PENGARUH MEDIA TANAM DAN PERLAKUAN PRA PERKECAMBAHAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH PANGGAL BUAYA (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.)
OLEH
MARLINA SUSANTI A24050887
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
MARLINA SUSANTI. Pengaruh Media Tanam dan Perlakuan Pra Perkecambahan
terhadap
Perkecambahan
Benih
Panggal
Buaya
(Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.). (Dibimbing oleh ENDANG MURNIATI dan ELIYA SUITA). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui media tanam dan perlakuan pra perkecambahan yang efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih dan rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Darmaga pada bulan Mei - Oktober 2009. Penelitian ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor. Faktor pertama adalah media tanam (M) yang terdiri atas pasir (M0), zeolit (M1), campuran tanah, kompos, pasir dengan perbandingan 1:1:1(v/v) (M2), kokopit (M3) dan arang sekam (M4). Faktor kedua adalah perlakuan pra perkecambahan (P) yang terdiri atas kontrol (P0), perendaman benih dalam H2SO4 pekat selama 2 jam yang diikuti dengan perendaman air selama 24 jam (P1), perendaman benih dalam KNO3 2% selama 24 jam (P2), perendaman benih dalam GA3 500 ppm selama 24 jam (P3), perlakuan suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan enam jam suhu 30°C) (P4). Terdapat 25 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 75 satuan percobaan. Jumlah benih yang digunakan 25 butir tiap satuan percobaan sehingga total benih untuk seluruh percobaan adalah 1875 benih. Sumber benih Panggal Buaya yang digunakan berasal dari Kabupaten Tabanan, Pulau Bali. Benih dipanen pada bulan April 2009 dan diambil dari buah yang sudah masak. Benih kemudian diekstraksi dan dicuci bersih menggunakan air mengalir, selanjutnya dikeringanginkan hingga kadar air 14.68%. Perlakuan pra perkecambahan dilakukan sesuai dengan perlakuan. Setelah selesai perlakuan, benih dicuci untuk menghilangkan sisa larutan asam sulfat, KNO3 2% dan GA3 500 ppm. Selanjutnya benih-benih tersebut dikecambahkan dalam bak kecambah dengan menggunakan media pasir, zeolit, kokopit, arang sekam dan campuran tanah, kompos, pasir dengan perbandingan 1:1:1(v/v).
Parameter yang diamati adalah Viabilitas Total dengan tolok ukur Potensi Tumbuh Maksimum (PTM), Viabilitas Potensial dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB), Vigor Kekuatan Tumbuh dengan tolok ukur Kecepatan Tumbuh (KCT), Viabilitas Dorman dengan tolok ukur Intensitas Dormansi (ID), dan Viabilitas Tetrazolium (VTTZ). Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak satu pun perlakuan pra perkecambahan yang dapat mematahkan dormansi maupun yang mampu meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya dan tidak satu pun media tanam pada penelitian ini yang mampu meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya.
PENGARUH MEDIA TANAM DAN PERLAKUAN PRA PERKECAMBAHAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH PANGGAL BUAYA (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
MARLINA SUSANTI A24050887
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul : PENGARUH MEDIA TANAM DAN PERLAKUAN PRA PERKECAMBAHAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH PANGGAL BUAYA (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.) Nama : MARLINA SUSANTI NRP : A24050887
Mengetahui, Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Endang Murniati, MS)
(Ir. Eliya Suita)
NIP : 19471006 198003 2 001
NIP : 19660928 199803 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr) NIP : 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus : ……………………….
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Dumai, Propinsi Riau pada tanggal 20 Maret 1987. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Eddy Susanto dan Ibu Elmiyati. Tahun 1999 penulis lulus dari SD Negeri 015 Buluh Kasap, Dumai Timur, kemudian pada tahun 2002 penulis menyelesaikan studi di SLTP Negeri 1 Dumai. Selanjutnya penulis lulus dari SMU YKPP UP II Dumai pada tahun 2005. Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selanjutnya tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif di organisasi kemahasiswaan. Tahun 2007 penulis sebagai staf Divisi Eksternal Himagron (Himpunan Mahasiswa Agronomi), Fakultas Pertanian IPB. Selain itu penulis juga aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan. Tahun 2005 penulis mengikuti kepanitiaan Futsal Nasional (FUTNAS) sie Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi (PDD). Tahun 2007 penulis juga menjadi panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) Agronomi dan Hortikultura.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Media Tanam dan Perlakuan Pra Perkecambahan terhadap Perkecambahan Benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.) ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak - pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini serta dalam kehidupan kampus penulis. Ucapan terima kasih ditujukan kepada: 1. Dr. Ir. Endang Murniati, MS selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi I yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama masa kuliah dan selama kegiatan penelitian serta penulisan skripsi ini. 2. Ir. Eliya Suita selaku dosen pembimbing II atas bimbingan yang telah diberikan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Staf Balai Teknologi Perbenihan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Bogor dan Bali serta staf rumah kaca Cikabayan yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian. 5. Papa dan Mama yang selalu memberikan doa, semangat dan kasih sayang yang tak terhingga. 6. Bang Eka, Fajri dan keluarga tercinta yang selalu memberikan motivasi, saran dan doanya setiap saat. 7. A Rais yang selalu memberikan semangat, doa, perhatian dan bantuan selama pelaksanaan penelitian serta kebersamaan yang indah. 8. Ninik, Kaka, Firoh, Ardi KSH 42, Hanum, Arya, Rifka, Asro dan teman – teman AGH 42 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dorongan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian serta kebersamaan yang indah.
9. Aisyaher’s Eneng Depi, Defiana, Chan-Chan, Aan, Putri, Ici, Indri, Widya, Anggun, Wari, Hana, Iin, Kanov yang telah memberikan semangat, doa dan kebersamaan yang indah. 10. Pihak – pihak dan rekan mahasiswa lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas segala bantuannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi yang memerlukan.
Bogor, Maret 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………….
vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….
viii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….
ix
PENDAHULUAN .............................................................................. … Latar Belakang ............................................................................ Tujuan.......................................................................................... Hipotesis ......................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Sebaran dan Deskripsi Umum Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa) .................................................................. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan Benih ........ Perlakuan Pra Perkecambahan Benih .......................................... Uji Tetrazolium ...........................................................................
4
BAHAN DAN METODE ....................................................................... Waktu dan Tempat ...................................................................... Bahan dan Alat ............................................................................ Metode Percobaan ....................................................................... Pelaksanaan Percobaan ............................................................... Pengamatan .................................................................................
23 23 23 23 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Hasil ............................................................................................ Pembahasan .................................................................................
29 29 33
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... Kesimpulan.................................................................................. Saran ............................................................................................
40 40 40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
41
LAMPIRAN ............................................................................................
47
4 6 13 19
DAFTAR TABEL Nomor 1.
2.
3.
4.
Halaman Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Panggal Buaya .....................................................
29
Nilai Rata-Rata Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dengan Media Tanam terhadap Tolok Ukur Intensitas Dormansi dan Viabilitas Tetrazolium Benih Panggal Buaya ..........................
31
Pengaruh Faktor Tunggal Perlakuan Pra Perkecambahan Benih Panggal Buaya terhadap Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh, Intensitas Dormansi dan Viabilitas Tetrazolium .............................
32
Pengaruh Faktor Tunggal Media Tanam Benih Panggal Buaya terhadap Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh, Intensitas Dormansi dan Viabilitas Tetrazolium ..............................................................
33
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Benih Panggal Buaya (Potongan Longitudinal)................
4
2. Perkembangan Perkecambahan Benih Panggal Buaya (Tipe Epigeal) ..................................................................................
26
3. Benih Viabel dan Non Viabel .........................................................
28
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap PTM ...................
48
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap DB ......................
48
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap KCT .....................
48
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap ID .......................
49
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap VTTZ ...................
49
6.
Kecambah Abnormal Panggal Buaya ......................................... ...
49
7.
Kecambah Normal Panggal Buaya .................................................
50
8.
Pohon Panggal Buaya ......................................................................
51
9.
Intensitas Pewarnaan Larutan Tetrazolium pada Benih Segar Tidak Tumbuh .................................................................................
52
10. Denah Percobaan .............................................................................
53
2.
3.
4.
5.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peningkatan produktivitas hutan tanaman sampai saat ini masih mengalami kendala. Pemilihan jenis tanaman yang kurang tepat baik secara ekonomi maupun ekologi merupakan masalah yang mendasar. Selain itu penggunaan benih bermutu dalam kegiatan penanaman hutan kurang mendapatkan perhatian yang serius. Masalah lainnya adalah sulitnya mendapatkan benih bermutu tinggi dan kurang diketahui teknik penanganan benih yang tepat. Pembangunan hutan tanaman dilakukan untuk mengantisipasi penyediaan bahan baku industri berbasis kayu yang selama ini masih dipasok dari hutan alam yang menyebabkan populasinya cenderung terus mengalami penurunan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pembangunan hutan tanaman dalam bentuk hutan rakyat terbukti telah memberikan sumbangan yang besar dalam memenuhi bahan baku industri, antara lain bagi industri kerajinan patung. Industri patung merupakan salah satu industri yang banyak menarik wisatawan dan merupakan sumber devisa bagi negara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Bali Tahun 1996-1999 terdapat sebanyak 230 industri perkayuan termasuk di dalamnya industri patung dan mampu menyerap sebanyak 3.843 orang tenaga kerja (Puspitarini, 2003). Pada sentra-sentra industri patung di Bali, jenis kayu yang umum digunakan sebagai bahan baku adalah kayu Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa) karena mempunyai tekstur yang halus serta lurus bersilika, pori sangat kecil dengan warna kayu yang menarik serta mudah dikerjakan, baik dengan tangan maupun mesin sehingga kayu ini baik untuk dijadikan bahan perpatungan (Rulliaty dalam Yuniarti et al., 2001). Kayu Panggal Buaya merupakan jenis kayu yang mempunyai nilai komersil yang cukup penting dan telah banyak digunakan untuk kayu perpatungan, konstruksi, ukiran serta kerajinan lainnnya yang bernilai tinggi namun kayu Panggal Buaya masih langka (Yuniarti et al., 2002). Untuk mengantisipasi kelangkaan bahan baku kayu Panggal Buaya, diperlukan upaya untuk pembangunan hutan tanaman jenis tanaman ini.
Agar pembangunan hutan tanaman dapat berjalan sebagaimana mestinya perlu ditunjang oleh penyediaan benih dan bibit dalam jumlah yang cukup, berkualitas tinggi dan tersedia dalam waktu yang tepat. Penggunaan benih berkualitas diyakini dapat meningkatkan kualitas hasil, volume per satuan luas dan memperpendek daur tanaman. Hambatan utama yang dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman Panggal Buaya di lapangan adalah sulitnya pengecambahan benih Panggal Buaya. Faktor lain yang diperkirakan menjadi penyebab kelangkaan jenis tanaman ini adalah informasi mengenai tanaman, budidaya dan perkecambahannya masih terbatas. Sulitnya perkecambahan benih Panggal Buaya disebabkan oleh terhalangnya kemunculan kecambah oleh kulit benih yang tebal dan keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terdapat pada benih itu sendiri. Faktor eksternal merupakan faktor yang terdapat di luar benih, seperti halnya faktor lingkungan. Sutopo (2002) menambahkan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perkecambahan adalah media perkecambahan. Yuniarti et al., (2001) menyatakan bahwa media vermikulit merupakan media yang terbaik untuk perkecambahan benih Panggal Buaya di rumah kaca yaitu sebesar 45.33% dan perlakuan pendahuluan yang tepat untuk benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa) sebelum dikecambahkan adalah perendaman dalam larutan asam sulfat selama 2 jam dapat meningkatkan daya berkecambah hingga 40.00% bila dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan yang lain dan kontrol yang daya berkecambahnya sebesar 0%. Selain itu, Puspitarini (2003) melaporkan bahwa perendaman benih Panggal Buaya pada konsentrasi asam sulfat 95% dengan lama perendaman 30 menit yang diikuti dengan perendaman air pada suhu kamar 1 x 24 jam memberikan hasil tertinggi pada tolok ukur potensi tumbuh sebesar 40.7% dan daya berkecambah sebesar 39.7%. Sedangkan interaksi antara konsentrasi asam sulfat 85% dengan lama perendaman 60 menit yang diikuti dengan perendaman air pada suhu kamar 1 x 24 jam memberikan hasil tertinggi pada tolok ukur kecepatan tumbuh sebesar 0.904% KN/etmal. Database agroforestri yang dikeluarkan oleh ICRAF (2001) menyatakan bahwa benih Zanthoxylum chalybeum yang tumbuh di benua Afrika juga
mengalami kesulitan dalam perbanyakan tanaman yang disebabkan oleh kuatnya dormansi kulit benih. Metode skarifikasi secara kimiawi dengan menggunakan asam sulfat berkonsentrasi tinggi akan meningkatkan perkecambahan benih sangat direkomendasikan. Selain itu International Seed Testing Association (ISTA) merekomendasikan penggunaan KNO3 dengan konsentrasi 0.1% – 0.2% atau 2% KNO3 sebagai promotor perkecambahan dalam sebagian besar pengujian perkecambahan benih (Copeland dan McDonald, 2001). Pada beberapa spesies KNO3 berpengaruh pada perkecambahan. Misalnya pada benih kayu Afrika dimana perendaman benih dalam larutan KNO3 0.2% selama 30 menit menghasilkan PTM tertinggi sebesar 52.85% dibandingkan dengan benih tanpa perlakuan dengan PTM sebesar 41.73% (Muharni, 2002). Namun hasil-hasil penelitian benih Panggal Buaya menggunakan perlakuan perendaman dengan larutan asam tersebut masih belum memuaskan karena perkecambahannya kurang dari 60%. Pada penelitian ini akan dilakukan percobaan mengenai media tanam dan perlakuan pra perkecambahan yang lebih tepat untuk meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa). Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui media tanam dan perlakuan pra perkecambahan yang efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa).
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat media tanam yang efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya. 2. Terdapat
perlakuan
benih
yang
efektif
untuk
meningkatkan
perkecambahan benih Panggal Buaya. 3. Terdapat interaksi antara media tanam dan perlakuan pra perkecambahan yang dapat meningkatkan viabilitas benih Panggal Buaya.
TINJAUAN PUSTAKA
Sebaran dan Deskripsi Umum Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa) Panggal Buaya termasuk ke dalam family Rutaceae, sub famili Rutioidea, genus Fagara dan sering disebut dengan nama lain, seperti Xanthoxylum, Xanthoxylon, dan Zanthoxylon (Waterman, 1975). Panggal Buaya tersebar di Papua New Guinea, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Indocina, India, Srilangka Bagian Barat. Di beberapa daerah di Indonesia, jenis ini dikenal dengan nama dapdap harangan (Batak), ki tanah (Sunda), kanjeng siti, kayu lemah (Jawa), kayu tana (Madura), panggal buaya, keranginan (Bali) (Heyne, 1987). Pada umumnya pohon Panggal Buaya tumbuh pada daerah pesawahan dan hutan terbuka pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut (Yuniarti et al., 2001). Tanaman Panggal Buaya memiliki ciri khas batang yang dipenuhi duri runcing yang tumbuh rapat di permukaan batang hingga keujung ranting, tetapi setelah diameter batang lebih dari 20 cm terlihat duri-durinya mulai berkurang. Pada pohon yang besar duri hanya terdapat di cabang-cabang dan ranting-ranting saja. Kulit batang berwarna hijau bergaris-garis coklat, daunnya berwarna hijau, berbentuk oval dan tersusun menyirip. Bunga berwarna putih terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Masa berbunga mulai dari Agustus dan buah akan matang sekitar bulan Januari-April (Djam’an, 2001). Struktur benih Panggal Buaya tergolong ke dalam benih yang dilindungi oleh struktur fisik yang protektif (protecting structure), yaitu kulit benih yang tebal dan keras melindungi benih dari kerusakan fisik pada saat lepas dari pohon induk
Seed Coat
Perisperm
Embrio
Kotiledon
Sumber : Diyah Puspitarini (BPTH, Bali) Gambar 1. Struktur Benih Panggal Buaya (Potongan Longitudinal)
Puspitarini (2003) melaporkan tingkat kemasakan buah Panggal Buaya dicirikan dengan warna merah merata pada kulit buah, ukuran buah dan ukuran benih (diameter buah 7.5 mm, panjang buah 5.4 mm, lebar benih 5.1 mm, dan tebal benih 4.1 mm), kadar air minimum (20.7%), serta bobot kering relatif benih mencapai nilai maksimum pada tingkat kemasakan 4 (83.9%). Jumlah benih Panggal Buaya dalam 1 kilogram adalah sebanyak ± 15 236 butir, dan termasuk dalam benih berukuran kecil (>5000 butir/kilogram). Benih Panggal Buaya digolongkan dalam benih berlemak (oily seed) karena diduga lemak dominan terdapat dalam cadangan makanan (11.57%). Sementara lignin (72.23%) diduga merupakan komponen
yang dominan
menyusun kulit benih (Puspitarini, 2003). Jirovetz et al. (1998) melaporkan bahwa dalam biji Pangal Buaya terdapat senyawa minyak esensial yang memberikan suatu aroma yang khas pada biji. Berdasarkan analisis biji teridentifikasi lebih dari 40 senyawa dengan komponen utama (konsentrasi lebih dari 3%) adalah sabinene (47,12%), alpha-terpineol (7,73%), terpinen-4-ol (6,61%), beta-pinene (5,99%), limonene (4,06%), alphapinene (3,87%), gamma-terpinene (3,64%), alpha-terpinene (3,45%), dan para – cymene (3,08%). Selain itu, Heyne (1987) menyatakan bahwa buah Panggal Buaya juga digunakan sebagai bumbu masak (buah muda). Kayu jenis ini dikenal mempunyai nilai komersial tinggi dan telah banyak digunakan untuk kontruksi rumah atau bahan kerajinan. Di Jawa, kayu ini digunakan sebagai bahan bangunan, perabotan rumah tangga, sarung keris, popor senjata, kaso, dan mebel. Di Bali, kayu ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sebagai bahan pembuat patung. Warna kulit teras dan gubal yang sama, yaitu jerami atau putih kekuningan, tekstur yang halus, serta lurus bersilika, pori sangat kecil hingga kecil serta jari-jari kayu yang pendek sempit dan jarang sehingga membuat kayu Panggal Buaya ini sangat baik untuk dijadikan bahan perpatungan. Kayu Panggal Buaya memiliki berat jenis 0,51 (0,33-0,66) dengan kelas awet IV – V dan kelas kuat III – IV. Bila digunakan dibawah atap sangat awet dan tidak mudah belah atau bengkok, tahan terhadap serangan serangga dan mempunyai ketahanan yang cukup terhadap jamur pelapuk. Kayu Panggal Buaya mudah dikerjakan, mempunyai permukaan yang halus dan mengkilap serta mudah
dikeringkan tanpa menimbulkan cacat, retak, belah, atau pecah (Rulliaty dalam Yuniarti et al., 2001).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan Benih Perkecambahan benih merupakan suatu proses awal yang penting untuk kehidupan tanaman selanjutnya. Perkecambahan benih menurut fisiologiwan benih ialah berkembangnya struktur penting dari embrio yang ditandai dengan munculnya struktur tersebut dengan menembus kulit benih, sedangkan seorang teknologiwan benih menyatakan bahwa berkecambah ialah muncul dan berkembangnya struktur penting dari embrio serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada keadaan alam yang menguntungkan (Pranoto et al., 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terdapat pada benih itu sendiri. Menurut Copeland dan McDonald (2001) tingkat kemasakan benih merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih. Benih mengalami pemasakan ditandai dengan penurunan berat benih dan kadar air benih. Pada saat itu benih mencapai masak fisiologis, dimana viabilitas dan vigor benih maksimum. Dormansi benih juga diketahui sebagai faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih (Hilhorst dan Toorop, 1997). Dormansi ada dua yaitu dormansi endogen dan dormansi eksogen. Dormansi endogen merupakan dormansi yang disebabkan oleh embrio rudimenter, after-ripening, keseimbangan hormonal dan hambatan mekanik. Dormansi eksogen merupakan dormansi yang disebabkab oleh kulit benih impermeabel terhadap air dan gas, filter terhadap cahaya, mengandung inhibitor (Widajati et al., 2008). Selanjutnya Sutopo (2002) menambahkan bahwa faktor dalam benih yang juga mempengaruhi perkecambahan adalah ukuran benih dan zat penghambat perkecambahan benih. Faktor eksternal merupakan faktor yang terdapat di luar benih, seperti halnya faktor lingkungan. Copeland dan McDonald (2001) mengemukakan bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah air, gas (O2 dan CO2), suhu, dan cahaya. Selain itu Sutopo (2002) juga menambahkan faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan adalah media perkecambahan.
Media berfungsi sebagai tempat berjangkar akar, sumber hara dan air, penopang tanaman agar tumbuh dengan baik. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media adalah aerasi, kapasitas memegang air (water holding capasity) dan kapasitas tukar kation yang mempengaruhi penyerapan unsur hara. Media yang biasanya digunakan untuk pengujian daya berkecambah dapat berupa kertas, pasir, arang sekam, tanah. Media perkecambahan benih yang optimum dapat memberikan hasil yang terbaik untuk perkecambahan benih (dapat meningkatkan viabilitas benih). Seperti halnya pada hasil penelitian Murniati dan Suminar (2006) bahwa benih mengkudu yang dikecambahkan pada media perkecambahan tanah campur kompos dengan perbandingan 1 : 1 menghasilkan DB tertinggi sebesar 88.67% dibandingkan jika dikecambahkan dalam pasir yang menghasilkan DB sebesar 80.17%. Media vermikulit merupakan media yang terbaik untuk perkecambahan benih Panggal Buaya di rumah kaca yaitu menghasilkan daya berkecambah sebesar 45.33% dibandingkan jika dikecambahkan dengan media kokopit hanya dapat menghasilkan daya berkecambah benih Panggal Buaya sebesar 29.33% ataupun dikecambahkan dengan pasir hanya menghasilkan daya berkecambah sebesar 18.67%, media tanah untuk perkecambahan benih Panggal Buaya hanya dapat menghasilkan daya berkecambah sebesar 10.67% sedangkan campuran media tanah dan pasir dengan perbandingan yang sama (1:1) benih Panggal Buaya memiliki daya berkecambah sebesar 40.00% dan benih Panggal Buaya yang dikecambahkan dengan campuran media tanah dan kompos dengan perbandingan 1 : 1 hanya dapat menghasilkan daya berkecambah sebesar 5.33% (Yuniarti et al., 2001). Pasir telah digunakan secara luas sebagai media tanam alternatif (media perakaran) untuk menggantikan fungsi tanah. Pasir relatif murah dan mudah tersedia, serta memiliki daya rekat yang tinggi. Pasir tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyiraman yang lebih (Hartman dan Kester, 1983). Sejauh ini pasir dianggap memadai dan sesuai jika digunakan sebagai media untuk penyemaian benih, pertumbuhan bibit tanaman, dan perakaran stek batang tanaman. Sifatnya yang cepat kering akan memudahkan proses pengangkatan bibit tanaman yang dianggap sudah cukup umur untuk
dipindahkan ke media lain. Keunggulan media tanam pasir adalah kemudahan dalam penggunaan dan dapat meningkatkan sistem aerasi serta drainase media tanam (Nugroho, 2008). Menurut Hartman dan Kester (1983) pasir tidak mengandung nutrisi sehingga dalam penggunaannya perlu dicampur dengan bahan organik. Selain pasir, tanah merupakan tempat tumbuh tanaman dan penyedia hara. Tanah sangat diperlukan untuk campuran media pembibitan meskipun dalam jumlah yang sedikit. Hal ini karena tanah dapat meningkatkan serapan unsur hara tanaman sehingga berada dalam jumlah yang seimbang. Menurut Hartman dan Kester (1983) komponen tanah tersusun dalam bentuk padatan, cairan dan gas. Komponen tanah dalam bentuk padatan berupa bahan organik dan inorganik yang telah mengalami dekomposisi baik secara fisik maupun kimia. Komponen tanah dalam bentuk cairan berupa air yang ditahan dalam pori tanah dengan daya ikat yang berbeda-beda tergantung dari jumlah air yang ada di dalam pori tanah. Bersama dengan garam-garam yang larut air merupakan sumber hara tersedia bagi tanaman, sedangkan komponen tanah dalam bentuk gas, tanah dapat menjaga aerasi sehingga perakaran dapat tumbuh dengan baik. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah. Kelemahan media tanah antara lain adalah bobotnya berat, tanah mudah pecah sehingga kurang menunjang dalam sistem perakaran. Secara fisik tanah mineral merupakan campuran yang terdiri dari zarah anorganik, bahan organik yang terus-menerus melapuk, udara, dan air. Tanah mengandung unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, S, Ca, dan Mg) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, B, Cu, Mo, dan Cl). Sifat fisik tanah yang penting adalah tekstur tanah dan struktur tanah. Kedua sifat itu membantu menetukan daya penyediaan unsur hara dan penyediaan air serta udara yang sangat penting bagi tanaman (Soepardi, 1983). Menurut Courtier (1993) secara umum tanaman tumbuh pada media tanah. Tanah mengandung banyak mineral yang diperlukan oleh tanaman sedangkan media tumbuh buatan tidak mengandung banyak mineral. Media lain yang dapat digunakan sebagai media perkecambahan adalah zeolit. Zeolit merupakan salah satu bahan kekayaan alam yang sangat bermanfaat di berbagai bidang kegiatan yang luas seperti pertanian, peternakan dan industri.
Zeolit merupakan mineral alumina silika hidrat yang memiliki sifat-sifat spesifik, memiliki rongga-rongga kecil yang dapat menyimpan air dan mengandung kationkation alkali dan alkali tanah seperti Ca, K, Na, dan Mg (Prihatini et al., 1989). Beberapa sifat kimia zeolit yang sangat penting antara lain merupakan penyerap yang selektif, dapat digunakan sebagai penukar ion dan mempunyai aktivitas katalisis yang tinggi. Hasil penelitian Prihatini et al. (1989) menunjukkan pemupukan NPK dan pemberian zeolit meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan padi gogo. Zeolit ada dua macam yaitu zeolit alam dan sintetis. Zeolit alam sudah banyak dimanfaatkan sehingga jumlahnya semakin berkurang. Umumnya zeolit alam digunakan untuk pupuk, penjernihan air, dan diaktifkan untuk dimanfaatkan sebagai katalis dan adsorbent. Zeolit sintesis adalah suatu senyawa kimia yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang sama dengan zeolit yang ada di alam, zeolit sintetis ini dibuat dengan rekayasa ilmiah melalui tahapan-tahapan prosedur yang cukup rumit dengan menggunakan bahan alumina, silika dan phosphat serta bahan tambahan yang lain (Saputra, 2006). Karena secara umum, zeolit mempunyai kemampuan untuk menyerap, menukar ion, dan menjadi katalis, membuat zeolit sintetis ini dapat dikembangkan dalam bidang pertanian. Zeolit mampu menyerap dan mengeluarkan air dan kation secara reversible, sehingga apabila molekul air yang terdapat dalam rongga saluran keluar maka zeolit dapat menyerap kembali air serta molekul lain (Estiaty, 2008). Zeolit mempunyai sifat sebagai penukar ion dan penyaring molekul sehingga diharapkan hara-hara yang diberikan melalui pemupukan diikat dan tidak mudah hilang sebelum dimanfaatkan oleh tanaman. Penambahan zeolit akan menyerap unsur hara khususnya amonium yang dikeluarkan pupuk. Jika konsentrasi hara dalam tanah menurun, unsur hara yang telah dijerap oleh zeolit akan lepas kembali ke dalam larutan tanah, sehingga unsur hara yang diberikan ke dalam tanah dapat tersedia dalam waktu yang lebih lama. Menurut Estiaty (2008) zeolit mengandung unsur-unsur hara makro dan mikro yang dapat disumbangkan ke dalam tanah. Penambahan zeolit dapat memperbaiki agregasi tanah sehingga meningkatkan pori-pori udara tanah yang berakibat merangsang pertumbuhan akar tanaman. Luas permukaan akar tanaman
menjadi bertambah yang berakibat meningkatnya jumlah unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Penggunaan zeolit sebagai media tanam sangat bermanfaat dan memiliki keunggulan dibandingkan menggunakan jenis media yang lain. Menurut Estiaty (2008) keunggulan tersebut antara lain : o Zeolit dapat menyerap air dalam jumlah cukup tinggi sehingga praktis untuk perawatan dan penyiraman tanaman. o Unsur-unsur komponen penyubur tanah dapat disimpan pada struktur zeolit sehingga dapat dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan tanaman yang sesuai dengan keperluan dan dapat bersifat sebagai slow releasing agent. o Bentuknya berwarna putih dalam keadaan kering dan kehijauan dalam keadaan bersih sehingga dapat digunakan sebagai indikator jumlah air yang terdapat di dalamnya. o Dapat secara otomatis mengatur keseimbangan pH media mengingat sifat keasaman dari zeolit yang unik. o Bentuk zeolit yang digunakan berupa butiran yang tidak mudah hancur dan tidak mudah menggumpal. Hal ini dapat membantu pertumbuhan jaringan akar tanaman. Arang sekam juga dapat digunakan sebagai media perkecambahan karena arang sekam merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari sekam padi (kulit gabah) yang berwarna hitam. Warna hitam pada arang sekam akibat proses pembakaran tersebut menyebabkan daya serap terhadap panas tinggi sehingga menaikkan suhu dan mempercepat perkecambahan. Karakteristik arang sekam antara lain adalah sangat ringan (berat jenis = 0.2 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi (banyak pori), kapasitas menahan air tinggi, warna coklat kehitaman sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari dengan efektif dan dapat mengurangi pengaruh penyakit khususnya layu bakteri (Satria, 2008). Sekam padi merupakan sumber bahan organik yang potensial. Selain itu, bahan media ini tidak mudah lapuk sehingga sulit ditumbuhi jamur. Menurut Soepardi (1983) sekam bakar mengandung N 0.32%, P 0.15%, K 0.31%,
Ca 0.96%, Fe 180 ppm, Zn 14.10 ppm dan pH 6.8 serta kadar kalium dalam abu sekam kurang lebih 30% K2O. Porositas yang tinggi dapat memperbaiki aerasi dan drainase media namun menurunkan kapasitas menahan air pada arang sekam. Kemampuan menyimpan air pada sekam padi sebesar 12.3% yang nilainya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pasir yang memiliki kapasitas menyimpan air sebesar 33.7% (Nelson, 1981). Hasil penelitian Suminar (2004) melaporkan bahwa arang sekam hanya dapat menghasilkan DB pada benih mengkudu sebesar 25%. Selain pasir, tanah, zeolit, arang sekam, kokopit merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Kokopit untuk media tanam berasal dari buah kelapa tua karena memiliki serat yang kuat (Satria, 2008). Kokopit dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut kokopit dapat digunakan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan tanaman hortikultura dan media tanaman rumah kaca (Nugroho, 2008). Menurut Satria (2008) kelebihan kokopit sebagai media tanam lebih dikarenakan karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat sehingga dengan menggunakan kokopit penyiraman dapat dilakukan dengan lebih jarang, serta sesuai untuk daerah panas, dan mengandung unsur-unsur hara esensial, seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), Kalium (K), natrium (N), fosfor (P). Menurut Satria (2008) kompos merupakan media tanam organik yang bahan dasarnya berasal dari proses fermentasi tanaman atau limbah organik, seperti jerami, sekam, daun, rumput, dan sampah kota. Pengomposan dapat didefinisikan sebagai proses biokimia, dimana bermacam-macam kelompok mikroorganisme menghancurkan bahan organik menjadi bahan seperti humus, yang mempunyai sifat sama dengan pupuk kandang (Gaur, 1982). Kandungan utama dengan kadar tertinggi dari kompos adalah bahan organik yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi tanah. Berdasarkan hal tersebut kompos memiliki dua fungsi yaitu sebagai soil conditioner yang berfungsi memperbaiki struktur tanah terutama tanah kering dan soil ameliorator yang berfungsi memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK) baik pada tanah ladang maupun tanah sawah (Nugroho, 2008). Unsur lain dari kompos bervariasi cukup
banyak dengan kadar rendah seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium (Lingga dan Marsono, 2001). Kompos yang baik untuk digunakan sebagai media tanam adalah yang telah mengalami pelapukan secara sempurna, ditandai dengan perubahan warna dari bahan pembentuknya (hitam kecokelatan), tidak berbau, memiliki kadar air yang rendah, dan memiliki suhu ruang. Menurut Santoso (1998) keuntungan menggunakan media kompos antara lain sebagai berikut : o Mampu mengembalikan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat-sifat tanah baik fisik, kimia, maupun biologis. o Mempercepat dan mempermudah penyerapan unsur nitrogen oleh tanaman karena telah diadakan perlakuan khusus sebelumnya. o Mengurangi tumbuhnya tumbuhan pengganggu. o Dapat disediakan secara mudah, murah, dan relatif cepat. Penelitian tentang media pembibitan telah banyak dilakukan, namun untuk benih Panggal Buaya belum banyak dilakukan. Hasil penelitian Saefudin dan Manoi (1994) membuktikan bahwa benih aren yang dikecambahkan dalam media campuran tanah dan kompos menghasilkan DB lebih tinggi yaitu sebesar 28.9% dibandingkan dengan media pasir yang menghasilkan DB sebesar 20.6%. Penelitian Nurhasybi (1995) pada benih rotan manau (Calamus manan Miq) dengan mengecambahkan pada berbagai media semai menunjukkan bahwa campuran media tanah dan serbuk gergaji (1:1) menunjukkan hasil yang terbaik terhadap daya berkecambah dan kecepatan berkecambah. Hasil penelitian Effendi et al., (1997) menunjukkan bahwa benih sawo kecik yang disemaikan pada campuran media pasir, tanah, dan kotoran sapi dengan perbandingan sama menunjukkan hasil terbaik dengan DB (83.67%). Kalima dan Witono (2000) melaporkan bahwa campuran tanah, pasir, serbuk gergaji, sekam, kompos (1:1:1:1:1) memberikan hasil terbaik bagi perkecambahan benih rotan teretes. Yuniarti et al., (2001) menunjukkan bahwa media vermikulit merupakan media yang terbaik untuk perkecambahan benih Panggal Buaya di rumah kaca yaitu sebesar 45.33%. Rofik dan Murniati (2008) melaporkan bahwa media pasir dan arang sekam memiliki nilai PTM yang cukup tinggi(> 80%) pada benih aren. Hasil penelitian Murniati dan Suminar (2006) menunjukkan bahwa media
campuran tanah dan kompos dengan perbandingan (1:1) merupakan media yang terbaik bagi perkecambahan benih mengkudu dengan DB (88.7%).
Perlakuan Pra Perkecambahan Benih Benih tanaman kehutanan ada yang memiliki kulit benih yang cukup keras sehingga menyulitkan benih untuk berkecambah pada kondisi lingkungan yang optimum dalam waktu singkat. Menurut Bewley dan Black (1994) benih dorman karena adanya jaringan yang menutupi embrio yaitu kulit benih, endosperm, pericarp, atau organ extrafloral sehingga membatasi pertumbuhan embrio untuk melewatinya. Dormansi benih menunjukkan suatu keadaan dimana benih-benih sehat (viabel) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan cahaya yang sesuai. Pada beberapa jenis varietas tanaman tertentu, sebagian atau seluruh benih menjadi dorman sewaktu dipanen sehingga masalah yang sering dihadapi petani atau pemakai benih adalah bagaimana cara mengatasi dormansi tersebut. Untuk mengatasi masalah dormansi pada kulit benih dapat dilakukan pretreatment. Perlakuan pendahuluan untuk mematahkan dormansi dapat dilakukan dengan skarifikasi baik skarifikasi mekanik seperti pengamplasan dan pengikiran maupaun skarifikasi kimiawi dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H2SO4 dan HCl), alkohol, dan H2O2. Perlakuan awal atau perlakuan pendahuluan adalah perlakuan sebelum penaburan yang dilakukan untuk menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahan benih yang ditabur di persemaian, lapangan atau untuk pengujian (Schmidt, 2002). Pada beberapa kasus, perlakuan awal semata-mata mempercepat proses alami pematahan dormansi. Dalam beberapa hal, proses penanganan benih berfungsi sebagai perlakuan awal, seperti pencucian zat – zat penghambat selama proses pengupasan daging buah, pengikisan kulit biji selama pengocokan, pematangan lanjutan dari embrio yang belum masak, atau benih yang dorman secara mekanis diekstrak dari buahnya sebelum disimpan. Perlakuan air panas untuk membunuh serangga dan patogen benih juga berfungsi sebagai perlakuan awal.
Umumnya, metode perlakuan awal tertentu dirancang untuk mengatasi permasalahan dormansi tertentu. Stratifikasi dingin lembab dapat efektif pada dormansi suhu juga pada pelunakan kulit biji, baik dormansi fisik maupun kimia dapat diatasi melalui perendaman. Delouche (1985) menyatakan bahwa dormansi karena kulit benih keras dapat dipecahkan dengan stratifikasi, pengaturan cahaya, skarifikasi, perlakuan panas dalam jangka waktu pendek dan perlakuan suhu dingin. Menurut Hartman dan Kester (1983), perlakuan-perlakuan sebelum perkecambahan yang mampu menstimulir perkecambahan, diantaranya : a. Skarifikasi mekanik yang dapat mengurangi masalah dengan kulit benih keras. b. Perendaman benih dalam air yang dapat mengurangi masalah kulit benih keras, menghilangkan inhibitor, melunakkan benih, dan mempercepat waktu perkecambahan. c. Skarifikasi dengan asam yang dapat mengurangi masalah kulit benih keras atau kulit benih yang impermeabel. d. Stratifikasi dingin yang dapat digunakan pada benih yang mempunyai sifat after-ripening. e. Perendaman dengan larutan potassium nitrat. f. Pengaturan cahaya. Copeland dan McDonald (2001) menyebutkan terdapat bahan-bahan yang dapat merangsang perkecambahan diantaranya KNO3, Hidrogen Peroksida (H2O2), Asam Sulfat (H2SO4), Thiourea, Asam Giberelat (GA3), Auksin (IAA), Sitokinin, dan Ethilen (C2H2). Perlakuan awal larutan asam efektif digunakan untuk mengatasi benih dengan dormansi fisik. Khasa (1992) menemukan bahwa perlakuan awal Terminalia superba dengan asam sulfat (95%-98% v/v) selama 15-60 menit meningkatkan perkecambahan secara nyata sedangkan perlakuan dengan air panas merusak benih. Ini disebabkan karena larutan asam memilki viskositas yang lebih tinggi dari air tidak dapat menembus perikarp sehingga tidak menyentuh embrio. Sodium hypochlorite (5.25% v/v) juga memacu perkecambahan jenis ini, kemungkinan karena larutan ini menembus celah-celah perikarp dan melunakkan
dari dalam tetapi tidak merusak embrio. Pada Terminalia bellirica baik perkecambahan total maupun kecepatan perkecambahan meningkat secara nyata dibandingkan dengan kontrol dengan perlakuan perendaman selama 12 menit dalam larutan asam sulfat (Bhardwaj dan Chakraborty, 1994). Teknik skarifikasi secara kimia dapat dilakukan dengan perendaman. Tujuan dari teknik ini adalah untuk melunakkan endocarp dan membuang zat penghambat. Zat kimia yang biasa dipakai adalah H2SO4 pekat. Untuk mendapatkan hasil yang baik harus dipertimbangkan mengenai perbandingan benih dengan larutan perendaman, suhu, dan lama perendaman. Asam sulfat merupakan asam mineral (anorganik) yang kuat dan larut dalam air pada semua perbandingan. Asam sulfat mempunyai banyak kegunaan, termasuk dalam kebanyakan reaksi kimia. Kegunaan utama termasuk pemrosesan bijih mineral, sintesis kimia, pemrosesan air limbah, dan pengilangan minyak. Asam sulfat telah digunakan secara meluas dan terbukti efektif dalam mengatasi masalah dormansi kulit benih. Menurut Kusmintardjo et al (1986), lama perendaman dalam asam sulfat tergantung jenis benihnya, biasanya antara 20-60 menit. Copeland dan McDonald (1995) menambahkan biasanya asam sulfat yang digunakan untuk skarifikasi dalam bentuk pekat dan penggunaannya dengan direndam maksimal selama 1 jam. Lama perendaman dalam asam sulfat tergantung pada : 1) ketebalan kulit, 2) suhu, 3) konsentrasi asam, 4) pengadukan, 5) volume asam. Selain itu lamanya perlakuan asam harus memperhatikan 2 hal, yaitu : 1) kulit benih atau pericarp dapat diretakkan untuk memungkinkan imbibisi, 2) larutan asam tidak mengenai embrio (Schmidt, 2002). Hasil penelitian Kurniaty (1987) menunjukkan bahwa benih kayu afrika (Maesopsis eminii Eng.) yang mengalami perendaman H2SO4 dengan konsentrasi 20 N dan lama perendaman 20 menit dapat meningkatkan daya berkecambah hingga 91.6% dibanding dengan kontrol (tanpa perlakuan) yang daya berkecambahnya sebesar 57.7%. Menurut Soeherlin (1996), perkecambahan normal tercepat pada benih mindi tercapai setelah mendapat perlakuan perendaman benih dalam 12 N H2SO4 selama 10 menit. Hasil penelitian Iriana (1997) menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi yang paling baik pada benih mindi dilakukan dengan merendam benih dalam larutan H2SO4 pekat
selama 10 menit dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan GA3 200 ppm selama 12 jam. Puspitarini (2003) mengemukakan bahwa struktur benih Panggal Buaya tergolong ke dalam benih yang dilindungi oleh struktur fisik yang protektif (protecting structure), yaitu kulit benih yang tebal dan keras melindungi benih dari kerusakan fisik dan mekanik pada saat lepas dari pohon induk. Yuniarti et al., (2001) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan yang tepat untuk benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa) sebelum dikecambahkan adalah benih direndam dalam larutan asam sulfat selama 2 jam dapat meningkatkan daya berkecambah hingga 40.00% bila dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan yang lain dan kontrol yang daya kecambahnya sebesar 0%. Selain itu, Puspitarini (2003) melaporkan bahwa perendaman benih Panggal Buaya pada konsentrasi asam sulfat 95% dengan lama perendaman 30 menit yang diikuti dengan perendaman air pada suhu kamar 1 x 24 jam memberikan hasil tertinggi pada tolok ukur potensi tumbuh sebesar 40.7% dan daya berkecambah sebesar 39.7%. Sedangkan interaksi antara konsentrasi asam sulfat 85% dengan lama perendaman 60 menit yang diikuti dengan perendaman air pada suhu kamar 1 x 24 jam memberikan hasil tertinggi pada tolok ukur kecepatan tumbuh sebesar 0.904% KN/etmal. Selain H2SO4, larutan KNO3 sangat dikenal sebagai bahan kimia yang digunakan dalam promotor perkecambahan. International Seed Testing Assosiation (ISTA) merekomendasikan penggunaan KNO3 dengan konsentrasi 0.1-0.2% atau 2% KNO3 sebagai promotor perkecambahan dalam sebagian besar pengujian perkecambahan benih (Copeland dan McDonald, 2001). Pada beberapa spesies KNO3 berpengaruh pada perkecambahan. Misalnya pada benih kayu Afrika dimana perendaman benih dalam larutan KNO3 0.2% selama 30 menit menghasilkan PTM tertinggi sebesar 52.85% dibandingkan dengan benih tanpa perlakuan dengan PTM sebesar 41.73% (Muharni, 2002). Larutan KNO3 dapat berinteraksi dengan suhu dalam menstimulir perkecambahan benih. Bewley dan Black (1994) menyebutkan bahwa pematahan dormansi dengan KNO3 diduga berhubungan dengan aktivitas lintasan pentose fosfat, ketersediaan O2 yang terbatas mengakibatkan lintasan pentose fosfat menjadi nonaktif karena O2 digunakan untuk aktifitas respirasi melalui lintasan
lain. Lintasan pentose fosfat merupakan suatu jalur oksidasi yang komplit dari glukosa dan menghasilkan NADPH dan ribose. Hasil penelitian Adiguno (2000) menyatakan bahwa perlakuan pematahan dormansi pada benih Palem Irian dengan matriconditioning serbuk gergaji dan perendam dalam KNO3 0.2% selama 26 hari berhasil meningkatkan daya berkecambah menjadi 60% dibandingkan dengan kontrol daya berkecambahnya 53.75%. Selanjutnya pada penelitian Muharni (2002) tentang pematahan dormansi benih kayu Afrika yang disebabkan kulit benihnya yang tebal dan mengkayu dengan perlakuan benih direndam dalam larutan KNO3 0.2% selama 30 menit menghasilkan daya berkecambah sebesar 50.13%, lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya menghasilkan daya berkecambah sebesar 39.94%. Hasil penelitian Saleh (2003) menunjukkan benih aren yang diskarifikasi dengan kertas amplas dan dikombinasikan dengan perendaman dalam larutan KNO3 selama 12, 24, 36 jam mempunyai nilai rataan DB 74.44%. Perlakuan perendaman dalam air mengalir berfungsi untuk mencuci zat-zat yang menghambat perkecambahan dan dapat melunakkan kulit benih. Perendaman dapat merangsang penyerapan lebih cepat. Perendaman adalah prosedur yang sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik, selain itu ada resiko bahwa benih akan mati jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi permeabel (Schmidt, 2000). Oleh karena itu perlu diperoleh waktu perendaman yang tidak merusak benih dan dapat membantu pematahan dormansi jika dikombinasikan dengan perlakuan lain. Selain skarifikasi kimia, perlakuan pendahuluan dapat dilakukan dengan pemberian zat – zat pengatur tumbuh kepada benih seperti auksin, sitokinin, dan giberelin. Fitohormon ada yang alami dan ada yang sintetik. Giberelin merupakan salah
satu
hormon
tumbuh
pada
tanaman
yang
dapat
mempercepat
perkecambahan. Hormon ini berperan utama dalam proses awal perkecambahan melalui aktivitas produksi enzim dan pengangkutan cadangan makanan. Penggunaan giberelin untuk mempercepat perkecambahan telah banyak dilakukan. Hasil Penelitian Murniati dan Zuhri (2002) menunjukkan bahwa giberelin mampu mempercepat perkecambahan biji kopi.
Krishnamoorthy (1981) menyatakan bahwa pemberian GA3 diduga dapat meningkatkan jumlah GA3 internal yang terdapat dalam benih. GA3 di dalam benih diperlukan dalam sintesis α-amilase yang penting bagi perkecambahan benih. Enzim ini berperan sebagai katalisator dalam perubahan pati menjadi gula. Peningkatan kadar gula dalam sel menyebabkan tekanan osmotik dalam sel lebih tinggi dibandingkan dengan diluar sel yang akan menyebabkan pembesaran sel. Perendaman benih sengon (Paraserianthes falcataria (L.)) pada berbagai konsentrasi GA3 selama satu jam dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel perkecambahan. Rata-rata persen perkecambahan dan laju perkecambahan tertinggi terjadi pada konsentrasi 80 ppm (Kusriner, 2002). Fatimah (2004) melaporkan bahwa perlakuan GA3 10 ppm merupakan perlakuan yang paling baik dalam mempercepat perkecambahan benih jati (DB 40%) serta meningkatkan pertumbuhan tanaman (tinggi batang, jumlah daun, panjang dan lebar daun). Durmistan (1991) menyatakan bahwa pematahan dormansi yang paling baik pada benih kenanga adalah dengan pengampelasan dan kombinasi perlakuan pengampelasan dan perendaman GA3 400 ppm selama 12 jam dapat meningkatkan Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) 13.33%, Daya Berkecambah (DB) 6.66% dan Kecepatan Tumbuh (KCT) 1.53%/etmal terhadap kontrol. Hasil penelitian Rosmadelina (1999) menunjukkan bahwa perlakuan mekanis, giberelin serta interaksi mekanis dan giberelin menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persentase benih berkecambah dan kecepatan berkecambah biji palem kol (Licuala grandis). Salisbury dan Ross (1993) menambahkan salah satu efek giberelin pada biji adalah mendorong pemanjangan sel. Selain perlakuan kimia, perlakuan suhu berganti juga dapat menstimulir perkecambahan. Perlakuan suhu yang dapat dilakukan adalah perlakuan suhu berganti. Suhu tinggi dapat mengakibatkan peningkatan hormon sitokinin dan suhu rendah dapat mengakibatkan peningkatan hormon giberelin sehingga menyebabkan terjadinya keseimbangan hormonal dengan demikian akan memacu perkecambahan benih. Dactylus glomerata memerlukan cahaya dan suhu untuk mempercepat perkecambahan selama penyimpanan kering. Setelah penyimpanan, benih yang dorman mampu berkecambah secara maksimum pada temperatur yang konstan.
Roberts (1988) menunjukkan bahwa pada saat pengaruh relatif dari faktor cahaya dan suhu berganti tidak berubah, kemungkinan perkecambahan benih terhadap respon cahaya dan suhu berganti meningkat secara linier selama disimpan pada suhu 15°C dan RH 15%. Pematahan dormansi pada benih Chenopodium album dilakukan dengan perlakuan suhu berganti 25 ± 1 ° C dan 5 ± 1 ° C selama 12 jam setiap hari selama 7 hari yang diawali dengan penyinaran lampu merah selama 10 menit (Khan dan Ungar dalam Dong-Sheng Tang et al., 2008). Hasil penelitian Dong-Sheng Tang et al., (2008) menyatakan bahwa lampu merah dengan suhu berganti secara signifikan mempengaruhi perkecambahan biji Chenopodium album dibandingkan perlakuan kontrol. Persentase perkecambahan pada cahaya merah selama 10 menit dan suhu berganti 25 ± 1 ° C dan 5 ± 1 ° C selama 12 jam setiap hari selama 7 hari meningkat secara signifikan dari 6% hingga 12% dan 14%. Perlakuan suhu berganti lebih menguntungkan dalam pematahan dormansi pada benih Chenopodium album dari pada suhu konstan.
Uji Tetrazolium Uji cepat viabilitas benih dengan menggunakan larutan tetrazolium (TTZ) merupakan salah satu cara untuk menduga aktivitas metabolisme benih secara biokimiawi (Sadjad, 1993). Uji cepat tetrazolium dimaksudkan untuk mengetahui keadaan benih yang sesungguhnya ketika benih gagal berkecambah, yaitu untuk membedakan benih dalam kondisi dorman atau benih dalam keadaan mati. Benih berwarna merah menunjukkan benih hidup, sedangkan benih berwarna putih menunjukkan benih mati. Tujuan uji tetrazolium adalah untuk memperkirakan viabilitas lot benih dengan cepat. Uji tetrazolium cocok dilakukan terutama pada lot benih yang perkecambahannya lama, benih sulit dipatahkan dormansinya, perkecambahan rendah, dan memastikan sisa benih tidak tumbuh pada akhir pengujian perkecambahan (Departemen Kehutanan, 2007). Larutan tetrazolium (2,3,5 – triphenyl tetrazolium khlorida) digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan proses biologis yang terjadi di dalam sel hidup. Di dalam benih, tetrazolium berinteraksi dengan jaringan sel hidup dan
mengeluarkan ion hidrogen. Hasil reaksi dengan hidrogen menyebabkan perubahan warna. Oleh karena itu uji tetrazolium memungkinkan untuk membedakan antara jaringan hidup yang berwarna merah dengan jaringan mati yang tidak berwarna (Departemen Kehutanan, 2007). Garam tetrazolium merupakan bahan yang tidak berwarna. Garam ini didalam jaringan-jaringan sel hidup ikut serta dalam proses reduksi (Sutopo, 2002). Ion hidrogen dalam proses respirasi benih yang dibebaskan dari proses pelepasan energi akan mereduksi 2-3-5- triphenyl tetrazolium khlorida yang berfungsi sebagai penerima hidrogen atau hydrogen acceptor, sehingga terjadi endapan formazan yang berwarna merah dan asam klorida (Copeland dan McDonald, 1995). Reaksinya adalah sebagai berikut : N – N – C6H5
N – NH – C6H5 +
C6H5 – C
+ 2e + 2H N = N – C6H5 – Cl
2,3,5-trifenil tetrazolium klorida
C6H5 – C
+ HCl N = N – C 6 H5 formazan asam klorida
Trifenil formazan yang terbentuk berwarna merah, stabil, dan tidak larut. Proses tersebut memungkinkan untuk dapat membedakan bagian sel hidup yang berwarna merah dari bagian sel mati yang tidak berwarna. Berdasarkan posisi dan ukuran daerah yang berwarna merah dan tidak berwarna pada embrio dan/atau endosperm dapat ditentukan apakah benih tersebut digolongkan sebagai viabel atau non-viabel. Pengujian dengan tetrazolium melalui beberapa tahap : Tahap 1 : Penyerapan air (imbibisi) untuk mengaktifkan enzim agar melakukan proses metabolisme. Tahap 2 : Persiapan benih agar daerah embrio mudah dimasuki oleh larutan tetrazolium. Tahap 3 : Evaluasi benih. Pada tahap satu, penyerapan air (imbibisi) untuk mengaktifkan enzim agar benih melakukan proses metabolisme. Pranoto et al., (1990) menyebutkan bahwa imbibisi merupakan suatu fase yang berhubungan dengan benih yang kering,
reaktivasi dari makromolekul dan organel serta respirasi yang menghasilkan ATP untuk suplai energi. Tahap kedua yaitu persiapan benih agar daerah embrio mudah dimasuki oleh larutan tetrazolium. Tahap ini memerlukan konsentrasi larutan tetrazolium dan waktu inkubasi tetentu. Berbagai metode dibuat untuk membuka daerah embrionik. Benih yang berukuran besar dapat dibelah dua memanjang melalui embrio. Benih yang berukuran kecil dapat dipotong atau ditusuk. Lama perendaman untuk inkubasi tergantung jenis benih. Wadah perendaman diusahakan tidak tembus cahaya karena larutan tetrazolium sangat peka terhadap cahaya. Menurut Byrd (1983) reaksi tetrazolium dapat dipengaruhi oleh suhu yang optimum, pH larutan sekitar 7, perlakuan pendahuluan terhadap benih, konsentrasi tetrazolium yang sesuai dan tekanan atmosfer yang diberikan karena benih berwarna lebih cerah pada keadaan yang agak hampa udara. Konsentrasi larutan tetrazolium yang umum dipakai adalah 1.0 %, sedangkan untuk benih yang terbelah sampai embrio dapat menggunakan larutan yang telah diencerkan 0.1 % sampai 0.25 %. Tahap tiga adalah evaluasi benih. Tahap ini merupakan bagian tersulit dari uji tetrazolium dan diperlukan pengetahuan yang baik mengenai bentuk benih dan jaringan embrionik untuk menentukan bagian penting apa saja yang harus berwarna merah dari embrio, sehingga bila dikecambahkan akan menghasilkan kecambah normal. Tiap noda, intensitas warna dan kondisi dari jaringan yang terwarnai dapat dipertimbangkan untuk menunjukkan viabilitas benih (Sutopo, 2002). Pewarnaan yang terjadi dipandang sebagai petunjuk bahwa benih tersebut viabel. Menurut ISTA (1996) benih atau embrio hasil uji tetrazolium yang tidak berwarna merah digolongkan sebagai benih non viabel, demikian juga benih yang pewarnaannya tidak beraturan atau struktur pentingnya lemah (placid). Benih yang viabel adalah benih yang embrio sepenuhnya berwarna merah atau hanya sebagian berwarna merah pada tempat-tempat yang sangat penting untuk perkecambahan.
Saat evaluasi secepatnya benih diangkat dari larutan tetrazolium dan dibilas dengan air. Benih-benih yang tidak segera diamati, dapat direndam dalam air dan disimpan dalam ruangan yang dingin sampai saat pengamatan. Pengamatan pada benih yang kecil dapat menggunakan alat bantu berupa mikroskop stereo atau kaca pembesar lainnya. Penggunaan larutan tetrazolium untuk uji viabilitas cepat dapat digunakan untuk menilai benih hidup dan benih mati serta dianggap lebih aman dari pengaruh lingkungan sehingga hasil yang diperoleh dapat menunjukkan kondisi yang sesungguhnya dari benih yang diuji. Meskipun uji cepat viabilitas dengan tetrazolium mampu menunjukkan adanya proses kehidupan di dalam benih, tetapi tidak langsung menujukkan kemampuannya berkecambah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian dan Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 – Oktober 2009.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.) yang diperoleh dari Kabupaten Tabanan, Pulau Bali yang dipanen pada bulan April 2009. Bahan kimia yang digunakan untuk perlakuan pra perkecambahan adalah asam sulfat (H2SO4) pekat, KNO3 2%, GA3 500 ppm, tetrazolium 1% dan aquades. Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah pasir, zeolit, arang sekam, kokopit, campuran tanah, kompos, dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 : 1 (v/v). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak kecambah, timbangan digital, germinator, pinset, gelas ukur, kertas label, plastik, ayakan pasir, gunting kuku, botol film, alat tulis, dan kamera.
Metode Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor yaitu media tanam dan perlakuan pra perkecambahan. Faktor pertama adalah media tanam (M) yang terdiri dari 5 taraf, yaitu : M0 : Pasir M1 : Zeolit M2 : Campuran tanah, kompos, pasir dengan perbandingan 1 : 1 : 1 (v/v) M3 : Kokopit M4 : Arang sekam Faktor kedua adalah perlakuan pra perkecambahan (P) yang terdiri dari 5 taraf, yaitu :
P0 : Kontrol (tanpa diberikan perlakuan) P1 : Perendaman benih dalam H2SO4 pekat selama dua jam yang diikuti dengan perendaman air selama 24 jam P2 : Perendaman benih dalam KNO3 2% selama 24 jam P3 : Perendaman benih dalam GA3 500 ppm selama 24 jam P4 : Perlakuan suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan enam jam suhu 30°C) dengan germinator selama lima hari Kombinasi dari kedua faktor menghasilkan 25 perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 75 satuan percobaan. Jumlah benih yang digunakan 25 butir tiap satuan percobaan sehingga total benih untuk seluruh percobaan adalah 1875 butir benih.. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah : Y ijk =
+ K i + M j + P k+ (MP) jk +
ijk
Keterangan : Y ijk
: Nilai pengamatan pengaruh faktor media tanam pada taraf ke-j, faktor perlakuan pra perkecambahan pada taraf ke-k, dan kelompok ke-i.
µ
: Rataan umum
Ki
: Pengaruh kelompok pada taraf ke-i
Mj
: Pengaruh faktor perlakuan media tanam pada taraf ke-j
Pk
: Pengaruh faktor perlakuan pra perkecambahan pada taraf ke-k
(MP)jk : Pengaruh interaksi faktor media tanam pada taraf ke-j dengan faktor perlakuan pra perkecambahan pada taraf ke-k ijk
: Galat
I
: 1, 2, 3, (kelompok)
J
: 0, 1, 2, 3, 4 (media tanam benih)
K
: 0, 1, 2, 3, 4 (perlakuan pra perkecambahan) Uji lanjut yang digunakan terhadap hasil yang berpengaruh nyata adalah
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Penelitian Sumber benih Panggal Buaya berasal dari Pulau Bali. Benih dipanen pada bulan April 2009 dan diambil dari buah yang masak dengan ciri warna merah
merata pada kulit buah. Benih kemudian diekstraksi dan dicuci bersih menggunakan air mengalir, selanjutnya dikeringanginkan hingga kadar air 14.68%. Perlakuan dimulai pada tanggal 27 Mei 2009 dan perlakuan pra perkecambahan dilakukan sesuai dengan perlakuan. Setelah selesai perlakuan, benih dicuci dengan air mengalir hingga bersih (± 10 menit) untuk menghilangkan sisa larutan asam sulfat pekat, KNO3 2% dan GA3 500 ppm. Selanjutnya benih-benih tersebut dikecambahkan dalam bak kecambah dengan menggunakan media pasir, zeolit, campuran tanah, kompos, pasir (1 : 1 : 1 (v/v)), kokopit, dan arang sekam. Benih yang dikecambahkan di berbagai media tanam setelah 114 hari banyak yang tidak tumbuh. Untuk memastikan sisa benih yang tidak tumbuh tersebut maka dilakukan perlakuan perendaman dengan tetrazolium. Pengujian tetrazolium dilakukan dengan cara benih digunting pada bagian ujung, diberi pewarnaan dengan merendam pada larutan 2,3,5 triphenyl tetrazolium chloride 1.0 % selama 1 jam, kemudian diamati. Uji cepat tetrazolium dimaksudkan untuk mengetahui keadaan benih yang sesungguhnya ketika benih gagal berkecambah, yaitu untuk membedakan benih dalam kondisi dorman atau benih dalam keadaan mati.
Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap kecambah normal dan kecambah abnormal. Kecambah normal adalah kecambah yang berpotensi tumbuh menjadi tanaman sempurna apabila ditanam di tanah, kelembaban, suhu, dan cahaya yang memenuhi syarat (BTP Bogor, 2002). Kriteria kecambah normal bagi perkecambahan benih Panggal Buaya adalah kecambah yang memenuhi minimal salah satu syarat sebagai berikut : 1. Kecambah sempurna; struktur kecambah berkembang sempurna, lengkap, proporsional dan sehat. 2. Kecambah sedikit cacat; sedikit cacat pada struktur kecambah sehingga diperkirakan kecambah akan tumbuh menjadi kecambah sempurna. 3. Kecambah dengan infeksi sekunder; kecambah yang termasuk dalam kategori 1 dan 2 tetapi terserang penyakit yang bukan berasal dari benih.
Kecambah abnormal adalah kecambah yang tidak berpotensi tumbuh menjadi tanaman sempurna apabila ditanam pada tanah yang sesuai, kelembaban, suhu, dan cahaya yang telah memenuhi syarat tempat tumbuh (BTP Bogor, 2002). Kriteria kecambah abnormal pada perkecambahan benih Panggal Buaya adalah kecambah yang telah memenuhi minimal salah satu persyaratan berikut ini : 1. Kecambah rusak; struktur kecambah hilang/rusak sehingga diperkirakan kecambah tidak berkembang sempurna. 2. Kecambah tidak sempurna; kecambah yang lemah perkembangannya atau tidak sempurna strukturnya. 3. Kecambah busuk; struktur kecambah terserang penyakit karena adanya infeksi primer (infeksi yang berasal dari benih) yang mengakibatkan kecambah menjadi busuk. Perkembangan perkecambahan benih Panggal Buaya dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Diyah Puspitarini (BPTH, Bali) Gambar 2. Perkembangan Perkecambahan Benih Panggal Buaya (Tipe Epigeal) Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah Viabilitas Total dengan tolok ukur Potensi Tumbuh Maksimum (PTM), Viabilitas Potensial dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB), Vigor Kekuatan Tumbuh dengan tolok ukur Kecepatan Tumbuh (% etmal), Viabilitas Dorman dengan tolok ukur Intensitas Dormansi (ID), dan Viabilitas Tetrazolium (VTTZ).
1. Potensi Tumbuh Maksimum Pengamatan dilakukan pada benih yang tumbuh baik normal maupun abnormal pada pengamatan hari terakhir kemudian dipersentasekan. Persentase PTM dihitung dengan rumus :
PTM
Kecambah Abnormal
Kecambah Normal
Benih yang ditanam
100%
2. Daya Berkecambah (DB) Penentuan daya berkecambah berdasarkan pada persentase jumlah kecambah normal yang tumbuh pada pengamatan hari pertama dan hari kedua. Rumus daya berkecambah adalah sebagai berikut :
DB
Σ KN hitungan I KN hitungan II 100% Σ Benih yang ditanam
Keterangan : KN I : Kecambah Normal Pengamatan I KN II : Kecambah Normal Pengamatan II Pengamatan pertama jatuh pada hari ke 43 (43 HST) dan pengamatan kedua jatuh pada hari ke 114 (114 HST) (Puspitarini, 2003).
3. Kecepatan Tumbuh (% etmal) Dihitung tiap satuan percobaan berdasarkan jumlah % kecambah normal per etmal pada kurun waktu perkecambahan dalam kondisi optimum (Sadjad et al., 1999), dengan rumus sebagai berikut : tn
KCT 0
N t
Keterangan : t
: Waktu pengamatan
N
: Pertambahan % KN setiap waktu pengamatan
tn
: Waktu akhir pengamatan
4. Intensitas Dormansi (ID) Intensitas dormansi merupakan persentase benih segar yang tidak tumbuh di akhir pengamatan dan benih tersebut masih dalam keadaan hidup. Persentase intensitas dormansi dihitung dengan rumus : ID = Jumlah benih segar yang tidak tumbuh X 100% Jumlah benih yang ditanam 5. Viabilitas Tetrazolium (VTTZ) Uji cepat viabilitas dengan tetrazolium ini dilakukan terhadap sejumlah benih segar yang tidak tumbuh setelah 114 hari ditanam di rumah kaca. VTTZ = Jumlah benih yang hidup dari benih segar tidak tumbuh X 100% Jumlah benih yang ditanam Benih berwarna merah menunjukkan benih hidup sedangkan benih berwarna putih menunjukkan benih mati, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Benih Viabel dan Non Viabel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Sidik ragam pengaruh perlakuan pra perkecambahan dan media tanam terhadap viabilitas dan vigor benih Panggal Buaya secara lengkap tercantum dalam Lampiran 1, 2, 3, 4, dan 5 sedangkan rekapitulasi uji F dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Panggal Buaya Tolok Ukur
P
M
P*M
PTM DB KCT ID VTTZ
tn tn * ** **
tn tn tn tn **
tn tn tn tn **
Keterangan : * : nyata pada taraf 5% **: nyata pada taraf 1% M : media tanam P : perlakuan pra perkecambahan PTM : potensi tumbuh maksimum
Tabel
1
menunjukkan
bahwa
DB : daya berkecambah KCT : kecepatan tumbuh ID : intensitas dormansi VTTZ : viabilitas tetrazolium
interaksi
antara
perlakuan
pra
perkecambahan dan media tanam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap tolok ukur viabilitas tetrazolium (VTTZ) tetapi untuk tolok ukur potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh (KCT) dan intensitas dormansi (ID) interaksinya tidak nyata. Perlakuan pra perkecambahan benih Panggal Buaya menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap tolok ukur VTTZ dan ID dan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tolok ukur KCT tetapi untuk tolok ukur PTM dan DB menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Sedangkan media tanam menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap tolok ukur PTM, DB, KCT, ID tetapi menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap tolok ukur VTTZ. Nilai rata-rata pengaruh interaksi antara pematahan dormansi dan media perkecambahan terhadap viabilitas dorman dengan tolok ukur intensitas dormansi dan viabilitas tetrazolium dapat dilihat pada Tabel 2.
Benih tanpa perlakuan pra perkecambahan (kontrol) yang ditanam pada media pasir memberikan hasil tertinggi pada tolok ukur intensitas dormansi (89.33%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media zeolit, campuran tanah, kompos, pasir dan kokopit kecuali media arang sekam (60.00%). Pada tolok ukur intensitas dormansi interaksi antara perlakuan perendaman benih dalam H2SO4 pekat selama 2 jam yang diikuti dengan perendaman air selama 24 jam (P1) yang ditanam pada media zeolit (29.33%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media pasir, kokopit, arang sekam dan berbeda dengan benih yang ditanam pada media campuran tanah, kompos, pasir (4.00%). Interaksi antara perlakuan perendaman benih dalam KNO3 2% selama 24 jam (P2) yang ditanam pada media kokopit (85.33%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media pasir, zeolit, campuran tanah, kompos, pasir dan media arang sekam. Interaksi antara perlakuan perendaman benih dalam GA3 500 ppm selama 24 jam (P3) yang ditanam pada media campuran tanah, kompos, pasir (76.00%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media pasir, zeolit, kokopit, dan arang sekam. Interaksi antara perlakuan suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) dengan germinator selama lima hari (P4) dan benih ditanam pada media pasir (72.00%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media zeolit, campuran tanah, kompos, pasir dan media kokopit dan arang sekam. Persentase benih Panggal Buaya memiliki nilai viabilitas tertinggi untuk tolok ukur viabilitas tetrazolium yang terjadi pada perlakuan pra perkecambahan P0 yang ditanam pada media zeolit (M1) 77.33% tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media M0, M2 dan M3 tetapi berbeda dengan benih yang ditanam pada media M4 (25.33%). Interaksi antara perlakuan pra perkecambahan P1 yang ditanam pada media M0 (1.33%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media M1, M2, M3 dan M4 dan interaksi antara perlakuan pra perkecambahan P2 yang ditanam pada media M3 (69.33%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media M0 dan M4 tetapi berbeda dengan benih yang ditanam pada media M1 dan M2 (29.33%). Interaksi antara perlakuan pra perkecambahan P3 yang ditanam pada media M0 (46.67%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media M2, M3 dan M4 kecuali M1 (9.33%). Interaksi antara perlakuan pra perkecambahan P4 yang ditanam pada media M0 (53.33%)
tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media M1, M3 dan M4 tetapi berbeda dengan benih yang ditanam pada media M2 (18.67%). Tabel 2. Nilai Rata-Rata Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dengan Media Tanam terhadap Tolok Ukur Intensitas Dormansi dan Viabilitas Tetrazolium Benih Panggal Buaya
Tolok Ukur
Media Tanam
Perlakuan M0
ID (%)
VTTZ (%)
M1 a
81.33
M2 ab
80.00
M3 ab
81.33
M4 ab
60.00b
P0
89.33
P1
10.67cd
29.33c
4.00d
26.67c
17.33cd
P2
74.67ab
82.67ab
80.00ab
85.33a
80.00ab
P3
72.00ab
60.00b
76.00ab
72.00ab
68.00ab
P4
72.00ab
70.67ab
70.67ab
78.67ab
66.67ab
P0
74.67a
77.33a
54.67abc
76.00a
25.33defgh
P1
1.33gh
1.33gh
0.00h
5.33gh
4.00gh
P2
46.67bcde 26.67cdefgh 29.33cdefg
69.33ab
41.33bcde
P3
46.67bcde
9.33fgh
18.67efgh
37.33cdef
44.00bcde
P4
53.33abcd
29.33cdefg
18.67efgh
54.67abc
37.33cdef
Keterangan : Angka pada masisng-masing tolok ukur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% P0 : Kontrol (tanpa diberi perlakuan), P1 : Perendaman benih dalam H 2SO4 pekat selama dua jam yang diikuti perendaman dengan air 24 jam, P2 : Perendaman benih dalam KNO3 2% selama 24 jam, P3 : Perendaman benih dalam GA3 500 ppm selama 24 jam, P4 : Perlakuan suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan enam jam suhu 30°C) dengan germinator selama lima hari M0 : Pasir, M1 : Zeolit, M2 : Tanah : Kompos : Pasir, M3 : Kokopit, M4 : Arang sekam
Pada penelitian ini pengujian viabilitas dengan tetrazolium dilakukan setelah benih yang telah diberi perlakuan pra perkecambahan untuk mematahkan dormansi yang ditanam pada berbagai media banyak yang tidak tumbuh. Hal ini menunjukkan perlakuan pra perkecambahan yang telah diberikan belum mampu mematahkan dormansi yang ada pada benih Panggal Buaya. Alternatif lain untuk memastikan lebih lanjut bahwa benih-benih segar yang tidak tumbuh masih viabel maka benih-benih tersebut diberi perlakuan perendaman tetrazolium. Benih dikategorikan sebagai benih viabel apabila struktur embrio berwarna merah atau merah muda sedangkan benih non-viabel apabila semua atau sebagian struktur embrio berwarna putih (Gambar 1). Setelah diberi perlakuan tetrazolium, ternyata benih Panggal Buaya masih banyak yang viabel. Hasil ini dapat terlihat pada
Tabel 2 dimana persentase viabilitas tetrazolium tertinggi (77.33%) terdapat pada benih tanpa perlakuan pra perkecambahan (kontrol) yang ditanam pada media zeolit dan tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media pasir (M0), kokopit (M3), campuran tanah, kompos, pasir (M2) kecuali media arang sekam (M4). Rata-rata hasil perendaman tetrazolium yang terendah terdapat pada benih yang diberi perlakuan pra perkecambahan P1 yang ditanam pada semua media tanam yang digunakan pada penelitian ini terutama pada benih yang ditanam pada media M2 (0.00%) karena benih-benih yang tidak tumbuh pada perlakuan pra perkecambahan P1 sangat sedikit. Tabel
3
menunjukkan
pengaruh
faktor
tunggal
perlakuan
pra
perkecambahan benih Panggal Buaya terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh, intensitas dormansi dan viabilitas tetrazolium. Pada tolok ukur kecepatan tumbuh, nilai rata-rata perlakuan pra perkecambahan P1 (0.04%) berbeda dengan perlakuan pra perkecambahan P0, P2, P3 dan P4. Untuk tolok ukur intensitas dormansi, nilai rata-rata perlakuan pra perkecambahan P2 (80.53%) tidak berbeda dengan perlakuan pra perkecambahan P0 dan P4 tetapi berbeda dengan perlakuan pra perkecambahan P1 dan P3 sedangkan nilai rata-rata perlakuan pra perkecambahan P0 (61.60%) berbeda dengan perlakuan pra perkecambahan P1, P2, P3 dan P4 untuk tolok ukur viabilitas tetrazolium. Tabel 3. Pengaruh Faktor Tunggal Perlakuan Pra Perkecambahan Benih Panggal Buaya terhadap Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh, Intensitas Dormansi dan Viabilitas Tetrazolium
Tolok Ukur KCT (%etmal) ID (%) VTTZ (%)
P0
P1
b
a
0.01 (0.71) 78.40ab 61.60a
0.04 (0.73) 17.60c 2.40d
Perlakuan P2 b
0.01 (0.71) 80.53a 42.67b
P3 b
0.01 (0.71) 69.60b 31.20c
P4 b
0.01 (0.71) 71.73ab 38.67bc
Keterangan : Angka pada masing-masing tolok ukur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Angka yang didalam tanda kurung merupakan hasil transformasi dengan √(x + 0.5) P0 : Kontrol (tanpa diberi perlakuan), P1 : Perendaman benih dalam H 2SO4 pekat selama dua jam yang diikuti perendaman dengan air 24 jam, P2 : Perendaman benih dalam KNO3 2% selama 24 jam, P3 : Perendaman benih dalam GA3 500 ppm selama 24 jam, P4 : Perlakuan suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan enam jam suhu 30°C) dengan germinator selama lima hari
Tabel 4 menunjukkan pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh, intensitas dormansi dan viabilitas tetrazolium benih Panggal Buaya. Pada tolok ukur kecepatan tumbuh nilai rata-rata media tanam benih Panggal Buaya tertinggi adalah M3 (0.03%) tidak berbeda dengan media M0, M1 dan M4 kecuali M2 (0.00%). Untuk tolok ukur intensitas dormansi, nilai rata-rata media M3 (68.80%) tidak berbeda dengan M0, M1, M2 tetapi berbeda dengan media M4 (58.40%) dan nilai rata-rata media M3 (48.53%) tidak berbeda dengan M0 tetapi berbeda dengan media M1 (28.80%), M2 (24.27%) dan M4 (30.40%) untuk tolok ukur viabilitas tetrazolium. Tabel 4. Pengaruh Faktor Tunggal Media Tanam Benih Panggal Buaya terhadap Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh, Intensitas Dormansi dan Viabilitas Dormansi
Tolok Ukur KCT (%etmal) ID (%) VTTZ (%)
M0 0.01ab (0.72) 63.73ab 44.53a
M1 0.01ab (0.72) 64.80ab 28.80b
Media Tanam M2 0.00b (0.71) 62.13ab 24.27b
M3 0.03a (0.73) 68.80a 48.53a
M4 0.01ab (0.72) 58.40b 30.40b
Keterangan : Angka pada masing-masing tolok ukur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Angka yang didalam tanda kurung merupakan hasil transformasi dengan √(x + 0.5) M0 : Pasir, M1 : Zeolit, M2 : Tanah : Kompos : Pasir, M3 : Kokopit, M4 : Arang sekam
Pembahasan Ketidakberhasilan penelitian ini dalam mencari metode yang tepat untuk mematahkan dormansi pada benih Panggal Buaya ditunjukkan dari nilai-nilai intensitas dormansi yang masih tinggi dan viabilitasnya yang rendah. Interaksi perlakuan kontrol (P0), perendaman benih dalam KNO3 2% selama 24 jam (P2), perendaman benih dalam GA3 500 ppm selama 24 jam (P3) dan perlakuan suhu berganti selama 18 jam suhu 5°C dan enam jam suhu 30°C dengan germinator selama lima hari (P4) dengan benih yang ditanam pada semua media rata-rata memiliki nilai intensitas dormansi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pra perkecambahan P0, P2, P3 dan P4 belum mampu mematahkan dormansi pada benih Panggal Buaya diduga karena sifat impermeabilitas kulit
benih terhadap GA3 dan KNO3. Kulit benih yang keras menyebabkan terjadi penghambatan proses imbibisi sehingga dormansi pada benih Panggal Buaya diduga disebabkan oleh terhalangnya kemunculan kecambah oleh kulit benih pada proses perkecambahan (mechanical dormancy). Tidak demikian halnya dengan interaksi antara perlakuan perendaman H2SO4 pekat dengan konsentrasi 98% selama 2 jam yang diikuti dengan perendaman air 1 x 24 jam (P1) dengan benih yang ditanam pada semua media memiliki nilai intensitas dormansi yang paling rendah terutama interaksi antara perlakuan P1 dengan benih yang ditanam pada media campuran tanah, kompos, pasir (M2) (Tabel 2). Rendahnya intensitas dormansi pada perlakuan tersebut juga diikuti dengan nilai viabilitas tetrazolium yang rendah. Hal ini karena benih yang telah diberi perlakuan P1 banyak yang telah rusak sehingga benih-benih tersebut menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme yang berada pada media tanam terutama media M2. Rusaknya benih Panggal Buaya diduga karena konsentrasi asam sulfat yang terlalu tinggi dan perendaman yang terlalu lama sehingga terjadi over treatment. Nilai viabilitas tetrazolium diperoleh dari pengamatan sisa benih segar yang tidak tumbuh selama masa pertanaman. Benih-benih segar yang tidak tumbuh tersebut kemudian diberi perlakuan perendaman dengan tetrazolium yang bertujuan untuk mengetahui sisa benih tidak tumbuh pada akhir pengujian perkecambahan (Departemen Kehutanan, 2007). Larutan tetrazolium (2,3,5triphenyl tetrazolium khlorida) digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan proses biologis yang terjadi di dalam sel hidup. Di dalam benih, tetrazolium berinteraksi dengan jaringan sel hidup dan mengeluarkan ion hidrogen. Hasil reaksi dengan hidrogen menyebabkan terjadinya perubahan warna (Departemen Kehutanan, 2007). Interaksi antara perlakuan P0 dengan benih yang ditanam pada media pasir (M0), zeolit (M1), campuran tanah, kompos, pasir (M2), kokopit (M3) dan interaksi antara perlakuan pra perkecambahan P2 dengan benih yang ditanam pada media M3 serta interaksi antara perlakuan pra perkecambahan P4 dengan benih yang ditanam pada media M0 dan M3 rata-rata memiliki nilai viabilitas tetrazolium yang tinggi (rata-rata diatas 50%). Hal ini menunjukkan bahwa benih-benih segar yang tidak tumbuh tersebut masih viabel tetapi diduga
benih-benih Panggal Buaya belum siap untuk berkecambah karena embrio rudimenter. Dormansi embrio rudimenter adalah dormansi endogen karena saat benih sudah lepas dari pohon induknya embrio benih belum masak. Selain itu kemungkinan dormansi pada benih Panggal Buaya disebabkan juga karena adanya inhibitor di dalam benih (Pramono, 2009). Berdasarkan kedua fenomena tersebut kemungkinan dormansi pada benih Panggal Buaya disebabkan juga oleh sifat dormansi ganda yaitu disebabkan oleh kulit benih yang tebal dan keras serta adanya inhibitor di dalam benih. Struktur benih Panggal Buaya tergolong ke dalam benih yang dilindungi oleh struktur fisik yang protektif (protecting structure), yaitu kulit benih yang tebal dan keras melindungi benih dari kerusakan fisik pada saat lepas dari pohon induk. Sejalan dengan menurunnya kadar air benih selama pemasakan benih, sel-sel palisade pada kulit benih mengalami peningkatan kerapatan sehingga kulit benih menjadi lebih impermeabel (Schmidt, 2000). Pada beberapa jenis benih tanaman kehutanan, kulit benih dapat membentuk seperti kayu (woody seed) dan mengalami lignifikasi yang biasanya berhubungan dengan berhentinya proses metabolisme dan kematian sel. Kerasnya kulit benih Panggal Buaya diduga berkaitan erat dengan kandungan lignin yang dominan terdapat dalam kulit benih (72.23%) sehingga menyebabkan kulit benih Panggal Buaya menjadi keras dan rigid (Puspitarini, 2003). Perlakuan H2SO4 dilaporkan mampu menstimulasi perkecambahan benih Panggal Buaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata kecepatan tumbuh perlakuan pra perkecambahan P1 yang dihasilkan hanya 0.04% KN/etmal (Tabel 3) dan berbeda secara nyata dengan perlakuan pra perkecambahan P0, P2, P3 dan P4. Nilai ini masih sangat rendah bila dibandingkan hasil penelitian sebelumnya oleh Puspitarini (2003) yang menghasilkan nilai kecepatan tumbuh sebesar 0.904% KN/etmal. Rendahnya kecepatan tumbuh benih Panggal Buaya pada penelitian ini diduga disebabkan oleh pengaruh faktor sumber benih yang digunakan dan waktu panen yang berbeda. Selain itu juga diduga karena perbedaan lama perendaman dan konsentrasi H2SO4 yang digunakan. Pada penelitian Puspitarini (2003) digunakan konsentrasi asam sulfat 95% dengan lama perendaman 30 menit dan konsentrasi asam sulfat 85% dengan lama perendaman
60 menit sedangkan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi asam sulfat 98% dengan lama perendaman selama 2 jam. Benih yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Kabupaten Tabanan, Pulau Bali dan di panen pada bulan April 2009. Pada tahun ini termasuk tahun dimana produksi benih Panggal Buaya di Bali rendah (Komunikasi pribadi dengan Diyah Puspitarini (BPTH Bali)). Perendaman dengan tetrazolium menghasilkan nilai yang tinggi pada perlakuan kontrol (P0) dengan nilai VTTZ sebesar 61.60% berbeda dengan perlakuan pra perkecambahan P1, P2, P3 dan P4 karena pada perlakuan P0 tersebut menunjukkan banyak benih yang masih viabel tetapi belum dapat diketahui perlakuan yang tepat untuk mematahkan dormansi pada benih Panggal Buaya. Hal ini terlihat dari masih rendahnya daya berkecambah benih Panggal Buaya yang dihasilkan pada penelitian ini (4.00%). Penggunaan larutan tetrazolium untuk uji cepat viabilitas benih dapat digunakan untuk menilai benih hidup dan benih mati, sehingga hasil yang diperoleh dapat menunjukkan kondisi yang sesungguhnya dari benih yang diuji. Meskipun uji cepat viabilitas dengan tetrazolium mampu menunjukkan adanya proses kehidupan di dalam benih, tetapi tidak langsung menujukkan kemampuannya berkecambah. Ketidakmampuan benih hidup untuk berkecambah pada kondisi optimum dapat disebabkan beberapa hambatan yang menyebabkan benih dorman (Departemen Kehutanan, 2007). Perlakuan perendaman KNO3 2% selama 24 jam (P2) dan perlakuan perendaman dalam GA3 500 ppm selama 24 jam (P3) memiliki nilai kecepatan tumbuh yang rendah (0.01% KN/etmal) yang tidak berbeda dengan perlakuan pra perkecambahan P0 dan P4. Namun perlakuan pra perkecambahan P2 dan P3 memiliki intensitas dormansi yang tinggi (80.53% dan 69.60%) dan memiliki nilai viabilitas tetrazolium yang rendah (42.67% dan 31.20%). Pada penelitian ini penggunaan larutan KNO3 dan GA3 yang diberikan belum mampu mematahkan dormansi pada benih Panggal Buaya. Hal ini diduga karena larutan tersebut belum mampu menembus kulit benih sehingga imbibisi sulit terjadi. Walaupun KNO3 dan GA3 telah sering digunakan untuk penelitian-penelitian pematahan dormansi, seperti hal nya pada penelitian Muharni (2002) tentang pematahan dormansi benih kayu Afrika yang disebabkan kulit benihnya yang tebal dan berkayu dengan
perlakuan benih direndam dalam larutan KNO3 0.2% selama 30 menit menghasilkan daya berkecambah sebesar 50.13%, lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya menghasilkan daya berkecambah sebesar 39.94%. Hasil penelitian Saleh (2003) juga menunjukkan benih aren yang diskarifikasi dengan kertas amplas dan dikombinasikan dengan perendaman dalam larutan KNO3 selama 12, 24, 36 jam mempunyai nilai rataan DB 74.44%. Perendaman benih sengon (Paraserianthes falcataria (L.)) pada konsentrasi GA3 80 ppm selama satu jam memiliki rata-rata persentase perkecambahan dan laju perkecambahan tertinggi (Kusriner, 2002). Fatimah (2004) melaporkan bahwa perlakuan GA3 10 ppm merupakan perlakuan yang paling baik dalam mempercepat perkecambahan benih jati (DB 40%). Perlakuan pra perkecambahan suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) selama lima hari dengan germinator (P4) juga memiliki nilai kecepatan tumbuh dan viabilitas tetrazolium yang rendah (0.01% KN/etmal dan 38.67%) walaupun memiliki nilai intensitas dormansi yang tinggi (71.73%). Hal ini diduga perlakuan pra perkecambahan P4 yang dilakukan masih belum tepat sehingga belum mampu menyebabkan terjadinya keseimbangan hormonal dengan demikian belum dapat memacu perkecambahan benih Panggal Buaya. Salah satu faktor penting dalam perkecambahan adalah media yaitu harus mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air dan bebas organisme penyebab penyakit (Sutopo, 2002). Setiap jenis benih tanaman memiliki kecendrungan yang berbeda-beda tentang media yang sesuai untuk media perkecambahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih yang ditanam pada media kokopit (M3) memiliki nilai intensitas dormansi yang tinggi (68.80%) dan nilai kecepatan tumbuh yaitu 0.03% KN/etmal tidak berbeda dengan benih yang ditanam pada media pasir (M0), zeolit (M1) dan arang sekam (M4) (Tabel 4). Hal ini diduga karena kokopit mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat serta mengandung unsur-unsur hara esensial seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), natrium (Na), dan fosfor (P) (Satria, 2008). Selain itu benih yang ditanam pada media M3 memiliki nilai viabilitas tetrazolium yang tinggi (48.53%). Sebaliknya benih Panggal Buaya yang ditanam pada media campuran tanah, kompos, pasir (M2) memiliki nilai kecepatan tumbuh
0.00%KN/etmal karena benih yang ditanam pada media M2 hanya satu yang tumbuh dari ketiga ulangan. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Yuniarti et al., (2001) menunjukkan bahwa benih Panggal Buaya yang dikecambahkan dengan campuran media tanah dan kompos dengan perbandingan 1 : 1 hanya dapat menghasilkan daya berkecambah sebesar 5.33%. Oleh karena itu media perkecambahan campuran tanah, kompos, pasir untuk benih Panggal Buaya tidak dianjurkan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Effendi et al., (1997) menunjukkan bahwa benih sawo kecik yang disemaikan pada campuran media pasir, tanah, dan kotoran sapi dengan perbandingan sama menunjukkan hasil terbaik dengan DB (83.67%). Selanjutnya Kalima dan Witono (2000) melaporkan bahwa campuran tanah, pasir, serbuk gergaji, sekam, kompos (1:1:1:1:1) memberikan hasil terbaik bagi perkecambahan benih rotan teretes. Hasil penelitian Saefudin dan Manoi (1994) membuktikan bahwa benih aren yang dikecambahkan dalam media campuran tanah dan kompos menghasilkan DB lebih tinggi yaitu sebesar 28.9% dibandingkan dengan media pasir yang menghasilkan DB sebesar 20.6%. Demikian halnya dengan hasil penelitian Murniati dan Suminar (2006) menunjukkan bahwa media campuran tanah dan kompos dengan perbandingan (1:1) merupakan media yang terbaik bagi perkecambahan benih mengkudu dengan DB (88.7%). Dari beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa media perkecambahan akan berbeda pada jenis benih yang berbeda. Benih yang ditanam pada media M0 memiliki nilai intensitas dormansi yang tinggi (63.73%) tidak berbeda dengan benih yang ditanam media M1, M2, M3 kecuali M4 (58,40%) sedangkan untuk tolok ukur viabilitas tetrazolium, media M3 memiliki nilai VTTZ (48.53%) tidak berbeda dengan media M0 (44.53%) tetapi berbeda dengan media M1 (28.80%), M2 (24.27%) dan M4 (30.40%). Hal ini ditunjukkan dari benih yang ditanam pada media M1, M2 dan M4 banyak yang tidak tumbuh dan setelah benih tersebut diberi perlakuan perendaman tetrazolium, benih Panggal Buaya sedikit yang masih viabel sedangkan benih yang ditanam pada media M0 dan M3 juga banyak yang tidak tumbuh tetapi setelah benih tersebut direndam dengan larutan tetrazolium, sebagian benih Panggal Buaya masih viabel. Hal ini menunjukkan bahwa pada
penelitian ini belum dapat menemukan teknik pematahan dormansi yang tepat pada benih Panggal Buaya. Tipe perkecambahan yang terjadi pada benih Panggal Buaya adalah tipe perkecambahan epigeal seperti terlihat pada Gambar 2 (Puspitarini, 2003). Benih yang memiliki tipe perkecambahan epigeal membutuhkan energi yang lebih besar untuk membantu mendorong kotiledon naik ke atas permukaan media tanam. Perkecambahan epigeal adalah perkecambahan yang menghasilkan kecambah dengan kotiledon terangkat ke permukaan tanah. Dalam proses perkecambahan, setelah radikula menembus kulit benih, hipokotil memanjang melengkung menembus ke atas permukaan tanah. Setelah hipokotil menembus permukaan tanah, kemudian hipokotil meluruskan diri dan dengan cara demikian kotiledon yang masih tertangkup tertarik ke atas permukaan tanah juga. Kulit benih akan tertinggal di permukaan tanah, dan selanjutnya kotiledon membuka dan daun pertama (plumula) muncul. (Maryati, 2006).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Tidak satu pun perlakuan pra perkecambahan yang digunakan dapat mematahkan dormansi maupun yang mampu meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya dan tidak satu pun media tanam pada penelitian ini yang mampu meningkatkan perkecambahan benih Panggal Buaya.
Saran Perlu dilakukan pengujian viabilitas terlebih dahulu dengan uji tetrazolium pada benih Panggal Buaya sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut serta perlu dilakukan penelitian pematahan dormansi lainnya, seperti kombinasi perlakuan skarifikasi mekanik yang diikuti perendaman dengan zat pengatur tumbuh seperti KNO3.
DAFTAR PUSTAKA
Adiguno, S. 2000. Pengaruh skarifikasi kimia dan matriconditioning terhadap pematahan dormansi dan perkecambahan benih palem irian (Ptychosperma marcarthurii H. Wendl.) . Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 23 hal. Bewley, J. D. and M. Black. 1994. Seeds : Physiology of Development and Germination. 2nd ed. Plenum Press. New York. 445 p. Bhardwaj, S. D. and A. K. Chakraborty. 1994. Studies on time of seed collection, sowing and presowing treatments of Terminalia bellirica Roxb. And Terminalia chebula Retz. The Indian Forester, 120 : 5, 430 – 439. BPTH Denpasar. 1999. Laporan Kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi Sumber Benih Panggal Buaya. Proyek DIK-S DR Tahun Anggaran 1999/2000. Denpasar. BTP Bogor. 2002. Pedoman Standarisasi Uji Mutu Fisik dan Fisiologi Benih Tanaman Hutan. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Byrd, H. W. 1983. Pedoman Teknologi Benih (terjemahan). PT Pembimbing Masa. Bandung. 79 hal. Copeland, L. O. and M. B. McDonald. 1995. Principles of Seed Science and Technology. 3rd ed. Chapman & Hall. New York. 480 p. Courtier, J. S. 1993. Growing Indoor Plants. Ward Lock Ltd. Britain. 96 p. Delouche. J. D. 1985. Seed Physiology. Seed Tech. Lab. Mississipi State University. Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P. 13/V-PTH/2007. Departemen Kehutanan. Jakarta. Djam’an, D. F. 2001. Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa Roxburgh (DC)) Jenis Andalan Bali dan NTB : Regenerasi dan Pelestariannya. Duta Rimba. Hal 21-22.
Dong-Sheng Tang, M. Hamayun, Y. M, Ko, Y. P, Zang. 2008. Role of red light, temperature, stratification and nitrogen in breaking seed dormancy of Chenopodium album L. J. Crop. Sci. Biotech. 11 (3) : 199-204. Durmistan, M. 1991. Studi fenologi dan pematahan dormansi pada benih Kenanga. Skripsi. Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendi, M. K., A. Karyawan dan M. Sinaga. 1997. Pengaruh media kecambah dan media tumbuh terhadap perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit sawo kecik. Bal. Pen. Hut. 2 (1) : 22-31. Estiaty, L. M. 2008. Pengaruh Zeolit terhadap (http://www.geotek.lipi.go.id/?p=90. [11 Maret 2009].
Media
Tanam.
Fatimah. 2004. Peranan hormon giberelin dalam pemecahan dormansi biji jati (Tectona grandis Linn. F.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Airlangga. Surabaya. Gaur, A. C. 1982. Improving Soil Fertility Through Organic Recycling. Project Field. No. 15. FAO of United Nations. Rome. 85 p. Hartman, H. T. and D. E. Kester. 1983. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice Hall, Inc. Englewood. New Jersey. 456 p. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I. Cetakan ke-1. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. 616 hal. Hilhorst, H. W. M. and P. E. Toorop. 1997. Review on dormancy, germinability, and germination in crop and weed seeds. Advances in Agronomy 61 : 112 – 165. ICRAF. 2001. Tree Data Bases. Agroforestree data base, botanic nomenclature and tree seed supplier directory [CD ROM]. World Agroforestry Center – FAO – IUFRO – Danida Forest Seed Center – DFID – VVOB. Nairobi. Kenya. Iriana, N. 1997. Studi perkecambahan benih mindi (Melia azedarach L.) dalam hubungannya dengan sifat dormansi. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hal. ISTA. 1996. International rules for seed testing. Seed Sci. & Technol, Vol. 24, Supplement. International Seed Testing Association, Zurich.
Jirovetz, L. , G. Buchbauer, M. P. Shafi and A. Saidutty. 1998. Analysis of the aroma compounds of the essensial oil of seeds of the spice plant Zanthoxylum rhetsa from Southern India. Z Lebensm Unters Forsch A. 206 : 228 – 229. Kalima, T dan J. R. Witono. 2000. Pengaruh media tanam dan frekuensi pemupukan kompos terhadap pertumbuhan semai rotan teretes. Bul. Pen. Hut. 623 : 51-58. Kartasapoetra, A. G. 1986. Teknologi Benih. Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. PT Bina Aksara. Khan, M. A. dan I. A. Unggar. 1997. Effect of thermoperiodon recovery of seed germination of halophytes from saline condition. Am. J. Bot. 84 : 279-283. Khasa, P. D. 1992. Scarification of Limba seeds with hot water, bleach and acid. Tree Planters Notes 43 : 4, 150 – 152 p. Khrisnamoorthy, H. N. 1981. Plant Growth Substances Including Applications in Agriculture. Tata Mc Graw Hill. Publ. Co. Ltd. New York. 214 p. Kurniaty, R. 1987. Pengaruh asam sulfat terhadap perkecambahan benih Maesopsis eminii Engl. Buletin Penelitian Hutan. Bogor. No. 488 (7) : 2427. Kusmintardjo, A., Subiakto and S. Godapala. 1986. Tree Seed Handling. Tree seed centre. CSIRO. Forest Research. Canberra. 75 p. Kusriner, F. 2002. Uji pengaruh giberelin pada berbagai konsentrasi terhadap perkecambahan benih sengon (Paraserianthes falcataria (L.)). Skripsi. Universitas Negeri Papua. Papua. Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Cetakan ke – 12. Penebar Swadaya. Jakarta. 150 hal. Maryati, S. 2006. Biologi SMA untuk Kelas XII. Erlangga. Jakarta. Muharni, S. 2002. Pengaruh metoda pengeringan dan perlakuan pematahan dormansi terhadap viabilitas benih kayu afrika (Maesopsis eminii Engler). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 50 hal.
Murniati, E. 1995. Studi beberapa faktor penyebab dormansi dan peranan mikroorganisme dalam mempengaruhi proses pematahan dormansi benih kemiri (Aleurites mollucana W). Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murniati dan E. Zuhri. 2002. Peranan Giberelin Terhadap Perkecambahan Benih Kopi Robusta tanpa Kulit. Jurnal Sagu. Vol 1 (1) : 1-5. Murniati, E dan M. Suminar. 2006. Pengaruh jenis media perkecambahan dan perlakuan pra perkecambahan terhadap viabilitas benih mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan hubungannya dengan sifat dormansi benih. Bul. Agron. 34 (2) : 119-123. Nelson, P. V. 1981. Greenhouse Operation and Management (2nd ed.). Reston Publ. Co. Inc. Virginia. 563 p. Nugroho. 2008. Media tanam. http://nugrohoakt.blogspot.com. [17 Februari 2009]. Nurhasybi. 1995. Penentuan media, metode uji serta pengaruh larutan Bleach (NaClo) dalam perkecambahan benih rotan manau. Buletin Perbenihan Kehutanan 2 (1) : 26-33. Pramono, E. 2009. Dormansi Benih (Kuliah Teknologi Benih). Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Pranoto, H. S., W. Q. Mugnisjah, dan E. Murniati. 1990. Biologi Benih. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 138 hal. Prihartini, T., Moersidi dan A. Hamid. 1989. Pengaruh Zeolit terhadap Sifat Tanah dan Hasil Tanaman. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk VII: 5-8. Puspitarini, D. P. 2003. Struktur benih dan dormansi pada benih panggal buaya (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.). Tesis. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hal. Roberts, E. H. 1988. Temperature and seed germination. In : Long SP. Woodward FI. eds. Plants and temperatura. Symposia of the Society of Experimental Biology. Cambridge. 42 : 109-132. Rofik, A. dan E. Murniati. 2008. Pengaruh perlakuan deoperkulasi benih dan media perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr). Bul. Agron. 36 (1) : 33-40.
Rosmadelina. 1999. Pengaruh perlakuan mekanis dan konsentrasi giberelin serta lama perendaman terhadap perkecambahan biji palem kol (Licuala grandis). Tesis. Program Studi Agronomi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Saefudin dan Manoi. 1994. Pemecahan dormansi serta pengaruh media dan naungan terhadap partumbuhan bibit aren (Arenga pinnata Merr.). Agrosains 6 (2) : 79-84. Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Grasindo. Jakarta. ---------., E. Murniati., dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komparatif ke Simulatif. PT. Grasindo. Jakarta. 185 hal. Saleh, M. S. 2003. Peningkatan kecepatan berkecambah benih aren yang diberi perlakuan fisik dan perendaman KNO3.. Agroland : 52-57. Santoso, H. B. 1998. Pupuk Kompos. Kanisius. Yogyakarta. 28 hal. Saputra, R. 2006. Pemanfaatan Zeolit Sintetis Sebagai Alternatif Pengolahan Limbah Industri. http://pdf-search-engine.com/katalis-z. [26 Oktober 2009]. Satria. 2008. Media tanam. www.csatria.blogspot.com. [17 Februari.2009]. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis 2000. Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dept. Kehutanan. Jakarta. 530 hal. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 591 hal. Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Cetakan ke-5. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 237 hal. Waterman, P. G. 1975. New combinations in Zanthoxylum l. Taxon. 24 (2/3) : 361-366. Widajati, E., E. R. Palupi., E. Murniati., T. K. Suharsari., A. Qadir., dan M. R. Suhartanto. 2008. Diktat Kuliah dan Penuntun Praktikum Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 131 hal.
Wikipedia. 2006. Asam sulfat. http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_sulfat. [17 Februari 2009]. Yuniarti, N., D. Syamsuwida., D. J. Sudrajad., M. Zanzibar., Dharmawati., A. Muharam., E. R. Kartiana., E. Ismiati., dan M. Sanusi. 2001. Teknik penanganan benih orthodoks. Balai Teknologi Perbenihan. Bundel 35 (Laporan Uji Coba Teknologi Perbenihan). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. ---------. 2002. Teknik pematahan dormansi benih panggal buaya (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D. C.). Buletin Teknologi Perbenihan. Vol 9 (2) : 75-80. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap PTM Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F. hit
Pr > F
Ulangan 2 0.9066667 0.4533333 1.12 0.3362 tn Perlakuan 4 1.0002021 0.2500505 0.62 0.6539 tn Media 4 1.0002021 0.2500505 0.62 0.6539 tn Perlk x media 16 6.4008083 0.4000505 0.4883 0.4883 Galat 48 19.5137887 0.4065373 Total 74 28.8216678 Keterangan : tn = tidak nyata KK = 63.05862 (Hasil transformasi ke √X + 0.5) Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap DB Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F. hit
Pr > F
Ulangan 2 0.7401010 0.3700505 0.85 0.4357 tn Perlakuan 4 0.7803031 0.1950758 0.45 0.775 tn Media 4 1.3136364 0.3284091 0.75 0.5628 tn Perlk x media 16 6.0873739 0.3804609 0.87 0.6058 Galat 48 21.0136877 0.4377852 Total 74 29.9351022 Keterangan : tn = tidak nyata KK = 64.23924 (Hasil transformasi ke √X + 0.5) Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap KCT Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F. hit
Pr > F
Ulangan 2 0.0014262 0.0007131 1.51 0.231 * Perlakuan 4 0.0061948 0.0015487 3.28 0.0186 tn Media 4 0.0031658 0.0007915 1.68 0.1708 tn Perlk x media 16 0.0081357 0.0005085 1.08 0.4011 Galat 48 0.0226539 0.0004719 Total 74 0.0415766 Keterangan : tn = tidak nyata KK = 3.036691(Hasil transformasi ke √X + 0.5) * = nyata pada taraf 5%
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap ID Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Ulangan 2 186.026667 Perlakuan 4 40858.8800 Media 4 865.280000 Perlk x media 16 2784.85333 Galat 48 6523.30667 Total 74 51218.3467 Keterangan : tn = tidak nyata **= nyata pada taraf 1%
Kuadrat Tengah 93.013333 10214.720 216.32000 174.05333 135.90222
F. hit
Pr > F
0.68 75.16** 1.59tn 1.28tn
0.5092 0.0001 0.1918 0.2479
KK = 18.33742
Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Pra Perkecambahan dan Media Tanam terhadap Viabilitas Tetrazolium (VTTZ) Benih Panggal Buaya Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Ulangan 2 2731.9467 Perlakuan 4 27847.6800 Media 4 6725.54667 Perlk x media 16 8894.72000 Galat 48 10516.0533 Total 74 56715.9467 Keterangan : **= nyata pada taraf 1%
Kuadrat Tengah 1365.97333 6961.92000 1681.38667 555.920000 219.084444
F. hit
Pr > F
6.23 31.78** 7.67** 2.54**
0.0039 0.0001 0.0001 0.0066
KK = 41.92268
Lampiran 6. Kecambah Abnormal Panggal Buaya
Kecambah pada Media Arang Sekam
Kecambah pada Media Zeolit
Kecambah pada media Tanah : Kompos : Pasir
Kecambah pada Media Pasir
Kecambah pada Media Kokopit
Lampiran 7. Kecambah Normal Panggal Buaya
Lampiran 8. Pohon Panggal Buaya
Lampiran 9. Intensitas Pewarnaan Larutan Tetrazolium pada Benih Segar Tidak Tumbuh Perlakuan P0M0 P0M1 P0M2 P0M3 P0M4 P1M0 P1M1 P1M2 P1M3 P1M4 P2M0 P2M1 P2M2 P2M3 P2M4 P3M0 P3M1 P3M2 P3M3 P3M4 P4M0 P4M1 P4M2 P4M3 P4M4
Benih Viabel (%) Merah 74.67 77.33 54.67 76.00 25.33 1.33 1.33 0.00 5.33 4.00 46.67 26.67 29.33 69.33 41.33 46.67 9.33 18.67 37.33 44.00 53.33 29.33 18.67 54.67 37.33
Benih Non Viabel (%) Putih 14.67 4.00 25.33 5.33 34.67 9.33 28.00 4.00 21.33 13.33 28.00 56.00 50.67 16.00 38.67 25.33 50.67 57.33 34.67 24.00 18.67 41.33 52.00 24.00 29.33
Keterangan : P0M0 : kontrol dan media pasir, P0M1 : kontrol dan media zeolit, P0M2 : kontrol dan media campuran tanah, kompos, pasir, P0M3 : kontrol dan media kokopit, P0M4 : kontrol dan media arang sekam, P1M0 : H2SO4 pekat dan media pasir, P1M1 : H2SO4 pekat dan media zeolit, P1M2 : H2SO4 pekat dan media campuran tanah, kompos, pasir, P1M3 : H2SO4 pekat dan media kokopit, P1M4 : H2SO4 pekat dan media arang sekam, P2M0 : KNO3 2%dan media pasir, P2M1 : KNO3 2% dan media zeolit, P2M2 : KNO3 2% dan media campuran tanah, kompos, pasir, P2M3 : KNO3 2% dan media kokopit, P2M4 : KNO3 2% dan media arang sekam, P3M0 : GA3 500 ppm dan media pasir, P3M1 : GA3 500 ppm dan media zeolit, P3M2 : GA3 500 ppm dan media campuran tanah, kompos, pasir, P3M3 : GA3 500 ppm dan media kokopit, P3M4 : GA3 500 ppm dan media arang sekam, P4M0 : suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) dan media pasir, P4M1 : suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) dan media zeolit, P4M2 : suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) dan media campuran tanah, kompos, pasir, P4M3 : suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) dan media kokopit, P4M4 : suhu berganti (18 jam suhu 5°C dan 6 jam suhu 30°C) dan media arang sekam
DENAH PERCOBAAN
Rancangan Acak Kelompok 2 Faktor Kelompok 1 M4P0U1
M4P1U1
M4P2U1
M1P1U1
M0P4U1
M0P0U1
M1P3U1
M1P0U1
M2P3U1
M1P4U1
M2P1U1
M3P4U1
M0P1U1
M4P3U1
M2P4U1
M4P4U1
M0P2U1
M2P2U1
M0P3U1
M3P3U1
M1P2U1
M2P0U1
M3P2U1
M3P0U1
M3P1U1
Kelompok 2 M0P1U2
M2P0U2
M4P2U2
M3P0U2
M0P4U2
M2P1U2
M1P1U2
M0P0U2
M4P3U2
M3P4U2
M3P1U2
M4P1U2
M3P3U2
M1P2U2
M2P2U2
M2P3U2
M0P2U2
M1P0U2
M0P3U2
M4P4U2
M4P0U2
M2P4U2
M3P2U2
M1P4U2
M2P3U2
Kelompok 3 M2P0U3
M3P0U3
M2P2U3
M1P3U3
M0P2U3
M0P1U3
M1P1U3
M4P3U3
M0P0U3
M3P4U3
M4P2U3
M3P1U3
M2P1U3
M3P2U3
M1P4U3
M2P4U3
M1P0U3
M4P1U3
M0P4U3
M3P3U3
M1P2U3
M0P3U3
M2P3U3
M4P0U3
M4P4U3
Keterangan : M
= Media tanam, yaitu : 0, 1, 2, 3, dan 4
P
= Perlakuan pra perkecambahan, yaitu : 0, 1, 2, 3, dan 4
K
= Kelompok, yaitu : 1, 2, dan 3
Lampiran 10. Denah Percobaan