PENGARUH BREAKPOINT CHLORINATION (BPC) TERHADAP JUMLAH BAKTERI KOLIFORM DARI LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO Muhammad Burhan Rosyidi : Dr. rer. nat. Maya Shovitri, M.Si, Ir. Sri Nurhatika, MP. Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2010
Pembimbing
Abstrak
RSUD Sidoarjo merupakan salah satu rumah sakit yang melakukan klorinasi untuk limbah cairnya. Klorinasi adalah pembubuhan klor aktif untuk membunuh mikroorganisme. Salah satu kelemahan klorinasi adalah terbentuknya senyawa organohalogen yang bersifat karsinogenik dan mutagenik. Sehingga penentuan Breakpoint clorination (BPC) adalah penting. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan nilai BPC dengan titrasi iodometri dan menghitung jumlah bakteri koliform dengan metode Most Probable Number (MPN) pada masa inkubasi 0 menit, 15 menit, 30 menit, dan 45 menit. Hasil menunjukkan rerata kandungan bahan organik pada sampel adalah 39.79 ppm, sehingga kisaran konsentrasi klor aktif yang digunakan adalah 30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm, 50 ppm, 55 ppm, 60 ppm, dan 65 ppm. Titik BPC terjadi pada pembubuhan klor aktif 55 ppm dengan menghasilkan rerata residu klor aktif 43 ppm. Rerata residu klor aktif tersebut mampu menurunkan bakteri koliform hingga 100%, yaitu dari 1.6 x 105 sel/ 100 ml sampel menjadi 200 sel/ 100 ml sampel. Kata kunci: limbah cair rumah sakit, klorinasi, breakpoint chlorination, total koliform
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan sarana kesehatan, pelayanan medis dan non medis. Kegiatan rumah sakit menghasilkan limbah cair, padat dan gas yang berpotensi mengganggu lingkungan sekitar. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran lingkungan, pencemaran makanan dan minuman, serta penularan penyakit yang mengakibatkan infeksi nosokomial (infeksi kepada sesama pasien dan orang sehat baik petugas maupun pengunjung rumah sakit) (Musadad, 2001). Salah satu limbah rumah sakit yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat adalah mikroorganisme patogen. Pengelolaan limbah rumah sakit merupakan bagian dari upaya penyehatan lingkungan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat (Giyatmi. 2003). Teknik pengolahan limbah cair di rumah sakit dapat dilakukan dengan cara teknik ozonisasi, metode lumpur aktif dan teknik biofilter aerob-anaerob. Teknik biofilter aerob anaerob yaitu teknik bioremediasi dengan proses biologi yang memanfaatkan agen bakteri pereduksi senyawa organik (Saefuddin, 2007).
Tahap akhir pada teknik biofilter aerob anaerob adalah klorinasi, yaitu proses pembubuhan senyawa klor ke dalam bak pengolah limbah. Salah satu rumah sakit yang menerapkan teknik biofilter aerob-anaerob adalah RSUD Sidoarjo. Klorinasi merupakan metode yang banyak digunakan, karena klor efektif sebagai desinfektan dan harganya terjangkau (Sururi dkk., 2008). Klorinasi bertujuan untuk mengurangi dan membunuh mikroorganisme patogen yang ada di dalam air limbah. Sumber klor yang biasa digunakan adalah kaporit [Ca(OCl)2]. Kaporit dapat membunuh mikroorganisme patogen, seperti Escherichia coli, Legionella, Pneumophilia, Streptococcus, Facalis, Bacillus, Clostridium, Amoeba, Giardia, Cryptosporidium, dan Pseudomonas (Anonim. 2008). Kaporit ketika dilarutkan dalam air akan berubah menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl-) yang memiliki sifat desinfektan. HOCl dan ion OCl- bersifat sangat reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Selanjutnya HOCl dan ion OCl- disebut sebagai klor aktif. Klor mampu melakukan reaksi hidrolisis dan deaminasi dengan berbagai 1
komponen kimia bakteri seperti peptidoglikan, lipid, dan protein yang dapat menimbulkan kerusakan fisiologis dan mempengaruhi mekanisme seluler (Berg, 1986). Klor aktif juga bereaksi kuat dengan lipid dan peptidogikan pada membran sel. Hal ini dapat mempengaruhi perbedaan konsentrasi yang sangat tinggi antara lingkungan ekstrasel dan lingkungan intrasel, yang berpotensi mengganggu tekanan osmotik di dalam sel dan dapat mengancam terjadinya lisis/kehancuran sel. Baker (1926) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa klor membunuh bakteri dengan mengikat protein untuk membentuk senyawa N-chloro (EPAa, 1999). HOCl mampu melakukan degradasi oksidatif terhadap sitokrom, protein besi-sulfur dan nukleotida yang berpotensi menyebabkan kerusakan membran sel bakteri (Venkobachar, Iyengar & Rao, 1977; Camper & McFeters, 1979; Haas & Engelbrecht, 1980; Albrich, McCarthy & Hurst, 1981). Sehingga proses respirasi, transportasi glukosa dan adenosin trifosfat mengalami penurunan (Venkobachar, Iyengar & Rao, 1977; Camper & McFeters, 1979; Haas & Engelbrecht, 1980). Klor juga dapat mengganggu metabolisme (Wyss, 1961) dan proses sintesis protein bakteri (Pereira et al., 1973), atau dengan memodifikasi basa purin dan pirimidin yang mampu menyebabkan kecacatan genetis (Patton et al., 1972; Hoyano et al., 1973; Haas & Engelbrecht, 1980 dalam LeChevallier, 2004). Klor aktif dapat melakukan inaktivasi kerja enzim (dengan merubah ikatan kimia atau bahkan memutus ikatan kimia enzim), mengubah permeabilitas sel, dan merusak sel DNA dan RNA. Selain itu, jika air limbah mengandung amoniak dan bahan organik, asam hipoklorit dan ion hipoklorit tersebut akan bereaksi dengan senyawa tersebut membentuk kloramin dan komponen organik-klor (EPAb, 1999). Salah satu kelemahan desinfeksi menggunakan kaporit adalah terbentuknya senyawa organohalogen seperti trihalomethan (THMs) dari senyawa organik berhalogen (CHCl) dalam air limbah dan klor. Trihalomentan merupakan senyawa karsinogenik dan mutagenik (Sururi, dkk. 2008). Ada korelasi positif antara konsentrasi kaporit yang diaplikasikan dengan konsentrasi terbentuknya THMs. Semakin tinggi konsentrasi kaporit, semakin tinggi pula konsenrsi THMs dilingkungan tersebut. Untuk mengantisipasi pelepasan klor yang berlebih tersebut diperlukan
penentuan Breakpoint clorination (BPC) atau titik retak klorinasi. BPC adalah konsentrasi klor aktif yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik, bahan organik (amoniak) dan bahan lain yang dapat dioksidasi serta membunuh mikroorganisme jika masih ada sisa klor aktif pada konsentrasi tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil kerja praktek (Rosyidi, 2009) diketahui bahwa aplikasi kaporit di IPAL RSUD Sidoarjo belum dapat menurunkan kandungan koliform sesuai standar baku mutu limbah cair rumah sakit berdasarkan surat keputusan menteri lingkungan hidup nomor 58 tahun 1995. Limbah RSUD Sidoajo berasal dari buangan medis (kamar mayat, kamar pasien, ruang operasi, dan laboratorium) serta non-medis (dapur dan laundry). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui : 1. Berapakah efektivitas konsentrasi kaporit sebagai desinfektan melalui uji residu klor dengan penentuan BPC. 2. Berapakah jumlah MPN koliform setelah dilakukan desinfeksi hasil penentuan konsentrasi klor. 1.3. Batasan Masalah 1. Air limbah berasal dari rumah sakit Sidoarjo 2. Konsentrasi kaporit berdasarkan nilai BPC 3. Pengukuran baku mutu koliform dengan MPN 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1. Menentukan nilai BPC melalui uji residu konsentrasi klor aktif. 2. Mengukur MPN koliform setelah dilakukan desinfeksi dengan klor aktif yang telah diuji BPC nya. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan pihak rumah sakit khususnya RSUD Sidoarjo dalam mengoptimalkan IPAL khususnya bak aerob-aerasi. Sehingga meningkatkan efisiensi kebutuhan kaporit pada bak klorinasi dalam mengeliminasi bakteri koliform tanpa meninggalkan residu klor aktif yang berlebih.
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Cair Rumah Sakit Limbah cair rumah sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif (Direktorat Jenderal PPM & PLP, 1996). Besarnya jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh rumah sakit bersesuaian dengan konsumsi kebutuhan air setiap hari yaitu rata-rata sekitar 400 sampai 1.200 liter per hari pada setiap kamar (CCLIN Paris-Nord (1999) dalam Kumar, dkk., 2006). Sedangkan jumlah konsumsi air per individu dalam satu hari rata-rata 100 liter (Gadelle, 1995 dalam Emmanuel, dkk., 2002). Jumlah tersebut mampu menghasilkan limbah cair yang sangat besar dan kaya akan mikroorganisme, logam berat, bahan kimia beracun, dan unsur radioaktif yang dapat berbahaya bagi keseimbangan ekologi dan kesehatan publik (Kumar, dkk., 2006). Limbah rumah sakit yang terdiri dari sampah organik dan anorganik termasuk mikroorganisme patogen didalamnya memiliki resiko yang serius terhadap kesehatan pekerja, masyarakat, dan lingkungan. Limbah cair yang diolah di unit IPAL RSUD Sidoarjo merupakan kumpulan sampah cair yang berasal dari laboratorium medis, laboratorium bahan kimia, ruang operasi, dapur, ruang jenazah, dan ruang pasien serta unit-unit lainnya yang menghasilkan limbah cair (Ekhaise dan Omavwoya, 2008). Bahan-bahan kimia yang digunakan rumah sakit mempunyai potensi sebagai sumber polusi air. Bahan kimia tersebut mungkin mencemari sistem air perkotaan dan menyebabkan penyakit, bahkan terjadinya wabah dan penyakit seperti kolera (Rezaee, dkk., 2005). Satu dari permasalahan lingkungan utama yang disebabkan oleh limbah rumah sakit adalah pembuangan limbah cair ke dalam sistem perairan tanpa melalui pengolahan limbah (Kumar, dkk., 2006). Bahan-bahan kimia yang digunakan oleh rumah sakit untuk menjalankan aktivitas perawatan medis dan penelitian medis, pada umumnya ditemukan pada limbah cair. Jika volum limbah cair yang dihasilkan dalam jumlah yang sangat besar, maka mampu memberikan kontribusi bagi pencemaran lingkungan (Emmanuel, dkk., 2002). Pengujian tingkat toksisitas limbah cair rumah sakit dengan menggunakan Daphnia dan bakteri Luminescent telah dilakukan oleh Leprat (1998); Jehannin (1999); dan Emmanuel, dkk. (2001), telah diketahui bahwa limbah cair rumah sakit memiliki tingkat toksisitas yang tinggi,
Pencemaran mungkin diakibatkan oleh paparan komponen organohalogen (OHCs) yang dihasilkan dari proses desinfeksi limbah cair. OHCs merupakan hasil dari reaksi oksidarireduksi antara bahan organik dan desinfektan (klor). OHCs bersifat lipophilik, persistent dan toksik (Carey, dkk., 1998 dalam Kumar, dkk., 2006). Organohalogen terbentuk saat proses klorinasi yang bertemu dengan air kaya bahan organik/asam humic, hasilnya disebut dengan chlorohumic/chlorohumus. Substansi chlorohumus hampir sama dengan chlorolignin yang dibentuk dari reaksi oksidasi dan klorinasi dari lignin. Chlorohumus dan chlorolignin bersama-sama membentuk organohalogen dalam air minum atau air mentah. Clorohumus/lignin yang bersifat hidrofilik, belum diketahui kemampuannya dalam bioakumulasi, Clorohumus/lignin diserap oleh tubuh manusia dari mengkonsumsi air minum (SalinojaSalonen and Jokela, 1991 dalam Kumar, dkk., 2006). 2.2. Breakpoint Clorination (BPC) Desinfeksi merupakan salah satu proses dalam pengolahan air minum maupun air limbah yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen. Metode desinfeksi yang paling umum digunakan di Indonesia adalah dengan menggunakan klor. Selain dapat membasmi bakteri dan mikroorganisme seperti amuba, ganggang, dan lain-lain, klor dapat mengoksidasi Fe 2+, Mn 2+ menjadi Fe3+, Mn3+, dan memecah molekul organis seperti warna. Selama proses tersebut kaporit direduksi sampai menjadi klorida (Cl-) yang tidak mempunyai daya desinfeksi (Nurdjannah dan Moesriati, 2005). Kaporit cukup efektif sebagai desinfektan dan terjangkau dari segi ekonomi. Waktu desinfeksi terhadap mikroorganisme pada proses klorinasi dengan konsentrasi klor 1 ppm pada pH = 7,5 dan suhu = 250 C tergantung jenis mikroorganismenya (Tabel 2.1) (Anonim, 2008). Tetapi menurut Sururi, dkk., (2008), desinfeksi dengan menggunakan klor berpotensi menghasilkan Trihalometan (THMs) yang disebabkan oleh adanya reaksi antara senyawasenyawa organik berhalogen dalam air baku dengan klor. Selain itu, ada dampak negatif lain dari aplikasi klor terhadap kesehatan manusia seperti tersaji pada Tabel 2.2 (The Chlorine Institute. Inc. 1999). Tabel 2.1.Waktu desinfeksi mikroorganisme golongan fekal melalui proses klorinasi pada air limbah (Anonim, 2008). 3
Jenis pH Mikroorganisme Bakteri E.coli 0157 7,5 H7 virus Hepatitis A 7,5
Suhu (0C) 25
Rentang Waktu < 1 menit
25
Giardia parasite
7,5
25
Cryptosporidium
7,5
25
Sekitar 16 menit Sekitar 45 menit Sekitar 9.600 menit (6,7 hari)
Tabel 2.2 Dampak dari beberapa tingkat level konsentrasi klorin terhadap kesehatan manusia. Konsentrasi Klor 0.2 - 0.4 ppm 1 - 3 ppm 5 - 15 ppm 30 ppm 40 - 60 ppm 430 ppm 1000 ppm
Dampak bagi Kesehatan Mengganggu indera pembau dalam beberapa waktu Iritasi membran mukosa, mampu ditoleransi kurang lebih satu jam Iritasi pada sistem pernafasan Sakit dada, sulit bernapas, muntah, dan batuk Beracun, pneumonitis and pulmonary edema Letal lebih dari 30 menit Fatal dalam waktu beberapa menit
Senyawa klor atau klorin yang berfungsi sebagai biosida pengoksidasi dapat berasal dari gas Cl2, atau dari garam-garam NaOCl dan Ca(OCl)2 (kaporit) (Lestari, dkk., 2008). Kaporit/ kalsium hipoklorit adalah senyawa kimia bersifat korosif pada kadar tinggi, dan pada kadar rendah biasanya digunakan sebagai penjernih air (Alaert dan Sumestri, 1987). BPC adalah konsentrasi klor aktif yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik, bahan organik (amoniak) dan bahan lain yang dapat dioksidasi serta membunuh mikroorganisme jika masih ada sisa klor aktif pada konsentrasi tersebut. BPC akan diikuti dengan pembentukan gas N2 akibat paparan klor aktif yang berlebih pada kloramin. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah klor bebas dan masih ada residu klor aktif yang konsentrasinya dianggap perlu sebagai desinfektan. Dengan kata lain, jumlah klor yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri koliform (desinfektan) adalah jumlah residu klor aktif setelah tejadi BPC. (Alaert dan Sumestri, 1987 dan Brooks,
1999). Grafik klorinasi dengan breakpoint dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Grafik Klorinasi dengan Breakpoint. (A) Oksidasi zat-zat pereduksi, (B) Kloramin terbentuk, (C) Gas N2 terbentuk, (D) Breakpoint, (E) Klor aktip = (HOCl-) + (OCl-) + (Cl2) + (NH2Cl) + (NHCl2), (F) Dosis klor untuk pembasmian kuman (Alaert dan Sumestri, 1987). Berdasarkan gambar 2.1 ketika kaporit dibubuhkan ke dalam air limbah, klor bereaksi dengan ion H+ dan radikal OH- pada air. Cl2 + H2O HOCl + H+ (asam hipoklorit)
+ Cl(klorida)
Ca(OCl)2 + 2 H2O 2 HOCl + Ca (OH)2 (kaporit) HOCl + H2O H3O+ + OCl(ion hipoklorit) OCl- Cl- + O Ion klorida (Cl-) merupakan ion yang tidak aktif, sedangkan Cl2, HOCl, dan OCl dianggap sebagai bahan yang aktif. Asam hipoklorit (HOCl) yang tidak terurai adalah zat pembasmi yang paling efisien bagi bakteri (Lestari, dkk., 2008). Disamping itu, klor juga akan bereaksi dengan berbagai senyawa kimia yang mampu dioksidasi seperti amoniak. Zat amoniak (NH3) dalam air akan bereaksi dengan klor atau asam hipoklorit dan membentuk monokloramin, dikloramin, dan trikloramin (gambar 2.1 (B)). NH3 + HOCl NH2Cl + H2O NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O NHCl2+ HOCl NCl3 + H2O
pH ≥7 ≤ pH ≤ 6 pH ≤ 3
Apabila cukup banyak kandungan NH3 dalam air limbah maka NH2Cl cukup stabil, dan 4
bila kelebihan klor, NH2Cl akan pecah dan terbentuk gas N2. 2NH2Cl + HOCl ↔ N2 +3HCl + H2O) Monokloramin terbentuk secara cepat dibandingkan dengan reaksi dikloramin dan trikloramin, sehingga waktu kontak menjadi sangat penting. Potensi monokloramin teroksidasi sangat rendah dibandingkan dengan klor, dan monokloramin bereaksi sangat lambat terhadap zat organik. Sehingga mampu mereduksi jumlah THMs yang terbentuk (Spellman, 2003). Semua klor yang tersedia di air sebagai kloramin disebut klor tersedia terikat. │Cl2│+ │OCl-│+ │HOCl│disebut klor tersedia bebas. Klor tersedia bebas ditambah klor tersedia terikat disebut atau klor aktif dalam larutan (Alaert dan Sumestri, 1987). Produk asam hipoklorit (HOCl) dan hipoklorit (OCl) adalah agen pembasmi mikroorganisme. Klor yang dimasukkan ke dalam air, pertama kali akan bereaksi dengan senyawa inorganik dan senyawa organik dan kemudian berfungsi sebagai desinfektan (Spellman, 2003). Asam hipoklorit (HOCl) memiliki sifat lebih reaktif dan merupakan desinfektan yang kuat dari pada OCl-. Klor mampu membunuh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri dengan cara memecah ikatan kimia pada molekulnya seperti merubah struktur ikatan enzim, bahkan merusak struktur kimia enzim. Ketika enzim pada mikroorganisme kontak dengan klorin, satu atau lebih dari atom hidrogen akan diganti oleh ion klor. Hal ini dapat menyebabkan berubahnya ikatan kimia pada enzim tersebut atau bahkan memutus ikatan kimia enzim, sehingga enzim pada mikroorganisme tidak dapat berfungsi dengan baik dan sel atau bakteri akan mengalami kematian (Anonim, 2008). 2.3. Analisis Bakteri Koliform dengan Most Probable Number (MPN) Bakteri Koliform merupakan suatu kelompok bakteri heterogen, berbentuk batang, gram negatif, non motil atau motil, memiliki flagella peritrikus, berfimbria atau tidak, berkapsul atau tidak, tidak membentuk spora, aerobik dan anaerobik fakultatif yang memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35oC. Biasanya digunakan sebagai mikroorganisme indikator adanya pencemaran di badan air. Bakteri koliform secara umum
memiliki sifat dapat tumbuh pada media agar sederhana, koloni sirkuler dengan diameter 1-3 mm, sedikit cembung, permukaan koloni halus, tidak berwarna atau abu-abu dan jernih. Bakteri yang termasuk bakteri Koliform adalah Citrobacter, Klebsiela, Escherichia, Enterobacter, Hafnia, Serratia, dan yersinia (Mara dan Horan, 2003). Koliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi yang tidak baik terhadap air. Bakteri-bakteri indikator sanitasi umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Jadi, adanya bakteri koliform pada air menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan air pernah mengalami kontak dengan feses yang berasal dari usus manusia dan oleh karenanya mungkin mengandung bakteri patogen lain yang berbahaya. Adanya bakteri koliform di dalam perairan menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Anonim, 2003). Bakteri koliform dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu fekal koliform dan non-fekal koliform. Bakteri koliform jenis fekal adalah bakteri yang biasanya digunakan sebagai indikator adanya pencemaran bakteri patogen. Penentuan koliform fekal menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Untuk mengetahui jumlah koliform di dalam perairan digunakan metode Most Probable Number (MPN), yakni Pemeriksaan kehadiran bakteri coliform dari air yang dilakukan berdasarkan penggunaan medium kaldu laktosa yang ditempatkan di dalam tabung reaksi berisi tabung durham (tabung kecil yang letaknya terbalik, digunakan untuk menangkap gas yang terjadi akibat fermentasi laktosa menjadi asam dan gas) (Harley, 2002). Kehadiran bakteri coliform besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, terbukti dengan kualitas air minum, secara bakteriologis tingkatannya ditentukan oleh kehadiran bakteri tersebut (Widjianti dan Ristiati, 2004). Metode MPN merupakan salah satu teknik menghitung jumlah mikroorganisme per mili bahan yang digunakan sebagai media biakan. Metode MPN pada dasarnya sama dengan metode perhitungan cawan, tetapi menggunakan medium cair dalam tabung reaksi. Perhitungan didasarkan pada tabung yang positif, yaitu tabung menunjukkan pertumbuhan mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu 5
tertentu dan dapat diketahui dari gelembung gas yang dihasilkan pada tabung Durham (Waluyo, 2004). METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai Januari 2010. Pengambilan sampel air limbah dilakukan di bak indikator Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo. Uji sisa residu klor dilakukan di laboratorium Kualitas Lingkungan Teknik Lingkungan FTSP-ITS. Sedangkan uji jumlah MPN koliform dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi jurusan Biologi FMIPA- ITS. 3.2. Alat, Bahan dan Cara Kerja Diagram alir langkah-langkah kerja dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.2.1. Pengambilan Sampel Sampel adalah limbah cair rumah sakit dari bak indikator IPAL RSUD Sidoarjo yang merupakan hasil pengolahan dari bak anaerobik dan aerobik (Lampiran 5). Sampel diambil dengan cara menampung air limbah langsung ke dalam botol steril gelap ukuran 500 ml sampai volume botol penuh dan ditutup rapat (Alaerts dan Sumestri, 1987). Sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisa kandungan bahan organik dan uji MPN koliform. 3.2.2. Penentuan Konsentrasi Kaporit Berdasarkan Kandungan Bahan Organik Konsentrasi kaporit pada perlakuan ditentukan berdasarkan jumlah bahan organik yang terlarut dalam sampel. Kandungan bahan organik dihitung berdasarkan metode titrasi kalium permanganat menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) 2004 (Lampiran 7). Sampel sebanyak 25 ml diencerkan dengan 75 ml akuades di dalam erlenmeyer 300 ml, kemudian ditambah dengan 2,5 ml asam sulfat (H2SO4) 4 N bebas organik dan 10 ml Keterangan : N1 = konsentrasi kaporit berdasarkan kandungan bahan organik (3.2.2) V1 = volume sampel N2 = konsentrasi klor aktif dalam kaporit (3.2.3) V2 = volume larutan kaporit yang dibubuhkan (Alaerts dan Sumestri, 1987).
larutan KMnO4 0.01 N hingga terjadi warna merah muda, dididihkan selama 10 menit. Larutan selanjutnya ditambah 10 ml asam oksalat 0,1 N sehingga larutan menjadi tidak berwarna, kemudian larutan dititrasi dengan KMnO4 0,01 N sampai perubahan warna yaitu munculnya warna merah pertama. Volume KMnO4 yang dibutuhkan dicatat dan dilakukan penghitungan kadar KMnO4 total dengan menggunakan persamaan di bawah ini.
Kadar KMnO4 (ppm)
=
(10 + a)b - (10 x c) x 31,6 x 1000 d
Keterangan : (a) volume KMnO4 yang dibutuhkan (ml), (b) normalitas KMnO4, (c) normalitas asam oksalat, (d) volume sampel yang dipakai (ml) (BSN, 2004). 3.2.3. Uji Pengukuran Konsentrasi Klor Aktif dalam Kaporit dengan Iodometri Kaporit Ca(OCl)2 sebanyak 1 gram dilarutkan ke dalam akuades 1 liter. Larutan kaporit diambil sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, Larutan kaporit ditambahkan Kristal KI 1 gram dan 2,5 ml asam asetik glasial (CH3COOH), kemudian ditetesi dengan indikator hingga muncul warna biru (pada umumnya sebanyak 3 tetes). Setelah itu, larutan kaporit dititrasi dengan Natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0.0125 N hingga warna biru menghilang. Natrium tiosulfat yang dibutuhkan dicatat dan dilakukan penghitungan kadar klor aktif (ppm). OCl- / HOCl (ppm) = (1000/ ml.sampel) x ml Na.tiosulfat x N.Thio sulfat x BM Cl (35,45 ) 3.2.4. Penentuan Dosis Kaporit Setelah diketahui kadar klor akif di atas, maka dapat dihitung volume larutan kaporit yang dibubuhkan dalam perlakuan sampel dengan menggunakan persamaan di bawah ini (Lampiran 7). N1 x V 1 = N2 x V2 3.2.5. Pengukuran Sisa Klor Aktif Sampel sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dengan perlakuan dosis kaporit 0, X1, X2, X3, X4, dan X5 ppm (sesuai hasil perhitungan sub.bab 3.2.4). Sampel diinkubasi selama 15 menit, 20 menit, dan 30 menit dengan pengamatan dilakukan secara deskriptif. Setelah diinkubasi, sampel dilakukan uji sisa klor aktif dengan metode seperti pada uji pengukuran kadar klor dalam kaporit (3.2.3) dan 6
dilakukan penghitungan dengan persamaan di bawah ini. OCl- / HOCl (ppm) = (1000/ ml.sampel) x ml Na.tiosulfat x N Thio sulfat x BM Cl (35,45 ) Nilai kadar sisa klor aktif hasil perhitungan diatas akan digambar dalam bentuk grafik untuk menentukan titik Breakpoint chlorination (BPC). 3.2.6. Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas indikator pH universal. Indikator universal merupakan gabungan dari metil jingga, metil merah, bromtimol biru dan fenolftalein. kertas pH dicelupkan ke dalam larutan yang akan ditentukan pH-nya, kemudian kertas pH akan mengalami perubahan warna sesuai dengan pH larutan dan dicocokkan dengan warna yang tertera pada kemasan indikator universal (tabel panduan warna) (Anonimb, 2009). 3.2.7. Uji Kuantitatif Koliform (BSN, 2006) Penyediaan Inokulum Inokulum berasal dari sampel uji. Sampel uji berupa air limbah yang sudah diberi perlakuan kaporit. Sampel sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan dilakukan pengenceran bertingkat. Satu ml air sampel dimasukkan ke tabung reaksi yang berisi 9 ml akuades steril dan divortex sampai larutan homogen (pengenceran tahap 10-1). Dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml larutan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain yang berisi 9 ml akuades steril dan dihomogenasi (pengenceran 10-2). Pengenceran ini terus dilakukan sampai pengenceran 10-4 (Lampiran 3) (Alaerts dan Sumestri, 1987). Penyediaan Media Fermentasi Uji pendugaan koliform dilakukan dengan menggunakan larutan kaldu laktosa. Larutan kaldu laktosa dibuat dengan melarutkan 13 gram lactose broth ke dalam satu liter akuades. Kemudian larutan diambil 9 ml dan dituangkan ke dalam tabung fermentasi (tabung reaksi) yang di dalamnya terdapat tabung Durham dengan posisi terbalik, tanpa gelembung udara di dalamnya. Tabung ditutup dengan kapas, kemudian disterilisasi dengan menggunakan diautoklaf selama 15 menit dalam suhu 1210C. Pada uji konfirmasi, dilakukan dengan menggunakan media Brilliant Green Lactose
Bile Broth BGLBB (BGLB) media BGLBB dibuat dengan melarutkan 40 gram Brilliant Green Lactose Bile Broth ke dalam satu liter akuades. Kemudian larutan diambil 9 ml dan dituangkan ke dalam tabung fermentasi (tabung reaksi) yang di dalamnya terdapat tabung Durham dengan posisi terbalik tanpa gelembung udara di dalamnya. Tabung ditutup dengan kapas, kemudian disterilisasi dengan menggunakan diautoklaf selama 15 menit dalam suhu 1210C. Uji Pendugaan Koliform (Presumptive coliform) Inokulum dengan pengenceran 10-2, 103 , dan 10-4 masing-masing diambil 1 ml dengan menggunakan pipet steril dan diinokulasikan ke dalam media kaldu laktosa yang telah disiapkan. Masing-masing pengenceran lima tabung reaksi (Lampiran 3). Tabung reaksi divortex sampai larutan homogen. Disiapkan juga 1 tabung blanko yang berisi media dan tabung Durham yang ditambah 1 ml akuades.Tabung reaksi yang berisi sampel (dan juga blanko) diinkubasi pada suhu 360C, selama 2x24 jam, dengan pengamatan setiap 24 jam dan diamati gelembung (gas) yang tertangkap di dalam tabung Durham. Tabung yang mengandung gas akan dilanjutkan dengan tes penegasan. Sedangkan tabung yang tidak menghasilkan gas dibuang karena tidak mengandung bakteri koliform. Uji Penegasan Koliform (confirmed colifom) Tabung yang menghasilkan gas pada Koliform tes pendugaan diambil 2 tetes dengan menggunakan pipet steril, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi media Brilliant Green Lactose Bile (BGLB) Broth yang telah disiapkan. Tabung reaksi divortex sampai larutan homogen. Semua tabung dimasukkan ke dalam inkubator (suhu 360C) selama 2x24 jam, kemudian dicatat jumlah tabung positif (tabung pisitif ditandai dengan kekeruhan dan terbentuknya gas). Adanya gas pada tabung Durham memperkuat adanya bakteri koliform. Jumlah tabung yang positif dicatat dan ditentukan nilai angka paling memungkinkan (Most Probable Number (MPN)) dari Koliform (Lampiran 2) untuk menentukan jumlah bakteri Colifom pada sampel air, kemudian dihitung jumlah koloninya dengan persamaan di bawah ini.
MPN /100 ml =
nilai MPN x faktor pengenceran
7
3.3. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan membandingkan nilai breakpoint clorination (BPC) antara konsentrasi klor aktif dengan waktu kontak dan jumlah MPN koliform. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kandungan Bahan Organik Air Limbah RSUD Sidoarjo Rerata kandungan bahan organik pada sampel air limbah RSUD Sidoarjo dari bak indikator (Lampiran 5) adalah 39.79 ppm (Tabel 4.1). Menurut Anonim (2009) dan Warlina (2004) adanya bahan organik yang tinggi dalam air limbah menunjukan bahwa air tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia, hewan atau oleh sumber lain. Bahan organik merupakan senyawa yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen (Sriyadi, 2004). Selanjutnya nilai kandungan bahan organik ini dijadikan dasar dalam menentukan konsentrasi klor aktif yang terkandung dalam kaporit (Ca(OCl)2) yang akan dibubuhkan pada sampel air limbah RSUD Sidoarjo perlakuan pengujian Breakpoint Chlorination (BPC) (Lampiran 7). Tabel 4.1. Rerata Kandungan Bahan Organik pada Sampel Air Limbah Rumah Sakit Sidoarjo pada Bak Indikator. Pengambila Bahan Rerata n Sampel Organik (ppm) ke(ppm) 1 36.6 39.79 2 43.6 3 39.18 Kandungan bahan organik pada sampel diukur berdasarkan indikator kalium permanganat (KMnO4). Kalium permanganat merupakan oksidator yang mengoksidasi bahan organik, sehingga semakin tinggi nilai kalium permanganat yang digunakan semakin tinggi pula kandungan bahan organik pada sampel. Bahan organik yang teroksidasi akan melepaskan elektron dan elektron tersebut akan ditangkap oleh MnO4- dari kalium permanganat. Pelepasan dan penangkapan elektron dari senyawa-senyawa tersebut disebut reaksi oksidasi-reduksi. Reaksi oksidasi-reduksi tersebut serupa dengan reaksi antara kalium permanganat dengan toluen (C6H5CH3) sebagai bahan organik pada pembentukan asam benzoat seperti persamaan 8, 9 dan 10 (EPAb, 1999).
MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O C6H5CH3 + 2H2O C6H5COOH + 6H+ + 6e5C6H5CH3 + 6 MnO4- + 18H+ 5C6H5COOH + 6Mn2+ 4.2. Penentuan Nilai Breakpoint Chlorination (BPC) Berdasarkan rerata kandungan bahan organik (39.79 ppm) dan hasil perhitungan pada lampiran 7, maka konsentrasi klor aktif yang dibubuhkan pada penelitian ini adalah 30, 35, 40, 45, 50, 55, 60, dan 65 ppm. Selain konsentrasi klor aktif, waktu kontak suatu desinfektan penting untuk diperhatikan supaya penggunaan desinfektan dapat menjadi aman, efisien dan efektif (Rahayu, 2006). Konsentrasi kaporit yang terlalu tinggi dan waktu kontak yang terlalu lama dapat menyebabkan desinfektan menjadi tidak praktis, mahal dan berpotensi membentuk senyawa berbahaya seperti organohalogen. Sehingga pada penelitian ini dilakukan pembandingan waktu kontak klor aktif 0 menit, 15 menit, 30 menit dan 45 menit seperti pada Gambar 4.1.
00menit menit
1515 menit menit
menit 00 menit
15 15menit menit
BPC zona I
30 menit menit 3030menit
Zona II
menit 4545 menit 45 menit 45 menit BPC
BPC zona I
zona II
zona III
zona I
zona III
zona II
33 0
0
Gambar 4.1. Grafik Breakpoint Chlorination (BPC) dengan waktu kontak 0, 15, 30, dan 45 menit dengan tiga kali pengamatan. Zona I adalah reaksi klor mengoksidasi bahan organik, 8
zona III
anorganik dan amoniak membentuk kloramin; Zona II adalah reaksi klor mengoksidasi monokloramin membentuk gas nitrogen dan dikloramin; Zone III adalah jumlah klor aktif setelah BPC (Alaert dan Sumestri, 1987 dan Brooks, 1999). Pada waktu kontak 0 menit terlihat tidak ditemukan titik BPC karena grafik berbentuk garis linier yang naik berdasarkan penambahan klor aktif (Gambar 4.1). Meskipun tidak terbentuk BPC, penurunan konsentrasi klor aktif masih tetap terjadi. Misalkan pada pembubuhan klor aktif 50 ppm, terlihat sisa klor aktif menjadi 39-42 ppm (Gambar 4.1). Rerata penurunan klor aktif yang terjadi pada waktu kontak 0 menit adalah sebesar 15,48% (Lampiran 8). Penurunan konsentrasi klor aktif terjadi karena sifat klor yang sangat aktif, dimana klor akan langsung bereaksi ketika dibubuhkan pada sampel. Namun demikian klor aktif tetap membutuhkan rentang waktu kontak tertentu untuk bereaksi secara optimal dengan bahan organik, bahan anorganik dan mikroorganisme yang terkandung dalam sampel. Berdasarkan rekomendasi World Health Organization (WHO) kondisi efektif waktu desinfektan adalah 30 menit dengan sisa residu klor aktif 0.5 ppm (Hend Galal-Gorchev, 1996). Selanjutnya dari tiga kali pengamatan, waktu kontak 15 menit menghasilkan grafik BPC yang tidak lagi berbentuk linier (Gambar 4.1). Pada waktu kontak tersebut, grafik BPC dapat dibagi menjadi tiga zona, yakni zona I, zona II dan zona III. Pada zona I grafik menunjukkan garis linier naik. Zona I adalah zona terbentuknya kloramin (monokloramin). Lestari dkk., (2008) menyebutkan bahwa klor bebas yang berupa HOCl dan ion OCl- aktif mengoksidasi senyawa organik maupun anorganik. Amoniak adalah salah satu senyawa anorganik yang terlarut dalam sampel yang ketika bereaksi dengan klor aktif dapat membentuk senyawa monokloramin (NH2Cl) (Reaksi 4). Sisa klor aktif yang terdeteksi melalui titrasi iodometri adalah klor bebas (HOCl dan ion OCl-) dan klor terikat (kloramin). Pada kisaran pH ≥ 7 klor aktif cenderung berikatan dengan amoniak membentuk monokloramin (NH2Cl) (Brooks, 1999). Pada penelitian ini pH sampel pada pembubuhan klor aktif 30 hingga 50 ppm terukur berkisar 7 < pH < 8 setelah pembubuhan kaporit. Sehingga berdasarkan penelitian Brooks (1999) maka kloramin yang terbentuk pada zona I adalah monokloramin.
Pada pembubuhan klor aktif 30 ppm sampai dengan 50 ppm, rerata penurunan klor aktif adalah sebesar 8% (Lampiran 8). Prosentase penurunan klor aktif ini lebih kecil dibandingkan pada waktu kontak 0 menit, karena pada waktu kontak 15 menit terbentuk monokloramin. Monokloramin merupakan salah satu bentuk klor terikat yang bersifat aktif dan memiliki daya desinfektan walau tidak sekuat klor bebas HOCl dan ion OCl- (Brooks, 1999). Apabila kandungan bahan organik dan amoniak dalam sampel telah habis teroksidasi, sedangkan klor aktif dibubuhkan terus-menerus, maka monokloramin yang terbentuk pada zona I akan teroksidasi lebih lanjut oleh klor aktif dan membentuk gas nitrogen (Reaksi 7). Hal tersebut juga terdeteksi dalam penelitian ini, yaitu setelah menunjukkan titik puncaknya pada konsentrasi 50 ppm, kemudian pada pembubuhan klor aktif 55 ppm terjadi penurunan konsentrasi sisa klor aktif yang drastis (Gambar 4.1, zona II) akibat terbentuknya gas nitrogen yang hilang ke udara (atmosfer). Zona II adalah zona pembentukan gas nitrogen, dikloramin, dan HCl (Reaksi 7), terbentuknya HCl menyebabkan penurunan pH pada sampel. Pembubuhan klor aktif 55 ppm menyebabkan pH sampel menjadi berkisar 6 ≤ pH < 8. Pada kisaran pH < 7,5 (Black and Veatch dkk., 2010 dan Brooks, 1999) dan 4 ≤ pH ≤ 6 (Alaert dan Sumestri, 1987) monokloramin akan bereaksi dengan klor bebas membentuk dikloramin (Reaksi 5). Sisa klor aktif pada pembubuhan konsentrasi klor aktif 50 ppm adalah ± 4,7% dan pada konsentrasi 55 ppm adalah ± 21,4%, maka dapat diasumsikan bahwa konsentrasi monokloramin yang diubah menjadi gas nitrogen adalah sebesar ± 16,72%. Berdasarkan reaksi 7, monokloramin pada zona II akan habis bereaksi dengan klor bebas menjadi gas nitrogen dan dikloramin, sehingga apabila konsentrasi klor aktif dilanjutkan menjadi 60 ppm sampai 65 ppm, tidak akan lagi terjadi penguraian klor terikat monokloramin menjadi gas nitrogen. Hal ini menyebabkan konsentrasi klor bebas dalam sampel terakumulasi, dan menyebabkan kenaikan kembali grafik. Titik balik inilah disebut sebagai titik retak klorinasi atau breakpoint chlorination (BPC) (Gambar 4.1). Zona III adalah zona yang terbentuk setelah BCP. Dengan demikian titik BPC pada pemaparan waktu 15 menit terjadi pada konsentrasi kaporit 55 ppm. 9
Waktu kontak 30 dan 45 menit menunjukkan indikasi yang tidak berbeda dengan waktu kontak 15 menit, yakni grafik BPC terbagi atas 3 zona dengan titik BPC didapatkan pada konsentrasi klor aktif 55 ppm. Rerata residu klor aktif pada titik BPC dari masing-masing waktu kontak adalah 43 ppm (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap titik BPC dan residu klor aktif. Aplikasi klorinasi di IPAL RSUD Sidoarjo dilakukan setiap 15 menit dengan konsentrasi klor aktif sebesar 5 ppm untuk limbah cair sebanyak 1-2 m3. Aplikasi lapangan tersebut dapat menghasilkan residu klor aktif sebesar 2.66 ppm. Nilai residu aplikasi IPAL RSUD Sidoarjo ternyata lebih rendah 93% dibandingkan dengan residu aplikasi pada titik BPC. Residu klor aktif dari penelitian ini kemudian diujikan pada sampel limbah cair RSUD Sidoarjo untuk melihat kemampuan daya desinfeksi terhadap bakteri koliform. Sumestri (1987) dan Brooks (1999) menyebutkan bahwa klor aktif setelah melalui kurva BPC adalah jumlah klor aktif yang berfungsi sebagai desinfektan. Mengingat tingginya residu klor aktif dari aplikasi BPC dan aplikasi klor aktif di IPAL RSUD Sidoarjo ternyata hanya 5 ppm, kemudian klor aktif sebesar 10, 15, 20 dan 25 ppm diujikan pengaruhnya terhadap keberadaan bakteri koliform selama 30 menit masa inkubasi. Berdasarkan uji pendahuluan dosis klor aktif 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm belum membentuk titik BPC (Lampiran 4).
limbah. Menurut Environmental Protection Agency (EPAb) (1999) klor aktif berupa HOCl dan ion OCl- memiliki sifat sangat reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Klor aktif dapat menginaktivasi kerja enzim dengan merubah ikatan kimia atau bahkan memutus ikatan kimia enzim, mengubah permeabilitas sel, dan merusak sel DNA dan RNA bakteri. Menurut Unus Suriawiria (1995) bakteri koliform merupakan suatu kelompok bakteri aerobik dan anaerobik fakultatif yang memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan asam, gas hidrogen dan gas CO2 dalam waktu 48 jam pada suhu 35oC. Karena sifat tersebut, maka uji pendugaan keberadaan koliform dilakukan dengan menggunakan media Lactose Broth (LB). Uji pendugaan dinyatakan positif jika ditandai dengan terbentuknya gas dalam tabung Durham dan perubahan media bening menjadi keruh. Kekeruhan pada media menunjukkan terbentuknya asam (Widjianti dan Ristiati, 2004).
4.3. Hasil Pengujian MPN Bakteri Koliform Rerata residu klor aktif 43 ppm yang diperoleh dari pembubuhan klor aktif 55 ppm akan diuji daya disinfeksinya terhadap bakteri koliform. Tabel 4.2 menunjukkan kemampuan tersebut. Kontrol merupakan media laktosa yang berisi sampel air limbah tanpa pembubuhan klor aktif. Pada kontrol semua tabung fermentasi menunjukkan hasil positif mengandung bakteri koliform sebanyak ≥ 1.6 x 105 sel/100 ml (Tabel 4.2). Sedangkan pada pembubuhan klor aktif 55 ppm dengan waktu kontak 15, 30, dan 45 menit menunjukkan hasil negatif koliform, walaupun berdasarkan tabel MPN (Lampiran 2) masih terdapat bakteri koliform sebanyak 2 x 102 sel / 100 ml. Jika dibandingkan dengan kontrol, maka perlakuan dapat menurunkan jumlah bakteri koliform sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pembubuhan klor aktif 55 ppm mampu menginaktivasi bakteri koliform pada sampel air 10
Tabel 4.2. Nilai MPN koliform pada pemaparan klor aktif di titik BPC 55 ppm pada waktu kontak 15, 30 dan 45 menit.
Keterangan : P +/+ - /+ -/(-/-)
= pengenceran = positif gas dan positif keruh (positif koliform). = negatif gas dan positif keruh (negatif koliform). = negatif gas dan negatif keruh (negatif koliform). = negatif gas dan negatif keruh, tetapi terdapat biofilm mikroorganisme.
11
Pada uji MPN koliform Tabel 4.2, terlihat beberapa tabung fermentasi membentuk lendir biofilm mikroorganisme pada permukaan dan dasar media (Gambar 4.2). Menurut Kelly (2002) beberapa bakteri mampu menghasilkan bahan gelatenous yang dikenal sebagai eksopolisakarida (EPS). EPS merupakan bahan pembentuk biofilm. Biofilm dapat membantu mikrooganisme menempel pada permukaan lingkungan dan secara fisik melindungi mereka dari paparan disinfektan berbahaya atau kondisi lingkungan yang merugikan. Biofilm bisa memiliki ukuran lebih dari 100 kali massa sel bakteri. Pada umumnya bakteri pembentuk biofilm tidak berbahaya, tetapi ada kemungkinan bakteri patogen menempel pada biofilm dan terlindung dari lingkungan yang tidak menguntungkan. Kumpulan bakteri yang membentuk biofilm diketahui memiliki kemampuan 3.000 kali lebih tahan terhadap klor bebas, dibandingkan jika pada populasi bebas.
Gambar 4.2. Adanya lendir biofilm bakteri nonkoliform yang ditunjukkan oleh tanda panah. Berdasarkan hasil uji pendugaan bakteri koliform yang menunjukkan hasil negatif dan hasil isolasi pada media NA, bakteri pembentuk lendir biofilm mikroorganisme tersebut diduga bukan bakteri koliform. Koloni bakteri tersebut berbentuk irregular, filamentous dan rhizoid (Gambar 4.3A). Sedangkan koloni bakteri E.coli berbentuk circular (Harley, 2002), Secara mikroskopis ukuran sel bakteri pembentuk lendir biofilm berbentuk batang panjang dan berantai (streptobasil) (Gambar 4.3B), sedangkan sel bakteri E.coli berbentuk batang pendek dengan ukuran panjang 2.0-6.0 mikrometer dan lebar 1.1-1.5 mikrometer (Buchanan dan Gibbons, 1975). Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa pembubuhan klor aktif di bawah 55 ppm menunjukkan hasil negatif koliform. Meskipun pada uji pendugaan ditemukan beberapa tabung fermentasi positif koliform, namun ketika dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan media Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB) diketahui bahwa bakteri tersebut negatif bakteri koliform (Tabel 4.4). Hal ini diduga selain bakteri koliform juga terdapat bakteri lain yang dapat memfermentasi laktosa seperti bakteri asam laktat (Setiawan, 2004).
Gambar 4.3. Bentuk sel bakteri pembentuk lendir biofilm secara makroskopis (A) dan mikroskopis (B), pada pembubuhan klor aktif 10 ppm (10A1), 15 ppm (15B1), 25 ppm (25B1), dan 55 ppm (55A3). Ukuran koloni dan sel bakteri tidak dalam skala yang sesungguhnya, karena gambar sudah mengalami pembesaran digital secara otomatis. Uji lanjutan pada pengujian koliform menggunakan medium BGLBB yang spesifik terhadap bakteri kolifom. Medium ini mengandung ox bile dan bile salt. Ox bile digunakan sebagai penghambat pertumbuhan bakteri non-koliform. Sedangkan Bile salt merupakan komponen yang hanya terdapat di dalam pencernaan manusia dan hewan berdarah panas lainnya (Cappuccino dan Sherman 1987). Dari uji ini dapat dibuktikan bahwa aplikasi klor aktif di bawah BPC yaitu 10-25 ppm telah mampu menurunkan jumlah bakteri koliform menjadi 200 sel/100 ml sampel. Aplikasi klor aktif tersebut sudah mampu menurunkan jumlah MPN koliform sesuai dengan baku mutu limbah cair rumah sakit. Baku mutu limbah cair rumah sakit (Lampiran 6) menyebutkan jumlah maksimum jumlah bakteri koliform dari limbah cair rumah sakit adalah 10.000 sel/ 100 ml sampel.
12
Tabel 4.3. Nilai MPN koliform pada uji pendugaan lactose broth (LB) dengan pembubuhan klor aktif 10, 15, 20, 25, dan 55 ppm pada waktu kontak 30 menit.
Keterangan : P +/+ - /+ (-/-) -/-
= Pengenceran = positif gas dan positif keruh (positif koliform). = negatif gas dan positif keruh (negatif koliform). = negatif koliform positif lendir biofilm mikroorganisme. = negatif koliform negatif lendir biofilm mikroorganisme.
13
31
Tabel 4.4 Nilai MPN koliform pada uji lanjutan Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB) dengan pembubuhan klor aktif 10, 15, 20, 25, dan 55 ppm pada waktu kontak 30 menit.
Keterangan : P +/+ - /+ (-/-) -/-
= Pengenceran = positif gas dan positif keruh (positif koliform). = negatif gas dan positif keruh (negatif koliform). = negatif koliform positif lendir biofilm mikroorganisme. = negatif koliform negatif lendir biofilm mikroorganisme.
14
Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 mendukung hasil penelitian Anonim (2008) dalam The Chlorine Institute (1999) yang menyebutkan bakteri E.coli dapat diinaktivasi oleh 1 ppm klor aktif dalam waktu kurang dari 1 menit. E.coli merupakan salah satu bakteri koliform. Walaupun Kep.Men.LH tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair rumah sakit tidak menjelaskan batas residu klor aktif yang boleh dilepas ke lingkungan, berdasarkan penelitian ini konsentrasi klor aktif pada titik BPC 55 ppm belum bisa diaplikasikan ke lapangan, karena menghasilkan residu klor aktif yang cukup tinggi (43 ppm). Tingginya aplikasi dosis klor aktif pada penelitian ini diduga karena tingginya bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam sampel. Semakin tinggi kandungan bahan organik dan anorganik, semakin tinggi pula kebutuhan dosis klor aktif untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik tersebut. Untuk mengurangi aplikasi pembubuhan klor aktif, maka perlu perlakuan yang dapat menurunkan kandungan bahan organik pada sampel. Karena bahan organik pada sampel RSUD Sidoarjo merupakan hasil dari proses pengolahan air limbah di bak aerobik-aerasi, maka peningkatan efektivitas proses di bak tersebut diharapkan dapat menurunkan kandungan bahan organik yang akan masuk ke bak indikator. Beberapa cara untuk meningkatkan efektifitas tersebut adalah memperpanjang masa penyimpanan dan memperluas bidang kontak air limbah dengan dinding bak (Said dan Wahyono, 1999). Kedua cara tersebut dapat memberikan waktu yang cukup bagi mikroba untuk mengokisadasi zatzat organik dan menurunkan konsentrasi bahan organik dalam sampel. Semakin rendah kandungan bahan organik, maka semakin sedikit pula aplikasi pembubuhan klor aktif. Hal ini dapat mengefisiensi biaya penggunaan kaporit, dan juga mengurangi kemungkinan terbentuknya senyawa organohalogen (THMs) di lingkungan. Sehingga diharapkan konsentrasi klor aktif pada titik BPC tidak melebihi kebutuhan klor aktif sebagai desinfektan.
PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Rerata kandungan bahan organik pada sampel air limbah RSUD Sidoarjo adalah 39.79 ppm. Nilai BPC pada pembubuhan klor aktif berdasarkan konsentrasi bahan organik tersebut adalah 55 ppm. 2. Pembubuhan klor aktif pada titik BPC 55 ppm menghasilkan rerata residu klor aktif 43 ppm. Rerata residu klor aktif tersebut mampu menurunkan bakteri koliform hingga 100%, yaitu dari 1.6 x 105 sel/ 100 ml sampel menjadi 200 sel/ 100 ml sampel.
5.2. Saran 1. Mengingat tingginya residu klor aktif yang dihasilkan dari aplikasi klor aktif pada titik BPC (55 ppm), maka perlu optimalisasi proses oksidasi bahan organik di bak aerobaerasi pada IPAL RSUD Sidoarjo. 2. Karena masih terdapat mikroorganisme yang resisten terhadap desinfektan kaporit, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai jenis mikroorganisme yang memiliki kemampuan tahan terhadap desinfektan kaporit pada air limbah rumah sakit. 3. Dengan memperhatikan fungsi klorinasi sebagai desinfektan dan hasil uji perbandingan, maka aplikasi klor aktif sebaiknya sebesar 10 ppm dalam waktu 15 menit. Karena konsentrasi klor aktif 10 ppm sudah dapat menurunkan bakteri koliform sebesar 100%, sedangkan 15 menit merupakan aplikasi waktu lapangan yang dilakukan IPAL RSUD Sidoarjo. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Environmental Fact sheet : Fecal Coliform as an Indicator Organism. New Hempshire departement of environmental Service. Concord. New Hempshire. Diakses dari http://www.des.nh.gov. Pada tanggal 12 Mei 2010. Anonim, 2008. Water treatment & air purification Holding. Diakses dari http://lenntech.com/Disinfectants/Chlori ne. Pada tanggal 2 Agustus 2009. Anonim. 2009. Pencemaran Air. Badan Pengelolaan Lingkungan hidup (BPLHD). Jawa barat. Anonimb. 2009. Larutan Asam basa. Diakses dari http://www. nuklir.co.nr/chemistry. Pada tanggal 12 Mei 2010. Alaerts, G., dan Sumestri, S., 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Cappucino, J.G. dan Sherman. 2002. Microbiology a Laboratory Manual 6th. Person Education, Inc., Publishing as Benjamin Commings. San Francisco. Badan Standarisasi Nasional, 2004. Air dan air limbah-Bagian 22: Cara uji nilai Permanganat secara Titrimetri. SNI 06-6989.22-2004.
15
Badan Standarisasi Nasional, 2006. Cara uji mikrobiologi-Bagian 1: Penentuan coliform dan Escherichia coli pada produk perikanan. SNI 01-2332.12006. Black and Veatch, dkk. White's Handbook of Chlorination and Alternative Disinfectants. Jhon Wiley and sons Inc., Hooboken. New Jersey. Canada. Brooks,A Matthew. 1999. Breakpoint Chlorination as an Alternate Means of Ammonia-Nitrogen Removal at a Water Reclamation Plant. Environmental Sciences and Engineering. Northern Virginia Center. Virgina. Buchanan, R.E dan Gibbons, N.E. 1975. Bergey Manual of Determinative Bacteriology 8th edition. Baltimore USA : The Williams & Wilkins Company. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Depkes. 1996. Pedoman Teknis Sanitasi (Penyehatan) Pengelolaan Makanan Di Rumah Sakit. Jakarta. Ekhaise, F.O., Omavwoya, B.P., 2008. “Influence of Hospital Wastewater Discharged from University of Benin Teaching Hospital (UBTH), Benin City on its Receiving Environment”. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Science. Department of Microbiology, Faculty of Life Sciences, University of Benin. Nigeria. Emmanuel, E., Blanchard, J.M., Keck, G., Perrodin, Y., 2002. Effects of Hospital Wastewater on Aquatic Ecosystem. XXVIII Congereso Interamericano de Ingenieria Sanitaria y Ambiental. Cancun. Mexico. EPAa. 1999. Combined Sewer Overflow Technology Fact Sheet Chlorine Disinfection. United States Environmental Protection Agen.Wasington DC. EPAb. 1999. Alternative Disinfectants and Oxidants. Guidance Manual Environmental Protection Agen. Wasington DC. Giyatmi (2003). Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit Dokter Sardjito Yogyakarta terhadap Pencemaran Radioaktif. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Harley. 2002. Laboratory Exercises in Microbiology 5th edition. The Mc Graw-Hill. New York.
Hend Galal- Gorchev. 1996. Disinfection of Drinking Water and By-products of Health Concern. CEPIS Atikel. WHO. Kelly A. Reynolds. 2002. Microbial Resistance to Disinfectants. Water Conditioning and Purification Magazine. Arizona. Diakses dari http:// www.wcponline.com. Pada tanggal 7 Mei 2010. Kumar, G.A., Kumar, S., Sabumon P.C., 2006. “Preliminary Study of Physico-Chemical Treatment Options for Hospital Wastewater”. Journal of Environmental Management. Vellore Institute of Technology. Vellore Tamil Nadu. India. LecHevallier, Mark, W. 2004. Water Treatment and Phatogen Control. IWA Publishing. Alliance House. World Health Organitation.United Kingdom. Lestari, D.E., Utomo, S.B., Sunarko, Virkyanov, 2008. Pengaruh Penambahan Biosida Pengoksidasi Terhadap Kandungan Klorin untuk Pengendalian Pertumbuhan Mikroorganisme pada Air Pendingin Sekunder RSG-GAS. Pusat Reaktor Serba Guna-BATAN. Kawasan Puspitek Serpong. Tangerang. Banten. Mara, D., dan Horan, N., 2003. Handbook of Water and Wastewater Microbiology. School of Civil Engineering, University of Leeds, UK. Musadad.2001. Kajian Pengelolaan Limbah Padat Medis. Diakses dari http://ekologi.litbang.depkes.go.id, Pada tanggal 21 Nopember 2009. Nurdjannah, S., dan Moesriati, A., 2005. Optimalisasi Pembubuhan Gas Klor di Instalasi Penjernih Ngagel II PDAM Kota Surabaya. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi I. Program Studi Magister Manajemen Teknologi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Rahayu. 2006. Tindakan-tindakan Pencegahan Penyakit. Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Rezaee, A., Ansari, M., Khavanin, A., Sabzali, A., Aryan, M.M., 2005. “Hospital Wastewater Treatment Using an Integrated Anaerobic Aerobic Fixed Film Bioreactor”. American Journal of Environmental Sciences. Department of Environmental Health, Faculty of 16
Medical Sciences. Modares University Tehran. Iran. Saefuddin, 2007. Instalasi Pengolah Air Limbah Bojongsoang. Program Studi Ilmu Mikrobiologi. ITB. Bandung. Said, Idaman N., dan Wahyono, Dwi H., 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakir dengan Teknik Biofilter Aerob-anaerob. Direktorat Teknologi Lingkungan. Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan-BPPT. Jakarta. Setiawan, B.T. 2004. Analisis Bakteri Coliform pada Makanan Olahan Kantin Pusat Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Prodi Biologi ITS. Surabaya Spellman, F.R., 2003. Handbook of : Water and Wastewater Treatment Plant Operations. Lewis Publishers. A CRC Press Company: New York. Washington, D.C. Sriyadi, Djoko. 2004. Senyawa Karbon. Surakarta. Supardi, 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni : Bandung. Suriawiria, U. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Penerbit Angkasa. Bandung. Sururi, R. M., Rachmawati, S.Dj., Sholichah, M.,. 2008. Perbandingan Efektifitas Klor dan Ozon sebagai Desinfektan pada Sampel Air dari Unit Filtrasi Instalasi PDAM Kota Bandung. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung. The Chlorine Institute, Inc. 1999. Chlorine : Effect on Health and The Environment. 3rd Edition-November. Arlington. Waluyo, 2004. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhammadiyah Malang.Malang. Warlina, Lina. Pencemaran Air : Sumber, Dampak dan Penanggulangannya. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widjianti, Ni Luh Putu M., dan Ristiati Ni Putu. 2004. “Analisis Kualitatif Bakteri Koliform Pada Depo Air Minum Isi Ulang Di Kota Singaraja Bali”. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1 : 64 – 73.
17
Lampiran 1
Skema Kerja
Pengambilan Sampel (Air Limbah Rumah Sakit)
Larutan kaporit
Penentuan konsentrasi kaporit melalui uji kandungan bahan organik (titrimetri KMnO4)
Iodometri (KI)
Kadar Kaporit
Kadar klor aktif
Dosis kaporit (0, X1,X2,X3,X4,X5
Inkubasi 15 menit
Pengukuran pH
Inkubasi 30 menit
Inkubasi 45 menit
Titrasi iodometri untuk menentukan sisa klor aktif Grafik breakpoint chlorination (BPC) Dosis kaporit optimal berdasarkan grafik BPC
MPN Coliform (Lampiran 2)
Lampiran 2 Tabel Index MPN Sistem Lima Tabung
Lampiran 3 Metode Pengenceran Sistem Lima Tabung
1 ml P0
P1 9 ml
1 ml Sampel 100 ml
1 ml
1 ml
1 ml
1 ml
P3 9 ml
P2 9 ml
1 ml
1 ml
P4 9 ml
1 ml
T1 T2
+ 1 Blank o
T3 T4 T5 1 ml
10-1
10-2
10-3
10-4
Lampiran 4 Kurva BPC Limbah Cair RSUD Sidoarjo pada Bak Indikator Dosis pembubuhan klor aktif (ppm)
Residu klor aktif (ppm)
0 5 10 15 20 25 30 32.5 35 37.5 40 42.5 45 50 55 65 75 85 90 95 100
0 2.66 7.98 11.52 14.18 18.61 18.61 21.27 25.7 26.6 35.45 32.79 30.13 28.36 38.11 39.88 47.86 59.38 70.9 67.4 69.13
Kurva BPC Limbah Cair RSUD Sidoarjo Pada bak Indikator 80
Residu Klor Aktif (ppm)
70 60 50
dosis klor aktif (ppm)
40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
Klor Aktif (ppm)
70
80
90
100
Lampiran 5 Skema Keseluruhan Proses IPAL RSUD Sidoarjo 8 2 1
3
7
5 4
6
Indeks 1 = bak inlet (pengumpul 1) 2 = bak anaerobik 3 = bak aerob dan aerasi 4 = bak pengumpul 2 5 = bak indikator 6 = bak klorinasi 7 = bak pengendapan 8 = outlet
Lampiran 6 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 58 Tahun 1995 Tanggal 21 Desember 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit PARAMETER FISIKA Suhu KIMIA pH BOD COD TSS NH3 PO4 MIKROBIOLOGIK MPN-Kuman Golongan Koli/100 ml RADIOAKTIVITAS 32 P 35 S 45 Ca 51 Cr 67 Ga 85 Sr 99 Mo 113 Sn 125 I 131 I 192 Ir 201 TI
KADAR MAKSIMUM 300 C 6–7 30 mg/L 80 mg/L 30 mg/L 0,1 mg/L 2 mg/L 10.000 7 x 102 Bq/L 2 x 103 Bq/L 3 x 102 Bq/L 7 x 104 Bq/L 1 x 103 Bq/L 4 x 103 Bq/L 7 x 103 Bq/L 3 x 103 Bq/L 1 x 104 Bq/L 7 x 104 Bq/L 1 x 104 Bq/L 1 x 105 Bq/L
Lampiran 7 Perhitungan Konsentrasi Klor Aktif dan Dosis Pembubuhan Klor Aktif A. Penentuan Konsentrasi Aktif dalam Larutan Kaporit Penentuan konsentrasi klor aktif dalam larutan kaporit dilakukan dengan metode titrasi iodometri (Metodologi 3.2.3). Dengan dua kali perhitungan didapatkan hasil sebagai berikut. Volume titran OCl-/HOCl: Rerata yang dibutuhkan a x Normalitas Tiosulfat x BM.Cl (ppm) (tiosulfat) (a) x 1000/v.sampel 0,8 x 0,1 x 35,45 x 1000/5 = 0,8 ml 567,2 567 ppm 0,8 x 0,1 x 35,45 x 1000/5 = 0,8 ml 567,2 B. Pengukuran Kandungan Bahan Organik pada Sampel Air Limbah Pengukuran kandungan bahan organik terlarut dalam sampel air limbah dilakukan dengan metode titrasi permanganometri. Dengan tiga kali perhitungan didapatkan hasil sebagai berikut.
Sam pel ke-
Kadar KMnO4 = TOM (Total Organik Matter) (ppm) :
(a)
10 a b 10 xc x31,6 x1000
3 ml
d 1030,0110x0,1x31,6x1000 25
= 37,9
1 2,8 ml
102,80,0110x0,1x31,6x1000 25
Rerata (ppm)
36,6 39,79
= 5,39 3,7 ml
103,70,0110x0,1x31,6x1000
= 6,77
2 3,2 ml
103,20,0110x0,1x31,6x1000
= 40,45 3 ml
3,2 ml
43,6
25
10 30,01 10x0,1x31,6x1000
= 37,9
3
25
25
103,20,0110x0,1x31,6x1000
= 40,45
39,18
25
Keterangan : (a) volume titran KMnO4 yang dibutuhkan (ml), (b) normalitas KMnO4, (c) normalitas asam oksalat, (d) volume sampel yang dipakai (ml) (BSN, 2004). C. Penentuan Dosis pembubuhan Klor Aktif Penentuan dosis kaporit yang akan dibubuhkan dalam perlakuan dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini. V1 x N1 = V2 x N2 Keterangan : V1 = volume sampel yang digunakan (25 ml) N1 = konsentrasi kaporit (klor) yang diinginkan berdasarkan kandungan bahan organik (ppm) V2 = volume larutan kaporit yang di cari (x ml) N2 = konsentrasi klor aktif dalam larutan Kaporit (567 ppm) Diketahui kandungan bahan organik pada sampel adalah 39.79 ppm, maka digunakan sebagai kisaran konsentrasi klor yang diinginkan (N1)
Konsentrasi Klor (N1) (ppm) 30 35 40 45 50 55 60 65
Volume larutan Kaporit (V2) (ml) V2 = (V1 x N1)/N2 1.32 1.54 1.76 1.98 2.2 2.4 2.64 2.86
Keterangan: volume larutan kaporit hasil perhitungan (V2) merupakan volume kaporit yang dibubuhkan dalam larutan sampel untuk dihitung residu klor aktif melalui titrasi iodometri
Lampiran 8
Penentuan Sisa Residu Klor Aktif Penentuan sisa residu klor dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini. Residu klor = (1000/a) x b x 0.0125 x 35.45 Keterangan : a = volume sampel yang digunakan (25 ml), b = volume hasil titrasi (ml) Tabel 4.5 Sisa Residu Klor pada Penentuan Breakpoint Chlorination dengan Konsentrasi Klor dan Waktu Pemaparan yang Berbeda