Laporan Penelitian
PENGARUH KONDISI PEMOTONGAN TERHADAP PEMBUANGAN GERAM PADA PROSES PEMBUBUTAN BAJA KARBON SEDANG
Oleh Dr. Richard A. M. Napitupulu, ST. MT Dosen Tetap Fakultas Teknik
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN, 2013
i
PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
1. a. Judul Penelitian b. Bidang Ilmu c. Kategori
: Pengaruh Kondisi Pemotongan Terhadap Pembuangan Geram Pada Proses Pembubutan Baja Karbon Sedang. : Teknik Mesin : Penelitian Untuk Mengembangkan Fungsi Kelembagaan Perguruan Tinggi
2. Peneliti a. Nama lengkap dan Gelar : Dr. Richard Napitupulu, ST. MT. b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Golongan / pangkat : III-c / d. Jabatan Fungsional : Lektor e. Jabatan Struktural :f. Fakultas/Jurusan : Teknik / Mesin g. Pusat Penelitian : Teknologi Pembentukan dan Pengujian Logam 3. Lokasi Penelitian
: Laboratorium Proses Produksi Fak. Teknik UHN
4. Biaya Penelitian Merupakan Kerjasama dengan Institusi Lain a. Nama Institusi : -b. Alamat : -5. Lama Penelitian
: 4 (empat) bulan (Oktober 2012 – Januari 2013)
6. Biaya Penelitian
: Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah)
7. Sumber Biaya Penelitian
: - Lembaga Penelitian UHN - Biaya Sendiri
Medan, Mengetahui, Dekan,
Rp. 5.000.000,--
Februari 2013
Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian
Peneliti,
Ir. Humisar Sibarani, MS.Met. Prof. Dr. Hasan Sitorus, MS. Dr. Richard Napitupulu, MT
i
KATA PENGANTAR Dengan segala kerendahan hati peneliti mengucapkan puji syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan berkat dan kasih karunia yang begitu besar sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Adapun laporan penelitian ini merupakan bagian dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinngi penulis sebagai sivitas akademik Universitas HKBP Nommensen Medan. Pada penelitian ini peneliti mengambil judul : “PENGARUH KONDISI PEMOTONGAN TERHADAP PEMBUANGAN GERAM PADA PROSES PEMBUBUTAN BAJA KARBON SEDANG”. Pada kesempatan ini juga peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Teknik Universitas HKBP Nommensen, yang telah memotivasi para dosen untuk melakukan penelitian. 2. Ketua Program Studi Teknik Mesin Universitas HKBP Nommensen yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengusulkan usulan penelitian. 3. Rekan-rekan sejawat dosen atas diskusinya dalam peningkatan kemampuan dosen pada rapat dosen prodi. 4. Kepala dan pegawai Laboratorium Proses Produksi Universitas HKBP Nommensen atas ijin pemakaian peralatan. 5. Daniel Pakpahan, ST yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data penelitian. 6. Adik-adik mahasiswa yang telah membantu mencari data awal yang diperlukan.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritik dan saran sangat penting untuk penyempurnaan laporan penelitian ini. Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih.
Hormat Saya, Peneliti,
Dr. Richard A. M. Napitupulu, ST. MT
ii
DAFTAR ISI
PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
i ii iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Manfaat 1.4 Batasan Masalah
1 1 2 2 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Operasi Pembubutan 2.1.1 Lima Elemen Dasar Pemesinan 2.1.2 Aplikasi Pada Operasi Pembubutan 2.1.3 Pemotongan Orthogonal 2.1.4 Mekanisme Pembentukan Geram 2.1.5 Komponen Gaya dan Kecepatan Pemotongan Orthogonal 2.2 Bahan Pahat 2.2.1 Bahan Pahat Komersial 2.2.2. Bahan Pahat Karbida 2.2.3. Pahat Karbida Pada Operasi Pembubutan 2.3. Baja Karbon (Carbon Steel) 2.4. Pemesinan Kering (Dry Machining) 2.4.1. Defenisi 2.4.2. Perkembangan Pemesinan Kering
3 3 3 3 6 7 8 11 11 12 13 16 18 18 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat 3.1.2. Bahan 3.1.2. Pahat Potong 3.1.3. Alat 3.2. Metode Penelitian 3.3. Analisa Regresi
21 21 21 22 23 25 25
BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Hasil Eksperimen 4.2 Model Matematika
28 28 34
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran
44 44 45
DAFTAR PUSTAKA
46
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Data-data kondisi pemotongan yang disajikan oleh para produsen pahat pada
umumnya adalah kondisi pemotongan yang diperoleh dari pemesinan basah. Hal tersebut adalah lazim mengingat pemesinan basah sudah dilakukan dalam kurun waktu 100 tahun belakangan ini (Boothroyd dan Knight 1990). Diawali tahun 1997 limbah cairan pemotongan dari proses pemesinan menjadi masalah yang harus mendapat perhatuan serius disebabkan oleh regulasi undang-undang lingkungan hidup. Dalam laporannya, (Sreejith and Ngoi, 2000) menuliskan bahwa penggunaan cairan pemotongan harus diminimalisasi hingga kapasitas 50 mL/jam atau bilamana mungkin ditiadakan penggunaannya sama sekali. Hal ini membawa dampak yang besar bagi industri pemotongan logam sebab data-data kondisi pemotongan yang lama yaitu yang diperoleh dari data-data pemesinan basah harus ditinjau kembali. Sekumpulan data yang cukup representatif sangat diperlukan bagi para operator mesin apabila ingin menjalankan operasi pemesinan kering. Untuk mengkontribusi data-data kondisi pemotongan yang dapat dilakukan pada pemesinan kering maka mesti dilakukan berbagai pengujian pemesinan atau eksperimen. Pengujian ini haruslah mampu mewakili pasangan bahan pahat dan benda kerja yang banyak digunakan di industri pemotongan logam. Misalnya, pemotongan baja karbon menggunakan pahat karbida. Baja karbon dan pahat karbida masih merupakan bahan yang paling banyak digunakan pada industri pemotongan logam khususnya industri logam kecil dan menengah yang ada di Sumatera Utara (Harahap, 2007). Penelitian yang akan dilaksanakan adalah berkenaan dengan masalah diatas khususnya untuk menyediakan data-data kondisi pemotongan pada pemesinan kering dengan menggunakan pahat baja karbida. Untuk maksud memperluas cakupan data yang mungkin diperoleh maka data-data yang diperoleh melalui eksperimen lebih lanjut akan dianalisis dan dikompilasi menggunakan metode statistik bagi menghasilkan fungsi berupa model matematika kondisi pemotongan terhadap volume bahan terbuang dan laju bahan terbuang.
1
1.2
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun model matematika bagi pengaruh
kondisi pemotongan terhadap laju bahan terbuang MRR (Material Rate Removal) dan volume bahan terbuang Q (volume of material removal). 1.3
Manfaat Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Volume bahan terbuang dan laju bahan terbuang dapat dipresentasikan oleh metode matematika. 2. Model matematika yang disusun dapat digunakan untuk melakukan interpolasi maupun ekstrapolasi kondisi pemotongan yang lain. 3. Sebagai referensi bagi industri manufaktur untuk memperkirakan pemakaian bahan dan pahat dalam melaksanakan atau mendesain suatu produk pemesinan.
1.4
Batasan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada penggunaan mesin perkakas
bubut konvensional dengan putaran mesin dipilih untuk 3 variasi putaran yaitu 210, 260 dan 360 rpm. Pahat yang digunakan adalah pahat karbida tidak berlapis, dimana bahan yang dibubut adalah baja karbon sedang AISI 1045 (SC 45). Pemesinan dilakukan pada kondisi pemesinan kering.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Operasi Pembubutan
2.1.1
Lima Elemen Dasar Pemesinan Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometrik suatu
produk komponen mesin, salah satu atau beberapa jenis pemesinan seperti proses bubut, proses gurdi dan lain-lain harus dipilih sebagai suatu proses atau urutan proses yang digunakan untuk membuatnya. Bagi suatu tingkatan proses, ukuran objektif harus ditentukan dan pahat harus membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran objektif itu dicapai. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara menentukan penampang geram (sebelum terpotong). Selain itu, setelah berbagai ospek teknologi ditinjau, kecepatan pembuangan geram dapat dipilih supaya waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Pekerjaan ini akan ditemui setiap perencanaan proses pemesinan. Untuk itu perlu dipahami 5 (lima) Elemen Dasar Proses Pemesinan (Rochim Taufik, 2007, hal 11) yaitu : 1. Kecepatan potong (cutting speed)
: v (m/min)
2. Kecepatan makan (feeding speed)
: vf (mm/min)
3. Kedalaman potong (depth of cut)
: a (mm)
4. Waktu pemotongan (cutting time)
:tc(min)
5. Kecepatan penghasilan geram (rate of metal removal)
: Z (cm3/min)
Elemen proses pemesinan tersebut (v, vf, a, tc, Z) dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan pahat serta besaran dari mesin perkakas. Oleh sebab itu, rumus yang dipakai dalam setiap proses pemesinan bisa berlainan. Karena dalam penelitian ini penulis menggunakan mesin bubut (turning) maka yang akan dibahas dalam bab ini hanya mengenai elemen dasar proses pemesinan dari mesin bubut (turning). 2.1.2
Aplikasi Pada Operasi Pembubutan Elemen dasar dari proses bubut (turning) dapat diketahui atau dapat dihitung
dengan menggunakan rumus yang dapat diturunkan dengan memperhatikan gambar 2.1. Kondisi pemotongan ditentukan sebagai berikut :
3
Benda Kerja :
Pahat
:
Mesin Bubut :
do
: diameter awal ; mm
dm
: diameter luar ; mm
lt
: panjang pemesinan ; mm
Kr
: sudut potong utama ; o (derajat)
γo
: sudut geram ; o (derajat)
a
: kedalaman potong ; mm = (do – dm) / 2 ; mm ..................................................(2.1)
f
: gerak makan ; mm/rev
n
: putaran poros utama (benda kerja) ; rpm
Gambar 2.1 Proses Bubut (Sumber : Rochim, 1993) Dari gambar 2.1 terlihat bahwa proses bubut tersebut menggunakan suatu proses pemotongan miring (oblique cutting) yaitu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara pahat dan benda kerja membentuk sudut potong utama κr kurang dari 90o. Kecepatan makan vf dihasilkan oleh pergerakan dari pahat ke benda kerja. Elemen dasar dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut : 1. Kecepatan Potong
v=
.
; m/min ......................................................................................(2.2)
4
dimana,
v
: kecepatan potong ; m/min
d
: diameter rata-rata d = (d0 + dm) /2 ≈ do ; mm
n
......................................(2.3)
: putaran poros utama ; rpm
Kecepatan potong maksimal yang diizinkan tergantung pada : a. Bahan benda kerja : semakin tinggi kekuatan bahan, semakin rendah kecepatan potong. b. Bahan pahat
: pahat karbida memungkinkan kecepatan yang lebih tinggi dari pada pahat HSS (High Speed Steel).
c. Besar asutan
: semakin besar gerak makan, semakin rendah kecepatan potong.
d. Kedalaman potong : semakin besar kedalaman potong, semakin rendah kecepatan potong. 2. Kecepatan Pemakanan
v = f . n ; mm/min ......................................................................................(2.4) dimana,
vf
: kecepatan makan ; mm/min
f
: gerak makan ; mm/rev
n
: putaran poros utama (benda kerja) ; rpm
3. Waktu Pemotongan
t = l ⁄v
; min
......................................................................................(2.5)
dimana,
tc
: waktu pemotongan ; min
lt
: panjang pemesinan ; mm
vf
: kecepatan makan ; mm/min
4. Kecepatan Penghasilan Geram Kecepatan penghasil geram dapat dihitung dengan formula :
=
.
..................................................................................................(2.6)
dimana, penampang geram sebelum terpotong A = f . a ; mm2 Maka
Z = f .a .v dimana,
......................................................................................(2.7) Z
: kecepatan penghasilan geram ; cm3/min
f
: gerak makan ; mm/rev
5
a
: kedalaman potong ; mm
5. Volume Bahan Terbuang (Q) Volume bahan terbuang (Q) yang dihasilkan pada proses pembuangan geram (metal removal process) dipengaruhi oleh kecepatan penghasilan geram (Z) dan waktu pemotongan (tc) atau dapat dituliskan sebagai berikut :
Q = Z .t
..................................................................................................(2.8)
Jika persamaan (2.8) dengan Z = A . v disubsitusikan ke persamaan umur pahat Taylor, maka akan diperoleh :
Q = C .v .f .a
.........................................................................(2.9)
Pada gambar 2.1 diperlihatkan sudut potong utama (κr, principal cutting edge angle) yaitu merupakan sudut antara mata potong mayor dengan kecepatan makan vf. Untuk harga a dan f yang tetap maka sudut ini menentukan besarnya lebar pemotongan, (b, widh of cut) dan tebal geram sebelum terpotong (h,underformed chip thicknes): a. Lebar pemotongan
b = a⁄sin κ
; mm ..........................................................................(2.8)
b. Tebal geram sebelum terpotong
h = f . sin κ
; mm
..........................................................................(2.9)
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong dapat dituliskan sebagai:
A = f. a = b . h ; mm2
........................................................................(2.10)
Perlu dicatat bahwa tebal geram sebelum terpotong (h) belum tentu sama dengan tebal geram (hc, chip thicknes) dan hal ini antara lain dipengaruhi oleh sudut geram, kecepatan potong dan material benda kerja. 2.1.3
Pemotongan Orthogonal
Gambar 2.2 Proses Pemotongan Orthogonal (Sumber : Rochim, 1993) 6
Analisis mekanisme pembentukan geram tersebut dikemukakan oleh Merchant berdasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (orthogonal system). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring dimana gaya diuraikan menjadi komponen gaya yang bekerja pada suatu bidang. Pemotongan tegak (orthogonal cutting) merupakan suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara mata pahat dan benda kerja membentuk sudut potong tepat 90o atau yang dinamakan dengan sudut potong utama (κr), dan besarnya lebar mata pahat lebih besar dari lebar benda kerja yang akan dipotong. Menurut Rochim (1993), sudut potong utama (κr) mempunyai peran antara lain : 1. Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong (b dan h) 2. Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang kontak antara geram dengan bidang pahat, dan 3. Menentukan besarnya gaya. Untuk kedalaman potong a dan gerak makan f yang tetap, maka dengan memperkecil sudut potong utama (κr) akan menurunkan tebal geram sebelum terpotong h dan menaikkan lebar geram b. Akan tetapi, pemakaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu menguntungkan sebab akan menaikkan gaya radial Fx. Gaya radial yang besar mungkin menyebabkan lenturan yang terlalu besar ataupun getaran (chatter) sehingga menurunkan ketelitian geometrik produk dan hasil pemotongan terlalu kasar. Tergantung pada kekakuan (stiffness) benda kerja dan pahat serta metode pencekaman benda kerja serta geometri benda kerja. Sudut geram mempengaruhi proses pembentukan geram pada proses pemotongan orhogonal. Untuk suatu kecepatan potong tertentu, sudut geram yang besar akan menurunkan rasio pemampatan tebal geram (λh) yang mengakibatkan kenaikan sudut geser (Ф). 2.1.4 Mekanisme Pembentukan Geram Logam yang pada umumnya bersifat ulet (ductile) apabila mendapat tekanan akan timbul tegangan (stress) di daerah sekitar konsentrasi gaya penekanan mata potong pahat. Tegangan pada logam (benda kerja) tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser (shearing stress) yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi kekuatan logam akan terjadi deformasi
7
plastik (perubahan bentuk) yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser (shear plane). Ilustrasi mengenai mekanisme pembentukan geram ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Teori modern (yang dianut) yang menerangkan terjadinya geram 2.1.5
Komponen Gaya dan Kecepatan Pemotongan Orthogonal Suatu analisa mekanisme pemotongan orthogonal yang dikemukakan oleh
Merchant mendasarkan teorinya sebagai suatu sistem yang dipandang sebagai sebuah bidang dan diuraikan menjadi dua buah gaya yang saling tegak lurus. 1. Komponen Gaya Pembentuk Geram Komponen gaya pembentuk geram dapat diuraikan sebagai berikut : a. Gaya pada proses deformasi material i. Gaya geser (F2) Adalah gaya yang mendeformasi material pada bidang geser.
=
. cos Φ + η + γ
;N
....................................(2.11)
ii. Gaya normal pada bidang geser (Fsn) Adalah gaya yang menyebabkan pahat tetap melekat pada benda kerja.
+
=
; N ............................................................(2.12)
b. Gaya dari pengukuran dinamometer i. Gaya potong (Fv) Adalah gaya yang bekerja searah dengan kecepatan potong.
=
. . .
;N
.
....................................(2.13)
ii. Gaya makan (Ff) Adalah gaya yang bekerja searah dengan kecepatan makan.
F + F = F
;N
............................................................(2.14)
8
c. Gaya yang bereaksi pada bidang geram. i. Gaya gesek (Fv) Adalah gaya yang timbul karena aliran geram pada bidang geram.
F = F . cos γ + F sin γ
; N ...................................(2.15)
ii. Gaya normal pada bidang geram (Fγn) Adalah gaya yang menyebabkan geram tetap mengalir pada bidang geram.
+
=
; N ............................................................(2.16)
Komponen gaya diatas dapat dianalisa dengan lingkaran Merchant’s seperti diperlihatkan pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Lingkaran Merchant’s (Sumber : Rochim 1993) 1. Sudut geser (Ф)
Φ = 45 + tan Φ =
−
............................................................(2.17) ........................................................................(2.18)
2. Sudut gesek (η)
= 90 + dimana,
τshi
− 2 .Φ
............................................................(2.19)
: tegangan geser pada bidang geser ; N/mm2
9
Ashi
: penampang bidang geser = A/sin Ф ; mm2
A
: penampang geram sebelum terpotong = b . h ; mm2
λh
: rasio pemampatan geram
Rumus teoritik diatas diturunkan dalam analisa proses pemotongan orthogonal yang berarti κr = 90o dan λs = 0o. Pada kondisi diatas, hanya faktor sudut potong utama κr dan kondisi bahan yang diperhatikan sedangkan faktor-faktor koreksi untuk kondisi pemotongan, seperti kecepatan potong, kecepatan makan, dan lain-lain belum dipertimbangkan. Dari paparan diatas, maka kita dapat menggunakan rumus empiris yang lebih kompleks, diantaranya :
F = k .A;N
................................................................................................(2.20)
dimana,
ks
:gaya potong spesifik ; N/mm2
A
: penampang geram sebelum terpotong = b . h = a . f; mm2
Gaya potong spesifik ks akan dipengaruhi oleh pahat (jenis dan geometri), benda kerja (jenis dan kondisi pengerjaan), dan kondisi pemotongan serta jenis proses pemesinan yang dapat berciri spesifik.
k = k dimana,
.
.f .C .C . C
.C
;N
................................................(2.21)
ks1.1
: gaya potong spesifik referensi ; N/mm2
Z
: pangkat tebal geram = 0,2
CK
: faktor koreksi sudut potong utama κr
Cγ
: faktor koreksi sudut geram γo
CVB
: faktor koreksi keausan VB
Cv
: faktor koreksi kecepatan potong v
Untuk menentukan harga ks1.1 dapat diperoleh dari tabel 8.1 (Rochim, hal : 187 ) atau dengan korelasi persamaan gaya potong spesifik referensi dengan kekuatan tarik.
k
.
= 144 . σ
dimana, σu
,
; N/mm2
........................................................................(2.22)
: kekuatan tarik ; N/mm2
2. Komponen Kecepatan Pemesinan Oleh karena adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong, seperti terlihat pada gambar 2.5.
10
Gambar 2.5 Kecepatan geser vs yang ditentukan oleh kecepatan geram vc dan kecepatan potong v. Berdasarkan polygon kecepatan diatas, maka : 1. Kecepatan geram vc. .
v =
=
.
................................................(2.23)
Dari persamaan
λ = Maka diperoleh dimana,
=
........................................................................(2.24)
v
: kecepatan potong ; m/min
vc
: kecepatan geram ; m/ min
vs
: kecepatan geser ; m/min
2. Kecepatan geser (vs) .
v = v =
.
; m/min
2.2
Bahan Pahat
2.2.1
Bahan Pahat Komersial
............................................................(2.25)
Dalam suatu pemesinan jenis pekerjaan pemesinan yang tertentu diperlukan pahat dari jenis material yang cocok. Keterbatasan kemampuan suatu jenis material pahat perlu diperhitungkan. Berikut adalah pahat yang sering digunakan menurut urutannya mulai dari material yang relatif lunak sampai dengan yang paling keras (Rochim Taufik, 2007, hal 36):
11
1. Baja Karbon (High Carbon Steel, Carbon Tool Steels, CTS) 2. HSS (High Speed Steels, Tool Steels) 3. Paduan Cor Nonlogam (Cast Nonferous Alloys, Cast Carbides) 4. Karbida (Cermeted Carbides, Hardmetals) 5. Keramik (Ceramic) 6. CBN (Cubic Boron Nitride) 7. Intan (Sintered Diamonds and Natural Diamonds) 2.2.2
Bahan Pahat Karbida Jenis karbida yang disemen (Cemented Carbide) merupakan bahan pahat yang
dibuat dengan cara menyinter serbuk karbida (nitrida dan oksida) dengan bahan pengikat yang umumnya dari cobalt (Co), dengan cara carburizing masing-masing bahan dasar serbuk Tungsten (wolfram), Titanium, Tantalum dibuat menjadi karbida yang kemudian digiling dan disaring. Campuran serbuk karbida tersebut kemudian dicampur dengan bahan pengikat (Co) dan dicetak tekan dengan memakai bahan pelumas kemudian dipanaskan sampai 1600 oC (Rochim Taufik, 2007, hal 40). Ada tiga jenis bahan utama pahat karbida yaitu : 1. Karbida Tungsten (WC + Co) yang merupakan jenis pahat karbida untuk memotong besi tuang. 2. Karbida Tungsten Paduan (WC . TiC + Co; WC – TaC – TiC + Co; WC – TaC + Co; WC – TiC – TiN + Co; TiC + Ni, Mo) merupakan jenis pahat karbida yang digunakan untuk pemotongan baja. 3. Karbida lapis (Coated Cemented Carbides) merupakan jenis karbida Tungsten yang dilapis. (Rochim, 1993) a. Karbida Tungsten (WC + Co) Karbida Tungsten murni merupakan jenis yang paling sederhana terdiri dari karbida tungsten (WC) dan pengikat cobalt (Co). Jenis yang cocok untuk pemesinan dimana mekanisme keausan pahat terutama disebabkan oleh proses abrasi seperti terjadi pada berbagai besi tuang, apabila digunakan untuk baja akan terjadi keausan kawah yang berlebihan. b. Karbida WC – TiC + Co
12
Pengaruh utama dari TiC adalah mengurangi tendensi dari geram untuk melekat pada muka pahat (BUE : Buit Up Edge) serta menaikkan daya tahan keausan kawah (Destefani, 2002). c. Karbida WC – TaC – TiC + Co Penambahan TaC memperbaiki efek samping TiC yang menurunkan transverse rupture strength. Hot Hardeness dan compressive strength dipertinggi, sehingga ujung pahat tahan terhadap deformasi plastik (Rochim, 1993). d. Karbida WC – TaC + Co Pengaruh TaC adalah hampir serupa dengan pengaruh TiC, akan tetapi TaC lebih lunak dibandingkan dengan TiC. Jenis lebih tahan terhadap thermal shock cocok untuk pembuatan alur (Destefani, 2002). e. Karbida Lapis ( Coated Cemented Carbide) Jenis karbida lapis ini sedang berkembang dan banyak digunakan dalam berbagai jenis permesinan, pemakainya sekitar 40 % dari seluruh jenis pahat karbida yang digunakan. Material dasarnya adalah karnida tungsten (WC + Co) yang dilapi dengan bahan keramik (karbida, nitrida dan oksida) yang keras tahan terhadap temperatur tinggi (Destefani, 2002). 2.2.3
Pahat Karbida Pada Operasi Pembubutan
1. Geometri Pahat Proses pemesinan menggunakan pahat sebagi perkakas potongnya dan geometri pahat tersebut merupakan salah satu faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu proses pemesinan. Geometri pahat harus dipilih dengan benar disesuaikan dengan jenis material benda kerja, material pahat, dan kondisi pemotongan sehingga salah satu atau beberapa objektif seperti tingginaya umur pahat, rendahnya gaya atau daya pemotongan, halusnya permukaan, dan ketelitian geometri produk dapat tercapai. Untuk itu, disini akan dibahas optimisasi geometri pahat bubut yaitu sudut-sudut pahat ditinjau dalam sistem referensi orthogonal karena dalam sistem referensi yang lain efeknya akan sama. a. Sudut Bebas (α)
13
Fungsinya adalah mengurangi gesekan antara bidang utam Aα dengan bidang transien dari benda kerja sehingga temperatur tinggi akibat gesekan dapat dihindari sehingga aus tepi tidak cepat terjadi. Gerak makan f akan menentukan harga sudut bebas, semakin besar gerak makan maka gaya pemotongan akan semakin besar sehingga untuk memperkuat pahat dibutuhkan sudut penampang βo yang besar yaitu dengan memperkecil sudut bebas α bila sudut geram γ tetap. Umumnya untuk suatu harga gerak makan tertentu, ada suatu harga optimum bagi sudut bebas yang memberikan umur pahat tertinggi. Umur pahat akan naik jika sudut bebas diperkecil (karena gesekan berkurang), akan tetapi setelah mencapai harga optimum, umur pahat akan kembali menurun karena kecilnya sudut penampang yang menghalangi proses perambatan panas. Sebagai petunjuk umum dalam pemesinan baja, harga sudut bebas dipilih sesuai dengan gerak makan, yaitu : ≤ 0,2
⁄
,
= 12
≥ 0,2
⁄
,
= 8
b. Sudut Geram (γ) Sudut geram adalah sudut dari bidang geram terhadap bidang normal. Sama seperti sudut bebas, sudut geram juga memiliki harga optimum. Untuk kecepatan potong tertentu, sudut geram yang besar akan menurunkan rasio pemampatan tebal geram λh yang mengakibatkan kenaikan sudut geser Ф yang besar akan menurunkan penampang bidang geser Ashi sehingga gaya potong menurun, tapi sudut geram γ yang terlalu besar akan menghambat proses perambatan panas sehingga temperatur naik, hal ini akan mengakibatkan menurunnya umur pahat . c. Sudut Miring (λ) Sudut miring mempengaruhi arah aliran geram, bila berharga nol maka arah aliran geram tegak lurus mata potong. Dengan adanya sudut miring, maka panjang kontak antara pahat dan benda kerja menjadi lebih diperpanjang. Temperatur bidang kontak akan mencapai harga minimum bila λs = + 5o untuk proses penghalusan (finishing) dan – 5o untuk proses pengasaran (roughing). d. Sudut Potong Utama (Kr) Sudut potong utama mempunyai peran, antara lain :
14
i.
Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong (b dan h)
ii.
Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang kontak antara geram dengan bidang pahat, dan
iii. Menentukan besarnya gaya radial Fx Gaya radial akan membesar dengan pengecilan Kr, hal ini akan menyebabkan lenturan yang besar ataupun getaran sehingga menurunkan ketelitian geometri produk dan hasil pemotongan terlalu kasar. e. Sudut Potong Bantu (K’r) Para prinsipnya, sudut potong bantu dapat dipilih sekecil mungkin karena selain memperkuat ujung pahat, maka kehalusan produk dapat dipertinggi. Yang menjadi kendala adalah kekakuan sistem pemotongan karena K’r yang kecil akan mempertinggi gaya radial Fx, sebagi petunjuk : i.
Sistem pemotongan yang kaku, K’r = 5o sampai dengan 10 o
ii.
Sistem pemotongan yang lemah, K’r = 10o sampai dengan 20o
f. Radius Pojok (rε) Radius pojok berfungsi untuk memperkuat ujung pertemuan antara mata potong utama S dengan mata potong minor S’ dan selain itu menentukan kehalusan permukaan hasil pemotongan. Untuk rε yang relatif besar, maka bersama-sama dengan gerak makan yang dipilih sehingga mempengaruhi kehalusan permukaan produk. 2. Kondisi Pemotongan Pada dasarnya dalam setiap proses pemesinan ada tiga variabel proses yang perlu ditetapkan harganya yaitu kedalaman potong a, gerak makan f, dan kecepatan potong v, untuk menghasilkan produk sesuai dengan geometri dan toleransi yang diminta. Sesuai dengan urutan proses yang direncanakan, jelas perlu ditentukan terlebih dahulu jenis mesin perkakas dan pahatnya (material pahat disesuaikan dengan material benda kerja, geometri pahat disesuaikan dengan kondisi proses yang direncanakan). Kemudian tiga variabel proses di atas harus dipilih supaya kecepatan penghasilan geram setinggi mungkin. Kecepatan penghasilan geram yang tinggi dapat dicapai dengan menaikkan ketiga variabel proses tersebut dengan urutan, yaitu kedalaman potong (sebesar mungkin) ditentukan terlebih dahulu dengan memperhatikan dimensi bahan dan dimensi produk (dimensi akhir), 15
kekakuan sistem dan dimensi mata potong pahat, sehingga langkah pemotongan sependek mungkin (satu atau beberapa langkah pengasaran dan mungkin diperlukan langkah akhir yang berupa penghalusan). Gerak makan ditentukan sebesar mungkin, tergantung pada gaya pemotongan maksimum yang diizinkan (defleksi) seta tingkat kehalusan permukaan yang diminta (tidak selalu harus halus), kecepatan potong harus ditentukan supaya daya pemotongan (Nc) tidak melebihi daya tersedia (Nmr) serta umur pahat diharapkan sesuai dengan batasan yang akan ditentukan kemudian. Prosedur penentuan harga ketiga variabel proses ini pada umumnya dapat dilaksanakan dengan mudah pada proses pemesinan dimana tidak terjadi fluktuasi gaya. 3. Aus Pahat Dalam prateknya umur pahat tidak hanya dipengaruhi oleh geometri pahat saja melainkan juga oleh semua faktor yang berkaitan dengan proses pemesinan, yaitu antara lain jenis material benda kerja dan pahat, kondisi pemotongan (kecepatan potong, kedalaman potong dan gerak makan), cairan pendingin dan jenis proses pemesinan. Dalam berbagi situasi seperti ini proses pemesinan tidak akan berlangsung terus sebagaimana yang dikehendaki karena semakin lama pahat akan menunjukkan tanda-tanda yang menjurus kepada kegagalan proses pemesinan. Kerusakan atau keausan pahat akan terjadi dan penyebabnya harus diketahui untuk menentukan tindakan koreksi sehingga dalam proses pemesinan selanjutnya umur pahat diharapkan menjadi tinggi. Selama proses pembentukan geram berlangsung, pahat dapat mengalami kegagalan dari fungsinya yang normal karena berbagai sebab, antara lain : a. Keausan yang secara bertahap membesar (tumbuh) pada bidang aktif pahat. b. Retak yang menjalar sehingga menimbulkan patahan pada mata potong pahat. c. Deformasi plastik yang akan mengubah bentuk atau geometri pahat. 2.3
Baja Karbon (Carbon Steel) Baja karbon terdiri dari besi dan karbon. Karbon merupakan unsur pengeras besi
yang efektif dan murah dan oleh karena itu umumnya sebagian besar baja hanya mengandung karbon dengan sedikit unsur paduan lainnya (Smallman, 1991). Baja karbon digolongkan menjadi tiga (3) jenis, yaitu : 1. Baja Karbon Rendah (< 0,30 % C) 16
a. Baja karbon rendah mengandung 0,04% C digunakan untuk plat strip dan badan kendaraan. b. Baja karbon rendah mengandung 0,05% C digunakan untuk keperluan badan kendaraan. c. Baja karbon rendah mengandung 0,15% - 0,25% C digunakan untuk keperluan kontruksi dan jembatan. 2. Baja Karbon Sedang (0,30 % – 0.70 % C) a. Baja karbon 0,35% - 0,45% C digunakan untuk menjadi roda gigi dan poros. b. Baja karbon 0,4% C digunakan untuk keperluan industri kendaraan, mur, poros engkol dan batang torak. c. Baja karbon 0,5% - 0,6% C digunakan untuk roda gigi. d. Baja karbon 0,55% - 0,6% C digunakan untuk pegas. Baja karbon menengah memiliki ciri-ciri, antara lain : •
Memiliki sifat mekanik yang lebih baik daripada baja karbon rendah.
•
Lebih kuat dan keras daripada baja karbon rendah dan tidak mudah dibentuk oleh mesin.
•
Dapat dikeraskan dengan mudah (quenching)
3. Baja Karbon Tinggi (0,70 % - 1,40 % C) a. Baja karbon 0,6% - 0,7% C digunakan untuk pembuuatan pegas, perkakas (landasan mesin dan martil) dan alat-alat potong. b. Baja karbon 0,75% - 1,7% digunakan untuk pembuatan pisau cukur, mata gergaji, bantalan peluru dan bantalan mesin. Baja karbon tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : •
Sangat kuat dan keras serta tahan gesekan.
•
Sulit dibentuk oleh mesin.
•
Mengandung unsur sulfur dan fosfor mengakibatkan kurangnya sifat liat.
•
Dapat dilakukan proses heat treatment yang baik.
Pengklasifikasian baja karbon menurut American International and Steel Iron (AISI) dan Society for Automotive Engines (SAE) diberi kode dengan empat angka. Dua angka pertama adalah 10 yang menunjukkan nominal 1/100% sebagai contoh AISI-SAE 1045 menunjukkan kadar karbon 0,45%.
17
Disamping unsur-unsur karbon sebagai campuran dasar dalam baja terdapat campuran-campuran paduan yang lain yang jumlah persentasinya disesuaikan kebutuhan bahan yang akan dipergunakan. Unsur-unsur tersebut antara lain Mangan (Mn), Silikon (Si), Nikel (Ni), Kromium (Cr), Fosfor (P), 2.4
Pemesinan Kering (Dry Machining)
2.4.1
Defenisi Pemesinan kering atau dalam dunia manufacturing dikenal dengan pemesinan
hijau (Green Machining) merupakan suatu proses pemesinan atau pemotongan logam tanpa menggunakan cairan pendingin melainkan menggunakan partikel udara sebagai media pendingin selama proses pemesinan berlangsung untuk menghasilkan suatu produk yang diinginkan dengan maksud untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan produktivitas serta ramah lingkungan. Mengingat persaingan dalam dunia manufakturing begitu ketatnya maka penelitian terhadap teknologi pemesinan hijau terus dilakukan, karena walaupun teknologi pemesinan hijau terus berkembang. Akan tetapi teknologi yang ada sekarang ini hanya mampu digunakan untuk proses dengan pemakanan yang kecil sehingga biasanya hanya dipakai untuk proses penghalusan (finishing). 2.4.2
Perkembangan Pemesinan Kering Saat ini pengembangan pemesinan kering hangat dibicarakan di kalangan orang
teknologi pemesinan. Pemesinan kering pada industri manufaktur sekarang ini masih sedikit sekali atau boleh dikatakan masih dalam tahap uji coba, ini disebabkan karena belum tegaknya undang-undang lingkungan hidup dan masih minimnya pahat yang direkomendasikan untuk pemesinan kering. Sehingga industri manufaktur masih tetap bertahan pada sistem yang lama, yaitu pemesinan basah (Molinary and Nouari, 2003; Grzesik and Nieslony, 2003). Ada tiga faktor yang menyebabkan pemesinan kering menjadi menarik dibicarakan, yaitu : 1. Pemesinan kering hanya dipilih untuk mengatasi masalah pemutusan atau penguraian rantai ikatan kimia yang panjang dengan waktu paruh yang sangat lama (non biodegradable) yang potensial untuk merusak lingkungan. 2. Teknik pemesinan kering sangat potensial untuk mengurangi biaya produksi. Hasil riset menunjukkan bahwa pada industri otomotif Jerman, biaya cairan
18
pemotongan (7% – 20 %) dari biaya pahat total. Jumlah ini adalah dua sampai empat kali lebih besar dari biaya pahat potong. 3. Salah satu cara pemesinan yang tidak menimbulkan limbah dan pengabutan udara serta tidak menimbulkan sisa pada serpihan adalah pemesinan kering (Sreejith and Ngoi, 2000; Sokovic dan Mijanovic, 2001). Keuntungan utama dari cairan pemotongan adalah untuk mengurangi panas dan gesekan yang ditimbulkan sepanjang daerah pemotongan serta juga bermanfaat untuk membersihkan serpihan dari daerah pemotongan. Jika cairan pemotongan tidak digunakan dalam proses pemesinan maka kedua keuntungan di atas tidak diperoleh mengakibatkan koefisien gesekan serta suhu pemotongan meningkat sehingga akan menibulkan keausan pada pahat yang disebabkan oleh difusi pahat. Mekanisme keausan pahat ditunjukkan dalam pemotongan kering beban kerja tinggi (beban termal). Sebaliknya dalam perspektif pahat sebagai material yang rapuh, pemotongan kering memberikan manfaat untuk menghindari tegangan termal yang umumnya diindikasikan oleh keretakan sisir (comb crack) pada permukaan pahat potong (Che Haron, 2001). Pahat potong dioptimalkan dengan pemilihan material pahat bersalut dan geometri pahat yang sesuai. Material yang tahan terhadap suhu yang tinggi dan keausan tinggi adalah karbida, sermet, keramik, CBN, PCD. Tujuan penggunaan pemesinan kering ini, untuk mencapai
peningkatan kemampuan mesin dengan mengurangi
koefisien gesek dan panas selama proses pemotongan. Sekarang ini material yang berlapis telah ditemukan menjamin suksesnya pemesinan kering. Studi literatur menyatakan bahwa pengaruh cairan pemotongan yang digunakan terhadap lingkungan pertama sekali dianalisa dan dipublikasikan (Klocke and Eisenblatter, 1997). Mereka melaporkan bahwa pemesinan kering dapat dilakukan dengan hasil yang diharapkan pada besi tuang, karbon dan baja tuangan. Graham (2000) juga melaporkan bahwa perubahan dari pemesinan yang menggunakan cairan pemotongan ke pemesinan kering dapat dilakukan untuk beberapa logam seperti baja, besi tuang dan aluminium. Pemesinan kering meniadakan kebutuhan untuk pembuangan dan pembelian cairan pendingin, menghapus ditutupnya produksi pembersih pemesinan dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja. Pemesinan kering juga akan memberikan lebih bersih lingkungan benda kerja seperti tidak adanya minyak yang melekat pada benda kerja. Selain itu, geram akan menjadi tak terkontaminasi.
19
Keuntungan biaya dari pemesinan kering meliputi tanpa pendingin, tanpa pompa pendingin, tidak ada pembelian filter dan tidak ada penjualan pembersih geram (Bulloch, 2004).
20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Bahan dan Alat
3.1.1
Bahan Material yang digunakan pada penelitian ini adalah baja karbon AISI 1045
dengan komposisi kimia dan sifat mekanik sebagai berikut : Tabel 3.1 Sifat Mekanik Baja Karbon AISI 1045 Sifat Mekanis
Baja Karbon AISI 1045
Tegangan Luluh (σy)
505 Mpa
Tegangan Batas (σu)
250 . 103 psi, 1,725 Mpa
Kekuatan Tarik
585 MPa
Kekerasan
170 HB
Modulus Elastisitas (E)
190 – 210 Gpa
Kerapatan Massa (ρ)
9,13 g/cm3
Berat Spesifik (γ)
7.7 – 8.03 (x1000 kg/m3)
Tabel 3.2 Komposisi Kimia Dari Baja Karbon AISI 1045 Unsur
C
Si
Mn
P
S
%
0.43 – 0.50
0.15 – 0.35
0.60 – 0.90
0.03 max
0.035 max
Gambar 3.1 Benda Kerja 21
3.1.2
Pahat Potong Pahat potong yang digunakan adalah pahat karbida tidak berlapis. Dimana
komposisi material dasarnya adalah karbida tungsten (WC + Co). Berikut adalah data pahat karbida, antara lain : Tabel 3.3 Data Geometri Pahat Karbida Geometri Pahat
Satuan o
Sudut Ujung Pahat
55
Radius Pojok (r)
1.175 mm
Tebal Mata Pahat (S)
4.1 mm
Panjang Sisi Potong (L)
11.25 mm
Diameter (D)
0.8 mm
Gambar 3.2 Mata Pahat Karbida Tabel 3.4 Komposisi Kimia Dan Sifat Mekanis Pahat Karbida Lapisan Pahat
Keramik
Komposisi Pahat
WC +Co
Tebal Lapisan
12 μm
Kekerasan
90.0 HRA
Young Modulus
53 . 103 kgf/mm2
Koefisien Panas
5,2 . 106/oC
22
3.1.3
Alat Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Pemegang Mata Pahat (Tool Holder) Digunakan untuk memegang mata pahat (insert). Adapun jenis pemegang yang digunakan adalah pemegang pahat tipe-J, dengan data sebagai berikut : Tabel 3.5 Data Pemegang Pahat Pengunci Mata Pahat (S)
Menggunakan Pengunci Sekrup
Bentuk Pahat (D)
Sudut Ujung Pahat 55o
Tipe Pemegang Pahat (J)
Tipe-J
Sudut Bebas Pahat (C)
7o
Gerak Pahat (R)
Kanan
Tinggi Batang Pemegang Pahat
16 mm
Lebar Batang Pemegang Pahat
16 mm
Panjang Pemegang Pahat (H)
100 mm
Ukuran Pahat
11 mm
Gambar 3.3 Pemegang Mata Pahat (Tool Holder) 2.
Mesin Bubut ANH LI I LA
Gambar 3.4 Mesin Bubut ANH LI I LA
23
6 3
5
2
4 1
Gambar 3.5 Bagian-bagian Mesin Bubut Keterangan : 1. Putaran Poros Utama (Spindle) 2. Pencekam Benda Kerja (Chuck) 3. Benda Kerja (Work Piece) 4. Pemegang Pahat (Tool Holder) dan Pahat (Tool) 5. Dudukan Pahat dan Pemegang Pahat (Tool Post) 6. Tail Stock 3. Jangka Sorong Jangka sorong digunakan untuk mengukur diameter benda kerja sebelum dan setelah pemesinan pada tiap fase.
Gambar 3.6 Jangka Sorong 4. Stopwatch Stopwatch digunakan untuk mengukur waktu pemesinan yang dijalankan.
Gambar 3.7 Stopwatch
24
3.2
Metode Penelitian Mulai
Studi lapangan
Studi Pendahuluan
Studi literatur
Pemilihan Bahan dan Persiapan Alat
Penentuan Kondisi Pemotongan : a = 1.0, 1.25 dan 1.5 mm n = 210, 260 dan 360 rpm f = 0,14 dan 0,28 mm/rev
Pengolahan dan Analisa Data
Pengujian Statistik Pengaturan Proses Pemesinan
Pengumpulan Data Berupa : - Waktu pemesinan (tc) - Panjang Pemesinan - Vol Bahan Terbuang
Kesimpulan
SELESAI
Gambar 3.10 Diagram Alir Penelitian 3.3
Analisa Regresi Analisa Regresi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan
kemungkinan bentuk dari hubungan variabel-variabel. Tujuan pokok dalam penggunaan metode ini adalah untuk meramalkan atau memperkirakan nilai dari suatu variabel dalam hubungannya dengan variabel lain yang diketahui. Analisa Regresi merupakan teknik untuk membangun persamaan. Persamaan ini dapat menggambarkan hubungan antara dua atau lebih variabel dan menaksir nilai variabel dependen berdasar pada nilai tertentu variabel independennya. Hubungan
25
antara variabel dependen dan variabel independen ini dapat dirumuskan ke dalam suatu bentuk hubungan fungsional sebagai berikut : Y = f (X1, X2, .....,Xn) dimana,
Y
= variabel dependen
X1, X2, ....,Xn
= variabel independen
Di dalam suatu persamaan, variabel dependen adalah variabel yang nilai tergantung dari nilai variabel lain. Sedangkan variabel independen adalah variabel yang nilainya tidak tergantung dari variabel lain. Bentuk hubungan antara dua variabel dapat searah (direct relationship) dan dapat berlawanan arah (inverse relationship). Jika dua variabel mempunyai hubungan searah artinya perubahan nilai yang satu dengan nilai yang lain adalah searah. Sedangkan dua variabel mempunyai hubungan berlawanan arah artinya perubahan nilai yang satu dengan yang lain adalah berlawanan arah.
Gambar 3.11 Bentuk Hubungan Antara Variabel (a) Hubungan Searah; (b) Hubungan Berlawan Arah Perubahan nilai dua variabel yang memiliki hubungan kausalitas akan cenderung membentuk pola tertentu. Pola perubahan nilai dua variabel dapat memiliki hubungan linier, kuadratik, eksponensial atau logaritmik.
Gambar 3.12 Pola Perubahan Nilai Variabel (a) Hubungan Linier; (b) Hubungan Kuadratik; (c) Hubungan logaritmik 26
Hubungan antara dua variabel atau lebih dapat diketahui dengan cara persamaan linier. Model persamaan regresi dapat dibentuk dengan cara ini. Pada regresi linier sederhana hanya ada satu variabel independen (X) yang dihubungkan dengan satu variabel dependen (Y) linier (pangkat satu) di dalam X sehingga dapat membentuk model Ŷ = a + bX. Sedangkan pada regresi multi linier variabel dependen (Y) tidak hanya dihubungkan pada satu variabel independen (X) tetapi lebih dari satu variabel independen (X1, X2, ..., Xn).
27
BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1
Hasil Eksperimen Dari hasil percobaan diperoleh data-data kondisi pemotongan kerja hasil
permesinan yang disajikan dalam tabel-tabel berikut ini : Tabel 4.1 Data Kondisi Permesinan Pada Putaran 210 rpm n (rpm) 210 210 210 210 210 210 210
do (mm) 49,1 48,35 48,55 47,55 44,45 44,15 43,7
dm (mm) 48,35 47,75 48 47 44,15 43,70 43,20
Lt f (mm) (mm/rev) 138,9 0,28 137,9 0,28 138,3 0,28 139,3 0,28 138,42 0,14 138,42 0,14 138,42 0,14
t (dtk) 95 95 91 94 188 188 188
Tabel 4.2 Data Kondisi Permesinan Pada Putaran 260 rpm n (rpm) 260 260 260 260 260 260 260
do (mm) 49,85 49,15 48,5 47,9 46,15 45,8 45,2
dm (mm) 49,15 48,5 47,9 47,4 45,80 45,20 44,45
Lt f (mm) (mm/rev) 139,20 0,28 133,00 0,28 134,40 0,28 136,40 0,28 138,8 0,14 138,1 0,14 138,5 0,14
t (dtk) 80 75 76 79 160 159 160
Tabel 4.3 Data Kondisi Permesinan Pada Putaran 360 rpm n (rpm) 360 360 360 360 360 360 360
do (mm) 49,9 49 48,15 47,2 43,5 43 42,35
dm (mm) 49 48,15 47,2 46,4 43,00 42,35 41,50
Lt f (mm) (mm/rev) 139,4 0,28 138,1 0,28 137,4 0,28 136,55 0,28 137,80 0,14 137,50 0,14 137,50 0,14
t (dtk) 58 57 57 56 113 112 112
28
Dimana : •
do adalah diameter awal kerja benda kerja ; mm
•
dm adalah diameter akhir benda kerja ; mm
•
lt adalah panjang pemesinan benda kerja; mm
•
f adalah gerak makan ; mm/rev
•
n adalah putaran poros utama (benda kerja) ; rpm
Eksperimen menggunakan metode faktorial yaitu dengan mengubah tiga variabel yaitu putaran (n), kedalaman potong (a), dan gerak makan (f) serta mengamati satu variabel tetap yaitu laju bahan terbuang (MRR). Eksperimen dilakukan pada variabel putaran (n), kedalaman potong (a) dan gerak makan (f). Dari Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3, maka dapat diperoleh nilai dari kedalaman potong (a), kecepatan potong (v), kecepatan penghasilan geram (Z), volume bahan terbuang (Q) dan laju bahan terbuang (MRR). Nilai-nilai tersebut disajikan dalam tabel-tabel berikut : Tabel 4.4 Data Pemesinan Pada Putaran 210 rpm n (rpm) do (mm) dm (mm) Lt (mm) f (mm/rev) 210 49,1 48,35 138,9 0,28 210 48,35 47,75 137,9 0,28 210 48,55 48 138,3 0,28 210 47,55 47 139,3 0,28 210 44,45 44,15 138,42 0,14 210 44,15 43,70 138,42 0,14 210 43,7 43,20 138,42 0,14
t (dtk) a (mm) v (m/min) Z (cm3/min) 95 0,375 32,13 3,374 95 0,300 31,68 2,661 91 0,275 31,83 2,451 94 0,275 31,17 2,400 188 0,150 29,21 0,613 188 0,225 28,96 0,912 188 0,250 28,65 1,003
Q (cm3) 7,969 6,242 5,765 5,686 2,888 4,295 4,721
MRR 5,033 3,942 3,801 3,630 0,922 1,371 1,507
Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa pada putaran (n) = 210 rpm, pada gerak makan 0,28 mm/rev untuk
setiap kenaikan kedalaman potong dan kecepatan potong akan
meningkatkan kecepatan penghasilan geram (Z). Sedangkan pada gerak makan 0,14 mm/rev untuk kenaikan kecepatan potong akan menurunkan kecepatan penghasilan geram serta untuk kenaikan kedalaman potong
akan meningkatkan kecepatan
penghasilan geram. Dari Tabel 4.4 dapat digambarkan hubungan antara kecepatan potong dan kedalaman potong dengan laju bahan terbuang (MRR) pada putaran 210 rpm, yang disajikan pada grafik di bawah ini.
29
n = 210 rpm 6.0
y = 1.274x - 36.30 R² = 0.645
MRR (cm3/min)
5.0 4.0
f = 0,28
3.0 2.0
f = 0.14
y = -1.017x + 30.70 R² = 0.870
1.0
Linear (f = 0,28) Linear (f = 0.14)
0.0 28.0
29.0
30.0
31.0
32.0
33.0
Kec. Potong (m/min)
Grafik 4.1 Kecepatan Potong vs Laju Bahan Terbuang pada putaran 210 rpm
n = 210 rpm 6.0 y = 13.27x + 0.036 R² = 0.981
MRR (cm3/min)
5.0 4.0
f = 0,28
3.0 y = 5.882x + 0.041 R² = 0.999
2.0
f = 0,14 Linear (f = 0,28)
1.0
Linear (f = 0,14)
0.0 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Kedalaman Potong (mm)
Grafik 4.2 Kedalaman Potong vs Laju Bahan Terbuang pada putaran 210 rpm Dari Grafik 4.1 dan 4.2 diperoleh persamaan garis hubungan antara kecepatan potong dan laju bahan terbuang pada putaran 210 rpm dengan variasi gerak makan sebesar 0,14 dan 0,28 mm/putaran dengan kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel kecepatan potong (v) dan kedalaman potong dengan laju bahan terbuang (MRR) diatas 0,6 dan 0,9. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara variabel tersebut kuat dan cukup kuat.
30
Sementara itu data untuk pemesinan pada putara 260 rpm dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.5 Data Pemesinan Pada Putaran 260 rpm n (rpm) do (mm) dm (mm) Lt (mm) f (mm/rev) 260 49,85 49,15 139,20 0,28 260 49,15 48,5 133,00 0,28 260 48,5 47,9 134,40 0,28 260 47,9 47,4 136,40 0,28 260 46,15 45,80 138,8 0,14 260 45,8 45,20 138,1 0,14 260 45,2 44,45 138,5 0,14
t (dtk) a (mm) v (m/min) Z (cm3/min) 80 0,350 40,41 3,960 75 0,325 39,86 3,627 76 0,300 39,35 3,305 79 0,250 38,90 2,723 160 0,175 37,53 0,920 159 0,300 37,15 1,560 160 0,375 36,60 1,921
Q (cm3) 7,573 6,627 6,102 5,102 3,507 5,919 7,310
MRR 5,679 5,301 4,818 3,875 1,315 2,234 2,741
Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa pada putaran (n) = 260 rpm, pada gerak makan 0,28 mm/rev untuk
setiap kenaikan kedalaman potong dan kecepatan potong akan
meningkatkan kecepatan penghasilan geram (Z). Sedangkan pada gerak makan 0,14 mm/rev untuk kenaikan kecepatan potong akan menurunkan kecepatan penghasilan geram serta untuk kenaikan kedalaman potong
akan meningkatkan kecepatan
penghasilan geram. Dari Tabel 4.5 dapat digambarkan hubungan antara kecepatan potong dengan laju bahan terbuang (MRR) serta hubungan antara kedalaman potong dengan MRR pada putaran 260 rpm, yang disajikan pada grafik di bawah ini.
n = 260 rpm 7.0 y = 1.155x - 40.88 R² = 0.932
MRR (cm3/min)
6.0 5.0 4.0
f = 0.28
3.0
f = 0.14
2.0
y = -1.479x + 56.95 R² = 0.931
1.0
Linear (f = 0.28) Linear (f = 0.14)
0.0 36.0
37.0
38.0
39.0
40.0
41.0
Kec. Potong (m/min)
Grafik 4.3 Kecepatan Potong vs Laju Bahan Terbuang pada putaran 260 rpm
31
n = 260 rpm 7.0 y = 18.24x - 0.670 R² = 0.998
MRR (cm3/min)
6.0 5.0 4.0
f = 0,28
3.0
y = 7.154x + 0.069 R² = 0.999
2.0
f = 0,14 Linear (f = 0,28)
1.0
Linear (f = 0,14)
0.0 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Kedalaman Potong (mm)
Grafik 4.4 Kedalaman Potong vs Laju Bahan Terbuang pada putaran 260 rpm Dari Grafik 4.3 dan 4.4 diperoleh persamaan garis linear yang memperlihatkan hubungan antara kecepatan potong dan kedalaman potong dengan laju bahan terbuang dengan kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel kecepatan potong (v) dan kedalaman potong (a) dengan laju bahan terbuang (MRR) lebih besar dari 0,9. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut cukup kuat. Sementara itu data untuk pemesinan pada putaran 360 rpm dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.6 Data Pemesinan Pada Putaran 360 Rpm n (rpm) do (mm) dm (mm) Lt (mm) f (mm/rev) 360 49,9 49 139,4 0,28 360 49 48,15 138,1 0,28 360 48,15 47,2 137,4 0,28 360 47,2 46,4 136,55 0,28 360 43,5 43,00 137,80 0,14 360 43 42,35 137,50 0,14 360 42,35 41,50 137,50 0,14
t (dtk) a (mm) v (m/min) Z (cm3/min) 58 0,450 55,90 7,043 57 0,425 54,91 6,534 57 0,475 53,89 7,168 56 0,400 52,90 5,925 113 0,250 48,89 1,711 112 0,325 48,24 2,195 112 0,425 47,39 2,820
Q (cm3) 9,740 8,952 9,770 8,027 4,678 5,988 7,693
MRR 10,076 9,423 10,284 8,600 2,484 3,208 4,121
Dari Tabel 4.6 terlihat bahwa pada putaran (n) = 360 rpm, pada gerak makan 0,28 mm/rev untuk
setiap kenaikan kedalaman potong dan kecepatan potong akan
meningkatkan kecepatan penghasilan geram (Z). Sedangkan pada gerak makan 0,14 mm/rev untuk kenaikan kecepatan potong akan menurunkan kecepatan penghasilan geram serta untuk kenaikan kedalaman potong
akan meningkatkan kecepatan
penghasilan geram.
32
Dari Tabel 4.6 dapat digambarkan hubungan antara kecepatan potong dengan laju bahan terbuang (MRR) serta hubungan antara kedalaman potong dengan MRR pada putaran 360 rpm, yang disajikan pada grafik di bawah ini.
n = 360 rpm 12.0
y = 0.354x - 9.680 R² = 0.363
MRR (cm3/min)
10.0 8.0
f = 0,28
6.0
f = 0,14
4.0
Linear (f = 0,28)
y = -2.012x + 103.0 R² = 1
2.0
Linear (f = 0,14)
0.0 46.0
48.0
50.0
52.0
54.0
56.0
58.0
Kec. Potong (m/min)
Grafik 4.5 Kecepatan Potong vs Laju Bahan Terbuang pada putaran 360 rpm
n = 360 rpm 12.0 y = 22.82x - 0.390 R² = 0.943
MRR (cm3/min)
10.0 8.0
f = 0,28
6.0
y = 9.342x + 0.156 R² = 0.999
4.0
f = 0,14 Linear (f = 0,28)
2.0
Linear (f = 0,14)
0.0 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Kedalaman Potong (mm)
Grafik 4.6 Kedalaman Potong vs Laju Bahan Terbuang pada putaran 360 rpm Dari Grafik 4.5 dan 4.6 diperoleh persamaan garis linear yang memperlihatkan hubungan antara kecepatan potong dan kedalaman potong dengan laju bahan terbuang dengan kekuatan hubungan (korelasi) antara variabel kecepatan potong (v) dan 33
kedalaman potong (a) dengan laju bahan terbuang (MRR). Pada gerak makan 0,28 terlihat korelasi antara kecepatan potong dan laju bahan lebih kecil dari 0,4. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut lemah. Hal ini bisa diakibatkan oleh kekurang akuratan pengambilan data..
4.2
Model Matematika Untuk memperoleh permodelan matematika dari laju bahan terbuang (MRR)
dapat digunakan analisa statistik yaitu metode regresi. Dari persamaan umur pahat Taylor
Q = C .v .f .a
dan laju bahan terbuang
(MRR) adalah rasio dari
volume bahan terbuang (Q) terhadap waktu, maka laju bahan terbuang (MRR) dinyatakan juga sebagai fungsi dari kecepatan potong (v), gerak makan (f) dan kedalaman potong (a), yang jika dinyatakan dalam model matematika adalah sebagai suatu fungsi : MRR = f(v), f(f), f(a)...................................................................................(4.1) MRR = bvm . cfn . dao...................................................................................(4.2) dimana : -
b adalah konstanta kekuatan hubungan antara kecepatan potong (v) dan laju bahan terbuang (MRR) serta m adalah eksponen kecenderungan kurva hubungan antara kecepatan potong (v) dan laju bahan terbuang (MRR).
-
c adalah konstanta kekuatan hubungan antara gerak makan (f) dan laju bahan terbuang (MRR) serta n adalah eksponen kecenderungan kurva hubungan antara gerak makan (f) dan laju bahan terbuang (MRR).
-
d adalah konstanta kekuatan hubungan antara kedalaman potong (a) dan laju bahan terbuang (MRR) serta o adalah eksponen kecenderungan kurva hubungan antara kedalaman potong dan laju bahan terbuang (MRR).
Persamaan laju bahan terbuang (MRR) dari persamaan (4.2) dapat diselesaikan dengan menglogaritma natural persamaan tersebut menjadi : ln MRR = ln(bvm . cfn . dao)............................................................................(4.3) ln MRR = m.lnv + lnb + n.lnf + lnc + o.lna + lnd + ln K ............................(4.4) dimana: lnb + lnc + lnd + lnK = ln C, sehingga persamaan 4.4 menjadi : ln MRR = m.lnv + n.lnf + o.lna + lnC
...............................................(4.5)
34
Persamaan (4.3) diatas dapat diselesaikan dengan menggambarkan
grafik
hubungan logaritma natural antara masing-masing variabel kecepatan potong (v), kedalaman potong (a), gerak makan (f) dengan laju bahan terbuang (MRR) untuk setiap putaran dengan menggunakan data pada Tabel 4.4, 4.5, dan 4.6. Dari grafik tersebut akan diperoleh nilai konstanta dan eksponen yang sesuai untuk ketiga variabel tersebut. Nilai konstanta b, c dan d serta eksponen m, n dan o pada putaran (n) = 210 rpm :
n = 210 rpm 2.0 y = 9.400x - 31.09 R² = 0.662
1.5
f = 0,28
ln MRR
1.0
f = 0,14 0.5
Linear (f = 0,28)
y = -24.60x + 83.02 R² = 0.839
Linear (f = 0,14)
0.0 3.30
3.35
3.40
-0.5
3.45
3.50
ln v
Grafik 4.7 Nilai konstanta b dan eksponen m untuk kecepatan potong dan laju bahan terbuang pada putaran 210 rpm
n = 210 rpm 3.0
ln MRR
y = 0.984x + 2.576 R² = 0.975
2.5 2.0 1.5 1.0
f = 0,28 f = 0,14 Linear (f = 0,28)
-2.0
y = 0.966x + 1.753 R² = 0.999 -1.5 -1.0
0.5
Linear (f = 0,14)
0.0 -0.5 -0.5
ln a
Grafik 4.8 Nilai konstanta d dan eksponen o untuk kedalaman potong dan laju bahan terbuang pada putaran 210 rpm 35
n = 210 rpm 6 5 4 3
ln MRR
y = 3.337x + 4.900 R² = 1
2
v = 30 m/min
1
Linear (v = 30 m/min)
0 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
ln f
-1 0
0.5
-2
Grafik 4.9 Nilai konstanta c dan eksponen n untuk gerak makan dan laju bahan terbuang pada putaran 210 rpm Dari Grafik 4.7, Grafik 4.8, Grafik 4.9 dan persamaan 4.4 diperoleh : 1. ln MRR = m . lnv + lnb → y = 9,400x – 31,09 dengan korelasi sebesar 0,662 ln MRR = m . lnv + lnb → y = -24,6x +83,02 dengan korelasi sebesar 0,839 dimana :
m
= 9,400 dan -24,6
lnb
= -31,09 dan 83,02
2. ln MRR = o . lna + lnd → y = 0,984x + 2,576 dengan korelasi sebesar 0,975 ln MRR = o . lna + lnd → y = 0,966x + 1,753 dengan korelasi sebesar 0,999 dimana :
o
= 0,984 dan 0,966
lnd
= 2,576 dan 1,753
3. ln MRR = n . lnf + lnc → y = 3,337x + 4,900 dengan korelasi sebesar 1 dimana :
n
= 3,337
lnc
= 4,900
36
Nilai konstanta b, c dan d serta eksponen m, n dan o pada putaran (n) = 260 rpm.
n = 260 rpm 2.5 y = 9.650x - 33.92 R² = 0.906
ln MRR
2.0 1.5
f = 0,28
1.0
f = 0,14
y = -27.92x + 101.6 R² = 0.880
0.5
Linear (f = 0,28) Linear (f = 0,14)
0.0 3.6
3.6
3.7
3.7
3.8
ln v
Grafik 4.10 Nilai konstanta b dan eksponen m untuk kecepatan potong dan laju bahan terbuang pada putaran 260 rpm
n = 260 rpm 3.5 3.0 y = 1.150x + 2.953 R² = 0.998
2.5
ln MRR
2.0
y = 0.967x + 1.961 R² = 0.999
f = 0,28
1.5
f = 0,14
1.0
Linear (f = 0,28)
0.5
Linear (f = 0,14)
0.0 -2.0
-1.5
-1.0
-0.5
ln a
Grafik 4.11 Nilai konstanta d dan eksponen o untuk kedalaman potong dan laju bahan terbuang pada putaran 260 rpm
37
n = 260 rpm 14 12 10 8
ln MRR
y = 8.721x + 12.37 R² = 1
6 4
v = 38,5 m/min
2
Linear (v = 38,5 m/min)
0 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
-2 0
0.5
-4 -6
ln f
Grafik 4.12. Nilai konstanta c dan eksponen n untuk gerak makan dan laju bahan terbuang pada putaran 260 rpm Dari Grafik 4.10, Grafik 4.11, Grafik 4.12 dan persamaan 4.4, maka diperoleh : 1. ln MRR = m . lnv + lnb → y = 9,65x – 33,92 dengan korelasi 0,906 ln MRR = m . lnv + lnb → y = -27,92x + 101,6 dengan korelasi 0,88 dimana :
m
= 9,65 dan -27,92
lnb
= -27,92 dan 101,6
2. ln MRR = o . lna + lnd → y = 1,15x + 2,953 dengan korelasi sebesar 0,998 ln MRR = o . lna + lnd → y = 0,967x + 1,961 dengan korelasi sebesar 0,999 dimana
o
= 1,15 dan 0,967
lnd
= 2,953 dan 1,961
3. ln MRR = n . lnf + lnc → y = 8,721x + 12,37 dimana ;
n
= 8,721
lnc
= 12,37
38
Nilai konstanta b, c dan d serta eksponen m, n dan o pada putaran (n) = 360 rpm.
n = 360 rpm 3.0 2.5
ln MRR
2.0
y = 2.106x - 6.159 R² = 0.385
1.5
f = 0,28 f = 0,14
1.0
Linear (f = 0,28)
y = -16.15x + 63.76 R² = 0.992
0.5
Linear (f = 0,14)
0.0 3.85
3.90
3.95
4.00
4.05
ln v
Grafik 4.13 Nilai Konstanta b dan Eksponen m Untuk Kecepatan Potong dan Laju Bahan Terbuang pada putaran 360 rpm
n = 360 rpm 3.5 3.0
y = 1.060x + 3.137 R² = 0.946 ln MRR
2.5 2.0
f = 0,28
1.5
f = 0,14 Linear (f = 0,28)
1.0 y = 0.953x + 2.234 R² = 0.999
Linear (f = 0,14)
0.5 0.0
-1.5
-1.3
-1.1
-0.9
-0.7
-0.5
ln a
Grafik 4.14 Nilai Konstanta d dan Eksponen o Untuk Kedalaman Potong dan Laju Bahan Terbuang pada putaran 360 rpm
39
n = 360 rpm
ln MRR
y = 4.431x + 7.766 R² = 1
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
ln f
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 0 -2
v = 51 m/min Linear (v = 51 m/min)
0.5
Grafik 4.15 Nilai Konstanta c dan Eksponen n Untuk Gerak Makan dan Laju Bahan Terbuang pada putaran 360 rpm Dari Grafik 4.10, Grafik 4.11, Grafik 4.12 dan persamaan 4.4, maka diperoleh : 1. ln MRR = m . lnv + lnb → y = 2,106x – 6,159 dengan korelasi sebesar 0,385 ln MRR = m . lnv + lnb → y = -16,15x + 63,76 dengan korelasi sebesar 0,992 dimana :
m
= 2,106 dan -16,15
lnb
= -6,159 dan 63,76
2. ln MRR = o . lna + lnd → y = 1,06x + 3,137 dengan korelasi sebesar 0,946 ln MRR = o . lna + lnd → y = 0,953x + 2,234 dengan korelasi sebesar 0,999 dimana :
o
= 1,06 dan 0,953
lnd
= 3,137 dan 2,234
3. ln MRR = n . lnf + lnc → y = 4,431x + 7,766 dengan korelasi sebesar 1 dimana:
n
= 4,431
lnc
= 7,766
Dari hasil besar nilai konstanta dan eksponen seperti pada Grafik 4.7 – 4.15 diatas, dapat diperoleh model matematika untuk MRR dari masing-masing putaran dengan menyederhanakan persamaan 4.4. Hasilnya dapat ditabelkan seperti pada tabel berikut.
40
Tabel 4.7. Logaritma Natural dari MRR Eksperimen dan MRR Model pada f = 0,28 n (rpm) 210 210 210 210 260 260 260 260 360 360 360 360
m 9,4 9,4 9,4 9,4 9,65 9,65 9,65 9,65 2,106 2,106 2,106 2,106
ln v 3,47 3,46 3,46 3,44 3,70 3,69 3,67 3,66 4,02 4,01 3,99 3,97
ln b -31,09 -31,09 -31,09 -31,09 -33,92 -33,92 -33,92 -33,92 -6,159 -6,159 -6,159 -6,159
o 0,984 0,984 0,984 0,984 1,15 1,15 1,15 1,15 1,06 1,06 1,06 1,06
ln a -0,98 -1,20 -1,29 -1,29 -1,05 -1,12 -1,20 -1,39 -0,80 -0,86 -0,74 -0,92
ln d 2,576 2,576 2,576 2,576 2,953 2,953 2,953 2,953 3,137 3,137 3,137 3,137
n 3,337 3,337 3,337 3,337 8,721 8,721 8,721 8,721 4,431 4,431 4,431 4,431
ln f -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27 -1,27
ln c ln MRR hitung ln MRR eks 4,9 3,789 1,616 4,9 3,438 1,372 4,9 3,396 1,335 4,9 3,200 1,289 12,37 4,791 1,724 12,37 4,573 1,668 12,37 4,357 1,572 12,37 4,036 1,355 7,766 6,731 2,310 7,766 6,632 2,243 7,766 6,711 2,331 7,766 6,490 2,152
ln K ln MRRMODEL error -2,02 1,769 9% -2,02 1,418 3% -2,02 1,376 3% -2,02 1,180 -9% 2,82 1,971 10% 2,82 1,753 5% 2,82 1,537 -2% 2,82 1,216 -10% 4,2 2,531 9% 4,2 2,432 8% 4,2 2,511 7% 4,2 2,290 6%
ln C -25,63 -25,63 -25,63 -25,63 -15,78 -15,78 -15,78 -15,78 8,944 8,944 8,944 8,944
Dari Tabel 4.7 diatas dapat diperoleh persamaan MRR untuk setiap putaran pada f = 0,28 dengan menggunakan persamaan 4.5. Untuk putaran 210 rpm : lnMRR = 9,4.lnv + 0,984.lna +3,337. lnf – 25,63 MRR = 7,37.10-12.v9,4.a0,984.f3,337 Untuk putaran 260 rpm: lnMRR = 9,65.lnv + 1,15.lna + 8,721.lnf – 15,78 MRR = 1,41.10-7.v9,65.a1,15.f8,721 Untuk putaran 360 rpm: lnMRR = 2,1.lnv + 1,06.lna + 4,431.lnf + 8,9444 MRR = 7,66.103.v2,1.a1,06.f4,431 Tabel 4.8. Logaritma Natural dari MRR Eksperimen dan MRR Model pada f = 0,14 n (rpm) 210 210 210 260 260 260 360 360 360
m -24,6 -24,6 -24,6 -27,92 -27,92 -27,92 -16,15 -16,15 -16,15
ln v 3,37 3,37 3,36 3,63 3,61 3,60 3,89 3,88 3,86
ln b 83,02 83,02 83,02 101,6 101,6 101,6 63,76 63,76 63,76
o 0,966 0,966 0,966 0,967 0,967 0,967 0,953 0,953 0,953
ln a -1,90 -1,49 -1,39 -1,74 -1,20 -0,98 -1,39 -1,12 -0,86
ln d 1,753 1,753 1,753 1,961 1,961 1,961 2,234 2,234 2,234
n 3,337 3,337 3,337 8,721 8,721 8,721 4,431 4,431 4,431
ln f -1,97 -1,97 -1,97 -1,97 -1,97 -1,97 -1,97 -1,97 -1,97
ln c ln MRR hitung ln MRR eks ln K ln MRRMODEL error 4,9 -1,735 -0,081 -1,4 -0,335 76% 4,9 -1,134 0,315 -1,4 0,266 -19% 4,9 -0,765 0,410 -1,4 0,635 35% 12,37 -4,118 0,274 -4,3 0,182 -50% 12,37 -3,307 0,804 -4,3 0,993 19% 12,37 -2,674 1,008 -4,3 1,626 38% 7,766 0,910 0,910 0,3 0,610 -49% 7,766 1,377 1,166 0,3 1,077 -8% 7,766 1,919 1,416 0,3 1,619 13%
Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa variasi kondisi pemotongan tidak memberikan hasil/persentase error yang baik di antara MRR hasil eksperimen dan MRR hasil perhitungan (model). Dari data hasil penelitian pada f=0,14 dengan variasi kondisi pemotongan tidak dapat diprediksi model matematika yang sesuai untuk laju bahan terbuang. Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa model matematika masih memiliki
41
ln C 91,073 91,073 91,073 120,23 120,23 120,23 73,46 73,46 73,46
error yang cukup besar jika dibandingkan hasil perhitungan. Hal ini dimungkinkan karena: a. Pengesetan tool bit yang dilakukan diluar tool post sewaktu mengganti mata pahat. b. Benda kerja yang dilepas dari chuck pada putaran yang sama sehingga pengesetan centernya menjadi berubah. c. Dimensi awal dari benda kerja yang tidak sama untuk setiap proses pemotongan. d. Dimensi awal benda kerja yang merupakan rata-rata dari lima titik diameter akhir dari proses pemotongan sebelumnya. e. Tingkat ketelitian alat (jangka sorong dan mesin bubut) dan tingkat ketelitian pengamatan. f. Tingkat keakuratan penekanan tombol on/off pada mesin bubut dan stopwatch. Data dari tabel 4.7 dan 4.8 diatas dapat digrafikkan untuk melihat pengaruh dari kondisi pemotongan secara keseluruhan terhadap MRR. 12.0 10.0
MRR
8.0 f = 0,28 6.0
f = 0,14
4.0
Expon. (f = 0,28) Expon. (f = 0,14)
2.0 0.0 0.0
20.0
40.0
60.0
v
Grafik 4.16 Hubungan kecepatan potong dengan MRR Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa semakin besar kecepatan potong maka laju pembuangan geram semakin besar. Hal ini sesuai dengan Grafik 4.16. Namun untuk proses finishing dan pembuangan geram, faktor putaran mempengaruhi hubungan tersebut.
42
12.00 10.00 8.00 MRR
f = 0,28 6.00
f = 0,14 Expon. (f = 0,28)
4.00
Expon. (f = 0,14)
2.00 0.00 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
a
Grafik 4.17 Hubungan kedalaman potong dengan MRR Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa semakin besar kedalaman potong maka laju pembuangan geram semakin besar. Hal ini sesuai dengan Grafik 4.17. Sehingga secara umum dapat dinyatakan bahwa perubahan dari kondisi pemotongan (v, a dan f) akan mempengaruhi besar dari MRR.
43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Pengumpulan data eksperimen dan analisis data menggunakan metode regresi multi linier dapatl digunakan untuk mengembangkan metode matematika bagi laju bahan terbuang (MRR). b.
Model laju bahan terbuang (MRR) karbida yang digunakan untuk membubut baja AISI 1045 pada putaran 210 rpm, 260 rpm dan 360 rpm adalah : - 210 rpm : MRR = 7,37.10-12.v9,4.a0,984.f3,337 - 260 rpm : MRR = 1,41.10-7.v9,65.a1,15.f8,721 - 360 rpm : MRR = 7,66.103.v2,1.a1,06.f4,431
c.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemesinan kering dapat diwujudkan bagi baja karbon AISI 1045 menggunakan pahat karbida berlapis pada f = 0,28.
d.
Model
yang
dikembangkan
dapat
dipergunakan
dalam
melaksanakan
percobaan/praktikum di Labortorium Proses Produksi dalam menentukan kondisi pemotongan kering baja karbon sedang dengan menggunakan pahat karbida berlapis. e.
Untuk putaran 210-360 rpm dapat dikatakan bahwa semakin besar kecepatan potong dan kedalaman potong maka laju pembuangan geram semakin besar
44
5.2 Saran 1. Perlu variasi gerak makan agar pengaruhnya terhadap laju bahan terbuang dapat diamati secara signifikan. 2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, disarankan mesin yang ada di servis terlebih dahulu, dan kalau memungkinkan menggunakan mesin CNC agar parameter proses pemesinan dapat terukur secara otomatis. 3. Sumber perhitungan data adalah berasal dari tebal geram, panjang pemesinan dan waktu pemesinan yang hanya menggunakan stopwatch dan jangka sorong. Dirasa perlu untuk menggunakan jangka sorong digital agar tingkat ketelitian semakin baik. 4. Untuk penelitian selanjutnya agar sebaiknya melakukan minimal 3 variasi gerak makan dan 6 variasi setiap variabel kondisi pemotongan.
45
DAFTAR PUSTAKA 1. Geoffrey Boothroyd , Winston A. Knight, Fundamentals of Metal Machining and Machine Tools, First Edition, Taylor and Francis Publishing, 1990. 2. P S Sreejith and B K A Ngoi, Dry Machining - Machining of the Future, Journal of Materials Processing Technology. Vol 101, pp. 287-291, 2000. 3. Rochim Taufiq, Klasifikasi Proses, Gaya dan Daya Pemesinan, Buku 1, Penerbit ITB, Bandung, 2007. 4. Rochim Taufiq, Teori dan Teknologi Proses Pemesinan, HEDS, Jakarta, 1993. 5. Destifani Jim, Cutting Tools 101 Geometries, Manufacturing Engineering Magazines, November 2002. 6. Smallman, R.E., Metalurgie Fisik Modern, Gramedia Pustaka Utama, 1991. 7. Molinari, M. Nouari, Modeling of Tool Wear by Diffusion in Metal Cutting, Wear, vol. 252, pp 135-149, 2002. 8. Grzesik, W. and Nieslony, P., A computational approach to evaluate temperature and heat partition in machining with multilayer coated tools, International Journal of Machine Tools and Manufacture, Vol. 43, 2003. 9. Sokovic, M., Mijanovic, K., Ecological aspects of the cutting fluids and its influence on quantifiable parameters of the cutting processes, Journal of Materials Processing Technology, 109(1-2), 2001. 10. Klocke, F., Eisenblätter, G., Machinability investigation of the drilling process using minimal cooling lubrication techniques, Annals of CIRP, 46(1), 1997. 11. C.H. Che Haron, B. M. Deros, A. Ginting and Fauziah Mat, Investigation of the Influence of Machining Parameters when Machining Tools Steel Using EDM, Journal of Material Processing Technology, 116. 12. Chapra C. Steven, Canale P. Raymond, Numerical Methods for Engineers, 3rd Ed, McGraw-Hill Co. Singapore, 1998. 13. Dergibson Siagian, Sugiarto, Metode Statika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. 14. Montgomery Douglas C, Applied Statstics and Probality for Engineers, 3rd Ed, John Wiley and Sons Inc. Singapore, 2003.
46
15. Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Edisi III, Penerbit Tarsito, Bandung, 1996.
47