PENGARUH BAHAN PENAHAN AIR AQUASORB TERHADAP PERTUMBUHAN JATI
FITRIANA WULANSARI PERMATA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENGARUH BAHAN PENAHAN AIR AQUASORB TERHADAP PERTUMBUHAN JATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
FITRIANA WULANSARI PERMATA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
The Effect of Water Absorbant Aquasorb on the Growth of Teak by: Fitriana Wulansari P, Iskandar Z. Siregar, and Sri Wilarso Budi R.
Introduction. Teak (Tectona grandis Linn.f) is one of the tree species which is widely cultivated in Java. In large scale teak plantation forest development, climate is one of the important factor influencing the success of planting. Tight schedule of planting and erratic weather condition constitute the constraint for achieving successful planting. One alternative for overcoming the constraint is by planting outside the rainy season. Planting outside the rainy season when the water supply is very limited, assisted by the use of aquasorb, has not been known, in terms of its success rate. The use of aquasorb for planting forestry planting stocks, particularly that of teak, has never been practiced in Indonesia. Therefore, there is a need for research to learn the extent that aquasorb effect could improve the survival percentage of teak planting stocks when they are planted outside the rainy season. Materials and method. The research was conducted from May 2008 through Agustus 2008, in the green house of Faculty of Forestry (IPB). The research consisted of three series of experiments. The experimental designs used were Block Randomized Design for Experiment 1, Factorial Completely Randomized Design for Experiment 2, and Completely Randomized Design for Experiment 3. In Experiment 1, there were 5 treatments with 3 replications, and each replication consisted of 4 planting stocks, so there were 60 experimental units. In Experiment 2, there were 2 factors, namely factors of leaf and aquasorb. Altogether, in Experiment 2, there were 16 treatments, and each treatment combination consisted of 3 replications. Each replication consisted of 3 planting stocks, so that altogether, there were 144 experimental units. In Experiment 3, there were 5 treatments with 3 replications, and each replication consisted of 3 planting stocks, so that altogether there were 45 experimental units. The observed variables were among other things, survival percentage; duration for reaching initial, intermediate and final wilting; percent of dry leaves, and percent of leaf shedding. Analysis of Variance was performed by using program of Minitab 14 and SAS for Duncan advanced test. Results and Conclusion. Results of Experiment 1 showed that the use of aquasorb with concentration of 600 ml, had the highest average of survival percentage (41.67 %) at 4 weeks after planting (WAP) as compared with control. In Experiment 2, application of aquasorb with concentration of 400 ml, accompanied with leaf cutting (reduction) by 70 % could increase the survival percentage of teak planting stocks, up to 100 %, and reduced the dry leaf percent to 54.91 % as compared with control. Leaf reduction by 70 and 90 % and the use of Aquasorb of 400 ml could prolong the duration to reach final wilting, up to 15 – 16 days. Results of Experiment 3 showed that application of aquasorb with different type, at the same concentration, had significant effect up to 5 WAP, and did not have significant effect at 6 WAP. The use of aquasorb of type A at concentration of 400 ml, exhibited higher percent of survival (67 %) as compared with the use of aquasorb of type B. Conclusion from this research was that the use of aquasorb with higher concentration could increase the survival percentage of teak planting stocks, as compared with control (without aquasorb). Experiment 3 showed that the use of aquasorb could maintain the optimal survival percentage of planting stocks, only up to 5 WAP.
Keywords : Aquasorb, Growth, Teak (Tectona grandis Linn.f)
ii
Pengaruh Bahan Penahan Air Aquasorb Terhadap Pertumbuhan Jati Oleh: Fitriana Wulansari P., Iskandar Z.Siregar, dan Sri Wilarso Budi R. Pendahuluan. Jati (Tectona grandis Linn.f) merupakan salah satu jenis tanaman yang masih diusahakan secara luas di pulau Jawa. Dalam pembangunan hutan tanaman Jati skala luas, iklim merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan penanaman. Waktu tanam yang sempit dan kondisi cuaca yang tidak menentu menjadi salah satu kendala keberhasilan penanaman. Salah satu alternatif dalam mengatasi keterbatasan waktu tanam yang sempit adalah dengan melakukan penanaman di luar musim hujan. Penanaman di luar musim hujan ketika jumlah air terbatas melalui aplikasi aquasorb belum diketahui keberhasilannya. Penggunaan aquasorb untuk penanaman bibit kehutanan khususnya Jati belum pernah digunakan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh aquasorb dapat mempertahankan persentase hidup Jati ketika ditanam di luar musim hujan. Bahan dan Metode. Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Fakultas Kehutanan IPB dari bulan Mei 2008 sampai Agustus 2008. Penelitian ini terdiri dari 3 seri percobaan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok pada Percobaan 1. Rancangan Acak Lengkap Faktorial pada Percobaan 2 dan Rancangan Acak Lengkap pada Percobaan 3. Pada percobaan satu terdapat 5 perlakuan dengan 3 ulangan, masingmasing ulangan terdiri dari 4 bibit sehingga terdapat 60 satuan percobaan. Pada percobaan dua terdiri dari dua faktor yaitu faktor daun dan aquasorb. Secara keseluruhan terdapat 16 perlakuan, setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 3 bibit sehingga terdapat 144 satuan percobaan. Pada percobaan tiga terdapat 5 perlakuan dengan 3 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 3 bibit sehingga terdapat 45 satuan percobaan. Peubah yang diamati antara lain persentase hidup, lama waktu mencapai layu awal, tengah dan akhir, persen daun kering, dan persen daun gugur. Analisis Sidik Ragam diolah dengan menggunakan program Minitab 14 dan program SAS untuk uji lanjut Duncan. Hasil dan Kesimpulan. Hasil dari percobaan 1 menunjukkan bahwa penggunaan aquasorb pada konsentrasi 600 ml memiliki rata-rata persen hidup tertinggi (41,67%) pada 4 MST dibandingkan kontrol. Pada percobaan 2, pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml dengan pemotongan daun sebesar 70% dapat meningkatkan persen hidup bibit Jati hingga 100%` dan mengurangi persen daun kering hingga 54,91% dibanding kontrol. Pengurangan daun sebesar 70 dan 90 % dengan penggunaan aquasorb 400 ml dapat memperlambat waktu layu akhir hingga 15-16 hari. Hasil percobaan 3 menunjukkan bahwa pemberian aquasorb dengan jenis yang berbeda pada konsentrasi yang sama berpengaruh sampai 5 MST dan tidak berpengaruh pada 6 MST. Penggunaan aquasorb jenis A pada konsentrasi 400 ml memiliki persentase hidup yang lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan penggunaan aquasorb jenis B. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan aquasorb dengan konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan persentase hidup bibit Jati dibandingkan kontrol tanpa pemberian aquasorb. Berdasarkan percobaan 3 penggunaan aquasorb dapat mempertahankan persentase hidup bibit secara optimal hanya sampai 5 MST.
Kata Kunci : Aquasorb, Pertumbuhan, Jati (Tectona grandis Linn.f.).
Judul Skripsi
: Pengaruh Bahan Penahan Air Aquasorb Terhadap Pertumbuhan Jati : Fitriana Wulansari Permata : E14204053
Nama NIM
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Dr.Ir.Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc NIP. 131 878 498
Dr.Ir.Sri Wilarso Budi R.,MS NIP. 131 878 161
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Bahan Penahan Air Aquasorb Terhadap Pertumbuhan Jati adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Fitriana Wulansari P. NRP. E14204053
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 26 Agustus 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Syamsul Basri dan Sukmawati. Pada tahun 2004 Penulis lulus dari SMU Negeri 6 Bandung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajeman Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama
perkuliahan,
penulis
mengikuti
Praktek
Pengenalan
dan
Pengelolaan Hutan (P3H) di BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Gunung Slamet Barat, KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Banyumas Timur dan BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat, sedangkan Praktek Umum Pengelolaan Hutan dilaksanakan di KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dari bulan Juli sampai Agustus 2007. Pada Bulan Maret sampai Mei 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penulis pernah aktif di BEM Fahutan periode 2005-2006, BEM-KM (Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa) periode 2006-2007, FMSC (Forest Management Study Club) Periode 2005-2006, TGC (Tree Grower Community) 2006-2007, dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Tenis Lapangan 2006-2008. Selain itu penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Dendrologi, Inventarisasi Hutan, Silvikultur, dan P2EH (Praktek Pengenalan Hutan) untuk program sarjana tahun ajaran 2007/2008. Sebagai salah syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Bahan Penahan Air Aquasorb Terhadap Pertumbuhan Jati dibimbing oleh Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr.Ir. Sri Wilarso Budi R., MS.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengaruh Aquasorb Terhadap Pertumbuhan Jati. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penulis ucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr.Ir. Sri Wilarso Budi R., MS selaku dosen pembimbing. Bapak Dr.Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Prof.Dr.Ir. I. Ketut N. Pandit, MS sebagai dosen penguji. Selain itu penulis sampaikan penghargaan kepada Bapak Dedi dan Bapak Atang yang telah banyak membantu di rumah kaca Laboratorium Silvikultur. Ungkapan terima kasih penulis persembahkan kepada Bapak, Ibu dan keluarga tercinta atas dukungan, doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Teddi yunanto, Jo, Albi, Tohirin, Dany, Jeje, Diana, Ana Heru, Mustian, Mario, Ka Haris, Agus, seluruh rekan-rekan Silvikultur 41 dan teman-teman Fairus yang telah banyak memberikan motivasi dan tenaganya dalam penelitian ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini sedikitnya dapat memberikan manfaat.
Bogor, Januari 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.... .................................................................................. DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. BAB I PENDAHULUAN............................................................................
i ii iii iv v 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.3 Hipotesis .............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
3
2.1 Jati ....................................................................................................... 2.2 Pertumbuhan Tanaman ....................................................................... 2.3 Peranan Air Bagi Tanaman ................................................................. 2.4 Hubungan Air Terhadap Pertumbuhan Tanaman ............................... 2.5 Aquasorb ............................................................................................
3 6 7 8 8
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................
11
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................... 3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................
11 11 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
23
4.1 Percobaan 1 ......................................................................................... 4.1.1 Persen Hidup .............................................................................. 4.1.2 Lama Waktu Mencapai Layu .................................................... 4.1.3 Persentase Daun Kering ............................................................. 4.1.4 Persen Daun Gugur .................................................................... 4.2 Percobaan 2 ......................................................................................... 4.2.1 Persen Hidup .............................................................................. 4.2.2 Lama Waktu mencapai Layu .................................................... 4.2.3 Persentase Daun Kering ............................................................. 4.2.4 Persen Daun Gugur .................................................................... 4.2.5 Persentase Bibit Segar kembali .................................................. 4.3 Percobaan 3 ......................................................................................... 4.3.1 Persen Hidup .............................................................................. 4.3.2 Lama Waktu Mencapai Layu . ................................................... 4.3.3 Persen Daun Kering ................................................................... 4.3.4 Persen Daun Gugur .................................................................... 4.4 Pembahasan Umum ............................................................................
23 23 25 26 28 30 30 33 35 37 38 39 40 41 43 44 47
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
52
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 5.2 Saran ..................................................................................................
52 53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
54
BAB II
BAB V
DAFTAR TABEL
No.
Judul
Halaman
1.
Pengaruh aquasorb terhadap lama waktu mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) pada bibit Jati............................................... 25
2.
Pengaruh pemberian aquasorb terhadap persen daun kering bibit Jati...... 27
3.
Pengaruh pemberian aquasorb terhadap jumlah daun gugur bibit Jati...... 29
4.
Pengaruh interaksi faktor aquasorb dan pengurangan daun terhadap persen hidup bibit Jati pada 1 ,2, 3 dan 4 MST.......................................... 31
5.
Pengaruh pemberian aquasorb terhadap persen hidup bibit Jati ............... 32
6.
Pengaruh interaksi pengurangan daun dan aquasorb terhadap waktu layu awal (T0) bibit Jati.............................................................................. 33
7.
Pengaruh pengurangan daun dan aquasorb terhadap waktu layu tengah ( T50) dan akhir (T100) bibit Jati...................................................... 34
8.
Pengaruh pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb terhadap persen daun kering bibit Jati. .................................................................... 36
9.
Pengaruh pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb terhadap persen daun gugur bibit Jati....................................................................... 37
10. Pengaruh pemberian aquasorb jenis A dan B terhadap persen hidup bibit Jati...................................................................................................... 40 11. Pengaruh aquasorb jenis A dan B terhadap waktu layu (T0), awal, tengah (T50) dan akhir (T100) bibit Jati ...................................................... 42 12. Pengaruh pemberian aquasorb terhadap persen daun kering bibit Jati...... 43 13. Pengaruh pemberian aquasorb jenis A dan B terhadap persen daun gugur bibit Jati ..................................................................... 45 14. Persentase bibit segar kembali bibit Jati setelah dilakukan penyiraman pada 6 MST .............................................................................................. 46
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
1
Aquasorb.......................................................................................................
9
2
Ikatan kimia aquasorb..................................................................................
9
3
Diagram penanaman bibit Jati pada percobaan 1, 2 dan 3 .......................... 12
4
Grafik persen hidup hasil uji lanjut Duncan terhadap pemberian aquasorb pada 4 MST ................................................................ 23
5
Perbandingan pemberian konsentrasi aquasorb terhadap waktu layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) .................................... 26
6
Persentase daun kering terhadap konsentrasi aquasorb per minggu pada masing-masing perlakuan..................................................................... 27
7
Jumlah daun gugur terhadap konsentrasi aquasorb per minggu pada masing-masing perlakuan..................................................................... 29
8
Grafik Rata-rata persen hidup per perlakuan pada 4 MST........................... 32
9
Rata-rata perbandingan lama waktu mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) pada setiap perlakuan..................................... 35
10 Bibit Jati....................................................................................................... 39 11 Grafik rata-rata persen hidup terhadap pemberian aquasorb per perlakuan pada 6 MST........................................................................... 41 12 Perbandingan waktu layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) terhadap pemberian aquasorb jenis A dan B. ............................................ 42 13 Persen daun kering terhadap pemberian aquasorb per minggu per perlakuan............................................................................. 44 14 Persen daun gugur terhadap pemberian aquasorb pada setiap perlakuan per minggu.................................................................................... 45 15 Bibit Jati yang dapat segar kembali.............................................................. 47
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul
Halaman
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Percobaan 1. ...................................................... 59 Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam Percobaan 2. ...................................................... 61 Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Percobaan 3. ...................................................... 65
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Laju deforestrasi dan degradasi hutan tropis yang semakin meningkat saat ini telah mengakibatkan ketidakseimbangan proporsi antara areal berpohon dan lahan kosong. Salah satu dampak yang timbul akibat ketidakseimbangan tersebut adalah meningkatnya suhu di permukaan bumi akibat adanya efek gas rumah kaca yang secara tidak langsung memicu terjadinya pemanasan global. Pengamatan suhu global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan rata-rata suhu yang menjadi indikator adanya perubahan iklim. Perubahan suhu o
global ini ditunjukkan dengan naiknya suhu rata-rata hingga 0,74 C antara tahun 1906 hingga tahun 2005. Suhu rata-rata global ini diproyeksikan akan terus o
meningkat sekitar 1,8-4,0 C di abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain o
dalam IPCC diproyeksikan berkisar antara 1,1-6,4 C (IPCC 2007). Salah satu dampak naiknya suhu rata-rata global adalah berubahnya pola iklim sehingga lamanya musim hujan dan musim kemarau tidak dapat diprediksi secara tepat. Seringkali lamanya musim hujan lebih pendek daripada musim kemarau dengan curah hujan dalam frekuensi yang rendah sehingga menimbulkan kekeringan akibat adanya peningkatan suhu. Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang masih diusahakan secara luas di pulau Jawa. Dalam pembangunan hutan tanaman Jati skala luas, iklim merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan penanaman. Kadang-kadang target penanaman tidak tercapai karena sempitnya musim tanam. Waktu tanam yang begitu singkat dengan kondisi cuaca yang tidak menentu menjadi salah satu kendala keberhasilan penanaman. Salah satu alternatif dalam mengatasi keterbatasan waktu tanam yang sempit adalah dengan melakukan penanaman di luar musim hujan. Penanaman di luar musim hujan dapat dilakukan melalui pendekatan genetik dan lingkungan. Pendekatan secara genetik dapat dilakukan dengan menanam varietas Jati tahan kering sedangkan pendekatan lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan
2
suatu teknologi yang dapat menyimpan dan mengefisienkan penggunaan air seperti aplikasi aquasorb. Penanaman di luar musim hujan ketika jumlah air terbatas melalui aplikasi aquasorb belum diketahui keberhasilannya. Penggunaan aquasorb untuk penanaman bibit kehutanan khususnya Jati (Tectona grandis Linn.f.) belum pernah digunakan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh aquasorb dapat mempertahankan persentase hidup bibit Jati ketika ditanam di luar musim hujan.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon bibit Jati terhadap aplikasi aquasorb.
1.3 Hipotesis Aplikasi aquasorb dapat membantu mengurangi kematian bibit pada kondisi tanpa penyiraman.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dalam hal efektifitas aquasorb sebagai salah satu bahan yang dapat mengefisiensikan penggunaan air dalam penanaman bibit, sehingga waktu tanam dapat dilakukan pada musim hujan maupun musim kemarau.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jati 2.1.1 Klasifikasi dan Penyebaran Tanaman Jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn.f. secara historis nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas yang tinggi (Sumarna 2002). Menurut Martawijaya et al. (1981) Jati diklasifikasikan sebagai berikut: divisi
: Spermatophyta
kelas
: Angiospermae
sub kelas
: Dycotiledonae
ordo
: Verbenales
family
: Verbenaceae
genus
: Tectona
spesies
: Tectona grandis Linn.f.
Tectona grandis Linn.f. atau Jati adalah tumbuhan tropis yang penyebarannya meliputi India, Birma, Thailand, Vietnam dan Indonesia. Di Indonesia terutama di Jawa, tumbuh pada ketinggian kurang dari 700 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ini juga terdapat di Muna, Buton, Maluku (Wetar) dan Nusa Tenggara (Dephut 1991). Di Jawa dan di beberapa pulau Nusa Tenggara umumnya dinamakan Jati, disebut kayu Jati (dalam bahasa Melayu dan Jawa) atau kijati di Pasundan (Cordes 1992). Tanaman Jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti ching-jagu (di wilayah Asam); saigun, segun (Bengali); tekku (Bombay); kyun (Burma); saga, sagach (Gujarat); sagun, sagwan (Hindi); jadi, saguan, tega, tiayagadamara (Kannad); sag, saga sgwan, (Manthi); singuru (Oriya); bardaru, bhumisah, dwardaru, kaharachchad, saka (Sangskirt); tekkumaran, tekku (Tamil); adaviteeku, peddatekku, teekuchekka (Telugu) teck atau teak baun (Jerman); dan teak (Inggris) (Sumarna 2002).
4
2.1.2 Pengenalan Botanis Tinggi pohon Jati antara 25-30 meter, namun pada daerah yang subur tinggi pohon bisa mencapai 50 meter dengan diameter + 150 cm. Batang umumnya bulat dan lurus, kulit kayu agak tipis, beralur dalam sampai agak dalam (Dephut 1991). Menurut Samingan (1979), kulit luar Jati berwarna abu-abu dengan retak-retak memanjang, mengelupas, kaku dan liat, tebalnya 10-13 mm, irisan melintang berwarna putih kotor kecokelat-cokelatan, dengan getah menyerupai air, tanpa hijau daun, tanpa lentisel, tidak berbau dengan rasa tajam yang pahit. Tajuk Jati tak beraturan, bulat lebar, terpasang agak rendah di tegakantegakan yang kurang rapat. Dahan-dahan Jati bengkok-bengkok dan lekuk-lekuk, bercabang banyak, ranting-ranting kasar berpenampang empat segi, dan berambut banyak (Beekman 1949). Daun Jati berada saling berhadapan pada rantingnya, tangkai daunnya pendek dan bagian bawahnya berbulu kehalusan terutama pada pangkal tangkai itu. Daunnya amat besar, lebar, bundar atau hampir elips, meruncing, bertulang daun nyata, agak mengkilat, dan bagian bawah umumnya lebih terang dibandingkan bagian atas (Cordes 1992). Pohon Jati pada musim kemarau, menggugurkan daun. Di Jawa umumnya waktu pengguguran daun Jati terjadi pada bulan Juni. Pengguguran ini dipengaruhi oleh iklim, keadaan setempat dan umur pohon Jati itu sendiri (Cordes 1992). Daun Jati akan tumbuh kembali pada bulan Januari atau Maret, tumbuhnya daun secara umum ditentukan oleh kondisi musim (Sumarna 2002). Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu Jati mempunyai berat jenis antara 0,620,75 dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,8-5,2%. Ditinjau dari sifat mekaniknya, kayu Jati memiliki keteguhan lentur statik 718 kg/cm2 serta modulus elastisitas kayu sekitar 127,7 (1000 kg/cm2). Sedangkan keteguhan tekan sejajar arah serat maksimum 550 kg/cm2. Sifat kimia kayu Jati memiliki kadar selulosa 47,5%, lignin 29,9%, pentosan 14,4%, abu 1,4% dan silika 0,4%, serta nilai kalor 5.081 kal/gram. Keawetan kayu sesuai hasil uji terhadap Cryptotermes cynocephalus, jamur, dan rayap tergolong kelas II (Sumarna 2002).
5
2.1.3 Persyaratan Tempat Tumbuh Secara geologis, tanaman Jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi limestone, granite, gneis, mica shit, sandstone, quartzite, conglomerate, shale dan clay. Jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasamaan tanah (pH) optimum berkisar sekitar 6,0 (Sumarna 2002). Untuk pertumbuhan Jati membutuhkan iklim musim yang nyata, yaitu musim dengan curah hujan berkisar antara 1250-2500 mm dan jumlah bulan kering berkisar antara 3-5 bulan, serta membutuhkan tanah beraerasi baik (Dephut 1991). Jati tumbuh di wilayah dengan suhu diantara 12,5oC dan 40oC, Jati juga dapat tumbuh pada suhu yang ekstrim rendah yaitu 2oC dan suhu ekstrim tinggi 46oC, sedangkan suhu yang optimal untuk Jati diantara 22oC dan 27oC dengan suhu ekstrim 15oC dan 30oC (Tun 1979, diacu dalam Supriatna 2003). Adapun kondisi kelembaban lingkungan tanaman Jati yang optimal sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70% untuk fase generatif (Sumarna 2002). Di Jawa Jati terutama terdapat pada daerah-daerah yang panas dengan tanah-tanah yang rendah dan berbukit-bukit, sifatnya agak kurus, dan kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan margalit (FKT UGM 1976).
2.1.4 Hama dan Penyakit Hama yang menyerang tumbuhan Jati adalah engkes-engkes (Monohamus rustricator F), uter-uter (Phassus damor Moore), oleng-oleng (Domittus ceramicus Wlk), inger-inger (Neotermes tectonae Dam), dan entung Jati (Hyblaea puera Cr) (Dephut 1991). Hama penggerek batang pada tanaman Jati adalah jenis Zeuzera coffence, sedangkan yang menyerang akar Jati adalah jenis Leochepalis rorida (Kusman 2001). Hama penyebab busuk kayu basah pada Jati adalah jenis Xyleborus destruens BDLF dari famili Scolytidae, dan ordo Coleoptera. Hama ini kebanyakan tidak menimbulkan kerugian yang tidak berarti, tetapi kadang-kadang dapat menghebat serangannya (Dephut 1991).
6
2.2 Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan adalah suatu proses pada organisme terutama peningkatan ukuran sebagai hasil dari pembelah sel dan pemanjangan sel meristem (Mahlstede et al. 1957, diacu dalam Herwandi 2003). Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan pertumbuhan adalah suatu konsep yang universal dalam bidang biologi dan merupakan hasil dari integrasi berbagai reaksi biokimia, peristiwa biofisik dan proses fisiologis yang berinteraksi dalam tubuh tanaman bersama dengan faktor luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara luas terbagi dua, pertama faktor eksternal (lingkungan) yang terdiri dari: (1) iklim; (2) tanah; (3) biologis. Kedua, faktor internal (genetik) yang terdiri dari: (1) ketahanan terhadap tekanan iklim, tanah dan biologis; (2) laju fotosintetik; (3) respirasi; (4) pembagian hasil asimilasi dan N; (5) klorofil, karoten, dan kandungan pigmen lainnya; (6) tipe dan letak meristem; (7) kapasitas untuk penyimpanan cadangan makanan; (8) aktifitas enzim; (9) pengaruh langsung gen; (10) diferensiasi (Gardner et al. 1991). Pertumbuhan pada tanaman berlangsung terbatas pada beberapa bagian tertentu yang terdiri dari sejumlah sel yang baru saja dihasilkan melalui proses pembelahan sel di meristem. Pertumbuhan dan pembelahan memiliki pengertian yang berbeda, yaitu pembelah sel tidak menyebabkan pertambahan ukuran sedangkan pertumbuhan memiliki pertambahan ukuran (Salisburi dan Brady 1995, diacu dalam Gunawan 2007). Suatu tanaman akan tumbuh dengan suburnya, apabila segala elemen yang dibutuhkan tersedia cukup dan dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman. Jika suatu unsur kurang, maka penambahannya akan memberikan manfaat, tetapi apabila unsur itu sudah berlebih, maka penambahannya akan terbuang percuma dan akan mengakibatkan kerusakan pada tanaman (Dwijoseputro 1980). Pertumbuhan tanaman akan banyak kehilangan air melalui transpirasi karena rangka molekul semua bahan organik pada tumbuhan merupakan atom karbon yang harus diperoleh dari atmosfer. Karbon masuk ke dalam tumbuhan sebagai karbondioksida (CO2) melalui pori stomata dan yang paling banyak terdapat di permukaan daun, dan air keluar secara difusi melalui pori yang sama
7
pada saat stomata terbuka (Salisbury dan Brady 1995, diacu dalam Gunawan 2007). 2.3 Peranan Air Bagi Tanaman Air merupakan bagian terbesar dari jaringan tanaman dan sangat berperan dalam kehidupan tanaman. Tjondronegoro (1999) menyebutkan bahwa air merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan faktor lingkungan lainnya. Hal ini terbukti karena lebih dari 80% berat basah tanaman terdiri dari air sehingga ketersediaannya merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebab air penting untuk pembelahan dan pembesaran sel. Leiwakabessy (1985) menjelaskan bahwa sejumlah besar air dibutuhkan untuk mempertahankan turgor tanaman. Energi dalam proses pemanjangan sel berasal dari tekanan turgor tersebut. Selanjutnya Black (1968) menjelaskan peranan penting air dalam proses pembesaran sel. Tekanan turgor akan mendesak dinding sel dari dalam oleh adanya air yang diserap oleh sel tanaman. Tekanan tersebut menyebabkan dinding sel meregang dan terjadi proses pembesaran sel. Kekurangan air dalam tanaman akan menghambat proses translokasi unsur-unsur hara dan hasil fotosintesis, serta menghambat pembelahan dan pemanjangan sel (Leiwakabessy 1985). Menurut Levit (1980), istilah kekeringan (drought), cekaman air (water stress) dan defisit air (water deficit) biasanya dapat dipertukarkan dalam penggunaannya, namun cekaman air relatif terjadi dalam periode waktu yang pendek dibandingkan kekeringan. Cekaman air disebabkan oleh kekurangan dan kelebihan air, sedangkan kekeringan hanya disebabkan oleh kekurangan air (Levit 1980). Slatyer (1967) menunjukkan bahwa kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan jika kondisinya cukup berat akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut. Kelebihan air yang terlalu banyak juga akan mengakibatkan jenuh pada media tanam sehingga tanaman akan menjadi kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian pada tanaman.
8
2.4 Hubungan Air Terhadap Pertumbuhan Tanaman Mengenai hubungan antara kandungan air tanah dan pertumbuhan tanaman para ahli memiliki dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman sedikit dipengaruhi oleh perubahan kandungan air tanah pada kisaran air tersedia, tetapi saat mendekati titik layu permanen terjadi penurunan laju pertumbuhan yang sangat drastis. Pendapat kedua menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh bertambahnya kekeringan setelah kapasitas lapang (Pranoto 1983). Tanggap tanaman terhadap kekurangan air, secara alami sebagian besar ditentukan oleh jenis tanaman, keadaan sistem perakaran, dan waktu terjadinya kekurangan air pada periode pertumbuhan (Williams & Joseph 1973). Suatu jenis tanaman tertentu pada suatu periode tumbuh tertentu sangat dipengaruhi oleh bertambahnya kekeringan. Untuk melihat lebih jauh hubungan air dengan pertumbuhan tanaman diperlukan suatu pengertian berbagai tanggap tanaman secara fisiologik terhadap air. Menurut Kramer (1969), air berfungsi sebagai : (1) penyusun utama jaringan tanaman yang aktif secara fisiologik, (2) Pereaksi dalam fotosintesa dan dalam proses hidrolitik, misalnya sebagai penghancur pati, (3) pelarut garam, gula dan senyawa lain sehingga larutan tersebut dapat bergerak dari sel ke sel atau dari organ ke organ, (4) sebagai pengatur suhu, dan (5) unsur yang diperlukan dalam mempertahankan turgor tanaman. Disamping itu air berperan dalam proses transpirasi, yang secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Meskipun setiap proses yang terjadi dalam tanaman dipengaruhi oleh air, tetapi pengaruhnya bervariasi sesuai ciri tanaman, tingkat pertumbuhan, kondisi tanah dan iklim (Chang 1968). Selanjutnya dikatakan bahwa kekurangan air tidak hanya mengurangi hasil, tetapi juga merubah pola pertumbuhan tanaman. 2.5 Aquasorb Aquasorb merupakan super absorbent anionic polyacrylamide polymers. Produk ini adalah crosslinked copolymers dari acrylamide dan potassium acrylate. aquasorb adalah penahan air-cairan yang dapat digunakan bersinergi dengan tanah atau media lain serta pupuk, menyerap dan menyimpan air dan unsur hara dalam jumlah yang besar. Tidak seperti produk lain, aquasorb tidak larut dalam
9
air tetapi dia hanya menyerap dan akan melepaskan air dan unsur hara tersebut secara proporsional pada saat dibutuhkan oleh tanaman, dengan demikian tanaman akan selalu mempunyai persediaan air dan unsur hara setiap saat karena aquasorb berfungsi menyerap dan melepaskan (absorption – release). Aquasorb mengoptimalkan pertumbuhan tanaman dengan mengurangi kehilangan air dan unsur hara melalui leaching dan evaporasi. Air dan unsur hara tersimpan disekeliling akar sehingga dapat mengoptimalkan penyerapan oleh tanaman (Anonim 2004). Hidrogel
terbuat
dari
bahan
organik
polyacrylamide
yang
dapat
terdekomposisi secara alamiah di dalam tanah, sehingga bersifat ramah lingkungan. Hidrogel mampu bertahan di dalam tanah selama dua tahun sepanjang tidak terkena sinar matahari langsung yang kuat dalam waktu yang lama. Hidrogel dalam keadaan kering berbentuk kristal halus, dan akan mengembang saat menghisap air, kemudian membentuk gel-gel bening sebagai tempat penyimpanan air (Gambar 1). Air tersebut akan dikeluarkan kembali jika tanah di sekitarnya kekurangan air. Hal ini berjalan secara alamiah berdasarkan prinsip kesetimbangan tekanan osmosis. 1 gram hidrogel dapat menyimpan 100200 gram air (Anonim 2008).
Gambar 1 Aquasorb. Sumber : www. Horties.co.id.
Gambar 2 Ikatan kimia aquasorb. Sumber : www. Horties.co.id.
10
Aquasorb adalah produk polimer yang dapat terurai melalui pembusukan oleh mikrobia sehingga produk ini sangat aman digunakan. Polimer ini sensitif terhadap sinar matahari langsung yang akan memutus rantai polimernya dan terurai menjadi beberapa oligomer. Aquasorb akan terurai secara alami di dalam tanah menjadi CO2, H2O dan komponen nitrogen (Gambar 2). Aquasorb tidak dapat menggantikan air tetapi mengoptimalkannya melalui penggunaan yang lebih efisien (Anonim 2004). Aquasorb merupakan polimer sintetis dengan ikatan rantai yang panjang yang bertindak sebagai agen penguat dan mengikat pertikel tanah bersama, oleh karenanya partikel besar dan berat ini tidak dapat dihilangkan secara mudah oleh air. Polyacrylamide dipasarkan dibawah nama dagang yang berbeda seperti terrasorb, hydosource, hydro-mulch, water crystal, pam, copolymer, moist soil, aquasorb, agrosoke, dll. Semua produk ini merupakan polimer tetapi tidak semua polyacrylamide sama (Hayat & Ali 2004 ). Penggunaan aquasorb bukan merupakan hal yang baru dalam dunia pertanian, aquasorb pertama kali digunakan dalam konservasi tanah pada tahun 1950, ketika non cross-linked acrylamida, vinyl alcohol dan cairan plastik, serta komposisi karet dikenalkan sebagai penstabil agregat tanah untuk mengontrol erosi (Gardner et al. 1988, diacu dalam Hayat 2004 ). Produk ini merupakan bahan kimia sintesis dan telah digunakan sebagai pembantu dalam produksi tanaman di bawah kondisi kering ketika sumber air terbatas. Pengembangan aquasorb telah dilakukan dari tahun 1960, pengenalan cross-linked polimer ketika matrik polimer secara kimia dibangun agar dapat menyerap dan melepaskan sejumlah besar air. Polimer ini dapat disintesis dari non ionik, kationik, atau anionik. Beberapa bahan larut air ini dapat diaplikasikan dengan irigasi air (Helalia dan Latey 1998, diacu dalam Hayat 2004).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian ini terdiri dari 3 seri percobaan yang dilakukan selama 3 bulan dari Mei-Agustus 2008. Percobaan 1 dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008, percobaan 2 dilakukan pada bulan Juni-Juli 2008, dan percobaan 3 dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2008.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aquasorb, bibit Jati, tanah dan polibag berukuran 35 x 35 cm. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, kamera, gelas ukur, plastik, kaliper, termometer bola basah dan kering, penggaris, alat penyiram, dan alat tulis.
3.3 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian meliputi prosedur percobaan 1, percobaan 2, dan percobaan 3. Prosedur setiap percobaan secara garis besarnya sama, beberapa perbedaan terdapat pada kegiatan penyiapan bibit sebelum penanaman dan perlakuan yang diberikan pada setiap percobaan. Pada percobaan 2 dan 3 dilakukan pemotongan daun pada bibit sebelum penanaman sedangkan pada percobaan 1 tidak dilakukan. Beberapa perlakuan yang membedakan dari setiap percobaan adalah adanya penutupan di atas permukaan tanah dengan menggunakan plastik pada percobaan 1 dan serasah pada percobaan 3 sedangkan pada percobaan 2 tidak dilakukan penutupan (Gambar 3). Hasil yang diperoleh dari percobaan 2 merupakan acuan bagi percobaan 3.
12
Gambar 3 Diagram penanaman bibit Jati pada percobaan 1, 2 dan 3
3.3.1 Prosedur Penelitian Percobaan 1 3.3.1.1 Penyiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan adalah tanah. Tanah yang digunakan untuk media tanam adalah tanah yang telah diayak terlebih dahulu. 3.3.1.2 Penyiapan aquasorb Aquasorb merupakan koloid berbentuk gel. 1 liter koloid gel diperoleh dengan mencampur 5 gram butiran gel ke dalam 1 liter air, kemudian diaduk rata selama + 3-4 jam. Satu gram butiran gel dapat mengikat air sebanyak 200 cc. 3.3.1.3 Penanaman Penanaman dilakukan dengan memasukkan aquasorb yang berupa koloid gel ke dalam lubang tanam kemudian di dalam polibag yang telah dibuat sebelumnya, bibit Jati diletakkan diatas aquasorb kemudian polibag diisi dengan media tanam sampai penuh dan padat. Bagian atas permukaan tanah ditutup dengan plastik untuk mencegah evaporasi dan masuknya air kedalam polibag.
13
3.3.1.4 Pemeliharaan Pemeliharaan bibit meliputi penyiraman dan pembersihan gulma. Penyiraman bibit dilakukan setiap pagi hari sesuai dengan kapasitas lapang (tanah jenuh air) terhadap kontrol sedangkan pembersihan gulma dilakukan pada seluruh bibit. 3.3.1.5 Pengamatan Pengamatan pertumbuhan dilakukan selama 30 hari setelah bibit ditanam. Peubah yang diamati antara lain :
Persentase bibit hidup, yaitu banyaknya bibit yang hidup dibandingkan seluruh bibit yang ditanam.
Lama hari mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) dihitung ketika daun telah mengalami waktu layu pada pertama kali, layu tengah yang dicirikan dengan telah mengeringnya daun sebanyak 30-50% dan layu akhir yang dicirikan dengan telah mengeringnya daun 70-90%.
Persentase daun kering, yaitu jumlah daun kering yang dihitung setiap minggu dengan menggunakan rumus :
% Daun Kering
Daun Kering 100% Daun
Daun dikategorikan sebagai daun kering apabila lebih dari 50% luas daun kering.
Persen daun gugur, yaitu jumlah daun gugur yang dihitung setiap minggunya dengan rumus:
% Daun Gugur
Daun Gugur 100% Daun
Pengukuran suhu dan kelembaban udara. Data mengenai suhu dan kelembaban udara relatif merupakan data penunjang dalam penelitian ini. Pengukuran suhu udara menggunakan termometer dan pengukuran kelembaban udara relatif menggunakan termometer bola basah dan kering.
14
3.3.1.6 Rancangan Percobaan Dalam Penelitian ini digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Masing-masing perlakuan diulang dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan ada 5 yaitu : Ao = Kontrol tanpa penyiraman A1 = Kontrol dengan penyiraman A2 = Penggunaan aquasorb 200 ml A3 = Penggunaan aquasorb 400 ml A4 = Penggunaan aquasorb 600 ml Setiap perlakuan terdiri dari 4 bibit sehingga terdapat (3 x 5 x 4) 60 satuan percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : (Mattjik 2006).
ij Ai j ij Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada faktor perlakuan ke-i, dan kelompok ke-j
µ
= Rataan umum
Ai
= Pengaruh perlakuan ke-i
ßj
= Pengaruh kelompok ke-j
Εijk
= Galat atau nilai kesalahan percobaan perlakuan ke-i, dan kelompok ke-j
3.3.1.7 Analisis Data Data hasil pengukuran penelitian dianalisis dengan menggunakan software Minitab 14 dan SAS. Analisis sidik ragam dengan Uji F terhadap variabel yang diamati dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara berbagai perlakuan yang diberikan, dengan hipotesis sebagai berikut :
Pengaruh Utama Faktor A Ho : Penggunaan aquasorb tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit H1 : Penggunaan aquasorb berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit
15
Untuk kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah: F hitung < F tabel ; Terima Ho F hitung > F tabel ; Tolak Ho
Jika hasil analisis sidik ragam Uji F terdapat pengaruh yang nyata, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan Uji lanjut Duncan, yang tujuannya untuk mengetahui beda rata-rata antara perlakuan.
3.3.2 Prosedur Penelitian Percobaan 2 3.3.2.1 Penyiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan adalah tanah. Tanah yang digunakan untuk media tanam adalah tanah yang telah diayak terlebih dahulu. 3.3.2.3 Luas Daun Pengukuran luas daun dilakukan pada 10 contoh untuk mendapatkan ratarata total luas daun dengan menggunakan metode grid. Daun digambar pada kertas milimeter dengan meletakkan daun di atas kertas milimeter dan pola daun diikuti. Luas daun ditaksir berdasarkan jumlah kotak yang terdapat dalam pola daun yaitu : LD = n x Lk
Dimana : n
= jumlah kotak
Lk
= Luas setiap kotak
Kotak yang terpotong tepi gambar daun dimasukkan dalam perhitungan apabila mempunyai ukuran > 0,5 cm. 3.3.2.4 Penyiapan Aquasorb Aquasorb merupakan koloid berbentuk gel. 1 liter koloid gel diperoleh dengan mencampur 5 gram butiran gel ke dalam 1 liter air, kemudian diaduk rata selama + 3-4 jam. Satu gram butiran gel dapat mengikat air sebanyak 200 cc.
16
3.3.2.5 Penanaman Sebelum dilakukan penanaman daun dikurangi terlebih dahulu sebanyak 50%, 70% dan 90% dari luas total bibit. Setelah dilakukan pengurangan daun, bibit didiamkan selama kurang lebih 3 hari untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Penanaman dilakukan dengan memasukkan aquasorb yang berupa koloid gel kedalam polibag berukuran 35 x 35 cm pada kedalaman 10-20 cm diikuti dengan penanaman bibit diatasnya kemudian diisi dengan media tanam sampai penuh dan padat. Bagian atas permukaan tanah tidak ditutup dengan plastik seperti pada percobaan 1. 3.3.2.6 Pemeliharaan Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut terhadap gulma pada masing-masing pot. Dilakukan setiap satu bulan sekali untuk mengurangi kemungkinan terjadinya persaingan unsur hara antara gulma dengan tanaman yang diamati. Keberadaan gulma tersebut dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan tanaman yang diamati. 3.3.2.7 Pengamatan Pengamatan pertumbuhan dilakukan selama 30 hari setelah bibit ditanam. Peubah yang diamati antara lain :
Persentase bibit hidup, yaitu banyaknya bibit yang hidup dibandingkan seluruh bibit yang ditanam.
Lama hari mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) dihitung ketika daun telah mengalami waktu layu pada pertama kali, layu tengah yang dicirikan dengan telah mengeringnya daun sebanyak 30-50% dan layu akhir yang dicirikan dengan telah mengeringnya daun 70-90%.
Persentase daun kering, yaitu jumlah daun kering yang dihitung setiap minggu dengan menggunakan rumus :
% Daun Kering
Daun Kering 100% Daun
Daun dikategorikan sebagai daun kering apabila lebih dari 50% luas daun kering.
17
Persen daun gugur, yaitu jumlah daun gugur yang dihitung setiap minggunya dengan rumus :
% Daun Gugur
Daun Gugur 100% Daun
3.3.2.8 Rancangan Percobaan Dalam Penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktorial yaitu : a. Faktor luas daun terdiri dari : Ao = pengurangan daun sebesar 0% A1 = pengurangan daun sebesar 50% A2 = pengurangan daun sebesar 70% A3 = pengurangan daun sebesar 90% b. Faktor aquasorb : Bo = konsentrasi aquasorb 0 ml B1 = konsentrasi aquasorb 100 ml B2 = konsentrasi aquasorb 200 ml B3 = konsentrasi aquasorb 400 ml Setiap perlakuan terdiri dari 3 bibit dengan ulangan sebanyak 3 kali. Total perlakuan yang ada sebanyak (16 x 3 x 3) 144 satuan percobaan. Perlakuan yang diberikan adalah : AoBo = pengurangan daun sebesar 0% tanpa aquasorb A1Bo = pengurangan daun sebesar 50% tanpa aquasorb A2Bo = pengurangan daun sebesar 70% tanpa aquasorb A3Bo = pengurangan daun sebesar 90% tanpa aquasorb AoB1 = pengurangan daun sebesar 0% dengan aquasorb 100 ml A1B1 = pengurangan daun sebesar 50% dengan aquasorb 100 ml A2B1 = pengurangan daun sebesar 70% dengan aquasorb 100 ml A3B1 = pengurangan daun sebesar 90% dengan aquasorb 100 ml AoB2 = pengurangan daun sebesar 0% dengan aquasorb 200 ml A1B2 = pengurangan daun sebesar 50% dengan aquasorb 200 ml A2B2 = pengurangan daun sebesar 70% dengan aquasorb 200 ml
18
A3B3 = pengurangan daun sebesar 90% dengan aquasorb 200 ml AoB3 = pengurangan daun sebesar 0% dengan aquasorb 400 ml A1B3 = pengurangan daun sebesar 50% dengan aquasorb 400 ml A2B3 = pengurangan daun sebesar 70% dengan aquasorb 400 ml A3B3 = pengurangan daun sebesar 90% dengan aquasorb 400 ml
Bentuk dari model rancangan yang digunakan untuk menguji setiap perlakuan yaitu : (Mattjik 2006)
ij i j ij ijk Keterangan : Yijk
= Nilai Pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh perlakuan ke-i
ßj
= Pengaruh perlakuan ke-j
(αβ)ij
= Komponen interaksi dari Faktor A dan Faktor B
Ԑijk
= Pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2)
3.3.2.9 Analisis Data Data hasil pengukuran penelitian dianalisis dengan menggunakan program Minitab 14 dan SAS. Analisis sidik ragam dengan Uji F terhadap variabel yang diamati dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara berbagai perlakuan yang diberikan, dengan hipotesis sebagai berikut : 1. Pengaruh Utama Faktor A Ho : Perlakuan Luas daun tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit H1 : Perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit 2. Pengaruh Utama Faktor B Ho : Perlakuan aquasorb tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit H1 : Perlakuan aquasorb berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit
19
3. Pengaruh Interaksi Faktor A dan Faktor B Ho: Interaksi Perlakuan Pengurangan daun dan aquasorb tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit H1: Interaksi Perlakuan Pengurangan daun dan aquasorb berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit Untuk kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah: F hitung < F tabel ; Terima Ho F hitung > F tabel ; Tolak Ho Jika hasil analisis sidik ragam Uji F terdapat pengaruh yang nyata, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan Uji lanjut Duncan, yang tujuannya untuk mengetahui beda rata-rata antara perlakuan.
3.3.3 Prosedur Penelitian Percobaan 3 3.3.3.1 Penyiapan Bibit dan Media Tanam Penyiapan media tanam dilakukan dengan mengayak dan mempersiapkan media tanah murni tanpa campuran apapun. Bibit yang digunakan adalah bibit Jati berumur kurang lebih 2-3 bulan. Daun dipotong kurang lebih sebanyak 70% dari luas total daun yang ada. 3.3.3.2 Penyiapan Aquasorb Pada percobaan ini digunakan 2 macam aquasorb. Aquasorb Jenis A merupakan aquasorb kering berbentuk segiempat dengan diameter 1 mm. Sedangkan aquasorb jenis B merupakan aquasorb kering berbentuk bulat seperti crystal. Aquasorb merupakan koloid berbentuk gel. 1 liter koloid gel diperoleh dengan mencampur 5 gram butiran gel ke dalam 1 liter air, kemudian diaduk rata selama + 3-4 jam. Satu gram butiran gel dapat mengikat air sebanyak 200 cc. 3.3.3.3 Penanaman Penanaman dilakukan dengan memasukkan aquasorb yang berupa koloid gel kedalam polibag berukuran 35 x 35 cm pada kedalaman 10-20 cm diikuti dengan penanaman bibit diatasnya kemudian diisi dengan media tanam sampai
20
penuh dan padat. Bagian atas permukaan tanah ditutup dengan mulsa untuk mencegah evaporasi yang berlebih dari tanah. 3.3.3.4 Pengembunan Pengembunan dilakukan setiap pagi hari dengan menyemprotkan air pada setiap daun bibit sebagai pengganti embun pagi. 3.3.3.5 Pemeliharaan Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut terhadap gulma pada masing-masing pot. Hal ini dilakukan setiap satu bulan sekali untuk mengurangi kemungkinan terjadinya persaingan unsur hara antara gulma dengan tanaman yang diamati. Keberadaan gulma tersebut dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan tanaman yang diamati. 3.3.3.6 Pengamatan Pengamatan pertumbuhan dilakukan selama 30 hari setelah bibit ditanam. Peubah yang diamati antara lain :
Persentase bibit hidup, yaitu banyaknya bibit yang hidup dibandingkan seluruh bibit yang ditanam.
Lama hari mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) dihitung ketika daun telah mengalami waktu layu pada pertama kali, layu tengah yang dicirikan dengan telah mengeringnya daun sebanyak 30-50% dan layu akhir yang dicirikan dengan telah mengeringnya daun 70-90%.
Persentase daun kering, yaitu jumlah daun kering yang dihitung setiap minggu dengan menggunakan rumus :
% Daun Kering
Daun Kering 100% Daun
Daun dikategorikan sebagai daun kering apabila lebih dari 50% luas daun kering.
Persen daun gugur, yaitu jumlah daun gugur yang dihitung setiap minggunya dengan rumus :
% Daun Gugur
Daun Gugur 100% Daun
21
3.3.3.7 Rancangan Percobaan Dalam Penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun perlakuan yang diujicobakan adalah sebagai berikut: Ao = Kontrol tanpa aquasorb A1 = Penggunaan aquasorb Jenis A 200 ml A2 = Penggunaan aquasorb Jenis A 400 ml A3 = Penggunaan aquasorb Jenis B 200 ml A4 = Penggunaan aquasorb Jenis B 400 ml Pada penelitian ini terdapat 5 perlakuan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali dimana setiap ulangan terdiri dari 3 unit sehingga terdapat (5 x 3 x 3) 45 unit percobaan.
Model rancangan yang digunakan sebagai berikut : (Mattjik 2006)
ij i ij Keterangan : Yij
= Nilai Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh perlakuan ke-i
Ԑij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
3.3.3.8 Analisis Data Data hasil pengukuran penelitian dianalisis dengan menggunakan program Minitab 14 dan SAS. Analisis sidik ragam dengan Uji F terhadap variabel yang diamati dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara berbagai perlakuan yang diberikan, dengan hipotesis sebagai berikut :
Pengaruh Utama Faktor A : Ho : Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon yang diamati H1 : Paling sedikit ada satu i dimana τi ≠ 0
22
Kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah: F hitung < F tabel ; Terima Ho F hitung > F tabel ; Tolak Ho
Jika hasil analisis sidik ragam Uji F terdapat pengaruh yang nyata, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan Uji lanjut Duncan, yang tujuannya untuk mengetahui beda rata-rata antara perlakuan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Percobaan 1 4.1.1 Persen Hidup Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pemberian aquasorb berpengaruh nyata terhadap persen hidup bibit Jati pada 4 MST (Minggu Setelah Tanam) (Lampiran 1). Bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb memiliki persentase hidup lebih rendah (16,67%) dibandingkan dengan bibit Jati dengan pemberian aquasorb. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa persentase hidup bibit Jati dengan pemberian aquasorb berbeda nyata dengan persentase hidup bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb yang disertai penyiraman seperti hasil yang tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Grafik persen hidup bibit Jati hasil uji lanjut Duncan terhadap pemberian aquasorb pada 4 MST. Ket:
A0 = Kontrol tanpa penyiraman A1 = Kontrol dengan penyiraman A2 = Penggunaan Aquasorb 200 ml A3 = Penggunaan Aquasorb 400 ml A4 = Penggunaan Aquasorb 600 ml
24
Gambar 4 menunjukkan bahwa persentase hidup bibit Jati semakin meningkat dengan adanya penambahan konsentrasi aquasorb, hal ini sesuai dengan hipotesis dimana pemberian aquasorb pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan persen hidup bibit Jati dalam jangka waktu tertentu. Bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb tidak dapat bertahan sampai 4 MST dikarenakan suplai air di dalam tanah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bibit Jati. Ketersediaan air di dalam tanah yang semakin rendah akan mengakibatkan ketersediaan air bagi tanaman semakin berkurang sementara proses metabolisme dan transpirasi masih terus berlangsung. (Slatyer 1967, diacu dalam Dianingsih 1994), menjelaskan bahwa kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan jika kondisinya cukup berat akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut. Air merupakan bagian terbesar dari jaringan tanaman dan sangat berperan dalam kehidupan tanaman. Tjondronegoro (1999) menyebutkan bahwa air merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan faktor lingkungan lainnya. Hal ini terbukti karena lebih dari 80% berat basah tanaman terdiri dari air sehingga ketersediaannya merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebab air penting untuk pembelahan dan pembesaran sel. Aquasorb dapat meningkatkan persen hidup bibit Jati pada kondisi kering dalam selang waktu 4 Minggu. Persentase hidup bibit Jati dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 600 ml memiliki rata-rata persentase hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml dan 400 ml. Pada konsentrasi aquasorb yang tinggi cadangan air yang tersedia lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah sehingga tanaman dapat bertahan lebih lama. Pada akhir pengamatan (4 MST) terdapat 2 bibit Jati yang masih bertahan hidup, hal ini diduga karena adanya daya adaptasi yang tinggi yang dapat disebabkan oleh faktor genetis dalam suatu jenis terhadap tingkat toleransi pada kekeringan sehingga bibit masih dapat bertahan hidup walaupun berada pada kondisi air yang terbatas. Menurut Levitt (1980) mekanisme yang diadopsi
25
tanaman dalam kondisi kekeringan adalah: (1) Penghindaran terhadap kekeringan (drought avoidance), yaitu tanaman akan mempertahankan status air dalam jaringan agar metabolisme tetap berjalan; (2) toleransi terhadap kekeringan (drought tolerance), yaitu tanaman tetap dapat melangsungkan metabolismenya pada kondisi status air yang rendah. Karena adanya kebutuhan air yang tinggi dan pentingnya air, tumbuhan memerlukan sumber air yang tetap untuk tumbuh dan berkembang. Setiap kali air menjadi terbatas, pertumbuhan berkurang dan biasanya berkurang pula hasil panen tanaman budidaya. Jumlah pengurangan hasil panen ini dipengaruhi oleh genotipe, tingkat kekurangan air, dan tingkat perkembangan (Gardner et al. 1991).
4.1.2 Lama Waktu Mencapai Layu awal (T0), Tengah (T50) dan Akhir (T100) Pemberian aquasorb berpengaruh nyata terhadap lama waktu mencapai layu awal, tengah dan akhir (Lampiran 1). Lama waktu mencapai layu awal pada bibit Jati dengan pemberian aquasorb 400 ml dan 600 ml berbeda nyata dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml serta kontrol tanpa pemberian aquasorb. Lama waktu mencapai layu tengah dan akhir pada bibit Jati dengan penggunaan aquasorb 200, 400, dan 600 ml tidak mempunyai pengaruh yang berbeda. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi tersebut berbeda nyata dengan bibit Jati tanpa pemberian aquasorb seperti hasil yang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh aquasorb terhadap lama waktu mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) pada bibit Jati. Aquasorb A0 (Kontrol) A2 (200 ml) A3 (400 ml) A4 (600 ml)
T0 (Hari)
T50 (Hari)
T100 (Hari)
2,250a 5,083b 5,750b 7,000b
4,500a 8,750ab 10,167b 12,667b
8,833a 13,833ab 20,500c 19,250bc
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05.
26
Gambar 5 Perbandingan pemberian konsentrasi aquasorb terhadap waktu layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) pada bibit Jati. Penggunaan
aquasorb
pada
konsentrasi
yang
lebih
tinggi
dapat
meningkatkan lama waktu mencapai layu awal, akhir dan tengah (Gambar 5). Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 dan 600 ml dapat memperlambat lama waktu mencapai layu akhir sekitar 10 hari dibandingkan dengan bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb. Bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb rata-rata sudah mencapai layu akhir pada hari kedelapan dan sembilan. Lama waktu mencapai layu awal pada bibit Jati tanpa pemberian aquasorb terjadi sekitar hari Ke-2 dan Ke-3 berbeda dengan bibit Jati dengan penggunaan aquasorb dimana lama waktu mencapai layu awal lebih lambat 2-3 hari (200, 400 ml) dan 4-5 hari pada konsentrasi 600 ml.
4.1.3 Persentase Daun Kering Persentase daun kering berpengaruh nyata pada setiap minggunya (Lampiran 1). Persentase daun kering rata-rata mencapai nilai maksimum (100%) pada minggu ketiga dan keempat. Bibit Jati tanpa pemberian aquasorb memiliki rata-rata persentase daun kering tertinggi sedangkan bibit Jati tanpa pemberian aquasorb yang disertai penyiraman memiliki rata-rata persentase daun kering yang terendah seperti hasil yang tersaji pada Gambar 6.
27
Gambar 6 Persentase daun kering bibit Jati terhadap konsentrasi aquasorb per minggu pada masing-masing perlakuan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan seperti yang tersaji pada Tabel 2, persentase daun kering bibit Jati dengan penyiraman pada 4 MST berbeda nyata dengan bibit Jati yang disertai pemberian aquasorb. Kontrol dengan penyiraman memiliki persen daun kering terendah dibandingkan perlakuan lainnya. Pemberian aquasorb pada konsentrasi 0, 200, 400, dan 600 ml memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase daun kering. Pada 2 MST bibit Jati dengan pemberian aquasorb 200 ml telah mencapai persentase daun kering yang cukup tinggi (80%) dibandingkan dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 dan 600 ml. Tabel 2 Pengaruh pemberian aquasorb pada bibit Jati terhadap persen daun kering Aquasorb A0 (Kontrol 0 ml) A1 (Kontrol disiram) A2 (200 ml) A3 (400 ml) A4 (600 ml)
1 MST 73,33a 12,92b 40,42ab 25,42b 38,33ab
Persentase Daun Kering 2 MST 3 MST a 92,50 94,17a 20,00c 20,00c a 80,00 86,67ab 56,67b 62,08b 57,08b 74,58ab
4 MST 96,25a 20,00c 90,00a 63,33a 76,25a
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05.
28
Pada 3 MST dan 4 MST rata-rata seluruh bibit telah mencapai persentase daun kering lebih dari 50%, bibit Jati tanpa pemberian aquasorb dan Bibit jati dengan pemberian aquasorb 200 ml telah mencapai persentase daun kering sebesar 90%. Pemberian aquasorb sebesar 400 ml memiliki persentase daun kering antara 62,08-63,33%, nilai ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml dan 600 ml. Penggunaan aquasorb dengan konsentrasi 600 ml pada 4 MST memiliki rata-rata persentase daun kering 76,25% lebih tinggi sebesar 13,22% dari konsentrasi 400 ml. Hal ini menunjukkan bahwa Persentase daun kering tidak menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi aquasorb. Pemberian aquasorb pada bibit Jati dengan konsentrasi 600 ml tidak dapat mengurangi persentase daun kering dikarenakan luasan daun dan kemampuan metabolisme bibit dalam merespon kekeringan berbeda pada setiap individunya. Air seringkali membatasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Respon tanaman terhadap kekurangan air relatif terhadap aktivitas metabolismenya, morfologinya, tingkat pertumbuhannya dan potensial hasil panennya. (Gardner et al. 1991).
4.1.4 Persen Daun Gugur Persentase daun gugur berpengaruh nyata pada 3 MST (Lampiran 1). Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml memiliki persentase daun gugur yang paling rendah (5,42%) dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 600 ml berbeda nyata dengan kontrol dan konsentrasi aquasorb 200 ml dengan persentase tertinggi (40,42%).
29
Tabel 3 Pengaruh pemberian aquasorb pada bibit Jati terhadap jumlah daun gugur Aquasorb A0 (Kontrol 0 ml) A1 (Kontrol disiram) A2 (200 ml) A3 (400 ml) A4 (600 ml)
1 MST tn tn tn tn tn
Persentase Daun Gugur 2 MST 3 MST tn 10,42b tn 19,17ab tn 5,42b tn 32,50ab tn 40,42a
4 MST tn tn tn tn tn
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. (tn: tidak nyata).
Gambar 7 Jumlah daun gugur bibit Jati terhadap konsentrasi aquasorb per minggu pada masing-masing perlakuan. Jumlah daun gugur terbanyak terjadi pada 3 MST dan 4 MST (Gambar 7), hal ini disebabkan pada minggu tersebut kandungan air di dalam jaringan tanaman semakin mencapai titik minimum sehingga untuk mengurangi kehilangan air tanaman melakukan mekanisme pengguguran daun. Kandungan air dalam jaringan tanaman dibutuhkan untuk memperoleh turgor yang erat hubungannya dengan perkembangan daun. Kehilangan air 6-8% dari kadar air tersebut akan menunjukkan gejala layu (Gardner et al. 1991). Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml dan 600 ml memiliki jumlah daun gugur tertinggi. Gugurnya daun dapat mengurangi luasan transpirasi tanaman, dan dengan demikian akan mengurangi hilangnya air dari tanaman (Jones et al. 1981, diacu dalam Dedywiryanto 2006). Menurut Parson (1982) perubahan morfologi yang
30
umumnya terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan adalah terjadinya pengguguran daun, hal ini merupakan mekanisme tanaman untuk mengurangi kehilangan air. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 dan 600 ml menggugurkan daun lebih banyak (32,50% dan 40,42%) dibandingkan dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml (5,42%) dan kontrol (10,42%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian aquasorb pada konsentrasi yang tinggi tidak dapat mengurangi persentase daun gugur dimana pengguguran daun merupakan mekanisme tanaman dalam mengurangi kehilangan air.
4.2 Percobaan 2 Hasil dari percobaan 1 menunjukkan bahwa penggunaan aquasorb pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan persen hidup bibit Jati dibandingkan dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi yang lebih rendah. Penggunaan aquasorb dapat memperlambat lama waktu bibit mencapai layu awal, tengah dan akhir dibandingkan dengan kontrol. Dilihat dari parameter persen hidup dan lama waktu mencapai layu, penggunaan aquasorb pada konsentrasi 600 ml merupakan perlakuan yang paling berpengaruh diantara perlakuan lainnya. Untuk mendapatkan persentase hidup bibit Jati yang lebih tinggi dengan penggunaan aquasorb yang minimal maka dilakukan pemotongan daun bibit Jati (0%, 50%, 70% dan 90%) dengan penggunaan aquasorb pada konsentrasi 100 ml, 200 ml dan 400 ml. Pada percobaan 2 permukaan tanah tidak ditutup plastik seperti pada percobaan 1 sebagai asumsi dari aplikasi penggunaan aquasorb di lapangan.
4.2.1 Persen Hidup Interaksi antara pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb terhadap bibit Jati hanya berpengaruh nyata pada 2 MST (Minggu Setelah Tanam) (Lampiran 2). Kontrol tanpa pengurangan daun dan pemberian aquasorb memiliki persentase terendah (33,33%) dan tidak berbeda nyata dengan bibit Jati tanpa pengurangan daun dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml serta bibit Jati dengan pengurangan daun 90% tanpa pemberian aquasorb. Bibit Jati
31
tanpa pemotongan daun dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 dan 400 ml (A0B2, A0B3) memiliki persentase hidup tertinggi (100%) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan A0B2, A0B3, A1B3, A2B2, A2B3, A3B1, dan A3B3 seperti hasil yang tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Pengaruh interaksi faktor aquasorb dan pengurangan daun terhadap persen hidup bibit Jati pada 1, 2, 3 dan 4 MST Interaksi A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3
1 MST tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Persen Hidup 2 MST 3 MST 33,300a tn a 33,333 tn 100,000d tn 100,000d tn 66,7000bc tn 66,7000bc tn 77,8000cd tn d 100,000 tn 55,567b tn 77,800cd tn 100,000d tn 100,000d tn 33,300a tn d 100,000 tn 66,700bc tn 100,000d tn
4 MST tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. (A0= Kontrol tanpa pengurangan luas daun; A1=Pengurangan luas daun 50%; A2=Pengurangan luas daun 70%; A3=Pengurangan luas daun 90%; B0=Kontrol tanpa pemberian aquasorb; B1= Pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml; B2=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml; B3=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml; tn= tidak nyata).
Pada 2 MST, hampir semua bibit tanpa penggunaan aquasorb sudah mengalami layu permanen dan kematian walaupun telah dilakukan pengurangan luas daun. Hal ini diduga karena permukaan tanah yang tidak ditutup menyebabkan evaporasi yang terjadi menjadi lebih besar sehingga air yang tersimpan dalam aquasorb lebih cepat menghilang. Pada kondisi ini bibit Jati dengan pemberian aquasorb dan pengurangan luas daun dapat mempertahankan persen hidup bibit lebih dari 50%. Pada 3 dan 4 MST persen hidup bibit Jati hanya berpengaruh nyata terhadap pemberian aquasorb. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb 400 ml memiliki
32
persen hidup tertinggi (86,41%) dibandingkan pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml, 200 ml, dan kontrol (Tabel 5). Pengurangan luas daun pada bibit tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan persen hidup. Hal ini diduga karena evaporasi yang terjadi dari tanah lebih besar daripada transpirasi pada bibit Jati. Hilangnya air dari tanaman terjadi melalui evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi dari daun. Pengurangan luas daun yang besar dapat menurunkan transpirasi pada bibit Jati namun disisi lain terjadi pengurangan luasan tajuk yang dapat meningkatkan evaporasi yang terjadi dari tanah. Menurut Fisher et al. (1984), dalam pertanaman muda atau berjarak lebar evaporasi tanah secara langsung dapat mencapai 20 sampai 50 persen dari evapotranspirasi pertanaman total, tetapi setelah penutupan tajuk yang sempurna tercapai, evaporasi tanah secara langsung dapat diabaikan. Tabel 5 Pengaruh pemberian aquasorb terhadap persen hidup bibit Jati Aquasorb B0 (0 ml) B1 (100 ml) B2 (200 ml) B3 (400 ml)
3 MST
4 MST
8,3333a 16,6667a 47,2250b 80,5583c
31,27a 28,87a 52,73b 86,41c
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05.
Gambar 8 Grafik rata-rata persen hidup bibit Jati per perlakuan pada 4 MST.
33
Penggunaan konsentrasi aquasorb sebanyak 400 ml dan pengurangan luas daun dapat mempertahankan persentase hidup bibit Jati sampai 4 Minggu. Bibit Jati dengan pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml memiliki persentase hidup lebih tinggi (60-100%) dibandingkan dengan konsentrasi 0 ml, 100 ml, dan 200 ml. Penggunaan aquasorb 400 ml dengan pengurangan luas daun sebesar 70% merupakan perlakuan dengan persentase hidup tertinggi seperti hasil yang tersaji pada Gambar 8.
4.2.2 Lama Waktu Mencapai Layu Awal (T0), Tengah (T50), dan Akhir (T100) Interaksi antara pengurangan daun dan pemberian aquasorb hanya berpengaruh nyata terhadap lama waktu mencapai layu awal (Lampiran 18). Hasil yang tersaji pada Tabel 6 menunjukkan bahwa bibit Jati dengan pengurangan luas daun 90% serta pemberian aquasorb 400 ml mencapai layu awal lebih lama (7 hari) dibandingkan dengan kontrol (2 hari). Tabel 6 Pengaruh Interaksi Pengurangan Daun dan aquasorb terhadap Waktu layu Awal (T0) pada bibit Jati Interaksi A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3
T0 (Hari) 2,110a 4,557cde 4,667cdef 6,223ghij 2,00a 3,333abc 5,110defgh 6,780ij 2,7800ab 6,110fghi 4,890defg 6,443hij 3,220abc 3,780bcd 5,447efghi 7,220j
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. (A0= Kontrol tanpa pengurangan luas daun; A1=Pengurangan luas daun 50%; A2=Pengurangan luas daun 70%; A3=Pengurangan luas daun 90%; B0=Kontrol tanpa pemberian aquasorb; B1= Pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml; B2=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml; B3=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml; tn= tidak nyata).
34
Lama waktu mencapai layu tengah dan akhir berpengaruh nyata terhadap pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb namun tidak berpengaruh nyata terhadap interaksi antara keduanya (Lampiran 2). Bibit Jati dengan pemotongan daun 70% mencapai waktu layu tengah lebih lama dari kontrol (10 hari) dan tidak berbeda nyata dengan bibit Jati pada pemotongan daun 90%. Penggunaan aquasorb pada konsentrasi 400 ml mencapai waktu layu tengah setelah 13 hari, lebih lama 7-8 hari dibandingkan kontrol dan merupakan perlakuan yang paling berbeda nyata. Lama waktu mencapai layu akhir pada bibit dengan pengurangan luas daun 50%, 70%, dan 90% rata-rata memiliki nilai yang tidak berbeda seperti hasil yang tersaji pada Tabel 7. Penggunaan aquasorb pada konsentrasi 400 ml dapat memperlambat waktu untuk mencapai layu akhir sekitar 10-11 hari dibandingkan kontrol. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb 400 ml berbeda nyata dengan kontrol dan pemberian aquasorb 100 ml serta 200 ml. Tabel 7 Pengaruh pengurangan daun dan aquasorb terhadap waktu layu tengah ( T50) dan akhir (T100) pada bibit Jati Perlakuan Pengurangan Daun A0 (0%) A1 (50%) A2 (70%) A3 (90%) Aquasorb B0 (0 ml) B1 (100 ml) B2 (200 ml) B3 (400 ml)
T50 (Hari)
T100 (Hari)
7,778a 8,362a 9,999b 8,943ab
12,334a 13,722ab 14,833b 14,694b
4,972a 7,944b 9,388b 12,778c
8,222a 13,028b 14,695b 19,638c
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05.
35
Gambar 9 Rata-rata perbandingan lama waktu mencapai layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) bibit Jati pada setiap perlakuan. Hasil yang tersaji pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pengurangan daun sebesar 90% dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml (A3B3) ratarata mencapai waktu layu awal paling lama (7 hari) dibandingkan perlakuan lainnya. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml dan pengurangan daun sebesar 70% (A2B3) secara rata-rata mencapai waktu layu tengah dan akhir terlama (14 dan 22 hari). Kontrol tanpa pengurangan luas daun dan tanpa pemberian aquasorb ratarata mengalami layu akhir pada hari Ke-6. Bibit Jati dengan pemotongan daun dan tanpa penggunaan aquasorb lebih cepat mengalami layu akhir yang pada umumnya terjadi dalam 1 MST. Pengurangan daun sebesar 70 dan 90% dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml dapat memperlambat waktu layu akhir hingga 15-16 hari dibandingkan kontrol.
4.2.3 Persentase Daun Kering Pemotongan daun dan pemberian aquasorb pada bibit Jati berpengaruh nyata pada 1 dan 4 MST begitupun dengan interaksi antara kedua faktor tersebut (Lampiran 2). Pada 1 MST, pemotongan daun 50% tanpa pemberian aquasorb telah mencapai persen daun kering tertinggi (100%) dibandingkan bibit Jati dengan pengurangan luas daun 70, 90% dan pemberian aquasorb 200, 400 ml.
36
Pada 4 MST, bibit Jati dengan pemotongan daun 70% dan pemberian aquasorb 400 ml memiliki persen daun kering terendah (45,19%) dan berbeda nyata dengan kontrol. Kontrol tanpa perlakuan telah mencapai persentase daun kering maksimal (100%) seperti hasil yang tersaji pada Tabel 8. Pemotongan luas daun tanpa pemberian aquasorb pada 1 MST dapat mencapai persentase daun kering lebih dari 60%. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan pengurangan luas daun tanpa penggunaan aquasorb, bibit mengalami pelayuan yang lebih cepat dibandingkan perlakuan dengan penggunaan aquasorb. Rata-rata bibit mulai mencapai daun kering maksimum pada minggu kedua dan ketiga, hanya beberapa bibit yang belum mencapai daun kering maksimum pada 4 MST. Perlakuan pada bibit Jati dengan pengurangan luas daun 70% dan pemberian aquasorb sebanyak 400 ml dapat mengurangi persen daun kering sebanyak 54,81% dibandingkan kontrol. Tabel 8
Pengaruh pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb terhadap persen daun kering bibit Jati
Interaksi A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3
1 MST 88,51ef 37,88bc 48,58cd 48,52cd 86,11ef 71,29def 72,40def 13,70ab 100,00f 62,03cde 11,85ab 2,22a 68,52cdef 50,00cd 0,00a 0,00a
Persen Daun Kering 2 MST 3 MST tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
4 MST 100,00d 96,83d 100,00d 74,07c 100,00d 100,00d 100,00d 64,82b 100,00d 100,00d 90,74d 45,19a 100,00d 100,00d 97,23d 52,78ab
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. (A0= Kontrol tanpa pengurangan luas daun; A1=Pengurangan luas daun 50%; A2=Pengurangan luas daun 70%; A3=Pengurangan luas daun 90%; B0=Kontrol tanpa pemberian aquasorb; B1=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml; B2=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml; B3=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml; tn= tidak nyata).
37
4.2.4 Persen Daun Gugur Perlakuan A1B0, A2B0, dan A3B0 tidak berbeda nyata dengan persentase daun gugur terendah (0%). Rata-rata bibit Jati menggugurkan daun dalam jumlah yang relatif sama pada setiap perlakuan. Bibit Jati dengan pengurangan luas daun 90% dan pemberian aquasorb 400 ml memiliki persentase daun gugur tertinggi (14,81%) dibandingkan perlakuan lainnya seperti hasil yang tersaji pada Tabel 9. Jumlah daun gugur dipengaruhi oleh pengurangan luas daun dan penggunaan aquasorb. Penambahan aquasorb dan pengurangan luas daun pada bibit dapat meningkatkan jumlah daun gugur. Dengan bertambahnya penggunaan aquasorb dan pengurangan luas daun maka jumlah daun gugur semakin meningkat. Banyaknya jumlah daun gugur pada bibit tergantung dari kondisi bibit dan tingkat kekurangan air yang dialaminya.
Tabel 9
Pengaruh pengurangan luas daun dan pemberian aquasorb terhadap persen daun gugur bibit Jati
Interaksi A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3
1 MST tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Persen Daun Gugur 2 MST 3 MST tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
4 MST 11,32abc 3,71ab 15,01bc 11,22abc 0,00a 19,81c 7,78abc 7,78abc 0,00a 7,78abc 4,07ab 10,56abc 0,00a 11,11abc 6,48ab 14,81bc
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. (A0=Kontrol tanpa pengurangan luas daun; A1=Pengurangan luas daun 50%; A2=Pengurangan luas daun 70%; A3=Pengurangan luas daun 90%; B0=Kontrol tanpa pemberian aquasorb; B1=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml; B2=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml; B3=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml; tn= tidak nyata).
38
Kepentingan relatif pengurangan dalam pembentukan dan perluasan daun dan dalam peningkatan penuaan dan pengguguran daun tergantung pada waktu dan beratnya kekurangan air tanaman. (Watts 1974, diacu dalam Gardner et al. 1991) secara jelas menunjukkan bahwa kepekaan terhadap kekurangan air sebagian besar tergantung pada kondisi pertumbuhan. 4.2.5 Persentase bibit segar kembali Persentase bibit segar kembali menggambarkan seberapa besar bibit Jati yang dapat kembali ke kondisi normal akibat kekeringan setelah dilakukan penyiraman. Pada akhir pengamatan terdapat 36 bibit Jati yang masih hidup, akan tetapi setelah dilakukan penyiraman bibit Jati yang dapat bertahan hidup hanya 25 bibit dengan persen segar kembali 69,44% (Tabel 10). Perlakuan A2B2 memilki persentase bibit segar kembali tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tanaman yang kekurangan air yang tumbuh di tanah dengan tingkatan air pada pelayuan permanen biasanya akan segar kembali setelah diairi bila pelayuannya hanya sebentar (Gardner et al. 1991). Tabel 10 Persentase recovery bibit Jati setelah dilakukan penyiraman pada 4 MST
Perlakuan A0B2 A0B3 A1B2 A1B3 A2B2 A2B3 A3B2 A3B3 Jumlah Total
Jumlah bibit Hidup Sebelum Setelah penyiraman penyiraman 1 0 6 5 2 1 4 1 4 4 9 6 4 3 6 5 36
25
Persen bibit segar kembali 0,00% 83,33% 50,00% 25,00% 100,00% 66,67% 75,00% 83,33% 69,44%
Ket: (A0=Kontrol tanpa pengurangan luas daun; A1=Pengurangan luas daun 50%; A2=Pengurangan luas daun 70%; A3=Pengurangan luas daun 90%; B0=Kontrol tanpa pemberian aquasorb; B1=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 100 ml; B2=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml; B3=Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml).
39
Kemampuan tanaman untuk kembali ke kondisi normal setelah mengalami kekeringan tergantung pada kemampuannya dalam memulihkan tekanan turgornya. Apabila tanah sudah terlalu kering dan titik layu sudah terlampaui maka tanaman tersebut akan mengalami layu permanen yang berarti kematian (Dwidjoseputro 1980). Beberapa bibit tidak dapat hidup kembali setelah dilakukan penyiraman, hal ini dikarenakan pada kondisi akhir pengamatan bibit tersebut sudah mencapai titik layu permanen sehingga tidak dapat pulih kembali walaupun telah dilakukan penyiraman.
(a)
(b)
Gambar 10 Gambar bibit Jati. Ket: (a) Bibit Jati yang segar kembali pada bagian pucuk; (b) Bibit Jati yang segar kembali pada bagian tengah batang.
4.3 Percobaan 3 Hasil yang diperoleh dari percobaan 2 menunjukkan bahwa bibit Jati dengan pemotongan daun 70% dan pemberian aquasorb 400 ml memiliki persentase hidup yang paling tinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan lainnya. Bibit Jati dengan pemotongan daun 70, 90% dan pemberian aquasorb 400 ml dapat mengurangi persentase daun kering pada 4 MST serta memperlambat waktu layu. Untuk mendapatkan bibit Jati yang dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lebih lama dilakukan pemotongan daun sebanyak 70% dengan penggunaan mulsa diatas permukaan tanah untuk mengurangi evaporasi yang berlebih dan penyemprotan di pagi hari. Aquasorb yang digunakan terdiri dari 2 jenis yaitu aquasorb jenis A dan aquasorb jenis B.
40
4.3.1 Persen Hidup Persentase hidup bibit Jati dengan penggunaan aquasorb yang berbeda berpengaruh nyata pada 5 MST (Lampiran 3). Bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb memiliki persentase hidup terendah (0%). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 12, penggunaan aquasorb Jenis A pada konsentrasi 200 ml tidak berbeda nyata dengan penggunaan aquasorb Jenis B pada konsentrasi 200 ml dan kontrol. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb jenis A pada konsentrasi 400 ml memiliki persentase hidup yang sama dengan aquasorb jenis B pada konsentrasi 400 ml (77,77%). Tabel 11 Pengaruh pemberian aquasorb jenis A dan B terhadap persen hidup bibit Jati Aquasorb A0 (Kontrol) A1 (A 200 ml) A2 (A 400 ml) A3 (B 200 ml) A4 (B 400 ml)
1 MST tn tn tn tn tn
Minggu Setelah Perlakuan 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST tn tn tn 0,000a tn tn tn 22,222a tn tn tn 77,778b tn tn tn 33,333ab tn tn tn 77,778b
6 MST tn tn tn tn tn
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. (A0=Kontrol tanpa pemberian aquasorb; A1= Pemberian aquasorb Jenis A pada konsentrasi 200 ml; A2=Pemberian aquasorb Jenis A pada konsentrasi 400 ml; A3=Pemberian aquasorb jenis B pada konsentrasi 200 ml; A4=Pemberian aquasorb jenis B pada konsentrasi 400 ml).
Penggunaan aquasorb Jenis A dan B tidak mempengaruhi persen hidup setelah 6 minggu, hal ini diduga karena jumlah bibit Jati yang hidup semakin menurun pada setiap minggunya. Disamping itu jumlah air yang tersimpan dalam aquasorb semakin menurun dan sudah mencapai titik minimum untuk menyuplai air pada tanaman. Penggunaan aquasorb mencapai titik optimal pada 5 MST dan semakin berkurang pada minggu berikutnya.
41
Gambar 11 Grafik rata-rata persen hidup bibit Jati terhadap pemberian aquasorb per perlakuan pada 6 MST. Jenis aquasorb yang berbeda akan mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap dan mengefisiensikan air. Gambar 11 menunjukkan bahwa aquasorb jenis A memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan persentase hidup bibit Jati pada konsentrasi 400 ml dibandingkan dengan aquasorb jenis B. Kemampuan aquasorb sebagai bahan pengefisiensi air tergantung dari bahan polimer yang menyusun dan kondisi lingkungannya.
4.3.2 Lama Waktu Mencapai Layu Awal, Tengah dan Akhir. Penggunaan aquasorb pada jenis yang berbeda mempengaruhi lama waktu mencapai layu awal, tengah dan akhir (Lampiran 3). Bibit Jati dengan pemberian aquasorb jenis A dan B pada konsentrasi 200 dan 400 ml tidak berbeda nyata dalam mencapai waktu layu awal. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb jenis A dan B pada konsentrasi 200 dan 400 ml tidak berbeda nyata terhadap lama waktu mencapai layu tengah dan akhir seperti hasil yang tersaji pada Tabel 12.
42
Tabel 12 Pengaruh aquasorb jenis A dan B terhadap waktu layu (T0), awal, tengah (T50) dan akhir (T100) bibit Jati Aquasorb A0 (Kontrol) A1 (A 200 ml) A2 (A 400 ml) A3 (B 200 ml) A4 (B 400 ml)
T0 (Hari) 4,000a 7,890b 9,670b 6,330ab 8,560b
T50 (Hari) 7,890a 11,333b 15,557c 11,667bc 14,110c
T100 (Hari) 12,223a 15,330ab 21,557d 17,890bc 19,777cd
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05.
Gambar 12 Perbandingan waktu layu awal (T0), tengah (T50) dan akhir (T100) bibit Jati terhadap pemberian aquasorb jenis A dan B. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb jenis A dan B tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam mencapai waktu layu awal, tengah dan akhir. Hasil yang tersaji pada Gambar 12 menunjukkan bahwa pemberian aquasorb jenis A dan B hanya memiliki perbedaan 1-2 hari dalam mencapai layu awal, tengah, dan akhir. aquasorb jenis A pada konsentrasi 200 ml mencapai layu awal lebih lama 1 hari dibandingkan bibit Jati dengan penggunaan aquasorb jenis B. Pada konsentrasi yang sama penggunaan aquasorb jenis A mencapai waktu layu akhir lebih lama 2 hari dibandingkan aquasorb jenis B sedangkan lama waktu yang diperlukan dalam mencapai layu tengah relatif sama. Penggunaan aquasorb Jenis A pada konsentrasi 400 ml mencapai layu awal dan akhir lebih lama 1-2 hari dibandingkan aquasorb jenis B.
43
4.3.3 Persen Daun Kering Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa persen daun kering berpengaruh nyata pada 1 MST, 2 MST dan 4 MST (Lampiran 3). Pada 1 MST, persen daun kering bibit Jati tanpa penggunaan aquasorb tidak berbeda dengan pemberian aquasorb jenis A pada konsentrasi 200 ml. Pada 2 dan 4 MST, pemberian aquasorb jenis A dan B dengan konsentrasi 200 ml tidak berbeda nyata dengan kontrol. Penggunaan aquasorb jenis A dan B pada konsentrasi 400 ml memiliki pengaruh yang tidak berbeda dalam mempertahankan kesegaran namun dapat mengurangi persentase daun kering dibandingkan kontrol. Aquasorb jenis A dapat mengurangi kekeringan pada daun dengan persen daun kering yang lebih rendah dibandingkan aquasorb jenis B seperti hasil yang tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Pengaruh pemberian aquasorb terhadap persen daun kering bibit Jati Perlakuan A0 (Kontrol) A1 (aquasorb A 200 ml) A2 (aquasorb A 400 ml) A3 (aquasorb B 200 ml) A4 (aquasorb B 400 ml)
1 MST 29,00a 18,00ab 2,30c 9,00bc 13,00bc
2 MST 68,00a 51,00ab 18,00c 40,00b 35,67bc
Persen Daun Kering 3 4 5 MST MST MST a tn 97,67 tn a tn 97,67 tn b tn 77,67 tn a tn 100,00 tn ab tn 82,00 tn
6 MST tn tn tn tn tn
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05. tn:tidak nyata.
Pemberian aquasorb jenis A dan B hanya dapat mempertahankan kesegaran daun sampai 3 MST. Pada minggu ini rata-rata bibit sudah mencapai daun kering sebesar 80%. Persentase daun kering maksimum tercapai pada 5 MST, pada minggu ini semua bibit Jati sudah mengalami kekeringan pada seluruh bagian daun dan sebagian batang bagian atas namun masih dapat bertahan hidup karena kekeringan belum sampai pada batang bawah.
44
Gambar 13 Persen daun kering bibit Jati terhadap pemberian aquasorb per minggu per perlakuan.
Gambar 13 menunjukkan bahwa pemberian aquasorb jenis A dan B dengan konsentrasi 400 ml pada 4 MST memiliki rata-rata pesentase daun kering yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian aquasorb jenis A dan B pada konsentrasi 400 ml dapat mempertahankan kesegaran bibit lebih lama dibandingkan kontrol dan pemberian aquasorb pada konsentrasi 200 ml. 4.3.4 Persen Daun Gugur Persen daun gugur hanya berpengaruh nyata pada 2 MST (Lampiran 3). Hasil pada Tabel 14 menunjukkan bahwa penggunaan aquasorb jenis B dengan konsentrasi 200 ml berbeda nyata dengan penggunaan aquasorb jenis A pada konsentrasi 200 ml dan jenis B pada konsentrasi 400 ml. Pemberian aquasorb jenis B pada konsentrasi 200 ml memiliki rata rata persen daun gugur terendah (0%).
45
Tabel 14 Pengaruh pemberian aquasorb jenis A dan B terhadap persen daun gugur bibit Jati Perlakuan A0 (Kontrol) A1 (aquasorb A 200 ml) A2 (aquasorb A 400 ml) A3 (aquasorb B 200 ml) A4 (aquasorb B 400 ml)
2 MST 2,20ab 6,60a 2,20ab 0,00b 6,60a
Ket: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 0,05.
Persentase daun gugur
banyak terjadi pada 4 dan 5 MST. Pemberian
aquasorb jenis A dengan konsentrasi 400 ml banyak menggugurkan daun pada 5 MST dengan persentase tertinggi. Pemberian aquasorb jenis B pada konsentrasi 200 ml menggugurkan daun dengan persentase terendah pada 5 MST dan masih menggugurkan daun pada 6 MST seperti hasil yang tersaji pada Gambar 14. Apabila dilihat dari tingkat konsentrasi penggunaan setiap jenis aquasorb pada 5 MST, jumlah daun gugur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi aquasorb. Bibit Jati banyak menggugurkan daun pada 5 sampai 6 MST, hal ini menunjukkan bahwa pada minggu tersebut ketersediaan air dalam tanah semakin rendah sehingga diperlukan mekanisme untuk beradaptasi dengan menggugurkan daun. Ketersediaan air yang minim dapat memicu penimbunan asam absisat sehingga mengakibatkan daun gugur.
Gambar 14 Persen daun gugur bibit Jati terhadap pemberian aquasorb pada setiap perlakuan per minggu
46
Dengan berkurangnya potensial air, hormon tanaman juga berubah konsentrasinya. Misalnya, asam absisat (absisat acid = ABA) meningkat dalam daun dan buah. Penimbunan ABA merangsang penutupan stomata, yang mengakibatkan berkurangnya asimilasi CO2. Daun yang lebih tua dan buah seringkali gugur bila akumulasinya tinggi (Gardner et al. 1991).
4.3.5 Persentase Bibit Segar Kembali Jumlah bibit Jati yang dapat kembali segar setelah dilakukan penyiraman selama 4 minggu sebanyak 2 bibit seperti terlihat dalam Tabel 15. Bibit Jati yang dapat bertahan hidup sampai 6 MST hanya berjumlah 13 bibit sedangkan yang dapat kembali segar sejumlah 2 bibit. Penggunaan aquasorb dalam jangka waktu 6 minggu tidak dapat mempertahankan persentase bibit segar kembali karena bibit tidak dapat memulihkan tekanan turgornya dimana titik layu telah terlampaui dan persediaan aquasorb di dalam tanah diduga telah habis sehingga bibit tidak mampu tumbuh kembali setelah dilakukan penyiraman. Air di dalam tanah ialah satu-satunya sumber yang pokok, dari mana akarakar tanaman mendapatkan air yang dibutuhkannya. Penyerapan air lewat bagianbagian lain yang ada di atas tanah seperti batang dan daun juga ada, akan tetapi pemasukan air lewat bagian-bagian itu tidak seberapa kalau dibanding dengan penyerapan air melalui akar (Dwijoseputro 1980). Tabel 15. Persentase bibit segar kembali bibit jati setelah dilakukan penyiraman pada 6 MST Perlakuan A1 (aquasorb A 200 ml) A2 (aquasorb A 400 ml) A3 (aquasorb B 200 ml) A4 (aquasorb B 400 ml) Jumlah Total
Jumlah bibit Hidup Sebelum Setelah penyiraman penyiraman 2 0 5 1 2 1 4 0 13
2
Persen bibit segar kembali 0 20% 50% 0% 15,38%
47
(a)
(b)
Gambar 15 Bibit Jati yang dapat segar kembali setelah penyiraman. Ket: (a) Bibit Jati dengan penggunaan aquasorb 400 ml; (b) Bibit Jati dengan penggunaan aquasorb 200 ml.
4.4 Pembahasan Umum Hasil dari percobaan 1 menunjukkan bahwa penggunaan aquasorb pada bibit Jati dapat meningkatkan persentase hidup bibit sampai 4 MST (Minggu Setelah Tanam). Dengan adanya penambahan aquasorb, bibit Jati yang dapat bertahan hidup semakin banyak dibandingkan dengan kontrol tanpa pemberian aquasorb. Penggunaan aquasorb dalam konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan persentase hidup bibit Jati. Kemampuan aquasorb dalam meningkatkan persentase hidup pada kondisi kekeringan sesuai dengan penelitian Hutterman pada Pinus. Hutterman (1990), menemukan bahwa tingkat ketahanan hidup Pinus halepensis (Allepo pine) meningkat dua kali lipat dengan penggunaan 0,4% hydrogel dalam tanah dibandingkan tanpa penambahan Hydrogel. Disamping itu ia menemukan bahwa hydrogel dapat memperpanjang waktu kematian selama 19 hari lebih lama pada kondisi kekeringan. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb pada konsentrasi 600 ml merupakan perlakuan dengan persentase hidup yang tinggi. Pada pemberian aquasorb dengan konsentrasi 600 ml, air yang tersimpan di dalam aquasorb lebih banyak dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah sehingga cadangan air yang diperlukan untuk metabolisme tanaman lebih banyak.
48
Pada percobaan 2 rata-rata bibit Jati telah mengalami kematian pada 2-3 MST, hanya beberapa bibit saja yang dapat bertahan hidup sampai 4 MST. Kondisi ini berbeda dengan percobaan 1 dimana jumlah bibit yang dapat bertahan hidup sampai 4 MST jauh lebih banyak. Kontrol pada percobaan 1 dan 3 dapat bertahan hidup 2-3 MST sedangkan pada percobaan 2 hanya dapat bertahan 1-2 MST. Penutupan permukaan tanah dengan plastik pada percobaan 1 menyebabkan bibit dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan percobaan 2. Hal ini terjadi karena evaporasi dari permukaan tanah lebih besar dibandingkan dengan transpirasi dari bibit Jati sehingga ketersediaan air dalam tanah pada percobaan 2 lebih cepat berkurang. Kondisi ini pun diduga menjadi salah satu faktor penyebab pengurangan luas daun tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan persen hidup bibit. Walaupun kematian bibit banyak terjadi pada 2-3 MST, penggunaan aquasorb 400 ml dengan pemotongan daun 70% dapat mempertahankan persentase hidup bibit sampai 4 MST dengan persen tertinggi (100%). Berdasarkan percobaan 3 pemberian aquasorb jenis A dan B dapat mempertahankan ketahanan hidup bibit 1 minggu lebih lama dibandingkan percobaan 1 dan 2. Penggunaan aquasorb dapat bertahan sampai 5 MST. Pada akhir pengamatan (6 MST), persentase hidup bibit Jati dengan pemberian aquasorb jenis A pada konsentrasi 400 ml lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian aquasorb jenis B. Setiap jenis aquasorb memiliki daya serap air yang berbeda tergantung dari bahan-bahan penyusunnya. Aquasorb jenis A merupakan aquasorb dengan bentuk segi empat sedangkan aquasorb jenis B berbentuk lingkaran. Permukaan yang bersentuhan dengan akar pada aquasorb jenis A lebih luas dibandingkan dengan aquasorb jenis B sehingga penyerapan air oleh akar lebih mudah dilakukan pada aquasorb jenis A. Bibit Jati pada percobaan 3 dapat bertahan 1 minggu lebih lama dibandingkan dengan bibit Jati pada percobaan 1 dan 2. Hal ini diduga oleh adanya beberapa perlakuan seperti pemotongan daun, penyemprotan pada pagi hari dan pemberian serasah di atas permukaan tanah. Pemotongan daun dan pemberian serasah di atas permukaan tanah dapat mengurangi evaporasi yang terjadi dari tanaman dan permukaan tanah sedangkan air hasil penyemprotan
49
dapat diserap oleh bibit sehingga bibit pada percobaan 3 dapat bertahan lebih lama dibandingkan percobaan 1 dan 2. Penggunaan aquasorb pada percobaan 1, 2 dan 3 dapat memperlambat lama waktu mencapai layu awal, tengah, dan akhir dibandingkan kontrol tanpa pemberian aquasorb. Pada percobaan 1 dan 2, bibit Jati dengan penggunaan aquasorb mencapai layu akhir lebih lambat 7-11 hari dan 15-16 hari pada percobaan 3 dibandingkan kontrol tanpa penggunaan aquasorb. Sharma (2004) menyatakan bahwa penambahan aquasorb dapat mengurangi cekaman kekeringan pada tanaman Asclepias incarnata dan Gaillardia grandiflora. Waktu untuk mencapai pelayuan lebih lama dibandingkan tanaman yang tumbuh pada tanah tanpa pemberian aquasorb. Hasil penelitian 1 dan 2 menunjukkan waktu mencapai layu awal terjadi pada hari kedua dan tiga sedangkan untuk penelitian 3 sampai hari keempat dan lima. Lama waktu mencapai layu akhir relatif sama pada setiap penelitian, yaitu terjadi pada hari 19 sampai 21. Beberapa perlakuan seperti pemotongan daun (penelitian 2 dan 3), penutupan permukaan tanah serta penyemprotan di pagi hari tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam memperlambat lama waktu mencapai layu akhir. Penggunaan aquasorb pada bibit Jati dapat menurunkan jumlah daun kering. Pada akhir pengamatan dari setiap percoban, persentase daun kering semakin berkurang seiring dengan pertambahan konsentrasi aquasorb (Tabel 2, 8 dan 13). Persentase daun kering pada umumnya mencapai maksimum (100%) pada 3, 4, dan 5 MST. Dari hasil percobaan 1 persentase daun kering maksimum terjadi pada 3 dan 4 MST. Persentase daun kering pada percobaan 2 rata-rata mencapai maksimum pada 2 dan 3 MST dimana kontrol mencapai persentase daun maksimum pada 2 MST, lebih cepat 1 sampai 2 minggu dibandingkan percobaan 1 dan 3. Sebaliknya, pada percobaan 3 persentase daun kering rata-rata mencapai maksimum pada 4 dan 5 MST lebih lama 1 minggu dibandingkan percobaan 1 dan 2. Pada penelitian 2 pengeringan daun terjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan penelitian 1 dan 3. Rata-rata bibit Jati telah mengalami daun kering maksimum pada 2 dan 3 MST. Terjadinya daun kering merupakan salah satu
50
tahap bibit mencapai kematian dikarenakan kurangnya asupan air. Apabila keringnya daun terjadi lebih cepat maka kematian bibit akan terjadi lebih cepat. Bibit Jati banyak menggugurkan daun pada 3 dan 4 MST, pengguguran daun dapat terjadi setelah daun menjadi kering ataupun masih hijau. Persentase daun gugur pada percobaan 1, 2 dan 3 banyak terjadi pada konsentrasi aquasorb yang lebih tinggi. Hasil persentase daun gugur dari setiap percobaan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi aquasorb yang digunakan maka jumlah daun gugur semakin meningkat. Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang menggugurkan daunnya bila kekurangan air. Periode pengguguran daun bervariasi menurut lokasi tempat tumbuh, kandungan air tanah, curah hujan dan distribusinya (Kadambi 1972, diacu dalam Dalimunthe 2005). Apabila dilihat dari fungsi aquasorb sebagai bahan penyimpan dan pengefisiensi air seharusnya penggunaan aquasorb pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat mengurangi jumlah daun gugur karena ketersediaan airnya lebih tinggi namun kondisi bibit di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal ini dapat disebabkan oleh pengguguran daun lebih banyak terjadi ketika daun masih basah dibandingkan setelah daun kering. Asam absisat telah terasimilasi sebelum daun kering dan daun Jati yang masih basah menyebabkan daun tidak kuat menopang beratnya sehingga menjadi cepat gugur. Jika asam absisat (ABA) diaplikasikan pada daun tumbuhan dengan konsentrasi yang sangat rendah (misalnya 10-6 M) maka akan menyebabkan stomata menutup. Pada kondisi kekeringan (dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan lainnya, seperti tergenang air atau suhu tinggi), kandungan ABA pada daun akan meningkat terlebih dahulu sebelum stomata mulai menutup. Dari hasil pengamatan ini, tersirat bahwa pada kondisi alami, penutupan stomata terjadi setelah tumbuhan mengakumulasi ABA (Lakitan 1993). Tidak semua bibit Jati yang masih bertahan hidup pada akhir pengamatan dapat kembali ke kondisi normal setelah dilakukan penyiraman. Sebagian bibit tetap kering walau telah dilakukan penyiraman namun ada beberapa bibit yang hidup kembali ditandai dengan munculnya pucuk daun dari pangkal batang dan tengah batang. Menurut Sumarna (2001) pada musim hujan, daun akan tumbuh normal kembali dan aktivitas kambium menjadi cepat. Kemampuan bibit untuk
51
dapat hidup kembali tergantung pada tingkat kekeringan yang terjadi dan toleransi bibit terhadap kekeringan. Pada Penelitian 2, persentase bibit yang dapat segar kembali setelah dilakukan penyiraman selama kurang lebih 1 bulan bisa mencapai 69,44% dari total bibit Jati yang dapat bertahan hidup pada 4 MST sedangkan pada penelitan 3 jumlah bibit yang dapat kembali hidup setelah dilakukan penyiraman hanya sebesar 15,38% dari bibit yang dapat bertahan hidup sampai 6 MST. Hal ini menunjukkan bahwa bibit yang dapat bertahan hidup sampai 6 MST rata-rata telah mengalami layu permanen sehingga walaupun telah dilakukan penyiraman tidak dapat kembali hidup. Penggunaan aquasorb dalam jangka waktu 6 minggu tidak dapat mempertahankan persen bibit segar kembali bila dibandingkan dengan penggunaan aquasorb selama 4 minggu. Hal ini dikarenakan semakin menipisnya ketersediaan air dalam aquasorb sehingga kondisi bibit Jati yang masih dapat bertahan hidup sampai 6 MST rata-rata telah mengalami titik layu permanen. Hasil dari beberapa parameter menunjukkan bahwa perlakuan terbaik dari percobaan 1 merupakan perlakuan dengan penggunaan aquasorb pada konsentrasi 600 ml. Perlakuan terbaik pada percobaan 2 merupakan perlakuan pada pemotongan daun sebesar 70% dan penggunaan aquasorb sebanyak 400 ml, sedangkan untuk percobaan 3 adalah perlakuan dengan penggunaan aquasorb jenis A pada konsentrasi 400 ml. Aplikasi aquasorb terhadap pertumbuhan bibit Jati masih memiliki beberapa kendala. Produk aquasorb masih sulit untuk didapatkan dipasaran dan kurang ekonomis. Penggunaan bahan dengan fungsi yang sama, bersifat alami dan relatif lebih murah seperti arang atau sekam padi dapat menjadi salah satu alternatif lain sebagai bahan penyerap dan penahan air. Abu sekam padi ditinjau dari komponen penyusunnya, mengandung komponen terbesar berupa SiO2 sebesar 86,9-97,3% berat. SiO2 ini berpotensi besar sebagai bahan baku senyawa natrium silikat yang merupakan senyawa alkalis dasar dalam industri. Permintaan terbesar pertama natrium silikat adalah sebagai builder untuk sabun. Penggunaan lainnya adalah sebagai perekat, gel silika, katalis, pigmen dan absorbant (Oktiviany et al. 2008).
52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Aquasorb dengan konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan persentase hidup bibit Jati dibandingkan kontrol tanpa pemberian aquasorb. Penggunaan aquasorb pada konsentrasi 600 ml memiliki ratarata persen hidup tertinggi (41,67%) pada 4 MST. 2. Pemotongan luas daun bibit Jati dengan pengurangan yang lebih rendah tidak berpengaruh terhadap persentase hidup bibit Jati, namun penggunaan aquasorb pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan persen hidup. Pemberian aquasorb pada konsentrasi 400 ml dengan pemotongan daun sebesar 70% dapat meningkatkan persen hidup bibit Jati hingga 100% dan mengurangi persen daun kering hingga 54,91% dibanding kontrol. Pengurangan daun sebesar 70 dan 90% dengan penggunaan aquasorb 400 ml dapat memperlambat waktu layu akhir hingga 15-16 hari. 3. Pemberian aquasorb dengan jenis yang berbeda pada konsentrasi yang sama berpengaruh sampai 5 MST dan tidak berpengaruh pada 6 MST. Penggunaan aquasorb jenis A pada konsentrasi 400 ml memiliki persentase hidup yang lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan penggunaan aquasorb jenis B. Bibit Jati dengan pemberian aquasorb jenis A dan B tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam mencapai waktu layu awal, tengah dan akhir sama halnya terhadap parameter daun gugur dan persen daun kering.
53
5.2 Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan aquasorb dengan berbagai konsentrasi terhadap bibit Jati akar telanjang dan jenis tanaman kehutanan yang berbeda baik di rumah kaca dan di lapangan. Selain itu diperlukan penelitian dengan alternatif bahan lain yang bersifat alami dan ekonomis dengan fungsi yang sama sebagai bahan penahan air seperti arang atau sekam padi.
DAFTAR PUSTAKA Anonim.
2004. Hydrogel. http://www.Horties.co.id/Hydrogel/pengenalan teknis.htm. [13 November 2007].
Anonim. 2008. Spesifikasi Hydrogel Novelgro. http://www.novelvar.com [6 Februari 2008]. Beekman H.A.J.M. 1949. Houtleet in Indonesia. Disalin Bebas Oleh MS.Hardjodarsono. Bogor: Bagian Pembinaan Fakultas Kehutanan IPB.Tidak Diterbitkan. Black C.A. 1968. Soil-Plant Relationships. Second Edition. New Delhi: Wiley Eastern Private Ltd. Chang J. 1968. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Company. Cordes J.W.H. 1992. Hutan Jati di Jawa. Malang: Yayasan Manggala Sylva Lestari. Dalimunte P. 2005. Pertumbuhan Kayu Jati (Tectona grandis Linn.f.), Pengaruh Iklim, dan Topografis Terhadap Sifat Fisis dan Anatomis. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Dedywiryanto Y. 2006. Respon Bibit dan Kajian Karakter Ketahanan Terhadap Cekaman Kekeringan Pada Kelapa Sawit (Ealis guineensis Jack.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Dephut]
Departemen Kehutanan. 1991. Petunjuk Teknis Pengadaan Bibit/Persemaian. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Jakarta.
Dwijoseputro D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Surabaya: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Dianingsih M.G.A. 1994. Pengaruh Stres Kekurangan Air dan Pemberian Nitrogen Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Mangga (Mangifera indica L.) [Skripisi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
55
[FKT UGM] Fakultas Kehutanan UGM. 1976. Silvikultur Khusus. Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan UGM. Fisher N.M dan Goldsworthy P.R. 1984. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Tohari, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers. Terjemahan dari : The Physiology of Tropical Field Corps. Gardner F.P., Pearce R.B., Mitchell R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati Susilo, penerjemah. Universitas Indonesia: Jakarta. Terjemahan dari: Physiologi of Crop Plants. Gunawan W.G. 2007. Evapotranspirasi dan Pertumbuhan Anakan Albizzia falcataria, Eucalyptus urograndis, Alstonia scholaris dan Gmelina arborea Pada Berbagai Kadar Air Tanah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hayat R., Ali S. 2004. Water Absorption by Synthetic Polymer (Aquasorb) and its Effect on Soil Properties and Tomato Yield. Agriculture and Biology.6 (6). Herwandi H. 2003. Pengaruh Teknik Pengepakan dan Penundaan Waktu Tanam Terhadap Persen Hidup dan Pertumbuhan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hutterman A., Zommorodi M., Reise K. 1990. Addition of Hydrogels to Soil for Prolonging the Survival of Pinus halepensis Seedlings Subjected to Drought. Soil Tillage Res. 50: 295-304. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovenrmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007. http://www.ipcc.ch/. [13 Sept 2008]. Kramer P.J. 1969. Plant and Soil water Relationships: A Modern Synthesis. Bombay: Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Ltd. Kusman C.M. 2001. Kegiatan Penanaman Jati Super (Tectona grandis L.f) InterCropping dengan Jagung (Zea mays L.) di Kebun Percobaan Cikabayan Fakultas Kehutanan IPB. Laporan Magang Diploma III Budidaya Hutan Tanaman, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor: Tidak Diterbitkan.
56
Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Leiwakabeesy F.M. 1985. Kesuburan Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Levitt J. 1980. Responses of Plants to Enviromental Stress. Second Edition. New York: Academis Perss, Inc. Martawijaya A., Kartasujana I., Kadir K. dan Prawira A. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Mattjik A.A. dan Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I.Bogor: IPB Press. Oktaviany dan Tasmalina Y. 2008. Pembuatan Natrium Silikat dari Abu Sekam Padi. http//digilib.che.itb.ac.id./download.php.[02-06-2008] Parsons L.R. 1982. Plant Response to Water Defisit. John Wiley and Sons: New York. Pranoto A. 1983. Pendugaan Ketersediaan Air dan Penentuan Pola Tanam untuk Pertanian Lahan Kering di Daerah Pasir Pangarayan Riau. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Samingan T. 1979. Dendrologi. Bogor: Bagian Ekologi, Departemen Botani, Fakultas Pertanian IPB. Sharma J. 2004. Establishment of Perennials in Hydrophilic Polymer-Amanded Soil. SNA Res. 42: 530-532. Sitompul S. M. Dan Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. Slatyer R.O. 1967. Plant-Water Relationships. London: Academis Press. Sumarna Y. 2002. Budidaya Jati. Jakarta: Penebar Swadaya.
57
Supriatna H. 2003. Pengaruh Ukuran Bibit dan Pemangkasan Daun Terhadap Persen Hidup dan Pertumbuhan Bibit Akar Telanjang Jenis Jati (Tectona grandis L.f.) di Lapangan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tjondronegoro, P.D., Said H., dan Hamim. 1999. Fisiologi Tumbuhan Dasar. Bogor: Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor. . Williams, C.N and Joseph K.T. 1973. Climate, Soil and Crop Production in the Humid Tropics. Singapore: Oxford University Press.
58
Lampiran
59
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Percobaan 1. Tabel 1. Sidik Ragam Persen Hidup 2 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 6500,00 1625,00 Blok 2 3583,30 1791,70 Eror 8 4750,00 593,80 Total 14 S = 24,3670 R-Sq = 67,98% R-Sq(adj) = 43,96% Tabel 2. Sidik Ragam Persen Hidup 3 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 4583,30 1145,80 Blok 2 2083,30 1041,70 Eror 8 5416,70 677,10 Total 14 S = 26,0208 R-Sq = 55,17% R-Sq(adj) = 21,55% Tabel 3. Sidik ragam Persen Hidup 4 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 1,308 0,327 Blok 2 0,033 0,017 Eror 8 0,342 0,0427 Total 14 S = 0,206, R-Sq = 79,70%, R-Sq 64,48 Tabel 4. Sidik ragam Waktu Layu Awal (T0) Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 36,391 12,130 Blok 2 6,448 3,224 Eror 8 6,219 1,036 Total 14 S = 1,01807 R-Sq = 87,32% R-Sq(adj) = 76,76% Tabel 5. Sidik Ragam Waktu Layu Tengah (T50) Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 105,349 35,116 Blok 2 10,323 5,161 Eror 8 40,760 6,793 Total 14 S = 2,60642 R-Sq = 73,94% R-Sq(adj) = 52,23%
F-Hitung 2,74 3,02
P 0,105 0,106
F-Hitung 1,69 1,54
P 0,244 0,272
F-Hitung 7,660 0,390
P 0,008 0,689
F-Hitung 11,70 3,11
P 0,006 0,118
F-Hitung 5,17 0,76
P 0,042 0,508
60
Tabel 6. Sidik Ragam Waktu Layu Akhir (T100) Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 258,72 86,24 Blok 2 25,26 12,63 Eror 8 63,82 10,64 Total 14 S = 3,26146 R-Sq = 81,65% R-Sq(adj) = 66,36% Tabel 7. Sidik Ragam Persen Daun Kering 1 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 0,848 0,212 Blok 2 0,127 0,063 Eror 8 0,248 0,031 Total 14 S = 0,176393 R-Sq = 79,65% R-Sq(adj) = 64,39% Tabel 8. Sidik Ragam Persen Daun Kering 2 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 1,511 0,378 Blok 2 0,074 0,037 Eror 8 0,072 0,009 Total 14 S = 0,0947, R-Sq = 95,67%, R-Sq (adj) = 92,53% Tabel 9. Sidik Ragam Persen Daun kering 3 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 1,690 0,423 Blok 2 0,021 0,010 Eror 8 0,089 0,011 Total 14 S = 3,26146 R-Sq = 81,65% R-Sq(adj) = 66,36% Tabel 10. Sidik Ragam Persen Daun Kering 4 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 17867,300 446,800 Blok 2 431,500 215,700 Eror 8 1357,100 169,600 Total 14 S = 13,0244 R-Sq = 93,10% R-Sq(adj) = 87,92%
F-Hitung 8,11 1,19
P 0,016 0,368
F-Hitung 6,81 2,04
P 0,011 0,193
F-Hitung 42,150 4,150
P 0,000 0,058
F-Hitung 38,130 0,940
P 0,000 0,430
F-Hitung 26,330 1,270
P 0,000 0,331
61
Tabel 11. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 1 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 6,667 1,670 Blok 2 3,333 1,670 Eror 8 13,333 1,670 Total 14 S = 1,29099 R-Sq = 42,86% R-Sq(adj) = 0,00% Tabel 12. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 2 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 204,58 51,15 Blok 2 141,56 70,73 Eror 8 455,42 56,93 Total 14 S = 7,54500 R-Sq = 43,18% R-Sq(adj) = 0,56% Tabel 13. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 3 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 2697,300 649,300 Blok 2 275,200 137,600 Eror 8 1547,700 193,500 Total 14 S = 13,9091 R-Sq = 64,99% R-Sq(adj) = 38,72% Tabel 14. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 4 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 1426,5 356,6 Blok 2 170,2 85,1 Eror 8 1014,2 126,8 Total 14 S = 11,2593 R-Sq = 61,16% R-Sq(adj) = 32,02%
F-Hitung 1,000 1,000
P 0,460 0,410
F-Hitung 0,900 1,240
P 0,508 0,339
F-Hitung 3,360 0,710
P 0,068 0,520
F-Hitung 2,81 0,67
P 0,100 0,538
F-Hitung 44,60
P 0,000
4,18 8,16
0,013 0,000
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam Percobaan 2 Tabel 15. Sidik Ragam Persen Hidup 2 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 18593,2 6197,7 Daun Aquasorb 3 1740,6 580,2 Interaksi 9 10209,5 1134,4 Eror 32 4446,7 139,0 Total 47 S = 11,7881 R-Sq = 87,29% R-Sq(adj) = 81,33%
62
Tabel 16. Sidik Ragam Persen Hidup 3 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 38777 12926 Daun Aquasorb 3 994 331 Interaksi 9 6876 764 Eror 32 40011 1250 Total 47 S = 35,3603 R-Sq = 53,83% R-Sq(adj) = 32,19% Tabel 17. Sidik Ragam Persen Hidup 4 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 0,129 0,043 Daun Aquasorb 3 4,687 1,562 Interaksi 9 0,370 0,041 Eror 32 1,999 0,062 Total 47 S = 0,249972 R-Sq = 72,18% R-Sq(adj) = 59,13% Tabel 18. Sidik Ragam Waktu Layu Awal (T0) Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 5,0539 1,685 Daun Aquasorb 3 105,072 35,024 Interaksi 9 14,013 1,557 Eror 32 21,835 Total 47 S = 0,826041 R-Sq = 85,04% R-Sq(adj) = 78,03% Tabel 19. Sidik Ragam Waktu Layu Tengah (T50) Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 32,312 10,771 Daun Aquasorb 3 378,621 126,207 Interaksi 9 34,883 3,876 Eror 32 102,805 3,213 Total 47 S = 1,79239 R-Sq = 81,26% R-Sq(adj) = 72,48%
F-Hitung 10,34
P 0,000
0,27 0,61
0,850 0,778
F-Hitung 0,690
P 0,564
25,000 0,660
0,000 0,739
F-Hitung 2,47
P 0,080
51,33 2,28
0,000 0,042
F-Hitung 3,35
P 0,031
39,28 1,21
0,000 0,325
63
Tabel 20. Sidik Ragam Waktu Layu Akhir (T100) Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 47,859 15,953 Daun Aquasorb 3 798,766 266,255 Interaksi 9 95,706 10,634 Eror 32 165,926 5,185 Total 47 S = 2,27710 R-Sq = 85,03% R-Sq(adj) = 78,01% Tabel 21. Sidik Ragam Persen Daun Kering 1 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 6966,500 2322,200 Daun Aquasorb 3 32594,400 10864,800 Interaksi 9 10976,100 1219,600 Eror 32 9366,300 292,700 Total 47 S = 17,1084 R-Sq = 84,36% R-Sq(adj) = 77,03% Tabel 22. Sidik Ragam Persen Daun Kering 2 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 247,600 82,500 Daun Aquasorb 3 12706,300 4235,400 Interaksi 9 2173,100 241,500 Eror 32 8937,700 279,300 Total 47 S = 16,7123 R-Sq = 62,86% R-Sq(adj) = 45,45% Tabel 23. Sidik Ragam persen Daun kering 3 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 122,300 408,400 Daun Aquasorb 3 7267,300 2422,400 Interaksi 9 3489,600 387,700 Eror 32 5511,100 172,200 Total 47 S = 13,1233 R-Sq = 68,50% R-Sq(adj) = 53,73%
F-Hitung 3,08
P 0,041
51,35 2,05
0,000 0,066
F-Hitung 7,930
P 0,000
37,12 4,170
0,000 0,001
F-Hitung 0,300
P 0,828
15,160 0,860
0,000 0,565
F-Hitung 2,370
P 0,089
14,070 2,250
0,000 0,044
64
Tabel 24. Sidik Ragam Persen Daun Kering 4 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 294,080 98,030 Daun Aquasorb 3 1360,000 453,330 Interaksi 9 480,600 53,400 Eror 32 698,530 21,830 Total 47 S = 4,67217 R-Sq = 75,34% R-Sq(adj) = 63,79% Tabel 25. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 1 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 156,02 52,01 Daun Aquasorb 3 24,26 8,09 Interaksi 9 27,29 3,03 Eror 32 494,11 15,44 Total 47 S = 3,92949 R-Sq = 29,58% R-Sq(adj) = 0,00% Tabel 26. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 2 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 128,97 42,99 Daun Aquasorb 3 66,87 22,29 Interaksi 9 168,65 18,74 Eror 32 346,27 10,82 Total 47 S = 3,28952 R-Sq = 51,28% R-Sq(adj) = 28,45% Tabel 27. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 3 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 368,46 122,82 Daun Aquasorb 3 148,79 49,60 Interaksi 9 296,82 32,98 Eror 32 1314,74 41,09 Total 47 S = 6,40979 R-Sq = 38,24% R-Sq(adj) = 9,29%
F-Hitung 4,490
P 0,010
20,770 2,450
0,000 0,030
F-Hitung 3,37
P 0,030
0,52 0,20
0,669 0,993
F-Hitung 3,97
P 0,016
2,06 1,73
0,125 0,122
F-Hitung 2,99
P 0,045
1,21 0.80
0,323 0,617
65
Tabel 28. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 4 MST Perlakuan Db JK KT Pengurangan 3 139,70 46,57 Daun Aquasorb 3 515,71 171,90 Interaksi 9 845,80 93,98 Eror 32 1365,08 42,66 Total 47 S = 6,53136 R-Sq = 52,37% R-Sq(adj) = 30,05%
F-Hitung 1,09
P 0,367
4,03 2,20
0,015 0,049
F-Hitung 4,04
P 0,033
F-Hitung 3,41
P 0,053
F-Hitung 7,23
P 0,005
F-Hitung 12,10
P 0,001
Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Percobaan 3. Tabel 29. Sidik Ragam Persen Hidup pada 5 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 14370 3593 Eror 10 8889 889 Total 14 23259 S = 29,81 R-Sq = 61,78% R-Sq(adj) = 46,50% Tabel 30. Sidik Ragam Waktu Layu Awal (T0) Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 284,9 71,2 Eror 10 208,7 20,9 Total 14 S = 4,568 R-Sq = 57,72% R-Sq(adj) = 40,80% Tabel 31. Sidik Ragam Waktu Layu Tengah (T50) Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 103,46 25,87 Eror 10 35,75 3,58 Total 14 S = 1,891 R-Sq = 74,32% R-Sq(adj) = 64,05% Tabel 32. Sidik Ragam Waktu Layu Akhir (T100) Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 162,72 40,68 Eror 10 33,61 3,36 Total 14 S = 1,833 R-Sq = 82,88% R-Sq(adj) = 76,04%
66
Tabel 33. Sidik Ragam Persen Daun Kering 1 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 0,121 0,030 Eror 10 0,055 0,005 Total 14 0,176 S = 0,07439 R-Sq = 68,55% R-Sq(adj) = 55,97% Tabel 34. Sidik Ragam Persen Daun kering 2 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 0,423 0,106 Eror 10 0,129 0,013 Total 14 0,553 S = 0,1138 R-Sq = 76,56% R-Sq(adj) = 67,18% Tabel 35. Sidik Ragam Persen Daun Kering 3 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 0,648 0,162 Eror 10 0,884 0,088 Total 14 1,532 S = 0,2973 R-Sq = 42,30% R-Sq(adj) = 19,22%
F-Hitung 5,450
P 0,014
F-Hitung 8,16
P 0,003
F-Hitung 1,83
P 0,199
Tabel Lampiran 36. Sidik Ragam Persen Daun Kering 4 MST Perlakuan Db JK KT F-Hitung Aquasorb 4 1,074 0,269 6,26 Eror 10 0,429 0,043 Total 14 1,503 S = 0,2070 R-Sq = 71,47% R-Sq(adj) = 60,06% Tabel 37. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 1 MST. Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 41,700 10,400 Eror 10 177,800 17,800 Total 14 219,500 S = 4,216 R-Sq = 19,01% R-Sq(adj) = 0,00% Tabel 38. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 2 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 104,540 26,140 Eror 10 58,080 5,810 Total 14 162,620 S = 2,410 R-Sq = 64,29% R-Sq(adj) = 50,00%
P 0,009
F-Hitung 0,59
P 0,680
F-Hitung 4,500
P 0,024
67
Tabel 39. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 3 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 159,800 40,000 Eror 10 355,600 35,600 Total 14 515,400 S = 5,963 R-Sq = 31,01% R-Sq(adj) = 3,41% Tabel 40 Sidik Ragam Persen Daun Gugur 4 MST Perlakuan Db JK KT Aquasorb 4 888 222 Eror 10 1125 112 Total 14 2013 S = 10,61 R-Sq = 44,12% R-Sq(adj) = 21,77% Tabel 41. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 5 MST Perlakuan Db JK2 JK Aquasorb 4 8427 2107 Eror 10 18667 1867 Total 14 27093 S = 43,20 R-Sq = 31,10% R-Sq(adj) = 3,54% Tabel 42. Sidik Ragam Persen Daun Gugur 6 MST Perlakuan Db JK JKT Aquasorb 4 106,700 26,700 Eror 10 266,700 26,700 Total 14 373,300 S = 5,164 R-Sq = 28,57% R-Sq(adj) = 0,00%
F-Hitung 1,120
P 0,399
F-Hitung 1,970
P 0,175
F-Hitung 1,130
P 0,397
F-Hitung 1,00
P 0,452
68