada siswa yang memiliki konsep diri tinggi terdiri dari 6 kelas dengan panjang kelas 8. Berdasarkan data hasil perhitungan di atas dapat disajikan pada tabel berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model Pembelajaran Kontekstual Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A2B2) No
Kelas Interval
Frekuensi Frel (%)
Fkum (%)
1
153 – 160
2
11.111
11,111
2
161 – 168
1
5,555
16,667
3
169 – 176
3
16,667
33,334
4
177 – 184
2
11,111
44,445
5
185- 192
7
38,889
83,334
6
193 – 200
3
16,667
100
Jumlah
18
100
Sumber : Data Primer
Dari distribusi di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 2 (11,11 %) berada pada kelompok rata-rata, 6 (33,33 %) siswa berada pada kelompok di atas ratarata dan 10 (55,56 %) siswa berada pada kelompok di bawah rata-rata, sehingga dapat diketahui bahwa sikap nasionalisme siswa secara keseluruhan belum begitu baik. Hal ini terlihat dari skor siswa yang sama dengan rata-rata dan diatas ratarata sebanyak 8 (44,44 %), sedangkan yang berada dibawah rata-rata 10 (55,56 %) dari jumlah keseluruhan responden (N) = 18. Berdasarkan distribusi frekuensi mengenai skor sikap nasionalisme dengan model CTL pada kelompok siswa dengan konsep diri tinggi dapat divisualisasikan dalam gambar histogram frekuensi skor sebagai berikut : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
Gambar 4.8 Grafik Histogram Distribusi Frekuensi Skor Sikap Nasionalisme dengan Model CTL Pada Siswa Yang Memiliki Konsep Diri Tinggi (A2B2)
2.
Uji Persyaratan Analisis Setelah data mengenai variabel penelitian terkumpul, maka data yang akan
dianalisis haruslah memenuhi persyaratan normalitas dan homogenitas. Untuk persyaratan data yang berdistribusi normal pada penelitian ini digunakan uji Kolmogorow Smirnov, sedangkan uji homogenitas dilakukan dengan uji Levene test of homogeneity of varience dengan menggunakan program SPSS 17.0. a.
Uji Normalitas Uji ini dilakukan untuk memenuhi salah satu asumsi yang diperlukan
dalam analisis variansi dua jalan dengan sel yang sama, yakni untuk melihat apakah ada sampel dari populasi yang berdistribusi normal. Kreteria kenormalan yang digunakan adalah suatu distribusi nilai variabel dianggap normal jikan nilai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
signifikansi pada hasil uji Kolmogorow Smirnov lebih besar dari nilai probabilitasnya (0,05). 1) Normalitas Kelompok Dengan Model Pembelajaran Konvensional (A1) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi model pembelajaran konvensional diperoleh besaran-besaran statistik : N = 30. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 30 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov sebesar 0,707 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,700. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.1). 2) Normalitas Kelompok Dengan Model CTL (A2) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi model CTL diperoleh besaran-besaran statistik : N = 30. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 30 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov sebesar 0,730 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,661. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.2). 3) Normalitas Kelompok Dengan Konsep Diri Rendah (B1) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi konsep diri rendah diperoleh besaran-besaran statistik : N = 29. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 29 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
sebesar 0,585 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,884. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.3). 4) Normalitas Kelompok Dengan Konsep Diri Tinggi (B2) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi konsep diri tinggi diperoleh besaran-besaran statistik : N = 31. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 31 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov sebesar 1,138 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,150. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.4). 5) Normalitas Kelompok Model Pembelajaran Konvensional Dengan Konsep Diri Rendah (A1B1) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi model pembelajaran konvensional dengan konsep diri rendah diperoleh besaran-besaran statistik : N = 17. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 17 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov sebesar 0,650 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,791. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.5). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
6) Normalitas Kelompok Model Pembelajaran Konvensional Dengan Konsep Diri Tinggi (A1B2) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi model pembelajaran konvensional dengan konsep diri tinggi diperoleh besaran-besaran statistik : N = 13. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 13 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov sebesar 1,085 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,190. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.6). 7) Normalitas Kelompok Model CTL Dengan Konsep Diri Rendah (A2B1) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi model CTL dengan konsep diri rendah diperoleh besaran-besaran statistik : N = 12. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 12 diperoleh statistik Kolmogorov Smirnov sebesar 0,534 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,938. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.7). 8) Normalitas Kelompok Model CTL Dengan Konsep Diri Tinggi (A2B2) Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS, kelompok sampel dari populasi model CTL dengan konsep diri tinggi diperoleh besaran-besaran statistik : N = 18. Dengan menggunakan α = 0,05 dan N = 18 diperoleh statistik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 114
Kolmogorov Smirnov sebesar 0,843 dengan signifikkansi kenormalan sebesar 0,476. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih tinggi dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kenormalan untuk kelompok sampel dari populasi ini terpenuhi (Data dan tabel kenormalan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.8). b. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas variansi keempat kelompok data dilakukan dengan menggunakan Levene test of homogeneity of varience dihitung dengan SPSS. Hasil perhitungan Levene test of homogeneity of varience menghasilkan nilai statistik F sebesar 0,984 dan nilai signifikansi sebesar 0,407. Hal ini berarti nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan variansi populasi sama. Untuk lebih jelasnya hasil uji homogenitas variabel keempat kelompok tersebut dapat disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.9 Hasil Uji Homogenitas Variansi Skor Sikap Nasionalisme Siswa Keempat Kelompok Perlakuan Levene's Test of Equality of Error Variances Dependent Variable: Sikap Nasionalisme F .984
df1
df2 3
Sig 56
.407
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: MP+KD+MP * KD Sumber : Data Primer commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
3.
Pengujian Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah hipotesis perbedaan
skor sikap nasionalisme antara kelompok siswa yang diajar melalui model CTL dan melaui model pembelajaran konvensional, antara kelompok konsep diri tinggi dan rendah, dan interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri. Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan Analisis Vaktorial Dua Jalur. Tujuannya adalah menyelidiki dua pengaruh utama dan satu pengaruh interaksi. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe yang bertujuan untuk mengetahui kelompok yang lebih unggul secara signifikan. Secara keseluruhan sudah terangkum dalam tabel hasil ANAVA yang disajikan berikut ini :
Tabel 4.10 Test of Between-Subjects Effects
Dependent Variable : Sikap Nasionalisme
Type III Sum Source Model
of Squares
Mean Df
Square
F
1428073.58
4
MP
14806.386
1
14806.836
93.922
.000
KD
13344.506
1
13344.506
84.646
.000
219.288
1
219.288
1.391
.243
Error
8828.414
56
157.650
Total
1436902.000
60
MP*KD
a.
357018.397 2264.623
Sig
R Squaered = .994 (Adjusted R Squared = .993) commit to user
.000
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
a.
Hipotesis Pertama : Terdapat Perbedaan yang positif dan signifikan antara penggunaan Model CTL dan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme pada siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta. Dari Tabel ANAVA di atas diperoleh harga Fhitung = 93,922 > Ftabel
(α = 0,05) = 4,00. Hal ini berarti hipotesis statistic (H0) pertama ditolak dan H1 diterima, sehingga terdapat perbedaan rata-rata antara model CTL dengan konvensional. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap nasionalisme yang diajar dengan model CTL lebih baik dari pada dengan model pembelajaran konvensional. b. Hipotesis Kedua : Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah terhadap sikap nasionalisme. Dari Tabel ANAVA di atas diperoleh harga Fhitung = 84,646 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00. Hal ini berarti hipotesis statistik (H0) pertama ditolak dan H1 diterima, sehingga terdapat perbedaan rata-rata sikap nasionalisme antara siswa yang memiliki konsep diri tinggi dengan siswa yang memiliki konsep diri rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa dengan konsep diri tinggi lebih baik dari pada siswa dengan konsep diri rendah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117
c. Hipotesis Ketiga : Terdapat interaksi yang positif dan signifikan antara Model CTL dengan konsep diri terhadap sikap nasionalisme dalam pembelajaran sejarah pada siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta. Dari Tabel ANAVA di atas diperoleh harga Fhitung = 1,391 < Ftabel (α = 0,05) = 4,00. Hal ini berarti hipotesis statistik (H0) diterima dan H1 di tolak. Dengan kata lain bahwa tidak terdapat interaksi antara penggunaan model CTL dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme.
Dari kesimpulan di atas terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antarkolom, yaitu bahwa sikap nasionalisme yang diajarkan dengan model CTL maupun pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional, begitu pula terkait dengan konsep diri yang dimiliki siswa. Karena tidak ada interaksi, maka tidak perlu dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Scheffe.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
B. Pembahasan Hasil Penelitian Dari hasil pengujian hipotesis di atas, berikut ini dikemukakan pembahasan mengenai hasil penelitian. 1. Terdapat Perbedaan yang positif dan signifikan antara penggunaan model CTL dan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran sejarah terhadap sikap nasionalisme pada siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta. Hasil pengujian hipotesis pertama memperoleh Fhitung = 93,922 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00, sehingga dapat dikatakan terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara model CTL dengan model pembelajaran konvensional terhadap sikap nasionalisme. Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap nasionalisme siswa yang diajar dengan model CTL memperoleh skor rata-rata sebesar 170,8333 lebih besar dari siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional yang hanya memperoleh rata-rata sebesar 134,0333. Jadi simpulan untuk hipotesis pertama adalah ada perbedaan yang positif dan signifikan dari model pembelajaran terhadap sikap nasionalisme yang menunjukkan bahwa model
CTL
lebih
efektif
dibandingkan
dengan
model
pembelajaran
konvensional. Pembelajaran dengan menggunakan model CTL merupakan rancangan pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan siswa yang aktif, kreatif, dan inovatif. Hal ini dikarenakan oleh tujuh komponen dalam model CTL yaitu kontruktivisme, inquiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian otentik. Tujuh komponen tersebut kemudian dimodifikasi untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
mendukung
pembelajaran
sejarah
sesuai
dengan
standar
kompetensi
“memahami usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia” dan kompetensi dasar “mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. Implementasi tujuh komponen dari penggunaan model CTL sesuai dengan rancangan dan temuan di lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman baik itu secara langsung maupun ditampilkan melalui video dari arsip nasional. Konsep ini, menuntut siswa untuk membangun pengetahuannya dari hasil melihat dan mendengar, yang kemudian dikonstruk masing-masing individu. Hasil dari mengkonstruksi itulah yang merupakan pengalaman baru yang diterima dalam awal mata pelajaran. Konsep kontruktivisme dalam temuan di lapangan selalu dijadikan pembuka pembelajaran, namun tidak bersifat monotun. Maksudnya adalah dalam pengembangan model CTL di SMP Negeri 19 Surakarta untuk mencapai kontruktivisme ini tidak saja menggunakan video, tetapi juga dibantu oleh media power point, ataupun tugas yang sudah diberikan pada pertemuan sebelumnya, sehingga siswa mempunyai gambaran awal mengenai materi yang nanti diajarkan. b. Inquiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model CTL. Pada dasarnya kegiatan ini merupakan tahapan selanjutnya setelah kontruktivisme. Dalam temuan di lapangan konsep ini di mulai oleh guru dengan menggunakan beberapa pertanyaan untuk memancing siswa menjawab dan bertanya balik tentang hasil kontruksi di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
masing-masing individu. Pengembangan pemikiran inilah yang kemudian dibantu oleh video, power point, serta berbagai sumber buku yang difotocopykan guru, ataupun sumber yang dibawa siswa sendiri, sehingga terjadi tahapan kedua dari model CTL yaitu menemukan konsepnya sendiri. c. Bertanya merupakan salah satu landasan berpikir dalam pengembangan model CTL. Konsep ini merupakan tahapan selanjutnya yang bisa juga dikatakan sebagai bagian proses inquiri. Konsep bertanya berlaku dikarenakan oleh tidak semua materi yang diajarkan oleh guru dikuasai oleh siswa. Sesuai dengan temuan di lapangan dalam kelas eksperimen lebih banyak timbul pertanyaan dibandingkan dengan dikelas kontrol. Hal ini kemungkinan terjadi karena dibantu dengan menggunakan media atau sumber belajar lainnya yang memancing siswa untuk bertanya, namun tidak terbatas antara guru dengan siswa, tetapi sering ditemukan pula antara siswa dengan siswa. Konsep bertanya ini dalam pengembangan di lapangan diperluas lagi dengan memberikan tugas pada siswa untuk menanyakan perjuangan memperebutkan kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Madya Surakarta kepada orang tua masing-masing yang sudah lahir di masa itu. Pada dasarnya jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh siswa merupakan salah satu sumber dari pengalaman baru yang didapat dalam prose pembelajaran. d. Masyarakat belajar merupakan kelompok belajar yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Dalam temuan di lapangan konsep ini juga sering menjadi bagian dari proses commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 121
pembelajaran dengan model CTL. Dalam penelitian ini, guru selalu melibatkan siswa ke dalam kelompok-kelompok diskusi yang menuntut suatu pengalaman baru yang tidak dimiliki oleh siswa. Guru memberikan tugas terstruktur yang memancing siswa untuk menggali pengalamanpengalaman baru, entah dari media video, power point, ataupun juga melalui sumber bacaan, sehingga terjadi komunikasi untuk meluruskan cerita sejarah yang ada dan dapat menambah wawasan cerita sejarah yang diperdengarkan dari berbagai sumber. e. Pemodelan
merupakan
kegiatan
yang
erat
kaitannya
dengan
mendemontrasikan model yang ditampilkan sesuai dengan materi ajar. Dalam temuan dilapangan terkait dengan kegiatan pemodelan ini guru menunjuk siswa untuk berperan menjadi beberapa tokoh perjuangan seperti: Ir. Sukarno yang sedang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, Bung tomo yang sedang berpidato untuk membakar semangat perjuangan rakyat di seluruh Indonesia. f. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Dari temuan di lapangan, dalam setiap pembelajaran dengan model CTL guru merefleksi siswa dengan mengajukan pernyataan secara langsung terkait dengan apa yang diperoleh dalalm pembelajaran di hari itu atau kesan dan pesan siswa, sehingga dalam tahap refleksi ini sering terjadi diskusi kecil antara siswa dengan guru ataupun siswa dengan siswa.
Pada
dasarnya
konsep
ini
berlangsung
menyempurnakan kembali apa yang didapat siswa dihari itu. commit to user
untuk
lebih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 122
g. Penilaian otentik merupakan salah satu bagian dari model CTL yang pada intinya adalah menunjukkan kemampuan siswa secara nyata.
Dalam
nyatanya di lapangan siswa dalam tahapan ini sering dinilai secara langsung, melalui pertanyaan atau pernyataan yang lebih mengarah ke pemecahan masalah, daripada aspek pengetahuannya. Penekanan dalam penelitian ini adalah terletak pada siswa mampu mempelajari sesuatu tidak hanya bisa mengingat saja, tetapi lebih pada mengerti dan memahami apa makna yang dapat diambil dari pembelajaran di hari itu.
Berdasarkan uraian tentang temuan penerapan tujuh landasan model CTL di atas merupakan keunggulan yang membedakan antara model pembelajaran ini dengan model pembelajaran konvensional. Melalui model CTL dalam pengembangan pembelajaran sejarah pengalaman siswa dapat lebih dikembangkan lagi dari belajar tentang lingkungan dimana mereka tinggal (daerah Kota Madya Surakarta dan Sekitarnya), terutama terkait dengan perjuangan generasi sebelumnya di tahun 1945-1949. Dalam pembelajaran ini dibantu dengan menggunakan media power point dan juga terkait dengan video perjuangan yang berasal dari arsip nasional. Sebagai sumber dalam pengembangan materi pembelajaran terkait penggunaan model CTL digunakan beberapa buku penunjang di antaranya: “Sejarah Revolusi Kemerdekaan 19451949 Jawa Tengah”, “Catatan Kisah Perjuangan T.P. Sala Merdeka atau Mati”, “Pertempuran Empat Hari Di Solo dan Sekitarnya”. Pada dasarnya penggunaan media dan sumber dalam pengembangan pembelajaran dikarenakan oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 123
peristiwa itu sudah terjadi lampau, sehingga tidak mungkin siswa dapat belajar dengan berada langsung di masa itu. Dengan model CTL inilah pembelajaran terkesan mengembalikan siswa ke dalam masa lampau, serta memberikan kesan tersendiri dan lebih mendalam terkait dengan perjuangan generasi pendahulu dalam merebut kemerdekaan Indonesia di Kota Madya Surakarta. Penerapan model CTL dalam pembelajaran sejarah pada prakteknya mengalami berbagai kendala. Dari faktor guru dalam pernerapannya di awal, guru masih ragu-ragu dalam keberhasilan pembelajarannya. Hal ini disebabkan oleh guru belum terbiasa memakai model CTL, sehingga harus bisa memancing siswa untuk aktif dalam pembelajaran, dimana kondisi ini berbanding terbalik dengan pembelajaran yang biasa dilakukan. Namun berjalan di pertemuan selanjutnya guru sudah mulai bisa menguasai kelas dengan model CTL, karena sudah mulai mengacu pada siswa aktif. Kondisi ini didukung pula oleh latar belakang guru yang merupakan orang asli Surakarta, sehingga sangat membantu dalam pengembangan model CTL. Selain itu keberhasilan pembelajaran dengan model CTL ini didukung pula oleh beberapa buku pokok yang sudah disebutkan di atas. Sedangkan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional di lapangan masih menguasi kondisi pembelajaran. Kondisi di kelas jauh berbeda dengan kelas dengan menggunakan model CTL, dimana siswa banyak tidak memperhatikan pembelajaran. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab sikap nasionalisme siswa rendah dibandingkan dengan siswa yang diberi perlakuan dengan model CTL. Penerapan model konvensional memang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 124
lebih efesien dibandingkan dengan model CTL, namun model konvensional tidak lebih efektif dan inovatif dibandingkan dengan model CTL. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran sejarah dengan model CTL dapat lebih mengoptimalkan peranan siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak hanya tahu tetapi juga bisa mengerti dan paham. Dengan kata lain model CTL sangat mendukung pembentukan sikap nasionalisme siswa, dimana dalam pembelajaran ini terfokus untuk dapat mengembalikan kembali siswa ke masa lalu atau bisa juga disampaikan bahwa membawa siswa menjadi bagian dari peristiwa itu.
2. Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta yang memiliki konsep diri tinggi dan rendah terhadap sikap nasionalisme Hasil pengujian hipotesis kedua memperoleh Fhitung = 84,646 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00, sehingga dapat dikatakan terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara konsep diri tinggi dengan konsep diri rendah terhadap sikap nasionalisme. Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa yang mempunyai konsep diri tinggi memperoleh skor ratarata sebesar 169,6452 lebih besar dari siswa yang memiliki konsep diri rendah yang hanya memperoleh rata-rata sebesar 134,0345. Jadi simpulan untuk hipotesis kedua adalah ada perbedaan yang positif dan signifikan dari konsep diri terhadap sikap nasionalisme menunjukkan bahwa konsep diri tinggi lebih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 125
mendukung terbentuknya sikap nasionalisme siswa yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang memiliki konsep diri rendah. Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan (Agustiani, 2006 : 138). Konsep diri merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus-menerus dan terdeferensiasi. Konsep diri ditanamkan semenjak dini dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri. Konsep diri secara global diartikan sebagai konstruk psikologis yang terbentuk dari persepsi atau cara pandang individu terhadap dirinya sendiri. Cara pandang itu terbentuk dari koneksi sikap dan keyakinan individu pada dirinya sendiri yang diperoleh selama ia berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang berkontribusi besar terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Kemudian terkait dengan peranan konsep diri bukan saja ikut menentukan apa yang dilihat seseorang melainkan juga bagaimana ia melihatnya. Dalam penelitian ini, terbentuknya sikap nasionalisme konsep diri tinggi atau rendah kemungkinan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pembelajaran yang didapat sebelumnya. Dengan kata lain, konsep pembentukan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dalam pembelajaran di beberapa pertemuan dengan menggunakan model CTL tentunya juga sangat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 126
mempengaruhi konsep diri yang dimiliki oleh siswa, namun tidak bisa pungkiri juga pengalaman-pengalaman yang diperolehnya di luar kelas. Hal inilah yang membedakan antara konsep diri di masing-masing individu, sehingga dalam temuan di lapangan dibuktikan oleh keberadaan siswa yang memiliki konsep diri tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki konsep diri rendah terkait dengan sikap nasionalisme yang dimilikinya.
3. Terdapat interaksi yang positif dan signifikan antara model CTL dengan konsep diri terhadap sikap nasionalisme dalam pembelajaran sejarah pada siswa SMP Negeri di Kota Madya Surakarta Hasil pengujian hipotesis ketiga memperoleh Fhitung = 1,391 > Ftabel (α = 0,05) = 4,00, sehingga dapat dikatakan tidak terdapat interaksi yang positif dan signifikan antara penggunaan model pembelajaran dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap nasionalisme
siswa yang diajar dengan model CTL pada siswa yang memiliki konsep diri tinggi memperoleh skor rata-rata sebesar 181,389 dan dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model CTL pada siswa yang memiliki konsep diri rendah hanya memperoleh rata-rata sebesar 155,000. Jadi simpulan untuk hipotesis ketiga adalah tidak menunjukkan adanya interaksi antara penggunaan model CTL dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme. Dalam penelitian ini, konsep diri dan model CTL sebenarnya sangat mendukung terbentuknya sikap nasionalisme. Namun konsep diri yang dimiliki siswa tidak menjadi jaminan berpengaruh lebih baik daripada model commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 127
pembelajaran terkait dengan pembentukan sikap nasionalisme. Hal ini dibuktikan oleh data siswa yang termasuk ke dalam kelompok konsep diri tinggi yang diajar dengan model CTL tidak semuanya memperoleh skor sikap nasionalisme tinggi, begitu juga sebaliknya data siswa yang termasuk ke dalam kelompok konsep diri rendah yang diajar dengan model CTL tidak semuanya memperoleh skor sikap nasionalisme yang rendah. Hal ini juga berlaku dalam model pembelajaran konvensional, dimana siswa yang termasuk ke dalam kelompok konsep diri tinggi belum tentu memperoleh skor sikap nasionalisme tinggi, begitu pula siswa yang termasuk ke dalam kelompok konsep diri rendah belum tentu memperoleh skor sikap nasionalisme yang rendah . C.
Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, ditemui beberapa keterbatasan yaitu : 1. Penerapan model CTL dalam pembelajaran di kelas membutuhkan persiapan yang sangat matang, apalagi tidak semua sekolah di Kota Madya Surakarta pernah menerapakan, termasuk di SMP Negeri 19, 24, 25 Surakarta masih belum pernah menerapkannya. Tahapan model CTL yang terdiri tujuh komponen yaitu kontruktivisme, inquiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian otentik harus dapat dilalui disetiap pembelajaran, sehingga perlu persiapan yang lama. Kendala yang dihadapi dalam penerapan model CTL antara lain : kemampuan analisis dan daya tangkap siswa yang berbeda-beda, guru masih kurang menumbuhkan sikap nasionalisme siswa, materi yang dirancang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran masih belum dilaksanakan dengan maksimal karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 128
keterbatasan waktu. Sedangkan dalam pembelajaran dengan menggunakan model konvensional masih berkendala pada pemanfaatan media dan selebihnya berada pada siswa dan guru yang harus memperbaiki kondisi dari teacher center menjadi student center, sehingga pembelajaran lebih bervariatif dan efektif. 2.
Intrumen dalam penelitian ini yang memakai koesioner dianggap sebagai sebuah kendala juga oleh siswa. Instrumen tersebut memiliki jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan waktu yang tersedia baik itu dalam uji coba instrumen yang membebankan 64 butir pernyataan koesioner sikap nasionalisme dan 40 butir pernyataan koesioner konsep diri, maupun ketika diberikan pada siswa baik itu kelas eksperimen dan juga kelas kontrol.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 129
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Terdapat perbedaan yang positif dan signifikan antara model CTL (Contextual Teaching and Learning) dan Konvensional terhadap sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta, dimana penggunaan model CTL memperoleh sikap nasionalisme yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model konvensional.
2.
Konsep diri dapat mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta, dimana siswa yang termasuk ke dalam konsep diri tinggi tentunya memiliki skor sikap nasionalisme yang tinggi, sedangkan siswa yang termasuk ke dalam konsep diri rendah memiliki sikap nasionalisme yang rendah pula.
3.
Interaksi
antara
model
pembelajaran
dan
konsep
diri
tidak
mempengaruhi sikap nasionalisme siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Madya Surakarta.
commit to user 129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 130
B.
Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa model CTL lebih berpengaruh terhadap sikap nasionalisme siswa daripada model pembelajaran konvensional, konsep diri berpengaruh terhadap sikap nasionalisme siswa. Hal tersebut membawa implikasi sebagai berikut : 1. Model CTL dapat meningkatkan sikap nasionalisme siswa lebih baik dikarenakan oleh dalam pembelajaran ini siswa ditopang oleh tujuh komponen model CTL yaitu kontruktivisme, inquiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian otentik. Konsep dari pembelajaran ini adalah dalam sebuah pembelajaran ketujuh komponen ini harus ada dan saling melengkapi, sehingga pembelajaran tidak hanya berjalan searah, tetapi juga berjalan dua arah. Hasilnya dengan menggunakan tujuh komponen penunjang tersebut, pembelajaran ini tidak hanya memberikan konstribusi untuk memperoleh pengetahuan yang dipakai menjawab tes di dalam ujian belaka, tetapi juga dapat digunakan sebagai pengalaman dalam kehidupan yang akan datang. Dalam penelitian ini, model CTL berfungsi sebagai pembentuk sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa, dengan cara memposisikan siswa menjadi bagian dari peristiwa tersebut. Siswa yang dilahirkan dan hidup di era ketika Indonesia sudah merdeka tentunya tidak merasakan bagaimana sulitnya kondisi sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dengan model CTL inilah berusaha untuk mengembalikan siswa ke cerita masa lalunya lewat media video dari arsip nasional. Selain itu, siswa sebagai bagian dari bangsa Indonesia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 131
diberikan kesempatan untuk bisa menyakan kepada keluarga baik itu kakek-nenek ataupun bapak-ibu masing-masing terkait dengan cerita perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Konsep pembelajaran inilah yang bisa merubah sikap siswa terkait dengan nasionalisme yang dimilikinya. Dengan demikian, model CTL dapat menjadi alternatif yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah yang mempunyai misi pembentukan sikap nasionalisme siswa terkait dengan kesadaran akan sejarah bangsa dan wujud mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. 2. Sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa kelompok konsep diri tinggi dan kelompok konsep diri rendah dapat dikatakan jauh berbeda, karena dalam pembentukan sikap nasionalisme siswa, konsep yang dimiliki oleh seseorang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembelajaran. Masing-masing individu tentunya memiliki perbedaan konsep yang ada di dalam dirinya. Hal ini dikarenakan oleh, masingmasing individu mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, sehingga gambaran seorang individu terkait dengan sikap nasionalisme tentunya juga berbeda. Dengan demikian, kontribusi konsep diri sebagai faktor internal di masing-masing individu dalam proses pembelajaran terkait dengan pembentukan sikap nasionalisme siswa dapat ditingkatkan, sehingga ke depannya dapat mencapai hasil yang lebih optimal. 3.
Model CTL dan konsep diri (tinggi dan rendah) secara bersama-sama tidak mempengaruhi pembentukan sikap nasionalisme siswa. Model pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 132
dan konsep diri dapat dioptimalkan secara bersama-sama dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap nasionalisme siswa apabila juga didukung faktor-faktor lainnya, seperti motivasi untuk belajar dan dukungan dari guru untuk mengarahkan siswa dengan berbagai stimulus yang berupa sumber belajar baik yangterjadi secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara berbagai faktor internal dan eksternal tersebut dapat mendukung kegiatan pembelajaran yang lebih terpusat dan mendalam, sehingga dapat tercapainya hasil pembelajaran tidak hanya terkait dengan aspek kognitif saja tetapi bisa mencapai faktor afektif dan psikomotor yang dapat dijadikan pengalaman hidup dimasa yang akan datang. C.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas maka diajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Model CTL lebih berpengaruh terhadap pembentukan sikap nasionalisme siswa daripada model pembelajaran konvensional, sehingga model CTL dapat dijadikan menjadi model pembelajaran alternatif dalam mata pelajaran sejarah. 2. Pembelajaran di Kota Madya Surakarta sangat didukung oleh beberapa peninggalan, baik itu dari jaman pra-akasara sampai jaman pasca merdeka yang bisa digunakan sebagai media pendukung model CTL. Oleh karena itu, guru bisa memulai dengan membuat media power point yang berisikan perjuangan dalam memcapai kemerdekaan yang mendukung pelaksanaan model CTL.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 133
3. Dalam penelitian ini, terkait dengan model CTL dan konsep diri terhadap sikap nasionalisme masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, disarankan untuk diadakan kembali penelitian sejenis sebagai bahan pertimbangan dan pembuka wawasan baru terkait dengan model pembelajaran yang sewaktu-waktu bisa berubah dan berkembang, begitu pula dengan konsep diri di masing-masing individu tentunya berbeda.
commit to user