PENGARUH DIET TEMPE TERHADAP KESEMBUHAN LUKA PADA TIKUS DIABETES YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN (STZ)
Oleh : DIAN SETIAWAN GHOZALI A54105304
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT DIAN SETIAWAN GHOZALI. Effects of Tempe on Wound Healing in StreptozotocinInduced Diabetic Rats. Supervised by Dr. Rimbawan and drh. Ekowati Handharyani, MSi., PhD.
Based on the report of World Health Organization, in coming 2025, the number of people suffering from Diabetes Mellitus will reach about 12 millions in Indonesia. One of the complications of uncontrolled high blood sugar, especially of those badly managed, is diabetic foot. Most of cases are ended with amputation. A diet called “diet G” has been recommended by Askandar (2002) in Indonesia to be consumed by patients with diabetic foot complication. The diet contains 20 percent protein high in arginine. Experience obtained by some nutritionists in Kutai Timur District (Eastern Borneo) showed that tempe gives a positive effect on healing process of diabetic foot patients, especially if tempe is used as a protein source of the diet. This can be seen by increasing dryness area of injured foot and decreasing suppuration on diabetic foot. It is hypothesized that arginine in tempe plays an important role on that healing process of diabetic foot. A research has been conducted to explore a novel application or usage of arginine of tempe in wound healing due to diabetes using rat as experimental animals. Diabetes was induced in male Sprague Dawley rats by intraperitoneal injection of 40 mg/kg streptozotocin (STZ). Non diabetes rats were injected with equal volumes of phosphate buffer saline (PBS) at the same time as STZ injection. In the seven day after STZ administration, wounding (length 0.8 x 0.8 cm) was resected with scissors on the clipped dorsal skin of animals under ketamin-xylazin anesthesia.. The curative effect was expressed as the percentile of wound area compared with that at day 0 (100%). The diabetic rats was divided into 3 groups, they are group receiving casein diet (control+STZ), arginine tempe 1.4% (Tempe1+STZ) and arginine tempe 1.6% (Tempe2+STZ). The non diabetic rats also divided into 3 groups, they were group receiving casein diet (control), arginine tempe 1.4% (Tempe1) and arginine tempe 1.6% (Tempe 2). Compared with control+STZ, the Tempe1+STZ group (arginine tempe 1.4%) has the same speed level of healing, but control+STZ group could not decrease blood glucose level (428.67 ± 38.43 mg/dL in control+STZ group and 187.6 ± 46.3 mg/dL in Tempe2+STZ group). All groups receiving tempe had lower blood glucose level compared with diabetic rats receiving casein (p< 0.01) and not significantly different from non diabetic rats receiving tempe or casein. The speed of healing between diabetic and non diabetic group shows no significant difference, except in Tempe2+STZ (p < 0.05). Thus, it can be concluded that giving tempe with arginine 1.4% can give positive influence to the speed level of wound healing and to the decreasing of blood glucose level in rats.
Keyword : diabetes mellitus, gangren, diabetic foot, tempe, diabetic rat
RINGKASAN Dian Setiawan Ghozali. A54105304. Pengaruh Diet Tempe Terhadap Kesembuhan Luka Pada Tikus Diabetes Yang Diinduksi Streptozotocin (STZ). Di bawah bimbingan Dr. Rimbawan dan drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian tempe terhadap proses kesembuhan luka pada tikus diabetes yang diinduksi Streptozotocin (STZ). Tujuan khususnya adalah 1) mengetahui pengaruh kandungan asam amino arginin dalam tempe dalam proses kesembuhan luka, 2) mengetahui peranan tempe dalam aktivitas hipoglikemik dan 3) mengetahui histopatologi pengaruh tempe terhadap kesembuhan luka. Data yang dikumpulkan berupa persen perubahan berat badan tikus, Food Conversion Efficiency (FCE), total intake makanan dan persen kesembuhan luka. Data dianalisis dengan General Linear Model (GLM) dan perbedaan diantara nilai rata-rata dianalisis dengan uji Duncan. Data dari histopatologi dianalisis dengan uji non parametrik Kruskal-Walis. Pada semua uji, perbedaan secara signifikan dinyatakan dalam P < 0.05. Tahapan penelitian diawali dengan pembuatan tempe menggunakan kedelai varietas Americana, Baluran dan Cikuray (kedelai hitam) yang dilakukan diindustri tradisional tempe milik H. Herman, Jl. Gugah Sari, Bogor. Selanjutnya tempe yang sudah dikering-bekukan, dianalisis kandungan gizinya yang meliputi protein, lemak, asam lemak, mineral, asam amino dan isoflavon. Analisis isoflavon hanya dilakukan pada tempe yang terpilih untuk percobaan hewan (tikus). Hasil analisis asam amino arginin diperlukan dalam rangka menentukan jumlah tempe yang akan digunakan sebagai diet percobaan hewan. Sebelum diinduksi diabetes, tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 10 hari di kandang metabolik, dan diberikan diet standar (kasein) dengan komposisi sesuai dengan AIN-93M. Pada hari ke-0, tikus diinjeksi secara i.p. (intraperitoneal) 40 mg/kg bb Streptozotocin (STZ), sedangkan tikus non diabetes diinjeksi secara i.p. menggunakan Phosphate buffer saline (PBS) pH 7,4. Pada hari ke-7 pasca induksi kadar gula darah tikus diukur. Tikus dinyatakan diabetes apabila konsentrasi plasma glukosa menunjukkan kadar gula darah >250 mg/dL, sedangkan non diabetes jika gula darah < 249 mg/dL (Gutierrez & Vargas, 2006). Sebelum perlukaan, tikus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok perlakuan (Kontrol, Kontrol+STZ, Tempe1, Tempe1+STZ, Tempe2, dan Tempe2+STZ). Jumlah ulangan untuk masing-masing kelompok adalah 3 ekor tikus dengan simpangan deviasi berdasarkan berat badan awal ± 10 gr. Kemudian pembuatan luka dilakukan pada kulit pada daerah punggung tikus dengan ukuran panjang kali lebar 0.8 x 0.8 cm2. Pembuatan luka pada daerah punggung tikus mengacu pada beberapa referensi penelitian tentang efek kesembuhan pada luka diabetik, seperti Komesu et al., (2004), Gutierrez & Vargas (2006), Qiu et al., (2007), Cheng et al., (2006), dan Arul et al., (2006). Prosedur perlukaan dilakukan dalam keadaan tikus dianastesi menggunakan ketamin-xylazin. Setelah dilukai, tikus kemudian mendapatkan diet masing-masing sesuai dengan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol mendapatkan diet kasein, sedangkan kelompok tempe mendapatkan diet tempe, dalam hal ini kelompok Tempe1 dan Tempe1+STZ mendapat diet tempe yang
jumlahnya disesuaikan agar mengandung asam amino arginin dari tempe sebesar 1,4 persen sedangkan kelompok Tempe2 dan Tempe2+STZ mendapatkan diet yang mengandung arginin tempe sebesar 1,6 persen. Pada hari ke-21 pasca induksi, dilakukan pembedahan terhadap tikus, yang sebelumnya telah dianastesi dengan ketamin (15 mg/100 gr bb tikus) dan xylazin (1 mg/100 gr bb tikus). Darah (sekitar 3 ml) diambil secara langsung dari jantung. Sampel darah disentrifuse untuk memperoleh serum darah yang selanjutnya digunakan untuk analisis asam amino menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Setelah tikus mati, segera dilaksanakan nekropsi. Pankreas dan kulit diambil dan segera disimpan dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10 persen, yang selanjutnya diproses menjadi preparat histologi dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (H&E) untuk mengetahui perkembangan luka, menghitung sel fibroblas dan serabut kolagen. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa diet tempe yang diberikan pada tikus induksi STZ secara signifikan (P<0.001) mempengaruhi penurunan kadar gula darah. Kadar gula darah tikus kelompok Tempe1+STZ sebesar 187,66±46,30 mg/dL dan Tempe2+STZ sebesar 149,00 ± 46,67 mg/dL dibandingkan dengan kelompok Kontrol+STZ yang mempunyai kadar gula darah sebesar 489,33±148,28 mg/dL. Hal yang sama juga didapatkan pada tikus kelompok perlakuan tempe non diabetes (Tempe1 dan Tempe2) dibanding kelompok kontrol. Pemberian tempe memberikan efek hipoglikemik dibanding kelompok kontrol non diabetes. Dengan demikian diketahui bahwa tempe memiliki efek pengendalian gula darah pada keadaan hiperglikemik. Data perubahan berat badan tikus selama perlakuan (14 hari) menunjukkan bahwa Tempe1+STZ memberikan berat badan yang paling tinggi (24,82±2,67 gr) dan berat badan paling rendah diperoleh pada kelompok Tempe2+STZ (14,43±1,70 gr). Food intake pada kelompok kontrol lebih besar dibanding kelompok tempe. Jika dilihat dari nilai FCE diketahui bahwa sumbangan energi yang berasal dari tempe tidak berbeda nyata dengan masukan energi yang berasal dari kasein. Pemberian tempe tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar serum asam amino arginin tikus meskipun jumlah intake protein berbeda-beda. Hasil yang hampir sama juga terjadi pada serum tikus kelompok tempe dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian diet tempe tersebut telah mencukupi kebutuhan akan asam amino arginin Hasil dari penelitian ini menunjukkan apabila dilihat secara makro, persen penyembuhan luka lebih tampak pada kelompok Kontrol+STZ, tetapi secara histopatologi, kolagen yang terbentuk masih halus dan jumlah fibroblas masih terlihat tinggi pada tikus tersebut meskipun epidermis telah menutup. Selain itu pertumbuhan kolagen belum diikuti oleh pertumbuhan folikel rambut. Hal ini berbeda dengan kemajuan kesembuhan luka pada kelompok Tempe1+STZ. Dalam hal ini kolagen sudah terlihat kasar, diikuti dengan jumlah fibroblas yang mulai menurun, epidermis yang telah menutup dan diikuti dengan pertumbuhan folikel rambut diantara pertumbuhan kolagen. Hasil yang kontras terlihat pada kelompok Tempe2+STZ (arginin 1,6 persen) dimana proses kesembuhan luka terjadi sangat lambat.
Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara kesembuhan luka diabetik pada kelompok Kontrol+STZ dengan kelompok Tempe1+STZ, tetapi secara jangka panjang, pemberian diet tempe lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan pemberian diet tempe juga memiliki efek hipoglikemia jika dibandingkan dengan pemberian diet kasein.
PENGARUH DIET TEMPE TERHADAP KESEMBUHAN LUKA PADA TIKUS DIABETES YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN (STZ)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Dian Setiawan Ghozali A54105304
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL
: PENGARUH DIET TEMPE TERHADAP KESEMBUHAN LUKA PADA TIKUS DIABETES YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN (STZ)
Nama Mahasiswa
: Dian Setiawan Ghozali
Nomor Pokok
: A54105304
Disetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Rimbawan NIP. 131629744
drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD. NIP. 131578831
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131124019
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Tegal, pada tanggal 13 Juni 1978. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Moh. Taufik dan Eka Sukasih. Alhamdulillah penulis telah dikarunai seorang anak (Rafif Rabanizaly) dari istri yang bernama Andi Martini. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992 di SD Pekauman 6 Tegal. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 7 Tegal pada tahun 1990. Pada tahun 1993, penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Brebes. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Akademi Gizi Yogyakarta pada tahun 1996. Jenjang karir penulis,
dimulai pada tahun 1999. Setelah magang di
Instalasi Gizi RSUP dr Sardjito Yogyakarta, penulis membuat usaha katering diet (penyakit khusus) di Yogyakarta, dilanjutkan sebagai konsultan gizi di Klinik Sewu Husada Bhakti, Yogyakarta, dan pernah berpraktek sebagai konsultan gizi di salah satu apotik di Yogyakarta. Pada akhir tahun 2000, penulis diterima menjadi PNS Departemen Kesehatan RI, dengan tempat penugasan pertama di Puskesmas Sengata, Kutai Timur sebagai staff gizi, kemudian dimutasikan ke Puskesmas Muara Wahau I pada posisi yang sama. Semenjak tahun 2002 penulis dimutasi kembali dan ditempatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Sengata, sebagai kepala Instalasi Gizi. Pada tahun 2004, penulis juga menjadi konsultan gizi di Rumah Sakit Sengata Prima-Kutai Timur. Pada tahun 2005, penulis mendapatkan beasiswa WHO-HWFS, untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Alih Jenjang.
PRAKATA Alhamdulillah, ucap syukur penulis kepada Allah SWT yang telah mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, menaikkannya beberapa derajat bagi hambanya yang menuntut ilmu dan telah memberikan penulis banyak sekali kemudahan sehingga proses pembuatan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan doa kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama masa perkuliahan dan juga selama proses penyelesaian skripsi ini, antara lain : 1. Dr. Rimbawan, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan kesabarannya telah memberikan banyak sekali ilmu, arahan, motivasi dan luang waktunya yang telah mempengaruhi penulis dalam berpikir secara ilmiah (suatu pola pikir yang selalu diharapkan oleh penulis). Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa selalu memberikan barokah, kelapangan rizki, keteguhan iman dan kemudahan dalam segala urusan kepada Bapak dan keluarga. Amien. 2. drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan keramahannya selalu memberikan arahan, bimbingan, motivasi, luangan waktu dan tenaganya terutama dalam
pelaksanaan aspek teknis
terhadap hewan percobaan (kontrol kesehatan, pengukuran gula darah, anastesi, pembuatan luka, pembedahan dan analisis histopatologi hewan percobaan). Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa selalu memberikan barokah, kelapangan rizki, keteguhan iman dan kemudahan dalam segala urusan kepada Ibu dan keluarga. Amien. 3. Dr. Tan Chuan Cheng, yang telah memberikan semangat, sumbangan pemikiran-pemikiran yang sangat bermanfaat bagi penulis dan
terutama
dukungan dalam pendanaan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
Mudah-mudahan
Allah
SWT
senantiasa
selalu
memberikan
kenikmatan kesehatan dan kenikmatan lainnya sehingga kiprah, gagasan dan pemikiran Bapak selalu diharapkan terutama dalam kemajuan ilmu ”Functional food” di Indonesia. 4. Dr. Ir. Endang S. Sunaryo, MSc., yang selalu memberikan banyak kemudahan, luang waktu, motivasi, kesabaran dan sumbangan pemikiran yang
sangat berarti bagi penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. Mudah-
mudahan Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan dalam segala urusan, kelapangan rizki dan keberkahan bagi Ibu beserta keluarga. Amien. 5. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, MSc, selaku dosen pemandu seminar. Mudahmudahan Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan dalam segala urusan, memperlancar studi yang sedang ditempuhnya, memberikan kelapangan ilmu dan keberkahan bagi Ibu beserta keluarga. Amien. 6. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi., selaku dosen penguji. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan dalam segala urusan, memberikan kelapangan ilmu dan keberkahan bagi Ibu beserta keluarga. Amien. 7. drh. Adi Winarto, PhD.(Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, suami dari drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD.), yang selalu memberikan arahan, luangan waktu dan tenaganya terutama dalam
pelaksanaan aspek teknis terhadap
hewan percobaan (kontrol kesehatan, pengukuran gula darah, anastesi, pembuatan luka dan pembedahan). Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan dalam segala urusan, dilapangkan segala rizki dan keteguhan iman kepada Bapak dan keluarga. Amien. 8. Bpk Mashudi (Teknisi Laboratorium GMSK-IPB) yang dengan penguasaan ilmunya selalu memberikan arahan, luangan waktu dan tenaganya terutama dalam desain penelitian dan aspek teknis pembuatan ransum sehingga hasil penelitian ini menjadi ideal dalam segi metodelogi. Terutama solusi-solusi yang bagi penulis telah memperlancar dalam proses penelitian yang memakan waktu hingga 3 tahun. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kelancaran bagi Bapak dalam menyelesaikan studi yang sedang ditempuhnya, kelapangan rizki dan diberikan pula ilmu serta keberkahan bagi keluarganya. Amien. 9. drh. I G N Sudisma, MSi., (Dosen Kedokteran Hewan – Universitas Udayana Bali / Mahasiswa S3- Fakultas Kedokteran Hewan-IPB) yang telah memberikan banyak ide kepada penulis dan luangan waktu dan tenaganya terutama dalam
pelaksanaan aspek teknis terhadap hewan percobaan
(pengukuran gula darah, anastesi dan pembuatan luka). Mudah-mudahan Allah SWT memperlancar studi yang sedang ditempuhnya, memberikan
kelapangan ilmu, kemudahan dalam segala urusan dan keberkahan bagi Bapak dan keluarganya.Amien. 10. Vita Samastha Pratidina, Destriyanti Sugiarti, Eria Faristasari Ibrahim, Eka Denik, dan Rezi Zahra Aziza (Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan-IPB), yang dengan keikhlasan telah meluangkan waktu dan tenaganya sehingga atas bantuannya penelitian ini menjadi lancar.
Mudah-mudahan Allah SWT
memperlancar studi dan mengabulkan semua cita-citanya serta menjadikannya sebagai wanita sholehah yang menjadi kebanggaan bagi orang tua. Amien 11. Firdaus (Mahasiswa GMSK-IPB), selaku pembahas dalam seminar dan yang telah banyak sekali membantu penulis dalam penelitian ini. Mudah-mudahan Allah SWT mempermudah dan memperlancar proses penelitiannya, mengabulkan cita-citanya dan menjadikannya seseorang yang teguh dalam keimanannya serta menjadi kebanggaan bagi orang tua. Amien 12. Aini Aqsa Arafah, selaku pembahas dalam seminar. Mudah-mudahan Allah SWT mengabulkan cita-citanya dan menjadikannya sebagai wanita sholehah yang menjadi kebanggaan bagi orang tua. Amien 13. Ida Hikdawati dan Dewi Kusuma (Mahasiswa GMSK-IPB), yang dengan keikhlasan telah meluangkan waktu dan tenaganya sehingga atas bantuannya penelitian ini menjadi lancar. Mudah-mudahan Allah SWT mengabulkan citacitanya, dipermudah dalam mendapatkan pekerjaan serta selalu diberikan keberkahan dalam mengarungi hidup. Amien 14. Wida Suherman (Mahasiswa S2-Universitas Kebangsaan Malaysia) yang telah memberikan motivasi, semangat dan terutama akses jurnal tanpa batas yang sangat membantu penulis dalam studi literatur sehingga penelitian ini menjadi ideal dalam metodelogi dan kemudahan dalam pembahasan hasil penelitian. Mudah-mudahan Allah SWT memperlancar studi yang sedang ditempuhnya, memberikan kelapangan ilmu dan keberkahan bagi Mbak Wida dan keluarganya.Amien. 15. Dosen dan staf GMSK yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Mudah-mudahan Allah SWT selalu mempermudah dalam segala urusanurusannya. Amien
16. Teman-teman mahasiswa GMSK angkatan 40 dan 41 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan semangat dan teguran agar selalu berendah hati dalam melakukan penelitian ini. Mudah-mudahan Allah SWT mengabulkan semua cita-citanya serta selalu diberikan keberkahan dalam mengarungi hidup. Amien 17. Kustaniyah, Nooraida, Jemy Mande (Staf Keuangan Rumah Sakit Umum Sengata-Kutai Timur), dr Bahrani (dokter Rumah Sakit Umum Sengata-Kutai Timur) dan Hadi Hamidan Hakim (Staf Apotek Rumah Sakit Umum SengataKutai Timur) yang telah memberikan bantuan finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penelitian ini. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kelapangan rizki dan keberkahan bagi keluarganya. Amien. 18. dr Ade Hashman dan dr Rahmat L, SpOG (dokter Rumah Sakit Umum Sengata-Kutai Timur), yang telah memberikan motivasi, doa dan dorongan semangatnya kepada penulis. Mudah-mudahan Allah SWT memperlancar studi spesialis anastesi dan spesialis fertilitas reproduksi yang sedang ditempuhnya, serta diberikan keberkahan bagi keluarganya. Amien. 19. dr Esti Indriyanti, M.Kes. (Wakil Kepala Dinas Kesehatan Kutai Timur / Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Sengata-Kutai Timur) yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk menempuh studi lanjut di IPB. Mudahmudahan Allah SWT selalu memberikan ketegaran dan kesabaran, mempermudah segala urusan dan keberkahan bagi Ibu dan keluarga. Amien. 20. Andi Martini dan Rafif Rabanizaly (istri dan anak) yang dengan kesabaran dan ketekunannya mendampingi dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan hidayah dan menjadikan kita sebagai keluarga sakinah mawadah warahmah, serta menjadikannya seorang istri yang sholehah dan anak yang sholeh, yang mudah-mudahan kita dapat berkumpul kembali di surga kelak. Amien. 21. Keluarga besar Bapak Moh Taufik dan keluarga besar Bapak Andi Mantu (alm.), yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan hidayah keimanan
dan keberkahan bagi keluarga kita. ”Ya
Allah, berilah rahmat, terimalah amalan dan ampunilah atas dosa dan
kekilafan almarhum Bapak kami (Andi Mantu) dan pertemukanlah kami kelak di surgamu”. Amien. 22. drh Dian Tresno Wikanti (kakak), yang telah memberikan arahan, gagasan, ide dan dukungan finansial kepada penulis. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kelapangan rizki dan dijadikan sebagai wanita yang sholehah. Amien. 23. Ir. Anton Aritonang, MSi. (dosen Poltekes Depkes RI, Yogyakarta), yang selama ini masih menjadi inspirator bagi penulis dalam mengasah ide atau gagasan. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kelapangan rizki dan kemudahan dalam segala urusan-urusannya. Amien. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amien.
Bogor, Oktober 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ......................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
iii
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................
1
Tujuan ...............................................................................................
2
Kegunaan ...........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
Diabetes Mellitus ..............................................................................
3
Kaki Diabetik ....................................................................................
4
Etiologi Kaki Diabetik ......................................................................
9
Diabetes Eksperimental......................................................................
11
Kesembuhan Luka..............................................................................
11
Terapi Nutrisi Kesembuhan Luka pada Kaki Diabetik ......................
13
Tempe .................................................................................................
16
Nilai Gizi Tempe ................................................................................
20
METODE ....................................................................................................
22
Waktu dan Tempat .............................................................................
22
Bahan dan Alat ...................................................................................
22
Metode ...............................................................................................
23
Pengolahan dan Analisis Data............................................................
29
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
31
Pembuatan Tempe ..............................................................................
31
Perubahan Kadar Zat Gizi Proksimat Kedelai Pasca Fermentasi .....
39
Perubahan Komposisi Asam Amino Kedelai Pasca Fermentasi .......
40
Perubahan Komposisi Asam Lemak Kedelai Pasca Fermentasi .......
41
Perubahan Komposisi Mineral Kedelai Pasca Fermentasi ................
42
Perubahan Komposisi Isoflavon Kedelai Pasca Fermentasi .............
43
Persiapan Hewan Percobaan .............................................................
44
Pembuatan Diabetes dengan Induksi Streptozotocin (STZ) ..............
46
Efek Tempe terhadap Kadar Gula Darah Tikus .................................
50
Efek Tempe terhadap Intake makanan, Perubahan Berat badan dan FCE........................................................................................
52
Efek Tempe terhadap Serum Asam Amino Arginin Tikus ................
53
Efek Tempe terhadap Kesembuhan Luka Tikus yang Diinduksi STZ ....................................................................
54
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
63
Kesimpulan ........................................................................................
63
Saran ................................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
65
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Derajat Kaki Diabetik Menurut Wagner dan University of Texas System ...........................................................
4
2.
Variasi Metode Pembuatan Tempe di Indonesia ...............................
18
3.
Komposisi Diet Berdasarkan AIN-93M ............................................
28
4.
Perubahan Kadar Zat Gizi Proksimat Pasca Fermentasi Kedelai ......
39
5.
Perubahan Komposisi Asam Amino Pasca Fermentasi Kedelai.......
41
6.
Perubahan Komposisi Asam Lemak Pasca Fermentasi Kedelai.......
42
7.
Perubahan Komposisi Mineral Pasca Fermentasi Kedelai ...............
43
8.
Perubahan Isoflavon Pasca Fermentasi Kedelai ...............................
43
9.
Kadar Gula Darah Tikus Induksi STZ ..............................................
48
10.
Efek Tempe terhadap Perubahan Berat Badan, Intake makanan dan Nilai FCE Tikus ..........................................................................
52
11.
Efek Tempe terhadap Serum Asam Amino Arginin Tikus ...............
54
12.
Persen Kesembuhan Luka, Jumlah Fibroblas dan Pembentukan Kolagen pada Tikus............................................................................
57
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Desain Penelitian................................................................................
23
2.
Prosedur Pembuatan Tempe...............................................................
24
3.
Prosedur Perlukaan Tikus ..................................................................
27
4.
Proses Perendaman Kedelai Varietas Americana, Baluran dan Cikuray (Hitam) ..........................................................................
34
Pengupasan Kedelai Varietas Baluran, Kedelai Varietas Cikuray yang Belum Dikupas, Kedelai Varietas Cikuray yang Sudah Dikupas ...................................................................................
36
Proses Fermentasi Kedelai Varietas Baluran, Cikuray dan Americana......................................................................
38
7.
Hasil Fermentasi Kedelai yang Telah Menjadi Tempe Sempurna.....
39
8.
Masa Adaptasi Tikus di Kandang Metabolik .....................................
45
9.
Proses Pembuatan Diabetes pada Tikus dengan Induksi STZ ..................
47
10.
Pengukuran Kadar Gula Darah ....................................................................
49
11.
Tikus Dilukai pada Daerah Punggung ...............................................
54
12.
Fase Penyembuhan Luka Normal ......................................................
55
13.
Proses Kesembuhan Luka Secara Makro ................................................
57
14.
Histopatologi Kesembuhan Luka Kelompok Kontrol+STZ (A)
5.
6.
dan Tempe1+STZ (B) ........................................................................ 15.
59
Histopatologi Kesembuhan Luka Kelompok Kontrol (A) dan Tempe2+STZ (B) ........................................................................
59
PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan perkiraan
World Health Organization (WHO), pada tahun
2025 mendatang jumlah diabetisi / penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia mencapai 12 juta orang (Kompas, 2006). DM merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Apabila tidak dikendalikan, pada suatu saat akan menyebabkan berbagai komplikasi kronis seperti; kardio diabetik (penyakit jantung), nefropati diabetik (gagal ginjal), impotensi, retinopati diabetik, dan kaki diabetik Kaki diabetik (diabetic foot) merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling buruk hasil pengelolaanya (Waspadji, 2000) dengan prevalensi sekitar 15 persen. Akibat tidak tertangani dengan baik, kurang lebih 14-24 persen dari penderita kaki diabetik ini memerlukan tindakan amputasi (ADA, 1999) dan tiga tahun berikutnya, 30 persen diantaranya akan menjalani amputasi ulang pada bagian tubuh lainnya. Bahkan dua pertiga dari penderita tersebut, akan meninggal setelah 5 tahun kemudian (Kompas, 2006). Diet “G”, yang memiliki komposisi 20 persen protein (tinggi asam amino arginin) telah direkomendasikan Askandar (Tjokroprawiro, 2002) sebagai diet yang diberikan pada pasien dengan komplikasi kaki diabetik ini. Pengalaman yang dilakukan
para tenaga medis di Kabupaten Kutai Timur dalam upaya
penyembuhan kaki diabetik ini dengan menganjurkan penderita yang dirawat agar
menghindari protein
hewani sebagai lauk menunya dan menggantinya
dengan lauk tempe sebagai sumber protein. Hal ini disebabkan karena menurut pandangan para tenaga kesehatan ini, lauk hewani membuat luka lama mengering dan luka menjadi bernanah tetapi keadaan akan menjadi sebaliknya apabila menggunakan lauk tempe sebagai sumber proteinnya. Atas dasar pengalaman ini, peneliti mencoba meneliti apakah pemberian tempe benar-benar berpengaruh kepada percepatan kesembuhan dan active compound dalam tempe yang diduga berperan dalam proses tersebut, yang dilakukan pada tikus sebagai hewan eksperimen. Peneliti lebih menekankan pada pengaruh asam amino arginin dalam tempe sebagai pendugaan sementara,
karena asam amino tersebut dalam beberapa studi literatur telah jelas berperan dalam proses penyembuhan luka (Witte et al., 2002, Kohli et al., 2004) meskipun faktor-faktor lain yang terdapat dalam tempe diduga memiliki andil dalam proses persembuhan seperti seng (Zn), vitamin B, asam lemak esensial (ALE), zat anti bakteri tempe, serat, dan isoflavon tempe
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tempe terhadap proses kesembuhan luka pada tikus diabetes yang diinduksi Streptozotocin (STZ). Tujuan Khusus 1.
Mengetahui pengaruh kandungan asam amino arginin dalam tempe dalam proses kesembuhan luka.
2.
Mengetahui peranan tempe dalam aktivitas hipoglikemik.
3.
Mengetahui histopatologi pengaruh tempe terhadap kesembuhan luka.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan acuan bagi praktisi kesehatan, pasien maupun masyarakat pada umumnya, dalam rangka mengatasi permasalahan kaki diabetik.
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal (keadaan hiperglikemia). Kadar ini terjadi karena adanya gangguan terhadap sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta di pankreas, sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung dan berfungsi sebagai pengatur metabolisme glukosa menjadi energi dan mengubah kelebihannya (glukosa) menjadi glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Gejala klasik yang umum terjadi pada diabetisi (penderita DM) antara lain; menurunnya berat badan secara drastis tanpa sebab dalam jangka waktu singkat, banyak kencing (poliuria) terutama pada malam hari, banyak minum (polidipsia) karena rasa haus yang berlebihan, banyak makan (polifagia) akibat selalu merasa lapar. Menurut American Diabetes Association / ADA (2007) kriteria diagnosis DM adalah kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dL ( ≥ 7 mmol/L) dan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dL ( ≥ 11,1 mmol/L). Secara klinis ADA mengelompokkan DM secara garis besar menjadi tipe-1 / insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan tipe-2 non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM). Tipe-1 adalah DM yang tergantung insulin dari luar, umumnya dialami oleh usia muda, rentan beresiko terkena ketoasidosis, dan mudah terjadi kerusakan sel beta pankreas. Dalam hal ini kerusakan pankreas dapat melalui timbulnya reaksi autoimun sehingga terjadi peradangan (insulitis) pada sel-sel β pulau Langerhans. Faktor penyebab insulitis antara lain; virus cocksakie, rubella dan toksin lain yang menyerang sel-sel β sehingga menyebabkan defisiensi insulin. Tipe-2 adalah DM yang tidak tergantung pada insulin dari luar (insulin dibutuhkan hanya untuk kontrol), umumnya terjadi pada usia dewasa. Insulin tidak bekerja dengan baik karena reseptor insulin pada sel telah berkurang atau berubah struktur sehingga hanya sedikit glukosa yang berhasil
masuk sel, yang berakibat sel mengalami kekurangan glukosa dan disisi lain terjadi penumpukan glukosa dalam darah. Kondisi tersebut dalam jangka panjang dapat merusak pembuluh-pembuluh
darah dan menimbulkan berbagai
komplikasi.
Kaki Diabetik Kaki diabetik (diabetic foot ulcer) adalah suatu penyakit pada diabetisi bagian kaki dengan gejala dan tanda sering kesemutan atau gringgingan (asmiptomatus), jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil), nyeri saat istirahat dan kerusakan jaringan (nekrosis, ulcer). Prevalensi kaki diabetik sekitar 15 persen dan 14-24 persen diantaranya berujung pada amputasi (ADA, 1999). Terdapat atau tidaknya infeksi, pemakaian sepatu atau bentuk tekanan kaki, dan kontrol glikemik mempengaruhi proses penyembuhan kaki diabetik ini (Boulton et al., 2000). Derajat kaki diabetik dibedakan menurut Wagner (1981) dan University of Texas System (Lavery et al., 1996), seperti tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Derajat kaki diabetk menurut Wagner dan University of Texas System Derajat Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2
Wagner (1981) Kulit utuh tetapi ada kelainan benda kaki akibat neuropati Terdapat ulkus superfisial terbatas pada kulit Ulkus dalam dan menembus tendon atau tulang
University of Texas System (Lavery et al., 1996) Bagian pra atau pasca luka telah sembuh Terdapat luka superfisial tidak meliputi tendon atau kapsul tulang Luka sudah menembus ke tendon atau kapsul Luka menembus tulang, dalam hal ini luka dibagi dalam 4 tahap Tahap A : luka bersih Tahap B : infeksi luka non-iskhemik Tahap C : non infeksi luka iskhemik Tahap D : luka infeksi iskhemik
Derajat 3
Ulkus dengan atau tanpa osteomilitus
Derajat 4
Gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan atau tanpa selulitis (infeksi jaringan).
-
Derajat 5
Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah
-
Manifestasi
kaki diabetik dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus
diabetes, osteomielitis, dan gangren (Sutjahjo,1994). Istilah-istilah nekrose, ulkus
dan gangren saling berhubungan. Nekrose menyangkut kematian jaringan dapat berupa setempat maupun luar. Ulkus adalah akibat dari daerah nekrose setempat di kulit atau selaput lendir. Gangren diterapkan pada suatu daerah nekrose yang mengenai suatu bagian badan, misalnya jari atau tungkai. Ulkus Diabetik Ulkus atau ulsera adalah luka pada suatu jaringan yang masih baru atau lama tetapi tidak menunjukkan adanya kecenderungan untuk menjadi sembuh (borok). Adanya kerusakan pada satu bagian jaringan dan gangguan peredaran darah setempat memudahkan terjadinya ulkus karena keadaan tersebut menurunkan vitalitas jaringan itu. Sifat fisik ulkus memberikan banyak tanda terutama dalam
bentuk,
lokasi, dasar, tepi dan kemungkinan adanya eksudat. Ulkus yang penyebabnya berhubungan dengan ganguan sirkulasi kecuali disebabkan oleh penyakit raynaud atau penyakit buerger, hampir selalu terjadi pada anggota badan bagian bawah. Gejala ulkus antara lain adanya luka yang bentuknya bulat pada permukaan dengan kedalaman yang bervariasi, tepi luka bisa rata atau lebih menonjol atau sedikit naik dengan jaringan sekelilingnya dapat bersifat keras atau lunak, tengah-tengah luka bisa rata atau cekung, di dalamnya nampak tempattempat yang nekrose dan biasanya dari ulkus akan keluar cairan yang berwarna keabu-abuan, kemerah-merahan dan bernanah. Gejala lain dari ulkus, umumnya ditandai dengan hilangnya continuitas epidermis, yang berakibat terbentuknya bangunan seperti sebuah kawah. Kesembuhan suatu ulkus hampir selalu disertai dengan pembentukan parut (sikratis). Ulkus yang bentuknya bulat sempurna menunjukan ada hubungannya dengan gangguan trophy. Ulkus neuropati umumnya timbul pada benjolan kaki dan jaringan tangan, ulkus yang menjalar tidak teratur biasanya karena infeksi. Suatu infeksi yang meluas secara lambat sering berhubungan dengan Streptococcus haemolyticus microaerophilic sebagai penyebabnya. Ulkus juga berarti suatu lesi kulit yang bersifat sekunder (lesi yang bersifat difus). Dalam hal ini, lesi pada kulit dibedakan menurut dua tipe, yaitu lesi primer dan sekunder. Lesi primer disebabkan oleh proses patologik yang mengenai kulit
secara langsung, sedangkan yang sekunder merupakan kelanjutan dari yang primer dan disebabkan oleh faktor patologik lainnya. Ulkerasi yang disebabkan oleh arteriosclerosis (ulkerasi iskhemik) yang luas pada kulit tungkai bawah dapat meluas tanpa terbentuknya gangren pada kaki, meskipun terjadi atrophy (pengecilan ukuran sel). Kelemahan
anggota
badan dan denyut nadi yang melemah atau menghilang juga dapat terjadi pada ulkerasi ini meskipun jaringan disekitarnya tetap hangat dan dalam keadaan baik. Gangren Gangren adalah suatu kematian jaringan yang meliputi daerah yang cukup luas atau dalam arti lainnya adalah sebagai kelemahan jaringan dan pembusukan jaringan, sementara jaringan tersebut masih bertaut dengan jaringan yang masih hidup. Penyebabnya antara lain sebagai akibat kerusakan langsung pada jaringan yang disebabkan oleh penyebab mekanis, fisik, kimiawi dan bakteri (radang). Diantara penyebab yang langsung, bakteri merupakan penyebab yang paling sering terjadi (bakteri penyebab nekrose). Jika ada bagian jaringan yang mati akan menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri pembusuk yang kemudian akan berkembang dan terjadi pembusukan. Terjadinya infiltrasi suatu jaringan hidup oleh cairan organik tertentu (cairan empedu, urin) akan mengurangi resistensi jaringan setempat. Selanjutnya jika terinfeksi bakteri yang virulen akan cepat berkembang dan terjadi nekrose. Gangren yang dijumpai pada lesi-lesi oleh berbagai macam bakteri kebanyakan disebabkan oleh toksin dari bakteri tersebut, tetapi tidak semua bakteri yang masuk menyebabkan gangren.
Tipe gangren antara lain; (1) Gangren Circulatoir Secara klinis gangren ini dibedakan dalam dua tipe, yaitu gangren kering dan gangren basah. Pada gangren kering, penyumbatan aretria terjadi secara perlahan-lahan, mula-mula terlihat anemis lambat laun akan
menjadi
mummifikasi. Mummifikasi ditandai dengan jaringan yang menjadi kering dan volume menyusut, berwarna hitam, kulit berkerut dan rambut kering dan berdiri sebagai akibat kandungan air yang menurun. Jika permukaan kulit tidak rusak dan tidak ada cairan maka proses pembusukannya tidak terjadi. Gangren basah merupakan akibat penutupan arteria yang mendadak terutama pada anggota bawah dimana aliran darah sebelumnya telah mencukupi, misalnya terjadi pada emboli yang akut. Gangren basah ini, terjadi pada jaringan yang mengadung cairan. Jika jaringan rusak dan mencair akan mengeluarkan cairan yang busuk dan berwarna kemerah-merahan yang disebabkan oleh bakteri pembusuk. Pada jaringan yang rusak terdapat fermen-fermen yang larut bersama racun yang akan menyebabkan toksemia jika terserap dalam darah. Warna jaringan berubah menjadi ungu, kehijauan,
kehitaman
dan
volume
meningkat,
sebagai
akibat
jaringan
mengandung darah dan serum. Sifat khas pada gangren basah disebabkan sebagian besar oleh infeksi, sehingga terdapat beberapa tingkatan infeksi yang ditunjukan dengan adanya kemerahan, pembengkakan dan oedema yang progresif. Perubahan yang terjadi pada jaringan yang mengalami gangren, antara lain pada jaringan epitel. Jika dikerok akan terasa dingin dan lembab sedangkan pada leleran akan berupa cairan yang berbau tidak enak dan berwarna merah tua. Gangren circulatoir,
pada umumnya proses septik lebih dominan sehingga
gangren dan nekrose menjadi luas dari pada kegagalan aliran darah itu sendiri. (2) Gangren Traumatik Pada gangren ini, terjadi destruksi jaringan yang disebabkan oleh kontusi (benturan) langsung dengan kerusakan pembuluh darah lokal yang mengenai pembuluh utama yang menuju kaki (ekstremitas). Infeksi yang berlebihan dapat
menyebabkan
kehilangan
ekstremitas,
kecuali
dilakukan
debridement
(pengangkatan jaringan mati) yang bagus. (3) Gangren Bakterial Bakteri ini menyebabkan nekrose pada jaringan. Sebelum terjadi infeksi pada penyakit ini, selalu didahului oleh beberapa derajat awal gangren iskhemik yang mengakibatkan terjadinya jaringan nekrotik yang penting bagi bakteri untuk tumbuh dengan cepat. Gangren bakterial dibedakan menurut penyebabnya, yaitu akibat infeksi Clostridium anaerob dan Streptococcus. 1. Infeksi Clostridium anaerob Gambaran klasik yang diakibatkan oleh infeksi Clostridia mempunyai beberapa bentuk yang berbeda, yaitu; a. Diffuse Clostridial Myositis (gas gangren) •
Bentuk letal dan fulminan gangren ini timbul dalam beberapa jam atau hari setelah terjadinya luka, biasanya pada hari kesepuluh atau keduabelas jika debridement tidak memadai.
•
Penderita menjadi pucat atau kebiru-biruan, gelisah, nampak nyeri dan dapat terjadi kenaikan suhu.
•
Terjadi perubahan pada ekstremitas yang khas, seperti; sangat bengkak (edematous), warna menjadi berubah dan berbau.
•
Krepitasi jaringan meluas ke seluruh anggota badan dan merupakan suatu tanda klasik adanya gas dalam jaringan.
b. Edematous Gangren •
Adalah jenis gas gangren yang disebabkan oleh Cl. nouvyi (Oedementiens).
•
Meskipun tidak dihasilkan gas, tetapi edema terjadi pada otot-otot yang masif tanpa kerusakan vaskuler primer.
c. Localized Clostridial Myositis •
Luka pertama yang terjadi biasanya terbatas, kerusakan otot ringan, terjadi hanya pada sebagian kecil otot dan tidak terjadi kerusakan pada arteri besar.
•
Penyediaan darah ke ekstremitas tetap utuh, daerah tungkai disebelah distal infeksi tetap hangat dan pulsus tetap normal walaupun ada infeksi dan gas.
d. Clostridial Cellulitis •
Adalah suatu infeksi anaerob di jaringan subkutan yang terus mengadakan perluasan. Penyebab paling sering adalah basil Welchii (Clostridium perfringens).
•
Pada kasus yang sudah lanjut, kaki menjadi edematous, membengkak dan pucat. Warna kulit berubah dan menjadi nekrotik.
•
Krepitasi biasanya terdapat diseluruh ekstremitas tetapi sirkulasinya sempurna.
2. Streptococcus Lesi jenis ini, dikenal dengan necrotizing erysipelas, dengan gambaran pokoknya adalah cellulitis yang menyebar dilapisan fascia dan bukan pada kulit sendiri. Kulit pada ekstremitas yang terkena menunjukan warna suram dan akhirnya bergelembung-gelembung yang kemudian menjadi nekrose.
Etiologi Kaki Diabetik Penyebab utama dari terjadinya kaki diabetes adalah adanya; neuropati diabetik, angiopati diabetik dan kemudian adanya infeksi. A. Neuropati diabetik (ND) Neuropati diabetik adalah segala bentuk kelainan pada susunan syaraf yang disebabkan oleh DM (Goto, 1986, Harati, 1987 dalam Sutjahjo, 1994). Kelainan yang terjadi tergantung pada derajat dan lamanya mengidap DM. Pada derajat neuropati diabetik yang masih dini akan nampak gambaran dan karakteristik berupa demyelinisasi segmental, kerusakan akson dan penebalan membran basal yang mengelilingi permukaan sel schwann. Pada derajat lanjut akson sel syaraf dapat hilang sama sekali. Kelainan yang lain yaitu pada gangguan fungsional dan biokimiawi.
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya ND antara lain: 1. Kelainan Vaskuler
Peranan kelainan vaskuler pada ND: (Sutjahjo, 1994) (1) Merubah fungsi dan struktur kapiler endoneural sehingga menurunkan
penyediaan darah pada saraf yang terkena. (2) Terjadi penebalan basal membran yang berakibat pada penurunan
penyedian
darah,
kerusakan
blood
nerve
barrier,
peningkatan
permeabilitas saraf sehingga metabolit-metabolit yang toksik masuk ke dalam sel saraf. (3) Terjadi gangguan rheologi, yaitu perubahan sifat aliran darah menuju
saraf yang disebabkan hiperviskositas karena adanya peningkatan agregasi, trombosis, eritrosit, dan perubahan sistem pembekuan serta fibrinolisis. (4) Terjadi hipoksia pada jaringan saraf 2. Kelainan Metabolisme
Pada jaringan sel syaraf, glukosa mudah masuk tanpa membutuhkan insulin. Akibatnya bila dalam kondisi hiperglikemia, glukosa banyak yang masuk ke dalam saraf yang berakibat pada penarikan air yang kemudian menimbulkan edema pada sel schwann dan rusaknya akson (kerusakan sitoplasma). Akibatnya jaringan saraf faalnya akan terganggu. Kerusakan ini terutama akan mengakibatkan gangguan penghantaran impuls motorik. Faktor lain dalam kelainan metabolisme yang berperan dalam terjadinya ND adalah penurunan pada kadar ATP, NADPH, glutation, asam amino dan mioinositol B. Angiopati diabetik Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM, antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya perfusi jaringan bagian distol dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosi atau gangren. Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenerasi
dari serabut saraf Jika hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka akan mengakibatkan neuropati. C. Infeksi Pada penderita kaki diabetes sekitar 50 persennya akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen. Akibat kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Bakteri anaerob berperan besar dalam menimbulkan infeksi, yaitu dengan bekerja secara sinergis dalam pembentukan gas, kemudian menjadi (gas) gangren. Infeksi pada diabetisi di satu tempat berbeda dengan tempat lain, tergantung pada jenis infeksi yang didapat, tingkat sanitasi lingkungan, status nutrisi, dan tingkat immunitas individu. Infeksi kronis dapat menyebabkan kehilangan rasa sakit, karena perusakan saraf kaki neuropati dan atau kaki iskhemik.
Diabetes Eksperimental Tikus atau kelinci sebagai hewan model untuk DM dapat terjadi secara spontan atau dari hasil induksi eksperimental. Cara membuat diabetes eksperimental pada hewan model antara lain dengan pankreatektomi dan menggunakan bahan kimia diabetogenik seperti Streptozotocin (STZ). Sifat
diabetogenik
Streptozotocin
(STZ,
2-deoksi-2-(3-metil-3-
(nitrosoureido)-D-glukopiranosa), memiliki mekanisme kerja yang diduga melalui kerusakan DNA dalam sel-sel β pankreas sebagai akibat adanya proses alkilasi DNA. Kerusakan DNA juga diakibatkan oleh aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan dari Nitric Oxide (NO) yang bersumber dari STZ. Dalam mitokondria, NO akan meningkatkan aktivitas xanthin oksidase dan menurunkan konsumsi yang berdampak pada produksi ATP yang berakibat pada kerusakan DNA (Elsner, et al., 2000). Kesembuhan Luka Kesembuhan luka adalah proses dimana setelah agen penyebab telah dihilangkan, perbaikan bagian luka sudah mendekati kondisi normal. Proses kesembuhan luka terbagi dalam beberapa fase yaitu fase pembentukan fibrin, fase penggabungan jaringan fibrosa dan fase kesembuhan epidermal.
Fase pembentukan fibrin Segera setelah luka yang menyebabkan hilangnya jaringan, cairan radang (dapat transudat ataupun eksudat) mengalir dan memenuhi celah luka. Cairan ini menjendal dan diubah menjadi pita-pita fibrin yang keras, sebuah subtansi spesifik nonseluler yang dilepas oleh plasma darah. Fibrin yang terbentuk akan mempertautkan tepi luka tetapi lemah dan mudah lepas. Penjendalan benang-benang fibrin ini akan membentuk sisik-sisik kering yang menutupi luka yang disebut dengan keropeng. Jendalan ini berperan sebagai media dimana fibroblas tumbuh dan mengadakan pertautan sisi luka dengan tepi lainnnya. Fase pembentukan jaringan granulasi Yaitu fase dimana fibroblas bergerak dalam jendalan dan mulai bermultiplikasi sampai luka terisi oleh jaringan penyambung yang kaya akan vaskularisasi. Fibroblas dan histosit yang berdekatan akan segera berproliferasi dan bergerak kedalam fibrin. Pertumbuhan sel-sel jaringan penyambung ini akan disertai dengan pertumbuhan kapiler. Antara kapiler-kapiler ini terdapat substansi dasar dalam jumlah besar dimana fibroblas, makrofag dan sel-sel radang tersebar dalam beberapa jumlah yang bervariasi. Fase penggabungan jaringan fibroblas Dalam beberapa hari, fibroblas dalam jaringan granulasi akan membentuk retikulin dan kolagen. Pada saat yang sama terjadi penyingkiran debris (gumpalan darah dan sel-sel yang mati) oleh
makrofag
dari
jaringan
luka. Tujuh
hingga sepuluh hari kemudian, penggabungan jaringan kolagen akan terbentuk. Pada saat jumlah kolagen naik, maka vaskularisasinya menurun, sehingga penampakan luka bagian ekternal akan berubah dari merah muda menjadi putih dalam satu periode. Fase kesembuhan epidermal Epitel mengalami regenerasi dan tumbuh diatas jaringan granulasi tetapi tidak menutup secara lengkap sampai seluruh eksudasi dikeluarkan dari luka. Mekanisme utama dari kesembuhan epidermal adalah sel-sel epitel yang bergerak dari tepi luka menuju ke daerah luka, sedang hiperflasi dan proliferasi sel-sel
epitel baru adalah hal minor. Pada awalnya sel-sel epitel tipis dan kebiruan, kemudian akan berubah menjadi lebih tebal dan tampak putih.
Terapi Nutrisi Kesembuhan Luka Pada Kaki Diabetik Asam Amino Arginin Seifter et al., (1978) menyatakan dalam hipotesisnya, bahwa asam amino diperlukan dalam penyembuhan luka. Percobaan pada tikus yang mengalami trauma minor pada kulit punggung yang disayat, mengalami penurunan berat badan pasca operasi, peningkatan mortalitas, penurunan wound breaking strength dan penurunan jumlah kolagen dalam luka dibanding tikus yang mendapat suplementasi arginin dalam dietnya. Hasil yang sama juga ditunjukan pada eksperimen tikus yang diberi suplemen arginin 1 persen dan arginin dosis 7.5 gr/l (Barbul et al., 1985), serta kombinasi asam amino arginin dengan glisin (Chyun & Griminger, 1984). Penelitian yang dilakukan pada manusia (Barbul et al., 1990 & Williams et al., 2002), menyatakan bahwa suplementasi arginin telah meningkatkan jumlah cadangan kolagen luka pada manusia. Beberapa mekanisme yang dapat dijelaskan dari peran arginin terhadap penyembuhan luka antara lain (Abumrad & Barbul, 2003) : 1. Suplementasi arginin menyediakan zat yang diperlukan bagi sintesis kolagen pada daerah luka. 2. Arginin
menginduksi
sintesis
kolagen
melalui
mekanisme
pituitary
secretagogue. 3. Arginin merangsang respon sel T dengan menurunkan hambatan fungsi dari sel T pada saat penyembuhan luka. Arginin perlu disuplai dari luar karena sifatnya yang esensial, terlebih, kebutuhannya akan meningkat dalam keadaan stres dan pada masa pertumbuhan (Buttler et al., 2005). Arginin adalah komponen utama dalam pembentukan Nitric Oxide (NO)
oleh enzim Nitric Oxide Syntethase (NOS). Arginin tersebut
disintesis dari citrulline
oleh enzim argininosuccinate (AS) dan enzim
argininosuccinate lyase (AL), yaitu enzim ketiga dan keempat dalam siklus urea
(ornithine)
(Mori & Tomomi, 2004). Peran NO dalam penyembuhan kaki
diabetik diduga melalui mekanisme : 1. Pada keadaan hiperglikemia otot saraf rusak akibat masuknya glukosa secara berlebihan sehingga menyebabkan kadar NADPH menurun dengan beberapa akibat : a. Produksi NO menurun karena NADPH merupakan kofaktor untuk NOS, sedangkan NOS sangat penting untuk sintesis NO. b. Produksi antioksidan tubuh (glutathione dan SOD / super oksida dismutase) menurun karena NADPH sangat penting untuk proses pembentukannya. Akibat dari menurunnya sintesis NO maka vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun dan bersamaan dengan rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik (Tjokroprawiro, 2002). Neuropati diabetik merupakan salah satu penyebab terjadinya ulkus diabetes sehingga diharapkan dengan tambahan asam amino arginin akan membantu dalam sintesis NO yang diperlukan dalam penanganan kejadian ND. 2. Peran NO dalam penyembuhan luka telah dilaporkan oleh Albina (1988). NO menciptakan lingkungan cytotoxic yang penting bagi tahap pertama penyembuhan luka dan peranannya dalam peningkatan aktivitas enzim arginase yang memproduksi lingkungan yang baik untuk replikasi fibroblas dan produksi kolagen. Adanya peningkatan aktivitas arginase pada daerah luka kemungkinan dibawa oleh makrofag. Proses penyembuhan luka tidak terlepas dari peran asam amino poliamin dan prolin. Kedua zat tersebut diproduksi oleh siklus ornithine atau
siklus urea dengan arginin sebagai
prekursor utamanya.. Asam amino prolin berfungsi dalam pembentukan kolagen dan sintesis protein, sedangkan polyamin berperan dalam penyembuhan luka dan perbaikan jaringan (Mori &Tomomi, 2004).
Serat Serat berfungsi untuk menyerap gula dalam darah (Waspadji, 2002) sehingga gula darah menjadi terkendali. Gula darah yang terkontrol akan menurunkan perkembangbiakan bakteri penyebab infeksi, sebab penurunan gula darah akan mengurangi media tumbuh yang subur bagi bakteri patogen. Tingginya kadar gula darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri-bakteri yang tumbuh subur terutama bakteri anaerob karena tidak adanya suplai oksigen dalam saraf. Serat menyerap kelebihan kadar gula darah dalam tubuh sehingga mengurangi media tumbuh bagi bakteri penyebab infeksi. Dengan berkurangnya bakteri penyebab infeksi, pembusukan luka menjadi lambat sehingga dapat mempercepat kesembuhan luka. Seng (Zn) Sebagai bagian dari enzim kolagenase, seng berperan dalam dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan penyembuhan luka (Almatsier, 2002). Seng juga diperlukan untuk fungsi kekebalan secara normal (Rink & Gabriel, 2000, 2001). Kekebalan ini adalah kekebalan dalam natural killer . Dimana jumlah dan aktivitasnya tergantung pada kadar serum seng dalam darah (Ravaglia et al, 2000). Pada tubuh manusia berisi 2-4 gram seng dimana jumlahnya dalam plasma hanya berkisar 12-16 μmol /L. Seng mempunyai aktivitas yang tinggi dalam fungsi kekebalan tubuh yang sangat penting (Helge & Lothar, 2003). Isoflavon Isoflavon dalam tempe memiliki efek anti diabetik. Lu-MP et al. (2007), menyatakan pemberian diet tinggi isoflavon protein kedelai (genestein equivalen 0.222 gr/kg diet) secara signifikan menurunkan kadar glukosa serum, meningkatkan kadar serum insulin pada tikus diabetes sedang. Selain itu, isoflavon juga terbukti melindungi sisa-sisa sel beta pánkreas dari efek toksik STZ. Pemberian diet genestein dan isolat protein kedelai masing-masing 0,06 dan 20 gr/100 gr diet menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim glukokinase yang dihubungkan dengan penurunan gula darah dalam keadaan diabetes. Selain itu kekurangan insulin pada keadaan hiperglikemik diasosiasikan juga dengan
peningkatan enzim glukosa-6-fosfatase di liver. Pemberian diet genestein dan isolat protein kedelai secara signifikan telah menurunkan kedua aktivitas tersebut, meskipun isolat protein kedelai diketahui lebih potensial dibanding genestein. Hal ini diduga karena isolat protein kedelai mengandung komponen aktif lain yang dapat meningkatkan bioavaibilitas genestein.
Tempe Tempe yang berasal dari bahan kedelai, pertama kalinya dipublikasikan dalam Serat Centhini bab 12. Akibat pengaruh publikasi manfaat tempe dan nilai gizi untuk kesehatan, tampak kenaikan industri tempe di Amerika dan Jepang cukup pesat. Suatu ironi, bahwa publisitas citra tempe yang meningkat, tidak sejalan dengan kepopuleran di negara asalnya (Karyadi, 1985). Selain citra buruk tempe (dibuat dengan cara dan teknologi tidak higienis) yang seringkali melekat pada konsumen. Terdapat 3 metode dalam pembuatan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi, (1985). Metode pertama yaitu pembuatan tempe secara tradisional, dalam hal ini pembuatan tempe dilakukan secara sederhana dan kurang higienis. Mula-mula kedelai direndam dan dimasak dalam air mendidih selama 30 menit, kulit biji kemudian dilepas dengan tangan atau dengan diinjak. Dalam pengembangannya secara komersial banyak industri tempe menggunakan mesin penggiling kedelai untuk mempermudah pengupasan. Biji yang tidak berkulit kemudian direndam semalam untuk memberi kesempatan air masuk dalam kedelai dan agar terjadi fermentasi asam oleh bakteri. Hal ini diperlukan untuk mencegah atau melindungi tempe dari tumbuhnya mikrobia yang tidak dikehendaki. Biji kedelai kemudian digodok kembali, ditiriskan dan kemudian diinokulasikan dengan laru atau bibit tempe, dibungkus dalam daun pisang, kantong plastik yang telah diberi lubang (perforasi) dan dinkubasikan selama 36 jam pada suhu ruang (Winarno, 1985). Metode yang kedua adalah metode pilot plant atau pengembangan produksi skala menengah, dengan prinsip hampir sama dengan pembuatan tempe tradisional (Steinkraus et al., 1965). Tahap pembuatan meliputi sortasi biji, pengupasan kulit secara kering, hidrasi dengan penambahan asam laktat, perebusan, pengeringan, pendinginan, inokulasi dengan biakan murni dan
fermentasi. Biji kedelai dihidrasi dalam air atau 0,85 persen larutan asam laktat selama 2 jam pada suhu 250C atau 30 menit pada suhu 1000C. Penambahan asam akan meyebabkan pH air perendaman turun menjadi 4,3-5,3. Hal ini bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan bakteri yang dapat mengkontaminasi tempe. Perebusan kedelai dilakukan selama 2 jam dalam air mendidih atau dimasak dalam air perendam selama 90 menit. Perebusan
bertujuan untuk
merusak sebagian zat anti gizi dan membantu mengeluarkan senyawa yang diperlukan bagi cendawan untuk tumbuh. Setelah direbus kedelai kemudian didinginkan hingga
suhu mencapai 380C. Kedelai perlu ditiriskan, karena
kelebihan air yang tertinggal dalam biji kedelai berakibat pada pertumbuhan bakteri tidak diinginkan yang diikuti dengan pembusukan tempe. Jumlah inokulum yang digunakan sebanyak 3 gram laru kering (R. oligosporus) untuk setiap 1 kg kedelai rebus. Setelah dicampur harus diaduk dengan baik dan diletakan dalam rak-rak stainless steel (38x81x1,3cm) yang berperforasi. Kemudian ditutup dengan kertas berlilin, agar lengas udara dapat dipertahankan,
mencegah
terjadinya
pergerakan
udara
dan
membantu
mempercepat pertumbuhan cendawan tempe. Jika diinkubasikan pada suhu 35380C, pada RH 75-78 persen, maka proses fermentasi hanya memerlukan waktu 18 jam. Metode yang ketiga adalah metode Petri Dish (Hesseltine et al., 1963). Metode ini digunakan dalam pembuatan tempe skala laboratorium. Menggunakan biji kedelai yang telah dikupas kasar sebagai bahannya. Prosedur pembuatan hampir sama dengan pembuatan tempe tradisional, kecuali penggunaan larutan starter murni
R. oligosporus dan dikemas dalam petri dish yang
kemudian diinkubasikan pada suhu 310C dengan waktu 20 hingga 24 jam. Di Indonesia terdapat berbagai variasi dalam pembuatan tempe, sehingga dalam perkembangannya Saono et al.(1986) mengumpulkan 7 variasi metode dalam pembuatan tempe (Tabel 2).
Tabel 2. Variasi metode pembuatan tempe di Indonesia Tahap 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I Kupas kulit Cuci Rebus Keringkan Dinginkan Inokulasi Bungkus Fermentasi -
II Rebus Rendam Kupas kulit Bersihkan Keringkan inokulasi Bungkus Fermentasi -
III Rendam Kupas kulit Bersihkan Rebus Keringkan Dinginkan Inokulasi Bungkus Fermentasi -
Metode Produksi IV V Rebus Rebus Rendam Dinginkan Kupas kulit Kupas kulit Bersihkan Bersihkan Rebus Rendam Keringkan Keringkan Dinginkan Dinginkan Inokulasi Inokulasi Bungkus Bungkus Fermentasi Fermentasi -
VI Rendam Rebus Bersihkan Rebus Dinginkan Kupas kulit Bersihkan Keringkan Inokulasi Bungkus Fermentasi -
VII Rendam Rebus Dinginkan Kupas kulit Bersihkan Rendam Rebus Keringkan Dinginkan Inokulasi Bungkus Fermentasi
Tahapan dalam pembuatan tempe tersebut meliputi: 1. Perendaman kedelai. Menurut Liu (1997) selama perendaman, terjadi fermentasi mikrobia secara alami. Dimana dalam waktu 12-24 jam pada suhu sekitar 280C mikroflora yang terdapat pada kedelai akan berperan sebagai starter pencampuran laktat atau asam asetat yang akan menurunkan tingkat keasaman dari pH 6,5-7,0 hingga menjadi pH 4,5-5,5. pH air rendaman sekitar 3,9 cukup digunakan untuk proses fermentasi yang optimal, sedangkan pH dibawah 3,5 dapat menghambat pertumbuhan jamur yang tumbuh saat fermentasi (Steinkraus et al. 1960). De Reu et al. (1995) melaporkan bahwa setelah 24 jam proses perendaman pada suhu 300C dengan metode pengasaman yang dipercepat, asam organik yang terbentuk dalam jumlah terbesar adalah asam laktat (2,1 persen w/v air rendaman), sedangkan asam asetat berkisar 0,3 persen dan asam sitrat berkisar 0,5 persen. pH air rendaman pun turun dari pH semula 6,0 menjadi pH 3,9. Lactobacillus plantarum adalah mikroorganisme terbanyak dalam air rendaman kedelai dalam pembuatan tempe dengan metode keasaman yang dipercepat (Nout et al. 1984). Ashenafi dan Busse (1991) menemukan bahwa Streptococcus mendominasi jumlah mikrobia pada air rendaman kedelai, sedangkan coliform dan kapang tumbuh pada air rendaman kedelai yang tidak diasamkan. Metode perendaman kedelai lain, adalah metode merendam atau merebus kedelai dengan dilute asam organik, seperti penggunaan asam laktat 0,85 persen (Steinkraus et al. 1960). Metode ini akan membuat pH perendaman berkisar
antara 4,0-5,0. Dalam kisaran pH ini pertumbuhan bakteri kontaminan akan dihambat. Kecuali kapang tempe yang hanya dapat dihambat jika pH turun dibawah 3,5. 2. Pengupasan biji dan aerasi. Pengupasan berhubungan dengan kebutuhan akan oksigen bagi jamur fermentasi. R. oligosporus tidak terlalu banyak membutuhkan oksigen untuk aerasi, seperti pada jamur yang lain. Kelebihan oksigen menyebabkan dehidrasi pada permukaan kedelai dan saat pembentukan spora. Hal tersebut akan meyebabkan pembentukan spora berwarna hitam yang tidak diinginkan. Sedikit oksigen yang berada di bawah permukaan kedelai yang memiliki massa atau berat mendukung jamur untuk berkembang biak, sehingga jamur tidak akan tumbuh pada kedelai yang telah menjadi tepung dan yang digiling dengan ukuran kecil. Dalam rangka mendapatkan hasil fermentasi yang baik, diameter minimal kedelai giling berkisar 0,2-0,4 cm (Robinson & Kao, 1977). 3. Pemberian inokulum. Penggunaan starter yang tepat berpengaruh terhadap kualitas produksi tempe. Terdapat 3 tipe starter yang sering digunakan dalam pembuatan tempe. Tipe pertama adalah starter yang diambil dari potongan tempe sebelumnya yang dikeringkan dengan udara atau matahari dan kemudian dihaluskan menjadi bubuk sebelum digunakan. Tipe kedua adalah starter tradisional yang secara komersial disebut usar, dengan menggunakan media daun waru (Hibiscus sp) sebagai tempat tumbuh. Penggunaan usar sebanyak sepotong daun waru kecil dapat menginokulasi sekitar 3 kg kedelai kering yang telah direndam, dikupas kulit dan dimasak (Djien and Hesseltine, 1979). Jamur yang dominan pada penggunaan media daun waru adalah Clasdoporium sp, dan Rhizopus sp (Nout et al, 1992). Tipe ketiga adalah starter biakan murni R. oligosporus dalam bentuk bubuk atau larutan suspensi. Hasil isolasi jamur pada beberapa jenis tempe yang berbeda di Indonesia, hanya jamur jenis Rhizopus yang dapat digunakan dalam pembuatan tempe. Dimana dari 40 strain Rhizopus yang ditemukan, 25 persen dari jamur tersebut adalah berjenis R. Oligosporus, sedangkan jenis jamur lainnya adalah R. stolonifer, R. arrhizus, R. oryzae, R. formosaensis, dan R. achlamydosporus (Hesseltine et al, 1963).
4. Proses fermentasi. Hesseltine et al., (1963) menyatakan strain Rhizopus dapat tumbuh pada suhu 14 0C hingga 440C. Menurut Steinkraus et al., (1960) temperatur yang baik untuk fermentasi adalah dibawah 250C dan membutuhkan waktu lebih kurang 5 hari untuk menjadi tempe yang lebih komplit. 5. Perubahan selama fermentasi. Menurut Steinkraus et al., (1960) dalam 20 jam pertama pada suhu 370C, spora jamur berkembang diikuti dengan meningkatnya suhu selama proses fermentasi berlangsung. Setelah 5 jam berikutnya, jamur tumbuh sangat cepat hingga mencapai puncaknya, dan kemudian menurun secara berangsur-angsur. Ketika jamur tumbuh mencapai puncaknya suhu pada kedelai fermentasi dapat mencapai 43-440C. Pada saat ini, miselia jamur tumbuh dengan kompak pada kedelai yang diikuti pembentukan senyawa NH3, sebagai akibat proses pemecahan protein. Mikroorganisme yang tumbuh saat fermentasi berlangsung memproduksi berbagai enzim seperti enzim protease dan lipase yang berguna untuk memecah kedelai (RuizTeran dan Owens, 1996).
Nilai Gizi Tempe Nilai PER (protein efficiency ratio) pada tepung tempe hampir setara dengan standar referensi (kasein), yaitu sekitar 2,43 dibanding kasein 2,5 dan selalu lebih tinggi dari kedelai. Kandungan protein tempe sekitar 19 persen (berat basah) atau 45 persen (berat kering). Dimana 56 persen dari kandungan protein tersebut dapat dimanfaatkan oleh tubuh manusia. Setiap 100 gr tempe segar dapat menyumbangkan 10,9 gr protein bagi tubuh manusia atau sekitar 25 persen kebutuhan protein bagi orang dewasa (Karyadi, 1985). Jumlah kalori yang disumbang, sekitar 157 kal /100 gr. Tempe banyak mengandung serat terutama serat kasar. Kandungannya dalam 100 gram tempe adalah sekitar 4,8 gram. Kandungan seng dalam tempe sebesar 1,81 mg per 100 gr tempe.Peningkatan kandungan gizi tersebut tidak lepas dari penggunaan kapang Rhizopus oligosporus atau Rhizopus oryzae dalam proses fermentasi. .
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tempe Kedelai (Glycine max) yang digunakan dalam pembuatan tempe berasal dari benih varietas impor yang sering digunakan oleh industri tradisional dalam pembuatan tempe, yaitu varietas Americana, varietas kedelai kuning lokal (Baluran) dan varietas kedelai hitam lokal (Cikuray). Dalam rangka menjamin kemurnian varietas kedelai yang digunakan, ketiga varietas tersebut diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Departemen Pertanian, Cimanggu,
Bogor, dengan profil kedelai :
(Whigham, 1974, Nugraha, dkk., 1996) 1.
Kedelai Baluran (Lokal) •
Nomor galur
: GC 88025-3-2
•
Asal
: Persilangan AVRDC
•
Warna hipokotil
: Ungu
•
Warna epikotil
: Hijau
•
Warna daun
: Hijau
•
Warna bulu
: Coklat
•
Warna bunga
: Ungu
•
Warna kulit biji
: Kuning
•
Warna polong masak
: Coklat
•
Warna hilum
: Coklat muda
•
Bentuk biji
: Bulat telur
•
Tipe tumbuh
: Determinate
•
Umur berbunga
: 33 hari
•
Umur polong masak
: 80 hari
•
Tinggi tanaman
: 60-80 cm
•
Bobot 100 biji
: 15-17 g
•
Daya hasil
: 2,5 – 3,5 t/ha
•
Kandungan protein
: 38 – 40 persen
•
Kandungan lemak
: 20 – 22 persen
•
Pemulia
: Suyono, T. Adisarwanto, I. Hartana
• 2.
Tahun dilepas
: 2002
Kedelai Hitam Cikuray (Lokal) •
Nomor galur
: 630/1343-4-1
•
SK Mentan
: 616/Kpts/TP.240/11/92
•
Asal
: hasil seleksi keturunan persilangan kedelai
No. 630 Dan No. 1343 (Orba) •
Warna hipokotil
: Ungu
•
Warna epikotil
: Ungu
•
Warna daun
: Hijau muda
•
Warna bulu
: Coklat
•
Warna bunga
: Ungu
•
Warna kulit biji
: Hitam mengkilap
•
Warna polong masak
: Coklat tua
•
Warna hilum biji
: putih
•
Tipe tumbuh
: Determinate, bentuk daun lebar
•
Umur berbunga
: 35 hari
•
Umur matang
: 82-85 hari
•
Tinggi tanaman
: 60-65 cm
•
Bobot 100 biji
: 11 - 12 g
•
Daya hasil
: 1,7 t/ha biji kering
•
Kandungan protein
: 35 persen
•
Kandungan lemak
: 17 persen
•
Kerebahan
: Tahan
•
Ketahanan terhadap hama dan penyakit: Toleran terhadap penyakit karat daun
• Keterangan
: Polong masak tidak mudah pecah, beradaptasi baik di
dataran rendah, juga cocok untuk ditanam di dataran tinggi, cukup baik untuk pertanaman di musim hujan atau musim kemarau. •
Pemulia
: Suyono, T. Adisarwanto, I. Hartana
•
Tanggal pelepasan
: 3 November 1992
3.
Kedelai Americana (Impor) •
Warna kulit biji
: kuning
•
Umur berbunga
: 30,3 hari
•
Umur matang
: 70,7 hari
•
Tinggi tanaman
: 35,3 cm
•
Bobot 100 biji
: 10,5 g
•
Daya hasil
: 602,9 kg/ha
•
Kandungan protein
: 45,12 persen
•
Kandungan lemak
: 17,44 persen
Langkah selanjutnya adalah pemilihan metode pembuatan tempe Di Indonesia
menurut Saono et al.(1986), terdapat 7 variasi metode dalam
pembuatan tempe seperti terlihat pada Tabel 4. Pembuatan tempe pada penelitian ini didasarkan pada cara pembuatan tempe tradisional, yaitu metode ke-2. Dengan tahapan pembuatan meliputi perebusan, perendaman, pengupasan kulit, pencucian, ditiriskan, inokulasi, pembungkusan, dan fermentasi (Saono et al., 1986), tetapi starter yang digunakan adalah biakan murni R.oligosporus ITBCC-L46. Metode tersebut mudah dalam pembuatannya dan sudah umum digunakan oleh beberapa
industri tempe
tradisional. Metode tersebut juga digunakan oleh industri tempe tradisional milik H. Herman, Jl Gugah Sari, Bogor yang digunakan dalam penelitian ini. Tahapan dalam pembuatan tempe tersebut antara lain; 6. Perendaman kedelai. Berat masing-masing kedelai untuk pembuatan tempe Cikuray (500,2 gr), Baluran (500,2 gr) dan Americana (500,2 gr). Ketiga jenis kedelai dicuci kemudian direbus selama 30 menit dengan suhu sekitar 99,50C. Dalam keadaan hangat, kedelai diangkat dari tempat perebusan dan langsung direndam dengan bekas air rendaman kedelai (Gambar 4), sebagai upaya dalam rangka mempercepat proses pengasaman.
Gambar 4. Proses perendaman kedelai varietas Americana, Baluran dan Cikuray (Hitam)
Menurut Liu (1997), selama perendaman terjadi fermentasi mikrobia secara alami. Dimana dalam waktu 12-24 jam dengan suhu sekitar 280C mikroflora yang terdapat pada kedelai tersebut berperan sebagai starter pencampuran laktat atau asam asetat yang akan menurunkan tingkat keasaman dari pH 6,5-7,0 menjadi pH 4,5-5,5. Mikroorganisme yang predominan dalam proses pengasaman ini adalah bakteri laktat dan kapang. Dari percobaan pembuatan tempe sebelumnya kedelai yang direndam dengan air rendaman bekas rebusan kedelai selama 20 jam dapat menurunkan pH awal 5,6 menjadi pH 3,8. Kedelai yang direndam dalam air rendaman dengan pH diatas 4,5, menghasilkan tempe yang tidak sempurna (bau). Oleh sebab itu agar diperoleh tingkat keasaman yang optimal, perendaman kedelai dan pengupasan kulit dalam penelitian ini digunakan air bekas rendaman kedelai. Metode tersebut dikenal dengan accelerated acidification (pengasaman yang dipercepat). Perendaman yang dilakukan selama 23 jam pada kedelai varietas Americana, Baluran dan Cikuray diperoleh pH air rendaman sekitar 3,9. Kisaran pH ini cukup digunakan untuk proses fermentasi yang optimal, sedangkan pH dibawah 3,5 dapat menghambat pertumbuhan jamur yang tumbuh saat fermentasi (Steinkraus et al. 1960). Keterlibatan
bakteri
dalam
proses
pengasaman
kedelai
sewaktu
perendaman akan membantu pertumbuhan kapang dalam meneruskan fermentasi. Agar peranan bakteri dalam proses pengasaman berperan optimal perendaman
kedelai dengan menggunakan air bekas rendaman kedelai sebelumnya sering dilakukan pada pembuatan tempe tradisional di Indonesia
(Steinkraus et al,
1960). Keuntungan lain dari penggunaan metode ini adalah terkendalinya bakteri kontaminan yang tidak diinginkan. Proses pengasaman secara alami sewaktu perendaman menyebabkan terjadinya pH netral pada kotiledon kedelai. Dimana akan menyediakan kondisi yang tidak diinginkan oleh bakteri asam sensitif, seperti
Bacillus sp. dan Enterobacteriaceae
untuk tumbuh selama proses
fermentasi berlangsung. De Reu et al. (1995) melaporkan bahwa setelah 24 jam proses perendaman pada suhu 300C dengan metode pengasaman yang dipercepat, asam organik yang terbentuk dalam jumlah terbesar adalah asam laktat (2,1 persen w/v air rendaman), sedangkan asam asetat berkisar 0,3 persen dan asam sitrat berkisar 0,5 persen. Sebagai hasil,
pH air rendaman turun dari pH semula 6,0 menjadi pH 3,9.
Lactobacillus plantarum ditemukan sebagai mikroorganisme terbanyak dalam air rendaman kedelai dalam pembuatan tempe dengan metode keasaman yang dipercepat (Nout et al. 1984). Ashenafi dan Busse (1991), menemukan bahwa Streptococci mendominasi jumlah mikrobia pada air rendaman kedelai, sedangkan coliform dan kapang tumbuh pada air rendaman kedelai yang tidak diasamkan. Metode perendaman kedelai lain adalah metode merendam atau merebus kedelai dengan dilute asam organik seperti penggunaan asam laktat 0,85 persen (Steinkraus et al. 1960). Metode ini akan membuat pH perendaman berkisar antara 4,0-5,0. Dalam kisaran pH ini
pertumbuhan bakteri kontaminan akan
dihambat, kecuali kapang tempe yang hanya dapat
dihambat jika pH turun
dibawah 3,5. Adanya mikrobia pengasam pada air rendaman kedelai adalah penentu terbentuknya tempe yang sempurna Meskipun demikian, peranan keasaman selama perendaman masih dalam perdebatan. Wang et al., (1969) meyakini bahwa proses pengasaman tidak berpengaruh terhadap kesempurnaan fermentasi tempe. Hal tersebut didasarkan pada diproduksinya agen antibakteri oleh R. oligosporus dan adanya karakteristik yang unik dalam pertumbuhannya yang cepat pada saat fermentasi tempe. 7. Pengupasan biji dan aerasi.
Pengupasan kedelai setelah direndam pada penelitian ini menggunakan cara manual, yaitu menggunakan tangan dan air bekas rendaman kedelai sebagai media pembilas (Gambar 5). Hal ini ditujukan sebagai upaya untuk menghindari berkurangnya tingkat keasaman dari hasil perendaman. Pengupasan merupakan tahap penting dalam fermentasi karena jamur tidak akan tumbuh dengan baik pada kedelai yang utuh.
B
A
C
aA Gambar 5. Pengupasan kedelai (A) kedelai varietas Baluran, (B) kedelai varietas Cikuray yang belum dikupas, (C) kedelai varietas Cikuray yang sudah dikupas
Pengupasan juga berhubungan dengan
kebutuhan akan oksigen bagi
jamur fermentasi. R. oligosporus tidak terlalu banyak membutuhkan oksigen untuk aerasi, seperti pada jamur yang lain. Kelebihan oksigen menyebabkan dehidrasi pada permukaan kedelai dan saat pembentukan spora. Hal tersebut akan meyebabkan pembentukan spora berwarna hitam yang tidak diinginkan. Sedikit oksigen yang berada di bawah permukaan kedelai yang memiliki massa / berat mendukung jamur untuk berkembang biak sehingga jamur tidak akan tumbuh pada kedelai yang telah menjadi tepung dan yang digiling dengan ukuran kecil. Dalam rangka mendapatkan hasil fermentasi yang baik, diameter minimal kedelai giling berkisar 0,2-0,4 cm (Robinson & Kao, 1977). 8. Pemberian inokulum.
Setelah dipisahkan biji dari kulitnya kemudian biji kedelai tersebut ditiriskan. Selanjutnya diinokulasi dengan menggunakan starter (laru kering). laru kering pada penelitian ini sebesar 0,3 gr / 100 gr (4 persen) dari kedelai yang telah direbus (Karyadi, 1985). Mikroorganisme yang digunakan dalam pembuatan tempe ini adalah strain R. oligosporus ITBCC-L46 (CC : Collection Cultur ITB, L : Lapuk /fungi, 46 : daftar koleksi), yang diperoleh dari Laboratorium Mikro dan Teknologi Bioproses, Fakultas Teknik Kimia, ITB -Bandung. Penggunaan starter yang tepat berpengaruh terhadap kualitas produksi tempe. Terdapat 3 tipe starter yang sering digunakan dalam pembuatan tempe. Tipe pertama adalah starter yang diambil dari potongan tempe sebelumnya yang dikeringkan dengan udara atau matahari, dan kemudian dihaluskan menjadi bubuk sebelum digunakan. Tipe kedua adalah starter tradisional yang secara komersial disebut usar, dengan menggunakan media daun waru (Hibiscus sp) sebagai tempat tumbuh. Penggunaan usar sebanyak sepotong daun waru kecil dapat menginokulasi sekitar 3 kg kedelai kering yang telah direndam, dikupas kulit dan dimasak (Djien and Hesseltine, 1979). Jamur yang dominan pada penggunaan media daun waru adalah Clasdoporium sp, dan Rhizopus sp (Nout et al, 1992). Tipe ketiga adalah starter biakan murni R. oligosporus dalam bentuk bubuk atau larutan suspensi. Dalam perkembangannya secara komersial di industri tempe tradisional, pembiakan starter digunakan media ampas singkong. Sebab selain murah, singkong mudah didapat. Meskipun demikian, fermentasi tempe dengan usar yang dibiakan dengan media ampas singkong, tidak bertahan lama dan bau off-odor lebih sering muncul. Hasil isolasi jamur pada beberapa jenis tempe berbeda di Indonesia, hanya jamur jenis Rhizopus yang dapat digunakan dalam pembuatan tempe. Dalam hal ini dari 40 strain Rhizopus yang ditemukan, 25 persen dari jamur tersebut adalah berjenis
R. oligosporus; sedangkan jenis jamur lainnya adalah R.
stolonifer, R. arrhizus, achlamydosporus (Hesseltine et al, 1963). 9. Proses fermentasi.
R. oryzae, R. formosaensis, dan R.
Kedelai yang telah diinokulasi kemudian dibungkus dengan plastik yang telah dilubangi. Lubang plastik ditujukan untuk memberikan pertukaran udara bagi jamur (Steinkraus et al., 1960). Sebagaimana proses fermentasi kedelai secara tradisional, proses fermentasi dalam penelitian ini, membutuhkan waktu selama 48 jam dengan suhu 28-300C (suhu kamar) untuk membuat tempe menjadi kompak (Gambar 6). Temperatur
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
mikrobia.
Secara
tradisional, pengrajin tempe dapat menentukan lama tidaknya fermentasi kedelai dengan melihat musim. Pada musim penghujan, fermentasi kedelai menjadi lebih lama. Hesseltine et al., (1963) menyatakan strain Rhizopus dalam proses fermentasi dapat tumbuh pada suhu 14 hingga 440C. Menurut Steinkraus et al., (1960) temperatur yang baik untuk fermentasi
adalah dibawah 250C dan
membutuhkan waktu 5 hari untuk menjadi lebih komplit. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan bahwa suhu 370C diperlukan tempe untuk proses fermentasi selama 1 hari.
Gambar 6. Proses fermentasi kedelai varietas Baluran, Cikuray dan Americana
Gambar 7. Hasil fermentasi kedelai yang telah menjadi tempe sempurna
10.
Perubahan selama fermentasi. Menurut Steinkraus et al., (1960) dalam 20 jam pertama pada suhu 370C,
spora jamur berkembang diikuti dengan meningkatnya suhu selama proses fermentasi berlangsung. Setelah 5 jam berikutnya jamur tumbuh sangat cepat hingga mencapai puncaknya dan kemudian menurun secara berangsur-angsur. Ketika jamur tumbuh mencapai puncaknya, suhu pada kedelai fermentasi dapat mencapai 43-440C. Pada saat ini miselia jamur tumbuh dengan kompak pada kedelai yang diikuti pembentukan senyawa NH3, sebagai akibat proses pemecahan protein. Mikroorganisme yang tumbuh saat fermentasi berlangsung memproduksi berbagai enzim seperti enzim protease dan lipase yang berguna untuk memecah kedelai (RuizTeran dan Owens, 1996). Gambar 7 memperlihatkan hasil fermentasi kedelai yang telah menjadi tempe sempurna. Perubahan Kandungan Gizi Proksimat Pasca fermentasi Perubahan kandungan gizi pada kedelai ketiga varietas pasca fermentasi terlihat pada Tabel 4. Dalam keadaan kering, tempe segar berisi sekitar 48,1 persen protein, 24,7 persen lemak/minyak, 23,9 persen karbohidrat dan 3,3 persen abu (Liu, 1997). Komposisi ini hampir sama dengan kedelai mentah atau kedelai yang direbus (Wang, 1986). Dengan demikian dapat diketahui bahwa fermentasi tempe tidak berpengaruh besar terhadap komposisi kandungan gizi
protein,
lemak, karbohidrat dan mineral kedelai. Tabel 4. Perubahan kadar zat gizi proksimat pasca fermentasi pada kedelai 3 varietas (%w/w berat basah) No
Proksimat
Kedelai Tempe Americana Americana
Kedelai Cikuray
Tempe Cikuray
Kedelai Baluran
Tempe Baluran
1
Karbohidrat*
36,68
20,99
38,30
17,34
32,58
9,22
2
Protein
36,42
46,77
41,24
53,91
42,43
58,48
3
Lemak
11,50
24,80
6,32
20,59
9,92
19,37
4
Kadar air
10,40
4,70
8,96
5,08
10,05
5,31
5
Serat kasar
6,39
7,13
10,10
5,92
9,92
5,41
6
Dietary fiber
3,33
3,10
3,81
3,11
3,38
3,32
7
Kadar abu 5,00 2,74 * Total karbohidrat by difference
5,00
3,08
5,02
2,79
Berbeda dengan Liu (1997) dan Wang (1986), hasil penelitian terhadap fermentasi pada ketiga varietas kedelai (Americana, Cikuray dan Baluran), mengungkapkan terjadi peningkatan kandungan lemak yang cukup besar, terutama pada tempe Cikuray, meskipun komposisi kandungan lemak hasil fermentasi hampir mirip dengan yang dilaporkan oleh Liu (1997) dan Wang (1986). Perubahan proximat yang bervariasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan preparasi pada fermentasi tempe
dan varietas kedelai yang
digunakan (Zamora & Veum,1979). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kenaikan kandungan protein lebih dari 10 persen hanya terjadi pada tempe Baluran sedangkan kandungan serat menurun pada kedelai Cikuray dan Baluran, kecuali kedelai Americana. Zamora dan Veum (1979, 1988) melaporkan adanya sedikit peningkatan pada lemak dan protein sebagai hasil proses fermentasi. Sebaliknya kandungan serat menurun setelah proses fermentasi. sedangkan Murata et al., (1967) melaporkan adanya sedikit peningkatan pada serat sebagai hasil fermentasi kedelai. Berdasarkan lemak dan perubahannya dalam fermentasi kedelai Sudarmadji dan Markakis (1978) membedakan tiga fase dalam proses fermentasi, yaitu fase utama, transisi, dan pembusukan. Pada fase utama yaitu sekitar 30 jam dengan suhu 320C, terjadi lipolisis yang diikuti dengan kenaikan suhu. Pada fase ini penampakan tempe sudah baik. Fase transisi yaitu 24 jam setelah fase utama, jamur masih berkembang, lipolisis menurun, suhu menurun, tetapi produk tempe masih baik. Fase terakhir yaitu fase pembusukan yang diawali ketika bakteri mulai tumbuh, lipolisis masih terjadi dan pembusukan semakin berkembang cepat.
Perubahan Komposisi Asam Amino Kedelai Pasca Fermentasi Perubahan komposisi asam amino pada kedelai ketiga varietas pasca fermentasi terlihat pada Tabel 5. Hasil analisis asam amino dari fermentasi kedelai varietas Americana, Cikuray dan Baluran diperoleh bahwa asam amino alifatik yang meliputi asam amino valin, leusin dan ileusin meningkat pasca fermentasi. Asam amino alanin pada tempe Cikuray tidak mengalami perubahan setelah difermentasi sedangkan asam amino
glysin pada kedelai Baluran
mengalami penurunan tajam setelah fermentasi. Secara keseluruhan pada asam amino asam / dikarboksilat (asam aspartat dan asam glutamat), basa (lysin, arginin, dan histidin), aromatik (serin, tryonin, dan tyrosin) dan asam amino treonin, metionin dan penilalanin terjadi peningkatan komposisi asam amino setelah difermentasi, kecuali metionin pada tempe Cikuray. Peningkatan asam amino terbesar (> 10 persen) terjadi pada asam amino arginin semua varietas.
Tabel 5. Perubahan komposisi asam amino pasca fermentasi pada kedelai 3 varietas (%w/w berat basah) 1
Asam Amino
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Asam Aspartat Asam Glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Penilalanin Isoleusin Leusin Lisin
Kedelai Tempe Americana Americana 4,73 7,21 1,60 1,05 1,84 1,43 2,78 1,62 1,32 0,17 2,00 1,96 1,95 2,94 2,56
5,43 7,78 2,30 1,18 2,17 1,86 4,96 1,62 1,71 0,30 2,43 2,27 2,41 3,59 2,66
Kedelai Cikuray
Tempe Cikuray
Kedelai Baluran
Tempe Baluran
5,62 8,49 1,53 1,20 1,89 1,52 3,39 1,83 1,36 0,49 2,26 2,19 2,25 3,27 2,67
6,22 9,25 2,62 1,33 2,34 2,23 5,55 1,83 1,85 0,51 2,66 2,70 2,72 4,07 3,09
5,87 8,79 1,65 1,25 1,94 1,55 3,45 1,89 1,26 0,28 2,37 2,37 2,35 3,45 2,59
6,45 9,59 2,68 1,37 0,37 2,10 5,62 1,91 1,88 0,47 2,72 2,80 2,81 4,24 3,14
. Hasil penelitian Zamora dan Veum (1988) pada fermentasi kedelai menggunakan R. oligosporus menyatakan bahwa terjadi sedikit pengaruh fermentasi terhadap komposisi asam amino tempe dibandingkan kedelai yang direbus. Sedikit peningkatan yang tidak melebihi angka 10 persen hanya terjadi pada treonin, metionin, leusin, dan lysin, sedangkan asam amino lainnya tidak berubah karena fermentasi. Hasil serupa, juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Robinson dan Kao (1977), Smith et al., (1964); Murata et al., (1967); Stillings dan Hackler (1965).
Perubahan Komposisi Asam Lemak Kedelai Pasca Fermentasi Perubahan komposisi asam lemak pada kedelai ketiga varietas pasca fermentasi terlihat pada Tabel 6. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa asam lemak unsaturated dengan persentase terbesar terdapat pada asam lemak linoleat (C18:2), diikuti oleh oleat (C18:1), palmitat (C16:0), linolenat (C18:3), dan asam stearat (C18:0). Komposisinya menurun setelah mengalami fermentasi menjadi tempe kecuali asam oleat, asam stearat, dan asam palmitat pada tempe Americana serta asam stearat dan asam oleat pada tempe Baluran.
Tabel 6. Perubahan komposisi asam lemak pasca fermentasi pada kedelai 3 varietas (%w/w in fat/oil) No
Asam Lemak
1 2 3 4 5 6 7 8
C14:0, Asam Miristat C16:0, Asam Palmitat C18:0, Asam Stearat C18:1, Asam Oleat C18:2, Asam Linoleat C20:0, Asam Arakidat C18:3, Asam Linolenat C22:0, Asam Behenat
Kedelai Tempe Kedelai Americana Americana Cikuray 0,07 10,30 4,48 21,29 58,64 0,35 9,72 0,35
0,04 9,18 4,20 19,11 49,57 0,29 6,72 0,26
0,11 9,53 3,50 35,96 48,08 0,31 6,59 0,23
Tempe Cikuray 0,03 8,45 3,17 29,42 39,73 0,25 4,10 0,18
Kedelai Tempe Baluran Baluran 0,07 10,54 2,83 26,58 52,61 0,32 6,87 0,31
0,04 9,28 2,61 24,03 42,39 0,27 4,23 0,29
De Reu et al., (1994) melaporkan adanya penurunan gliserida dari 22,3 menjadi 11,5 persen (w/w, berat kering) setelah 69 jam fermentasi dengan menggunakan R. oligosporus pada suhu 370C. Pada saat fermentasi asam lemak bebas meningkat hingga 4,3 persen. Hal ini dikarenakan adanya pelepasan asam lemak dari lemak netral yang digunakan sebagai sumber karbon bagi R.oligosporus untuk berasimilasi. Asam lemak bebas dan acyl esters diketahui dapat menghambat beberapa enzim termasuk trypsin. Peningkatan aktivitas antitripsin diakibatkan karena pelepasan asam lemak dari lemak kedelai oleh enzim lipase (Wang et al., 1975; Liu et al., 1990)
Perubahan Komposisi Mineral Pasca Fermentasi Mineral makro pada hasil penelitian seperti kalium, kalsium, dan natrium mengalami peningkatan setelah difermentasi, kecuali fosfor. Mineral mikro yang meliputi mineral besi menurun pada semua varietas kedelai pasca fermentasi. Penurunan juga terjadi pada mineral seng (kecuali fermentasi kedelai Cikuray). Hal ini berbeda dengan beberapa literatur yang menyatakan bahwa mineral besi, dan seng akan menjadi lebih tersedia jumlahnya pasca fermentasi. Hal ini sebagai akibat terurainya asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) oleh enzim fitase yang dikeluarkan oleh kapang tempe. Mineral kuprum dan mangan meningkat pasca fermentasi sedangkan selenium pada kedelai dan tempe ketiga varietas tersebut tidak terdeteksi (< 0,002 ppm). Perubahan komposisi mineral pada kedelai ketiga varietas pasca fermentasi terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan komposisi mineral pasca fermentasi pada kedelai 3 varietas (ppm, berat kering) Kedelai Americana
No
Mineral
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Phospor, P Kalsium,Ca Magnesium, Mg Besi, Fe Natrium, Na Kaliumm, K Seng, Zn Copper, Cu Selenium, Se
Tempe Americana
0,51 1200,00 2700,00 633,86 158,67 1,69 38,38 21,16 < 0,002
Kedelai Cikuray
185,20 2025,39 1164,58 101,30 817,70 4457,93 26,80 40,67 < 0,002
Tempe Cikuray
0,74 1500,00 4400,00 197,06 160,68 1,74 72,09 27,67 < 0,002
230,47 2699,48 1750,09 101,66 502,12 4341,73 181,88 33,27 < 0,002
Kedelai Baluran 0,52 1200,00 2800,00 199,28 264,05 1,42 38,64 24,27 < 0,002
Tempe Baluran 204,81 2059,64 1091,83 97,74 488,58 4272,57 31,35 34,35 < 0,002
Perubahan Komposisi Isoflavon Pasca Fermentasi Perubahan komposisi isoflavon pada kedelai ketiga varietas pasca fermentasi terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan kandungan isoflavon pasca fermentasi kedelai varietas Americana dalam mg/100 gr sampel (berat kering) No
Isoflavon
Kedelai Americana
Tempe Americana
1 2 3 4
F2 Daidzein Glycetein Genestein
0,017 0,093 0,004 0,001
0,003 1,528 0,490 0,442
Data yang diperoleh dari Coward et al.,(1993) menyatakan bahwa daidzein dan genestein pada tempe berkisar antara 0,43±0,005 (mg/gr berat kering) dan 0,29±0,009 (mg/gr berat kering). Perbedaan hasil analisis dapat dipengaruhi oleh jenis varietas dan preparasi dalam pembuatan tempe. Wang dan Murphy (1996) menemukan bahwa proses perendaman dan perebusan pada tahapan pembuatan tempe, secara signifikan (P<0,05) menghilangkan kandungan isoflavon total sebesar 49 persen. Meskipun demikian fermentasi tempe telah meningkatkan kandungan deidzein dan genistein yang diduga akibat aktivitas enzim kapang yang menghidrolisis isoflavon glukosida pada kedelai menjadi isoflavon aglycon, seperti yang dilaporkan oleh Ikeda et a.l, (1995) dan Murakami et al., (1984) yang menyatakan adanya perubahan isoflavon
glukosida (daidzin, genistin, dan glycitin) menjadi isoflavon aglycon (deidzein, genistein dan glycitein). Kandungan isoflavon menurut laporan Wang dan Murphy (1994) pada empat varietas kedelai Amerika yang tumbuh di Iowa, USA; berturut-turut daidzein, genestein, dan glycetein adalah 38, 33, 20 ųg/gr pada varietas Prize, 4, 15, 19 ųg/gr pada varietas HP204, 10, 16, 19 ųg/gr pada varietas LS301dan 12, 45, 21 pada varietas XL72. Dimana rata-rata total isoflavon berkisar antara 1.2613.886 mg/gr berat biji. Data tersebut mengindikasikan bahwa kandungan isoflavon tidak hanya tergantung pada genetik tetapi juga pada musim dan lokasi tanam. Tsukamoto
et
al.,
(1995)
menyatakan
bahwa
tingginya
suhu
mempengaruhi penurunan kandungan isoflavon. Keberadaan F2 atau Faktor-2 (5,7,4 tryhydroxy isoflavone) disintesis bukan oleh Rhizopus sp tetapi oleh bakteri pada saat fermentasi dan mikroorganisme yang bertanggung jawab dalam sintesis ini dikenal dengan Micrococcus luteus dan corynebacterium (Barz, 1990). Dalam tempe pada penelitian ini (Americana), peran bakteri Micrococcus luteus dan corynebacterium dalam memproduksi F2 tidak terlihat nyata yang ditandai dengan terjadinya penurunan F2.
Persiapan Percobaan Hewan Penentuan Jenis Kedelai Tempe sebagai Diet Penentuan jenis tempe dilakukan dalam rangka pemilihan varietas kedelai tempe yang akan digunakan sebagai sumber protein diet tempe. Dari hasil analisis asam amino meskipun kandungan asam amino arginin pada tempe Americana lebih rendah dibanding Baluran dan Cikuray tetapi jenis kedelai tersebut sering digunakan oleh industri tempe tradisional pada umumnya, karena bentuk kedelainya yang besar memudahkan kapang berfermentasi dan nilai ekonomisnya lebih besar. Masa Adaptasi Hewan Percobaan Tikus yang digunakan merupakan jenis Sprague Dawley berjumlah 51 ekor. Jenis tersebut dipilih karena sering digunakan sebagai model dalam penelitian kesembuhan luka pada keadaan diabetes. Usia 8 minggu dengan berat
badan 200 ± 10 gr, tergolong pada usia dewasa. Dimana usia tersebut rentan untuk terkena penyakit diabetes. Tikus dalam percobaan ini diambil dari BPOM-RI dimana diet, pemberian makan, suhu, dan tipe kandang berbeda dengan keadaan dalam penelitian, sehingga tikus tersebut terlebih dahulu diadaptasikan dalam kandang metabolik dan suhu ruang yang baru. Adaptasi meliputi jenis makanan, pola makan tikus dan jumlah intake makanan (Gambar 8).
Gambar 8. Masa adaptasi tikus di kandang metabolik
Pada 2 hari pertama masa adaptasi, tikus mengalami stres akibat suhu ruang yang tinggi (29-300C) sehingga berakibat pada 3 ekor tikus yang mengalami batuk akibat paparan dengan hewan lain yang sudah terinfeksi batuk. Penanganan pada kasus tersebut, yaitu dengan cara 1 ekor tikus yang terinfeksi berat dimatikan dengan anastesi ketamin-xylazin overdosis dan 2 ekor tikus yang lain (terinfeksi ringan) diisolasi dengan kandang terpisah dari kandang metabolik yang lain. Kesehatan hewan percobaan (tikus) dikontrol oleh dokter hewan. Penambahan kipas angin dan penurunan suhu air conditioner (AC) didalam ruangan, ditujukan sebagai antisipasi suhu ruang yang terlalu panas agar tikus tidak stres. Penambahan kipas angin dan penurunan suhu AC dalam ruangan tidak dapat mencapai suhu ideal (22-240C). Meskipun demikian penurunan suhu ini
berpengaruh pada penurunan tingkat stres tikus. Selama 10 hari masa adaptasi, tikus mendapat diet standar (kasein) dengan komposisi sesuai dengan AIN-93M (Reeves et al., 1993). Diet dengan komposisi AIN-93M dipilih karena komposisi diet tersebut sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan tikus dalam penelitian jangka panjang dan tepat jika digunakan sebagai kontrol komponen gizi seperti bahan tambahan pangan atau pengganti pangan. Selain itu diet ini cocok digunakan sebagai protokol standar penelitian biomedikal yang efektif dalam meminimalkan ketidakragaman diet yang digunakan sebagai sumber utama terutama ketika dibandingkan dengan hasil dari penelitian (Duffy et al., 2002). Pola makan tikus diatur sedemikian rupa dengan pola pemberian makan pada jam 17.00 hingga 18.00 WIB dan sisa diet diambil pada jam 11.00 WIB pada keesokan harinya. Hal ini dikarenakan tikus makan pada malam hari dan pengambilan sisa diet ditujukan untuk mengetahui intake makanan tikus setiap harinya. Pemberian air minum secara ad libitum dan harus diganti setiap hari pada jam 9.00 WIB. Hal ini ditujukan agar air tidak berjamur dan terkontaminasi mikroba yang berbahaya bagi tikus. Intake makanan tikus selama masa adaptasi rata-rata berkisar 25 hingga 30 gr perharinya. Kisaran tersebut digunakan dalam memberikan jumlah diet yang cukup perharinya, agar tikus tidak menjadi hipoglikemia.
Pembuatan Diabetes dengan Induksi Streptozotocin (STZ ) Hari ke-0 adalah hari dimulainya induksi diabetes. Proses induksi tersebut dilakukan pada tikus yang telah dinyatakan sehat. Sebelum dilakukan induksi, tikus dikelompokan secara acak sehingga didapatkan jumlah 29 ekor tikus yang diinduksi STZ dan 21 ekor tikus yang diinduksi PBS. Pembuatan diabetes dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tikus diinjeksi secara i.p. (intraperitoneal) dengan 40 mg/kg bb Streptozotocin (STZ) sedangkan pada tikus non diabetes diinjeksi secara i.p. menggunakan Phosphate Buffer Saline (PBS) pH 7.4. Dosis induksi tersebut disesuaikan pada pengalaman sebelumnya dalam membuat tikus diabetes. Eizirik et al., (1988) telah menggunakan dosis STZ tersebut dalam membuat diabetes pada tikus Wistar. Streptozotocin atau STZ (2-
deoksi-2-(3-metil-(nitrosoureido)-D-glukopiranosa)
telah
30
tahun
lebih
digunakan untuk membuat tikus menjadi diabetes (Morgan et al., 1994). Studi literatur tentang efek STZ, menyatakan injeksi 24-100 mg/kg bb (M.-P. Lu et al., 2007) dapat menimbulkan efek diabetogenik.
Gambar 9. Proses pembuatan diabetes pada tikus dengan induksi STZ
Pada hari ke-3 hingga hari ke-7 pasca induksi, sudah terlihat efek STZ terhadap berat badan, food intake, polifagia (lapar), poliuria (kencing) dan polidipsia (haus). Perubahan berat badan selama masa pembuatan diabetes pada kelompok non diabetes berkisar 15,36 persen (n=21), sedangkan pada kelompok diabetes berkisar 4,15 persen (n=29). Perbedaan kenaikan berat badan ini dapat diterangkan melalui mekanisme: 1. Poliuria menyebabkan penurunan berat badan pada tikus diabetes yang diinduksi STZ. Ketika kadar glukosa melebihi ambang ginjal sebagai akibat reabsorbsi glukosa,
maka timbul keadaan glukosuria (glukosa urin) yang
menyebabkan diuresis osmotik (poliuria atau sering kencing) yang akan merangsang dehidrasi (polidipsia). Poliuria pada manusia, dapat menyebabkan kehilangan energi yang signifikan hingga 300 kkal/hari, hal ini disebabkan jumlah kalori yang hilang dari glukosa urin bisa lebih dari 75 g/hari (75 g x 4 kkal/g = 300 kkal/hari). Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan berat badan pada diabetisi. 2. Terjadinya katabolisme otot
3. Terhalangnya tahap reaksi masuknya asetil koenzim-A ke dalam daur asam trikarboksilat sebagai akibat defesiensi insulin. Asetil koenzim-A (hasil katabolisme asam lemak) tidak dapat dipakai sebagai sumber penghasil energi dalam daur asam trikarboksilat, tetapi diubah menjadi asetoasetat, aseton, dan ß-hidroksibutirat, yang dikeluarkan dari sel dan diekresi melalui urin (Wirahadikusumah, 1985). 4. Penghambatan pengangkutan glukosa kedalam sel menyebabkan glukosa tidak dapat dioksidasi (melalui proses glikolisis) atau tidak dapat diubah menjadi glikogen (melalui proses glikogenolisis). Akibatnya proses penghasil energi (glikolisis) berkurang. Dalam penelitian ini poliuria yang ditandai dengan jumlah urin berlebih dalam botol penampung air kencing lebih mencolok pada kelompok diabetes dibanding kelompok non diabetes. Adanya polidipsia pada kelompok diabetes ditandai dengan peningkatan konsumsi air minum dalam jumlah besar. Begitu juga dengan polifagia yang ditandai dengan intake makanan yang lebih besar pada kelompok diabetes dibanding kelompok non diabetes. Pada hari ke-7 pasca induksi kadar gula darah diukur. Tikus dinyatakan diabetes apabila konsentrasi plasma glukosa yang berasal dari pembuluh darah vena ekor tikus menunjukan kadar gula darah >250 mg/dL, sedangkan non diabetes jika gula darah < 249 mg/dL (Gutierrez & Vargas, 2006). Keadaan diabetes pada penelitian ini terlihat pada tikus yang diinduksi 40 mg/kg bb STZ pada hari ke-7 pasca induksi (Tabel 9). Tabel 9. Kadar gula darah tikus induksi STZ dan PBS pada hari ke-7 dan hari ke-21 pasca induksi 7 hari pasca induksi STZ 21 hari pasca induksi STZ (mg/dL) (mg/dL) c Kontrol 126,50 ± 31,81 143,35 ± 25,10c a Kontrol+STZ 557,66 ± 64,03 489,33 ± 148,28a bc Tempe1 194,67 ± 35,44 147,33 ± 41,63c b Tempe1+STZ 281,50 ± 43,13 187,66 ± 46,30cb cb Tempe2 191,00 ± 43,84 127,67 ± 8,96c a 149,00 ± 46,67c Tempe2+STZ 496,50 ± 38,89 Rata-rata dengan huruf sama dalam kolom tidak berbeda secara signifikan pada P<0,001 Kelompok
Efek STZ pada tikus yang diinduksi 40 mg/kgBB STZ, memperlihatkan kadar gula darah > 281,50±43.13 mg/dL, sedangkan yang diinduksi dengan PBS
menunjukkan
kadar
gula
darah
<
194,67±35,44
mg/dL.
Pengukuran
menggunakan strip glukosa-oksidasi (OneTouch® Ultra TM, Lifescan) (Gambar 10).
Gambar 10. Pengukuran kadar gula darah Dari sejumlah 22 ekor tikus yang telah diinduksi STZ hanya 15 ekor tikus saja yang memiliki kadar gula darah > 250 mg/dL dan beberapa ekor sisanya menunjukan gejala diabetes pada beberapa hari kemudian dan ada pula yang tidak menunjukan gejala diabetes. Kadar gula yang kurang dari 250 mg/kg bb dimungkinkan karena efek toksik STZ dalam pankreas tidak lebih dari 10 persen (O’Brien et al., 1996). Ke-15 ekor yang memiliki kadar gula darah > 250 mg/dL tersebut selanjutnya dibagi dalam kelompok perlakuan diabetes. Mekanisme terjadinya diabetes pada tikus induksi STZ tersebut diduga sebagai akibat adanya kesamaan struktur kimia yang mirip antara STZ dengan glukosa, sehingga STZ dapat masuk kedalam sel beta pulau langerhans melalui glucose transporter 2 (GLUT-2, suatu heksosa pembawa ambilan glukosa ke dalam sel) dalam membran plasma (Montgomery, 1993). Streptozotocin (STZ) merupakan senyawa kimia kelompok nitrosoureas yang toksik yang memiliki kemampuan merusak sel beta pankreas melalui alkilasi DNA (asam- deoksiribonukleotida). Alkilasi tersebut berujung pada kekurangan nikotinamida adenin dinukleotida (NAD+ , suatu koenzim yang berperan dalam proses oksidasi-reduksi) dan aktivasi enzim poly(ADP-ribose) synthetase sehingga berakibat pada overstimuli ATP (adenosin trifosfat / energi kimia sel). Terjadinya overstimuli ATP tersebut sebagai upaya dalam memperbaiki DNA
yang rusak. Mekanisme tersebut berakibat pada
matinya sel beta, sehingga
biosintesis dan sekresi insulin terhambat (Morgan, 1994, Elsner, 2000). Kekurangan insulin berdampak pada sekresi glukagon (simpanan glukosa) oleh sel alfa yang tidak seimbang dalam pengaturan gula darah yang berujung pada keadaan hiperglikemia (Montgomery, 1993). Morgan et al., (1994) juga melaporkan bahwa efek toksik dari STZ terlihat pada meningkatnya sel apoptosis (kematian sel) pada kultur sel beta pankreas yang diinduksi STZ.
Efek Tempe terhadap Kadar Gula Darah Tikus Diet tempe yang diberikan pada tikus induksi STZ secara signifikan (P<0,001) mempengaruhi penurunan gula darah pada tikus kelompok Tempe1+STZ dan Tempe2+STZ dibanding kelompok Kontrol+STZ (Tabel 9). Demikian juga pada kelompok Tempe1 dan Tempe2, memiliki kadar gula darah yang lebih rendah jika dibanding kadar gula darah awalnya. Dengan demikian diketahui bahwa tempe secara signifikan memiliki efek dalam pengendalian gula darah. Efek
penurunan gula darah tersebut, dimungkinkan karena tempe
merupakan sumber isoflavon. Bioaktif isoflavon yang utama adalah genestain dan daidzein yang ditengarai berpengaruh pada aktivitas hipoglikemik. Beberapa studi penelitian telah menghubungkan diet tinggi isoflavon dengan rendahnya resiko diabetes (Lu-MP et al., 2007). Hasil analisis pendahuluan pada isoflavon tempe yang digunakan pada eksperimen ini menunjukkan kandungan genestein dan daidzein dalam tempe berkisar 0,44 dan 1,5 mg/100 gr sampel (berat kering) meningkat setelah mengalami fermentasi (kedelai varietas Americana dengan jumlah genestein 0,0011 dan daidzein 0,093 mg/100 gr sampel (berat kering). Jumlah tersebut cukup bagi tempe untuk memberikan efek hipoglikemik Pada penelitian Lu-MP et al. (2007) menyatakan pemberian diet tinggi isoflavon protein kedelai (genestein equivalen 0,222 gr/kg diet) secara signifikan meningkatkan serum insulin dan menurunkan glukosa serum pada tikus diabetes sedang. Lu-MP et al. (2007)
juga menyimpulkan bahwa isoflavon tersebut
berperan dalam efek hipoglikemik dengan cara melindungi sisa-sisa sel beta
pankreas dari efek toksik STZ. Penelitian Kwon et al., (2004) menyatakan bahwa isoflavon dalam kedelai memproteksi sel dari prainflamasi sytokinin, kerusakan induksi lemak dan apoptosis. Isoflavon juga diduga dapat menstimuli daya tahan sel beta dan proliferasi (Jhala et al., 2003), berperan dalam pengaturan langsung gen ekpresi insulin (Philippe, 1990) serta dapat menurunkan gula darah dengan cara mengaktifkan reseptor PPAR (peroxisome-proliferator activated receptor), suatu reseptor inti yang berpartisipasi dalam pengaturan darah dan aksi insulin (Mezei, 2003). Mekanisme peran isoflavon dalam efek hipoglikemik dapat diterangkan melalui penelitian Lee (2006). Dalam hal ini pada pemberian diet genestein dan isolat protein kedelai masing-masing 0.06 gr/100 gr diet dan 20 gr/100 gr diet pada tikus diabetes yang diinduksi STZ menunjukkan bahwa: 1. Terjadinya peningkatan plasma insulin, sebagai akibat adanya subtansi insulinotropik didalam fraksi, yang mengindikasikan bahwa fungsi sel beta pulau Langerhans secara utuh memproduksi insulin atau melindungi sel beta yang masih berfungsi dari kerusakan lebih lanjut sehingga masih dapat memproduksi insulin. 2. Meningkatkan aktivitas enzim glukokinase dalam hati sehingga terjadi penurunan gula darah. 3. Menurunkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfatase di liver dalam hati sehingga terjadi penurunan gula darah. Baik pemberian diet genestein maupun isolat protein kedelai secara signifikan telah meningkatkan aktivitas enzim glukokinase dan menurunkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfatase. Meskipun demikian isolat protein kedelai menjadi lebih potensial dibanding genestein dalam peranannya sebagai penurun gula darah. Hal ini diduga karena isolat protein kedelai mengandung komponen aktif lain yang dapat meningkatkan bioavaibilitas genestein. Begitu juga pada penelitian ini dimana tempe dimungkinkan juga memiliki komponen aktif lain selain isoflavon (seperti serat) yang memungkinkan memberikan efek hipoglikemik. Hasil yang berbeda dalam efek glikemik tempe mungkin dapat diperoleh, mengingat jumlah isoflavon dalam tempe berbeda tergantung dari jenis varietas
kedelai, preparasi pembuatan tempe (Coward et al., 1993) dan jenis kapang yang digunakan (Wang & Murphy, 1998).
Efek Tempe terhadap Intake makanan, Perubahan Berat Badan Tikus dan FCE (Food Conversion Efficiency ) Pada hari ke-21 pasca induksi STZ diperoleh data tentang Food Intake, Perubahan Berat Badan Tikus dan FCE (Food Conversion Efficiency). Hasil dari data tersebut menyatakan bahwa baik dalam keadaan diabetes maupun dalam keadaan tidak diabetes, pemberian tempe tidak mempengaruhi sumbangan energi. Hal tersebut diperlihatkan dengan nilai FCE antar kelompok perlakuan (Tempe1 vs Tempe1+STZ dan Tempe2 vs Tempe2+STZ) yang tidak berbeda nyata seperti terlihat pada Tabel 10. Sifat tempe yang mudah dicerna berpengaruh terhadap tidak berbedanya masukan energi pada kedua kelompok tersebut (Hackler et al.,1982). Daya cerna pada tempe lebih banyak dipengaruhi oleh fermentasi kapang terhadap kedelai (Wang, 1969). Tabel 10. Efek tempe terhadap perubahan berat badan, intake makanan dan FCE tikus Perubahan berat badan tikus Intake makanan FCE gr perubahan bb / gr food intake gr gr Kontrol 20,43 ± 1,57ab 463,94 ± 15,96 a 0,13 ± 0,004a bc a Kontrol +STZ 18,04 ± 3,58 440.74 ± 21,77 0,10 ± 0,37a ab b Tempe1 22,09 ± 1,50 383.60 ± 17,69 0,15 ± 0,01a Tempe1+STZ 24,82 ± 2,67a 402.81± 5,78b 0,14 ± 0,03a c b Tempe2 14,71 ± 0,13 379.63 ± 22,16 0,10 ± 0,002a c b Tempe2+STZ 14,43 ± 1,70 379.10 ± 26,28 0,13 ± 0,02a Rata-rata dengan huruf sama dalam kolom tidak berbeda secara signifikan pada P<0,05 Kelompok
Konsumsi tempe memberikan perubahan berat badan tikus yang bervariasi, dan perubahan terkecil terlihat pada kelompok yang mendapat diet tempe 2 (kelompok Tempe2 dan Tempe2+STZ) meskipun tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok Kontrol+STZ. Diet tempe pada kelompok Tempe1+STZ secara signifikan (P<0,05) memberikan perubahan berat badan yang lebih besar dibanding kelompok lainnya, meskipun tingkat konsumsi tikus kelompok kontrol (Kontrol dan Kontrol+STZ) secara signifikan lebih besar. Intake makanan terhadap tempe yang cenderung lebih kecil dibanding tikus yang mendapat kasein dan perubahan berat badan yang lebih besar pada tikus yang mendapat diet tempe dibanding kasein, juga dilaporkan oleh Wang et
al., (1969). Meskipun demikian intake makanan pada tempe yang direbus dengan beberapa variasi waktu perebusan tidak berbeda dengan tikus yang mendapat kasein, seperti yang dilaporkan oleh Hackler et al.,(1982). Food Conversión Efficiency (FCE) adalah rasio antara pertambahan berat badan tikus selama masa percobaan dengan jumlah total diet yang dikonsumsi oleh tikus. Hasil dari FCE yang tidak menunjukkan perbedaan, mengindikasikan bahwa sumbangan energi yang berasal dari tempe tidak berbeda nyata dengan masukan energi yang berasal dari kasein terhadap perubahan berat badan tikus. Hal ini diduga karena tempe merupakan sumber protein kualitas tinggi (Zamora, 1979) yang dibuktikan pada nilai PER (Protein Efficiency Ratio) tempe pasca mengalami fermentasi sebesar 2,79 yang seimbang dengan nilai PER kasein yang sebesar 2,81 dan lebih besar jika masih dalam bentuk kedelai dengan nilai PER 2,41 (Wang, 1969). Perubahan berat badan tikus yang kecil diperlihatkan pada kelompok Tempe2 (Tempe2 dan Tempe2+STZ). Hasil ini diduga berkaitan dengan perbedaan komposisi proximat diet antara kelompok Tempe1 dan Tempe2. Dalam hal ini pada kelompok Tempe2 sumbangan energi yang berasal dari protein dan lemak menjadi bertambah sedangkan pada karbohidrat mengalami penurunan.. Pada kelompok Tempe1, komposisi diet menyumbang energi 372 kkal, protein 13,47 persen, karbohidrat 35,65 gr/100 gr diet, dan lemak bertambah 1,14 gr/100 gr diet dari kebutuhan standar (6 gr/100 gr diet). Kelompok Tempe2 menyumbang energi 377,27 kkal, protein 15,63 persen, karbohidrat 31,16 gr/100 gr diet dan lemak bertambah 2,29 gr/100 gr diet dari kebutuhan standarnya (6 gr/100 gr diet), sedangkan kelompok kontrol menyumbang energi 371,59 kkal, protein 12,53 persen, karbohidrat 46,56 gr/100 gr diet, dan lemak 6 gr/100 gr diet.
Efek Tempe terhadap Serum Asam Amino Arginin Tikus Asam amino arginin tempe merupakan satu-satunya asam amino yang berjumlah dua kali lipat setelah masa fermentasi (tempe) dibanding asam amino pada kedelai mentah yang penyembuhan luka.
dimungkinkan
dapat berperan dalam proses
Pada eksperimen ini pemberian tempe tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar serum asam amino arginin tikus (P>0,05) meskipun jumlah intake protein berbeda-beda (Tabel 11). Hasil yang hampir sama juga terjadi pada serum tikus kelompok tempe (diabetes dan non diabetes) dan kontrol. Hal ini menunjukkan pemberian diet tempe tersebut telah mencukupi kebutuhan akan asam amino arginin. Tabel 11. Efek tempe terhadap serum asam amino arginin tikus Serum asam amino arginin (% w/w) Kontrol 0.44 ± 0.23 a Kontrol +STZ 0.40 ± 0.10 a Tempe1 0.32 ± 0.05 a Tempe1+STZ 0.35 ± 0.01 a Tempe2 0.34 ± 0.01 a Tempe2+STZ 0.32 ± 0.03 a Rata-rata dengan huruf sama dalam kolom tidak berbeda secara signifikan pada P<0,05 Kelompok
Efek Tempe terhadap Kesembuhan Luka Tikus yang Diinduksi STZ Pada hari ke-21 setelah tikus dimatikan, kulit diambil dan segera disimpan dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10 persen, yang selanjutnya diproses menjadi preparat histologi dengan pewarnaan hematoxylin-eusin (H&E) untuk menghitung sel fibroblas dan serabut kolagen. Jumlah sel fibroblas dan serabut kolagen tersebut digunakan dalam rangka menentukan tingkat kesembuhan luka diabetik, disamping penilaian menggunakan persen tingkat kesembuhan. Fibroblas merupakan sel mesenkim dasar jaringan dewasa yang sifat utamanya mensintesis kolagen, sedangkan kolagen adalah protein yang dirakit di retikulum endoplasma dengan cara transkripsi DNA ke RNA. Gambar 11 memperlihatkan tikus yang telah dilukai sebelum diberikan perlakuan (hari ke-7 pasca induksi).
Gambar 11. Tikus dilukai pada daerah punggung
Tikus merupakan model hewan eksperimen yang sering digunakan dalam penelitian proses penyembuhan luka (Komesu et al., 2004, Gutierrez & Vargas 2006, Cheng et al., 2006, Arul et al., 2006, Qiu et al., 2007 dan BraimanWiksman et al., 2007). Tahapan dalam proses penyembuhan luka yang terjadi pada hewan percobaan tersebut dapat dijadikan acuan dalam menentukan tingkat kesembuhan luka seperti inflamasi, proliferasi, maturasi dan remodelling. Fase tersebut terbagi dalam beberapa hari (Gambar 12). Keberadaan jumlah fibroblas dan kolagen pada masing-masing tahap penyembuhan berbeda-beda sehingga aktivitas keduanya dapat digunakan sebagai parameter dalam menentukan tingkat kesembuhan. Hari ke-14 pasca perlukaan (pembedahan) pada penelitian ini masuk dalam fase maturasi dan remodelling dalam proses kesembuhan luka. Fase tersebut ditandai dengan terjadinya peningkatan jumlah kolagen dan penurunan jumlah fibroblas seperti terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Fase penyembuhan luka (Sumber: www.acessmedicine.com)
Mekanisme disfungsi penyembuhan luka pada keadaan diabetes hingga kini belum diketahui. Penurunan proliferasi (perkembangbiakan) sel dan rendahnya pembentukan jaringan sel (Childress & Stechmiller, 2002), rendahnya jumlah kolagen dan penurunan sintesis NO (nitrat oksida) dalam luka (Schaffer et al., 1997) dihubungkan dengan kegagalan penyembuhan pada luka diabetik ini. Penurunan respon inflamasi (radang) pada fase inflamasi (< 6 hari) yang ditandai dengan penurunan infiltrasi atau migrasi sel (makrofag) kedalam luka, diperkirakan sebagai tahap awal dari kegagalan proses penyembuhan luka diabetik ini. Keberadaan makrofag sangat diperlukan untuk mengaktifkan enzim i-NOS (inducible nitric oxide synthetase) yang diperlukan dalam pembuatan NO dari Larginin. NO tersebut kemudian diperlukan dalam rangka melawan infansi bakteri (Childress & Stechmiller, 2002). Makrofag juga diperlukan untuk mengaktifkan enzim arginase dalam membuat ornithin yang selanjutnya diubah menjadi asam
amino polyamin. Asam amino tersebut berfungsi dalam proliferasi sel dan perbaikan jaringan (Lincoln et al., 1997, Wu & Moris, 1998). Asam amino arginin sebagai subtrat pembentukan nitrat oksida (NO) dalam dekade terakhir ini diasosiasikan dengan proses penyembuhan luka khususnya pada luka diabetik. Peranannya yang besar dalam proses penyembuhan luka tersebut menjadi bahan kajian penulis untuk
meneliti apakah pemberian asam
amino arginin yang berasal dari tempe memiliki efek terhadap kesembuhan luka diabetik ini. Asam amino arginin dalam tempe berjumlah hampir dua kali lipat pasca fermentasi (4,96 persen w/w pada tempe dan 2,6 persen w/w pada kedelai Americana) dibanding asam amino lain yang tak kurang dari 10 persen peningkatannya. Selain itu tempe diduga memiliki aktivitas hipoglikemik yang dapat berperan dalam proses penyembuhan luka diabetik ini. Penyembuhan luka merupakan suatu mekanisme yang kompleks, yang melibatkan beberapa parameter seperti jumlah fibroblas dan kolagen sehingga penentuan kesembuhan luka secara makro tidak dapat dijadikan sebagai patokan. Pada hari ke-14 pasca perlukaan (Fase Remodelling) kolagen yang sudah terlihat kasar ditunjukkan oleh kelompok Tempe1+STZ (arginin 1,4 persen) pada perlakuan diabetes dan kelompok Tempe2 (arginin 1,6 persen) pada perlakuan non diabetes (P>0.05), sebagaimana terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Persen kesembuhan luka, jumlah fibroblas dan pembentukan kolagen pada tikus Group
% Kesembuhan luka
Fibroblas
Kolagen
Kontrol 94.27 ± 4.77 a 1822,67 a halus a Kontrol +STZ 98.96 ± 1.80 1236,00 a halus Tempe1 98.44± 1.56 a 1364,00 a halus Tempe1+STZ 98.43 ± 2.70 a 1072,00 a halus dan kasar a a Tempe2 97.92± 1.80 625,00 halus dan kasar Tempe2+STZ 78.12± 5.40 b 1478,00 a halus Rata-rata dengan huruf sama dalam kolom tidak berbeda secara signifikan pada P<0,05
Apabila dilihat secara makro, persen penyembuhan luka lebih tampak pada kelompok Kontrol+STZ seperti terlihat pada Gambar 13.
A. Kelompok Kontrol
B. Kelompok Kontrol+STZ
C. Kelompok Tempe1
D. Kelompok Tempe1+STZ
E. Kelompok Tempe2
F. Kelompok Tempe2+STZ
Gambar 13. Proses kesembuhan luka secara makro (Foto diambil dalam jarak dan pembesaran yang berbeda-beda)
Meskipun demikian secara histopatologi pada kelompok Kontrol+STZ kolagen yang terbentuk masih halus dan jumlah fibroblas masih terlihat tinggi walaupun lapisan epidermis telah menutup. Selain itu pertumbuhan kolagen belum diikuti oleh pertumbuhan folikel rambut (Gambar 14A). Hal ini berbeda dengan kemajuan kesembuhan luka pada kelompok Tempe1+STZ yang ditunjukkan dengan kolagen sudah terlihat kasar, diikuti dengan jumlah fibroblas yang mulai menurun, epidermis yang telah menutup, dan diikuti dengan pertumbuhan folikel rambut diantara pertumbuhan kolagen (Gambar 14B). Hasil yang kontras terlihat pada kelompok Tempe2+STZ (arginin 1,6 persen), dimana proses kesembuhan luka terjadi sangat lambat, berbeda sangat nyata dengan kelompok Tempe1+STZ. Proses penyembuhan luka pada kelompok ini ditunjukan dengan epidermis sudah terbentuk mendekati utuh, tetapi luka masih ditutup oleh keropeng dan pertumbuhan kolagen sudah mulai terjadi yang disertai dengan terbentuknya neovaskularisasi (Gambar 15B)
A
A
B B
Gb.14A
C
Gb.14B
Gambar 14A. Kelompok Kontrol+STZ, epidermis (A) telah menutup, pertumbuhan kolagen (B) belum diikuti oleh pertumbuhan folikel rambut. Gambar 14B. Kelompok Tempe1+STZ, Epidermis telah menutup (A), mulai terjadi pertumbuhan folikel rambut (C) diantara pertumbuhan kolagen (B). (Pewarnaan HE, pembesaran obyektif 20 x).
C A A B D C Gb.15A
Gb.15B
Gambar 15A.Kelompok Kontrol, epidermis telah menutup, ketebalan mendekati sempurna (A), kolagen (B), folikel rambut sudah mulai tumbuh (C). Gambar 15B. Kelompok Tempe2+STZ, epidermis sudah terbentuk mendekati utuh (A), luka masih ditutup oleh keropeng (C). pertumbuhan kolagen sudah terjadi disertai neovaskularisasi (D). (Pewarnaan HE, pembesaran obyektif 20 x).
Dari tabel dan gambar histopatologi diatas dapat diketahui bahwa peran asam amino arginin tempe sebesar 1,4 persen dalam keadaan diabetes menunjukkan tingkat kesembuhan yang paling cepat dibanding kelompok lainnya. Beberapa studi literatur melaporkan bahwa pemberian arginin dosis 1 persen berdampak pada peningkatan sintesis serum NO jika dibandingkan pada kelompok yang mendapat suplemen arginin 0 persen atau 0,3 persen. Demikian juga pemberian kasein sebesar 20 persen lebih berdampak pada peningkatan sintesis serum NO jika dibandingkan kelompok dengan kasein 5 persen (Wu et al., 1999). Dosis arginin 1,4 persen, dapat meningkatkan e-NOS (endotheleal nitrogen oxide synthetase), iNOS dan arginase pada luka diabetik (Kohli et al., 2004, Witte et al., 2002). Mekanisme aksi yang dapat diterangkan dari pengaruh arginin dalam penyembuhan luka adalah (Abumrad dan Barbul, 2003) : 1.
Suplementasi arginin sangat diperlukan sebagai subtrat dalam rangka sintesa kolagen pada daerah luka. Meskipun demikian suplementasi bebas arginin juga dapat membentuk kolagen dengan jumlah yang tidak kurang dari 5 persen. Jalur sintesa kolagen tersebut adalah : Subtrat arginin
ornithin
asam glutamat semialdehid
prolin 2.
Arginin menginduksi sintesa kolagen melalui mekanisme pituitary secretagogue, dalam hal ini suplementasi arginin diikuti dengan hormon tumbuh yang diidentikan dengan peningkatan wound breaking strength dan deposit kolagen.
3.
Arginin memiliki efek unik pada fungsi sel T dengan cara menstimulasi respon sel T dan menurunkan efek penghambatan pada luka. Limfosit T sangat esensial pada kejadian menurunnya wound breaking strength dan fasilitator dalam perbaikkan luka normal pada setiap fase penyembuhan luka.
4.
Arginin sebagai subtrat yang unik bagi NO dimana keberadaan NO dalam luka sangat penting karena berperan dalam induksi sintesis kolagen dan vital bagi perbaikan jaringan (Scaffer et al., 1996). Adanya peran NO tersebut dibuktikan pada cairan luka dan kultur sel luka
tikus diabetes yang telah diinduksi STZ. Hasilnya telah terjadi penurunan sintesis
NO pada cairan luka tersebut. NO juga ditemukan pada pasien dengan kaki diabetik yang ditunjukkan dengan keberadaan enzim i-NOS (inducible nitrogen oxide synthetase) dan arginase yang meningkat
secara signifikan dibanding
kelompok kontrol. i-NOS dan arginase adalah enzim yang mengubah L-arginin menjadi NO dan ornithin (Jude, 2000). Asam amino polyamin yang dibentuk melalui ornithin, berfungsi dalam proliferasi sel dan perbaikan jaringan (Lincoln et al., 1997, Wu & Moris, 1998). Asam amino arginin dalam tempe bukan merupakan asam amino murni seperti yang dilaporkan pada hasil penelitian diatas, sehingga pemenuhan dosis asam amino arginin sebesar 1,6 persen yang harus disumbang dari tempe seperti pada kelompok Tempe2+STZ, berdampak pada penurunan karbohidrat dan penambahan jumlah lemak yang disumbang oleh tempe. Komposisi diet pada kelompok tersebut, menyumbang
karbohidrat 31,16 gr/100 gr diet dan lemak
bertambah 2,29 gr/100 gr diet dari kebutuhan standarnya, sedangkan kelompok kontrol menyumbang karbohidrat 46,56 gr/100 gr diet, dan lemak 6 gr/100 gr diet. Mekanisme tersebut diduga berpengaruh pada proses kesembuhan luka yang lama pada kelompok Tempe2+STZ. Dalam keadaan hiperglikemia tingginya lemak dalam diet berpengaruh pada disfungsi metabolisme lemak yang berujung pada pembentukan benda keton yang mengakibatkan terjadinya ketodiabetik. Pendugaan ini didasarkan atas tingkat kesembuhan luka pada kelompok Tempe2 yang secara signifikan (P<0,001) berbeda nyata dengan kelompok Tempe2+STZ. Dalam hal ini kelompok Tempe2 (non diabetes) sama-sama diberikan diet asam amino arginin tempe sebesar 1,6 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa arginin dalam tempe bukan satu-satunya faktor yang terkait dalam proses kesembuhan luka. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara kesembuhan luka diabetik pada kelompok Kontrol+STZ dengan kelompok Tempe1+STZ, tetapi secara jangka panjang pemberian diet tempe lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan pemberian diet tempe juga memiliki efek hipoglikemia jika dibanding pemberian diet kasein. Dalam aplikasi pada pasien dengan kaki diabetik dosis anjuran sebesar 17 gr/hari hingga 30 gr/hari (Barbul et al., 2003) tidak mungkin dapat terpenuhi
apabila arginin tersebut berasal dari tempe, karena dosis arginin 17 gr/hari akan didapatkan dari tempe dengan jumlah sekitar 700 gr tempe berat basah/hari. Meskipun demikian, pengalaman pemberian tempe sekitar 150 gr/hari (6 potong ukuran rumah tangga) pada pasien kaki diabetes di rumah sakit telah memberikan keuntungan yang positif dalam penyembuhan luka pada pasien ini. Efek hipoglikemik yang diberikan tempe diduga turut memberikan andil dalam proses kesembuhan luka. Mekanisme yang mungkin dapat diterangkan adalah kadar gula darah yang terkontrol memberikan subtrat yang tidak menguntungkan bagi bakteri anaerob (Clostridium perfringens) yang 80 persen tumbuh pada luka pasien kaki diabetik ini (Misnadiarly, 2001). Bakteri tersebut adalah penghasil nanah dan bau busuk. Terkontrolnya gula darah berarti mengurangi subtrat bagi bakteri untuk membuat infeksi pada luka sehingga kesembuhan luka akan tercapai seperti hasil dari pengalaman yang menyimpulkan bahwa pemberian tempe pada pasien dengan kaki diabetik mengurangi keluarnya nanah dan bau busuk.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1.
Proses fermentasi pada kedelai telah meningkatkan kandungan lemak setelah menjadi tempe terutama pada tempe Cikuray. Kenaikan protein lebih dari 10 persen terjadi pada tempe Baluran sedangkan kandungan serat meningkat pada tempe Americana.
2.
Asam amino setelah fermentasi meningkat dan yang paling tinggi terjadi pada kadar asam amino arginin pada ketiga macam tempe.
3.
Komposisi asam lemak menurun setelah proses fermentasi, kecuali asam oleat, asam stearat, dan asam palmitat pada tempe Americana serta asam lemak stearat dan asam oleat pada tempe Baluran.
4.
Mineral makro seperti seperti kalium, kalsium, dan natrium meningkat setelah fermentasi pada ketiga varietas, sedangkan kadar mineral mikro besi dan seng mengalami penurunan (kecuali pada tempe Cikuray).
5.
Semua perlakuan pada percobaan hewan (tikus) diabetes dan diberi diet tempe menunjukkan penurunan kadar gula darah yang nyata (P<0.001) dibandingkan kelompok tikus diabetes yang mendapat diet kasein (kontrol).
6.
Semua kelompok perlakuan (diabetes dan non diabetes) baik yang mendapat diet kasein maupun tempe menunjukan adanya pengaruh terhadap proses penyembuhan luka meskipun dengan intensitas yang berbeda.
7.
Peran asam amino arginin dari tempe dalam persen penyembuhan luka lebih terlihat pada diet dengan kadar asam amino arginin tempe 1,4 persen dibandingkan dengan 1,6 persen.
8.
Meskipun persen penyembuhan luka terlihat relatif sama, tetapi apabila dilihat dari aspek histopatologi pemberian tempe pada kelompok perlakuan tempe diabetes (1,4 persen arginin) lebih cepat menyembuhkan luka dibandingkan dengan kelompok perlakuan kontrol diabetes. Hal ini terbukti dengan terbentuknya kolagen yang lebih cepat pada kelompok perlakuan tempe diabetes (1,4 persen arginin).
9.
Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara kesembuhan luka diabetik pada kelompok perlakuan kontrol diabetes dengan kelompok
kelompok perlakuan tempe diabetes tetapi secara jangka panjang, pemberian diet tempe lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan, pemberian diet tempe juga memiliki efek hipoglikemia jika dibanding pemberian diet kasein. 10. Proses kesembuhan luka yang lama pada kelompok perlakuan tempe diabetes (1,6 persen arginin) diduga sebagai akibat kelebihan lemak dalam komposisi dietnya. Diet tinggi lemak saat hiperglikemia berpengaruh pada disfungsi metabolisme lemak yang berakibat pada terjadinya ketodiabetik. Pendugaan ini didasarkan atas tingkat kesembuhan luka pada kelompok perlakuan tempe non diabetes (1,6 persen arginin) yang secara signifikan (P<0,001) berbeda nyata dengan kelompok kelompok perlakuan tempe diabetes (1,6 persen arginin) meskipun sama-sama diberikan diet asam amino arginin tempe sebesar 1,6 persen.
Saran 1.
Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan parameter dan metode yang lebih rinci, sehingga dapat menyimpulkan peran komponen aktif dalam tempe yang berpengaruh pada kesembuhan luka pada tikus diabetes yang diinduksi STZ.
2.
Penelitian pada manusia diperlukan guna mengetahui efek tempe terhadap penurunan kadar gula darah pada diabetisi dan untuk mengetahui efek tempe terhadap proses kesembuhan luka terutama pada penderita kaki diabetik.
DAFTAR PUSTAKA Abumrad, Naji.N & Andrian Barbul. 2003. The Use of Arginin in Clinical Practice; Metabolic and Therapeutic aspects of Amino Acid in Clinical Nutrition (Luc A. Cynober ed.). CRC. New York. ADA (American Diabetes Association). 1999. Consensus development conference on diabetic foot wound care. Diabetes Care, 22(8): 1354-1360. ADA (American Diabetes Association). 2007. Clinical practice recommendations 2007. Diabetes Care, 30:S4. Albina, J.E., Mills, C.D., Barbul A. 1984. Arginine metabolism in wounds. Am. J. Phys., 254: E459-E467. Almatsier, S. 2002. Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Jakarta Arul, Vadivel., Reena Kartha & Rajadas Jayakumar. 2007. A therapeutic approach for diabetic wound healing using biotinylated GHK in corporated collagen matrices. Life Sciences, 80: 275–284. Ashenafi, M. dan Busse, M. 1991. The microflora of soak water during tempe production from various beans. J. Appli. Bacteriol., 70(4): 334-338. Barbul, A., Lazarou, S., Efron, D.T., Wasserkrug, H.L., & Efron G. 1990. Arginine enhances wound healing in humans. Surgery,108: 331-337. Black, Eva., Jette V.P., Lars N. J., Soren M. M., Magnus S.A., Per E. H., Hans Perrild & Fin Gottrup. 2003. Decrease of collagen deposition in wound repair in type 1 diabetes independent of glycemic control. Arch. Surg., 138: 34-40. Boulton, Connor H & Cavanagh P.R. 2000. The Foot in Diabetes (3rd ed.). Chicestrer, U.K., John Wiley & Sons. Buttler, M.F.S., B.L. Langkamp-Henken, K.A. Herrlinger-Garcia, A.E. Klash, M.E. Szczepanik, Jr.C. Nieves, R.J. Cottey, & B.S. Bender 2005. Arginine supplementation enhances mitogen-induced splenocyte proliferation but does not affect in vivo indicators of antigen-specific immunity in mice. Journal of Nutrition: 1146-1149. Cheng, Biao., Hong-Wei Liu , Xiao-Bing Fu, Tong-Zhu Sun, Zhi-Yong S. 2007. Recombinant human platelet-derived growth factor enhanced dermal wound healing by a pathway involving ERK and c-fos in diabetic rats. Journal of Dermatological Science, 45: 193—201.
Coward, L., Barnes, N.C., Setchell, K.D.R., dan Barnes, S. 1993. Genistein, daidzein, and their β-glycoside conjugates: antitumor isoflavones in soybean foods from American and Asian diets. J.Agric. Food Chem., 41: 1961-1967. De Reu, J.C., Ramdaras, D., Rombouts, F.M., dan Nout, M.J.R. 1994. Changes in soybean lipid during tempe fermentation. Food Chem., 50(2): 171-175. De Reu, J.C., Rombouts, F.M., dan Nout, M.J.R. 1995. Influence of acidity and initial subtrate temperature on germination of Rhizopus oligosporus sporangiospores during tempe manufacture. J. Appl. Bacteriol., 78(2): 200208. Djien, K.S. dan Hesseltine, C.W. 1979. Tempe and related foods. Economic Microbiology, 4: 115. Duffy, Peter H., Sherry M. Lewis, Martha A. Mayhugh, Andy McCracken, Brett T.Thorn, Philip G. Reeves, Shirley A. Blakely, Daniel A. Casciano & Ritchie J. Feuers. 2002. Effect of the AIN-93M purified diet and dietary restrictionon survival in sprague-dawley rats: implications for chronic studies. Journal of Nutrition,132:101–107. Eizirik, D.L., Carla M. Germano and Renato H. Migliorini. 1988. Dietetic supplementation with branched chain amino acids attenuates the severity of streptozotocin-induced diabetes in rats. Acta diabetol. Lat.: 25, 117. Elsner, M., B. Guldbakke, M Tiedge, R Munday, & S. Lenzen. 2000. Relative importance of transport and alkylation for pancreatic betta-cell toxicity of streptozocin. Diabetologia, 43 : 1528-1533. Gutierrez, R.M. Perez & R. Vargas S. 2006. Evaluation of the wound healing properties of Acalyphalangiana in diabetic rats. Fitoterapia, 77: 286– 289. Hackler, L.R., K. H. Steinkraus, J. P. Van Buren & D. B. Hand. 1964. Studies on the utilization of tempeh protein by weanling rats. Journal of Nutrition, 82: 452-456. Hesseltine, C.W., Smith, M., Bradle, B., dan Djein, K.S. 1963. Investigations of tempeh, an indonesian food. develop. indus. Microbiol., 4: 275-287. Ikeda, R., Ohta N., dan Watanabe, T. 1995. Changes of isoflavones at various stages of fermentation in deffated soybeans. J. Jap. Soc. Food Sci. Technology, 42(3): 322-327. J-S, Lee. 2006. Effects of soy protein and genistein on blood glucose, antioxidant enzyme activities, and lipid profile in streptozotocin-induced diabetic rats. Life Sciences, 79: 1578-1584.
Jhala U.S., Canettieri G., Screaton R.A., Kulkarni R.N., Krajewski S. , Reed J.2003. CAMP promotes pancreatic beta-cell survival via CREB-mediate dinduction of IRS2. Genes, 17: 1575. Kajiwara, Kenta., Masataka O, Tetsuo K., Nobuko H., Toshio M., Masahiko K., Hiroo O., Yasutoshi M., and Hisataka M. 1998. Oral supplementation with branched-chain amino acids improves survival rate of rats with carbon tetrachloride-induced liver cirrhosis. Digestive, Disease and Science, 43(7): 1572-1579. Karyadi, D. 1985. Prospek Pengembangan Tempe Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Dalam Simposium Pemanfaatan Tempe Dalam Peningkatan Upaya Kesehatan dan Gizi. Puslitbang Gizi. Kohli, Ripla., Cynthia J. Meininger, Tony E. Haynes, Wene Y., Jon T. Self, and G. Wu. 2004. Dietary l-arginine supplementation enhances endothelial nitric oxide synthesis in streptozotocin-induced diabetic rats. Journal of Nutrition,134: 600–608. Komesu, Marilena C., Marcelo B.T., Kemli R. Buttros & Cristiano N. 2004. Effects of acute diabetes on rat cutaneous wound healing. Pathophysiology, 11: 63–67. Kwon G., Pappan K.L., Marshall C.A., Schaffer J.E., Mc Daniel M.L. 2004. CAMP dose-dependently prevents palmitate-induced apoptosis by both protein kinase A- and CAMP – guanine nucleotide exchange factordependent pathways in beta-cells. J. Biol. Chem.,279: 8938e45. Lavery L.A., Armstrong D.G., & Harkless L.B. 1996. Classification of diabetic wounds. J. Foot Ankle Surg., 35: 528-531. Liu, K.S. 1997. Soybeans Chemistry, Technology, and Utilization. Soyfood Laboratory Hartz seed, a Unit of Monsanto Company. International Thomson Publishing. Liu, K.S., Markakis, P., dan Smith, D. 1990. Tripsin inhibition by free fatty acids and ste.arolyl-CoA. J. Agric. Food Chem., 38: 1475-1478. Mezei, O., W.J. Banz, R.W. Steger, M.R. Peluso, T.A. Winters, & N. Shay. 2003. Soy isoflavones exert antidiabetic and hypolipidemic effect through the PPAR pathways in obese zucker rats and murine raw 264.7 cells. Journal of Nutrition,133, 1238- 1243. M-P, Lu., Rui Wang, X. Song, X. Wang, Qing H. and M.L. Wu. 2007. Modulation of methylglyoxal and glutathione by soybean isoflavones in mild streptozotocin-induced diabetic rats. J. Numecd.:1-7.
Misnadiarly. 2001. Permasalahan Kaki Diabetes dan Upaya Penanggulangannya. www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/hor-1.htm. Mori, M & T. Gotoh. 2004. Arginine metabolic enzymes, nitric oxide and infection. Journal of Nutrition, 134: 2820-2825. Morgan, Noel G., Hazel C. Cable, Nicole R. Newcombe & Gwyn T. Williams. 1994. Treatment of cultured pancreatic B-cells with streptozotocin induces cell death by apoptosis. Bioscience Reports, 14 (5): 243-250. Murata, K., Ikehata, H., dan Miyamoto, T. 1967. Studies on the nutritional value of tempeh. J. Food Sci., 32: 580. Nout, M.J.R., de Reu, M.A., Zuurbier, A.M., dan Bonants-Van Laarhoven. 1984. Ecology of controlled soybean acidification for tempe manifacture. Food Microbiol., 4: 165-172. Nout, M.J.R., Martoyuwono, T.D., Bonne, P.C.J., dan Odamtten, G.T. 1992. Hisbiscus leaves for the manufacture of usar, a traditional inoculum for tempe. J. Sci. Food Agric., 58(3): 339-346. Nugraha, Djoko, & Widowati. 1996. Pengembangan mutu kedelai untuk agroindustri, Prosiding Lokakarya Penelitian & Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia, BPPT, Jakarta 6-7 Agustus 1996. O’Brien B.A., Harmon B.V., Cameron D.P & Allan D.J. 1996. Beta-cell apoptosis is responsible for the development of IDDM in the multiple low-dose streptozotocin model. J. Pathol., 178: 176-181. O’Dell, B.L.1979. Effect of soy protein on trace mineral availability. In Soy Protein and Human Nutrition, H.L., Wilcke, D.R. Hopkins, and D.H. Waggle, (Ed.) Academic Press, New York. Philippe J., Missotten M. 1990. Functional characterization of a CAMPresponsive element of the rat insulin I gene. J. Biol. Chem., 265: 14659. Qiu, Zeyu., A-Hon Kwon, & Yasuo K. 2007. Effects of plasma fibronectin on the healing of full-thickness skin wounds in streptozotocin-induced diabetic rats. Journal of Surgical Research, 138: 64–70. Reeves, P.G., Forrest H. Nielsen, and George C. Fahey, Jr. 1993. AIN-93 Purified diets for laboratory Rodents: final report of the American institute of nutrition ad hoc writing committee on the reformulation of the AIN-76A rodent diet, Committee Report. Journal of Nutrition, 123: 1939-1951. Robinson, R.J. & Kao, C. 1977. Tempeh and miso from chick pea, horse bean and soybeans. Cereal Chem., 54: 1192.
RuizTeran, F. dan Owens, J.D. 1996. Chemical and enzimic changes during fermentation of bacteria-free soya bean tempe. J. Sci. Food Agric., 71(4): 525-530 Saono, S., Hull, R.R. dan Dhamcharee, B. 1986. A Concise Handbook of Indigenous Fermented Foods in The Asia Countries. In The Complete Handbook of Tempe, J. Agranoff. (Ed.), pp.14. History of The Development of Tempe, American Soybean Association. Shurtleff, W. & Aoyagi, A. 1985. Tempeh Production, A Craft and Technical manual. Soyfoods Center, Lafayette, CA. Smith, A.K., Rachis, J.J., Hesseltine, C.W., Smith, M., Robbin, D.J., dan Booth, A.N. 1964. Tempeh: nutritive value in relation to processing. Cereal Chem. 41:173-181. Solomon M, Ladeji O., & H Umoru. 2008. Nutritional evaluation of the giant grasshopper ( zonocerus variegatus) protein and the possible effects of its high dietary fibre on amino acids and mineral bioavailability. AJFAND., 8(2): 239-251 Steinkraus, K.H., Hwa, Y.B., van Buren, J.P., Provdenti, M.I., dan Hand, D.B. 1960. Studies on tempeh-an Indonesian fermented soybean food. Food Research, 25(6): 777-788. Steinkraus, K.H., van Buren, J.P., Hackler, L.R., dan Hand, D.B. 1965. A pilotplant process for the production of dehydrated tempeh. Food Tech., 19(1): 63. Stillings, B.R., dan Hackler, L.H. 1965. Amino acid studies on the effect of fermentation time and heat processing of tempeh. J. Food Sci., 30: 10431048. Sudarmadji, S. & Markakis, P. 1978. Lipid and other changes occurring during the fermentation and frying of tempeh. Food Chem., 3: 165 Sutjahjo, A. 1994. Peranan Neuropati Diabetik Pada Kaki Diabetes. Simposium Nasional Diabetes & Lipid. RSUD Dr. Soetomo-FK Unair. Surabaya Tjokroprawiro, A. 2002. Diabetik Neuropati: Dari Basik Ke Klinik. RSUD Dr. Soetomo- FK Unair. Surabaya. Tsukamoto, C., Shimada, S., Igata, K., Kudou, S., Kokubun, M., Okubo, K., dan Kitamura, K. 1995. factors affecting isoflavones content in soybean seeds: changes in isoflavones, saponins, and composition of fatty acid at different temperatures during seed development. J. Agric. Food Chem., 43: 11841192.
Wagner FW. 1981. The dysvascular foot: a system of diagnosis and treatment. Foot Ankle, 2: 64-122. Wang, W., S. Lin , Y. Xiao, Y. Huang, Yi Tan, Lu Cai, & X. Li. 2008. Acceleration of diabetic wound healing with chitosan-cross linked collagen sponge containing recombinant human acidic fibroblast growth factor in healing-impaired STZ diabetic rats. Life Sciences, 82: 190–204. Wang, H.L., Ruttle, D.I., dan Hesseltine, C.W. 1969. Antibacterial compound from a soybean product fermented by Rhizopus oligosporus. Proc. Soc. Expt. Biol. Med., 131: 579-583. Wang, H.L., Ruttle, D.I., dan Hesseltine, C.W. 1969. Protein quality of wheat and soybeans after Rhizopus oligosporus fermentation. Journal of Nutrition, 96: 109-114. Wang, H.L. 1986. Use soybeans foods in the west with emphasis on tofu and tempeh. ACS symposium series, 312, Plant proteins: Applications, Biological Effects, And Chemistry. R.L. Ory (Ed.). American Chemical Sociiety, Washington, DC. Wang, H.L., Swain, E.W., Wallen, L.L., dan Hesseltine, C.W. 1975. Free fatty acids identified as antitriptic factor in soybeans fermented by Rhizopus oligosporus. Journal of Nutrition, 105: 1351-1355. Wang, H.-J. dan Murphy, P.A. 1994. Isoflavones composition of American and Japanese soybeans in Iowa: effect of variety, crop year and location. J. Agric. Food Chem., 42: 1674-1677. Wang, H.-J. dan Murphy, P.A. 1996. Mass balance study of isoflavones during soybean processing. J.Agric. Food Chem. 44: 2377-2388. Waspadji, S. 2000. Telaah Mengenai Hubungan Faktor Metabolik dan Respons Imun pada Pasien Diabetes Mellitus. (Disertasi Doktor, UI, Jakarta, 2000), Harian Kompas, 29 Januari. West. S.G., A. Likos-Krick, P. Brown, & F. Mariotti. 2005. Oral l-arginin improves hemodynamic responses to stress and reduces plasma homocysteine in hypercholesterolemic men. Journal of Nutrition, 135: 212-217. Whigham, D.K. 1974. Number 8, 1974
International Agricultur Publication INTSOY Series
Williams, J.Z, Abumrad, N. & Barbul, A. 2002. Effect of spesialized amino acid mixture on human collagen deposition. Ann. Surg., 236: 369-375
Winarno, F.G. 1989. Production and utilization of tempeh in Indonesia foods. In Proceedings of the World Congress: Vegetable Protein Utilization in Human Foods and Animal Feedstuffs, T.H. Applewhite (Ed.), p. 363. American Oil Cheists’ Society, Champaign, Il. Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia: Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid, ITB Bandung. Witte, Maria B., Frank J. Thornton, Udaya Tantry & Adrian Barbul. 2002. L-arginine supplementation enhances diabetic wound healing: involvement of the nitric oxide synthase and arginase pathways. Metabolism, 51(10): 1269-1273 Zarkadas.C.G., Yu, Z., Voldeng, H.D., & Minero-Amador, A. 1993. Assessment of the protein quality of a new high-protein soybean cultivar by amino acid analysis. J. Agric. Food Chem., 41: 616-623. Zamora, R.G. & Veum, T.L. 1979. The nutritive value of dehulled soybeans fermented with Aspergillus oryzae or Rhizopus oligosporus as evaluated by rats. Journal of Nutrition,109: 1333-1339. Zamora, R.G. & Veum, T.L. 1988. Nutritive value of whole soybeans fermented with Aspergillus oryzae or Rhizopus oligosporus as evaluated by Neonatal Pigs. Journal of Nutrition,118: 438-444.