1
TESIS
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
NI LUH GEDE BUDIARI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
2
TESIS
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
NI LUH GEDE BUDIARI NIM 1291361 002
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
3
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI LUH GEDE BUDIARI NIM 1291361 002
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
4
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 24 Juni 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc.,Ph.D. NIP. 19470907197503 1 002
Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS NIP. 196202201987021 001
Mengetahui Ketua Program Studi S2 Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS NIP. 19590813198503 2 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 195902151985102001
5
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 24 Juni 2014
Panitia penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No. 1882/UN14.4/HK/2014
Ketua : Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc.,Ph.D. Anggota : 1. Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS 2. Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS 3. Prof. Dr. Ir. I Ketut Sumadi, MS 4. Dr. Ir. Ni Nyoman Siti, MS
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Ni Luh Gede Budiari
NIM
: 1291361 002
Progran Studi
: ILMU PETERNAKAN
Judul Tesis
: Pengaruh Aras Kulit Kopi Terfermentasi dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Lokal Jantan (Lepus negricollis)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 24 Juni 2014 Yang membuat pernyataan
(Ni Luh Gede Budiari)
7
ABSTRAK PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis) Penelitian tentang pengaruh aras kulit kopi terfermentasi pada kelinci telah dilaksanakan di Desa Gulingan, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali dari bulan Juli sampai Bulan Oktober 2013. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan. Perlakuan tersebut adalah ransum tanpa kulit kopi (R0), ransum dengan aras 10% kulit kopi (R1), ransum dengan aras 20% kulit kopi (R2), ransum dengan aras 10% kulit kopi terfermentasi (R3) dan ransum dengan aras 20% kulit kopi terfermentasi (R4). Tiap-tiap perlakuan menggunakan 8 ekor kelinci jantan lokal umur 5 minggu sebagai ulangan. Variabel yang diamati performans, keseimbangan energi dan protein dalam tubuh ternak, respon hematologi, karkas, jumlah mikroba dalam sekum dan kolon dan keuntungan finansial dari penjualan kelinci dikurangi biaya pakan. Hasil penelitian menunjukan kelinci yang diberikan ransum dengan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) paling efisien dalam menggunakan ransum sehingga berat potong, berat karkas dan persentase karkas yang dihasilkan nyata paling tinggi (P<0,05), sedangkan kandungan trigliserida dan kadar kolesterolnya nyata lebih rendah (P<0,05) dari kontrol. Perlakuan R3 menghasilkan retensi energi (55,20 kkal/hari) dan retensi protein (0,55 g/hari), angka ini lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Penambahan kulit kopi 20% pada ransum kelinci cenderung meningkatkan jumlah mikroba dalam sekum dan kolon. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan 10% aras kulit kopi terfermentasi dalam ransum kelinci dapat meningkatkan performance, retensi energi dan protein dan persentase karkas. Secara finansial bila dihitung hasil penjualan kelinci hidup keuntungan tertinggi diperoleh R3, dengan R/C Ratio 1,22. Penggunaan 10% aras kulit kopi terfermentasi dapat direkomendasikan pada peternak karena dapat menurunkan biaya pakan.
Kata kunci : pertumbuhan, kulit kopi, fermentasi, kelinci, mikroba perut
8
ABSTRACT EFFECT OF FERMENTED COFFEE PULP LEVELS IN RATION ON THE GROWTH RATE OF MALE LOCAL RABBIT (Lepus negricollis) An experiment was carried out to study effect of fermented coffee pulp levels in the ration on the growth performance of the male local rabbits. This experiment was run at Gulingan village, Mengwi, Badung regence, Bali Province from July to October 2013. Experiment was arranged in Randomized Complete Block Design (RCBD) with five treatments. The treatment were diet without coffee pulps (R0), diet with 10% unfermented coffee pulps (R1), diet with 20% unfermented coffee pulps (R2), diet with 10% fermented coffee pulps (R3) and diet with 20% fermented coffee pulps (R4). Each treatments consisted of 8 males of 5 week old local rabbits. Variables observed were performance, energy and protein retention, hematologic response, carcass, the number of microbia in the cecum and colon, and income over, feed cost. The results showed performance of that rabbits fed on R3 is significantly higher (P<0,05) than orthers. Treatment 10% fermented coffee pulps (R3) were the most efficient in utilizing diet, as aresult the performance is of the rabbit in R3, on weight cuts, carcass weight and carcass percentage were the greates, while the content of triglycerides and cholesterol levels were lower than control. Treatment R3 produced energy retention (55.20 kcal / day) and protein retention (0.56 g / day), higher (P<0,05) than other treatments. Addition of 20% coffee pulps on diet either fermented or unfermented, tend to increase the number of microbia in the cecum and colon. . From the results of this study it can be concluded that utilization of 10% fermented coffee pulps in a rabbit diet had significantly higher performance than other treatments, furher increased energy and protein retention and carcass fercentage and cuts. Income over feed cost showerd that utilization of 10% coffee pulp was heigher with R/C ratio 1,22 than others. There for, utilization of 10% to fermented coffee pulps in a rabbit diet can be recommended to farmers reduce the feed cost.
Keywords: performance, coffee pulps, fermentation, rabbit, guts mikrobia
9
RINGKASAN Ni Luh Gede Budiari. Pengaruh Aras Kulit Kopi Terfermentasi dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Lokal Jantan (Lepus negricollis), (dibawah bimbingan Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc.,Ph.D. sebagai pembimbing Pertama dan Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS sebagai pembimbing Kedua). Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif yang mempunyai potensi cukup besar untuk diversifikasi penyediaan sumber protein hewani sebagai penyedia daging. Keuntungan beternak kelinci salah satunya dapat memanfaatkan limbah pertanian maupun berbagai jenis hijauan sehingga dalam budidaya kelinci dapat menggunakan sumber daya lokal. Salah satu limbah yang potensial dan belum dimanfaatkan sebagai pakan konsentrat adalah kulit kopi yang memiliki kandungan nutrien yang cukup bagi kelinci, belum dimanfaatkan dan tersedia secara berkelanjutan dalam upaya untuk menurunkan biaya produksi. Potensi kandungan gizinya masih dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan Aspergillus niger. Protein kulit kopi dapat ditingkatkan dari 9,94 % menjadi 17,81%, kandungan serat kasar menurun dari 18,74% menjadi 13,05%. Hal ini menunjukan bahwa dengan sentuhan teknologi dapat menjadikan
kulit kopi
sebagai bahan pakan yang lebih bermutu. Penelitian dilaksanakan di Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali, dari bulan Juli sampai Bulan Oktober 2013. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan. Perlakuan tersebut adalah ransum tanpa kulit kopi (R0), ransum dengan aras 10% kulit kopi (R1), ransum dengan aras 20% kulit kopi (R2), ransum dengan aras 10% kulit kopi terfermentasi (R3) dan ransum dengan aras 20% kulit kopi terfermentasi (R4). Tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak 8 kali sehingga terdapat 40 unit percobaan. Kelinci yang digunakan adalah kelinci jantan lokal umur 5 minggu.
10
Variabel yang diamati performans, keseimbangan energi dan protein dalam tubuh ternak, respon hematologi, karkas, jumlah mikroba dalam sekum dan kolon dan keuntungan finansial dari penjualan kelinci dikurangi biaya pakan. Hasil penelitian menunjukan kelinci yang diberikan ransum dengan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) paling efisien dalam menggunakan ransum sehingga berat potong, berat karkas dan persentase karkas yang dihasilkan nyata paling tinggi (P<0,05), sedangkan kandungan trigliserida dan kadar kolesterolnya nyata lebih rendah (P<0,05) dari kontrol. Perlakuan R3 menghasilkan retensi energi (55,20 kkal/hari) dan retensi protein (0,55 g/hari), angka ini lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Penambahan kulit kopi 20% pada ransum kelinci cenderung meningkatkan jumlah mikroba dalam sekum dan kolon. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan 10% aras kulit kopi terfermentasi dalam ransum kelinci dapat meningkatkan performance, retensi energi dan protein dan persentase karkas. Secara finansial bila dihitung hasil penjualan kelinci hidup keuntungan tertinggi diperoleh R3, dengan R/C Ratio 1,22. Penggunaan 10% aras kulit kopi terfermentasi dapat direkomendasikan pada peternak karena dapat menurunkan biaya pakan.
11
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM .......................................................................................... i PRASYARAT GELAR ....................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
iv
UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................
v
ABSTRAK .......................................................................................................
vi
ABSTRACT .....................................................................................................
vii
RINGKASAN ..................................................................................................
viii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xvi
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1
Latar Belakang ............................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah .......................................................................
4
1.3
Tujuan Penelitian ........................................................................
4
1.4
Manfaat Penelitian ......................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
6
2.1
Potensi Ternak Kelinci ................................................................
6
2.2
Ransum Kelinci ...........................................................................
8
2.3
Potensi Kulit Kopi .......................................................................
12
BAB II
BAB III
KERANGKA
BERPIKIR,
KONSEP
DAN
HIPOTESIS
PENELITIAN..............................................................................
15
3.1
Kerangka Berpikir .......................................................................
15
3.2
Konsep Penelitian........................................................................
16
3.3
Hipotesis Penelitian .....................................................................
19
12
BAB IV
METODE PENELITIAN ............................................................
20
4.1
Rancangan Penelitian ..................................................................
20
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................
20
4.3
Penentuan Sumber Data ..............................................................
20
4.4
Variabel Penelitian ......................................................................
21
4.4.1 Berat Badan ........................................................................
21
4.4.2 Konsumsi Ransum .............................................................
21
4.4.3 Konsumsi Air Minum ........................................................
21
4.4.4 Konversi Ransum ...............................................................
22
4.4.5 Laju Aliran Ransum ...........................................................
22
4.4.6 Kofisien Cerna Bahan Kering Ransum ..............................
22
4.4.7 Kecernaan Energi ...............................................................
23
4.4.8 Kecernaan Protein ..............................................................
23
4.4.9 Keseimbangan Energi ........................................................
24
4.4.10 Keseimbangan protein ......................................................
25
4.4.11 Respon Hematologi ..........................................................
25
4.4.12 Karkas ..............................................................................
26
4.4.13 Jumlah Bakteri dan Mikroba Pada Sekum .......................
27
4.4.14 Analisis Usahatani ............................................................
28
Bahan Penelitian .........................................................................
29
4.5.1 Ternak Penelitian ...............................................................
29
4.5.2 Ransum dan Air Minum .....................................................
29
4.5.3 Kandang Penelitian ............................................................
32
4.5.4 Zat Anti Beku Darah ..........................................................
33
Instrumen Penelitian ...................................................................
33
4.6.1 Aerator ...............................................................................
33
4.6.2 Timbangan Digital .............................................................
33
4.6.3 Gelas Ukur .........................................................................
33
4.7
Prosedur Penelitian .....................................................................
33
4.8
Analisa Data ...............................................................................
34
4.5
4.6
13
BAB V
HASIL PENELITIAN .................................................................
35
Hasil ............................................................................................
35
5.1.1 Performans .........................................................................
35
5.1.2 Neraca Energi .....................................................................
39
5.1.3 Neraca Protein ....................................................................
42
5.1.4 Respon Hematologi ............................................................
43
5.1.5 Karkas ................................................................................
46
5.1.5.1 Berat dan Persentase Karkas ...........................................
46
5.1.5.2 Potongan Komersial Karkas ............................................
48
5.1.5.3 Komposisi Fisik Karkas ..................................................
48
5.1.6 Non Karkas ........................................................................
49
5.1.7 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon .........................
51
PEMBAHASAN .........................................................................
53
6.1
Performans ..................................................................................
53
6.2
Neraca Energi .............................................................................
57
6.3
Neraca Protein ............................................................................
59
6.4
Respon Hematologi .....................................................................
60
6.5
Karkas .........................................................................................
63
6.5.1 Berat dan Persentase Karkas ..............................................
63
6.5.2 Potongan Komersial Karkas ...............................................
65
6.5.3 Komposisi Fisik Karkas .....................................................
65
6.5.4 Non Karkas ........................................................................
67
6.6
Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon ..................................
68
6.7
Analisis Usahatani .......................................................................
69
5.1
BAB VI
14
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................
71
7.1
Simpulan .....................................................................................
71
7.2
Saran ............................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
73
LAMPIRAN .....................................................................................................
81
15
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Kandungan Nutrisi Berbagai Jenis Daging ............................................
7
Tabel 2 Hasil Analisis Pakan yang Dilakukan di Balinak, Bogor ......................
18
Tabel 3 Komposisi Bahan Penyusun Ransum penelitian ...................................
31
Tabel 4 Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian ..................................................
31
Tabel 5.1 Rata-rata Performans Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ................................................................................
36
Tabel 5.2 Kecernaan dan Lama Aliran Ransum pada Ternak Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ............................
39
Tabel 5.3 Neraca Energi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda .........................................................................................
40
Tabel 5.4 Neraca Protein Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda .........................................................................................
43
Tabel 5.5 Respon Hematologi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ................................................................................
44
Tabel 5.6 Karkas Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda...................................................................................................
47
Tabel 5.7 Non Karkas Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ..................................................................................................
50
Tabel 5.8 Jumlah Bakteri dan Mikroba pada Sekum dan Kolon Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ............................
52
Tabel 5.9 Analisis Usahatani Penggemukan Kelinci untuk 8 Ekor Pemeliharaan.
70
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Kerangka Berpikir .......................................................................
17
Gambar 2
Kandang Kelinci...........................................................................
32
Gambar 3
Pertambahan Berat Badan Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi ................................
37
Konsumsi Ransum Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi .................................................
38
Gambar 4
17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis Statistik Berat Badan Awal (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda ...................................................................
81
2
Daftar Sidik Ragam Berat Badan Akhir (g) ...........................................
83
3
Daftar Sidik Ragam Konsumsi Ransum (g/hr) ......................................
84
4
Daftar Sidik Ragam Pertambahan Berat Badan (g/hr) ...........................
85
5
Daftar Sidik Ragam Konversi Ransum ..................................................
86
6
Daftar Sidik Ragam Konsumsi Air (ml/hr) ............................................
87
7
Daftar Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering (%) ...............................
88
8
Daftar Sidik Ragam Kecernaan Energi (%) ...........................................
89
9
Daftar Sidik Ragam Kecernaan Protein (%) ..........................................
90
10
Daftar Sidik Ragam Laju Aliran Ransum (Jam) ....................................
91
11
Daftar Sidik Ragam Konsumsi Energi (kkal/hr) ....................................
92
12
Daftar Sidik Ragam Energi Feses/FE (kkal/hr) .....................................
93
13
Daftar Sidik Ragam Energi Tercerna/DE (kkal/hr) ...............................
94
14
Daftar Sidik Ragam Energi Termetabolis/ME (kkal/hr) ........................
95
15
Daftar Sidik Ragam Retensi Energi/ RE (kkal/hr) ................................
96
16
Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/ PP (kkal/hr) ................................
97
17
Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/PP (kkal W0,75/hr) ........................
98
18
Daftar Sidik Ragam Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB) ........................
99
19
Daftar Sidik Ragam Konsumsi Protein (g/hr) ........................................
100
20
Daftar Sidik Ragam Protein Feses (g/hr) ...............................................
101
18
21
Daftar Sidik Ragam Protein Tercerna (g/hr) .........................................
102
22
Daftar Sidik Ragam Retensi protein (g/hr) ............................................
103
23
Daftar Sidik Ragam Hemoglobin (g/100ml) .........................................
104
24
Daftar Sidik Ragam Eritrosit (106/ml) ...................................................
105
25
Daftar Sidik Ragam Leukosit (103/ml) ..................................................
106
26
Daftar Sidik Ragam Hematokrit (%) .....................................................
107
27
Daftar Sidik Ragam Glukosa (mg/100 ml) ............................................
108
28
Daftar Sidik Ragam Trigliserida (mg/100 ml) .......................................
109
29
Daftar Sidik Ragam Kolesterol (mg/100 ml) .........................................
110
30
Daftar Sidik Ragam Berat Potong (g) ...................................................
111
31
Daftar Sidik Ragam Berat Karkas (g) ....................................................
112
32
Daftar Sidik Ragam Persentase Karkas (%) ..........................................
113
33
Daftar Sidik Ragam Panjang Karkas (cm) .............................................
114
34
Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Depan Karkas (g/100 g karkas) ..........
115
35
Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Belakang Karkas (g/100 g karkas) .....
116
36
Daftar Sidik Ragam Berat Pinggang dan Punggung Karkas (g/100 g karkas) ....................................................................................................
117
37
Daftar Sidik Ragam Berat Dada dan Leher Karkas (g/100 g karkas) ..
118
38
Daftar Sidik Ragam Berat Daging Karkas (g/100 g karkas) .................
119
39
Daftar Sidik Ragam Berat Lemak Karkas (g/100 g karkas) ..................
120
40
Daftar Sidik Ragam Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas) .................
121
41
Daftar Sidik Ragam Rasio Daging dengan Tulang Karkas (/100 g karkas) ....................................................................................................
122
Daftar Sidik Ragam Berat Paru-Paru (g/100 g berat hidup) .................
123
42
19
43
Daftar Sidik Ragam Berat Jantung (g/100 g berat hidup) .....................
124
44
Daftar Sidik Ragam Berat Sekum (g/100 g berat hidup) .......................
125
45
Daftar Sidik Ragam Berat Kolon (g/100 g berat hidup) .......................
126
46
Daftar Sidik Ragam Berat Usus Halus (g/100 g berat hidup) ................
127
47
Daftar Sidik Ragam Berat Kulit dan Bulu (g/100 g berat hidup) ..........
128
48
Daftar Sidik Ragam Jumlah Bakteri (opg) ............................................
129
49
Daftar Sidik Ragam Jumlah Mikroba (opg) ..........................................
130
50
Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian ..................................................
131
51
Angka Density Ransum Penelitian ........................................................
132
52
Harga Ransum Perlakuan Kontrol (R0) .................................................
133
53
Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Tidak Difermentasi (R1)
134
54
Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Tidak Difermentasi (R2)
135
55
Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Difermentasi (R3) ..........
136
56
Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Difermentasi (R4) ..........
137
57
Foto-Foto Penelitian .....................................................................................
158
20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kebutuhan daging senantiasa akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia daging sapi merupakan komoditas yang dijadikan indikator pemenuhan daging secara nasional. Pada tahun 2010 permintaan daging sapi nasional mencapai 402,9 ribu ton, dimana pemerintah baru dapat menyediakan 282,9 ribu ton dari produksi lokal. Untuk memenuhi permintaan daging nasional pemerintah melakukan impor sebesar 35% yang terdiri dari sapi bakalan sebesar 46,3 ribu ton dan daging 73,7 ribu ton. Pada tahun 2014 diprediksi kebutuhan daging akan meningkat menjadi 467 ribu ton (meningkat 10% dari tahun 2010). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut sekitar 420,3 ribu ton diperoleh dari produksi lokal dan sisanya 46,7 ribu ton (10%) dipenuhi dari dari impor (Ditjennak, 2010). Dalam rangka memenuhi target produksi daging sapi lokal sebesar 420,3 ribu ton, Kementerian Pertanian mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014 yang terdiri dari 5 program pokok yaitu : (1) Penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) Pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (4) Penyediaan bibit sapi, dan (5) Pengaturan stock daging sapi dalam negeri.
21
Di Bali, kendala dalam pengembangan ternak ruminansia khususnya sapi adalah lahan pengembangan semakin sempit dan tingkat reproduksinya lambat, sehingga perlu diversifikasi daging dengan pengembangan ternak unggas dan babi. Pengembangan ternak unggas dan babi membutuhkan bahan pakan yang mahal karena sebagian bahan masih import dari luar (Suradi, 2005), sehingga usaha ini kurang efisien untuk dikembangkan. Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif yang mempunyai potensi cukup besar untuk diversifikasi penyediaan sumber protein hewani sebagai penyedia daging. Disnak Propinsi Bali (2012), populasi kelinci di Bali pada tahun 2012 sebanyak 5.907 ekor, dimana populasi terbanyak di Kabupaten Tabanan (2.942 ekor) dan Kabupaten Karangasem (1.522 ekor). Kelinci menjadi pilihan untuk dibudidayakan karena pakannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, pemberian hijauan yang tinggi pada ternak kelinci dapat meningkatkan efisiensi ransum (Farrel dan Raharjo,1984). Sartika et al. (1988), keuntungan beternak kelinci salah satunya dapat memanfaatkan limbah pertanian maupun berbagai jenis hijauan sehingga dalam budidaya kelinci dapat menggunakan sumber daya lokal. Sitorus et al., (1982) melaporkan kelinci dapat dipelihara dengan memberikan pakan hijauan yang dikombinasikan dengan limbah pertanian dan hasil industri pertanian. Kelinci mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang sangat pesat, satu siklus reproduksi seekor kelinci dapat memberikan 8-10 ekor anak dan pada umur 8 minggu bobot badannya dapat mencapai 2 kg (Lestari et al., 2005). Komposisi kimia daging kelinci mempunyai kualitas yang baik, kandungan protein daging kelinci cukup tinggi yaitu 20% dan setara dengan
22
daging ayam bahkan proteinnya bisa mencapai 25% (Ensminger et al., 1990), sedangkan kandungan lemak 5,5g, kolesterol 53g dan energinya 137 kkal lebih rendah dibandingkan daging ternak lain (Chan et al, 1995). Mastika (1991) melaporkan salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang murah dan kompetitif adalah melalui pemanfaatan limbah, baik limbah pertanian, peternakan maupun
industri pertanian. Salah satu
limbah yang
potensial dan belum dimanfaatkan sebagai pakan konsentrat adalah kulit kopi yang memiliki kandungan nutrien yang cukup bagi kelinci, belum dimanfaatkan dan tersedia secara berkelanjutan dalam upaya untuk menurunkan biaya produksi. Produksi kulit kopi diprediksi di Bali potensinya 4.118,24 ton dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena produksinya sangat tinggi dan belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Potensi kandungan gizinya masih dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan Aspergillus niger. Protein kulit kopi dapat ditingkatkan dari 9,94 % menjadi 17,81%, kandungan serat kasar menurun dari 18,74% menjadi 13,05%, (Budiari, 2009). Menurut Bidura (2007) ransum yang difermentasi kandungan protein dan energinya meningkat sedangkan kandungan serat kasarnya menurun. Hasil kajian Parwati et al. (2008) kulit kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger mampu menggantikan dedak padi yang selama ini sebagai pakan konsentrat untuk ternak sapi. Hal ini menunjukan bahwa dengan sentuhan teknologi dapat menjadikan kulit kopi sebagai bahan pakan yang lebih bermutu.
23
Informasi tentang pemanfaatan kulit kopi terfermentasi untuk pakan kelinci sampai saat ini belum tersedia sehingga dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan kulit kopi terfermentasi pada kelinci potong yang sedang tumbuh. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka beberapa permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Belum diketahuinya pengaruh ransum dengan menggunakan aras kulit kopi terfermentasi berbeda terhadap performans, karkas dan jumlah mikroba dalam sekum dan kolon.
2.
Berapa banyak retensi energi dan protein yang didapatkan pada tubuh kelinci yang diberikan ransum menggunakan kulit kopi terfermentasi dengan aras yang berbeda?
3.
Apakah Penggunaan kulit kopi terfermentasi dapat menurunkan biaya produksi ternak kelinci lokal ?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui potensi kulit kopi sebagai sumber pakan ternak kelinci. 2. Mengetahui pada aras berapa persenkah penggunaan
kulit kopi
terfermentasi tidak berpengaruh buruk terhadap performans dan karkas kelinci lokal. 3. Mengetahui retensi energi dan protein pada tubuh kelinci yang diberikan ransum menggunakan kulit kopi terfermentasi dengan aras berbeda. 4. Mengetahui pengaruh pemberian kulit kopi terhadap penurunan biaya pakan sehingga biaya produksi kelinci menurun tanpa mengurangi tingkat
24
produktivitas
sehingga
pendapatan
petani-peternak
kelinci
akan
meningkat. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap produktivitas ternak kelinci dengan memanfaatkan kulit kopi terfermentasi sebagai salah satu sumber pakan asal limbah. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan formula ransum dengan aras penggunaan kulit kopi terfermentasi yang terbaik. 3. Membantu pemerintah dalam mewujudkan peternakan ramah lingkungan dan penyediaan daging alternatif bagi masyarakat. 4. Meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat petani peternak.
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Ternak Kelinci Pengembangan budidaya kelinci di masyarakat sudah lama dilakukan, namun jumlah peternak dan populasinya masih sangat rendah, antara lain disebabkan karena daging kelinci kurang memasyarakat. Hal ini disebabkan karena kelinci dikenal oleh masyarakat umum sebagai binatang kesayangan, sehingga adanya tekanan psikologi masyarakat dalam memanfaatkan kelinci sebagai sumber protein. Pemeliharaan kelinci pada saat ini hanya sebatas untuk pakan reptil dan hewan kesayangan, padahal kelinci sangat potensial untuk dikembangkan baik sebagai alternatif penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat maupun sebagai sumber pendapatan. Ternak kelinci mempunyai keunggulan komparatif karena dapat tumbuh dan berkembang biak dengan cepat, dapat dikawinkan kembali 3 – 4 minggu sesudah melahirkan. Dalam satu tahun seekor induk kelinci mampu menghasilkan anak paling tidak 40 kg bobot hidup, bila dibandingkan dengan seekor induk sapi yang menghasilkan seekor anak dengan bobot 200 kg, atau seekor domba 75 kg bobot hidup anak per tahun (Rafzunnella, 2009). Rokhmani (2005) menyatakan bahwa daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat digolongkan kedalam golongan daging berwarna putih. Daging kelinci mengandung protein 20,8%, lemak 10,2%, dan energi 7,3 MJ/Kg, kandungan asam lemak linoleat 22,5% dan kandungan kolesterol 0,1%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daging
26
kelinci sangat baik untuk kesehatan karena kandungan proteinnya tinggi tetapi kolesterol dan sodium rendah sehingga baik untuk meningkatkan kecerdasan pada anak-anak
dan
mencegah
penyakit
penyumbatan
pembuluh
darah
(arterosklerosis). USDA (2009) melaporkan daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daging sapi, domba atau kambing (Tabel.1). Tabel 1 Kandungan Nutrisi Berbagai Jenis Daging Jenis Ternak
Air
Protein
Lemak
(Kkal) (g/Kg)
Kalori
(g/Kg)
(g/Kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg)
Ca
P
K
Na
Fe
Kholesterol* (mg/100g)
Sapi
195
66,5
20
12
12
195
350
65
3
70
Domba/kambing
210
66
18
14
10
165
350
75
1,5
70
Babi
260
61
17
21
10
195
350
70
2,5
70
Ayam
200
67
19,5
12
10
240
300
70
1,5
50
Kelinci
160
70
21
8
20
350
300
40
1,5
30
Sumber : USDA (2009). * Beynen (1984)
Struktur daging kelinci lebih halus dengan warna dan bentuk fisik yang menyerupai daging ayam pedaging. Ditinjau dari segi rasa dan warna daging kelinci sulit dibedakan dari daging ayam sehingga merupakan peluang bagi daging kelinci untuk mengisi sebagian pasar daging ayam, apalagi dengan merebaknya isu flu burung yang menyebabkan permintaan daging ayam akan menurun. Selain sebagai penghasil daging dan sumber protein hewani yang baik bagian-bagian tubuh kelinci meliputi kulit dan bulu, kotoran, dan urin juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keuntungan lain dari pemeliharaan kelinci adalah dapat menyediakan daging, kulit beserta bulu, pupuk organik, hewan hias dan hewan percobaan dalam jangka waktu singkat pada berbagai skala
27
pemeliharaan dan tidak memerlukan lahan luas untuk pemeliharaan sehingga cocok dikembangkan di daerah yang padat penduduknya. 2.2 Ransum Kelinci Kelinci pada umumnya diberikan pakan lebih banyak berupa hijauan dan limbah sayuran, sehingga produktivitasnya kurang optimal. Peningkatan kinerja kelinci tidak lepas dari kandungan gizi pakan seperti energi, protein dan serat kasar. Limbah pertanian dengan serat kasar tinggi dan kandungan protein yang rendah berakibat tidak maksimalnya kinerja kelinci untuk menghasilkan produk. Upaya mendukung kecukupan gizi yang seimbang pemberian hijauan perlu diimbangi dengan konsentrat (Lestari, 2005). Rahardjo et al. (2004) melaporkan bahwa kelinci Rex yang diberikan rumput lapang ad libitum + 60 g konsentrat menghasilkan pertambahan berat badan sebesar 1191 g/ekor, sedangkan kelinci yang diberikan rumput lapang ad libitum tanpa konsentrat hanya menghasilkan pertambahan berat badan sebesar 610 g/ekor, selama 12 minggu pemeliharaan. Dalam menyusun ransum ternak kelinci hal yang paling diperhatikan adalah kandungan dari energi dan protein dalam ransum karena kelebihan dan kekurangan energi dan protein dalam ransum akan menurunkan produktivitas ternak (Nuriyasa, 2012). Lebih lanjut dilaporkan bahwa kandungan energi termetabolis dan protein ransum sebanyak 2939,93 kkal/kg dan protein kasar 16,48%, untuk kelinci diperlukan didataran rendah tropis sehingga pertumbuhan menjadi optimal yang dibuktikan dengan respon biologi (fisiologi, hematologi, performans dan karkas). NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500 kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat
28
kasar (SK) berkisar antara 10-12 %, Calsium (Ca) 0,4% dan Fosfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong. Lebih lanjut Sinaga (2009) menyarankan kelinci pejantan fase grower memerlukan protein kasar 16% sedangkan induk menyusui memerlukan protein kasar 15 – 16 %. Kandungan serat kasar pada ransum kelinci jantan fase grower adalah 10 – 27 % dan induk menyusui adalah 15 – 20%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peningkatan kinerja kelinci tidak lepas dari unsur-unsur pakan yang utama yaitu kandungan energi, protein dan serat kasar. Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci dapat memanfaatkan pakan hijauan yang tidak disukai sapi. Kelinci termasuk ternak monogastrik herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar secara baik, hal ini disebakan karena kelinci tidak memiliki rumen seperti kambing dan sapi. Sistem pencernaan kelinci mempunyai sekum dan kolon yang besar tempat terjadinya fermentasi makanan. Pemberian pakan pada kelinci sebaiknya disesuaikan dengan kondisi faali dan menurut kemampuan fisiologis pencernaan (Widodo, 2005). Lestari (2004) melaporkan pemberian ampas tahu sebagai konsentrat tunggal menghasilkan pertambahan berat badan harian sebesar 31,93 g/ekor/hari dengan konversi pakan 5,17% lebih tinggi dari yang diberikan ampas tahu yang dikombinasikan dengan bekatul, yaitu 30,53 g/ekor/hari. Lebih lanjut Hamidy (1996) melaporkan kelinci “New Zealand White” periode pertumbuhan yang diberikan eceng gondok 20% rata-rata pertambahan berat badan hariannya 13g lebih tinggi daripada yang diberikan 10% eceng gondok (11,84 g) dan 30% sebesar 9,12 g. Pemberian tempurung sawit terfermentasi
29
sampai 20% pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhannya (Raharjo et al., 2000). Lestari et al. (1997) melaporkan penambahan azolla mycrophylla dalam ransum kelinci lokal meningkatkan berat dan persentase karkas kelinci dari 44,95% menjadi 48,33%. Menurut Lestari (2005) ternak kelinci sebagai ternak monogastrik mempunyai keunikan dalam hal kapasitas, sifat, dan faali dari saluran pencernaanya, yaitu kemampuan kelinci untuk melakukan coprophagy. Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses kering keras dan juga feses lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak vitamin, dan nutrien seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya kelinci tidak akan kekurangan vitamin dan nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang kembali (Anon, 2011). McNitt et al. (1996) menyatakan nutrien ternak kelinci dapat dibedakan menjadi protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi bagi ternak kelinci. Karbohidrat terpenting dari ternak kelinci adalah pati dan selulosa. Selulosa mampu dicerna oleh kelinci karena memiliki mikroorganisme dalam sekum dan kolon sebagai fermentor serat kasar. Kelinci membutuhkan serat kasar dalam ransum dalam jumlah yang tinggi (minimal 12%) yang bersumber dari hijauan. Kelinci dapat mencerna serat kasar
30
terutama selulosa dari bahan nabati dengan bantuan bakteri yang hidup dalam sekum dan kolon untuk dirubah menjadi energi, protein dan asam amino bisa diabsorbsi kembali (McNitt et al., 1996). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas adalah dengan fermentasi Aspergillus niger. Efisiensi penggunaan pakan dapat ditingkatkan sehingga nilai konversi pakan dapat ditingkatkan pula. Muryanto (2006) melaporkan bahwa dengan pemberian 5%
kulit kopi
terfermentasi dalam ransum ayam buras dapat meningkatkan pertumbuhan 1,42% dan menekan biaya pakan sebesar Rp.56,- setiap 1 kg ransum dibandingkan dengan ransum kontrol. Selanjutnya Rokhmani (2005) menyatakan pemberian onggok terfermentasi pada ransum kelinci 10% dan 20% dapat meningkatkan berat badan kelinci 33% dan 29% dibandingkan dengan yang diberikan onggok tanpa terfermentasi. Kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak walaupun hanya diberikan hijauan dan limbah pertanian sebagai pakan utamanya. Pemeliharaan ternak kelinci
secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian berbagai jenis
leguminosa dan rumput-rumputan. Disamping itu dengan memanfaatkan sisa – sisa dari sayuran dan pemberian pakan tambahan berupa dedak padi, ampas tahu, pollard
mampu
meningkatkan
produktivitas
kelinci
(Raharjo,
2005).
Pemeliharaan secara intensif dengan menggunakan ransum komplit yang merupakan campuran dari bahan seperti jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, pollard, vitamin – mineral, kapur dan garam mampu meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi dalam penggunaan pakan (Lestari et al., 2005). Dengan menggunakan ransum komplit (protein kasar 16% dan energi termetabolis 2500
31
kkal/kg) konsumsi pakan per ekor per hari adalah sebagai berikut kelinci dewasa 110 – 125 g, kelinci bunting 200 – 250 g, kelinci yang sedang tumbuh (1,5 – 6 bulan) 80 g dan kelinci memerlukan air minum setiap hari terutama pada induk yang sedang menyusui dan pada pemberian pakan konsentrat (Raharjo, 2005). Dari berbagai perkebunan seperti kulit kakao dan kopi di Bali khususnya dan lumpur sawit di Indonesia umumnya, kulit kopi cukup banyak ketersediaannya yaitu 2.959 ton (BPS, 2012). Penggunaan kulit kopi 5% pada ransum ayam umur 30-60 hari tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan (985 vs 971 g), konsumsi pakan (1700 vs 1700 g), konversi pakan (3,1 vs 3,3) dibandingkan dengan kontrol yang menggunakan 5% bungkil biji kapuk (Muryantho et al., 2006). Lebih lanjut Guntoro (2004) merekomendasikan bahwa aras penggunaan tepung kulit kopi untuk ransum ternak babi dan ayam sebesar 10 – 15 %. 2.3 Potensi Kulit Kopi Luas perkebunan kopi di Bali 39.000 ha, produksi pada tahun 2011 sebanyak 8.453 ton yang dihasilkan oleh kabupaten Buleleng 2.963 ton, Bangli 3.503 ton, dan Tabanan 1.987 ton (BPS, 2012). Dari 39.000 ha areal perkebunan kopi di Bali sekitar 65% robusta dan selebihnya 35% kopi Arabika yang populasinya hampir sebagian besar ada di wilayah Kintamani. Kopi arabika adalah komoditas unggulan dari Kintamani dengan jumlah produksi pada tahun 2012 sebanyak 11.766,4 ton, dengan jumlah luasan 5.345,58 ha (Disbun Kabupaten Bangli, 2013) Buah kopi yang dipanen tersebut selanjutnya diolah basah dan produk utamanya adalah kopi beras dan selanjutnya diolah menjadi kopi bubuk. Hasil proses pengolahan akan menghasilkan 65% biji kopi dan 35% kulit kopi. kulit
32
kopi belum banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak dan kebanyakan dibuang sebagai pupuk. Pemanfaatan kulit kopi secara langsung sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelemahan diantaranya masih mengandung senyawa tanin yang dapat mengganggu pencernaan jika diberikan pada aras tinggi dalam bentuk segar. Hasil Penelitian menunjukan bahwa analisis proksimat kulit biji kopi yang belum difermentasi yaitu bahan kering (BK) 95,22%, protein kasar (PK) 10,47%, lemak kasar (LK) 0,26% dan serat kasar (SK) 32,36% serta gross energi (GE) sebesar 4,14 Kkal/kg (Wiguna, 2007). Mastika. (2011) melaporkan bahwa dengan proses amoniasi kulit kopi mempunyai kandungan protein 17,88%, kecernaan bahan kering meningkat dari 40% menjadi 50%, VFA dari 102 mM menjadi 148 mM dan NH3 4,8 mM menjadi 12,04 mM. Lebih lanjut dijelaskan bahwa amoniasi ini juga menyebabkan struktur dinding sel kulit kopi menjadi padat dan tidak berdebu sehingga lebih mudah ditangani. Salah satu cara untuk meningkatan kualitas pakan dapat dilakukan dengan biofermentasi. Biofermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat sebagai hasil kerja enzim dari mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu (Bidura et al., 2010). Pakan yang mengalami fermentasi memiliki gizi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya. Kompiang et al. (1994) melaporkan bahwa fermentasi ubi kayu dapat meningkatkan kandungan protein dari 2-3 % menjadi 18– 20%, fermentasi lumpur sawit menghasilkan 18 – 22% protein kasar (Purwandaria et al., 1999), fermentasi bungkil kelapa menghasilkan 39 – 43% protein kasar (Sinurat et al., 1996). Selama ini pemberian konsentrat sebagai pakan penguat biasanya dilakukan terbatas oleh peternak yang memiliki tingkat
33
kemampuan ekonomi yang baik. Akibatnya secara umum produktivitas ternak yang dipelihara petani pada umumnya menjadi rendah. Pemanfaatan
limbah
merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan bahan pakan yang murah dan tidak berkompetisi dengan kebutuhan manusia dan ternak lainnya. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan
kulit kopi yang jumlahnya
melimpah dimusim panen dapat mencapai 4.118,24 ton untuk mendukung pengembangan ternak kelinci di Bali.
Pemanfaatan
kulit kopi untuk pakan
(konsentrat) dapat meningkatkan nilai tambah usahatani. Produktivitas kelinci akan optimal apabila kualitas dan kuantitas pakannya diperhatikan. Sudaryanto et al. (1985) dan Diwyanto et al. (1985) melaporkan bahwa kelinci mampu tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan berbagai jenis hijauan secara efisien untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga produksinya tidak akan maksimum, oleh karena itu dibutuhkan konsentrat untuk meningkatkan pertumbuhannya.
34
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Limbah perkebunan khususnya
kulit kopi selama ini belum banyak
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Kulit kopi hanya dibiarkan begitu saja sebagai sampah dan sebagian kecil dipergunakan sebagai pupuk tanaman. Secara fisik, potensi kulit kopi cukup besar yaitu kulit biji kopi sebanyak 6% dan daging buah kopi 42% dari berat glondongan kering (Zaenuddin et al., 1995). Dalam proses pengolahan kopi basah akan menghasilkan 65% biji kopi dan 35% kulit kopi. Dari angka tersebut di Bali akan tersedia 2.959 ton kulit kopi segar. Jumlah ini akan sangat membantu dalam pengembangan usaha ternak kelinci. Rendahnya ketersediaan zat-zat makanan (protein kasar 9,94% ) yang terkandung dalam kulit kopi merupakan kendala dalam pemanfaatannya untuk bahan pakan ternak. Kelinci pertumbuhan membutuhkan serat kasar 14% dalam ransumnya (McNitt et al., 1996). Fermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein kulit kopi dari 9,94% menjadi 17,81% dan serat kasar dari 18,74% diturunkan menjadi 13,05% (Budiari, 2009). Potensi kulit kopi sudah diteliti pada beberapa ternak diantaranya pada sapi, kambing, ayam dan babi, namun belum banyak potensi
kulit kopi yang
dimanfaatkan pada ternak kelinci. Hasil penelitian Parwati et al. (2006) menyatakan bahwa sapi yang diberi pakan tambahan dedak padi dan dedak kulit kopi menghasilkan pertambahan berat badan (0,58 kg vs 0,47 kg). Lebih lanjut Guntoro et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian kulit kopi sebanyak 100 –
35
200 g/ekor/hari pada kambing peranakan Etawa meningkatkan pertumbuhan ratarata dari 68,15 g (pakan tradisional) menjadi 99,25 - 100.10 g. Pemberian dedak kulit kopi terfermentasi sebanyak 11% dari total ransum pada ayam buras Bali produksi telurnya rata-rata 35 – 40 %, sedangkan ayam buras Bali dengan pakan konvensional produksi telurnya rata-rata 25% (Guntoro, 2004). Skema kerangka berpikir disajikan pada Gambar 1. 3.2 Konsep Kulit kopi merupakan hasil ikutan setelah panen yang selama ini menjadi sampah dan hanya sebagai bahan pupuk organik. Apabila tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dan sumber penyakit bagi tanaman. Kulit kopi yang jumlahnya sangat tinggi mempunyai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Budiari (2009) melaporkan bahwa
kulit kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger meningkatkan
kandungan proteinnya dari 9,94 % menjadi 17,81%, dan kandungan serat kasar menurun dari 18,74% menjadi 13,05%. Prawirodigdo et al. (2007) melaporkan bahwa dekomposisi aerobik terhadap kulit kopi dapat mengeliminasi tannin yang terkandung hingga 58% (dari 1651,82 menjadi 694, 29 mg/100 g). Hal ini menunjukan bahwa kulit kopi cukup potensial dipakai sebagai pakan ternak kelinci. Kulit kopi terfermentasi dapat meningkatkan koefisien cerna (bahan kering, energi dan protein) ransum ternak kelinci. Peningkatan koefisien nilai cerna ransum akan berdampak pada peningkatan efisiensi penggunaan ransum, retensi energi dan protein, serta performans dan karkas kelinci.
36
KULIT KOPI
BAHAN PAKAN TERNAK
KENDALA : PUPUK TANAMAN KOPI - PROTEIN RENDAH - SERAT KASAR TINGGI
FERMENTASI ASPERGILLUS NIGER
- DAYA GUNA BELUM MAKSIMAL - PENCEMARAN LINGKUNGAN - MEDIA UNTUK PERKEMBANGAN JAMUR
- PROTEIN MENINGKAT - SERAT KASAR RENDAH
DIBERIKAN PADA KELINCI : - FCR RENDAH - RETENSI ENERGI DAN PROTEIN MENINGKAT - PERTUMBUHAN DAN KARKAS MENINGKAT
- PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK - KESEJAHTERAAN PETERNAK MENINGKAT
Keterangan :
berpengaruh
Gambar 1. Kerangka Berpikir
37
Kelinci merupakan ternak monogastrik herbivora yang pada sekum dan kolonnya terdapat bakteri selulolitik yang mampu mencerna serat kasar untuk di rubah menjadi energi, protein dan asam amino yang selanjutnya dapat diabsorbsi oleh dinding mukosa pada sekum dan kolon (McNitt et al., 1996). Sifat kopropagi pada kelinci dapat memanfaatkan protein yang efisien disebabkan karena penyerapan ulang dari zat-zat makanan yang mengalami pencernaan awal dari mikroorganisme dalam sekum yang mensintesa beberapa zat makanan diantaranya protein dan beberapa vitamin (Cheeke et al., 1987). Pemberian kulit kopi disamping sangat baik untuk penyediaan pakan yang berkelanjutan, juga dapat menekan biaya pakan dan ketersediaannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan ternak lainnya, karena limbah dapat digunakan sebagai bahan alternatif pengganti sumber energi, protein , serat kasar maupun sebagai sumber mikronutrien, karena produk tersebut ternyata kaya akan zat-zat gizi (Tabel 3.1). Pemakaian kulit kopi sebagai pakan ternak menyebabkan terjadinya pemakaian sumberdaya terbarukan (renewable resources) dan tidak akan ada yang terbuang (zero waste) dan meminimalkan input luar. Tabel 2 Hasil Analisis Pakan yang Dilakukan Di Balitnak, Bogor NAMA BAHAN Kulit Kopi
CP 9,94
SK 18,74
Kulit Kopi fermentasi
17,81
13,05
Sumber : Budiari (2009)
Kandungan bahan (%) Lemak Abu Ca P 1,97 11,28 0,60 0,20 1,06
22,55 0,76
0,62
GE(kcal/kg) 3306 3938
TDN 50,6 56,9
38
3.3 Hipotesis 1. Kulit kopi terfermentasi dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan mutu nutrien kulit kopi dan merupakan salah satu bahan penyusun ransum pada ternak kelinci 2. Pemberian
kulit kopi terfermentasi pada aras 20% tidak berpengaruh
terhadap respon hematologi, performans, dan karkas kelinci lokal. 3. Pemberian
kulit kopi terfermentasi pada aras 20% tidak berpengaruh
terhadap jumlah mikroba dalam sekum dan kolon. 4. Pemberian kulit kopi terfermentasi mampu menurunkan harga ransum pada ternak kelinci.
39
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan lima perlakuan. Perlakuan tersebut adalah ransum tanpa menggunakan kulit kopi sebagai kontrol (R0), ransum menggunakan 10% kulit kopi (R1), ransum menggunakan 20% kulit kopi (R2), ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) dan ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi (R4). Tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak 8 kali sehingga terdapat 40 unit percobaan. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Penelitian dilaksanakan selama 16 minggu dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2013. Pembuatan kandang, ransum perlakuan dan persiapan kelinci dilakukan selama 8 minggu, selanjutnya 8 minggu untuk aplikasi ransum perlakuan ke ternak kelinci. 4.3 Penentuan Sumber Data Kelinci yang dipergunakan adalah kelinci jantan lokal lepas sapih (umur 5 minggu). Kelinci lokal yang dimaksud adalah kelinci yang sudah terbiasa dipelihara di daerah Bali khususnya di desa Riang Gede, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan dan tidak jelas asal-usulnya. Dari jumlah kelinci yang diperlakukan sebanyak 40 ekor dibuat 4 kelompok berat badan, setelah didapatkan
40
4 kelompok berdasarkan berat badan yang sama maka masing-masing kelinci dalam kelompok disebar pada semua perlakuan. 4.4
Variabel Penelitian
4.4.1 Berat badan Penimbangan dilakukan setiap minggu untuk mengetahui pertambahan berat badan per minggu. Berat badan awal didapatkan dengan cara penimbangan dilakukan pada awal penelitian sebelum kelinci diberikan perlakuan pakan, sedangkan untuk mengetahui berat badan akhir dilakukan pada akhir penelitian. Pertambahan berat badan didapatkan dengan cara mengurangi berat badan pada akhir penelitian dengan berat badan pada awal penelitian. Sebelum ditimbang kelinci dipuasakan selama 12 jam. 4.4.2 Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dihitung setiap minggu dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum pada hari tersebut.Total konsumsi ransum diperoleh dengan cara menjumlahkan konsumsi ransum setiap minggu selama penelitian berlangsung. 4.4.3 Konsumsi Air Minum Konsumsi air minum diperoleh dengan mengurangi jumlah air minum yang diberikan dengan sisa pada keesokan harinya. Pengukuran dilakukan dengan mengunakan gelas ukur.
41
4.4.4 Konversi Ransum Konversi ransum atau Feed Conversion Ratio (FCR) dihitung dengan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan selama penelitian. 4.4.5 Laju Aliran Ransum Pengukuran laju aliran ransum di dalam saluran pencernaan dilakukan dengan memberikan ransum yang telah dicampur dengan indikator Fushin Acid (0,05%) pada ternak kelinci, metode ini dipergunakan oleh (Nuriyasa, 2012). Lama aliran ransum dihitung dengan jalan menghitung waktu mulai ransum yang mengandung indikator dimakan sampai keluarnya indikator untuk pertama kali di dalam feses. 4.4.6 Koefisien Cerna Bahan Kering Ransum Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung berdasarkan metode koleksi total (Tillman et al., 1986). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar matahari sampai kering udara kemudian dioven pada temperatur 60 0
C selama 24 Jam. Kofisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung dengan
formulasi : (A – B) KCBK =
X 100 %
..............................................................(1)
A Keterangan: KCBK : Koefisien Cerna Bahan kering (%) A : Konsumsi bahan kering ransum (g) B : Jumlah bahan kering feses (g)
42
4.4.7 Kecernaan Energi Kecernaan Energi (KE) dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad et al., 1996). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar matahari sampai kering udara kemudian dioven pada suhu 600 C selama 24 jam. Feses dianalisis proksimat untuk menentukan kandungan energi pada feses. Konsumsi ransum selama koleksi total (7 hari) di oven pada temperatur 600 C selama 24 jam untuk mendapatkan berat kering. Konsumsi energi di dapat dengan cara mengalikan bahan kering ransum dengan kandungan energi ransum. Energi pada feses didapat dengan cara mengalikan berat kering feses dengan kandungan energi feses. Kecernaan Energi (KE) dihitung dengan menggunakan formulasi : KE =
A-B A
X 100% .............................................................................. (2)
Keterangan : KE : Kecernaan Energi (%) A : Konsumsi Energi (kkal/hr) B : Kandungan Energi pada feses (g/hr)
4.4.8 Kecernaan Protein Kecernaan protein (KP) dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad et al., 1996). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar matahari sampai kering udara kemudian dioven pada suhu 600 C selama 24 jam.Feses dianalisis proksimat untuk menentukan kandungan protein pada feses. Konsumsi ransum selama koleksi total (7 hari) di oven pada temperatur 600 C selama 24 jam untuk mendapatkan berat kering. Konsumsi protein di dapat dengan cara mengalikan bahan kering ransum dengan kandungan protein ransum. Protein pada
43
feses didapat dengan cara mengalikan berat kering feses dengan kandungan protein feses. Kecernaan protein (KP) dihitung dengan menggunakan formulasi : KP =
A-B A
X 100% .............................................................................. (3)
Keterangan : KP : Kecernaan Protein (%) A : Konsumsi protein (g/hr) B : Kandungan protein pada feses (g/hr) 4.4.9 Keseimbangan Energi Keseimbangan energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi dikurangi energi teretensi dan energi yang terbuang melalui feses. Kandungan energi ransum (GE) ditentukan dengan bomb kalorimeter dan komposisi zat-zat makanan pada ransum ditentukan dengan analisis proksimat menurut metode AOAC (1984). Energi pada feses (FE) ditentukan dengan bomb kalorimeter, sedangkan protein pada feses ditentukan dengan analisa Kjeldhal menurut AOAC. (1984). Banyaknya energi bruto yang dikonsumsi ditentukan dari konsumsi ransum dikalikan dengan kandungan energi bruto dari ransum. Penentuan energi tercerna atau Digestible energi (DE) dilakukan dengan menggunakan metode koleksi total yakni dengan menentukan energi total yang terkandung dalam ransum dan feses. Digestible Energi (DE) ditentukan dengan rumus Parigi Bini dan Xiccato (1998), sebagai berikut : DE = Energi dikonsumsi – Energi pada feses ............................................ (4) Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar perhitungan kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
44
ME = DE – Energi urine – Energi metan .............................................................(5) Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi jumlah energi tubuh pada akhir penelitian dengan jumlah energi tubuh pada awal penelitian sesuai dengan metode Parigi Bini dan Xiccato (1998). Produksi panas dihitung dengan formulasi : PP = ME – RE .....................................................................................................(6) Keterangan : PP : Produksi Panas RE : Retensi Energi ME : Energi Termetabolis 4.4.10 Keseimbangan Protein Keseimbangan protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi dikurangi protein diretensi dan protein yang terbuang melalui feses. Keseimbangan protein meliputi : konsumsi protein, protein dalam feses, protein tercerna, retensi protein dan efisiensi pemanfaatan protein. Konsumsi protein dihitung dengan cara mengalikan banyaknya konsumsi ransum dengan kandungan protein ransum. Protein tercerna dihitung dengan formulasi McNitt et al. (1996) sebagai berikut : Protein tercerna = konsumsi protein – protein feses Protein teretensi dihitung dengan mengurangi jumlah protein tubuh akhir penelitian dengan protein tubuh pada awal penelitian. 4.4.11 Respon Hematologi Pengamatan dilakukan terhadap kandungan hemoglobin (g/ml), jumlah sel darah merah (106/μl), jumlah sel darah putih (103/μl), kandungan hematokrit (%), kandungan glukosa darah (mg/ml), kandungan trigliserida darah (mg/dl) dan kolesterol darah (mg/ml) sesuai dengan metode Nugraha (2010). Pengambilan
45
sampel hanya dilakukan satu kali yaitu pada minggu ke-7 penelitian. Pengambilan darah dilakukan pada masing-masing perlakuan sebanyak 4 sampel sehingga terdapat 20 sampel darah. Sampel darah diambil pagi hari sebelum kelinci diberikan makan dan air minum. Cara pengambilan contoh darah dilakukan dengan menusukan jarum pada vena telinga, kemudian disedot dengan spuit plastik dan segera dipindahkan ke tabung reaksi yang telah terisi zat anti beku darah. Zat anti beku darah yang digunakan adalah Etylene Diamine Tetra Acetate (Gandasoebrata, 1985). Jumlah sampel darah yang diambil adalah 6 cc untuk satu ekor kelinci (Nugraha, 2010). Segera setelah diambil sampel darahnya masukan ke dalam termos es dan pada hari itu di kirim ke laboratorium Rumah Sakit Umum Pusat Badung. 4.4.12 Karkas Data karkas diperoleh dengan cara memotong ternak kelinci pada akhir penelitian. Pemotongan ternak kelinci dengan memotong vena jugularis pada leher untuk mengeluarkan darahnya (Alhaidary et al., 2010). Tubuh kelinci kemudian digantung pada salah satu kaki belakang dengan membuat potongan pada kulit antara tulang dan tendo pada sendi siku kaki belakang. Kepala dilepas pada sendi atlas, kaki belakang pada sendi siku dan kaki depan pada sendi siku. Ekor dilepas pada pangkalnya. Kulit dilepaskan dengan membuat sayatan dibagian belakang dari paha belakang ke arah pangkal ekor dan paha yang bebas , kemudian ditarik ke arah leher sampai lepas. Jeroan dikeluarkan dari rongga perut dengan membuat sayatan median didinding perut. Persentase karkas dihitung
46
sebagai total berat karkas segar, lemak rongga abdomen, dan paru-paru dibagi dengan berat tubuh sebelum dipotong dikalikan 100 (Lukefahr et al., 1981) Pemotongan karkas untuk pemasaran komersial, karkas dipotong-potong menjadi 2 potongan kaki belakang kiri dan kanan, 1 potongan pinggang dan punggung, 2 potongan dada dan leher serta 2 potongan kaki depan kiri dan kanan (Sartika dan Raharjo, 1991). Karkas dipotong dengan melepaskan ke dua kaki depan pada scapula. Kaki belakang dipotong pada sendi antara tulang lumbal terakhir dengan tulang sakral pertama. Dada dan leher dengan pinggang dipisahkan dengan membuat potongan antara dua tulang rusuk terakhir. Tulang rusuk terakhir masuk kedalam potongan pinggang. Untuk mengetahui proporsi dan produksi daging maka antara daging, lemak dan tulang dipisahkan. Rasio daging dengan tulang didapat dengan membagi berat daging dengan tulang. 4.4.13 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon Data jumlah mikroba dalam sekum dan kolon diperoleh dengan cara mengeluarkan sekum dan kolon dari rongga perut. Potong ujung usus yang menghubungkan sekum dan kolon, kemudian diikat dengan tali rapia, masukkan kedalam termos yang sudah berisi es, segera dibawa ke laboratorium Balai Besar Veteriner di Denpasar. Prosedur penanganan sampel sekum dan kolon untuk mengetahui jumlah mikrobanya dilakukan sebagai berikut : (1) Pengkayaan : isi sekum dan kolon dimasukan ke dalam trypticase broth 10 ml kemudian diinkubasikan pada suhu 370 C selama 24 jam, (2) Uji selektif media: organ yang telah ditanam diambil dengan jarum inokulasi (ose) digoreskan perlahan-lahan pada media MDL agar,
47
Mac Conkey, LEMB, Nutrien agar dan Blood agar kemudian diinkubasikan pada suhu 370 C selama 24 jam, (3) Uji pewarnaan gram : pewarna gram yang digunakan adalah Amonium Oxalat-Crystal violet : Sol A; Crystal violet 10 gr, Ethanol (95%) 100 ml dicampur sampai larut, Sol B; Amonium Oxalat 1%, bila dipakai 20 ml Sol A ditambahkan 80 ml solution B. Lugol solution, Methanol dan Safranin 0,5%. Prosedur pewarnaan ambil 1 ose bakteri diletakan diatas kaca preparat, diberi garam fisiologis kemudian diaduk-aduk,
dikeringkan dengan
pengering, kemudian dituangi (Sol A dicampur Sol B) selama 2 menit. Cuci dengan air kran, kemudian dituangi larutan Lugol selama 0,5 menit. Diberikan Aceton 2 – 3 ml, kemudian dicuci dengan air selanjutnya diberi 0,5% Safranin selama 0,5 menit, dicuci dengan air dan dikeringkan. Hasilnya dilihat di bawah mikroskop. Cara untuk menyatakan hasil adalah pada prapengkayaan positif terjadi kekeruhan, berarti ada pertumbuhan bakteri. Pada media DHL, Mac Conkey warna koloni merah dadu, konvex, pinggirannya rata. Nutrien agar, koloni pinggirannya rata. Blood agar (agar darah) terjadi haemolisa, pinggirannya rata. E.coli gram negatif, tidak berspora dan berbentuk batang, serotipe. Bila terjadi aglutinasi serotipe maka dilihat serotipe mana yang mengaglutinasi. 4.4.14 Analisis Usahatani Tingkat kelayakan usahatani dapat diketahui dengan melakukan analisis Revenue cost ratio (R/C ratio). Apabila R/C ratio > 1, maka usahatani tersebut layak untuk diterapkan, sebaliknya jika R/C ratio < 1, maka usahatani tersebut tidak layak untuk diterapkan (Soekartawi, 2002).
48
4.5
Bahan Penelitian
4.5.1 Ternak Penelitian Dalam penelitian ini digunakan ternak kelinci jantan lokal lepas sapih (umur 5 minggu) sebanyak 40 ekor sesuai dengan perlakuan dan ulangan yang direncanakan. Sebelum kelinci dimasukan ke dalam kandang terlebih dahulu diinjeksi dengan ivomek 0,2 ml per ekor untuk mencegah serangan endoparasit dan eksoparasit (Hon et al., 2009). 4.5.2 Ransum dan Air Minum Ransum yang dipergunakan dalam penelitian ini disusun dari bahan-bahan terdiri dari: jagung kuning, tepung ikan, dedak padi, bungkil kelapa, tepung kedelai, rumput gajah, tepung tapioka, kulit kopi, kulit kopi terfermentasi, minyak kelapa, dan tepung tulang. Ransum diberikan adalah iso energi dan protein dengan kandungan protein kasar 16 % dan energi termetabolis 2.500 kkal/kg (NRC, 1977). Komposisi bahan penyusun ransum dan kandungan nutrien ransum disajikan pada Table 3 dan 4. Kulit kopi sebelum dibuat menjadi dedak, terlebih dahulu difermentasi dengan larutan Aspergillus niger (Guntoro, 2004) dengan cara sebagai berikut : 1. Aspergillus niger terlebih dahulu diaktifasi dengan cara menyediakan 10 liter air bersih (steril) kemudian masukan 100 gram gula pasir, dan 100 gram urea dan 50 gram NPK lalu diaduk sampai larut. Setelah larut masukkan Aspergillus Niger 50 cc aduk kembali hingga larut. Larutan Aspergillus niger ini didapat dari aerasi selama 24-36 jam selanjutnya setiap beberapa jam buihnya dibuang.
49
2. Kulit kopi yang sudah siap difermentasi ditaburkan setebal 5-10 cm pada permukaan terpal, diatas tumpukan bahan yang telah disiram larutan Aspergillus niger ditaburkan lagi
kulit kopi setebal 5 – 10 cm,
selanjutnya disirami larutan Aspergillus niger secara merata. Demikian seterusnya, sehingga bahan habis tertumpuk dan tersiram cairan Aspergillus niger. Diatas tumpukan kulit kopi ditutup dengan terpal yang bersih secara rapat dan dibiarkan 4-5 hari. Setelah umur 4 – 5 hari penutup terpal dibuka, ciri dari fermentasi itu berhasil adalah permukaan irisan menjadi warna kecoklatan atau kehitam-hitaman dan tidak berbau (sedikit berbau manis seperti tape). 3. Kulit kopi terfermentasi basah dijemur sampai kering dibawah sinar matahari
tujuannya
untuk
menghentikan
proses
fermentasi,
mempermudah dalam proses penggilingan serta memperpanjang masa simpan karena kadar air akan turun hingga 12-14%. kulit kopi yang sudah kering akan ditandai dengan tekstur yang keras dan warna kehitaman. kulit kopi terfermentasi lalu digiling sampai halus dan siap dicampur dengan bahan lain untuk dijadikan pelet. Pemberian ransum diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan pada sore hari adlibitum. Tempat makan dan minum dibersihkan setiap hari sebelum pemberian pakan dan air minum. Air minum yang diberikan diambil dari sumber mata air (sumur bor).
50
Tabel 3 Komposisi Bahan Penyusun Ransum Penelitian Bahan (%) Jagung Kuning Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung Tapioka Tepung Kedelai Dedak Padi Rumput Gajah Dedak Kulit Kopi Non Fermentasi Dedak Kulit Kopi fermentasi Minyak Kelapa Tepung Tulang Total
R0 24,00 14,50 6,50 4,00 6,50 15,00 25,00
R1 23,00 13,00 6,50 4,00 6,55 12,45 22,00 10,00
4,00 0,50 100
2,00 0,50 100
Perlakuan R2 23,00 10,50 7,00 4,00 6,10 10,00 18,90
R3 22,00 10,00 6,00 4,00 5,50 16,00 24,00
R4 20,50 6,50 5,00 4,00 5,15 16,05 22,30
10,00 2,00 0,50 100
20,00 0,00 0,50 100
R4 64,73 2554,14 16,02 5,57 13,64 0,46 0,66 0,56 0,30 0,47 0,77 0,73 0,37 0,09 0,48
Standard NRC (1977) 65 2500 16 2 10-14 0,4 0,22 0,65 0,6 0,6 1,1 1,1 0,6 0,2 0,7
20,00 0,00 0,50 100
Tabel 4 Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Nutrien TDN % ME(Kkal/kg) Protein Kasar % Lemak Kasar % Serat Kasar % Calcium % Phosporus % Lisin % Metionin + sistin % Isoleusin % Leusin % Phenilalanin + Tirosin % Treonin % Triptofan % Valin %
RO 64,83 2506,11 16,00 10,08 13,14 0,35 0,62 0,62 0,40 0,61 1,99 1,99 0,48 0,12 0,63
Perlakuan R1 R2 R3 64,85 65,00 64,65 2519,72 2553,34 2523,40 16,01 16,00 16,01 7,83 5,60 7,29 13,48 13,65 13,47 0,39 0,42 0,41 0,59 0,55 0,64 0,59 0,55 0,55 0,38 0,35 0,35 0,58 0,55 0,54 0,93 0,87 0,89 0,88 0,81 0,84 0,45 0,41 0,42 0,11 0,10 0,10 0,59 0,54 0,55
Keterangan : Perhitungan berdasarkan Tabel National Research Council (NRC) (1977).
51
4.5.3 Kandang Penelitian Penelitian menggunakan sebuah bangunan kandang yang beratap asbes dengan luas 5 m x 10 m dengan tinggi tembok 3 m. Kandang berada di desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Kandang yang dipergunakan kandang berukuran panjang 70 cm, lebar 50 cm, tinggi 45 cm dan berbentuk panggung dengan ketinggian 75 cm di atas permukaan tanah sesuai dengan rekomendasi Nuriyasa (2012). Rangka kandang terbuat dari ukuran kayu 4 cm x 6 cm, kayu 3 cm x 5 cm dan kayu reng. Sisi samping kandang ditutup dengan reng dari bambu dengan diameter lubang 3 cm. Bagian bawah kandang terbuat dari reng bambu agar feses dan air kencing ternak dapat ditampung. Setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat ransum dan tempat air minum. Di bagian bawah kandang dipasang tempat penampungan feses dari kasa dengan lubang sangat kecil untuk koleksi total dan kepentingan analisis keseimbangan energi dan protein (Gambar 2).
Gambar 2. Kandang Kelinci
52
4.5.4 Zat Anti Beku Darah Zat anti beku darah Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA) diperlukan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah sampel setelah darah diambil untuk pengamatan hematologi. 4.6
Instrumen Penelitian
4.6.1 Aerator Aerator digunakan untuk mengaerasi dari larutan Aspergillus niger sebelum dipergunakan untuk fermentasi kulit kopi. 4.6.2 Timbangan digital Dalam penelitian ini dipergunakan timbangan digital merk shoenle dengan kapasitas 5 kg dan kepekaan 2 g. Timbangan ini dipergunakan untuk menimbang jumlah ransum yang diberikan dan sisa ransum. Berat badan kelinci setiap minggu juga ditimbang dengan timbangan digital Shoenle. 4.6.3 Gelas Ukur Gelas ukur digunakan untuk mengukur jumlah air minum yang diberikan dan sisa air minum. 4.7
Prosedur Penelitian Sebelum penelitian dimulai, dilakukan sanitasi kandang dan bangunan
kandang dengan cara membersihkan dan menyemprotkan desinfektan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Lantai bangunan kandang, lantai kandang, tempat ransum dan air minum dibersihkan setiap hari dari sisa ransum, kotoran maupun air kencing. Tempat ransum dan air minum dibersihkan dengan cara mencuci bersih dengan sabun dan dijemur pada sinar matahari langsung.
53
Dinding dan lantai kandang dibersihkan dengan sapu lalu disemprot dengan desinfektan lysol untuk membunuh mikroorganisme patogen. Pemberian ransum sesuai dengan perlakuan ransum, ditimbang dengan jumlah yang sama pada masing-masing ulangan. Penimbangan ransum dilakukan dengan timbangan digital yang mempunyai kapasitas 5 kg dengan kepekaan 2 g. Setiap minggu dilakukan perhitungan jumlah konsumsi ransum dan air minum dengan cara menghitung jumlah ransum yang dimakan dengan menguranginya dengan jumlah sisa ransum selama satu minggu. Pengukuran air minum juga dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran konsumsi ransum. Penimbangan pertambahan berat badan dilakukan setiap minggu pada hari yang sama untuk semua unit percobaan. Sebelum dilakukan penimbangan, kelinci dipuasakan selama 12 jam. 4.8
Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila diantara
perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980).
54
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1
Hasil
5.1.1 Performans Hasil penelitian menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel berat badan awal kelinci yang dipelihara selama 70 hari. Berat badan awal kelinci yang diberikan ransum tanpa menggunakan kulit kopi (R0), kelinci yang diberikan ransum dengan 10% kulit kopi tidak terfermentasi (R1), kelinci yang diberikan ransum dengan 20% kulit kopi tidak terfermentasi (R2), kelinci yang diberikan ransum dengan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) dan kelinci yang diberikan ransum dengan 20% kulit kopi terfermentasi (R4) masing-masing 258,38 g, 257,88 g, 258,25 g, 258,50 g dan 258,75 g (Tabel 5.1). Kelinci yang mendapatkan perlakuan ransum R3 menghasilkan berat badan akhir paling tinggi yaitu 1866,75 g, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 5,21%, 7,31 %, 7,57% dan 6,80 % nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) perlakuan R4 dengan R0, R1, dan R2 yang masing-masing 1769,50 g, 1730,25 g, dan 1725,38 g (Tabel 5.1). Tabel 5.1 menunjukan pertambahan berat badan paling tinggi terjadi pada perlakuan ransum R3 (22,98 g/hr), sedangkan R0, R1, R2, dan R4 masing-masing 6,05%, 8,49%, 8,79% dan 7,92% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3. Kelinci yang mendapat perlakuan R4 menghasilkan pertambahan berat badan
55
21,16 g/hr tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, dan R2 (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Rata-rata Performans Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda. Variabel
Perlakuan
Berat Badan Awal (g)
R0 258,38a
R1 257,88a
R2 258,25a
R3 258,50a
R4 258,75a
SEM 1,28
Berat Badan Akhir (g)
1769,50b
1730,25c
1725,38c
1866,75a
1739,88bc
11,21
b
c
c
a
bc
11,36
Pertambahan Berat Badan Total (g)
1511,12
1472,37
1467,13
1608,25
1481,13
Pertambahan Berat Badan (g/hr)
21,59b
21,03c
20,96c
22,98a
21,16bc
0,16
Konsumsi Ransum (g/hr)
75,63d
77,36cd
83,61b
79,19c
86,19a
0,64
153,30
c
c
181,46
a
b
183,37
a
2,35
3,50
c
4,01
a
4,08
a
0,03
Konsumsi Air (ml/hr) Konversi Ransum
157,90 3,68
b
170,95
3,45
c
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Pertumbuhan R3 pada minggu 1 dan 2 hampir sama dengan perlakuan yang lainnya (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena kelinci membutuhkan adaptasi terhadap pakan yang mengandung kulit kopi. Minggu berikutnya pertumbuhan kelinci yang diberikan ransum R3 lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya.
56
2000,00 1800,00
Berat badan (g)
1600,00 1400,00 1200,00
R0
1000,00
R1
800,00
R2
600,00
R3
400,00
R4
200,00 0,00 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Ix
X
Minggu penimbangan Gambar 3. Pertambahan Berat Badan Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda.
Konsumsi ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang mendapatkan perlakuan R4 yaitu 86,19 g/hari. Kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masing-masing 12,25%, 10,25%, 2,99% dan 8,12% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4 (Tabel 5.1). Konsumsi ransum R1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R0 dan R3, masing-masing 75,63 g/hr dan 79,19 g/hr. Konsumsi ransum setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 3. Konsumsi air minum kelinci yang diberikan perlakuan R4 paling tinggi yaitu 183,37 ml/hari. Konsumsi air minum perlakuan R0, R1 dan R3 masingmasing 16,40%, 13,89% dan 6,77% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4, sedangkan antara perlakuan R2 dan R4 tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.1
Konsumsi Ransum (g)
57
900,00 800,00 700,00 600,00 500,00 400,00 300,00 200,00 100,00 0,00
R0 R1 R2 R3 R4 I
II
III
Iv
V
VI
VII
VIII
IX
Penimbangan (minggu)
Gambar 4. Konsumsi Ransum Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda.
Kelinci yang mendapat perlakuan R3 mempunyai konversi ransum paling rendah yaitu 3,45 tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R0 (3,50). Perlakuan R1, R2 dan R4 angka FCR masing-masing 6,25%, 13,97% dan 15,44% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari R3. Antara perlakuan R2 dan R4 tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05). Kecernaan bahan kering pada perlakuan R3 adalah 59,84%, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 2,59%, 4,53%, 2,39% dan 0,94% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3. Perlakuan R0 dan R2 secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.2. Kelinci yang mendapat perlakuan R3 menghasilkan kecernaan energi yaitu 67,87%, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 2,20%, 3,61%, 3,36% dan 2,80% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R3 (Tabel 5.2). Perlakuan R4 menghasilkan kecernaan energi yaitu 65,97%, dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, dan R2.
tidak berbeda nyata (P>0,05)
58
Tabel 5.2 Kecernaan dan Lama Aliran Ransum pada Ternak Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda. Variabel R0 58,29c
R1 57,13d
Perlakuan R2 R3 58,41c 59,84a
Kecernaan Energi (%)
66,37b
65,42c
65,59c
67,87a
65,97bc
0,20
Kecernaan Protein (%)
86,64a
84,18c
83,54c
85,85b
86,19ab
0,21
Lama Aliran Ransum (jam)
10,25a
10.18a
10.06a
8,76a
9.66a
0,14
Kecernaan Bahan kering (%)
R4 59,28b
SEM 0,15
R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 1) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 2) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kecernaan protein kelinci yang diberikan perlakuan R0 yaitu 86,64%, tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R4, namun nyata lebih tinggi (P<0,05) masing-masing 2,84%, 3,58%, dan 0,91% dari perlakuan R1, R2 dan R3 (Tabel 5.2). Lama aliran ransum dalam saluran pencernaan kelinci yang diberikan perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 10,25 jam, 10,18 jam, 10,06 jam, 8,76 jam dan 9,66 jam, yang secara statistik diantara perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 5.2) 5.1.2 Neraca Energi Konsumsi energi kelinci yang mendapat perlakuan R4 adalah 350,76 kkal/hari, sedangkan R0, R1, R2 dan R3 masing-masing 9,84%, 6,39%, 7,33%
59
dan 2,31%, nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4 (Tabel 5.3). Perlakuan ransum R3 adalah 337,83 kkal/hr dan perlakuan ransum R2 adalah 341,24 kkal/hari yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti yang terlihat pada Tabel 5.3 Tabel 5.3 Neraca Energi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda Variabel R0 316,24d
R1 323,73c
Perlakuan R2 R3 b 341,24 337,83b
R4 350,76a
SEM 1,99
Energi Feses (FE) kkal/hr
106,36a
112,02a
117,47a
108,55a
119,30a
1,22
Energi Tercerna (DE) kkal/hr
209,87c
211,71c
223,78b
229,29a
231,46a
1,47
Energi Termetabolis (ME) kkal/hr
199,38c
201,13c
212,59b
217,82a
219,89a
1,39
Retensi Energi (RE) kkal/hr
52,90c
51,56d
53,83b
55,20a
53,77b
0,27
Produksi Panas (PP) kkal/hr
146,48c
149,57c
158,76b
162,63ab 166,12a
1,48
Produksi Panas (PP) kkalW0,75/hr
49,35a
48,85a
51,21a
49,51a
50,81a
0,44
Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB)
9,26b
9,56b
10,19a
9,50b
10,41a
0,08
Konsumsi Energi (kkal/hr)
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan limbah kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel energi feses. Energi feses kelinci yang mendapat perlakuan R0,
60
R1, R2, R3 dan R4 masing-masing
106,36 kkal/hr, 112,02 kkal/hr, 117,47
kkal/hr, 108,55 kkal/hr dan 119,30 kkal/hr (Tabel. 5.3). Kelinci yang diberikan ransum R4 menghasilkan energi tercerna (DE) paling tinggi yaitu 231,46 kkal/hr, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing 9,33%, 8,53%, dan 3,32% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan ransum R3 yaitu 229,29 kkal/hr yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R4 (Tabel 5.3). Kelinci yang diberikan ransum R4 menghasilkan energi termetabolis (ME) paling tinggi yaitu 219,89 kkal/hr, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing 9,33%, 8,47%, dan 6,21% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan ransum R3 yaitu 217,82 kkal/hr yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R4 (Tabel 5.3). Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan retensi energi paling tinggi yaitu 55,20 kkal/hr, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing 4,17%, 6,59%, dan 2,48% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3 (Tabel 5.3). Retensi energi kelinci yang mendapatkan perlakuan ransum R4 adalah 53,77 kkal/hr dan perlakuan ransum R2 adalah 53,83 kkal/hr yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian pada Tabel 5.3 menunjukan produksi panas paling tinggi dihasilkan oleh kelinci yang mendapat perlakuan R4 yaitu 146,48 kkal/hari. Produksi panas kelinci yang mendapatkan perlakuan R0, R1 dan R2 masingmasing 11,82%, 9,96% dan 4,43% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R4. Perlakuan ransum R3 menghasilkan produksi panas 162,63 kkal/hr tidak berbeda
61
nyata (P>0,05) dari perlakuan ransum R2 dan R4 yaitu 2,38 % dan 2,10% (Tabel 5.3). Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel produksi panas per berat badan metabolis (W0,75). Produksi panas per berat badan metabolis (W0,75) pada perlakuan R0,R1,R2,R3 dan R4 masing-masing 49,35 kkalW0,75/hari, 48,85 kkalW0,75/hari, 51,21 kkalW0,75/hari, 49,51 kkal W0,75/hari, dan 50,81 kkal W0,75/hari (Tabel 5.3). Perlakuan ransum R4 menghasilkan ME/pbb paling tinggi yaitu 10,41 kkal/g pbb. Perlakuan ransum R0, R1 dan R3 menghasilkan ME/pbb masingmasing 11,05%, 8,17%, dan 8,74% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4, namun dengan R2 (10,19 kkal/g pbb) tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5,3. 5.1.3 Neraca Protein Konsumsi protein kelinci yang mendapatkan perlakuan R0 adalah 7,56 g/hr, sedangkan R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 3,57%, 5,74%, 11,58% dan 12,18% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari R0 (Tabel 5.4). Perlakuan R4 (8,62 g/hr) tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R3, namun nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan R1 dan R2 yaitu 9,05% dan 6,96%. Antara perlakuan ransum R1 dan R2 tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) yaitu 7,84 g/hr dan 8,02 g/hr (Tabel 5.4). Tabel 5.4 menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel protein feses pada semua perlakuan. Perlakuan ransum R0, R1, R2, R3, dan R4 masing-masing 1,01g/hr, 1,24g/hr, 1,32g/hr, 1,21g/hr, dan 1,19g/hr.
62
Kelinci yang mendapat perlakuan R4 menghasilkan protein tercerna paling tinggi yaitu 7,43g/hr, tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada R3, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing 11,84%, 11,17%, dan 9,83% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan ransum R0 (6,55 g/hr), R1 (6,60 g/hr) dan R2 (6,70 g/hr) yang secara statistik tidak berbeda (P>0,05). Tabel 5.4 Neraca Protein Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda Variabel Konsumsi Protein (g/hr)
R0 7,56c
R1 7,84b
Perlakuan R2 R3 b 8,02 8,55a
R4 8,62a
SEM 0,07
Protein Feses (g/hr)
1,01a
1,24a
1,32a 1,21a
1,19a
0,002
6,55
b
b
0,53
bc
Protein Tercerna (g/hr) Retensi Protein (g/hr)
6,60 0,52
cd
b
6,70 0,51
d
a
7,34 0,55
a
a
0,07
b
0,002
7,43 0,53
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan limbah kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Retensi protein pada perlakuan R3 adalah 0,55 g/hari, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 3,64%, 5,46%, 9,09% dan 3,64% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap retensi protein antara perlakuan R0 (0,53 g/hr) dan R4 (0,53 g/hr) seperti pada Tabel 5.4. 5.1.4 Respon Hematologi Tabel 5.5 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R3 mempunyai kandungan haemoglobin darah paling tinggi yaitu 12,23 g/100 ml, sedangkan R0,
63
R1, R2 dan R4 masing-masing 5,56%, 12,67%, 4,74% dan 5,72% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel haemoglobin darah antara perlakuan R0, R2, dan R4 yang masing-masing 11,55 g/100 ml, 11,65 g/100 ml dan 11,53 g/100 ml (Tabel 5.5). Tabel 5.5 Respon Hematologi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda Variabel
Perlakuan R0
Haemoglobin (g/100 ml)
R1
11,55
b
R2
10,68
c
5,16
c
R3
11,65
b
R4
SEM b
0,09
5,72
5,66
a
0,02
12,23
a
11,53
Eritrosit (10 /μl)
5,55
Leukosit (103/μl)
6,98a
5,88a
6,05a
5,90a
7,25a
0,14
Hematokrit (%)
37,33b
36,43c
37,80b
40,05a
37,50b
0,19
125,25a
128,25a
126,50a
129,00a
127,00a
0,83
a
b
a
144,75
b
c
9,43
122,25
b
c
3,64
6
Glukosa (mg/100 ml) Trigliserida (mg/100 ml) Kolesterol (mg/100 ml)
b
227,00 130,00
ab
169,00
133,00
a
5,45
b
210,00 132,50
ab
a
99,50 88,75
1). R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 2). Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 3). SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kandungan eritrosit pada perlakuan R1 adalah 5,16 x 106/μl, sedangkan R0, R2, R3 dan R4 masing-masing 7,03%, 5,32%, 2,97% dan 2,97% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari R1. Perlakuan R3 menghasilkan kandungan eritrosit adalah 5,72 x 106/μl tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R4, namun nyata lebih tinggi dari R0, R1, dan R2 yaitu 2,97%, 9,79%, dan 4,72% (Tabel 5.5).
64
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel leukosit. Leukosit kelinci pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 6,98 x 103/ μl, 5,88 x 103/ μl, 6,05 x 103/ μl, 5,90 x 103/ μl dan 7,25 x 103/ μl (Tabel 5.5). Kelinci yang mendapatkan perlakuan R3 menghasilkan hematokrit paling tinggi yaitu 40,05 %, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 6,79%, 8,91%, 5,62% dan 6,37%
lebih rendah (P<0,05) daripada R3. Tidak terjadi
perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel hematokrit antara perlakuan R0, R2 dan R4 masing-masing 37,33%, 37,80% dan 37,50% (Tabel 5.5). Tabel 5.5 menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel kandungan glukosa darah kelinci. Kandungan glukosa darah pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 125,25 mg/100 ml, 128,25 mg/100 ml, 126,50 mg/100 ml, 129,00 mg/100 ml, dan 127,00 mg/100 ml. Kandungan trigliserida darah kelinci yang mendapatkan perlakuan R0 paling tinggi yaitu 227,00 mg/100 ml, nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan R1(169,00 mg/100 ml), R3 (144,75 mg/100 ml) dan R4 (99,50 mg/100 ml), tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R2 (210,00 mg/100 ml). Perlakuan R1 dan R3 secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.5 Kelinci yang diberikan perlakuan ransum R4 menghasilkan kolesterol paling rendah yaitu 88,75 mg/100 ml, sedangkan R0, R1, R2, dan R3 masingmasing 31,73%, 33,27%, 33,02% dan 27,40% lebih tinggi (P<0,05) daripada R4 (Tabel 5.5). Perlakuan ransum R0 (130,00 mg/100 ml) tidak berbeda (P>0,05)
65
daripada R1, R2 dan R3 masing-masing 133,00 mg/100 ml, 132,50 mg/100 ml dan 122,25 mg/100 ml (Tabel 5.5). 5.1.5 Karkas 5.1.5.1 Berat dan Persentase Karkas Berat potong kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu 1858,75 g. Berat potong kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan R4 masingmasing 3,67%, 7,92%, 11,45% dan 9,98% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R3 (Tabel 5.6). Tabel 5.6 menunjukan berat karkas kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu 891,00 g, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing - masing 6,00%, 14,17%, 19,08% dan 18,46% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3. Perlakuan R2 dan R4 secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) yaitu 721,00 g dan 726,50 g. Presentase karkas kelinci yang diberikan perlakuan R3 paling tinggi yaitu 47,73%, tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R0 (47,33%) sedangkan R1, R2 dan R4 masing-masing 7,35%, 12,45% dan 12,51% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel persentase karkas diantara perlakuan R2 (41,79%)
dan R4 (41,76%) seperti
terlihat pada Tabel 5.6. Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan panjang karkas 33,13 cm, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 2,26%, 6,79%, 7,94% dan 5,28% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3 (Tabel 5.6). Perlakuan ransum R1
66
(30,88 cm) tidak berbeda (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R2 (30,50 cm) dan R4 (31,38 cm). Tabel 5.6 Karkas Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda Variabel
Perlakuan R0
Berat Potong (g) Berat karkas (g)
R1
R2
R3
R4
SEM
1790,50b 1711,50c 1646,00e 1858,75a 1673,25d
8,38
837,50b
764,75c
721,00d
891,00a
726,50d
8,32
a
b
c
47,73
a
41,76
c
0,40
Persentase Karkas (%)
47,33
Panjang Karkas (cm)
32,38b
30,88cd
30,50d
33,13a
31,38c
0,14
a
a
a
a
a
0,85
Berat Kaki Depan Karkas (g/100g karkas) Berat Kaki Belakang Karkas (g/100g karkas) Berat Pinggang dan Punggung Karkas (g/100g karkas) Berat Dada dan Leher Karkas (g/100g karkas) Berat Daging Karkas (g/100g karkas) Berat Lemak Karkas (g/100g karkas) Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas) Rasio Daging dengan tulang karkas (/100 g karkas)
16,12
44,22
16,35
41,79 16,06
16,38
16,53
30,45a
30,40a
30,93a
30,74a
30,97a
0,29
28,95a
27,33a
27,05a
27,50a
28,22a
0,37
24,48a
23,93a
24,97a
25,38a
24,30a
0,63
69,25b
62,99d
62,48d
71,04a
66,83c
0,25
2,42a
1,93c
2,22b
1,68d
1,20e
0,04
28,33a
35,05a
35,30a
27,27a
31,97a
0,85
1,81c
1,80c
1,77c
2,61a
2,09b
0,08
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan limbah kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% limbah kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% limbah kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% limbah kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% limbah kulit kopi terfermentasi 2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
67
5.1.5.2 Potongan Komersial Karkas Tabel 5.6 menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel berat kaki depan karkas. Berat kaki depan karkas R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 16,12 g/100 g karkas, 16,35 g/100 g karkas, 16,06 g/100 g karkas, 16,38 g/100 g karkas dan 16,53 g/100 g karkas. Berat kaki belakang kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 30,45 g/100 g karkas, 30,40 g/100 g karkas, 30,93 g/100 g karkas, 30,74 g/100 g karkas, dan 30,97 g/100 g karkas yang secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.6 Tidak terjadi perbedaan yang nyata
(P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel berat pinggang dan punggung karkas kelinci. Berat pinggang dan punggung R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 28,95 g/100 g karkas, 27,33 g/100 g karkas, 27,05 g/100 g karkas, 27,50 g/100 g karkas dan 28,22 g/100 g karkas (Tabel 5.6) Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel berat dada dan leher karkas kelinci. Berat dada dan leher karkas kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 24,48 g/100 g karkas, 23,93 g/100 g karkas, 24,97 g/100 g karkas, 25,38 g/100 g karkas dan 24,30 g/100 g karkas (Tabel 5.6). 5.1.5.3 Komposisi Fisik Karkas Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan berat daging karkas sebanyak 71,04 g/ 100 g karkas, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 2,52%, 11,33%, 12,05% dan 5,93% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3.
68
Berat daging karkas kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R2 adalah 62,99 g/100 g karkas dan 62,48 g/100 g yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R0 menghasilkan lemak karkas 2,42 g/100 g berat karkas, sedangkan R1, R2, R3 dan R4 masingmasing 20,25%, 8,26%, 30,57% dan 50,41%
lebih rendah (P<0,05) dari
perlakuan R0. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel berat tulang karkas. Berat tulang karkas kelinci yang diberikan perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 28,33 g/100 g karkas, 35,08 g/100 g karkas, 35,30 g/100 g karkas, 27,27 g/100 g karkas dan 31,97 g/100 g karkas (Tabel 5.6). Rasio daging dengan tulang karkas kelinci yang diberikan perlakuan R3 paling tinggi adalah 2,61/100 g karkas. Perlakuan R0, R1, R2 dan R4 menghasilkan rasio daging dengan tulang karkas nyata lebih rendah (P<0,05) masing-masing (1,81 :1), (1,80 :1), (1,77 :1) dan (2,09 : 1) daripada R3. Antara perlakuan R1 dan R2 tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.6. 5.1.6 Non Karkas Kelinci yang mendapat perlakuan R2 menghasilkan berat paru-paru paling tinggi yaitu 0,66 g/100 g berat hidup, tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R4 (0,63 g/100g), sedangkan R0, R1 dan R3 masing-masing 37,88%, 34,85%, dan 34,88% lebih rendah daripada R2. Berat paru-paru kelinci yang diberikan
69
perlakuan R0, R1 dan R3 masing-masing 0,41 g/100 g, 0,43 g/100 g dan 0,43 g/100 g secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R4 menghasilkan berat jantung yaitu 0,27g/100 g berat hidup, sedangkan R0, R1, R2, dan R3 masing-masing 37,04%, 22,22%, 11,11% dan 29,63% (P<0,05) dari R4.
Perlakuan
nyata lebih rendah
ransum R3 menghasilkan berat jantung yaitu
0,19g/100 g berat hidup, tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan R0 dan R1. Tabel 5.7 Non Karkas kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda. Variabel
Perlakuan R0 0,41b
R1 0,43b
R2 0,66a
R3 0,43b
R4 0,63a
SEM 0,01
Berat Jantung (g/100g berat hidup)
0,17d
0,21c
0,24b
0,19cd
0,27a
0,01
Berat Sekum (g/100g berat hidup)
1,82a
1,67b
1,43c
1,80a
1,69b
0,03
Berat Kolon (g/100g berat hidup)
1,63a
1,71a
1,79a
1,70a
1,69a
0,02
Berat Usus Halus (g/100g berat hidup)
5,60a
5,76a
5,85a
5,75a
6,07a
0,07
12,04b
11,60e
11,72d
12,35a
11,88c
0,03
Berat Paru-Paru (g/100g berat hidup)
Berat Kulit dan Bulu (g/100g berat hidup)
R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 1) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 2) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Berat sekum kelinci yang diberikan ransum R0 adalah 1,82 g/100g berat hidup dan kelinci yang diberikan ransum R3 adalah 1,80 g/100g berat hidup yang
70
secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan R1, R2 dan R4 masingmasing 8,24%, 21,43%, dan 7,14% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R0. Perlakuan R1 (1,67 g/100 g berat hidup) tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R4 (1,69g/100 g berat hidup), namun nyata lebih rendah (P<0,05) dari R2 (Tabel 5.7) Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel berat kolon kelinci.
Berat kolon kelinci yang diberikan
perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 1,63 g/100 g berat hidup, 1,71 g/100 g berat hidup, 1,79 g/100 g berat hidup, 1,70 g/100 g berat hidup dan 1,69 g/100 g berat hidup (Tabel 5.7) Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel berat usus halus antara perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 yang masing-masing 5,60 g/100g berat hidup, 5,76 g/100g berat hidup, 5,85 g/100g berat hidup, 5,75 g/100g berat hidup, dan 6,07 g/100g berat hidup (Tabel 5.7) Berat kulit dan bulu ternak kelinci yang diberikan perlakuan R3 adalah 12,35 g/100 g berat hidup, sedangkan R0, R1,R2 dan R4 masing-masing 2,51%, 6,07%, 5,10% dan 3,81% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan R3 (Tabel 5.7) 5.1.7 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan terhadap variabel jumlah bakteri dalam sekum dan kolon kelinci. Jumlah Bakteri dalam sekum dan kolon kelinci pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masingmasing 12.500 opg, 10.050 opg, 10.950 opg, 14.500 opg dan 17.650 opg (Tabel 5.8)
71
Jumlah mikroba dalam sekum dan kolon kelinci yang diberikan perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 40 x 1010 opg, 40 x 1010 opg, 42 x 1010 opg, 59 x 1010 opg dan 46 x 1010 opg yang secara statistik diantara perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.8
Tabel 5.8 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda. Variabel R0 Jumlah Bakteri (opg) Jumlah Mikroba (opg)
R1
Perlakuan R2 R3
12.500a
10.050a
10.950a
14.500a
40 x 1010a
40 x 1010a
42 x 1010a
59 x 1010a
R4 17.650a
SEM 878,27
46 x 1010a
1). R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi 2). Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) 3). SEM : Standard Error of The Treatment Means 4). Opg : Oocyst per gram
3,40
72
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Performans Kelinci yang diberikan ransum dengan tambahan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) menghasilkan berat badan akhir dan pertambahan berat badan paling tinggi (Tabel 5.1) dibandingkan dengan kelinci yang diberikan ransum tanpa kulit kopi (R0), ransum 10% kulit kopi tidak terfermentasi (R1), ransum 20% kulit kopi tidak terfermentasi (R2) dan ransum 20% kulit kopi terfermentasi (R4). Hal ini disebabkan karena ransum R3 rasanya manis sehingga meningkatkan palatabilitas ransum dan kelinci mengkonsumsi ransum lebih banyak untuk meningkatkan pertumbuhannya. Kandungan serat kasar yang rendah (Lampiran 56) sehingga meningkatkan koefisien cerna ransum dan laju aliran ransum dalam saluran pencernaan semakin meningkat, peluang pergantian makanan lebih cepat dan absorbsi zat-zat gizi makanan lebih banyak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Krisnan (2002) melaporkan bahwa Aspergillus niger dapat menurunkan kandungan tannin sebesar 33% sehingga dapat meningkatkan konsumsi ransum dan ketersediaan energi secara nyata. Guntoro et al. (2004) melaporkan bahwa kambing peranakan etawa yang diberikan pakan tambahan kulit kopi 200 g/ekor/hari mampu meningkatkan pertambahan berat badan harian sebesar 52,38% selama 3 bulan pemeliharaan dibandingkan dengan kontrol. Kelinci yang mendapat perlakuan R2 pertumbuhannya paling rendah akibat dari ransum yang dikonsumsi mengandung serat kasar yang paling tinggi (Lampiran 56). Kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan daya cerna ransum menurun
73
sehingga absorbsi nutrien berkurang dan menghasilkan pertumbuhan yang lebih rendah. Lubis (1992) melaporkan kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum monogastrik berpengaruh tehadap daya cerna yang lebih rendah. Kelinci yang diberikan perlakuan R4 mengkonsumsi ransum paling banyak dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hal ini disebabkan karena ransum R4 aromanya paling manis sehingga lebih disukai oleh ternak kelinci. McNitt et al. (1996) menyatakan kelinci lebih menyukai pakan dengan aroma manis daripada pahit. Lama aliran ransum dalam saluran pencernaan juga berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Makin tinggi koefisien cerna ransum maka aliran ransum dalam saluran pencernaan makin cepat sehingga lebih banyak ruangan yang tersedia untuk penambahan makanan. Lama ransum dalam saluran pencernaan pada kelinci R0 (10,25 jam) paling lama dibandingkan dengan R1 (10,18 jam), R2 (10,06 jam), R3 (8,76 jam) dan R4 (9,66 jam). Kasa et al. (1989) melaporkan bahwa aliran ransum yang lambat menyebabkan konsumsi ransum menjadi menurun karena pengosongan lambung berlangsung lebih lama. Kelinci yang mendapat perlakuan R4 mengkonsumsi air minum (183,37 ml/hari), lebih banyak dari perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum untuk perlakuan R4 lebih banyak sehingga konsumsi airnya juga meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Tillman et al. (1986) yang menyatakan bahwa makin tinggi konsumsi ransum maka konsumsi air minum makin tinggi pula. Angka densitas ransum (Lampiran 51) untuk perlakuan R4 (21,44 g/ml) lebih rendah dari R0 (25,76 g/ml), R1 (22,60 g/ml), R2 (22,51 g/ml) dan R3 (23,38 g/ml) sehingga ransum yang diberikan cepat berdebu
74
menyebabkan kelinci mengkonsumsi lebih banyak air.
Nuriyasa (2012)
melaporkan bahwa konsumsi air minum dipengaruhi oleh densitas ransum. Kelinci yang diberikan ransum dengan densitas rendah menyebabkan ransum cepat berdebu sehingga konsumsi air menjadi meningkat. Konversi ransum kelinci yang diberikan ransum R3 (3,45) paling rendah daripada R0 (3,50), R1 (3,68), R2 (4,01) dan R4 (4,08). Hal ini disebabkan karena kelinci yang diberikan ransum R3 mengkonsumsi energi, protein lebih tinggi. Kecernaan bahan kering, energi dan protein pada perlakuan R3 paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.2, 5.3 dan 5.4). Dilihat dari retensi energi dan protein kelinci yang mendapat perlakuan R3 adalah paling tinggi (Tabel 5.3 dan 5.4) ini mengindikasikan bahwa penggunaan energi dan protein pada kelinci yang diberikan perlakuan R3 paling efisien untuk pertumbuhannya. Rata-rata konversi ransum penelitian ini lebih tinggi (3,74) dari hasil penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan rata-rata konversi ransum 3,57. Hal ini disebabkan karena pengaruh perlakuan yang diberikan. Hasil penelitian ini masih berada pada kisaran normal yaitu konversi ransum ternak kelinci adalah 3,0 - 4,0 (McNitt et al., 1996) dan (de Blass dan Wiseman, 1998). Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan kecernaan bahan kering ransum (59,84%), hasil ini lebih tinggi dari perlakuan R0, R1, R2 dan R4 (Tabel 5.2). Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar ransum R3 paling rendah (Lampiran 50) sehingga konsumsi bahan kering lebih tinggi. Tillman et al. (1986) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering ransum dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusun ransum dan bentuk fisik ransum. Rata-rata kecernaan bahan
75
kering kelinci jantan lokal pada penelitian ini adalah 58,59%. Nuriyasa (2012) mendapatkan rata-rata kecernaan bahan kering kelinci jantan lokal adalah 68,52%. Lebih lanjut Parigi Bini dan Xiccato (1998) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering ternak kelinci secara umum berkisar antara 60% - 65%. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan bahan pakan yang dipakai untuk menyusun ransum. Kecernaan energi pada ransum R3 adalah 67,87%, paling tinggi dibandingkan perlakuan R0, R1, R2 dan R4 (Tabel 5.2). Hal ini disebabkan karena konsumsi energi yang tinggi dan energi feses yang dikeluarkan tidak jauh berbeda (Tabel 5.3) sehingga kecernaan energinya lebih tinggi. Kecernaan energi paling tinggi pada R3 juga disebabkan karena kandungan serat kasar ransum R3 paling rendah akibatnya koefisien cerna ransum meningkat dan energi yang dapat dicerna juga meningkat. Hasil penelitian ini masih berada pada kisaran yang diperoleh oleh Prasad et al. (1996) dimana kelinci soviet chinchilla mempunyai kecernaan energi berkisar 66,17% sampai 77,79%. Kecernaan protein pada kelinci yang diberikan ransum R0 paling tinggi dari perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (Tabel 5.2). Ini menunjukan kelinci yang mendapat perlakuan R0 paling efisien menggunakan protein untuk pertumbuhannya, dapat dilihat dari FCR yang rendah (Tabel 5.1). Rata- rata kecernaan protein pada penelitian ini sebesar 85,28%, hasil ini lebih tinggi dari yang diperoleh Nuriyasa (2012) mendapatkan rata-rata kecernaan protein kelinci lokal sebesar 78,30%. Perbedaan hasil ini disebabkan karena bentuk fisik ransum dan komposisi bahan makanan. Tillman et al. (1986) melaporkan bahwa kecernaan protein dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik ransum dan komposisi bahan makanan.
76
Lama ransum berada dalam saluran pencernaan pada kelinci yang diberikan perlakuan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4 tidak menunjukan perbedaan yang nyata (Tabel 5.2). Hal ini menunjukan bahwa laju aliran ransum dalam saluran pencernaan kelinci tidak dipengaruhi oleh kandungan kulit kopi dalam ransum. Laju aliran ransum dipengaruhi oleh kandungan serat kasar ransum (Tillman et al., 1986). Ransum R0, R1, R2, R3, dan R4 mempunyai kandungan serat kasar yang tidak jauh berbeda sehingga laju aliran ransum tidak berbeda nyata. McNitt et al. (1996) menyatakan bahwa kebutuhan minimal serat kasar pada ransum kelinci pertumbuhan adalah 10%. 6.2 Neraca Energi Konsumsi energi pada ternak kelinci yang mendapatkan perlakuan R4 paling tinggi yaitu 350,76 kkal/hari (Tabel 5.3). Hal ini disebabkan karena kelinci yang diberikan perlakuan R4 mengkonsumsi ransum lebih banyak sehingga energi yang dikonsumsi lebih banyak. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan bahwa konsumsi energi rata-rata ternak kelinci jantan lokal adalah 261,48 kkal/hari lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan. De Blas dan Wiseman (1998) mendapat konsumsi energi kelinci new zealand white 299,77 kkal/hari. Perbedaan hasil ini disebabkan karena perbedaan strain kelinci yang dipergunakan dan komposisi fisik ransum. Energi tercerna (DE) kelinci yang diberikan ransum R4 paling tinggi yaitu 231,46 kkal/hari dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 5.3). Hal ini disebabkan karena konsumsi energi lebih tinggi dan energi pada feses tidak berbeda nyata sehingga energi tercerna (DE) lebih tinggi.
77
Kelinci yang diberikan perlakuan R3 dan R4 menghasilkan energi termetabolis (ME) paling tinggi yaitu 217,82 kkal/hari dan 219,89 kkal/hari. Hal ini disebabkan karena energi tercerna dari perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi dari perlakuan yang lain sehingga menghasilkan energi termetabolis yang paling tinggi. Kelinci yang diberikan perlakuan R3 menghasilkan retensi energi adalah 55,20 kkal/hari paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 5.3). Hal ini disebabkan karena konsumsi energi R3 lebih tinggi, kandungan energi pada feses diantara perlakuan tidak jauh berbeda sehingga energi tercerna dan energi metabolisnya lebih tinggi. Hal ini menunjukan makin tinggi energi termetabolis (ME) maka retensi energi (RE) juga makin tinggi. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan kelinci jantan lokal dengan berat 1480 g menghasilkan retensi energi 43,99 kkal/hari. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan berat badan kelinci yang digunakan dalam penelitian. Produksi panas pada kelinci yang diberikan ransum R4 adalah 166,12 kkal/hari lebih tinggi dari R0 (146,48 kkal/hari), R1 (149,57 kkal/hari), R2 (158,76 kkal/hari) dan R3 (162,63 kkal/hari). Hal ini disebabkan karena kelinci yang mendapat perlakuan R4 mengkonsumsi ransum lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya sehingga produksi panas yang dihasilkan lebih tinggi. Makin tinggi konsumsi ransum dan tingkat pertumbuhan maka laju metabolisme makin tinggi yang berdampak pada peningkatan produksi panas (de Blas dan Wiseman, 1998).
78
Konsumsi energi termetabolis per pertambahan berat badan (ME/pbb) kelinci yang diberikan perlakuan R0 adalah 9,26 kkal/g pbb paling rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 9,56 kkal/g pbb, 10,19 kkal/g pbb, 9,50 kkal/g pbb dan 10,41 kkal/g pbb (Tabel 5.3). Hal ini menunjukan perlakuan ransum R0 paling efisien menggunakan energi termetabolis (ME) untuk menghasilkan pertambahan berat badan yang sama dibandingkan dengan ransum R1, R2, R3 dan R4. Setiap penambahan berat badan kelinci sebesar 1 g pada perlakuan ransum R0 memerlukan energi termetabolis (ME) 9,26 kkal sedangkan perlakuan yang lannya lebih tinggi (Tabel 5.3). 6.3 Neraca Protein Konsumsi protein pada kelinci yang diberikan perlakuan R4 adalah 8,62 g/hari, paling tinggi dari perlakuan yang lain (Tabel 5.4). Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum yang lebih tinggi pada kelinci yang diberikan perlakuan R4 menyebabkan konsumsi protein lebih tinggi daripada perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Rata-rata konsumsi protein kelinci jantan pada penelitian ini adalah 8,12 g/hari. Nuriyasa (2012) mendapatkan rata-rata konsumsi protein kelinci jantan lokal adalah 10,85 g/ekor/hari. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena bahan penyusun ransum. Hasil penelitian pada Tabel 5.4 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R4 menghasilkan protein tercerna paling tinggi yaitu 7,43 g/hari. Hal ini disebabkan karena kelinci yang diberikan perlakuan R4 mengkonsumsi protein paling tinggi yaitu 8,26 g/hr dan protein feses yang dihasilkan tidak berbeda nyata
79
sehingga menghasilkan kecernaan protein paling tinggi daripada perlakuan yang lainnya. Hasil penelitian mendapatkan bahwa retensi protein kelinci jantan lokal yang diberikan ransum R3 adalah 0,55 g/hari, retensi protein ini lebih tinggi dari perlakuan lainnya (Tabel 5.4). Hal ini disebabkan karena pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan pakan lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Ini berarti kebutuhan protein untuk hidup pokok R3 lebih rendah menyebabkan protein yang dapat diretensi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Retensi protein dipengaruhi oleh perbedaan konsumsi ransum dan pertambahan berat badan yang dihasilkan (de Blas dan Wiseman, 1998). Data pada Tabel 5.1 juga menunjukan bahwa kelinci yang diberikan ransum R3 paling efisien menggunakan ransum yang diindikasikan oleh nilai FCR yang paling rendah. 6.4 Respon Hematologi Kelinci yang diberikan Ransum R3 menghasilkan haemoglobin adalah 12,53 mg/100 ml lebih tinggi dari perlakuan lainnya (Tabel 5.5) Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ternak kelinci R3 paling tinggi sehingga pembentukan organorgan pertumbuhan termasuk haemoglobin darah juga tinggi. Nuriyasa (2012) melaporkan bahwa konsumsi ransum dan tingkat pertumbuhan yang tinggi akibat dari retensi energi dan protein yang tinggi sehingga proses pembentukan haemoglobin darah lebih tinggi. Behring (2000) melaporkan haemoglobin darah merupakan sarana transportasi oksigen dalam jaringan tubuh yang diperlukan dalam proses metabolisme. Hasil penelitian ini sama dengan yang didapatkan Bivin dan King (1995) yaitu 12,80 mg/100ml.
80
Kandungan eritrosit kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu 5,72 x 106/μl dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.5). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan kelinci R3 paling tinggi. Semakin tinggi pertumbuhan semakin banyak kandungan eritrosit dalam darah kelinci. Behring (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan yang tinggi memerlukan kandungan eritrosit darah yang tinggi sebagai transportasi oksigen dan zat-zat gizi lainnya yang diperlukan dalam proses metabolisme. Rata-rata kandungan eritrosit kelinci jantan lokal yang diberikan perlakuan ransum dengan kulit kopi 5,51 x 106 /μl lebih tinggi dari hasil penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan kandungan eritrosit kelinci jantan lokal 4,15 x 106 /μl. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh bahan penyusun ransum dan tinggkat pertumbuhan masingmasing ternak. Menurut Bivin dan King (1995) kedua hasil penelitian ini masih berada dalam kisaran normal yaitu 4,0 – 6,7 x 106 /μl. Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap kandungan leukosit darah kelinci jantan lokal yang diberikan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4. Kandungan leukosit kelinci yang diberikan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 6,98 x 103/μl, 5,88 x 103/μl, 5,90 x 103/μl, 6,05 x 103/μl dan R4 7,25 x 103/μl (Tabel 5.5). Ini menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan ransum dengan tambahan kulit kopi tidak mengalami tingkatan stress berbeda sehingga kandungan leukosit dalam darah pada semua perlakuan tidak berbeda.
Hasil ini sejalan dengan
penelitian Nuriyasa (2012), Biving dan King (1995) dan Vanessa et al. (2005) masing-masing (5,78 – 6,37 x 103/μl), (5,2 – 12 x 103/μl) dan (6,3 – 10 x 103/μl).
81
Hasil penelitian ini mendapatkan kandungan hematokrit darah kelinci jantan lokal yang diberikan ransum R3 lebih tinggi dari perlakuan lainnya ( Tabel. 5.5) Hal ini disebabkan karena makin tinggi pertumbuhan maka proses pembentukan jaringan tubuh termasuk sel-sel darah juga meningkat. Rata-rata kandungan hematokrit darah kelinci yang diberikan ransum dengan kulit kopi adalah 37,82% lebih rendah dari penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan kandungan hematokrit darah kelinci jantan lokal berkisar antara 39,5% - 42,25%. Perbedaan hasil ini disebabkan karena komposisi ransum penelitian. Kandungan glukosa darah kelinci pada semua perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata (Tabel 5.5). Hal ini menunjukan pemberian kulit kopi dalam ransum kelinci tidak berpengaruh terhadap mobilisasi glukosa dari simpanan glikogen atau pergantian sumber energi asal lemak (glukoneogenesis) sesuai dengan pendapat Mahardika (1996). Kandungan trigliserida darah kelinci yang diberikan perlakuan R0 paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.5). Hasil analisis proksimat mendapatkan bahwa kandungan lemak pada ransum R0 paling tinggi (8,21%) dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, R3, dan R4, masing-masing 7,01%, 5,40%, 5,86% dan 4,14% (Lampiran 50). Kandungan trigliserida darah semakin tinggi disebabkan karena konsumsi lemak yang tinggi dan kecukupan energi dalam tubuh. Apabila konsumsi energi tidak mencukupi, ternak akan membongkar cadangan energi dalam bentuk trigliserida (Lucy Susandari et al., 2004).
82
Kelinci jantan lokal yang diberikan ransum R4 menghasilkan kholesterol darah paling rendah yaitu 88,75 mg/ 100 ml dari perlakuan yang lain (Tabel. 5.5). Hal ini disebabkan karena pemberian 20 % kulit kopi terfermentasi mampu mengikat lemak sehingga berpengaruh terhadap penurunan kadar kholesterol. Budaarsa (1997) melaporkan bahwa konsumsi serat kasar yang tinggi menyebabkan asam lemak atau kolesterol diikat oleh selulosa atau asam propionat sehingga dapat menghambat pembentukan kolesterol di hati. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bidura et al. (1998) bahwa serat kasar yang banyak dapat meningkatkan laju aliran ransum, dan pembuangan lemak/kolesterol melalui feses sehingga berpengaruh terhadap penurunan kadar kolesterol dalam serum darah. Fraksi serat kasar ternyata dapat berperan mengikat lemak dan garam empedu pada saluran pencernaan kelinci sehingga lemak yang dapat diserap ke dalam tubuh juga menurun (Sutardi, 1997). Linder (1985) melaporkan fraksi serat kasar seperti lignin ternyata mampu mengikat kolesterol atau lipida ransum sebesar 29,2%. 6.5
Karkas
6.5.1 Berat dan Persentase Karkas Kelinci yang diberikan ransum R3 yang dipelihara selama 70 hari menghasilkan berat karkas adalah 891 g, lebih tinggi dari perlakuan lainnya (Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena konsumsi energi dan protein paling tinggi (Tabel 5.3 dan 5.4). Tillman et al. (1986) melaporkan energi dan protein merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh. Konsumsi energi dan protein paling tinggi pada perlakuan R3 mengakibatkan pertumbuhannya paling
83
tinggi (Gambar 4). Berat karkas R2 paling rendah disebabkan karena kandungan serat kasar pada ransum R2 paling tinggi (Lampiran 50). Serat kasar hasil analisis proksimat pada penelitian R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 12,13%, 12,72%, 13,38%, 11,96% dan 12,96%. Jorgensen (1997) melaporkan bahwa kandungan serat kasar dalam ransum menurunkan nilai cerna ransum sehingga zat-zat makanan yang terabsorbsi juga menurun yang berdampak terhadap berat karkas maupun presentase karkas. Hasil ini lebih tinggi dari yang diperoleh Nuriyasa (2012) yang mendapatkan rataan berat karkas kelinci jantan lokal umur 84 hari adalah 719,13 g. Prasad et al. (1996) melaporkan bahwa kelinci chinchilla pada umur 12 minggu mempunyai berat karkas 868,69 g. Perbedaan hasil ini disebabkan karena perbedaan umur, spesies dan berat badan awal mulai pemeliharaan. Kelinci yang mendapat perlakuan ransum R3 menghasilkan presentase karkas 47,73%, tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0 (47,33%) seperti pada Tabel 5.6. Hal ini disebabkan karena berat karkas yang tinggi dihasilkan oleh kelinci yang mempunyai berat potong yang lebih tinggi pula (Tabel 5.6). Produksi karkas tercermin dari komponen daging, lemak, dan tulang kelinci yang sangat dipengaruhi oleh berat potongnya (Bram Brahmantiyo dan Raharjo, 2009). Nuriyasa (2012) memperoleh persentase karkas kelinci lokal yang dipelihara selama 84 hari adalah 45,82%. Diwyanto et al. (1985) melaporkan bahwa produksi karkas kelinci New Zealand White (NZW), lokal, Persilangan NZW x lokal, dan Chinchilla x Lokal berturut-turut sebesar 45,8%, 42,6%, 48,9% dan
84
46,7%. Perbedaan hasil ini disebabkan karena umur potong, berat potong dan spesies kelinci. Panjang karkas kelinci yang diberikan perlakuan R3 adalah 33,13 cm lebih panjang dari perlakuan yang lain (Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan R3 paling tinggi. Pertumbuhan paling tinggi disebabkan karena R3 paling efisien menggunakan ransum, dibuktikan dengan nilai FCR yang paling rendah yang memungkinkan proses pembentukan jaringan tubuh paling baik. 6.5.2 Potongan Komersial Karkas Tidak terjadi perbedaan yang nyata pada semua perlakuan terhadap variabel potongan komersial karkas kelinci (Tabel 5.6). Hasil penelitian mendapatkan ratarata persentase kaki depan, kaki belakang, pinggang dan punggung, dan dadaleher masing-masing 16,29%, 30,90%, 27,81% dan 25,01%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nuriyasa (2012) mendapatkan persentase potongan komersial dengan urutan yang sama yaitu 15,79%, 31,28%, 26,17% dan 26,76%. 6.5.3 Komposisi Fisik karkas Rata-rata berat daging karkas kelinci yang diberikan ransum R3 adalah 71,04 g/100 g berat karkas, lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya (Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena kelinci yang mendapat perlakuan R3 konsumsi energi, protein dan zat lainnya lebih tinggi sehingga menghasilkan pertumbuhan lebih baik dan berat daging karkas lebih banyak. Energi dan protein merupakan komponen utama penyusun jaringan daging. Pendapat ini didukung oleh Praga (1998) menyatakan protein tubuh ternak tersusun dari asam-asam amino dengan ikatan peptida dan membentuk ikatan polipeptida.
85
Kelinci yang diberikan ransum R4 menghasilkan rata-rata berat lemak karkas paling rendah yaitu 1,20 g/100g karkas dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R3 (Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena ransum R4 mengandung lemak paling sedikit dan serat kasar yang tinggi (Lampiran 50). Siri et al. (1992) mengatakan ransum yang mengandung serat kasar tinggi menyebabkan menurunnya retensi energi sebagai lemak dalam tubuh. Penurunan jumlah lemak subkutan dapat juga disebabkan oleh adanya kemampuan fraksi serat kasar yaitu selulosa yang mampu mengikat lemak sebesar 1,4% (Balmer dan Zilversmi, 1974). Penggunaan kulit kopi dalam ransum secara nyata dapat menurunkan jumlah lemak sub kutan kelinci. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi serat kasar. Hal yang sama dapat dilaporkan oleh Mayes et al. (1992) bahwa serat kasar yang tinggi dalam ransum dapat mengikat lemak ransum dan garam empedu sehingga lemak yang terabsorbsi menurun. Disamping itu meningkatnya konsumsi serat akan menyebabkan lebih banyak energi pakan yang diretensi oleh tubuh sebagai protein daripada lemak (Jorgensen et al., 1996). Tidak terjadi perbedaan rata-rata persentase berat tulang karkas kelinci jantan yang diberikan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4 (Tabel 5.6). Hal ini menunjukan bahwa perlakuan ransum tidak berpengaruh terhadap proses pembentukan tulang. Zerrouki et al. (2008) menyatakan pertumbuhan tulang tergantung pada perbedaan kandungan mineral pada ransum. Hasil penelitian ini menunjukan perbedaan konsumsi mineral Ca dan P karena perbedaan konsumsi ransum belum berpengaruh terhadap proses pembentukan tulang. Tulang merupakan komponen tubuh yang masak dini pada awal-awal masa pertumbuhan (Wahju, 1988). Rata-
86
rata persentase berat tulang pada penelitian ini adalah 31,59 g/100 g berat karkas. Hasil penelitian Nuriyasa (2012) mendapatkan berat tulang kelinci umur 84 hari adalah 31,25 g/100 g berat karkas. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan umur potong dan berat hidup kelinci. Hasil penelitian pada Tabel 5.6 menunjukan bahwa rasio daging dengan tulang karkas pada kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu (2,61 : 1). Hal ini disebabkan karena berat tulang yang lebih rendah akan menghasilkan rasio daging – tulang yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Nuriyasa (2012) yang mendapatkan rata-rata rasio daging dengan tulang kelinci lokal adalah 2,23 : 1. Hasil yang diperoleh de Blas dan Wiseman. (1998) yang mendapatkan rasio daging dengan tulang kelinci new zealand white 4,91 : 1 pada umur 106 hari, lebih tinggi dari hasil penelitian ini. Selisih hasil penelitian ini disebabkan karena perbedaan umur potong dan spesies kelinci. 6.6 Non Karkas Perlakuan ransum R2 dan R4 menghasilkan berat paru-paru lebih berat daripada kelinci yang diberikan ransum R0, R1 dan R3 (Tabel 5.7). Hal ini disebabkan karena ransum R2 dan R4 kandungan serat kasar lebih tinggi dari perlakuan R0, R1 dan R3 sehingga tenaga yang dibutuhkan lebih banyak untuk mempercepat proses pernafasan dan kerja jantung agar cepat menghasilkan energi. Peningkatan peredaran darah dan laju respirasi akan dapat menstimuli pertumbuhan jantung dan paru-paru menjadi lebih besar (Nuriyasa, 2012). Berat sekum kelinci yang diberikan perlakuan R0 dan R3 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1, R2 dan R4 (Tabel 5.7). Hal ini disebabkan
87
karena R0 dan R3 pertumbuhannya paling tinggi maka sekum dan kolonnya lebih besar. Sekum dan kolon berfungsi sebagai tempat fermentasi makanan. Berat kulit dan bulu kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R4 (Tabel 5.7). Hal ini disebabkan karena berat potong kelinci pada perlakuan R3 lebih berat dan luas permukaan kulit yang membungkus tubuh lebih lebar dari perlakuan lainnya. Perbedaan berat kulit dan bulu pada ransum yang berbeda disebabkan karena perbedaan konsumsi energi dan protein dalam ransum. Pada perlakuan R3 retensi energi dan retensi protein yang dihasilkan paling tinggi sehingga kelebihan energi dan protein ini disimpan dalam kulit dan bulu sehingga beratnya lebih tinggi dari perlakuan lainnya. 6.7 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon Pemberian ransum dengan tambahan kulit kopi 20% cenderung meningkatkan jumlah mikroba pada sekum dan kolon. Hal ini terlihat pada jumlah mikroba pada sekum dan kolon untuk perlakuan R3 dan R4 lebih banyak dari R0, R1 dan R2 (Tabel 5.8). Hal ini disebabkan karena sekum dan kolon merupakan tempat tumbuhnya bakteri yang berfungsi sebagai proteolitik. Bakteri menyerang proteinprotein yang belum dicerna menjadi asam-asam lemak, hidrogen sulfide dan asam-asam amino. Menghidrolisis selulose menjadi unit-unit glukose, kemudian dirubah menjadi asam-asam lemak volatil terutama menjadi asetat, propionat dan butirat. Disamping itu bakteri juga berfungsi untuk mensintesa vitamin B yang diabsorbsi ke dalam tubuh (Tillman et al., 1986).
88
6.8 Analisis Usahatani Berdasarkan nilai jual pada akhir penggemukan, untuk kelinci yang mendapat perlakuan tambahan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) memberikan keuntungan yang paling tinggi dengan R/C ratio 1,22 menyusul R4 (1,14 ), R0 (1,13), R1 (1,12) dan R2 (1,10) seperti yang terlihat pada Tabel 61. Meningkatnya keuntungan pada R3 dan R4 disebabkan karena peningkatan pertumbuhan yang paling tinggi dan harga ransum per kgnya lebih murah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pemberian kulit kopi sebagai komponen pakan menyebabkan penurunan harga ransum antara 4,96% - 17,11%. Feed Cost per Gain (FC/G) adalah biaya pakan yang digunakan untuk meningkatkan 1 g pertambahan berat badan. Hasil perhitungan FC/G pada penelitian ini adalah Rp.12,98,-/g (R0), Rp.12,96,-/g (R1), Rp. 13,41,-/g (R2), Rp. 11,62,-/g (R3) dan Rp. 12,51,-/g (R4). Pada perlakuan R3 ternyata FC/Gnya paling rendah (Rp.11,62,-/g), artinya biaya pakan yang digunakan untuk meningkatkan 1 g berat badan paling murah jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Data analisa usahatani tersebut menunjukkan bahwa pemberian kulit kopi tidak terfermentasi dan kulit kopi terfermentasi secara ekonomi layak untuk diterapkan.
89
Tabel 5.9 Analisis Usahatani Penggemukan Kelinci untuk 8 Ekor Pemeliharaan No
Uraian
1
Komponen Input
a
Bibit (Rp)
8
ekor
Harga Pakan (Rp)
1
Konsumsi pakan
8
b
Biaya pakan
c
Obat-obatan
d
Tenaga kerja Penyusutan kandang dan alat Total biaya input (a+b+c+d+e)
e
2
3
Volume
0,1
Satuan
Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
120.000
120.000
120.000
120.000
120.000
kg
3.706
3.522
3.362
3.371
3.072
ekor
42,35
43,32
46,82
44,35
48,27
Rp
156.949
152.573
157.409
149.504
148.285
Rp
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
0,73
HOK
36.500
36.500
36.500
36.500
36.500
2
bulan
33
33
33
33
33
314.482
310.106
314.942
307.037
305.819
Penerimaan (output) Berat akhir kelinci (kg)
8
ekor
14,16
13,84
13,80
14,93
13,92
Harga/kg bobot hidup (Rp)
1
ekor
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
Total penerimaan (Rp)
8
ekor
354.000
346.000
345.000
373.250
348.000
39.518
35.894
30.058
66.213
42.181
1,13
1,12
1,10
1,22
1,14
Pendapatan R/C Ratio
Rp
90
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pemanfaatan kulit kopi untuk pakan ternak kelinci dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penggunaan
kulit
kopi
terfermentasi
10%
dapat
meningkatkan
pertumbuhan, efisiensi penggunaan ransum, berat daging karkas dan menurunkan kadar kholesterol darah, namun tidak mempengaruhi jumlah mikroba dalam sekum dan kolon. 2. Penggunaan kulit kopi terfermentasi 10 % dalam ransum kelinci (R3) menghasilkan retensi energi sebesar 55,20 kkal/hari, lebih tinggi daripada perlakuan R0 (52,90 kkal/hari), R1 (51,56 kkal/hari), R2 (53,83 kkal/hari), dan R4 (53,77 kkal/hari). 3.
Penggunaan kulit kopi terfermentasi 10 % dalam ransum kelinci (R3) menghasilkan retensi protein sebesar 0,56 g/hari lebih tinggi daripada perlakuan R0 (0,53 g/hari), R1 (0,52 g/hari), R2 (0,50 g/hari), dan R4 (0,53 g/hari).
4.
Kulit kopi sebagai salah satu komponen penyusun ransum secara ekonomi layak untuk diterapkan karena mampu menurunkan biaya ransum sebesar 4,96% - 17,11%.
91
7.2 Saran Berdasarkan
hasil
penelitian yang diperoleh dapat disarankan sebagai
berikut : Peternak kelinci disarankan untuk menggunakan kulit kopi terfermentasi 10% dalam menyusun ransum, karena mampu meningkatkan produktivitas ternak kelinci dan mampu menurunkan biaya produksi sebesar 4,74%.
92
DAFTAR PUSTAKA Alhaidary A., H.E. Mohamed and A.C. Beynen. 2010. Impact of dietary fat type and amount on growth performance and serum cholesterol in rabbits. American Journal of Animal and Veterinary Sciences. 5(1): 60-64. Anon, 2011. Kebiasaan Kelinci Memakan Kotoran Sendiri (Coprophagy) http://dinooblog.blogspot.com/2011/01/kebiasaan-kelinci-memakan-kotoran.html. Disitir 8Juni 2013 Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official methode of analysis. Vol.2 Ed. 15. Washington. Balmer. J. and D.B. Zilversmit. 1974. Effect of dietary roughage on cholesteral absorption, cholesterol. Turn Over and Steroid Excretionin Rat. J. Nutr. 104:1319-1320. Behring, D. 2000. Hematologi and Hemostasis. http://www.irvingcrowley. com/cls/hemo.htm. Disitir Tanggal 22 Pebruari 2014 Biving, W.S. and W.W. King. 1995. Raising healthy rabbit. A. Publication of Christian Veterinary Mission, Washington, USA. Bram Brahmantiyo dan Y.C. Raharjo. 2009. Pengembangan Pembibitan Kelinci Di Pedesaan dalam Menunjang Potensi dan Prospek Agribisnis Kelinci. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Verteriner. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal 688-691. Beynen, A.C. 1984. Rabbit: A Source of Healthful Meat? The Journal of Applied Rabbit Research. 4: 133-134. Bidura, I. G. N. G. 1998. Pengaruh aras serat kasar ransum terhadap produksi telur ayam lohmann brown. Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 1 (2) : 23-27 Bidura, I.G.N.G, 2007. Aplikasi Poduk Bioteknologi Pakan Ternak. Penerbit, Udayana University Press, Universitas Udayana, Denpasar. Bidura, I.G.N.G., D.P.M.A.Candrawati dan D.A. Warmadewi, 2010. Pakan Unggas Konvensional Dan Inkonvensional. Penerbit: Udayana University Press, Universitas Udayana, Denpasar. BPS. 2012. Produksi Kopi Di Bali. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. http:/www.bali.bps.go.id
93
Budaarsa, I. K. 1997. Evaluasi Pemberian Rumput Laut dan Sekam Padi sebagai Sumber Serat Kasar untuk Mengurangi Kadar Lemak Karkas dan Kadar Kolesterol Daging. Disertasi Pascasarjana, IPB, Bogor. Budiari, N.L.G. 2009. Potensi dan Pemanfaatan Pohon Dadem sebagai Pakan Ternak Sapi pada Musim Kemarau. Bulletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Edisi 22, Desember,2009. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali : 10-12. Chan, W., J. Brown, S.M. Lee and D.H. Buss. 1995. Meat, Poultry and Game. The Royal Society of Chemistry, London Cheeke, P.R., N.M. Patton and G.S. Templeton. 1987. Rabbit production. Fifth Ed. The Interstate Printers and Publisher, Inc., Danville, Illinois, USA.pp. 144-151. De Blass, C. And J. Wiseman. 1998. The Nutrition Of The Rabbit. CABI Publishing. University of Nottingham. Nottingham. P.39-55. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Diwyanto. K., R. Sunarlin dan P. Sitorus. 1985. Pengaruh persilangan terhadap karkas dan preferensi daging kelinci panggang. J. Ilmu dan Peternakan. 1(10):427-430 Ensminger. M.E., J.E. Oldfield dan W. Heinemann. 1990. Feed Nutrition. 2nd Ed, the Ensminger Publishing Co., Clovis. Farrel, D.J. dan Y.C. Raharjo. 1984. Potensi Ternak kelinci sebagai penghasil Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Gandasoebrata, R. 1985. Penuntun Laboratorium Klinik. Penerbit PT. Dian Rakyat. Guntoro, S., dan I.M.R. Yasa. 2003. Pemanfaatan Kopi Terfermentasi Untuk Penggemukan Peranakan Ettawah (PE) Muda. Prosiding. Seminar Nasional Revitalisasi Teknologi Kreatif Dalam mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal.379-382 Guntoro, S., M. Rai Yasa, Rubiyo, dan I.N.Suyasa. 2004. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar 20-22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Balai
94
Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Bali dan Crop-Animal Systems Reseach Network (CASREN). Hal. 389-395. Hamidy, L.N. 1996. Pengaruh Berbagai Tingkat Penggunaan Buah Semu Mete dalam Ransum terhadap Konsumsi dan Konversi Pakan pada Kelinci. Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro, Semarang (Skripsi Sarjana Peternakan). Hon, F.M., O.I.A. Oluremi and F.O.I. Anuqwa. 2009. The Effect of Dried Sweet Orange (Citrus Sinensis) Fruit Pulp Meal on the Growth Performance of Rabbits. http://Scialert.net/fulltex/? Doi=pjr 2009.1150.1155&org=11. Disitir Tanggal 7 Maret 2012. Hutasuhut, M. 2005. Strategi pengembangan Usaha Ternak Kelinci Mendukung Agribisnis Peternakan : Dukungan Kebijakan. Prosiding. Lokakarya Nasional.Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal.3-5. Jorgensen, H., X.Q. Zhao, Ke. Bach-Knudsen and B.O. Enggum. 1996. The influnce of dietary fibre source and level on the development of the gastro intestinal tract, digestibility, and energi metabolism in broiler chikcen S. Br. J. Nutr. 75:379-395. Kasa, I.W., C.J. Thawaites, X. Jianke and D.J. Farell. 1989. Rice bran in the diet of rabbits grown at 22 and 300 C. Journal of Applied Rabbit Research 12 (2):75-76. Kartadisastra, H.R. 2011. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta. Kompiang, I.P., A.P. Sinurat dan J. Darma. 1994. Nutritional Value of Protein Enriched Cassava-Casspro. Ilmu dan Peternakan 7(2): 22-25. Krisnan, R. 2002. Pengaruh Pemberian Ransum Mengandung Ampas Teh (Camellia sinensis) Produk Fermentasi Aspergillus niger terhadap Pertambahan Bobot Badan dan Efisiensi Protein pada Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran, Sumedang. Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh Aminudin Parakkasi, UIPress, Jakarta. Disnak Propinsi Bali. 2012. Laporan Cacah Jiwa Ternak Di Propinsi Bali. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bali. Disbun Kabupaten Bangli. 2013. Populasi dan Produksi Kopi Arabika. Laporan Dinas Perkebunan Kabupaten Bangli Tahun 2013. Dinas Perkebunan Kabupaten Bangli.
95
Lestari, C.M.S., A. Muktiani, H.I. Wahyuni dan J.A. Prawoto. 1997. Evaluasi Azolla mycrophylla sebagai Sumber Lisin dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Karkas Kelinci. Majalah Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Diponogoro. Tahun IX (34) : 1-9. Lestari, C.M.S., H.I. Wahyuni dan L. Susandari. 2005. Budidaya Kelinci Menggunakan Pakan Industri Pertanian dan Bahan Pakan Inkonvensional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 55-60 Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Desig the Rabbit Coop Small-Scale Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture Engineering, Hue University of Agriculture and Forestry. Vietnam. Linder, M.C. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolism. Ed. Ke-1. Terjemahan Aminudin Parakkasi, penerbit UI, Jakarta. Lubis, D.A. 1992. Ilmu Makanan ternak. PT. Pembangunan Jakarta. Lucy Susandari, C.M. Sri Lestari, dan Hanny Indrat Wahyuni. 2004. Komposisi Lemak Tubuh Kelinci yang Mendapat Pakan Pellet dengan Berbagai Aras Lisin. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Lukefahr, S.D, W.D. Hohenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton and W.H. Kennick. 1981. Carcass and meat characteristics of plemish giant and new zealand white purebreed and terminal – crossbred rabbits. Journal Of Appl, Res. 4(3): 66-72. Mahardika, I.G. 1996. Kinerja Kerbau Betina pada Berbagai Beban Kerja serta Implikasinya terhadap Kebutuhan Energi dan Protein Pakan. Disertasi Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Mastika. I.M. 1991. Potensi Pertanian dan Industri Pertanian serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak. Makalah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Makanan Ternak Pada Fakultas Peternakan UNUD-Denpasar. Mastika. I.M. 2011. Potensi Pertanian dan Industri Pertanian untuk Makanan Ternak. Penerbit Udayana University Press. Mayes, P.A., D.K. Granner. Y.W. Rodwell and D.W. Martin. 1992. Biokimia Harpers Review of Biochemistry. Edisi 20.E.Gc. Penerbit Buku Kedokteran. Cetakan IV hal. 746-747. Jakarta. Po BOX 4276. Large Medical Publication. McNitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefarh and P.R.Cheeke. 1996. Rabbit production. Interstate Publishers, Inc.p. 78-109
96
Mount, L. E. 1979. Adaptation to thermal environment , man and his productive animal. Edward Arnold Publishing, London. P. 1-12. Muryanto, U.Nuschati, D. Pramono dan T. Prasetyo. 2006. Potensi Kulit Kopi Sebagai Pakan Ayam. Prosiding Lokakarya Nasional. Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdayasaing. Semarang, 4 Agustus 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bekerjasama dengan Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro. Hal 111-116. Nugraha, K.A. 2010. Laboratorium Klinik : Pemeriksaan Darah (Blood Analisysis). http:Komitekeperawatanrsdsoreang.blogspot.com/2010/02/laboratoriumklinik-pemeriksaan-darah/html.Disitir Tanggal 12 Nopember 2010. Nuriyasa. M. 2012. “Respon Biologi Serta Pendugaan Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Kelinci Kondisi Lingkungan berbeda Di Daerah Dataran Rendah Tropis“. Desertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Udayana. Denpasar. NRC. 1977. Nutrient Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences, Washington, D.C. Parigi Bini and R.G. Xiccato. 1998. Energy Metabolism and Requirements. In. The Nutrition of the Rabbit. Ed. C. De Blas and J. Wiseman. CABI Publishing, New York. P. 103-132. Parwati. I.A.P., S. Guntoro, N.Suyasa, I.M. Raiyasa, I.M. Londra dan Sriyanto. 2006. Laporan Akhir Tahun Penelitian Adaptif Pengolahan Perkebunan untuk Pakan Ternak.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Parwati, I. A, I.G.A.K. Sudaratmaja, N. W. Trisnawati, P. Suratmini, N. Suyasa, W. Sunanjaya, L.G. Budiari dan Pardi. 2008. Laporan Akhir Primatani Lahan Kering Dataran Tinggi Iklim Basah, Desa Belanga, Kec. Kintamani, Kab. Bangli. Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Bali. 67 Hal. Praga, M.J., J.C. De Blas, E. Ferez, J.M. Rodri Guez, C.J. Ferez and J.F. Galvez. 1998. Effect of diet on chemical composition of rabbits slaughtered at fixed body weights. J. Anim. Sci. 56:1097. Prasad, R., S.A. Karim, B.C. Patnayak. 1996. Growth performance of rabbits maintained on diets with varying levels of energy and protein. World Rabbit Science 1996, 4(2), 75-78. Prawirodigdo, S., N. Kustiani Dan H. Haryanto. 2007. Introduksi Tape Kulit Kopi dalam Pakan Ternak Domba Lokal Periode Pertumbuhan. Pros. Seminar Nasional Teknologi peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm.361 – 366.
97
Purwandaria, T., T. Pasaribu, A.P.Sinurat dan H. Hamid. 1999. Evaluasi Gizi Lumpur Sawit Fermentasi dengan Aspergillus niger setelah Proses Pengeringan dengan Pemanasan. JITV 4(4):257-263. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohardiprodja dan L. Soekamto. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada, University Press, Yogyakarta. Raharjo.Y.C. dan D. Gultom. 2000. Peningkatan Produktivitas dan Mutu KulitBulu Kelinci Melalui Seleksi, Kawin Silang dan Perbaikan Nutrisi. Laporan Hasil Penelitian Balitnak Ciawi-Bogor, 20 pp. Raharjo.Y.C. 2005. Peluang dan Tantangan Agribisnis Ternak Kelinci. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.Hal.6-15. Sartika, T., D. Gultom dan D. Aritonang. 1988. Pemanfaatan Daun Wortel (Daucus carota) dan Campurannya dengan Rumput Lapang sebagai Pakan Kelinci. Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka ternak II. Balitbangnak, Deptan. Sartika, T. Dan Y.C. Raharjo. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Serat Kasar terhadap Penampilan, Persentase Karkas pada Kelinci Rex. Proceedings. Seminar Nasional Usaha Peningkatan Peternakan dan Perikanan. Vol. 1. Bidang Peternakan. Badan Penerbit Univ. Diponogoro, Semarang. Sinaga, S. 2009. Pakan Kelinci dan Pemberiannya. http://blogs.unpad ac.id/Suland Sinaga. Disitir 21 pebruari 2013. Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwandaria, A.R. Setioko dan J. Darma. 1996. Nilai Gizi Bungkil Kelapa yang Difermentasi dan Pemanfaatannya untuk Itik Jantan. JITV 1(3):161-168. Siri, S., H. Tobioka, and I. Tasaki. 1992. Effect of dietary cellulosa level on growth performance, development of internal organs, energy and nitrogen utilization and lipid contents of growing chicks. AJAS 5:369-374. Sitorus, P.,S. Soediman, Y.C. Raharjo, I.G. Putu, Santosa, B. Sudaryanto dan A. Nurhadi. 1982. Laporan Budidaya Peternakan Kelinci di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian, Bogor. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. UI Press. Universitas Indonesia. Sudaryanto, B., M. Rangkuti, N. Sugana, E.B. Laconi dan Y.C. Raharjo. 1985. Pengaruh penggunaan tepung daun singkong terhadap potongan komersial kelinci persilangan. J. Ilmu dan Peternakan. l (9): 395.
98
Suradi, K. 2005. Potensi dan Peluang Teknologi Pengolahan Produk Kelinci. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci, Bandung 30 September 2005 Suryawan, IBG.,Delly Resiani, NM, Astika, IM, Penatih, IGN dan Sri Utami Asih, 2009. Laporan Akhir Prima Tani LKDTIB Di Desa Pelaga. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Balai Besar pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2009. Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik, Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Sumantri. Gramedia. Jakarta. Rafzunnella, 2009. Butuh Bibit Kelinci?. Pusat Pembibitan Kelinci (PPK) Jawabnya. Peternakan Non Ruminansia Yang Berwawasan Lingkungan. Unggas dan Aneka Ternak, Media Budidaya Ternak Non Ruminansia. Penerbit Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia. Vol. 4. No.1 Maret 2009. ISSN 1907-4816. Rokhmani, S.I.W. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan Dari Pertanian Melalui Fermentasi. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 66-74 USDA. 2009. Rabbit Protein. http://www.mybunnyfarm.com/rabbitprotein/ Disitir Tgl 24 Juli 2010. Vanessa, K.L., L.H. Tarpley and K.S. Latimer. 2005. Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs. http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/lester/. Disitir Tanggal 24 Pebruari 2012. Zainuddin, D., I.P. Kompiang dan H. Hamid. 1995. Pemanfaatan Kopi dalam Ransum Ayam. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN T.A. 94/95. Balai Penelitian Ternak Ciawi – Bogor. Zerrouki, N., F. Lebas, C. Davous, E. Corrent. 2008. Effect of mineral block addition on fattening rabbit performance. Word Rabbit Conggress-June 10 13 Verano, Itali. Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Penerbit Gajah Mada Universitas Press, Jogyakarta.
99
Widodo, R. 2005. Usaha Budidaya Ternak Kelinci dan Potensinya. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 26-37. Wiguna, I W. A. A. 2007. Pengolahan Menjadi Pakan dan Pupuk Organik. Disampaikan dalam Pelatihan Kelompok Tani Ternak di Kabupaten Tabanan pada Tanggal 21-23 Nopember 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali.
100
Lampiran 1. Analisis Statistik Berat Badan Awal (g) Kelinci yang MendapatkanPerlakuan Ransum Berbeda KELOMPOK I
II
III
IV
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
PERLAKUAN
I.1
I.2
TOTAL
II.1
II.2
III.1
III.2
IV.1
IV.2
RATARATA
R0
280,00
280,00
256,00
255,00
243,00
260,00
248,00
245,00
2.067,00
258,38
R1
254,00
249,00
259,00
246,00
265,00
280,00
254,00
256,00
2.063,00
257,88
R2
255,00
247,00
255,00
271,00
259,00
268,00
257,00
254,00
2.066,00
258,25
R3
258,00
254,00
250,00
268,00
265,00
258,00
264,00
251,00
2.068,00
258,50
R4
257,00
258,00
247,00
249,00
256,00
282,00
256,00
265,00
2.070,00
258,75
1.304,00
1.288,00
1.267,00
1.289,00
1.288,00
1.348,00
1.279,00
1.271,00
10.334,00
258,35
TOTAL
Menentukan dB : - db total - db Blok - db Perlakuan - db Acak
: (t.r) -1 = 40-1 = 39 : r -1 = 8 -1 = 7 : t -1 = 5 -1 = 4 : db total - db blok - db perlakuan : 39 - 7 - 4 = 28
(10.334,00)2 = 2.669.788,90 Faktor Koreksi (FK) = 40 (280,00)2 + (280,00)2 + (256,00)2 + ........... + (265,00)2 - FK 2.845.634,10 – 2.669.788,90 3.845,10
JK Total
= = =
JK Blok
= (1.304,00)2 + (1.288,00)2 +........... + (1.271,00)2 - FK 5 = 2.670.700,00 – 2.669.788,90 = 911,10
JK Perlakuan
= (2.067,00)2 + (2.063,00)2 +........... + (2.070,00)2 - FK 8 = 2.669.792,25 – 2.669.788,90 = 3,35
JK Galat
= JK Total – JK Blok – JK Perlakuan = 3.845,10 - 911,10 - 3,35 = 2.930,65
101
Menentukan KT. KT Blok
=
JK Blok dB Blok
=
911,10 7
=
130,16
KT Perlakuan
=
JK Perlakuan dB Perlakuan
=
3,35 4
=
0,16
KT Galat
=
JK Galat dB Galat
=
2.930,65 28
=
104,67
Daftar Sidik Ragam Berat Badan Awal (g) Sumber Keragaman Kelompok Perlakuan Galat Total
SEM Berat Badan Awal =
db 7 4 28 39
JK
KT
911,10 130,16 3,35 0,84 2.930,65 104,67 3.845,10
√104,67 8
=
F Hitung 1,24ns 0,01ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
1,28
Berat Badan Awal (g) Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Rata-Rata (g) 258,38a 257,88a 258,25a 258,50a 258,75a
102
Lampiran 2. Daftar Sidik Ragam Berat Badan Akhir (g) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Berat Badan Akhir =
JK
KT
F Hit.
71.171,90 110.185,35 225.247,85 406.605,10
10.167,41 27.546,34 8.044,57
1,26ns 3,42*
√8.044,57 8
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
11,21
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 32,51 43,84
P=3 3,04 4,08 34,08 45,74
P=4 3,13 4,18 35,09 46,86
P=5 3,20 4,28 35,88 47,98
Berat Badan Akhir (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R1 R2
Rata-Rata (gr)
Perbedaan.
a
1.866,75 1.769,50b 1.739,88bc 1.730,25c 1.725,38c
97,25** 126,88** 136,50** 141,38**
29,63ns 39,25* 44,13*
9,63ns 14,50ns
4,88ns
103
Lampiran 3. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Ransum (g/hr) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Konsumsi Ransum =
JK
KT
F Hit.
133,06 618,49 728,82 1.480,36
19,01 154,62 26,03
0,73ns 5,94**
√26,03 8
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,64
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 1,85 2,49
P=3 3,04 4,08 1,94 2,60
P=4 3,13 4,18 2,00 2,67
P=5 3,20 4,28 2,04 2,73
Konsumsi Ransum (g/hr) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R2 R3 R1 R0
Rata-Rata (g/hr)
Perbedaan.
a
86,19 83,61b 79,19c 77,36cd 75,63d
2,58** 7,01** 8,83** 10,56**
4,43** 6,25** 7,98**
1,83ns 3,55**
1,72ns
104
Lampiran 4. Daftar Sidik Ragam Pertambahan Berat Badan (g/hr) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT 15,20 22,40 47,17 84,77
2,17 5,60 1,68
√1,68 8
SEM Pertambahan Berat Badan =
F Hit.
=
1,29ns 3,32*
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,16
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,47 0,63
P=3 3,04 4,08 0,49 0,66
P=4 3,13 4,18 0,51 0,68
P=5 3,20 4,28 0,52 0,69
Pertambahan Berat Badan (g/hr) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R1 R2
Rata-Rata (g/hr)
Perbedaan.
a
22,98 21,59b 21,16bc 21,03c 20,96c
1,39** 1,82** 1,94** 2,02**
0,43ns 0,55* 0,63*
0,13ns 0,20ns
0,08ns
105
Lampiran 5. Daftar Sidik Ragam Konversi Ransum Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
7 4 28 39
SEM Konversi Ransum =
KT
0,56 2,64 1,38 4,58 √0,05 8
F Hit. 1,62ns 13,39**
0,08 0,66 0,05
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,03
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,08 0,11
P=3 3,04 4,08 0,08 0,11
P=4 3,13 4,18 0,09 0,12
P=5 3,20 4,28 0,09 0,12
Konversi Ransum Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R2 R1 R0 R3
Rata-Rata
Perbedaan. a
4,08 4,01a 3,68b 3,50c 3,45c
0,07ns 0,40** 0,58** 0,63**
0,33** 0,51** 0,56**
0,17** 0,22**
0,05ns
106
Lampiran 6. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Air (ml/hr) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
7 4 28 39
SEM Konsumsi Air =
KT
133,46 0,38ns 1.468,71 4,14** 354,44
934,20 5.874,84 9.924,38 16.733,42 √354,44 8
=
F Hit.
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
2,35
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 6,82 9,20
P=3 3,04 4,08 7,15 9,60
P=4 3,13 4,18 7,37 9,84
P=5 3,20 4,28 7,53 10,07
Konsumsi air (ml/hr) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R2 R3 R1 R0
Rata-Rata (ml/hr)
Perbedaan.
a
183,37 181,46a 170,95b 157,90c 153,30c
1,91ns 12,41** 25,46** 30,07**
10,51** 23,56** 28,16**
13,05** 17,65**
4,61ns
107
Lampiran 7. Daftar Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering (%) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT
0,97 0,68ns 8,57 6,02** 1,42
6,81 34,27 39,82 80,89 √1,42 8
SEM Kecernaan Bahan Kering =
F Hit.
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,15
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,43 0,58
P=3 3,04 4,08 0,45 0,61
P=4 3,13 4,18 0,47 0,62
P=5 3,20 4,28 0,48 0,64
Kecernaan Bahan Kering (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R4 R2 R0 R1
Rata-Rata (%)
Perbedaan. a
59,84 59,28b 58,41c 58,29 c 57,13d
0,56* 1,43** 1,55** 2,71**
0,86** 0,99** 2,15**
0,13ns 1,28**
1,16**
108
Lampiran 8. Daftar Sidik Ragam Kecernaan Energi (%) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
7 4 28 39
SEM Kecernaan Energi =
KT 19,60 30,85 71,66 122,11
√2,56 8
=
F Hit. 2,80 7,71 2,56
1,09ns 3,01*
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,20
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,58 0,78
P=3 3,04 4,08 0,61 0,82
P=4 3,13 4,18 0,63 0,84
P=5 3,20 4,28 0,64 0,86
Kecernaan Energi (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R2 R1
Rata-Rata (%)
Perbedaan. a
67,87 66,38b 65,97bc 65,59c 65,42c
1,50** 1,90** 2,29** 2,45**
0,40ns 0,79* 0,95**
0,39ns 0,55ns
0,16ns
109
Lampiran 9 Daftar Sidik Ragam Kecernaan Protein (%) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK 156,62 57,71 76,54 290,86
7 4 28 39
SEM Kecernaan Protein =
KT
√2,73 8
=
F Hit.
22,37 14,43 2,73
8,19** 5,28**
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,21
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,60 0,81
P=3 3,04 4,08 0,63 0,84
P=4 3,13 4,18 0,65 0,86
P=5 3,20 4,28 0,66 0,88
Kecernaan Protein (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R2 R1
Rata-Rata (%) 86,64a 86,18ab 85,85b 84,18c 83,54c
Perbedaan. 0,47ns 0,79* 2,46** 3,10**
0,32ns 1,99** 2,63**
1,67** 2,31**
0,64ns
110
Lampiran 10. Daftar Sidik Ragam Laju Aliran Ransum (Jam) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Laju Aliran Ransum =
KT 3,50 12,11 35,47 51,08
√1,27 8
=
0,50 3,03 1,27
F Hit. 0,40ns 2,39ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,14
Laju Aliran Ransum (Jam) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Rata-Rata (Jam) 10,25a 10,19a 10,06a 8,76a 9,66a
111
Lampiran 11. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Energi (kkal/hari) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Konsumsi Energi =
JK
KT
2.152,08 6.154,75 7.070,16 15.377,00
307,44 1,22ns 1.538,69 6,09** 252,51
√252,51 8
=
F Hit.
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
1,99
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 6,04 8,10
P=3 3,04 4,08 6,22 8,30
P=4 3,13 4,18 6,36 8,50
P=5 3,20 4,28 6,04 8,10
Konsumsi Energi (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R2 R3 R1 R0
Rata-Rata (kkal/hari)
Perbedaan.
a
350,77 341,24b 337,83b 323,73c 316,24d
9,52** 12,93** 27,04** 34,53**
3,41ns 17,52** 25,01**
14,11** 21,60**
7,49*
112
Lampiran 12 Daftar Sidik Ragam Energi Feses/FE (kkal/hari) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
SEM Energi Feses (FE) =
7 4 28 39
JK
KT
1.625,51 993,48 2.665,20 5.284,20 √95,19 8
=
232,22 248,37 95,19
F Hit. 2,44ns 2,61ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
1,22
Energi Feses/FE (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (kkal/hari)
R0
106,36a
R1
112,02a
R2
117,47a
R3
108,55a
R4
119,30a
113
Lampiran 13. Daftar Sidik Ragam Energi Tercerna/DE (kkal/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Energi Tercerna (DE) =
KT
132,39 0,96ns 791,53 5,74** 137,92
926,71 3.166,10 3.861,80 7.954,61 √137,92 8
F Hit.
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
1,47
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 4,26 5,74
P=3 3,04 4,08 4,46 5,99
P=4 3,13 4,18 4,59 6,14
P=5 3,20 4,28 4,70 6,28
Energi Tercerna/DE (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R3 R2 R1 R0
Rata-Rata (kkal/hari)
Perbedaan.
a
231,47 229,29a 223,78b 211,71c 209,87c
2,18ns 7,69** 19,76** 21,59**
5,51* 17,58** 19,41**
12,07** 13,90**
1,84ns
114
Lampiran 14. Daftar Sidik Ragam Energi Termetabolis/ME (kkal/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT
836,48 2.856,81 3.484,81 7.178,10 √124,46 8
SEM Energi Termetabolis (ME) =
F Hit.
119,50 0,96ns 714,20 5,74** 124,46
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
1,39
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 4,04 5,45
P=3 3,04 4,08 4,24 5,69
P=4 3,13 4,18 4,36 5,83
P=5 3,20 4,28 4,46 5,97
Energi Termetabolis/ME (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R3 R2 R1 R0
Rata-Rata (kkal/hari)
Perbedaan.
a
219,89 217,82a 212,59b 201,13c 199,38c
2,07ns 7,30** 18,76** 20,51**
5,24* 16,70** 18,45**
11,46** 13,21**
1,75ns
115
Lampiran 15. Daftar Sidik Ragam Rentensi Energi /RE (kkal/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT
29,86 6,43** 14,37 3,09* 4,65
209,03 57,48 130,12 396,64 √4,65 8
SEM Retensi Energi (RE) =
F Hit.
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,27
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,78 1,05
P=3 3,04 4,08 0,82 1,10
P=4 3,13 4,18 0,84 1,13
P=5 3,20 4,28 0,86 1,15
Retensi Energi/RE (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R2 R4 R0 R1
Rata-Rata (kkal/hari)
Perbedaan.
a
55,20 53,83b 53,77b 52,90c 51,56d
1,37** 1,43** 2,30** 3,64**
0,06ns 0,93* 2,28**
0,87* 2,22**
1,34*
116
Lampiran 16. Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/PP (kkal/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT
1.350,74 2.265,90 3.929,40 7.546,04 √140,34 8
SEM Produksi Panas (PP) =
F Hit. 1,38ns 4,04*
192,96 566,48 140,34
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
1,48
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 4,29 5,79
P=3 3,04 4,08 4,50 6,04
P=4 3,13 4,18 4,63 6,19
P=5 3,20 4,28 4,74 6,34
Produksi Panas/PP (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R3 R2 R1 R0
Rata-Rata (kkal/hari)
Perbedaan.
a
166,12 162,63ab 158,76b 149,57c 146,49c
3,49ns 7,35** 16,55** 19,63**
3,86ns 13,06** 16,14**
9,20** 12,28**
3,08ns
117
Lampiran 17. Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/PP (kkalW 0,75/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db 7 4 28 39
JK
KT 287,95 32,60 350,14 670,69
SEM Produksi Panas/PP (kkalW 0,75/hari) =
41,14 8,15 12,51
F Hit. 3,29* 0,65ns
√12,51 8
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,44
Produksi Panas/PP (kkalW 0,75/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (kkalW 0,75/hari)
R0
49,35a
R1
48,85a
R2
51,20a
R3
49,51a
R4
50,81a
118
Lampiran 18. Daftar Sidik Ragam Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
KT
7 4 28 39
0,45 1,18ns 1,92 5,07** 0,38
3,13 7,67 10,59 21,38 √0,38 8
SEM Konsumsi ME/PBB =
F Hit.
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,08
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,22 0,30
P=3 3,04 4,08 0,23 0,31
P=4 3,13 4,18 0,24 0,32
P=5 3,20 4,28 0,25 0,33
Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R2 R1 R3 R0
Rata-Rata (kkal/g PBB)
Perbedaan.
a
10,41 10,19a 9,56b 9,50b 9,26b
0,22ns 0,85** 0,91** 1,15**
0,63** 0,69** 0,93**
0,06ns 0,30ns 0,24ns
119
Lampiran 19. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Protein (g/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT 25,97 6,65 7,84 40,46 √0,28 8
SEM Konsumsi Protein(g/hari =
F Hit. 3,71 13,24** 1,66 5,94** 0,28
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,07
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,19 0,26
P=3 3,04 4,08 0,20 0,27
P=4 3,13 4,18 0,21 0,28
P=5 3,20 4,28 0,21 0,28
Konsumsi Protein (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R3 R2 R1 R0
Rata-Rata (g/hari)
Perbedaan.
a
8,62 8,55a 8,02b 7,84b 7,56c
0,07ns 0,60** 0,78** 1,06**
0,53** 0,71** 0,99**
0,18ns 0,46**
0,28*
120
Lampiran 20. Daftar Sidik Ragam Protein Feses (g/hari) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
SEM Protein Feses =
db
JK
7 4 28 39
KT 0,4481 0,4040 1,0979 1,9500
√0,039 8
=
0,064 0,101 0,039
F Hit. 1,63ns 2,58ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,02
Protein Feses (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/hari)
R0
1,01a
R1
1,24a
R2
1,32a
R3
1,21a
R4
1,19a
121
Lampiran 21. Daftar Sidik Ragam Protein Tercerna (g/hari) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
√0,28 8
=
F Hit. 4,08 14,80** 1,44 5,23** 0,28
28,53 5,76 7,71 42,00
7 4 28 39
SEM Protein Tercerna =
KT
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,07
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,20 0,26
P=3 3,04 4,08 0,21 0,28
P=4 3,13 4,18 0,21 0,28
P=5 3,20 4,28 0,22 0,29
Protein Tercerna (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R3 R2 R1 R0
Rata-Rata (g/hari) 7,43a 7,34a 6,70b 6,60b 6,55b
Perbedaan. 0,09ns 0,73** 0,82** 0,88**
0,64** 0,73** 0,79**
0,09ns 0,15ns
0,06ns
122
Lampiran 22. Daftar Sidik Ragam Retensi Protein (g/hari) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
7 4 28 39
SEM Retensi Protein =
KT
0,0004 2,18ns 0,0031 15,75** 0,0002
0,003 0,012 0,005 0,021 √0,0002 8
=
F Hit.
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,002
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,01 0,01
P=3 3,04 4,08 0,01 0,01
P=4 3,13 4,18 0,01 0,01
P=5 3,20 4,28 0,01 0,01
Retensi Protein (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R4 R0 R1 R2
Rata-Rata (g/hari)
Perbedaan. a
0,55 0,53b 0,53bc 0,52cd 0,51d
0,02** 0,03** 0,04** 0,05**
0,01ns 0,02** 0,03**
0,01ns 0,02**
0,01ns
123
Lampiran 23. Daftar Sidik Ragam Hemoglobin (g/100 ml) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Hemoglobin =
KT
0,62 1,31ns 2,46 5,22** 0,47
4,33 9,83 13,19 27,36 √0,47 8
=
F Hit.
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,09
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,25 0,34
P=3 3,04 4,08 0,26 0,35
P=4 3,13 4,18 0,27 0,36
P=5 3,20 4,28 0,27 0,37
Hemoglobin (g/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R2 R0 R4 R1
Rata-Rata (g/100 ml)
Perbedaan.
a
12,23 11,65b 11,55b 11,53b 10,68c
0,57** 0,67** 0,70** 1,55**
0,10ns 0,13ns 0,98**
0,03ns 0,88**
0,85**
124
Lampiran 24. Daftar Sidik Ragam Eritrosit (106/ ml) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
SEM Eritrosit =
db
JK
7 4 28 39
KT
0,14 3,49** 0,39 9,74** 0,04
0,97 1,55 1,12 3,64 √0,04 8
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
F Hit.
=
0,02
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,07 0,10
P=3 3,04 4,08 0,08 0,10
P=4 3,13 4,18 0,08 0,10
P=5 3,20 4,28 0,08 0,11
Eritrosit (106/ ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R4 R0 R2 R1
Rata-Rata (106/ ml)
Perbedaan. a
5,72 5,66a 5,55b 5,45b 5,16c
0,05ns 0,17** 0,26** 0,56**
0,11** 0,21** 0,50**
0,10ns 0,39**
0,29**
125
Lampiran 25. Daftar Sidik Ragam Leukosit (103/ μl) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
SEM Leukosit =
db
JK
7 4 28 39 √1,30 8
KT 20,98 13,61 36,41 71,00
=
F Hit. 3,00 3,40 1,30
2,30ns 2,62ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,14
Leukosit (103/ μl) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (103/ ml)
R0
6,98a
R1
5,88a
R2
6,05a
R3
5,90a
R4
7,25a
126
Lampiran 26. Daftar Sidik Ragam Hematokrit (%) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Hematokrit =
KT 29,01 57,03 65,04 151,08
√2,32 8
=
F Hit.
4,14 1,78ns 14,26 6,14** 2,32
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,19
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,55 0,74
P=3 3,04 4,08 0,58 0,78
P=4 3,13 4,18 0,60 0,80
P=5 3,20 4,28 0,61 0,82
Hematokrit (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R2 R4 R0 R1
Rata-Rata (%)
Perbedaan. a
40,05 37,80b 37,50b 37,33b 36,48c
2,25** 2,55** 2,73** 3,58**
0,30ns 0,48ns 1,33**
0,18ns 1,03**
0,85**
127
Lampiran 27. Daftar Sidik Ragam Glukosa (mg/100 ml) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
SEM Glukosa =
db
JK
KT
7 4 28 39
228,00 69,40 1.249,00 1.546,40
√44,61 8
=
32,57 17,35 44,61
F Hit. 0,73ns 0,39ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,83
Glukosa (mg/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Rata-Rata (mg/100ml) 126,50a 128,25a 127,00a 129,00a 125,25a
128
Lampiran 28. Daftar Sidik Ragam Triglisirida (mg/100 ml) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Triglisirida =
KT
13.705,10 83.662,40 159.358,40 256.725,90
√5.691,37 8
=
1.957,87 20.915,60 5.691,37
F Hit. 0,34ns 3,67*
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
9,43
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 27,35 36,87
P=3 3,04 4,08 28,67 38,48
P=4 3,13 4,18 29,52 39,42
P=5 3,20 4,28 30,18 40,36
Triglisirida (mg/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R0 R2 R1 R3 R4
Rata-Rata (mg/100 ml) 227,00a 210,00a 169,00b 144,75b 99,50c
Perbedaan. 17,00ns 58,00** 41,00** 82,25** 65,25** 127,50** 110,50**
24,25ns 69,50** 45,25**
129
Lampiran 29. Daftar Sidik Ragam Kolesterol (mg/100 ml) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
KT
5.780,40 11.187,40 23.692,60 40.660,40
825,77 2.796,85 846,16
7 4 28 39
SEM Kholesterol =
√846,16 8
=
F Hit. 0,98ns 3,31*
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
3,64
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 10,54 14,22
P=3 3,04 4,08 11,05 14,84
P=4 3,13 4,18 11,38 15,20
P=5 3,20 4,28 11,64 15,56
Kholesterol (mg/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R1 R2 R0 R3 R4
Rata-Rata (mg/100 ml) 133,00a 132,50ab 130,00ab 122,25b 88,75c
Perbedaan. 0,50ns 3,00ns 10,75* 44,25**
2,50ns 10,25ns 43,75**
7,75ns 41,25**
33,50**
130
Lampiran 30. Daftar Sidik Ragam Berat Potong (g) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Berat Potong =
JK
KT
F Hit.
85.109,60 12.158,51 245.405,00 61.351,25 125.873,40 4.495,48 456.388,00
√4.495,48 8
=
2,70* 13,65**
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
8,38
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 24,31 32,77
P=3 3,04 4,08 25,48 34,19
P=4 3,13 4,18 26,23 35,03
P=5 3,20 4,28 26,82 35,87
Berat Potong (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R1 R4 R2
Rata-Rata (gram) 1.858,75a 1.790,50b 1.711,50c 1.673,25d 1.646,00e
Perbedaan. 68,25** 147,25** 79,00** 185,50** 117,25** 212,75** 144,50**
38,25** 65,50**
27,25*
131
Lampiran 31. Daftar Sidik Ragam Berat Karkas (g) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Berat Karkas =
JK
KT
F Hit. 2,30ns 9,87**
71.213,10 10.173,30 174.967,60 43.741,90 124.068,40 4.431,01 370.249,10
√4.431,01 8
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
8,32
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 24,13 32,53
P=3 3,04 4,08 25,30 33,95
P=4 3,13 4,18 26,04 34,78
P=5 3,20 4,28 26,63 35,61
Berat Karkas (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R1 R4 R2
Rata-Rata (gram)
Perbedaan.
a
891,00 837,50b 764,75c 726,50d 721,00d
53,50** 126,25** 72,75** 164,50** 111,00** 170,00** 116,50**
38,25** 43,75**
5,50ns
132
Lampiran 32 Daftar Sidik Ragam Persentase Karkas (%) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Persentase Karkas =
JK
KT 39,34 266,70 288,86 594,90
√10,32 8
=
F Hit. 0,54ns 6,46**
5,62 66,68 10,32
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,40
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 1,16 1,57
P=3 3,04 4,08 1,22 1,64
P=4 3,13 4,18 1,26 1,68
P=5 3,20 4,28 1,28 1,72
Persentase Karkas (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R1 R2 R4
Rata-Rata (%) 47,73a 47,33a 44,22b 41,79c 41,76c
Perbedaan. 0,40ns 3,51** 5,94** 5,97**
3,11** 5,54** 5,57**
2,43** 2,45**
0,02ns
133
Lampiran 33. Daftar Sidik Ragam Panjang Karkas (cm) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Panjang Karkas =
KT 5,00 39,10 33,50 77,60
√1,20 8
=
F Hit. 0,60ns 8,17**
0,71 9,77 1,20
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,14
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,40 0,53
P=3 3,04 4,08 0,42 0,56
P=4 3,13 4,18 0,43 0,57
P=5 3,20 4,28 0,44 0,59
Panjang Karkas (cm) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R1 R2
Rata-Rata (cm)
Perbedaan.
a
33,13 32,38b 31,13c 30,88cd 30,50d
0,75** 2,00** 2,25** 2,63**
1,25** 1,50** 1,88**
0,25ns 0,63**
0,38ns
134
Lampiran 34. Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Depan Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db 7 4 28 39
SEM Berat Kaki Depan Karkas =
JK
KT
1.220,72 12,16 1.279,88 2.512,76 √45,71 8
F Hit.
174,39 3,82** 3,04 0,07ns 45,71
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,85
Berat Kaki Depan Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0
16,12a
R1
16,35a
R2
16,06a
R3
16,38a
R4
16,53a
135
Lampiran 35. Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Belakang Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db 7 4 28 39
SEM Berat Kaki Belakang Karkas =
JK
KT
1.996,00 2,24 152,00 2.150,24 √5,43 8
F Hit.
285,14 52,53** 0,56 0,10ns 5,43
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,29
Berat Kaki Belakang Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0
30,45a
R1
30,40a
R2
30,93a
R3
30,74a
R4
30,97a
136
Lampiran 36. Daftar Sidik Ragam Berat Pinggang dan Punggung Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db 7 4 28 39
JK
KT
2.260,00 18,97 240,00 2.518,97
SEM Berat Pinggang dan Punggung Karkas =
F Hit.
322,86 37,67** 4,74 0,55ns 8,57
√8,57 8
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,37
Berat Pinggang dan PunggungKarkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0
28,95a
R1
27,33a
R2
27,05a
R3
27,50a
R4
28,22a
137
Lampiran 37. Daftar Sidik Ragam Berat Dada dan Leher Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
SEM Berat Dada Karkas =
7 4 28 39
JK
KT
254,29 9,89** 15,14 0,59ns 25,71
1.780,00 60,56 720,00 2.560,56 √25,71 8
F Hit.
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,63
Berat Dada Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0
24,48a
R1
23,93a
R2
24,97a
R3
25,38a
R4
24,30a
138
Lampiran 38. Daftar Sidik Ragam Berat Daging Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Berat Daging Karkas =
KT 330,75 454,24 114,18 899,17
√4,08 8
F Hit.
47,25 113,56 4,08
=
11,59** 27,85**
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,25
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,73 0,99
P=3 3,04 4,08 0,77 1,03
P=4 3,13 4,18 0,79 1,06
P=5 3,20 4,28 0,81 1,08
Berat Daging Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R1 R2
Rata-Rata (g/100 g karkas)
Perbedaan.
a
71,04 69,25b 66,83c 62,99d 62,48d
1,79** 4,21** 2,42** 8,05** 6,26** 3,84** 8,56** 6,77** 4,35** 0,51ns
139
Lampiran 39. Daftar Sidik Ragam Berat Lemak Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Berat Lemak Karkas =
KT 0,58 7,29 2,31 10,18
√0,08 8
F Hit. 0,08 1,82 0,08
=
1,01ns 22,10**
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,04
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,10 0,14
P=3 3,04 4,08 0,11 0,15
P=4 3,13 4,18 0,11 0,15
P=5 3,20 4,28 0,11 0,15
Berat Lemak Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R0 R2 R1 R3 R4
Rata-Rata (g/100 g karkas) 2,42a 2,22b 1,93c 1,68d 1,20e
Perbedaan. 0,20** 0,49** 0,74** 1,22**
0,29** 0,54** 1,02**
0,25** 0,73**
0,48**
140
Lampiran 40. Daftar Sidik Ragam Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db 7 4 28 39
SEM Berat Tulang Karkas =
JK
KT
174,29 3,81** 110,76 2,42ns 45,71
1.220,00 443,03 1.280,00 2.943,03 √45,71 8
F Hit.
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,85
Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Rata-Rata (g/100 g karkas) 28,33a 35,08a 35,30a 27,27a 31,97a
141
Lampiran 41. Daftar Sidik Ragam Rasio Daging dengan Tulang Karkas (/100 g karkas) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
KT 0,60 4,04 4,02 8,66
F Hit. 0,59ns 7,04**
0,09 1,01 0,14
√0,14 8
SEM Rasio Daging dengan Tulang Karkas =
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,05
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,14 0,19
P=3 3,04 4,08 0,14 0,19
P=4 3,13 4,18 0,15 0,20
P=5 3,20 4,28 0,15 0,20
Rasio Daging dengan Tulang Karkas (/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R4 R0 R1 R2
Rata-Rata (g/100 g karkas) 2,61a 2,09b 1,81c 1,80c 1,77c
Perbedaan. 0,52** 0,80** 0,80** 0,84**
0,28** 0,29** 0,32**
0,00ns 0,04ns
0,04ns
142
Lampiran 42. Daftar Sidik Ragam Berat Paru-paru (g/100 g berat hidup) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Berat Paru-paru =
KT 0,12 0,47 0,29 0,88
√0,01 8
F Hit. 0,02 0,12 0,01
=
1,70ns 11,50**
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,01
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,04 0,05
P=3 3,04 4,08 0,04 0,05
P=4 3,13 4,18 0,04 0,05
P=5 3,20 4,28 0,04 0,05
Berat Paru-paru (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R2 R4 R3 R1 R0
Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
Perbedaan.
a
0,66 0,63a 0,43b 0,43b 0,41b
0,03ns 0,23** 0,20** 0,23** 0,21** 0,00ns 0,25** 0,22** 0,02ns 0,02ns
143
Lampiran 43. Daftar Sidik Ragam Berat Jantung (g/100 g berat hidup) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
7 4 28 39
SEM Berat Jantung
=
KT 0,02 0,05 0,05 0,13
√0,002 8
=
F Hit. 1,82ns 6,77**
0,003 0,013 0,002
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,01
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,02 0,02
P=3 3,04 4,08 0,02 0,02
P=4 3,13 4,18 0,02 0,02
P=5 3,20 4,28 0,02 0,02
Berat Jantung (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R4 R2 R1 R3 R0
Rata-Rata (g/100 g berat hidup) 0,27a 0,24b 0,21c 0,19cd 0,17d
Perbedaan. 0,03** 0,07** 0,04** 0,08** 0,05** 0,02ns 0,10** 0,07** 0,04** 0,02ns
144
Lampiran 44. Daftar Sidik Ragam Berat Sekum (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
JK
7 4 28 39
SEM Berat Sekum
=
KT 0,52 0,79 1,82 3,12
√0,07 8
F Hit. 1,13ns 3,03*
0,07 0,20 0,07
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,03
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,09 0,12
P=3 3,04 4,08 0,10 0,13
P=4 3,13 4,18 0,10 0,13
P=5 3,20 4,28 0,10 0,14
Berat Sekum (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R0 R3 R4 R1 R2
Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
Perbedaan.
a
1,82 1,80a 1,69b 1,67b 1,43c
0,01ns 0,13** 0,12* 0,15** 0,14** 0,39** 0,38**
0,02ns 0,26** 0,24**
145
Lampiran 45. Daftar Sidik Ragam Berat Kolon (g/100 g berat hidup) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
SEM Berat Kolon =
db
JK
KT
7 4 28 39 √0,02 8
0,21 0,11 0,49 0,80
=
F Hit. 0,03 0,03 0,02
1,73ns 1,53ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,02
Berat Kolon (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
R0
1,63a
R1
1,71a
R2
1,79a
R3
1,70a
R4
1,69a
146
Lampiran 46. Daftar Sidik Ragam Berat Usus Halus (g/100 g berat hidup) Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
SEM Berat Usus Halus =
db
JK
7 4 28 39
KT 2,31 0,98 8,24 11,52
√0,29 8
=
F Hit. 0,33 0,24 0,29
1,12ns 0,83ns
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,07
Berat Usus Halus (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
R0
5,60a
R1
5,76a
R2
5,85a
R3
5,75a
R4
6,07a
147
Lampiran 47. Daftar Sidik Ragam Berat Kulit dan Bulu (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman Blok Perlakuan Galat Total
db
JK
7 4 28 39
SEM Berat Kulit dan Bulu
KT 1,18 2,71 1,93 5,82
=
F Hit. 2,44* 9,83**
0,17 0,68 0,07
√0,07 8
=
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
0,03
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range) SSR LSR
Jarak Perbandingan 0,05 0,01 0,05 0,01
P=2 2,90 3,91 0,10 0,13
P=3 3,04 4,08 0,10 0,13
P=4 3,13 4,18 0,10 0,14
P=5 3,20 4,28 0,11 0,14
Berat Kulit dan Bulu (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan R3 R0 R4 R2 R1
Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
Perbedaan.
a
12,35 12,04b 11,88c 11,72d 11,60e
0,31** 0,47** 0,16** 0,63** 0,31** 0,75** 0,43**
0,16** 0,28** 0,12*
148
Lampiran 48. Daftar Sidik Ragam Jumlah Bakteri (opg) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Jumlah Bakteri =
JK
KT
F Hit.
14.400.000,00 2.057.142,86 0,04ns 295.544.000,00 73.886.000,00 1,50ns 1.382.280.000,00 49.367.142,86 1.692.224.000,00 √49.367.142,86 = 8
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
878,27
Jumlah Bakteri (opg) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (opg)
R0
12.500,00a
R1
10.050,00a
R2
10.950,00a
R3
14.500,00a
R4
17.650,00a
149
Lampiran 49. Daftar Sidik Ragam Jumlah Mikroba (opg) Sumber Keragaman
db
Blok Perlakuan Galat Total
7 4 28 39
SEM Jumlah Mikroba =
JK
KT
205,71 0,28ns 510,40 0,69ns 737,71
1.440,00 2.041,60 20.656,00 24.137,60 √737,71 8
=
F Hit.
F Tabel 0,05 0,01 2.36 3.36 2.71 4.07
3,40
Jumlah Mikroba (opg) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda Perlakuan
Rata-Rata (opg)
R0
40,00a
R1
40,00a
R2
42,00a
R3
59,00a
R4
46,00a
150
Lampiran 50. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
NO
Nutrien
RO
R1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
TDN % ME(Kkal/kg) Protein Kasar % Lemak Kasar % Serat Kasar % Calcium % Phosporus % Lisin % Metionin + sistin % Isoleusin % Leusin % Phenilalanin + Tirosin % Treonin % Triptofan % Valin %
64,83 2250,93 17,1 8,21 12,13 0,51 0,62 0,62 0,40 0,61 1,99 1,99 0,48 0,12 0,63
64,85 2188,08 17,57 7,01 12,72 0,46 0,59 0,59 0,38 0,58 0,93 0,88 0,45 0,11 0,59
Perlakuan R2 65 2144,45 17,47 5,40 13,38 0,38 0,55 0,55 0,35 0,55 0,87 0,81 0,41 0,10 0,54
Sumber : Analisis Proksimat, LOKA, Penelitian Sapi Potong, Grati.
R3
R4
64,65 2218,43 17,84 5,86 11,96 0,41 0,64 0,55 0,35 0,54 0,89 0,84 0,42 0,10 0,55
64,73 2135,41 17,68 4,14 12,18 0,46 0,66 0,48 0,30 0,47 0,77 0,73 0,37 0,09 0,48
Standard NRC (1977) 65 2500 16 2 10-14 0,4 0,22 0,65 0,6 0,6 1,1 1,1 0,6 0,2 0,7
151
Lampiran 51. Angka Density Ransum Perlakuan NO
PERLAKUAN
1 2 3 4 5
R0 R1 R2 R3 R4
Volume cawan (ml) 4,7 4,7 4,7 4,7 4,7
Berat Cawan (g) 4,91 4,91 4,91 4,91 4,91
berat sampel (g) 26,80 23,64 23,55 24,42 22,48
Angka Density 25,76 22,60 22,51 23,38 21,44
152
Lampiran 52. Harga Ransum Perlakuan Kontrol (R0) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Jagung kuning Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung Tapioka tepung kedelai Dedak Padi Rumput Gajah Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi Dedak Kulit Kopi Terfermentasi Minyak Kelapa Tepung tulang
Volume 24 14,5 6,5 4 6,5 15 25
Harga/kg 4.500 2.300 8.500 7.500 8.500 2.000 400
4 0,5
12.000 1.500
Jumlah 108.000 33.350 55.250 30.000 55.250 30.000 10.000 0 0 48.000 750 370.600 3.706
153
Lampiran 53. Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Tidak Difermentasi (R1) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Jagung kuning Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung Tapioka tepung kedelai Dedak Padi Rumput Gajah Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi Dedak Kulit Kopi Terfermentasi Minyak Kelapa Tepung tulang Total Biaya Total Biaya/kg bahan
Volume 23 13 6,5 4 6,55 12,45 22 10
Harga/kg 4.500 2.300 8.500 7.500 8.500 2.000 400 1.945
2 0,5 100
12.000 1.500
Jumlah 103.500 29.900 55.250 30.000 55.675 24.900 8.800 19.450 0 24.000 750 352.225 3.522
154
Lampiran 54. Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Tidak Difermentasi (R2) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Jagung kuning Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung Tapioka tepung kedelai Dedak Padi Rumput Gajah Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi Dedak Kulit Kopi Terfermentasi Minyak Kelapa Tepung tulang
Volume 23 10,5 7 4 6,1 10 18,9 20
Harga/kg 4.500 2.300 8.500 7.500 8.500 2.000 400 1.945
0,5
12.000 1.500
Jumlah 103.500 24.150 59.500 30.000 51.850 20.000 7.560 38.900 0 0 750 336.210 3.362
155
Lampiran 55. Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Difermentasi (R3) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Jagung kuning Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung Tapioka tepung kedelai Dedak Padi Rumput Gajah Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi Dedak Kulit Kopi Terfermentasi Minyak Kelapa Tepung tulang
Volume 22 10 6 4 5,5 16 24
Harga/kg 4500 2300 8500 7500 8500 2000 400
10 2 0,5
2100 12000 1500
Jumlah 99.000 23.000 51.000 30.000 46.750 32.000 9.600 0 21.000 24.000 750 337.100 3.371
156
Lampiran 56. Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Difermentasi (R4) No
Uraian
Volume
Harga/kg
Jumlah
1 Jagung kuning
20,5
4.500
92.250
2 Bungkil Kelapa
6,5
2.300
14.950
3 Tepung Ikan
5
8.500
42.500
4 Tepung Tapioka
4
7.500
30.000
5,15
8.500
43.775
16,05
2.000
32.100
22,3
400
8.920
5 tepung kedelai 6 Dedak Padi 7 Rumput Gajah 8 Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi 9 Dedak Kulit Kopi Terfermentasi
0 20
10 Minyak Kelapa 11 Tepung tulang
0,5
2.100
42.000
12.000
0
1.500
750 307.245 3.072
157
Lampiran 57. Foto-Foto Penelitian
Potensi Kulit Kopi Sebagai Pakan Ternak
158
Lampiran 58. Foto-Foto Penelitian
Proses Pengolahan Kulit Kopi Menjadi Dedak
159
Lampiran 59. Foto-Foto Penelitian
Proses Pembuatan Tepung Tulang
160
Lampiran 60. Foto-Foto Penelitian
Proses Pembuatan Pellet
161
Lampiran 61. Foto-Foto Penelitian
Penimbangan Berat Badan Setiap Minggu
162
Lampiran 62. Foto-Foto Penelitian
Penimbangan Pakan dan Sisa Pakan
163
Lampiran 63. Foto-Foto Penelitian
Proses Pengambilan Darah Kelinci
164
Lampiran 64. Foto-Foto Penelitian
Proses Pemotongan Kelinci