PENGARUH KATALIS PADA PROSES KARBONISASI HIDROTERMAL PATI SINGKONG
FENDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Katalis Pada Proses Karbonisasi Hidrotermal Pati Singkong adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2011
Fendi NRP G751090051
ABSTRACT FENDI. Effect Of Catalyst On Cassava Starch Hydrothermal Carbonization Process. Under direction of AKHIRUDDIN and AGUS KARTONO. Carbon materials have been synthesized from cassava starch through the process of hydrothermal carbonization (HTC) with the aid of ferrocene catalyst. Cassava starch material is sealed in an autoclave type Thermostat Model 25X AllAmerican Pressure Sterilizer for 24 hours at 120 oC with a pressure of 15 psi, and then characterized to determine the structure, surface morphology, electrical properties and dielectric properties. The addition of a catalyst affect the rate of material crystallinity and the formation of tubular structures. HTC materials are synthesized semiconductor characterized by the response to light and the sample conductivity. Materials synthesis hydrothermal carbonization can also be applied as a function of the electrode. Keywords: hydrothermal carbonization, cassava starch, ferrocene, electrical properties, dielectric properties, electrode.
RINGKASAN
FENDI. Pengaruh Katalis Pada Proses Karbonisasi Hidrotermal Pati Singkong. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN dan AGUS KARTONO. Sintesis bahan karbon fungsional seperti karbon nanotube dan fullerenes, saat ini menjadi topik hangat karena potensinya yang penting dalam penyimpanan gas, katalis, dan fuel cell dimana secara tradisional bahan-bahan fungsional berbasis karbon dihasilkan dari bahan awal bahan bakar fosil. Disisi lain, konsumsi energi meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk sehingga diperlukan sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis seperti biomassa. Salah satu bahan biomassa yaitu singkong merupakan tanaman yang mengandung pati dan merupakan tanaman dapat tumbuh disemua propinsi di Indonesia namun belum menjadi perhatian serius untuk menjadi produk yang bernilai tinggi. Oleh karena itu dalam penelitian ini memanfaatkan bahan pati singkong yang diharapkan menjadi bahan produk untuk berbagai aplikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh katalis pada proses karbonisasi hidrotermal pati singkong. Bahan karbon disintesis melalui metode hidrotermal pada suhu 120 oC dan tekanan 15 psi selama 24 jam. Selanjutnya dikeringkan dalam furnace, membuat bubuk dan pelet karbon. Proses hidrotermal dilakukan dengan tanpa katalis, dan dengan memvariasikan penggunaan jumlah katalis. Katalis yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk ferrocene dengan massa yang digunakan antara lain 0,8 gram, 1,6 gram dan 2,4 gram. Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan X-Ray Difraksi (XRD), Scaning Electron Microscopy (SEM), I-V meter, HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER, dan Particle Size Analizer (PSA). Pengaruh penggunaan katalis ditunjukkan oleh hasil karakterisasi XRD karbonisasi hidrotermal pati singkong yang menunjukkan karbon dengan sudut difraksi 2θ = 25,5450o (tanpa katalis), sudut 2θ = 26,4236o (massa katalis 0,8 gram), sudut 2θ = 25,9643o (massa katalis 0,6 gram) dan sudut 2θ = 25,6149o (massa katalis 2,4 gram). Hasil yang diperoleh juga menunjukkan tingkat kristalinitas yang berbeda pada setiap penggunaan katalis yakni 30,01% (tanpa katalis), 40,23% (massa katalis 0,8 gram), 42,56% (massa katalis 0,6 gram), dan 23,94% (massa katalis 2,4 gram). Karakterisasi dengan SEM juga menunjukkan morfologi permukaan yang berbeda pada penggunaan katalis dengan jumlah yang berbeda, dimana diameter partikel berada dalam rentang nanometer. Pengamatan dengan I-V meter juga menunjukkan adanya respon cahaya dari masing-masing karbon hasil karbonisasi hidrotermal. Respon cahaya yang paling signifikan ditunjukkan oleh sampel karbon yang menggunakan katalis yang paling banyak (sampel C261). Hasil pengukuran nilai konduktivitas karbon berkisar dalam rentang nilai konduktivitas material semikonduktor. Pengukuran sampel karbon terhadap suhu juga menunjukkan respon karbon terhadap suhu yang ditandai dengan perubahan nilai konduktivitasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa karbon yang dihasilkan diduga dapat dimanfaatkan sebagai bahan sensor suhu. Karakterisasi terhadap sifat dielektrik menunjukkan adanya ketergantungan kapasitansi dan konstanta dielektrik terhadap frekuensi dan suhu
pada setiap sampel dengan penggunaan katalis yang berbeda. Nilai kapasitansi dalam hal ini kemampuan menyimpan muatan cenderung mengalami penurunan pada frekuensi yang lebih tinggi dan kapasitansi mengalami peningkatan pada suhu yang lebih tinggi. Sedangkan ketergantungan konstanta dielektrik terhadap frekuensi dan suhu menunjukkan pola yang sama dengan kapasitansi yang diakibatkan oleh hubungan yang linier antara kapasitansi dengan konstanta dielektrik. Analisis terhadap ukuran partikel dilakukan dengan menggunakan PSA (Particle Size Analizer) dimana hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karbon mempunyai ukuran partikel dalam skala nanometer. Hal ini sangat penting untuk aplikasi material dalam teknologi yang berbasis nanomaterial. Berdasarkan pengujian tegangan terhadap waktu pada karbon hasil karbonisasi hidrotermal yang dihubungkan dengan elektrolit menunjukkan bahwa karbon yang dihasilkan dapat diaplikasikan sebagai fungsi elektroda.
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengukitipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGARUH KATALIS PADA PROSES KARBONISASI HIDROTERMAL PATI SINGKONG
FENDI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biofisika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Irmansyah, M.Si
Judul Tesis Nama NRP
: Pengaruh Katalis Pada Proses Karbonisasi Hidrotermal Pati Singkong : Fendi : G751090051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Akhiruddin,S.Si,M.Si Ketua
Dr. Agus Kartono,S.Si,M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biofisika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Agus Kartono, S.Si, M.Si
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 1 Agustus 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul penelitian adalah pengaruh katalis pada proses karbonisasi hidrotermal pati singkong. Penelitian ini menggunakan bahan biomasa berupa pati singkong. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 hingga Juni 2011 di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, Laboratorium Terpadu Puslitbang Hasil Hutan Bogor, BATAN Serpong dan Nanotech Indonesia Balai Inkubator Teknologi BPPT Serpong. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Akhiruddin, S.Si,M.Si dan Bapak Dr. Agus Kartono, S.Si,M.Si selaku pembimbing. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Irmansyah, M.Si sebagai penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis. Disamping itu, penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Dr.Ir. Irzaman, M.Si selaku Ketua Departemen Fisika Fakultas MIPA beserta staf yang telah banyak memberikan saran dan motivasi, Kepala Lab.Terpadu Puslitbang Hasil Hutan Bogor beserta staf terkhusus Bapak Saptadi Darmawan, M.Si, Bapak Didik dan Dadang. Bapak Direktur PT BIN BATAN Serpong beserta staf dan secara khusus Bapak Drs. Sulistyoso, MT atas segala bantuannya. Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Koordinator Kopertis Wilayah IX atas rekomendasi usulan beasiswa BPPS dan kepada Dirjen DIKTI atas bantuan berupa beasiswa BPPS kepada penulis. Ucapan terima kasih teristimewa kepada ayahanda La Ode Ndohoti (alm) dan ibunda Wa Ode Taima, serta saudara-saudara penulis atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman mahasiswa Mayor Biofisika Sekolah Pascasarjana IPB khususnya angkatan tahun 2009 dan temanteman Sekolah Pascasarjana IPB seperantauan dari Sulawesi Tenggara serta semua pihak yang telah memberikan bantuannya baik secara langsung maupun tidak langsung selama penelitian hingga selesainnya tesis ini. Penulis menyadari adanya kelemahan dan keterbatasan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu, penulis terbuka menerima saran dan kritik dari pihak lain yang sifatnya membangun demi perbaikan pada masa-masa mendatang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011
Fendi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Masalili/Muna Sulawesi Tenggara pada tanggal 6 April 1982 dari ayah La Ode Ndohoti dan ibu Wa Ode Taima. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Tahun Ajaran 1998/1999 penulis menjadi siswa SMU Negeri 2 Raha Sulawesi Tenggara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Raha dan pada tahun yang sama masuk UNHALU pada Jurusan Fisika Fakultas MIPA melalui program PPMP (Bebas Tes) dan lulus pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Dasar dan Elektronika. Penulis juga aktif dilembaga kemahasiswaan (Sekretaris Umum HMJ Fisika, Ketua Fraksi MIPA Majelis Permusyawatan Mahasiswa (MPM) UNHALU). Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai dosen STIP Wuna Raha unit dari KOPERTIS Wilayah IX di Makassar Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009 penulis diterima di Mayor Biofisika Departemen Fisika Sekolah Pascasarjana IPB dan mendapat bantuan belajar melalui program beasiswa BPPS yang diselenggarakan oleh Dirjen Dikti, lulus tahun 2011.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR
..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN
................................................................................ xv
......................................................................................... 1
Latar Belakang ...................................................................................... 1 Perumusan masalah .............................................................................. 3 Tujuan Penelitian
.................................................................................3
Manfaat Penelitian ................................................................................4 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA Karbon .................................................................................................. 5 Pati........................................................................................................... 6 Amilosa..................................................................................... 7 Amilopektin.............................................................................. 8 Glikogen................................................................................... 9 Katalis..................................................................................................... 9 Hidrotermal............................................................................................. 13 Sintesis Hidrotermal Bahan Karbon....................................................... 14 Sifat Listrik............................................................................................. 16 Kapasitor dan Bahan Dielektrik.............................................................. 18 Struktur Kristal........................................................................................ 22 Produk Elektroda.................................................................................... 22 Karakterisasi Material Nanostruktur...................................................... 23 Scanning Elektron Microscopy (SEM)..................................... 23 Difraksi Sinar-X (XRD)............................................................ 26 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 31 Alat dan Bahan .................................................................................... 31 Sampel.................................................................................................... 31
Tahapan Penelitian . ............................................................................... 32 Persiapan Reaktor.................................................................................... 33 Pencampuran bahan dengan magnetic stirrer......................................... 34 Karbonisasi Hidrotermal......................................................................... 35 Karakterisasi Hasil Karbonisasi Hidrotermal.......................................... 37 Uji Elektroda Karbon.............................................................................. 38 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)........................ 39 Morfologi Karbon.................................................................................. 40 Sifat Listrik............................................................................................ 43 Sifat Dielektrik....................................................................................... 49 Distribusi dan Ukuran Partikel............................................................... 53 Pengujian Elektroda Karbon................................................................... 53 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 59 LAMPIRAN .................................................................................................... 61
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Ukuran Kristal Sampel C23, C241, C251, dan C261 ...................................
40
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6
7
8
9
10 11
12
13
14 15 16
Tiga allotrop karbon....................................................................... Pati................................................................................................. Amilosa.......................................................................................... Amilopektin................................................................................... Isomaltosa; 6-O-(α-D-glukopiranosil)-D glukopiranosa............... Setiap reaksi katalis merupakan siklus tahap dasar di mana mengikat molekul reaktan ke katalis, bereaksi, dan setelah produk terlepas dari katalis keduanya bebas untuk siklus berikutnya...................................................................................... Diagram energi potensial dari reaksi katalis heterogen, dengan gas reaktan dan produk serta katalis padat. Reaksi tanpa katalis harus mengatasi hambatan energi besar, sedangkan hambatan di jalur katalis jauh lebih rendah........................................................ Teknik karakterisasi katalis: lingkaran merupakan sampel yang diteliti, tanda panah menunjukkan proses eksitasi, dan panah keluar menunjukkan bagaimana informasi harus diekstrak......................................................................................... Skema ilustrasi sintesis bahan karbon fungsional dari biomassa dan karbohidrat melalui proses karbonisasi hidrotermal (HTC). Bahan karbon fungsional dapat disintesis secara langsung atau dibantu katalis/template................................................................. Karbonisasi Hidrotermal................................................................ Suatu kapasitor terdiri dari dua keping konduktor sejajar yang terpisah. Ketika konduktor-konduktor dihubungkan pada ujungujung suatu baterai, baterai memindahkan muatan dari satu konduktor ke konduktor lainnya sampai perbedaan potensial antara ujung-ujung konduktor sama dengan perbedaan potensial antara ujung-ujung baterai. Jumlah muatan yang dipindahkan sebanding dengan perbedaan potensial.......................................... (a) Garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar yang terpisah pada jarak yang sama menunjukkan bahwa medan listrik bersifat seragam. (b) garisgaris medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar ditunjukkan oleh semburan minyak.................................... Dalam SEM berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan material. Elektron pantulan dan elektron sekunder dipancarkaan kembali dengan sudut yang bergantung pada profil permukaan material........................................................................ Difraksi Sinar-X oleh kristal.......................................................... Pola difraksi sinar-X pada kristal seng sulfida. Pola difraksi dideteksi langsung pada pelat potografis....................................... Difraksi sinar-X dari zat polikristalin menghasilkan serangkaian lingkaran yang merupakan pola untuk polikristalin natrium asetat..............................................................................................
Halaman 6 7 7 8 9
10
10
13
14 15
19
20
24 26 27
27
17
18
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
(a) satu partikel mengandung sejumlah kristalin dan (b) satu partikel hanya mengandung satu kristalin (kristal tunggal).......................................................................................... Makin lebar puncak difraksi sinar-X makin kecil ukuran kristalin. Ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi pada gambar bawah lebih kecil daripada ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi............................................................ Diagram alir tahapan penelitian..................................................... Set Up proses sintesis hidrotermal................................................. Bubuk Karbon : sampel C23 (a), sampel C241 (b), sampel C251 (c), sampel C261 (d)............................................................................... Pembuatan pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261.................... Pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261...................................... Pengukuran I-V sampel pada kondisi terang................................. Proses pengujian elektroda karbon............................................... Pola difraksi pada karbonisasi hidrotermal pati singkong............. Morfologi permukaan sampel C23. Perbesaran 60.000 kali.......... Morfologi permukaan sampel C241. Perbesaran 60.000 kali.......... Morfologi permukaan sampel C251. Perbesaran 60.000 kali.......... Morfologi permukaan sampel C261. Perbesaran 60.000 kali.......... Karakteristik arus-tegangan sampel C23, C241, C251, C261. Kondisi gelap............................................................................................... Karakteristik arus-tegangan sampel C23........................................ Karakteristik arus-tegangan sampel C241....................................... Karakteristik arus-tegangan sampel C251....................................... Karakteristik arus-tegangan sampel C261....................................... Karakteristik konduktivitas terhadap frekuensi............................. Karakteristik konduktivitas terhadap suhu..................................... Karakteristik konduktivitas terhadap jumlah katalis...................... Karakteristik konduktivitas terhadap suhu..................................... Karakteristik kapasitansi terhadap frekuensi................................. Karakteristik kapasitansi terhadap suhu......................................... Karakteristik konstanta dielektrik terhadap frekuensi (a).............. Karakteristik konstanta dielektrik terhadap suhu (b)..................... Hubungan tegangan (mV) terhadap waktu (jam)...........................
28
29 33 34 36 36 36 37 38 39 41 41 42 42 43 44 44 45 45 46 47 48 48 49 50 51 52 54
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peralatan yang digunakan dalam penelitian .............................................
63
2 Data kristalinitas sampel.............................................................................
65
3 Data ICDD...................................................................................................
71
4 Hasil pengukuran paricle size analizer (PSA)............................................
73
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sintesis bahan karbon fungsional seperti karbon nanotube dan fullerenes, saat ini menjadi topik hangat karena potensinya yang penting dalam penyimpanan gas, katalis, dan fuel cell. Secara tradisional bahan-bahan fungsional berbasis karbon dihasilkan dari bahan awal bahan bakar fosil, namun biomassa dapat memberikan alternatif yang murah, terbarukan dan 'hijau' di masa depan. Dengan demikian, penggunaan biomassa sebagai bahan awal untuk sintesis bahan fungsional berbasis karbon sedang diselidiki (Hu 2008). Beberapa penelitian tentang sintesis karbon menggunakan bahan berupa etil alkohol, polyethylene glycol (PEG), metanol, hidrokarbon benzenene dan sumber biomasa seperti limbah pertanian & karbohidrat. Pemenuhan konsumsi energi dapat dipenuhi melalui energi komersial antara lain dalam bentuk bahan bakar minyak, gas, listrik, briket batubara dan energi tradisional yang belum memanfaatkan teknologi antara lain dalam bentuk panas matahari dan biomassa. Disisi lain, konsumsi energi meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik contohnya panas bumi, tenaga air, angin, biomassa, biogas dan gelombang. Biomassa merupakan keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah (Sutaryo 2009). Salah satu bahan biomassa seperti singkong merupakan tanaman yang dapat tumbuh disemua propinsi di Indonesia karena tanaman ini mempunyai daya adaptasi lingkungan yang sangat luas. Disamping itu, Indonesia merupakan produsen singkong terbesar dunia selain Brazil, Thailand, India, Peru dan Kolumbia. Berdasarkan proporsi produksi terhadap produksi nasional terdapat 10 propinsi utama penghasil singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung,
2
Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Sumatera Utara yang menyumbang sebesar 89,47% dari produksi nasional sedangkan propinsi yang lain sekitar 11-12%. Sampai saat ini pemanfaatan singkong di Indonesia masih sangat terbatas. Pemanfaatan singkong sebagian besar diolah menjadi produk setengah jadi berupa pati (tapioka), tepung singkong, dan gaplek. Padahal, kandungan pati dari singkong yang tinggi merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Thailand adalah salah satu contoh negara yang telah berhasil mengembangkan teknologi pengolahan pati singkong menjadi berbagai produk turunannya yang bernilai tinggi untuk pangan, pakan dan industri (Anonim 2010). Dengan
potensi
singkong
tersebut
maka
memungkinkan
untuk
dikembangkan sebagai bahan alternatif untuk sintesis karbon dalam aspek biomassa karena nilai yang rendah, jumlah besar, regenerasi yang cepat, akses mudah dan ramah lingkungan, memiliki kualifikasi sebagai bahan awal yang menjanjikan untuk sintesis bahan-bahan karbon fungsional. Sintesis karbon telah dilakukan dengan beberapa metode antara lain arc discharge, laser ablation, chemical vapor deposition (CVD) dan hidrotermal. Dalam penelitian ini menggunakan metode hidrotermal untuk mensintesis karbon. Metode ini dipilih karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode sintesis lainnya yaitu lebih ramah lingkungan, dan selain mengurangi biaya keseluruhan dari proses sintesis, reaksi suhu rendah juga menghindari masalah yang umumnya dihadapi dengan teknologi suhu tinggi seperti kontrol stoikiometri buruk akibat penguapan komponen, adanya penyebab cacat termal, pembentukan fase dan transformasi fasa yang tidak diinginkan (Suchanek 2003). Dalam retrospeksi proses hydrothermal carbonization (HTC), sebuah jalur ramah lingkungan yang menggunakan air sebagai pelarut dan hasil reaksi dalam wadah tertutup di bawah suhu terkendali antara 100 oC dan 200 oC telah berkembang sepanjang sejarah. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang karbon dengan metode hidotermal antara lain: Matsui, Kyotani, dan Tomita (2002); Wenzhong, Huang, Wang, dan Ren (2004); Titirici, Thomas, dan Antonietti (2007); Liang dan Yang (2009); dan pada tahun 1913, Bergius merupakan orang pertama yang menggambarkan transformasi hidrotermal
3
selulosa menjadi bahan seperti karbon dan fokus karya awal utamanya pada persiapan biofuel dari biomassa (Baccile 2008). Saat ini, proses HTC telah digunakan untuk sintesis karbon berbentuk bola seragam yang menggunakan gula atau glukosa sebagai prekursor dalam suhu rendah (≤ 200 oC) (Hu 2008). Katalis mempunyai peranan penting dan merupakan partikel berukuran kecil (~10-9 meter, atau nanometer). Sifat permukaannya yang unik dapat meningkatkan reaksi kimia yang penting ke arah produk yang bermanfaat. Dalam setiap jenis proses katalis, katalis tersebar pada bahan dengan luas permukaan yang tinggi, yang dikenal sebagai katalis pendukung. Dukungan ini memberikan kekuatan mekanik melalui katalis disamping meningkatkan permukaan katalis spesifik dan meningkatkan laju reaksi (Talapatra 2011). Selanjutnya, berbagai bahan karbon fungsional dari biomassa melalui proses HTC disintesis dengan prospek yang menjanjikan dalam berbagai aplikasi (Hu 2008) Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini memfokuskan pengaruh katalis pada karbonisasi hidrotermal yang menggunakan bahan pati singkong.
Perumusan Masalah Beberapa penelitian mengenai sintesis nanomaterial karbon memanfaatkan sumber non biomassa seperti polyethylene (PE) atau ethylene glycol (EG) dengan menggunakan katalis Ni, Co, dan Fe untuk mendapatkan material karbon seperti carbon nanotube. Dalam penelitian ini difokuskan pada karbonisasi hidrotermal dari biomasa berupa pati singkong dengan menggunakan katalis ferrocene. Selain itu, menganalisis struktur, morfologi, sifat listrik, sifat dielektrik, dan ukuran partikel dari material hasil karbonisasi hidrotermal serta menguji karbon sebagai fungsi elektroda.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh katalis dari karbonisasi hidrotermal material biomasa seperti pada pati singkong. Hasil sintesis selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui struktur dan kristalinitas dengan menggunakan Difraksi Sinar-X dan ukuran morfologinya melalui foto Scanning
4
Electron Microscopy (SEM). Selain itu, karakterisasi juga dilakukan untuk mengetahui sifat listrik, sifat dielektrik, dan ukuran partikel dari material hasil karbonisasi hidrotermal tersebut. Dengan mengetahui hasil karakterisasi tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang antara lain mencakup elektronika, material komposit, dan sensor.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan metode karbonisasi hidrotermal, dan karakterisasinya. Selain itu, dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam mensintesis nanomaterial dari bahan biomassa untuk dapat diaplikasikan diberbagai bidang antara lain di bidang energi sebagai kapasitor, dan material elektroda pada fuel cell, serta diharapkan dapat diaplikasikan di bidang sensor.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi karbonisasi hidrotermal dari pati singkong; karakterisasi strruktur, morfologi, sifat listrik, sifat dielektrik dan ukuran partikel; serta aplikasi karbon hasil karbonisasi hidrotermal sebagai fungsi elektroda.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Karbon Karbon merupakan unsur yang paling serbaguna dalam tabel periodik, berkat jenis, kekuatan, dan jumlah ikatan dapat terbentuk dengan unsur-unsur yang berbeda. Keragaman ikatan dan geometri yang berhubungan memungkinkan adanya struktur isomer, isomer geometrik, dan enansiomer. Sifat-sifat karbon akibat langsung dari susunan elektron di sekitar inti atom. Ada enam elektron valensi dalam sebuah atom karbon, dibagi secara merata antara orbital 1s, 2s, dan 2p. Karena orbital atom 2p dapat menyimpan hingga enam elektron, karbon dapat membuat hingga empat ikatan. Namun, elektron valensi yang terlibat dalam ikatan kimia menempati orbital 2s dan 2p (O’Connell 2006). Ikatan kovalen dibentuk oleh promosi elektron 2s untuk satu atau lebih orbital 2p dimana orbital hibrida yang dihasilkan adalah jumlah dari orbital asli. Tergantung pada seberapa orbital p yang terlibat, hal ini dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda. Pada tipe pertama, persilangan pasangan orbital 2s dengan salah satu orbital 2p yang membentuk dua orbital hibrida sp1 dalam geometri linier dipisahkan oleh sudut 180˚. Jenis kedua melibatkan hibridisasi orbital 2s dengan hibridisasi dua orbital 2p. Sebagai akibatnya, tiga orbital sp2 terbentuk. Ini berada di bidang yang sama dipisahkan dengan sudut 120˚. Dalam hibridisasi ketiga, salah satu orbital 2s disilangkan dengan tiga orbital 2p, menghasilkan empat orbital sp3 dipisahkan dengan sudut 109,5˚. Hibridisasi sp3 menghasilkan pengaturan tetrahedral karakteristik ikatan. Ketiga kasus tersebut, energi yang diperlukan untuk hibridisasi orbital atom diberikan melalui energi bebas membentuk ikatan kimia dengan atom lain (O’Connell 2006). Karbon dalam fasa padat dapat hadir dalam tiga bentuk allotrop: grafit, berlian, dan Buckminsterfullerene (gambar 1). Berlian memiliki struktur kristal di mana setiap atom karbon hibridisasi sp3 terikat pada empat yang lain dalam susunan tetrahedral.
6
Gambar 1 Tiga allotrop karbon.
Jaringan kristal memberikan kekerasan berlian (substansi yang paling sulit diketahui) dan sifat konduksi panas yang sangat baik (sekitar lima kali lebih baik dari tembaga). Grafit terbuat dari lembaran planar berlapis karbon terhibridisasi sp2 atom terikat bersama-sama dalam jaringan heksagonal. Geometri yang berbeda dari ikatan kimia membuat grafit lembut, licin, buram, dan konduktif listrik. Berbeda dengan berlian, setiap atom karbon dalam lembaran grafit hanya terikat pada tiga atom lainnya. Buckminsterfullerenes, atau fullerenes adalah allotrop karbon ketiga dan terdiri dari golongan molekul bulat atau silinder dengan semua atom karbon terhibridisasi sp2 (O’Connell 2006).
Pati Pati merupakan polisakarida paling melimpah kedua setelah selulosa. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, molekul polisakarida terdiri dari banyak satuan monosakarida. Jika satuan monosakarida itu gula pentosa, C5H12O5, maka polisakarida itu dikelompokkan sebagai pentosan, (C5H8O4)x. Jika satuan monosakaridanya adalah suatu gula heksosa, C6H12O6, polisakarida itu dikelompokkan sebagai heksosan, (C6H10O5)x. Polisakarida jenis heksosan, (C6H10O5)x yang paling melimpah adalah heksosan yang satuan heksosannya adalah glukosa. Pati dan selulosa termasuk dalam kelompok ini. Cara satuansatuan glukosa dihubung-hubungkan dalam molekul pati (Gambar 2).
7
Gambar 2 Pati (Keenan 1992) Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila dibubur (triturasi) dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut).
Amilosa Hidrolisis lengkap amilosa menghasilkan hanya D-glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltosa sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara 1,4’. Beda antara amilosa dan selulosa ialah ikatan glikosidanya: β dalam selulosa dan α dalam amilosa. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini.
Gambar 3 Amilosa
8
Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa. Pengukuran panjang rantai dikacaukan oleh fakta bahwa amilosa alamiah terdegradasi menjadi rantai yang lebih kecil selama pemisahan dan pemuaian. Molekul amilosa membentuk spiral di sekitar molekul I2; timbul warna biru tua dari intaraksi antara keduanya. Warna ini merupakan dasar uji iod untuk pati, dimana suatu larutan iod ditambahkan ke suatu contoh yang tidak diketahui untuk menguji hadirnya pati.
Amilopektin Suatu polisakarida yang jauh lebih besar dari pada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai utama dari amilopektin mengandung 1,4’-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung untuk kira-kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6’-α-glikosida.
Gambar 4 Amilopektin
Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Namun hidrolisis tak lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltosa dan isomaltosa,
yang
kedua
ini
berasal
dari
percabangan-1,6’.
Campuran
oligosakarida yang diperoleh dari hidrolisis parsial amilopektin, yang biasa dirujuk sebagai dekstrin, digunakan untuk membuat lem, pasta dan kanji tekstil.
9
Gambar 5 Isomaltosa; 6-O-(α-D-glukopiranosil)-D-glukopiranosa
Glikogen Dari segi struktur, glikogen mirip amilopektin. Glikogen mengandung rantai glukosa yang terikat -1-4’-α dengan percabangan-percabangan (1,6’-α). Beda antara glikogen dan amilopektin ialah bahwa glikogen lebih bercabang daripada amilopektin (Fessenden 1982).
Katalis Sebuah katalis mempercepat reaksi kimia dengan membentuk reaksi ikatan dengan molekul, dan dengan membiarkan ini untuk bereaksi terhadap suatu produk yang terlepas dari katalis, dan sedemikian rupa sehingga tersedia untuk reaksi berikutnya. Bahkan dapat digambarkan reaksi katalis sebagai peristiwa siklik dimana katalis berpartisipasi dan kembali dalam bentuk aslinya pada akhir siklus. Berikut reaksi katalis antara dua molekul A dan B untuk menghasilkan produk P (Gambar 6). Siklus ini dimulai dengan ikatan molekul A dan B pada katalis. A dan B kemudian bereaksi di dalam kompleks ini untuk menghasilkan produk P yang juga terikat pada katalis. Pada tahap terakhir, P terpisah dari katalis sehingga meninggalkan siklus reaksi di daerah asalnya.
10
Gambar 6 Setiap reaksi katalis merupakan siklus tahap dasar, di mana mengikat molekul reaktan ke katalis, bereaksi, dan setelah produk terlepas dari katalis keduanya bebas untuk siklus berikutnya. Untuk melihat bagaimana katalis mempercepat reaksi, perlu dilihat diagram energi potensial pada Gambar 7 yang membandingkan reaksi non-katalis dan reaksi katalis. Untuk reaksi non-katalis, jumlah tersebut adalah mekanisme yang umum untuk memvisualisasikan persamaan Arrhenius: hasil reaksi ketika A dan B bertumbukan dengan energi yang cukup untuk mengatasi hambatan aktivasi pada gambar 7. Perubahan energi bebas Gibbs antara reaktan A + B dan produk P adalan ∆G. Reaksi katalis dimulai dengan ikatan reaktan A dan B pada katalis dalam reaksi spontan. Oleh karena itu, pembentukan kompleks ini adalah eksotermik, dan energi bebas diturunkan. Selanjutnya mengikuti reaksi antara A dan B, sementara keduanya terikat pada katalis. Tahap ini terkait dengan energi aktivasi, namun secara signifikan lebih rendah daripada untuk reaksi tanpa katalis. Akhirnya, produk P terpisah dari katalis pada tahap endotermik.
Gambar 7 Diagram energi potensial dari reaksi katalis heterogen, dengan gas reaktan dan produk serta katalis padat. Reaksi tanpa katalis harus mengatasi hambatan energi besar, sedangkan hambatan di jalur katalis jauh lebih rendah.
11
Diagram energi Gambar 7 menggambarkan beberapa poin penting: Katalis menawarkan jalan alternatif untuk reaksi yang lebih kompleks, sangat aktif tapi jauh lebih menguntungkan. Energi aktivasi reaksi katalis secara signifikan lebih kecil daripada reaksi tanpa katalis, sehingga laju reaksi katalis lebih jauh. Perubahan energi bebas secara keseluruhan untuk reaksi katalis sama dengan reaksi tanpa katalis. Oleh karena itu, katalis tidak mempengaruhi tetapan kesetimbangan untuk reaksi keseluruhan A + B ke P. Katalis mempercepat reaksi baik maju dan sebaliknya pada tingkat yang sama. Dengan kata lain, jika katalis mempercepat pembentukan produk P dari A dan B, maka hal yang sama terjadi untuk dekomposisi P menjadi A dan B. (Chorkendorff 2003). Beberapa bahan yang digunakan dalam penyusunan katalis industri terbagi dalam tiga unsur utama: agen katalis aktif, pendukung dan promotor. Agen katalis aktif merupakan konstituen yang terutama bertanggung jawab untuk fungsi katalitis termasuk logam, semikonduktor dan isolator. Jenis konduktivitas listrik (terutama untuk kenyamanan) mengklasifikasikan komponen aktif. Baik konduktivitas listrik dan sifat katalis tergantung pada konfigurasi elektronik atom, meskipun tidak saling berhubungan. Pendukung atau pembawa adalah bahan yang sering digunakan sebagai pendukung katalis padat berpori dengan area permukaan keseluruhan (eksternal dan internal) menyediakan luas permukaan yang tinggi untuk komponen aktif. Pendukung juga memberikan bentuk dan kekuatan mekanis untuk katalis dan dalam beberapa kasus hal itu mempengaruhi aktivitas katalis. Promotor merupakan penambahan senyawa untuk meningkatkan fungsi fisika atau kimia katalis. Meskipun promotor ditambahkan dalam jumlah yang relatif kecil seringkali dipilih untuk menentukan sifat katalis. Promotor mungkin dimasukkan ke dalam katalis selama setiap tahapan dalam pengolahan kimia unsur katalis. Dalam beberapa kasus, promotor ditambahkan selama reaksi. Sebagian besar katalis lain, bahan aktif adalah komponen kecil yang diletakkan di atas penyangga berpori yang lebih atau kurang inert. Penyangga
12
secara luas digunakan termasuk alumina, silica gel, karbon aktif, zeolit, silikon karbida, titania, magnesia, dan berbagai silikat. Kebanyakan katalis, dimana logam merupakan komponen aktif yang didukung katalis karena persyaratan utamanya adalah penggunaan area permukaan logam besar. Contoh katalis pendukung adalah karbon aktif didukung Pt dan Pd, dan Ni dalam alumina. Katalis industri diproduksi melalui beberapa metode yang melibatkan satu atau lebih tahapan proses seperti pengendapan, pencucian, proses mengapur, peresapan, pencucian, dan pembentukan fusi termal. Rangka katalis terdiri dari kerangka logam yang tersisa setelah dikurangi komponen campuran logam mulia setelah dihilangkan melalui penyucian dengan basa atau asam. Kerangka logam secara eksklusif masuk ke grup IB dan VIIB dari tabel periodik (Fe, Co, Ni, Cu, dan Ag), sedangkan Al, Zn, Si, dan Mg adalah komponen campuran logam paling sering digunakan. Campuran logam disusun oleh fusi komponen dalam proporsi yang tepat. Raney mempeloporkan pengembangan rangka katalis. Katalis Ni dan Co digunakan secara luas, yang sangat aktif untuk reaksi hidrogenasi. Katalis dibuat dari campuran logam nikelaluminium dengan pencucian hampir semua aluminium dengan larutan asam kuat memisahkan katalis nikel berpori. Pelucutan campuran logam 50-50 dengan 2030% larutan natrium hidroksida memberikan katalis Ni yang sangat aktif yang mengandung 90-97% Ni, 4 - 8% logam Al, 0,3 - 0,5% aluminium oksida, dan 12% hidrogen terlarut dalam kerangka (Wijngaarden 1998). Dalam industri, penekanan utama pada pengembangan sebuah katalis aktif, selektif, stabil dan kuat secara mekanis. Untuk mencapai hal ini, dibutuhkan alat yang mengidentifikasi sifat struktural yang efisien membedakan dari katalis yang kurang efisien. Hubungan empiris antara faktor-faktor yang mengatur komposisi katalis (misalnya ukuran partikel dan bentuk, dan dimensi pori) dan ini menentukan kinerja katalis yang sangat berguna dalam pengembangan katalis, walaupun tidak selalu memberikan wawasan mendasar tentang bagaimana katalis beroperasi pada tingkat molekuler . Beberapa spektroskopi, teknik mikroskopis dan difraksi digunakan untuk menyelidiki katalis. Seperti diilustrasikan Gambar 8, teknik ini didasarkan pada
13
beberapa jenis eksitasi (dalam anak panah pada Gambar 8) dimana respon katalis (dilambangkan dengan panah keluar). Misalnya, penyinaran katalis dengan foton sinar-X menghasilkan foto elektron, pada spektroskopi foto elektron sinar-X (XPS) merupakan salah satu alat karakterisasi yang paling berguna.
Gambar 8 Teknik karakterisasi katalis: lingkaran merupakan sampel yang diteliti, tanda panah menunjukkan proses eksitasi, dan panah keluar menunjukkan bagaimana informasi harus diekstrak (Chorkendorff 2003). Hidrotermal Rogers (1966) menyatakan bahwa hidrotermal adalah proses yang melibatkan air panas atau cairan panas lainnya yang mudah menguap karena adanya hubungan dengan sebuah sumber panas. Endapan hidrotermal adalah endapan yang terbentuk karena pengendapan mineral-mineral dari air panas atau cairan-cairan lainnya secara komparatif (Suparman 2010). Penggunaan
metode
hidrotermal
antara
lain:
Bergius
(1913)
mentransformasi hidrotermal selulosa menjadi karbon, Berl & Schmidt (1932) menggunakan sumber biomassa dan suhu bervariasi, Schuhmacher
(1960)
menganalisis pengaruh pH pada hasil HTC; Antonietti, Sun, Yu
(2005)
eksperimen hidrotermal suhu rendah pada sintesis karbon sferis (Beccile 2008); Hu (2008) tentang proses karbonisasi hidrotermal (HTC) senyawa biomassa dipanaskan dalam autoclave yang disegel di dalam asam sitrat pada suhu 200 ◦C selama 16 jam.
14
Karbonisasi Hidrotermal Bahan Karbon Proses karbonisasi hidrotermal (HTC) untuk sintesis bahan karbon fungsional dari biomassa telah dipelajari secara intensif. Biasanya, biomassa yang digunakan untuk proses ini meliputi bahan tanaman mentah dan karbohidrat. Bahan tanaman mentah secara langsung diperoleh dari residu pertanian dan kayu, sedangkan karbohidrat biasanya termasuk gula, pati, hemiselulosa, dan selulosa. Eksperimen menggunakan produk tertentu yang mengandung selulosa, hemiselulosa, sampai lignin, dan lebih kecil jumlah polimer polar sebagai bahan awal. Setelah senyawa biomassa dipanaskan dalam autoclave yang disegel dalam asam sitrat pada suhu 200 ◦C selama 16 jam, maka diperoleh dua jenis bahan karbon. Jaringan "Soft" tanaman tanpa diperpanjang suatu rangka kristal selulosa menghasilkan karbon nanopartikel berbentuk bola dengan ukuran yang sangat kecil. Di samping itu, menarik untuk dicatat bahwa permukaan nanopartikel karbon sangat hidrofilik dan mudah didispersikan air karena penguraian bagian komponen lain dalam biomassa.
Gambar 9 Skema ilustrasi sintesis bahan karbon fungsional dari biomassa dan karbohidrat melalui proses karbonisasi hidrotermal (HTC). Bahan karbon fungsional dapat disintesis secara langsung atau dibantu katalis/template. Jaringan "Hard" tanaman dengan struktur rangka kristal selulosa walaupun dapat mempertahankan bentuk luar dan besarnya skala struktur fitur dalam skala
15
makro dan mikro diakibatkan oleh hilangnya massa yang cukup besar. Munculnya perubahan struktur yang signifikan pada skala nanometer menghasilkan spons, mengakibatkan jaringan karbon berikutnya dengan struktur mesopori. Mekanisme karbonisasi hidrotermal dengan menggunakan bahan biomassa ditunjukkan melalui skema berikut:
Gambar 10 Karbonisasi hidrotermal (Beccile 2008).
Penting untuk memperoleh pemahaman tentang mekanisme katalisis dalam proses HTC selama pembentukan bahan karbon dan modifikasi permukaan terkait. Yu et al (2004) melaporkan bahwa karbonisasi hidrotermal pati dapat secara efektif dipercepat dengan adanya ion logam yang juga mengarahkan sintesis terhadap nanoarsitektur berbagai logam-karbon. Selain itu, kehadiran [Fe(NH4)2(SO4)2] efektif dapat mengkatalisis karbonisasi butiran beras mentah dalam proses HTC. Konversi hidrotermal (250-350 °C) dari glukosa diselidiki menggunakan reaktor sejumlah kapiler kuarsa. Kinetika penguraian glukosa secara keseluruhan umumnya ditentukan dan disesuaikan dengan data literatur. Perhatian telah ditujukkan untuk memulai penguraian glukosa dimana produk peluruhan glukosa primer diidentifikasi dari literatur dan digunakan dalam eksperimen. Ditemukan bahwa semua komponen peluruhan utama glukosa, dengan pengecualian formaldehida menghasilkan jenis char (produk tidak larut aseton). Karakteristik reaksi pembentukan gas (terutama CO2) dibahas berdasarkan tes terpisah dengan bagian utama dan produk lain yang dikenal dengan degradasi glukosa awal. Massa lengkap dan sisa unsur diperoleh untuk dua suhu yang berbeda, 300 °C dan 350 °C, dan selang waktu bervariasi dari 10 detik hingga 10 hari. Dua tingkat yang berbeda dari pembentukan produk diamati sebagai fungsi dari selang waktu. Laju tercepat dalam 5-10 menit pertama, dan laju lebih lambat
16
setelah waktu ini. Ditemukan bahwa produk air terjadi terutama di selang waktu 5 menit pertama, yang konstan (3 mol/mol glukosa) dan tidak terpengaruh oleh suhu atau konsentrasi glukosa. Hasil produk minyak disebut air-aseton larut (WSS) menunjukkan hasil maksimum dalam selang waktu kurang lebih 5 menit. Setelah 5 menit berkurang dalam rangka gas dan char, yang dinamakan air-aseton tidak larut (WSIS). Namun, kuantitas tertentu dari WSS stabil bahkan setelah selang waktu 10 hari. Komposisi unsur dari WSS dan WSIS ditemukan sangat mirip menunjukkan bahwa keduanya sebenarnya adalah produk yang sama dimana difraksinasi dengan metode pemisahan sesuai dengan kelarutan dalam aseton. Komposisi gas, WSS, dan WSIS digunakan sebagai dasar untuk estimasi dari entalpi reaksi secara keseluruhan, dengan perhitungan ΔHr = 1,5 ± 0,5 MJ/kg. Ditemukan bahwa konsentrasi glukosa yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak WSIS dan WSS kurang, sedangkan hasil gas dan air tidak berubah. Semua temuan itu dimasukkan ke dalam satu jalur reaksi rekayasa dan model kinetik dekomposisi hidrotermal glukosa (Knezevic 2009).
Sifat Listrik Arus listrik pada kawat didefinisikan sebagai jumlah total muatan yang melewatinya per satuan waktu pada suatu titik. Dengan demikian, arus rata-rata I didefinisikan sebagai: (1) Dimana ΔQ adalah jumlah muatan yang melewati konduktor pada suatu lokasi selama jangka waktu Δt. Arus listrik diukur dalam coulomb per detik dengan nama khusus ampere yang disingkat amp atau A. Untuk menghasilkan arus listrik pada rangkaian dibutuhkan beda potensial. Melalui eksperimen bahwa arus pada kawat logam sebanding dengan beda potensial V yang diberikan yaitu I ∞ V. Sebagai ilustrasi dibandingkan arus listrik dengan aliran air di sungai atau pipa yang dipengaruhi oleh gravitasi. Jika pipa (atau sungai) hampir rata, kecepatan alir akan kecil. Tetapi jika satu ujung lebih tinggi dari yang lainnya, kecepatan aliran atau arus akan lebih besar. Makin besar perbedaan ketinggian,
17
makin besar arus. Demikian pula beda potensial listrik yang lebih besar, atau tegangan menyebabkan aliran arus listrik menjadi lebih besar. Tepatnya besar aliran arus pada kawat tidak hanya bergantung pada tegangan, tetapi juga pada hambatan yang diberikan kawat terhadap aliran elektron. Dinding-dinding pipa, atau tepian sungai dan batu-batu ditengahnya memberikan hambatan terhadap aliran arus. Dengan cara yang sama, elektron-elektron diperlambat karena adanya interaksi dengan atom-atom kawat. Makin tinggi hambatan ini, makin kecil arus untuk suatu tegangan V sehingga arus berbanding terbalik dengan hambatan yaitu: (2) Dimana R adalah hambatan kawat atau suatu alat lainnya, V adalah beda potensial dan I adalah arus yang mengalir. Hubungan di atas sering dituliskan: (3) Persamaan tersebut dikenal sebagai hukum Ohm. Hukum Ohm menyatakan bahwa arus yang melalui konduktor logam sebanding dengan tegangan yang diberikan, I∞V. Sehingga R konstan, tidak bergantung V untuk konduktor logam. Tetapi hubungan ini tidak berlaku umum untuk bahan dan alat lain seperti dioda, tabung hampa udara, transistor dan sebagainya. Dengan demikian “hukum Ohm” bukan merupakan hukum dasar, tetapi lebih berupa deskripsi mengenai kelas bahan (konduktor logam) tertentu. Bahan atau alat yang tidak mengikuti hukum Ohm dikatakan nonohmik. Hambatan didefinisikan oleh: (4) Dimana R adalah hambatan dengan satuan Ohm dan disingkat Ω (Giancoli 2001). Konduktivitas listrik (σ) bahan superionik adalah kontribusi jumlah muatan ion pada bahan dan ditulis : (5) dimana ni adalah konsentrasi pembawa muatan dengan muatan Zi dan mobilitas µi. Konduktivitas ionik sebagai
fungsi suhu dapat didekati dengan model
Arrhenius yaitu : (6)
18
dimana σο, k, T, Ea adalah konstanta eksponen, konstanta Boltzman, suhu (Kelvin) dan energi aktivasi. Konduktivitas ionik suatu bahan ditentukan oleh struktur kristalnya, misalnya bahan dengan konduktivitas tinggi mempunyai tipe struktur dengan tumpukan atom tidak padat, sehingga mempunyai jaringan untuk dilewati ion yang bergerak. Persamaan konduktivitas : (7) menghubungkan antara kerapatan arus (J) dan medan listrik (ε) dimana σ adalah konduktivitas, kebalikan dari resistivitas (ρ). Misalnya arus I pada sebuah sampel bahan ionik dengan penampang tetap A (m2) dan panjang L (m) dan diberi tegangan V pada bahan yang diukur. Kerapatan arus (J) adalah I/A (Ampere/m2), dan medan listrik (ε) adalah V/L (V/m) persamaan 7, direduksi menjadi: (8) Tahanan R dari bahan diberikan sebagai R= V/I maka : (9) atau (10) Konduktansi, G = 1/R; resistivitas, ρ = 1/σ, maka persamaan 10 ditulis : (11) satuannya adalah Ω−1m-1 atau Siemen/m (Purwanto 2007).
Kapasitor dan Bahan Dielektrik. Kapasitor adalah piranti yang berguna untuk menyimpan muatan dan energi. Kapasitor terdiri dari dua konduktor yang berdekatan tetapi terisolasi satu sama lain dan membawa muatan yang sama besar dan berlawanan. Kapasitor memiliki banyak kegunaan. Pemberi cahaya kilat pada kamera menggunakan suatu kapasitor uantuk menyimpan energi yang diperlukan untuk memberikan cahaya kilat secara tiba-tiba. Kapasitor juga digunakan untuk memperhalus riak yang timbul ketika arus bolak-balik dikonversi menjadi arus searah pada catu
19
daya, sehingga dapat digunakan pada kalkulator atau radio ketika baterai tidak dapat digunakan. Kapasitor yang biasa digunakan adalah kapasitor keping sejajar yang menggunakan dua keping konduktor sejajar. Ketika keping-keping terhubung pada piranti yang bermuatan, contohnya baterai seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Muatan dipindahkan dari satu konduktor ke konduktor lainnya sampai perbedaan potensial antara konduktor-konduktor, akibat muatan-muatan yang sama dan berlawanan tanda yang dimiliki konduktor-konduktor tersebut, sama dengan beda potensial antara ujung-ujung baterai. Jumlah muatan pada keping bergantung pada perbedaan potensial dan pada geometri dari kapasitor, contohnya pada luas dan jarak antarkeping pada kapasitor keping sejajar. Misalkan Q adalah besar muatan pada tiap keping dan V adalah perbedaan potensial antara keping-keping. Rasio Q/V disebut kapasitansi C: C = Q/V
(12)
Kapasitansi adalah suatu ukuran dari “kapasitas” penyimpanan muatan untuk suatu perbedaan potensial tertentu.
Gambar 11
Suatu kapasitor terdiri dari dua keping konduktor sejajar yang terpisah. Ketika konduktor-konduktor dihubungkan pada ujungujung suatu baterai, baterai memindahkan muatan dari satu konduktor ke konduktor lainnya sampai perbedaan potensial antara ujung-ujung konduktor sama dengan perbedaan potensial antara ujung-ujung baterai. Jumlah muatan yang dipindahkan sebanding dengan perbedaan potensial.
Untuk menghitung kapasitansi suatu kapasitor, mula-mula berikan muatan +Q pada suatu konduktor –Q pada konduktor lainnya. Selanjutnya diintegrasikan medan dari satu konduktor ke konduktor lainnya untuk menentukan perbedaan potensial V antar konduktor. Oleh karena perbedaan potensial sebanding dengan muatan Q, kapasitansi C = Q/V tidak bergantung pada Q muatan V.
20
Gambar 12 (a) Garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar yang terpisah pada jarak yang sama menunjukkan bahwa medan listrik bersifat seragam. (b) garis-garis medan listrik antara keping-keping suatu kapasitor keping sejajar ditunjukkan oleh semburan minyak. Misalkan suatu kapasitor keping sejajar terdiri dari dua keping yang sama luasnya A dan terpisah dengan jarak s. Harga s lebih kecil dibanding panjang dan lebar keping. Diberikan muatan +Q pada satu keping dan –Q pada keping lainnya. Karena keping-keping ini berdekatan, medan listrik pada suatu titik diantara keping (tidak termasuk titik-titik di dekat ujung keping) mendekati besar medan yang diakibatkan oleh dua bidang tak berhingga yang sejajar tetapi muatannya berlawanan. Tiap bidang memberikan medan listrik seragam sebesar σ/2ε0, sehingga total medan diantara keping adalah E = σ/ε0, dimana σ = Q/A adalah muatan persatuan luas pada tiap bidang. Oleh karena medan listrik antara bidangbidang kapasitor bersifat seragam (Gambar 12), perbedaan potensial antara bidang sama dengan medan dikali jarak pemisah s: (13) Dengan demikian kapasitansi dari kapasitor keping sejajar adalah (14) Oleh karena V sebanding dengan Q maka kapasitansi tidak bergantung pada muatan maupun tegangan kapasitor tetapi hanya pada faktor-faktor geometri. Untuk suatu kapasitor sejajar, kapasitansi sebanding dengan luas keping dan
21
berbanding terbalik dengan jarak pemisah. Secara umum, kapasitansi bergantung pada ukuran, bentuk, dan pengaturan geometri dari konduktor-konduktor. Karena kapasitansi dinyatakan dengan Farad dan A/s dalam meter, maka satuan SI untuk permisivitas ruang hampa (ε0) juga dapat ditulis sebagai Farad per meter sesuai dengan persamaan 14: ε0 = 8,85 x 10-12 F/m = 8,85 pF/m
(15)
(Tipler 2001). Sebagian besar kapasitor memiliki lembar isolator yang disebut dielektrikum yang diletakan diantara pelat-pelatnya. Hal ini dilakukan untuk beberapa tujuan. Pertama, karena tegangan yang lebih tinggi dapat diberikan tanpa adanya muatan yang melewati ruang antar pelat, walaupun tidak secepat udara, dielektrikum terputus (muatan tiba-tiba mulai mengalir melaluinya ketika tegangan cukup tinggi). Disamping itu dielektrikum memungkinkan pelat diletakan lebih dekat satu sama lain tanpa bersentuhan, sehingga memungkinkan naiknya kapasitansi karena jarak d lebih kecil. Secara eksperimental ditemukan bahwa jika dielektrikum memenuhi ruang antara kedua konduktor tersebut, kapasitor akan naik sebesar faktor K yang dikenal sebagai konstanta dielektrikum (Giancoli 2001). Berbeda dari konduktor, material dielektrik tidak memiliki elektron bebas yang dapat bergerak dengan mudah didalam material; elektron dalam dielektrik merupakan elektron terikat. Dibawah pengaruh medan listrik, pada suhu kamar, pergerakan elektron hampir tidak terdeteksi. Namun pada temperatur tinggi aliran arus bisa terdeteksi jika diberikan medan listrik pada dielektrik. Arus ini bukan saja ditimbulkan oleh elektron yang bergerak tetapi juga oleh pergerakan ion dan pergerakan molekul polar yaitu molekul yang membentuk dipole. Dalam kaitan ini, suatu teknik yang disebut thermostimulated current merupakan salah satu teknik untuk mempelajari perilaku dielektrik. Peristiwa pergerakan elektron, ion, dan molekul-molekul polar di dalam dielektrik yang diakibatkan oleh adanya medan listrik disebut peristiwa polarisasi. Peristiwa polarisasi menyebabkan dielektrik terpolarisasi yaitu suatu keadaan di mana dua sisi yang berlawanan dari selembar dielektrik mengandung muatan yang berlawanan. Keadaan dielektrik seperti ini disebut elektret (Sudirham 2010).
22
Permitivitas relatif suatu dielektrik disebut juga konstanta dielektrik (εr) yang didefinisikan sebagai perbandingan antara permitivitas dielektrik (ε) dengan permitivitas ruang hampa (ε0). (16) Jika suatu dielektrik dengan permitivitas relatif εr disisipkan di antara elektroda kapasitor pelat paralel yang memiliki luas A dan berjarak d, maka kapasitansi pelat paralel yang semula (sebelum disisipi dielektrik) adalah: (17) Berubah menjadi (18) atau (19) Jadi penyisipan dielektrik pada kapasitor pelat paralel akan meningkatkan kapasitansi sebesar εr kali (Sudirham 2010).
Struktur Kristal Kristal merupakan susunan atom-atom yang teratur dalam ruang tiga dimensi. Keteraturan susunan tersebut terjadi karena harus terpenuhinya kondisi geometris, ketentuan ikatan atom, serta susunan yang rapat. Walaupun tidak mudah untuk menyatakan bagaimana atom tersusun dalam padatan, namun ada hal-hal yang bisa menjadi faktor penting yang menentukan terbentuknya polihedra koordinasi susunan atom-atom. Secara ideal, susunan polihedra koordinasi paling stabil adalah yang memungkinkan terjadinya energi per satuan volume yang minimum. Keadaan tersebut dicapai jika: kenetralan listrik terpenuhi, ikatan kovalen yang diskrit dan terarah terpenuhi, gaya tolak ion-ion menjadi minimal, serta susunan atom serapat mungkin (Sudirham 2010).
Produk Elektroda Tidak selalu mudah atau bahkan tidak mungkin untuk meramalkan produk-produk apa yang akan dihasilkan bila suatu arus listrik dilewatkan suatu larutan elektrolit. Di samping ion-ion yang berasal dari elektrolit itu, terdapat juga
23
molekul air dan ion-ion air (H+ dan OH-) yang mempunyai peranan dalam reaksi elektrokimia. Pada katode inert terjadi proses sebagai berikut: 1. Jika ion logam lebih muda direduksi daripada ion hidrogen, elektrolisis larutan air (dari) garam-garamnya akan mengakibatkan terbentuknya logam pada katode. Misalnya, jika suatu larutan air (dari) CuCl2, AgNO3, atau HgCl2 dielektrolisis akan terbentuk masing-masing Cu, Ag atau Hg. 2. Jika ion logam lebih sukar direduksi daripada ion hidrogen, elektrolisis larutan air (dari) garam-garamnya biasanya membebaskan gas hidrogen pada katode. Misalnya, jika NaCl, KCl atau MgCl2 dalam air dielektrolisis, hidrogen akan dibebaskan pada katode pada tiap kasus. Pada Anode inert terjadi proses sebagai berikut: 1. Oksigen dibebaskan selama elektrolisis dari garam anion-oksi yang mengandung suatu unsur dengan keadaan oksidasi tinggi, misalnya, SO42- dan NO3-. Artinya, H2O lebih muda dioksidasi daripada anion semacam itu. Misalnya: 4AgNO3 + 2H2O H2O
4Ag + O2 + 4HNO3 O2 + 4H+ + 4e- (anode)
2. Anion seperti Cl-, Br- dan I- (tetapi tidak F-) lebih mudah dioksidasi daripada air. Jadi akan dibebaskan halogen bebas. Misalnya, selama elektrolisis natrium klorida pekat. Dalam hal larutan encer, baik oksigen maupun klor akan terbentuk. Oleh karena potensial penguraian relatif untuk Cl- dan H2O berubah karena berkurangnya konsentrasi ion klorida. (Keenan 1992).
Karakterisasi Material Nanostruktur
Scanning Elektron Microscopy (SEM) SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan profil permukaan benda. Prinsip kerja SEM adalah menembakkan permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi seperti diilustrasikan Gambar 13 permukaan benda yang dikenai berkas
24
akan memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke segala arah. Tetapi ada satu arah dimana berkas dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektor di dalam SEM mendeteksi elektron yang dipantulkan dan menentukan lokasi berkas yang dipantulkan dengan intensitas tertingggi. Arah tersebut memberi informasi profil permukaan benda seperti seberapa landai dan kemana arah kemiringan. Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron di scan ke seluruh area pengamatan. Lokasi pengamatan dapat dibatasi dengan melakukan zoom-in atau zoom-out. Berdasarkan arah pantulan berkas pada berbagai titik pengamatan maka profil permukaan benda dapat dibangun mengggunakan program pengolahan gambar yang ada dalam komputer.
Gambar 13 Dalam SEM berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan material. Elektron pantulan dan elektron sekunder dipancarkaan kembali dengan sudut yang bergantung pada profil permukaan material. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada mikroskop optik. Hal ini disebabkan panjang gelombang de Broglie yang dimiliki elektron lebih pendek daripada gelombang optik. Makin kecil panjang gelombang yang digunakan makin tinggi resolusi mikroskop. Panjang gelombang de Broglie elektron adalah: λ = h/p
(20)
dengan h adalah konstanta Planck dan p adalah momentum elektron. Momentum elektron dapat ditentukan dari energi kinetik melalui hubungan: K = p2/2m
(21)
25
dengan K energi kinetik elektron dan m adalah massanya. Dalam SEM, berkas elektron keluar dari filamen panas lalu dipercepat pada potensial tinggi V. Akibat percepatan tersebut, akhirnya elektron memiliki energi kinetik K = eV
(22)
Dengan menggunakan persamaan (21) dan (22) kita dapat menulis momentum elektron sebagai (23) dengan demikian panjang gelombang de Broglie yang dimiliki elektron adalah (24) Umumnya tegangan yang digunakan pada SEM adalah puluhan kilo Volt. Sebagai ilustrasi, misalnya SEM dioperasikan pada tegangan 20 kV maka panjang gelombang de Broglie elektron sekitar 9x10-12 m. Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam adalah permukaan benda harus bersifat sebagai pemantul elektron atau dapat melepaskan elektron sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron. Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil permukaan akan tampak dengan jelas. Agar profil permukaaan bukan logam dapat diamati secara jelas dengan SEM maka permukaan material tersebut harus dilapisi dengan logam seperti emas. Film tipis logam dibuat pada permukaan material tersebut sehingga dapat memantulkan berkas elektron. Metode pelapisan yang umumnya dilakukan adalah evaporasi dan sputtering. Pada metode evaporasi, material yang akan diamati permukaannya ditempatkan dalam satu ruang (Chamber) bersama dengan material logam yang akan digunakan sebagai sumber pelapis. Ruang tersebut dapat divakumkan dan logam pelapis dapat dipanaskan hingga mendekati titik leleh. Logam pelapis diletakan di atas filamen pemanas. Mula-mula chamber divakumkan diikuti dengan pemanasan logam pelapis. Atom-atom menguap pada permukaan logam. Ketika sampai pada permukaan material yang memiliki suhu lebih rendah, atomatom logam terkondensasi dan membentuk lapisan film tipis di permukaan material. Ketebalan lapisan dapat dikontrol dengan mengatur lama waktu
26
evaporasi. Agar proses ini dapat berlangsung efisien maka logam pelapis yang digunakan harus yang memiliki titik lebur rendah. Prinsip kerja sputtering mirip dengan evaporasi. Namun sputtering dapat berlangsung pada suhu rendah (suhu kamar). Permukaan logam ditembak dengan ion gas berenergi tinggi hingga terpental keluar dari permukaan sampel, atomatom logam tersebut membentuk fase padat dalam bentuk film tipis. Ketebalan lapisan dikontrol dengan mengatur lama waktu sputtering. Pada saat pengukuran dengan SEM, lokasi di permukaan sampel tidak boleh terlalu lama dikenai berkas. Elektron yang berenergi tinggi pada berkas dapat mencabut atom-atom di permukaan sampel hingga permukaan tersebut akan rusak dengan cepat. Film tipis di permukaan sampel akan menguap dan kembali menjadi isolator. Akhirnya bayangan yang terekam tiba-tiba menjadi hitam (Abdullah 2009).
Difraksi Sinar-X (XRD). Pada kristal sederhana seperti NaCl, atom tersusun dengan pola kubus yang teratur dan atom-atom berjarak d satu sama lain (Gambar 14).
Gambar 14 Difraksi sinar-X oleh kristal. Seberkas sinar-X jatuh pada kristal dengan sudut φ terhadap permukaan, dan kedua berkas yang ditunjukkan dipantulkan dari dua bidang atom setelahnya seperti digambarkan. Kedua berkas akan berinterferensi konstruktif jika jarak ekstra yang ditempuh berkas I lebih jauh sebesar kelipatan bilangan bulat dari panjang gelombang dibandingkan dengan yang ditempuh berkas II. Jarak ekstra ini adalah 2d sin φ. Dengan demikian, interferensi konstruktif akan terjadi ketika
27
mλ = 2d sin φ,
m = 1,2,3,.....,
(25)
dimana m bisa merupakan bilangan bulat berapa saja dan φ bukan sudut terhadap normal permukaan. Persamaan di atas dikenal dengan persamaan Bragg. Dengan demikian, jika panjang gelombang sinar-X diketahui dan sudut φ dimana interferensi konstruktif terjadi diukur, d bisa didapatkan. Pola difraksi sinar-X yang sebenarnya sangat rumit. Pertama, kristal merupakan benda tiga dimensi dan sinar-X dapat didifraksikan dari bidang-bidang yang berbeda dengan sudut berbeda di dalam kristal. Walaupun analisisnya kompleks, banyak yang dapat dipelajari mengenai zat apa saja yang bisa dibuat dalam bentuk kristal. Jika zat tersebut bukan merupakan kristal tunggal tetapi campuran dari banyak kristal yang kecil seperti pada logam atau serbuk maka yang didapatkan bukan serangkaian bercak (Gambar 15) melainkan serangkaian lingkaran (Gambar 16). Setiap lingkaran berhubungan dengan orde m tertentu (persamaan 25) dari satu pasangan bidang paralel tertentu.
Gambar 15 Pola difraksi sinar-X pada kristal seng sulfida. Pola difraksi dideteksi langsung pada pelat potografis.
Gambar 16
Difraksi sinar-X dari zat polikristalin menghasilkan serangkaian lingkaran yang merupakan pola untuk polikristalin natrium asetat. (Giancoli 2001).
28
Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Metode ini sebenarnya memprediksi ukuran kristal dalam material, bukan ukuran partikel. Jika satu partikel mengandung sejumlah kristal kecil (kristalin), seperti diilustrasikan pada Gambar 17(a), maka informasi yang diberikan metode Schrerrer adalah ukuran kristalin tersebut, bukan ukuran partikel. Untuk partikel berukuran nanometer, biasanya satu partikel hanya mengandung satu kristalin, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 17(b). Dengan demikian, ukuran kristalin yang diprediksi dengan metode Schreer juga merupakan ukuran partikel.
Gambar 17 (a) Satu partikel mengandung sejumlah kristalin dan (b) satu partikel hanya mengandung satu kristalin (kristal tunggal). Kristal yang berukuran besar dengan satu orientasi menghasilkan puncak difraksi yang mendekati sebuah garis vertikal. Kristalin yang sangat kecil menghasilkan puncak difraksi yang sangat lebar. Lebar puncak difraksi tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristalin. Kristalin yang kecil menghasilkan puncak yang lebar karena kristalin yang kecil memiliki bidang pantul sinar-X yang terbatas. Puncak difraksi dihasilkan oleh interferensi secara konstruktif gelombang yang dipantulkan oleh bidangbidang kristal. Di dalam interferensi gelombang didapatkan bahwa makin banyak jumlah celah interferensi makin sempit ukuran garis frinji pada layar. Interferensi celah banyak dengan jumlah celah tak berhingga menghasilkan frinji yang sangat tipis, tetapi sangat terang. Jumlah celah yang sangat banyak identik dengan kristalin yang berukuran besar. Difraksi sinar-X pada dasarnya adalah interferensi oleh sejumlah sumber sehingga kita dapat memprediksi hubungan antara lebar puncak difraksi dengan ukuran kristallitas berdasarkan perumusan interferensi celah banyak.
29
Gambar 18 Makin lebar puncak difraksi sinar-X makin kecil ukuran kristalin. Ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi pada gambar bawah lebih kecil daripada ukuran kristalin yang menghasilkan pola difraksi atas. Hubungan antara ukuran kristalin dengan lebar puncak difraksi sinar-X dapat diproksimasi dengan persamaan Schreer: (26) dengan D adalah ukuran (diameter) kristalin, λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan, θB adalah sudut Bragg, B adalah FWHM satu puncak yang dipilih, dan K adalah konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang umumnya dipakai untuk K adalah 0,9 (Abdullah 2009).
31
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 hingga bulan Juni 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor (IPB), Balitbang Kehutanan Republik Indonesia Kota Bogor, BATAN Serpong, dan Balai Inkubator Teknologi BPPT Serpong.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, spatula, pipet, lempung dan mortar, gelas pirex, labu takar, magnetik stirrer, tanur (furnace) dan keramik, mikrometer digital, pemanas (heat plate), kaca konduktif ITO dan penjepit, plat seng, resistor 1kΩ, multieter, lampu visible, kertas indikator pH, penggaris, autoclave, cetakan dan alat tekan, I-V meter, HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER, XRD, SEM, Particle Size Analizer (PSA) tipe Beckman Coulter. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati singkong sebagai sumber karbon, bubuk ferrocene sebagai katalis (0,8 gram, 1,6 gram dan 2,4 gram), air bidestilasi, akuades, Polyetilene Glicol (PEG), dan bubuk NH4Cl.
Sampel Sampel yang disintesis sebanyak 4 buah sampel, dimana setiap sampel diberikan label berdasarkan perlakuan katalis yang diberikan terhadap sampel. Berbagai label sampel tersebut antara lain: 1. Sampel C23 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat tidak diberikan penambahan katalis ferrocene sebelum mengalami proses hidrotermal. 2. Sampel C241 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat diberikan penambahan katalis ferrocene sebanyak 0,8 gram (5 mmol) sebelum mengalami proses hidrotermal.
32
3. Sampel C251 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat diberikan penambahan katalis ferrocene sebanyak 1,6 gram (10 mmol) sebelum mengalami proses hidrotermal. 4. Sampel C261 adalah sampel hasil sintesis karbonisasi hidrotermal dimana pada bahan pati singkong 10% berat diberikan penambahan katalis ferrocene sebanyak 2,4 gram (15 mmol) sebelum mengalami proses hidrotermal.
Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi berberapa tahap antara lain persiapan literatur yang mendukung topik penelitian, pembuatan proposal, persiapan alat dan bahan yang akan digunakan; pencampuaran 10% berat pati singkong dengan penambahan katalis ferrocene (Fe(C5H5)2) sebanyak 0,8 gram, 1,6 gram dan 2,4 gram untuk masing-masing 10% berat pati singkong tersebut menggunakan magnetik stirrer dengan kecepatan 450 rpm selama 160 menit; penentuan kondisi pH bahan menggunakan kertas indikator pH. Tahap sintesis karbonisasi hidrotermal dengan suhu 120 oC dan tekanan 1,5 psi selama 24 jam; tahap pengeringan sampel dalam furnace dengan suhu maksimum 200 oC selama 12 jam dimana kenaikan suhu 5,9o/menit kemudian suhu dinaikan lagi menjadi 300oC selama 12 jam dimana kenaikan suhu 9,22o/menit; tahap penggerusan sampel; tahap karakterisasi antara lain XRD, SEM, I-V meter, HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER, PSA; tahap uji elektroda karbon; selanjutnya tahap penyusunan laporan tesis antara lain analisis dan pengolahan data, seminar serta ujian tesis.
33
Persiapan Alat dan Bahan
Pencampuran Bahan dengan Magnetik Stirrer
Persiapan Reaktor
Sintesis Karbon dengan Metode Hidrotermal
Anealling 200 oC selama 12 jam dan 300 oC selama 12 jam
Pembuatan Bubuk Karbon
Pembuatan Pelet Karbon
Karakterisasi menggunakan XRD, SEM, LCR Meter, & PSA
Uji Elektroda karbon
Pengolahan Data
Penyusunan Tesis Gambar 19 Diagram alir tahapan penelitian
Persiapan Reaktor Reaktor yang digunakan berupa autoclave lengkap dengan alat pengukur suhu dan tekanan. Autoclave yang digunakan berupa Thermostat Model 25X AllAmerican Pressure Sterilizer. Sebelum digunakan, autoclave diisi air akuades
34
dengan ketinggian air dari dasar autoclave adalah 4 cm. Katup udara pada bagian penutup autoclave ditutup agar udara yang ada dalam autoclave tidak keluar sehingga suhunya dapat dipertahankan. Suhu yang digunakan selama proses sintesis adalah 120 oC dengan tekanan 15 psi. Susunan alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Set Up proses sintesis hidroternal Pencampuran bahan dengan magnetic stirrer Tahap
pencampuran
dengan
magnetic
stirrer
dilakukan
dengan
menyiapkan bahan-bahan seperti pati singkong, bubuk ferrocene, air bidestilasi, gelas pirex, labu takar, dan magnetic. Tahap pertama adalah memasukan 10 gram pati singkong ke dalam gelas pirex dan ditambahkan air bidestilasi dengan volume 50 ml, selanjutnya diaduk 450 rpm selama 45 menit pada suhu ruang. Bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan air bidestilasi menggunakan pipet hingga mencapai 10% berat. Selanjutnya diaduk 450 rpm selama 35 menit pada suhu ruang.
35
Tahap kedua adalah penambahan katalis ferrocene pada bahan pati singkong 10% berat. Mula-mula bahan pati singkong 10% berat dimasukkan ke dalam gelas pirex dan ditambahkan katalis berupa bubuk ferrocen. Sampel pertama dilakukan penambahan bubuk ferrocen sebanyak 0,8 gram (5 mmol) pada bahan pati singkong 10% berat, sampel kedua dengan penambahan bubuk ferrocen 1,6 gram (10 mmol) pada bahan pati singkong 10% berat dan sampel ke tiga dengan penambahan bubuk ferrocene 2,4 gram (15 mmol) pada bahan pati singkong 10% berat. Kemudian bahan diaduk 450 rpm selama 90 menit pada suhu ruang untuk masing-masing sampel. Tahap berikutnya dilakukan pengukuran pH dimana masing-masing sampel mempunyai pH = 5. Hal ini menunjukkan bahwa sampel dalam kondisi asam. Selanjutnya sampel dipersiapkan ke tahap karbonisasi hidrotermal.
Karbonisasi Hidrotermal Sampel yang telah melalui proses pencampuran dengan magnetic stirrer dimasukan ke dalam autoclave dan dikunci rapat sehingga tidak ada udara yang masuk dan ke luar dari autoclave tersebut. Suhu dalam autoclave selanjutnya dinaikkan hingga jarum pada pengukur suhu dan tekanan menunjukkan 120 oC dan 15 psi. Kondisi sampel dalam autoclave dipertahankan pada suhu tersebut selama 24 jam. Setelah mencapai waktu 24 jam maka suhu dalam autoclave diturunkan hingga mencapai suhu ruang agar sampel dapat dikeluarkan dari autoclave. Tahap selanjutnya adalah pengeringan dengan menggunakan furnace. Endapan sampel yang terbentuk dalam autoclave disimpan ke dalam cawan dan dimasukkan ke dalam furnace. Suhu furnace dilakukan optimasi sebagai berikut: tahap pertama suhu dinaikan dari suhu Tawal = 32 oC hingga mencapai Takhir = 200 o
C dengan tingkat kenaikan suhu 5,9o per menit dan di anealling selama 12 jam;
tahap ke dua suhu dinaikan lagi dari suhu Tawal = 32 oC hingga mencapai Takhir = 300 oC dengan tingkat kenaikan suhu 9,22o per menit dan di anealling selama 12 jam. Selanjutnya mengeluarkan sampel dalam furnace pada saat suhu dalam furnace kembali ke suhu awal. Tahap berikutnya adalah pembuatan bubuk karbon. Karbon yang terbentuk setelah proses anealling dimasukan ke wadah berupa lempung dan dihaluskan
36
dengan mortar hingga terbentuk bubuk halus. Selanjutnya bubuk dibentuk pelet dimana bubuk karbon dimasukan ke dalam cetakan dan dipres dengan menggunakan alat tekan dengan tekanan 20 Mpa selama 30 menit untuk masingmasing sampel.
Gambar 21 Bubuk karbon : sampel C23 (a), sampel C241 (b), sampel C251 (c), sampel C261 (d).
Gambar 22 Pembuatan pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261
Gambar 23 Pelet karbon sampel C23, C241, C251, C261
37
Karakterisasi Hasil Karbonisasi Hidrotermal Karakterisasi yang dilakukan terhadap karbon sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261 antara lain sebagai berikut: Karakterisasi menggunakan XRD dilakukan untuk menentukan struktur material dan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan serta tingkat kristalinitas sampel. Karakterisasi menggunakan SEM dilakukan untuk menggambarkan profil permukaan dan ukuran diameter sampel. Sebelum sampel d scan maka pada sampel dilakukan pelapisan dengan logam konduktif supaya diperoleh gambar profil permukaan yang jelas. Karakterisasi dengan I-V meter untuk mengetahui karakteristik ArusTegangan (I-V). Karakterisasi dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel berupa cahaya lampu (terang) dan tanpa cahaya lampu (gelap) pada saat pengukuran. Pada proses pengukuran, sampel diletakan diantara dua buah elektroda konduktif kaca ITO dengan menggunakan penjepit.
Gambar 24 Pengukuran I-V sampel pada kondisi terang Karakterisasi menggunakan HIOKI 3522-50 LCR HiTESTER untuk menentukan konduktivitas dan sifat dielektrik (kapasitansi dan konstanta dielektrik). Pada proses ini, sampel diberi dua tipe perlakuan. Tipe pertama, pengukuran konduktansi dan kapasitansi dengan mengubah frekuensi; sedangkan tipe kedua, pengukuran konduktansi dan kapasitansi dengan mengubah suhu sampel dimana sampel yang diukur diletakan di atas pemanas (hot plate) sehingga pengaturan terhadap suhu sampel dapat dilakukan. Pada prose pengukuran, sampel diletakan diantara dua buah elektroda konduktif
kaca ITO dengan
38
menggunakan penjepit. Setelah mengukur konduktansi dan kapasitansi terhadap frekuensi dan suhu, selanjutnya dihitung konduktivitas dan konstanta dielektrik. Karakterisasi menggunakan PSA tipe Beckman Coulter untuk menentukan ukuran partikel sampel C23, sampel C241, sampel C251, dan sampel C261.
Uji Elektroda Karbon Pengujian elektroda karbon dilakukan melalui tahap sebagai berikut: Tahap pertama adalah pembuatan elektrolit. Pada tahap ini direaksikan 10 gram PEG dan 0,5 gram NH4Cl ke dalam 10 mL air bidestilasi. Larutan kemudian diaduk 450 rpm selama 195 menit pada suhu kamar. Tahap kedua adalah penyusunan rangkaian dimana elektrolit diletakan diantara plat seng dan karbon yang telah dibuat pelet. Selanjutnya dihubungkan dengan hambatan 1 kΩ dan diukur tegangan rangkaian pada hambatan tersebut. Proses pengujian elektroda tersebut dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Proses pengujian elektroda karbon
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan tingkat kristalinitas dari material yang dihasilkan. Berdasarkan analisa yang dilakukan nampak bahwa sudut difraksi karbon terdapat pada sudut 2θ sebagai berikut: untuk karbonisasi pati singkong tanpa penambahan katalis, puncak difraksi pada sudut 2θ = 25,5450o sedangkan untuk karbonisasi hidrotermal pada pati singkong dengan penambahan katalis 0,8 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 26,4236o; untuk karbonisasi hidrotermal dengan penambahan katalis 1,6 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 25,9643o; dan untuk karbonisasi dengan penambahan katalis 2,4 gram, sudut difraksi adalah pada sudut 2θ = 25,6149o (Lampiran 2). Kehadiran unsur karbon tersebut ditentukan berdasarkan kesesuaian data XRD dengan data yang dinyatakan oleh International Centre for Diffraction Data (ICDD) (Lampiran 3).
Gambar 26 Pola difraksi pada karbonisasi hidrotermal pati singkong. C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261
sampel
Berdasarkan analisa XRD juga dapat di identifikasi keberadaan puncak besi (Fe) dengan sudut 2θ = 33,9151o dan senyawa besi oksida dengan sudut 2θ = 35,4038o. Penggunaan katalis juga mempengaruhi ukuran kristalinitas sampel. Ukuran kristal diperoleh dengan menggunakan persamaan schreer dimana ukuran kristal masing-masing sampel ditunjukkan melalui tabel 1.
40
Tabel 1 Ukuran Kristal Sampel C23, C241, C251, dan C261.
C23
2θ (deg) 25,5450
Cos θ (rad) 0,975280556
FWHM (rad) 0
λ (nm) 0,15406
0,9
D = kλ/Bcosθ (nm) 0
C241
26,4236
0,973558564
0
0,15406
0,9
0
C251
25,9643
0,974465897
0,0181422
0,15406
0,9
7,843
C261
25,6149
0,975145653
0,0036633
0,15406
0,9
38,814
Sampel
k
Hasil analisa XRD menunjukkan adanya tingkat kristalinitas yang berbeda dari masing-masing sampel yang dihasilkan dengan perbedaan jumlah katalis yang digunakan. Tingkat kristalinitas sampel C23, C241, C251, C261 berturut-turut adalah 30,01%, 40,23%, 42,56%, dan 23,94%. Tingkat kristalinitas sampel yang lebih rendah menunjukkan sampel semakin amorf yang berarti daerah ruang kosong semakin besar sehingga transport proton semakin mudah (Handayani 2008) dan mempunyai jaringan untuk dilewati ion yang bergerak (Purwanto 2007). Selain itu, spektrum XRD juga menunjukkan bahwa dengan penambahan katalis ferrocene nampak adanya penurunan tingkat intensitas pada pembentukan puncak difraksi dengan makin bertambahnya jumlah katalis yang digunakan.
Morfologi Karbon Profil permukaan sampel diperoleh melalui pengujian scanning elektron mikroscopy (SEM). Sampel dilakukan pelapisan dengan logam konduktif (emas). Hal ini dilakukan agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam sehingga profil permukaan dapat diamati dengan jelas. Berikut adalah foto SEM pada sampel hasil karbonisasi hidrotermal tanpa penggunaan katalis (Gambar 27) dengan perbesaran 60.000 kali. Pada foto SEM menunjukkan bar skala yang panjangnya 0,2 μm. Pengukuran yang dilakukan menggunakan penggaris menunjukkan panjang bar tersebut adalah 1,25 cm maka 1,25 cm pada gambar yang bersesuaian dengan panjang 0,2 μm ukuran sebenarnya. Pengukuran diameter partikel pada gambar sampel C23 dengan menggunakan penggaris adalah 3 cm maka diameter riil partikel tersebut adalah (3 cm/1,25 cm) x 0,2 μm = 480 nm (Abdullah 2009).
41
Penggunaan
katalis
dalam
proses
karbonisasi
hidrotermal
juga
mempengaruhi bentuk dan ukuran setiap sampel yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari foto SEM dengan perbesaran 60.000 kali yang menunjukkan adanya perbedaan profil permukaan yang signifikan pada setiap sampel. Sedangkan perbedaan ukuran diameter masing-masing sampel yakni sampel C23 mempunyai diameter 480 nm, sampel C251 mempunyai diameter 160 nm dan sampel C261 mempunyai diameter 200 nm
Gambar 27 Morfologi permukaan sampel C23. Perbesaran 60.000 kali Foto SEM dengan penggunaan katalis ferrocene 0,8 gram profil sampel belum terlihat jelas sehingga sulit untuk mengidentifikasi ukuran sampel yang dihasilkan seperti pada Gambar 28.
Gambar 28 Morfologi permukaan sampel C241. Perbesaran 60.000 kali
42
Namun dengan penggunaan katalis ferrocene sebanyak 1,6 gram dan 2,4 gram dengan perbesaran foto SEM yang sama (60.000 kali) maka profil sampel menunjukkan terbentuknya struktur menyerupai tabung. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan penambahan jumlah katalis yang digunakan maka katalis akan membantu terbentuknya struktur yang berbentuk tabung pada proses karbonisasi hidrotermal sebagaimana yang ditunjukkan oleh profil foto SEM sampel C251 dan sampel C261 hasil karbonisasi hidrotermal.
Gambar 29 Morfologi permukaan sampel C251. Perbesaran 60.000 kali
Gambar 30 Morfologi permukaan sampel C261. Perbesaran 60.000 kali
43
Sifat Listrik Karakterisasi terhadap sifat listrik mencangkup pengujian karakteristik arus-tegangan (I-V) dan pengujian konduktivitas. Uji karakteristik arus-tegangan (I-V) dilakukan untuk mengetahui karakteristik transpor di dalam bahan baik keadaan sampel dalam kondisi gelap (tanpa diberi cahaya) maupun sampel dalam kondisi terang (diberi respon cahaya). Pengujian sampel dalam kondisi gelap terdapat adanya pola yang berbeda pada
masing-masing
sampel.
Hasil
karakterisasi
menunjukkan
bahwa
penambahan jumlah katalis mempengaruhi tingkat resistansi masing-masing sampel. Dengan menggunakan persamaan hukum Ohm (persamaan 3) maka diperoleh nilai resistansi pada tegangan maksimum dari masing-masing sampel untuk pengukuran sampel pada kondisi gelap yaitu 4,0 x 105 Ω (sampel C23); 2,96 x 105 Ω (sampel C241); 9,13 x 105 Ω (C251); 7,91 x 105 Ω (sampel C261). Sampel yang mempunyai nilai resistansi yang paling rendah adalah sampel C241. Dengan demikian jumlah katalis sangat berperan penting dalam perubahan sifat listrik sampel yang ditandai dengan adanya perubahan pola arus-tegangan (I-V) dan resistansi yang ditunjukkan oleh masing-masing sampel karena penggunaan jumlah katalis yang berbeda.
Gambar 31 Karakteristik arus-tegangan (I-V). sampel C23, sampel C251, sampel C261. Kondisi gelap.
sampel C241,
Berdasarkan karakteristik I-V juga nampak bahwa arus tidak berbanding lurus terhadap tegangan. Hal ini menunjukkan materi tersebut tidak mengikuti
44
hukum Ohm. Materi yang tidak memenuhi hukum Ohm tersebut dinamakan komponen nonohmik (Giancoli 2001). Dalam pengujian karakteristik sifat listrik juga dilakukan dengan melihat perbedaan respon yang ditunjukkan oleh sampel dengan perlakuan yang diberikan pada sampel berupa pola gelap (tanpa cahaya) dan pola terang (diberi respon cahaya). Cahaya yang digunakan berasal dari lampu dimana pada seluruh sampel diberi cahaya dengan intensitas yang sama. Karakteristik respon oleh masingmasing sampel terhadap cahaya ditunjukkan melalui gambar sebagai berikut:
Gambar 32 Karakteristik arus-tegangan kondisi terang.
sampel
C23.
Gambar 33 Karakteristik arus-tegangan sampel C241. kondisi terang.
kondisi
gelap,
kondisi gelap,
45
Gambar 34 Karakteristik arus-tegangan sampel C251. kondisi terang.
kondisi gelap,
Gambar 35 Karakteristik arus-tegangan sampel C261.
kondisi gelap,
kondisi terang
Dengan bertambahnya jumlah katalis yang digunakan mempengaruhi tingkat respon sampel terhadap cahaya. Pada sampel C23, C241 dan C251 nampak bahwa respon sampel terhadap cahaya tidak signifikan (hampir tidak ada respon). Namun pada sampel C261 respon sampel terhadap cahaya sangat signifikan, hal ini diperlihatkan oleh adanya peningkatan hambatan setelah sampel diberi cahaya. Respon sampel C261 terhadap cahaya mengindikasikan bahwa sampel tersebut bersifat peka terhadap cahaya yang membangkitkan tegangan foto maupun perubahan hambatan akibat penyinaran cahaya (Chattopadhayay D, 1989). Karakteristik arus-tegangan (I-V) juga menunjukkan pola menyerupai karakteristik dioda yang dihasilkan oleh sampel. Hal ini nampak pada kemiringan
46
lengkung kurva arus-tegangan (I-V) (Chattopadhyay D, 1989). Pembentukan lengkung tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah penambahan katalis yang digunakan selama proses karbonisasi hidrotermal. Hal ini nampak dengan adanya perbedaan pola karakteristik sampel hasil proses karbonisasi hidrotermal yang menggunakan jumlah katalis ferrocene yang berbeda. Oleh karena keberadaan katalis yang digunakan dalam sintesis sampel C241, sampel C251 dan sampel C261 maka sampel termasuk dalam jenis semikonduktor ekstrinsik (Krane 1992). Gambar 35 menunjukkan sampel C261 mengalami peningkatan resistansi yang sangat signifikan pada saat diberikan respon cahaya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kehadiran unsur besi (Fe) yang mempengaruhi karakteristik sampel. Uji konduktivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat konduktivitas material yang disintesis melalui proses karbonisasi hidrotermal. Dalam penelitian ini, sampel diberi dua tipe perlakuan yakni perlakuan respon terhadap frekuensi dan respon terhadap suhu. Pengukuran konduktivitas sampel terhadap frekuensi menunjukkan adanya perubahan konduktivitas sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 36.
Gambar 36 Konduktivitas terhadap frekuensi. sampel C23, sampel C251, sampel C261.
sampel C241,
Berdasarkan gambar tersebut nampak adanya perbedaan konduktivitas untuk masing-masing sampel. Oleh karena itu, jumlah katalis yakni 0,8 gram (sampel C242), 1,6 gram (sampel C251), dan 2,4 gram (sampel C261) yang digunakan mempengaruhi tingkat konduktivitas material yang dihasilkan melalui
47
proses karbonisasi hidrotermal. Nilai konduktivitas material berkisar dalam rentang 10-5 S/m hingga 10-4 S/m, hal ini menunjukkan bahwa material yang dihasilkan termasuk dalam jenis semikonduktor (Kwok 1995). Berdasarkan gambar tersebut di atas, nampak adanya ketergantungan konduktivitas terhadap frekuensi bagi masing-masing sampel. Hal ini dapat dilihat dari makin besarnya nilai konduktivitas dengan bertambahnya frekuensi. Pengukuran konduktivitas terhadap suhu juga menunjukkan peningkatan konduktivitas, dan dengan meningkatnya jumlah katalis yang digunakan juga mempengaruhi tingkat konduktivitas material yang dihasilkan. Kedua hal tersebut merupakan sifat khas bahan semikonduktor yang berhubungan langsung dengan struktur pita. Konduktivitas lisriknya sangat dipengaruhi oleh suhu karena peluang eksitasi termal melewati celah pita bahan semikonduktor relatif besar (Krane KS, 1992).
Gambar
37
Karakteristik konduktivitas terhadap suhu. sampel sampel C241, sampel C251, sampel C261.
C23,
Penggunaan katalis 0,8 gram (sampel C241) menunjukkan peningkatan nilai konduktivitas dibandingkan dengan tanpa katalis (sampel C23). Sebaliknya, penggunaan katalis 1,6 gram (sampel C251) dan 2,4 gram (sampel C261) menunjukkan konduktivitas material lebih rendah dari konduktivitas bahan tanpa katalis, dimana nilai konduktivitas pada saat diberi respon suhu berkisar ≥ 10-5 S/m. Selain itu, pengaruh penambahan jumlah katalis pada proses karbonisasi hidrotermal akan menurunkan nilai konduktivitas sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 38.
48
Gambar 38 Karakteristik konduktivitas terhadap jumlah katalis pada suhu 40 oC.
Gambar 39 Karakteristik konduktivitas terhadap suhu. Lnσ(S/m)-sampel C23, Lnσ(S/m)-sampel C241, Lnσ(S/m)-sampel C251, Lnσ(S/m)-sampel C261. Gradien (kemiringan) kurva konduktivitas terhadap suhu mutlak pada Gambar 39 menunjukkan adanya energi aktivasi masing-masing sampel. Plot energi aktivasi untuk masing-masing sampel pada suhu mutlak antara lain sampel C23 pada suhu 323 K – 363 K, sampel C241 pada suhu 343 K – 363 K, sampel C251 pada suhu 343 K – 393 K, dan sampel C261 pada suhu 333 K – 363 K. Hal ini nampak adanya perbedaan rentang suhu mutlak untuk energi aktivasi pada setiap sampel yang menggunakan jumlah katalis yang berbeda. Dari kurva kemiringan plot konduktivitas terhadap suhu mutlak menunjukkan bahwa energi aktivasi yang paling rendah terdapat pada sampel C241 dibandingkan dengan sampel lainnya. Dengan rendahnya energi aktivasi tersebut maka nilai konduktivitasnya lebih besar (Handayani 2008).
49
Penggunaan katalis pada sampel C23, C241, C251 dan C261 juga memberikan respon yang berbeda terhadap suhu (Gambar 37 dan Gambar 39). Dimana respon material terhadap suhu nampak adanya perubahan nilai konduktivitas dengan makin tingginya suhu yang diberikan pada sampel. Oleh karena itu, material tersebut diduga dapat digunakan dalam bidang elektronika sebagai bahan sensor suhu.
Sifat Dielektrik. Karakterisasi sifat dielektrik sampel meliputi karakterisasi terhadap kapasitansi dan konstanta dielektrik sampel. Kapasitansi adalah suatu ukuran dari “kapasitas” penyimpanan muatan untuk perbedaan potensial tertentu. Dalam penelitian ini pengukuran kapasitansi pada tegangan tertentu yaitu 1 Volt, karena perbedaan potensial sebanding dengan muatan sehingga kapasitansi tidak bergantung kepada muatan maupun tegangan. Pengukuran terhadap kapasitansi menunjukkan adanya respon terhadap frekuensi dan suhu yang ditunjukkan oleh gambar berikut:
Gambar
40
Karakteristik kapasitansi terhadap C23, sampel C241, sampel C251,
frekuensi. sampel C261.
sampel
50
Gambar 41 Karakteristik kapasitansi terhadap suhu. C241, sampel C251, sampel C261.
sampel C23,
sampel
Setiap sampel menunjukkan adanya ketergantungan kapasitansi terhadap frekuensi (Gambar 40) dan suhu (Gambar 41). Kapasitansi meningkat pada frekuensi yang lebih rendah sedangkan pada frekuensi yang lebih tinggi kapasitansi cenderung mengalami penurunan dan hampir konstan pada setiap sampel yang disebabkan oleh kerapatan kemasan setiap sampel (Abu-Hilal 2006), dimana tingkat kerapatan ini dipengaruhi oleh penggunaan jumlah katalis yang berbeda. Kapasitansi juga bergantung suhu yang ditandai dengan meningkatnya kapasitansi pada suhu yang lebih tinggi. Peningkatan kapasitansi terjadi karena adanya polarisasi pada bahan dielektrik yakni peristiwa pergerakan elektron, ion, dan molekul-molekul polar di dalam dielektrik yang diakibatkan oleh adanya medan listrik. Peningkatan kapasitansi pada suhu tinggi dapat disebabkan oleh polarisasi muatan ruang dan polarisasi orientasi. Polarisasi muatan ruang terjadi karena pemisahan muatan-muatan ruang yang merupakan muatan-muatan bebas dalam ruang dielektrik. Dengan proses ini maka terjadi pengumpulan muatan sejenis di dua sisi dielektrik. Sedangkan Polarisasi orientasi terjadi pada material dengan membentuk momen dipole permanen. Dipole-dipole permanen ini akan cenderung mengarahkan diri sejajar dengan medan listrik, namun tidak semua dipole akan sejajar dengan arah medan (Sudirham 2010). Peningkatan kapasitansi terhadap frekuensi juga dapat disebabkan oleh polarisasi elektronik dan polarisasi ion pada bahan dielektrik. Polarisasi elektronik terjadi karena pergeseran awan elektron pada atom atau molekul karena adanya
51
medan listrik dimana pusat muatan listrik positif dan negatif yang semula berimpit menjadi terpisah sehingga terbentuk dipole. Pemisahan titik pusat muatan ini berlangsung
sampai
terjadi
keseimbangan
dengan
medan
listrik
yang
menyebabkannya. Dipole yang terbentuk merupakan dipole tidak permanen, artinya dipole terbentuk selama ada pengaruh medan listrik saja. Jika medan listrik hilang maka titik-titik pusat muatan kembali berimpit lagi. Apabila medan yang diberikan adalah medan searah, dipole terbentuk hampir seketika dengan hadirnya medan listrik. Sedangkan Polarisasi ion terjadi karena pergeseran ion-ion yang berlawanan tanda oleh pengaruh medan listrik. Sebagaimana halnya dengan polarisasi elektronik, dipole yang terbentuk dalam polarisasi ion juga merupakan dipole tidak permanen. Namun polarisasi ion terjadi lebih lambat dari polarisasi elektronik. Apabila di berikan medan searah, diperlukan waktu lebih lama untuk mencapai keadaan seimbang (Sudirham 2010). Respon kapasitansi memiliki ketergantungan yang kuat terhadap suhu, sedangkan kapasitansi cenderung ke nilai konstan pada frekuensi yang lebih tinggi. Anomali ini dianggap berasal dari penyusutan oksigen keluar dari sampel selama proses pemanasan (Abu-Hilal 2006). Karakterisasi konstanta dielektrik terhadap frekuensi dan suhu pada masing-masing sampel ditunjukkan oleh gambar berikut:
Gambar 42 Karakteristik konstanta dielektrik terhadap frekuensi (a). sampel C23, sampel C241, sampel C251, sampel C261.
52
Gambar 43 Karakteristik konstanta dielektrik terhadap suhu(b). sampel C23, sampel C241, sampel C251,
sampel C261.
Berdasarkan Gambar 42 di atas menunjukkan bahwa konstanta dielektrik mengalami penurunan dengan bertambahnya frekuensi, dimana masing-masing sampel mempunyai tingkat penurunan yang berbeda bergantung dari banyaknya katalis yang digunakan. Pada gambar 42 memperlihatkan konstanta dielektrik yang
mengalami
penurunan
dengan
penambahan
katalis
sampel
dan
bertambahnya frekuensi. Pola tersebut mirip dengan karakteristik kapasitansi terhadap frekuensi. Hal ini terjadi karena antara kapasitansi dan konstanta dielektrik mempunyai hubungan yang linier. Sehingga peningkatan faktor konstanta dielektrik akan meningkatkan kapasitansi. Konstanta dielektrik tertinggi terdapat pada sampel C241. Karakteristik konstanta dielektrik sampel juga menunjukkan adanya peningkatan terhadap suhu. Semua sampel memperlihatkan pola yang sama terhadap suhu. Pengaruh penggunaan katalis dapat dilihat dari menurunnya konstanta dielektrik pada setiap sampel dengan penggunaan katalis yang berbeda. Oleh karena konstanta dielektrik mempunyai hubungan yang linier dengan kapasitansi, maka karakteristik konstanta dielektrik terhadap suhu juga menunjukkan pola yang sama dengan pola karakteristik kapasitansi terhadap suhu. Tingginya konstanta dielektrik yang dimiliki oleh sampel menunjukkan makin tingginya kemampuan yang dimiliki oleh sampel tersebut dalam penyimpanan muatan.
53
Distribusi dan Ukuran Partikel. Karakterisasi menggunakan SEM masih terbatas pada penentuan diameter partikel, sehingga diperlukan karakterisasi Particle Size Analizer (PSA). Hal ini dilakukan untuk mengetahui ukuran dari partikel yang dihasilkan. Hasil analisa menunjukkan ukuran partikel masing-masing sampel dengan persentasi maksimum antara lain 157,8 nm (sampel C23), 586 nm (sampel C241), 187,6 nm (sampel C251), dan 278,4 nm (sampel C261). Hal ini menunjukkan tingkat perbedaan ukuran partikel dari masing-masing sampel dimana partikel yang dihasilkan dalam skala nanometer. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingkat kehomogenan sampel karena pengaruh lamanya waktu pengadukan dengan magnetic stirrer disamping pengaruh katalis yang digunakan dalam proses sintesis. Selain itu, pelarut yang digunakan dalam analisis tersebut (Lampiran 4) adalah air sehingga memberikan pengaruh terhadap tingkat kelarutan sampel pada saat dilakukan analisis. Penentuan ukuran partikel tersebut penting dilakukan karena jika diamati hasil akhir dari riset dibidang nanomaterial adalah mengubah teknologi yang ada sekarang yang umumnya berbasis pada material skala mikrometer menjadi teknologi yang berbasis pada material nanometer (Abdullah 2009). Material ukuran nanometer juga memiliki sejumlah sifat kimia dan fisika yang lebih unggul dari material ukuran besar (bulk). Selain itu, material dalam ukuran nanometer memiliki sifat-sifat yang lebih kaya karena ada beberapa sifat yang dimiliki material ukuran ini yang tidak dimiliki oleh material ukuran besar, dan yang menarik adalah sejumlah sifat tersebut dapat diubah-ubah melalui pengontrolan ukuran material, pengaturan komposisi kimiawi, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi partikel.
Pengujian Elektroda Karbon Penggunaan elektroda karbon yang dihubungkan dengan elektrolit diukur tegangan yang dihasilkan dengan menggunakan hambatan 1 kΩ ditunjukkan melalui Gambar 44.
54
Gambar 44 Hubungan tegangan (mV) terhadap waktu (jam)
Berdasarkan Gambar 44 nampak bahwa dengan bertambahnya waktu maka nilai tegangan mengalami penurunan. Keadaan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh tingkat keasaman elektrolit (larutan yang menghantar arus listrik) yang digunakan sehingga ion hidrogen pada katoda akan tereduksi. Hasil reduksi tersebut menempel dan melapisi permukaan katoda maka terjadilah polarisasi pada katoda. Polarisasi ini menghambat proses selanjutnya dan menurunkan tegangan (V). Selain itu, elektrolit asam mendorong elektroda seng dan cenderung melarutkannya. Tetapi setiap atom seng meninggalkan dua elektron, sehingga memasuki larutan sebagai ion positif. Elektroda seng dengan demikian mendapatkan muatan negatif. Sementara makin banyak ion seng yang memasuki larutan, elektrolit selama sesaat dapat bermuatan positif. Karena hal ini dan melalui reaksi kimia lainnya, elektron-elektron tertarik lepas dari elektroda karbon. Sehingga elektroda karbon menjadi bermuatan positif. Karena ada muatan yang berlawanan pada kedua elektroda, maka ada beda potensial antara kedua terminal. Pada sel yang terminal-terminalnya tidak terhubung hanya sedikit seng yang terlarut, karena sementara elektroda seng menjadi bertambah negatif maka ion seng positif baru yang dihasilkan akan tertarik kembali ke elektroda. Dengan demikian, beda potensial atau tegangan tertentu dipertahankan antara kedua terminal. Jika muatan dibiarkan mengalir antara terminal misalnya resistor dengan hambatan tertentu (atau bola lampu) maka lebih banyak seng yang terlarut. Setelah beberapa waktu, satu elektroda atau lainnya terpakai habis dan akhirnya sel menjadi “mati” seperti pola kurva tegangan terhadap waktu yang ditunjukkan
55
oleh Gambar 44. Disamping itu, tegangan yang ada diantara terminal-terminal rangkaian tergantung pada bahan elektroda dan kemampuan relatifnya untuk terlarut atau melepaskan elektron. Nilai tegangan yang dihasilkan nampak masih kecil, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain elektrolit yang digunakan atau dapat juga dipengaruhi oleh masih rendahnya konduktivitas yang dimiliki oleh sampel yang digunakan, dimana konduktivitas sampel yang digunakan masih dalam rentang semikonduktor.
57
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1.
Bahan karbon dapat disintesis dari pati singkong dengan menggunakan metode hidrotermal pada suhu rendah yakni 120 oC.
2.
Material yang dihasilkan dari proses karbonisasi hidrotermal memberikan respon terhadap cahaya yang bersifat semikonduktor.
3.
Katalis ferrocene yang digunakan dalam proses karbonisasi hidrotermal berperan penting dalam perubahan sifat fisis material seperti struktur, morfologi, sifat listrik dan sifat dielektrik.
4.
Karbon yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai elektroda.
Saran 1.
Diperlukan penggunaan katalis yang berbeda sehingga diperoleh katalis yang optimal untuk mensintesis karbon dengan metode hidrotermal.
2.
Penelitian lanjutan untuk penggunaan material yang dihasilkan pada perangkat elektronika.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Abu-Hilal AO, Gould RD, Abu-Taha MI, Saleh AM, 2007. Electrode Material Effect On Capacitance And Loss Tangent Of The Organic ZnPc Semiconducting Thin Films. International Journal of Modern Physics B 1:5567 Anonim, 2010. Singkong. Http://lordbroken.wordpress.com Baccile N, Babonneau F, Titirici MM, Antonietti M, 2008. Carbon materials from polysaccharides via a one-pot hydrothermal pathway. Max Planck Gesellschaft. Chattopadhyay D, Rakhshit PC, Saha B, Purkait NN, 1989. Dasar Elektronika. Sutanto, Penerjemah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Terjemahan dari: Foundations of Electronic. Chorkendorff I, Niemantsverdriet JW, 2003. Concepts of Modern Catalysis and Kinetics. Weinheim: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. Fessenden RJ, Fessenden JS, 1982. Kimia Organik Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga. Giancoli DC, 2001. Fisika Edisi Kelima. Hanum Y, Arifin I, Penerjemah; Hardani HW, Simarmata SL, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physiscs Fifth Edition. Handayani S. 2008. Membran elektrolit berbasis polieter-eter keton tersulfonasi untuk direct methanol fuel cell suhu tinggi [disertasi]. FT, Universitas Indonesia. Hu B, Yu SH, Wang K, Liu L dan Xu XW, 2008. Functional carbonaceous materials from hydrothermal carbonization of biomass: an effective chemical process. Dalton Transactions 40:5389-5512. Keenan CW, Kleinfelter DC, Wood JH. 1992. Ilmu Kimia Untuk Universitas Edisi Keenam. Pudjaatmaka AH, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: General College Chemistry (Sixth Edition). Knezevic D, 2009. Hydrothermal Conversion Of Biomass [tesis]. The Netherlands: Enschede. Krane KS, 1992. Fisika Modern. Wospakrik HJ, Penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Modrn Physics.
60
Kwok KNg, 1995. Complete Guide To Semiconductor Devices. New Jersey: McGraw-Hill, Inc. Liang X, Yang J, 2009. Synthesis of a Novel Carbon Based Strong Acid Catalyst Through Hydrothermal Carbonization. Catal Lett 132:460–463. Matsui K, Kyotani T, Tomita A, 2002. Hydrothermal Synthesis of Nano-Sized Iron Oxide Crystals in The Cavity of Carbon Nanotubes. Mol. Cryst. Liq. Cryst 387:[225]/1-[229]/5. O’Connell MJ, 2006. Carbon Nanotubes Properties California: Taylor & Francis Group.
and
Applications.
Purwanto P, Purnama S, Purwanto S, Madesa T. 2007. Pengaruh CUI Terhadap Sifat Konduktor Ionik Padat (CUI)x(AGI )1-x (x = 0,6-0,9). Jurnal Sains dan Teknologi EMAS 17:3. Suchanek WL. 2003. Crystal Illuminations. Ohio: A publication of sawyer Research Products. Sutaryo D, 2009. Penghitungan Biomassa: Sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Sudirham S, Utari N, 2010. Mengenal Sifat-Sifat Material (1). Bandung: Darpublic. Suparman, 2010. Sintesis Silikon Karbida (SiC) dari Silika Sekam Padi dan Karbon Kayu dengan Metode Reaksi Fasa Padat [tesis]. Bogor: IPB Talapatra S. 2011. Multifungsi Karbon Nanotubes-Pengenalan dan Aplikasi Karbon Nanotubes Multifungsi. Departemen Fisika, Southern lllinois University Carbondale. http://www.azonano.com/article. Tipler PA, 2001. Fisika Untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga. Titirici MM, Thomas A, Antonietti M, 2007. Back in the black: hydrothermal carbonization of plant material as an efficient chemical process to treat the CO2 problem?. New Journal of ChemistryNew 31:787-789. Wang W, Huang JY, Wang DZ, Ren ZF. 2004. Low-temperature hydrothermal synthesis of multiwall carbon nanotubes. Letters to the Editor/Carbon 43:1317–1339 Wijngaarden RJ, 1998. Industrial Catalysis Optimizing Catalysts and Processes. Weinheim (Federal Republic of Germany): WILEY-VCH Verlag GmbH.
LAMPIRAN
63
Lampiran 1 Peralatan yang digunakan dalam penelitian.
XRD
SEM
HIOKI LCR HiTESTER
I-V Meter
65
Lampiran 2 Data kristalinitas sampel
Kristalinitas Sampel C23
Kristalinitas Sampel C241
Kristalinitas Sampel C251
Kristalinitas Sampel C261
66
Lanjutan...............(Data Base XRD Sampel C23)
67
Lanjutan...............(Data Base XRD Sampel C241)
68
Lanjutan...............(Data Base XRD Sampel C251)
69
Lanjutan...............(Data Base XRD Sampel C261)
71
Lampiran 3 Data ICDD
72
Lanjutan.......
73
Lampiran 4 Hasil Pengukuran Paricle Size Analizer (PSA) (Sampel C23)
74
Lanjutan..................... (Sampel C23)
75
Lanjutan..................... (Sampel C241)
76
Lanjutan..................... (Sampel C241)
77
Lanjutan..................... (Sampel C251)
78
Lanjutan..................... (Sampel C251)
79
Lanjutan..................... (Sampel C261)
80
Lanjutan..................... (Sampel C261)