GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 01 - 11
ISSN : 2088-2440
PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA TUNDA SAMBUNG PADA KEBERHASILAN PENYAMBUNGAN BIBIT SIRSAK (Annona muricata L.) Tri Kurniastuti Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar Email:
[email protected]
Abstract: Soursop plant is generally propagated through seeds. To obtain a uniform crop need to be propagated vegetatively, for example through bud grafting. Vegetative propagation of native connections will result in the growth and production of a uniform than generative propagation. Before connecting soursop seeds need us to do a treatment that is by defoliation or defoliation. Twig leaf defoliation on plants is one way to accelerate the growth of buds at each axillary leaf buds look so fat and pithy. Lukman (2004) states that the entres defoliation treatments can stimulate the formation of shoot buds as a strong sink According to Soegondo (1996), the success of grafting seedling plants is determined by the condition (age, large, freshness and growth) rootstocks and scions (budwood), and precipitation and humidity around the nursery. Storage time and storage media prior to grafting scions also affect the success of grafting (Djazuli et, al, 1999). In addition, the technician skills junction (graftor) will determine the success rate of grafting (Hadad and Koerniati, 1996). This experiment aims to determine leaf defoliation entres and delays continued on the success of grafting plants soursop. This study uses a randomized block design (RBD) with 2 factorial, factor 1. Soursop leaf defoliation on entres, a factor of 2. Long delay in connecting entres soursop. Observation variables include the percentage of success life counted the number of connections with the connection formula divided by the number of plants alive X 100 %, the number of shoots counted at the age of 4 mss connection, 5 mms, 6 mss, shoot length was measured with a ruler the size of 30 cm at the age of 4 mss plants, 5 and 6 mss mss. Number of leaves counted the leaves that have unfolded at the age of 4 mss, mss 5 and 6 mms. Results of Experiment: (1) There is no interaction between defoliation and long delays in the continued success of soursop seeds, (2) There is a significant effect on the success continued defoliation perlakuaan soursop seeds, (3) There are long delays entres influence on the success of grafting shoots soursop seeds. Keywords: Annona muricata L., defoliation, long delay, continued soursop. PENDAHULUAN Sirsak (Annona muricata L.) merupakan salah satu jenis tanaman buah yang berasal dari dataran Amerika Selatan yang beriklim tropis, yang kemudian menyebar luas ke daratan Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada awalnya, Sirsak merupakan tanaman liar dan setelah dibudidayakan umumnya merupakan tanaman pekarangan. Buah sirsak terdiri atas 67% daging buah yang bisa dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan selebihnya bagian tengah buah (Verheij dan Coronel 1997). Perbanyakan tanaman yang populer dikalangan penangkar benih buah-buahan di Indonesia adalah okulasi dan sambung pucuk karena caranya mudah dan tingkat
keberhasilanya cukup tinngi Sutarto dan Syah (1991) menyatakan, perbanyakan benih secara vegetatif merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pengadaan benih sirsak yang bermutu tinggi dengan harapan buah mewarisi sifat asli seperti induknya dan mampu menghasilkan buah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penyambungan (Grafting) merupakan kegiatan untuk menggabungkan dua atau lebih sifat unggul dalam satu tanaman. Untuk memperoleh bibit sambungan yang bermutu diperlukan batang bawah dan batang atas yang sesuai dan dapat membentuk bidang sambungan yang sempurna. Keberhasilan penyambungan ditentukan banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah dan batang atas, ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro,
dan keterampilan sumber daya manusia, di samping pemeliharaan setelah penyambungan (Sukarmin 2009a). Menurut Soegondo (1996), keberhasilan penyambungan bibit ditentukan oleh kondisi tanaman (umur, besar, kesegaran dan pertumbuhan) batang bawah dan batang atas (entres), serta curah hujan dan kelembapan disekitar pembibitan. Lama penyimpanan dan media penyimpanan batang atas sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan penyambungan (Djazuli et, al, 1999). Selain itu, ketrampilan teknisi penyambung (graftor) ikut menentukan tingkat keberhasilan penyambungan (Hadad dan Koerniati, 1996). Waktu yang baik untuk melakukan penyambungan adalah pada saat cuaca cerah, Namun ada pula yang menyebutkan bahwa penyambungan diawal musim kemarau memberikan hasil yang lebih baik dari pada musim hujan, tetapi hal tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut (Zaubin dan Suryadi, 1999). Defoliasi daun pada ranting tanaman merupakan salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan mata tunas yang ada di setiap ketiak daun sehingga mata tunas tampak gemuk dan bernas. Lukman (2004) menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat merangsang pembentukan tunas karena tunas merupakan sink yang kuat. Perlakuan defoliasi akan menurunkan konsentrasi auksin pada ketiak daun dan meningkatkan kandungan hormon sitokinin yang merangsang pembentukan tunas. Akumulasi hormon sitokinin pada entres akan memacu pembelahan dan penambahan ukuran sel serta diferensiasi sel untuk pertumbuhan tunas. Sesuai dengan pendapat Taiz dan Zeiger (1998) yang menyatakan dengan turunnya auksin pada ketiak daun yang didefoliasi akan memacu pembentukan hormon sitokinin guna merangsang pembentukan tunas. Defoliasi entres juga akan meningkatkan kandungan asimilat pada entres yang didefoliasi. Akumulasi asimilat akan dapat merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan peningkatan jumlah tunas yang tumbuh. Menurunnya tingkat keberhasilan penyambungan pada entres yang disimpan selama 1 dan 2 hari sebelum disambung, diduga karena kesegaran entres yang menurun akibat adanya penguapan selama proses penyimpanan. Hilangnya air akibat penguapan akan mengganggu kemampuan jaringan entres untuk membentuk kalus yang merupakan tahap awal proses pertautan antara
batang bawah dengan batang atas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutarto et al. (1989), yaitu keberhasilan sambung pucuk ditentukan oleh kondisi entres yang segar, sehat, dan kokoh karena akan memiliki kandungan cadangan zat makanan dan hormon yang cukup. penggabungan dari dua sistem kehidupan maka dibutuhkan adanya pengkajian bagaimana hasil selanjutnya dari tanaman yang disambung tersebut. Keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh kondisi entres (batang atas) dan batang bawah yang akan disambung. Kondisi batang bawah yang dipergunakan hendaknya diperhatikan kesuburannya, sifat akar, kompatibilitas dan ketahanan terhadap hama penyakit serta umur batang bawah memegang peranan penting dalam keberhasilan penyambungan (Kalie dan Anwarudin, 1980). Kondisi entres yang perlu diperhatikan adalah kesehatan, kondisi cadangan makanan dan hormon yang terdapat di dalam entres (Hartmann dan Kester, 1978). Panjang pendeknya entres berpengaruh terhadap persentase keberhasilan penyambungan yang dilaporkan oleh Anwarudin, et al. (1989) bahwa pada sambung pucuk tanaman manggis, entres yang terdiri dari satu ruas memberikan persentase keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan entris yang terdiri dari dua ruas. Menurut Garner dan Chaudri (1979) dalam Hidayati (1996) bahwa ukuran entris menentukan keberhasilan dalam penyambungan. Dalam perbanyakkan secara vegetatif, antara tempat mengerjakan grafting pohon induk biasanya berjauhan, kadang bisa antar pulau. Selain itu, jumlah pohon yang akan di grafting sangat banyak sehingga grafting sulit diselesaikan dalam waktu satu hari sehingga entres harus dikemas kembali dan disimpan karena tertundanya waktu grafting (Sjaefuddin dan abdurrahman 2001). Entres harus segera digunakan utuk okulasi atau sambung pucuk karena penundaan okulasi dan penyambungan lebih satu hari sejak pengambilan entres akan menurunkan presentase bibit jadi dan memperlambat pertumbuhan (Mahfudin, 2000). Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh defoliasi entres dan lama tunda sambung pada keberhasilan grafting bibit sirsak (annona muricata L.).
2
plagiotrop yang sehat, tidak sedang bertunas (flush), warna hijau kecoklatan, dengan diameter sekitar 7 mm, berasal dari beberapa pohon induk yang pertumbuhannya seragam. Entres tersebut tetap dipelihara pada pohon induk sampai saat penyambungan. Penyambungan dilakukan pada bangunan pembibitan. Batang bawah dipotong agak miring sesuai dengan perlakuan, pada ketinggian sekitar 20 cm dari permukaan media bibit (pada bagian batang yang berwarna coklat). Daun yang disisakan pada batang bawah adalah yang mempunyai posisi teratas dekat dengan tempat pemotongan. Entres dipotong dengan panjang sekitar 10 cm, Bagian atas entres dipotong agak miring sedangkan bagian bawahnya diruncingkan membentuk huruf V dengan panjang runcingan sekitar 2 cm. Batang bawah dibelah dengan panjang belahan sedikit lebih panjang dibandingkan runcingan entres dengan tujuan agar runcingan entres masuk sempurna ke dalam belahan batang bawah. Entres disisipkan hati-hati ke dalam belahan batang bawah. Pertautan entres dengan batang bawah diikat dengan kekuatan sedang dan rapi menggunakan tali plastik sampai entres kokoh dan tidak mudah goyah. Pengikatan dimulai dari bawah ke atas dengan tujuan agar pertautan sambungan tidak mudah dimasuki air. Entres dan pertautannya disungkup dengan kantong plastik es agar kelembabannya terjaga. Entres sisanya di simpan pada suhu ruang untuk disambung pada 1 sampai 2 hari kemudian. Setelah penyambungan selesai, bibit sambung kemudian ditempatkan dirumah bibit secara acak dan dipelihara secara optimal. Pemeliharaan bibit sambungan meliputi: pembukaan sungkup plastik, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit, penyiangan dalam polybag, pembuangan wiwilan batang bawah serta pemupukan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di pembibitan buahbuahan CV. Tri Karya Abadi Tulungagung. Penelitian berlangsung pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2013. Alat dan bahan yang digunakan antara lain batang atas (entres, scion) sirsak, batang bawah (rootstok) sirsak, pisau okulasi gunting pangkas,tali plastik, sungkup plastik (kantong plastik), polibag, media, tanah, pupuk kandang, pasir, insektisida papan pengamatan, penggaris, spidol, pensil dan pena. 1.
Metode Penelitan Penelitan yang digunakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Setiap unit perlakuan terdiri atas 15 tanaman yang disambung. Faktor tersebut adalah sebagi berikut: a. Defoliasi Entres (D), (D0) = Entres di defoliasi saat penyambungan, (D1) = Entres di defoliasi 3 hari sebelum penyambungan, (D2) = Entres di defoliasi 6 hari sebelum penyambungan, (D3) = Entres di defoliasi 9 hari sebelum penyambungan. b. Lama Tunda Sambung (L), (L0) = Lama Tunda entres 0 hari sebelum penyambungan, (L1) = Lama Tunda entres 1 hari sebelum penyambungan, (L2) = Lama Tunda entres 2 hari sebelum penyambungan. 2.
Pelaksanaan Batang bawah yang digunakan berasal dari tanamn sirsak dari biji yang sudah dipersiapkan di polibag ukuran 25 x 30 dengan kritetria: diameter pangkal batang bawah sekitar 5 - 10 mm, umur bibit rata-rata 12 bulan, sehat, dan subur. Seleksi bibit untuk batang bawah dilakukan di pembibitan milik sendiri. Dengan tujuan untuk mendapatkan bibit dengan pertumbuhan yang seragam. Perlakuan defoliasi untuk sumber bahan entres dilakukan di kebun. Semua daun bahan entres dibuang dengan menggunakan gunting pangkas, diberi label sesuai dengan perencanaan yaitu dari -9, -6, -3 dan 0, label dibungkus plastik lalu di gantungkan pada ranting entres yang akan didefoliasi, pucuknya dipotong. Entres adalah berupa cabang-cabang
3.
Peubah Peubah yang diamati meliputi persentase keberhasilan penyambungan, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun yang terbentuk. Data-data yang terkumpul untuk setiap peubah kemudian dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam. Bagi peubah yang menunjukkan perbedaan nyata akibat perlakuan diuji lebih lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
3
semakin lama penundaan sambung sirsak semakin rendah tingkat keberhasilan penyambungan. Menurunnya tingkat keberhasilan penyambungan pada entres yang 1 hari dan 2 hari sebelum disambung, diduga kesegaran entres menurun akibat adanya penguapan selama proses penyimpanan serta dipengaruhi oleh perlakuan defoliasi. Secara visual terlihat bahwa entres yang ditunda sambung 1 hari dan 2 hari sudah mulai layu. Hal ini sejalan dengan (Sutarto et, al. 1998 dalam jurnal Jawal, M Anwarudin Syah 2008), yaitu keberhasilan sambung pucuk ditentukan oleh kondisi entres yang segar, sehat, dan kokoh karena akan memiliki kandungan cadangan zat makanan hormon yang cukup. Defoliasi daun pada entres juga sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penyambungan bibit sirsak. Karena defoliasi entres akan meningkatkan kandungan asimilat pada entres. Akumulasi asimilat akan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel untuk pembentukan jaringan baru di daerah pertautan sambungan sehingga meningkatkan persentase sambungan jadi. Sesuai dengan pendapat Lukman (2004) yang menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat mendukung persentase sambung jadi karena berkaitan dengan kandungan asimilat yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi. Akumulasi asimilat dapat merangsang pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel, yang kemudian mendorong proses pertautan antara batang atas dan bawah. Pada saat defoliasi entres optimal bisa menghasilkan persentase sambungan jadi lebih tinggi. Defoliasi entres yang dilakukan pada saat optimal berkaitan dengan kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah. Kompatibilitas kecepatan pertumbuhan batang atas yang berbeda dengan batang bawah akan mengakibatkan kematian sambungan. Sesuai dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang menyatakan bahwa inkompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah dapat mengakibatkan kematian sambungan. Akumulasi fotosintat akan digunakan untuk mendorong pembentukan jaringan baru di daerah pertautan sambungan sehingga persentase sambungan jadi makin tinggi. Sejalan dengan pendapat Zaubin dan Suryadi (2002) yang menyatakan bahwa proses pertautan sambungan memerlukan energi yang cukup besar sehingga peranan daun batang
4.
Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap bibit setelah penyambungan dengan perlakuan defoliasi dan lama tunda entres, dengan pengamatan persentase keberhasilan penyambungan (PK), jumlah tunas yang tumbuh (JT), panjang tunas (PT), jumlah daun (JD). Pengamatan awal dilakukan mulai saat sambungan bibit sudah tersambung. a. Persentase keberhasilan sambungan, dihitung jumlah sambungan yang hidup dan yang mati pada umur sambungan 4 mss dengan rumus: Persentase keberhasilan sambungan
b.
c.
d.
=
Sambungan hidup
x 100%
Jumlah tanaman
Jumlah tunas yang terbentuk dihitung dari jumlah tunas yang berhasil tumbuh, dihitung pada umur tanaman 4 mss, 5 mss dan 6 mss. Panjang tunas, diukur pada tunas yang sudah tumbuh menggunakan penggaris ukuran 30 cm pada umur tanaman 4 mss, 5 mss dan 6 mss. Jumlah daun, dihitung jumlah daun yang telah membuka secara sempurna pada umur tanaman 4 mss, 5 mss, dan 6 mss. HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Keberhasilan Sambungan Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5% dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap persentase keberhasilan sambung. Tetapi dari pengamatan 4 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan lama tunda sambung (L). Dari hasil uji BNT 5% pada peubah ratarata persentase keberhasilan sambung untuk perlakuan lama tunda sambung (L) umur 4 minggu setelah sambung dapat dilihat bahwa entres yang langsung didefoliasi dan tanpa penundaan sambung memberikan persentase keberhasilan sambungan yang lebih tinggi dari pada penundaan sambung 1 dan 2 hari dengan rata-rata jumlah keberhasilan 92.09% untuk lama tunda sambung 0 hari, 85.61% untuk lama tunda sambung 1 hari dan 77.30% untuk lama tunda sambung 2 hari. Sedangkan lama tunda sambung 1 hari (L1) pada umur 4 minggu setelah sambung lebih tinggi tingkat keberhasilan penyambungan dibanding lama tunda sambung 2 hari (L2). Hal ini disebabkan 4
bawah sebagai penghasil fotosintat menentukan proses pertautan sambungan. Keberhasilan penyambungan ditentukan banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah dan batang atas, ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro, dan keterampilan sumber dayamanusia, di samping pemeliharaan setelah penyambungan (Sukarmin 2009a). Keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh kondisi entres (batang atas) dan batang bawah yang akan disambung. Kondisi batang bawah yang dipergunakan hendaknya diperhatikan kesuburannya, sifat akar, kompatibilitas dan ketahanan terhadap hama penyakit serta umur batang bawah memegang peranan penting dalam keberhasilan penyambungan (Kalie dan Anwarudin, 1980). Untuk peubah rata-rata persentase keberhasilan sambung bibit sirsak dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
sambungan yang tumbuh pada bibit sambung pucuk Sirsak. Hal itu diduga terjadi karena berkaitan erat dengan keseimbangan hormon dan kandungan asimilat (sumber energi) yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi serta kandungan asimilat dan potensi fotosintat batang bawah. Kenyataan yang hampir sama ditemukan pula oleh Darmanti, Setiari, dan Romawati (2008), bahwa perlakuan defoliasi pada bibit jarak pagar (Jatropha curcas) umur 4 bulan dapat meningkatkan pembentukan dan pertumbuhan cabang lateral. Perlakuan defoliasi akan menurunkan konsentrasi auksin pada ketiak daun dan meningkatkan kandungan hormon sitokinin yang merangsang pembentukan tunas. Akumulasi hormon sitokinin pada entres akan memacu pembelahan dan penambahan ukuran sel serta diferensiasi sel untuk pertumbuhan tunas. Sesuai dengan pendapat Taiz dan Zeiger (1998) yang menyatakan dengan turunnya auksin pada ketiak daun yang didefoliasi akan memacu pembentukan hormon sitokinin guna merangsang pembentukan tunas. Defoliasi entres juga akan meningkatkan kandungan asimilat pada entres yang didefoliasi. Akumulasi asimilat akan dapat merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan peningkatan jumlah tunas yang tumbuh. Lukman (2004) menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat meningkatkan akumulasi asimilat pada cabang entres yang didefoliasi. Akumulasi asimilat akan merangsang pembentukan tunas karena tunas merupakan sink yang kuat. Sesuai pula dengan pendapat Wright (1989) yang menyatakan bahwa tunas dan pucuk merupakan sink yang kuat sehingga memerlukan asimilat yang banyak untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan yang cepat memerlukan asimilat yang cukup banyak. Namun demikian karena pertautan sambungan belum sempurna akan terjadi hambatan translokasi asimilat dari batang bawah sehingga mengganggu pertumbuhan batang atas. Proses pertautan sambungan bervariasi antara lain tergantung spesies dan umur tanaman. Perbedaan laju tumbuh batang atas dengan batang bawah mengakibatkan tidak tercipta kompatibilitas pertumbuhan dan pertautan sambungan. Keadaan ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tunas sambungan termasuk jumlah tunas yang tumbuh. Sejalan dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang menyatakan bahwa pertumbuhan tunas akan
Gambar 1. Grafik rata-rata persentase keberhasilan sambung umur 4 minggu setelah sambung Rata-Rata Jumlah Tunas Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5% bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) pada pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung. Tetapi pada peubah rata-rata jumlah tunas pada perlakuan defoliasi entres (D) dan lama tunda sambung (L) didapatkan adanya perbedaan yang nyata pada umur 4 dan 5 minggu setelah sambung. Rata–rata jumlah tunas sambung untuk bibit sirsak sangat dipengaruhi oleh defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) pada waktu penyambungan. Untuk hasil rata-rata jumlah tunas pada D2 (Defoliasi 6 hari) memberikan hasil yang paling baik yaitu 3.49 diikuti oleh (D3) yaitu 3.10, (D1) 3.02 dan (D0) 2.33. Hal ini disebabkan defoliasi entres tampaknya mempengaruhi jumlah tunas 5
terganggu atau bahkan mati jika terjadi inkompatibilitas sambungan. Daun dalam jumlah yang cukup akan menghasilkan fotosintat yang maksimal dan mengurangi transpirasi yang berlebihan sehingga tanaman tumbuh baik dan tidak mudah layu. Daun berfungsi sebagai penghasil fotosintat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Daun yang lebih banyak akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak. Fotosintat yang dihasilkan akan digunakan untuk pertumbuhan tunas sambungan. Sesuai dengan itu Waard dan Zaubin (1983) menyatakan bahwa terkurasnya energi untuk proses pertumbuhan tunas dan pertautan sambungan akan cepat diisi kembali jika jumlah daun yang aktif berfotosintesis lebih banyak. Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat. Batang atas yang pertumbuhannya serasi dengan batang bawah dan pertautan sambungan yang sempurna akan melancarkan translokasi asimilat, air, hormon dan enzim sehingga akan mendorong pertumbuhan jumlah tunas sambungan. Sesuai dengan pendapat Muthohar (2007) menyatakan bahwa pada sambungan yang serasi atau kompatibel antara batang atas dan batang bawah akan menghasilkan jumlah tunas sambungan yang banyak. Untuk rata-rata jumlah tunas pada peubah perlakuan defoliasi 4, 5 dan 6 minggu sebelum sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Sedangkan untuk rata-rata jumlah tunas pada lama tunda sambung bibit Sirsak hasil yang paling baik pada lama tunda sambung 1 hari (L1) dengan rata- rata jumlah tunas 3.47 diikuti oleh lama tunda sambung 2 hari yaitu rata-rata jumlah tunas 3.27 dan 2.73 untuk lama tunda sambung 0 hari (L0). Hal ini di pengaruhi oleh defoliasi dan lama tunda sambung, yang sangat berpengaruh terhadap jumlah tunas sambungan yang tumbuh pada bibit sambung pucuk Sirsak. Hal itu diduga terjadi karena berkaitan erat dengan keseimbangan hormon dan kandungan asimilat (sumber energi) yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi serta kandungan asimilat dan potensi fotosintat batang bawah. Defoliasi daun pada entres dapat meningkatkan cadangan makanan dan hormon pada entres ditandai dengan mata tunas yang gemuk, bernas dan sedikit menonjol. Hal ini dapat mempercepat pertumbuhan tunas. Hartmann dan Kester (1995) menyatakan bahwa cadangan makanan yang terbentuk dari proses fotosintesis diperlukan untuk memacu pembentukan kalus di daerah pertautan dan meransang mata tunas untuk tumbuh. Batang atas yang pertumbuhannya serasi dengan batang bawah dan pertautan sambungan yang sempurna akan melancarkan translokasi asimilat, air, hormon dan enzim sehingga akan mendorong pertumbuhan jumlah tunas sambungan. Sesuai dengan pendapat Muthohar (2007) menyatakan bahwa pada sambungan yang serasi atau kompatibel antara batang atas dan batang bawah akan menghasilkan jumlah tunas sambungan yang banyak. Jumlah rata-rata untuk lama tunda sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Gambar 2. Grafik rata–rata jumlah tunas pada perlakuan defoliasi entres pada umur 4 dan 5 minggu setelah sambung
Gambar 3. Grafik rata–rata jumlah tunas pada perlakuan lama tunda sambung umur 5 dan 6 minggu setelah sambung
6
mengakibatkan pertumbuhan panjang entres menjadi tertekan. Sesuai dengan pendapat Mathius, Lukman dan Purwito (2007) yang menyatakan bahwa sambungan yang tidak kompatibel mengakibatkan terjadinya hambatan translokasi nutrisi, air, hormon dan aktifitas enzim yang melewati daerah pertautan antara batang bawah dengan batang atas. Hartman et al. (1997) menyatakan pula bahwa salah satu ciri inkompatibilitas adalah terjadinya hambatan pertumbuhan tunas sambungan sehingga menjadi lebih pendek. Tanaman dengan cadangan makanan (karbohidrat) yang rendah membuat tunas sambungan tidak akan tumbuh dengan baik karena tunas sambungan merupakan sink yang kuat. Sesuai dengan pendapat Crabbe dan Barnola (1996) yang menjelaskan bahwa tunas yang tumbuh adalah sink yang kuat. Terciptanya kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah akan membuat translokasi fotosintat, air, hormon serta enzim berlangsung lebih baik sehingga tunas lebih cepat bertambah panjang. Sesuai pula dengan pendapat Errea, Garay dan Marin (2001) yang menyatakan jika translokasi nutrisi, air, hormon, enzim serta fotosintat berjalan dengan baik antara batang atas dan batang bawah, maka tunas sambungan akan tumbuh lebih cepat. Jumlah rata-rata untuk panjang tunas 4, 5, dan 6 minggu setelah sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Rata-Rata Panjang Tunas Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5% dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap rata-rata panjang tunas pada pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung. Tetapi dari pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung terdapat pengaruh defoliasi pada rata-rata panjang tunas dan ratarata jumlah lama tunda sambung (L). Pada perlakuan defoliasi ini yang paling baik adalah pada D2 (defoliasi 6 hari) dengan rata-rata panjang tunas 16.32 diikuti oleh (D1) yaitu 15.58, (D0) 13.82 dan (D3) dengan rata-rata jumlah panjang tunas 13.01. Hal ini disebabkan panjang tunas bibit sambung pucuk sirsak setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres dan lama tunda entres sirsak sebelum di sambung. Hasil penelitian yang hampir serupa disimpulkan pula oleh Muthohar (2007) bahwa defoliasi entres memberikan pengaruh terhadap panjang tunas bibit sirsak hasil sambung pucuk. Defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan memacu pembentukan hormon sitokinin pada entres yang didefoliasi. Hormon sitokinin berperan merangsang pembelahan dan pembesaran sel. Jumlah dan ukuran sel yang bertambah akan mengakibatkan tunas bertambah panjang. Sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (1995) yang menyatakan bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel sehingga tunas yang tumbuh pada entres dapat bertambah panjang. Alvim, Lorentz dan Saunders (1974), juga menyatakan bahwa defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang peningkatan sitokinin guna memacu pertumbuhan panjang tunas. Defoliasi entres pada saat yang optimal mengakibatkan batang atas tumbuh terlalu cepat. Batang atas yang tumbuh cepat akan memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum sempurna. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan panjang tunas sambungan. Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan mengakibatkan panjang tunas tumbuh lebih lambat. Laju tumbuh batang atas yang berbeda dengan batang bawah akan mengakibatkan tidak terciptanya kompatibilitas pertumbuhan. Kompatibilitas pertumbuhan dan pertautan sambungan akan mempengaruhi aliran nutrisi, hormon, enzim dan air. Gangguan ini akan
Gambar 4. Grafik rata–rata panjang tunas pada perlakuan defoliasi entres pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah sambung Pada perlakuan lama tunda sambung ini hasil yang paling baik adalah ada (L0) lama tunda sambung 0 hari pada 4 minggu setelah smbung dengan rata-rata panjang tunas 10.13 dan sangat berbeda nyata dibanding lama tunda 7
sambung 1 hari dengan jumlah rata-rata panjang 9.47 diikuti oleh lama tunda sambung 2 hari dengan jumlah rata-rata panjang tunas 9.17. Untuk perlakuan lama tunda sambung (L) pada 5 minggu setelah sambung dan 6 minggu setelah sambung tidak ada perbedaan nyata, panjang tunas bibit sambung pucuk sirsak setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres. Defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan memacu pembentukan hormon sitokinin pada entres yang didefoliasi. Hormon sitokinin berperan merangsang pembelahan dan pembesaran sel. Jumlah dan ukuran sel yang bertambah akan mengakibatkan tunas bertambah panjang.
menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat dan tinggi tunas akan terus bertambah. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap panjang tunas. Rata – Rata Jumlah Daun Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5% dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap jumlah daun. Dari pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan defoliasi terhadap jumlah daun dan lama tunda sambung pada entres Sirsak. Hasil uji BNT 5% pada peubah rata–rata jumlah daun untuk perlakuan defoliasi dapat dilihat pada (tabel 7) dengan rata-rata jumlah daun 7.99 pada (D2) defoliasi 6 hari merupakan hasil yang terbaik diikuti perlakuan (D1) yaitu 7.01, (D3) yaitu 6.81 dan (D0) dengan jumlah daun rata-rata 6.69. Jumlah daun bibit sambung pucuk bibit sirsak setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres. Karena defoliasi entres dapat menurunkan kandungan hormon auksin pada entres dan meningkatkan kandungan hormon sitokinin. Peningkatan kandungan hormon sitokinin dapat memacu pertambahan jumlah dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun tanaman. Sesuai dengan pendapat Alvim, Lorentz dan Saunders (1974) yang menyatakan bahwa perlakuan defolasi akan menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang pergerakan sitokinin guna memacu pertumbuhan tunas yang berpengaruh terhadap jumlah daun sambungan. Lebih lanjut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan pula bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel untuk pembentukan organ tanaman seperti daun. Defoliasi entres yang terlalu awal mengakibatkan pertumbuhan batang atas terlalu cepat. Pertumbuhan batang atas yang terlalu cepat akan memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum sempurna sehingga terjadi gangguan translokasi asimilat. Akibatnya pertumbuhan tunas dan daun sambungan menjadi terganggu. Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan mengakibatkan batang atas tumbuh lebih lambat. Defoliasi entres pada saat yang optimal berkaitan erat dengan keserasian laju tumbuh
Gambar 5. Grafik rata-rata jumlah panjang tunas pada perlakuan lama tunda sambung umur 4 minggu setelah sambung Sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (1995) yang menyatakan bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel sehingga tunas yang tumbuh pada entres dapat bertambah panjang. Alvim, Lorentz dan Saunders (1974), juga menyatakan bahwa defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang peningkatan sitokinin guna memacu pertumbuhan panjang tunas. Tanaman dengan cadangan makanan (karbohidrat) yang rendah membuat tunas sambungan tidak akan tumbuh dengan baik karena tunas sambungan merupakan sink yang kuat. Terciptanya kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah akan membuat translokasi fotosintat, air, hormon serta enzim berlangsung lebih baik sehingga tunas lebih cepat bertambah panjang. Sesuai dengan itu Waard dan Zaubin (1983) menyatakan bahwa terkurasnya energi untuk proses pertumbuhan tunas dan pertautan sambungan akan cepat diisi kembali jika jumlah daun yang aktif berfotosintesis lebih banyak. Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002) 8
batang atas dengan batang bawah sehingga tercipta kompatibilitas pertumbuhan. Sejalan dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang menyatakan bahwa jika terjadi inkompatibilitas sambungan mengakibatkan pertumbuhan tunas terganggu atau bahkan mati. Pertumbuhan tunas erat kaitannya dengan jumlah daun sambungan. Daun berperan penting dalam proses pertumbuhan tanaman, karena di dalam daun terjadi proses fotosintesis. Jumlah daun yang cukup akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak sebagai energi bagi pertumbuhan sehingga tanaman tumbuh pesat. Sesuai dengan pendapat Fahn (1995) yang menyatakan bahwa dalam proses fotosintesis akan dihasilkan fotosintat sebagai sumber energi pertumbuhan tanaman yang ditentukan oleh jumlah daun tanaman. Fotosintat yang lebih banyak akan digunakan untuk memacu laju pertumbuhan jumlah daun batang atas. Sesuai pula dengan pendapat Sukarman, et al.(2002) yang menyatakan bahwa jika daun lebih banyak dan kandungan klorofil yang tinggi akan dihasilkan fotosintat yang lebih banyak untuk didistribusikan keseluruh organ tanaman termasuk daun itu sendiri. Kompatibilitas pertumbuhan batang atas yang sesuai dengan batang bawah akan meningkatkan proses metabolisme tanaman sehingga tanaman tumbuhan dengan baik. Tanaman yang tumbuh lebih baik akan menghasilkan jumlah daun sambungan yang lebih banyak. Sesuai dengan pendapat Lizawati (2002) yang menyatakan bahwa kesesuaian pertumbuhan antara batang atas dan batang bawah akan mengakibatkan proses metabolisme tanaman berlangsung lebih baik sehingga tanaman akan tumbuh pesat.untuk rata-rata jumlah daun pada 4, 5 dan 6 setelah sambung dapat dilihat pada grafik berikut:
Sedangkan untuk peubah perlakuan lama tunda sambung 0, 1, dan 2 hari, rata-rata jumlah daun 7.65 merupakan hasil yang paling baik pada (L0) lama tunda sambung 0 hari. Untuk perlakuan lama tunda sambung dari pengamatan 4,5,6 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada jumlah daun yang tumbuh. Hal ini disebabkan adanya perlakuan defoliasi dan lama tunda sambung pada entres Sirsak. Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat dan tinggi tunas akan terus bertambah. Karena hormon yang terdapat pada batang atas atau entres adalah hormon sitokinin yang dapat memacu pertambahan jumlah dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun tanaman. Peningkatan kandungan hormon sitokinin dapat memacu pertambahan jumlah dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun tanaman. Sesuai dengan pendapat Alvim, Lorentz dan Saunders (1974) yang menyatakan bahwa perlakuan defolasi akan menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang pergerakan sitokinin guna memacu pertumbuhan tunas yang berpengaruh terhadap jumlah daun sambungan. Lebih lanjut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan pula bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel untuk pembentukan organ tanaman seperti daun. Defoliasi entres yang terlalu awal mengakibatkan pertumbuhan batang atas terlalu cepat. Pertumbuhan batang atas yang terlalu cepat akan memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum sempurna sehingga terjadi gangguan translokasi asimilat. Akibatnya pertumbuhan tunas dan daun sambungan menjadi terganggu. Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan mengakibatkan batang atas tumbuh lebih lambat. Defoliasi entres pada saat yang optimal berkaitan erat dengan keserasian laju tumbuh batang atas dengan batang bawah sehingga tercipta kompatibilitas pertumbuhan. Untuk rata-rata jumlah daun pada lama tunda (L) dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Gambar 6. Grafik rata - rata jumlah daun pada perlakuan defoliasi entres pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah sambung 9
Theobroma cacao. Revista, Theobroma, 4, p:3-12. Campbell, N.A., Reece, J.B. and Mitchell, L.G. 1999. Biology, fifth edition. The Benyamin Cumming Publishing Co. California. Crabbe, J. dan Barnola P. 1996. A New Conceptual Approach to Bud Dormancy in Woody Plants.In G.A. Lang (edt.)in Plant Dormancy. CAB International. 381 p. Darmanti, S, N. Setiari, dan T. D. Romawati. 2008. Perlakuan Defoliasi untuk Errea, P., L. Garay and A.J. Marin. 2001. Early Detection of Graft Incompatibility in Apricot (Prunus Armeniaca) Using in Vitro Techniques. Physiol. Plant., 112, 135-141. Djazuli, M., E.A. Hadad, A. Dhalimi, dan R. Suryadi. 1999. Pengaruh Medium dan Waktu Penyimpanan terhadap Keberhasilan Sambung Pucuk Jambu Mete. Buletin Tanaman Rempah dan Obat 10 (1): 9-16. Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT Gramedia Jakarta. Hartman H. T. and D. E. Kester. 1978. Plant Propagation Principle and Practices. Prentice Hall INC Englewood. New York. Hal. 331 – 340. Hartmann, H.T. and D.E. Kester. 1995. Plant Propagation. Priciples and Practices. Prentice Hall of India Private Limited, New Delhi. 661 pp. Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plant Propagation Principles and Practices. 6 th. ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New York. 662 p. Hidayati, N. 1996. Pengaruh Umur Batang Bawah dan Panjang Entris Terhadap Keberhasilan Sambungan Alpukat. Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru. Hal. 37 – 38. Hadad, E.A. dan S. Koerniati. 1996. Sambung Pucuk Sebelas Nomor Harapan Jambu Mete Langsung di Lapang. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 265-271. Kalie, M. B. dan M. J. Anwaruddin. 1980. Penetapan Umur Pohon Pangkal Durian, cara Menyusunnya Serta Waktu Pemotongan. Dalam Buletin Holtikultura Vol VII No. 9. Jakarta. Hal. 39 – 42. Lizawati. 2002. Analisis Interaksi Batang Bawah dan Batang Atas pada Okulasi Tanaman Karet. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 7. Grafik rata–rata jumlah daun pada perlakuan lama tunda sambung pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah sambung KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara defoliasi dan lama penundaan sambung pada keberhasilan sambung bibit sirsak. 2. Perlakuan defoliasi (D) berpengaruh nyata pada keberhasilan sambung bibit sirsak, perlakuan terbaik adalah entres yang didefoliasi 6 hari sebelum sambung (D2). 3. Perlakuan lama penundaan sambung (L) berpengaruh nyata pada keberhasilan sambung bibit sirsak, perlakuan yang terbaik adalah tanpa tunda sambung atau 0 hari (L0) yang tidak berbeda dengan penundaan sambung 1 hari (L1).
Saran 1. Mempercepat waktu defoliasi daun entres sirsak dapat meningkatkan keberhasilan penyaambungan. 2. Penggunaan entres sirsak sebaiknya menggunakan entres yang tidak muda karena kemungkinan berhasil minim sekali. 3. Perbanyakan bibit sirsak sebelum penyambungan perlu sekali untuk dilakukan defoliasi daun agar sambungan tingkat keberhasilan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Anwarudin M.A., 1. Sutarto, dan H. Sunarjono. 1989.Stimulasi pertumbuhan Semai Manggis (Garciniamangos/ana L.)..l Hort. 5(2): 33 -38 Alvim, P de T., R. Lorentz and P.F Saunders. 1974. The Possible Role of Absisic Acid and Cytokinins in Growth Rhytms of 10
Lukman, W. 2004. Teknik Sambung Pucuk Menggunakan Stadium Entres yang Didefoliasi pada Jambu Mete. Buletin Teknik Pertanian, Vol. 9, Nomor 1, 2004. Muthohar, Fendra Bagus. 2007. Respon Beberapa Varietas Entres Mangga (Mangifera Indica L.) pada Perbedaan Waktu Defoliasi terhadap Pertumbuhan Bibit Secara Grafting. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Mathius, T.N, Lukman dan A. Purwito. 2007. Kompatibilitas Sambung Mikro Cinchona ledgeriana dengan C. succirubra Berdasarkan Anatomi dan Elektroforesis SDSPAGE Protein Daerah Pertautan. Menara Perkebunan, 2007, 75(2), 56-69. Mahfudin. 2000. Pengaruh Lama Penyimpanan Entres Terhadap Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi dan Sambung Pucuk Pada Tanaman Durian (Durio Zibethinus Murr.). Fakultas Pertanian Universitas Juanda, Bogor. hlm. 21-28. Sutarto, I., Sunarjono dan Hasan. 1989. Pengeratan Cabang Entris pada Sambung Pucuk Avokad, Durian, dan Duku. Penel. Hort. 3(4):11-15. Sutarto, I. dan M. J. A Syah 1991. Pengaruh Jumlah Nodus dan Pengertian Entris Pada Sambung Pucuk Sirsak (Annona muricata L.). Buletin Penelitian Holtikultura Vol 14. No. 4. 1991. Solok. Hal. 11 – 16. Sukarmin. 2009a. Teknik Penyambungan Sirsak Ratu dengan Pemanfaatan Batang Bawah. hlm. 38-41. Prosiding Temu Teknis Pejabat Fungsional Nonpeneliti. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Setiawan, W. 2009. Jaringan Tumbuhan. Universitas Lampung. Bandar Lampung Soegondo, B. 1996. Pembibitan Jambu Mete Secara Sambung di Balai Penelitian Getas. Balai Penelitian Getas, Salatiga. 7 hlm.
Sjaefudi, A. dan Abdurrahman, 2001. Daya simpan Entres dan Penggunaan Media Pembungkusnya Pada Tanaman Sirsak. Bul, Teknik Pert. 6(1):26-28. Sukarman, D. Rusmin dan Melati, 2002. Pengaruh Asal Sumber Benih dan Cara Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Jahe (Zingiberofficinale L.) Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. Bogor Taiz and Zeiger. 1998. Plant Physiology. Sinauer Associates Inc., Publisher. Sunderland. Massachusett. 623 hal. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3. Penerbit ITB. Bandung. 343 hal. Villalobos, V.M. and M.E. Aquilar. 1991. Plant Production of Cocoa (Theobroma cacao L.) through Micrografting of Somatic Emryios. Proc. 1991 Int. Cocoa Conf. Kuala Lumpur, pp: 401 – 408. Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel. 1997. Prosea, Sumberdaya Nabati Asia Tenggara 2. Gramedia, Jakarta. Wright C.J., 1989. Interactions Between Vegetative and Reproductive Growth. P: 15-28 On Manipulation of Fruiting.Butterworths. London. P. 414. Waard, P. W. F. De and R. Zaubin. 1993. Callus Formation During Grafting of Woody Plants. Tropical Agriculture, 9 (10): pp 9 -19. Zaubin, R. dan R. Suryadi. 1999. Laporan Teknis Studi Pengembangan Tanaman Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 1-6. Zaubin, R. dan Suryadi. 2002. Pengaruh Topping, Jumlah Daun dan Waktu Penyambungan terhadap Keberhasilan Penyambungan Mente di Lapangan. Jurnal Littri, vol. 8, no. 2, hal: 55- 59.
11
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 12 - 20
ISSN : 2088-2440
INSTRUCTIONAL MANAGEMENT OF THE ENGLISH FOR SPECIFIC PURPOSES FOR THE AGROTECHNOLOGY AND AGRIBUSINESS STUDIES: AN EXPERIMENTIAL REFLECTIVE PRACTICE Supriyono Lecturer at Balitar Islamic University and Visiting Lecturer at Post-Graduate Studies of Diponegoro Islamic College Email:
[email protected] Abstrak: Universitas Islam Balitar sebagai universitas entrepreneurial secara ekstensif telah mendiversifikasi kurikulum dan menghasilkan pengembangan kurikulum yang lebih maju dan profesional. Salah satunya adalah Pendidikan Bahasa Inggris untuk Tujuan Spesifik (English For Specific Purposes). Dalam konteks studi-studi agroteknologi dan agribisnis Fakultas Pertanian, pembelajaran Bahasa Inggris untuk Tujuan Spesifik ditujukan untuk membantu mahasiswa agar mampu membaca jurnal, buku akademik, dan artikel-artikel akademik yang berhubungan dengan studi-studi mereka. Tantangan utama dari pembelajaran ESP adalah pengembangan kurikulum, metodologi dan strategi pembelajaran, sumber-sumber belajar, dan kesiapan mahasiswa. Hasil analisis kebutuhan yang seksama menunjukkan bahwa prioritas yang harus dikembangkan di dalam pembelajaran ESP meliputi ketrampilan transliterasi, faktor-faktor sintaksis, dan faktor-faktor semantik yang umum. Hasil observasi dalam dua sesi pertama ESP, menunjukkan perlunya mana-jemen pembelajaran untuk membantu mahasiswa berhasil di dalam belajar ESP. Manajemen pembelajaran tersebut meliputi analisis kebutuhan mahasiswa, kompetensi dan perilaku, persiapan pembelajaran, perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kombinasi kepemim-pinan pedagogi dan kepemimpinan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Hasil refleksi profesional atas proses pembelajaran menunjukkan bahwa kombinasi pem-belajaran Bahasa Inggris dengan pendekatan tugas yang berpusat kepada mahasiswa dan kepemimpinan situasional telah menjadikan mahasiswa mampu melakukan transliterasi teks-teks Bahasa Inggris ke dalam konversi Bahasa Indonesia yang dapat diterima dan mengerjakan tugas akhir berupa transliterasi artikel-artikel dan buku-buku dari ilmiah berkenaan dengan studi-studi Agroteknologi dan Agribisnis. Kesimpulan dari refleksi profesional ini adalah kombinasi pendekatan pedagogis dan kepemimpinan situasional telah mencapai tujuan pembelajaran ESP untuk studi-studi Agroteknologi dan Agribisnis. Disarankan bahwa refleksi profesional ini ditindaklanjuti dengan penelitian tindakan partisipatori (Participatory Action Research) dan penelitian riset dan pengembangan (research and development). Kata-kata kunci : Manajemen Pembelajaran (Instructional Management), Bahasa Inggris untuk Tujuan spesifik (English for Specific Purposes), Agroteknologi (Agrotechnology) dan Agribisnis (Agribusiness studies). INTRODUCTION The new emergence of knowledge and technology has influenced the advancement of industrial and economic practices on of which is using the information and communication technology. It forces the higher education institution to face global challenges, future compertence requirements, community
perception, knowledge and pedagogic development, and recent chalenges phenomena. These challenges include globalization and glocalization in all sorts of life (Supriyono, 2013:2). Such phenomenon has been predicted by Toffler (1970) by calling future shock, Toffler (1980) on the Third Wave book, and Naisbit (1982) on the Megatrens. The competition of “man and machine” of Toffler
and the notion of “hightech and high touch” must be managed in such a way that the higher education institution provides advance knowledge to students and enables their students to understand the language of technology. Most of technological information and new knowledge have been written in English. Therefore, English trasliteration skill is highly neeed by students. Looking at the advancement of knowledge and technology, mainly the Agro technology and Agribusiness, the Faculty of Agriculture of Balitar Islamic University has provided a compulsory English for Specific course that aims at enabling students to read scientific texts such as journal, book, and other scientific articles related to Agro technology and Agribusiness studies. To succeed the English for Specific Purposes inlining this purpose, there needs an effective method and classroom management to support students in learning the English for Specific Purposes. Having this background, the writer conducts this action research to contribute the fulfillment of the need.
teaching of English for any purpose that could be specified. Others, however, were more precise describing it as the teaching of English used in academic studies, or the teaching of English for vocational or professional purposes.” Considering that the purposes of English learning in the non English Department in Balitar Islamic University are different among one department to other departments, the University considers that the course is named English for Specific Purposes Course that is translatable to Bahasa Indonesia as Bahasa Inggris Profesi. English for Specific Purposes can be defined as a course that meets specific needs of the learners, makes use of Definition of ESP of underlying methodology and activities of the discipline it serves, and centered on the language appropriate to these activities in terms of grammar, lexis, register, study skills, discourse and genre (Dudley-Evans, 1997, in Anthony, 2014:2). Further, Anthony (2014:3) states: “...From the definition, we can see that ESP can but is not necessarily concerned with a specific discipline, nor does it have to be aimed at a certain age group or ability range. ESP should be seen simple as an 'approach' to teaching, or what DudleyEvans describes as an 'attitude of mind'.” Aiming at the certain group can be said as "ESP is an approach to language teaching in which all decisions as to content and method are based on the learner's reason for learning" (Hutchinson and Waters., 1987:19). ESP has been brought about by a combination of three important facts, which are the expansion of demand for English to suit particular needs and developments in the linguistics and educational psychology fields (Hutchinson and Waters, 1987:8). Thus, the tasks of ESP lecturer will contain needs analysis, selection of materials, and appropriate approach or method suit to the needs and characteristics of the learners. In terms of language teaching methodology, a lot of language teaching methodology have been developed for the purpose of teaching English. Task-based methodology has been widely used in teaching English to make students’ active and gain their language knowledge and skill through tasks (Supriyono, 1996:41). With reference to Crookes and Chaudron (1991:5051), Supriyono (1996:42) defines “task” as “any specifically designed activity in EFL
Focus and Objective This instructional professional practice is a scientific approached initiative employing the principles of an action research with the focus of ESP classroom management using the combined task-based language teaching and situational leadership approach to enable Agro Technology and Agribusiness students to transliterate scientific English texts into Indonesian. The objective of this semi action research is then describing how the classroom management improves the ability of the ESP students of Agro Technology and Agribusiness to transliterate scientific English texts into Indonesian. Theoretical Review English for Specific Purposes has grown tremendously since 1960 (Anthony, 2014: 1). However, there has been many discussions on how ESP is approched as a field of study. Anthony (2014:1) states that: “...discussion list about whether or not English for Academic Purposes (EAP) could be considered partof ESP in general. At the Japan Conference on ESP also, clear differences in how people interpreted the meaning of ESP could be seen. Some described ESP as simply being the 13
teaching and learning which a teacher alone or together with students sets up to facilitate language learning”. Learning a language using tasks can be called as “Task-based learning” (Hammer, 1991:34). With tasks, language can be learned through active experience and when learners are exposed to directed activitries involving problem solving in the target language, learning will take place and powerful (Allwright, 1977:5; Bire, 1993:20). Poopatwiboon (1993:22) says that task-based language teaching is a type of Communicative Language Teaching (CLT). Tasks are proposed to be units of language analysis (Breen, 1987). As a system of language syllabus, there are three kinds of syllabus with task-based language teaching (Supriyono, 1996:44). Long and Crookes (1992) name them as prosedural, process, and task-based language teaching syllabuses. The procedural syllabus is used with the assumption that “...language structure is best acquired when the learners are preoccupied with understanding ...in a task” (Supriyono, 1996:44). The tasks will give students some processes of thought (Prabhu, 1987:24). Language lessons are facilitated with the so-called pre-task, task, and feed-back (Prabhu, 1984: 1984; Barreta and Davies, 1985:121, also in Supriyono, 1996:44). The process syllabus uses tasks with no presetting tasks, but with negotiation and preinterpretation (Breen and Candlin, 1980; Breen, 1984; and Candlin, 1987; also in Supriyono, 1996:45). In this case, teachers do not require to have prepared tasks and they will negotiate with students in classes. Finally, the Task-Based Language Teaching (TBLT) syllabus is employed under the assumption that learners best learn languages through using tasks in real situations (Long and Crookes, 1992, also in Supriyono, 1996:45). Such syllabus is best said as the type of communicative language teaching (Poopatwibon, 1993:20) that enables students to do tasks which mean clasroom work leading them to comprehend, manipulate, produce, and interact in the target language (Nunan, 1989:10). Poopatwiboon (1993:21) argues that among the tree types, the TBLT is powerful by employing target tasks identification, task types classification, and pedagogic task design. Supriyono (1996), however, found out in his research in victorian primary schools, Australia that procdedural syllabus was very powerful to learn target language faster with limitation of learning time,
Upon the use of any of the three types syllabuses, classroom management is crucial for divers levels of the students’ English background. Therefore, a review on the classroom management is essential to discuss. A classroom management is defined as follow: “Classroom management is a gestalt, dependent upon several interdependent components: (1) an engaging curriculum; (2) working with anger, projection, and depression; (3) students as responsible citizens; (4) the teacher as a self-knowing model; (5) classroom management skills; (6) working with resistance, conflict, and stress; and (7) robust instruction” (Hanson, 1998). In line with the above definition, classroom management also refers to: “...to the procedures, strategies, and instructional techniques teachers use to manage student behavior and learning activities. Effective classroom management creates an environment that is conducive to teaching and learning. Ineffective classroom management often creates chaos.” (Starr, 2004) Therefore, management functions of instruction are essential. These are instuctional planning, pupil and tasks leading and organization, classroom intervention that include controlling, and feedback as well as evaluation. As long as the writer experience in teaching language for more that 15 years concerns, adopting the situational leadrship in a classroom management is beneficial. Situational leadership is an approach of leading followers by identifying the followers’ readiness that suits the leaders’ style (Hersey, Blanchard, and Johnson, 1996). In contexts of classroom, this can be adopted as an instructional leadership in which the leader is the teacher and the followers are the students. The readiness is identified as including ability and willingness factors and the leadership style is identified as including task behavior and relationship behavior. The concept can be simply presented in the following figure.
14
the problems have been resolved, at least to the satisfaction of attending the set expectation or criteria to make efficient, energy or finances. In action research there are cycling processes of instructional inter-vention on the basis of problem and criteria to achieve. Whithin the process intervention approaches are done for getting better results of students achievement in learning EFL. The Action research can be framed as the following: First Cycle: Plan Identify the problem area. Narrow it down so that it is manageable. Investigate the problem. When does it happen? Who does it affect? Where does it happen? Think about what might be causing the problem. Talk to other teachers and/or read to get more ideas about this. Think about a solution and how to implement it. Think about what evidence you will collect to decide whether your action is successful or not. How will you collect it? How will you analyze it? Teach / Act Implement your solution. Observe Gather evidence which you will analyze to decide whether your solution was successful or not. Reflect Analyse the evidence you gathered. Has the problem been solved? If not, what step will you try next? If yes, what problem will you try to solve now?
Figure 1. Adapted from Blanchard Situational Leadership Two Model Aligning the notions of English for the specific purposes, the task-based language teaching, and the situational leadership, the ESP lecturer can manage the ESP classroom by identifying the purpose of ESP instruction, selecting ESP materials, identifying of learners ability and willingness to learn as well as English ability background, designing tasks and selecting materials, giving tasks and leadding learners to learn by employing suitable styles of instructional leadership, and giving feedback for the ESP results. METHODOLOGY This was a scientific professional instructional practice which was not intended to be a designated reseach. However, since the practice was conducted scienticially using the principles of an action research, this can be said that this practice was the type of action research. An action research is “...a continuous and participative learning process, with a starting point but often no absolute end-point. The core goal of action research is to create sustainable learning capacities and give participants the option of increasing control over theirown situation. Such a goal suggests the possibility of an extended process that can span a lifetime.” (Warrican, 2006:2). The action research is basicaly a problem solving research whose process is an emergent meaning that . It continues to be emergent until
Second cycle works with the same steps . When at the end of the Cycle Two the results are not satisfactory, Cycle Three shall be done. With respect to this reflective analysis, the identified problems are the learners behaviors in classrooms and the inappropriateness in their transliteration. What to be means by learners behaviors are differences in background, motivation, and attention which lead to inconducive learning environement and therefore inappropriateness of their transliteration remains. To help students get into the appropriate transliteration in terms of lexical and contextual meanings, the following criteria are predetermined.
15
Table 1. Preset Criteria No 1 2
3
Note
Chategory Lexical meaning
Criteria Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning
Remarks Such as Look Up: Mencari, but not Melihat ke atas. Morphological meaning Such as living organism: Benda (Organisme) hidup, but not hidup benda (organisme) Synthactical meaning Propperly transliterated in equivalence to Such as The green city requires Indonesian meaning sustainable plantation maintenance: Kota hijau mempersyaratkan pemeliharaan tanaman yang berkelanjutan, but not Hijau kota itu syaratnya tanaman berkelanjutan dipelihara. : In each three-paragraphs text, the impropper transliteration shall be minimized into at least 5% in each chategory to revise.
At the first cycle the classroom was managed by using the combination of Procedural Task-Based Language Teaching and Situational Leadership approaches. The tasks were assigned in groups without selecting the learners’ levels of development. At the second cycle the tasks were assigned in groups by selecting the learners’ levels of development. Final assessment in each of the cycle include group and individual transliteration works. Since at the second cycle the transliteration inapproppriateness reached satisfactory result, the third cycle do not apply. The instructional process works for a semester with three preliminary meetings prior to the need analysis, and other twelve meetings for the rest of the process. So, each cycle only works for 5 of 90 minutes meetings. Subjects of this semi-action research were students of Agro-technology and Agribusiness of the employee group. Prior to the cycle, the students were assigned to transliterate scientific articles taken from AgroTechnology and Agribusiness Journal both individually and in group. The individual assignment was in the form of transliterating two random paragraphs and the group assignment was in the from of transliterating the whole journal that can be done either in the
classroom and outsite the classroom. However, at least three paragraphs had to be transliterated in the classroom with lthe lecturers intervention. The classroom management intervention was only applied the transliteration activities in the classroom. Analysis of the transliteration proppriety was done by using the three above chategories and the theory of translation consideration. FINDINGS At the first cycle, learners are simply grouped into four regardless of the developmental levels as advised by the situational leadership. The classroom is managed by helping students in each group simultaneusly and the coaching advise using the situational leadership styles was done by differenciating intervention for each students in each group. Students are allowed to use dictionary and electronic translation tools. The process was done in six executive meetings. The findings show that prior to EFL Instruction, the students ability in making transliteration varies. In average the inppropriate transliteration can be shown in the following table.
Journal 1. Partially or a paragraph of Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual task assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percentage of inappropriateness 26 Words (54.16%) 15 Phrases (41.66%) 6 Sentences (100%)
Numbers of paragtaphs, Sentences, phrases, and words 48 Words per paragraph 36 Phrases per paragraph 6 Sentences er paragraph
Journal 1. Wholy or all paragraph: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assingment) No 1
Chategory Lexical meaning
Average percerntage of inappropriateness 24 Words (50%)
16
Numbers of paragtaphs, Sentenxes, phrases, and words 48 Words per paragraph
2 3
Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
12 Phrases (33.33%) 5 Sentences (83.33%
36 Phrases per paragraph 6 Sentences per paragraph
Journal 2. Wholy or all Paragraph Crop Adaptation to Biotic and Abiotic Conditions: Going Wild with Next Generation Sequencing Technologies (Individual Task Assignment) No
Chategory
1
Lexical meaning
2
Morphological Meaning
3
Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness Paragraph 1: 60 words (20%) Paragraph 2: 25 words (17.48%) Paragraph 3: 22 words (11.16%) Paragraph 4 15 words (20.54%) Total: 122 (17.13%) Paragraph 1: 10 Phrases (20.83%) Paragraph 2: 5 Phrases (27.8) Paragraph 3: 5 Phrases (15 %) Paragraph 4: 3 Phrases (30%) Total: 23 Phrases (21.10%) Paragraph 1: 5 Phrases (71.42%) Paragraph 2: 3 Phrases (60%) Paragraph 3: 5 Phrases (62.5 %) Paragraph 4: 2 Phrases (100%) Total:15 (68.18%)
The classroom was managed by intervening the students behavior with the combination of Tasks-Based Approach and Situational Leadership Approach. The tasks were given individualy in the classroom with prior activities of translating together classically. In the process of instruction, the lecturer/the writer did a quick readiness analysis and helped the students by using suitable leadership styles as for R1 or D1, the intervention was using
Numbers of paragtaphs, Sentenxes, phrases, and words Paragraph 1: 299 words Paragraph 2: 143 words Paragraph 3: 197 words Paragraph 4: 73 words Total: 712 Paragraph 1: 48 Phrases Paragraph 2: 18 Phrases Paragraph 3: 33 Phrases Paragraph 4: 10 Phrases Total:109 Phrases Paragraph 1: 7 Sentences Paragraph 2: 5 Phrases Paragraph 3: 8 Phrases Paragraph 4: 2 Phrases Total:22 Sentences
directing style by giving them complete guide. For R2 or D2 students, the intervention was using selling style by giving them complete guide and discussion. For R3 or D3 students, the intervention was using participating style by giving a little help with motivation. For R4 or D4 students, the intervention was using delegation style by just giving them hint.The Process was done in three executive meetings.
Journal 3. Nutrient Diagnostics in Citrus: Are they Applicable to Current Season Crop (Group Tasks Assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 100 Words (11.76%) 43 Phrases (37%) 9 Sentences (52%)
The classroom was managed by intervening the students behavior with the combination of Tasks-Based Approach and Situational Leadership Approach. The tasks were given in groups in the classroom with prior activities of translating together classically. In the process of instruction, the lecturer/the writer did a quick readiness analysis and helped the students by using suitable leadership styles within each group as for R1 or D1, the intervention was
Numbers of paragtaphs, Sentences, phrases, and words 1 Paragraph: 850 Words 116 Phrases 17 Sentences
using directing style by giving them complete guide. For R2 or D2 students, the intervention was using selling style by giving them complete guide and discussion. For R3 or D3 students, the intervention was using participating style by giving a little help with motivation. For R4 or D4 students, the intervention was using delegation style by just giving them hint.The Process was done in three executive meetings.
Journal 1. Rework: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual Task Assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 13 Words (27.16%) 10 Phrases (27%) 3 Sentences (50%)
17
Numbers of paragtaphs, Sentences, phrases, and words 48 Words per paragraph 36 Phrases per paragraph 6 Sentences per paragraph
Journal 1. Rework: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntactidal Meaning
Average percerntage of inappropriateness 9 Words (18.75%) 6 Phrases (16.66%) 3 Sentences (50%)
Numbers of paragtaphs, Sentences, phrases, and words 48 Words per paragraph 36 Phrases per paragraph 6 Sentences er paragraph
incrased by 31.25%. The average of morphological meaning propriety of the group assign-ment increased by 16.67%. The average of Syntaxtical meaning propriety of the group assignment increased by 33.33%. At the second cycle, learners are grouped into four with the identification of learners’ development levels. Each group was containing the same level of development.The students were allowed to use dictionary and electronic translation tools. The process was done in six executive meetings. The findings can be shown in the following table:
DISCUSSION The students’ behavior classroom management at the first cycle turned out to improve the propriety of transliteration by the students. The average improvement of lexical meaning propriety of the individual assignment incrased by 27%. The average of morphological meaning propriety of the individual assignment increased by 14.66%. The average of Syntaxtical meaning propriety of the individual assignment increased by 50%. The average improvement of lexical meaning propriety of the group assignment
Journal 4. Partially: The Effect of Ethanol Production on Coarse Grains: New Price Relationships (Individual task assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 45 words (12%) 18 Phrases (39.13%) 6 Sentences (46%)
Numbers of paragtaphs, Sentenxes, phrases, and words 375 words of 2 Paragraphs 46 Phrases of 2 Paragraphs 13 Sentences of 2 Paragraphs
Journal 4. Wholy: The Effect of Ethanol Production on Coarse Grains: New Price Relationships (Group Task Assingment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 871 Words (12.2%) 173 Phrases (19.8%) 67 Sentences (19.3%)
Numbers of paragtaphs, Sentenxes, phrases, and words 7125 Words of 38 Paragraphs 874 Phrases of 38 Paragraphs 347 Sentences of 38 Paragraphs
Journal 5. Partially: Market Orientation, Innovativeness, and Performance of Food Companies (Individual Task Assignment No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 38 Words (5.9%) 6 Phrases (9%) 3 Sentences (13.6%)
Numbers of paragtaphs, Sentences, phrases, and words 642 words of 2 Paragraphs 66 Phrases of 2 Paragraphs 22 Sentences of 2 Paragraphs
Journal 5. Wholy: Market Orientation, Innovativeness, and Performance of Food Companies (GroupTask Assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 93 Words (6%) 10 Phrases (6%) 6 Sentences (10%)
18
Numbers of paragtaphs, Sentences, phrases, and words 1536 Words of 5 Paragraphs 165 Phrases of 5 Paragraphs 55 Sentences of 5 Paragraphs
Journal 1. Rework for parts of the text: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual Task Assignment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 2 Words (4.1%) 2 Phrases (5.5%) 1 Sentence (16.6%)
Numbers of paragtaphs, Sentenxes, phrases, and words 48 Words per paragraph 36 Phrases per paragraph 6 Sentences per paragraph
Journal 1. Rework for whole text Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assingment) No 1 2 3
Chategory Lexical meaning Morphological Meaning Syntaxtical Meaning
Average percerntage of inappropriateness 2 Words (4.1%) 2 Phrases (5.5%) 1 Sentence (16.6%)
Compared to the first assessment prior to the classroom management intervention using the combined Task-Based Approach and Situational Leadership, the results of the second cycle improved temmendously. The propriety of transliteration in lexical meaning for the individual task achieved 4.1% exceeding the set criteria which increased by 50.06%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the individual task achieved 5.5% approaching the set criteria which increased by 36.16%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the individual task achieved 16.6% which increased by 83.4%. Similarly, the propriety of transliteration in lexical meaning for the group task achieved 4.1% exceeding the set criteria which increased by 50.06%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the group task achieved 5.5% approaching the set criteria which increased by 36.16%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the group task achieved 16.6% which increased by 83.4%. Since, the results showed tremendous increase and had approached to the set criteria, the results were considered satisfactory, and therefore, the third cycle was not necesary to do. The Situational leadership approach is more successful when the students are group on the basis of their level of readiness or development, which is those who have R1 or D1 level are grouped in R1 or D1 group. Tasks are procedurally designed by giving Pre-Task activities, Whilst-Task activities, and Post-task activities. The Pre-tasks were transliteration tasks in unison led by the lecturer (the writer). The Whils-tasks were transliteration tasks within their readiness group, and the Post-tasks were translitertation in unison in the form of class discussion on their transliteration works in
Numbers of paragtaphs, Sentenxes, phrases, and words 48 Words per paragraph 36 Phrases per paragraph 6 Sentences er paragraph
every paragraph. Results showed that their propriety on the lexical, morphological, and syntaxtical meaning transliteration improved tremendously. CONCLUSION AND SUGGESTION From the findings, It was concluded that that the combination of pedagogical and leadership approach in instructional management has satisfied the aims of teaching English for Specific Purposes for the Ago Technology and Agribusiness studies. It is suggested that this professional reflection is further studied using action research or research and development. REFERENCES Allwright,R.1977. Motivation:The Teachers’ Responsibility? ELT Journal, 32/2, pp 121-129 Anthony.L.2014. Defining English for Specific Purposes and the Role of the ESP Practtioner. Okayama: Dept. of Information and Computer Engineering, Faculty of Engineering, Okayama University of Science Barreta, A and Davis.A. 1985.Evaluation of the Bangelor Project.ELT Journal, 39/2, pp121-125. Bire.J.1993. A Research Plan For The Future Evaluation of The English as A Second Language Program in Indonesia. Master Thesis. School of Education, La Trobe University, Australia. Breen.M.P.1984. Process Syllabuses for The Language Classroom.In Brumfit, C.J.(Ed). General English Syllabus Design. (ELT Document No 118, pp. 47). London: Pergamon Press & The British Council. 19
Breen.M.P.1987. Learner Contributions to Task Design.In C. Candlin and D Murphy (Eds). Language Learning Task. Anglewood Cliffs, N.J.:Prentice Hall. Breen, M.P. and Candlin. C.1980. The Essentials of a Communicative Curriculum in Language Teaching.Applied Linguistics, 1/2, pp 89-112. Candlin.C.N dan Murphy.D. 1987. Towards Task-Based Language Learning.In C.N. Candlin and D. Murphy (Eds). Lancaster Practical Papers in English Language Education: Vol 7 Language Learning Tasks.pp 5-22 Englishwood Cliffs, N.J.:Prentice Hall. Crookes, G. dan Chaudron.1991. Guidelines for Classroom Language Teaching. In CelceMurcia (Ed) Teaching English as a Second Language.pp 46-77. Boston, Massachusetts: Heinle & Heinle Publishers Dudley-Evans, T.1998. Developments in English for Specific Purposes: A multidisciplinary approach. London:Cambridge University Press. Hanson, J.R.1998. Developing a Classroom Management Repertoire: Classroom Management: An ASCD Professional Inquiry Kit, Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.. Hersey, Blanchard, and Jonathan.1996. Management of Organizational Behavior:Utilizing Human Resources.Upper Saddle River, NJ:Prentice Hall. Hutchinson, T. & Waters, A.1987. English for Specific Purposes: A learner-centered approach. London:Cambridge University Press. Keditsu, R.2013. Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts.Journal of Agrotechnology. Volume 2, Issue 2, 1000e105, ISSN: 2168-9881 AGT, an open access journal, http://dx.doi.org/10.4172/21689881.1000e105. Kountche, AB., Kane, N., Ousseini, IS., Vigouroux, Y.2013. Crop Adaptation to Biotic and Abiotic Conditions: Going Wild
with Next Generation Sequencing Technologies. Journal of Agrotechnoly. Vol 2: e103. doi:10.4172/21689881.1000e103. Long, M.H. and Crookes, G.1992. Three Approaches to Task-Based Syllabus Design.TESOL Quarterly.19/2, pp 207-28. Martinez-Mejia, P., and Malaga, J.E.2009. Journal of Agribusiness.Vo: 27, 1/2 (Spring/Fall 2009): 33ԟ47 © 2009 Agricultural Economics Association of Georgia. Naisbitt, J. 1982. Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives.New York: Warners Books, Inc. Prabhu.N.S.1984. Procedural Syllabuses. In T.E. Read (Ed.) Trends in Language Syllabus Design, pp 272280.Singapore:Singapore University. Prabhu.N.S.1987. Second Language Pedagogy. Oxford:Oxford University Pres. Srivastava, AK.2013.Nutrient Diagnostics in Citrus: Are they Applicable to Current Season Crop. Journal of Agrotechnology. Vol 2: e104. doi:10.4172/21689881.1000e104. Starr, L.2004. Classroom Management. http://www.educationworld.com/a_curr/strategy/ strategy047.shtml retrieved on October 4th, 2004 at 07.45 p.m. Supriyono.1996. An Integrated Meaning-Form Focused Instructional Framwork With Refference To Task-Based Methodology For The Implementation of The 1994 EFL Syllabus For Primary Schools In East Java.Master Thesis.La Trobe University. Supriyono.2013. Nasionalisme Dalam Pendidikan. Makalah.Diskusi Pembaca Aktif Perpustakaan Nasional Proklamator Boeng Karno. Blitar: Perpustakaan Nasional Proklamator Boeng Karno Toffler, A.1970. Future Shock.London:Pan Books Toffler, A.1980. The Third Wave.London:Pan Books Warrican, S.2006. Action research: A viable option for effecting change. Journal of Curriculum Studies, 38(1), 1–14.
20
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 21 - 24
ISSN : 2088-2440
PROSPEK PENGEMBANGAN UBI KAYU VARIETAS UJ-5 PADA INDUSTRI TAPIOKA DAN BIO-ETHANOL Palupi Puspitorini Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar Email:
[email protected]
Abstract: Cassava (Manihot esculenta Crantz) is one of the most important producers of calories in the tropics. This plant is efficient in carbohydrate production, adapted to various environments and tolerant to drought and soil acidity. The major part of the economic products, roots, is consumed as human food after processing. An estimated 70 million people get more than 500 kcal / day of cassava, and more than 500 million people consume more than 100 kcal / day in various forms throughout the tropical cassava. Fresh for human consumption declined, while its use for feed and processing industry increased rapidly. Thus there is a demand to increase cassava productivity so that will achieve high productivity in the industry, including the production of tapioca starch and biofuels (bio-ethanol). Improved of cassava cultivars is one of the easiest to encourage better farm management, which in turn will lead to an increase in agricultural productivity and income.Problems varieties of the prospects in the fields of tapioca and biofuels industry lies in the potential production of starch varieties are to be converted into flour or biofuels. The varieties were have lower of conversion value of a raw material is better than others. Keywords: cassava varietal, cassava UJ5 variety, biofuels, bioethanol, tapioca starch, description of UJ5 PENDAHULUAN Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) adalah salah satu penghasil kalori paling penting di daerah tropis. Tanaman ini efisien dalam produksi karbohidrat, disesuaikan dengan berbagai lingkungan dan toleran terhadap kekeringan dan kemasaman tanah. Bagian utama dari produk yang bernilai ekonomi yaitu akar adalah dikonsumsi sebagai makanan pokok setelah dilakukan pengolahan. Diperkirakan 70 juta orang mendapatkan lebih dari 500 kkal / hari ubi kayu, dan lebih dari 500 juta orang mengkonsumsi lebih dari 100 kkal / hari dalam berbagai bentuk ubi kayu di seluruh daerah tropis (Cock, 1985). Di banyak bagian negara di Asia peran makanan tradisional ubi kayu sebagai makanan manusia cepat berubah fungsi menjadi tanaman industri yang efisien untuk pengolahan pabrik. Konsumsi segar untuk manusia menurun, sementara penggunaannya untuk pakan dan industri pengolahan meningkat dengan pesat (Kawano, 2000). Dengan demikian terdapat tuntutan untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu
sehingga nantinya akan dicapai produktivitas tinggi di bidang industri, diantaranya produksi tepung tapioka dan biofuels(bio ethanol). Penggunaan etanol atau alkohol sebagai bahan bakar sudah dikenal sejak lama pada tahun 1880. Peningkatan fungsi biofuels harus ditingkatkan seiring dengan menyusutnya kandungan petrofuels (Prihandana, et.al, 2007). Produktivitas ubi kayu tidak terlepas dari permasalahan budidaya tanaman yang meliputi penyediaan bibit hingga panen. Teknologi budidaya ubi kayu untuk meningkatkan produktifitas ubi kayu sangat banyak diteliti. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembagalembaga penelitian telah menghasilkan teknologi budidaya yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan produktifitas ubi kayu ini. PERMASALAHAN Perkembangan penelitian mengenai peningkatan produktivitas melalui pemuliaan tanaman ubi kayu dalam dekade terakhir mengalami penurunan. Terbukti dengan
3 4 5 6 7 8
menurunnya jumlah rilis varietas ubi kayu oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian. Di Indonesia sejak tahun 1970 an industri tapioka yang akhirnya sekarang berkembang ke industri biofuels menggunakan varietas Adira 4 yang dirilis pemerintah tahun 1978. Varietas ini mempunyai potensi produksi 22 ton/ha (Deptan). Pabrik tapioka umumnya menggunakan varietas Adira 4 sebagai bahan bakunya. Varietas ini berkembang pesat dan sangat dikenal oleh pengusaha tapioka di Indonesia. Namun sejak dirilisnya varietas baru UJ5 yang awal bibitnya diintroduksi dari Thailand sekitar tahun 1990, dan diteliti daya hasilnya selama 10 tahun di berbagai daerah di Indonesia maka tahun 2000 ubi kayu UJ5ditetapkan pemerintah melalui SK Menteri Pertanian menjadi ubi kayu unggul nasional. Sejak saat itu dimulai persebaran varietas UJ5 hingga ke seluruh wilayah di Indonesia meliputi Sumatra,Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua menggantikan Adira 4. Potensi produksi UJ5 25 – 38 t/ha. Permasalahan varietas terhadap prospeknya di bidang industri tapioka dan biofuels terletak pada potensi produksi pati varietas tersebut yang akan dikonversi menjadi tepung atau biofuels. Semakin rendah nilai konversi maka semakin baik sebuah varietas menjadi unggulan bahan baku.
Ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia per 100 gram yang memungkinkan bisa dipakai sebagai bahan baku bioethanol antara lain kalori 146 kal, protein 1.2 gram, lemak 0.3 gram, hidrat arang 34.7 gram, etanol, glikosida dan kalsium oksalat (data teknis lingkungan ITS), sehingga dari ubi kayu bisa didapatkan hasil minyak 1020 l/ha ekuivalen 6600kWh/ha (Purwanto, 2010). Pemanfaatan bioethanol dari ubi kayu yang merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan visi roadmap energi 2025 yang diharapkan mencapai 15% konsumsi premium nasional. Potensi beberapa tanaman yang merupakan bahan baku bioethanol pada tabel 1.
No 1 2
Tabel 2.
Jagung Singkong
Hasil panen (t/ha/tahun) 1-6 10-50
3000-8500 1200-5000 1500-5000 2000-6000 1000-4500 3000-8000
Produktivitas Beberapa Varietas Ubi Kayu
Varietas/ Klon
Umur (bulan)
Kadar Pati (%)
Produksi (ton/ha)
UJ-3
8 - 10
25 - 30
35-40
UJ-5
10 - 12
30 – 36
45 - 60
Malang
9 - 10
25 - 32
35 - 38
Rapat (70x80 cm)
35 - 40
Double row
Barokah 9 - 10 25 - 30 (Lokal) Sumber: BPPT Natar-Lampung
Potensi Bahan Baku Bioethanol Tanaman
40-120 10-40 3-12 20-60 10-35 20-100
Peningkatan kultivar ubi kayu adalah salah satu yang paling mudah untuk mendorong pengelolaan pertanian yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan produktivitas pertanian dan pendapatan. Ada tiga fase yang diperlukan untuk perbaikan varietas. Tahap pertama sesuai dengan koleksi serta evaluasi ubi kayu plasma nutfah, tahap kedua sesuai dengan generasi bahan pemuliaan maju, sementara fase ketiga sesuai dengan pemilihan kultivar baru, rilis dan penyebaran nya (Koeshartojo et al., 2009) Di Indonesia, kultivar baru ditanam di lebih dari 110.000 dan masing-masing 136.000 ha di 1995-1996 dan 1996-1997 (Puspitorini et al.,1998) Sejak tahun 2002 RILET telah menggunakan alat bioteknologi seperti pemilihan penanda-dibantu menggunakan Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) untuk pemilihan toleransi terhadap tungau merah. Dua varietas ubi kayu telah resmi dirilis pada tahun 2000, baik berasal dari Thailand, yaitu Rayong 60 diganti sebagai UJ3, dan Kasetsart 50 diganti sebagai UJ-5. Dua varietas baru lainnya secara resmi dirilis pada tahun 2001, yaitu Malang dan Malang 4 6 Malang 4 terpilih di antara baris bersari bebas dari Adira 4 sebagai induk betina, sedangkan Malang 6 adalah garis yang dipilih dari umpan silang dibuat antara MLG 10071 dan MLG 10032 sebagai wanita dan pria tua, masingmasing. Ada beberapa jalur menjanjikan dalam tahap awal dan lanjutan dari seleksi, yang mampu menghasilkan lebih dari 10 ton pati per hektar (Koeshartojo et al., 2009) .
PEMBAHASAN
Tabel 1.
Tebu Ubijalar Shorgum Shorgum manis Kentang Bit
Ethanol (l/ha/tahun) 400-2500 2000-7000
Sistem Tanam Rapat (70x80 cm) Double row
Pengujian daya adaptasi varietas UJ5 yang telah dilakukan di Lampung sejak tahun 1990 menyimpulkan bahwa varietas ini mempunyai 22
UJ3 8 30-40 25-30 UJ5 9-10 25-38 20-30 Sumber: Wargiono, dkk (2006) dalam Prihandana, dkk (2007)
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya (Fauzan, 2000). Hasil kajian yang dilakukan oleh BPPT Natar Lampung terhadap varietas UJ5 bahwa varietas ini mampu berproduksi tinggi dan memiliki kadar pati yang tinggi pula. Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa UJ5 sangat unggul dibandingkan varietas unggul yang lain baik produksi umbinya (t/ha) maupun kadar pati (%). Hasil penelitian ubi kayu yang lain yang dilakukan di daerah Lampung Timur dan Lampung Tengah terhadap varietas UJ5 dengan berbagai populasi tanaman per hektar. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pada populasi 12,500 tanaman per ha hingga 40,000 tanaman per ha memberikan hasil yang nyata lebih baik dibandingkan UJ3 baik di daerah Lampung Timur maupun Lampung Tengah. Tabel 3. Varietas
Ethanol (ethyl alcohol-C2H5-OH) dikategorikan sebagai energi komersial atau energy teknis karena telah mencapai kematangan teknis dan kematangan komersial. Bioethanol yaitu ethanol yang diproses dari bahan baku tanaman yang dapat diperbaharui yang merupakan bahan bakar alternatif pengganti premium dan pertamax. Gas buang dari mesin yang menggunakan bioethanol mempunyai emisi yang lebih rendah dibandingkan minyak premium maupun pertamax. Mesin kendaraan yang menggunakan bahan bakar mempunyai minimal nilai oktan 90 dapat dikonversi pemakaian bahan bakarnya dengan komposisi Premium 80–90 % (nilai oktan 88) ditambah ethanol 10–20% ( nilai oktan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai oktan 91–93. Beberapa penelitian mengenai konversi pati menjadi alkohol/ethanol telah dilakukan di Balai Besar Teknologi Pertanian. Hasil penelitian ubi kayu tahun 2007 di B2TP Sulusuban Lampung Tengah terhadap beberapa varietas/klon ubi kayu yang dipanen umur 10 bulan menunjukkan bahwa tiga varietas unggul (UJ3, UJ5, Malang 6) dan tiga klon harapan (MLG 0310, CMM 99008-3 dan OMM 9908-4) memiliki nilai konversi 4,7–5,5 kg umbi segar kupas untuk menghasilkan 1 liter etanol 96% (tabel 5). Semakin kecil angka konversi, semakin sesuai dan efisien untuk bahan baku etanol karena jumlah atau bobot bahan baku yang diperlukan semakin sedikit untuk menghasilkan etanol pada takaran tertentu. Angka konversi yang selama ini digunakan adalah 6,1 kg per satu liter etanol 96% dengan asumsi kadar gula total 30% dan ratio fermentasi 90%. Komposisi kimia delapan varietas dan klon ubi kayu umur 10 bulan dan konversinya menjadi etanol 96% melalui fermentasi.
Produktifitas UJ3 dan UJ5 di Daerah Lampung
UJ3 UJ5
12.500 tan/ha 31.00 b 36.98 a
UJ3 UJ5
27.34 a 29.59 b
Lampung Timur 20.000 40.000 tan/ha tan/ha 28.57 b 28.28 a 31.83 a 28.40 a Lampung Tengah 30.20 a 30.49 a 32.91 b 31.80 b
Menurut Prihandana et al, (2007), bahwa dari 10 varietas ubi kayu yang telah dilepas oleh Departemen Pertanian ada 4 varietas yang direkomendasikan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan karena memiliki sifat berkadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, fleksibel dalam usahatani dan umur panen (tabel 4) Tabel 4.
Potensi Varietas Unggul Ubi Kayu Bahan Baku Ethanol
Varietas/Klon Adira 4 Malang 6
Umur (bulan) 8 9
Hasil (ton/ha) 25-40 36.4
Kadar pati (%) 25-30 25-32
23
Tabel 5.
Konversi Beberapa Varietas Ubi Kayu Menjadi Ethanol
Var/Klon Ubi Kayu UJ-3 UJ-5 Adira-4 Malang-6 Kaspro CMM 99023-4 OMM 9908-4 CMM 99008-3 Sumber:
Kadar Air (%) 58,82 54,83 64,54 60,27 59,68 64,45 61,74 58,42
Kadar Bahan Kering (%) 43,41 46,34 40,10 42,54 41,89 40,69 42,16 42,5
Kadar Gula Total
Ratio Fermentasi
(% bb) 36,67 39,12 30,96 34,78 33,33 30,34 34,05 36,95
(%) a 91,64 86.00 83,3 88,24 88,68 81,65 94,78 94,39
Konversi menjadi Etanol (kg/liter)b 4,86 4,86 6,34 5,44 5,54 6,60 5,06 4,71
B2TP Sulusuban-Lampung; Keterangan: a. Fermentasi ubi kayu segar menjadi ethanol dengan kadar 7–11 %; b. Ethanol dengan kadar 96% efisiensi distilasi dianggap 95%).
Kawano.K, 2000. The Role of Improved Cassava Cultivars in Generating for Better Farm Management. Proc. 6th Regional Workshop, held in Ho Chi Min Koes Hartojo and Palupi Puspitorini. 1996. Cassava Germplasm Conservation and Crop Improvement In Indonesia. Proc. 5thRegional Workshop, held in Danzhou, Hainan, China Prihandana R., Kartika Noerwijati, Praptiningsih Gamawati Adinurani, Dwi Setyaningsih, Sigit Setiadi, Roy Hendroko. 2007. Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar Masa Depan. Agromedia Pustaka Jakarta. 194 hal. Puspitorini, P., U. Kartawijaya and K. Kawano. 1998. Cassava Varietal Improvement Program At Umas Jaya Farm and Its Contribution to Small Farmer Communities in Sumatra, Indonesia. In: R. Howeler (Ed.). Cassava Breeding, Agronomy and Farmer Participatory Research in Asia. Proc. 5th Regional Workshop, held in Danzhou, Hainan, China. Nov 3-8, 1996. pp. 156-169. Saleh N. St. A. Rahayuningsih dan M Muchlis Adie.2010. Peningkatan Produksi dan Kualitas Umbi-umbian. Balitkabi. Makalah. 21 hal.
KESIMPULAN UJ5 sebagai varietas terbaru sangat cocok digunakan untuk bahan baku industri tapioka dan biofuels karena mempunyai produktivitas yang didukung hasil umbi dan kadar pati yang tinggi. SARAN Perlu dilakukan pemulian tanaman ubi kayu yang lebih intensif lagi untuk memberikan alternatif varietas yang mempunyai produktifitas tinggi. DAFTAR PUSTAKA Annonymous. http://ubi kayuraksasa.blogspot. com/2013/05/kesesuaian-varietasklon-ubi kayu-untuk-bahan-bioethanol.html Annonymous. 2007. Teknologi Budidaya Ubi kayu. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Serie TP3-2008. ISBN 978-979-1415-24D. 21 hal Fauzan and Palupi Puspitorini. Effect of Date Planting and Rainfall Distribution on the Yield of Five Cassava Varities in Lampung Indonesia. Proc. 6th Regional Workshop, held in Ho Chi Min city
24
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 25 - 35
ISSN : 2088-2440
KEBERLANJUTAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK URBAN FARMING DITINJAU DARI KUALITAS TANAH (KANDUNGAN KIMIA, SIFAT FISIKA DAN BIOLOGI TANAH) DI DESA PENANGGUNGAN, KECAMATAN TRAWAS, KABUPATEN MOJOKERTO, JAWA TIMUR Ferdianto Budi Samudra1 dan Dwi Purnomo2 1
Tenaga Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, Indonesia 2 Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, Indonesia Email:
[email protected]
Abstract: The objective of this research is to know the soil quality from organic agriculture of urban farming in Penanggungan village, Trawas district, Mojokerto regency. The research was done on may until june of 2013 in 2 different soil condition which was located in different region. The soil came from Penanggungan village, Trawas district, Mojokerto regency, its altitude was 606 m dpl, and other the soil came from Desa Pandanrejo Kec. Bumiaji Kota Batu, its altitude was 800 m dpl. Sustainability was evaluated qualitatively, based on input which was used by farmer on cultivation process. The input consist of manure fertilizer. The result showed that sustainability of ecology aspect was fairly good. It was observed by soil quality in physics, chemistry and biology. Laboratory test reported that chemical composition of the soil was fairly good. Chemical composition consists of C organic value, N total, potassium, organic matter, C/N ratio, CEC (cation exchange capasity) and pH. Composition of phosphorus in soil was not good enough, it was caused by possibility of phosphorus dissolved in soil due to precipition P by Ca. Evaluation of physical properties of soil by porosity indicator showed that sustainability of organic farming application in urban farming was good. Evaluation based on indicator texture showed that organic farming could not change soil texture. Arthropode Shannon-Weaver biodiversity method on nisbi observation was not significant on both observation, 2,27 (of the biodiversity were fairly good) on urban farming, but in intensife farming only 1,4 (the biodiversity were low), so the equilibrium can be happened on Urban farming field as the ecosystems function even the farming used green house. The ratio of fungus/bactery on urban farming and intensive farming were 0,36 and 0,35. That data showed that the ratio was match with researcher assumsion on organic farming were bigger than intensive farming, because with higher ratio would increase the soil fertility on agriculture field. Keywords: sustainability, urban farming, organic farming, intensive farming. PENDAHULUAN Sistem budidaya pertanian yang tidak tepat khususnya dalam penambahan kebutuhan nutrisi, akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah (Ghosh, et al., 2003). Penilaian kualitas tanah telah di rekomendasikan sebagai alat dalam mengevaluasi keberlanjutan tanah dan tanaman (Zhen dan Routray, 200; Pannel dan Glen, 2000), dalam menilai kualitas tanah, sebagai indikator biasanya dihubungkan dengan fungsi tanah (Howard, 1993; Doran, 1995), yaitu sifat fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat diukur untuk memantau berbagai
perubahan dalam tanah. Namun bagaimanapun dalam pengukuran kualitas dan kesehatan tanah adalah bagaimana dapat dengan mudah diterapkan oleh petani (Roming, et al., 1995). Pertumbuhan penduduk, perubahan fungsi lahan serta semakin sedikitnya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, membuat pertanian perkotaanlah yang dirasakan lebih baik dibandingkan metode konvensional, karena memiliki keunggulan, antara lain: tidak hanya bertujuan memperoleh makanan saja namun juga berbagai keunggulan lain seperti peningkatan kesejahteraan manusia, perbaikan lingkungan maupun pemberdayaan masyarakat
(Williamson, 2002) dengan cara gerakan kembali ke alam, promosi bertani organik, usaha mempercantik kota, pendidikan lingkungan untuk warga, hobi dan sebagai mata pencaharian (Purwanto, 2010). Manfaat lainnya menurut Halberg (2009) sebagai penyediaan makanan yang akan mempermudah akses warga terhadap makanan yang segar dan bernutrisi dengan harga yang relatif murah sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara pengertian pertanian organik menurut FAO/WHO (1999) yaitu suatu sistem produksi yang menyeluruh yang mengedepankan kestabilan agroekosistem, termasuk keanekaragaman, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, sehingga dalam sistem budidayanya menggunakan input off-farm, yang berasal dari daerah setempat (locally). Pertanian organik urban farming di Desa Penanggungan Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto ini adalah suatu bentuk transformasi pertanian yaitu bertani di lahan sempit di pekarangan rumah warga dengan memodifikasi iklim mikro dengan menggunakan mini green house. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesuburan tanah lahan urban farming, sehingga diketahui kecukupan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman khususnya dengan sistem pertanian organik.
menggambil tanah dengan kedalaman 0-20 cm untuk sampel kandungan kimia tanah (Corganik, Bahan organik, N total, Phospor, Kalium, KTK, rasio Carbon dan Nitrogen dan pH), sedangkan sampel tanah untuk sifat fisika (porositas dan tekstur tanah) dan biologi tanah (Total Jamur dan Bakteri) dilakukan dengan metode tidak terganggu (undisturb) menggunakan pipa diameter 15 cm dan panjang 20 cm. Pengambilan sampel arthropoda dilakukan dengan dua metode, yakni untuk arthropoda yang ada di dalam tanah dengan menggunakan metode mutlak, sedangkan untuk arthropoda yang aktif pada permukaan tanah digunakan metode nisbi. Metode nisbi menggunakan cawan jebak (pitfall trap) yang dibenamkan di dalam tanah dengan bibir cawan sejajar pada permukaan tanah. Cawan diisi dengan larutan deterjen 5% setinggi 2-3 cm. Perangkap ditanam dan diganti setiap 3 hari, hasil tangkapan diidentifikasi berdasarkan jenis arthropoda, sementara metode mutlak dilakukan dengan mengambil tanah menggunakan pipa berdiameter 15 cm sampai kedalaman lapisan olah tanah yakni 15-20 cm. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibawa ke laboratorium, dilanjutkan dengan memasukkan tanah kedalam corong Berlese untuk mengeluarkan arthropoda tanah, selanjutnya dilakukan identifikasi jenis arthropoda yang ada. Selanjutnya dihitung keanekaragaman menggunakan indeks Shannon Weaver. Sampel kandungan kimia tanah yang diambil secara komposit, kemudian dikumpulkan menjadi satu dan diambil 1-1,5 kg untuk masing-masing lahan pertanian organik dan intensif, sedangkan sifat fisika tanah tetap dalam pipa dan ditutup plastik pada masingmasing sisinya. Selanjutnya tanah diuji di Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah serta Laboratorium mikologi Hama dan Penyakit Tanaman di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang untuk mengetahui kandungan kimia (Nitrogen total, Phospor, Kalium, Carbon organik, Bahan organik, rasio Carbon dan Nitrogen, Kapasitas Tukar Kation dan Potensial Hidrogen), sifat fisika (tekstur, porositas) dan biologi tanah (Total jamur dan bakteri).
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di dua lahan berbeda, yakni lahan pertanian organik urban farming yang ditanami sayuran hortikultura yang terletak di dataran tinggi lereng gunung Penanggungan Provinsi Jawa Timur, dan lahan pertanian intensif di Desa Pandanrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Waktu penelitian pada Bulan Mei-Juni 2013, dengan tipe penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Wawancara dalam pengelolaan sistem budidaya dilakukan pada kelompok tani Brenjonk sebagai pelaku pertanian organik urban farming. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara komposit sampel acak (composit random sampling) dengan syarat diluar area kumpulan tanah erosi, salin, jalan, drainase air, pupuk kandang ataupun bagian ujung dari lahan. Sampel tanah di ambil di 4 lahan pertanian organik urban farming (UF 1, UF 2, UF 3, UF 4) dan 4 lahan pertanian intensif (IF 1, IF 2, IF 3, IF 4).Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara 26
perbedaan famili tanaman, sehinga diharapkan penyakit tular tanah tidak berkembang, selain itu rotasi dengan tanaman legum perlu dilakukan agar kandungan Nitrogen dapat meningkat (Ames, 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Existing Pengelolaan Pertanian Organik di Lokasi Penelitian Dari hasil wawancara dengan informan pengurus kelompok tani, didapatkan informasi bahwa pada pengelolaan sistem pertanian organik sesuai dengan persyaratan sertifikasi yang paling penting adalah pemenuhan kebutuhan baik berupa input/masukan yakni berupa pupuk kandang maupun benih/bibit tanaman, karena pada prinsipnya proses pengelolaan secara organik baru dapat dilakukan setelah input/masukan yang diberikan telah dipastikan asalnya yang mana dalam hal ini telah dipenuhi dari sumber dari Desa itu sendiri. Sementara pada proses produksi di kelompok tani ini telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP), sehingga proses produksi anggota relatif sama. Pada sistem budidaya yang dimulai dari pengolahan tanah, pemupukan, penyediaan benih yang diusahakan dengan penangkaran sendiri oleh petani.Pupuk kandang yang diberikan berasal dari daerah setempat, karena penduduk di daerah tersebut banyak yang memiliki dan memelihara ternak peliharaan, baik berupa sapi atau kambing.Hal ini telah sesuai dengan pengertian pertanian organik dari FAO (1999) yaitu suatu sistem produksi yang menyeluruh yang mengedepankan penggunaan input off-farm, yang berasal dari daerah setempat (locally). Dari sistem budidaya secara umum telah baik, namun pemahaman dari anggota mengenai rotasi tanamanlah yang harus diperbaiki, sehingga tidak hanya memutar-mutar jenis tanaman yang ditanam tapi berdasarkan
Pengaruh Pertanian Organik Urban Farming terhadap Kandungan Kimia tanah Sistem pertanian organik dengan menambahkan bahan organik (pupuk kandang/kompos) yang berasal dari daerah setempat diharapkan dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tanaman, selain itu kelangsungan dari usaha tani dapat berkesinambungan. Ketersediaan bahan organik akan meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman, meningkatnya ketersediaan air tanah bagi tanaman, pertambahan Kapasitas Tukar Kation (KTK), serta semakin meningkatnya mikroorganisme yang bermanfaat (Doran, 1995; Drinkwater, et al., 1995). Selain itu bahan organik akan meningkatkan aktivitas biologi, kimia, fisika tanah serta meningkatkan hasil panen. Ditambahkan oleh Stamatiadis, et al. (1999) bahwa pertanian organik dapat menstabilkan pH, menyerap air lebih banyak dan cepat, serta meningkatkan daya ikat tanah. Oleh karena itu pengamatan kandungan kimia tanah sangat penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penggunaan pupuk kandang/kompos dalam pertanian organik urban faming dibandingkan pertanian intensif. Berdasarkan hasil uji t, diketahui rata-rata kandungan kimia dan sifat fisika di tabel 1., pertanian organik urban farming (UF) lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian intensif (IF).
Tabel 1. Hasil Uji T terhadap Kandungan Kimia dan Sifat Fisika Tanah Pola tanam UF IF Rata-rata
Corganik
Ntotal
4.84* 0.8725 2.85625
0.6* 0.15 0.375
BO 8.3725* 1.51 4.941
CN
P
8.25* 6 7.125
132.7225 94.2075 113.465
K 5.53* 1.1675 3.34875
KTK
pH
40.2875* 31.47 35.87875
6.875 6.875 6.875
Porositas 66.25* 55.45 60.85
Sumber : Olah Data Primer, 2012. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive Farming; BO: Bahan Organik; KTK: Kapasitas Tukar Kation; pH: Potensial Hidrogen. Tanda * menunjukkan adanya perbedaan nyata menurut uji T, dengan taraf kepercayaan 95%.
Sementara berdasarkan tabel 1, kandungan kimia yang meliputi C-Organik, N Total, BO, C/N, K, KTK pada tanah urban farming (UF) berbeda nyata dengan intensive farming (IF), namun kandungan P (phospor) dan pH tidak berbeda nyata (p<0.05).
a.
Karbon Organik (C organik) Budidaya pertanian secara organik terbukti dapat menurunkan kandungan karbon (C) di udara, dengan cara penyerapan ke tanah, maupun ke tanaman melalui fotosintesis. Hasil uji laboratorium kandungan C-organik pada pertanian organik urban farming (UF) berbeda 27
nyata (tabel 1) dibandingkan pertanian intensif (IF), dengan nilai UF sebesar 4,84% dan IF sebesar 0,87%. Tingginya C-organik pada UF dimungkinkan karena pada urban farming dalam sistem budidayanya menggunakan pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia, selain itu rotasi tanaman yang selalu dilakukan setelah panen juga mendorong penyerapan C dari atmosfer, sesuai dengan penelitian Al-Kaisi (2008). Terbukti dengan budidaya organik mampu meningkatkan penyerapan karbon 2-3 kali dibandingkan dengan budidaya konvensional (Lal, 2004). Sedangkan penelitian Clark, et al., (1998) yang menunjukkan penurunan serapan Corganik pada lahan organik dan low input dikarenakan terputusnya pemberian pupuk kandang selama 4 tahun, hal ini menunjukkan peran pupuk kandang linier terhaap ketersediaan bahan organik yang selanjutnya menyerap C-organik. Begitu pula dengan penelitian Hepperly, et al., (2007) yang menyebutkan pemupukan menggunakan pupuk kandang dan kompos legum, kandungan Corganik tanah berbeda nyata dibandingkan pemupukan dengan kimia setelah 21 tahun, padahal pada awal tahun tidak berbeda nyata. Namun jumlah C-organik berubah-ubah setiap pemanenan dan pengolahan tanah yang dilakukan, sehingga untuk mengamatinya diperlukan data time series yang dapat dipantau perubahanya (Fließbach, et al., 2007). Sebaliknya penggunaan pupuk anorganik yang tidak efisien, dan bahkan pemberian pupuk N-anorganik secara terus menerus justru menyebabkan penurunan kandungan C-organik. Penurunan kandungan C-organik tanah lebih diperparah lagi dengan adanya pengangkutan sisa panen (limbahtanaman) keluar lapang tanpa diimbangi penambahan bahan organic ke dalam tanah. Hal ini mendorong semakin banyaknya emisi GRK dari sektor pertanian. Menurut Al Kaisi, 2008, aktivitas manusia dapat mengakibatkan timbulnya gas rumah kaca yang dapat menjadi pemicu munculnya perubahan iklim, salah satu gas rumah kaca adalah karbon (C). Oleh karena itu sebagai salah satu indikator dari kesuburan tanah adalah kandungan C-organik dalam tanah, dengan semakin banyaknya kandungan C-organik maka pengurangan emisi gas rumah kaca lebih akan lebih banyak terserap dan pemanasan global semakin berkurang dibandingkan pertanian
intensif, sehingga keberlanjutan dari indikator ini telah baik. b.
Nitrogen Total Kandungan N total urban farming berbeda nyata antara dengan intensive farming dengan nilai 0,6% (UF) dan 0,15% (IF) (tabel 1). Hal ini menunjukkan pertanian organik urban farming tanpa menggunakan pupuk kimia yang selama ini dianggap secara instan menyediakan nutrisi bagi tanaman tidak terbukti, bahkan dengan menambahkan pupuk kandang/kompos pada media tanam akan meningkatkan ketersediaan Nitrogen dalam tanah. Selain itu dengan menggunakan pupuk organik maka mikroorganisme tanah, termasuk arthropoda akan semakin beragam yang selanjutnya berperan dalam mineralisasi nutrisi bagi tanaman. Hasil ini sesuai dengan pendapat Bulluck III, et al., (2002) yang menyebutkan pada pertanian organik aktivitas mikroba serta mineralisasi nitrogen lebih tinggi dibandingkan pertanian intensif. Penggunaan pupuk kandang mempengaruhi ketersediaan N tanah, pupuk kandang unggas cenderung memiliki kandungan N lebih tinggi hal ini dikarenakan pada pupuk kandang unggas tercampur urin, sehingga lebih siap untuk terdekomposisi dibandingkan dengan pupuk kandang sapi atau kambing yang masih mengandung lignin dan selulosa (Hue dan Silva, 2000). Ketersediaan unsur Nitrogen ini merupakan hal yang vital dalam budidaya pertanian sayuran daun, dikarenakan kebutuhan akan unsur ini cukup banyak. Sehingga dengan ketersediaannya yang melimpah di lahan organik maka kesuburan dan keberlanjutan lahan pertanian telah baik dan dapat terus terjaga. c.
Fosfor (P) Nilai kandungan phospor (P) tidak berbeda nyata antara UF dan IF dengan nilai UF 132,72 mg/kg dan IF 94,20 mg/kg (tabel 1). Ketersediaan Phospor dalam tanah mutlak dibutuhkan tanaman, karena Phospor merupakan unsur esensial bagi tanaman. Rendahnya kandungan Phospor ini seharusnya tidak terjadi pada pertanian organik, karena pada pertanian organik yang memanfaatkan pupuk kandang/kompos sebagai nutrisi tanaman dapat menyediakan Phospor pada mineralisasi Phospor organik akibat dekomposisi bahan organik. 28
Ketidaktersediaan unsur Phospor ini ini kemungkinan disebabkan karena adanya presipitasi P oleh Ca (menjadi kalsium trifosfat Ca2(PO4)2, yang relatif mudah larut dalam tanah, hal ini masih terjadi pada pH 6,0 dan pH di atas 7,0 (Hanafiah, 2007). Berbeda dengan pendapat Clark, et al. (1998) yang mengatakan kandungan P lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan pertanian konvensional. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan pupuk kandang dalam budidaya, pupuk kandang banyak mengandung Phospor, namun masih dalam bentuk organik, sedangkan yang dibutuhkan oleh tanaman adalah anorganik, oleh sebab itu harus melalui proses dekomposisi dengan menggunakan enzim fosfat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, jamur, serta perakaran tanaman (Nelson dan Mikkelsen, 2008). Namun dengan nilai unsur P yang tidak berbeda nyata tersebut, keberlanjuan pertanian organik dipandang masih relevan dan baik. Hal ini dikarenakan selain input yang dimasukkan lebih ramah lingkungan serta dapat memperbaiki ekologi tanah khususnya lahan pertanian.
pertanian organik ketersediaanya melimpah, maka dapat dinilai keberlajutannya sangat tinggi, sehingga pemanfaatan pupuk kandang harus dipertahankan untuk mensuplai nutrisi tanaman. e.
Kapasitas Tukar Kation (KTK) Nilai KTK lahan pertanian urban farming (UF) lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan lahan pertanian intensif (IF), dengan nilai UF sebesar 40.29 (me/100g) dan IF sebesar 3147 (me/100g) (tabel 1). Tingginya nilai KTK tanah pada pertanian organik urban farming merupakan pertanda baik, karena KTK semakin tinggi KTK maka ion-ion yang terikat pada koloid tanah dapat diserap dan dimanfaatkan oleh akar tanaman, sehingga ketersediaan unsur-unsur hara dapat tersedia oleh tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiah (2007), bahwa kation cenderung terikat oleh tanah, dan dengan memanfaatkan bahan organik yang bermuatan negatif ikatan tanah dapat terlepas sehingga dapat terserap oleh perakaran tanaman. Karena kapasitas tukar kation (KTK) merupakan jumlah muatan negatif tanah baik yang bersumber dari permukaan koloid anorganik (liat) maupun koloid organik (humus) yang merupak situs pertukaran kationkation. Penambahan bahan organik (pupuk kandang) secara signifikan mempertinggi kandungan KTK tanah (Baldwin, 2001). Peningkatan nilai KTK ini dapat diartikan ketersediaan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman tersedia di tanah, tidak lagi terikat koloid tanah, sehingga dapat dimanfaatkan tanaman dalam pertumbuhannya sehingga dengan semakin tingginya kandungan KTK tanah maka kualitas tanah semakin baik dan optimal bagi pertumbuhan tanaman, begitu pula dengan keberlanjutannnya.
d.
Kalium (K) Kandungan Kalium total berbeda nyata dengan nilai 40,28 me/100g pada pertanian organik urban farming dan 31,47 me/100g untuk intensive farming (tabel 1). Kandungan Kalium ini memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan tanaman, terutama pada percepatan pertumbuhan daerah meristem (pucuk dan tunas), selain itu juga dalam pengaturan buka, tutupnya stomata yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan air. Hal ini sekali lagi dipengaruhi oleh pemanfaatan pupuk organik dalam budidaya pertanian organik yang telah berjalan 6 tahun, menurut Bulluck III, et al., (2002) konsentrasi Kalium meningkat disebabkan penambahan pupuk kandang pada tahun kedua, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia. Selain itu pemupukan menggunakan pupuk kandang biasanya akan meningkatkan KTK tanah, yang akan juga memudahkan penyerapan K tanah (Hue dan Silva, 2000). Hal yang sama juga diungkapkan Temple (2000) bahwa pertanian organik ataupun pertanian input rendah akan meningkatkan kapasitas menahan air, serapan tanah akan air, peningkatan bahan organiks, fosfor serta Kalium. Kalium mutlak diperlukan dalam pertumbuhan tanaman, apabila dengan
f.
Bahan Organik Ketersediaan bahan organik lebih tinggi dan berbeda nyata pada pertanian organik urban farming (UF), dibandingkan intensive farming (IF) dengan nilai 8,38% (UF) dan 1,51% (IF) (tabel 1), hal ini sangat baik karena pada pertanian organik pemupukan hanya dilakukan dengan menambahkan pupuk kandang atau kompos. Ketersediaan BO dipengaruhi oleh sistem manajemen usaha pertanian secara organik dengan menambahkan pupuk kandang (Clark, et al., 1998). Peningkatan BO juga sedikit demi 29
sedikit juga terjadi pada periode transisi menuju pertanian organik (Wander, 1994), dengan penambahan bahan organik ini membuktikan kinerja dari mikroorganisme dalam dekomposisi yang akan meningkatkan kesuburan tanah (Tiensen, et al., 1994). Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik dan tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan suplai oksigen, reaksi tanah, serta ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Parr, 1992). Setiap kilogram bahan organik mempunyai kemampuan untuk menyerap air sampai 20 kali, selain itu dengan menambah bahan organik akan mengurangi hilangnya air ataupun erosi akibat run off (Hepperly, n.d.). Ketersediaan BO sangat dipengaruhi oleh fauna tanah (cacing dan arthropoda) serta perakaran tanaman, oleh karena itu rotasi tanaman sangat dianjurkan guna mempertinggi kandungan BO tanah (Mc Cauley, 1999). Menurut Baldwin (2006) peran mikroorganisme sangat komplek dan sensitif dalam mineralisasi nutrisi. Oleh karena itu dengan semakin tingginya jumlah BO tanah maka perbaikan kualitas tanah akan semakin optimal. Input (masukan) pada lahan berupa pupuk kandang semakin mempertinggi kandungan organik tanah, hal ini berimplikasi secara luas terhadap komposisi biologi, fisika dan kimia tanah menjadi lebih baik (Pimentel et al., 2005), sehingga penambahan bahan organik dari pupuk kandang ini perlu dipertahankan guna menjaga keberlanjutan pertanian organik yang ada, selain itu rotasi tanaman yang terbukti dapat meningkatkan BO juga dianjurkan.
menunjukkan perbedaan yang nyata, maka pemberian pupuk kandang pada pertanian organik urban farming, memiliki nilai C/N yang relatif rendah sehingga mikroorganisme cenderung cepat dalam mendekomposisi substrat tersebut. Menurut USDA (2011) kandungan C/N pada kotoran sapi adalah 18:1 hal ini menunjukkan mikroorganisme akan lebih cepat dalam mencerna dan lebih menyediakan Nitrogen tersedia lebih banyak. Semakin tingginya kandungan karbon yang diserap mikroorganisme tanah atau tanaman akan berdampak langsung terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga sektor pertanian yang sebelumnya berperan dalam peningkatan emisi GRK dengan sistem pertanian organik bahkan sebaliknya yakni dapat menyerap karbon secara lebih effisien, selain itu keberlanjutannya juga semakin baik. h.
Potensial Hidrogen (pH) Nilai kandungan pH tidak berbeda nyata antara urban farming dan intensive farming (tabel 1), dengan nilai sudah ideal, yakni 6,8. Peran pH sangat besar karena pada nilai pH menentukan ketersediaan unsur hara. Nilai pH tanah optimal berbeda-beda tiap komoditas, namun pH ideal adalah 6,5 sampai 7,0 karena dengan nilai pH ini unsur-unsur esensial tersedia bagi tanaman. Kandungan pH sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik, serta ketersediaan nutrisi yang dapat diserap oleh tanaman (Mc Cauley, 1999). Pada penelitian Clark, et al. (1998) pH pertanian konvensional cenderung stabil, namun pada pertanian input rendah ataupun organik menunjukkan peningkatan secara konsisten namun tetap pada pH optimal bagi ketersediaan nutrisi. Hal ini didukung oleh Bulluck III, et al., (2002) yang menyebutkan pH tanah dari penambahan bahan alternatif cenderung lebih rendah dibandingkan pupuk kimia, namun penambahan bahan alternatif seperti pupuk kandang akan meningkatkan pH menjadi lebih tinggi dari penggunaan pupuk kimia. Nilai pH antara kedua lokasi penelitian (organik dan intensif) telah ideal yakni mendekati nilai 7, karena pH optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah adalah sekitar 7,0 karena pada pH ini unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur mikro tidak maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro rendah. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca,
g.
Rasio Karbon dan Nitrogen (CN rasio) Pada pengamatan CN rasio didapatkan bahwa pertanian organik urban farming (UF) sebesar 8,25% dan berbeda nyata dibandingkan pertanian intensif (IF) 6% (tabel 1). Perbedaan yang nyata ini disebabkan karena penambahan pupuk kandang yang telah matang dan tidak lagi dalam proses dekomposisi. Sehingga rasio Carbon dan Nitrogen menunjukkan jumlah karbon dibandingkan jumlah Nitrogen pada suatu biomassa dapat seimbang, karena karbon berfungsi sebagai energi bagi mikrorganisme. Nilai C/N rasio ini sangat berhubungan dengan ketersediaan Nitrogen tanah, jika melihat kandungan Nitrogen sebelumnya yang 30
dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe, sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca dan Mg juga keracunan B dan Mo (Hanafiah, 2007). Berdasarkan nilai pH tanah diatas keberlanjutannya sudah baik dan perlu dipertahankan.
pegang air cukup kuat, namun sebagian pori akan terisi udara dan air dalam jumlah yang seimbang. Sementara lempung berpasir akan menyebabkan terbentuknya pori mikro, sehingga daya serap akan air sangat kuat dan air akan terperangkap, pada tanah jenis ini meskipun jumlah air dan nutrisi cukup baik, ketersediaan udara akan menjadi faktor pembatas aktivitas mikroba (Hanafiah, 2007). Berdasarkan indikator porositas, keberlanjuan pertanian organik urban farming sudah baik, sementara pada indikator tekstur pertanian organik tidakdapat merubah tekstur tanah.
Pengaruh Pertanian Organik Urban Farming terhadap Sifat Fisika Tanah Fungsi tanah dalam sistem usaha tani adalah sebagai media tumbuh atau sebagai tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi, baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kemudahan tanah untuk dipenetrasi ini tergantung pada ruang pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur). Kerapatan porositas akan menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara (drainase dan aerasi).
Pengaruh Pertanian Organik Urban Farming terhadap Biologi Tanah Arthropoda tanah memiliki peran yang sangat vital dalam rantai makanan khususnya sebagai dekomposer, karena tanpa organisme ini alam tidak akan dapat mendaur ulang bahan organik. Selain itu, arthropoda juga berperan sebagai mangsa bagi predator kecil yang lain, sehingga akan menjaga kelangsungan arthropoda yang lain. Sebagai konsekuensi struktur komunitas mikro arthropoda akan mencerminkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tanah, termasuk terhadap aktivitas manusia. Terjadinya perubahan lahan, khususnya pertanian, menyebabkan hilangnya biodiversitas dibandingkan dengan ekosistem yang masih alami, terutama pada pertanian intensif karena manfaat biologi dan kimia tanah sebagai habitat menurun drastis ketika terjadi perubahan dari ekosistem alami menjadi pertanian. Menurut Curry (1998) dan Lee (1991) frekuensi pengolahan lahan serta penggunaan bahan kimia berdampak besar terhadap organisme tanah. Aktivitas pertanian memiliki pengaruh positif dan negatif dalam kelimpahan, keanekaragaman serta aktivitas fauna tanah, terutama disebabkan perubahan suhu tanah, kelembaban, serta jumlah dan kualitas bahan organik (Hendrix dan Edward, 2004). Karena tanah merupakan habitat dari bakteri, jamur, serta berbagai macam fauna, seperti nematoda, arthropoda dan cacing tanah (Jeffrey et al, 2010) yang memiliki fungsi khusus dalam ekosistem (Gardi dan Jeffrey, 2009).
a.
Porositas Tanah Berdasarkan tabel 1, porositas tanah pada pertanian organik urban farming berbeda nyata dibandingkan pertanian intensif, dengan nilai 66,25% (UF) dan 55,45% (IF). Ini membuktikan pemanfaatan pupuk organik akan meningkatkan proporsi ruang pori total/ruang kosong yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati air atau udara (porositas). Menurut Krol, et al., (2013) penggunaan pupuk organik dalam waktu yang lama dapat menciptakan memperbanyak jumlah pori tanah, penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan sifat fisika tanah, khususnya porositas. Oleh karena itu pertanian organik tanpa menggunakan pupuk kimia, dinilai akan memperbaiki sifat fisika tanah, terbukti dengan meningkatnya porositas tanah, yang menunjukkan daya serap tanah akan air dapat bertambah selain itu sirkulasi oksigen juga dapat berjalan dengan baik yang juga akan menunjang aktivitas mikroba tanah. Sementara perbandingan tekstur tanah pertanian organik urban farming dan pertanian intensif relatif tetap, diduga karena penambahan pupuk organik maupun kimia tidak dapat merubah komposisi liat, lempung dan pasir dalam tanah. Tanah pertanian organik urban farming bertekstur lempung berdebu sementara pertanian intensif lempung-lepung berpasir. Dominasi debu akan menyebabkan terbentuknya pori meso dalam jumlah sedang, sehingga cukup permeabel, menyebabkan daya
a.
Keanekaragaman Arthropoda Keanekaragaman arthropoda tanah berdasarkan Indeks Shannon Weaver pada urban farming pada metode mutlak tergolong sangat rendah dengan nilai 0,92 pada lahan IF, 31
sedangkan UF 1,2 (tabel 2.) tergolong rendah dan keduanya tidak berbeda nyata. Sementara dari metode nisbi berbeda nyata antara pengamatan UF dan IF dengan nilai 2,27 (keanekaragaman sedang) pada UF dan IF 1,4 (keanekaragaman rendah). Tabel 2. Hasil Uji Arthropoda Pengamatan Mutlak (m2) Nisbi
T
berjalannya jaring-jaring makananan menuju relatif sempurna sehingga kestabilan ekosistem sebagai manfaat dari fungsi ekosistem dapat berjalan. b.
Rasio Jamur dan Bakteri Tanah Jamur dan bakteri merupakan indikator penting yang menunjukkan keberlanjutan ekosistem, seperti halnya arthropoda yang merupakan bagian dari organisme tanah sebagai dekomposer. Oleh karena itu biomassa dari jamur dan bakteri dapat dijadikan sebuah indikator dalam jaring-jaring makanan. Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa rasio antara jamur dan bakteri, lebih banyak pada pertanian organik urban farming yakni 702,5/1,95 x 1010 (jamur/bakteri), sementara intensive farming 675/1,925 x 1010 (jamur/bakteri). Dari hasil ini didapatkan bahwa jamur/bakteri pada pertanian organik urban farming dan intensive farming sebesar 0,36 dan 0,35. Data tersebut menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi bahwa rasio jamur dan bakteri semakin besar pada pertanian organik dibandingkan pertanian intensif, dikarenakan pada pemupukan yang dilakukan oleh petani pertanian organik urban farming di Desa Penanggunan rata-rata menggunakan pupuk kandang sapi ataupun kompos yang mana memiliki CN rasio relatif tinggi yakni di kisaran 20 atau lebih, pentingnya CN rasio disebabkan kualitas dari bahan organik akan menentukan organisme dekomposer.
Keanekaragaman H’
UF 1.2 2.27*
IF 0.92 1.4
Sumber : Olah Data Primer, 2012. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive Farming; Mutlak: Visual; Nisbi: Pitfall. Tanda * menunjukkan adanya perbedaan nyata menurut uji T, dengan taraf kepercayaan 95%.
Berdasarkan analisis indeks keanekaragaman arthropoda di atas, diketahui bahwa dengan pertanian organik urban farming, keanekaragaman arthropoda menjadi sedang dibandingkan pertanian intensif (intensive farming) yang memiliki keanekaragaman rendah. Hal tersebut dimungkinkan karena pada pertanian urban farmingmenggunakan pola tanam tumpang sari hingga mencapai 4-5 tanaman dalam satu mini green house, dengan semakin tingginya keanekaragaman arthropoda dalam satu hamparan pertanaman, maka ketersediaan makanan akan semakin beragam sehingga tidak akan muncul dominasi yang berpotensi menjadi hama jika ketersediaan makanan habis. Hal ini menunjukkan sistem organik berkontribusi terhadap keanekaragaman yang dapat meminimalisir pengaruh negatif dari intensifikasi pertanian, juga untuk meningkatkan kualitas habitat orthropoda (Ponce et al, 2011). Selain itu dengan tingginya keanekaragaman menunjukkan ketersediaan sumber makanan baik dari mikroorganisme maupun yang lain (Bardgett dan Cook, 1998), ditambahkan Menta (2012), keanekaragaman dipengaruhi oleh spesies tanaman, keanekaragaman/komposisi tanaman. Sehingga modifikasi pertanian organik dengan memanfaatkan pekarangan/urban farming menggunakan green house tetap mendukung keberlanjutan ekosistem karena dengan modifikasi iklim mikro dan lapisan olah tanah (top soil) serta menanam banyak jenis tanaman dalam satu hamparan akan meningkatkan keanekaragaman arthropoda yang menunjukkan
Tabel 3. Total Populasi Bakteri dan Jamur Jenis/ ulangan 1 2 3 4 Ratarata
UF Bakteri 1,3 x 1010 1,9 x 1010 1,8 x 1010 2,8 x 1010
Jamur 610 2000 100 100
IF Bakteri 1,2 x 1010 1,8 x 1010 1,2 x 1010 3,5 x 1010
Jamur 400 100 1200 1000
1,95 x 1010
702.5
1,925 x 1010
675
Sumber : Olah Data Primer, 2013. Keterangan : UF: Urban Farming; Farming.
IF:
Intensive
Hasil penelitian rasio jamur dan bakteri pada penelitian ini sesuai dengan pendapat de Vries et al., (2006) yang membuktikan bahwa pada pertanian organik rasio jamur/bakteri lebih besar dibandingkan pertanian konvensional, khususnya jamur saprophytic sebagai komponen utama dalam jaring-jaring makanan yang mana dapat mendekomposisi sisa dari residu tanaman dengan lebih baik dibandingkan 32
bakteri selain itu jamur saprophytic ini juga berperan penting dalam daur N dan P (Jonas, 2007). Sedangkan penambahan pupuk Nitrogen juga akan mengurangi jumlah jamur (de Vries, et al., 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Beare, et al., (1997) menyebutkan pada pertanian konvensional jumlah bakteri lebih banyak dari pada pertanian tanpa olah tanah. Rasio yang lebih tinggi antara jamur dan bakteri pada sistem pertanian organik mendukung perbaikan kualitas tanah dan keberlanjutan pada lahan pertanian organik yang hanya menggunakan pupuk kandang ataupun kompos dengan CN rasio tinggi, sehingga akan semakin mempercepat dekomposisi dengan bantuan dari mikroorganisme jamur dan bakteri, yang ditunjukkan dengan meningkatnya respirasi tanah (Hanuddin, 2000).
dan bakteri pada sistem pertanian organik mendukung perbaikan kualitas tanah pada lahan pertanian. Ditinjau dari aspek kualitas tanah, keberlanjutan pertanian organik urban farming ini dapat terus terjaga, baik dari kualitas tanah (kandungan kimia, sifat fisika, serta biologi khususnya rasio jamur dan bakteri tanah), sedangkan kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda juga relatif baik, meski tidak berbeda nyata dengan pertanian intensif, kecuali pada pengamatan metode nisbi keanekaragaman arthropoda permukaan tanah berbeda nyata. Hal ini membuktikan bahwa dengan memodifikasi iklim mikro kestabilan ekosistem dapat dengan sendirinya terjaga, selama dalam pemeliharaannya tidak menggunakan pupuk ataupun pestisida kimia. UCAPAN TERIMAKASIH
KESIMPULAN Penulis mengucapakan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada PUSBINDIKLATREN BAPPENAS atas bantuan pembiayaan pendidikan dan STPP Malang, Badan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian Pertanian atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Keberlanjutan aspek ekologi sudah baik, ditinjau dari kualitas tanah yaitu kandungan kimia, fisika dan biologi tanah. Kandungan kimia dan sifat fisika tanah dari uji laboratorium terhadap nilai C-organik, N total, Kalium, Bahan organik, rasio C/N, KTK,pH, tekstur dan porositas tanah keberlanjutannya telah baik, hanya unsur Phospor saja yang kurang bagus, hal ini dikarenakan unsur P ada kemungkinan larut didalam tanah karena presipitasi P oleh Ca, namun secara keseluruhan sudah baik. Sementara sifat fisika tanah dengan indikator porositas, keberlanjuan pertanian organik urban farmig sudah baik, sementara pada indikator tekstur pertanian organik tidakdapat merubah tekstur tanah. Keanekaragaman Shannon-Weaver pengamatan nisbi arthropoda dipermukaan tanah berbeda nyata antar dua pengamatan, yakni UF 2,27(keanekaragaman sedang) sedangkan IF 1,4 (keanekaragaman rendah) sehingga fungsi ekosistem dalam menciptakan keseimbangan terjadi di lahan pertanian organik urban farming meskipun menggunakan green house. Sedangkan rasio jamur/bakteri pada pertanian organik urban farming dan intensive farming sebesar 0,36 dan 0,35. Data tersebut menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi bahwa rasio jamur dan bakteri semakin besar pada pertanian organik dibandingkan pertanian intensif. Rasio yang relatif tinggi antara jamur
DAFTAR PUSTAKA Al-Kaisi. 2008. Impact of Tillage and Crop Rotation Systems on Soil Carbon Sequestration. University Extension. Iowa State University. Ames, 1996. Conservation Crop Rotation Effect on Soil Quality. USDA. Technical Note No. 2. Baldwin. Keith R. 2006. Crop Rotation on Organic Farms. Center for Environmental Farming Systems (CEFS). Bargett, Richard D. and Roger Cook. 1998. Functional Aspect of Soil Animal diversity in Agricultural Grassland. Applied Soil Ecology 10: 263-276. Beare, M.H., Parmelee, R.W., Hendrix, P.F., Cheng, W., 1992. Microbialand Faunal Interactions And Effects on Litter Nitrogen and Decompositionin Agroecosystems. Ecological Monographs 62: 569–591. Bulluck III, L. R., M. Brosius, G. K. Evanylo, J. B. Ristaino. 2002. Organic and Synthetic Fertility Amandments Influence Soil 33
Microbial, Physical and Chemical Properties on Organic and Conventional Farms. Applied Soil Ecology 19:147-160 Clark, M. S., W. R. Howard, C. Shennan, K. M. Scow. 1998. Changes in Soil Chemical Properties Resulting form Organic and Low-Input Farming Praactice. Agronomic Journal Vol. 90: 662-671 Curry, J.P., 1986. Effects of Management on Soil Decomposers and Decomposition Processes in Grassland, in: Mitchell, M.J., Nakas, J.P. (Eds.), Micro floral and FaunalInteractions in Natural and Agro Ecosystems. Nijhoff/ Junk Publishers, Dotrecht, pp.349–398 de Vries, F. T., Ellis Hoffman, N van Eekeren, L. Bruusard, dan J. Bloem. 2006. Fungal/Bacterial Ratios in Grassland with Contrasting Nitrogen Management. Soil Biology & Biochemistry 38: 2092-2103 Doran, J., 1995. Building Soil Quality. Proceedings of the 1995 Conservation Workshop on Opportunities and Challengesin Sustainable Agriculture. Red Deer, Alta., Canada, Alberta Conservation Tillage Society and Alberta Agriculture Conservation, Development Branch, pp. 151–158. Drinkwater, L.E., Letourneau, D.K., Workneh, F., van Bruggen, A.H.C., Shennan, C., 1995. Fundamental Differences Between Conventional and Organic Tomato Agroecosystems in California. Ecol. Appl. 5, 1098–1112. Fließbach, Andreas, Hans-Rudolf Oberholzer, LucieGunst, Paul Ma¨der., 2007. Soil Organic Matter and Biological Soil Quality Indicators after 21 Years of Organic and Conventional Farming. Agriculture, Ecosystems and Environment 118 (2007) 273–284. Gardi, C. dan Jeffrey S., 2009. Soil Biodiversity. European Commission Joint Research Centre, Institute for Enviromental and Sustainability, Land Management and Natural Hazards Unit. Ghosh, P.K., Dayal, D., Mandal, K.G., Wanjari, R.H., Hati, K.M., 2003. Optimization of Fertilizer Schedules in Fallow and Groundnut-based Cropping Systems and an Assessment of System Sustainability. Field Crops Res. 80: 83–98. Hallberg, 2009. Using Community Gardens to Augment Food Security Efforts in LowIncome Communities. Major Paper. Virginia Tech. USA.
Hanafiah, Kiemas Ali. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta Hanudin, E., 2000. Pedoman Analisis Kimia Tanah (dilengkapi dengan teori, Prosedur dan Keterangan). Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Hendrix, P. F. And Edward C. A. 2004. Earthworm in Agroecosystems: research Approarches, in: Edward, C. A. (Eds.), Earthworm Ecology, second ed. CRC Press, Boca Raton, London, New York: 287-295 Hepperly, Paul Reed, n. d., The Impact of Agriculture and Food Systems on Greenhouse Gas, Energy Use, Economics and the Environment. Rodale Institute. USA. Hepperly, Paul, Rita Seidel, David Pimentel, James Hanson, and David Douds Jr. 2007. Organic Farming Enhances Soil Carbonand its Benefits. Howard, P.J.A., 1993. Soil protection and Soil Quality Assessment in the EC. Sci. Tot. Env. 129: 219–239. Hue, N. V. dan J. A. Silva. 2000. Plant Nutrient Management in Hawaii’s Soils, Approaches for Tropical and Subtropical Agriculture. College of Tropical Agriculture and Human Resources, University of Hawaii at Manoa. IEA, 2006. World Energy Outlook 2006. Paris: International Energy Agency Jeffrey S, Gardi C, Jones A, Montanarella L, Marmo L. Miko L, Ritz K, Peres G, Rombke J, var der Putten WH. 2010. European Atlas of Soil Biodiversity. European Commission, Publication Office of the European Union. Krol, A., J. Pipiec, M. Turski & J. Kus. 2011. Effect of Organic and Conventional Management on Physical Properties of Soil Agregates. Int. Agrophys 27: 15-21 Lal, R.,2004. Global Potential of Soil Carbon Sequestration to Mitigate the Greenhouse Effect. Geoderma 123: 1 –22. Lee, K.E., 1991. The diversity of Soil Organisms, in: Hawksworth, D.L. (Eds.), The Biodiversity of Microorganisms and Invertebrates: Its Role in Sustainable Agriculture. CABI, Wallingford, 73–86. Mc Cauley, Ann. 1999. Soil pH and Organic Matter. Nutrient Management Module No. 8. Montana State University Extention. 4449-8
34
Menta, Cristina. 2012. Soil Fauna DiversityFunction, Soil Degradation, Biological Indices, Soil Restoration. Intech. Nelson, Nathan dan Robert Mikkelsen. 2008. Meeting the Phosporus Recuirement on Organic Farm. Better Crops Vol. 92 No. 1. Pannel, David J. dan Nicole A. Glen, 2000. A Framework for The Economic Evaluation and Selection Ofsustainability Indicators in Agriculture. Ecological Economics 33: 135–149 Parr, J. F., S. B. Hornic, and R. I. Papendick, 1992. Soil Quality: The Foundation of a Sustainable Agriculture. Amer.J. Alternative Agric. 7(1,2):2-3. Pimentel, D., P. Hepperly, J. Hanson, D. Douds, dan R. Seidel, 2005. Environmental, Energetic, and Economic Comparisons of Organic and Conventional Farming Systems. BioScienceVol. 55 No. 7: 573-578. Ponce, Carlos, Carolina Bravo, David Garcia de Leon, Maria Magana dan Juan Carlos Alonso. 2011. Effect on Organic Farming on Plant and Arthropod Communities: A Case Study in Mediterranean Dryland Cereal. Agricultural, Ecosystems and Environment 141: 193-201 Purwanto, Semiarto Aji. 2010. Bertani di Kota, Berumah di Desa: Studi Kasus Pertanian Kota di Jakarta Timur. Disertasi. UI. Jakarta. Roming, D.E., Garlynd, M.J., Harris, R.F., McSweeney, K., 1995. How Farmers Assess Soil Health and Quality (Special Issue Onsoil Quality). J. Soil Water Conserv. 50: 229–236. Stamatiadis, S., Werner, M., Buchanan, M. 1999. Field Assessment of Soil Quality as Affected by Compost and Fertilizer Application in Brocolly Field. Appl. Soil. Ecol. 12: 217-225
Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian Organik menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Jakarta Temple, Steve. 2002. The Transition From Conventional to Low-Input or Organic Farming Systems: Soil Biology, Soil Chemistry, Soil Physics, Energy Utilization, Economics, and Risk. Sustainable Agriculture Research and Extension (SARE) Project Report SW99008. 18 April, 2007. Tiensen, H. E. Cuevas and P. Chacon. 1994. The Role of Soil Organic matter in sustainig soil Fertility. Nature 371: 783785 USDA. 2011. Carbon to Nitrogen Ratios in Cropping Systems. http//:soils.usda.gov/ sqi. Diakses tanggal 3 September 2013 Wander, M. W. 1997. Soil Quality Characteristic During Convertion to Organic Orchad Management. App. Soil Ecol.5: 151-167 Williamson, E.A. 2002. A Deeper Ecology: Community Gardens in the Urban Environment: An Analytical Paper. College of Human Resources, Education, andPublic Policy, University of Delaware. Zhen, Lin dan Routray, Jayant K. 2003. Operational Indicators for Measuring Agricultural Sustainability in Developing Countries. Environmental Management Vol. 32, No. 1, pp. 34–46. Contact Person Nama : Ferdianto Budi Samudra, S.P., M.Si. Instansi : STPP Malang, Jl Dr. Cipto 144A Bedali, Lawang, Malang Email :
[email protected] HP : 081334251557
35
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 36 - 47
ISSN : 2088-2440
ANALISIS PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI (KASUS KEMITRAAN DI PG. CANDI BARU KECAMATAN CANDI, KABUPATEN SIDOARJO) Lintar Brillian Pintakami Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar Email:
[email protected] Abstract: Development of the agricultural sector is not only a priority to food crops, but also maintain the plantation crops. One of the commodities that today many cultivated, either by large plantations and smallholders are sugarcane (Saccharum officinarum L). Commodities development of sugar cane in fact currently experiencing problems. Partnership is an appropriate form of cooperation to overcome the obstacles farmers. Partnership was developed on the basis of the economic aspects and the coaching to produce long-term benefits. PG. Candi Baru located in the town of Sidoarjo are factory built by the Dutch and is a producer of sugar Superior Hooft Suiker I (SHS I). Since 1832 the company way until now faced a lot of hurdles one milling capacity is still small. To overcome this problem, one solution is carried out by PG. Candi Baru is to establish a good partnership with farmers. Thus, in this study it is important to analyze the influence of partnerships to increase farm income and analyze the effect of the use of sugar cane production factors between partner and non-partner farmers (farmers TR KSU and TRM) to determine the efficiency of the use of production factors. Sugarcane farmers' income People's Partnership Enterprises (TR KSU) is greater than the People's Independent Sugarcane farmers (TRM) with an average farm income of farmers Sugar Cane Farmers Cooperation Enterprises (TR KSU) is Rp. 16,783,456 per ha, while the average farm income of farmers Sugarcane Independent People (TRM) is Rp. 11,918,102 per ha. The difference was due to the production of sugar cane and sugar cane farmers yield the People's Partnership Enterprises (TR KSU) is greater than the production of sugar cane Sugarcane growers Independent People (TRM). Based on the R-square value indicates the value of 1.00 or 100%. This demonstrates the ability of the independent variables to explain the dependent variable by 100%. Calculate the F value indicates the value of 1000000, while the significance of the F value indicates the value of 0.0001 or 0.01%. Selected based on the degree of error is 10%, thus the value of the F-count as being significant because its value is less than 10%. Based on the value of T with the degree of error of 10% indicates variables - variables that affect the yield and income is the result of drops. Keywords: patnership, efficiency, factors of production PENDAHULUAN Pada negara-negara yang baru berkembang seperti di Indonesia, pembangunan nasional sebagian besar mengacu pada sektor pertanian (Soedarmanto, 2003). Pembangunan pada sektor pertanian tidak hanya mengutamakan tanaman pangan, tetapi juga mempertahankan tanaman perkebunan. Salah satu komoditas perkebunan yang dewasa ini banyak diusahakan, baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat adalah tebu (Saccharum officinarum L).
Pembangunan komoditas tebu tersebut pada kenyataannya saat ini mengalami kendala. Pada umumnya kendala yang dihadapi petani, khususnya petani tebu adalah permodalan, baik pada saat awal penanaman ataupun sampai dengan pasca panen. Selain itu masalah fluktuasi harga, sarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida), harga jual produksi, persaingan antar petani tebu besar dan kecil, minimnya teknologi, dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas dalam menyalurkan hasil panen tebunya. Sedangkan permasalahan yang dialami oleh perusahaan adalah pemenuhan pasokan
bahan baku gula yang harus selalu tersedia dengan kualitas dan kuantitas tebu yang baik, maka diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan. Kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama yang tepat untuk mengatasi kendala petani tersebut. Kemitraan dikembangkan atas dasar aspek ekonomis dan dengan pembinaan untuk menghasilkan manfaat jangka panjang. Hubungan kemitraan diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan seperti dalam hal permodalan, teknologi, saprodi, penetapan harga, serta pemasaran hasil dengan mendapat bantuan dari pihak luar (Hafsah, 2000). PG. Candi Baru yang berlokasi di kota Sidoarjo adalah pabrik yang di bangun oleh Belanda dan merupakan perusahaan penghasil gula Superior Hooft Suiker I (SHS I). Semenjak perjalanan perusahaan tahun 1832 sampai sekarang banyak rintangan yang dihadapi salah satunya kapasitas giling yang masih kecil. Hal ini dikarenakan masih sulitnya pengadaan bahan baku gula (tebu). Untuk mengatasi permasalahan ini, salah satu solusi yang dilakukan oleh PG. Candi Baru adalah dengan menjalin kemitraan yang baik dengan petani tebu. Dalam sejarah kemitraan di PG. Candi Baru, semenjak pencabutan Inpres Nomor 9 pada tahun 1995 kemitraan di dalam wilayah kerja PG. Candi Baru disebut Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU). Adanya perbedaan karakteristik antara petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) perihal pembinaan tentunya akan berpengaruh terhadap produktivitas tebu dari masing-masing petani. Sehingga dalam penelitian ini penting untuk menganalisis pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu dan menganalisis pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi antara petani mitra dan non mitra (petani TR KSU dan TRM) untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktor produksi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi petani tebu rakyat bahwa pelaksanaan kemitraan akan memberikan keuntungan bersama bagi kedua belah pihak yang bermitra.
1. 2.
Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu di PG. Candi Baru? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani tebu di PG. Candi Baru?
Tujuan Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu di PG. Candi Baru. 2. Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani tebu di PG. Candi Baru. METODE PENELITIAN Metode Penentuan Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan mengambil lokasi di PG. Candi Baru, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan April hingga Juni 2013. Spesifikasi Model
Gambar 1. Keterkaitan antara variabel endogen dan variabel eksogen dalam analisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor produksi.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang dikaji pada penelitian yakni: 37
Teknik Pendugaan Teknik pendugaan untuk menjawab pertanyaan pertama adalah menggunakan analisis usahatani yang meliputi:
3.
Analisis Pendapatan Usahatani Tebu Pendapatan usahatani dihitung berdasarkan pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dengan menggunakan rumus:
1.
Analisis Biaya Produksi Usahatani Untuk mengetahui biaya yang digunakan dalam usahatani, menggunakan rumus:
Pd = TR – TC .............................................(3) Keterangan: Pd = Pendapatan usahatani TR = Total penerimaan TC = Total biaya
TC = FC + VC ………………………….. (1) Keterangan: TC = Total Biaya Produksi FC = Biaya tetap, biaya yang relatif tetap jumlahnya (sewa lahan) VC = Biaya tidak tetap, biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (biaya garap, biaya pupuk, biasa jasa KPTR, biaya fee dan explo tetes, biaya APTRI, biaya fee lelang, biaya zak, serta bunga pinjaman) 2.
Pendapatan Usahatani Tebu (Pd) Pendapatan usahatani tebu dihitung berdasarkan pengurangan antara penerimaan total dengan biaya total selama satu proses produksi usahatani, dimana didalamnya terdapat biaya produksi, biaya transaksi dan dinyatakan dengan Rp/ha/musim tanah. Pendapatan usahatani dirumuskan sebagai berikut: Pd1/2 = TR1/2 – TC1/2 Pd1/2 = TR1/2 – (PC1/2 + TrC1/2)
TRgula = Q x Rendemen x P gula ……………(2)
dimana: Pd = Pendapatan usahatani tebu (Rp) TR = Total penerimaan (Rp/ha) TC = Biaya total usahatani tebu (Rp/ha) PC = Biaya produksi (Rp/ha) TrC = Biaya bunga pinjaman dari PG. Candi Baru 1 = Bermitra dengan PG. Candi Baru 2 = Tidak bermitra dengan PG. Candi Baru (Soekartawi, 1995)
Analisis Penerimaan Usahatani Penerimaan adalah keseluruhan penerimaan yang diperoleh petani sebelum dikurangi biaya-biaya produksi yang dikeluarkan petani. Dalam penelitian ini penerimaan diperoleh dari dua macam yaitu penerimaan dari unsur gula dan penerimaan dari unsur tetes. Perhitungan penerimaan usahatani dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
dimana: TR gula
Sedangkan teknik pendugaan untuk menjawab pertanyaan kedua menggunakan uji statistik dilakukan untuk mengetahui apakah model yang terbentuk telah memenuhi asumsi dalam metode kuadrat terkecil (OLS). Pertama, model diuji terlebih dahulu dengan melihat koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui kemampuan peubah-peubah bebas (faktor produksi/input) secara simultan dalam menjelaskan keragaman peubah tak bebasnya (produksi/output hasil). Bila nilai koefisien determinasi tinggi maka model yang digunakan adalah baik. Koefisien determinasi dari suatu model dirumuskan sebagai berikut:
: Total penerimaan dari unsur gula (Rp) Q : Jumlah produksi tebu Rendemen : Jumlah gula yang terkandung dalam 100 kg tebu P gula : Harga jual gula (Rp) TRtetes = Q x Ptetes dimana: TRtetes Q Ptetes
: Total penerimaan dari unsur tetes (Rp) : Jumlah produksi tebu : Harga/uang ganti tetes per kuintal tebu (Rp/kuintal)
R2 =
38
Apabila nilai R2 yang di peroleh tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien regresi dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai dengan teori maka model yang digunakan berhubungan dengan masalah multikolinearitas yaitu terjadi korelasi linear yang erat antara parameter bebas (Drepper dan Smith, 1992). Untuk mengatasi adanya multikolinearitas, koefisien regresi dapat diduga dengan Metode Analisis Komponen Utama (Principal component analysis method). Kedua, pengujian terhadap koefisien regresi, baik secara keseluruhan maupun secara tersendiri. Uji keseluruhan dilakukan dengan uji-F, yaitu untuk mengetahui apakah sekurangkurangnya satu peubah bebas yang digunakan dalam model berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas (Drapper dan Smith, 1992). Perhitungan penduga parameter persamaan struktural dilakukan dengan menggunakan program computer SAS versi 9,1 (Statistical Analysis System Econometric Time Series) terhadap data sekunder time series periode 1981-2005. Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masingmasing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala (lag endogenous variabel), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (Durbin Watson Statistik) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan uji statistik dh (Durbin-h statistiks) (pindyck dan Rubinfeld, 1991), sebagai berikut:
dimana: h d n Var (β)
= = = =
Apabila h-hitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial kolerasi. Simulasi Tujuan simulasi model adalah untuk melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, mengevaluasi kebijakan-kebijakan pada masa lampau, membuat peramalan untuk masa yang akan datang (Pyndick dan Rubinfield, 1991). Simulasi diperlukan untuk mempelajari dampak perubahan peubah-peubah eksogen terhadap peubah-peubah endogen dalam model. Peubah Eksogen: R = Rendemen BT = Bagi Hasil tetes BG = Bagi Hasil Gula M = Mitra LH = Lahan IR = Irigasi I = Income Peubah Endogen: π = P.Q – Px.X – F
0 Px
= P.MP – Px = P.MP
Endogenus 1. π 2. BG 3. QG 4. QT 5.
= = = =
PG.QG –BG 0,3 PGQG – BT QTRG f (bibit, pupuk, irigasi, LH, TK, Kepras, T) Pupuk = f (income, mitra)
Validasi Model Validasi model bertujuan untuk mengetahui tingkat representasi model dibandingkan dengan dunia nyata sebagai dasar untuk melakukan simulasi. Berbagai kriteria statistik dapat digunakan untuk validasi model ekonometrika dengan membandingkan nilainilai aktual dan dugaan peubah-peubah endogen (Klein, 1993). Validasi model dilakukan dengan menggunakan Root Means Squares Error (RMSE), Root Means Percent Squares Error (RMSPE) dan Theil’ Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:
Angka statistik durbin-h dw statistik Jumlah observasi, dan Varian koefisien regresi untuk lagged dependent variabel
39
5.
Apabila yang berubah adalah variabel Mitra, maka bagaimana dengan: a. Qt (Kuantitas Tebu) b. Pupuk c. TK (Tenaga Kerja) d. Bibit HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Usahatani Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) 1. Biaya Usahatani Biaya usahatani yang diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Berikut ini merupakan rincian biaya-biaya tersebut:
dimana: Yts = Nilai hasil simulasi dasar dari variable observasi Yta = Nilai actual variable observasi n = Jumlah periode observasi
a.
Biaya Tetap Biaya tetap merupakan biaya yang besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh nilai produksi. Biaya tetap yang diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya sewa lahan. Sementara itu dalam penelitian ini tidak dimasukkan biaya penyusutan alat dan pajak sewa lahan sebagai komponen penyusun biaya tetap. Biaya penyusutan tidak dimasukkan karena biaya tersebut telah tergabung dalam unsur biaya garap. Rata-rata biaya sewa lahan yang dikeluarkan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 8.925.000 dan rata-rata biaya sewa lahan pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah Rp. 8.909.091. Selisih biaya sewa lahan di antara keduanya adalah sebesar Rp. 15.909. Adanya perbedaan nilai sewa tersebut disebabkan karena beberapa faktor diantaranya letak lahan kaitannya dengan akses jalan, kesuburan, jenis lahan (tegal atau sawah) maupun kemudahan irigasi.
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Disamping itu, validasi model juga dapat dijelaskan dari nilai koefisien determinsi (R2),semakin besar nilai tersebut semakin besar proporsi variasi perubahan peubahe ndogen yang dapat dijelaskan oleh variasi dalam peubah penjelas sehingga model semakin baik. Variabel yang Di Simulasi: 1. Apabila yang berubah adalah variabel R = Rendemen, maka bagaimana dengan: a. Qg (Kuantitas Gula) b. π (Pendapatan) c. Bg (Bagi Hasil Gula) d. Pg (Harga Gula) 2. Apabila yang berubah adalah variabel BT= Bagi Hasil Tetes, maka bagaimana dengan: a. Bg (Bagi Hasil Gula) b. π (Pendapatan) 3. Apabila yang berubah adalah variabel I= Income, maka bagaimana dengan: a. TK (Tenaga Kerja) b. Bibit c. Pupuk 4. Apabila yang berubah adalah variabel LH= Lahan, maka bagaimana dengan: Qt (Kuantitas Tebu)
b.
Biaya Variabel Biaya variabel usahatani tebu meliputi biaya pupuk, biaya garap, jasa KUD/KPTR, fee dan explo tetes, APTRI, fee lelang, zak, bunga pinjaman, dan biaya panen yang terdiri dari biaya tebang dan angkut. Sementara itu biaya bibit tidak dimasukkan dalam komponen penyusun biaya variabel karena sebagian besar responden dalam penelitian ini melakukan usahatani tebu keprasan. Rincian biaya variabel yang dikeluarkan petani responden ditunjukkan dalam tabel 1.
40
Tabel 1. Rata-rata Biaya Variabel per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam No
Rincian Biaya Variabel
1 2
Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (Rp/Ha) 6.500.000
Biaya Garap Biaya Pupuk - ZA 855.000 - Phonska 1.162.500 3 Jasa KUD/KPTR 18.652 4 Fee & ExploTetes 41.967 5 APTRI 13.989 6 Fee Lelang 22.849 7 Zak 302.973 8 Bunga Pinjaman 455.000 9 Biaya Panen - Tebang 3.823.650 - Angkut 2.238.234 Jumlah Biaya 15.434.814 Variabel Sumber: Data Primer Diolah, 2013
Tabel 2.
No
Besarnya selisih rata-rata biaya variabel per ha pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 1.265.837. c.
Total Biaya Rata-rata total biaya usahatani pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 24.359.814 per ha dan rata-rata total biaya usahatani pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 23.078.068 (tabel 2). Total biaya yang dikeluarkan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan selisih sebesar Rp. 1.281.746. Adanya perbedaan total biaya tersebut disebabkan karena beberapa hal diantaranya kelas lahan sewa yang berbeda-beda, biaya garap berdasarkan kebijakan pada masing-masing petani, bunga pinjaman, dan ada tidaknya pembayaran jasa KUD/KPTR pada masing-masing petani.
Petani Tebu Rakyat Mandiri (Rp/Ha) 5.000.000 1.020.000 1.080.000 0 37.925 12.642 19.371 256.857 0 4.213.864 2.528.318 14.168.977
Rata-rata Total Biaya per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam Rincian Biaya
Biaya Tetap - Biaya Sewa Lahan Jumlah Biaya Tetap 2 Biaya Variabel - Biaya Garap - Biaya Pupuk • ZA • Phonska - Jasa KUD/KPTR - Fee & Explo Tetes - APTRI - Fee Lelang - Zak - Bunga Pinjaman - Biaya Panen • Tebang • Angkut Jumlah Biaya Variabel Total Biaya Usahatani Sumber: Data Primer Diolah, 2013
Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (Rp/Ha)
Petani Tebu Rakyat Mandiri (Rp/Ha)
8.925.000 8.925.000
8.909.091 8.909.091
6.500.000
5.000.000
855.000 1.162.500 18.652 41.967 13.989 22.849 302.973 455.000
1.020.000 1.080.000 0 37.925 12.642 19.371 256.857 0
3.823.650 2.238.234 15.434.814 24.359.814
4.213.864 2.528.318 14.168.977 23.078.068
1
2.
Penerimaan Usahatani Perhitungan penerimaan usahatani tebu dilakukan dengan menghitung nilai gula dan nilai tetes. Penerimaan petani tebu dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya rendemen, jumlah fisik yang dihasilkan, dan harga lelang
gula. Jika ketiga faktor tersebut memiliki nilai yang tinggi maka semakin tinggi pula penerimaan petani. Apabila rendemen konstan, tetapi jumlah produksi dan harga lelang gula tinggi maka akan tetap memberikan penerimaan yang tinggi bagi petani.
41
Tabel 3.
No
Rata-rata Penerimaan Per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha
Rincian Penerimaan
1 2 3
Produksi Tebu/Ha/Kwi Rendemen SHS Produksi Gula Penerimaan Hasil Gula 4 Harga tetes Penerimaan Hasil Tetes Total Penerimaan Sumber: Data Primer Diolah, 2011
933 4,9% 46 Rp. 39.100.000 Rp. 730 Rp. 2.043.270 Rp. 41.143.270
3.
Pendapatan Usahatani Hasil pendapatan yang diperoleh petani pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani yang lain karena semua petani di lokasi penelitian melakukan Tabel 4. No
Petani Tebu Rakyat Mandiri 843 4,6% 39 Rp. 33.150.000 Rp. 730 Rp. 1.846.170 Rp. 34.996.170
usahatani dengan sistem kepras sehingga tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bibit. Ratarata pendapatan tiap hektar pada masingmasing petani dapat dilihat dalam tabel 4 berikut ini.
Rata-rata Pendapatan Per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Rincian
1 Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha 2 Petani Tebu Rakyat Mandiri Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Penerimaan (Rp/Ha) 41.143.270 34.996.170
Berdasarkan tabel 4, pendapatan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar daripada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan rata-rata pendapatan usahatani pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 16.783.456 tiap
Total Biaya (Rp/Ha) 24.359.814 23.078.068
Pendapatan (Rp/Ha) 16.783.456 11.918.102
Nilai t hitung 6,176
hektar, sedangkan rata-rata pendapatan usahatani petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 11.918.102 tiap hektar. Selisih pendapatan pada keduanya adalah sebesar Rp. 4.865.354 tiap hektar.
Analisis Pengaruh Kemitraan Terhadap Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Tebu di PG. Candi Baru 1. Hasil Estimasi Model dan Validasi Model Sistem SAS Prosedur SYSLIN Descriptif Statistik Uncorrected Variables Intercept lI lrendemen llahan lBT d1
Std Sum 30.0000 523.1 46.6604 44.8461 434.2 15.0000
Mean 1.0000 17.4376 1.5553 1.4949 14.4731 0.5000
SS 30.0000 9122.4 72.6148 86.2485 6284.3 15.0000
Variance 0 0.0115 0.00143 0.6624 0.00815 0.2586
Deviation 0 0.1074 0.0379 0.8139 0.0903 0.5085
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model lI Dependent Variable lI Analysis of Variance Source Model
DF 4
Sum of Squares 0.334494
42
Mean Square 0.083624
F Value 1000000
Pr > F <.0001
Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
25 29
2.18E-9 0.334494
0.00001 17.43757 0.00005
8.72E-11
R-Square Adj R-Sq
1.00000 1.00000
Parameter Estimates Variable Intercept lrendemen llahan lBT d1
DF 1 1 1 1 1
Estimate 1.492110 0.946644 5.861E-6 0.999999 0.000107
Parameter Error 0.000347 0.000119 2.333E-6 0.000021 8.8E-6
Standard t Value Pr > |t| 4298.40 <.0001 7972.29 <.0001 2.51 0.0188 47517.5 <.0001 12.19 <.0001
b.
Interpretasi Dummy Intersep Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai FHitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai 0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari 10%.
Bagi Hasil tetes = setiap penambahan bagi hasil tetes sebesar 1% akan meningkatkan income sebesar 1 satuan. Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 D Jika D = 1 Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 (1) Income = 1,500107 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes Jika D = 0 Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 (0) Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes
Parameter Estimasi Model yang dihasilkan adalah: Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 D Berdasarkan nilai T dengan derajat kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel variabel yang berpengaruh terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes a. Rendemen = setiap penambahan rendemen sebesar 1% akan meningkatkan income sebesar 1 satuan.
Berarti perbedaan produksi antara D = 1 dan D = 0 adalah 0,000107.
Sistem SAS Prosedur SYSLIN Descriptif Statistik Uncorrected Std Variables Sum Mean Intercept 30.0000 1.0000 lI 523.1 17.4376 lrendemen 46.6604 1.5553 llahan 44.8461 1.4949 lBT 434.2 14.4731 slop 30096680 1003223
SS 30.0000 9122.4 72.6148 86.2485 6284.3 6.118E13
43
Variance Deviation 0 0 0.0115 0.1074 0.00143 0.0379 0.6624 0.8139 0.00815 0.0903 1.068E12 1033602
Source Model Error Corrected Total
DF 4 25 29
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.00001 17.43757 0.00006
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model lI Dependent Variable lI Analysis of Variance Sum of Mean Squares Square F Value 0.334494 0.083624 1000000 2.43E-9 9.72E-11 0.334494 R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
1.00000 1.00000
Parameter Estimates Variable Intercept lrendemen llahan lBT slop
DF 1 1 1 1 1
Estimate 1.493557 0.946685 7.802E-6 0.999894 5.53E-11
Parameter Standard Error t Value 0.000453 3296.73 0.000123 7687.57 2.418E-6 3.23 0.000025 39966.5 4.84E-12 11.44
Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai FHitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai 0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari 10%.
b.
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0035 <.0001 <.0001
Bagi hasil tetes = setiap penambahan bagi hasil tetes sebesar 1% akan meningkatkan income sebesar 1 satuan. Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + (0,99 + 5,53 D) bagi hasil tetes Jika D = 1 Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + (0,99 + 5,53 (1)) bagi hasil tetes Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + 6,52 bagi hasil tetes Jika D = 0 Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + (0,99 + 5,53 (0)) bagi hasil tetes Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + 0,99 bagi hasil tetes
Parameter estimasi Model yang dihasilkan adalah: Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + (0,99 + 5,53 D) bagi hasil tetes Berdasarkan nilai T dengan derajat kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes. a. Rendemen = setiap penambahan rendemen sebesar 1% akan meningkatkan income sebesar 1 satuan.
Berarti perbedaan produksi antara D = 1 dan D = 0 untuk bagi hasil tetes adalah 5,53.
44
Sistem SAS Prosedur SYSLIN Descriptif Statistik Uncorrected Std Variables Sum Intercept 30.0000 lI 523.1 lrendemen 46.6604 llahan 44.8461 lBT 434.2 d1 15.0000 slop 30096680
Mean 1.0000 17.4376 1.5553 1.4949 14.4731 0.5000 1003223
SS 30.0000 9122.4 72.6148 86.2485 6284.3 15.0000 6.118E13
Variance 0 0.0115 0.00143 0.6624 0.00815 0.2586 1.068E12
Deviation 0 0.1074 0.0379 0.8139 0.0903 0.5085 1033602
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model lI Dependent Variable lI Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 5 24 29
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.00001 17.43757 0.00005
Sum of Squares 0.334494 2.182E-9 0.334494
Mean Square 0.066899 9.09E-11
R-Square Adj R-Sq
F Value 1000000
Pr > F <.0001
1.00000 1.00000
Parameter Estimates Variable Intercept lrendemen llahan lBT d1 slop
DF 1 1 1 1 1 1
Estimate 1.492055 0.946644 5.795E-6 1.000002 0.000111 -204E-14
Parameter Standard Error t Value 0.001005 1484.92 0.000122 7779.86 2.632E-6 2.20 0.000070 14348.8 0.000067 1.66 3.49E-11 -0.06
Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai Fhitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai 0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai Fhitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari 10%.
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0376 <.0001 0.1097 0.9539
Berdasarkan nilai T dengan derajat kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes. a. Rendemen = setiap penambahan rendemen sebesar 1% akan meningkatkan income sebesar 1 satuan. b. Bagi hasil tetes = setiap penambahan bagi hasil tetes sebesar 1% akan meningkatkan income sebesar 1 satuan.
Parameter Estimasi Model yang dihasilkan adalah: Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + (1 + 0,0001 D) bagi hasil tetes – 204 D
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + (1 + 0,0001 D) bagi hasil tetes – 204 D 45
banyak, menambah tenaga kerja meningkatkan penggunaan pupuk.
Jika D = 1 Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + (1 + 0,0001 (1)) bagi hasil tetes – 204 (1) Income = 205,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + 1,0001 bagi hasil tetes
4.
Variabel Lahan Semakin luas areal maka Qt (kuantitas tebu) semakin banyak. 5.
Jika D = 0 Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + (1 + 0,0001 (0)) bagi hasil tetes – 204 (0) Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + 1 bagi hasil tetes Berarti perbedaan produksi antara D = 1 dan D = 0 untuk intersep adalah 204 sedangkan untuk bagi hasil tetes adalah 0,0001 2. Simulasi 1. Variabel R (Rendemen) a. Apabila R (rendemen) meningkat maka pengaruh ke Qg (Kuantitas Gula) juga akan meningkat. b. Apabila R (rendemen) meningkat maka akan meningkatkan π (Pendapatan). c. Semakin besar R (rendemen) maka Bg (bagi hasil gula) yang didapat semakin tinggi. d. Apabila R (rendemen) terjadi perubahan maka tidak akan mengakibatkan perubahan pada Pg (harga gula), karena Pg (harga gula) tidak dipengaruhi oleh kuantitasnya tapi oleh kualitasnya. 2.
serta
Variabel Mitra a. Dengan bermitra, maka akan meningkatkan Qt (kuantitas) tebu, karena tujuan petani bermitra adalah untuk meningkatkan produktifitas. Melalui bimbingan teknik budidaya tebu sesuai dengan baku teknis. b. Dengan adanya kemitraan, maka akan mengurangi biaya produksi dari segi pengadaan pupuk, dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah bagi petani mitra. c. Apabila petani bermitra, maka akan mendapatkan bantuan modal sehingga mampu meningkatkan tenaga kerja. d. Dengan adanya kemitraan, maka akan mengurangi biaya produksi dari segi pengadaan bibit, dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah bagi petani mitra. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan di PG. Candi Baru, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo mengenai analisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor produksi dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapatan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar dibandingkan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan rata-rata pendapatan usahatani pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 16.783.456 tiap ha, sedangkan rata-rata pendapatan usahatani petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 11.918.102 tiap ha. Perbedaan tersebut disebabkan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) selalu diberikan pembinaan oleh PG. Candi Baru karena merupakan petani mitra sedangkan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) tidak. Jadi PG. Candi Baru menyediakan petunjuk baku teknis budidaya tebu yang dianjurkan untuk petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan sebagai penunjang dari kegiatan pembinaan kepada petani mitra maka pada setiap wilayah PG dibentuk satu Forum
Variabel BT (Bagi Hasil Tetes) a. Jika BT (bagi hasil tetes) berubah tidak akan berubah terhadap Bg (bagi hasil gula), karena tetes merupakan produk sampingan dari gula sehingga dibagikan atau tidak tidak akan mempengaruhi jumlah gula. Karena tetes merupakan sisa hasil produksi gula, dilakukan bagi hasil atau tidak. Maka tidak akan mempengaruhi Bg (bagi hasil gula). b. Jika BT (bagi hasil tetes) ditiadakan maka dampaknya terjadi penurunan π (pendapatan) petani.
3.
Variabel I (Income) I (Income) mempengaruhi daya beli petani sehingga mampu meningkatkan kemampuan menambah bibit dalam jumlah yang lebih 46
2.
3.
4. 5.
6.
Temu Kemitraan (FTK) dan pada setiap wilayah Kecamatan dibentuk satu FTW (Forum Temu Wilayah). Selain itu besarnya biaya panen yang terdiri dari biaya tebang dan angkut pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) lebih besar dibandingkan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU). Hal ini dikarenakan kuantitas trast (kotoran tebu) petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) lebih banyak, sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar. Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai F- Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai 0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari 10%. Berdasarkan nilai T dengan derajat kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes. Variabel yang di simulasi adalah R (rendemen), BT (Bagi Hasil Tetes), I (Income), LH (Lahan), dan variabel Mitra. Hasil simulasi Variabel R (Rendemen): a. Apabila R (rendemen) meningkat maka pengaruh ke Qg (Kuantitas Gula) juga akan meningkat. b. Apabila R (rendemen) meningkat maka akan meningkatkan π (Pendapatan). c. Semakin besar R (rendemen) maka Bg (bagi hasil gula) yang didapat semakin tinggi. d. Apabila R (rendemen) terjadi perubahan maka tidak akan mengakibatkan perubahan pada Pg (harga gula), karena Pg (harga gula) tidak dipengaruhi oleh kuantitasnya tapi oleh kualitasnya. Hasil simulasi Variabel BT (Bagi Hasil Tetes): a. Jika BT (bagi hasil tetes) berubah tidak akan berubah terhadap Bg (bagi hasil gula), karena tetes merupakan produk sampingan dari gula sehingga dibagikan atau tidak tidak akan mempengaruhi jumlah gula. Karena tetes merupakan sisa hasil produksi
gula, dilakukan bagi hasil atau tidak. Maka tidak akan mempengaruhi Bg (bagi hasil gula). b. Jika BT (bagi hasil tetes) ditiadakan maka dampaknya terjadi penurunan π (pendapatan) petani. DAFTAR PUSTAKA Bachriadi, Dianto. 1996. Kondisi Pembaruan Agraria di Indonesia, a paper for KPA’s internal discussion. Boediono. 1986. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE-UGM. Yogyakarta. Drapper, N. and H. Smith. 1992. Analisis Regresi Terapan. Edisi Kedua. Terjemahan Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta. Eko, R. 2006. Ragam Model Bisnis Kemitraan Pemerintah-Swasta. Perbanas (STMIK). Jakarta. Hafsah, J. 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Matodierso dan Suryanto. 2006. Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama. Kanisius. Yogyakarta. Pakpahan, Agus. 2004. Petani Menggugat. Max Havelar Indonesia Foundation. Jakarta. Pindyck, R. S. dan D. L. Rubinfeild. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGarw-Hill Inc., New York. Saptana. 2009. Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta. Saragih, B. 2001. Suara dari Bogor Membangun Sistem Agribisnis. SUCOFINDO. Jakarta. Soedarmanto, 2003. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta. Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Toharisman. 2005. Potensi Pengembangan Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Pasuruan. Umar, Husein. 2003. Metode Riset Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
47
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 48 - 55
ISSN : 2088-2440
ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS PETANI PASCA PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK (Studi Kasus pada Usahatani Padi di Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang) Febriananda Faizal Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar Email:
[email protected] Abstract: The purpose of this study were (1) Describe the farmer decisions in purchasing organic fertilizer in the area of research, (2) To analyze the satisfaction of rice farmers after the use of organic fertilizers, (3) To analyze the loyalty of rice farmers after the use of organic fertilizers. Kebonagung village, District Pakisaji, Malang is one of the villages that participated in the program Gerakan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) which aims to increase rice production of 7 tonnes / ha up to 8 to 8.5 tonnes / ha where the program is encouraged to apply a balanced fertilizer is 5: 3: 2. Comparison of fertilizer consists of organic fertilizers Petroganik 500 kg, 300 kg NPK (Phonska) and 200 kg Urea. Based on village profile Kebonagung agricultural land paddy ± 45 ha with an average yield of 6-7 tonnes / ha depending on the season. The production of rice in the village Kebonagung deemed not maximized so that rice production can be increased again. One of the factors supporting the rice production is the use of fertilizer inputs. Balanced use of fertilizers which can support rice production so that the results can be as expected by the farmers. If the yield obtained in accordance with the expectations of the farmers it will affect farmers' satisfaction and loyalty fertilizer use. Based on the analysis of decision-making description of farmers in the purchase of organic fertilizer Petroganik has gone through a series of stages of decision-making that needs recognition, information search, evaluation of alternatives, decision-making and results. Based on the analysis of Customer Satisfaction Index (CSI) is obtained farmer satisfaction index score of 62.64% is included in a range of scales fairly satisfied overall, which means farmers who use organic fertilizers Petroganik are sufficiently satisfied with the attributes of organic fertilizer Petroganik. Farmer satisfaction index remains below 100 percent indicates that it is necessary to increase on some attributes. Based on the analysis Importance Performance Analysis (IPA) obtained some attributes that have a high level of interest and the level of performance is low and in need of repair are the benefits, nutrient content and influence on the productivity of the plant. Based on theresults ofthe analysisshowed thatloyaltypyramidoffivecategories ofthe loyalty ofthe majority offarmersare in thecategory ofhabitual buyer. There are39farmers, or 97.5% of farmersin this category. This showsthat theloyaltyof farmersin usingorganic fertilizersPetroganikbecause it usedin its use. Keywords: satisfaction,loyalty, organic fertilizer Petroganik, CSI, IPA, the loyalty pyramid tanpa diimbangi dengan penggunaan pupuk organik. Salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan kesejahteraan petani adalah program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K). Program ini memberikan pengawalan aplikasi pemupukan berimbang kepada petani dengan komposisi 5:3:2. Komposisi 5:3:2 yaitu 500 kg
PENDAHULUAN Pada tahun 2011 sekitar 33 juta Ha lahan pertanian Indonesia mengalami penurunan kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk anorganik (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, 2011). Penurunan tersebut diakibatkan oleh penggunaan pupuk anorganik seperti Urea, ZA, dan TSP yang terus menerus
48
Petroganik, 300 kg NPK (Phonska) dan 200 kg Urea untuk setiap ha. Pengkajian anjuran pemupukan 5:3:2 dilakukan pada lahan sawah 1 ha di 82 kabupaten di Jawa. Hasilnya, melalui penerapan pemupukan berimbang mampu meningkatkan produksi padi dari 7 ton gabah kering panen (GKP) menjadi 8 - 8,5 ton gabah kering panen (GKP) per ha (PT Petrokimia Gresik, 2011). Berdasarkan hasil positif tersebut, pemerintah menghimbau para petani untuk mau menerapakan pemupukan berimbang 5:3:2 untuk menjaga keseimbangan lahan pertanian dan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan padi. Akan tetapi di desa Kebonagung kecamatan Pakisaji kabupaten Malang yang merupakan salah satu desa yang ikut serta dalam program GP3K di Jawa Timur hasil produksi padi tidak sesuai dengan yang disosialisasikan oleh pemerintah. Rata-rata hasil produksi padi sebesar 6 – 7 ton/hektar, peningkatan yang terjadi tidak begitu signifikan sehingga petani merasa belum merasakan hasil yang memuaskan. Hasil produksi padi di Desa Kebonagung dirasa belum maksimal sehingga produksi padi dapat ditingkatkan lagi. Penggunaan pupuk yang berimbang dapat menunjang produksi padi sehingga hasil yang diperoleh meningkat seperti yang diharapkan oleh petani. Apabila hasil produksi yang diperoleh sesuai dengan harapan petani maka akan mempengaruhi petani terhadap kepuasan dan loyalitas penggunaan input pupuk. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikanpengambilan keputusan petani dalam pembelian pupuk organik di daerah penelitian, (2) menganalisis tingkat kepuasan petani pasca penggunaan pupuk organik di daerah penelitian, (3) menganalisis tingkat loyalitas petani pasca penggunaan pupuk organik di daerah penelitian.
Deskriptif, Customers Satisfaction Index (CSI), Importance Performance Analysis (IPA) dan Piramida Loyalitas. Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan proses keputusan pembelian yang terdiri dari lima tahapan yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan hasil. Analisis Custumers Satisfaction Index (CSI) Customer Satisfaction Index (CSI) digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen secara menyeluruh dengan melihat tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dengan tingkat kinerja dari atribut-atribut produk/jasa. Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut: 1. Menentukan Mean Importance Score (MIS) dan Mean Satisfaction Score (MSS). Ket: n : Jumlah responden Xi : Nilai kinerja atribut ke-i Yi : Nilai kepentingan atribut ke-i i : Atribut ke-i (1, 2, 3 ... i) 2. Menghitung Weigh Factor (WF)
Ket: p : Jumlah atribut kepentingan i : Atribut ke-i (1, 2, 3 ... i) 3. Selanjutnyamenghitung Weight (WS).
Score
4. MenghitungCustomer Satisfaction Index (CSI), dengan rumus:
Ket: HS : Skala maksimal yang digunakan Tingkat kepuasan responden secara menyeluruh dapat dilihat dari kriteria kepuasan konsumen dalam tabel berikut:
METODE PENELITIAN Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Desa Kebonagung. Pemilihan sampel dilakukan pada kelompok tani “Rias” dengan metode random sampling (acak) karena populasi dianggap homogen. Jumlah sampel diperoleh sebanyak 40 petani dengan menggunakan rumus Slovin. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam menggunakan kuisoner. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis
Tabel 1. Kriteria Kepuasan Konsumen Nilai CSI Kriteria CSI 0,81-1,00 Sangat Puas 0,66-0,80 Puas 0,51-0,65 Cukup Puas 0,35-0,50 Kurang Puas 0,00-0,34 Tidak Puas Sumber: Amiliyah, 2006 dalam Afifi, 2007 49
Importance Performance Analysis (IPA) Menurut Supranto dalam Manullung 2008, Importance Performance Analysis(IPA) adalah suatu metode yang menganalisis sejauh mana tingkat kepuasan seseorang terhadap kinerja suatu produk. Berikut adalah langkahlangkah perhitungan Importance Performance Analysis (IPA): 1. Menentukan tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dengan rumus: Gambar 1.Matriks Importance Performance Analysis
Ket: TKi: Tingkat kesesuaian Xi : Skor penilaian kinerja Yi : Skor kepentingan petani i : Atribut ke-n (i = 1, 2, 3, ... n) 2. Menghitung rata-rata untuk setiap atribut yang dipersepsikan oleh petani, dengan rumus:
Piramida Loyalitas Terdapat 5 kategori loyalitas yaitu tingkat switcher buyer(berganti-ganti merek),habitual buyer (kebiasaan pembelian), satisfied buyer (kepuasan pembelian), liking the brand(menyukai merek) dan committed buyer (komitmen pembelian). Oleh karena itu perlu diketahui jumlah variabel pada tiap variabel, serta jumlah skor terendah dan tertinggi. Perhitungan kisaran nilai disajikan dalam tabel 2.
Ket: :Skor rata-rata dari atribut kinerja pupuk organik : Skor rata-rata dari atribut tingkat kepentingan petani n : Jumlah responden petani i : Atribut 3. Menghitung rata-rata seluruh atribut tingkat kepentingan (y) dan kinerja (x) dengan rumus:
Tabel 2. Jumlah Elemen Pada Tiap Variabel No 1 2 3
Ket: : Skor rata-rata dari rata-rata atribut tingkat kinerja
4 5
: Skor rata-rata dari rata-rata atribut tingkat kepentingan
Variabel Switcher buyer Habitual buyer Satisfied buyer Liking the brand Committed buyer
Jumlah Atribut
Jumlah Skala
Skor Terendah Tertinggi
2
3
2
6
4
3
4
12
3
3
3
9
4
3
4
12
3
3
3
9
Dalam penelitian ini untuk menentukan klasifikasi konsumen dilakukan dengan membuat selang kelas. Dari selang kelas tersebut akan diklasifikasikan konsumenkonsumen yang termasuk dan tidak termasuk pada tiap-tiap tingkatan loyalitas. Perhitungan rentang skala dilakukan setelah mengetahui selang kelas:
: Skor rata-rata dari atribut kinerja pupuk organik : Skor rata-rata dari atribut tingkat kepentingan petani k : Banyaknya atribut 4. Masukan nilai ke dalam diagram kartesius
50
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. Tahapan Keputusan Pembelian Keputusan pembelian pupuk organik yang dilakukan oleh petani sebagian besar sudah terencana (60%), biasanya rencana pembelian dilakukan sebelum pengolahan tanah. Sisanya pembelian dilakukan tergantung situasi atau kebutuhan (40%). Semua petani di Desa Kebonagung membeli pupuk organik di toko pertanian di daerah tersebut (100%) dengan alasan toko pertanian tersebut merupakan satusatunya toko pertanian yang ada di daerah tersebut (47,5%), alasan lain yaitu merupakan langganan petani (32,5%) dan pemiliki toko pertanian merupakan anggota kelompok tani (20%). Cara pembayaran yang dilakukan petani pada saat pembelian pupuk organik dengan cara membayar langsung atau tunai (70%), sebagian kecil petani membayar kredit (30%) yaitu dengan cara membayar setengah harga dan sisanya dibayar pada saat panen atau bisa sebelum panen. Terdapat berbagai jenis kemasan dari pupuk organik, dan kemasan yang biasa dibeli oleh petani yaitu kemasan 40 kg (100%) karena kebutuhan yang banyak dan toko pertanian hanya menyediakan kemasan 40 kg. 5. Tahapan Hasil Petani responden merasa cukup puas terhadap hasil dari penggunaan pupuk organik (50%), dengan berbagai alasan diantaranya, harga yang cukup murah. Jika terjadi kenaikan harga pupuk organik yang biasa dibeli, semua petani akan terus membeli (100%) karena penggunaan pupuk anorganik harus dicampur dengan penggunaan pupuk organik. Apabila pupuk organik yang biasa dibeli tidak tersedia di tempat biasa membeli, sebagian besar petani akan menunggu sampai pupuk organik tersedia (47,5%). Beberapa petani memilih untuk mengurungkan niatnya membeli pupuk (17,5%), mencari ke tempat lain (12,5%), membeli pupuk organik lain (15%) dan ada yang bertanya ke Petugas Penyuluh Lapang (PPL) (7,5%).
Proses keputusan terdiri dari lima tahapan yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan tahap pasca pembelian. Mengenai tahapan-tahapan proses keputusan pembelian pupuk organik merek Petroganik akan dijelaskan sebagai berikut. Analisis Deskriptif 1. Tahapan Pengenalan Kebutuhan Motivasi petani responden di Desa Kebonagung memilih bertani padi karena paling besar bertujuan untuk memperoleh keuntungandan menjadikan sebagai pekerjaan utama (45%), selain itu petani termotivasi bertani padi karena memiliki lahan sawah warisan dan menjadikan bertani sebagai pekerjaan sampingan (20%) dan motivasi petani bertani padi yang terkahir karena merupakan pekerjaan turun temurun (35%). Petani menilai penggunaan pupuk organik cukup penting (42,5%) dengan harapan produktivitas padi akan meningkat (67,5%). Harapan lain yang diinginkan petani dengan penggunaan pupuk organik adalah tanah sawah mereka menjadi lebih subur dan gembur (32,5%). 2. Tahapan Pencarian Informasi Sebagian besar informasi mengenai pupuk organik diperoleh petani dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) (72,5%) yang menganjurkan dan mewajibkan penggunaan pupuk organik sehingga informasi yang diberikan oleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL) merupakan informasi yang sangat dipercaya oleh petani (100%). Selain dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL), petani memperoleh informasi dari keluarga/teman dan penjual/iklan. 3. Tahapan Evaluasi Altrenatif Adapun kriteria evaluasi yang ditentukan oleh petani yaitu merek, harga dan kepraktisan dalam pengaplikasian. Jika dibandingkan dengan kinerja produk lain yang dipertimbangkan, pupuk organik memiliki merek dagang yang cukup dikenal oleh masyarakat (12,5%) sehingga masyarakat sudah percaya terhadap merek dagang tersebut. Selain itu, harga yang tergolong murah (62,5%) karena pupuk organik merupakan pupuk bersubsidi dan yang terakhir pengaplikasian pupuk organik yang mudah (25%).
Analisis Customers Satisfaction Index (CSI) 1. Analisis Tingkat Kepentingan AtributPupuk Organik
51
Tabel 3. Persepsi Petani terhadap Tingkat Kepentingan Atribut Pupuk Organik Skor Tingkat Kepentingan Atribut 1 2 3 4 5
Atribut
Nilai Total
Mean Score (ei)
Manfaat
0
2
3
6
17
178
4,45
Kandungan Unsur Hara
0
0
11
10
19
168
4,20
Bentuk Pupuk Kemasan
4 0
22 1
13 11
1 14
0 14
91 161
2,27 4,02
Petunjuk Guna
17
21
2
0
0
65
1,62
0
1
2
11
26
182
4,55
0 0 0 0 11
2 3 7 2 16
15 13 12 10 12
21 20 21 28 1
2 4 0 0 0
143 145 134 146 83
3,58 3,63 3,35 3,65 2,07
Pengaruh terhadap Produktivitas Tanaman Kemudahan Pengaplikasian Ramah Lingkungan Kemudahan Memperoleh Pupuk Harga Merek
Kategori Sangat Penting Sangat Penting Tidak Penting Penting Sangat Tidak Penting Sangat Penting Penting Penting Penting Penting Tidak Penting
2. Analisis Tingkat Kinerja Atribut Pupuk Organik Petroganik Tabel 4. Persepsi Petani terhadap Tingkat Kinerja Atribut Pupuk Organik Atribut
Skor Tingkat Kinerja Atribut 1 2 3 4 5
Nilai Total
Mean Score (bi)
Manfaat
12
20
8
0
0
76
1,90
Kandungan Unsur Hara Bentuk Pupuk Kemasan
11 0 0
21 1 1
7 8 10
1 17 14
0 14 15
78 164 163
1,95 4,10 4,07
Petunjuk Guna
16
19
4
1
0
70
1,75
10
24
4
2
0
78
1,95
0 0 0 0
0 1 1 1
10 4 9 6
14 11 15 22
16 24 15 11
166 178 164 163
4,15 4,45 4,10 4,07
17
20
2
1
0
67
1,67
Pengaruh terhadap Produktivitas Tanaman Kemudahan Pengaplikasian Ramah Lingkungan Kemudahan Memperoleh Pupuk Harga Merek
Kategori Tidak Bermanfaat Sedikit Hara Sesuai Sesuai Sangat Tidak Sesuai Tidak Berpengaruh Mudah Sangat Ramah Mudah Murah Sangat Tidak Tersedia
3. Kepuasan Petani Pasca Penggunaan Pupuk Organik Petroganik Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Customer Satisfaction Index (CSI) No
Atribut (Variabel)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Manfaat Kandungan Unsur Hara Bentuk Pupuk Kemasan Petunjuk Guna Pengaruh Produktivitas Tanaman Kemudahan Pengaplikasian Ramah Lingkungan Kemudahan dalam Memperoleh Pupuk Harga Merek Jumlah CSI
MIS (a) Y 4,450 4,200 2,275 4,025 1,625 4,550 3,575 3,625 3,350 3,650 2,075 37,400 (d) 62,64%
52
MSS (b) X 1,900 1,950 4,100 4,075 1,750 1,950 4,150 4,450 4,100 4,075 1,675
WFi (c) (a)/(b) 0,12 0,11 0,06 0,11 0,04 0,12 0,10 0,10 0,09 0,10 0,06
Weight Average Total
WSi (c) x (d) 0,23 0,22 0,25 0,44 0,08 0,24 0,40 0,43 0,37 0,40 0,09 3,132
Tabel 5 menunjukkan hasil perhitungan analisis Customer Satisfaction Index (CSI) pada pupuk organik Petroganik memperoleh skor sebesar 62,64%. Hasil perhitungan tersebut termasuk dalam rentang skala 40%
manfaat, kandungan unsur hara dan pengaruh terhadap produktivitas tanaman. Tabel 6. Pembagian Atribut dalam Kuadran Kuadran I
Kuadran II
Manfaat
Kemasan
Kandungan Unsur Hara Pengaruh Produktivitas Tanaman
Kemudahan Pengaplikasian Ramah Lingkungan
Kuadran III Petunjuk Guna Merek
Kuadran IV Bentuk Pupuk
Kemudahan dalam Memperoleh Pupuk Harga
Importance Performance Analysis (IPA) Indeks kepuasan petani yang menggunakan pupuk organikPetroganik masih berada dibawah 100% mengindikasikan bahwa memang perlu dilakukan upaya peningkatan.Oleh sebab itu, usaha yang dapat dilakukan produsen dalam meningkatkan kepuasan petani padi menggunakan pupuk organikPetroganik adalah dengan pendekatan peningkatan kinerja. Setelah dilakukan perhituangan, kemudian hasil dimasukkan dalam diagram kartesius dan diperoleh sebagai berikut:
Piramida Loyalitas Loyalitas konsumen memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang konsumen beralih ke produk / merek yang lain, terutama jika pada produk tersebut didapati adanya suatu perubahan, baik menyangkut harga maupun perubahan pada atribut yang lain. Untuk mengetahui loyalitas petani dengan cara menggolongkan responden yang menjadi swithcer buyer, habitual buyer, satisfied buyer, liking the brand, dan committed buyer. 1. Switcher Buyer
Gambar 3. Kategori petani pada tingkat loyalitas Switcer Buyer Pada kategori ini variabel yang digunakan adalah harga dan ketersediaan pupuk di kios pertanian. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa petani di Desa Kebonagung yang menggunakan pupuk organik Petroganik secara keseluruhan yaitu 100% tidak berpindahpindah merek dikarenakan harga yang cukup terjangkau yaitu Rp. 500 dan ketersediaan pupuk organik Petroganik di kios pertanian yang selalu tersedia.
Gambar 2. Diagram Kartesius Pupuk Organik Petroganik Hasil diagram kartesius berdasarkan gambar diatas dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Atribut-atribut pada kuadran I dianggap penting oleh petani tetapi pada kenyataannya atribut-atribut tersebut belum memberikan kinerja yang sesuai dengan kepentingan petani. Atribut pada kuadran I ini harus mendapatkan perhatian lebih agar kinerja atribut tersebut dapat meningkat. Adapun atribut yang masuk dalam kuadran I adalah
2. Habitual Buyer Variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah kecocokan produktivitas, kecocokan bentuk, aman dan pengaruh dari orang lain Diperoleh hasil sebesar 97,5% atau 53
sebanyak 39 petani yang menggunakan pupuk organik Petroganik sudah terbiasa dalam penggunaan pupuk organik Petroganik. Karena penggunaan pupuk organik Petroganik dalam budidaya padi telah dilakukan sejak lama atau sekitar 5 tahun terakhir.
5. Committed Buyer
Gambar 7. Kategori petani pada tingkat loyalitas Committed Buyer Variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah komitmen, rekomendasi dan informasi. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sebanyak 55% atau 22 petani termasuk dalam kategori committed buyer Pada penelitian ini menggunakan teori yang sudah dikembangkan oleh Himawan (2013) dimana tidak menggunakan tingkatan loyalitas seperti pada teori piramida loyalitas tetapi menggunakan istilah “kategori”. Istilah kategori dikarenakan variabel-variebel disetiap kategorinya berbeda-beda. Bentuk dari kategori loyalitas ini juga berbeda dengan bentuk piramida loyalitas, akan tetapi berbentuk parsial. Dalam bentuk parisal tersebut masing-masing kategori tersusun dalam bentuk grafik dan jika diaplikasikan akan muncul persentase dari masing-masing kategori tersebut. Pada pengembangan teori ini bentuk dari kategori loyalitas yaitu berbentuk parsial, masing-masing konsumen dapat masuk ke dalam kategori loyalitas yang telah ditentukan dan apabila diaplikasikan akan muncul persentase pada setiap kategori loyalitas seperti pada Gambar 8. Teori baru ini mempunyai keunggulan yaitu setiap konsumen dapat masuk kedalam kategori loyalitas yang sudah ditentukan. Persentase dari setiap kategori mempunyai batas maksimal yaitu 100%. Sehingga berdasarkan persentase tersebut akan muncul kategori yang paling dominan, yang dapat digunakan untuk menentukan kategori mana yang membuat konsumen loyal terhadap produk dan terus membeli merek yang sama.
Gambar 4. Kategori petani pada tingkat loyalitas Habitual Buyer 3. Satisfied Buyer
Gambar 5. Kategori petani pada tingkat loyalitas Satisfied Buyer Variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah hasil panen, adaptasi pupuk dan ramah lingkungan Diperoleh hasil sebesar 57,5% atau sebanyak 23 petani yang menggunakan pupuk organik Petroganik puas dengan atribut yang telah diberikan oleh pupuk organik Petroganik sehingga mereka tidak akan berpindah kepada merek lain 4. Liking the Brand
Gambar 6. Kategori petani pada tingkat loyalitas Satisfied Buyer Adapun variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah merek pupuk, kualitas, pengaruh lingkungan dan pengalaman. Sebanyak 27,5% atau 11 orang petani loyal terhadap merek pupuk organik Petroganik.
54
100% 97,5% Habitual Buyer
50%
0% 0% Switcher Buyer
57,5% Satisfied Buyer
27,5% Liking the Brand
55,5% Commited Buyer
dilakukan perbaikan kinerja oleh perusahaan. 3. Berdasarkan analisis piramida loyalitas, sebagian besar petani berada pada karegori habitual buyer. Terdapat 39 petani atau 97,5% petani dalam kategori ini. Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas petani dalam menggunakan pupuk organik Petroganik karena terbiasa dalam penggunaannya. Saran Sesuai dengan hasil penelitian, produsen perlu melakukan pembenahan pada atribut manfaat, kandungan unsur hara dan pengaruh terhadap produktivitas agar lebih baik lagi karena petani merasa penggunaan pupuk organik tidak berpengaruh terhadap produktivitas padi sehingga kepuasan petani belum tercapai dikarenakan kinerja pupuk organik belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh petani. Bagi pemerintah dapat digunakan untuk bahan perbaikan program yang telah dilakukan dan dapat digunakan untuk evaluasi program selanjutnya.
Gambar 8. Diagram Kategori Loyalitas Merek KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan teori mengenai tahapan keputusan pembelian bahwa petani di Desa Kebonagung dalam melakukan pembelian pupuk organik Petroganik melalui kelima proses keputusan pembelian yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan hasil pembelian. 2. Berdasarkan hasil perhituangan Customer Satisfaction Index (CSI) dan Importance Performance Analysis (IPA) diperoleh sebagai berikut: a. Nilai Customer Satisfaction Index (CSI) sebesar 62,64%. Hasil perhitungan tersebut termasuk dalam rentang skala 40%
DAFTAR PUSTAKA Afifi, M. F. 2007. Analisis Kepuasan Konsumen terhadap Atribut Sayuran Organik Dan Penerapan Personal Selling Benny’s Organic Garden. Sarjana Ekstensi Manajemen Himawan.2013. Analisis Kepuasan dan Loyalitas Petani terhadap Pupuk Organik merek "Super Petroganik".Skripsi. Fakultas Pertanian Unversitas Brawijaya. Malang Manullang, S. 2008. Analisis Kepuasan Konsumen SPBU Shell Di DKI Jakarta.Program Studi Manajemen Dan Bisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertaniaan Bogor. Bogor Nazir, Moh. 2002. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
55
56