PENGARUH KURKUMIN TERHADAP SKLERODERMA DAN FIBROSIS PARU-PARU AKIBAT APLIKASI BLEOMISIN PADA MENCIT (Mus musculus)
ANNISA RAHMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Annisa Rahmi NIM B351130011
RINGKASAN ANNISA RAHMI. Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paruparu Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan VETNIZAH JUNIANTITO. Kurkumin merupakan bahan aktif utama dari tanaman kunyit (Curcuma longa), yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Bleomisin merupakan obat antikanker yang dapat menginduksi skleroderma serta fibrosis paru-paru pada manusia dan hewan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek kurkumin terhadap skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit berdasarkan pendekatan patomorfologi. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 4-6 ekor mencit jantan galur ddy, kelompok perlakuan tersebut antara lain: (i) kontrol, diinjeksikan secara subkutan (SC) 100 µl aquadest steril di kulit bagian dorsal, (ii) bleomisin (BLM), diinjeksikan SC 100 µl bleomisin konsentrasi 1 mg/ml di kulit bagian dorsal, (iii) kurkumin (CMN), diinjeksikan secara intraperitoneal (IP) 100 mg/kg BB kurkumin dalam 0.5% carboxymethylcellulose (CMC) dan SC 100 µl aquadest steril di kulit bagian dorsal, dan (iv) BLM+CMN, diinjeksikan SC 100 µl bleomisin dengan 1 mg/ml dan IP 100 mg/kg BB kurkumin dalam 0.5% CMC. Perlakuan diberikan setiap hari selama 4 minggu. Setelah masa perlakuan berakhir, mencit diterminasi dengan menggunakan ketamin overdosis. Kulit bagian punggung dan paru-paru dikoleksi dan difiksasi dalam 10% buffered neutral formalin (BNF). Evaluasi histopatogi jaringan dilakukan dengan mengamati preparat jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan Masson’s trichrome (MT). Hasil menunjukkan bahwa pada organ kulit kelompok BLM memiliki jumlah dan luas folikel rambut yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, kelompok ini memiliki nilai luas area jaringan ikat dan jumlah sel radang (makrofag dan limfosit) lebih besar secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan pada organ paru-paru, kelompok BLM memiliki nilai luas area jaringan ikat dan tebal dinding alveol yang lebih besar secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, pemberian kurkumin pada dapat meningkatkan jumlah dan luas folikel rambut, menurunkan luas area jaringan ikat kulit dan jumlah sel radang, serta menurunkan luas area jaringan ikat paru-paru dan tebal dinding alveol secara signifikan pada mencit yang mendapatkan perlakuan BLM. Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini terapi kurkumin dapat menghambat fibrogenesis pada skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin.
Kata kunci: bleomisin, fibrosis paru-paru, kurkumin, mencit, skleroderma
SUMMARY ANNISA RAHMI. The effects of curcumin on bleomycin-induced scleroderma and pulmonary fibrosis in mice (Mus musculus). Supervised by AGUS SETIYONO and VETNIZAH JUNIANTITO. Curcumin is an curcuminoid compound of turmeric. Curcumin has been demonstrated to have anti-oxidant and anti-inflammatory properties. Bleomycin (BLM) is an anti-cancer drug which induced scleroderma and pulmonary fibrosis in human and animals. Here we investigate biological effects of curcumin on bleomycin-induced scleroderma and pulmonary fibrosis in mice through pathomorphological assesment. In this study, each group consisted of 4-6 mice ddy strain, that groups namely (i) control, mice were subcutaneously (SC) injected with 100 µl sterilized aquadest in dorsal skin, (ii) bleomisin (BLM) group, injected with 100 µl of 1 mg/ml BLM SC in dorsal skin, (iii) curcumin (CMN) group, mice were intraperitoneally (IP) injected with 100 mg/kg body weight (BW) curcumin dissolved in 0.5% carboxymethylcellulose (CMC) and injected with 100 µl sterilized aquadest SC, (iv) BLM+CMN group, injected with 100 µl of BLM 1 mg/ml SC and injected with 100 mg/kg BW CMN in 0.5% CMC IP. Injections of PBS, BLM, CMN were performed daily for four weeks period. The mice were euthanized with overdosed ketamine, and afterwards the dorsal skin and lung samples were collected and fixed in 10% buffered neutral formalin (BNF). Histopathological evaluation was performed with hematoxylin-eosin (HE) and Masson’s trichrome (MT) stains. The results showed that BLM treatment significantly decreased hair follicles number and size. Additionally, in BLM-treated group there was significant increase in skin fibrosis area and inflammatory cells (macrophage and lymphocyte) number. In the lung, repeated BLM treatment initiated higher fibrosis area and alveolar wall area fraction as compared with control. In the other hand, CMN treatment results significantly increased hair follicles number and size, significantly reduced skin fibrosis area, lower inflammatory cells number, and significantly decreased fibrosis area, reduced alveolar wall area fraction in BLMtreated mice. Conclusively, our study showed that CMN treatment may inhibit skin and lung fibrogenesis in BLM-induced scleroderma and pulmonary fibrosis. Keywords: bleomycin, curcumin, mice, pulmonary fibrosis, scleroderma
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH KURKUMIN TERHADAP SKLERODERMA DAN FIBROSIS PARU-PARU AKIBAT APLIKASI BLEOMISIN PADA MENCIT (Mus musculus)
ANNISA RAHMI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Eva Harlina, MSi APVet
Judul Tesis Nama NRP
: Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paruparu Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus) : Annisa Rahmi : B351130011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Ketua
drh Vetnizah Juniantito, PhD APVet Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 8 Juli 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini ialah potensi kurkumin sebagai inhibitor fibrogenesis, dengan judul Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus). Terima kasih penulis ucapkan kepada drh Agus Setiyono, MS PhD APVet selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing. Terimakasih yang sebesarnya kepada drh Vetnizah Juniantito, PhD APVet selaku anggota komisi pembimbing. Terimakasih juga penulis ucapkan pada Dr drh Eva Harlina, MSi APVet selaku dosen penguji luar komisi dalam sidang tesis. Berkat arahan dan bantuan dari komisi pembimbing dan penguji luar komisi, tulisan ini menjadi lebih baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor atas bantuannya selama pendidikan dan penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Annisa Rahmi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian
1 1 2 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Skleroderma Bleomisin Kurkumin Hewan Model Mencit
3 3 4 5 6
3 METODE Waktu dan Tempat Hewan Percobaan Material Penginduksi Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Kurkumin Desain Penelitian Pembuatan Preparat Histopatologi Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pewarnaan Masson’s Trichrome Parameter dalam Penelitian Analisis Data
7 7 7 7 7 8 9 9 9 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Histopatologi Organ Kulit Jumlah Folikel Rambut Luas Folikel Rambut Jumlah Sel Radang Persentase Luas Jaringan Ikat Kulit Histologi Organ Paru-paru Persentase Luas Jaringan Ikat Paru-paru Tebal Dinding Alveol
11 11 13 15 17 18 21 23 24 26
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL 1 Data bobot badan mencit setiap kelompok perlakuan 2 Perbandingan jumlah makrofag dan limfosit pada setiap kelompok perlakuan
12 20
DAFTAR GAMBAR 1 Struktur kimia kurkuminoid (a) curcumin, (b) demethoxycurcumin, (c) bisdemethoxycurcumin 2 Bagan alur penelitian pada setiap kelompok perlakuan 3 Perbandingan ukuran mencit pada setiap kelompok perlakuan 4 Foto mikrografi kulit dengan pewarnaan HE: (A) Kontrol, struktur normal kulit dengan jaringan lemak intradermal; (B) BLM, struktur abnormal kulit dengan peningkatan jumlah sel radang dan hilangnya adnexa di dermis bagian bawah; (C) CMN, struktur kulit termasuk normal dengan jaringan lemak intradermal; (D) BLM+CMN, struktur kulit dengan lemak intradermal dan akumulasi sel radang 5 Foto mikrografi kulit dengan pewarnaan MT: (A) Kontrol, struktur normal jaringan ikat kulit dengan lemak intradermal; (B) BLM, struktur lemak intradermal digantikan kolagen; (C) CMN, struktur normal jaringan ikat kulit dengan lemak intradermal; (D) BLM+CMN, beberapa bagian lemak intradermal digantikan kolagen 6 Jumlah folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 7 Luas folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 8 Jumlah makrofag. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 9 Jumlah limfosit. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 10 Persentase luas jaringan ikat kulit. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 11 Foto mikrografi paru-paru dengan pewarnaan HE; (A) Kontrol; (B) BLM; (C) CMN; dan (D) BLM+CMN 12 Fotomikrografi jaringan paru-paru dengan pewarnaan MT; (A) Kontrol, struktur normal paru dengan dinding alveol tipis; (B) BLM, struktur abnormal paru dengan peningkatan jumlah jaringan ikat kolagen (warna biru); (C) CMN, struktur normal paru dengan dinding alveol tipis; (D) BLM+CMN, struktur kulit dengan beberapa jaringan ikat kolagen (warna biru) 13 Persentase luas jaringan ikat paru-paru. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 14 Tebal dinding alveol. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi
5 8 12
14
15 16 17 18 19 21 23
24
25 26
DAFTAR LAMPIRAN 1 Persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval) 2 Sertifikat analisis produk kurkumin
34 35
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyebabkan terjadinya penebalan dan pengerasan kulit. Penyakit ini dicirikan dengan lesio fibrotik yang menimbulkan deposisi kolagen secara berlebihan serta berakibat pada kehilangan komponen kulit (Charles et al. 2006). Prevalensi penyakit skleroderma dilaporkan oleh Ranque & Mouthon (2010) sekitar 3 sampai 24 kasus per 100 ribu populasi per tahun di Amerika Utara. Nikpour et al. (2012) melaporkan prevalensi penyakit ini di berbagai belahan dunia, diantaranya di Australia Selatan sebanyak 22.8 kasus per juta penduduk per tahun, Spanyol sebanyak 23 kasus per juta penduduk per tahun, dan sebanyak 19.3 kasus per juta penduduk per tahun di Detroit US. Studi yang telah dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus skleroderma dalam 60 tahun terakhir. Di Indonesia belum ada laporan mengenai prevalensi penyakit ini, akan tetapi terdapat gambaran mengenai kasus penyakit ini di situs www.sclerodermaindonesia.com. Skleroderma merupakan penyakit kronis, sulit untuk disembuhkan, dan dapat mulai terjadi pada usia produktif, bahkan dibeberapa kasus dapat terjadi pada anak-anak. Penyakit ini menyebabkan produktivitas penderitanya menurun, karena dapat menyebabkan kesulitan bergerak. Skleroderma dapat disebabkan oleh faktor genetik (terutama faktor autoimunitas) dan paparan terhadap bahan kimia maupun biologis tertentu (Kimura et al. 2007). Salah satu bahan yang dapat menginduksi terjadinya skleroderma yaitu bleomisin (Yamamoto & Katayama 2011). Bleomisin merupakan antitumor antibiotik yang digunakan untuk terapi pada berbagai kanker (Yamamoto & Nishioka 2001). Penggunaan bleomisin belakangan ini diketahui memiliki efek samping, yaitu menimbulkan lesio fibrotik pada kulit yang mencirikan skleroderma serta fibrosis paru-paru. Abnormalitas kulit yang terjadi pada penggunaan bleomisin seperti hiperpigmentasi, infiltrasi plak dan nodul (Kim et al. 1996; Yamamoto & Katayama 2011). Skleroderma diawali dengan terjadinya peradangan (Kimura et al. 2007: Matsushita et al. 2008). Yamamoto & Katayama (2011) menyatakan bahwa bleomisin dapat menstimulasi sel endothelial, makrofag, dan fibroblast untuk menginduksi mediator peradangan (sitokin proinflamasi dan fibrogenik), apoptosis, dan radikal bebas. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya skleroderma yaitu dengan menghindari terjadinya peradangan (Kimura et al. 2007). Cara untuk menghindari terjadinya peradangan yaitu dengan menggunakan sediaan yang bersifat sebagai antiinflamasi (Prakash et al. 2008; Kardena & Winaya 2011), atau menggunakan bahan yang dapat menghambat keluarnya faktor-faktor peradangan (Kimura et al. 2007). Salah satu sediaan yang memiliki efek antiinflamasi adalah kurkumin (Chainani-Wu 2003; Prakash et al. 2008; Kardena & Winaya 2011). Kurkumin merupakan salah satu antioksidan yang berasal dari rempah kunyit (Zhang et al. 2011). Kunyit merupakan tanaman yang banyak terdapat di Indonesia, sering digunakan sebagai bumbu masakan dan minuman jamu. Efek antiinflamasi kurkumin kemungkinan disebabkan oleh kurkumin merupakan
2 molekul pleiotropik tinggi yang mampu berinteraksi dan berikatan dengan sebagian besar target molekul peradangan (Jurenka 2009). Berdasarkan uraian di atas, aktivitas kurkumin sebagai antiradang atau antiinflamasi diduga dapat mencegah terjadinya skleroderma dan fibrosis paru-paru yang diakibatkan oleh aplikasi bleomisin.
Perumusan Masalah Skleroderma merupakan salah satu jenis fibrosis pada kulit. Fibrosis dicirikan dengan adanya akumulasi jaringan ikat yang berlebihan. Kejadian fibrosis pada kulit dan paru-paru diawali dengan terjadinya suatu peradangan. Peradangan berkembang menjadi proliferasi sel myofibroblast, dan diakhiri dengan pembentukan jaringan ikat persisten. Induksi bleomisin dapat memicu terjadinya peradangan khususnya di daerah kulit dan paru-paru, sehingga dapat menciptakan keadaan skleroderma dan fibrosis paru-paru. Salah satu cara untuk mencegahnya yaitu dengan menggunakan bahan yang bersifat antiinflamasi, supaya penyakit ini tidak berkembang menjadi stadium pembentukan jaringan ikat persisten yang sulit untuk diobati. Selain itu, antioksidan dapat mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan akibat paparan zat toksik. Studi literatur menunjukkan bahwa kurkumin diketahui memiliki efektivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Berdasarkan deskripsi di atas, pemberian kurkumin diduga dapat mencegah atau mengurangi keparahan skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin. Patomorfologi skleroderma pada kulit dipelajari melalui histopatologi dengan pewarnaan rutin hematoksilin-eosin (HE) serta pewarnaan khusus Masson’s trichrome (MT).
Tujuan Penelitian Mempelajari efek kurkumin terhadap skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit (Mus musculus).
Manfaat Penelitian Memberikan informasi bahwa kurkumin dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk mencegah skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit dan sebagai informasi dasar pengembangan terapi skleroderma dan fibrosis paru-paru di masa depan.
Hipotesis Penelitian H0: Pemberian kurkumin dapat mencegah atau mengurangi keparahan skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit. H1: Pemberian kurkumin tidak dapat mencegah atau mengurangi keparahan skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Skleroderma Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyebabkan terjadinya penebalan dan pengerasan kulit yang dicirikan dengan lesio fibrotik oleh deposisi kolagen berlebihan, hingga mengakibatkan kehilangan komponen kulit (Charles et al. 2006). Matsushita et al. (2008) menyatakan skleroderma merupakan suatu kondisi fibrosis yang dicirikan dengan adanya abnormalitas pada sistem imun, kerusakan vaskular, dan peningkatan akumulasi protein matriks ekstraseluler pada kulit. Etiologi skleroderma hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara rinci, walaupun secara umum pada kejadian skleroderma tubuh memproduksi protein matriks ekstraseluler secara berlebihan melalui aktivasi fibroblast. Proses aktivasi fibroblast ini dihasilkan dari ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi jaringan ikat (Yamamoto 2002; Charles et al. 2006; Kimura et al. 2007: Matsushita et al. 2008). Penyakit pada kulit yang serupa seperti skleroderma (scleroderma-like illness) pernah dilaporkan pada pasien manusia yang menerima pengobatan atau terpapar bahan kimia seperti vinil klorida, pentazosin intramuskular, L-triptofan peroral, dan bleomisin (Haustein & Ziegler 1985; Owens & Medsger 1998; Kerr & Spiera 1992). Induksi skleroderma secara kimiawi pada hewan model sangat berguna dalam mempelajari patogenesis skleroderma serta investigasi metode terapi skleroderma di masa depan. Jenis hewan yang paling sering digunakan sebagai hewan model skleroderma adalah mencit dan tikus (Yamamoto & Nishioka 2001). Inisiasi dari kejadian skleroderma secara patomorfologi adalah adanya infiltrasi sel radang di dermis, yang berkorelasi dengan peningkatan ekspresi kolagen dan sintesis molekul matriks ekstraseluler disekitar fibroblast yang teraktivasi (Yamamoto 2002; Matsushita et al. 2008). Studi sebelumnya oleh Kovacs & DiPietro (1994) mendukung bahwa keberadaan komponen sel radang merupakan sumber dari pelepasan sitokin, yang menstimulasi diproduksinya growth factor seperti transforming growth factor-beta (TGF-β), growth factor jaringan penunjang, dan inisiasi kejadian fibrosis. Juniantito et al. (2013) melaporkan bahwa terjadi perubahan struktur kulit seperti peningkatan deposisi kolagen dan jumlah sel radang, serta hilangnya adnexa pada jaringan dermis tikus yang diinduksi 100 µL/hari/ekor bleomisin 1 mg/mL selama 4 minggu. Sejauh ini sudah banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan bahanbahan yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya skleroderma. Kimura et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan SKL-2841 dapat menghambat monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang menginduksi kemotaksis pada sel monositik manusia baik secara in vitro maupun in vivo. Selain itu, SKL-2841 dapat menghambat macrophage inflammatory protein-1 (MIP-1) pada sel limpa mencit secara in vitro. Hemmati et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak biji delima (pomegranate) memberikan efek protektif yang signifikan pada tikus yang mengalami fibrosis paru-paru akibat induksi bleomisin.
4 Bleomisin Bleomisin merupakan antitumor antibiotik yang digunakan untuk terapi pada berbagai kanker (Yamamoto & Nishioka 2001). Bleomisin merupakan turunan antibiotik glikopeptida yang diisolasi dari fungi Streptomyces verticillus (Yamamoto 2010). Bleomisin memiliki aktivitas antitumor yang kuat. Secara klinis bleomisin digunakan sebagai terapi kasus tumor seperti squamous cell carcinoma di daerah kepala dan leher (termasuk pada mulut, lidah, tonsil, nasofaring, orofaring, sinus, palatum, bibir, mukosa buccal, gusi, epiglotis, dan laring), malignant lymphoma, testicular carcinoma, dan malignant pleural effusion (Galm et al. 2004). Cara kerja bleomisin yaitu membentuk ion kompleks dengan Fe+2 di dalam darah, kemudian di dalam sel teroksidasi menjadi Fe+3 menghasilkan oksigen untuk radikal bebas. Radikal bebas menyebabkan kerusakan DNA yang kemudian akan menyebabkan kematian pada sel tumor. Bleomisin sering digunakan sebagai perangkat biokimia, untuk memblokir siklus sel pada G2, membelah DNA untai tunggal maupun ganda, dan memotong RNA. Selain itu, bleomisin menghasilkan radikal bebas yang menginduksi apoptosis (Yamamoto 2006a). Secara in vivo dan in vitro efek pemberian bleomisin pada sel-sel kulit menyebabkan pengaktifan fibroblast, keratinosit, dan sel pertahanan tubuh (Yamamoto 2006b). Induksi bleomisin secara in vitro dapat meregulasi kolagen dan ekspresi transforming growth factor beta-1 (TGF-β1) mRNA pada kultur jaringan paru-paru tikus dan fibroblast kulit manusia (Clark et al. 1980; Yamamoto et al. 2000a). Mekanisme induksi fibrosis oleh bleomisin disebabkan oleh peningkatan ekspresi gen protein matriks ekstraseluler karena pengaruh sitokin fibrogenik yang dilepaskan makrofag, sel endotel, dan fibroblast (Clark et al. 1980). Matsushita et al. (2008) menyatakan bahwa efek samping dari penggunaan bleomisin belakangan ini diketahui dapat memicu fibrosis paru-paru. Penggunaan bleomisin dapat menyebabkan abnormalitas pada kulit seperti hiperpigmentasi, infiltrasi plak dan nodul. Kasus pada manusia pernah dilaporkan bahwa penggunaan bleomisin menyebabkan terjadinya perubahan kulit yang mencirikan skleroderma, seperti sklerodaktili (skleroderma di daerah ekstremitas) yaitu di daerah tangan, kaki, dan lengan bawah (Kim et al. 1996). Mountz et al. (1983) melaporkan bahwa pada tikus yang diinjeksi berulang dengan bleomisin dosis sublethal selama lebih dari 58 minggu, menyebabkan dermal fibrosis parah seperti yang ditemukan pada kasus skleroderma di manusia. Pada keadaan ini ditemukan abnormalitas struktur serabut kolagen. Disisi lain, injeksi lokal bleomisin selama 4 minggu dapat menyebabkan skleroderma pada murine (Yamamoto & Nishioka 2001; Matsushita et al. 2008). Kimura et al. (2007) melaporkan bahwa induksi bleomisin selama 3 hari pada kulit dapat menyebabkan skleroderma akut dan induksi selama 3 minggu dapat menyebabkan skleroderma lokal kronis. Kejadian skleroderma dapat diinduksi melalui injeksi subkutan preparat bleomisin secara berulang di daerah punggung. Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi, ditemukan dermal sklerosis yang dicirikan dengan penebalan lapisan kolagen, deposisi material homogen pada dermis yang menebal, dan infiltrasi sel radang yang didominasi oleh sel limfosit T dan makrofag (Matsushita
5 et al. 2008). Injeksi lokal subkutan bleomisin dengan konsentrasi 1 mg/mL sebanyak 100 µL/hari selama 3 minggu dapat menginduksi terjadinya skleroderma pada mencit (Yamamoto & Nishioka 2002). Yamamoto et al. (2000b) melaporkan bahwa injeksi subkutan 1 mg/ml bleomisin dalam phosphate buffer saline (PBS) steril secara lokal dapat menyebabkan terjadinya skleroderma pada berbagai jenis mencit, seperti Balb/c, C3H/He, C57BL/6J, DBA/2, A/J, dan B10.
Kurkumin Kurkumin [1·7-bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1·6-heptadiene-3·5-dione] (Gambar 1) merupakan komponen kimia utama bahan aktif kunyit, yang didapatkan dari akar tanaman Curcuma longa. Secara farmakologi, kurkumin sudah digunakan selama lebih dari 6000 tahun sebagai obat dalam ilmu pengobatan Ayurveda (India kuno) (Beevers & Huang 2011). Kunyit selama ini telah digunakan sebagai bumbu dapur, pewarna masakan dan minuman. Selain itu, rimpang kunyit digunakan secara tradisional untuk menambah nafsu makan, peluruh batu empedu, obat gatal dan luka, obat sesak nafas, antiradang, antidiare, dan dapat juga sebagai obat masuk angin (Winarto 2003). (a)
(b)
(c)
Gambar 1 Struktur kimia kurkuminoid (a) curcumin, (b) demethoxycurcumin, (c) bisdemethoxycurcumin Kurkumin merupakan produk alami hidrofobik yang terdiri dari dua cincin fenolik, masing-masing diganti dengan sebuah metoksi fungsi eter di orto-posisi (Gambar 1) (Beevers & Huang 2011). Kedua cincin fenolik bergabung melalui alifatik tak jenuh linker heptan di para-posisi yang juga mengandung fungsi diketonik α dan β pada karbon -3 dan -5. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa fungsi diketon dapat menjalani tautomerisasi reversibel antara bentuk enolik dan etonik (Payton et al. 2007). Tautomerisasi kurkumin tergantung pada pH, dengan didominasi bentuk bis-keto dalam larutan asam dan netral, dan bentuk enol dalam larutan basa. Sementara itu, dalam bentuk bis-keto, karbon-4 dari heptan linker dapat berfungsi sebagai donor proton sangat kuat, sedangkan fungsi Gambar 1 Struktur kimia kurkuminoid (a) curcumin, (b) demethoxycurcumin, (c) bentuk enol terutama sebagai donor elektron (Sharma et al. 2005). Oleh karena itu bisdemethoxycurcumin kurkumin bersifat sebagai antioksidan. Bahkan, sifat antioksidan dari kurkumin beberapa kali lebih kuat daripada vitamin E (Shishodia et al. 2005). Kunyit relatif aman walaupun diberikan dalam dosis yang besar. ChainaniWu (2003) melaporkan bahwa kunyit selain mempunyai khasiat sebagai
6 antiinflamasi, pemberian ekstrak kunyit dalam bentuk serbuk dengan dosis sampai 2.5 g/hari pada orang dewasa tidak bersifat toksik. Letal dosis (LD50) kurkumin yang diberikan secara oral pada mencit ditemukan lebih dari 2 g/kg BB (Kohli 2005). Kandungan bioaktif kunyit yaitu kurkumin telah terbukti bersifat antioksidatif dan antiinflamasi. Beberapa ilmuwan telah melakukan penelitian tentang khasiat dari kunyit. Duvoix et al. (2005) melaporkan bahwa selain mempunyai efek antikanker, kunyit juga memberikan efek yang baik sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Senyawa bioaktif kunyit mempunyai efek protektif terhadap sel hati terhadap paparan zat kimia yang bersifat toksik seperti karbon tetraklorida (CCl4) (Prakash et al. 2008; Kardena & Winaya 2011). Secara umum, kandungan kurkumin pada kunyit mencapai 3.14 % (w/w) (Tayyem et al. 2006) Wilken et al. (2011) menyatakan bahwa kurkumin memiliki aktivitas antiproliferatif pada berbagai kanker yang menghambat faktor transkripsi. Kurkumin mempengaruhi berbagai reseptor faktor pertumbuhan dan molekul adhesi sel termasuk dalam pertumbuhan tumor, angiogenesis, dan metastasis. Kohli et al. (2004) melaporkan bahwa kurkumin dapat menghambat metabolisme asam arakidonat, siklooksigenase, lipooksigenase, dan sitokin. Selain itu kurkumin dilaporkan dapat menstabilkan membran lisosom yang menyebabkan pelepasan fosforilasi oksidatif. Disamping itu, juga memiliki aktivitas sebagai pemangsa radikal bebas yang kuat sehingga responsif sebagai agen antiinflamasi. Kurkumin merupakan salah satu antioksidan yang berasal dari rempah kunyit. Biasanya kurkumin digunakan sebagai salah satu obat alternatif untuk berbagai kasus radang di India dan China (Zhang et al. 2011). Pemberian kurkumin dapat secara signifikan menekan peradangan paru-paru serta deposisi kolagen pada fibrosis paru yang diinduksi dengan bleomisin (Smith et al. 2010). Yu et al. (2011) melaporkan bahwa pemberian kurkumin sebanyak 50 mg/kg BB/hari secara intraperitoneal selama 6 hari dapat mengurangi kerusakan jaringan pankreas dan organ lainnya pada hewan mencit yang diinduksi caerulein, yaitu dengan cara menghambat pelepasan mediator peradangan yaitu sitokin TNF-α. Punithavathi et al. (2000) melaporkan bahwa pemberian kurkumin secara peroral sebanyak 300 mg/kg BB selama 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah induksi tunggal bleomisin secara intratrakeal dapat mengurangi fibrosis pada paru-paru tikus secara signifikan.
Hewan Model Mencit Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak. Pemeliharaannya ekonomis dan efisien dalam hal tempat dan biaya. Variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis terkarakteristik dengan baik. Hewan ini paling kecil diantara jenisnya dan memiliki galur mencit yang berwarna putih. Mencit hidup dalam daerah yang cukup luas penyebarannya mulai dari daerah beriklim dingin, sedang, maupun panas dan dapat terus-menerus di dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar. Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan (Malole & Pramono 1989). Mencit laboratorium mempunyai bobot badan kira-kira sama dengan mencit liar yang banyak ditemukan di dalam gedung
7 dan rumah yang dihuni oleh manusia, dengan berat badan bervariasi 18 sampai 20 gram pada umur empat minggu (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Penggunaan mencit sebagai hewan model skleroderma sudah banyak dilakukan. Yamamoto (2002) melaporkan injeksi lokal bleomisin 10 µg/mL yang berulang dapat menginduksi dermal sklerosis pada mencit Balb/c setelah 4 minggu. Hasil pemeriksaan histologi jaringannya menunjukkan adanya deposisi kolagen dan material homogen, serta akumulasi sel-sel radang yang menyerupai gambaran histologi pada kasus skleroderma di manusia. Yamamoto & Nishioka (2001) melaporkan injeksi setiap hari 100 µL bleomisin 100 µg/mL pada mencit C3H dapat menginduksi terjadinya skleroderma. Yamamoto et al. (2000b) mencobakan hewan model skleroderma yang diinduksi blomisin pada berbagai strain mencit, kesimpulan yang didapatkan adalah mencit strain C3H/He dan B10·A merupakan hewan model yang sangat cocok untuk penelitian ini.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Maret 2015, bertempat di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan- Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi FKH-IPB.
Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit jantan galur ddy, umur 4 minggu, dengan bobot badan 20-25 gram yang diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM, Jakarta, Indonesia). Setiap kelompok perlakuan terdiri atas 4-6 ekor hewan coba.
Material Penginduksi Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Bleocin (Bleomisin hidroklorida 15 mg, Kalbe Farma, Jakarta, Indonesia) dilarutkan dalam 15 ml aquadest steril hingga konsentrasinya menjadi 1 mg/ml, dan sebanyak 100 µL diinjeksikan secara subkutan (SC) setiap hari selama 4 minggu (Juniantito et al. 2013; Ould-Ali et al. 2012).
Kurkumin Bahan aktif kurkumin (Biopurify, Chengdu, China) dilarutkan dalam 0.5% carboxymethylcellulose (CMC), diberikan dengan dosis 100 mg/kg bobot badan (Yu et al. 2000) secara injeksi intraperitoneal (IP) setiap hari selama 4 minggu.
8 Desain Penelitian Semua metode yang dilakukan dalam penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval) dari Komisi Etik Hewan Institut Pertanian Bogor Nomor 25-2014 IPB. Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu masa pemeliharaan, perlakuan, dan pengamatan histopatologi kulit. Mencit yang baru datang diadaptasikan dengan kandang baru selama seminggu. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan praperlakuan (pre-enrichment) berupa dosis tunggal anthelmintik Combantrin 10 mg/kg BB, antibiotik Claneksi 25 mg/kg BB selama 5 hari berturut-turut, dan antiprotozoa Flagyl 30 mg/kg BB selama 3 hari berturut-turut. Setelah itu, dilanjutkan dengan pencukuran rambut dan pemberian tanda di daerah punggung dengan menggunakan spidol permanen. Penandaan ini berfungsi sebagai tanda tempat akan diaplikasikannya bleomisin setiap hari. Setelah masa pemeliharaan selesai, dilanjutkan dengan masa perlakuan. Masa perlakuan ini berlangsung selama 4 minggu. Sebanyak 16 ekor mencit dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompokkelompok tersebut antara lain: 1. Kelompok kontrol, menerima injeksi 100 μL/ekor/hari aquadest steril (SC) di kulit bagian punggung. 2. Kelompok BLM, menerima injeksi 100 µL/hari bleomisin 1 mg/mL (SC) di kulit bagian punggung. 3. Kelompok CMN, menerima injeksi 100 μL/ekor/hari aquadest steril (SC) di kulit bagian punggung dan 100 mg/kg/hari kurkumin dalam 0.5% CMC (IP). 4. Kelompok BLM+CMN, menerima injeksi 100 µL/hari bleomisin 1 mg/mL (SC) di kulit bagian punggung dan 100 mg/kg/hari kurkumin dalam 0.5% CMC (IP). Berikut adalah bagan alur penelitian kelompok perlakuan (Gambar 2).
Gambar 2 Bagan alur penelitian pada setiap kelompok perlakuan Setelah masa perlakuan berakhir, mencit diterminasi dengan cara diberikan Ketamin HCl overdosis sebanyak 0.2 ml/hewan (AVMA 2013). Kemudian dilakukan pengambilan sampel kulit bagian punggung dan paru-paru. Sampel kemudian dimasukan ke dalam botol berisi larutan 10% buffered neutral formalin (BNF) dan diberi nomor keterangan pengambilan organ.
9 Pembuatan Preparat Histopatologi Organ kulit dan paru-paru dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm dengan menggunakan cutter kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya tissue cassette dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing dan infiltrasi. Proses dehidrasi dimulai dengan merendam organ ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, 96%, etanol absolut I, etanol absolut II, etanol absolut III, clearing pada larutan xylene I, xylene II, dan infiltrasi pada parafin I, dan parafin II yang bersuhu 58 ºC. Setiap perendaman dilakukan selama kurang lebih 2 jam. Potongan organ kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang berisi sedikit parafin cair dengan menggunakan paraffin embedding console. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengahtengah cetakan. Parafin cair ditambahkan ke dalam cetakan sampai terisi penuh, kemudian dibiarkan hingga terbentuk blok parafin. Organ yang terdapat dalam blok parafin dipotong dengan mikrotom putar dengan ketebalan 3 sampai 5 μm. Hasil potongan diletakkan di atas waterbath bersuhu 46 ºC. Potongan diangkat menggunakan gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 50 sampai 60 ºC selama 1 hari.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pewarnaan dimulai dengan melakukan prosedur deparafinisasi. Gelas objek kemudian dicuci dengan aquadest selama 1 menit. Selanjutnya gelas objek direndam ke dalam pewarna Mayer’s Hematoxylin selama 8 menit kemudian dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. Gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam litium karbonat selama 15 sampai 30 detik kemudian dibilas dengan air mengalir selama 2 menit. Selanjutnya gelas objek dimasukkan ke dalam pewarna eosin selama 2 sampai 3 menit kemudian dibilas dengan air selama 30 sampai 60 detik. Proses berikutnya adalah dehidrasi dengan alkohol 95% dan alkohol absolut I masing-masing sebanyak 10 celupan, dilanjutkan dengan merendam dalam alkohol absolut II selama 2 menit. Kemudian, dilanjutkan dengan clearing dengan xylene I dan II masing-masing selama 2 menit. Gelas objek diberi Permount® dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop untuk melihat gambaran struktur organ secara umum. Pewarnaan Masson’s Trichrome Pewarnaan dimulai dengan melakukan prosedur deparafinisasi. Gelas objek kemudian dicuci dengan aquadest selama beberapa detik. Selanjutnya gelas objek direndam dalam larutan mordat selama 40 menit, dan dicuci dengan aquadest selama beberapa detik. Selanjutnya gelas objek direndam ke dalam pewarna Carrazi’s Hematoxylin selama 40 menit, kemudian direndam dalam pewarna orange G 0.75% selama 2 menit. Gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam asam asetat 1% selama beberapa detik sambil digoyangkan. Kemudian. gelas objek dimasukkan ke dalam pewarna ponceau xylidine fuchsin selama 15 menit, dan kembali dibilas dengan asam asetat 1% selama beberapa detik sambil
10 digoyangkan. Preparat kemudian direndam di dalam larutan phosphotungstic acid 2.5% selama 10 menit, kembali direndam dalam asam asetat 1% selama beberapa detik. Gelas objek kemudian direndam di dalam pewarna aniline blue selama 15 menit, dan kembali direndam di dalam larutan asam asetat 1% selama beberapa detik. Selanjutnya preparat direndam di dalam alkohol 95% selama 3 menit. Proses berikutnya adalah dehidrasi, kemudian gelas objek diberi Permount® dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop untuk melihat struktur kolagen yang terbentuk. Warna biru kehijauan menunjukkan kolagen (jaringan ikat), warna merah menunjukkan otot dan elastin, sedangkan warna ungu menunjukkan adanya fibrin dan akumulasi kalsium.
Parameter dalam Penelitian Bobot Badan Selama masa perlakuan dilakukan pengamatan terhadap bobot badan. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 4 hari selama masa perlakuan berlangsung. Penimbangan bobot badan dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-28 perlakuan. Jumlah Folikel Rambut Secara kuantitatif jumlah folikel rambut dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Image J analisis gambar untuk program komputer (http://imagej.nih.gov//ij/), yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Data didapatkan dengan menghitung jumlah folikel rambut pada 30 lapang pandang untuk setiap kelompok perlakuan dengan perbesaran 10× lensa objektif. Luas setiap lapang pandang adalah 1122.81×898.25 µm2. Luas Folikel Rambut Secara kuantitatif luas folikel rambut dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Image J, yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Dengan menggunakan perbesaran 10× lensa objektif, sebanyak 15 folikel per kelompok perlakuan dipilih secara acak dengan menggunakan kamera video (Indomikro HDMI camera) yang ditampilkan pada layar monitor berwarna. Luas setiap lapang pandang adalah 1122.81×898.25 µm2. Selanjutnya dengan menggunakan menu freehand selections folikel rambut yang akan dihitung luasnya dilingkari dan perangkat lunak akan mengukur secara otomatis. Jumlah Sel Radang Jenis sel radang yang dihitung adalah makrofag dan limfosit. Secara kuantitatif luas folikel rambut dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Image J, yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Penghitungan jumlah sel-sel tersebut dilakukan pada 30 lapang pandang untuk setiap kelompok perlakuan dengan perbesaran 20× lensa objektif. Luas setiap lapang pandang adalah 547.01×437.61 µm2. Luas Jaringan Ikat Kulit Luas jaringan ikat kulit secara kuantitatif dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Image J, yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan modifikasi pewarnaan Masson’s trichrome (Kremer et al. 1999; Laxer et al. 1999; Berkman et al. 2001). Dengan
11 menggunakan perbesaran 10× lensa objektif, sebanyak 20 lapang pandang per kelompok perlakuan dipilih secara acak dengan menggunakan kamera video (Indomikro HDMI camera) yang ditampilkan pada layar monitor berwarna. Luas setiap lapang pandang adalah 1122.81×898.25 µm2. Selanjutkan gambar disesuaikan tingkat kontras, pencahayaan, dan warna threshold. Program analisis gambar akan mendeteksi area berwarna biru yang menandakan area kolagen pada setiap lapang pandang dan menyajikannya dalam bentuk persentase. Luas Jaringan Ikat Paru-paru Luas jaringan ikat paru-paru secara kuantitatif dihitung dengan menggunakan perangkat lunak dengan cara yang sama dengan penghitungan luas jaringan ikat pada kulit. Slide jaringan yang dianalisis telah diwarnai dengan modifikasi pewarnaan Masson trichrome (Suvik & Effendy 2012). Dengan menggunakan perbesaran 40× lensa objektif, sebanyak 20 lapang pandang per kelompok perlakuan dipilih secara acak. Luas setiap lapang pandang adalah 326.40×184.00 µm2. Tebal Dinding Alveol Ketebalan dinding alveol secara kuantitatif dihitung dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Dengan menggunakan perbesaran 40× lensa objektif, sebanyak 20 lapang pandang per kelompok perlakuan dipilih secara acak dengan menggunakan kamera video yang ditampilkan pada layar monitor berwarna. Luas setiap lapang pandang adalah 326.40×184.00 µm2. Tebal dinding alveol diukur sebanyak 10 kali setiap lapang pandang dengan cara menarik garis antar alveol, kemudian panjang garis tersebut secara otomatis akan diukur oleh perangkat lunak Image J dan disajikan dalam satuan mikrometer. Data hasil pengukuran disajikan dalam bentuk rataan. Pemilihan dinding alveol yang diukur berdasarkan teknik menghitung jumlah sel darah putih. Catatan: seluruh parameter mikroskopis dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Image J®, hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas metode skoring (Gibson –Corley et al. 2013). Analisis Data Seluruh data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak SAS 1.9, yaitu metode analisis ragam ANOVA dan disajikan dalam bentuk rataan dan standar deviasi. Selanjutnya digunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Kelompok kontrol mengalami kenaikan bobot badan secara terus menerus pada setiap hari perlakuan, sedangkan pada kelompok BLM yang diberi injeksi 100 μl bleomisin 1 mg/ml secara subkutan selama 4 minggu menyebabkan
12 terjadinya penurunan bobot badan secara signifikan mulai pada perlakuan di hari ke-12. Pada kelompok CMN terjadi peningkatan bobot badan yang terus menerus pada setiap hari perlakuan, peningkatan yang terjadi signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol mulai pada perlakuan hari ke-8. Kelompok BLM+CMN mengalami fluktuasi dalam bobot badan dan secara signifikan berbeda dengan kelompok kontrol maupun BLM pada perlakuan hari-28. Perbandingan ukuran tubuh mencit pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan rataan bobot badan disajikan pada Tabel 1.
Gambar 3 Perbandingan ukuran tubuh mencit pada setiap kelompok perlakuan Tabel 1 Data bobot badan mencit setiap kelompok perlakuan Hari ke-
Kelompok Perlakuan Kontrol BLM CMN BLM+CMN 0 29.75±2.01 a 29.25±2.05 a 29.94±2.07 a 29.54±2.03 a 4 30.75±2.36 a 29.00±2.16 a 32.75±3.20 a 30.00±2.45 a a a b 8 31.25±1.50 28.25±2.50 36.00±3.37 30.50±2.65 a a b c 12 32.00±1.41 28.00±2.16 37.00±3.16 28.50±2.08 ab a b c 16 32.25±1.89 27.75±2.22 37.50±2.38 29.00±2.16 ab a b c 20 32.50±2.52 27.75±2.06 38.25±2.63 31.25±3.30 ab a b c 24 33.25±2.50 27.00±2.16 38.75±2.63 32.25±2.87 a a b c 28 33.75±1.71 25.50±1.91 40.00±2.71 29.75±2.63 d Perbedaan huruf superscripts pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05)
Penurunan bobot badan yang signifikan dilaporkan oleh Yamamoto & Nishioka (2004) pada nude mice yang diberi induksi bleomisin selama 6 minggu. Penurunan bobot badan ini disebabkan oleh aktivitas bleomisin yang menyebabkan stimulasi apoptosis dan radikal bebas atau ROS (Yamamoto & Katayama 2011). Tidak sebandingnya antara jumlah radikal bebas dengan antioksidan di dalam tubuh menimbulkan akumulasi radikal bebas, sehingga terjadi aktivasi neuron pro-opiomelanokortin (POMC) (Diano et al. 2011). Neuron POMC merupakan komponen dari rangkaian yang memediasi rasa kenyang atau menekan nafsu makan (Huang et al. 2011). Bleomisin menyebabkan aktivasi neuron POMC, sehingga terjadi penekanan nafsu makan. Penekanan nafsu makan secara terus-menerus menyebabkan kehilangan bobot badan. Diano et al. (2011) menyatakan bahwa level radikal bebas di hipotalamus secara langsung maupun tidak langsung menekan nafsu makan pada tikus obesitas.
13 Hipotalamus memegang peranan kunci pada pengaturan makan dan berat badan. Pada hipotalamus, rangsangan yang ada akan melibatkan daerah yang berperan dalam respon nafsu makan, yaitu nucleus ventromedial hypothalamus dan nucleus lateral hypothalamus. Bagian ventomedial hipotalamus dinamakan sebagai pusat kenyang (satiety system), sedangkan bagian lateral hipotalamus dinamakan pusat lapar atau pusat makan (feeding system). Rangsangan terhadap hipotalamus menyebabkan disekresikannya beberapa neuropeptida, seperti neuropeptide-Y (NPY) yang berperan dalam rasa lapar dan glucagon like peptide1 (GLP-1) yang berperan dalam rasa kenyang (Guyton & Hall 1997). Hipotalamus juga berhubungan dengan pengaturan hormon tubuh. Kadar glukosa tubuh akan menyebabkan hipotalamus melepaskan impuls ke batang otak untuk melepaskan hormon yang mempengaruhi respon makan. Salah satu hormon yang disekresikan untuk mempengaruhi respon makan adalah leptin. Leptin merupakan hormon yang disintesis oleh sel adiposit sebagai penghantar signal pada otak untuk kontrol makan. Pada medial hipotalamus, leptin akan mengaktifkan sel syaraf anorectic yang akan melepaskan neuropeptida yang menekan nafsu makan (seperti POMC). Pada saat yang sama, leptin akan menghambat kelompok sel syaraf lain yang sensitif terhadap leptin yang disebut orexigenic yang akan melepaskan neuropeptida yang mengatur nafsu makan (seperti NPY). Leptin juga dikenal sebagai cytokine-like hormone dengan efek pleiotropik dalam modulasi respon imun dengan mengaktivasi sel monosit, dendritik dan makrofag serta menstimulasi sel tersebut memproduksi sitokin (Lam & Lu 2007; Lago et al. 2008). Pemberian kurkumin secara signifikan mampu meningkatkan bobot badan mencit mulai hari ke-8. Kurkumin diketahui dapat meningkatkan nafsu makan dengan cara memperlancar produksi cairan empedu, yang akhirnya dapat meningkatkan aktivitas pencernaan makanan. Dengan adanya peningkatan penyerapan makanan oleh tubuh, maka kebutuhan zat nutrisi untuk perkembangan dapat terpenuhi (Rahmat & Setianingrum 2008). Radikal bebas dan apoptosis yang distimulasi oleh bleomisin akan ditekan oleh aktifitas antioksidan dari kurkumin. Asouri et al. (2013) menjelaskan bahwa kurkumin merupakan antioksidan yang digunakan untuk meminimalisir atau mencegah pembentukan produk oksidasi yang toksik di dalam tubuh, bahkan kurkumin memiliki aktivitas sebagai antioksidan yang sama kuatnya dengan asam askorbat.
Histopatologi Organ Kulit Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan yang diwarnai dengan pewarnaan HE, pada kelompok kontrol (Gambar 4A) dan kelompok CMN (Gambar 4C) terdapat gambaran normal struktur organ kulit. Pada kedua kelompok ini terdapat struktur lemak intradermal dan folikel rambut normal. Akan tetapi pada kelompok BLM (Gambar 4B), menunjukkan gambaran hilangnya struktur folikel rambut atau atrofi folikel rambut, atrofi lemak intradermal, dan infiltrasi sel radang. Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 4D) masih terdapat struktur folikel rambut dan lemak intradermal, namun lebih sedikit dibanding kelompok kontrol. Pada kelompok ini juga terdapat infiltrasi sel radang.
14 Penemuan lesio patologi di atas serupa dengan Yamamoto & Nishioka (2004), yaitu didapatkan penebalan kolagen yang homogen di bagian dermis pada mencit yang diberi perlakuan BLM. Selain peningkatan deposisi kolagen, lesio skleroderma juga disertai dengan reaksi peradangan dan hilangnya adnexa di bagian bawah dermis (Juniantito et al. 2013). Juniantito et al. (2013) melaporkan bahwa terdapat deposisi kolagen, atrofi folikel rambut, dan peningkatan jumlah makrofag pada kulit tikus yang diinduksi bleomisin. Yamate et al. (2002) melaporkan bahwa makrofag mampu memproduksi sejumlah besar TGF-β1 di lokasi luka dan area fibrotik. Makrofag CD68+ menginduksi myofibroblast melalui TGF-β1 (Yamamoto & Nishioka 2002). Myofibroblast akan menghasilkan kolagen dan menyebabkan terjadinya fibrosis (Hinz et al. 2007) Kisseleva & Brenner 2008).
Gambar 4 Foto mikrografi kulit dengan pewarnaan HE: (A) Kontrol, struktur normal kulit dengan jaringan lemak intradermal; (B) BLM, struktur abnormal kulit dengan peningkatan jumlah sel radang dan hilangnya adnexa di dermis bagian bawah; (C) CMN, struktur kulit termasuk normal dengan jaringan lemak intradermal; (D) BLM+CMN, struktur kulit dengan lemak intradermal dan akumulasi sel radang Pewarnaan Masson’s trichrome bertujuan untuk mengetahui deposisi kolagen pada jaringan kulit. Pada kelompok kontrol (Gambar 5A) dan CMN (Gambar 5C) ditemukan struktur histologi jaringan ikat di kulit normal. Akan tetapi, pada kelompok BLM (Gambar 5B) terlihat warna biru yang mendominasi hampir keseluruhan struktur kulit. Hal ini menandakan bahwa hampir keseluruhan
15 dari jaringan kulit digantikan oleh stuktur jaringan ikat kolagen. Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 5D) terlihat sedikit akumulasi jaringan ikat kolagen di daerah lemak intradermal, akan tetapi tidak separah pada kelompok BLM. Yamamoto et al. (2000b) menyatakan bahwa pewarnaan jaringan dengan Masson’s trichrome pada kulit mencit yang diinduksi skleroderma dengan bleomisin menunjukkan terjadinya peningkatan kepadatan deposisi kolagen di daerah dermis, sesuai dengan perkembangan kejadian skleroderma. Keberadaan kolagen pada jaringan yang diwarnai dengan modifikasi pewarnaan Masson’s trichrome akan divisualisasikan dengan warna biru (Kremer et al. 1999; Laxer et al. 1999; Berkman et al. 2001). Hasil pewarnaan jaringan kulit pada setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Foto mikrografi kulit dengan pewarnaan MT: (A) Kontrol, struktur normal jaringan ikat kulit dengan lemak intradermal; (B) BLM, struktur lemak intradermal digantikan kolagen; (C) CMN, struktur normal jaringan ikat kulit dengan lemak intradermal; (D) BLM+CMN, beberapa bagian lemak intradermal digantikan kolagen
Jumlah Folikel Rambut Jumlah folikel rambut pada kelompok kontrol (25.90±5.39)/mm2 dan CMN (26.93±6.10)/mm2 tidak berbeda secara signifikan. Akan tetapi, kelompok BLM (7.27±2.50)/mm2 memiliki jumlah folikel rambut yang lebih sedikit dan berbeda signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok BLM+CMN (16.77±4.28)/mm2, jumlah folikel rambutnya lebih banyak dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Jumlah folikel
16 rambut menjadi salah satu parameter dari kejadian skleroderma karena induksi bleomisin menyebabkan apoptosis dari sel-sel folikel rambut, sehingga jumlah folikel rambut menjadi berkurang. Jumlah folikel rambut pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Jumlah folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi
Pada kelompok kontrol dan CMN tidak terdapat perbedaan jumlah folikel rambut yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa kurkumin tidak menyebabkan apoptosis pada folikel rambut. Sebaliknya, kelompok BLM memiliki jumlah folikel rambut yang lebih sedikit dan berbeda signifikan jika dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan oleh paparan bleomisin secara terusmenerus menginduksi apoptosis pada sel-sel di kulit, termasuk folikel rambut. Injeksi bleomisin secara lokal dapat menginduksi terjadinya apoptosis pada folikel rambut, sehingga menyebabkan kematian sel-sel rambut dan terjadi alopesia (Yamamoto & Nishioka 2004; Yamamoto 2006a). Bleomisin merupakan salah satu agen kemoterapi yang menghambat proses mitosis pada fase anagen atau fase pertumbuhan folikel rambut (Yamamoto 2006a). Selain itu, bleomisin menjadi stimulus pelepasan sitokin yang menstimulaai produksi TGF-β (Kovacs & DiPietro 1994). Soma et al. (1998) menyatakan TGF-β menginduksi fase katagen (apoptosis) dalam siklus rambut pada manusia. Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa kelompok BLM+CMN memiliki jumlah folikel rambut yang lebih banyak dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Hal ini membuktikan bahwa kurkumin dapat menghambat kejadian apoptosis folikel rambut pada kulit yang dipapar bleomisin. Chainani-Wu (2003) melaporkan bahwa kurkumin menghambat beberapa molekul yang terlibat dalam peradangan, seperti fosfolipase, lipooksigenase, siklooksigenase-2, leukotrien, tromboksan, prostaglandin, nitrit oksida, kolagenase, elastase, hyaluronidase, dan MCP-1. Selain itu, kurkumin dapat penghambat pelepasan sitokin, interleukin-1, interleukin-6, dan TNF-α (Sordillo & Helson 2015). Penghambatan pelepasan mediator peradangan ini
17 menyebabkan tingkat peradangan dapat ditekan, sehingga keparahan skleroderma dapat diturunkan. Kurkumin dapat menghambat kerja reseptor TGF-β tipe 1 dan 2 (Li et al. 2013), sehingga produksi TGF-β diturunkan. Soma et al. (1998) menyatakan TGF-β akan menginduksi fase katagen (apoptosis) dalam siklus rambut pada manusia. Oleh karena itu, dimungkinkan bahwa kurkumin dapat menghambat fase katagen (apoptosis) pada siklus rambut dengan cara menghambat produksi TGF-β. Sehingga mencit yang dipapar bleomisin akan memproduksi TGF-β akibat stimulasi dari sitokin (Kovacs & DiPietro 1994), kurkumin akan menghambat kerja reseptor TGF-β tersebut untuk menghambat produksi TGF-β. Berdasarkan uraian di atas, ketika TGF-β dihambat, maka induksi terhadap fase katagen folikel rambut akibat bleomisin dapat dihambat pula.
Luas Folikel Rambut Luas folikel rambut per 15 folikel rambut pada kelompok kontrol (11679.00±3112.64 µm2) dan CMN (10188.26±2070.48 µm2) tidak berbeda secara signifikan. Akan tetapi pada kelompok BLM (3870.24±1713.98 µm2), luas folikel rambut lebih kecil dan berbeda signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, kelompok BLM+CMN (8124.29±2256.48 µm2) memiliki luas folikel rambut yang lebih besar dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Luas folikel rambut pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Luas folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi Aplikasi BLM secara lokal pada kulit selain menyebabkan penurunan jumlah folikel rambut secara signifikan, juga menyebabkan penurunan luas folikel rambut. Atrofi folikel rambut disebabkan oleh aktivitas bleomisin yang menstimulasi produksi TGF-β, yang kemudian akan menginduksi fase katagen atau fase apoptosis dalam siklus rambut (Kovacs & DiPietro 1994; Soma et al.
18 2002). Terdapat 3 fase dalam siklus rambut, yaitu: (i) anagen, fase regenerasi folikel dengan pertumbuhan rambut aktif; (ii) telogen, fase istirahat; dan (iii) katagen, fase apoptosis (Jain et al. 2012). Pemberian kurkumin terbukti dapat menghambat kerja reseptor TGF-β untuk memproduksi TGF-β (Soma et al. 1998). Penghambatan produksi TGF-β akan menghambat percepatan fase katagen pada folikel rambut (Yamamoto & Nishioka 2004; Yamamoto 2006a). Penghambatan fase katagen akan menghambat percepatan apoptosis sel-sel folikuler, sehingga kematian sel-sel folikuler menjadi berkurang. Dengan demikian, kurkumin terbukti dapat menghambat apoptosis folikel rambut akibat bleomisin.
Jumlah Sel Radang Makrofag Terdapat jumlah makrofag yang lebih banyak dan berbeda signifikan (p<0.05) pada kelompok BLM (66.27±5.24)/mm2 jika dibandingkan dengan kontrol (14.97±3.63)/mm2. Selain itu, kelompok CMN (7.00±2.59)/mm2 memiliki jumlah makrofag yang lebih sedikit dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian kurkumin dapat menghambat jumlah makrofag pada mencit yang diberi bleomisin, terbukti bahwa kurkumin dapat menurunkan jumlah makrofag secara signifikan pada kelompok BLM+CMN (28.77±4.20)/mm2 jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Jumlah makrofag pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Jumlah makrofag. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi Peningkatan jumlah sel-sel radang disebabkan apoptosis folikel rambut oleh aktivitas bleomisin (Kovacs & DiPietro 1994; Soma et al. 1998). Apoptosis sel folikuler selanjutnya menyebabkan keluarnya mediator peradangan (Matsushita et al. 2008), yang kemudian disusul dengan perekrutan dan fagositosis oleh makrofag (Messmer & Pfeilschifter 2000). Makrofag muncul di dalam dan sekitar folikel rambut yang mengalami apoptosis (Juniantito et al. 2013). Peningkatan jumlah makrofag dimulai pada minggu ke-1 dan terus meningkat secara signifikan
19 hingga minggu ke-4. Pada minggu ke-1 makrofag CD68+ (cluster of differentiation 68+) adalah jenis makrofag yang paling dominan dibandingkan jenis lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis makrofag ini merupakan makrofag yang memfagosit sel debris pada awal kejadian inflamasi. Limfosit Terdapat trend yang serupa pada jumlah limfosit dengan jumlah makrofag, yaitu terdapat jumlah limfosit yang lebih banyak dan berbeda signifikan (p<0.05) pada kelompok BLM (22.37±4.9/mm2) jika dibandingkan dengan kontrol (7.43±1.56/mm2). Selain itu, pada kelompok CMN (4.5±1.14/mm2) jumlah limfosit juga lebih sedikit dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian kurkumin dapat menghambat jumlah limfosit pada mencit yang diberi bleomisin. Hal ini terbukti dari kelompok BLM+CMN (12.63±3.39/mm2) memiliki jumlah limfosit yang lebih sedikit dan berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Jumlah makrofag pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9
Jumlah limfosit. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi
Perubahan yang terjadi pada kulit akibat induksi bleomisin relatif terlokalisasi pada daerah di sekitar suntikan, tidak pada keseluruhan bagian kulit (Yamamoto 2002). Gambaran histologi pada awal kejadian skleroderma adalah infiltrasi sel mononuklear. Hal ini kemudian menyebabkan terstimulasinya mediator peradangan sitokin untuk memproduksi matriks ekstraselular yang berlebihan (Fleischmajer et al. 1977). Selain itu infiltrasi sel limfosit T, yang didominasi CD4 merupakan limfosit utama yang terlibat dalam kejadian skleroderma. Sama seperti pada kejadian sistemik skleroderma di manusia, pada hewan coba juga terjadi peningkatan jumlah sel-sel radang seperti sel T, makrofag, dan sel mast di jaringan yang terkena skleroderma. Bersadarkan hasil penghitungan jumlah makrofag dan limfosit, diketahui bahwa terdapat trend yang sama pada setiap kelompok perlakuan. Persamaan tersebut adalah sel radang makrofag secara signifikan lebih mendominasi dibandingkan limfosit pada kasus skleroderma akibat bleomisin. Perbandingan jumlah makrofag dan limfosit pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 2.
20 Berdasarkan Gambar 8 dan 9 diketahui terdapat peningkatan jumlah sel radang makrofag dan limfosit secara signifikan pada kelompok BLM. Kunci gambaran kejadian skleroderma adalah hilangnya kemampuan pembuluh darah untuk berkontriksi dan berdilatasi (Abraham & Varga 2005), sehingga menyebabkan terjadinya iskemia. Terdapat dua cara endotelium untuk memperbaiki diri sendiri atau membentuk pembuluh darah baru dalam menanggapi iskemia jaringan. Cara pertama adalah angiogenesis, yaitu endothelium akan meregenerasi diri sendiri untuk membentuk pembuluh darah baru. Cara kedua adalah vaskulogenesis, perbaikan endotelium dan pembentukan pembuluh darah baru yang dimediasi oleh derivat sel progenitor sumsum tulang. Derivat sel progenitor ini bersirkulasi di dalam darah dan akan berdiferensiasi menjadi sel-sel endotel (Hristov & Weber 2004). Kerusakan pembuluh darah menyebabkan terjadinya aktivasi sel endotel dan disfungsi permeabilitas kapiler. Hal ini kemudian diikuti dengan peningkatan ekspresi adhesi molekul, yang menyebabkan sel mononuklear menyusup di jaringan kulit (Yamamoto & Katayama 2011). Tabel 2 Perbandingan jumlah makrofag dan limfosit pada setiap kelompok perlakuan Kelompok Perlakuan
Makrofag
Kontrol
14.97±3.63
Limfosit
BLM
66.27±5.24
CMN
7.00±2.59
a a
a
7.43±1.56
22.37±4.90 4.50±1.14
a
28.77±4.20 BLM+CMN Keterangan: superscripts berbeda pada menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05)
b b
b b
12.63±3.39 baris yang sama
Metabolisme asam arakhidonat pada membran sel memainkan peranan penting dalam respon peradangan yaitu dengan cara menghasilkan eikosanoid (Steele et al. 2003). Membran fosfolipid dihidrolisis oleh phospholipase-A2 (PLA2) kemudian akan melepaskan asam arakidonat. Asam arakidonat ini akan dimetabolisme oleh cyclooxygenase (COX) untuk membentuk prostaglandin dan tromboksan, atau dapat pula dimetabolisme oleh lipooxygenase (LOX) untuk membentuk leukotriens. Kurkumin diketahui dapat menghambat PLA2, COX-2, dan 5-LOX pada kultur sel (Hong et al. 2004). Kurkumin secara langsung menghambat aktivitas katalisis 5-LOX, mencegah fosforilasi PLA2, dan menghambat transkripsi COX-2. NFкβ adalah faktor transkripsi yang mengikat DNA dan meningkatkan transkripsi gen COX-2 dan gen-gen proinflamasi lainnya seperti inducible nitric oxide syntase (iNOS). Pada sel-sel radang seperti makrofag, iNOS akan mengkatalisis nitrit oksida yang dapat bereaksi dengan superoksida membentuk peroksinitrit. Peroksinitrit merupakan spesies nitrogen reaktif yang dapat merusak protein dan DNA. Kurkumin diketahui dapat menghambat NFкβ, induksi COX-2, dan iNOS pada kultur sel hewan (Plummer et al. 1999). Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa sel-sel peradangan pada kejadian skleroderma lebih didominasi oleh makrofag dibandingkan dengan limfosit. Hal ini disebabkan jumlah sel mast pada kulit akan meningkat pada tahap awal skleroderma (Nishioka et al. 1987). Infiltrasi sel mast dan sel-sel mononuklear ke kulit umumnya terjadi pada tahap awal skleroderma. Diperkirakan sel mast
21 berkontribusi terhadap fibrosis melalui aksi beberapa mediator peradangan dan sitokin, karena sel mast sangat kaya akan sitokin dan mediator yang mampu mengaktifkan fibroblast dan sel endotel (Gruber 1995). Jumlah makrofag secara signifikan lebih banyak dibandingkan jumlah limfosit (Tabel 2). Hal ini disebabkan oleh pada jaringan kulit terdapat makrofag yang menetap disebut dengan histiosit. Histiosit sering disebut klasmatosit atau makrofag tetap, sebagai sel fusiform yang teregang di sepanjang serat kolagen. Histiosit bersama dengan fibroblast selalu terdapat pada jaringan ikat longgar. Ketika terjadi peradangan, maka makrofag yang berasal dari monosit di sirkulasi akan masuk ke jaringan. Selain makrofag, akan berdatangan sel radang lainnya seperti limfosit. Limfosit akan hadir saat peradangan sudah berlangsung secara kronis. Oleh karena itu pada kejadian skleroderma akibat bleomisin dilakukan penghitungan kedua sel radang ini.
Persentase Luas Jaringan Ikat Kulit Skleroderma dicirikan dengan terbentuknya akumulasi kolagen yang berlebihan. Terbukti pada penelitian ini, persentase luas jaringan ikat yang terbentuk pada kelompok BLM (37.84±4.2)% lebih tinggi dan signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (21.98±2.63)%. Pada kelompok perlakuan CMN (15.26±2.2)% terdapat persentase luas jaringan ikat yang lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan pada kelompok BLM+CMN (24.95±4.71)% memiliki persentase luas jaringan ikat lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Data persentase luas jaringan ikat disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Persentase luas jaringan ikat kulit. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi Peningkatan luas jaringan ikat pada kelompok perlakuan BLM disebabkan oleh peradangan akibat induksi bleomisin. Yamamoto & Nishioka (2002) menemukan bahwa pada kulit yang diinduksi bleomisin mengalami peningkatan
22 α-smooth muscle actin (α-SMA) yang signifikan. Pemberian antiTGF-β mampu menurunkan jumlah α-SMA secara signifikan hingga 50%, sehingga dapat menurunkan kejadian skleroderma. TGF-β dilepaskan oleh berbagai jenis sel, seperti makrofag, limfosit, dan fibroblast. Beberapa aksi dari TGF-β antara lain kemotaktik makrofag dan fibroblast, menstimulasi proliferasi fibroblast, meningkatkan sintesis matriks ekstraseluler, menurunkan regulasi proteinase matriks ektraseluler, dan meningkatkan regulasi inhibitor proteinase (Yamamoto & Nishioka 2004). Bleomisin meningkatkan regulasi kolagen tipe-1, fibronektin, dan ekspresi mRNA dari TGF-β pada kultur fibroblast kulit normal. Bleomisin dapat memodulasi ekspresi gen protein matriks ekstraseluler dalam dermal fibroblast. Efek ini dimediasi oleh TGF-β dan connective tissue growth factor (CTGF) (Yamamoto et al. 2000a). Juniantito et al. (2013) melaporkan bahwa terjadi perkembangan lesio fibrotik terutama di daerah dermis pada kelompok yang mendapatkan perlakuan bleomisin. Perbaikan jaringan melibatkan rekonstitusi jaringan ikat dari fibroblast menjadi myofibroblast (Tomasek et al. 2002). Myofibroblast dicirikan dengan adanya ekspresi protein prokontraktil yaitu α-SMA. Lesio fibrotik sebagian besar dihuni oleh myofibroblast, termasuk pada kasus skleroderma (Chen et al. 2005). Pada jaringan kulit yang dipapar bleomisin terdapat ekspresi connective tissue growth factor (CTGF/CCN2) yang merupakan marker dan mediator fibrosis. Selsel yang mengekspresikan CCN2 tersebut juga mengekspresikan α-SMA (Liu et al. 2010) Myofibroblast merupakan komponen utama dalam proses fibrosis atau penyembuhan luka. Myofibroblast memproduksi matriks ektraseluler, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi protein matriks ekstraseluler. Studi yang telah dilakukan oleh Desmouliere et al. (1993) menunjukkan bahwa TGF-β merupakan sitokin yang presentatif untuk menginduksi diferensiasi fibroblast menjadi sel myofibroblast. Beberapa aksi dari TGF-β dapat menstimulasi proliferasi fibroblast dan produksi protein matriks ekstraseluler, seperti kolagen. Oleh karena itu keberadaan TGF-β berkaitan erat dengan patogenesis skleroderma. Penelitian menunjukkan bahwa blokade terhadap TGF-β dengan menggunakan antibodi spesifik terhadap TGF-β, dapat menghambat fibrosis jaringan pada hewan model (Yamamoto et al. 1999; Wang et al. 1999). Kurkumin mampu menekan kejadian fibrosis di hati dengan cara menurunkan ekspresi α-SMA dan deposisi kolagen. Selain itu, kurkumin dapat menghambat kerja reseptor TGF-β tipe 1 dan 2 (Li et al. 2013). Penghambatan kerja reseptor tersebut akan menurunkan jumlah TGF-β yang terbentuk. Yamamoto & Nishioka (2004) mengungkapkan peran TGF-β dalam skleroderma adalah sebagai agen kemotaktik makrofag dan fibroblast, menstimulasi proliferasi fibroblast, meningkatkan sintesis matriks ekstraseluler, menurunkan regulasi proteinase matriks ektraseluler, dan meningkatkan regulasi inhibitor proteinase. Sehingga ketika kurkumin menurunkan produksi TGF-β melalui mekanisme penghambatan kerja reseptor TGF-β tipe 1 dan 2, maka mekanisme yang membuat skleroderma menjadi lebih parah dapat diturunkan.
23 Histologi Organ Paru-paru Hasil pewarnaan jaringan paru-paru dengan menggunakan pewarnaan HE menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol (Gambar 11A) dan kelompok CMN (Gambar 11C) adalah gambaran normal struktur jaringan paru-paru. Jaringan paru-paru pada kedua kelompok ini terlihat memiliki ketebalan dinding alveol yang tipis. Akan tetapi, pada kelompok BLM (Gambar 11B) terlihat adanya peningkatan ketebalan dinding alveol akibat bertambahnya sel-sel pada bagian interstisial, sehingga terjadi penyempitan pada bagian interalveolaris. Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 11D) terlihat adanya sedikit penebalan pada dinding alveol, akan tetapi bagian interalveolaris masih terlihat normal. Gambar fotomikrografi paru-paru yang diwarnai dengan pewarnaan HE dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Foto mikrografi paru-paru dengan pewarnaan HE; (A) Kontrol; (B) BLM; (C) CMN; dan (D) BLM+CMN Pada pewarnaan jaringan paru-paru dengan pewarnaan Masson’s trichrome terlihat struktur kolagen yang sangat tipis pada kelompok kontrol (Gambar 12A) dan CMN (Gambar 12C). Akan tetapi pada kelompok BLM (Gambar 12B) terlihat akumulasi kolagen yang hampir menyebar di keseluruhan gambar. Akumulasi kolagen ini divisualisasikan dengan warna biru (Suvik & Effendy 2013). Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 12D) terlihat sedikit akumulasi kolagen yang divisualisaskan dengan warna biru. Fotomikrografi jaringan paruparu yang diwarnai dengan Masson’s trichrome dapat dilihat pada Gambar 12.
24
Gambar 12
Fotomikrografi jaringan paru-paru dengan pewarnaan MT; (A) Kontrol, struktur normal paru dengan dinding alveol tipis; (B) BLM, struktur abnormal paru dengan peningkatan jumlah jaringan ikat kolagen (warna biru); (C) CMN, struktur normal paru dengan dinding alveol tipis; (D) BLM+CMN, struktur kulit dengan beberapa jaringan ikat kolagen (warna biru)
Persentase Luas Jaringan Ikat Paru-paru Rataan persentase luas jaringan ikat paru-paru pada kelompok kelompok BLM yaitu (15.03±2.45)% lebih tinggi dan signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (2.39±0.78)%. Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok CMN (1.5±0.61)%. Pada kelompok BLM+CMN (6.17 ±2.01)% memiliki persentase luas jaringan ikat lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Rataan persentase jaringan ikat paru-paru pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan Gambar 13 diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase luas jaringan ikat di paru-paru secara signifikan (p<0.05) pada kelompok BLM jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada hasil penelitian Izbicki et al. (2002) dituliskan bahwa terjadinya peningkatan persentase jaringan ikat paru-paru secara signifikan (p<0.05) pada kelompok mencit yang diinduksi fibrosis paruparu dengan menggunakan bleomisin secara intratrakeal pada hari ke- 3, 6, 14, dan 21. Peningkatan luas jaringan ikat pada kelompok BLM disebabkan oleh aktivitas bleomisin yang dapat menginduksi kejadian fibrosis paru-paru (Matsushita et al. 2008). Yamamoto & Katayama (2011) menyatakan bahwa
25 bleomisin dapat menstimulasi endothelial sel, makrofag, dan fibroblast untuk menginduksi mediator peradangan (sitokin proinflamasi dan fibrogenik), apoptosis, dan radikal bebas.
Gambar 13 Persentase luas jaringan ikat paru-paru. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi Kejadian fibrosis pada paru-paru diawali dengan terjadinya suatu peradangan. Peradangan akan berkembang menjadi proliferasi sel myofibroblast, dan diakhiri dengan pembentukan jaringan ikat persisten (Sleijfer 2001). Mekanisme induksi fibrosis oleh bleomisin disebabkan oleh peningkatan ekspresi gen protein matriks ekstraseluler karena pengaruh sitokin fibrogenik yang dilepaskan makrofag, sel endotel, dan fibroblast (Clark et al. 1980). Selain itu, bleomisin menghasilkan radikal bebas yang dapat menginduksi apoptosis (Yamamoto 2006b). Haston et al. (2002) menyatakan bahwa bleomisin secara in vivo akan mengalami detoksifikasi oleh enzim bleomycin-hydrolase. Enzim ini merupakan golongan aminopeptidase sitosol dengan kadar rendah pada kulit dan paru-paru. Oleh karena itu, efek bleomisin di paru-paru kurang dapat dinetralisir sehingga menyebabkan kejadian fibrosis paru-paru. Fibrosis paru-paru di bagian interstisial ditandai dengan perubahan komposisi seluler di daerah alveolar dengan komposisi kolagen yang berlebihan (Oury et al. 2001). Bleomisin menghasilkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan DNA dan peningkatan sintesis kolagen di jaringan paru-paru (Sleijfer 2001). Penyempitan lumen alveol disebabkan oleh penebalan dinding alveol oleh akumulasi jaringan ikat di interstisial. Penurunan luas jaringan ikat secara signifikan pada kelompok BLM+CMN kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Pertama, kurkumin dapat langsung menginaktivasi kerja bleomisin sehingga tidak menimbulkan peradangan. Kedua, aktivitas antiinflamasi dari kurkumin menyebabkan peradangan yang terjadi menjadi lebih sedikit, sehingga kejadian fibrosis dapat ditekan. Dari kedua penyebab yang telah dipaparkan di atas, penyebab kedua dirasakan lebih
26 mendekati patogenesis penghambatan fibrosis oleh kurkumin. Hal ini disebabkan oleh pemberian induksi bleomisin dan terapi kurkumin dilakukan melalui dua jalur yang berbeda. Induksi bleomisin dilakukan secara subkutan, sedangkan terapi kurkumin dilakukan secara intraperitoneal. Kedua jalur ini akan berinteraksi secara sistemik di dalam tubuh, sehingga penurunan luas jaringan ikat paru-paru akibat bleomisin kemungkinan disebabkan oleh aktivitas antiinflamasi dari kurkumin. Hal serupa dinyatakan oleh Smith et al. (2010) bahwa pemberian kurkumin dapat secara signifikan menekan peradangan paru-paru serta deposisi kolagen pada fibrosis paru yang diinduksi bleomisin. Kurkumin merupakan molekul pleiotropik tinggi yang mampu berinteraksi dan berikatan dengan sebagian besar target molekul peradangan (Jurenka 2009). Duvoix et al. (2005) melaporkan bahwa selain mempunyai efek antikanker, kunyit juga memberikan efek yang baik sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Senyawa bioaktif kunyit mempunyai efek protektif terhadap sel hati yang terkena paparan zat kimia toksik seperti karbon tetraklorida (CCl4) (Prakash et al. 2008; Kardena dan Winaya 2011). Yu et al. (2011) melaporkan bahwa pemberian kurkumin dapat mengurangi kerusakan jaringan pankreas dan organ lainnya akibat induksi caerulein, yaitu dengan cara menghambat pelepasan mediator peradangan sitokin TNF-α. Selain itu, kurkumin menyebabkan apoptosis pada scleroderma lung fibrosis (SLF) tanpa mempengaruhi fibroblast pada paru-paru normal (Tourkina et al. 2004).
Tebal Dinding Alveol Pada kelompok kontrol (3.72±0.56 μm) dan CMN (3.39±0.54 μm) tidak terdapat perbedaan ketebalan dinding alveol yang signifikan. Akan tetapi, pada kelompok BLM (24.93±6.26 μm) memiliki nilai tebal dinding alveol yang lebih besar dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok BLM+CMN (9.95±2.60 μm) memiliki nilai tebal dinding alveol yang lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Ketebalan dinding alveol pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Tebal dinding alveol. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi
27 Peningkatan ketebalan dinding alveol dapat disebabkan oleh kejadian fibrosis atau udema interstisial (Izbicki et al. 2002). Penebalan dinding alveol pada kelompok BLM disebabkan oleh pemberian bleomisin secara terus-menerus, sehingga terbentuk lesio dengan tipe kronis. Pemberian bleomisin secara terusmenerus menyebabkan terbentuknya lesio fibrosis paru-paru yang bersifat progresif (Harisson & Lazzo 1987; Schwaiblmair et al. 2012). Yamamoto et al. (2000b) melaporkan bahwa dari gambaran histopatologi paru-paru mencit yang diberikan perlakuan bleomisin selama 4 minggu terdapat infiltrasi sel mononuklear, udema, penebalan septum alveolaris, disertai peningkatan jumlah infiltrasi sel makrofag dan limfosit. Mekanisme toksisitas suatu sediaan obat terhadap paru-paru dapat dibagi menjadi 3 jenis. Pertama, beberapa zat mencapai konsentrasi maksimal di paruparu. Kedua, bioaktivasinya terjadi di paru-paru. Terakhir, akumulasi zat terjadi di paru-paru (Schwaiblmair et al. 2012). Pada studi ini toksisitas bleomisin dimungkinkan terjadi karena rendahnya kadar enzim bleomycin-hydrolase di paru-paru yang menyebabkan bleomisin tidak terdetoksifikasi, sehingga menyebabkan terjadinya apoptosis yang berlebihan (Haston et al. 2002). Reinert et al. (2013) menyatakan bahwa rendahnya aktivitas enzim bleomycin-hydrolase pada paru-paru turut menjadi faktor predisposisi kejadian fibrosis pada paru-paru akibat aplikasi bleomisin. Bleomisin dapat menstimulasi endothelial sel, makrofag, dan fibroblast untuk menginduksi mediator peradangan, apoptosis, dan radikal bebas (Yamamoto & Katayama 2011). Bleomisin merupakan salah satu senobiotik yang mampu menghasilkan radikal bebas secara berlebihan. Radikal bebas seperti superoksida, hidrogen peroksida, peroksinitrit, dan radikal hidroksil merupakan mediator utama dalam proses peradangan di paru-paru (Oury et al. 2001). Peradangan yang terjadi akan menyebabkan sel-sel radang masuk ke jaringan dan melepaskan mediator peradangan (sitokin). Sitokin akan akan menyebabkan proliferasi myofibroblast menjadi fibroblast. Peradangan dan proliferasi fibroblast ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan ketebalan dinding alveol. Pemberian kurkumin terbukti secara signifikan dapat menekan kejadian peningkatan penebalan dinding alveol. Kurkumin dapat menekan kejadian apoptosis dan peradangan, terkait dengan aktivitasnya sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Duvoix et al. 2005; Smith et al. 2010). Selain itu, kurkumin menyebabkan apoptosis pada scleroderma lung fibrosis (SLF) tanpa mempengaruhi fibroblast pada paru-paru normal (Tourkina et al. 2004). Oleh karena itu, pemberian kurkumin dapat menekan peningkatan pembentukan jaringan ikat di interstisial paru-paru, sehingga dinding alveol tidak menebal. Kurkumin memediasi penurunan total jumlah sel broncho-association limfoid follicles (BALF) dengan cara menghambat sel-sel radang melewati endotel dan membran basal epitel menuju ke lokasi peradangan. Hal ini dapat terjadi karena kurkumin bekerja menstabilkan endotel dan membran basal epitel tersebut (Punithavathi et al. 2000). Kurkumin telah dipelajari secara ekstensif sebagai obat yang berpotensi dalam kasus fibrosis paru-paru. Sebagian besar penelitian terbaru menunjukkan mekanisme kurkumin dalam mencegah kejadian fibrosis yaitu dengan cara menurunkan jumlah akumulasi kolagen, melalui efektivitasnya sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Guzel et al. 2009; Smith et al. 2010; Lee et
28 al. 2010). Secara invitro kurkumin memiliki kemampuan untuk menginduksi apoptosis sel fibroblast pada kasus skleroderma (Tourkina et al. 2004).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kurkumin dapat menghambat fibrogenesis pada skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit.
Saran Dibutuhkan penelitian selanjutnya mengenai penggunaan kurkumin dengan dosis bertingkat untuk mengetahui dosis optimum dan bentuk sediaan kurkumin yang baik digunakan secara peroral sebagai sediaan yang dapat menghambat fibrogenesis pada skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin.
DAFTAR PUSTAKA [AVMA] American Veterinary Medical Association. 2013. AVMA Guidelines for the Euthanasia of Animals. Schaumburg: Meacham Road. Abraham DJ, Varga J. 2005. Scleroderma: from cell and mononuclear mechanisms to disease models. Trends Immunol. 26:587-595. Asouri M, Ataee R, Ahmadi AA, Amini A, Moshaei MR. 2013. Antioxidant and free radical scavenging activities of curcumin. Asian J Chem. 25:7593-7595. Beevers CS, Huang S. 2011. Pharmacological and clinical properties of curcumin. Botanics: Targets Therapy. 1:15-18.doi:10.2147/BTAT.S17244. Berkman N, Kremer S, Or R, Lossos IS, Chistensen TG, Goldstein RH, Breuer R. 2001. Human recombinant interferon-α2a and interferon- αA/D have different effects on bleomycin-induced lung injury. Respiration .68:169-177. Chainani-Wu N. 2003. Savety and anti-inflammatory activity of curcumin: a component of turmeric (Curcuma longa). J Altern Complement Med. 9:161168. Charles C, Clements P, Furst DE. 2006. Systemic sclerosis: hypothesis-driven treatment strategies. Lancet. 367:1683-1691. Chen Y, Shiwen X, van Beek J, Kennedy L, McLeod M, Renzoni EA, BouGharios G, Wilcox-Adelman S, Goetinck PF, Eastwood M, Black CM, Abraham DJ, Leask A. 2005. Matrix contraction by dermal fibroblasts requires TGFbeta/ALK5, heparan sulfate containing proteoglycans and MEK/ERK: Insights into pathological scarring in chronic fibrotic disease. Am J Pathol. 167:1699–1711. Clark JC, Starcher BC, Uitto J. 1980. Bleomycin-induced synthesis of type I procollagen by human lung skin fibroblast in culture. Biochem Biophys Acta. 361:359-370.
29 Desmouliere A, Geinoz A, Gabbiani F, Gabbiani G. 1993. Transforming growth factor-β1 induces α-smooth muscle actin expression in granulation tissue myofibroblasts and in quiescent and growing cultured fibroblasts. J Cell Biol. 122:103-111. Diano S, Liu Z, Jeong JK, Dietrich MO, Ruan H, Kim E, Suyama S, Kelly K, Gyengesi E, Arbiser JL, Belsham DB, Sarruf DA, Schwartz MW, Bennett AM, Shanabrough M, Mobbs CV, Yang X, Gao X, Horvath TL. 2011. Peroxisome proliferation-associated control of reactive oxygen species sets melanocortin tone and feeding in diet-induced obesity. Nat Med. 17:1121-1127. Duvoix A, Blasius R, Delhalle S, Schneken-burger M, Morceau F, Henry E, Dicato M, Diederich M. 2005. Chemopreventive and therapeutic effects of curcumin. Cancer Lett. 223:181-190. Fleischmajer R, Perlish JS, Reeves IRT. 1977. Cellular infiltrates in scleroderma skin. Arthritis Rheum. 20:975-984. Galm U, Hager MH, Van Lanen SG, Ju J, Thorson JS, Shen B. 2004. Antitumor antibiotics: bleomycin, enediynes, and mitomycin. Chem Rev. 105:739758.doi:10.1021/cr030117g. Gibson-Corley KN, Olivier AK, Meyerholz D. 2013. Principles for valid histopathologic scoring in research. Vet Pathol. 50(6):1007-1015. Gruber BL. 1995. Mast cells: accessory cells which potentiate fibrosis. Int Rev Immunol. 12:259-279. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedoteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Ed ke-9. Guzel A, Kanter M, Aksu B, Basaran UN, Yalcin O, Uzun H, Konukoglu D, Karasalihoglu S. 2009. Preventive effects of curcumin on different aspiration material-induced lung injury in rats. Pediatr Surg Int. 25:83-92. Harisson JH, Lazo JS. 1987. High dose continuous infusion of bleomycin in mice: a new model for drug induced pulmonary fibrosis. J Pharmacol Exp Ther. 243:1185-1194. Haston CK, Wang M, Dejournett RE, Zhou X, Ni D, Gu X, King TM, Well MW, Newman RA, Amos CI, Travis EL. 2002. Bleomycin hydrolase and a genetic locus within the MHC affect risk for pulmonary fibrosis in mice. Hum Mol Genet. 11:1855-1863. Haustein UF, Ziegler V. 1985. Environmentally induced systemic sclerosis-like disoeders. Int J Dermatol. 24:147-151. Hemmati AA, Rezaie A, Darabpour P. 2013. Preventive effects of pomegranate seed extract on bleomycin-induced pulmonary fibrosis in rat. Jundishapur J Nat Pharm Prod. 8:76-80. Hinz B, Phan SH, Thannickal VJ, Galli A, Bochaton-Piallat ML, Gabbiani G. 2007. The myofibroblast: one function, multiple origins. Am J Pathol. 170:1807-1816. Hong J, Bose M, Ju J, Ryu JH, Chen X, Sang S, Lee MJ, and Yang CS. 2004. Modulation of arachidonic acid metabolism by curcumin and related beta-diket one derivatives: effects on cytosolic phospholipase A(2), cyclooxygenases and 5-lipoxygenase. Carcinogenesis. 25(9): 1671-1679. Hristov M, Webel C. 2004. Endothelial progenitor cells: characterization, pathophysiology, and possible clinical relevance. J Cell Mol Med. 8:498-508.
30 Huang H, Xu Y, van den Pol A. 2011. Nicotine excites hypothalamic arcuate anorexigenic proopiomelanocortin neurons and orexigenic neuropeptide Y neurons: similarities and differences. J Neuro Physiol. 106:1191-1202. Izbicki G, Segel MJ, Christensen TG, Conner MW, Breuer R. 2002. Time course of bleomycin-induced lung fibrosis. Int J Exp Path. 83: 111-119. Jain PK, Joshi H, Dass DJ. 2012. Drug that causes hair loss and promotes hair growth. Int J Pharm Biomed Res. 3:1476-1482. Juniantito V, Izawa T, Yuasa T, Ichikawa C, Yano R, Kuwamura M, Yamate J. 2013. Immunophenotypical characterization of macrophages in rat bleomycininduced scleroderma. Vet Pathol. 50:76-85.doi:10.1177/0300985812450718. Jurenka JS. 2009. Anti-inflammatory properties of curcumin, a major constituent of Curcuma longa: a review of preclinical and clinical research. Altern Med Rev. 14:141-153. Kardena IM, Winaya IBO. 2011. Kadar perasan kunyit yang efektif memperbaiki kerusakan hati mencit yang dipicu karbon tetraclorida. J Vet. 12:34-39. Kerr LD, Spiera H. 1992. Scleroderma in association with the use of bleomycin: a report of 3 cases. J Rheumatol. 19:294-296. Kim K, Yoon T, Oh C, Ko G, Kim T. 1996. A case of bleomycin-induced scleroderma. J Korean Med Sci. 11:454-456. Kimura M, Kawahito Y, Hamaguchi M, Nakamura T, Okamoto M, Matsumoto Y, Endo H, Yamamoto A, Ishino H, Wada M, Omoto A, Tsubouchi Y, Kohno M, Yoshikawa T. 2007. SKL-2841, a dual antagonist of MCP-1 and MIP-1 beta, prevents bleomycin-induced skin sclerosis in mice. Biomed Pharmacother. 61:222-228.doi:10.1016/j.biopha.2006.10.002. Kisseleva T, Brenner DA. 2008. Mechanism of fibrogenesis. Exp Biol Med. 233:109-122. Kohli K, Ali J, Ansari J, Raheman Z. 2005. Curcumin: a natural antiinflammatory agent. Indian J Pharmacol. 37:141-147. Kovacs EJ, DiPietro LA. 1994. Fibrogenic cytokines and connective tissue production. FASEB J. 8:854-861. Lago R, Gomez R, Lago F, Gomez-Reino J, Gualillo O. 2008. Leptin beyond weight regulation-Currebt concept concerning its role in immune function and inflammation. Cell Immunol. 253:139-145. Lam QL, Lu L. 2007. Role of leptin in immunity. Cell Mol Immunol. 4:1-13. Laxer U, Losson IS, Gillis S, Christensen TG, Goldstein RH, Breuer R. 1999. The effect of enoxaparin on bleomycin-induced lung injury in mice. Exp Lung Res. 25:531-541. Lee JC, Kinniry PA, Arguiri E, Serota M, Kanterakis S, Chatterjee S, Solomides CC, Javvadi P, Koumenis C, Cengkel KA. 2010. Dietary curcumin increases antioxidant defenses in lung, ameliorates radiation-induced pulmonary fibrosis, and improve survival in mice. Radiat Res. 173(5):590-601. Li R, Wang Y, Liu Y, Chen Q, Fu W, Wang H, Cai H, Peng W, Zhang X. 2013. Curcumin inhibits transforming growth factor-β1-induced EMT via PPAR-γ pathway in renal tubular epithelial cells. PloS One. 8(3):18.doi:10.1371/journal.pone.0058848. Liu S, Taghavi R, Leask A. 2010. Connective tissue growth factor is induced in bleomycin-induced skin scleroderma. J Cell Commun Signal. 4:25-30.
31 Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Matsushita M, Toshiyuki Y, Yokozeki H. 2008. Role of cytokines and proteases in murine scleroderma. J Med Dent Sci. 55:215-225. Messmer UK, Pfeilschifter J. 2000. New insights into the mechanism for clerence of apoptotic cells. Bioessays. 22:878-881. Mountz JD, Downs Minor MB, Turner R. 1983. Bleomycin-induced cutaneous toxicity in the rat: analysis of histopathology and ultrastructure compared with progressive systemic sclerosis (scleroderma). Br J Dermatol. 112:456-462. Nikpour M, Stevens WM, Herrick AL, Proudman SM. 2010. Epidemiology of systemic sclerosis. Best Pract Res Clin Reumatol. 24:857869.doi:10.1016/j.berh.2010.10.007. Nishioka K, Kobayashi Y, Katayama I, Takijiri C. 1987. Mast cell numbers in diffuse scleroderma. Arch Dermatol. 123:205-208. Ould-Ali D, Hautier A, Andrac-Meyer L, Bardin N, Magalon G, Granel B. 2012. Bleomycin-induced scleroderma in nude mice can be reversed by injection of adipose tissue: evidence for a novel therapeutic intervention in systemic sclerosis. J Clin Exp Dermatol Res. 3:164-168.doi:10.4172/21559554.1000164. Oury TD, Thakker K, Menache M, Chang LY, Crapo JD, Day BJ. 2001. Attenuation of bleomycin-induced pulmonary fibrosis by a catalytic antioxidant metalloporphyrin. Am J Respir Cell Mol Biol. 25:164–169. Owens GR, Medsger TA. 1988. Systemic sclerosis secondary to occupational exposure. Am J Med. 85:114-116. Payton F, Sandusky P, Alworth W. 2007. NMR study of the solution structure of curcumin. J Nat Prod. 70:143-146. Plummer SM, Holloway KA, Manson MM, Munks RJ, Kaptein A, Farrow S, Howells L. 1999. Inhibition of cyclo-oxygenase 2 expression in colon cells by the chemopreventive agent curcumin involves inhibition of NF-kappaB activation via the NIK/IKK signalling complex. Oncogene. 18(44): 6013-6020. Prakash O, Singh GN, Singh RM, Mathur SC, Bajpai M, Yadaf S. 2008. Protective effect on a herbal formula against carbon tetrachloride induced hepatotoxicity. Int J Pharm. 4:282-286. Punitavathi D, Venkatesan N, Babu M. 2000. Curcumin inhibition of bleomycininduced pulmonary fibrosis in rats. British J Pharm. 131:169-172. Rahmat, Setianingrum. 2008. Pengaruh Ekstrak Temulawak Untuk Meningkatkan Nafsu Makan Pada Penderita Anoreksia Primer. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Ranque B, Mouthon L. 2010. Geoepidemiology of systemic sclerosis. Autoimmun Rev. 9:A311-A318. Reinert T, Serodia da Rocha Baldotto C, Nunes FAP, Alves de Souza Scheliga A. 2013. Bleomycin-induced lung injury. J Cancer Res [Internet]. [diunduh 2015 Mei 20]; ID 480608:9p.doi:10.1155/2013/480608. Tersedia pada: http//hindawi.com/journals/jcr/2013/480608.
32 Schwaiblmair M, Behr W, Haeckel T, Märkl B, Foerg W, Berghaus T. 2012. Drug induced interstitial lung disease. Respir Med J. 6:6374.doi:10.2174/1874306401206010063. Sharma R, Gescher A, Steward W. 2005. Curcumin: the story so far. Eur J Cancer. 41:1955-1968. Shishodia S, Sethi G, Anggarwal B. 2005. Curcumin: getting back to the roots. Ann N Y Acad Sci. 1056:206-217.doi:10.1196/annals.1352.010. Sleijfer S. 2001. Bleomycin-induced pneumonitis. Chest. 120:617-624. Smith JB, Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia. Smith MR, Ganggireddy SR, Narala VR, Hogaboam CM, Standiford TJ, Christensen PJ, Kondapi AK, Reddy RC. 2010. Curcumin inhibits fibrosisrelated effects in IPF fibroblast and in mice following bleomycin-induced lung injury. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 298:616625.doi:10.1152/ajplung.00002.2009. Soma T, Tsuji Y, Hibino T. 2002. Involvement of transforming growth factor-β2 in catagen induction during the human hair cycle. J Invest Dermatol. 118:993997. Sordillo P, Helson L. 2015. Curcumin suppression of cytokine release and cytokine storm: a potential therapy for patients with Ebola and other severe viral infections. In vivo.29:1-4.doi:10.1016/j.phrs.2011.07.004. Steele VE, Hawk ET, Viner JL, Lubet RA. 2003. Mechanisms and applications of non-steroidal anti-inflammatory drugs in the chemoprevention of cancer. Mutat Res. 523-524, 137-144. Suvik A, Effendy AWM. 2012. The use of modified Masson’s trichrome staining in collagen evaluation in wound healing study. Malay J Vet Res. 3:39-47. Tayyem RF, Heath DD, Al-Delaimy WK, Rock CL. 2006. Curcumin content of turmeric and curry powders. Nutr Cancer. 55:126-131. Tomasek JJ, Gabbiani G, Hinz B, Chaponnier C, Brown RA. 2002. Myofibroblasts and mechano-regulation of connective tissue remodelling. Nat Rev Mol Cell Biol. 35:349–363. Tourkina E, Gooz P, Oates JC, Ludwicka-Bradley A, Silver RM, Hoffman S. 2004. Curcumin-induced apoptosis in scleroderma lung fibroblasts: role of protein kinase cepsilon. Am J Respir Cell Mol Biol. 31:28–35. Wang Q, Wang Y, Hyde DM, Gotwals PJ, Koteliansky VE, Ryan ST, Giri S. 1999. Reduction of bleomycin induced lung fibrosis by transforming growth factor-β soluble receptor in hamsters. Thorax. 54:805-812. Wilken R, Veena MS, Wang MB, Srivatsan ES. 2011. Curcumin: a review of anticancer properties and therapeutic activity in head and neck squamous cell carcinoma. Mol Cancer. 10:2-19. Winarto WP. 2003. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Yamamoto T, Eckes B, Krieg T. 2000a. Bleomycin increases steady-state levels of type I collagen, fibronectin and decorin mRNAs in human skin fibroblasts. Arch Dermatol Res. 292:556–561. Yamamoto T, Katayama I. 2011. Vascular changes in bleomycin-induced scleroderma. Int J Rheumatol. Article ID 270938: 5p.doi:10.1155/2011/270938.
33 Yamamoto T, Kuroda M, Nishioka K. 2000. Animal model sclerotic skin. III: histopathological comparison of bleomycin-induced scleroderma in various mice strains. Arch Dermatol Res. 292:535-541. Yamamoto T, Nishioka K. 2001. Animal model of sclerotic skin. IV: induction of dermal sclerosis by bleomycin is T cell independent. J Invest Dermatol. 117:999-1001. Yamamoto T, Nishioka K. 2002. Animal model of sclerotic skin. IV: increased expression of α-smooth muscle actin in fibroblastic cells in bleomycin-induced scleroderma. Clin Immunol. 102:77-83.doi:10.1006/clim.2001.5138. Yamamoto T, Nishioka K. 2004. Possible role of apoptosis in the pathogenesis of bleomycin-induced scleroderma. J Invest Dermatol. 122:44-50. Yamamoto T, Takagawa S, Katayama I, Nishioka K. 1999. Anti-sclerotic effect of anti-transforming growth factor-β anti-body in bleomycin-induced scleroderma. Clin Immunol. 92:6-13. Yamamoto T. 2002. Animal model of sclerotic skin induced by bleomycin: a clue to the pathogenesis of and therapy of scleroderma?. Clin Immunol. 102:209216.doi:10.1006/clim.2001.5169. Yamamoto T. 2006a. Bleomycin and the skin. Br J Dermatol. 155:869875.doi:10.1111/j.1365-2133.2006.07474.x. Yamamoto T. 2006b. The blemycin-induced scleroderma model: what have we learned for scleroderma pathogenesis?. Arch Dermatol Res. 297:333-344. Yamamoto T. 2010. Animal model of systemic sclerosis. J Dermatol. 37:2641.doi:10.1111/j.1346-8138.2009.00764.x. Yamate J, Sato K, Ide M, Nakanishi M, Kuwamura M, Sakuma S. 2002. Participation of different macrophage populations and myofibroblastic cells in chronically developed renal interstitial fibrosis after cisplatin-induced renal injury in rats. Vet Pathol. 39:322-333. Yu W, Xu G, Ren G, Xu X, Yuan H, Qi X, Tian K. 2011. Preventive action of curcumin in experimental acute pancreatitis in mouse. Indian J Med Res. 134:717-724. Zhang D, Huang C, Yang C, Liu RJ, Wang J, Niu J, BrÖmme D. 2011. Antifibrotic effects of curcumin are associated with overexpression of cathepsins K and L in bleomysin threated mice and human fibroblast. Resp Res. 12: 154-166.
34 Lampiran 1 Persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval)
35 Lampiran 2 Sertifikat analisis produk kurkumin
36
RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Lintau (Sumatera Barat) pada tanggal 6 April 1990 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Menzis dan Ibu Rita Morina. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007-2011. Pendidikan Profesi Dokter Hewan dilanjutkan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor tahun 2011-2013. Pada tahun 2013 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana dalam Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis semasa S1 telah menulis artikel ilmiah dengan judul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam terhadap Spermatogenesis pada Mencit (Mus musculus)” yang telah dipublikasikan dalam prosiding seminar 5th Confrence and Congress of Asian Society of Veterinary Pathology (ASVP) yang diselenggarakan di Bogor, November tahun 2011.