Pengaruh Fisioterapi dan Kekuatan Otot
193
Pengaruh Fisioterapi Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Penderita Stroke Non Hemoragik Studi Observasional di RSI Sultan Agung Semarang Periode 1 Januari – 31 Desember 2009 Efficacy of Physiotherapy on The Muscular Strength In The Extremity In Patient with Non Hemorrhagic Stroke An observational study at Sultan Agung Islamic Hospital during 2009 Muhammad Hayyi Wildani1, Ika Rosdiana2*, Ken Wirastuti2 ABSTRACT Background: Stroke is the third cause of death and the number one cause of disability throughout the world, one of them by attacking the motor cortex, so the impact on limb muscle strength. Stroke accounts for 8085%. Physiotherapy is a way or form of treatment to restore the function of an organ of the body by using natural energy. This study aimed to determine the effect of physiotherapy on limb muscle strength in stroke patients non hemorrhagic in Sultan Agung Islaic Hospital Semarang. Design and Method: This was an analytical observational study with retrospective cohort study design. Comparison was made between limb muscle strength before and after giving physiotherapy. Physiotherapy was given on the same sample as many as 31 non-hemorrhagic stroke patients. Physiotherapy included ROM exercise and positioning, given 3 times per week. The data obtained was analyzed using non-parametric statistical tests of Wilcoxon test. Result: The test resulted in probabilities value <0.05 and there can mean the difference limb muscle strength is significant, the average strength of the upper limb before the physiotherapy for 3.19 ± 4.19 ± 1.327 and 1.214 after the physiotherapy and lower extremities before the physiotherapy for 1308 and 3.42 ± 4.32 ± 1.045 after the physiotherapy. Conclusion: Physiotherapy affects limb’s muscular strength in non-hemorrhagic stroke patients of Islam Sultan Agung Hospital Semarang for period 1 January to 31 December 2009 (Sains Medika, 2(2):193-199). Key words: non-haemorrhagic stroke, limb muscle strength, physiotherapy ABSTRAK Pendahuluan: Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga dan penyebab kecacatan nomor satu diseluruh dunia, salah satunya dengan menyerang korteks motorik, sehingga berpengaruh pada kekuatan otot ekstremitas. Sebanyak 80-85% penderita stroke adalah stroke non hemoragik. Fisioterapi adalah suatu cara atau bentuk pengobatan untuk mengembalikan fungsi suatu organ tubuh dengan memakai tenaga alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisioterapi terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke non hemorhagi RS Islam Sultan Agung Semarang. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan rancangan studi kohort retrospektif. Dilakukan perbandingan kekuatan otot ekstremitas antara sebelum dan sesudah pemberian fisioterapi. Fisioterapi diberikan pada sampel yang sama sebanyak 31 penderita stroke non hemoragik. Fisioterapi yang diberikan dalam penelitian ini adalah ROM exercise dan positioning, diberikan sebanyak 3 kali per minggu. Data yang sudah didapatkan dianalisa menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji Wilcoxon. Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan kekuatan otot ekstremitas yang bermakna (p < 0,005), rata-rata kekuatan ekstremitas atas sebelum di fisioterapi sebesar 3,19±1,327 dan 4,19±1,214 sesudah di fisioterapi serta ekstremitas bawah sebelum di fisioterapi sebesar 3,42±1.308 dan 4,32±1,045 sesudah di fisioterapi. Kesimpulan: Fisioterapi berpengaruh terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke non
1
Mahasiswa Fakulatas Kedokteran Fakultas Kedokteran UNISSULA Semarang
2
Bagian Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
*
Email:
[email protected]
194
Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010
hemoragik di RS. Islam Sultan Agung Semarang periode 1 Januari – 31 Desember 2009 (Sains Medika, 2(2):193-199). Kata Kunci : Stroke non hemoragik, kekuatan otot ekstremitas, fisioterapi.
PENDAHULUAN Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga dan penyebab kecacatan nomor satu diseluruh dunia. Dampak stroke tidak hanya dirasakan oleh penderita, namun juga oleh keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Penelitian memperlihatkan bahwa kejadian stroke terus meningkat di berbagai negara berkembang (termasuk Indonesia) (Rujito, 2007). Pada penderita stroke menyebabkan gangguan aktifitas, salah satunya diakibatkan oleh menurunnya kekuatan otot ekstremitas sebagai akibat dari adanya lesi di korteks motorik (Guyton & Hall, 1997). Price dan Wilson (2005) melaporkan bahwa 80-85% penderita stroke adalah stroke infark serebral (stroke non hemoragik), sedangkan 1520% adalah stroke hemoragik. Ginsberg (2004) menyatakan bahwa stroke adalah jenis sindrom yang terdiri dari gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat, gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian. Misbach (2004) menganggap stroke merupakan akibat dari berbagai penyakit dan keadaan yang banyak berhubungan dengan gaya hidup. Gaya hidup ini berupa perilaku dan lingkungan penyandangnya (Lumbantobing, 1992). Penggunaan obat sampai saat ini sudah banyak diterapkan, namun belum terbukti secara efektif pada pasien stroke. Selain itu, depresi juga menjadi penghambat pada pengobatan pasien stroke. Depresi juga menyebabkan pasien putus asa dan lesi hemisfer, sehingga memperparah keadaan pasien (Mardiyanto, 2001). Meskipun perbaikan fungsional pada pasien dapat berlangsung secara cepat (6-8 minggu), namun setelah itu berjalan lambat. Terapi pada pasien stroke dapat memakan waktu lebih dari 1 tahun (Redford, 2001). Waktu yang lama menjadi faktor penyulit dalam penyembuhan stroke karena pasien dituntut secara berkala berlatih secara mandiri maupun di pusat rehabilitasi medik (Mardiyanto, 1992). Penurunan kekuatan otot ekstremitas merupakan masalah pribadi dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Rani, 2004). Perawatan yang baik merupakan faktor yang penting dalam menentukan hasil keluaran dari pasien stroke. Fisioterapi merupakan hal yang penting diberikan untuk mencegah kekakuan dan imobilisasi. Pada 25-50% kasus setelah stroke, pertama kali penderita tidak mencapai kemandirian kembali dan membutuhkan perawatan yang
Pengaruh Fisioterapi dan Kekuatan Otot
195
ekstensif (Davey, 2006). Dari sudut pandang fisioterapi, akan banyak komplikasi yang muncul apabila tidak ditangani dengan baik (Rujito, 2007). Selain dapat dikendalikan dengan fisioterapi, serangan stroke dapat dicegah dengan pola hidup yang sehat (Misbach, 2004). Penelitian tentang fisioterapi maupun penelitian pada penderita stroke non hemoragik sudah banyaak dilakukan. Arisuma (2008) telah meneliti terapi latihan pada kasus hemiparese post stroke non hemoragik dextra di RSUD Sragen menunjukkan peningkatan aktivitas kemampuan fungsional. Widyatama (2008) melaporkan bahwa terapi latihan motor relearning programme pada kondisi hemiparese sinistra post stroke non haemoragik di RSUD Sukoharjo menunjukkan keterlibatan dengan proses kognitif. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh fisioterapi terhadap pasien stroke non hemorhagik. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung (RSISA) Semarang yang merupakan Rumah Sakit pendidikan serta salah satu rumah sakit swasta terbesar di Semarang. Di RSISA Semarang tentunya banyak ditemukan pasien stroke non hemorhagik dengan hasil penatalaksanaan yang baik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan rancangan studi kohort retrospektif. Fisioterapi didefinisikan sebagai suatu cara atau bentuk pengobatan untuk mengembalikan fungsi suatu organ tubuh dengan memakai tenaga alami yang diberikan selama seminggu, minimal sebanyak 3 kali pertemuan, dengan durasi 20-30 menit setiap dilakukan fisioterapi pada penderita stroke non hemoragik. Terapi yang diberikan berupa positioning dan ROM exercise. Kekuatan otot ekstremitas didefinisikan sebagai kekuatan otot ekstremitas penderita stroke non hemoragik yang telah melewati penyakitnya, pengukuran dilakukan pada awal (sebelum dilakukan fisioterapi) dan pada akhir (sesudah dilakukan fisioterapi). Selisih kekuatan (“K) dinilai dengan skor 0 sampai dengan 5. Skor 0 – 5 merupakan skor penilaian kekuatan otot ektremitas menurut Greenberg et al. (1999), yaitu: 0 jika tidak timbul kontraksi otot, lumpuh total; 1 jika timbul sedikit kontraksi otot; 2 jika terdapat gerakan, tetapi gerakan tidak mampu melawan gaya berat (gravitasi); 3 jika dapat melakukan gerak melawan gaya berat (gravitasi) tanpa mampu melawan tahanan; 4 jika dapat melawan gravitasi
196
Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010
dan melawan tahanan sedang; 5 jika dapat melawan gravitasi dan tahanan penuh, tidak ada kelumpuhan. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita stroke non hemorargik periode Januari-Desember 2009 yang mendapat fisioterapi dan diukur dengan penilaian kekuatan otot dan mendapatkan terapi medikamentosa standart meliputi neuroprotektan dan ASA di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Sampel penelitian meliputi seluruh populasi yang ada dan memenuhi kriteria, yaitu kriteria Inklusi meliputi: penderita stroke non hemoragik yang mendapat fisioterapi dan diukur menggunakan penilaian kemampuan otot, berusia 40-60 tahun, stroke yang pertama kali, hemipharesis, rawat inap, terapi standard stroke (neuroprotektan dan ASA). Kriteria eksklusi meliputi hasil pemeriksaan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) < 15, terjadi penurunan kesadaran, bilateral hemipharesis, pasien dengan riwayat amputasi, pasien dengan keadaan depresi serta pasien dengan aphasia sensorik. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 31 orang (laki-laki 18 orang dan perempuan 13 orang, usia 41-60 tahun), yaitu penderita stroke non hemoragik di RSI Sultan Agung Semarang yang sesuai dengan kriteria dan mengikuti fisioterapi pada periode Januari-Desember 2009. Penelitian ini membandingkan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pemberian fisioterapi dengan melihat kekuatan otot ekstremitas pada penderita stoke non hemoragik. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medik yang diambil dari penderita stroke non hemoragik di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang pada periode Januari-Desember 2009. Data-data yang diperlukan antara lain: identitas penderita stroke non hemoragik; lama penderita mengikuti fisioterapi, dengan frekuensi 3 kali per minggu dengan 1 kali pelaksanaan fisioterapi selama 20-30 menit; bentuk latihan fisioterapi yang diberikan pada setiap penderita (Positioning dan ROM exercise); kekuatan otot ekstremitas penderita stroke non hemoragik sebanyak 2 kali, yaitu saat baru masuk (sebelum dilakukan fisioterapi) dan setelah dilakukan fisioterapi. Setelah dilakukan pengambilan data sekunder, kemudian dilakukan pengolahan data. Diawali dengan menghitung besarnya pengaruh fisioterapi terhadap peningkatan kekuatan otot ekstremitas penderita stroke non hemoragik, kemudian dilanjutkan dengan uji statistik menggunakan SPSS.
Pengaruh Fisioterapi dan Kekuatan Otot
197
HASIL PENELITIAN Kekuatan ekstremitas baik atas maupun bawah pada pasien setelah fisioterapi mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum fisioterapi, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Hasil uji homogenitas normalitas menunjukkan bahwa data kekuatan ekstremitas terdistribusi tidak normal (p < 0,05) dan varian data tidak homogen (p < 0,05). Uji Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan ekstremitas sebelum dan sesudah fisioterapi (p > 0,05). Tabel 1.
Kekuatan ekstremitas pasien sebelum dan sesudah fisioterapi Ekstremitas Atas Bawah
Rata-rata±(SD) Sebelum Sesudah 3,19±1,327 4,19±1,214 3,42±1.308 4,32±1,045
PEMBAHASAN Fisioterapi berpengaruh terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke non hemoragik. Hasil ini sesuai dengan Rujito (2007) yang melaporkan bahwa fisioterapi dapat merangsang tonus otot ke arah normal. Jowir (2009) melaporkan bahwa memperkenalkan mobilisasi dini kepada pasien dengan cara pengoptimalan sisi yang sehat untuk mengkompensasi sisi yang sakit, sehingga sirkulasi darah perifer menjadi lancar yang dapat menyebabkan kemampuan ekstremitas dapat dioptimalkan kembali. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) antara penderita yang sebelum dengan sesudah pemberian fisioterapi. Hal ini sesuai dengan penelitian Arisuma (2008) pada kasus hemiparese post stroke non hemoragik dekstra di RSUD Sragen ditemukan terdapat peningkatan aktivitas kemampuan fungsional. peningkatan aktivitas kemampuan fungsional dapat dilihat dari peningkatan kekuatan otot ekstremitasnya. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam pelaksanaan fisioterapi memberikan perawatan diri dalam mengatasi masalah pribadi mulai dari ritual, kebiasaan, pengaturan waktu dan metode pembelajaran dalam keluarga sejak dini. Semua hal itu mempengaruhi seseorang untuk mencapai kekuatan otot ekstremitas dalam aktifitas kehidupan fisik sehari-hari (Rani, 2004).
198
Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010
KESIMPULAN Fisioterapi berpengaruh secara bermakna terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke non hemoragik di RS Islam Sultan Agung. Fisioterapi sebanyak 3 kali dalam seminggu berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kekuatan otot ekstremitas, dengan rata-rata kekuatan otot ekstremitas atas sebelum di fisioterapi sebesar 3,19±1,327 dan 4,19±1,214 sesudah di fisioterapi serta kekuatan otot ekstremitas bawah sebelum di fisioterapi sebesar 3,42±1.308 dan 4,32±1,045 sesudah di fisioterapi.
SARAN Penelitian sejenis perlu dilakukan dengan tidak hanya menggunakan data rekam medis, akan tetapi membandingkan data pasien sebelum dengan setelah pemberian fisioterapi. Selain itu, dalam penelitian selanjutnya fisioterapi yang diberikan tidak hanya ROM exercise dan positioning saja, dapat juga diberikan latihan gerak pasif, passive breathing excercise, stimulasi taktil dan lain-lain. Penelitian lanjutan untuk mengetahui efek yang lebih lama pada penderita stroke non hemoragik, maupun pada penderita yang membutuhkan fisioterapi lainnya perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Arisuma, D., 2008, Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Hemiparese Post Stroke Non Hemorage Dextra Di RSUD Sragen, http://etd.eprints.ums.ac.id/ view/crestors/ ARISUMA=3ADWI=3A.html. Dikutip tgl 9.10.2009. Davey, P., 2006, Medicine at a Glance, Erlangga Medical Series, Jakarta. Ginsberg, M.D., 2004, Albumin-based neurotherapheutic for acute ischemic stroke: from bench to bedside. In: Krieglstein J, Klumpp S, eds. Pharmacology of Cerebral Ischemia, Stutgart, Germany, MedPharm Scientific Publishers. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC, Jakarta, 399-340 Jowir, R., 2009, Peran Serta Fisioterapi Pada Stroke, http://etede.eprint.co.org/ 2009/04/ jornal-peran-fisioterapi-pada-stroke. html Dikutip tgl 16.09.2009 Lumbantobing, S. M., 2000, Neurologi Klinik-Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta Mardiyanto, Y., 1992, Rehabilitsi Stroke dalam Hadinoto Soedomo Buku Stroke, Universitas Diponegoro, Semarang Misbach, J., 2004, Guidelines Stroke, Seri 3, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Jakarta.
Pengaruh Fisioterapi dan Kekuatan Otot
199
Price, S.A., Wilson, L.M., 2005, Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 2, Edisi 6, EGC, Jakarta. Rani, T., 2004, Perbedaan Aktifitas Kehidupan Fisik Sehari-Hari Antara Penderita Stroke Hemoragik Dan Non Hemoragik, http://etd.eprints-abstract.ac.id/ Dikutip tgl 03.11.2009 Redford, B. W., 2001, Lower Central Nervous System Serotonergic Function and Risk of Cardiovascular Disease. Where Are We, What’s Next? http://stroke. ahajournals.org, Dikutip tgl 01.12.2009. Rujito, S., 2007, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Stroke Fase Akut, http://www.stroketheraphy.co.org/articles_health. details.php? Dikutip 12.02.2010. Widyatama, A., 2008, Penatalaksanaan Terapi Latihan Motor Relearning Programme pada Kondisi Hemiparese Sinistra Post Stroke Non Haemoragic di RSUD Sukoharjo, http://etd.eprints.ums.ac.id/940. Dikutip tanggal 08.01.2010.