PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL
Budhi Wibhawa Santoso T. Raharjo Meilany Budiarti S.
ISBN: 978-602-9238-48-8
Judul Buku: PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL
Penulis: BUDHI WIBHAWA SANTOSO T RAHARJO MEILANY BUDIARTI S.
2015
Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp. (022) 843 88812 Website: lppm.unpad.ac.id Email:
[email protected] Bandung 45363 1 Jilid, B5 (JIS); 303 hlm, Cetakan pertama 2013 Cetakan kedua 2015 ISBN: 978-602-9238-48-8 ISBN:
9 7 8
978-602-9238-48-8
- 6 0
2 - 9 2 3 8
Kata Pengantar Sekali lagi, langkanya buku-buku teks profesi pekerjaan sosial dan bidang praktek kesejahteraan sosial dalam bahasa Indonesia merupakan persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan pekerjaan sosial di negeri ini. Sehingga penulisan buku ini merupakan bagian dari upaya memperkaya bahan-bahan bacaan mengenai bidang kesejahteraan sosial dan profesi pekerjaan sosial. Penerbitan buku ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’ diharapkan dapat menjadi oase di tengah kelangkaan buku-buku pekerjaan sosial. Semoga buku ini dapat menjadi awal atau pengantar untuk rujukan, pembanding, atau kajian pustaka bagi siapapun yang concerns terhadap bidang praktek pekerjaan sosial, termasuk para mahasiswa, dosen, pemerhati dan masyarakat pembaca pada umumnya. Dalam cetakan kedua ini telah ditambahkan sekilas tentang penelitian pekerjaan sosial dan perencanaan sosial untuk melengkapi buku pengantar pekerjaan sosial ini. Namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini buku ini masih jauh dari memadai, sehingga kritik dan saran dalam rangka perbaikan kami terima dengan tangan terbuka. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para kolega di Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD, yang selalu membantu dan mendukung penulisan buku ini.
Jatinangor, September 2015 BW, STR, MBS
DAFTAR ISI
TOPIK 1:
MASALAH SOSIAL DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL 1 Kegiatan Belajar 1: 1. Masalah Sosial dan Perubahan Sosial .................................. 2 2. Praktik Pekerjaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Sosial 11 Kegiatan Belajar 2: 1. Kewirausahaan Sosial........................................................ 12 2. Kewirausahaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Sosial ................................................................................. 16 3. Capaian dalam Kewirausahaan Sosial ............................... 21
TOPIK 2:
KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
27
Kegiatan Belajar 1: 1. Kesejahteraan Sosial........................................................... 28 2. Sumber-sumber kesejahteraan sosial .................................. 37 3. Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial ...................................... 45 Kegiatan Belajar 2: Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial ............................. 48 Kegiatan Belajar 3: Pekerjaan Sosial Generalis......................................................... 59 TOPIK 3:
LANDASAN PENGETAHUAN DALAM PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
67
Kegiatan Belajar 1: Keilmuan profesi pekerjaan sosial dan profesi Pertolongan lainnya.................................................................. 68 Kegiatan Belajar 2: Dasar pengetahuan pekerjaan sosial......................................... 81 Kegiatan Belajar 3: Kebutuhan pengetahuan pekerja sosial saat ini ....................... 87 TOPIK 4:
FOKUS PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL Kegiatan Belajar : Keberfungsian Sosial ..............................................................
TOPIK 5:
PROSES PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL Kegiatan Belajar 1:
97 98 109
Pergeseran klien bagi Pekerja Sosial ...................................... 110 Kegiatan Belajar 2: Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah ..............
114
Kegiatan Belajar 3: 1. Proses Praktik Pekerjaan Sosial ................................... 122 2. Kerangka Model Analisis dan Pemecahan Masalah Sosial 126 TOPIK 6 :
NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN SOSIAL
131
Kegiatan Belajar 1: Antara hubungan personal dengan hubungan profesional
132
Kegiatan Belajar 2: Prinsip praktik pekerjaan sosial ............................................... 136
TOPIK 7:
Kegiatan Belajar 3: Klasifikasi Pekerja Sosial .......................................................
141
Kegiatan Belajar 4: Kerangka profesi pekerjaan sosial ..........................................
152
METODE PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
161
Kegiatan Belajar 1: Social Casework ....................................................................... 162 Kegiatan Belajar 2: Social Groupwork .................................................................... 172 Kegiatan Belajar 3: Community Development ......................................................... 187 Kegiatan Belajar 4: 1. Administrasi Pekerjaan Sosial, ........................................... 2. Organisasi Pelayanan Manusia, .......................................... 3. Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial ........................... 4. Penelitian Pekerjaan Sosial................................................. 5. Perencanaan Sosial.............................................................. TOPIK 8:
PELAYANAN SOSIAL
201 205 214 219 228 233
Kegiatan Belajar 1: Keadaan, Kecenderungan, dan Masalah dalam Penyelenggaraan Pelayanan Sosial..................................................................... 234 Kegiatan Belajar 2: Bidang-bidang Pelayanan Sosial ............................................ Kegiatan Belajar 3: iv
241
Strategi Pelayanan Sosial dan Organisasi (Badan) Pelayanan Sosial ...................................................................... 253 TOPIK 9:
STRENGTH BASED PERSPECTIVE
267
Kegiatan Belajar 1: Strength Based Perspective ....................................................
268
Kegiatan Belajar 2: Strength Based Assessment .....................................................
273
-----------------------
v
TOPIK 1
MASALAH KEWIRAUSAHAAN
SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1 : Masalah sosial dan perubahan sosial, praktik pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah sosial KEGIATAN BELAJAR 2 : Pengertian kewirausahaan sosial, kewirausahaan sosial dalam mengatasi masalah sosial, capaian dalam kewirausahaan sosial
1
KEGIATAN BELAJAR 1 1. MASALAH SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL Masyarakat adalah konsep abstrak, wujud nyatanya adalah manusia dan perilakunya. Manusialah yang ’menciptakan’ masyarakat dengan nalurinya sebagai makhluk sosial; maka manusia pulalah yang membuat perubahan-perubahan terhadap masyarakat melalui hasratnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, setidaknya menurut keinginan manusia itu sendiri. Dalam beberapa peristiwa di dalam sejarah dunia dan sejarah manusia tercatat orang-orang besar yang karena kelebihan kapasitasnya mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, masyarakat Indonesia bersentuhan dengan berbagai masyarakat luar; dan hasil sentuhan itu kemudian diterima dengan nilai budayanya sendiri. Namun demikian, dalam sebuah proses difusi kebudayaan berlaku dalil (Parsudi Suparlan, 1982:113): ”Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya”. Pembahasan tentang isu-isu dan masalah sosial di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dengan kondisi kehidupan masyarakatnya. Bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya atau dikenal dengan masyarakat majemuk atau multikultur. Kondisi ini di satu sisi merupakan potensi dan sumber daya serta kekayaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain,
2
kondisi ini juga merupakan faktor yang dapat memicu dan memacu terganggunya ketahanan sosial masyarakat karena rawan terjadi konflik sosial horizontal maupun vertikal. Terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang dikenal dengan kasus Sambas, Sampit, Poso, Ambon dan Papua, merupakan bukti dari sisi negatif kesukubangsaan Indonesia yang bercorak multikultur. Hal ini terjadi disebabkan oleh belum dihayatinya kehidupan multikultur ini oleh segenap elemen masyarakat. Kondisi multikultur yang masih menimbulkan rawan konflik sosial ini, kemudian ditambah dengan terjadinya transformasi sosial budaya yang berlangsung sangat cepat dewasa ini. Disadari ataupun tidak, transformasi sosial budaya ini membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi sebagian kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat Indonesia. Konsumerisme, hedonisme, individualism dan materialisme sebagai ekses globalisasi, kini mulai dirasakan memasuki berbagai aspek kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat. Ekses lainnya yaitu terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat tentang keluarga, rumah tangga dan pola interaksi sosial, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Hawari, 1995). Fenomena sosial ini, kini sudah terjadi secara luas pada semua lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Memang salah satu dalil dalam perubahan sosial menyebutkan bahwa perubahan terjadi tidak serempak pada semua aspek kehidupan masyarakat, melainkan pada sebagian aspek kehidupan, dan aspekaspek kehidupan lainnya akan harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi; atau menolak perubahan tersebut.
3
Persoalannya, adalah masyarakat Indonesia ini sangat mudah menerima rembesan dari luar masyarakat, dan mengubah dirinya demi menyesuaikan diri dengan rembesan tersebut (adaptasi). Masyarakat ini sangat adaptif, bahkan dalam banyak hal sangat adoptif; apa yang ada di negara lain, langsung diterapkan. Situasi ini ditambah lagi dengan ’pemaksaan’ dari negara lain yang posisinya dan kondisinya lebih kuat; yang memandang Indonesia dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk sebagai pasar yang bagus untuk segala produk mereka mulai dari barang sampai kepada ide dan nilai-nilai. Politik luar negeri yang terjadi dewasa ini (Bay Suryawikarta): ”...tidak lain adalah rangkaian manuver politik untuk membuka pasar, mencari (dan mencuri) teknologi, dan menggali sumber dana (modal)”. Untuk Indonesia, ditambah lagi dengan keinginan untuk segera mensejajarkan diri dengan kemajuan, berkonsekuensi terjadinya perubahan yang lebih tidak terkendali, karena, seperti dikemukakan To Thi Anh (1984:97), masyarakat negara-negara berkembang: ”...lebih mudah meniru Barat daripada menemukan cara sendiri”. Gagasan yang serupa juga dikemukakan oleh Aritonang (1999) bahwa Indonesia bukan negara agraris, bukan pula negara industri..; melainkan negara pasar produk agaris dan industri...” Seperti hukum dunia yang bersifat umum yaitu selalu berubah, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan; namun lebih banyak karena ’kekalahan’ dalam difusi kebudayaan, bukan atas kesadarannya sendiri. Sebutlah negara-negara yang maju, baik dari belahan Barat maupun dari belahan Timur; benang merahnya sama, yaitu mereka membangun dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai dan filsafat sosio4
budaya dan agamanya, dan itu dimulai dengan pengenalan serta penegasan tentang jati dirinya sendiri. Jika masih bingung dengan jati dirinya sendiri, bagaimana orang atau masyarakat akan dapat mengembangkan dirinya? Inilah masalah mendasar masyarakat Indonesia, terlalu mudah mengadopsi perubahan tanpa berpegang kuat kepada nilai-nilai dasarnya, sehingga dengan mudah tercerabut dari jati dirinya sendiri. Jadi, perkembangan masyarakat Indonesia haruslah dimulai dari aktualisasi nilai-nilai dasar yang tetap dipegang teguh sebagai jati dirinya sendiri. Menjadi aneh jika masyarakat yang memandang dirinya religius, justru etos kerjanya rendah, tidak produktif malah konsumtif; padahal tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan pemborosan seperti itu. Jika seseorang atau sebuah masyarakat tidak berpijak kepada karakternya sendiri ketika ia berhadapan dengan perubahan-perubahan
eksternal
dan
harus
menyesuaikan
diri
dengannya, maka orang itu akan menjadi ’abdi’ orang lain, masyarakat itu akan didominasi masyarakat lain, seperti dimaksudkan dalam pengertian konsep difusi kebudayaan. Inilah tampaknya yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan jika Prof. Mar’at (1986), dan Yesmil Anwar (2007) menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sakit (the sick society). Telah dikemukakan terdahulu beberapa ilustrasi kondisi masyarakat yang menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Secara formal akademik, istilah perubahan sosial berarti ’pergeseran pada struktur dan fungsi masyarakat (sistem sosial)’. Brinkerhoff & White, (1985:554) mendefinisikan perubahan sosial sebagai pergeseran terus menerus dalam pola-pola budaya baik materil maupun nonmateril. 5
Perubahan sosial dapat bersifat ‘alamiah’ dalam arti sebagai hasil interaksi di antara elemen-elemen penyebabnya (unplanned social change); dapat pula direncanakan sebagai sebuah rekayasa sosial (planned social change) (Zaltman, Kotler, Kaufman, 1982:27). Pertanyaannya adalah apa yang berubah, secepat apa perubahan terjadi, dan ke mana arah perubahan tersebut? Johnson (1986:5) menegaskan hubungan antara perubahan sosial dengan masalah sosial, dalam pernyataannya sebagai berikut: ”...since many social problems result from change and because it is human to have such problems, the idea that any of us may be potential users of social services is made more acceptable. Any of us then might have occasion to need a social worker, not just the “poor”, the people from the “wrong side of the tracks”, or of some particular age, ethnic, or other group. This concept of social work may tend to bring about more humility and realism in our thinking, for troubles can, indeed, “happen to any of us” Dari tulisan Johnson tersebut dapat ditarik beberapa catatan pokok, sebagai berikut: 1. Masalah sosial bersumber dari –dan muncul seiring dengan– perubahan sosial; padahal sudah menjadi aksioma bahwa tidak ada masyarakat yang sungguh-sungguh statis, melainkan selalu mengalami perubahan. Jaman teknologi yang semakin canggih, globalisasi; menghasilkan percepatan perubahan sosial yang luar biasa karena akses informasi dan transportasi yang semakin baik; artinya sangat produktif menghasilkan masalah sosial sebagai dampaknya. Namun, seperti dikatakan Ralf Dahredorf (dalam Khasali, 2004), “The trouble with change in human affairs is that it is so hard to pin down. It happens all the time.
6
But while it happens it eludes our grasp, and once we feel able to come to grips with it, it has become past history”. 2. Setiap orang berpotensi mengalami masalah sosial, terlepas dari tingkat pendidikan, kekayaan, status sosial, atau karakteristik apapun. 3. Para Pekerja Sosial (Social Worker) memiliki kewenangan keahlian untuk menangani masalah-masalah sosial. 4. Dibutuhkan ide-ide, strategi, metode, serta badan-badan pelayanan yang dapat mengupayakan penanganan masalahmasalah sosial yang selalu berkembang. Substansinya sesungguhnya bukan terletak pada apa masalahnya, karena salah satu hakikat kehidupan adalah masalah, dan semua orang, semua masyarakat mengalami masalah; melainkan terletak pada bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan situasi masalah tersebut, untuk kemudian mencari apa dan bagaimana solusinya. Terdapat
tiga
kemungkinan
hasil
relatif
yang
dialami
masyarakat dari perubahan sosial, yaitu (1) kemajuan; (2) kemunduran; dan (3) fluktuatif. Ukuran kemajuan dan kemunduran tergantung dari visi masyarakat tentang apa yang diinginkan dalam kehidupannya. Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa berbagai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lain telah mengubah sistem sosial masyarakat Indonesia. Terjadi kemudian perubahan-perubahan dalam fungsi dan struktur institusi sosial yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial. Horton dan Hunt (1964:126) menyatakan, bahwa:
”Suatu
masyarakat
yang
mengalami
perubahan
pasti
melahirkan masalah. ... Masalah sosial merupakan bagian dari konsekuensi perubahan sosial”. Selaras dengan pandangan itulah, maka 7
Johnson (1986:7) mendefinsikan Pekerjaan Sosial, sebagai: ”...upaya pemberian bantuan kepada orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan...“. Dengan definisi tersebut maka tampak bahwa masalahmasalah sosial timbul sebagai akibat perubahan sosial, dan karenanya setiap warga masyarakat merupakan pengguna potensial bagi pelayanan-pelayanan sosial. Holil
Soelaiman
(1993:12-13)
telah
mengidentifikasikan
delapan kecenderungan permasalahan sosial, sebagai berikut: 1. Semakin melemahnya nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial seperti
kemanusiaan,
kekeluargaan,
kasih
sayang
kegotongroyongan,
terhadap
pengabdian,
sesama, solidaritas
sosial, kepekaan sosial, dan kepedulian sosial; tergeser oleh nilai-nilai baru seperti ke-aku-an, kebendaan, keserakahan, keduniawian, efisiensi, dan persaingan serta konflik. 2. Meningkatnya jumlah penyandang berbagai kecacatan (fisik dan mental) baik sebagai sertaan pertumbuhan penduduk maupun sebagai akibat dari pelecehan lalu lintas, kecelakaan kerja, serta gangguan mental akibat ketegangan jiwa. 3. Meningkatnya permasalahan ketelantaran (terutama psikis dan sosial)
anak
yang
disebabkan
semakin
meningkatnya
keterlibatan kerja (labour participation) pria dan terutama wanita dalam pekerjaan di luar rumah tangga, karier, serta kepemimpinan di dalam masyarakat. 4. Meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial dan penyimpangan perilaku, sebagai sertaan dari peningkatan arus wisatawan, sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan globalisasi. 8
5. Meningkatnya jumlah dan proporsi kelompok penduduk usia lanjut, yang disebabkan oleh transisi demografik serta semakin tingginya rata-rata harapan hidup; yang berpadu dengan memudarnya nilai-nilai kekeluargaan serta meningkatnya tuntutan kegiatan, yang mengakibatkan ketelantaran penduduk usia lanjut. 6. Timbulnya akibat sampingan yang tidak diharapkan dari proses dan keberhasilan pembangunan seperti peluberan biaya sosial (social cost spill over), kesenjangan sosial, keresahan sosial, pergeseran nilai-nilai sosial. 7. Prevalensi bencana yang bersumber pada kondisi geografik, geologik, dan geofisik Indonesia; demikian pula pada mentalita masyarakat (fatalisme, keteledoran, kurang kewaspadaan, dan kesiapsiagaan). 8. Masalah kemiskinan, yang menyangkut bukan semata-mata penguasaan asset/sumber penghasilan dan tingkat penghasilan yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak,
melainkan
kepasrahan,
juga
menyangkut
ketergantungan,
dan
mentalita
ketidakberdayaan
seperti yang
bersumber pada budaya kemiskinan. Dengan mencermati definisi Johnson tentang Pekerjaan Sosial, serta identifikasi kecenderungan masalah sosial seperti dikemukakan oleh Holil Soelaiman tersebut tampak bahwa masalah sosial yang di masa lampau diartikan sebagai masalah ‘sosial ekonomi’ yang bersifat patologis, kini telah bergeser dan meluas ke arah masalah-masalah disfungsi, disorganisasi sosial.
9
Isu global masalah sosial tersebut di atas merupakan landasan utama
dalam
membangun
kerangka
kebijakan
dan
program
pembangunan sosial di Indonesia. Masalah sosial yang semakin kompleks, kini perlu didekati dengan berbagai disiplin, dan disiplin ilmu yang utama adalah ilmu pekerjaan sosial. Pendekatan disipliner dalam memahami masalah sosial sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dewasa ini. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif, bahwa masalah sosial bersifat kompleks atau multidimensional (multiple face of sosial problems). Satu masalah sosial tertentu memiliki dimensi sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi dan politik. Bahkan kompleksitas masalah sosial terjadi disebabkan adanya interaksi yang kuat antar masalah sosial itu sendiri. Dalam kehidupan nyata tidak sedikit masalah sosial disebabkan oleh masalah sosial yang lain, atau mengakibatkan terjadinya masalah sosial yang lain. Oleh sebab itu, seringkali ditemukan pola jejaring masalah sosial yang sangat rumit dan tidak mudah menemukan dari mana dimulai pemecahannya. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi masalah sosial ini sangat penting dalam upaya menemukan akar masalah dan model-model intervensi sosial yang tepat. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor Takahashi dari Jepang pada uraian sebelumnya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk dapat memecahkan masalah tersebut.
10
2. PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DALAM MENGATASI MASALAH SOSIAL Dalam pemecahan masalah sosial, pekerjaan sosial merupakan disiplin ilmu utama yang dikonstruksikan dari kehidupan nyata masyarakat. Oleh karena itu, dewasa ini sudah tidak relevan lagi mempermasalahkan peranan ilmu pekerjaan sosial dalam pembangunan sosial. Sebaliknya, keberadaan ilmu pekerjaan sosial justru sangat diperlukan karena memiliki relevansi dengan kondisi obyektif dinamika masyarakat dengan segala akibatnya. Lebih lanjut ilmu pekerjaan sosial akan memberikan kontribusi yang sangat nyata mulai dari analisis masalah sampai pada menemukan kebutuhan strategis yang diperlukan oleh masyarakat dalam mengatasi masalahnya. Berbeda dengan ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial mengajarkan bagaimana mengembangkan art atau skill dalam membangun relasi sosial dengan penyandang masalah maupun dengan pemilik sumber daya sosial. Hal ini tentu tidak ditemukan oleh ilmu sosial lain, karena mereka tidak berorientasi pada pemecahan masalah. Adanya art atau skill ini menjadikan ilmu pekerjaan sosial sangat dinamis
dalam
mengikuti
perkembangan
pemikiran-pemikiran,
perubahan sosial, dan dinamika masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Dengan demikian, sebagai ilmu terapan, ilmu pekerjaan sosial memberikan jalan keluar yang realisitis dalam pemecahan masalah sosial. Bersama-sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial
dapat
menemukenali
masalah,
kebutuhan
dan
potensi
kesejahteraan sosial secara tepat sebagai dasar dalam pemecahan
11
masalah. Meskipun peran dan kontribusinya cukup nyata, namun ilmu pekerjaan sosial masih belum sepenuhnya menjadi referensi dalam penyelenggaraan program kesejahteraan sosial. Hal ini akan menjadi persoalan jangka panjang, karena apabila hal ini terus berlanjut maka pada saatnya nanti program kesejahteraan sosial akan kehilangan jati diri dan fokus sasarannya.
KEGIATAN BELAJAR 2 1. KEWIRAUSAHAAN SOSIAL Bagaimana agar kinerja wirausaha yang dijalankan semakin memiliki dampak sosial yang besar, karena baik Muhammad Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial lainnya tidak akan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan. Di sisi lain, dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilainilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini semakin melekat pada diri masyarakat. Tidak mengherankan apabila nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tidak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia saja, melainkan juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta.
12
Modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi, dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang lebih luas tumbuh di antara sesama pelaku ekonomi. Dengan kata lain, modal sosial yang ada dapat ditingkatkan menjadi kegiatan kewirausahaan sosial. Seseorang dapat termotivasi oleh permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (social problem), hingga muncullah inisiatif untuk menciptakan kegiatan yang mendatangkan manfaat sosial (social benefit) yang kemudian turut menumbuhkan
manfaat
ekonomi
(economic
benefit)
sehingga
berdirilah Social Enterprise atau lembaga kewirausahaan sosial. Seorang wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat. Dua setengah dekade lalu, Bill Drayton, pendiri dan CEO Ashoka, memprakarsai konsep kewirausahaan sosial. Prinsipnya tidak berbeda dengan kewirausahaan bisnis, bedanya kewirausahaan sosial digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Bagi Drayton ada dua hal kunci dalam kewirausahaan sosial. Pertama, adanya inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua, hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha (entrepreneurial), dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut. Jadi wirausaha sosial adalah individu yang bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha, dan beretika, yang mampu menciptakan inovasi sosial dan mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Inovasi sosial yang 13
dimaksud Bill adalah yang mampu menciptakan atau mengubah pola di masyarakat sehingga dapat mengakar dan karenanya, hal itu dapat berkesinambungan. Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan pakar
di
bidang
kewirausahaan
sosial
menyatakan
bahwa
kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dalam misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim berlaku di dunia bisnis. Kegiatan kewirausahaan sosial dapat meliputi kegiatan: a) Yang tidak bertujuan mencari laba, b) Melakukan bisnis untuk tujuan sosial, dan c) Campuran dari kedua tujuan sebelumnya, yakni tidak untuk mencari laba, dan mencari laba, namun untuk tujuan sosial. Menjalankan kewirausahaan sosial sangat bergantung kepada bagaimana isi dari gagasan yang ditawarkan, pada dasarnya agar gagasan serta ide yang ditawarkan dapat diterima oleh masyarakat, maka gagasan tersebut harus memiliki misi sosial di dalamnya sematamata hanya untuk membuat masyarakat dapat terbebaskan dari permasalahan yang terjadi. Arah dan jalur pengembangan kewirausahaan sosial yang semakin berkembang, kemudian coba dipetakan oleh Bornstein (2004, dalam Nicholls, 2008:14) seperti tergambar sebagai berikut: a. Pengurangan kemiskinan melalui pemberdayaan, sebagai contoh gerakan keuangan mikro b. Penyediaan layanan kesehatan, mulai dari dukungan skala kecil untuk mereka yang sakit mental sampai pada skala komunitas c. Pendidikan dan pelatihan, seperti usaha melebarkan partisipasi dan demokratisasi transfer pengetahuan 14
d. Preservasi lingkungan dan kesinambungan pembangunan, seperti projek energi hijau e. Regenerasi komunitas, seperti asosiasi perumahan f. Projek kesejahteraan, seperti pembukaan lapangan kerja bagi pengangguran
atau
gelandangan
serta
proyek-proyek
penanganan alkohol dan obat terlarang g. Kampanye dan advokasi, seperti promosi perdagangan yang adil dan promosi hak asasi manusia Contoh gemilang tentang kerja wirausahawan sosial adalah bagaimana Muhamad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006, yang dengan sistem kredit mikro yang lebih dikenal sebagai “Grameen Bank”, telah membantu jutaan kaum miskin di Bangladesh, terutama perempuan dan anak-anak, untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik. Selain buah kerja brilian Muhammad Yunus, David Bornstein juga menceritakan puluhan kisah wirausahawan sosial lain, seperti Fabio Rosa (Brasil) yang menciptakan sistem listrik tenaga surya yang mampu menjangkau puluhan ribu orang miskin di pedesaan, Jeroo Billimoria
(India)
yang
bekerja
keras
membangun
jaringan
perlindungan anak-anak telantar, Veronika Khosa (Afrika Selatan) yang membangun model perawatan yang berbasis rumah (home-based care model) untuk para penderita AIDS yang telah mengubah kebijakan pemerintah tentang kesehatan di negara tersebut, dan banyak lagi tokoh yang buah tangannya telah terasa langsung manfaatnya oleh masyarakat. Contoh praktik kewirausahaan sosial di Indonesia adalah upaya yang dilakukan oleh Tri Mumpuni yang telah mendirikan PLTMH 15
(Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang bila memang diterapkan dan dijadikan suatu terobosan besar bagi bangsa ini untuk menciptakan
kemakmuran,
sangat
mungkin
bahkan
sangat
menjanjikan. Indonesia dengan keadaan geografis dan topografi yang memang sangat potensial untuk melakukan pembangunan PLTMH secara masif. Dengan adanya PLTMH, masyarakat tidak disibukkan dengan rumitnya maintenance untuk turbin, saluran, dan sebagainya yang lebih terkait teknis. Adapun manfaat yang luar biasa didapatkan oleh masyarakat adalah bahwa mereka tidak perlu bergantung lagi pada pemenuhan kebutuhan tenaga listrik dari PLN, juga terutama pendapatan ekonomi masyarakat dapat terangkat.
2. KEWIRAUSAHAAN SOSIAL DALAM MENGATASI MASALAH SOSIAL Mengingat banyaknya masalah sosial, sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan ekonomi dan keterbatasan kemampuan pemerintah mengatasi masalah sosial, merupakan tantangan yang sangat nyata bagi dunia akademi, praktisi dan rohaniwan untuk meningkatkan keterlibatan dalam mencari jalan keluar masalah sosial yang terjadi di sekitar kita. Demikian pun keadaannya dengan kewirausahaan, keberhasilan berwirausaha sosial tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan dapat diperoleh dengan berbagai cara, termasuk melalui perbuatan negatif. Tetapi esensinya adalah bagaimana memunculkan
16
mental berusaha dengan tujuan sebesar-besarnya untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi, karena kewirausahaan sejatinya adalah sebuah nilai (entrepreneurship value) yang perwujudannya harus didukung oleh semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit). Proses kewirausahaan sosial, secara umum tidak banyak berbeda dengan kewirausahaan biasa, namun demikian, terdapat beberapa perbedaan yang membuat proses ini menjadi khas dan unik. Berikut ini adalah penjelasannnya:
Diagram 2.1 Kerangka Kerja Proses Kewirausahaan Sosial Antecendent
Outcomes
Entrepreneurial Orintatation
• Motivasi sosial/misi • Indentifikasi Peluang • Akses permodalan/funding • Banyaknya kuantitas pihakpihak yang bersentuhan
Keinovasioan Keproaktivan Pengambilan resiko Potensi agresi dalam kompetisi • Otonomi • • • •
• Penciptaan nilai sosial • Kesinambungan solusi • Tingkat kepuasan pihak-pihak yang bersentuhan
Sumber: Lumpkin, dkk (2010:4)
Berdasarkan tabel dimuka tampak sebuah kerangka kerja dari kewirausahaan
sosial.
Salah
satu
pembeda
utama
dengan
kewirausahaan biasa (bisnis) adalah penyebab/penggeraknya. Pada diagram di muka, terlihat bahwa kewirausahaan sosial antara lain digerakkan oleh misi sosial, identifikasi peluang, adanya usaha ekstra 17
untuk memperjelas kemungkinan akses kapital dan pihak-pihak bersentuhan yang berpotensi saling mempengaruhi. Berikut ini adalah penjelasannya: 1. Motivasi sosial/misi Ini adalah pembeda utama, dimana pada umumnya, sebuah gerakan kewirausahaan dilakukan untuk hal-hal yang ditujukan pada diri sendiri, seperti upaya untuk mensejahterakan pribadi maupun aktualisasi diri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Lumpkin, dkk (2010:4) yang menyatakan bahwa pertama, dan mungkin sebagai hal yang paling signifikan, kewirausahaan komersial digerakkan oleh dorongan fokus pribadi
untuk
peningkatan
kesejahteraan
diri
atau
usaha
mempekerjakan diri sendiri, di mana kewirausahaan sosial cenderung untuk mulai dari fokus pihak lain atau aspirasi kolektif seperti peningakatan
kesejahteraan
bersama,
berbagi
bersama
atau
usaha
untuk
pengembangan masyarakat Selanjutnya,
perbedaan
terletak
pada
mengidentifikasi ‘masalah’ yang memiliki potensi untuk ‘diselesaikan’. Pada kewirausahaan biasa, identifikasi biasanya lebih ditujukan pada apa keinginan dari pasar, seperti produk yang bergensi, barang-barang yang memudahkan dalam menjalankan kehidupan dan lain sebagainya. Namun, dalam kewirausahaan sosial, identifikasi ‘sesuatu dalam masyarakat yang dapat ditindaklanjuti’ menjadi sesuatu yang penting. Artinya, inilah sesuatu yang unik, di mana suatu aktivitas dimulai tidak dari jumlah profit yang ingin dikejar, melainkan identifasi masalah yang dapat dipecahkan, ataupun potensi yang dapat dikembangkan. Austin (2006, dalam Lumpkin, 2010:5) menyatakan bahwa kebanyakan misi sosial berfokus pada masalah sosial dasar dan 18
bertahan lama serta berbagai kebutuhan umum seperti kemiskinan, kelaparan,
air
yang
tidak
bersih,
pengangguran,
transportasi,
pendidikan, hak asasi manusia dan lain-lain. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah kemampuannya untuk melihat ‘masalah’ sebagai ‘peluang’. Mereka melihat hal-hal yang menurut kebanyakan pihak harus dijauhi, dalam konteks berwirausaha sosial, hal tersebut justru dijadikan sebagai sesuatu yang mampu digerakkan, dioptimalkan dan didayagunakan untuk manfaat sosial yang besar. Ini seperti gerakan yang menantang arus umum, di mana biasanya sebuah kewirausahaan digerakkan oleh aspek-aspek seperti profitabilitas dan peningkatan perekenomian. Swedberg (2006:1) menyatakan: One of the most intersting advances in recent entrepreneurial thought is the idea that the notion of innovative or entrepreneurial behaviour, which was originally invented to deal exclusively with economic phenomena, is today also used to explain what happens in social or non-economic areas of society. Berdasarkan uraian di muka, semakin jelas bahwa penggerak utama kewirausahaan sosial, salah satunya adalah untuk mengatasi permasalahan sosial. 2. Identifikasi peluang Salah satu langkah yang krusial dalam kewirausahaan sosial adalah identifikasi peluang. Brook (2009, dalam Lumpkin, 2010:5) menyatakan bahwa agar sebuah kesempatan dapat diidentifikasi dalam sebuah konteks sosial, maka perlu ada dua hal yang diperhatikan: (a) Pemecahan masalah harus dianggap sebagai domain yang resmi/legal
19
untuk aktivitas kewirausahaan dan (b) Usaha yang ditujukan pada masalah dan penyakit sosial harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Artinya, bahwa usaha atau aktivitas kewirausahaan sosial tidak dapat dilakukan secara serampangan dan tanpa perencanaan yang baik. Adalah menjadi sebuah kebutuhan bersama, di mana identifkasi masalah yang bertujuan untuk manfaat sosial diselenggarakan dengan baik. 3. Akses permodalan/funding Akses permodalan adalah sebuah masalah klasik bagi konteks kegiatan atau keorganisasian, karena sangat sulit bagi sebuah aktivitas atau organisasi dapat menjalankan misinya tanpa didukung oleh kapital finansial. Oleh sebab itu, aspek ini dijadikan antesenden yang ketiga, di mana sebagaimana layaknya kewirausahaan bisnis, kewirausahaan sosial juga membutuhkan kapital finansial. Pada faktanya, dalam tiga dekade terakhir ini, sektor non profit telah semakin bergantung pada aktivitas komersial untuk membiayai operasi mereka, dan juga mereka semakin tergantung pada kontribusi yang bersifat caritas (Salamon, 2002 dalam Lumpkin 2010:6). 4. Pihak-pihak yang terkait (multiple stakeholders) Stakeholder adalah individu atau organisasi yang dapat dipengaruhi
atau
mempengaruhi
kemampuan
organisasi
dalam
mencapai tujuan-tujuannya (Freeman, 1984; Jones, 1995 dalam Lumpkin 2010). Ada perbedaan antara stakeholder kewirausahaan sosial dan kewirausahaan bisnis atau pada konteks komersial dan sosial. Pada konteks komersial, yang dapat dianggap sebagai stakeholder adalah pemasok, pelanggan produk atau jasa yang disediakan, karyawan, investor dan lain-lain. Pada kewirausahaan 20
sosial jumlah stakeholder meliputi seperti yang dimiliki pada kewirausahaan bisnis, ditambah beberapa pihak lain, yaitu anggota masyarakat yang terlibat, perangkat desa yang mendukung, kelompokkelompok yang menjadi sasaran program dan yang berpotensi menjadi stakeholder bagi aktivitas kewirausahaan sosial. Artinya, lingkaran stakeholder kewirausahaan sosial, jauh lebih luas dan bervariasi dibandingkan kewirausahaan bisnis.
3. CAPAIAN DARI KEWIRAUSAHAAN SOSIAL Berikut ini adalah beberapa capaian dari kewirausahaan sosial seperti digambarkan oleh diagram di muka: 1. Nilai sosial (social value) Nilai sosial dalam hal ini merupakan satu terminologi yang agak sukar untuk didefinisikan. Dewey (1939, dalam Lumpkin 2011:5) menyatakan bahwa secara umum penciptaan nilai sosial adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara umum. Istilah nilai sosial digunakan untuk membedakannya dengan istilah peningkatan nilai ekonomi (economic value creation), yang cenderung membatasi diri pada ukuran pendapatan finansial. 2. Usaha pemuasan beragam stakeholder Salah satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah bahwa aktivitas ini memiliki banyak stakeholder. Stakeholder-nya tidak hanya pelanggan, pemasok, karyawan namun jauh lebih luas dari itu. Gerakan kewirausahaan sosial dalam hal ini, juga memiliki anggota masyarakat, pengurus organisasi pedesaan/perkotaan, volunteer yang terlibat juga
21
sebagai stakeholder. Artinya, karena memiliki tujuan sosial yang lebih luas, maka sangat wajar jika kemudian gerakan ini memiliki jumlah stakeholder yang lebih banyak. Hal ini tentu menuntut konsentrasi dan perhatian penuh dalam upaya peningkatan kepuasan stakeholder tersebut. 3. Kesinambungan solusi Berdasarkan berbagai uraian di muka, tampak bahwa salah satu tantangan terbesar bagi kewirausahaan sosial adalah kesinambungan solusi. Wirausaha sosial (Prasojo dalam Bornstein, 2006) oleh Bill Drayton digambarkan sebagai manusia yang tidak hanya puas memberi ‘ikan’ bagi si miskin, atau puas mengajari mereka ‘cara memancing’, tetapi orang-orang yang terus berjuang, tanpa mengenal lelah, melakukan perubahan sistemik –tidak sekedar memberi ‘ikan’ atau ‘pancing’, tetapi mengubah sistem ‘industri perikanan’ untuk terciptanya keadilan dan kemakmuran lebih luas. Artinya bahwa, semangat
dari
kewirausahaan
sosial
adalah
solusi
yang
ada
dua
berkesinambungan. Lumpkin
(2011:7)
menyatakan
bahwa
argumen/penjelasan terkait pentingnya kesinambungan yang perlu diperhatikan, yaitu kesinambungan aktivitas dari perspektif sumber daya (Dees dan Anderson 2003) dan institualisasi dari solusi perubahan sosial
(Mair
kesinambungan
and
Marti,
berarti
2006).
tidak
hanya
Artinya,
berbicara
memberi
perhatian
tentang pada
keberlanjutan solusi, namun juga sumber dayanya. David McClellan (dalam
Borstein,
2006:18)
menyatakan
bahwa
mereka
lebih
menghargai pertimbangan jangka panjang di atas perolehan jangka pendek. 22
Terkait dengan praktik Pekerjaan Sosial dalam wujud pelayanan-pelayanan sosial yang dapat diberikan, sudah semakin dibutuhkan keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial dalam masyarakat baik dalam keadaan masyarakat saat ini ataupun untuk arah perkembangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa yang akan datang. Masyarakat membutuhkannya, namun tidak mengetahui kemana mencarinya. Saatnyalah para Pekerja Sosial menunjukkan jati dirinya dengan karya-karya nyata dalam bentuk-bentuk pelayanan sosial; tidak hanya untuk membantu pemecahan masalah, melainkan menata sistem sosial masyarakat itu sendiri agar kondusif untuk pengembangan diri warganya. Untuk mewujudkan hal tersebut, kewirausahaan sosial sebagai suatu metode bagi seorang Pekerja Sosial memiliki keunikan dalam hal penerapannya
guna
menyelesaikan
masalah
sosial,
yaitu:
kewirausahaan sosial menggabungkan Social Objectives, Demokrasi, Enterpreuneurship, dan Business yang keempat hal tersebut menjadi suatu roda siklus prosedur pelaksanaan social enterprise. Ketika ada suatu permasalahan sosial, objektifikasi dilakukan guna melakukan assessment terhadap masyarakat yang sedang dilanda masalah sosial. Demokrasi dilakukan ketika sampai pada tahap planning dan pretreatment, segala bentuk masukan dan gagasan-gagasan mutakhir untuk melakukan pemecahan terhadap masalah sosial digabungkan. Setelah itu ada enterpreuneurship, aspek ini digunakan lebih kepada tatanan mental para pengelola lembaga serta tahapan pemecahan masalah sosial hingga bagaimana aspek kewirausahaan terasimilasi ke dalam masyarakat yang memiliki masalah sosial tadi, dan ketika tidak ada lagi lembaga yang “menyuapi” dan membimbing 23
masyarakat yang memiliki masalah tadi, para wirausahawan sosial bisa menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian dilakukan empowerment. Terakhir, aspek business, aspek ini digunakan ketika dalam tatanan teknis prosedur pengelolaan lembaga, pengelolaan value
added
untuk
potensi-potensi
lingkungan
serta
proses
pembentukan mental disiplin pada lembaga yang dibentuk. Jika masalah sosial sudah dipandang sebagai komoditas, sehingga perlu ditumbuhkembangkan kata sebagian orang yang diuntungkan karenanya, maka Pekerja Sosial harus mengajarkan kepada semua orang bahwa upaya penanganan masalah sosial adalah juga komoditas yang harus ditumbuhkembangkan. Dengan globalisasi dunia dewasa ini, masalah sosial tidak hanya bersifat lokal, regional, dan nasional; melainkan berskala internasional. Lebih jauh lagi, sesungguhnya pemecahan masalah hanyalah bagian kecil dari praktik Pekerjaan Sosial karena tujuan sesungguhnya adalah pengembangan diri manusia (human investment). Dalam kewirausahaan sosial hal yang paling penting dilakukan adalah dalam hal pelaksanaan pengembangan diri dari masyarakat itu sendiri, yaitu sikap mental para pelaksana dan bagaimana caranya agar mental berusaha dan berjuang dapat embodied ke dalam objek sasaran program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Terlepas dari betapa peliknya penyelesaian masalah bangsa ini, mudah-mudahan kewirausahaan sosial dapat menjadi solusi alternatif yang dapat lebih bermanfaat bagi bangsa ini kelak.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bornstein, David, 2006, Mengubah Dunia; Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru, Jakarta : Kerjasama Yayasan Nurani Dunia dengan INSIST Press Boyer, Robert, “Menanam Kembali Ekonomi ke Dalam Proses Sosial”, Jakarta: KOMPAS, Jumat, 14 Juli 2006. Braun, Karen, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2. British
Council, Skills www.britishcouncil.or.id
for
Social
Entrepreneurs,
C. Korten, David, 1982, Pembangunan Berpusat pada Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. John Elkington & Pamela Hartigan, The Power of Unreasonable People: How Social Entrepreneurs Create Markets That Change the World Chapter 1: Creating Successful Business Models. USA: Harvard business school press. Karen Braun, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2. Kirdt – Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, 1993, Understanding generalist Practice, Nelson-Hall Publishers: Chicago, USA. Matin, Roger L. & Sally Osberg, 2007, Social Entrepreneurship: The Case for Definition, Leland Stanford Jr. University Pincus, Allan dan Anne Minahan, 1973, Sosial Work Pratice: Model and Methode, Illinois – USA : FE Peacock Phubliser Inc. Suradi, 2001, “Model Generalis dalam Praktek Pekerjaan Sosial: Intervensi Sosial Berpusat pada Masalah”, Informasi Kajian
25
Permasalahan dan Usaha Kesejahteraan Keluarga, Vol 6 Nomor 2, Puslitbang Kesejahteraan Keluarga, Jakarta. V. Winarto, 2008, Membangun Kewirausahaan Sosial: Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem secara Kreatif, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
26
TOPIK 2 KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Kesejahteraan Sosial, Sumbersumber Kesejahteraan Sosial, fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial KEGIATAN BELAJAR 2: Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial KEGIATAN BELAJAR 3: Praktik Pekerjaan Sosial Generalis
27
KEGIATAN BELAJAR 1 Konsep
merupakan
satu
atau
sekumpulan
kata
yang
mengandung satu gagasan. Beberapa konsep dasar akan dikemukakan dalam bagian ini mengingat pengertian konsep-konsep tersebut dalam lingkup bidang kesejahteraan sosial di Indonesia masih sangat beragam tergantung sudut pandang yang merumuskannya.
1. KESEJAHTERAAN SOSIAL Dengan menggunakan pengertian dasar dari konsep ‘sosial’ yang merupakan kata kunci dari konsep kesejahteraan sosial, yaitu ‘hubungan antar manusia’, maka konsep Kesejahteraan Sosial dapat dipandang dari empat sisi, sebagai berikut: 1) Sebagai Suatu ‘Sistem Pelayanan Sosial’. Elizabeth
Wickenden
(dalam
Friedlander,
1974:4)
mendefinisikan Kesejahteraan Sosial, sebagai :” a system of laws, programs, benefits, and services which strengthen or assure provision for meeting social needs recognized as basic for the welfare of the population and for the functioning of the social order”. (suatu
sistem
perundang-undangan,
kebijakan,
program,
pelayanan, dan bantuan; untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara lebih baik)”. Dari definisi tersebut dapat difahami tiga hal, sebagai berikut: 28
a. Konsep pelayanan sosial (bidang praktik Pekerjaan Sosial) mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundangundangan
sosial
sampai
kepada
tindakan
langsung
Sosial’
berbeda
dengan
kebutuhan
sosial
pemberian bantuan. b. Konsep
‘Kesejahteraan
‘kesejahteraan’.
Terpenuhinya
(kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar bagi terciptanya ‘kesejahteraan’ (sebagai keadaan yang baik dalam semua aspek kehidupan manusia). c. Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik. Walter A. Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah: “Sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat
memungkinkan
kemampuan
mereka
mereka
mengembangkan
secara penuh,
serta untuk
kemampuanmempertinggi
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.” (Walter A. Friedlander, Introduction to Social Walfare, 2nd.ed., Prentice-Hall of India (private) Limited, New Delhi, 1967) Bahkan
karena
begitu
pentingnya
upaya
mewujudkan
kesejahteraan sosial, maka negara kitapun memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-undang nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahtearan Sosial yang memaparkan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata 29
kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin,
yang memungkinkan
bagi
setiap
warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan falsafah negara kita, yaitu Pancasila. Berdasar pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut di atas, maka tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya sejahtera, dan bahkan salah satu tujuan penyelenggaraan negarapun adalah ingin menyejahterakan rakyatnya. Dengan
melihat
kondisi
tersebut,
maka
upaya
untuk
mewujudkan kesejahteraan sosialpun sejatinya dilakukan oleh semua pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Gerakan
membangun
dan
memberdayakan
masyarakat
memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal dan global. Istilah pembangunan kesejahteraan sosial yang dimaksud secara sektoral merupakan bagian dari konsep pembangunan sosial yang di Indonesia mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dalam arti luas. Pembangunan
kesejahteraan
sosial
didefinisikan
sebagai
pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan modal ekonomi (economic capital), manusia (human capital), kemasyarakatan (societal capital), 30
dan
perlindungan
berkesinambungan.
(security Kata
capital)
kunci
secara
peningkatan
terintegrasi modal
dan
ekonomi
masyarakat adalah tumbuhnya mata pencaharian (livelihood) yang memungkinkan mereka mampu memperoleh dan mengelola aset-aset finansial dan material. Dengan demikian, pada gilirannya, mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar kemanusiaan yang layak dan berkelanjutan.
2) Sebagai Suatu Disiplin Keilmuan. Sebagai suatu disiplin keilmuan, kesejahteraan sosial tidak dapat (dan tidak mungkin) mengkaji semua aspek kehidupan manusia, melainkan harus menentukan dan membatasi kajian (focus of interest) pada (hanya) satu aspek kehidupan manusia. Sebutan konsep ‘sosial’ dengan sendirinya telah membatasi sisi kajian ‘Ilmu Kesejahteraan Sosial’ hanya terhadap aspek kehidupan sosial manusia dengan segala perangkat sistem sosial dan dinamikanya. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan betapa mendasar dan rumitnya masalah-masalah sosial di Indonesia dan betapa tidak mungkinnya masalah-masalah tersebut ditanggulangi dengan sekedar berbekal ’niat-baik’ di antara sesama warga masyarakat. Untuk mengoperasionalkan ’niat-baik’ tersebut dibutuhkan suatu bidang kajian keilmuan (ilmiah) yang akan mendasari suatu bidang keahlian dalam praktiknya. Dari sudut ini, maka konsep kesejahteraan sosial dipandang sebagai sebuah bidang kajian keilmuan yang ditujukan untuk mengkaji, mengantisipasi keadaan dan perubahan kehidupan sosial, serta merumuskan alternatif tindakan guna menciptakan situasi
31
kehidupan sosial yang kondusif bagi upaya warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri. Sebagai sebuah cabang disiplin keilmuan, maka kesejahteraan sosial harus memiliki satu sudut kajian ---yang merupakan ’domain’ (wilayah) keilmuannya--- terhadap manusia sebagai objek kajiannya; dalam perbandingan dengan cabang-cabang ilmu yang juga mengkaji dan ’melayani’ manusia seperti psikologi, kedokteran, ekonomi, hukum. Adapun sudut kajian yang membedakan bidang kesejahteraan sosial dari bidang-bidang keilmuan lainnya terletak pada konsep ”sosial”, yang pengertian dasarnya adalah hubungan (interaksi) antarmanusia.
3) Sebagai Suatu Keadaan Hidup. Pengertian konsep kesejahteraan sosial yang telah digunakan selama ini telah menjadikan batasan konsep tersebut menjadi rancu dan kabur (out of focus) karena diartikan terlalu luas. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendefinisikan kesejahteraan sosial, sebagai berikut: ”Kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan yang sejahtera, baik secara fisik, mental, maupun sosial; dan tidak hanya perbaikan-perbaikan dari penyakit-penyakit sosial tertentu saja”. Apabila dikaji, definisi tersebut di atas memiliki dua kelemahan, yaitu: a. Definisi konsep lebih luas daripada konsep yang didefinisikan. Aspek sosial hanyalah salah satu bidang kehidupan manusia, tetapi didefinisikan mencakup seluruh aspek kehidupan. b. Karena tidak fokus, maka menimbulkan kesulitan/ kerancuan pemahaman tentang kesejahteraan sosial beserta perangkat 32
keahlian dan pendidikannya, seperti Pekerjaan Sosial, Pekerja Sosial, pelayanan sosial, dan seterusnya. Jika diajukan pertanyaan kepada orang sekarang, bagaimana menggambarkan kesejahteraan sosial; rasanya banyak yang akan menjawab dengan gambaran ’orang kaya’. Kesejahteraan (sosial) dengan kemakmuran merupakan dua konsep yang sangat berbeda. Jika keduanya dipandang sebagai kondisi kehidupan, misalnya; lalu diajukan pertanyaan, menurut dokter (ilmu kedokteran), orang yang sejahtera itu yang bagaimana? Jawabannya sering tersirat dalam tulisan di meja resepsionis praktik dokter: ”Health is not everything, but without it, everything is nothing”. Ada lagi peribahasa jaman dulu “men zana in corpore sano” (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Tidak pelak lagi, bagi dokter, orang yang sejahtera adalah orang yang sehat badannya (walaupun untuk jaman sekarang, sangat tidak pasti sehat pula jiwanya). Jika pertanyaan serupa diajukan kepada ahli ekonomi, maka jawabannya, orang yang sejahtera adalah yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, memiliki tabungan (saving), dan mungkin ditambah, memiliki utang (karena hanya yang memiliki jaminanlah yang bisa berutang), makin besar utangnya makin sejahtera (seharusnya makin
besar
zakatnya,
makin
sejahtera);
dalam
konteks
ini
kesejahteraan dipertukargunakan dengan kemakmuran. Jika ditanyakan pertanyaan yang sama kepada psikolog, maka jawabannya, orang sejahtera itu adalah orang yang tidak mengalami gangguan mental (jiwa). Nah, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Pekerja Sosial, apa jawabannya? Kata kunci dalam kesejahteraan sosial dan Pekerjaan 33
Sosial adalah “sosial”. Secara mendasar dan sederhana, kata sosial berarti hubungan antarmanusia. Inilah fokus kajian dan penanganan Pekerjaan Sosial, sebagai bidang keahlian primer dalam bidang kesejahteraan sosial. Bagaimanapun sebuah ilmu, sebuah keahlian harus memiliki fokus pada salah satu aspek tentang manusia; walaupun dalam kenyataannya, manusia merupakan sebuah sistem yang sangat sempurna yang tidak bisa dipilah-pilah, dipisah-pisah elemen-elemen yang menjadikannya. Skidmore and Thackeray (1988:21) sepakat dengan pandangan tersebut: ”All profession take cognizance of the wholeness of individuals. However, because life is complex and science is specialized, each profession must confine itself to some aspect of human functioning as a focus of its efforts and activities”. Maka bagi para Pekerja Sosial, tidak bisa tidak, manusia yang sejahtera adalah manusia yang mempunyai kemampuan menjalin interaksi yang baik dengan sesamanya; artinya kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia terletak pada kualitas hubungannya dengan manusia-manusia lain; bukan dilihat dari kekayaan, kesehatan, dan keadaan lain. Inilah esensi dari kehidupan sosial yang terkandung dalam konsep silaturahmi. Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa
yang
ingin
untuk
dilapangkan
rejekinya
dan
dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia suka bersilaturahmi” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dalam Ryadhus Shalihin, 1981:181) artinya memutuskan silaturahmi akan menyulitkan dan mempersedikit rejeki dan memendekkan umur. Di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, dalam nilai sosio-kultural yang bersumber pada ajaran agama 34
inilah praktik pemberian bantuan mulai tumbuh (dengan ajaran zakat dan shodaqoh). Ini pula yang kemudian menjadikan pengertian kata sosial cenderung berarti shodaqoh, atau dalam istilah umum, derma. Seorang yang berjiwa sosial artinya dermawan, suka bagi-bagi rejeki. Maka dalam konteks masyarakat yang semakin lebih suka menerima daripada memberi, mengambil daripada menyerahkan, dan ukuran kesejahteraan adalah pemilikan harta; kata sosial menjadi semakin tidak populer, menjadi bahkan menyebalkan, karena berarti ’tidak kaya’. Diterapkan sebagai karakteristik sebutan sebuah profesi, menyebabkan profesi berlabel kata sosial susah populer. Cape-cape, jauh-jauh, mahal-mahal sekolah sampai ke perguruan tinggi, ujungnya kok cuma jadi tukang derma? Kapan kayanya? Mengacu kepada pengertian konsep sosial seperti telah dikemukakan terdahulu, maka kesejahteraan sosial mengacu kepada “keadaan antar hubungan manusia yang baik, artinya yang kondusif bagi manusia untuk melakukan upaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan beberapa hal, sebagai berikut : a. Konsep ‘baik’ dalam antarhubungan manusia diukur dari standar nilai-nilai sosial (social values) dan norma-norma (norms) yang melandasi tatanan kehidupan bermasyarakat dan perilaku warga masyarakat itu sendiri. b. Konsep manusia, ditujukan baik kepada individu-individu, maupun unit-unit sosial (kelompok, organisasi, maupun masyarakat itu sendiri). c. Bersifat kondusif, artinya bahwa hubungan sosial tersebut berwujud dalam tatanan atau ketertiban sosial (social order) 35
yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga masyarakat untuk berusaha mencapai kesejahteraan hidupnya. d. Memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, artinya setiap warga masyarakat dimungkinkan untuk melakukan upaya dengan kemampuannya sendiri untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri, tanpa ketergantungan kepada pemberian dari manusia lain; jadi bukan berarti setiap warga masyarakat hidup sendiri-sendiri, melainkan hidup dalam keadaan saling membantu (saling mendukung) upaya warga masyarakatnya sesuai dengan posisi dan peran masing-masing di dalam masyarakat.
4) Sebagai Suatu Tatanan atau Ketertiban Sosial (Social Order). Selaras dengan definisi Kesejahteraan Sosial pada point c) terdahulu sebagai suatu tatanan atau ketertiban sosial, Kesejahteraan Sosial didefinisikan dalam Undang Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pasal 1 ayat 1, sebagai berikut : “‘Kesejahteraan Sosial’ ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil, maupun spirituil, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”. Beberapa hal dapat disimpulkan dari definisi tersebut, antara lain: 36
a. Kesejahteraan
Sosial
dipandang
sebagai
suatu
tatanan
masyarakat. b. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga negara untuk melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka. c. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung di
antara
setiap
individu
warga
masyarakat
dengan
masyarakatnya. d. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar sosial budaya masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat Indonesia, dirumuskan dalam sila-sila Pancasila). Dengan demikian, fokus kajian Kesejahteraan Sosial sebagai suatu disiplin ilmu adalah komponen sosial dari kehidupan manusia (interaksi sosial). Karena itu, dilihat dari perspektif tersebut, maka dalam tingkat makro, hubungan antarmanusia ini berwujud dalam hubungan antargolongan atau antarkelompok, atau antarmasyarakat itu sendiri. Wujud konsep Kesejahteraan Sosial adalah pengadaan dan penataan berbagai kebijakan sosial, perencanaan sosial, programprogram, dan penyelenggaraan berbagai pelayanan sosial; dalam rangka penataan masyarakat itu sendiri yang bersifat saling mendukung dengan upaya warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya.
2. SUMBER-SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL Kehidupan masnusia memiliki beragam kebutuhan yang mesti dipenuhi agar mereka dapat hidup fungsional, kehidupan yang 37
memuaskan. Kebutuhan-kebutuhan itu terdiri dari tempat tinggal, perawatan kesehatan, keamanan, kesempatan untuk tumbuh kembang secara emosional dan intelektual, hubungan dengan lainnya, dan pemenuhan kebutuhan spiritual. Biasanya, beberapa kebutuhan tersebut bisa dipenuhi melalui sumber-sumber personal, atau dalam keluarga dan jaringan pertemanan. Tetapi ketika sumber-sumber tersebut tidak sesuai (tidak diperoleh), kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi melalui mekanisme kemasyarakatan. Sistem kesejahteraan sosial adalah mekanisme pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kurangnya dan atau bahkan tidak adannya sumber-sumber keuangan untuk menyediakan kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan kemiskinan. Pada tulisan ini akan melihat sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan yang tidak diarahkan lengsung kepada penyediaan keuangan yang menjadi sumber individu-individu dan keluarga agar mereka memfungsikan anggota masyarakat. Hal tersebut akan berkaitan dengan dengan dua konsep, social support dan prevention. Pada tulisan ini juga akan mengungkapkan cara mengklasfikasi sumber-sumber tersebut secara berbeda melalui fungsi dan kerangka kehidupan. Hal ini akan berkaitan dengan kondisi dan sikap yang mempengaruhi ketersediaan dan yang menghambat pemanfaatan sumbersumber dan pelayanan bagi mereka yang membutuhkan. Isyu daya jangkau (accessibility) dan daya terima (acceptability) serta daya pakai (usability) oleh kelompok-kelompok dengan berbagai karakteristik yang berbeda juga akan dibicarakan.
38
1) Kebutuhan sumber-sumber Dalam masyarakat kontemporer mekanismen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Personal: diri sendiri, keluarga, teman, kolega kerja b. Informal: penolong alami dalam masyarakat, kelampok kemandirian (self-help groups), kelompok masyarakat arus bawah (community grass-root groups), klub, dan kelompok lainnya yang berfungsi secara informal c. Institusional: sekolah, rumah sakit, dan organisasi formal lainnya. d. Kemasyarakatan: pelayanan, badan-badan, dan lembagalemabaga yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat tertentu Umumnya, orang pertama kali berupaya memenuhi kebutuhannya dalam sistem sumber personal dan, jika hal tersebut tidak memungkinkan, bergerak ke sistem sumber informal, institusional, dan akhirnya sistem sumber kemasyarakatan (society). Sebagai contoh, jika seorang ayah mencari informasi mengenai bagaimana mengatasi disiplin anaknya, dia pertama-tama mungkin akan membicarakan permasalahan tersebut dengan anggota keluarga atau teman. Jika tidak memperoleh solusi atas masalah, dia mungkin akan mencari pada suatu sumber informasi seperti halnya suatu kelompok orang tua yang sama-sama memikirkan hal tersebut. Jika hal tersebut tidak mungkin atau tidak juga memperoleh solusi, dia mungkin kemudian membicarakan hal tersebut dengan seorang guru atau ahli agama. Akhirnya, setelah semua upaya tersebut gagal, dia mungkin akan mencari badan sosial yang menyediakan pelayanan konseling bagi orangtua. 39
Perubahan sosial menggerakkan masyarakat kita dari ekonomi subsisten pada suatu ketergantungan yang sangat tinggi pada uang untuk membeli makanan, tempat tinggal, pakainan, dan keperluan lainnya. Perubahan dalam hal bagaimana orang memenuhi kebutuhannya untuk kepentingan sosialisasi, intelektual, dan pertumbuhan emosional, dan juga untuk kepentingan kepuasan hubungan, dari ketergantungan terhadap diri dan keluarga (kebersamaan) terhadap ketergantungan pada jaringan sosial yang lebih luas dan pada provisi kemasyarakatan. Misalkan, satu keluarga memiliki tanggung jawab yang besar akan sosialisasi dan pendidikan anak-anak mereka; sekarang mereka tergantung tidak hanya pada provisi pendidikan umum kemasyarakatan tetapi juga pada beberapa sumber masyarakat informal dan formal untuk melakukan fungsi tersebut. Studi antropologi mengungkapkan bagaimana individu-individu tergantung pada keluarga dan dengan perkumpulan untuk memperoleh bantuan, dukungan dan sumber-sumber lain. Studi tersebut juga memperlihatkan bagaimana perubahan tersebut akan mengganggu pola-pola ketahanan dan kelemahan kapasitas penyesuian diri individu. Dengan perubahan-perubahan tersebut memunculkan kebutuhankebutuhan atau pelayanan-pelayanan untuk membantu orang menghadapi masalah keberfungsian sosial. Resources adalah apa yang individuindividu dan keluarga-keluarga butuhkan sehingga mereka mampu melakukan peran dan tugas dibebankan terhadapnya oleh masyarakat dan dapat mencapai kepuasan hidup secara layak. Services adalah sumbersumber yang menuntut aktivitas yang dilakukan seseorang dalam sistem kesejahteraan sosial. Salah satu faktor meningkatnya kebutuhan akan pelayanan tersebut adalah mobilitas penduduk dan runtuhnya jaringan sumber40
sumber personal. Contoh, sebuah keluarga dengan dua orang anak yang pindah sejauh seribu mil ke kota besar, di mana orang hanya mengenal kolega-kolega kerjanya suami dan istri, tidak ada diantara mereka yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Salah seorang anaknya mulai sakit parah dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Keluarga tidak hanya dihadapkan dengan masalah anak sakit tetapi juga kebutuhan akan perawatan tambahan anak lainnya. Keluarga tersebut mungkin belum mengembangkan jaringan pertemanan (persahabatan) personal melalui tetangga, klub, atau perkumpulan agama kepada siapa mereka dapat membutuhkan dukungan bantuan. Kedua orang tua tersebut telah mengalami tekanan emosional dalam penyesuaian dengan pekerjaan dan kehidupan barunya. Keluarga ini membutuhkan bantuan dari suatu badan sosial dalam menghadapai situasi tersebut, karena mereka mengalami ketidaksesuaian jaringan personal dan minim akan kontak dengan dengan sumber-sumber informal dan sumber-sumber lainnya. Karena sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan yang sesuai tidak tersedia untuk keluarga tersebut, hal tersebut membahayakan keberfungsian sosial mereka yang akan timbul. Hal tersebut mungkin berbentuk ketidaksesuaian peran orang tua, disfungsi perkawinan, atau ketidakmampuan untuk berfungsi di tempat kerja, makin menyurut. Penurunan keberfungsian kemudian dapat mengarah pada kebutuhan akan sumber-sumber yang mahal, seperti halnya biaya pemeliharaan, konseling psikologi, atau pelayanan-pelayanan berjangka panjang. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan kemerosotan lebih jauh lagi baik keberfungsian individu dan keluarga.
41
2) Rentang Sumber Suatu rentang pelayanan dan sumber yang banyak adalah dibutuhkan bagi seseorang atau keluarga untuk memperoleh level keberfungsian sosial yang optimal dalam masyarakat Indonesia. Perubahan kebutuhan-kebutuhan khusus dari waktu ke waktu dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada luasnya rentang lingkupannya. Rentang kebutuhan terdiri dari: a. Economic: Wilayah kebutuhan ini termasuk pelatihan kerja, konseling karier dan pencarian pekerjaan, konseling masalahmasalah yang berkaitan dengan pekerjaan, pelatihan dalam mengelola keuangan dan perencanaan pensiun, serta informasi mengenai di mana dan bagaimana memperoleh bantuan keuangan. Dengan kata lain, dalam wilayah ini mencakup pelayanan-pelayanan dan sumber-sumber tersebut yang juga memungkinkan individu mampu secara ekonomi memenuhi kebutuhannnya sendiri atau memberdayakan mereka untuk menemukan
dan
memanfaatkan
cara-cara
alternatif
memperoleh kebutuhan ekonomi. b. Parenting: Wilayah ini terdiri dari konseling orang tua – anak; pelayanan dukungan bagi orang tua anak-anak dengan kebutuhan khusus atau bagi orang tua yang tidak mampu untuk melakukan peran orang tua secara mandiri; pelayanan pendidikan difokuskan pada peran orang tua; dan perawatan pengganti anak (day care atau foster care) bagi anak-anak yang membutuhkan secara paruh waktu atau penuh waktu di luar seting perawatan keluarga. Dengan kata lain, wilayah ini mencakup semua pelayanan tersebut yang membantu orang 42
memenuhi kebutuhan tanggung jawab keorang-tuaan atau yang menyedian alternatif perawatan anak. c. Marital Relationship. Wilayah ini terdiri dari konseling pranikah, konseling pernikahan, dan pelayanan bagi pasangan yang akan bercerai. Pelayanan-pelayanan dalam wilayah ini termasuk semua hal yang ditujukan untuk memperkuat hubungan pernikahan atau hubungan orang mengatasi akibat negatif dari putusnya hubungan perkawinan. d. Interpersonal and community relationship: Wilayah ini terdiri dari sumber-sumber yang memungkinkan orang berpartisipasi secara bermakna di dalam kegiatan kelompok; pelayananpelayanan untuk membantu para pendatang baru menjadi bagian bersama dengan masyarakat; aktivitas-aktivitas yang menyediakan peluang atau kesempatan dalam kegiatan religius, budaya, politik, dan kependidikan; serta aktivitasaktivitas sosial bagi anak-anak dan remaja. Hal tadi pelayananpelayanan yang menyedikan pendidikan dan pengalaman dalam bekerja bersama satu sama lain, dalam suatu aktivitas yang memuaskan secara personal dan juga meningkatkan keberfungsian lingkungan. e. Physically and mentally disabled persons: Wilayah ini terdiri dari
pelayanan-pelayanan
pendukung,
sarana
latihan,
transportasi, rumah khusus, dan pelayanan perawatan dan kesehatan khusus. Hal tersebut merupakan pelayananpelayanan yang memungkinkan orang cacat (tuna daksa) memperoleh kepuasan hidup serta turut berperan serta sebanyak mungkin dalam aktivitas kehidupan. 43
f. Schools, hopitals, and institutions: Pelayanan-pelayanan sosial dalam institusi tersebut memungkinkan individu-individu memanfaatkan secara maksimal lembaga, fasilitasnya, dan personilnya. Pelayanan-pelayanan tersebut termasuk pelayanan konseling dalam sekolah dan pekerja sosial sekolah dalam seting medis. Hal tadi merupakan pelayanan-pelayanan pendukung terhadap pelayanan utama lembaga dimana mereka masuki. g. Community organization: Hal tersebut merupakan pelayananpelayanan tidak langsung terhadap badan-badan, seperti halnya penggalangan
dana,
mengkoordinasikan
keberadaan
pelayanan, memodifikasi pelayanan-pelayanan yang tidak merespon secara efektif terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menjadi
tanggung
jawabnya,
serta
mengembangkan
pelayanan-pelayanan baru jika diperlukan. h. Other services: Hal ini terdiri dari pelayanan-pelayanan infromasi dan rujukan yang menghubungkan orang dengan beragam sumber yang lebih luas, pelayanan-pelayanan dukunga, pelayanan-pelayanan pemecahan-masalah untuk menghadapi masalah pribadi dan lingkungan, pelayananpelayanan krisis (segera), dan konseling serta terapi bagi orang yang mengalami kesulitan keberfungsian sosial. Pelayananpelayanan tersebut bertujuan pada kebutuhan pencegahan terhadap pelayanan-pelayanan yang lebih mahal legi, seperti pemeliharaan keuangan, institusionaliasasi, atau intervensi terapis jangka panjang.
44
3. FUNGSI-FUNGSI KESEJAHTERAAN SOSIAL; Sesungguhnya dalam definisi terakhir yang memancang kesejahteraan sosial sebagai sebuah bidang kajian keilmuan, telah terungkapkan fungsi-fungsi utamanya, yaitu : a. Mengkaji keadaan sosial masyarakat b. Mengantisipasi perubahan sosial masyarakat, dengan prediksi terhadap chain-effectnya c. Mengendalikan (mendorong atau menahan) perubahan sosial pada masyarakat Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, maka bidang kesejahteraan sosial mempunyai tugas-tugas untuk : a. Pengembangan ilmunya sendiri b. Perumusan kebijakan-kebijakan sosial c. Pengembangan pelayanan-pelayanan sosial Sebagai profesi pemberian bantuan, maka makna Pekerjaan Sosial untuk melakukan kegiatan bantuan sosial bukanlah Pekerjaan Sosial sebagai kegiatan amal, melainkan menunjuk pada sebuah disiplin dan pendekatan profesional. Pekerjaan Sosial diartikulasikan sebagai profesi atau keahlian di bidang pertolongan kemanusiaan yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang melalui pendidikan formal dan pengalaman praktik aktual. Sebagaimana peran dokter dalam sistem pelayanan kesehatan, guru dalam sistem pelayanan pendidikan, maka Pekerja Sosial memiliki peran sentral dalam sistem pelayanan sosial. Sebagai sebuah profesi kemanusiaan, Pekerja Sosial memiliki seperangkat ilmu pengetahuan (body of knowledge), keterampilan (body of skills), dan nilai (body of 45
values) yang diperolehnya melalui pendidikan formal dan pengalaman profesional.
Ketiga perangkat
tersebut
membentuk
pendekatan
Pekerjaan Sosial dalam membantu kliennya. Dalam garis besar, ada empat peran profesi Pekerjaan Sosial dalam hal ini, yaitu: 1. Meningkatkan kapasitas orang dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Dalam menjalankan peran ini, Pekerja Sosial
mengidentifikasi
hambatan-hambatan
klien
dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pekerja Sosial juga menggali kekuatan-kekuatan yang ada pada diri klien guna mengembangkan solusi dan rencana pertolongan. 2. Menggali
dan
menghubungkan
sumber-sumber
yang
tersedia di sekitar klien. Beberapa tugas Pekerja Sosial yang terkait dengan peran ini antara lain: (a). Membantu klien menjangkau
sumber-sumber
yang
diperlukannya;
(b).
Mengembangkan program pelayanan sosial yang mempu memberikan manfaat optimal bagi klien; (c). Meningkatkan komunikasi diantara para petugas kemanusiaan; dan (d). Mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pelayanan sosial bagi klien
3. Meningkatkan jaringan pelayanan sosial. Tujuan utama dari peran ini adalah untuk menjamin bahwa sistem kesejahteraan sosial berjalan secara manusiawi, sensitif terhadap kebutuhan warga setempat dan efektif dalam memberikan pelayanan sosial terhadap masyarakat.
46
4. Mengoptimalkan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial. Dalam menjalankan peran ini, Pekerja Sosial mengidentifikasi isu-isu sosial dan implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian, Pekerja Sosial membuat naskah kebijakan
(policy
paper)
yang
memuat
rekomendasi-
rekomendasi bagi pengembangan kebijakan-kebijakan baru maupun perbaikan atau pergantian kebijakan-kebijakan lama yang tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam melaksanakan peran ini, Pekerja Sosial juga dapat menterjemahkan kebijakankebijakan publik ke dalam program dan pelayanan sosial yang dibutuhkan klien (Brenda DuBois dan Karla Krogsrud Miley, Social Work: An Empowering Profession, Boston : Pearson, 2005)
47
KEGIATAN BELAJAR 2 PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DAN PEKERJA SOSIAL Seperti bidang kehidupan lain, semuanya ada ahlinya sendirisendiri, misalnya kesehatan dengan dokter; teknologi dengan insinyur; ekonomi dengan ekonom, psikologi dengan psikolog dan Psikiater; maka bidang kesejahteraan sosial dengan Pekerjaan Sosial sebagai profesi yang memiliki kewenangan keahliannya; dan Pekerja Sosial sebagai Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi dikembangkan sebagai komponen praktis dari Kesejahteraan Sosial, yang menerapkan hasilhasil kajian Kesejahteraan Sosial tentang kehidupan sosial manusia. Secara sederhana, Pekerjaan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu “Bidang keahlian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui proses interaksi; agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan”. “The major focus is on reducing problems in human relationships and on enriching living through improved human interaction” (Skidmore and Thackeray, 1988:8). Dari definisi tersebut, dapat ditarik makna sebagai berikut: a. Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sebuah bidang keahlian (profesi), yang berarti memiliki landasan keilmuan dan seni dalam praktik (dicirikan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi). Dengan demikian, Pekerjaan Sosial dalam konteks ini 48
harus
dibedakan
dengan
‘kegiatan
sosial’
(charity/philanthrophy) yang dapat dilaksanakan oleh siapapun yang memiliki keinginan untuk berbuat baik kepada sesamanya. b. Para penyandang profesi Pekerjaan Sosial memilki kewenangan sebagai akibat sosial dari pendidikan keahliannya, untuk menyelenggaraan pelayanan sosial dalam semua bentuk dan tingkatnya. c. Keahlian khusus dalam profesi Pekerjaan Sosial adalah manipulasi perilaku manusia (secara individual maupun dalam unit sosial), yang ditujukan untuk meningkatkan keberfungsian sosial manusia sebagai makhluk sosial. Satu hal perlu digarisbawahi bahwa bidang garapan praktik Pekerjaan Sosial adalah aspek sosial dari kehidupan manusia. Sebagai konsekuensi logisnya, Pekerjaan Sosial menjadi sebuah profesi yang syarat nilai, karena kata sosial dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai (values) yang pasti ada dalam pergaulan antarmanusia. Pekerja Sosial, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “orang
yang
memiliki
kewenangan
keahlian
dalam
menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial”. Dengan melihat beberapa makna definisi Pekerjaan Sosial, maka dapat diketahui pula bahwa kekhasan keahlian Pekerja Sosial adalah pemahaman dan keterampilan dalam memanipulasikan perilaku manusia sebagai makhluk sosial. Kata manipulasi, dalam penggunaan umum pada masyarakat Indonesia telah diberi konotasi yang negatif karena memang biasa digunakan untuk menunjuk kepada perbuatan negatif, seperti manipulasi uang (korupsi), manipulasi sembako (penimbunan). 49
Sesungguhnya kata manipulasi berarti ‘menggunakan sesuatu sesuai dengan kehendak pelaku (manipulator)’. Dalam konteks praktik Pekerjaan Sosial, maka manipulasi tingkah laku manusia, berarti mengubah perilaku manusia dalam kerangka tujuan praktik Pekerjaan Sosial itu sendiri yaitu membantu orang untuk meningkatkan keberfungsian sosialnya. Kembali ke persoalan Pekerja Sosial sebagai profesi. Banyak faktor yang menyebabkan orang belum mau menjadikan Pekerja Sosial sebagai profesinya. Pertama, soal bonafiditas. Sebagian besar masih menempatkan pekerjaan lain, misalnya Engineer, Banker, atau bahkan Guru, jauh lebih bergengsi tinimbang menjadi Pekerja Sosial. Kedua, alasan benefit. Salary yang didapat sebagai Pekerja Sosial tidaklah besar, itu pun tergantung seberapa besar lembaga sosial tersebut. Alasan ketiga, dan ini yang paling banyak mempengaruhi adalah soal masa depan. Masa depan para Pekerja Sosial dianggap tidak jelas, sangat tergantung dengan kontinuitas lembaga itu sendiri. Berakhirnya lembaga itu, berakhir pula masa depannya. Cobalah telisik, benarkah mereka yang bekerja sebagai Pekerja Sosial itu orang-orang yang kalah bersaing dan tidak mendapatkan tempat dalam pekerjaan lain? Ada anggapan seperti ini yang beredar di masyarakat. Sesungguhnya tidak demikian, Pekerjaan Sosial adalah sebuah profesi pilihan, seperti halnya orang lain memilih untuk menjadi banker, engineer, dokter, arsitek, pengusaha dan lain sebagainya. Selalu ada alasan bagi setiap individu untuk menentukan di mana dan sebagai apa ia berkarir, begitu pula ketika seseorang memilih Pekerja Sosial sebagai profesinya. Cobalah datangi langsung lembaga-lembaga tersebut, orang-orang di dalamnya bukan sekadar lulusan SMA, 50
melainkan jebolan S1, S2 dan S3 dari perguruan tinggi terkenal dalam dan luar negeri, dan kini menghuni lembaga sosial, sama halnya dengan mereka yang bekerja di perusahaan besar dan menjalani profesi lainnya. Padahal, ada nilai kemuliaan yang diusung oleh orang-orang yang terjun langsung di lembaga sosial. Bahwa ada sebagian orang yang tidak berorientasi nilai salary (upah) ketika ia mantap memilih profesinya. Ketika kebutuhan untuk mengaplikasikan diri jauh lebih tinggi dari kebutuhan dasar dan status sosial, dan disaat kesadaran penuh keyakinan bahwa manusia yang paling baik adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Setelah berbicara panjang lebar mengenai keberadaan fenomena Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi, mungkin muncul pertanyaan dalam benak kita; makhluk apakah sebenarnya yang disebut-sebut dengan Pekerjaan Sosial? Berikut akan dipaparkan beberapa konsep mengenai pengertian Pekerjaan Sosial – yang dikemukakan oleh para ahli – yang diharapkan dapat menjadi pegangan bagi kita dalam memahami profesi Pekerjaan Sosial itu sendiri; Allen Pincus dan Anne Minahan, mengemukakan definisi Pekerjaan Sosial sebagai: Social Work is concerned with the interactions between people and their social environment which affect the abilility of people to accomplish their life task, alleviate distress and realize their aspirations and values. Pekerjaan Sosial berurusan dengan interaksi antara orangorang dan lingkungan sosial, sehingga mereka mampu melaksanakan
tugas-tugas
kehidupannya,
mengurangi
ketegangan, dan mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka. 51
(Allen Pincus dan Anne Minahan Social Work
Practice:
Model and Methode, 1973:9 Itasca, Illinois: Peacock Publishers) Council on Social Work Education
in Curriculum Study,
mengemukakan pengertian Pekerjaan Sosial sebagai: Social work seeks to enhance the social functioning of individuals, singly and in groups, by activities focused upon their social relationship which constitute the interaction between man and his environment. Pekerjaan Sosial bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu, baik secara individual maupun kelompok, dimana kegiatannya difokuskan kepada relasi sosial mereka
khususnya
interaksi
orang-orang
dengan
lingkungannya. (dalam Rex A. Skidmore, Milton Thackeray, dan O William Farley, Introduction to Social Work, 1988:6, New Jersey: Simon & Scuster Englewood Cliffs). Siporin, Max, menjelaskan pengertian Pekerjaan Sosial sebagai: Social work is defined as a social institutional method of helping people to prevent and resolve their social problems, to restore and enhance their social functioning. Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode institusi sosial untuk
membantu
orang-orang
guna
mencegah
dan
menyelesaikan masalah sosial dengan cara memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosialnya. (Siporin, Max Introduction to Social Work Practice, 1975:3)
52
Friedlander, Walter A. Dan Apte, Robert Z., memaparkan definisi Pekerjaan Sosial sebagai: Social Work is a professional service, based
on scientific
knowledge and skill in human relation, which help individuals, groups, or communities obtain social or personal satisfaction and interdependence. Pekerjaan Sosial adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan ilmiah guna membantu individu, kelompok-, maupun masyarakat agar tercapainya kepuasan pribadi dan sosial serta kebebasan. (Friedlander, Walter A. Dan Apte, Robert Z, A Concepts and Methods of Social Work, 1980:4) Zastrow, Charles, menjelaskan definisi Pekerjaan Sosial sebagai berikut: Social work is the profesional activity of helping individuals, groups, or communities to enhance or restore their capacity for social functioning and to create societal conditions favorable to their goals. Pekerjaan Sosial adalah aktivitas profesional untuk membantu individu, kelompok atau komunitas guna meningkatkan atau memperbaiki
kapasitasnya
untuk
berfungsi
sosial
menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai
dan
tujuan-
tujuannya. (Charles Zastrow, Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems, Service, and Current Issues. 1982 : 12) Leonora
Scrafica-de
Guzman,
Pekerjaan Sosial sebagai: 53
memaparkan
pengertian
Social work is the profesion which is primaly concerned with organized social service activity aimed to facilitate and strengthen basic relationship in the mutual adjusment between individual, and their social environment for the good of the individual and society, by the use of social work method. Pekerjaan Sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung
dalam
kegiatan
pelayanan
sosial
yang
terorganisasi, dimana tujuannya untuk memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan sosialnya , melalui penggunaan metode-metode Pekerjaan Sosial. (Leonora Scrafica-de Guzman, Fundamentals of social work, 1983:3) Berbagai pengertian Pekerjaan Sosial telah dikemuakakan di atas secara beraneka ragam, tergantung dari sudut tinjauannya masingmasing. Namun demikian, dari keseluruhan definisi yang dikemukakan mengenai Pekerjaan Sosial tersebut, dapat dikelompokkan secara garis besar bahwa Pekerjaan Sosial dapat dipandang sebagai: 1.
Pekerjaan Sosial sebagai suatu seni dalam praktik, karena dalam praktiknya Pekerjaan Sosial memerlukan keterampilanketerampilan yang tinggi guna memahami orang-orang lain dan dalam membantu mereka agar memiliki kemampuan untuk menolong diri mereka sendiri
2.
Pekerjaan Sosial sebagai suatu ilmu, karena memiliki metodemetode pemecahan masalah, dan karena dilakukan secara objektif dalam menemukan dan memahami fakta-fakta, serta 54
dalam mengembangkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep operasional 3.
Pekerjaan Sosial sebagai suatu profesi, karena pada masa dewasa ini telah memiliki dan memenuhi syarat-syarat suatu profesi. Namun, Pekerjaan Sosial pun bukanlah “obat antiseptik” yang
bertujuan untuk membuat hidup ini menjadi “steril”, bebas sama sekali dari tekanan dan ketegangan yang menimbulkan masalah-masalah, juga tidak bertujuan untuk membebaskan orang dari tanggung jawabnya terhadap masalah-masalah yang dialaminya, sehingga persoalannya bukan terletak pada apakah orang mengalami masalah atau tidak, melainkan terletak pada bagaimana cara yang digunakan orang tersebut untuk mengatasi masalah-masalah yang dialaminya. Satu hal yang perlu diingat, bahwa karakteristik yang membedakan Pekerjaan Sosial dengan profesi-profesi pemberian bantuan lainnya adalah bahwa bidang kegiatan profesi Pekerjaan Sosial terletak pada ruang lingkup segi sosial dari kehidupan manusia (Katherine A. Kendall, Feflections on Social Work Education, IASSW, New York, 1978) Dengan berbekal berbagai definisi dan pengertian mengenai profesi Pekerjaan Sosial tersebut di atas, maka profesi ini dapat kita bedakan dengan kegiatan pemberian bantuan lainnya dan berbagai kegiatan sosial lainnya yang dapat dilakukan kapan saja, oleh siapa saja, dan di mana saja.
55
Untuk dapat lebih memahami keberadaan dan praktik profesi pekerjaan
sosial
dalam
masyarakat,
berikut
akan
dipaparkan
perkembangan pengetahuan pekerjaan sosial dari masa ke masa: Awal tahun 1920-an; Mary Richmond ‘social diagnosis’ perkembangan
sosiologi
sangat
mempengaruhi
praktik
pekerjaan sosial. Dikenal dengan masa scientific philanthropy. Konsep assessment dan diagnosis mulai digunakan (medical model) 1921-1930;
pengaruh
psikologi
sangat
kuat
khususnya
mengenai tahap perkembangan manusia. Konsep intervention mulai menggantikan konsep treament. 1931-1945;
Gordon
Hamilton,
mengklarifikasi
konsep
diagnosis yang mengarah pada pada people in situation. Muncul diagnostic approach dan functional approach dimana kedua saling berbeda pendapat. Pengakuan group work dan community organization sebagai metode pekerjaan sosial. Psikoanalisis berpengaruh kuat. 1946-1960; Konsep psikoanalisis masih tetap dipakai. Helen Harris Perlman dalam Social Casework: A Problem Solving Process dengan konsepnya ‘a person with a problem comes to place where a professional representatative helps him by a given
process’.
Relationship)
1957,
Felix
menjelaskan
Biestex
hubungan
(The
Casework
bimbingan
sosial
perseorangan sebagai “the dinamic interaction of attitudes and emotions between the caseworker and the client, with the purpose of helping the client achieve a better adjusment
56
between himself and his environment”, ia juga mengidentifikasi tujuh prinsip hubungan: 1. Individualization 2. Purposeful expression of feeling 3. Controlled emotional environment 4. Acceptance 5. Nonjudgmental attitude 6. Client self-determination 7. Confidentiality 1961-1975; pada masa ini sangat kaya dengan perkembangan teori, makin banyaknya kemungkinan akan pelayanan baru, bidang permasalahahan baru dan kelompok klien baru, serta dengan menggunakan dengan cara yang baru. Tiga cara melihat teori yang digunakan: 1. Kelanjutan perkembangan dari metode tradisional; 2. Perkembangan asli atau paduan pendekatan terpadu dalam praktik 3. Perkembangan pendekatan baru dalam praktik, dengan menggunakan asumsi baru atau pelayanan baru bagi kelompok klien khusus. 1975-1990; merupakan era kekecewaan masyarakat terhadap sistem kesejahteraan sosial. 1991-19…; paradigma generalist practice makin menguat dengan diterbitkannya beberapa referensi mengenai paradigma ini. Namun nampaknya masih mencerminkan turunan dari profesi: 1. Assessment; 57
2. Person in situation 3. Process 4. Relationship; and 5. Intervention Namun demikian terdapat tekanan yang begitu kuat bahwa assessment berkenaan untuk intervensi berkerja bersama dengan (with) daripada melakukan untuk (to) atau bagi (for) klien, tekanan
akan orang dalam lingkungannnya,
pentingnya
hubungan, dan perhatian akan proses pada seluruh bidang praktik sebagai jantungnya praktik pekerjaan sosial.
58
KEGIATAN BELAJAR 3 PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS Persepsi tradisional pekerja sosial yang telah ada yaitu caseworker, group worker, atau community organizer. Praktiknya para pekerja sosial mengetahui bahwa peran-peran mereka lebih kompleks daripada hal tadi; setiap pekerja sosial terlibat sebagai agen perubahan (seseorang yang membantu dalam menyokong perubahan positif) dalam bekerja dengan perseorangan, kelompok-kelompok, keluargakeluarga, organisasi, dan masyarakat yang lebih besar. Banyak waktu yang dibutuhkan untuk beragam level tersebut dari pekerja sosial ke pekerja sosial berikutnya. Tetapi setiap pekerja sosial, pada waktunya, ditugaskan dan diharapkan berfungsi secara efektif pada semua level dan dengan demikian membutuhkan pelatihan dalam hal itu semua. Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial Amerika Serikat (CSWE, The Council on Social Work Education)---lembaga akreditasi nasional AS untuk program sarjana dan master dalam pekerjaan sosial--menuntut semua program sarjana dan master untuk melatih semua mahasiswanya dalam praktik generalis. (Program MSW, selanjutnya, biasanya menuntut mahasiswa untuk memilih dan mengkaji dalam area konsentrasinya. Program tersebut umumnya menawarkan beberapa konsentrasi, seperti terapi keluarga, administrasi, corrections, dan pekerjaan sosial klinis.) D. Brieland, L. B. Costin, dan C. R. Atherton menjelaskan dan menggambarkan praktik generalis sebagai berikut: The generalist social worker, the equivalent of the general practitioner in medicine, is characterized by wide 59
repertoire of skills to deal with basic conditions, backed up by specialists to whom referrals are made. This role is a fitting one for entry-level social worker. The generalist model involves identifying and analyzing the interventive behaviors appropriate to social work. The worker must perform a wide range of task related to the provision and management of direct service, the development of social policy, and the facilitation of social change. The generalist should be well grounded in systems theory that emphasizes interaction and independence. The major system that will be used is the local network services... The public welfare worker in a small county may be the classic example of the generalist. He or she knows the reources of the county, is acquainted with the key people, and may have considerable influence to accomplish service goals, including obtaining jobs, different housing, or emergency food and clothing. The activities of the urban generalist are more complex, and more effort must be expended to use the array of resources. (Praktik pekerjaan sosial sosial mirip dengan praktik dokter umum, yang dicirikan dengan keluasan keterampilan timbal balik untuk menghadapi kondisi dasar, dengan didukung oleh spesialis malalui rujukan yang dibuat. Peran ini sangat cocok untuk level awal pekerjaan sosial. Model generalis meliputi mengidentifikasi dan menganalisi perilaku intervensi yang sesuai untuk pekerjaan sosial. Pekerja sosial harus menunjukkan seluas mungkin tugas yang berkaitan dengan provisi dan pengelolaan pelayanan langsung, pengembangan kebijakan sosial, dan menfasilitasi perubahan sosial. Ahli generalis sebaiknya menempatkan teori sistem yang menekankan interaksi dan ketergantungan. Sistem utama yang akan digunkana adalah jaringan pelayanan lokal..... Pekerja kesejahteraan umum di desa kecil mungkin merupakan contoh klasik dari generalis. Dia yang mengetahui sumber-sumber desa, mengetahui dan kenal dekat dengan tokoh-tokoh kunci, dan yang mungkin perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap pemenuhan tujuan-tujuan pelayanan, termasuk penciptaan pekerjaan, perumahan, atau tanggap darurat makanan dan pakaian. Aktivitas dari generalis perkotaan 60
lebih kompleks lagi, dan makin banyak lagi usaha yang harus dilakukan untuk mengurai sumber-sumber yang ada.) G. Hull menjelaskan praktik generalis sebgai berikut: The basic principle of generalist practice is that baccalaureate social workers are able to utilize the problems solving process to intervene with various size systems including individuals, families, groups, organizations, and communities. The generalist operates within a systems and person –inenvironment framework (sometimes referred to as an ecological model). The generalist expects that many problems will require intervention with ore than one system (e.g., individual work with a delinquent adolescent plus work with the family or school) and that single explanations of problem situations are frequently unhelpful. Generalist may play several roles simultaneously or sequentially, depending upon the needs of the client (e. g., faciltator, advocate, educator, broker, enabler, case manager, an/ or mediator). They may serve as leader/ facilitators of task groups, socializations groups, information groups, and self-help groups. They are capable of conducting needs assessments and evaluating their own practice and the programs with which they are associated. They make referrals clients when clients problems so dictate and know when to utilize supervision from more experienced staff. Generalist operate within the ethical guideilines prescribed by the NASW Code Ethics and must be able to work with the clients, coworkers, and colleagues from diferrent ethnic, cultural, and professional orientations. The knowledge and skills of the generalist are transferable from one setting to another and from one problem to another. (Prinsip dasar praktik generalis adalah bahawa para pekerja sosial tingkat sarjana mampu menggunakan proses pemecahan masalah untuk mengintervensi beragam ukuran sistem termasuk individu-individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan masyarakat. Ahli generalis beroperasi dalam sebuah sistem dan kerangka person –in-environment (seringkali merujuk pada sebuah model ekologis). Generalis berharap bahwa banyak permasalahan akan menuntut intervensi 61
dengan satu atau banyak sistem (contoh, seseorang yang bekerja dengan kenakalan anak ditambah dengan keluarga atau sekolah) dan bahwa penjelasan tunggal dari situasi masalah seringkali tidak membantu. Ahli generalis kemungkinan memainkan sejumlah peran berbeda secara simultan atau per bagian, tergantung kepada kebutuhan klien (misal, fasilitator, pendamping, pendidik, broker, enabler, manajer kasus, atau sebagai mediator). Mereka bertindak sebagai pemimpin/ fasilitator kelompok satuan tugas, kelompok sosialisasi, kelompok informasi, dan kelompok bantu-diri. Mereka mampu melakukan asesmen kebutuhan dan mengevaluasi praktiknya sendiri dan program-program yang berkaitan dengannya. Mereka membuat rujukan kepada klien ketika permasalahan klien ingin bicara dan diketahui melalui supervisi dari staf yang lebih berpengalaman. Ahli generalis bergerak dalam koridor etik dan harus mampu bekerja dengan klien, pendukung, dan kolega dari beragam etnik, budaya, dan profesi lainnya.) Barker menjelaskan seorang pekerja sosial generalis sebagai berikut: In social work, a practitioner whose knowledge and skills encompass a broad spectrum and who assesses problems and their solutions comprehensively. The generalist often coordinates the efforts of specialists by facilitating comunication between them, thereby fostering continuity of care. Dalam pekerjaan sosial, seorang praktisi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dengan spektrum yang luas dan yang mengkaji masalah dan solusinya secara komprehensif. Ahli generalis seringkali mengupayakan koordinasi dari spesialis dengan memfasilitasi komunikasi diantara mereka, sehingga memastikan keberlanjutan pemeliharaan / perawatan. Direktur
Program
Sarjana
(The
Baccalaurate
Program
Director’s) telah menjelaskan praktik generalis yaitu: Praktisi pekerjaan sosial generalis bekerja bersama individual, keluarga, kelompok, masyarakat, dan organisasi dalam beragam pekerjaan sosial dan setting rumahnya. Praktisi 62
generalis memandang klien dan sistem klien dari perspektif kekuatan dalam rangka mengakui, mendukung, dan membangun berdasarkan kapabilitas kehidupan manusia. Mereka menggunakan proses pemecahan masalah profesional untuk membangun hubungan,mengkaji, layanan broker, mengadvokasi, membimbing, mendidik, dan mengelola bersama dengan klien dan sistem klien. Kemudian, praktisi generalis menciptakan hubungan dengan masyarakat dan pengembangan keorganisasian. Akhirnya, praktisi generalis mengevaluasi hasil pelayanan dalam rangka memperbaiki kelanjutan provisi dan kualitas pelayanan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien. Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial AS (CSWE) dalam Educational Policy and Accreditation Standards telah menjelaskan praktik generalis sebagai: Generalist practice is grounded in the liberal arts and the person and environment construct. To promote human and social well-being, generalist practitioners use a range of prevention and intervention methods in their practice with individuals, families, groups, organizations, and communities. The generalist practitioner identifies with the social work profession and applies ethical principles and critical thinking in practice. Generalist practitioners incorporate diversity in their practice and advocate for human right and social and economic justice. They recognize, support, an build on strenghts and resilience of all human beings. They enggage in researchinformed practice and are proactive in responding to the impact of context on professional practice. Jantungnya praktik generalis meliputi (a) memandang situasi permasalahan dalam lingkup konseptual the person-in-environment dan (b) menyadari dan mampu mengintervensi pada beberapa level berbeda, jika diperlukan, mengasumsikan sejumlah peran.
63
Proses Perubahan Seorang pekerja sosial memanfaatkan a change process dalam bekerja bersama klien, baik inividual, kelompok, keluarga, organisasi dan masyarakat. Dewan pendidikan pekerjaan sosial AS (CSWE, 2008) dalam Kebijakan Pendidikan dan Standar Akreditasi menjelaskan praktik pekerjaan sosial sebagai berikut: Praktik
pekerjaan
sosial
meliputi
proses
dinamis
dan
interaksional dari proses kesepakatan, asesmen, intervensi, dan evaluasi pada setiap level. Para pekerja sosial memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk praktik bersama klien, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Pengetahuan praktik
termasuk
mengidentifikasi,
menganalisa,
dan
mengimplementasi intervensi berbasis-bukti yang didisain untuk mencapai tujuan-tujuan klien; memanfaatkan penelitian dan kemajuan teknologi; mengevaluasi efektivitas hasil dan praktik
program;
mengembangkan,
mengevaluasi,
mengadvokasi, dan menyediakan kepemimpinan bagi kebijkaan dan pelayanan; serta mempromosikan keadilan dan sosial dan ekonomi.
64
Daftar Pustaka
Allen Pincus dan Anne Minahan. 1973. Social Work Practice: Model and Methode. Itasca, Illinois: Peacock Publishers. DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley. 2005. Social Work: An Empowering Profession, Boston : Pearson. Friedlander, Walter A. Dan Apte, Robert Z. 1980. A Concepts and Methods of Social Work. -----------. 1967. Introduction to Social Walfare, 2nd.ed., Prentice-Hall of India (private) Limited, New Delhi. Guzman, Leonora Scrafica-de. 1983. Fundamentals of social work Kendall, Katherine A. 1978. Feflections on Social Work Education, IASSW, New York. Siporin, Max. 1975. Introduction to Social Work Practice. Prentice Hall International Ed., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Skidmore, Rex A., Milton Thackeray, dan O William Farley. 1988. Introduction to Social Work. New Jersey: Simon & Scuster Englewood Cliffs Zastrow, Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems, Service, and Current Issues. -----------. 2010. Introduction to Social Work and Social Welfare, Empowering People. 10th Edition, Brooks/Cole.
65
66
TOPIK 3 LANDASAN PENGETAHUAN DALAM PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1:
Keilmuan profesi pekerjaan sosial dan profesi pertolongan lainnya
KEGIATAN BELAJAR 2:
Dasar pengetahuan pekerjaan sosial
KEGIATAN BELAJAR 3:
Kebutuhan pengetahuan sosial saat ini
67
pekerja
KEGIATAN BELAJAR 1 1. KEILMUAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DAN
PROFESI PERTOLONGAN LAINNYA Profesor Takahashi dari Jepang sebagaimana dikutip oleh Robert M. Z. Lawang (2005) mengatakan bahwa:”pendekatan disipliner seperti sosiologi, politik, psikologi, ekonomi, antropologi atau apapun lainnya, sudah tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini. Sebaliknya,
pendekatan
yang
berbasis
masalah
lebih
banyak
digunakan”. Artinya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha menggunakan ilmu apa saja. Kalau saja yang merasa terusik dalam menata jalan pikirannya tidak hanya seorang sosiolog, tetapi juga antropolog, psikolog, ekonom, ahli politik dan ahli-ahli lainnya, dan semuanya sepakat bahwa ilmu dan keahliannya berorientasi pada pemecahan masalah, maka ilmuilmu yang dikuasainya itu akan lebih memberikan sumbangan nyata dan bermakna dalam pemecahan masalah. Tidak ada lagi batas hitam putih antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain. Sebaliknya yang terjadi bahwa antar disiplin ilmu saling bersinggungan dan berinteraksi secara sinergis, sehingga menghilangkan garis batas yang ekstrem antar disiplin ilmu-ilmu tersebut. Ilmu pekerjaan sosial tetap sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri karena memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan ilmuilmu sosial lainnya, yaitu pada art atau skill. Namun demikian pada prakteknya, tidak dapat dipungkiri ilmu pekerjaan sosial masih “meminjam” ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi,
68
psikologi, ekonomi, dan politik dalam melakukan analisis secara obyektif dan mendalam tentang hakikat masalah sosial. Sebagai contoh, pekerja sosial yang akan memberikan intervensi sosial kepada wanita tuna sosial, dimulai dengan melakukan asesmen. Pada kegiatan asesmen ini akan dilakukan pengkajian dan pemahaman masalah wanita tuna susila tersebut dari berbagai perspektif. Sosiologi digunakan untuk memahami bagaimana interaksi sosial didalam keluarga dan lingkungan sosialnya; antropologi digunakan untuk memahami pola kebudayaan pada masyarakat dimana wanita tuna sosial tinggal; ekonomi digunakan untuk memahamai bagaimana kondisi ekonomi rumah tangga dan aksesibilitas terhadap lembaga ekonomi; psikologi digunakan untuk memahami bagaimana kondisi psikologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tekanan pada aspek psikologis; serta politik digunakan untuk memahami aspirasi politik dan tekanan politik si wanita tuna susila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, diingatkan oleh Shulman (Tangdilintin, 1998), bahwa meminjam atau mengaplikasikan ilmu lain banyak menolong, tetapi semakin lama semakin terasa, bahwa pada tingkat aplikasi tertentu “meminjam” dapat menimbulkan kesulitan, dan juga kadang-kadang teori atau konsep yang dipinjam itu tidak sesuai dengan masalah yang menjadi prioritas. Oleh karena ilmu pekerjaan sosial berorientasi pada pemecahan masalah, maka ilmu pekerjaan sosial menjadi disiplin ilmu utama pada lembaga yang menyelenggarakan pelayanan sosial. Sementara itu, ilmu-ilmu sosial lainnya mendukung ilmu pekerjaan sosial tersebut, terutama didalam melakukan assessment terhadap klien (individu, 69
kelompok, masyarakat) dan aspek-aspek yang mempengaruhi peran sosial klien. Apa yang dimaksud oleh seorang Profesor Takahashi dari Jepang sudah terjawab, bahwa ilmu pekerjaan sosial merupakan ilmu yang relevan dengan situasi saat ini, karena ilmu pekerjaan sosial berorientasi pada upaya pemecahan masalah. Ilmu pekerjaan sosial adalah jawabanya, karena disiplin ilmu ini menawarkan pendekatan yang berbasis masalah dengan dukungan ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena itu di kalangan akademisi, ilmu pekerjaan sosial dikenal dengan disiplin ilmu terapan. Ilmu pekerjaan sosial ada untuk kepentingan pemecahan masalah sosial pada saat ini, dan mengantisipasi terjadinya atau kecenderungan terjadinya masalah sosial di masa depan. Perhatian profesi Pekerjaan Sosial adalah pada upaya pemberian bantuan kepada orang untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan fungsi sosial, kemampuan untuk mengadakan interaksi dan berhubungan dengan orang lain. Namun demikian, terdapat pula profesi-profesi lain yang juga bergerak dalam upaya pemberian bantuan untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan akibat adanya interaksi di antara orang yang satu dengan yang lainnya. Profesi Pekerjaan Sosial mempunyai tujuan, fungsi, serta kegiatan-kegiatan yang kadang-kadang tumpang tindih dengan profesiprofesi lainnya, yang juga bergerak dalam upaya pemberian bantuan kepada orang (helping professions). Oleh karenanya, guna memberikan kejelasan pemahaman mengenai profesi Pekerjaan Sosial, perlu dilakukan tinjauan dari sisi lain pada profesi Pekerjaan Sosial, yakni hubungan dan perbedaannya dengan profesi-profesi lain yang
70
seringkali tumpang tindih dengan profesi Pekerjaan Sosial dalam pelaksanaan kegiatan profesionalnya. Berikut ini akan dipaparkan perbedaan praktik yang dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial dengan profesi lainnya dalam memberikan pertolongan:
1. Pekerja Sosial – Sosiolog Bagaimana bidang keilmuan sosiologi dan Pekerjaan Sosial berhubungan satu sama lain? Tidak dapat disangkal lagi, bahwa kedua bidang keilmuan tersebut memiliki banyak persamaan dan perbedaan dalam berbagai hal. Sosiologi telah didefinisikan oleh para ahli sosiologi di Amerika Serikat, sebagai berikut: L.F. Ward menyatakan bahwa sosiologi adalah ‘ilmu tentang masyarakat’, F.H. Giddings mendefinisikan
sosiologi
sebagai
‘penelaahan
ilmiah
tentang
masyarakat’, A.W. Small mengatakan bahwa sosiologi adalah ‘suatu penelaahan mengenai manusia yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pergaulannya dengan manusia lain’. Cuber menjelaskan bahwa ‘sosiologi dapat didefinisikan sebagai suatu susunan pengetahuan ilmiah
mengenai
antarhubungan
manusia’.
Gillin
dan
Gillin
menyatakan bahwa ‘sosiologi dalam pengertiannya yang luas dapat dikatakan
sebagai
suatu
penelaahan
mengenai
interaksi
yang
ditimbulkan oleh adanya pergaulan di dalam kehidupan manusia’ (dalam Skidmore and Theckeray, Introduction to Social Work, 1964, hlm.12 dan dalam Renny Sekarningsih, Pengantar Pekerjaan Sosial, 1992, hlm.55). Sosiologi dan Pekerjaan Sosial keduanya menaruh perhatian pada manusia, interaksi di antara manusia, serta pemahaman terhadap 71
interaksi tersebut. Berikut dipaparkan beberapa aspek yang dapat membedakan antara profesi Pekerja Sosial dengan seorang sosiolog: Tabel 1 Perbedaan antara Pekerja Sosial dengan Sosiolog Bidang profesi Aspek Perbedaan Perhatian dan Minat
Tujuan
Kegiatan yang Dilakukan
Sosiolog
Pekerja Sosial
Para sosiolog terutama menaruh perhatian pada bagaimana, kapan, dan mengapa manusia bertingkah laku seperti yang mereka lakukan di dalam pergaulan dengan manusia lain. Dengan kata lain, seorang sosiolog terutama menaruh minatnya pada latar belakang interaksi manusia. Sosiolog mempunyai tujuan untuk dapat menunjukkan masalah-masalah sosial, mengadakan penelitian, serta melaksanakan segala kegiatan yang mungkin dilakukan untuk dapat memahami interaksi di dalam pergaulan manusia. Sosiolog secara umum menghabiskan seluruh waktunya guna mengadakan penelaahan, pencarian, serta penemuan fakta-fakta
Seorang Pekerja Sosial menaruh minat pada pemahaman tentang manusia, bagaimana mereka bertingkah laku di dalam pergaulan dengan manusiamanusia lain.
Pekerja Sosial terutama bertujuan untuk melaksanakan kegiatan guna membantu orang untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka alami, untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan fungsi sosialnya. Pekerja Sosial berusaha untuk dapat memahami klien, membuat assesment setepat mungkin, serta melaksanakan kegiatan penyembuhan, yakni membantu memecahkan masalah-masalah yang dialami klien dan mengadakan perubahan situasi-situasi dengan tujuan untuk menciptakan penyesuaian yang lebih baik di antara individu dengan individu lain, dan di antara individu dengan lingkungannya
Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa di dalam melaksanakan kegiatan profesionalnya, Pekerja Sosial menggunakan 72
hasil-hasil penelaahan, penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh sosiolog sebagai dasar pemahamannya terhadap manusia, terutama dalam hal interaksi di antara manusia. Mengenai hal ini, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa; “Sosiologi menyelidiki persoalanpersoalan umum dalam masyarakat, dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan, sedangkan usaha-usaha perbaikannya merupakan bagian dari Pekerjaan Sosial (social work)” (Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, UI-Press, Jakarta, 1981)
2. Pekerja Sosial – Psikolog Tabel 2 Perbedaan antara Profesi Pekerja Sosial dengan Psikolog Bidang Profesi Aspek Perbedaan Pusat Perhatian
Lapangan Penyelidikan
Psikolog
Pekerja Sosial
Psikolog memusatkan perhatiannya pada tingkah laku manusia, terutama menaruh minat pada ciri-ciri individual (keunikan secara individu) dari manusia, dan bertujuan untuk memahami ciri-ciri khas mereka serta tingkah laku mereka Lapangan penyelidikan Psikolog hanya sampai kepada diri klien sendiri dalam bidang pengetesan dan pengukuran, mempelajari faktor-faktor biologis serta faktor-faktor sosial yang berhubungan dengan tingkah laku klien sebagai seorang individu
Pekerja Sosial meletakkan pusat perhatiannya pada kemampuan orang untuk melaksanakan fungsi sosialnya
73
Lapangan penyelidikan Pekerja Sosial bukan hanya pada diri klien dalam melaksanakan fungsi sosialnya saja, tetapi juga pada hubungan klien serta penggalian dan penggunaan sumber-sumber yang terdapat di dalam masyarakat, guna mengatasi masalah-masalah pribadi dan masalah-masalah sosial yang dialami kliennya
Psikolog dengan Pekerja Sosial seringkali bersama-sama menjadi anggota suatu tim profesional, khususnya di dalam klinikklinik penyembuhan masalah-masalah sosial-psikologis serta lembagalembaga lain yang berkaitan dengannya. Namun demikian, banyak orang bertanya-tanya mengenai tumpang tindih dan perbedaan di antara kedua profesi tersebut. La Piere dan Fransworth menyatakan bahwa: ”Psikolog secara holistik menaruh minat pada sifat-sifat manusia secara individual dan berusaha untuk menemukan proses-proses yang terkandung di dalam penyesuaiannya dengan lingkungannya, unsurunsur penggerak dan proses-proses belajar, dan sebagainya” (Richard T. La Piere and Paul R. Fransworth, Social Psychology, dalam Skidmore and Thackeray, Introduction to Social Work, 1964, hlm.14).
3. Pekerja Sosial – Dokter / Paramedik Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi pemberian bantuan, salah satu bidang kajiannya adalah dalam hal kesehatan (Pekerjaan Sosial Medis). Fokus Pekerjaan Sosial Medis adalah faktor-faktor sosial yang dapat membantu penyembuhan klien (pasien) atau masalahmasalah sosial yang menyebabkan orang-orang menjadi sakit atau yang menghambat seseorang menggunakan perawatan yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, seorang Pekerja Sosial dapat mengisi lapangan pekerjaan dengan setting Rumah Sakit, yaitu sebagai seorang Pekerja Sosial Medis. Pelayanan sosial yang diberikan oleh Pekerja Sosial di Rumah Sakit bertujuan membantu mengatasi tekanan-tekanan yang datang dari dalam dan dari luar diri pasien, baik yang berasal dari kenyataan-kenyataan yang datang dari lingkungan tempat tinggal 74
pasien maupun yang disebabkan oleh sakit/penyakit dan perasaan pasien sendiri. Tujuan dari bantuan tersebut adalah untuk membantu orang-orang yang sakit dalam mengembangkan kemampuannya sendiri dalam menggunakan perawatan medis, tidak hanya dalam proses penyembuhannya saja, tetapi juga dalam proses pencegahan terhadap penyakit dan dalam mempertahankan serta meningkatkan cara-cara hidup yang sehat. Adapun peranan seorang Pekerja Sosial Medis di Rumah Sakit adalah
membantu
dokter
dalam
mendiagnosa
dan
proses
penyembuhan/pengobatan dengan cara meneliti pasien dan kondisi sosialnya serta menganalisis tingkah laku pasien dan kondisi dalam lingkungannya. Selain itu, Pekerja Sosial Medis pun membantu dokter dengan mengorganisir sumber-sumber yang dapat dipergunakan di dalam Rumah Sakit, lingkungan keluarga, dan masyarakatnya dalam proses
penyembuhan,
agar
proses
pengobatan
medis
dapat
dilaksanakan secara efektif. Berbicara mengenai proses pertolongan yang dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial Medis, maka salah satu hal yang menarik dan perlu dipahami di sini adalah penggunaan istilah “diagnosis”. Adapun proses
yang
dilakukan
oleh
seorang
Pekerja
Sosial
dalam
mengumpulkan, menilai dan mengkaji data yang diperoleh untuk melakukan
proses
pertolongan
adalah
menggunakan
istilah
“assesment”. Berikut akan dipaparkan perbedaan antara istilah “diagnosis” dan istilah “assesment”. Diagnosis lebih mengarah kepada medical model yang menganggap klien adalah pasien. Maka konsekuensinya dalah bahwa segala masalah klien adalah berasal dari ‘dalam’ diri klien itu sendiri. 75
Tahun 1960-an, para Pekerja Sosial mulai mempertanyakan model ini, mereka beranggapan bahwa faktor luar juga memiliki pengaruh yang sama besar dengan faktor dalam. Pekerja Sosial mulai meng-asses masalah dengan melihat klien dalam situasi mereka daripada mendiagnosis apa yang terjadi di dalam klien itu sendiri. Mengenai perbedaan antara istilah “diagnosis” dan istilah “assesment”, minimal terdapat empat perbedaan di antara kedua istilah tersebut, yaitu; a. Lingkungan mikro (diri klien sendiri) dan lingkungan mezzo (keluarga dan orang-orang terdekat) dari diri klien memiliki pengaruh yang sama kuatnya dengan lingkungan aspek mikronya, ketika mencoba memahami situasi klien b. Ketika didapatkan bahwa masalah berasal dari luar klien, bisa saja target perubahannya adalah hal yang berada di luar diri klien tersebut, sehingga usaha yang dilakukan adalah untuk mengubah faktor yang berada di luar diri klien tersebut. c. Pada istilah diagnosis, klien adalah target perubahan, sedangkan pada istilah assesment, para Pekerja Sosial Medis bekerja dengan klien bukan untuk/pada klien (working with, not on client), sehingga dalam proses pertolongannya, Pekerja Sosial bekerja sama dengan klien, dan peran serta klien amat dibutuhkan serta dapat menentukan proses kesembuhan diri klien sendiri. d. Diagnosis cenderung hanya melihat pada masalah yang ada dalam diri klien, sedangkan pada assesment, selain melihat pada masalahnya, juga menekankan pada apa kekuatan klien.
76
4. Pekerja Sosial – Konselor Banyak orang mencampuradukkan peranan dan fungsi-fungsi konselor
dengan
peranan
dan
fungsi-fungsi
Pekerja
Sosial,
sebagaimana terdapat banyak sekali macam konselor, namun di sini hanya akan dikemukakan tiga macam konselor, yakni konselor di sekolah, konselor perkawinan, dan konselor dalam rehabilitasi, serta perbedaannya dengan peran dan fungsi seorang Pekerja Sosial. Tabel 3 Perbedaan antara Profesi Pekerja Sosial dengan Konselor Bidang Profesi Aspek Perbedaan Pendidikan dan Keilmuan
Konselor
Pekerja Sosial
Konselor Sekolah : - Mendapat latihan atau pendidikan dalam bidang psikologi pendidikan - Bekerja menghadapi para pelajar dalam jangka waktu yang singkat, membantu siswa terutama dalam hal pemilihan lapangan pekerjaan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan persoalan akademis - Konselor di sekolah juga dapat menggunakan pengetesan untuk memperoleh manfaat dari berbagai situasi yang dihadapinya Konselor di bidang perkawinan : - Menerima latihan dasar dari sepuluh bidang studi pokok, yang salah satu di antaranya adalah Pekerjaan Sosial, ia kemudian memerlukan pengalaman klinis secara terbimbing - Konselor biasanya melakukan konsultasi singkat dengan kliennya. - Konselor menaruh minat terutama pada faktor-faktor
Pekerja Sosial cenderung bekerja secara lebih intensif, menghadapi klien dalam jangka waktu yang lebih lama, lebih memusatkan perhatiannya pada antarhubungan keluarga, serta menggunakan sumber-sumber yang terdapat di dalam masyarakat
77
- Di satu pihak dapat dikatakan bahwa Pekerjaan Sosial merupakan suatu bagian dari konseling masalah-masalah perkawinan. Di lain pihak, konseling masalah-masalah perkawinan merupakan salah satu bagian penting dalam Pekerjaan Sosial. Perbedaan di antara keduanya timbul pada variasi di dalam latihan dan
yang menyangkut pekerjaan (lapangan pekerjaan)
Konselor dalam upaya rehabilitasi : - Mendapat latihan dan/atau pendidikan dalam bidang psikologi pendidikan - Memiliki keterampilan dalam menggunakan atau melakukan pengetesan - Memfokuskan perhatian serta kemampuannya pada individu - Konselor biasanya melakukan konsultasi singkat dengan kliennya.
pendidikan, serta pengalaman-pengalaman profesional. - Pekerja Sosial biasanya memberikan bantuan terhadap pemecahan masalah-masalah keluarga, dengan kasus yang lebih sedikit, dan bekerja dengan klien-klien secara lebih intensif Pekerja Sosial khususnya memberikan bantuan dengan sentuhan perasaan-perasaan terhadap pemecahan masalahmasalah pribadi, sosial, dan emosional.
5. Pekerja Sosial – Psikiater Seorang Pekerja Sosial bukanlah seorang Psikiater tanggung. Peranan-peranan Pekerja Sosial dan Psikiater tentunya berbeda. Namun, keduanya dapat bekerja sama. Seorang Psikiater dan seorang Pekerja Sosial seringkali harus bersama-sama menjadi anggota suatu tim profesional, dan keduanya memberikan sumbangan yang berbeda sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, sehingga menghasilkan suatu kegiatan profesional secara terkoordinasi. Noyes dan Kolb mendefinisikan Psikiater sebagai suatu cabang dari ilmu kedokteran yang berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut keturunan, dinamika-dinamika, manifestasi-manifestasi, pengobatan
terhadap
penyakit
serta
pelaksanaan
fungsi-fungsi
kepribadian yang tidak diinginkan yang mengganggu kehidupan pribadi 78
individu atau mengganggu hubungannya dengan orang lain atau hubungannya dengan masyarakat” (Arthur P. Noyes and Lawrence C. Kolb, Modern Clinical Psychiatry, 1961, hlm.1) Seorang Psikiater dan Pekerja Sosial mempunyai banyak persamaan. Keduanya bekerja dengan orang-orang yang mengalami masalah-masalah pribadi dan sosial. Keduanya membantu orang untuk meningkatkan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain. Keduanya menaruh perhatian kepada kepekaan, dan kemampuan orang untuk memahami dan mengarahkan perasaan-perasaan dan emosiemosinya. Berikut dipaparkan beberapa aspek yang dapat membedakan antara profesi Pekerja Sosial dengan seorang Psikiater: Tabel 4 Perbedaan antara Profesi Pekerja Sosial dengan Psikiater Bidang Profesi Aspek Perbedaan Cara Memandang Permasalahan Klien Fokus Penanganan Permasalahan
Penggunaan Sumber di Luar Diri Klien
Cakupan Klien yang Dihadapi
Psikiater
Pekerja Sosial
Psikiater terutama berhubungan dengan kedalam-an masalah-masalah pribadi dan sosial Psikiater menyelidiki dan menangani motivasi bawah sadar dan faktor-faktor di dalam pribadi klien, terutama bekerja guna mengadakan reorganisasi kepribadian secara individual. Psikiater berhubungan dengan pasien-pasien dengan dasar ilmu kedokteran, memberikan resep dan mengirimkan pasien ke rumah sakit – jika diperlukan –
Pekerja Sosial terutama berhubungan dengan ke-luas-an masalah-masalah pribadi dan sosial Pekerja Sosial mendayagunakan sumber-sumber lingkungan dan biasanya beroperasi di dalam atau dengan tingkah laku yang disadari oleh klien
Seorang Psikiater biasanya menghadapi gangguangangguan mental perorangan.
79
Pekerja Sosial cenderung untuk menggunakan keseluruhan sumber-sumber di masyarakat, kadangkala menggunakan berbagai sumber materiil, ekonomi, dalam memperbaiki antarhubungan sosial Pekerja Sosial lebih sering bekerja menghadapi lembaga perkawinan atau keluarga sebagai suatu kesatuan daripada
Fokus Praktik
Psikiater menekankan kepada dinamika-dinamika internal di dalam pribadi orang dari tingkah laku individu, biasanya berupa gangguangangguan mental
menghadapi orang secara perseorangan. Pekerja Sosial terutama menaruh minat pada kemampuan orang untuk melaksanakan fungsi sosialnya yang mencakup faktor-faktor sosial dan lingkungan masyarakat, serta interaksiinteraksi di antara orang dengan orang-orang lain, dan di antara orang dengan lingkungannya.
Untuk lebih mudah memahami Pekerjaan Sosial dalam kaitannya dengan bidang-bidang disiplin lain, kiranya perlu selalu diingat bahwa Pekerjaan Sosial adalah suatu profesi, dan salah satu karakteristik profesi adalah adanya suatu kerangka pengetahuan yang mendasari praktiknya. Pekerjaan Sosial mengambil berbagai konsep, dalil, hukum, maupun teori dari berbagai disiplin ilmu yang mempunyai objek penelaahan atas manusia. Dengan dasar-dasar pemahamannya terhadap manusia yang diperolehnya dari berbagai disiplin ilmu yang lain, serta pertimbangannya terhadap nilai-nilai sosial budaya yang berlaku ditempatnya melaksanakan praktik, dan pemahamannya
terhadap
diri
sendiri;
maka
Pekerja
Sosial
melaksanakan praktik profesionalnya, yang seringkali dilakukan melalui kerjasama, bahkan tumpang tindih dengan praktik-praktik profesi-profesi lain.
80
KEGIATAN BELAJAR 2 DASAR PENGETAHUAN PEKERJAAN SOSIAL Menurut Johnson & Schwartz (19951), dasar pengetahuan (knowledge base) pengetahuan pekerjaan sosial umumnya terdiri dari: 1. Pengetahuan yang diperoleh dari ilmu alam, sosial, dan perilaku; 2. Pengetahuan yang dikembangkan dari para pekerja sosial sendiri
berdasarkan
pengalaman
dalam
melakukan
dan
membantu orang, dikatakan sebagai “pactice wisdom”; 3. Pengetahuan
yang
dikembangkan
melalui
upaya-upaya
penelitian. Pengetahuan-pengetahuan tersebut akan tidak ada relevansinya kecuali kalau jika menggabungkannya dalam usaha pertolongan. Selanjutnya Siporin (1975) menyatakan bahwa dasar pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian komponen praktik, pengetahuan assessment dan pengetahuan intervensi. Pengetahuan assessment memungkinkan pekerja sosial untuk menilai dan memahami perhatian (urusan), kebutuhan, dan masalah-masalah manusia sesuai dengan situasi
yang
mereka
hadapi.
Pengetahuan
intervensi
adalah
pengetahuan yang digunakan oleh pekerja sosial untuk melakukan proses pemecahan masalah, yaitu membantu perseorangan, kelompokkelompok, atau masyarakat agar secara efektif mampu manghaapi permasalahan.
Pengetahuan
intervensi
biasanya
spesifik
pada
permasalahan klien, seting lembaga, dan bidang praktik khusus. Lebih lanjut Johnson & Schwartz menyatakan , seorang pekerja sosial harus memperluas dasar pengetahuan namun tetap dengan batasan pengetahuan sebagai berikut: 81
1. Pengetahuan mengenai perkembangan dan perilaku manusia, yang menekankan suatu pandangan holistik manusia dan dengan timbalbalik pengaruh lingkungan, termasuk pengaruhpengaruh sosial, psikologis, ekonomik, politik dan budaya. Sumber utama dari bagian dasar pengetahuan ini diperoleh dari kekuatan dan keluasan pendidikan yang ada. Hal ini termasuk: a. Pengetahuan yang diperoleh dari ilmu-ilmu sosial dan perilaku: sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, ilmu politik, dan ekonomi b. Pengetahuan yang diperoleh dari ilmu alam guna memahami aspek-aspek fisik keberfungsian manusia; dan c. Pengetahuan
yang
diperoleh
kemanusiaan
yang
membantu
melalui
studi
menjelaskan
dalam kondisi
kemanusiaan dengan menjelaskan budaya filofosi, dan caracara berfikir dan berekspresi kondisi manusia. 2. Pengetahuan mengenai hubungan dan interkasi manusia. Di sisni termasuk pengetahuan komunikasi manusia, pemahaman orang-per-orang, keluarga, kelompok kecil, dan hubungan dan interaksi kelompok-per-kelompok, sebagaimana juga hubungan dan interaksi antara individu-individu, kelompok-kelompok, dan organisasi dan kelembagaan masyarakat. 3. Pengetahuan mengenai teori-teori praktik pekerjaan sosial yang sesuai (siap digunakan) dalam interaksi, proses pertolongan , serta metode dan strategi intervensi yang tepat untuk berbagai situasi praktik. 4. Pengetahuan mengenai kebijakan dan pelayanan sosial, termasuk pengetahuan profesional dan struktur kelembagaan 82
yang
menyediakan
pelayanan
terhadap
orang
yang
membutuhkan pertolongan, dan pengetahuan sejarah pergerakan yang telah mempengaruhi kebijakan, dampak kebijakan sosial terhadap keberfungsian manusia, dan peran pekerja sosial dalam pengembangan kebijakan sosial. 5. Self-knowledge (pengetahuan diri), yang membuat sadar para pekerja sosial dan melakukan tanggungjawab terhadap emosi, nilai-nilai, sikap-sikap dan tindakan sendiri, ketika mereka melakukan praktik profesional. 6. Pengetahuan khusus yang memungkinkan pekerja sosial bekerja dengan kelompok populasi tertentu atau situasi praktik tertentu. Pengetahuan ini termasuk klien, seting praktik, dan badan pelayanan khusus. Sedangkan Morales & Sheafor (1980) mengidentifikasi terdapat lima jenis pengetahuan yang dibutuhkan oleh pekerja sosial, yaitu dasar pengetahuan pekerjaan sosial umum, pengetahuan mengenai seting praktik khusus, pengetahuan mengenai badan pelayanan khusus, pengetahuan mengenai klien khusus, dan pengetahuan mengenai kontak khusus. Sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
83
Luas
Pengetahuan Pekerjaan Sosial Umum Pengetahuan Mengenai Seting Praktik Khusus
Pengetahuan mengenai Klien Khusus
Pengetahuan Ttg. kontak Khusus
Mendalam
Gambar: Kebutuhan Pengetahuan Pekerjaan Sosial, Morales & Sheafor (1980)
84
Pengetahuan Dasar
Dari Umum ke Khusu
Pengetahuan Mengenai Badan Pelayanan Khusus
Fungsi Kemasyarakatan dan Tugas Sosial
Filosofi
Pengetahuan Dasar
Ideologi
Ilmu Terapan
Teori Praktik Etika Praktik Prinsip-Prinsip
Basic Model Pertolongan dan Teori Pendekatan Teori Khusus
Kegiatan
Teknikal Praktik Prinsip-Prinsip
Intervensi
Metode, Proses, Peran pertolongan Keterampilan dan Gaya dalam Assessment Perencanaan Intervensi Evaluasi Gambar 2. Model Praktik Pekerjaan Sosial Profesional, Siporin (1975)
Model praktik pekerjaan sosial profesional yang dikembangkan oleh Max Siporin tidak terlepas dari pengertian pekerjaan sosial sebagai ‘constelltion of value, purpose, sanction, knowledge and methode’. Praktik pekerjaan sosial secara umum mengacu pada pengetahuanpengetahuan berikut: 1. Perkembangan manusia dan karakteristik tingkah laku yang menekankan pada kesatuan individu dan pengaruh timbal balik
85
dari manusia dan lingkungan totalnya – manusia, sosial, ekonomi dan budaya. 2. Psikologi memberi dan menerima bantuan dari orang lain atau sumber di luar individu. 3. Cara-cara dimana orang-orang berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan memberikan tanggapan terhadap perasaan terdalam, seperti kata-kata, sikap dan kegiatan. 4. Proses kelompok dan efek dari proses kelompok terhadap individu dan pengaruh timbal balik dari individu terhadap kelompok. 5. Arti dan efek terhadap individu, kelompok dan masyarakat dari warisan budaya termasuk agama, nilai spiritual, hukum-hukum dan institusi sosial lainnya. 6. Hubungan, yaitu proses interaksional antara individu, antara individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. 7. Masyarakat,
proses
internal,
mode
perkembangan
dan
perubahan, pelayanan sosial dan sumber dayanya. 8. Pelayanan sosial, struktur, organisasi dan metode-metodenya. 9. Diri sendiri, yang membuat seorang praktisi secara individual mampu menyadari dan mengambil tindakan dan bertanggung jawab terhadap emosi dan sikapnya sendiri sebagaimana kedua hal tersebut mempengaruhi fungsi profesional pekerja sosial.
Tentu saja, kemampuan untuk berubah pada seseorang, tidak termasuk lingkungannya, memerlukan penerapan pengetahuan yang fleksibel. Karena ilmu pengetahuan mengenai manusia tidak pernah 86
usai atau pasti, pekerja sosial disarankan untuk mempertimbangkan keadaan umum dan untuk
menyadari dan bersiap untuk berurusan
dengan tingkah laku manusia yang spontan dan tidak dapat diperkirakan.
KEGIATAN BELAJAR 3 KEBUTUHAN PENGETAHUAN PEKERJA SOSIAL SAAT INI Untuk menggambarkan pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki seorang pekerja sosial saat ini, modifikasi rumus konseptual yang dikembangkan oleh Kadushin cukup membantu. Rumusan ini mengidentifikasi lima tingkat pengetahuan pekerja sosial yang harus digunakan dalam proses pemberian bantuan. Pengetahuan ini berkisar dari pengetahuan umum digunakan oleh semua profesi hingga pengetahuan spesifik yang digunakan dalam berhubungan dengan kelayan secara individual. Dengan menggunakan kerangka dasar konseptual tersebut, memungkinkan para pekerja sosial menguji pengetahuan dasar yang digunakan oleh seorang praktisi pekerja sosial dalam sebuah setting ‘koreksi’ pada saat ia bekerja dengan kelayan tertentu. Analisis kasus ini membantu mengidentifikasi pengetahuan dasar umum pekerjaan sosial, pengetahuan mengenai setting praktik yang spesifik (koreksi), pengetahuan mengenai
institusi tertentu (fasilitas penangkapan
tunasusila yang selalu siap), pengetahuan mengenai kelayan tertentu (kejahatan pada anak perempuan), dan pengetahuan mengenai kontak khusus/spesifik (wawancara awal).
87
1) Pengetahuan Umum Pekerjaan Sosial Para pekerja sosial yang secara profesional dilatih / dididik mungkin mendapatkan pengetahuan umum dasar pekerjaan sosial dari program pendidikan pekerjaan sosial dikhususkan untuk memasuki bidang garapan ‘koreksional’. Mata kuliah kurikulum di sekolah pekerjaan sosial didapat dari lapangan, sebagaimana pula dengan profesi dan bidang ilmu lainnya, untuk memberi siswa informasi halhal yang membentuk pengetahuan umum pekerjaan sosial. Pengetahuan ini dikategorikan kedalam 3 daerah: 1. Kebijakan dan pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk mata kuliah mengenai masalah sosial; pengembangan program dan institusi untuk mencegah, menangani dan mengawasi masalah; kekuatan dan pergerakan yang telah mempengaruhi tujuantujuan kesejahteraan sosial; akibat dari kebijakan sosial, dan peranan pekerja sosial dalam menyusun kebijakan. 2. Tingkah laku manusia dan lingkungan sosial, termasuk mata kuliah mengenai pertumbuhan manusia dan pengembangan kepribadian (baik normal maupun abnormal); penyakit dan kecacatan; norma dan nilai budaya, proses masyarakat dan aspek-aspek lain dari fungsi sosial individu dan kelompok. 3. Metode-metode praktik pekerjaan sosial, termasuk metode pelayanan
langsung
–
bimbingan
sosial
perseorangan,
bimbingann sosial kelompok dan pengorganisasian masyarakat – dan metode-metode penelitian dan administrasi.
88
2) Pengetahuan Mengenai Bidang Praktik Spesifik Pekerja sosial dipekerjakan di bidang ‘koreksional’ – probasi, penjara atau parole (pengawas) – harus disatukan dengan tujuan-tujuan, filosofi dan fungsi dari bidang tersebut dalam kehidupan masyarakat. Seseorang perlu mengetahui bahwa fungsi ‘koreksi’ adalah hukuman pelaku kejahatan. Tipe hukuman mungkin hanya yang telah diatur oleh hukum; penjara (pengurangan hak kebebasan), denda (pengurangan kekayaan) dan kematian dan hukuman tertentu lainnya yang ada dan diterima oleh masyarakat. Seseorang juga harus mengetahui keyakinan umum dalam filosofi ‘koreksional’, hingga hukum yang tegas dan penanganan ‘koreksional’ memiliki dua tujuan: penanganan terhadap pelaku kejahatan dan perlindungan masyarakat. Kepercayaan umum lainnya adalah bahwa penanganan pelaku kejahatan seharusnya di individualisasikan, yaitu yang sesuai dengan pelaku kejahatan tertentu saja. Pekerja sosial juga seharusnya cukup mengenal teori-teori krimonologi, yang mungkin dapat disatukan ke dalam 3 kategori: (1). Teori biologikal dan konstitusional, seringkali disebut sekolah kejahatan biologi, yang mencari alasan utama kejahatan dalam warisan fisik dan mental manusia; (2) teori psikogenik, yang mencari karakter antisosial sampai hubungan yang salah dalam keluarga dalam tahuntahun pertama kehidupan; dan (3) teori sosiologikal, yang berargumen bahwa tekanan dan tarikan dari lingkungan sosial menghasilkan kejahatan dan tingkah laku kejahatan. Teori-teori tersebut merupakan teori yang dihasilkan pada awal abad 19, sementara, Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa anak laki-laki dari daerah kumuh kita tertarik kepada budaya kejahatan pada saat mereka menyadari bahwa mereka 89
tidak memiliki akses untuk berhasil secara sah. Karena pekerja sosial ditempatkan di bidang praktik tertentu – probasi – ia sudah seharusnya memiliki pengetahuan lebih mengenai bidang tersebut daripada bidang lainnya seperti sistem parole atau penjara.
3) Pengetahuan Mengenai Institusi Tertentu Bagian probasi bertanggung jawab untuk pelayanan probasi bagi orang dewasa dan anak-anak seperti yang diminta oleh pengadilan atau pihak berwenang di suatu tempat. Institusi ini terhubung dengan pengadilan
tapi
bukan
merupakan
cabang
dari
pemerintah;
pelayanannya termasuk mempelajari, menangani dan mengawasi para tahanan yang mendapat probasi. Melalui institusi ini, masyarakat mencoba memberikan bantuan ‘koreksi’ kepada para ‘tahanan’dan melindungi
masyarakat
pada
saat
yang
bersamaan.
Karena
memenjarakan semua pelaku kriminal dipandang tidak ekonomis, tidak sosial, probasi berperan untuk merehabilitasi orang-orang yang dituduh melakukan
kejahatan
dengan
mengembalikan
mereka
kepada
lingkungan masyarakat untuk beberapa waktu dengan mendapatkan pengawasan. Kebanyakan pelaku tindak kejahatan dapat dibimbing ke arah kehidupan yang lebih berguna tanpa harus dikeluarkan dari keluarga, pekerjaan atau masyarakat. Pekerja sosial seharusnya mengetahui dan memahami undang-undang yang mengatur probasi dan pelayananpelayanan yang diberikan oleh bidang probasi. Fungsi pelayanan di lapangan termasuk juga investigasi untuk membantu pengadilan memutuskan hukuman yang sesuai pada tertuduh dan pengawasan
90
anak-anak dan orang dewasa yang ditempatkan di probasi oleh pengadilan. Sebagai tambahannya, pekerja sosial harus memahami fungsi pelayanan lain dari bidang probasi, seperti: (1) membantu para anak-anak terlantar yang tidak dapat tinggal di rumah mereka masingmasing; (2) mengatur kelengkapan penahanan sementara; (3) menyediakan fasilitas penanganan rehabilitasi institusional bagi remaja nakal yang memerlukan penanganan di luar rumah. Seperti dapat dilihat, ada sub unit khusus di bidang probasi yang memerlukan pengetahuan khusus tambahan dari pekerja sosial. Pekerja sosial pada contoh kasus berikut ini adalah dipekerjakan di pusat pelayanan penempatan anak perempuan usia 13-17 tahun. Para anak perempuan ini telah dituduh bersalah dan telah diperintahkan untuk ditempatkan di ‘institusi’. Pekerja sosial mengetahui bahwa psikotis, penggunaan obat terlarang dan perempuan lesbi tidak diakui di institusi tersebut dan banyak anak perempuan yang ditempatkan di institusi tersebut memiliki karakter dan tingkah laku menyimpang. Karakter menyimpang dapat bervariasi mulai dari yang neurotic hingga pembatasan tingkah laku karena sosiopatis. Dengan berbagai tingkah laku tersebut, pekerja sosial harus memiliki pengetahuan mengenai masalah tingkah laku (gejala) yang ditampilkan oleh para anak
perempuan
tersebut,
seperti
kabur,
kenakalan
seks,
ketidakbiasaan, pengutil, pencuri mobil, dan penyerangan. Pekerja sosial juga harus memahami fasilitas fisik, kebijakankebijakan, prosedur-prosedur program. Semua yang terlibat dalam program ini mengadakan pertemuan rutin untuk membahas: 1. Jenis tingkah laku yang diharapkan dari tiap anak perempuan dan cara mengatasinya 91
2. Setting tujuan prestasi selama tiap anak perempuan tersebut mengikuti program 3. Pemilihan rencana penanganan untuk tiap anak perempuan 4. Cara terbaik bekerja dengan keluarga tiap anak perempuan tersebut 5. Program sekolah yang diikuti, apakah akademis, pengulangan atau kegiatan Pekerja sosial harus tahu tentang rencana penanganan dan sumber-sumber yang ditawarkan oleh institusi tersebut. Dalam contoh kasus yang disebutkan, rencanan penanganan oleh institusi dibagi kedalam 3 kategori luas, yaitu individu, kelompok dan terapi keluarga. Mode-mode penanganan sering dikenal sebagai praktik pekerjaan sosial langsung, yaitu pekerja sosial bekerja langsung pada perseorangan, keluarga atau kelompok. Praktik pekerjaan sosial tidak langsung, yaitu pekerja sosial bekerja secara tidak langsung membantu orang, misalnya, dengan menyediakan konsultasi bagi orang-orang yang terlibat secara langsung dalam membantu kelayan, dengan mengatur institusi sosial, atau dengan membantu masyarakat mengembangkan pelayanan sosial yang dibutuhkan. Rencana penanganan alternatif yang ada dalam contoh kasus bisa jadi individual, yaitu: 1. Bimbingan Sosial Perseorangan Intensif – berbagai pendekatan penanganan diadopsi oleh pekerja sosial, dengan perubahan pada intensitas dan frekuensi pertemuan.
92
2. Bimbingan Sosial Perseorangan dengan konsultasi pada psikiatri – dalam beberapa kasus, pekerja sosial berkonsultasi kepada seorang psikiatri jika ada kasus yang sulit. 3. Penanganan individual oleh seorang dokter – pada beberapa contoh, banyak anak perempuan yang ditemui oleh seorang psikiatri atau psikolog klinis, dengan peran pekerja sosial dalam ‘secondary setting’. Tiga tipe penanganan kelompok yang juga ada dalam institusi tersebut adalah: 1. Bimbingan Sosial Kelompok – sebuah kelompok yang terdiri dari 8 hingga 10 anak perempuan yang fokus utamanya adalah pada kegiatan yang membangun tanggung jawab dan hubungan yang lebih baik diantara mereka dengan orang dewasa. 2. Penanganan kelompok – sebuah kelompok yang terdiri dari 6 hingga 8 anak perempuan, dibimbing oleh seorang konselor dan pekerja sosial, yang mana tujuan utamanya adalah untuk membantu para anak perempuan tersebut meraih kesadaran diri yang lebih besar dan sebuah pemahaman mengenai tingkah laku menyimpang mereka. 3. Terapi kelompok – kelompok terdiri dari 6 hingga 8 anak perempuan, dibimbing oleh seorang psikiatri, psikolog klinis atau seorang pekerja sosial, yang penekanan utamanya adalah psikoterapi. Sehubungan dengan terapi keluarga, seorang pekerja sosial harus tahu bahwa keluarga adalah faktor kunci dalam proses penanganan masalah dan setiap usaha seharusnya dibuat untuk melibatkan keluarga secara aktif
dalam
program
penanganan 93
masalah.
Keluarga
dapat
berpartisipasi seminggu atau dua minggu sekali. Sehingga untuk mendapatkan pengetahuan mengenai keaktifan keluarga, struktur keluarga dan jika kelayan berasal dari kelompok minoritas atau kelompok etnis tertentu, merupakan suatu keharusan dan penting diketahui oleh setiap pekerja sosial.
4) Pengetahuan Mengenai Kelayan Tertentu Disaat segala hal yang berhubungan dengan praktik pekerjaan sosial menjadi lebih spesifik, pekerja sosial sekarang perlu untuk mengetahui lebih dekat kelayan yang diberikan kepadanya. Laporan berikut ini yang digunakan sebagai contoh (nama, tanggal dan tempat disamarkan) merupakan sebuah pengakuan yang cukup umum dan laporan evaluasi intake ditulis oleh intake probation officer. Pekerja sosial memerlukan laporan ini terutama pada saat kontak pertama kali dengan kelayannya agar cukup siap dan mengetahui pelayanan apa yang sesuai dengan kasusnya. Kontak pertama dengan pekerja sosial tidak selamanya berarti merupakan permulaan penanganan masalah. Sebenarnya, penanganan masalah dapat dimulai pada saat intake, ketika institusi melalui pekerja intake nya, mencoba untuk membangun sebuah hubungan kerja yang kooperatif dan positif dengan kelayan, untuk memperkenalkan kelayan dengan peran ‘kelayan’ dan untuk memberika intervensi bantuan yang sesuai dengan situasi intake.
5) Keterampilan-Keterampilan Pekerjaan Sosial Harriet M. Barlett menunjukkan bahwa komponen skills sebagai “alat intervensi” – “sebuah tas besar untuk bepergian”, untuk mampu berbicara, yang memberi cara-cara pekerja sosial melakukan fasilitasi 94
perubahan. Keterampilan-keterampilan yang digunakan oleh pekerja sosial dalam dikelompokkan menjadi tiga ketarmpilan umum, yaitu: 1. Keterampilan-keterampilan pertolongan interpersonal; 2. Keterampilan-keterampilan proses pekerjaan sosial; dan 3. Keterampilan evaluasi dan akuntabilitas Diantara
berbagai
keterampilan
tersebut
keterampilan-
keterampilan pertolongan interpersonal merupakan salah satu dasar keterampilan penting dari semua upaya pertolongan profesional. Keterampilan pertolongan interpersonal tersebut antara lain: 1. Keterampilan komunikasi dan mendengarkan; didalmnya termasuk kemampuan pekerja sosial untuk berkomunikasi secara jelas kepada klien, memahami dan mengiterpretasikan komunikasi verbal dan nonverbal klien; membantu klien menjadi (menyadari) sadar dalam berkomunikasi; mampu mendengarkan secara aktif terhadap kebutuhan, persoalan dan masalah-masalah yang diungkapkan oleh klien dan memahami realitas dalam situasinya, dan mampu mentransformasikan pemahaman tersebut kedalam kegiatan bersama klien, serta membantunya
meningkatan/
memperbaiki
keberfungsian
sosialnya. 2. Keterampilan-keterampilan hubungan pertolongan; diantaranya termasuk kemampuan membangun hubungan kerja dengan klien. Kesadaran diri pekerja sosial, sikap-sikap dan nilai-nilai, kejujuran, keterbukaan, harga diri, dan sikap-sikap lainnya yang mendukung terbangunnya hubungan pertolongan yang baik.
95
DAFTAR PUSTAKA
La Piere, Richard T. and Paul R. Fransworth. 1964. Social Psychology. dalam Skidmore and Thackeray. Introduction to Social Work. Lawang, R.M.Z, 2005, Kapital Sosial: dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Noyes, Arthur P. and Lawrence C. Kolb. 1961. Modern Clinical Psychiatry. Skidmore and Theckeray. 1964. Introduction to Social Work. New Jersey: Simon & Scuster Englewood Cliffs Soerjono Soekanto. 1981. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: UIPress. Tangdilingtin, Paulus, 1998, “Kesejahteraan Sosial: Ilmu yang Terdistorsi”, Makalah disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia, Depok.
96
TOPIK 4 FOKUS PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR:
Keberfungsian Sosial
97
KEGIATAN BELAJAR KEBERFUNGSIAN SOSIAL
Terdapat banyak profesi pemberian bantuan kepada manusia yang masing-masing menggarap satu aspek khusus dari manusia itu sendiri. Aspek kehidupan manusia yang menjadi bidang garapan pekerjaan sosial adalah aspek kehidupan sosialnya. Manusia secara kodratiah merupakan makhluk sosial, sehingga Aristoteles menyatakan, bahwa: ”Tidak ada manusia normal yang hidup sendiri... Manusia adalah suatu hewan sosial (Zoon Politicon)” (dalam Bierstedt, 1970:272). Dengan sifat dasarnya tersebut, maka manusia tidak dapat bertahan sendiri, seperti dikemukakan oleh Bertrand (1975:1), bahwa: ”...manusia harus mengorganisasikan dirinya, yaitu belajar untuk berperilaku dalam antarhubungan dengan manusia lain, agar ia dapat bertahan hidup”. Manusia membentuk unit-unit sosial dalam berbagai tingkatannya, dan setiap anggotanya kemudian menempati posisi sosial di dalamnya yang disertai dengan peranan sosial yang disandangnya sebagai konsekuensi posisinya tersebut; demikianlah terbentuk sistem sosial yang disebut keluarga, kelompok, golongan, dan masyarakat itu sendiri. Pekerjaan sosial akan selalu menemukan perannya selama di dunia ini ada dua atau lebih manusia yang karenanya terjadi interaksi sosial dalam berbagai bentuknya, mulai dari harmonis sampai konflik. Ketika terdapat interaksi sosial, akan muncul pula posisi dan peran sosial. Sudah bertahun-tahun Indonesia dilanda bencana, mulai dari tsunami di Aceh, kenaikan harga BBM yang dalam waktu singkat 98
memaksa banyak warganya untuk menjadi miskin, kecelakaan angkutan darat, laut, udara, plus rangkaian ’kecelakaan’ tembakan di kepolisian, kekerasan di dalam kampus yang membawa kematian puluhan mahasiswa. Jika hanya terjadi satu atau dua kali dalam kurun waktu yang panjang, maka sebuah peristiwa seperti itu adalah ’kecelakaan’, tetapi jika terjadi berulangkali dalam kurun waktu dekat, berarti ada faktor lain selain kecelakaan. Berhamburanlah komentar, analisis, mulai dari teknis sampai agamis, yang lebih banyak tidak ada kesimpulan, bahkan lebih sedikit lagi tidak ada penanganan. Bencana terbesar yang melanda masyarakat ini sesungguhnya adalah bencana perilaku yang tentu saja mencerminkan kualitas pikir dan sikap. Ada yang salah dengan masyarakat ini, mulai dari moral sampai manajemen dalam berbagai level dan aspek kehidupannya. Masyarakat ini tidak dapat melaksanakan peran sosialnya untuk mensejahterakan warganya; masyarakat ini mengalami masalah disfungsi sosial. Demikian masyarakatnya, demikian pula kelompok-kelompok, golongan-golongan, keluarga-keluarga, dan individu-individu sebagai bagian-bagian dari sistem masyarakat itu sendiri. Sudahkah masyarakat mengadakan sistem pelayanan sosial yang dibutuhkan oleh warga? Sudahkah para pemimpin melaksanakan peran sebagai pengayom dan pelayan warganya? Sudahkah para warga biasa melaksanakan peran sebagai
pengabdi
masyarakat?
Sudahkah
para
mahasiswa
melaksanakan peran sebagai calon-calon perintis, pelopor pembaharuan ide-ide untuk kesejahteraan masyarakat? Sudahkah para dosen melaksanakan peran sebagai fasilitator ilmu dan teknologi yang mendorong para mahasiswanya untuk mandiri dan kreatif? Sudahkah para mahasiswa melaksanakan aktivitas belajar mandiri? Sudahkah 99
para ayah dan para suami melaksanakan perannya sebagai pemimpin dan pendidik anggota keluarganya? Sudahkah para istri melaksanakan perannya sebagai kepala rumah tangga keluarganya, pendidik bagi anak-anaknya?; WOW! sejuta satu sudahkah, yang jawabannya rasanya semakin sayup, beluuum.... Jika
jawabannya
demikian,
maka
masyarakat,
golongan/kelompok di dalam masyarakat, dan individu-individu warganya belum berfungsi sosial. Secara
sederhana,
ketidakberfungsian
sosial
berarti
ketidakmampuan melaksanakan peran sosial seperti diamanahkan oleh nilai-nilai masyarakat. Peranan merupakan seperangkat harapan tentang tindakan yang seharusnya dilakukan seseorang, kelompok, atau masyarakat
pada
posisi
(status)
tertentu.
Veeger
(1992:60)
mengemukakan :”Sering orang mempunyai pelbagai status sekaligus dan akibatnya pelbagai peranan. ... Masing-masing status menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sendiri. Hak-hak dan kewajibankewajiban (tanggung jawab) itu disebut peranan (role) dan menyangkut perilaku orang ...”. Dengan demikian, keberfungsian sosial secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugastugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya. Seorang ayah misalnya, dikatakan dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik, jika ia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mampu menjadi pendidik, pelindung, dan pembimbing segenap anggota keluarganya. Sebaliknya, jika seorang ayah yang karena suatu sebab tidak mampu menjalankan peranannya, ia dikatakan tidak berfungsi 100
sosial atau mengalami disfungsi sosial. (Abu Huraerah, Pekerjaan Sosial Dalam Menangani Kemiskinan, Pikiran Rakyat, 2005). Empat masalah dalam bidang kehidupan yang terkait erat dan langsung
sebagai
penyebab
maupun
sebagai
akibat
social
disfunctioning, yaitu: kemiskinan, rendahnya pendidikan (kebodohan dalam artinya yang luas), rendahnya taraf kesehatan, dan buruknya pemeliharaan lingkungan. Skidmore and Thackeray (1988:36): ”In general, problems can be classified as personal, family, or community. Social work has the challenge to understand these problems and too help to prevent and reduce them”. Dalam konteks praktik Pekerjaan Sosial, persoalannya bukan masalah sosialnya itu sendiri, melainkan masalah keberfungsian sosialnya. Skidmore and Thackeray (1988:20-21), mengemukakan: ...that social work is concerned with the interaction between people and their environment with the consequences that (1) affect the ability of people to cope with life’s problems and tasks, (2) eliminate or lessen the negative consequences of stress, (3) contribute to achievement of personal aspiration and goals, (4) embrace those values that promote the general welfare and social justice. Pekerjaan
Sosial
adalah
profesi
pemberian
bantuan
kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan peranannya. Dengan kata lain, nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang digunakan Pekerjaan Sosial pada dasarnya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) klien yang dibantunya (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1985; Morales dan Sheafor 1989; Skidmore, Thackeray dan Farley, 101
1991). Sebagaimana dinyatakan Skidmore, Thackeray dan Farley (1991:19): ‘Social functioning to be a central purpose of social work and intervention was seen as the enhancement of social functioning.’ Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi Pekerjaan Sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi Pekerjaan Sosial dengan profesi lainnya Keberfungsian sosial mengacu pada cara yang dilakukan individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya (Siporin, 1975:17). Pendapat ini sejalan dengan Baker, Dubois, dan Miley (1992:14) yang juga menyatakan bahwa
keberfungsian
sosial
berkaitan
dengan
pemenuhan
tanggungjawab seseorang terhadap masyarakat secara umum, terhadap lingkungan terdekat dan terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan dasar dirinya, pemenuhan kebutuhan dasar anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, dan pemberian kontribusi positif terhadap masyarakat. Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek dari segenap proses dan aktivitas kehidupannya; bahwa klien memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; bahwa klien memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya. Mengenai fokus praktik profesi Pekerjaan Sosial, Harriet Bartlett mengemukakan bahwa fokus Pekerja Sosial adalah pada fungsionalitas sosial. Bartlett menyatakan bahwa fokus profesi 102
Pekerjaan Sosial adalah hubungan di antara aktivitas orang untuk menghadapi tuntutan-tuntutan dari lingkungan; dengan tuntutantuntutan dari lingkungan itu sendiri (Bartlett, Harriet M., The Common Base of Social Work Practice, Social Work, April). Bagi Bartlett, konsep fungsionalitas sosial tidak diartikan sebagai fungsionalitas individu-individu ataupun kelompok-kelompok, namun perhatian ditujukan terutama terhadap apa yang terjadi di antara orang dengan lingkungan, melalui hubungan saling mempengaruhi di antara keduanya. Fokus ganda ini mengikat keduanya menjadi satu. Dengan demikian, orang dengan situasi, orang dengan lingkungan; dicakup dalam suatu konsep tunggal, yang berarti bahwa keduanya harus selalu dipandang secara bersamaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Morales dan Sheafor, yang menyatakan bahwa; “Penelaahan tentang Pekerjaan Sosial adalah suatu penelaahan tentang orang-orang yang dipersiapkan untuk membantu orang-orang lain dalam upaya untuk mencegah timbulnya atau untuk memecahkan masalah-masalah dalam fungsionalitas sosial” (Armando Morales, Bradford W. Sheafor, Social Work: A Profession of Many Faces, 1977). Ide dasar dari uraian tentang fungsionalitas sosial ini adalah bahwa dalam konteks perubahan masyarakat yang semakin lama semakin cepat, terjadi pergeseran norma-norma sosial di dalam masyarakat karena proses interaksi dengan masyarakat-masyarakat lain; sementara di sisi lain masyarakat tersebut memegang nilai-nilai sosiobudayanya sendiri yang memang seharusnya dipertahankannya sebagai fondasi kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Dalam dinamika sosial tersebut, banyak terjadi kesulitan penyesuaian diri pada warga 103
masyarakat yang mengakibatkan masalah bagi mereka untuk dapat melaksanakan peran (perilaku yang seharusnya) sesuai dengan status sosial yang disandangnya. Terjadilah kesenjangan antara apa yang seharusnya dilakukan seseorang atau sebuah institusi dengan apa yang dilakukannya.
Inilah
inti
pengertian
ketidakberfungsian
sosial.
Pekerjaan sosial merupakan sebuah bidang keahlian yang didisain untuk membantu warga masyarakat meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan peran sosialnya, artinya menghilangkan kesenjangan antara peran dengan perilaku sosial warga masyarakat tersebut. Dalam setiap sistuasi pertolongan, pekerja sosial concern dengan berbagai atau masalah potensial dalam social functioning (keberfungsian sosial). Setiap pekerja sosial membantu fungsi orang, kelompok, keluarga dan masyarakat lebih efektif melalui interaksinya dengan sejumlah bagian lingkungan. Secara lebih jelas lagi William Gordon menggambarkan fokus praktiknya sebagai berikut: The central social work focus is placed at interface between or the meeting place of person and environment—at the point where there is or is not matching with all its good and bad consequences for the person and environment. The phenomenon of concern at this interface is the “transaction” between person and environment. Transaction is “exchange in the context of action or activity”. The action or activity is a blend of personactivity and impinging environment-activity. Sentral fokus pekerjaan sosial ditempatkan diantara batasan atau pertemuan antara orang dan lingkungan – yaitu pada titik dimana ada atau tidaknya kesesuaian dengan semua akibat baik dan buruk dari fokus tersebut bagi orang dan lingkungan. Fenomena perhatian pada batasan ini adalah ‘transaksi’ diantara orang dan lingkungan. Transaksi adalah ‘pertukaran di dalam konteks kegiatan atau aktifitas’. Kegiatan atau aktifitas ini
104
merupakan paduan antara aktifitas-orang dan kemunculan aktifitas–lingkungan. Dalam
bentuk
yang
sedikit
berbeda,
Herbert
Bisno
menggambarkan fokus pekerjaan sosial ketika dia mengidentifikasikan pekerja sosial sebagai seseorang yang menghadapi “permasalahan dalam keberfungsian sosial, aktual atau potensial, dengan tujuan memantapkan atau meningkatkan keberfungsian seseorang, secara perorangan atau unit kolektif”.
Keberfungsian sosial merupakan
konsep yang berguna karena melingkupi dampak-dampak baik karakteristik perkembangan orang dan kekuatan yang berasal dari lingkungan sosial. Hal ini berarti bahwa seseorang dengan seperangkat perilaku,
kebutuhan,
dan
keyakinannya
merupakan
hasil
dari
pengalaman individu yang unik yang berkembang dari sejak lahir hingga kini. Juga mengakui bahwa apapun yang melekat pada situasi yang harus berkaitan dengan dunia yang mesti dihadapi seseorang. Tidak tepat bagi pekerja sosial yang hanya membatasi praktiknya terhadap individu sementara sumber permasalahan diketahui ada di dalam masyarakat. Keterampilan pekerja sosial harus dipersiapkan untuk dapat bekerja baik dengan orang maupun lingkungan. Inilah yang merefleksikan keunikan fokus pekerjaan sosial. Sebaliknya, dokter dipersiapkan untuk membantu individu, dan pengacara secara lebih leluasa bergerak pada sistem hukum, yang merupakan satu aspek lingkungan (meskipun demikian baik dokter dan pengacara juga perlu memberikan perhatian sekunder kepada sistem lainnya). Pekerja sosial, yang tidak ahli dalam kedua bidang tersebut, adalah ahli dalam membantu manusia yang mengalami permasalahan
105
diantara kedua bidang tersebut. Dengan kata lain, pakerja sosial bergerak dalam memfasilitasi transaksi diantara orang dan lingkungan. Jadi tugas utama bagi pekerja sosial adalah membantu orang mengatasi masalah yang ada atau potensial dalam keberfungsian sosial, dengan melakukan perubahan baik individu ataupun lingkungan. Dalam gambar berikut diperlihatkan contoh pekerja sosial dalam kegiatan, person mungkin seorang individu, atau orang-orang dalam konteks keluarga, kelompok kecil, organisasi, masyarakat, atau lebih besar lagi, yaitu suatu struktur masyarakat. dalam setiap kasusnya, ‘person’ terlibat dalam upaya mengatasi atau mencegah timbulnya permasalahan dalam keberfungsian sosial atau menciptakan kondisi kemasyarakatan yang ‘terbaik’ untuk mencapai interaksi yang memuaskan anatar person dan lingkungan. Dalam gambar berikut akan terlihat keunikan intervensi pekerjaan sosial pada sasaran praktiknya.
Environment Problem Social worker social work Intervention
Gambar: Fokal Poin Intervensi Pekerjaan Sosial
106
Dalam upaya membantu orang meraih tujuan peningkatan keberfungsian sosial, pekerja sosial perlu mempersiapkan adanya jaminan sumber-sumber yang diperlukan dalam rangka memenuhi tujuan klien tersebut. Jika sumber-sumber tersebut tidak tepat atau tidak tersedia, pekerja sosial perlu mempersiapkan upaya-upaya peningkatan keberfungsian sosial atau berupaya menciptakannya. Minahan dan Pincuss memberikan gambaran sumber sebgai berikut. Suatu sumber adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memenuhi tujuan, pemecahan masalah, mengurangi tekanan, memenuhi tugas kehidupan, atau merealisasikan aspirasi dan nilai-nilai. Sumber-sumber tersebut mungkin tangible, seperti halnya uang, makanan, rumah, perawatan; atau intangible, sepertihalnya pengetahuan, semangat, harapan, cinta, status. Dalam konsepsi pekerjaan sosial sebagai suatu profesi yang membantu orang memenuhi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial, dimungkinkan untuk melihat secar lebih jelas apa yang pekerja sosial lakukan. Satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji aktifitas yang dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu: 1. Membantu mengembangkan sistem sumber baru; 2. Memantapkan hubungan yang telah terjalin antara orang dan sistem sumber dan diantara berbagai sistem sumber; 3. Menfasilitasi interaksi diantara individu dalam sistem sumber; 4. Memfasilitasi berjalannya interaksi diantara sistem sumber; dan 5. Membantu orang mengembangkan dan mengatasi pemecahanmasalah dan menghadapi sumber internalnya sendiri
107
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, Pekerjaan Sosial Dalam Menangani Kemiskinan, Pikiran Rakyat, 2005 Armando Morales, Bradford W. Sheafor, Social Work: A Profession of Many Faces, 1977 Dobuis & Miley, 1992. Social Work, An Empowering Profession. Allyn and Bacon, Massachusetts. Siporin, Max. 1975. Introduction to Social Work Practice. Prentice Hall International Ed., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Skidmore, Rex A., Milton Thackeray, dan O William Farley. 1988. Introduction to Social Work. New Jersey: Simon & Scuster Englewood Cliffs
108
TOPIK 5 PROSES PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Pergeseran klien bagi Pekerja Sosial KEGIATAN BELAJAR 2: Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah KEGIATAN BELAJAR 3: Proses Praktik Pekerjaan Sosial, Kerangka Model Analisis dan Pemecahan Masalah Sosial
109
KEGIATAN BELAJAR 1 PERGESERAN KLIEN BAGI PEKERJA SOSIAL
Tahun 1912 orang-orang yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian kepada budaya baru atau hidup dalam kemiskinan: mengkaji situasinya, menentukan penyebab masalah dan menyediakan sumber-sumber yang akan membudayakan klien kepada norma-norma kelas menengah. Tahun 1927 orang-orang yang penyesuaiannya kepada masyarakat tidak normal: mengkaji klien dari perspektif psikoanalisis, mengembangkan hubungan baik dalam menolong klien dan mendapat pemahaman yang baik tentang dirinya. Tahun 1933 orang-orang yang menghadapi kemiskinan: memberikan bantuan sumber-sumber ekonomi dan bila ada waktu juga memberikan pemikiran tentang bagaimana inefisiensi ekonomi memenganuhi kehidupan seseorang. Tahun 1943, orang-orang dari kelas menengah yang mengalami ketidaknyamanan psikologis: karena hidup dalam keluarga normal merupakan impian, maka penanganannya adalah menciptakan hubungan yang memungkinkan penjelajahan siapa orang yang berfungsi dalam situasi. Tahun 1963 orang yang mengalami multi problem hidup dalam kemiskinan: bagaimana menangani orang yang tidak bersemangat, korban lingkungan buruk, dan budaya kelompok minoritas. Tahun 1990 seseorang, keluarga, atau komunitas yang memerlukan salah satu aspek keberfungsian sosial: pendekatan generalis, mengadakan assessment tentang the person in the situation. Tahun 2000an seseorang, keluarga, atau komunitas yang memerlukan salah satu aspek keberfungsian 110
sosial, organisasi, kelembagaan, struktur sosial dan kebijakan sosial yang mengancam atau mengganggu keberfungsian sosial orang-orang: membela dan memberdayakan mereka.
Selectivity Vs Eclecticism Ada beberapa teori praktik yang ditulis dan dikembangkan secara begitu melebar dan dengan demikian akan mampu mencukupi dirinya sendiri (Self Sufficient), dan bersifat komprehensif. Akan tetapi, pemilihan
satu
pendekatan
teoritik
saja
akan
mengakibatkan
penyederhanaan yang berlebihan (over simplifies) terhadap penerapan teori tersebut dalam praktik pertolongan. Semenjak permasalahan sosial yang dihadapi oleh manusia berasal dan berada pada pengalaman manusia serta situasi yang sangat beragam, maka variasi praktik pekerjaan sosial yang dibutuhkan juga menjadi sangat beragam. Berbagai kemungkinan maupun model intervensi pekerjaan sosial, dengan demikian, harus dikembangkan secara lebih luas. Hal inilah yang mendorong pekerjaan sosial untuk mengembangkan "eclecticism", yaitu memanfaatkan berbagai aspek dari teori yang berbeda secara bersamaan.
BEBERAPA KOMPONEN TINDAKAN PROFESIONAL "GUIDELINES" BAGI PEKERJA SOSIAL Tindakan Pekerjaan Sosial Profesional Memandang pekerjaan sosial sebagai suatu komitmen kuat terhadap suatu tindakan dan nilainilai pengembangan masyarakat.
Tindakan Nonprofesional Memandang pekerjaan sosial semata-mata sebagai suatu pekerjaan yang dapat dengan mudah kita tinggalkan jika ada tawaran kerja lain yang lebih baik. 111
Tindakan Pekerjaan Sosial Profesional Melandasi praktik yang dilakukannya dengan kerangka pengetahuan yang dipelajari melalui proses pendidikan dan pelatihan secara formal. Melandasi keputusan-keputusan yang diambilnya dengan fakta, analisis mendalam, serta pemikiranpemikiran kritis. Mengikuti prinsip-prinsip dalam praktik yang baik, walaupun mendapat tekanan dari luar. Menggunakan prinsip, nilai, serta etik profesi dalam mengenali serta memahami persoalanpersoalan etik.
Tindakan Nonprofesional Melandasi praktik yang dilakukannya dengan pandangan pribadi serta aturan-aturan lembaga secara sempit. Melandasi keputusan-keputusan yang diambilnya dengan perasaan serta kebiasaan. Didikte oleh tekanan-tekanan politik sempit serta tekanan-tekanan fiskal /anggaran Mengabaikan persoalan etik tanpa pertimbangan matang, hanya menggunakan pertimbangan moral pribadi maupun pilihan-pilihan personal secara sempit. Mempelajari hanya yang penting untuk melaksanakan pekerjaan.
Secara terus menerus meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki sehingga pelayanan juga selalu meningkat. Secara terns menerus berbagi pengetahuan, ketrampilan, serta pengalaman dengan kolega.
Pengetahuan, dan pengalaman hanya untuk kepentingan pribadi, tidak untuk disebarkan kepada orang lain (exclusivism). Sekedar melaksanakan tugas dan tidak bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Mengabaikan review kolega.
Bertanggung jawab untuk selalu mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan. Terus menerus melibatkan kolega untuk memberikan review terhadap kinerja pribadi. Selalu menyusun pencatatan atas kegiatan yang dilakukan secara akurat dan lengkap
Mengabaikan pencatatan, atau pencatatan dilakukan secara tidak lengkap & tidak akurat
112
Tindakan Pekerjaan Sosial Profesional Menempatkan kesejahteraan atau terpenuhinya kebutuhan masyarakat sebagai misi utama di atas misi-misi pribadi Mengembangkan relasi pertolongan yang berorientasi pada tujuan pelayanan.
Tindakan Nonprofesional Misi pribadi merupakan perhatian utama.
Mengembangkan relasi dengan tujuan tidak terarah pada tujuan pelayanan, melainkan pada tujuan pribadi. Menanggapi frustasi serta kemarahan-kemarahan masyarakat secara pribadi, melibatkan emosi pribadi pada aksi yang dilakukan.
Tidak menanggapi ekspresi emosi negatif masyarakat secara pribadi, selalu mencari pemahaman atas alasan dibalik kemarahan ataupun frustrasi masyarakat
113
KEGIATAN BELAJAR 2 PERANAN PEKERJA SOSIAL DALAM MENANGANI MASALAH
Peranan adalah sekumpulan kegiatan altruistis yang dilakukan guna tercapainya tujuan yang telah ditentukan bersama antara penyedia dan penerima pelayanan. Peranan merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan kemampuannya dalam situasi tertentu. Peranan dalam profesi apa pun tidak ditentukan dalam kevakuman, namun terkait dengan aneka ragam variabel. Peranan juga tidak berdiri sendiri namun terkait dengan peranan-peranan lain. Dengan demikian, peranan bersifat dinamis dan interaksional, dalam pengertian dapat berubah sesuai dengan variabel dan peranan-peranan lain yang dilaksanakan oleh pekerja sosial. Beberapa variabel yang menentukan peranan pekerja sosial profesional ialah: 1) pendekatan dulaistis dalam pekerjaan sosial, yaitu perubahan
dan
pengembangan
personal
serta
perubahan
dan
pengembangan social sebagai satu kesatuan, 2) fungsi-fungsi praktik pekerjaan sosial yang saling berkaitan yaitu pencegahan, dengan peranan-peranan penelitian, analisis, penyusunan dan pengembangan kebijakan, program dan pelayanan kesejahteraan sosial. Peredaman dampak, dengan peranan-peranan pemberdayaan individu, keluarga, kelompok,
organisasi
dan
masyarakat,
motivasi/
penyuluhan/
kampanye sosial, pengajaran/ pelatihan, advokasi sosial, mobilisasi dan alokasi sumber, asistensi sosial dan lain-lain.
114
Pengembangan atau pemberdayaan,dengan peranan-peranan perubahan
dan
pengembangan
sikap
dan
perilaku,
motivasi/
penyuluhan/ kampanye sosial, bimbingan/ pendampingan sosial, pengajaran/ pelatihan, mobilisasi dan alokasi sumber, asistensi sosial, dan lain-lain. Perlindungan, dengan peranan-peranan penanganan krisis dan stigma, motivasi/ penyuluhan/ kampanye sosial, bimbingan/ pendampingan
sosial,
asistensi
sosial,
rujukan,
dan
lain-lain.
Penyembuhan, dengan peranan-peranan konseling klinis, penyembuhan kelompok dan keluarga, perubahan dan pengembangan status dan peranan, asistensi sosial, dan lain-lain. Rehabilitasi, dengan perananperanan penyembuhan individu, kelompok dan keluarga, perubahan dan pengembangan status dan peranan, pengajaran/ pelatihan, mobilisasi dan alokasi sumber, asistensi sosial, dan lain-lain. Peranan yang ditampilkan oleh pekerja sosial di dalam masyarakat/ badan/ lembaga/panti sosial akan bervariasi tergantung pada permasalahan yang dihadapinya. Pernyataan itu diperkuat dan dipertegas oleh Bradford W. Sheafor dan Charles R. Horejsi, (2003:55), peranan yang ditampilkan pekerja sosial antara lain: 1) Peranan sebagai perantara (broker roles), 2) Peranan sebagai pemungkin (enabler role), 3) Peranan sebagai penghubung (mediator role), 4) Peranan sebagai advokasi (advocator role), 5) Peranan sebagai perunding (conferee role), 6) Peranan sebagai pelindung (guardian role), 7) Peranan sebagai fasilitasi (facilitator role), 8) Peranan sebagai inisiator (inisiator role), dan 9) Peranan sebagai negosiator (negotiator role). Peranan sebagai perantara, pekerja sosial bertindak di antara klien atau penerima pelayanan dengan sistem sumber (bantuan materi dan non materi tentang pelayanan) yang ada di badan/ lembaga/panti 115
sosial. Selain sebagai perantara, pekerja sosial juga berupaya membentuk jaringan kerja dengan organisasi pelayanan sosial untuk mengontrol kualitas pelayanan sosial tersebut. Peranan sebagai broker muncul akibat banyaknya orang yang tidak mampu menjangkau sistem pelayanan sosial yang biasanya memiliki aturan penggunaannya yang kompleks dan kurang responsif terhadap kebutuhan klien atau penerima pelayanan. Sebagai contoh, membantu klien atau penerima pelayanan untuk memperoleh keringanan biaya rehabilitasi di badan/lembaga/ panti sosial karena ketidakmampuan dan keterbatasan keluarga, membantu keluarga untuk mendapatkan subsidi rehabilitasi bagi klien atau penerima pelayanan, membantu menentukan konselor dan pembimbing yang profesional. Pengetahuan yang diperlukan oleh seorang broker dalam hal ini meliputi pengetahuan tentang sumber pelayanan, dana rehabilitasi dan kualitas petugas. Dalam melaksanakan peranannya sebagai broker, pekerja sosial perlu melakukan assessment kebutuhan klien atau penerima pelayanan, yaitu untuk mengetahui tingkat dan jenis kebutuhan, pendistribusian kebutuhan, prosedur untuk mengakses pelayanan, pola-pola pelayanan yang dibutuhkan serta hambatanhambatan yang akan ditemui dalam menggunakan pelayanan, juga data tentang biaya yang diperlukan untuk bisa menjangkau kebutuhankebutuhan tersebut (Parson et. al, 1994: 227). Pekerja sosial dapat berperan sebagai broker untuk menghubungkan keluarga dengan pelayanan dan sistem sumber yang ada. Fungsi pekerja sosial adalah untuk memahami situasi keluarga, memahami sumber, melakukan rujukan, menghubungkan sistem pelayanan, dan memberikan informasi
116
yang benar tentang masalah klien atau penerima pelayanan kepada keluarga. Peranan sebagai pemungkin (enabler role) adalah peranan yang paling sering digunakan dalarn profesi pekerjaan sosial karena peranan ini diilhami oleh konsep pernberdayaan dan difokuskan pada kemampuan, kapasitas, dan kompetensi klien atau penerima pelayanan untuk menolong dirinya sendiri. Parsons et. al, (1994:188) mengatakan bahwa enabler role adalah: "the responsibility to help the client become capable of coping with situational or transitional stress. Specific skills use achieving this objectives include conveying hope, reducing resistant and ambivalence, recognizing and managing feelings, identifying and supporting personal strenghts and social assets, breaking down problem into parts that can be solved more readily, and maintaining a focus on goals and the means for achieving them.” Oleh sebab itu, klien atau penerima pelayanan melakukan sesuatu dengan kemampuan yang dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungannya. Sedangkan pekerja sosial hanya berperan membantu untuk menentukan kekuatan dan unsur yang ada dalam diri korban sendiri termasuk untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan atau untuk mencapai tujuan yang dikehendaki korban. Jadi peranan pekerja sosial adalah berusaha untuk memberikan peluang agar kepentingan dan kebutuhan klien atau penerima pelayanan tidak terhambat. Tujuan sebagai enabler, diungkapkan oleh Zastrow, (2000:74): "... helps individuals or groups to articulate their needs, to clarify and identify their problems, to explore resolution strategies, to select and apply a strategy and to develop their capacities to deal with their own problems more effectively" 117
Oleh karena itu, cara yang dilakukan oleh pekerja sosial adalah mengidentifikasi
tujuan,
memfasilitasi
untuk
berkomunikasi,
mengkohesifkan dan mensinerjikan suatu hubungan, dan memberikan peluang untuk pemecahan masalah/ menyelesaikan konflik. Pendekatan yang sering digunakan sebagai pemungkin (enabler) adalah konseling dengan korban, kelompok ataupun keluarga, mengatasi masalah yang berkaitan
dengan
lingkungan,
berupaya
memberikan
peluang/pemungkin agar meningkat partisipasi dan keterlibatan keluarga. Peranan sebagai penghubung (mediator role) akan menggunakan teknik-teknik tertentu yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada. Pekerja sosial bertindak untuk mencari kesepakatan, meningkatkan rekonsiliasasi berbagai perbedaan, untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan, dan untuk berintervensi pada bagianbagian yang sedang konflik, ter-masuk di dalamnya membicarakan segala persoalan dengan cara kompromi dan persuasif. Peranan yang dilakukan oleh pekerja sosial adalah membantu menyelesaikan konflik di antara dua sistem atau lebih, menyelesaikan pertikaian antara keluarga dan klien atau penerima pelayanan, dan memperoleh hak-hak korban. Dalam hal ini, perilaku pekerja sosial tetap memelihara posisi netral, tidak memihak pada salah satu pihak dan menjaga nilai-nilai profesional sehingga apabila mampu menemukan solusi akhir konflik diharapkan terjadi kerja sama di antara keduanya (win-win solution). Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Zastrow, (2000:75) bahwa, "mediators remain neutral, not siding with either party, and make sure
118
they understand the position of both parties" .Tindakan yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial adalah membantu untuk mengklarifikasi posisi kedua belah pihak yang bertentangan, mengidentifikasi penyebab miskomunikasi
dan
membantu
mereka
untuk
terlibat
dalam
penyelesaian masalah sehingga mereka paham akan permasalahan yang sebenarnya. Peranan sebagai advokasi (advocator role). Istilah advokat berasal dari profesi hukum, akan tetapi telah diambil sebagai ciri yang unik dalam pekerjaan sosial. Oleh karena itu, peranan advokat hukum dan advokat dalam pekerjaan sosial tidak sama. Advokat hukum dituntun melalui keinginan hukum, tetapi untuk advokat pekerjaan sosial dibatasi oleh kepentingan yang timbul dari klien atau penerima pelayanan. Peranan sebagai advokat terlihat biasanya sebagai juru bicara klien atau penerima pelayanan, memaparkan dan berargumentasi tentang masalah klien atau penerima pelayanan apabila diperlukan, membela kepentingan korban untuk menjamin sistem sumber, memberikan pelayanan yang dibutuhkan atau merubah kebijakan sistem yang tidak responsif terhadap kepentingan korban. Kegiatan lain dari peranan pekerja sosial sebagai advokat adalah dalam hal menyediakan pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan program. Peranan sebagai perunding (conferee role) adalah peranan yang diasumsikan ketika pekerja sosial dan klien atau penerima pelayanan mulai bekerja sama. Peranan ini dilakukan pada saat pencarian data, pemberian gambaran pada korban penyalahguna narkoba tentang hal apa yang harus dilakukan, dan melaksanakan kontrak pada tahap berikutnya. Kerangka pikir dari peranan sebagai perunding berasal dari 119
model pemecahan masalah. Ini merupakan kolaborasi di antara klien atau penerima pelayanan dan pekerja sosial yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan ini termasuk di dalamnya eksplorasi dan pengertian yang jelas tentang masalah, menghubungkan dan menekankan assessment yang merupakan kesatuan dari masalah, merancang tujuan untuk mengurangi tekanan, membuat strategi alternatif yang umum, evaluasi hasil, implementasi strategi dan terminasi atau pengakhiran pelayanan. Keterampilan yang diperlukan pada peranan perunding adalah keterampilan umum yang digunakan dalam pekerjaan sosial, seperti keterampilan mendengarkan, probing, penguatan/refleksi dan lain-lain. Peranan sebagai pelindung (guardian role) biasanya dilakukan oleh bidang aparat, tetapi profesi pekerjaan sosial dapat mengambil peran seperti melindungi klien atau penerima pelayanan, dan orang yang berisiko tinggi terhadap kehidupan sosial. Korban merasa nyaman untuk mengutarakan masalahnya, beban dalam pikirannya terlepas, dan merasa bahwa masalahnya dapat dirahasiakan pekerja sosial. Peranan sebagai fasilitasi (facilitator role) dilakukan untuk membantu korban berpartisipasi, berkontribusi, mengikuti keterampilan baru dan menyimpulkan apa yang telah dicapai oleh korban (Friesen dan Parson, 1994:12). Dalam hal ini pekerja sosial harus bervariasi dalam memberikan pelayanannya tergantung pada kebutuhan korban dan masalah-masalah yang dihadapinya agar mampu berpikir secara jelas tentang apa yang dibutuhkan di setiap waktu dalam proses rehabilitasi. Di samping itu, peranan ini sangat penting membantu meningkatkan keberfungsian korban khususnya berkaitan dengan kebutuhan, dan tujuan yang ingin dicapai. 120
Peranan sebagai inisiator (initiator role), Zastrow, (2000:75) menyebut sebagai "peranan yang memberikan perhatian pada masalah atau hal-hal yang berpotensi untuk jadi masalah". Oleh karena itu, sebagai seorang inisiator, pekerja sosial berupaya memberikan perhatian pada isu-isu seperti masalah-masalah korban yang ada di badan/lembaga/panti sosial, dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Isi isu ini tidak akan muncul atau menarik perhatian petugas lain sebelum ada yang memunculkannya. Di sinilah peranan pekerja sosial sebagai inisiator untuk menyadarkan badan/lembaga/ panti sosial bahwa ada permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka. Peranan sebagai negosiator (negotiator role), ditujukan pada para klien atau penerima pelayanan yang mengalami konflik dari mencari
penyelesaiannya
dengan
kompromi
sehingga
tercapai
kesepakatan di antara kedua belah pihak. Posisi seorang negosiator berbeda dengan mediator yang berposisi netral. Seorang negosiator berada pada salah satu posisi yang sedang konflik.
121
KEGIATAN BELAJAR 3 1. PROSES PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL Secara mendasar proses pekerjaan sosial beranjak dari suatu paradigma atau cara pandang yang pertama kali dikemukakan oleh Mary Richmond (1918) yang meminjam istilah medis dalam menangani suatu masalah (penyakit), yaitu suatu tahapan dari assessment, diagnosis and treatment sehingga dikenal dengan istilah medical model; yang kemudian ditambahkan evaluation & termination. Sejak itulah mulai suatu proses pekerjaan sosial secara ilmiah dilakukan. Setiap ahli memiliki pandangan yang beragam mengenai proses pekerjaan sosial. Latar belakang budaya, bidang garapan dan objek pekerjaan sosial yang berbeda diantara para ahli tersebut sehingga menghasilkan proses pekerjaan sosial yang berbeda pula. Seperti pada matrik berikut:
Dean H. Hepworth & Jo Ann Larsen (1982) 1. Exploration, Assessment & Planning 2. Implementation & Goal Attainment 3. Termination & Evaluation
Max Siporin (1975) 1. Engagement, Intake & Contract 2. Assessment 3. Planning 4. Intervention 5. Evaluation & Termination
122
Lawrence M. Bremmer (1998) 1. Building Relationship: Entry, Clarification, Structure, Relationship 2. Facilitating positive action: Exploration, Consolidation, Planning, Termination
James K. Whitaker (1974) Intake Assessment & Social Diagnosis Determination of Goals Selection of social treatment plan Establishment of working agreement Sustaining social treatment Evaluation Terminantion and after care
Charles Zastrow (1995) Identify as precisely as possible the problem (s) Generate possible alternative solutions Evaluate the alternative solutions Select a solution (s) to be used, and set goals Implement the solutions Follow up to evaluate how the solution(s) worked
Leonora Serafica de Guzman (1983) Data gathering (fact finding) Identification & definition of problem Planning the intervention Plan Implementation Evaluation Termination or Continuation
Karen K. KirstAshman & Graftorn H. Hull, JR (1993) Assessment Planning The Intervention Evaluation Termination Follow up
123
Beulah Robert Compton &Burt Galaway (1983) The contact phase: problem identification, initial goal setting & data collection The contract phase: Join assessment, goal setting & planning Interventive roles: Implementation of the roles Evaluation
Mary Richmond (1918) Study Diagnosis Treatment Evaluation of treatment
Brenda Dubois & Karla Krogsrud Miley
Louise Johnson (1995)
Naomi I. Brill (1978)
(1992) 1. Builds profesional relationship 2. Identifies and defines the problem, issue, or need that the client present 3. Assesses the problem, issue, or need presented 4. Sets goals for intervention 5. Gathers and analyzes relevant information 6. Explores alternative solutions 7. Formulates the intervention plan 8. Implements and monitor the plan intervention 9. Evaluates the effort and results of intervention 10. Ends the intervention
1. Preliminary statement of the problem 2. Statement of preliminary assumptions about the nature of the problem 3. Selection and collection of information 4. Analysis of information available 5. Development of a plan 6. Implementation of the plan 7. Evaluatioan of the plan
124
1. Engagement 2. Assessment 3. Definition of the problem 4. Setting of goals 5. Selection of alternative methodes & an initial mode of intervention 6. Establishment of a contract 7. Action leading towarth the desired goal 8. Evaluation 9. Continuation of working plan, abandonment of unsuccesful intervention and selection of a difference approach; or termination
Kalau digambarkan secara sederhana maka proses pemecahan masalah sosial adalah sebagai berikut:
Assesment
Plan of
Treatment
Evaluasi &
Treatment
Action
Terminasi
Atau mungkin suatu bentuk lainnya yang menunjukkan suatu tahapan (proses) yang mesti dilalui dalam mengatasi suatu persoalan sosial tertentu. Sementara itu suatu permasalahan atau persoalan sosial yang akan ditangani pun umumnya tidak muncul secara tiba-tiba pula, tetapi melalui suatu tahapan tertentu, sebagaimana terlihat pada bagan berikut:
Cause (s)
Social Problems
Effect
suatu masalah sosial timbul beserta akibat-kibat yang ditimbulkannya pun tidak pernah sederhana dan bersifat tunggal (single problem) tetapi saling terkait dengan berbagai permasalahan lainnya; sehingga dalam menangani permasalahan dan akibat yang ditimbulkannnya perlu dipahami secara sistemik.
125
2. KERANGKA MODEL ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH SOSIAL Apabila kerangka proses pemecahan masalah dan proses timbulnya permasalah dibuat dalam dalam sebuah matrik maka akan terlihat sebagai berikut:
Matrik : Kerangka Model Analisis & Pemecahan Masalah
Proses Permasalahan
Proses Pemecahan Masalah
Cause (s) Social Problems Effect
Studi (sosial)
Assessment (diagnosis)
Treatment
1 2
4 5
7 8
3
6
9 Evaluasi Kembali
Apabila kita melihat berdasarkan pada matrik tersebut maka akan terdapat ‘sembilan sel’ yang merupakan paduan dari kedua proses permasalahan dan pemecahan masalah sosial. Dan setiap akan berisikan statement yang masing-masing berbeda dengan isi dari sel lainnya. Dengan demikian (paling sedikit) terdapat sembilan isyu (persoalan) yang perlu ditelaah yaitu: 1. Studi sosial --- Cause (s); pada bagian ini mengkaji mengenai penyebab-penyebab
timbulnya
permasalahan
dengan
menyediakan data dan fakta yang memperjelas penyebab permasalahan. 126
2. Studi sosial --- Social Problems; merupakan tahap pemahaman terhadap permasalahan yang timbul –kedalaman dan keluasan permasalahan – dari sebab-sebab yang ditimbulkan sebelumnya dengan menyediakan data dan fakta mengenai permasalahan sosial. 3. Studi sosial --- Effect; merupakan tahapan penkajian terhadap akibat-akibat yang timbul dari permasalahan sosial, akibat ini dapat berupa data dan fakta mengenai akibat-akibat baik sosial, kejiwaan,
atau
fisik
yang
merusak
atau
mengganggu
fungsionalitas manusia. 4. Assessment (diagnosis) --- Cause (s); pada tahap ini lebih dalam mengkaji dan menilai mengapa penyebab-penyebab persoalan tersebut
muncul.
Kemudian
langkah-langkah
apa
yang
sebaiknya dilakukan dalam mengatasi penyebab-penyebab tersebut. 5. Assessment (diagnosis) --- Social Problems; adalah tahap untuk mengkaji dan menilai, kemudian menentukan langkah-langkah apa sehingga persoalan tersebut tidak meluas atau menyebar pada setiap lapisan masyarakat. 6. Assessment (diagnosis) --- Effect; Menilai, mengkaji dan menentukan langkah-langkah apa saja dalam rangka mengatasi efek atau akibat-akibat yang ditimbulkan dari permasalahan sosial. Serta menentukan apa dan siapa saja yang akan dilibatkan dalam mengatasi akibat-akibat sosial, mental dan fisik yang telah menggangu fungsionalitas manusia. 7. Treatment
---
Cause
(s);
Mengatasi
penyebab
berarti
menyediakan langkah-langkah cara-cara apa saja, baik formal 127
maupun
informal,
baik
perorangan,
kelompok
atau
kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang mencegah (preventive) timbulnya lagi permasalahan. 8. Treatment --- Social Problems; berarti menyediakan langkahlangkah atau cara baik formal maupun informal, baik perorangan, kelompok atau kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang menghambat perluasan permasalahan sosial yang telah terjadi timbulnya lagi permasalahan. Pada bagian ini kegiatan-kegiatan (developmental),
dapat sokongan
bersifat (supportive),
pengembangan atau
penguatan
/pemberdayaan (empowerment) 9. Treatment --- Effect; berarti menyediakan langkah-langkah atau cara baik formal maupun informal, baik perorangan, kelompok atau kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang dapat mengatasi atau memperbaiki akibat-akibat atau kerusakan secara sosial, mental fisik yang telah mengganggu kemampuan manusia mewujudkan fungsionalitasnya. Pada tahap ini kegiatan-kegiatan lebih bersifat penyembuhan (curative) dan perbaikan (rehabilitative). Pemisahan dan kategorisasi tersebut hanya untuk memudahkan dalam melakukan analisis. Kesembilan bagian tersebut merupakan bagian yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga dalam proses analisis perlu mempertimbangkan berbagai sel lain yang berpengaruh. Ketajaman analisis akan ditentukan oleh penguasaan pengetahuan dan kepekaan dalam membaca persoalan.
128
DAFTAR PUSTAKA
Parsons, J. Ruth, James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez, The Integration of Social Work Practice, Pacific Grove: Brooks/ Cole, 1994. Zastrow, Charles, Introduction to Social Work and Social Welfare, Pacific Grove: Brooks/Cole Publishing Company, 2000.
129
130
TOPIK 6 NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Antara hubungan personal dengan hubungan profesional KEGIATAN BELAJAR 2: Prinsip praktik pekerjaan sosial KEGIATAN BELAJAR 3: Klasifikasi pekerja social KEGIATAN BELAJAR 4: Kerangka profesi pekerjaan sosial
131
KEGIATAN BELAJAR 1 ANTARA HUBUNGAN PERSONAL DENGAN HUBUNGAN PROFESIONAL
Pekerjaan Sosial berawal dari kepedulian sosial antar warga masyarakat. Seluruh sistem praktik Pekerjaan Sosial telah mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan masalah sosial, namun nilai dasarnya tetap: keperdulian sosial. Hepner (1962:....) menulis:”Jika anda ingin memiliki lebih banyak lagi teman, atau ingin bisa bergaul secara lebih menyenangkan, maka anda harus belajar seni tentang melupakan diri sendiri. Anda harus memperkecil kesadaran akan diri sendiri dengan cara berusaha untuk memperbesar kesadaran akan adanya orang-orang lain dan mencurahkan pikiran dan perhatian anda kepada mereka”. Itu ungkapan dari bangsa yang berperibahasa take and give, yang berpikir imbalan langsung sebelum melakukan kebajikan, tetapi ada nilai baik ”lupakan diri sendiri”. Begitulah karakter seseorang yang berjiwa sosial. Semakin besar perhatiannya kepada orang lain, semakin tinggi jiwa sosialnya; dan sebaliknya. Sayyidina Ali b. Abi Thalib (babul ulum – pintu ilmu), dengan sangat arif memberi nasehat: ”lupakan diri sendiri ... lengkapi”. Sangat arif karena nasehat itu mengandung hikmah yang sangat dalam sampai kepada aqidah. Lupakan diri sendiri, perhatikan, bantu orang lain; biarkan Allah SWT membantu kita. Bayangkan semua orang berpikir demikian, maka Allah SWT akan benar-benar mutlak di qalbu setiap orang. Pasti semua orang, keluarga, dan masyarakatnya dilimpahi barokah, karena 132
semuanya langsung dibantu oleh Allah SWT. Demikianlah masyarakat: ”Baldatun toyyibatun warobbun ghafur”. Seorang Pekerja Sosial memiliki karakter dan instink terlatih untuk selalu memperhatikan orang lain, bersimpati dan berempati kepada penderitaan sesama, dan tergerak untuk membantu. Dalam prosesnya, terutama jika bantuan tersebut berlevel mikro dalam bentuk konseling misalnya, terdapat jebakan terutama bagi para pemula. Dia merasa dirinya seorang Pekerja Sosial profesional, kemudian berusaha membantu menangani masalah pribadi seseorang, dan kemudian tidak terasa tumbuh hubungan emosi yang mungkin dipicu oleh klien, mungkin
juga
karena
dalil
kedekatan.
Munculah
masalah
ketidakjelasan hubungan keduanya: pribadi atau profesional ?. Tono memandang dirinya sendiri sebagai pemberi bantuan karena memang ia biasa menjadi tempat curhat dan memberi nasehat kepada teman-temannya. Suatu hari Tini, seorang teman perempuannya menemuinya dan curhat tentang pacarnya yang menurutnya terlalu posesif. Tono mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, kemudian memberi Tini saran tindakan. Beberapa hari kemudian Tini menemuinya lagi, dan Tono sebagai ’konsultan’ menanggapi curhatnya, ngobrol. Semakin sering mereka bertemu, berbicara; lama kelamaan tumbuh rasa suka di hati Tini, ia mulai tidak berbicara tentang pacarnya, melainkan menemui Tono karena memang ingin bertemu dan ngobrol. Tono menanggapinya; keduanya kemudian mulai jalan bersama. Ketika sudah menjalin hubungan secara pribadi, munculah masalah-masalah pribadi di antara mereka. Dalam posisi pencari nasehat, Tini sangat kagum melihat betapa banyaknya temanteman yang lain, termasuk para gadis yang meminta nasehat Tono. 133
Namun dalam posisi ’pacar’, ia merasa terganggu, cemburu, cemas, melihat Tono ngobrol berdua dengan para pencari nasehat. Dari kisah sangat singkat itu dapat ditarik beberapa hal: 1. Terjadi perubahan hubungan, dari hubungan pemberian bantuan kepada hubungan pribadi. 2. Terlepas dari hak individu untuk menjalin hubungan pribadi dengan siapapun yang disukai, cara Tono telah melanggar etika hubungan pemberian bantuan. 3. Seorang pemberi bantuan selalu berhadapan dengan resiko disukai secara pribadi oleh yang diberi bantuan karena terkesan sebagai sosok yang memiliki stabilitas, integritas, dan kematangan pribadi. Persoalannya adalah bahwa pemberi bantuan harus tetap di jalurnya. Ia harus menegaskan batasbatas pemberian bantuan. 4. Seorang pemberi bantuan menghadapi resiko menerima perlakuan agresif baik dari yang diberi bantuan, dari fihak lingkungan yang diberi bantuan, maupun dari fihak lingkungan pemberi bantuan itu sendiri.
Hal-hal tersebut tidak hanya berlaku dalam kasus-kasus masalah individual semata-mata, melainkan dapat terjadi pada penanganan masalah-masalah dan pemberian bantuan yang berskala lebih luas; misalnya dalam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap golongan atau masyarakat tertentu karena simpati pemberi bantuan kepada golongan atau masyarakat tertentu lainnya, atau terhadap individuindividu di dalam masyarakat tersebut. Intinya adalah adanya pencampuradukan
antara
hubungan 134
pemberian
bantuan
yang
seharusnya didasarkan kepada kebutuhan penerima bantuan dengan hubungan pribadi yang didasarkan emosi atau sentimen pemberi bantuan; dan untuk pemberi bantuan. Seperti juga rocker, para Pekerja Sosial juga adalah manusia biasa namun dididik dan dilatih untuk memberi bantuan kepada sesamanya. Pendidikan dan latihan serta etika profesional tidak lantas membuatnya menjadi manusia yang tidak berperasaan. Dalam praktik Pekerjaan Sosial, perasaan (simpati, iba, kasihan, cinta) menjadi bagian penting. Bagaimana seseorang dapat menaruh perhatian kepada sesamanya tanpa memiliki perasaan-perasaan tersebut ?. Mengapa bunga dibubuhi madu dan indah ? dengan itulah kupu-kupu dan kumbang tertarik. Tanpa daya tarik tersebut, bunga akan layu tanpa sempat terjadi pembuahan. Kecantikan, ketampanan (betapapun relatif) sangat diperlukan untuk menjadi daya tarik bagi lawan jenis. Tanpa rasa suka, kecantikan dan ketampanan akan sia-sia. Sebagai bagian dari kelengkapan profesional, Pekerja Sosial sangat perlu memiliki kepekaan rasa terhadap situasi orang-orang lain (individu, kelompok, masyarakat). Namun ketika proses pemberian bantuan berlangsung, ia harus menjaga agar perasaan, kepentingan, kecenderungan pribadinya tidak mencampuri proses pemberian bantuan tersebut. Orientasinya tetap kepada pemenuhan kebutuhan klien, bukan pemuasan kepentingannya. Ia tidak boleh membunuh perasaannya sehingga menjadi robot, tetapi ia harus mengendalikan perasaan pribadinya sehingga tidak mempengaruhi hubungan profesionalnya. Oleh karena itu sejak awal ia harus menegaskan batas-batas hubungan dan pemberian bantuannya (tahap kontak dan kontrak dalam praktik Pekerjaan Sosial). 135
KEGIATAN BELAJAR 2 PRINSIP PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
Prinsip-prinsip praktik Pekerja Sosial dan etika praktik merupakan landasan bagi seorang Pekerja Sosial dalam melakukan hubungan pertolongan dengan klien. Sikap yang harus dikembangkan oleh Pekerja Sosial saat melakukan hubungan dengan klien diantaranya adalah: 1. Acceptance merupakan prinsip Pekerja Sosial yang fundamental, yaitu dengan menunjukan sikap toleran terhadap keseluruhan dimensi klien (Plant, 1970). Hal ini berarti Pekerja Sosial dapat memahmai
jalan
berpikir
klien,
niai-nilainya,
berbagai
kebutuhannya, dan perasan-perasaannya. Pekerja Sosial menerima otentisitas klien dengan segala kelemahan dan kekuatan perilakunya secara bermartabat dan penuh penghargaan. Acceptance terhadap klien berimplikasi pada terbangunnya kekuatan klien serta memunculkan potensi untuk tumbuh dan berkembang (Biestek, 1975) 2. Nonjudgemental, berarti Pekerja Sosial menerima klien dengan apa adanya tanpa disertai prasangka atau penilaian. Hal tersebut bukan berarti Pekerja Sosial sepakat atau menerima nilai-nilai klien untuk diri Pekerja Sosial sendiri, melainkan menerima klien dengan segala keadaannya, menilai klien sebagai manusia dengan latar belakang sejarahnya sendiri, tidak menilai perilakunya, dan tidak memaksakan nilai-nilai yang dimiliki oleh Pekerja Sosial terhadap klien. Sikap Pekerja Sosial seperti ini akan memunculkan perasaan 136
bebas dari klien untuk membuka dirinya tanpa merasa takut diinterupsi atau dikritisi, sehingga klien memiliki kesempatan mengembangkan kesadaran dirinya untuk merekonstruksi sikapnya. Terdapat
beberapa
langkah
untuk
mewujudkan
sikap
nonjudgemental, yaitu: a. Langkah pertama untuk menghindari proses penilaian (judgement), yaitu mencoba melihat ”dunia” dari kacamata klien. Dengan melakukan hal ini, maka Pekerja Sosial akan dapat mengerti motivasi-motivasi klien atau latar belakang klien dalam berperilaku. Setelah Pekerja Sosial mengenal dunia kien dengan pernak-pernik kehidupannya, kita akan mengerti penyebab klien menampilkan perilakunya. b. Untuk bersikap non judgemental tidaklah mudah terutama bagi Pekerja Sosial pemula. Hal ini disebabkan karena kemungkinan munculnya konflik nilai yang dialami oleh Pekerja Sosial ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh klien. Ada resiko ketika konflik ini terjadi, yaitu Pekerja Sosial mengalami kebingungan, sehingga fokus Pekerja Sosial terhadap persoalan klien terganggu. Apabila kurang hati-hati hubungan yang terjadi antara Pekerja Sosial dengan klien akan digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik nilai yang dialami Pekerja Sosial daripada menyelesaikan persoalan klien. c. Untuk menghindari terjadinya konflik nilai, Pekerja Sosial harus terlebih dahulu mengerti diri dan nilai-nilai apa saja yang dimilikinya. Melalui pemahaman sistem nilai yang diyakininya, mengerti diri dengan lebih baik, serta 137
menyadari
keniscayaan
relativitas
perspektif,
maka
seseorang tidak akan merasa terancam oleh pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya, serta dengan mengakui adanya perbedaan antarmanusia, maka sikap nonjudgemental akan lebih mudah untuk dilakukan. d. Menjalankan prinsip nonjudgemental bukan berarti Pekerja Sosial tidak dapat membuat keputusan apapun. Prinsip ini hanya ditujukan agar Pekerja Sosial tidak berprasangka, menyetujui ataupun tidak menyetujui sikap serta perilaku klien. Pada pekerjaannya Pekerja Sosial tetap membuat penilaian profesional mengenai solusi alternatif dan pendekatan pemecahan masalah yang tepat (DuBois & Miley, 1992). 3. Individualisasi, berarti memandang dan mengapresiasi sifat unik dari klien (Biestek, 1957). Setiap klien memiliki karakteristik kepribadian dan permasalahan yang unik, yang berbeda dengan setiap individu yang lain. Masing-masing dari mereka dibentuk oleh pengalaman, kebutuhan, situasi, dan pengetahuannya. Dengan demikian Pekerja Sosial tidak dapat menggeneralisasi persoalan yang sama pada klien yang berbeda. Mulailah dengan memandang klien “yang saat ini dan di sini” (here and now). 4. Self Determination, ialah memberikan kebebasan mengambil keputusan oleh klien. Penting bagi kien untuk memilih keputusan yang tepat menurut dirinya sendiri. Ia kemudian dapat
menguji
keputusan
138
tersebut
dan
belajar
dari
pengalamannya
sendiri
daripada
belajar
mempercayai
“kebijaksanaan” Pekerja Sosial. 5. Genuine/congruence, berarti Pekerja Sosial sebagai seorang manusia yang berperan apa adanya, alami, tidak memakai topeng, pribadi yang asli dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Misalnya seperti contoh berikut ini: hanya ada seorang Mia meskipun ia memiliki banyak peran; ia seorang ibu, Pekerja Sosial, dosen, juga sebagai teman, kakak, pelanggan, penulis, dan sebagainya. Perilaku Mia akan berbeda pada setiap situsi dan peranan di atas. Ketika Mia melakukan hubungan person to person dengan klien dalam peranannya sebagai seorang Pekerja Sosial, maka ia adalah bagian dari keseluruhan dirinya tersebut. Tidak perlu berpikir bahwa hubungan Anda sebagai seorang Pekerja Sosial dengan klien merupakan pekerjaan yang luar biasa serius, berat, dan kaku. Jadilah diri Anda yang asli dan alami, sertakan semua bagian diri Anda yang otentik dalam berhubungan dengan klien, sepeti humor,
suka
bersenang-senang,
sifat
kekanak-kanakan
disamping sifat serius. Bagian-bagian kepribadian Anda akan memperkaya proses terapi melalui hubungan Anda dengan klien. Selain itu Anda tidak perlu
repot-repot
merekayasa
perilaku Anda (merekayasa citra), sehingga konsentrasi dan perhatian Anda sebagai seorang Pekerja Sosial menjadi teralihkan ke dalam urusan diri Anda sendiri daripada memandang persoalan yang dihadapi oleh klien. 6. Mengontrol keterlibatan emosional, berarti Pekerja Sosial mampu bersikap objektif dan netral. Pekerja Sosial harus dapat 139
membedakan mana tanggung jawab dirinya dan mana tanggung jawab klien dalam memecahkan masalahnya. Mengontrol respon emosional dapat dilakukan dengan menghindari sikap simpati, serta mengedepankan sikap empati. Biestek (1957) menyarankan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial dalam mengontrol respon emosional terhadp klien, sebagai berikut: pertama, kepekaan terhadap perasaan yang terekspresikan maupun yang tidak. Tetaplah waspada dan mengontrol penuh perasaan-perasaan Anda. Kedua, memahami pengetahuan tentang perilaku manusia, dan ketiga, respon emosional harus dikendalikan oleh tujuan-tujuan rasional serta pengetahuan. Memahami keadaan serta respon-respon klien sebagai hal yang wajar akibat dari situasi yang dialaminya, juga dapat membantu menghindari keterlibatan secara emosional. 7. Kerahasiaan (confidentiality), Pekerja Sosial harus menjaga kerahasiaan informasi seputar identitas, isi pembicaraan dengan klien, pendapat professional lain atau catatan-catatan kasus mengenai diri klien. Dengan demikian, klien akan merasa nyaman
mengungkapkan
masalahnya.
Kerahasiaan
merupakan bagian dari etika dalam praktik Pekerjaan Sosial.
140
ini
KEGIATAN BELAJAR 3 KLASIFIKASI PEKERJA SOSIAL
Terkait dengan situasi dan kondisi bangsa ini, di mana bencana alam, kemiskinan dengan berbagai derivasinya, atau konflik bisa hadir kapan saja. Kadang menimpa orang-orang yang jauh dan sangat tidak kita kenal. Meski suatu saat dan sangat mungkin mendatangi orangorang terdekat, sanak famili, kerabat, sahabat, bahkan diri kita sendiri. Yang pasti, butuh penanganan cepat, serius, tidak setengah-setengah, profesional, serta tidak menunggu akhir pekan. Mengingat begitu banyaknya masalah-masalah sosial yang terus terjadi, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan lembaga sosial. Pemerintah sebagai penentu kebijakan, masyarakat sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar yang turut memberikan sumbangsihnya, dan lembaga sosial sebagai eksekutor di lapangan yang mendapat mandat dan kepercayaan penuh, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas. Idealnya seperti ini. Siapakah yang dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Apakah mereka para pemberi pertolongan pada para korban bencana alam, korban banjir, korban konflik dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Atau para donatur yang memberikan sumbangan dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial itu dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Lalu apakah setiap orang dapat dikatakan dan menjadi seorang Pekerja Sosial? Mungkin kita masih belum dapat menjawab pertanyaan di atas, karena pada kenyataannya setiap orang yang mengulurkan tangannya untuk menolong orang lain, mereka inilah yang menyebut dirinya 141
sebagai Pekerja Sosial. Namun demikian, marilah kita pahami, siapa sebenarnya yang dikatakan sebagai seorang Pekerja Sosial itu. Jika Pekerjaan Sosial menunjuk pada sebuah profesi, maka Pekerja
Sosial
(Social
Worker)
menunjuk
pada
orang
yang
menyandang profesi tersebut. Secara sederhana, Pekerja Sosial didefinisikan sebagai “orang yang memiliki kewenangan keahlian dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial”. Dengan mengacu pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin besar akan pelayanan sosial beserta perangkat keahliannya, dan seiring pula dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, maka peran Pekerja Sosial sebagai ahli, bukan hanya pada tingkat pelayanan langsung (direct social services), melainkan akan harus sampai kepada tingkat kebijakan/ perundang-undangan dan perencanaan sosial. Dengan perkataan lain, Pekerja Sosial bukan hanya ahli dalam menangani penyandang masalah sosial, melainkan juga ahli dalam penataan masyarakat sebagai sebuah sistem sosial. Sesuai dengan karakter profesi Pekerjaan Sosial yang telah dikemukakan terdahulu yaitu profesi yang sangat sarat nilai, maka penataan masyarakat (social engineering)
berarti
menata
dan
mengarahkan
perkembangan
masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu sendiri, sehingga terbentuk masyarakat yang berakar pada budaya masyarakat itu sendiri. Khinduka & Coughin (dalam the Encyclopedia of Social Work, 1978:683) menyatakan, bahwa: ”Komitmen terhadap perubahan institusional merupakan karakteristik khusus lainnya dari Pekerjaan Sosial”.
142
Tampak dari pernyataan tersebut bahwa garapan Pekerja Sosial bukan hanya penyandang masalah sosial melalui pelayanan langsung, melainkan juga institusi sosial. Penataan institusi sosial ini tidak hanya mencakup wilayah lokal, melainkan dapat pula berskala nasional maupun regional. Dengan demikian, secara garis besar, posisi-peran yang dapat disandang Pekerja Sosial dalam skala wilayah tersebut, antara lain : a. Perencana Sosial (social planner) b. Peneliti (researcher) c. Pendidik (educator) d. Penyembuh (therapist)
Selanjutnya, karena posisi-perannya yang meliputi skala mikro maupun makro dalam perubahan (penataan) kehidupan sosial di dalam masyarakat; maka praktik Pekerjaan Sosial sangat terkait dengan --dan harus dilandasi oleh-- nilai-nilai sosial-budaya di dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, para Pekerja Sosial sebagai penyandang keahlian Pekerjaan Sosial, harus memiliki kualifikasi, sebagai berikut: 1. Memahami, menguasai, dan menghayati serta menjadi figur pemegang nilai-nilai sosio-kultural dan filsafat masyarakat. 2. Menguasai sebanyak dan sebaik mungkin berbagai perspektif teoritis tentang manusia, khususnya sebagai makhluk sosial, lebih khusus lagi perilaku interaktif manusia beserta wadah kelembagaannya
dalam
keanekaragaman
bentuk
beserta
perubahan-perubahannya. 3. Menguasai dan secara kreatif menciptakan berbagai metode pelaksanaan tugas profesionalnya. 143
4. Memiliki mental wirausaha, yang mencakup : a. Kepekaan terhadap perkembangan masyarakat beserta kebutuhan-kebutuhan sosial yang menjadi konsekuensi perkembangan tersebut. b. Keberanian untuk memprakarsai tindakan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan sosial institusional. c. Kemandirian dalam berpikir dan bersikap serta kemampuan merumuskan
dan
mengungkapkan
pandangan
dan
menemukan
dan
mewujudkannya dalam tindakan nyata. d. Kreativitas
dalam
upaya
untuk
mengembangkan ide-ide baru dalam pelaksanaan tugas profesinya. Orang Amerika sering dengan bangganya menyebut negaranya sebagai ’negara bebas’ (free-country); sebenarnya orang Indonesia tanpa banyak gembar-gembor soal kebebasan, ternyata lebih ‘bebas’. Jika di Amerika orang sekolah, dan bekerja (berkarier) sesuai bakatnya, maka di Indonesia, bakatnya apa, sekolah di mana, bekerja apapun bisa. Itu tadi sekedar canda sedih tentang masyarakat sendiri. Tapi point-nya adalah bahwa di Indonesia banyak sekali terjadi salah kaprah karena persepsi tentang kebebasan yang berarti ‘gimana gue aja’ tanpa melihat sekeliling bahwa ada tatanan keteraturan di lingkungan apapun. Begitupun tentang Pekerja Sosial, yang difahami sebagai para pelaku kegiatan sosial. Pekerjaan Sosial identik dengan kegiatan sosial, sehingga Pekerja Sosial identik dengan pelaku kegiatan sosial. Padahal jika Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sebuah profesi, maka Pekerja Sosial adalah seorang profesional.
144
Dengan perkataan lain, istilah Pekerja Sosial ditujukan kepada lulusan-lulusan sekolah-sekolah Pekerjaan Sosial yang dipekerjakan pada lembaga kesejahteraan sosial. Seorang Pekerja Sosial adalah seorang agen atau pelaksana perubahan (change agent). Sebagai seorang pelaksana perubahan Pekerja Sosial dipersyaratkan untuk memiliki keterampilan-keterampilan dalam bekerja dengan individuindividu, kelompok-kelompok dan keluarga-keluarga serta melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat (Charles Zastrow, The Practice of Social Work, The Dorsey Press, Illionis, 1981) Ernest Greenwood (1957) mengidentifikasikan terdapat lima atribut keprofesian, yaitu : 1. A systematic body of theory; 2. Profesional authority; 3. Sanction of the community; 4. A regulative code of ethics; dan 5. A professional culture. Dengan melihat kesimpangsiuran mengenai siapa sebenarnya yang
dikatakan
sebagai
Pekerja
Sosial,
dan
bagaimana
penggolongannya, maka apabila kita mengacu pada National Associaton of Social Workers (NASW), Pekerja Sosial dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu : 1. Pekerja Sosial Tingkat Profesional Dasar (Basic Professional) Tingkatan ini mensyaratkan kualifikasi pendidikan dari tingkat diploma/bachelor dari keilmuan Pekerjaan Sosial, yang mendasarkan pada konsep-konsep, teori, dan pengetahuan tentang manusia dalam interaksi sosialnya serta secara inisiatif
145
melatih Pekerja Sosial agar dapat menggunakan dirinya sendiri (use of self) dalam relasinya dengan klien. 2. Pekerja Sosial Tingkat Spesialis Pada tingkat ini kualifikasi pendidikan Pekerja Sosial yang dipersyaratkan adalah Tingkat Magister atau Master di bidang keilmuan Pekerjaan Sosial. Pada tingkatan ini, Pekerja Sosial dituntut mampu menguasai dan dapat mendemonstrasikan sekurang-kurangnya satu teknik terapi. Kemampuan tersebut harus pula didukung oleh pengetahuan tentang kepribadian manusia, dan kemampuan untuk menggunakan diri sendiri dalam kaitannya dengan relasi pertolongan terhadap individu dan kelompok. Selain itu Master Pekerjaan Sosial dituntut pula untuk menguasai pengetahuan tentang penelitian, administrasi, metode perencanaan, dan masalah sosial. 3. Pekerja Sosial Tingkat Independen (Mandiri) Pekerja Sosial Independen adalah Pekerja Sosial setingkat Master yang telah memiliki pengalaman praktik sekurangkurangnya selama dua tahun di bawah supervisi profesional. Tingkatan
ini
membutuhkan
pencapaian
praktik
yang
didasarkan pada pelatihan khusus, selain dapat mengembangkan dan mendemonstrasikan keterampilannya di bawah supervisi yang profesional. Persyaratan tersebut berlaku baik untuk Pekerja Sosial yang bekerja secara independen maupun bagi mereka yang bekerja pada organisasi tertentu 4. Pekerja Sosial Tingkat Ahli (Advance) Pada tingkat ini, kualifikasi pendidikan Pekerja Sosial yang dipersyaratkan adalah tingkat Doktor/Ph.D. Pada tingkatan ini, 146
penerapan keilmuan Pekerjaan Sosial lebih bersifat “advance” karena praktik Pekerjaan Sosial menuntut tanggung jawab organisasi dan sosial yang sangat tinggi dalam rangka pengembangan profesi, analisis, penelitian, serta implementasi kebijakan. (Mach, M.W., Quam, J.K., and Seidl, F.W., 1986)
Sedangkan
Morales
&
Sheafor
mengklasifikasi
profesi
pekerjaan sosial ke dalam dua level utama, yaitu : A. Level Paraprofesional 1. Bantuan Pelayanan Sosial Penilaian akan kematangan individu, pengalaman hidup, motivasi dan keterampilan yang dibutuhkan dengan tugas dan fungsi tertentu. 2. Teknisi Pelayanan Sosial Telah mengikuti program kependidikan selama dua tahun dalam satu atau pelayanan sosial lainnya, biasanya keahlian seni tertentu
B. Level Profesional 1. Pekerja Sosial Tingkat Sarjana dengan akreditasi program pekerjaan sosial. 2. Lulusan Pekerja Sosial Lulusan
dari
program
Master
Pekerjaan
Sosial
yang
terakreditasi. 3. Pekerja Sosial Bersertifikat a. sertifikasi dengan Akademi Pekerja Sosial sehingga mampu secara otonomi, praktik mandiri, atau 147
b. Lisensi menurut peraturan pemerintah 4. Social Worker Fellow yaitu yang memenuhi program doktor atau praktik substansial dalam bidang atau spesialisasi menurut Asosiasi Sertifikasi Pekerja Sosial.
Seorang pakar Pekerjaan Sosial, Makmur Sunusi, Ph.D., mengatakan (1995): ”Bahwa ijazah pendidikan tinggi Pekerjaan Sosial adalah lisensi praktik bagi para Pekerja Sosial”. Namun demikian, jika perhimpunan profesional pekerja sosial telah berfungsi seperti Ikatan Dokter Indonesia, maka dimungkinkan lisensi praktik tersebut juga dikeluarkan oleh perhimpunan profesional.
PERBEDAAN PEKERJA SOSIAL, PEGAWAI SOSIAL DAN RELAWAN SOSIAL DITINTAU DAN BERBAGAI ASPEK
ASPEK PENGER TIAN
PEKERJA SOSIAL Seorang yang melaksanakan tugas pelayanan mendasarkan pada ilmu pekerjaan sosial, seni dan keterampilan teknik
PEGAWAI SOSIAL Seorang yang melaksanakan tugas pelayanan mendasarkan Pada Tupoksi instansi tempat bekerja
148
RELAWAN SOSIAL Seorang yang melaksanakan tugas pelayanan mendasarkan atas keterpanggilan jiwa
Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial
Surat Keputusan sebagai Pegawai Instansi Sosial
Kemauan/AD/ ART ORSOS tempat mengabdikan diri
LEGALIT Ijazah / Sertifikat Kompetensi AS Lulusan Pekerjaan Sosial
Surat Tugas dari Instansi tempat bekerja
Pengakuan masyarakat/ Surat Tugas dari ORSOS
Menyesuaikan tujuan yang tertuang pada program
Menolong sesarna untuk kepuasan batin
PENDEKATAN
METODE, TEKNIK
PROSES
TUJUAN
LANDAS AN OPERASI ONAL
Menolong klien supaya dapat menolong dirinya sendiri
Proses baku Peker- Tergantung jaan Sosial Rencana Anggaran Program
Sesuai kemauan
Menggunakan Metoda dan Teknik Pekerjaan Sosial
Menurut Jukiak / Juknis / Pola Operasional
Partisipatory
Prinsip Dasar Pekerjaan Sosial
Program Oriented
Kemanusiaan / Religi
149
TARGET TANGGUNG JAWAB VISI MISI PROGRAM AKSI MOTIVASI
Kesepakatan sesuai kontrak
Tergantung tahun anggaran
Tidak terbatas
Lembaga Pekerja Sosial kerja dan Kode Etik Pekerjaan Sosial
Laporan Teknik dan Administratif Keuangan
Diri sendiri/ORSOS/ Religi
Sesuai lembaga tempat bekerja
Instansi / Dinas tempat bekerja
Hubungan yang harmonis
Merobah perilaku dan pola pikir
Sesuai tugas dinas Kepercayaan/ ia bekerja Keagamaan
Kegiatan Pertolongan (helping activity), Kegiatan Sosial (Social Activity), Kegiatan Perantara (Liaison Activity) Pengembangan Kompetensi
Sesuai Renstra Instansi / Dinas tempat bekerja
Tergantung sarana dan prasarana (Kemampuan SDM dan Dana yang dimiliki )
Penunjang Karier
Keterpanggilan
Prosedural
Philanthropy / Charity
BENTUK LAYANAN
Profesional
150
SASARAN FUNGSI PELAYANAN DASAR PELAYANAN LEMBAGA PENDUKUNG SISTEMATIKA GERAK
Kelompok Pathologis dan Nonpathologis
Menyesuaikan kebijakan dinas/instansi tempat bekerja
Kelompok yang mengalami penderitaan
Kuratif/ Rehabilitatif, Preventif, Promotif/Developmental, Supportif
Sesuai Job Description Dinas/ Instansi tempat bekerja
Rehabilitatif
Hasil penelitian (research)
Menyesuaikan kebijakan / Hasil Keputusan rakorbang
Inisiatif (Aktivitas dan kreativitas)
Lembaga Research, Organisasi Profesi, Lembaga Pendidikan
Stakeholders/ ORSOS/ LSM
Lembaga Keagamaan/ ORSOS
Research, Diagnosis, Treatment, After Care, Termination.
Pendataan dan pelaksanaan
Sesuai kemauan dan kesempatan
151
KEGIATAN BELAJAR 4 KERANGKA PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
1. Kriteria Profesi Pembahasan kreteria profesi merupakan pembahasan yang cukup penting, karena dengan mengetahui kreteria profesi kita dapat mengukur sampai sejauhmana suatu bidang keahlian dapat dikatakan sebagai profesi. Dengan mengtahui kedudukan profesi kita dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dan pemasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh suatu profesi. William Wickenden menyatakan bahwa suatu bidang keahlian dapat dikatakan sebagai profesi bila memenuhi syarat-syarat : 1. Body of knowledge (science) and art (skill), 2. Proses pendidikan, 3. Kode etik, 4. Pengakuan status dan, 5. Wadah atau organisasi. Werner Boehm menyatakan bahwa yang membedakan suatu profesi dengan yang bukan profesi, yaitu : 1. Suatu profesi mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat atau kepentingan umum dan mempunyai
sumbangan
pelayanan
yang
ditunjukkan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 2. Mempunyai body of knowledge, 3. Body of value dan Body of skill, 4. Anggota profesi harus diorganisasikan dan menyadari bahwa dirinya merupakan kelompok yang mempunyai pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilan yang perlu dijunjung tinggi dan dikembangkan. Sementara itu Leonora Serafica-de Gusman menyatakan bahwa kreteria profesi adalah: 1. Mempunyai pengetahuan yang sistematis (systematic body of knowledge), 2. Mempunyai otoritas profesional 152
(profesional authority), 3. Ada sanksi dari masyarakat (sanction of the comunity), 4. Mempunyai kode etik (code of etics) dan 5. Mempunyai kebudayaan profesional (professional culture). Dari ketiga pendapat tersebut diatas, suatu profesi pada dasarnya mempunyai kerangka pengetahuan, kerangka nilai dan kerangka keterampilan yang sistematis. Kerangka pengetahuan, nilai dan keterampilan tersebut diajarkan melalui pendidikan formal.
2. Kerangka Pengetahuan, Nilai dan Pengetahuan Pekerjaan Sosial. a. Kerangka Pengetahuan (Body of Knowledge) Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada klien harus mempergunakan pengetahuan-pengetahuan ilimiah yang sudah teruji kevaliditasannya. Pengetahuan (Knowledge) adalah : “Knowledge may be generally definied as the acquantance with or theoretical or practical understanding of some branch or science, art, learnnig or otherare involving study, research, or practical and the acquisition of skills” (morales dan sheafor, 1983). Pengetahuan pada umumnya dihasiakan dari research atau praktek yang sudah teruji ketepatannya dan
kebenarannya.
Marry
Richmod
(1917),
Mengelompokkan
pengetahuan pekerjaan sosial ke dalam tiga golongan, yaitu : 1)Pengetahuan tentang klien ,2) Pengetahuan tentang lingkungan sosial, 3) Pengetahuan tentang profesi. Elemen pengetahuan pekerjaan sosial menurut asosiasi sekolahsekolah pekerja sosial di Amerika serikat (1944), adalah social casework, Social groupwork, comunity organization, social research
153
and statistic, social welfare administration, public welfare and child welfare, medical information dan psychiatric information. Alfred kadusin merumuskan bahwa pengetahuan pekerjaan sosial pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 5 tingkat, yaitu: 1) Pengetahuan pekerjaan umum (pelayanan dan kebijakan sosial, HBSE dan metoda pekerjaan sosial), 2) Pengetahuan spesifik tentang bidang praktek, 3) Pengetahuan spesifik tentang badan-badan sosial, 4) Pengetahuan spesifik tentang klien dan 5) Pengetahuan spesifik tentang kontak.
b. Kerangka Nilai (Body of Value) Konsep nilai banyak dibahas dalam literatur pekerjaan sosial, karena nilai mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam
melaksanakan praktek pekerjaan sosial. Pekerjaan sosial dalam melaksanakan tugas-tugasnya dopengaruhi oleh nilainilai: a. Nilai pribadi pekerja sosial, b. Nilai profesi pekerjaan sosial, c. Nilai klien atau kelompok klien, d. Nilai masyarakat. Armado Morales mengelompokkan elemen nilai dalam praktek pekerjaan sosial sebagai berikut : 1) nilai pekerjaan sosial (nilai persona dan nilai profesi), 2) Nilai pribadi, 3) nilai lembaga, 4) nilai masyarakat tempat praktek pekerjaan social dilaksanakan. Sumber
nilai
pekerjaan
sosial
pada
dasarnya
dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: a. Nilai masyarakat (societal values), praktek pekerjaan sosial selalu berdasarkan kepada nilai-nilai masyarakat, karena profesi pekerjaan social mendapatkan misi untuk melaksanakan sebagian dari fungsi masyarakat. Oleh sebab itu praktek 154
pekerjaan sosial akan mengambil dan dipengaruhi oleh nilai masyarakat. Jadi profesi pekerjaan sosial harus selaras dengan nilai-nilai masyarakat. b. Kode etik, kode etik merupakan rumusan tuntunan tentang prilaku yang dianggap baik dan yang perlu ditunjukkan oleh anggota profesi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tujuan dan fungsi kode etik adalah : 1) melindungi reputasi profesi dengan jalan memberikan kreteria yang dapat diikuti untuk mengatur
tingkah
laku
anggotanya,2)
Meningkatkan
kompentensi dan kesadaran tanggung jawab bagi para anggota dalam melaksanakan praktek, 3) melindungi masyarakat dari praktek yang tidak kompeten. Kode etik pada dasarnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan proses pertolongan pekerjaan sosial yang mencakup pekerja sosial, klien, teman sejawat, badan sosial tempat pekerja sosial bekerja, profesi pekerja sosial dan masyarakat tempat proses pertolongan diberikan. c. Agency Purpose (tujuan lembaga dimana pekerja sosial bekerja), Pekerja sosial harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam lembaga dimana pekerja sosial tersebut bekerja. d. Teori, teori dianggap baik jika dapat berfungsi sebagai nilai. Setiap teori dari suatu profesi mempunyai nilai. Nilai teori pekerjaan sosial dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) nilai tentang konsepsi orang, 2) nilai tentang masyarakat, 3) nilai yang berkaitan dengan interaksi antar orang.
155
Literatur pekerjaan sosial menyatakan bahwa pekerja sosial yang berinteraksi dengan kliennya harus didasarkan kapada prinsipprinsip: individualization, purposeful expression of feeling, controlled emotional involvement, acceptance, nonjudgmental attitude dan self determination.
c. Kerangka Keterampilan (Body of skill) Profesi tidak hanya membahas teori saja, tetapi berkaitan dengan penerapan atau praktek. Penerapan suatu teori atau knoledge memburuhkan skills, sehingga setiap profesi perlu menuntut skill. Skill merupakan perpaduan antara Body of knowledge dan Body of value. Keterampilan merupakan komponen penting dalam rangka referensi pekerjaan sosial. Sebab keterampilan pada perinsipnya merupakan alat untuk mamadukan karangka pengetahuandan kerangka nilai. Naomi I. Brill, menyatakan bahwa keterampilan-keterampilan pekerjaan sosial adalah : 1) Differential diagnosis, 2) Timing, 3) Partialization, 4) Focus, 5) Estabilishing partnership, 6) strukture. Differential diagnosis, manusia pada dasarnya unik, artinya manusia satu berbeda dengan yang lainnya. Oleh karena itu permasalahan manusia yang satu berbeda dengan yang lain. Pekerja sosial
diharapkan
mampu
mendiagnosa
perbedaan
tersebut.
Keterampilan Differential Diagnosis (DD) adalah keterampilan ataukemampuan pekerja sosial untuk memahami keunikan klien, masalah dan situasi sosial. Timing, Disini berarti pekerja sosial harus mempunyai keterampilan untuk merencanakan dan menggunakan waktu secara tepat. Timing mengacu kepada dua hal, yaitu : 1) The personal Tempo, 156
dan 2) Tide in the affair of men. Partialization, pekerja sosial harus mempunyai
keterampilan
untuk
memisahmisahkan,
yaitu
mengelompokkan, mengklasifikasikan, merealisasikan, menganalisis dan menginteprestasikanmasalah termasuk didalamnya kemampuan menentukan prioritas utama tentang kebutuhan klien. Focus, masalah sosial mempunyai banyak dimensi dan masingmasing saling berinteraksi. Untuk itu pekerja sosial harus mampu memfokuskan salah satu dimensi sebagai point of entery. Keterampilan ini juga berkaitan dengan kemampuan pekerja sosial dan klien mengkonsentrasikan
kegiatannya
terhadap
aspek-aspek
yang
berpengaruh terhadap permasalahan dan situasi klien. Estabilishing partnership, kemampuan ini menunjukkan kepada kemanpuan pekerja sosial dalam mengajak klien maupaun orang-orang atau sistem sosial yang terkaitdalam usaha pemecahan masalah. Pihakpihak yang terkait tersebut adalah: 1) sistem klien, 2) sistem sasaran, 3) sistem kegiatan dan 4) sistem pelaksana perubahan. Structure, structure berkaitan dengan setting dan batas-batas pelayanan, disini ditentukan dapat tidaknya suatu kegiatan dilakukan, kapan dan dimana dilakukan. Keterampilan structure juga menyangkut kemampuan pekerja social dalam mengkaitkan peranan berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pertolongan. Kemampuan didalam me laksanakan prinsip pembagian habis tugas dan prinsip penempatan orang sesuai dengan keahliannya. Sementara itu menurut Baer dan Federico, keterampilan pekerja sosial yang perlu dikuasai dalam melaksanakan tugasnya adalah keterampilan-keterampilan berikut ini: 1.
Observasi situasi dan kegiatan 157
2.
Pengumpulan data
3.
Analisa data
4.
Identifikasi permasalahan sosial
5.
Mendengarkan
6.
Berkomunikasi dengan efektif
7.
Wawancara
8.
Memberikan informasi
9.
Berinteraksi dengan orang lain
10.
Penjelasan mengenai perasaan dan sikap
11.
Penjelasan mengenai implikasi yang disiplin
12.
Dorongan dan bimbingan
13.
Motivasi-motivasi lain
14.
Mengajarkan hal-hal lain
15.
Memilih strategi intervensi
16.
Memonitor penyebaran pelayanan
17.
Mengadakan kontrak
18.
Mengadakan advokasi
19.
Mengadakan kontak dengan sejawat
20.
Mencatat kasus
21.
Mengassesment kegiaran intervensi (Zastrow, 1982).
158
DAFTAR PUSTAKA
Compton, Beullah R & Bud Galaway. 1979. Social Work Processes. Illinois : The Dorsey Press Hardy, Jean.1981. Values in Social Policy : Nine Contradiction. London: Routledge &Kegan Paul Klenck, Robert (ed).1977. Social Work Practice. New York : Prentice Hall Levy, Charles S. 1993. Social Work Ethics on the Line. New York : The Haworth Press
159
160
TOPIK 7 METODE PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Social Casework KEGIATAN BELAJAR 2: Social Groupwork KEGIATAN BELAJAR 3: Community Development KEGIATAN BELAJAR 4: Administrasi Pekerjaan Sosial, Organisasi Pelayanan Manusia, Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial, Penelitian Pekerjaan Sosial, Perencanaan Sosial
161
KEGIATAN BELAJAR 1: Social Case Work Indonesia
sebagai
bangsa
yang
sedang
dalam
proses
pembangunan, maka pembangunan di bidang sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu fokus yang tidak kalah pentingnya dibanding dengan berbagai bidang pembangunan lainnya. Sebagai konsekuensi logis dari proses pembangunan yang dilakukan, selain pencapaian dari tujuan pembangunan itu sendiri, hal yang tidak dapat dikesampingkan adalah permasalahan yang muncul akibat dari proses pembangunan yang sedang dilakukan. Menanggapi berbagai permasalahan dan fenomena sosial yang terjadi, Pekerjaan Sosial sebagai sebuah ilmu yang memiliki berbagai metode pemecahan masalah dan dalam praktiknya berfokus pada hubungan antarindividu, kelompok, atau masyarakat; dengan lingkungan sosial mereka, serta mengingat Pekerjaan Sosial pun merupakan suatu profesi pemberian bantuan yang berusaha membantu individu-individu yang mengalami masalah pribadi serta masalah dalam hubungannya dengan individuindividu lainnya; maka Pekerjaan Sosial memiliki kompetensi yang diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi melalui metode-metode praktiknya. Berkaitan dengan bidang pembangunan sumber daya manusia, kajian keilmuan Pekerjaan Sosial dalam praktiknya mencakup bidang kajian mikro, mezzo, dan makro. Yang termasuk dalam bidang kajian mikro (social case work); fokus pada kebiasaan individu dan dampak yang dapat menimpa individu yang bersangkutan, bidang kajian mezzo
162
(social group work) melihat pada interaksi individu dengan kelompok atau lingkungannya, dan dengan orang-orang terdekatnya, dan bidang kajian makro (community organization/community development) lebih melihat pada kebijakan negara, lingkungan masyarakat di mana saja individu menghadapi masalahnya, mengkaji ada tidaknya peraturan perundang-undangan
yang
melindungi
atau
berkaitan
dengan
permasalahan yang dihadapi, dan bidang-bidang yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan bidang community development (ComDev). Metode social case work atau yang dikenal juga dengan Bimbingan Sosial Perseorangan merupakan suatu metode pemberian bantuan kepada orang yang didasarkan atas pengetahuan, pemahaman, serta penggunaan teknik-teknik secara terampil yang diterapkan untuk membantu
orang-orang
guna
memecahkan
masalahnya,
dan
mengembangkan dirinya. Metode social case work bersifat individual –karenanya dikatakan pendekatan mikro-, yaitu membantu individu-individu yang memiliki masalah, baik yang bersifat eksternal, artinya memiliki masalah yang bersumber dari lingkungan sosialnya maupun individuindividu yang mengalami masalah yang bersumber dari dalam dirinya sendiri.
Dalam
mengkombinasikan
praktiknya,
metode
elemen-elemen
social
psikologis
dan
case sosial;
work dan
karenanya metode social case work mempunyai sifat-sifat psikososial. Berbicara mengenai pendekatan mikro (metode social case work) dalam profesi Pekerjaan Sosial, maka kajiannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah bidang-bidang yang bersifat penyembuhan (problem solving) dan konseling (therapy) yaitu bagi 163
orang-orang yang memiliki masalah dan yang kedua adalah kajian yang bersifat pengembangan diri (personal development) yaitu bagi orang-orang yang tidak memiliki masalah, namun menginginkan adanya upaya pengembangan diri, baik dalam meningkatkan aspek pengetahuan, sikap maupun dalam bidang keterampilan. Berbicara mengenai kajian praktik mikro dari Profesi Pekerjaan Sosial (atau yang biasa disebut dengan social case work), berikut akan dipaparkan berbagai hal yang terkait di dalamnya, yaitu: 1. Memulai hubungan dengan klien Salah satu keahlian yang perlu dimiliki oleh seorang Caseworker
(Pekerja
Sosial
dalam
praktik
mikro)
adalah
berkomunikasi. Dalam hal lingkup mikro, komunikasi yang dibutuhkan adalah ketika memulai hubungan dengan klien dan kemudian untuk bekerja pada tingkat individu. Beberapa tingkah laku yang juga mempengaruhi proses komunikasi adalah tingkah laku nonverbal. Beberapa tingkah laku non verbal yang perlu mendapat perhatian adalah a. Kontak mata b. Ekspresi wajah c. Posisi tubuh
2. Kehangatan, Empati dan Keaslian Kehangatan Kehangatan adalah bersikap sebaik mungkin dengan orang lain, memberikan kenyamana dan perhatian yang tulus. Berikut beberapa contoh komunikasi verbal yang menyiratkan kehangatan:
164
“Halo, senang bertemu dengan Anda” “Saya, senang sekali Anda tentang hal ini”
dapat
berbicara
kepada
“Senang sekali ngobrol dengan kamu” “Senang bertemu Anda kembali” “Silakan kopi?”
duduk,
boleh
saya
ambilkan
segelas
Empati Empati mengacu kepada bagaimana kita dapat memahami perasaan orang lain. Berikut adalah contohnya, seorang klien bercerita kepada Anda tentang bagaimana ia diperlakukan sangat buruk oleh suaminya, Anda dapat mengatakan: “Satu tahun kebelakang Anda pasti merasa sangat berat” “Satu tahun adalah waktu yang sangat lama untuk hidup bersama dengan suami Anda yang seperti itu” Empati dapat juga menunjukkan bahwa kita berada dipihak mereka, berikut beberapa contoh lainnya “Kesan saya..................” “Apakah yang kamu katakan..........” “”Yang kamu maksudkan............” “Kamu kelihatannya................” “Apakah kamu merasa..............” “Kamu terlihat..................Apa yang sebenarnya terjadi?” ”Kedengarannya kamu.........................Maukah kamu menceritakannya?”
165
Keaslian Berbagi cerita dengan keaslian kita, dengan spontanitas yang tidak dibuat-buat serta alamiah. Ketika berhubungan dengan klien, kita tidak menjadi orang lain, melainkan total menjadi diri sendiri.
3. Menjalankan wawancara Komunikasi adalah suatu bidang yang sangat luas. Berbagai jenis dan tehnik komunikasi telah banyak dikembangkan oleh para ahli. Salah satu tehnik komunikasi yang perlu dikuasai oleh seorang Caseworker adalah menjalankan/memimpin wawancara, yaitu dalam tahap pengumpulan data dan juga dalam proses pertolongannya;
Respon Verbal Pada Klien 1. Penguatan sederhana Menjaga kontak mata dengan klien adalah sebuah penguatan sederhana yang dapat membuat klien terus melanjutkan ceritanya kepada Caseworker. 2. Rephrasing Secara sederhana rephrasing adalah mengucapkan kembali apa yang telah diutarakan oleh klien dengan bahasa yang berbeda. 3. Respon reflektif Ini adalah kegiatan menterjemahkan apa yang kita pikir dirasakan oleh klien dengan kata-kata. Respon reflektif dapat digunakan pada klien yang bercerita panjang lebar mengenai masalahnya, tetapi ia tidak merasakan masalah tersebut. 4. Klarifikasi
166
Inti dari klarifikasi adalah membuat pernyataan tertentu untuk menunjukkan
bahwa
kita sudah
menangkap
apa
yang
dikemukakan klien. 5. Interpretasi Ini adalah sebuah aktivitas mencari makna dibalik yang terkandung dalam klarifikasi. 6. Memberikan Informasi Terkadang perlu bagi kita untuk memberikan informasi, karena sering kali masalah klien bermula dari kurangnya informasi yang dia miliki mengenai berbagai hal. 7. Menekankan pada kekuatan klien Pekerja Sosial berhadapan dengan masalah manusia yang paling sulit. Terkadang mereka tidak bisa berpikir hal-hal yang lain kecuali masalah mereka sendiri. 8. Penyingkapan diri Satu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Caseworker adalah bahwa mereka perlu mengetahui sejauh mana mereka dapat membuka diri kepada klien. 9. Mendapatkan informasi Secara sederhana ada dua cara dalam mendapatkan informasi, yaitu pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup contohnya adalah;
“Apakah Anda akan datang besok?” “Anda bekerja di restroan atau di hotel?”
167
Sedangkan
pertanyaan
memungkinkan
terbuka
penjawab
adalah
menjawab
pertanyaan pertanyaan
yang dengan
panjang lebar, seperti:
“Apa alasan kamu sehingga meninggalkan rumah begitu lama?” “Bagaimana ini?”
perasaan
kamu
tentang
situasi
10. Penggunaan “mengapa?” Berhati-hatilah jika menggunakan kata tanya mengapa, karena seakan-akan
hal
tersebut
sudah
‘menyudutkan’
atau
menempatkan klien di tempat yang salah, sehingga ia dapat merasa terancam. Menekankan pada kekuatan klien: Tingkah laku klien ‘Kamu telah melakukan aktivitas tersebut dengan sangat baik, sesuai dengan yang disarankan. Lihatlah, apa yang telah kamu berhasil capai...’ Kualitas personal ‘Saya pikir kamu sangat termotivasi di pekerjaan ini’ ‘Kamu sangat ceria kalo sedang gembira, membuat seluruh orang lain ikut senang’ Sumber-sumber klien ‘Sangat baik sekali kamu mempunyai teman untuk diajak bicara, itu sangat membantu
168
11. Menangani Sikap Bermusuhan Kadang kala klien tidak selalu menjadi anak manis ketika berhadapan dengan kita. Mereka mungkin berteriak-teriak atau melakukan tingkah laku yang agresif. Johnson 1986, menyatakan bahwa walaupun konflik adalah sebuah situasi yang tidak enak dan perlu dihindari, namun terdapat beberapa aspek positif dari konflik. Misalnya, daripada rasa permusuhan tersebut dipendam, terkadang akan lebih baik jika klien mengungkapkannya. Namun Caseworker pun dapat meraih beberapa informasi tersembunyi dibalik sikapnya tersebut. Berikut beberapa tips untuk berhubungan dengan rasa permusuhan dari klien: a. Jangan marah atau defensive. Kenali reaksi pribadi kita, ingat bahwa ini adalaha wacana profesional bukan personal b. Fokus pada tingkah laku permusuhan klien bukan mencap bahwa klien adalah orang yang selalu bermusuhan c. Biarkan klien melepaskan kemarahannya. Berempatilah d. Tekankan pada kekuatan pribadi dari klien, jangan serang balik e. Pahami faktanya berdasarkan situasi yang dialami oleh klien f. Fokus pada saat ini dan masa depan, jadi tidak terus menerus tenggelam di masa lalu g. Lihat berbagai kemungkina alternatif dan konsekuensinya h. Jangan sok bermoral i. Ringkaskan
apa
yang
telah
berlangsung
169
terjadi
selama wawancara
j. Segera buat tujuan-tujuan jangka pendek dengan klien, misalnya
membuat
persetujuan-persetujuan
kecil,
atau
perjanjian selanjutnya
Assessment Assesment adalah tahap pertama dari proses penyelesaian masalah. Termasuk di dalamnya adalah, mendapatkan pemahaman tentang masalah tersebut, apa yang menyebabkannya dan apa yang bisa diubah untuk meminimalisasi atau menyelesaikannya (Barker, 1987). Para Caseworker mengevaluasi masalah dalam sebuah perspektif lingkungan. Sebuah masalah tidak hanya menyangkut individu dan keluarga tetapi juga tingkat masyarakat yang lebih besar dan sistem di sekitar orang tersebut tinggal. Manusia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh orang, kelompok dan organisasi di sekitarnya. Banyak sedikitnya dukungan sosial dari rekan sekerja bisa membuat seseorang membenci atau menyukai pekerjaannya. Bahkan terpilihnya presiden baru di suatu negara dapat menentukan seberapa besar tingkat kebebasan bertingkah laku rakyatnya. Sebelum menyelami assesment lebih lanjut ada empat hal yang perlu dipahami terlebih dahulu tentang assesment, yaitu: 1. Pelibatan klien adalah sesuatu yang sangat esensial. Hal ini untuk menghindari pernyataan masalah yang terlalu dini, sehingga tidak akurat. Pelibatan klien akan meminimalisir hal tersebut. 2. Assesment selalu melibatkan pengambilan keputusan 170
Tidak satu kamus yang memuat jawaban dari setiap masalah yang ditemui, anda harus membuat keputusan untuk tiap masalah 3. Assesment selalu mempertimbkan kekuatan/potensi klien Pengetahuan
akan
kekuatan
atau
potensi
klien
akan
mempermudah untuk pencarian solusi 4. Dalam assesment, tidak selalu ditemukan sebuah definisi masalah yang jelas dan tunggal. Jadi, buatlah identifikasi dan prioritas yang terbaik dari masalah. 5. Assesment perlu merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Karena segala situasi, potensi dan kekuatan klien bukanlah sesuatu yang statis melainkan selalu berubah secara dinamis.
Tujuan Assesment: Ketika seorang Caseworker melakukan proses assesment, maka hal ini ditujukan untuk : 1. Para Caseworker perlu membuat pernyataan masalah secara jelas 2. Para Caseworker perlu memformulasikan deskripsi yang jelas dari sistem yang melingkupi klien tersebut 3. Para Caseworker perlu mengilustrasikan bagaiaman sistem klien berinteraksi dengan sistem lainnya, apakah sistem keluarga klien misalnya terisolasi dari keluarga-keluarga yang lain? 4. Para Caseworker perlu mengumpulkan seluruh informasi ini disatu tempat, agar segera dapat dianalisis dan diambil langkahlangkah yang diperlukan. 171
KEGIATAN BELAJAR 2 Social Group Work Manusia adalah makhluk yang hidup berkelompok, dan semakin jauh ia mengenal dirinya, maka akan semakin jauh pula ia mengenal masyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri, ia bukanlah sebuah pulau di tengah lautan. Kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya,
dalam
kenyataannya,
sangat
erat
berkaitan
dengan
keberhasilan dan ketidakberhasilan manusia yang lain. Ilmu pengetahuan telah menemukan bahwa bayi yang diisolasikan dari manusia lainnya –-walaupun diberi makanan yang baik-– tetap akan mati karena ia kurang perhatian. Anak-anak merasakan bahwa rasa kesedihan tersebut tidak tertahankan, dan para ahli psikologi telah mengobservasi bahwa proses belajar dapat ditingkatkan dengan pergaulan bersama orang lain. Kenyataan lain menyebutkan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari kelompok, bahwa individu-individu hanya akan dapat mencapai pengembangan potensi mereka yang setinggi-tingginya serta perasaan harga diri yang kuat, melalui partisipasi mereka dalam kehidupan kelompok; juga bahwa mereka dapat memperoleh rasa aman dan tentram dengan adanya perasaan keterlibatan dan rasa memiliki suatu kelompok yang mempunyai arti bagi mereka, serta bahwa mereka memikul tanggung jawab terhadap orang lain di dalam dan melalui antarhubungan tersebut. Dengan dasar kenyataan-kenyataan seperti telah dikemukakan di
atas,
maka
dalam
perkembangannya,
172
Pekerjaan
Sosial
mengembangkan metode Bimbingan Sosial Kelompok (Social Group Work) Social group work adalah suatu metode untuk bekerja dengan, dan menghadapi orang-orang di dalam suatu kelompok, guna peningkatan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosial; serta guna pencapaian tujuan-tujuan yang secara sosial dianggap baik (Soetarso, Pengantar Kesejahteraan Sosial, 1976, hlm.72). Bimbingan Sosial Kelompok didasarkan atas pengetahuan mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia untuk berhubungan satu sama lain, dan adanya saling ketergantungan di antara mereka. Bimbingan Sosial Kelompok merupakan suatu metode untuk memperkecil atau menghilangkan hambatan-hambatan dalam berinteraksi sosial, dan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diterima secara sosial (dianggap baik oleh masyarakat). Kelompok dalam perspektif Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sekumpulan orang yang saling berinteraksi satu sama lain dan membentuk suatu kesatuan yang terpisah dan berbeda dari kesatuankesatuan lainnya. Group Worker (Pekerja Sosial dengan fokus perhatian pada kelompok) bekerja terutama dengan kelompokkelompok, yang didalamnya terdapat interaksi dan memungkinkan adanya individualisasi (perbedaan satu kelompok dengan kelompok yang lainnya). Dalam kajian Bimbingan Sosial Kelompok, sejumlah orang yang berkumpul dan dapat dikatakan sebagai suatu kelompok adalah apabila memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Adanya sekumpulan orang 2. Adanya interaksi psikis di antara anggota-anggotanya 173
3. Adanya saling ketergantungan di antara para anggota kelompok 4. Merupakan suatu kesatuan yang berbeda dan terpisah dari kelompok-kelompok lainnya 5. Individu tidak melebur di dalam kesatuan kelompok, melainkan tetap
mempunyai
keunikan
masing-masing
yang
dapat
disumbangkan untuk kepentingan bersama 6. Adanya
tujuan,
nilai-nilai,
norma-norma,
dan
struktur
kelompok itu sendiri
Tipe-tipe kelompok: 1. Kelompok-kelompok tugas (task groups) Kelompok yang berorientasi pada pencapaian seperangkat tujuan atau penyelesaian tugas-tugas. Tujuan yang ditentukan dalam kelompok ini menjadi alat untuk menentukan bagaimana kelompok bekerja dan peran-peran apa yang dimainkan oleh anggota kelompoknya. Kelompok tugas ini juga mempunyai beberapa tipe yang lebih spesifik yang masing-masingnya menggambarkan peranperan yang mungkin dimainkan oleh para Pekerja Sosial, antara lain: a. Dewan direksi (Boards of directors) Merupakan kelompok administratif yang bertanggungjawab untuk menyusun kebijakan dalam mengatur program-program agen. Dewan ini menggaji dan mengawasi pemimpin agen dan menentukan kebijakan yang harus dijalankan oleh agen, dan kebijakan tersebut mempengaruhi secara langsung apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para praktisi agen dalam menghadapi klien-kliennya. Dewan direksi ini tidak saja orang174
orang yang ahli dalam mengelola agen tetapi juga orang-orang yang dipilih berdasarkan kontribusi yang telah diberikan. Karena dewan direksi ini berperan menyediakan hubungan yang kuat dengan komunitasnya dan seringkali menjadi penolong dalam pengumpulan dana, maka anggota dewan direksi ini merupakan aset yang tidak dapat tergantikan bagi agen. b. Tenaga tugas (task forces) Merupakan kelompok yang dibentuk untuk tujuan tertentu dan biasanya tidak terikat lagi dengan agen setelah mereka menyelesaikan tugasnya. Tenaga tugas ini diangkat karena keahlian khusus yang mereka miliki atau karena ketertarikan mereka terhadap topik yang sedang menjadi perhatian. Tenaga tugas ini diharapkan untuk mempelajari ide atau masalah, mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan masalah, dan menyiapkan laporan pertanggungjawaban. c. Komite dan komisi (Committees and commissions) Komite merupakan kelompok yang dibentuk oleh dewan direksi suatu agen yang bertugas menyelesaikan tugas atau masalah-masalah spesifik. Anggota komite ini bisa diseleksi atau dipilih tergantung pada jenis komite itu sendiri. Komite biasa bekerja pada area atau bidang yang khusus dan bisa juga berupa panitia kerja (standing commitee) atau panitia khusus (ad hoc committee). Panitia kerja biasanya bekerja secara terusmenerus pada satu bidang tertentu misalnya komite pelaksana, komite keuangan. Atau bisa juga didirikan oleh suatu agen, misalnya komite pembicara (speakers committee).
175
Sedangkan panitia khusus, sama halnya dengan tenaga tugas, diatur sedemikian rupa untuk tujuan tertentu dan berhenti bekerja setelah menyelasaikan tugasnya. Anggota panitia khusus bisa dipilih karena ketertarikan pada tugas komite atau karena keahlian mereka. Komisi mempunyai kesamaan dengan komite dalam hal tanggungjawabnya terhadap tugas khusus. Suatu komunitas atau negara atau juga kota, biasanya memiliki komisi yang membantu pekerjaan rutin kota dalam tugas-tugas khusus, misalnya komisi perencanaan kota, komisi anti diskriminasi, dan lain sebagainya. Anggota komisi bisa dipilih, tapi biasanya diangkat oleh administrator negara dengan persetujan dewan yang memiliki kewenangan. Misalnya Komisi Akreditasi dari The Council on Social Work Education (CWSE) diangkat oleh Presiden CWSE setelah melakukan konsultasi dengan dewan direksinya. d. Badan legislatif Badan legislatif ini terdiri dari paa representatif yang dipilih, dimana badan ini memunyai tanggung jawab menetapkan hukum
dan
mencukupi
dana
untuk
program-program
berdasarkan hukum yang berlaku. Interaksi para Pekerja Sosial dengan badan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Pekerja Sosial bisa menjadi anggota yang dari badan legislatif. Pekerja Sosial juga bisa sewaktu-waktu dipanggil utnuk memberikan kesaksiannya sebelum badan legislatif menetapkan hukum yang akan mempengaruhi para klien dari Pekerja Sosial. Misalnya dalam hal pendanaan untuk program Women, Infant, 176
Children
(WIC),
kebijakna keamanan
sosial,
dan
lain
sebagainya. Pekerja Sosial kadang membantu para staff dari badan legislatif untuk mengurus penjadwalan, menetapkan lokasi meeting, dan juga memastikan bahwa tugas-tugas yang dijalankan terselenggara dengan baik. Karena badan legislatif ini menetapkan hukum atau kebijakan yang mempengaruhi penyelenggaraan dan pendanaan program-program sosial, maka sangat penting bagi para Pekerja Sosial untuk mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana badan legislatif ini bekerja. Para Pekerja Sosial juga harus bersiap-siap jika diminta memberikan kesaksian atau pendapatnya mengenai program-progaram sosial, dan juga dalam bekerja sama dengan anggota badan legislatif untuk mencapai tujuan-tujuan Pekerjaan Sosial. e. Pertemuan para staff Pertemuan para staff ini terdiri dari anggota staff agen yang berkumpul secara periodik untuk mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai. Beberapa agen melaksanakan pertemuan ini dengan hanya terdiri dari beberapa orang supervisor saja. Pertemuan para staff ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan baru, mendiskusikan kebijakan yang akan ditetapkan dan para staff memiliki kesempatan untuk mnegemukakan ide dan pendapatnya, menjaga agar para staff terus mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam agen, atau juga untuk memperkenalkan staff baru. Kadang pertemuan ini memiliki faktor sosial atau emosional dalam rangka membangun kebersamaan antar sesama staff. f. Tim multidisiplin 177
Biasa disebut dengan istilah “M teams”, terdiri atas beberapa profesionalis dari berbagai disiplin. Mereka sering mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan klien-klien atau pasien-pasien tertentu yang mereka tangani. Dalam lembaga kenegaraan yang menangani pasien dengan keterbelakangan mental yang berat, tim ini bisa terdiri dari Pekerja Sosial, perawat, dokter, psikolog, dan pembantu. Pada program kesehatan rumah sakit, tim multidisiplin ini bisa terdiri dari perawat yang terdaftar, Pekerja Sosial, ahli diet, dan psikolog. Salah satu anggota dari tim tersebut berperan sebagai pemimpin, tapi semua anggota bertanggung
jawab
terhadap
area
yang
sesuai
dengan
keahliannya. Tim ini biasanya mengadakan pertemuan dalam jadwal yang teratur.
g. Case conference Case conferense yang juga disebut dengan staffings, memiliki kesamaan dengan tim multidisiplin. Yang membedakannya adalah, tidak seperti tim multidisiplin, para anggota dari yang membentuk case conference ini tidak bisa dianggap atau menganggap dirinya sebagai bagian dari tim. Berdasarkan dari jenis tipe agen, para anggota yang berpartisipasi dalam case conference atau staffings ini tidak mewaili berbagai disiplin yang berbeda. Kadang kala klien akan ditempatkan oleh departemen Pekerjaan Sosial. Semua anggota bisa memberikan kontribusinya dalam pengambilan keputusan. Contoh, salah satu departemen yang mengurus orang terhukum yang sedang mengalami masa percobaan menempatkan semua kasus atau 178
perkara dan petugas pengawas orang-orang yang sedang dalam masa percobaan membuat rekomendasi untuk penahanan h. Kelompok aksi sosial Tujuan dari kelompok aksi sosial adalah untuk mengubah lingkungan fisik atau sosial (Toseland & Rivas, 1984). Pencapaian tujuan tersebut dapat menguntungkan baik bagi anggota maupun bagi yang bukan anggota dari kelompok aksi sosial tersebut. Salah satu contoh tujuan dari gerakan kelompok ini adalah meningkatkan kesehatan masyarakat, memodifikasi kebijakan atau hukum yang menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kelas sosial, dan lain sebagainya. Dalam kelompok ini seorang Pekerja Sosial bisa menjadi anggota maupun menjadi pemimpin dari kelompok tersebut. Peran lainnya yang memungkinkan adalah menyalurkan tenaga kerja untuk kelompok aksi sosial tersebut. Dalam peran ini Pekerja Sosial bisa membantu mempertemukan antara calon tenaga kerja dengan pihak agen, menyediakan nama-nama contact person dari berbagai macam agen atau organisasi yang ada, atau membantu kelompok aksi sosial dalam hal apapun pada saat dibutuhkan. Sangat penting bagi para Pekerja Sosial untuk mempunyai keterampilan dalam membantu kelompok aksi sosial mencapai tujuannya dan memastikan stabilitas yang cukup dari kelompok aksi sosial sampai pada penyelesaian tugas (Toseland & Rivas, 1984). Contohnya, Pekerja Sosial dapat membantu kelompok aksi sosial untuk bangkit kembali setelah mengalami kegagalan dengan mendukung setiap usaha mereka. Pekerja Sosial dapat menindaklanjuti keputusan yang 179
diambil oleh kelompok aksi sosial agar dapat dipastikan bahwa harapan-harapan kelompok telah memasuki proses pencapaian. 2. Treatment group Istilah treatment group memiliki arti yang luas dan mencakup beberapa kelompok yang satu sama lain memiliki kemiripan tujuan. Toseland & Rivas mengemukakan 5 tipe treatment group, antara lain: a. Growth groups Growth groups didesain untuk mendorong dan mendukung perkembangan individual anggota kelompok. Anggapannya adalah bahwa individu dapat berkembang dengan cara membantu mereka mencapai pemahaman akan dirinya yang lebih mendalam. Pengalaman yang terjadi dalam growth groups ini terdiri dari berbagai macam aktivitas yang didesain untuk membantu para partisipan meraih tujuannya. Misalnya, growth group yang mefokuskan kegiatannya untuk membantu para pasangan agar bisa berkomunikasi lebih baik satu sama lainnya. Pendekatan latihan yang dilakukan bisa berupa mendengarkan keterampilan masing-masing, klasrifikasi nilai yang ada di antara pasangan, dan saling mengirimkan pesan yang jelas. Growth groups berfokus pada membantu individu meraih potensinya dan tanpa anggapan bahwa partisipan orang yang ikut serta didalamnya adalah mereka yang selalu mempunyai masalah. b. Remedial groups Remedial group kadang dianggap sebagai kelompok terapi, yaitu kelompok yang berupaya membantu klien dan bertujuan 180
mengubah beberapa aspek dari perilaku klien. Istilah dari remedial group ini diartikan sebagai kelompok yang memiliki tujuan
untuk
menyembuhkan
klien
dari
problematika
pengalaman hidupnya. Fokus dari jenis kelompok ini adalah memperbaiki masalah yang dirasakan secara intrapersonal maupun
interpersonal
atau
pada pembelajaran
terhadap
pemecahan masalah yang lebih baik dan terhadap gaya mengatasi masalah. Peran Pekerja Sosial memiliki visibilitas yang sangat tinggi di kelompok jenis ini. Pekerja Sosial bisa memulai perannya dengan menjadi direktur, menjadi tenaga ahli, tergantung pada kebutuhan dari kelompok itu sendiri, dan mungkin saja Pekerja Sosial bisa menjadi fasilitator kemajuan dari kelompok ini. c. Educational groups Merupakan
sejumlah
kelompok
yang
didesain
untuk
menyediakan informasi bagi para anggotanya tentang diri mereka sendiri ataupun tentang orang lain. Tujuannya adalah untuk mendidik atau mengajari anggota kelompok tentang beberapa isu atau topik. Hal tersebut bisa dilakukan melalui bermain peran, presentasi yang mendidik, aktivitas-aktivitas, dan diskusi. Contohnya kelompok orangtua pengadopsi yang prospektif, kelompok wanita dengan minat melahirkan dengan cara normal, kelompok praktik parenting. Sama dengan growth groups, educational groups ini bekerja dengan tanpa anggapan bahwa mereka yang menjadi anggota adalah mereka yang mempunyai masalah. Para Pekerja Sosial, sama seperti pada remedial group, bisa menjadi pemimpin kelompok ini. Pekerja 181
Sosial bisa melakukan banyak presentasi yang menyajikan informasi-informasi baru dan menjadai tenaga ahli dari kelompok tersebut. d. Socialization group Kelompok
ini
membantu
partisipan
dalam
menjadikan
kebutuhan akan keterampilan menjadi hal yang tersosialisasi di masyarakat. Anggapannya adalah bahwa anggota kelompok adalah orang-orang yang memiliki sedikit jenis keterampilan sosial. Contohnya, kelompok yang dikembangkan untuk remaja yang pernah mengalami perilaku menyimpang. Program konseling yang berbasis petualangan adalah salah satu contoh kegiatan
yang
dilakukan
kelompok
ini.
Program
ini
menitikberatkan pada keterampilan fisik, uji keberanian, membangun kerjasama tim dan kepercayaan diri yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan sosial mereka dan menyalurkan energi mereka kepada aktivitas sosial yang diakui masyarakat. Visibilitas peran Pekerja Sosial dalam kelompok ini termasuk dalam kategori tinggi. Pekerja Sosial bisa menjadi seorang direktur atau tim ahli yang mendesain program dan memimpin anggota kelompok melewati setiap proses dan latihan. e. Mutual aid groups Mutual aid groups merupakan sekelompok orang yang terdiri dari berbagi karakteristik tertentu untuk mendukung satu sama lain dengan saran, dukungan emosional, informasi, dan bantuan lainnya (Barker, 1991). Kelompok ini memiliki pemimpin yang profesional dan terorganisasi secara formal amupun informal. 182
Istilah mutual aid group ini sering ditukarbalikan dengan istilah “self-help group” karena keduanya bertujuan menjadikan anggota-anggotanya saling mendukung satu sama lain. Tapi yang paling penting adalah istilah mutual aid group ini digunakan
dalam
Pekerjaan
Sosial
untuk
menerangkan
kelompok dengan pendekatan saling mendukung yang kuat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran Pekerja Sosial dalam setiap jenis dari treatment group ini memiliki kesamaan dan perbedaan satu sama lainnya. Singkatnya, peran sebagai pemimpin memiliki visibilitas yang tinggi dalam educational groups, remedial groups, maupun socialization groups. Dalam setiap kasus, Pekerja Sosial bisa menjadi direktur, tenaga ahli, atau tokoh pemimpin. Dalam Growth groups dan beberapa remedial groups Pekerja Sosial yang menjadi pemimpin dalam kelompok tersebut bisa menjadi fasilitator, yang secara sederhana membantu anggota kelompok mencapai tujuannya. Biasanya Pekerja Sosial akan bekerja lebih aktif pada tahap pertama perkembangan setiap jenis kelompok. Untuk tahap perkembangan yang lebih lanjut, peran Pekerja Sosial mengarah pada konsultan, tenaga ahli, dan peran panutan. Kebutuhan setiap jenis kelompok menentukan peran yang akan dimainkan oleh Pekerja Sosial. Jadi, Pekerja Sosial harus bisa “melueskan” atau membuat fleksibel dan memodifikasi tipe dan tingkat keterlibatan mereka dalam kelompok sesuai dengan kebutuhan. Para Pekerja Sosial juga perlu menggunakan keterampilan yang bervariasi tergantung pada tahap perkembangan kelompok, keterampilan para anggotanya, dan jenis dari kelompok itu sendiri. 183
Peran Pekerja Sosial dalam Kelompok diantaranya adalah sebagai: 1. Broker, yaitu semacam penghubung antara klien dengan pihakpihak yang dapat membantunya 2. Mediator, yaitu Pekerja Sosial yang membantu menyelesaikan konflik, pertikaian ataupun perselisihan anggota kelompok 3. Educator, yaitu sebagai guru, Pekerja Sosial memberikan informasi baru, model-model untuk membantu partisipan mempelajari keterampilan baru 4. Fasilitator, yaitu sebagai orang yang akan mempermudah dan meringankan jalan partisipan
Dasar Dinamika Kelompok Setiap kelompok mengalami tahapan perkembangan, adapun tahapan perkembangan sebuah kelompok adalah sebagai berikut: 1. Tahap pertama, dalam tahapan ini semua anggota sangat bergantung dan mengharapkan arahan dari pimpinan 2. Tahap kedua, anggota mulai fokus pada dirinya sendiri, dan mulai mengambil tanggung jawab yang lebih besar 3. Tahap ketiga adalah tahap bekerja, dalam tahapan ini, anggota mulai menyukai berada dalam kelompok, dan memiliki gairah yang tinggi untuk bekerja 4. Tahap keempat adalah tahapan yang menunjukkan bahwa kelompok sudah mencapai tujuannya dan para anggota kelompok mulai terpisah secara emosi
184
Budaya Kelompok, Norma dan Kekuasaan Setiap kelompok akan mengembangkan budayanya sendiri, termasuk didalamnya tradisi, kebiasaan dan nilai/kepercayaan yang dianut bersama oleh para anggotanya. Budaya ini akan menentukan bagaimana para anggota bereaksi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya dan juga dengan pimpinannya.
Ukuran Kelompok, Komposisi dan Durasi Beberapa hal ini perlu dipahami oleh Pekerja Sosial karena ada beberapa kelompok yang tidak bisa diganggu gugat (seperti keluarga; kita tidak bisa mengubah ukuran ataupun komposisinya), dan ada juga yang bisa diubah serta bersifat fleksibel.
Pengambilan Keputusan dalam Kelompok Proses pengambilan keputusan dalam sebuah kelompok dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah: 1. Pengambilan keputusan dengan konsesus Yaitu sebuah proses dengan jalan individu dan kelompok mencapai persetujuan umum tentang tujuan bersama dan cara untuk mencapainya 2. Pengambilan keputusan dengan kompromi Kelompok mencari satu solusi yang hampir/sebagian besar anggota dapat mendukungnya, atau suatu keadaan yang mengharuskan seseorang berkata “dalam situasi ini, inilah yang bisa kita sepakati” 3. Pengambilan keputusan dengan Mayoritas Keputusan diambil bila lebih dari setengah anggota setuju. 185
4. Diputuskan/keputusan tergantung oleh individu Hal ini terjadi bila ada satu orang yang sangat dihargai (ditakuti), sehingga seluruh anggota menyerahkan pengambilan keputusan ke satu orang tersebut 5. Persuasi/keputusan mempertimbangkan pendapat ahli Jika anggota tim terdiri dari multi disiplin, maka masing-masing disiplin akan mendapat kehormatan untuk pengambilan keputusan di bidang yang dikuasainya 6. Rata-rata pendapat anggota Keputusan dibuat berdasarkan rata-rata pendapat anggota; hal ini lebih mudah jika keputusan yang ingin dibuat sifatnya rangking angka 7. Ditentukan oleh minoritas Ini terjadi ketika sekelompok minoritas memiliki perasaan yang sangat kuat terhadap putusan tertentu. Keputusan ini dapat terjadi ketika kelompok minoritas tersebut memiliki sikap yang kuat atau konsentrasi terhadap isu tertentu 8. Teknik Nominal kelompok Tujuan dari teknik ini adalah untuk meng-assess masalah, kebutuhan, minat dan tujuan yang ada (Barker 1987). Diawali dengan
setiap
anggota
menuliskan
ide-idenya
tentang
permasalahan. Kemudian pimpinan mempersilakan satu demi satu diungkapkan dan ditulis di papan yang besar. Setiap anggota juga bebas untuk menambahkan idenya ketika ia mendengarkan ide orang lain, begitu selanjutnya. 9. Brainstorming
186
Seluruh peserta mengemukakan idenya dalam waktu singkat tanpa boleh ada sanggahan, dan pemimpin menuliskannya di papan yang besar
KEGIATAN BELAJAR 3 Community Development Berbicara mengenai Profesi Pekerjaan Sosial, dari awal pertumbuhannya telah melewati perjalanan yang panjang. Para almoner yang berkerja di rumah sakit-rumah sakit di Inggris, telah memberikan aspirasi pada seorang wanita pamikir pada zaman itu (Mary Richmond) untuk membidani lahirnya sebuah profesi baru yang dikenal dengan sebutan “Case Work”. Kelahiran profesi ini didesak oleh kesadaran akan perlunya peningkatan mutu pelayanan-pelayanan sosial untuk menangani
masalah-masalah
anak
dan
keluarga,
kemiskinan,
kecacatan, dan jompo, yang semula ditangani secara “trial and error” melalui kegiatan-kegiatan amal saja. Pada perkembangan selanjutnya, kemudian disadari bahwa penggunaan metode perorangan (Case Work) saja dirasa terlalu berat, jika harus diarahkan pada penanganan masalah-masalah sosial yang kuantitas maupun kualitasnya terus meningkat. Metode Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Group Work), Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization), Pengembangan Masyarakat (Community Development),
disusul
dengan
pendekatan-pendekatan
lainnya,
termasuk Administrasi Pekerjaan Sosial dan Penelitian Pekerjaan
187
Sosial, kemudian bermunculan dan memperkaya khasanah pendekatan profesi baru yang selanjutnya dikenal dengan Profesi Pekerjaan Sosial. Perkembangan profesi baru ini tidak hanya berhenti sampai di situ saja, seiring dengan perkembangan masyarakat dan berbagai penemuan teknologi baru dalam bidang-bidang lain, profesi Pekerjaan Sosial pun terus sibuk memoles dan memperbaiki diri. Pada tahap perkembangan selanjutnya, Perencanaan Sosial mulai diakui sebagian orang sebagai metode Pekerjaan Sosial tersendiri. Selain itu, aliran generalist, kemudian lahir dan mendeklarasikan bahwa “intervensi multi level” merupakan pendekatan yang perlu ditempuh agar penanganan masalah dapat lebih komprehensif dan tuntas. Aliran generalist kemudian merebak tanpa dapat dibendung, kemudian disusul dengan bermunculannya berbagai pendekatan baru, walau tidak selalu berasal dari penemuan teori baru. Pendekatan-pendekatan tersebut diantaranya, pendekatan ekologi, pendekatan sistem, pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan ekitensialis dan banyak lagi. Dalam perkembangan terakhir, seperti dikemukakan David Cox (1993), pendekatan “Social Development” cenderung menjadi idola para Pekerja Sosial yang bekerja dengan masyarakat, yang banyak bergelut dengan pengentasan kemiskinan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan upaya pemerataan keadilan di dalam suatu masyarakat. Hal ini seiring dengan munculnya aliran terbaru dalam Pekerjaan Sosial yang dikenal dengan aliran radikal, yang memandang bahwa setiap permasalahan sosial yang timbul berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan (power). Pada era sekarang ini, teknik “empowerment” kemudian menjadi suatu teknik idaman para Pekerja Sosial.
188
Asal konsep Pengembangan Masyarakat (terjemahan dari Community
Development)
Masyarakat
(Community
sebenarnya
adalah
Organization);
Pengorganisasian yang
bermakna
mengorganisasikan masyarakat sebagai sebuah sistem untuk melayani warganya dalam setting kondisi yang terus berubah. Dengan demikian inti pengertiannya adalah mendorong warga masyarakat untuk mengorganisasikan diri untuk melaksanakan kegiatan guna mencapai kesejahteraannya sendiri. Di tingkat nasional, aktor-aktor institusinya adalah pemerintah, kalangan cendekiawan, kalangan bisnis, LSM, dan masyarakat biasa. Semuanya harus terorganisasi dalam sebuah kesatuan sistem untuk membangun masyarakat secara sinergis. Pengertian Community Organization itu sendiri dapat dibagi ke dalam dua, yaitu: 1. Dalam arti sempit dan operasional, berarti pengorganisasian kegiatan masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana warga masyarakat akan melakukan kegiatan bersama ? 2. Dalam arti luas, berarti penataan masyarakat itu sendiri sebagai sebuah sistem sosial. Pertanyaannya adalah masyarakat yang bagaimana yang ingin dicapai ? Pada level mikro dan langsung, setiap institusi dan kegiatan industri harus menjalankan fungsi sosialnya melalui program-program kerjasama dengan masyarakat setempat, sehingga terjalin keserasian sosial. Masalahnya terletak pada pemahaman dan penerapan konsep partisipasi itu sendiri. Setelah puluhan tahun partisipasi diartikan sekedar melibatkan masyarakat dalam program atau kegiatan yang telah ditetapkan
dan
kemandiriannya,
dibawakan melainkan
fihak
luar,
bersikap 189
masyarakat menunggu
kehilangan bantuan
(charity/philanthrophy).
Bahkan
setelah
era
reformasi
bergulir
mengubah paradigma program top-down menjadi bottom-up, people centered development, pemberdayaan; prosesnya masih membutuhkan curahan waktu, tenaga, dan upaya yang panjang. Sebagai sebuah proses, pengembangan masyarakat berarti sebuah proses tindakan sosial yang mendorong warga suatu masyarakat, untuk: a. Mengorganisasikan diri mereka sendiri untuk menyusun rencana dan melaksanakan tindakan bersama. b. Merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah bersama c. Menyusun rencana kelompok dan individu untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah mereka sendiri. d. Melaksanakan
rencana
tersebut
dengan
sebanyak
mungkin
mengandalkan sumber-sumber yang ada. e. Menjangkau akses ke sumber-sumber di luar masyarakat baik dari badan-badan pemerintah maupun swasta guna mendukung sumbersumber yang ada. Untuk keperluan praktis, dapat dikemukakan bahwa dalam ilmu sosial banyak terdapat istilah-istilah yang berbeda dengan pengertian yang sama. Istilah pengembangan masyarakat sesungguhnya bersumber pada istilah community development, yang kemudian oleh Jack Rothman (1979), disamakan pula dengan locality development. Dengan demikian jika dalam tulisan ini disebutkan ke tiga istilah tersebut, sesungguhnya pengertiannya sama. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai :”sebuah model pengembangan masyarakat yang menekankan pada partisipasi
190
penuh seluruh warga masyarakat”.
PBB (1955) mendefinisikan
pengembangan masyarakat sebagai berikut : ”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri”. Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa : ” …locality development merupakan suatu cara untuk memperkuat warga masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui pengalaman yang terarah agar mampu melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri pula”. Dari ke dua definisi tersebut dapat difahami dua hal : a. Masalah utama dalam CD/LD adalah sosial ekonomi. b. Mensyaratkan partisipasi penuh warga masyarakat di dalam seluruh proses kegiatan(mulai dari gagasan sampai kepada pemanfaatan). Konsep ini diterapkan pada sebuah lingkungan masyarakat setempat (locality/community), yang biasanya masih memiliki normanorma sosial tentang konsensus, homogenitas, dan harmoni (identik dengan masyarakat perdesaan). 1. Tujuan : a. Tujuan antara :
membangkitkan
partisipasi
penuh
warga
masyarakat. b. Tujuan akhir
: perwujudan kemampuan dan integrasi
masyarakat untuk dapat membangun dirinya sendiri. 2. Pendekatan :
191
Dengan bertumpu pada inisiatif dan partisipasi penuh warga masyarakat, maka penerapan CD/LD lebih ditekankan kepada upaya untuk mengembangkan kapasitas warga masyarakat (clientcentered) daripada pemecahan masalah demi masalah (problemcentered).
Bagi
para
perancang
program
pengembangan
masyarakat, locality development berarti program pendidikan bagi masyarakat untuk mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri dalam program-program pembangunan. 3. Kandungan operasional dalam Community Development. a. Kepemimpinan lokal Dengan system kemasyarakatan local yang relative masih bersifat organis dengan pola interaksi harmonis, maka dalam perencanaan
dan
implementasi
program
pengembangan
masyarakat perlu dipertimbangkan, bahwa pemimpin-pemimpin masyarakat masih menempati posisi kunci baik dalam pembuatan keputusan maupun sebagai representasi masyarakat lokal itu sendiri. b. Jaringan Hubungan antar Kelompok (Intergroup relations) Masyarakat merupakan suatu system sosial yang besar, yang di dalamnya berisikan unit-unit sosial yang lebih kecil yang disebut kelompok. Dalam praktik pengembangan masyarakat, sesungguhnya yang dihadapi dan dikembangkan adalah kelompok-kelompok warga masyarakat sehingga menjadi sebuah jaringan kerja yang sinergis. Demikianlah mengapa pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (community organization and community development), sering pula disebut sebagai ‘intergroup relations’. 192
Sesuai dengan prinsip dasar yang digunakan dan menjadi gagasan inti locality development yaitu partisipasi klien, maka setiap langkah dalam proses locality development haruslah dilakukan oleh warga masyarakat itu sendiri dengan bantuan keahlian dan teknis dari system pelaksana dan system kegiatan. 1. Assessment Assessment merupakan langkah terpenting dari seluruh proses locality development, karena hasil assessment ini akan menentukan ketepatan serta efektivitas program locality development itu sendiri. Assessment mencakup needs assessment, identifikasi masalah, analisis masalah, dan resources assessment. Asesmen mencakup tidak hanya masalah klien, melainkan juga sumber-sumber,
kekuatan-kekuatan,
motivasi,
komponen-
komponen fungsional, dan faktor-faktor yang positif lainnya yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan klien, dalam meningkatkan keberfungsian, dan dalam mendukung pertumbuhan. 2. Plan of Treatment Planning, menurut Meryl Ruoss (1970) adalah organized foresight. Plan of Treatment merupakan sebuah proses insight dalam mengidentifikasi,
memilah,
menghubungkan
masalah
atau
kebutuhan dengan sumber-sumber yang dapat didayagunakan untuk memecahkan masalah dan atau memenuhi kebutuhan melalui serangkaian kegiatan (program dan proyek). 3. Treatment Tahap
ini
merupakan
implementasi
development, monitoring, dan evaluasi.
193
dari
strategi
locality
Dalam tahap implementasi, maka perlu diperhitungkan situasi actual yang akan menentukan tindakan yang perlu dilakukan. Monitoring memberikan dua manfaat utama, yaitu : a. Memberikan informasi untuk pegangan sementara program masih sedang berlangsung. b. Memberikan informasi bagi evaluasi berkala Evaluasi ditujukan baik kepada pelaksanaan program (proses dan hasil), maupun kepada kerjasama di antara semua pelaku. 4. Terminasi Terminasi merupakan langkah penghentian sementara (sekuensi) kegiatan locality development; yang mungkin kelak ditindaklanjuti dengan rangkaian kegiatan berikutnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, sasaran, bidang garapan dan intervensi profesi Pekerjaan Sosial juga semakin luas. Globalisasi dan industrialisasi membuka kesempatan bagi Pekerjaan Sosial untuk terlibat dalam bidang yang relatif baru, yakni dunia industri. Seperti halnya Pekerja Sosial medik (medical social worker) yang bekerja di rumah sakit, para Pekerja Sosial industri (industrial social worker) ini bekerja di perusahaanperusahaan,
baik
negeri
maupun
swasta,
untuk
menangani
kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja, relasi buruh dan majikan, atau perekrutan dan pengembangan pegawai (lihat Friedlander dan Thackeray, 1982; Payne, 1991; Johnson, 1984; DuBois dan Miley, 1992; Suharto, 1997). Di Indonesia sendiri, dunia bisnis dan industri merupakan sektor yang masih jarang melibatkan Pekerjaan Sosial. Namun demikian, di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Australia dan New Zealand, 194
pemberian pelayanan sosial dalam perusahaan telah meningkat secara dramatis selama tiga dekade belakangan ini. Pekerjaan Sosial industri atau Pekerjaan Sosial di perusahaan (occupational social work) merupakan profesi yang sangat penting dalam pemberian pelayanan sosial, baik yang bersifat pencegahan, penyembuhan maupun pengembangan. Pekerjaan Sosial industri muncul di Amerika Serikat satu abad lalu. Di Eropa, bidang ini muncul pada tahun 1920an. Pekerjaan Sosial memang terlahir dalam konteks pertumbuhan masyarakat industri. Pekerjaan Sosial Industri dapat didefinisikan sebagai lapangan praktik Pekerjaan Sosial yang secara khusus menangani kebutuhankebutuhan kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metode pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dengan lingkungannya, terutama
lingkungan
kerja.
Istilah
Pekerjaan
Sosial
Industri
sesungguhnya memiliki beberapa nama lain, seperti Pekerjaan Sosial Kepegawaian (Occupational Social Worker), Pekrjaan Sosial di tempat kerja (Social Work in the Workplace), atau bantuan/pelayanan bagi pegawai
(Employee
Assisstance).
(Straussner,
Shulamith
Lala
Ashenberg, Occupational Social Work Today: An Overview, dalam Shulamith Lala Ashenberg Straussner (editor), Occupational Social Work, New York: The Hepworth Press, 1989) Mekanisasi dan otomatisasi melahirkan rutinitas pekerjaan dan membuat tenaga manusia tampak semakin tidak penting. Para pekerja kerah biru maupun kerah putih merasa tidak bermakna dan terancam karena kapan saja dapat digantikan oleh saingannya, yakni mesin. Perubahan teknologi, pergantian tenaga kerja (shift), dan pemutusan 195
hubungan kerja yang semakin menjadi fenomena sehari-hari, sering menimbulkan kecemasan bagi para pekerja. Proses otomatisasi di AS menggantikan sekitar 2 juta pekerjaan setiap tahunnya. Para pekerja yang yang merasa tidak berguna dan tidak berdaya dalam pekerjaannya seringkali membawanya ke rumah dan masyarakat. (Johnson, The Social Services: An introduction, New York:
FE
Peacock,
1984)
mengklasifikasikan
akibat-akibat
industrialisasi yang bersifat negatif terhadap kesejahteraan manusia kedalam 5A, yaitu: 1. Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah, dan kecemasan. 2. Alcoholism atau Addiction: ketergantungan terhadap alkohol, obat-obat terlarang atau rokok yang dapat menurunkan produktifitas, merusak kesehatan pisik dan psikis, dan kehidupan sosial seseorang. 3. Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja dikarenakan rendahnya motivasi pekerja, perasaan-perasaan malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau sakit pisik dan psikis lainnya. 4. Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh menurunnya konsentrasi pekerja atau oleh lemahnya sistem keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja. 5. Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau pasangan dalam keluarga (istri/suami), seperti memukul dan menghardik secara berlebihan yang ditimbulkan oleh frustrasi, kebosanan dan kelelahan di tempat pekerjaannya. 196
Beberapa permasalahan sosial lainnya yang terkait dengan industrialisasi adalah: diskriminasi di tempat kerja atau tindakantindakan tidak adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran, remaja, pensiunan, dan para penyandang cacat. Beberapa industri dan perusahaan juga kerap menimbulkan dampak negatif
terhadap
masyarakat di sekitarnya, seperti polusi (udara, air, suara) dan kerusakan-keusakan pisik dan psikis bagi para pekerjanya. Para Pekerja Sosial industri dapat membantu dunia industri untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai biaya sosial (social costs) yang ditimbulkan oleh perusahaan. Dalam situasi dan kondisi yang demikian, Pekerja Sosial memiliki tugas dan peranan yang cukup penting, khususnya bagi para Pekerja Sosial Industri. Berikut akan dipaparkan Tugas dari para Pekerja Sosial Industri tersebut, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Johnson (1984), di mana ada tiga bidang tugas Pekerja Sosial yang bekerja di perusahaan, yaitu: 1. Kebijakan, perencanaan dan administrasi. Bidang ini umumnya tidak melibatkan pelayanan sosial secara langsung. Sebagai contoh,
perumusan
pengadministrasian
kebijakan
untuk
program-program
peningkatan tindakan
karir,
afirmatif.
pengkoordinasian program-program jaminan sosial dan bantuan sosial bagi para pekerja, atau perencanaan kegiatan-kegiatan sosial dalam departemen-departemen perusahaan. 2. Praktik langsung dengan individu, keluarga dan populasi khusus. Tugas Pekerja Sosial dalam bidang ini meliputi intervensi krisis (crisis intervention), asesmen (penggalian) masalah-masalah personal dan pelayanan rujukan, pemberian 197
konseling bagi pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang, pelayanan dan perawatan sosial bagi anak-anak pekerja dalam perusahaan atau organisasi serikat kerja, dan pemberian konseling bagi para pensiunan atau pekerja yang menjelang pensiun. 3. Praktik yang mengkombinasikan pelayanan sosial langsung dan perumusan kebijakan sosial bagi perusahaan.
Para Pekerja Sosial telah memberikan kontribusi penting dalam memanusiawikan dunia kerja. Mereka umumnya terlibat dalam pemberian
konseling
pengorganisasian
di
dalam
program-program
maupun
di
personal,
luar
perusahaan,
konsultasi
dengan
manajemen dan serikat-serikat kerja mengenai konsekuensi kebijakankebijakan perusahaan terhadap pekerja, serta bekerja dengan bagian kesehatan dan kepegawaian untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja dan kualitas tenaga kerja (Johnson, 1994; Suharto, 1997). Merujuk pada Saidi dan Abidin (2004), sedikitnya terdapat empat model atau pola sebuah perusahaan melakukan kegiatan CSRnya, yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu : 1. Keterlibatan langsung Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan
pada
masyarakat
tanpa
perantara.
Untuk
menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. 198
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan.
Beberapa
yayasan
yang
didirikan
perusahaan
diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund. 3. Bermitra dengan pihak lain Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet
Dhuafa;
instansi
pemerintah
(Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar) 4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah 199
pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang
dipercayai
oleh
perusahaan-perusahaan
yang
mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Dalam pelaksanaannya, konsep CSR seringkali diidentikkan dengan metode Pengembangan Masyarakat (Community Development) yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh perusahaan dengan istilah ComDev. Bila ditelaah secara sederhana, maka tujuan utama pendekatan ComDev adalah bukan sekedar membantu atau memberi barang kepada si penerima, melainkan lebih berusaha agar si penerima memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya sendiri. Dengan kata lain, semangat ComDev adalah pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan ComDev biasanya diarahkan pada proses pemberikuasaan, peningkatan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima pelayanan. Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program peningkatan kapasitas orang,
terutama
kelompok
lemah
atau
kurang
beruntung
(disadvantaged groups) agar mereka memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, mengemukakan gagasan; melakukan pilihan-pilihan hidup; melaksanakan kegiatan ekonomi; menjangkau dan memobilisasi sumber; berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
200
KEGIATAN BELAJAR 4 1. Administrasi Pekerjaan Sosial Metodologi tradisional dalam pekerjaan sosial menekankan tiga proses, pekerjaan sosial perseorangan, pekerjaan sosial kelompok dan pekerjaan sosial masyarakat. penekanan ini dilakukan oleh sejumlah praktisi dan pengajar pekerjaan sosial saat ini, namun banyak juga yang mengatakan tentang satu metode dasar pekerjaan sosial---yaitu pemecahan masalah dalam menyediakan dan pemberian pelayanan sosial. Sejumlah sekolah pekerjaan sosial mengemukakan administrasi sebagai metode utama. Sekolah lainnya menempatkan administrasi sebagai bagian umum dari praktik makro, artinya bahwa para pekerja sosial yang berkonsentrasi dalam wiwilayah ini akan menjadi perencana dan administrator program-program pekerjaan sosial daripada bekerja dengan klien perseorangan. Sebagian besar sekolah mengakui pentingnya administrasi serta pengajaran prinsip-prinsip dasar dan keterampilan baik dalam kelas maupun lapangan praktik dengan berbagai pola.
a. Administrasi John Kidneigh menyatakan bahwa administrasi pekerjaan sosial adalah “ proses transformasi kebijakan sosial ke dalam pelayananpelayanan sosial…melalui proses dua cara : (1)…transformasi kebijakan ke dalam pelayanan-pelayanan sosial konkrit (nyata), dan (2) menggunakan pengalaman dengan merekomendasikan modifikasi
201
kebijakan”. Batasan ini tentunya menekankan pada gagasan bahwa administrasi adalah proses implementasi, penerjemahan kebijakan ke dalam program-program aksi. Stein menjelaskan konsep administrasi sebagai suatu “ proses penentuan dan pencapaian sasaran-sasaran organisasi melalui suatu sistem yang terkoordinasi dan upaya-upaya kerjasama”. Skidmore
menyimpulkan
berbagai
definisi
administrasi
sebagaia berikut”…administrasi pekerjaan sosial mungkin dapat dikatakan sebagai aksi para anggota staf yang memanfaatkan prosesproses sosial untuk mentransformasi kebijakan-kebijakan badan-badan sosial ke dalam penyediaan pelayanan sosial. Termasuk para eksekutif--pimpinan---dan semua anggota staf lain---para pengikut atau anggota team.
Proses
dasarnya
seringkali
menggunakan
perencanaan,
pemrograman, penyusunan staf, dan pengendalian….”
b. Asumsi dan Prinsip dasar Salah satu prinsip dasar dalam administrasi adalah semua level staf turut serta dalam proses administrasi. Spencer (1959), mengajukan beberapa asumsi dasar yang melekat pada hubungan administrasi: 1. Adminitistrasi badan-badan sosial adalah proses memastikan dan mentransformasi sumber-sumber masyarakat (manusia dan finansial) ke dalam program-program pelayanan masyarakat. Proses ini melibatkan partisipasi aktif dari dewan, eksekutif, staf, dan para relawan atau konstituen dalam berbagai tingkatan. 2. Administrasi dalam pekerjaan sosial memperhatikan cara-cara penting dalam menentukan kegiatan, termasuk penentuan tujuannya. Artinya bahwa badan sosial itu sendiri memiliki 202
tanggungjawab utama dalam berkreasi dan mengendalikan nasib dan badan-badan perencanaan masyarakat hanya berperan skunder. 3.
Administrasi dalam pekerjaan sosial mengutamakan cara-cara ‘penyediaan’
pelayanan.
Hal
harus
dilakukan
dengan
penyediaan program-program dan aktivitas badan-badan sosial tertentu. 4. Eksekutif bukan agen netral. Artinya kepemimpinan yang kreatif dibutuhkan dalam semua fase kegiatan badan tersebut. 5. Fungsi eksekutif dalam badan sosial mengkombinasikan hal-hal berikut: a. menyediakan, mengupayakan kegiatan-kegiatan yang berkualitas secara menyeluruh, b. berpartisipasi dalam kapasitas kepemimpinan dan pembuatan kebijakan, c. mendelegasikan, mengendalikan
mengkoordinasikan pekerjaan
kepada
lainnya
dan untuk
mendukung dan meningkatkan pekerjaan dewan dan staf, d. menunjukkan terhadap dewan, staf, dan eksekutif masyarakat dengan sikap-sikap pribadi, kemampuan dan aktivitas sebagai seseorang yang berlaku positif. 6. Administrasi
meliputi
upaya-upaya
kreatif
pemanfaatan
sumber-sumber manusia---dewan, staf, dan relawan. Badan sosial adalah usaha kelompok. 7. Bagian-bagian usaha adalah saling terkait dan berinteraksi. Prinsip-prinsip ini adalah dasar kegiatan suatu badan sosial dan 203
merupakan
bagian
memantapakan
dari
peran,
cara
fungsi
hubungan,
eksekutif
untuk
regulasi
yang
dan
menghasilkan efek baik optimum dan akibat jelek yang minimum. 8. Tidak
melakukan
juga
memiliki
akibat
sepertihalnya
melakukan.
c. Supervisi Supervisi, bagian penting dari administrasi pekerjaan sosial, berkaitan dengan bantuan staf dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan sehingga melakukan pekerjaan secara efektif dan baik. Tanggung jawab yang dibebankan pada supervisor administrasi “
adalah
memastikan
pelayanan
organisasi
kepada
pasien,
meningkatnya efektivitas pembelajar, dan kesesuaian penilaian berkaitan dengan keberhasilan, kelengkapan, penugasan kembali, atau kesalahan kelengkapan tugas” Peran
supervisor
adalah
dukungan,
dorongan,
berbagi
informasi, dan mendengarkan pekerja, khususnya berkaitan dngan pengalaman baru dan tidak dialami oleh staf.
d. Konsultasi Konsultasi adalah suatu interaksi antara orang-orang profesional yang mengeksplorasi suatu permasalahan untuk mencari suatu solusi terbaik yang dibutuhkan klien. Sebagai proses, konsultasi adalah suatu teknik untuk meningkatkan dan memperluas pelayanan; atau suatu proses bantuan yang melibatkan pemanfaatan pengetahuan teknis dan hubungan profesional diantara dua orang atau lebih. Metode ini 204
menyediakan bantuan khusus dan informasi teknis dari orang-orang yang kompeten dengan berbagai disiplin secara bersama saling menukar informasi, sedapat mungkin menyediakan pelayanan yang lebih baik bagi keluarga atau individu yang membutuhkannya. Orang yang memberikan pelayanan ini disebut konsultan, sedangkan yang memperoleh pelayanan disebut konsulti.
e. Kolaborasi Kolaborasi merupakan pembagian upaya pengangan secara total dan seefektif mungkin dengan memperluas dan membedakan pemanfaatan
sumber-sumber,
dan
dengan
mengkombinasikan
kompetensi profesional. Dengan kata lain, collaboration adalah suatu orkestra badan-badan pelayanan, para profesional berbakat, dan kebutuhan klien. Kolaborasi dalam sistem pelayanan sosial merupakan upaya berbagi pengalaman dalam hal pengetahuan dari profesional-profesional, paraprofesional-paraprofesional, dan pekerja asli (relawan) dalam berbagai proses penyediaan pelayanan.
2. Organisasi Pelayanan Manusia (Human Service Organization) Manajemen dalam seting pelayanan manusia merupakan tantangan tersendiri, khususnya berkaitan dengan faktor-faktor yang membedakan organisasi non profit dengan perusahaan profit making yang terkadang menyulitkan manajemen. Masalah adminitratif selalu
205
ada dalam organisasi pelayanan manusia. Sejumlah permasalahan tersebut umumnya amat terkait dengan sifat yang melekat dalam pelayanan sosial. Namun demikian badan-badan pelayanan sosial/ manusia bukan berarti di masa depan selalu terkait dengan mismanagement
dan
inefficiency. Banyak masalah tersebut yang dapat diatasi atau paling tidak dikurangi ukurannya sehingga dapat dikendalikan melalui perencanaan yang lebih efektif. Selanjutnya Hasenfeld (1983:9-10) mengemukakan karakteristik dari organisasi pelayanan sosial atau manusia, sebagai berikut: 1. Fakta bahwa material dasarnya (raw material) adalah terdiri dari orang-orang dengan sejumlah nilai-nilai moral yang mempengaruhi aktifitas organisasi sosial. 2. Tujuan dari organisasi pelayanan manusia adalah samarsamar (vague), berarti-dua (ambiguous), dan bermasalah (problematic). 3. Moral ambigu yang mengitari pelayanan manusia juga menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari banyak kepentingan kelompok yang berbeda-beda. 4. Organisasi pelayanan manusia harus beroperasi dengan teknologi
yang
menyediakan
tidak
pengetahuan
menentukan yang
dengan
lengkap
tidak
mengenai
bagaimana mencapai hasil yang diharapkan. 5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan manusia terdiri dari hubungan antara staff dan klien. Tidak menutup kemungkinan para staf dalam organisasi sosial lebih banyak 206
terdiri dari para relawan yang harus berhubungan dengan kliennya. 6. Karena keutamaan hubungan staf dan klien, maka posisi dan peral staff lini (staf profesional) secara khusus adalah penting dalam organisasi pelayanan manusia. 7. Organisasi pelayanan manusia miskin pengukuran mengenai efektivitas yang reliabel dan valid, dan mungkin, lebih mampu bertahan terhadap perubahan dan inovasi.
Pendapat lainnya mengenai karakteristik organisasi pelayanan manusia dikemukakan oleh Martin (1985:2), bahwa : 1. The purpose of human service organisations is to meet the socially recognised needs of people. (Tujuan organisasi pelayanan manusia adalah memenuhi kebutuhan orang yang diakui secara sosial) 2. Human service organisations are based on values accepted by all or a subtantial part of the society in which they operate. (Organisasi pelayanan manusia didasarkan pada nilai-nilai yang diterima oleh semua atau sebagian penting anggota masyarakat dimana mereka beroperasi) 3. Human service organisations are committed to protecting and promoting the wellbeing both of the direct consumers of their services and of society generally. (Organisasi pelayanan manusia memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan baik kepada pengguna jasa langsung dan masyarakat pada umumnya)
207
4. Human service organisations are mandated and resourced by all or a substantial part of the public, through statutory resources or donations, and operate without a profit-making purpose. (Organisasi pelayanan manusia memperoleh kewenangan dan sumber oleh semua atau sebagian penting masyarakat umum, yaitu sumber-sumber dan donasi menurut undang-undang dan bergerak tanpa tujuan mencari keuntungan) 5. Human service organisations are therefore accountable to all or a substantial part of the public as well as to their consumers.
(Organisasi
pelayanan
manusia
dengan
demikian dapat dipertanggung-jawabkan kepada semua atau sebagian penting masyarakat umum demikian pula kepada para pengguna jasanya) 6. Access to and usage of human services are wholly or predominantly controlled by the providers rather than consumers of services. (Akses dan penggunaan pelayanan manusia secara keseluruhan atau terutama dikendalikan oleh penyedia pelayanan daripada penggunanya) 7. Human service organisations provide services that may operate with imprecise methodes. (Organisasi pelayanan manusia
menyediakan
pelayanan
yang
mungkin
menggunakan metode yang tidak tepat). 8. The outcomes of human services may be uncertain and unpredictable. (Hasil dari pelayanan manusia mungkin tidak pasti atau sulit diprediksi).
208
9. Human
services
are
generally
provided
through
professional relationship between staff and client within a formal
organisational
structure.
(Pelayanan
manusia
umumnya disediakan melalui hubungan profesional antara staf dan klien dalam suatu struktur organisasi formal).
Sejumlah permasalahan yang seringkali terkait erat dengan kesulitan administratif dan lemahnya perencanaan antara lain:
1. Human service management have under, “fuzzy” goals. Artinya organisasi pelayanan manusia tidak memiliki tujuan yang benar-benar jelas. 2. There are conflicts in values and expectations among the groups involved in human service delivery. Artinya terdapat konflik-konflik nilai dan harapan diantara kelompokkelompok yang terlibat dalam penyediaan pelayanan sosial/ manusia. 3. Human service agencies tend to demonstrate more concern for means than for ends. Artinya badan-badan pelayanan manusia cenderung untuk menunjukkan perhatiannya pada cara-cara pertolongan daripada pencapaian tujuan. 4. It is difficult to measure the outputs human service agencies. Artinya sulit untuk mengukur hasil-hasil dari badan pelayanan manusia. 5. The connections between agencies effectiveness and resource alocation are tenuous or nonexistent. Hubungan antara efektivitas badan-badan sosial dan alokasi sumber yang seringkali tidak ada dan sulit diperoleh. 209
Edi Suharto (1997), mengemukakan tentang karakteristik dan permasalahan organisasi pelayanan sosial yang umumnya ada di Indonesia, dalam tabel berikut:
Tabel 1. Karakteristik dan Permasalahan Organisasi Pelayanan Sosial Karakteristik No. 1. Orientasi bukan mencari keuntungan (nir-laba) 2. Produknya bukan barang, melainkan pelayanan sosial 3.
4.
Permasalahan Kekurangan dana. Sangat tergantung pada dukungan dana dari luar Kurang mampu memenuhi kebutuhan anggota dan masyarakat. Manfaat produknyakurang dapat dirasakan oleh masyarakat Para pengurusnya bekerja Rendahnya motivasi dan unjuk kerja atas dasar sukarela (amal pengurus dalam melaksanakan tugas soleh, tidak dibayar) Tidak memiliki indikator Sulit mengukur pengaruh atau atau kriteria keberhasilan dampak pelayanan. Masyarakat dan pelayanan yang jelas lembaga donor kurang percaya dalam memberikan dukungan finansial.
Jenis Organisasi Pelayanan Manusia Terdapat banyak jenis organisasi pelayanan manusia yang dapat dikategorikan berdasarkan kegiatan (bidang lingkup garapan), jenis penanganan, dan berdasarkan wilayah atau juga berdasarkan teknologi yang dipergunakan dalam mengolah “raw material” oleh badan pelayanan sosial. Jika berdasarkan wilayah tentunya ada organisasi pelayanan manusia tingkat daerah, organisasi pelayanan manusia tingkat nasional dan organisasi tingkat internasional. 210
Kemudian jika organisasi berdasarkan proses penanganannya maka akan dikenal jenis organisasi berdasarkan kuratif/penyembuhan, berdasarkan proses, dan organisasi perubahan. Tipologi organisasi seperti ini dapat dilihat pada kebutuhan manusia yang sedang dihadapi, misalkan rumah sakit dan penjara adalah organisasi sosial yang berfungsi sebagai perbaikan/penyembuhan. Sedangkan sekolah lebih cenderung dikategorikan dalam organisasi sosial yang berfungsi perubahan (changing) perilaku manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Yeheskel Hasenfeld (1983:47) bahwa organisasi pelayanan manusia dilihat berdasarkan ‘materi atau bahas dasar’-nya dan penggunaan teknologi transformasi yang digunakan. Berdasarkan jenis bahan dasarnya yang dilayani yaitu manusia, terdiri dari dua dimensi yaitu manusia yang berfungsi normal (normal functioning) dan yang tidak berfungsi secara normal (malfunctioning). Ketidaknormalan tersebut dapat dilihat bersarkan fisik, psikologis dan sosial. Selanjutnya
Yeheskel
juga
mengemukakan
klasifikasi
berdasarkan dimensi teknologi pelayanan yang diberikan oleh organsasi pelayanan, maka terdapat tiga jenis penggunaan teknologi yaitu: a. Pemrosesan-manusia
(people-processing
technologies);
tujuannya memberikan status atau label sosial tertentu terhadap klien sehingga dapat ditentukan jenis pelayanan apa yang diperlukan selanjutnya. b. Pemeliharaan-manusia (people-sustaining technologies). Pada jenis
ini
berupaya
untuk
mencegah,
memelihara
dan
memperhatankan kesejehteraan klien, tetapi tidak berupa merubah secara langsung atribut atau perilaku klien. 211
c. Perubahan-manusia (people-changing technologies); teknologi ini adalah untuk merubah atribut atau sikap serta perileku klien agar dapat meningkatkan kesejahteraannya. Apabila digambarkan dalam suatu matrik antara kedua dimensi yaitu bahan dasar manusia atau tipe kliennya yang berfungsi normal dan tidak normal, dan penggunaan teknologi dalam pelayanan manusia, maka didapat enam jenis tipologi organisasi pelayanan manusia, sebagai berikut:
Tabel 2. Tipologi Organisasi Pelayanan Manusia Perubahan Manusia Jenis III Jenis V Fungsional Jaminan Sosial Sekolah Rumah Umum Peristirahan Pramuka PKBI Jenis II Jenis IV Jenis VI Malfunctioning Klinik Rumah Rumah sakit diagnostik Perawatan Pusat Pengadilan Panti asuhan rehabilitasi anak Korban narkotik Sumber: Yeheskel Hasenfeld, 1983. Human service Organization, p. 47. Jenis Klien
Pemrosesan Manusia Jenis I BPS Badan Akreditasi
Pemeliharaan Manusia
Kemudian beberapa tipologi lainnya yang lebih mudah dilihat adalah berdasarkan jenis lingkup dan bidang garapan pelayanan dari organisasi sosial. Friedlander (Concept and Methodes of Social Work; 1980:5-10) mengemukakan beberapa jenis pelayanan sosial yang diusahakan melalui organisasi sosial yaitu:
212
1. Bantuan sosial (public assistance); 2. Asuransi sosial (social insurance); 3. Pelayanan kesejahteraan keluarga (family welfare services); 4. Pelayanan kesejahteraan anak (child welfare services); 5. Pelayanan kesehatan dan pengobatan (health and medical services); 6. Pelayanan kesejahteraan jiwa (mental hygiene services); 7. Pelayanan koreksional (correctional services); 8. Pelayanan kesejahteraan pemuda pengisian waktu luang (youth leissure-time services); 9. Pelayanan kesejahteraan bagi veteran (veteran services); 10. Pelayanan ketenagakerjaan (employment services); 11. Pelayanan bidang perumahan (housing services); 12. Pelayanan sosial inetrnasional (international social services) 13. Pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat (community social services) Banyaknya jenis pelayanan sosial yang ada dimasyarakat akan sangat tergantung pada ragam permasalahan dan struktur masyarakat itu sendiri dalam menanggapi berbagai masalah yang berkembang. Demikian pula dengan berbagai perspektif mengenai jenis pelayanan sosial akan memperjelas dalam memahami proses kegiatan atau penyelenggaraan pelayanan sosial oleh organisasi tersebut. Dalam penyelenggaraan pelayanan sosial maka kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam organisasi pelayanan manusia tidak mungkin dapat diterapkan
tanpa
manajemen
pelayanan
dikemukakan oleh Ginsberg (1995: 2), bahwa
213
sosial.
Sebagaimana
“Without management, it is doubtful that services could be provided. In many cases, the nature and quality of the services would be even more heavily influenced by the nature and quality management than by the laws (in public program) or board decisions (in voluntary program) that create the services”.
Tanpa manajemen, maka diragukan sebuah pelayanan sosial dapat tersedia dengan baik, bahkan sifat dan kualitas pelayanan sosial akan sangat dipengaruhi oleh sifat dan kualitas manajemen daripada aturan yang dibuat atau oleh keputusan para anggota dewan. Dengan demikian suatu organisasi pelayanan sosial sudah semestinya dikelola secara profesional. Artinya berbagai aspek manajemen merupakan syarat tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi pelayanan.
3. Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial Manajemen organisasi pelayanan sosial merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam bidang sosial dengan menggunakan sumber daya yang terdapat di lingkungan masyarkat secara efisien dan efektif. Berbicara mengenai manajemen maka akan membawa serta fungsi manajemen yang antara lain dikemukakan oleh Weinbach (1994), yaitu : 1. Perumusan tujuan 2. Pengorganisasian usaha-usaha kesejahteraan sosial 3. Komunikasi baik vertikal maupun horizontal, formal atau informal, internal maupun eksternal
214
4. Penyediaan fasilitas 5. Mencari,
menggali
memobilisasi
dan
memanfaatkan
sumber/potensi 6. Evaluasi kegiatan usaha kesejahteraan sosial
Manajemen seringkali diartikan secara berbeda dalam berbagai level dan bidang kegiatan. Manajemen dapat diartikan sebagai seperangkat fungsi khusus yang dijalankan oleh orang dalam seting pekerjaan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan pencapaian tujuan organisasi (Weinbach, 1994:11). Dalam seting pekerjaan sosial berarti bahwa para pekerja sosial yang berfungsi sebagai manajer berupaya untuk membangun dan mencapai suatu lingkungan kerja optimal yang kondusif bagi efisiensi penyediaan pelayanan yang efektif bagi klien. Dengan demikian pemahaman akan manajemen dari suatu organisasi pelayanan menjadi begitu penting, dalam rangka mencapai efektifitas pelayanan sosial yag diberikan. Dalam dekade terakhir ini, khususnya dalam dua puluh lima tahun terakhir, banyak perkembangan secara administratif dalam bidang bisnis dan pekerjaan sosial yang saling-silang. Tantangan terkini dalam pekerjaan sosial adalah memadukan prinsip-prinsip efisiensi manajemen bersama dengan hubungan manusia dalam memberikan pelayanan manusia yang efektif. Manajemen berorientasi bisnis menekankan
proses
perencanaan
(planning),
pengorganisasian
(organizing), dan pengarahan (directing) dalam rangka meningkatkan dana memperbaiki pelaksanaan dan hasil suatu organisasi. Dalam pekerjaan sosial, proses yang sama tersebut dapat digunakan untuk
215
memperkuat pelaksanaan badan pelayanan dan untuk meningkatkan pelayanan. (Skidmore, p.17). Sedangkan proses manajemen dalam organisasi pelayanan sosial tidak jauh berbeda dengan proses yang dilakukan oleh organisasi lainnya. George Tery mengemukakan fungsi-fungsi manajemen yang terkenal dengan sebutan POAC (Planing, Organizing, Actuating and Controlling). Sedangkan para penulis manajemen lainnya ada yang hanya menggunakan planning, organizing dan controling saja. Namun begitu, sebagaimana dikemukakan oleh Robert Weinbach (p. 17) bahwa “all the list suggest the effort of a manager take a active role in shaping various aspect of the work environment”. Artinya kesemua fungsi managemen tersebut ditujukan agar manajer memiliki peran aktif dalam mempengaruhi lingkungan kerjanya. Selanjutnya menurut Thomas Wolf (1990:289-297) organisasi non-profit atau organisasi pelayanan manusia diatur dan dikelola dengan baik secara sungguh-sungguh pada berbagai bidang. Sebagian dari keberhasilan yang diperoleh dewan dan stafnya yaitu komitmennya terhadap
suatu
proses
untuk
mengevaluasi
permasalahan
dan
mengembangkan secara sistematis untuk berbuat yang lebih baik lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperkirakan kekuatan (strengths), kelemahan (Weaknesses), permasalahan (problemsI) dan peluang (opportunities) Diagnosis kekuatan, kelemahan, permasalahn dan peluang suatu organisasi saat ini meliputi asesmen yang dilakukan pada berbagai wilayah dan mengevaluasi organisasi dari berbagai sudut pandang. Proses tersebut meliputi ajuan pertanyaan mengenai bagaimana
216
sebaiknya mengukur organisasi pada taraf yang ideal. Cecklist berikut ini akan merupakan titik awal yang baik bagi penelahaan (assessment) proses keorganisasian. Menurut Thomas Wolf paling tidak terdapat lima aspek utama dalam penelaahan sebuah organisasi pelayanan manusia (human service organizations) yaitu : a. Misi, Imej, dan Dukungan b. Isu Sumberdaya Manusia : Dewan, Staf, dan Relawan c. Keuangan d. Aktifitas dan Program e. Perencanaan dan Evaluasi
Secara rinci ia menguraikan masing-masing aspek utama tersebut menjadi bagian-bagian yang perlu diperhatikan dalam mengelola organisasi pelayanan manusia, yaitu sebagai berikut; a. Misi, Imej, dan Dukungan Kasus (Mission, image, and Case for Support) i.
Misi. Sebuah organisasi yang kuat salah satunya tujuannya adalah relevansi kebutuhan masyarakat yang dilayani sekarang ini serta keperluan (kebututuhan) dewan serta konstituen yang diketahuinya dengan baik.
ii.
Imej. Organisasi sebaiknya terkenal dan dihargai dengan dalam masyarakatnya dan diantara para konstituennya.
iii.
Dukungan Kasus. Organisasi sebaiknya menampilkan suatu sodoran kasus yang mendukung baik bagi klien dan kepada kontributornya.
b. Isu
Sumberdaya Manusia:
Dewan,
Staf,
(Manpower Issues: Board, Staff, and Volunteers) 217
dan
Relawan
i.
Dewan. Anggota dewan sebaiknya aktif, memikirkan keseluruhan
urusan-urusan
organisasi,
bertanggung
jawab terhadap pengumpulan dana, dan mengikuti perkembangan para stafnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari terhadap organisasi. ii.
Staf.
Organisasi
sebaiknya
memiliki
staf
yang
berkualitas dan terlatih baik yang mampu melakukan tugas kegiatan yang cukup luas. Organisasi seharunya memaksimalkan kekuatan kerta dan sebaiknya kebijakan personalia didokumentasikan yang mencerminkan rasa kejujuran terhadap moral yang baik. iii.
Sukarelawan.
Dalam
organisasi
membutuhkan
sukarelawan,
setiap
yang
sangat
individu
harus
sungguh-sungguh atau dapat dipercaya (be committed), berikan tugas yang jelas, dan perhargaan atas pekerjaan yang dilakukannya. c. Keuangan (Finances) i.
Manajemen keuangan. Keuangan organisasi seharusnya menunjukkan
manajemen
yang
bijak
(hati-hati),
penyesuaian kelalaian dan pengendalian, dan sistem yang tepat untuk memprediksi dan jalur-jalur penhasilan dan pembiayaan. ii.
Pendapatan dan pengeluaran. Terkecuali berada pada lingkaran
yang
tidak
biasa,
organisasi
sebaiknya
memperoleh dan menambah uang yang cukup setiap tahunnya untuk membiayai operasi kegiatan. d. Aktifitas dan Program (Activities and Programs) 218
i.
Audit
sumber
daya.
Program-program
organisasi
sebaiknya memenuhi kebutuhan para konstituen dan masyarakat. Mereka seharusnya teradministrasi dengan baik. ii.
Posisi.
Organisasi
sebaiknya
menunjukkan
akan
keuntungan uniknya dengan memanfaat program dan pelayanan-pelayanannya. Hal tersebut sebaiknya dihargai dengan baik pada persaingan yang ada. e. Perencanaan dan Evaluasi (planning and Evaluation) i.
Perencanaan. Dewan dan staf organisasi sebaiknya terlibat dalam perencanaan jangka pendek dan jangka panjang setiap saat.
ii.
Evaluasi.
Sistem
evaluasi
seharusnya
mengukur
penampilan sasaran dan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dari waktu-ke waktu, evaluasi sebaiknya menggunakan objektifitas dan profesional ahli dari luar.
4. Penelitian Pekerjaan Sosial Salah satu kemampuan penting bagi dalam profesi pekerjaan sosial adalah meneliti. Kemampuan meneliti dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial akan sangat menunjang efektifitas dan efisiensi dari proses pelayanan sosial. Untuk memahami secara dasar mengenai penelitian pekerjaan sosial dalam bagian berikut terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penelitian pekerjaan sosial, yaitu:
219
•
Penelitian pekerjaan sosial adalah salah satu metode dalam praktek pekerjaan sosial.
•
Penelitian
pekerjaan
sosial
berfungsi
membantu
mengoptimalkan praktek pekerjaan sosial. •
Penelitian pekerjaan sosial pada hakekatnya adalah penerapan konsep-konsep pekerjaan sosial, metode penelitian sosial, serta ilmu pengetahuan lain di dalam mengkaji atau memahami suatu persoalan.
•
Penelitian Pekerjaan Sosial bukan saja dibutuhkan dalam praktek pekerjaan sosial, akan tetapi juga merupakan tuntutan bagi setiap pekerja sosial.
•
Penelitian pekerjaan sosial juga merupakan salah satu tuntutan yang
harus
dipenuhi
oleh
setiap
mahasiswa
dalam
menyelesaikan studinya dalam bentuk skripsi, tesis atau disertasi.
Berdasar pada asumsi-asumsi tersebut kemampuan meneliti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam profesi pekerjaan sosial dengan bidang garapannya yaitu kesejahteraan sosial. Sebab suatu proses pelayanan sosial tentunya akan dan harus diawali dengan proses asesmen yang benar. Proses asesmen yang benar akan menghasilkan olah
data
dan
kajian
analisis
yang
benar
dan
sehingga
dipertanggungjawabkan, untuk selanjutnya hasil olah dan analisis data tersebut akan dipergunakan dalam penyusunan rancangan pemecahan masalah (plan of treatment). Dengan demikian proses asesment tersebut juga akan menentukan keberhasilan suatu rencana kegiatan atau plan of treatment (rencana tindakan) yang akan disusun, serta treatment atau 220
pemecahan masalah yang akan dilakukan. Dalam proses berikutnya juga sudah mulai dapat ditentukan jenis evaluasi serta monitoring, yang juga melibatkan penelitian pekerjaan sosial. Keseluruhan proses pekerjaan sososial tersebut, dari mulai asesmen (pengumpulan data dan pengolahan data) hingga evaluasi-monitoring dan terminasi-after care akan banyak melibatkan penelitian pekerjaan sosial. Berdasarkan uraian tersebut, tiak dapat dipungkiri bahwa penelitian pekerjaan sosial merupakan salah kompetensi yang harus dikuasasi dalam profesi pekerjaan sosial. Seorang pekerja sosial diharapkan memiliki kompetensi meneliti, sebagai upaya mengatasi berbagai permasalahan sosial secara sistematis dan terukur. Oleh karena itu penelitian pekerjaan sosial akan sangat terkait erat dengan praktek pekerjaan sosial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa proses pemecahan sosial yang terdiri dari asesmen (diagnosis), rencana tindakan (plan of treatment), monitoring dan evaluasi, hingga terminasi. Kesemua proses tersebut, dalam konteks penelitian pekerjaan sosial memerlukan akan menuntut keakuratan data, asumsi-asumsi, metode dan teknik yang benar. Setiap profesi pertolongan tentunya (pekerjaan sosial, dokter, psikolog, perawat, psikiater, dll) akan mengembangkan model penelitiannya masing-masing. Hal ini akan sangat terkait dengan konteks dan fokus masing-masing profesi tersebut. Demikian pula dengan profesi pekerjaan sosial, yang diharapkan juga mampu mengembangkan model penelitian yang sesuai dengan bidang garapannya. Hal ini penting agar penerapan model penelitian tersebut dapat fungsional atau berguna dalam proses pemecahan masalah.
221
Penelitian merupakan bahasa universal, yang tidak mengenal strata dan proses. Pembeda penelitian adalah tujuan, kedalaman serta fokus atau bidang dari masing-masing penelitian itu sendiri. Namun demikian penelitian tetap saja merupakan keterampilan umum yang didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu. Demikian pula halnya dalam penelitian pekerjaan sosial. Tujuan penelitian pekerjaan sosial itu sendiri sangat khas, yang tentunya berkait serta dengan bidang praktek pekerjaan sosial dan bidang garapan kesejahteraan sosial. Orientasi penelitian pekerjaan sosial adalah penelitian terapan. Artinya penelitian ini seyogyanya berorientasi pada tindakan yang memiliki manfaat menyelesaikan suatu masalah sosial tertentu, baik masalah kebijakan, program ataupun kegiatan operasional. Hasil dari penelitian rekomendasi
pekerjaan (referensi
sosial
seharusnya
praktis)
tentang
memberikan bagaimana
sebuah
seharusnya
mengimplementasikan hasil penelitian dan kesimpulan dari penelitian tersebut. Oleh karena itu seorang peneliti pekerjaan sosial, dalam benaknya, perlu memikirkan sumbangan apa yang dapat diberikan bagi pengembangan model-model praktek pekerjaan sosial, pengembangan solusi pemecahan masalah, dan peningkatan efektifitas-efisiensi pemecahaan masalah; baik mikro-makro, baik kebijakan-programproyek. Obyek dari penelitian pekerjaan sosial adalah 1) praktek pekerjaan sosial (baik dalam seting praktek primer maupun sekunder); 2) masalah sosial, 3) fenomena atau isu-isu yang menjadi kajian ilmu lain yang dapat dijadikan asumsi dalam praktek pekerjaan sosial. Oleh karena itu tujuan penelitian pekerjaan sosial ditujukan untuk pengembangan praktek pekerjaan sosial, baik konsep-konsep, 222
asumsi-asumsi,
strategi-strategi,
metode-metode,
teknik-teknik,
pendekatan-pendekatan, dan seterusnya sebagaimana uraian berikut ini.
Tujuan Penelitian Pekerjaan Sosial Secara umum maksud dan tujuan dari penelitian pekerjaan sosial dapat Secara definisi tujuan penelitian pekerjaan sosial adalah: •
Untuk menjawab permasalahan dalam praktek pekerjaan sosial
•
Memperluas atau menjeneralisasi pengetahuan dan konsepkonsep pekerjaan sosial
•
Menentukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah sosial
•
Menguji asumsi-asumsi dalam praktek pekerjaan sosial
•
Menjelaskan efektifitas dan efisiensi suatu pendekatan, metode, teknik atau keterampilan dalam praktek pekerjaan sosial.
Sedangkan menurut Philip Klein, tujuan penelitian pekerjaan sosial adalah: - Menetapkan, mengenal, mengukur kebutuhan pelayanan - Mengukur, mengkaji pelaksanaan pelayanan - Mengkaji, mengukur, menilai hasil-hasil praktek pekerjaan sosial - Mengkaji ketepatan teknik atau metode pelayanan - Menguji, mengembangkan metode penelitian
223
Lebih lanjut, menurut Friedlander (dalam Concepts and Methods of Social Work,p.226) menguraikan tujuan penelitian pekerjaan sosial sebagai berikut: 1. Mengukur faktor-faktor penyebab masalah sosial dan pelayanan sosial apa saja yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah sosial tersebut 2. Penelitian tentang lembaga-lembaga pelayanan sosial, dewandewan kesejahteraan sosial dan konsep-konsep pekerjaan sosial. 3. Meneliti tantang harapan, persepsi, serta evaluasi tentang situasi-situasi bidang praktek pekerjaan sosial 4. Mengukur intensitas, tujuan, kinerja para pekerja sosial 5. Mengkaji hubungan antara harapan, intensitas dan tindakan para pekerja sosial tersebut. 6. Meneliti tentang isi atau materi proses pekerjaan sosial 7. Menguji kegunaan pelayanan sosial, dalam kaitannya dengan kebutuhan individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah. 8. Mengukur,
mengevaluasi
pengaruh
pelaksanaan
praktek
pekerjaan sosial serta kebutuhannya bagi praktek pekerjaan sosial 9. Meneliti tentang harapan-harapan, persepsi, dan evaluasi tentang situasi klien 10. Meneliti tetang tingkah laku klien sebagai respon terhadap pelayanan yang diberikan oleh para pekerja sosial 11. Mencari batasan formal dan informal tentang peranan, hubungan, pola kerja pekerja sosial dengan lembaga-lembaga pelayanan social.
224
12. Meneliti tentang nilai-nilai dan kecenderungan utama suatu kelompok sosial dalam suatu masyarakat tempat pelayanan sosial
berada,
untuk
mendorong
dan
mengembangkan
pemanfaatannya. 13. Meneliti tentang pola-pola interaksi antara unsur yang beragam dalam setting lembaga sosial dan pengaruhnya terhadap klien dan pengelola lembaga. 14. Studi tentang metodologi penelitian Pekerjaan Sosial itu sendiri.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan penelitian pekerjaan sosial tersebut, jelas terlihat adanya objek dari penelitian pekerjaan sosial. Setidaknya obyek penelitian pekerjaan sosial itu terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu 1) masalah atau isyu-isyu kesejahteraan sosial, 2) praktek pekerjaan sosial, dan 3) perspektif pekerjaan sosial. Penelitian pekerjaan sosial secara sederhana dimulai dengan memiliki topik penelitian yang manageable, menentukan obyek penelitian, menentukan judul, dan membuat rumusan masalah penelitian, pemerintah, penelitian,
menentukan dan
manfaat
pemangku
menganalisis
dan
penelitian
kepentingan),
(bagi
masyarakat,
menentukan
menyimpulkan
hasil
metode
penelitian,
selanjutnya saran atau rekomendasi atas kesimpulan yang diperoleh. Topik penelitian yang manageable berarti peneititian tersebut dapat dilaksanakan dan penting untuk diteliti. Beberapa pertimbangan dalam memilih topik penelitian, baik pertimbangan obyektif dan pertimbangan subyektif. Petimbangan obyektif menyangkut:
225
•
Ada referensi teoritisnya. Makin banyak referensi maka makin mudah untuk pengelolaannya
•
Merupakan persoalan yang aktual. Makin aktual makin manageable.
•
Merupakan permasalahan atau persoalan yang penting. Penting artnya mempunyai nilai guna teoritis dan praktis. Makin penting persoalannya maka makin manageable.
•
Dapat diperoleh datanya. Maka mudah data itu diperoleh, maka makin muda pengelolaannya.
Selanjutnya terdapat pula pertimbangan subyektif yang juga perlu dipertimbangkan dalam memulai penelitian, antara lain: •
Peneliti memiliki minat atas obyek penelitian, makin besar minatnya maka makin memudahkan.
•
Peneliti mempunyai bekal teoritis tetang obyek yang diteliti. Sebab makin besar pemahamannya maka makin memudahkan pula.
•
Peneliti mampu mengelola persoalan waktu, tenaga, dan biaya sebagai konsekuensi dari kegiatan penelitian tersebut.
Selanjutnya mengenai topik-topik penelitian pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial dapat didasarkan pada isu atau topik sebagai berikut: A. Berdasarkan isyu atau masalah • •
Anak jalanan Kekerasan domestik atau publik 226
• • • • •
Bencana (alam, sosial) Konflik sosial Pengungsi dan migrant internasional Lingkungan Perilaku sosial, dan lain-lain
B. Berdasarkan program • • • • • • •
Rumah sakit bersalin gratis Pengembangan masyarakat BPJS Penanganan pengungsi Penanganan traficking CSR Pengelolaan sampah, dan lainnya
C. Berdasarkan kelompok usia • • • •
Anak : anak jalanan, pekerja anak, anak korban kekerasan, dst Remaja: geng motor, peer educator, pergaulan bebes remaja, perilaku asosial remaja Dewasa: buruh, singel parent, kekerasan dalam rumah tangga, Lansia: panti jompo, lansia di keluarga, organisasi lansia, dan lainnya
D. Berdasarkan unit analisis • • • •
Individu Keluarga Kelompok/organisasi/instansi/perusahaan Masyarakat
E. Berdasarkan bidang • • • •
Kesehatan Pendidikan Industri Keagamaan
227
• • • •
Kependudukan Politik Budaya Lingkungan
F. Berdasarkan pendekatan, metode, teknik, dan keterampilan dalam pekerjaan sosial • • • • • • •
Proses pengembangan masyarakat Cognitive behavior therapy (CBT) Assertiveness training Reunifikasi anak Person in environment (PIE) Konseling Penanganan berbasis institusi, dan seterusnya masih banyak lagi
G. Berdasarkan setting • • • • • •
Keluarga Sekolah Industri Rumah sakit Organisasi sosial Masyarakat
5. Perencanaan Sosial Perencanaan sosial, dibatasi dan diterapkan secara berbeda-beda dalam berbagai konteks. Berdasarkan penerapannya di berbagai negara, Alan Walker (1983) menempatkan perencanaan pada dua kutub. Kutub yang pertama, bahwa perencanaan sosial sebagai unsur yang menggerakkan perubahan sosial dan pencapaian pembangunan sosial (Migdley, 1978; PBB, 1970; Conyers, 1983). Sedangkan kutub kedua,
228
menempatkan
perencanaan
sosial
sebagai
bagian
dari
sistem
kesejahteraan sosial yang berlaku pada masyarakat kapitalis (AbelSmith, 1967; Mayer, 1972; Glennester, 1975). Para ahli tersebut melihat hubungan dari tiga unsur dalam masyarakat, yaitu pemerintah sebagai pengatur dan pengelola lalu lintas sumber daya, swasta dan masyarakat luas pada umumnya sebagai penyumbang pajak maupun pendonor, dan para klien sebagai penerima bantuan sosial. Sedangkan apabila melihat berdasarkan aktifitas dan bidangnya, secara garis besar Piachaud dan Midgley (1984) membagi perencanaan sosial ke dalam lima kategori sebagai berikut: 1. Perencanaan sosia, perubahan sosial dan sosiologi terapan. 2. Perencanaan sosial, pekerjaan sosial dan pengembangan masyarakat. 3. Perencanaan sosial dan pengembangan kota 4. Perencanaan
sosial,
kebijakan
sosial
dan
pelayanan
kesejahteraan sosial. 5. Perencanaan sosial dan perencanaan pembanguann di dunia ketiga.
Aspek ‘sosial’ dari suatu perencanaan menjadi begitu sangat penting, khususnya berkaitan dengan perencanaan pembangunan di era tahun 1970-an. Di Indonesia sendiri perencanaan sosial mulai menjadi bagian penting dalam pembangunan nasional pada era tersebut hingga kini. Bahkan di berbagai lembaga pendidikan tinggi, perencanaan sosial menjadi bagian dari mata kuliah menjadi tersendiri, dari suatu program studi, seperti halnya dalam program studi kesejahteraan sosial, atau pada program studi pembangunan sosial. Bahkan pada beberapa 229
perguruan tinggi terdapat program studi perencanaan atau perencanaan sosial. Conyers (1984) mencatat bahwa istilah perencanaan sosial mulai muncul pertama kali di negara-negara maju Eropa Barat dan Amerika Utara, yang pada dasarnya berhubungan erat dengan perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial. Sedemikian erat hubungannya, bahkan sebagian orang menganggap hubungannya adalah mutlak. Berdasarkan hal tersebut sebagian besar orang Barat menganggap bahwa perencanaan sosial mempunyai
kaitan
yang
erat
dengan
masalah
perencanaan
kesejahteraan sosial. Selanjutnya Conyers (1984) mengemukakan tiga bidang besar dalam perencanaan sosial yaitu: 1) Perencanaan pelayanan-pelayanan sosial 2) Memperhitungkan
skala
mempertimbangkannnya
prioritas dalam
sosial
dan
perencanaan
pembangunan; dan 3) Jaminan terhadap adanya partisipasi yang luas dalam perencamnaan
Perencanaan sosial pada tipe pertama, dalam arti sempit, adalah jenis perencanaan yang ditujukan untuk pada penyediaan pelayananpelayanan pokok di bidang sosial. Pelayanan ini berkaitan dengan jenis pelayanan penyediaan dukungan terhadap kesejahteraan sosial (social well being) penduduk. Awalnya pengertian perencanaan sosial lebih sempit, hanya mencakup pelayanan kesejahteraan sosial tanpa berkaitan dengan sifat ekonominya. Namun dalam perkembangannya, 230
perencaan sosial juga mencakup bidang-bidang pendidikan dan kesehatan, perumahan, pengadaan air bersih, penyediaan sarana-sarana rekreasi. Tipe kedua adalah suatu bentuk perencanaan sosial yang tidak saja tertuju secara langsung pada faktor-faktor sosial dan ekonomi yang sedemikian rumit hubungannya dalam proses pembangunan, lebih khusus lagi perlunya perhatian yang lebih mendalam kembali mengenai pertimbangan-pertimbangan sosial dan pencapaian tujuan-tujuan sosial. Perencanaan semacam ini telah menjadi suatu kebutuhan penting, sebagai suatu refleksi atas realisasi faktor-faktor sosial yang diperhitungkan dalam setiap program pembangunan, dan bahwa pembangunan sosial mempunyai mempunyai tujuan penting tersendiri. Bidang ketiga dari perencanaan sosial adalah sebagai respon atau
menjawab
kegagalan-kegagalan
pembangunan
yang
tidak
memperhatikan partisipasi masyarakat. Ini merupakan bukti dari kegagalan pembangunan yang tidak memperhatikan faktor sosial. Sebab salah satu unsur penting dalam pembangunan adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan yang menyangkut langsung kehidupan mereka. Umumnya para perencana sosial menyadari bahwa masyarakat seharusnya berperan serta dalam menentukan prioritas permasalahan, dan untuk selanjutnya merumuskan bentuk-bentuk pemecahannya secara bersama masyarakat pula. Self belonging
terhadap suatu
program akan muncul, manakala masyarakat dilibatkan dalam suatu proses pembangunan, sehingga pemeliharaan dari masyarakat terhadap suatu program pembangunan akan berjalan.
231
DAFTAR PUSTAKA
Conyers, Diana. 1984. An Intriduction to Social Planning in the Third World. Wiley & Son. Terjemahan oleh Susetiawan, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, 1991. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Friedlander W., 1980. Introduction to Social Welfare. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Ginsberg & Key, 1995. New Management in Human Services. 2nd Ed. NASW Press, Washinton DC. Johnson, Norman. 1981. Voluntary Social Services. Basil Blackwell & Martin Robertson-Oxford. Robert W. Weinbach. 1994. The Social Worker as Manager, Theory and Practice. 2nd Edition Allyn and Bacon. Skidmore, Rex A. 1995. Social Work Administration, Dinamic Management and Human Relationships. 3rd Edition: Allyn & Bacon. Thomas Wolf. 1990. Managing a Nonprofit Orgnization. Prentie Hall Press. New York. Weinbach, Robert W. The Social Worker as Manager, Theory and Practice. 2nd. Ed. Allyn & Bacon.
232
TOPIK 8 PELAYANAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Keadaan, Kecenderungan, dan Masalah dalam Penyelenggaraan Pelayanan Sosial KEGIATAN BELAJAR 2: Bidang-bidang Pelayanan Sosial KEGIATAN BELAJAR 3: Strategi Pelayanan Sosial KEGIATAN BELAJAR 4: Organisasi (Badan) Pelayanan Sosial
233
KEGIATAN BELAJAR 1 KEADAAN, KECENDERUNGAN DAN MASALAH DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN SOSIAL Ada
tiga
komponen
yang
dibutuhkan
untuk
menumbuhkembangkan sebuah profesi, yaitu lembaga pendidikan profesi, organisasi profesi, dan badan pelayanan (praktik); yang merupakan segitiga sama kaki. Dalam hubungan dengan Pekerjaan Sosial, di Indonesia lembaga pendidikan Pekerjaan Sosial telah menunjukkan kelengkapan jenjang program pendidikan, namun masih sangat mengalami kekurangan dalam penerapan konsep ‘link and match’ dengan kondisi nyata masyarakat sehingga belum begitu terdengar gaung kiprahnya. Kekurangan ini bersumber antara lain pada kurangnya tenaga pengajar baik dalam kuantitas maupun dalam pengalaman praktik, kurang tepatnya sistem kurikulum, khususnya berkaitan dengan metode dan teknik pembelajaran; sangat kurangnya badan pelayanan sosial yang memadai untuk dijadikan tempat praktik. Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Kesejahteraan Sosial (Bab I Pasal 2 Ayat (2)), dirumuskan pengertian ‘Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial’, sebagai: ”... semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial”. Secara tradisional masalah-masalah sosial ditangani melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, khususnya keluarga dan model-
234
model usaha kesejahteraan sosial seperti lumbung desa, ‘beas perelek’ (urunan beras); namun dengan pandangan bahwa sumber penyebab masalah sosial adalah perubahan sosial, dan dengan melihat perkembangan masalah sosial dewasa ini serta kemungkinannya di masa mendatang, maka lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut sudah mengalami pula pergeseran fungsi dan strukturnya sehingga tidak lagi dapat mengimbangi perubahan pada sub-sistem masyarakat yang
lain.
Dengan
demikian
dibutuhkan
penataan
kembali
kelembagaan pelayanan sosial yang diadakan untuk memperkuat dan atau menggantikan fungsi-fungsi institusi kemasyarakatan tradisional. Di Indonesia dalam kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang ke I, proporsi sasaran pelayanan dan usaha kesejahteraan sosial yang dapat dijangkau oleh pemerintah masih sangat kecil dibandingkan dengan populasi penyandang masalah. Dengan tekanan pengertian masalah sosial pada masalah ketelantaran ekonomi (masalah sosialekonomi), maka jangkauan penanganan hanya berkisar antara 2-19 persen (Holil Soelaiman, 1993:8). Di Jawa Barat, keadaannya tidak banyak berbeda: dari keseluruhan populasi penyandang masalah sebanyak 1.184.498 orang, baru tertangani sebanyak 115.691 orang (9,76%). Namun demikian ternyata partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah sosial cukup tinggi: ” ... pada akhir Pelita IV di Jawa Barat terdapat badan pelayanan sosial sebanyak 201 buah, terdiri atas 27 badan pelayanan sosial pemerintah dan 174 badan pelayanan sosial swasta. Pada akhir Pelita V jumlah badan pelayanan sosial telah menjadi 695 buah, terdiri atas 27 badan pelayanan sosial pemerintah dan 668 badan pelayanan swasta” (Dinas Sosial Jawa Barat, 1993; 235
perlu diperbaharui, dibandingkan dengan data terakhir). Data tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun, badan pelayanan sosial swasta telah bertambah sebanyak 594 buah atau 341,38%, yang mencerminkan tingginya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah sosial. Keadaan tersebut tampaknya sesuai dengan pengamatan Holil Soelaiman (1993:9), bahwa: ”Perlu diakui peranan masyarakat dalam pelayanan dan usaha kesejahteraan sosial, cukup besar”. Masalahnya adalah bahwa partisipasi masyarakat masih belum merata pada seluruh masalah sosial, dan masih banyak yang harus dibenahi dalam pengelolaan penyelenggaraan pelayanan sosial tersebut. Dari sudut pengembangan praktik Pekerjaan Sosial, maka data tersebut beserta keadaan masalah dan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi isyarat bahwa pengembangan praktik Pekerjaan Sosial harus diarahkan pada sektor pelayanan sosial swasta (voluntary social services). Pemilihan arah pengembangan tersebut mempunyai beberapa alasan, antara lain: a. Kenyataan menunjukkan bahwa perhatian dan kemampuan pemerintah untuk menangani sendiri masalah-masalah sosial, sangat kecil. Data tentang badan pelayanan sosial di Jawa Barat menunjukkan bahwa lembaga pelayanan sosial pemerintah berjumlah tetap (sedikit) selama lima tahun. Data lain yang diperoleh dari Dinas Sosial Jawa Barat menunjukkan bahwa penanganan masalah-masalah sosial-psikologis oleh badan pelayanan sosial pemerintah masih nol, walaupun kenyataan menunjukkan bahwa jumlah penyandang masalah-masalah sosial psikologis mengalami peningkatan yang tinggi. Dengan 236
perkataan lain, lingkup penanganan masalah sosial oleh lembaga pelayanan sosial pemerintah masih sangat terbatas. b. Kenyataan menunjukkan pula bahwa partisipasi masyarakat (swasta) dalam penanganan masalah-masalah sosial mengalami peningkatan yang besar; dan keadaan itu sangat baik karena merupakan indikator bahwa kepedulian sosial warga masyarakat masih tinggi, yang sesungguhnya merupakan modal besar bagi pengembangan bidang Kesejahteraan Sosial. c. Praktik di badan pelayanan sosial swasta lebih memberikan keleluasaan kepada para Pekerja Sosial untuk mengembangkan diri dan aktivitas profesionalnya secara lebih kreatif dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat. Namun demikian dalam praktiknya sampai saat ini, terdapat beberapa permasalahan yang melekat pada penyelenggaraan pelayanan sosial itu sendiri, antara lain: a. Masih sangat besarnya kesenjangan antara kebutuhan akan pelayanan sosial dengan ketersediaan kelembagaan pelayanan sosial itu sendiri. b. Masih cukup kuatnya pandangan (masyarakat umum, aparat pemerintah, bahkan para penyelenggara pelayanan sosial itu sendiri) terhadap pelayanan sosial sebagai kegiatan pemberian bantuan sosial (derma/ charity/philanthrophy), atau kegiatan yang bersifat residual (tambal-sulam). c. Belum profesionalnya penyelenggaraan pelayanan sosial baik melalui badan-badan pelayanan sosial pemerintah maupun bukan pemerintah, sehingga badan-badan pelayanan tersebut
237
belum menyatu menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami industrialisasi. d. Manajemen badan-badan pelayanan sosial masih tergantung kepada orang bukan kepada struktur organisasi, dan bersifat primordial, sehingga tidak dapat mengembangkan pelayanannya untuk dapat memperluas jangkauan pelayanan, juga tidak dapat menjadi tempat para Pekerja Sosial profesional untuk meniti karier profesionalnya. Dengan melihat perkembangan masyarakat yang semakin membutuhkan sistem pelayanan sosial yang melekat sebagai bagian dari sistem masyarakat itu sendiri, serta tuntutan profesionalisme para Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial; maka dapatlah dikemukakan beberapa karakteristik yang seharusnya melekat pada pelayanan sosial dewasa ini, yaitu: a. Didasarkan pada nilai sosio-budaya dan agama masyarakat. b. Adaptif terhadap perubahan masyarakat. c. Berfungsi memperkuat, mendukung, dan/atau menggantikan fungsi dan struktur lembaga sosial tradisional. d. Ditekankan pada upaya pencegahan (preventif) timbulnya masalah dan pengembangan (developmental) kemampuan orang untuk mengatasi masalahnya sendiri; daripada kepada upaya penyembuhan (kuratif, represif, rehabilitatif). e. Voluntary, artinya dibentuk dan diselenggarakan dari dan oleh masyarakat; tanpa mengandalkan lembaga-lembaga pemerintah (public social service). Pelayanan sosial merupakan wujud praktik Pekerjaan Sosial yang diwadahi dalam badan pelayanan sosial (social service agencies). 238
Di badan-badan pelayanan sosial inilah para Pekerja Sosial dapat meniti karier profesinya. Pada awal pertumbuhannya Pekerjaan Sosial dimanapun di seluruh dunia ini, filosofi charity/ philanthrophy (kebajikan) menjadi landasan dan karenanya identik dengan palayanan sosial; yang diselenggarakan dalam bentuk bantuan sosial (derma). Dampak yang ditimbulkannya adalah bahwa Pekerja Sosial identik dengan pekerja “amal soleh” (tukang pengumpul dan pembagi derma). Pendekatan filosofi charity/philanthrophy tersebut telah gagal mengatasi masalah sosial, bahkan menciptakan masalah sosial yang lebih mendasar, yaitu ketergantungan, kehilangan harga diri, dan lenyapnya daya juang para penyandang masalah. Dengan cara berpikir demikian, dan kenyataan bahwa pemberian bantuan sosial telah menimbulkan masalah yang lebih berat; maka paradigma pelayanan sosial tidak lagi bertumpu pada filosofi charity/philanthrophy,
melainkan
kepada
“pemberdayaan”
(empowerment). Dengan paradigma baru tersebut, maka masalah mendasar yang mengemuka bukan lagi kemiskinan, melainkan kebodohan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah pemberantasan kebodohan; dengan demikian, visi pelayanan sosial sesungguhnya adalah pendidikan kepada masyarakat dalam arti yang luas dan mendalam, yaitu mengubah sikap masyarakat: menghilangkan sikap ingin diberi, dan menggantikannya dengan menumbuhkan
sikap
mandiri
untuk
mengerahkan
segala
kemampuannya dalam meraih kesejahteraan dengan usaha sendiri (prinsip partisipasi dalam Pekerjaan Sosial) Dengan cara pandang tersebut, maka masalah yang dihadapi mungkin saja masih sama, namun pengertian dan wujud tindakan 239
penanganannya akan harus menjadi lebih luas, lebih komprehensif, tidak selesai sekedar ramai-ramai memberi bantuan derma. Sebagai contoh akan dikemukakan situasi masalah sebagai berikut: Katakanlah data dari masyarakat menunjukkan bahwa masalah anak terlantar mengalami peningkatan secara signifikan; dalam pengertian anak-anak yang tidak memiliki keluarga utuh yang dapat merawatnya (sebagai contoh ekstrim, banyaknya kelahiran anak di luar nikah). Secara tradisional, masalah tersebut diatasi dengan pengadaan pelayanan foster (institusional) care (panti asuhan). Dengan semakin banyaknya jumlah anak terlantar, maka konsekuensinya harus diperbanyak panti-panti asuhan; yang dengan isyu HAM dan sebagainya, panti-panti tersebut harus bagus kualitas dan fasilitas pelayanannya. Pertanyaannya adalah, apakah dengan dipantikannya anak-anak tersebut persoalan anak terlantar akan terpecahkan atau sedikitnya diminimalisasi? Sangat belum tentu. Dengan semakin melonggarnya kontrol masyarakat terhadap perilaku seksual warganya, dengan bagusnya perawatan panti; sangat memungkinkan secara tidak langsung justru mendorong kelahiran bayi-bayi di luar nikah lebih banyak lagi. Jika demikian, masalahnya merembet ke arah bagaimana mencegah kelahiran di luar nikah, lebih jauh lagi adalah bagaimana mencegah hubungan seksual di luar nikah (tidak boleh sekedar bagaimana melakukan hubungan seks “aman” saja). Demikianlah tampak bahwa masalah anak terlantar dengan fokus pada anak-anak di luar nikah berkaitan dengan berbagai masalah yang lain. Jelaslah bahwa penanganan satu masalah tunggal harus melibatkan serangkaian rantai pelayanan sosial, yang artinya juga membutuhkan sederet badan pelayanan sosial. Pertanyaannya adalah : sudah adakah badan-badan pelayanan sosial yang dibutuhkan untuk rangkaian masalah sosial tersebut?
240
KEGIATAN BELAJAR 2 BIDANG-BIDANG PELAYANAN SOSIAL. Pelayanan sosial merupakan wujud aktivitas Pekerja Sosial dalam praktik profesionalnya. Pelayanan sosial merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan dan masalah yang dialami masyarakat sebagai akibat perubahan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian bidang-bidang pelayanan sosial akan tergantung pada bagaimana Pekerja Sosial memandang dan mengidentifikasikan masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Jika cakupan masalah sosial dipandang telah mengalami perluasan dari masalah sosial-ekonomi kepada masalah sosial-psikologis, maka cakupan pelayanan sosial juga harus demikian. Jika masalah sosial dikategorikan menjadi masalah disorganisasi sosial dan penyimpangan perilaku (Merton & Nisbet, 1976), maka bidang-bidang pelayanan sosial harus pula mencakup pelayanan klinis sampai ke penataan sistem masyarakat itu sendiri. Merton dan Nisbet merinci masalah-masalah sosial, sebagai berikut : a. Perilaku Menyimpang (Deviant Behavior) : 1) Tindakan Kejahatan dan Kenakalan Remaja (crime and juvenille delinquency). 2) Gangguan-gangguan mental (mental disorders) 3) Penggunaan obat-obat terlarang (drugs use) 4) Kecanduan alkohol dan permabukan (alcoholism and problem drinking) 5) Perilaku Seksual (sexual behavior) b. Disorganisasi Sosial (Social Disorganization).
241
1)
Krisis Kependudukan Dunia (The World’s Population Crisis)
2)
Kesetaraan dan Ketidaksetaraan (Equality and Inequality)
3)
Lansia (Age and Aging)
4)
Peranan-peranan seksual (Sex Roles)
5)
Ras dan antar hubungan kelompok di dalam masyarakat (Race and Intergroup Relations)
6)
Disorganisasi Keluarga (Family Disorganization)
7)
Disorganisasi komunitas dan masalah-masalah perkotaan (Community Disorganization and Urban Problems)
8)
Dunia Pekerjaan (The World of Work)
9)
Kemiskinan dan proletariat (Poverty and Proletariat)
10) Kekerasan kolektif (Collective Violence) Masalah sosial pada suatu masyarakat akan terkait dengan nilainilai dan norma-norma sosial budaya masyarakat itu sendiri. Karena itu, jenis-jenis, variasi, serta penilaian tentang masalah sosial mungkin tidak sama pada berbagai masyarakat. Namun demikian, untuk kepentingan identifikasi masalah sosial, hal yang penting adalah adanya kesamaan tentang pengertian konsep masalah sosial tersebut. Keanekaragaman jenis, variasi, serta urgensi tentang masalah sosial yang ditentukan oleh standar nilai dan norma masyarakat, berlaku pula bagi jenis-jenis, serta keanekaragaman pelayanan sosial. Pelayanan
sosial
diselenggarakan
untuk
menjawab
tantangan
kebutuhan dan masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Sebagai sebuah contoh, berikut ini akan dikemukakan rincian bidangbidang pelayanan sosial yang dikemukakan oleh Johnson (1986), sebagai berikut :
242
a. Kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan pendapatan (Public Welfare and Income Maintenance) b. Pelayanan bagi keluarga dan anak-anak di rumah (Services to Families and Children in the Home) c. Pelayanan bagi keluarga dan anak-anak di luar rumah (Services to Families and Children Outside the Home) d. Praktik Pekerjaan Sosial di sekolah (Social Work in the Schools) e. Pelayanan sosial di bidang kesehatan (The Health Field and Social Services) f. Pekerjaan Sosial di bidang kesehatan mental (Mental Health and Social Work) g. Pelayanan Sosial dan tindakan pelecehan/kesewenangan (Social Services and Substance Abuse) h. Peradilan kejahatan dan kenakalan (Criminal and Juvenile Justice) i. Pelayanan Sosial bagi Lansia (Social Work and Older Persons) j. Pelayanan Sosial di tempat bekerja (Social Work in the Workplace) k. Bidang-bidang praktik Pekerjaan Sosial non tradisional (nontraditio- nal Settings of Social Work Practice).
Di Indonesia, sampai saat ini karena pencampuradukan pengertian konsep masalah sosial dengan masalah ekonomi, maka rincian masalah (kesejahteraan) sosial yang disusun dan ditangani oleh badan pelayanan pemerintah (public social services), dalam hal ini Departemen Sosial dan Dinas Sosial; masih sangat bernuansa kemiskinan. Sementara itu, perubahan-perubahan masyarakat telah 243
mengembangkan masalah-masalah sosial yang mengarah kepada masalah sosial-psikologis dan sistem masyarakat itu sendiri. Untuk memperjelas bidang-bidang garapan Pekerjaan Sosial di Indonesia, maka para Pekerja Sosial pertama-tama harus mengidentifikasi masalah-masalah sosial itu sendiri dalam konteks perubahan sosial. Menurut Ensiklopedia Pekerjaan Sosial, terdapat 31 bidang praktik Pekerjaan Sosial yang secara umum menjadi bidang garapan lembaga kesejahteraan sosial pada berbagai negara. Bidang-bidang tersebut adalah: 1. Addiction Meliputi ketergantungan pada alkohol dan ketergantungan pada obat (narkotika) 2. Child Welfare Meliputi adooption, foster care, day care of children, pre school programs, residential treatment 3. Community Welfare Council 4. Crime and Deliquence Meliputi institution, parole and probation 5. Disability and Physical Handicap Meliputi pelayanan bagi eks penderita penyakit kronis, orangorang
yang
mengalami
gangguan
bicara,
gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, dan pemberian pelayanan rehabilitasi vokasional 6. Pendidikan Pekerjaan Sosial 7. Perencanaan sosial dan lingkungan 8. Penduduk dan keluarga berencana 9. Pelayanan-pelayanan pada keluarga 244
10. Halfway House 11. Pelayanan kesehatan Meliputi pelayanan kesehatan mental masyarakat, konseling genetika, perencanaan rumah sakit dan kesehatan, program kesehatan ibu dan anak, serta program kesehatan masyarakat 12. Pelayanan home maker dan bantuan kesehatan keluarga (home health aide services) 13. Perumahan (housing) Meliputi
program
bantuan
pemukinan
bagi
masyarakat
berpenghasilan rendah 14. Pelayanan kesehatan mental dan pelayanan bagi orang yang mengalami retardasi mental 15. Pelayanan bagi para petani migran 16. Pelayanan migrasi dan resettlement 17. Pelayanan perlindungan 18. Public assistance and supplemental security income 19. Pelayanan rekreasi dalam perencanaan lingkungan 20. Penelitian Pekerjaan Sosial 21. Pekerjaan Sosial Pedesaan 22. Pekerjaan Sosial di sekolah 23. Pemberian pelayanan kepada kelompok agar dapat menolong dirinya sendiri (self halp groups) 24. Pusat-pusat masyarakat atau penduduk (community and settlement centers) 25. Kebijakan Sosial 26. Unwed Parrents (orang tua yang punya anak tanpa nikah) 27. Pelayanan terhadap para veteran 245
28. Mengelola pelayanan-pelayanan/bantuan sukarela 29. Lembaga-lembaga pelayanan bagi pemuda 30. Pekerjaan Sosial dalam kemiliteran 31. Pelayanan-pelayanan ketetanggaan (neigborhood)
Seperti juga perkembangan masalah sosial yang dalam era globalisasi
dewasa
ini
telah
menjadi
masalah
lintas
negara
(internasional); maka demikian pula pelayanan sosial dalam arti model tindakan, strategi, serta jangkauan pelayanan harus sampai ke tingkat internasional. Di segmen ini tampaknya praktik pekerjaan sosial dalam level internasional masih sangat asing baik bagi para pekerja sosial itu sendiri, apalagi masyarakat awam. Persoalan lain adalah, bahwa kalaupun
sudah
mengetahui
tentang
adanya
lembaga-lembaga
pelayanan sosial tingkat internasional, namun persepsi tentang posisiperan para pekerja sosial seringkali lebih menempatkannya sebagai tenaga-tenaga relawan di lapangan (volunteers). Perlu diingat bahwa masalah sosial yang bersifat lintas negara sering membutuhkan koordinasi antar negara yang sering berarti proses diplomasi. Kolumbia terkenal sebagai negara yang menjadi sarang mafia narkoba, negara-negara afrika banyak dikenal sebagai negara-negara transit jalur penyebaran narkoba. Dibutuhkan upaya diplomasi antar negara untuk menciptakan koordinasi dalam upaya bersama untuk menangani masalah sosial bersama ini. Diplomat-diplomat masalah sosial internasional ini seharusnya ditempati para pekerja sosial baik sebagai ahli bidang masalah sosial internasional di lingkungan departemen luar negeri atau kedubes-kedubes, maupun –mengapa
246
tidak- mengomandani atase yang dibentuk khusus berkenaan dengan masalah-masalah sosial internasional. Setting praktik Pekerjaan Sosial meliputi bidang yang sangat luas
dan
sangat
bervariasi,
baik
dalam
ukurannya
maupun
kedalamannya. Yang bisa menjadi bidang garapan Pekerja Sosial meliputi semua masyarakat. Pekerja Sosial bisa bekerja di setiap tempat apabila dibutuhkan. Secara umum Pekerja Sosial dapat melakukan kegiatan praktiknya dalam praktik-praktik perorangan/pribadi secara swasta, atau bekerja pada lembaga-lembaga pelayanan sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga tempat Pekerja Sosial bekerja bisa meliputi: rumah sakit, sekolah, organisasi pelayanan masyarakat, militer atau lembaga-lembaga lain yang membutuhkan tenaga Pekerja Sosial. Dengan banyak dan bervariasinya setting praktik Pekerjaan Sosial, maka dalam membuat ketentuan-ketentuan praktik Pekerjaan Sosial tidak hanya didasarkan pada jenis sistem klien yang dihadapi dan metode yang digunakan saja, melainkan juga didasarkan pada setting praktik Pekerjaan Sosial itu sendiri. Oleh karena itulah, maka kemudian kita mengenal berbagai jenis Pekerjaan Sosial, seperti Pekerjaan Sosial Medis, Pekerjaan Sosial Koreksional, Pekerjaan Sosial Sekolah, Pekerjaan Sosial Kelompok, Pekerjaan Sosial Psikiatrik, dan lain sebagainya. Secara
umum
setting
praktik
Pekerjaan
Sosial
dapat
digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu setting primer dan setting sekunder. Penggolongan ini didasarkan pada bidang garapan pokok lembaga-lembaga kesejahteraan sosial. Penggolongan setting seperti ini 247
sering mengakibatkan kebingungan, karena penggolongan pada setiap negara akan berbeda-beda, sejalan dengan perbedaan bidang garapan pokok lembaga kesejahteraan di masing-masing negara. Pekerja Sosial dalam berbagai bidang praktik ini dapat berperan dalam berbagai kategori peranan. Menurut Armando Morales terhadap tiga kategori peranan Pekerjaan Sosial dalam berbagai bidang ini, yaitu :
A. Sebagai Primary Disciplines Sebagai primary diciplines meliputi pelayanan-pelayanan berupa: 1. Pelayanan kesejahteraan anak, terdapat 5 tipe dasar pelayanan kesejahteraan anak, yaitu : a. Adopsi dan pelayanan terhadap orang tua tanpa nikah Pelayanan adopsi merupakan pelayanan kesejahteraan anak yang bersifat permanen. Anak yang diberi pelayanan tidak mungkin
lagi
dapat
berhubungan
dengan
keluarga
permanennya (keluarga asli) b. Foster Care Pelayanan ini tidak bersifat permanen seperti pada adopsi. Anak yang diberi pelayanan masih dimungkinkan untuk berhubungan dengan keluarga aslinya c. Residential Care Pelayanan residential adalah pelayanan yang diberikan pada anak yang menunjukkan penyimpangan perilaku dan memerlukan penanganan khusus yang bersifat intensif. Pelayanan diberikan pada suatu tempat tertentu secara khusus dalam jangka waktu tertentu pula, sampai anak yang diberi pelayanan dinyatakan sembuh secara sosial 248
Ada dua macam pelayanan residential, yaitu : 1) Group Home 2) Residential Treatment Centers d. Support in Own Home Pelayanan diberikan kapada anak yang tetap tinggal bersama keluarganya sendiri, berupa konseling atau menghubungkan klien dengan sistem sumber yang ada di luar keluarganya e. Pelayanan protektif Pelayanan
protektif
diberikan
kepada
anak
yang
diterlantarkan atau yang diperlakukan sewenang-wengan. Pelayanan ini diberikan kepada anak tanpa melanggar hakhak orang tua 2. Pelayanan bagi Keluarga (Family Services) Pelayanan
ini
adalah
usaha
untuk
memahami,
menginterpretasikan dan memberikan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan keluarga yang mengalami perubahan. Pelayanan keluarga ini meliputi : a. Pelayanan Konseling Keluarga (Family Counselling) Pelayanan ini bertujuan untuk membantu penyesuaian keluarga terhadap peranan-peranan dan dalam menghadapi berbagai
masalah.
Pelayanan
ini
dilakukan
dengan
menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu: i.
Pendekatan Family Case Work yang diarahkan pada individu-individu anggota keluarga itu sendiri
249
ii.
Pendekatan Family Group Work, yaitu pelayanan yang diarahkan
pada
relasi-relasi
keluarga
secara
keseluruhan b. Family Life Education (Pendidikan Kehidupan Keluarga) Dalam jenis pelayanan ini, keluarga yang mempunyai masalah dan tekanan-tekanan, diberi kemampuan untuk mengantisipasi berbagai masalah dan untuk mencegah kehancuran keluarga. Dalam pelayanan ini juga keluarga diperkenalkan dengan berbagai krisis yang mungkin menimpa sebuah keluarga, sehingga keluarga tersebut mempunyai kesiapan dan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang suatu waktu dapat menimpa keluarganya
c. Keluarga Berencana Pelayanan ini diberikan kepada keluarga-keluarga agar dapat mengendalikan dan merencanakan jumlah anak yang dikehendaki, sehingga kesejahteraan keluarga dapat lebih terjamin 3. Income Maintenance Pelayanan ini berupa pemeliharaan terhadap standar minimum penghasilan. Terhadap dua macam Income Maintenance yang banyak dikenal, yaitu : a. Public Assistance (Asistensi Sosial) b. Asuransi Sosial, dan program-program lainnya
250
B. Pekerjaan Sosial sebagai Equal Partner Sebagai Equal Partner Disciplines, Pekerjaan Sosial meliputi pelayanan terhadap orang-orang lanjut usia, yaitu : 1. Bantuan yang diberikan kepada para lanjut usia yang tinggal di rumahnya. Pelayanan ini diberikan kepada para lanjut usia selama mereka menganggap bahwa tinggal di rumah sendiri merupakan pengalaman yang memuaskan. Pekerja Sosial memberikan bantuan dengan menghubungkan klien pada berbagai program masyarakat. 2. Pemberian bantuan berupa pemberian fasilitas pemeliharaan dalam jangka waktu lama. Pekerja Sosial bisa melakukan bantuan berupa memilih fasilitas yang dibutuhkan, atau memindahkan klien ke tempat lain yang dianggap lebih baik, atau bisa juga Pekerja Sosial menjadi anggota dari fasilitas pelayanan itu sendiri.
C. Pekerja Sosial sebagai Disiplin Sekunder Dalam kategori ini Pekerja Sosial tidak menduduki posisi utama. Peranan Pekerja Sosial dalam memecahkan masalah hanya bersifat memberikan bantuan terhadap disiplin lain yang mempunyai posisi utama. Beberapa setting di mana Pekerja Sosial mempunyai peranan sebagai disiplin sekunder adalah: 1. Pekerjaan Sosial dalam pelayanan koreksional Dalam setting ini, Pekerjaan Sosial bersifat membantu terhadap disiplin ilmu hukum dan usaha-usaha hukum 2. Pekerjaan Sosial dalam industri
251
Pekerjaan Sosial memberikan sokongan terhadap usaha-usaha industrialisasi agar dapat mencapai keuntungan yang sebesarbesarnya
tanpa
melupakan
kemanusiawian
relasi-relasi
antarorang yang terlibat di dalam industri tersebut. Usaha ini bisa diarahkan pada manajer perusahaan dengan memberikan berbagai bantuan dan dukungan yang diperlukan, dan bisa juga diarahkan kepada penyediaan sumber-sumber sosial dan emosional yang dibutuhkan para pekerja 3. Pekerjaan Sosial dalam pemeliharaan medis dan kesehatan 4. Pekerjaan Sosial di sekolah
252
KEGIATAN BELAJAR 3 STRATEGI PELAYANAN SOSIAL DAN ORGANISASI PELAYANAN SOSIAL Terdapat beberapa strategi pelayanan sosial yang dapat dilakukan, antara lain: 1. Child/Individual Based Services Yaitu pelayanan yang menempatkan individu sebagai basis penerima pelayanan; misalnya konseling 2. Institutional Based Services Dalam pelayanan ini, individu yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga pelayanan sosial; misalnya dalam hal pendidikan dan pelatihan 3. Family Based Services Dalam pelayanan ini, keluarga dijadikan sebagai sasaran dan media utama dalam pemberian pelayanan; dalam hal ini, kegiatan diarahkan pada pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan
ekonomi,
psikologis,
dan
sosial
dalam
sebagai
pusat
memecahkan masalahnya 4. Community Based Services Pelayanan
ini
menggunakan
masyarakat
penanganan, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani masalah. Dalam hal ini, peran Pekerja Sosial adalah bersama masyarakat merancang dan melaksanakan program Community
253
Development, bimbingan dan penyuluhan, ataupun melakukan kampanye sosial 5. Location Based Services Dalam strategi pelayanan ini, pelayanan diberikan di lokasi individu yang mengalami masalah 6. Half-Way House Services Yaitu berbentuk strategi semi panti 7. State Based Services Pelayanan ini bersifat makro, tidak langsung (macro-indirect services), para Pekerja Sosial mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak atau individu. Perumusan kebijakan kesejahteraan merupakan bentuk program dalam strategi pelayanan ini.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan sosial secara profesional, seorang Pekerja Sosial umumnya tergabung dalam wadah organisasi pelayanan sosial, karenanya mereka harus memiliki dasar pengetahuan tentang organisasi. Ulberth Silalahi (1993) membagi pengertian organisasi ke dalam dua sudut pandang, antara lain: 1. Organisasi sebagai wadah, yakni tempat kegiatan-kegiatan administrasi dan manajemen dijalankan dan sifatnya relatif statis. 2. Organisasi sebagai proses, yakni interaksi antara orang-orang yang menjadi anggota organisasi dan sifatnya dinamis. Organisasi sosial atau sering diartikan sebagai organisasi pelayanan sosial merupakan organisasi formal yang fungsi utamanya menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang ditujukan 254
untuk
memecahkan
masalah
dan
atau
memenuhi
kebutuhan
masyarakat.
Pengertian Organisasi Sosial Organisasi Sosial dalam pengertian sosiologi atau sama dengan organisasi pelayanan sosial (social services organization) 1. Sosiologis : a) Jaringan hubungan antar manusia b) Wadah aktivitas manusia yang bergerak di bidang sosial, dalam perbandingan dengan organisasi ekonomi, organisasi politik, organisasi militer, dan seterusnya. 2. Organisasi Pelayanan Sosial : a) Melakukan pelayanan langsung kepada klien b) ”Bahan mentah” nya adalah klien itu sendiri c) Proses produksi intinya adalah hubungan antara pelaksana dan penerima pelayanan d) Tujuannya
bukan
’stakeholders’,
menghasilkan
keuntungan
kepada
melainkan meningkatkan kesejahteraan
orang-orang yang dilayani. e) Hampir semua Organisasi Pelayanan Sosial merupakan lembaga non-profit yang didanai baik maupun
oleh
donatur
swasta;
oleh pemerintah walaupun
dalam
perkembangannya sudah mulai banyak praktik private seperti praktik dokter dan pengacara. Catatan : di USA, semua badan pelayanan merupakan organisasi formal. (The Encyclopedia of Social Work, 1995:1787)
255
Karakteristik dari organisasi pelayanan sosial atau manusia yang dikemukakan oleh Hasenfeld (1983) yang patut diketahui oleh para Pekerja Sosial adalah sebagai berikut: 1. Fakta bahwa material dasarnya (raw material) adalah terdiri dari orang-orang dengan sejumlah nilai-nilai moral yang mempengaruhi aktivitas organisasi sosial. 2. Tujuan dari organisasi pelayanan sosial adalah samar-samar (vague),
berarti
dua
(ambiguous),
dan
bermasalah
(problematic). 3. Moral
ambigu
yang
mengitari
pelayanan
sosial
juga
menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari banyak kepentingan kelompok yang berbeda-beda. 4. Organisasi pelayanan
manusia harus beroperasi dengan
teknologi yang tidak menentukan dengan tidak menyediakan pengetahuan yang lengkap mengenai bagaimana mancari hasil yang diharapkan. 5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan sosial terdiri dari hubungan antara staf dan klien. Tidak menutup kemungkinan para staf dalam organisasi sosial lebih banyak terdiri dari para relawan yang harus berhubungan dengan kliennya. 6. Karena keutamaan hubungan staf dan klien, maka posisi dan peran staf lini (staf profesional) secara khusus adalah penting dalam organisasi pelayanan manusia. 7. Organisasi pelayanan sosial miskin pengukuran mengenai efektivitas yang reliabel dan valid, dan mungkin, lebih mampu bertahan terhadap perubahan dan inovasi. 256
Dokter identik dengan tempat praktik penyembuhan medis, dengan klinik, dengan rumah sakit, praktik pribadi. Para pengacara identik
dengan
kantor-kantor
pengacara,
dengan
badan-badan
peradilan. Di badan-badan itulah mereka mempraktikkan keahlian mereka dan meniti karier profesional mereka. Mereka menjadi representasi badan tempat mereka bekerja, dan karenanya badan tersebut menjadi bagian dari identitas mereka. Pekerja Sosial identik dengan badan-badan pelayanan sosial tempat seharusnya mereka bekerja dan meniti karier profesional mereka. Badan-badan pelayanan sosial secara garis besar dapat dibagi ke dalam badan pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah (public social agency) dan badan pelayanan yang diselenggarakan oleh masyarakat/swasta (voluntary social agency). Badan pelayanan swasta ini terbagi lagi ke dalam dua bagian menurut afiliasi organisasi induknya, yaitu badan pelayanan swasta yang berafilisasi kepada organisasi agama (dalam literatur Barat disebut dengan ‘sectarian’), dan yang tidak berafiliasi kepada organisasi keagamaan (nonsectarian). Badan-badan pelayanan sosial dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, sistem kepercayaan masyarakat, dan pengetahuan keilmuan. Badan pelayanan sosial dapat dipandang sebagai birokrasi administratif maupun sebagai sistem sosial. Badan pelayanan sosial disebut birokrasi administratif, karena memiliki tujuan-tujuan khusus yang telah ditetapkan; struktur internal, teknologi, dan prosedur di dalam badan tersebut dirancang untuk upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Sifat khusus dari tujuan-tujuan sebuah badan pelayanan sosial diarahkan untuk mendefinisikan antar hubungan di antara badan tersebut dengan lingkungan sosialnya; sifat tersebut akan mempengaruhi pemilihan 257
teknologi yang digunakan, personil yang dipekerjakan, serta menjadi pedoman bagi koordinasi di antara para anggota organisasi. Dengan demikian, badan-badan pelayanan sosial merupakan kolektivitas yang direncanakan secara rasional, dengan struktur formal dan kebijakankebijakan yang eksplisit serta perangkat aturan yang mengatur aktivitas badan tersebut. Namun demikian, badan pelayanan sosial juga merupakan sistem sosial yang merespon terhadap tekanan-tekanan eksternal maupun internal dan memiliki pola-pola informal untuk mempermudah dan mewadahi upaya pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa ciri khas badan pelayanan sosial dibandingkan dengan organisasi-organisasi birokrasi yang lain, yang harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagai berikut : a. Tujuan-tujuan khusus yang mendasar dari organisasi adalah untuk memproses dan mengubah orang sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Lebih jauh, klien yang diberi pelayanan merupakan input maupun output utama dari organisasi. Masalah-masalah dalam pencapaian tujuan-tujuan muncul karena tujuan-tujuan tersebut mungkin tidak selaras dengan tujuan-tujuan masyarakat yang lebih besar. b. Ketergantungan
yang
besar
kepada
teknologi-teknologi
hubungan manusia dan pemanfaatan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemandirian dalam pengelolaan teknologi tersebut. c. Ketidakterpakuan pada rutinitas pekerjaan yang tinggi, karena klien merupakan objek-objek sosial yang perilakunya sering mengganggu dan tidak dapat diramalkan. 258
Sebagai penutup uraian ringkas mengenai badan pelayanan sosial ini, berikut akan dikemukakan gambaran umum mengenai komponen-komponen utama struktur badan pelayanan sosial, sebagai berikut : a. Tingkat Institusional atau Administratif. Tingkat ini mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan administratif dalam menerjemahkan dan menerapkan tujuan-tujuan sosial ke dalam tindakan sosial. Perhatian harus pula dicurahkan kepada aspek-aspek politis karena nilai-nilai sosial selalu terlibat pada tingkat ini. Para administrator diharapkan untuk mempersonifikasikan tujuantujuan organisasional dan memberikan arahan kepada dewan, staf, dan klien dalam perumusan kebijakan. Penentuan masalahmasalah sosial khusus yang akan ditangani oleh organisasi serta penetapan lingkup kegiatan organisasi juga merupakan fungsi administrasi pada tingkat institusional ini. b. Tingkat Manajerial. Aktivitas-aktivitas manajerial menempati posisi ke dua dan meliputi kegiatan perantaraan di antara konsumen (klien) dengan sb-organisasi teknis. Tercakup dalam kegiatan tersebut adalah tugas-tugas untuk mengarahkan kegiatan perantaraan dan alokasi sumber-sumber, rancangan struktural, koordinasi, dan pengarahan kepada staf untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas. Rekruitmen pegawai, pemilihan, pelatihan, dan supervisi kepada staf juga tercakup dalam aktivitas manajerial. Dilandasi --dan dalam kerangka-- tujuan-tujuan dan lingkup kegiatan organisasi --, maka aktivitas-aktivitas pada tingkat 259
manajenrial mencakup pembuatan keputusan tentang berbagai alternatif cara yang dapat digunakan untuk upaya pencapaian tujuan. c. Tingkat Teknis. Tingkat ini meliputi suborganisasi yang berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas-aktivitas teknis --konseling bagi klien, perujukan, material.
pengajaran, Pemilihan,
atau
pengadaan
penerapan,
sumber-sumber
pengintegrasian,
dan
pemeliharaan perangkat teknologi yang digunakan; juga termasuk di dalamnya. Selain itu kegiatan-kegiatan penyusunan program jangka panjang dan jangka pendek dalam kaitan dengan masalah-masalah standardisasi, rutinisasi, pengkajian secara berkala terhadap pencapaian tujuan sebuah program serta efektivitas kinerja personil; juga merupakan bagian dari fungsi tingkat teknis ini. Walaupun setiap tingkat memiliki fungsi-fungsi yang berlainan dalam administrasi, namun terdapat pula suatu timpang tindih dan interpenetrasi di antara tingkat-tingkat tersebut. Selain itu, hierarkhi struktural yang telah dikemukakan tersebut merupakan tingkat-tingkat posisi yang mendasar, yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi pelayanan sosial dalam upaya mencapai tujuantujuannya. Keberadaan karakteristik organisasi pelayanan sosial saling bersinggungan dengan permasalahan yang sering muncul, antara lain: 1. Sangat besarnya kesenjangan antara kebutuhan pelayanan sosial dengan ketersediaan kelembagaan pelayanan sosial itu sendiri
260
2. Masih cukup kuatnya pandangan (masyarakat umum, aparat pemerintah, bahkan para penyelenggara pelayanan sosial itu sendiri) terhadap pelayanan sosial sebagai kegiatan pemberian bantuan sosial (derma/charity/philanthropy), atau kegiatan yang bersifat residual 3. Belum profesionalnya penyelenggaraan pelayanan sosial 4. Kekurangan dana, dan sangat bergantung dukungan dana dari luar 5. Kurang
mampu
memenuhi
kebutuhan
anggotanya
dan
masyarakat. Manfaat produknya kurang dapat dirasakan masyarakat. 6. Rendahnya
motivasi
dan
minat
kerja
pengurus
dalam
melaksanakan tugas. 7. Sulit mengukur pengaruh atau dampak pelayanan, sehingga masyarakat dan lembaga donor kurang percaya dalam memberikan dukungan finansial.
Jika melihat pengertian Organisasi Sosial (ORSOS) berdasarkan Kepmensos RI No. 40/HUK/KEP/IX/1980, yaitu suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi
masyarakat
dalam
melaksanakan
kegiatan
usaha
kesejahteraan sosial (UKS). Organisasi pelayanan sosial merupakan wadah memberikan pelayanan kepada klien. Dalam melaksanakan pemberian pelayanan terdapat tujuan yang harus dicapai. Maka diperlukan langkah penting yang akan
261
dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut. Perencanaan menjadi kunci penting untuk membuka gerbang untuk menacpai tujuan tersebut. Dalam mengelola sebuah organisasi pelayanan sosial, seorang pekerja sosial harus memperhatikan proses perencanaan. dalam organisasi pelayanan sosial khususnya perencanaan strategis menjadi suatu komponen yang melibatkan stakeholder dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Fenomena yang berkembang, organisasi pelayanan sosial selalu mengalami kekurangan dalam berbagai hal hingga pelayanan yang diberikan kurang optimal. Mulai dari kurangnya dana, kurangnya staf yang kompeten, atau kurangnya motivasi, volunter tidak punya, bahkan kegiatan/program hanya berjalan apa adanya. Melihat kondisi organisasi yang serba kekurangan sumber daya ditambah keadaan lingkungan yang terus berubah atau dinamis, maka organisasi pelayanan sosial dituntut untuk dapat mengantisipasinya dengan menyusun perencanaan yang dapat melihat perubahan-perubahan yang terjadi atau tidak pada masa depan. Organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki tujuan (goals) jelas berdasarkan visi dan misi yang disepakati oleh para pendirinya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan cara untuk mencapainya, yang lazim disebut strategi. Sekanjutnya disusun rencana (plan), seperangkat kebijakan (policies), tahap-tahap pencapaian, organisasi dan personalia yang mengisinya, anggaran, dan progam aksi (Basri, 2005:xv). Perencanaan merupakan suatu alat yang penting di dalam organisasi pelayanan sosial, sebab dalam pemberian suatu pelayanan
262
dibutuhkan perencanaan yang baik, hal itu dapat dilihat dari beberapa alasan yaitu: 1. Efesiensi Efesiensi merupakan hal yang sangat diperlukan dalam setiap pelaksanaan administrasi, baik itu dalam bisnis maupun pekerjaan sosial. Tujuannya adalah untuk mencapai hasil yang baik dengan biaya dan usaha yang seminimum mungkin. Dalam pekerjaan sosial, staf dan sumberdaya sangat tebatas, maka menjadi hal utama untuk memberikan pelayanan yang dinilai lebih efisiensi. 2. Efektifitas Efektifitas juga merupakan hal yang sangat penting, jika segala aktivitas tidak direncanakan, maka hasil yang diinginkan akan sulit dicapai. Tujuan utama dalam pekerjaan sosial adalah untuk menolong orang yang membutuhkan. Jika usaha staf dan sumber-sumber organisasi sudah tersebar dan perencanan bertujuan untuk kesatuan dan integrasi yang usahanya tidak terjadi. Maka menyebabkan penghargaan tetap rendah. 3. Tanggung jawab Perencanaan diperlukan evaluasi dan pertanggungjawaban. Administrasi
pekerjaan
sosial
seharusnya
mempunyai
perencanaan yang baik dalam hubungan yang obyektif yang spesifik dan evaluasi prosedur yang jelas dalam suatu lembaga untuk
ukuran
Perencanaan
program
dan
pelayanan
yang
pelayanan tepat
kepada
klien.
memungkinkan
menyelesaikan riset yang objektif dan evaluasi tentang
263
demonstrasi yang eksperimental terdapat dalam pelayanan reguler. 4. Moril Perencanaan yang hati-hati merupakan hal yang sangat penting untuk moral suatu lembaga. Anggota staf memerlukan perasaan tentang prestasi dan kepuasan untuk melakukan hal yang terbaik, perasaan dapat timbul ketika eksekutif dan anggota staff bersama merencanakan total operasi perusahaan.
Proses Perencanaan Perencanan adalah proses antisipasi terhadap hasil target dan juga dalam membuat sebuah rencana. Schaffer (Skidmore, 1995:51) membuat daftar tentang empat langkah mengenai perencaan, yaitu: 1. Riset, dimaksudkan untuk menganalisis kekuatan-kekuatan lembaga, kekurangan kelemahan serta menentukan resiko yang ditimbulkan oleh faktor eksternal 2. Formula objektif, untuk mendefinisikan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang 3. Perencanaan yang strategis, untuk membangun sebuah sistem kerja yang mengarah pada tujuan 4. Perencanaan oprasional, untuk menciptakan langkah setiap departemen dan fungsi.
Perencanan strategis adalah sebuah alat manajemen, dan sama dengan setiap alat manajemen, alat itu hanya digunakan untuk satu maksud saja – menolong organisasi melakukan tugasnya dengan lebih baik. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi memfokuskan 264
visi dan prioritasnya sebagai jawaban terhadap lingkungan yang berubah dan untuk memastikan agar anggota-anggota organisasi itu bekerja ke arah tujuan yang sama (Kaye & Allison, 2005:1).
265
DAFTAR PUSTAKA
Hasenfeld, Y., 1983. Human Service Organizations.s Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Kaye dan Allison. 2005. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba Pedoman Praktis dan Buku Kerja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Skidmore,Rex A., 1995. Social WorkerAdministration. Allyn And Bacon: Boston-London, Sydney-Toronto. Skidmore, Rex A., 1995. Social Work Administration, Dinamic Management and Human Relationships. 3rd Ed. Allyn & Bacon.
266
TOPIK 9
STRENGTH BASED PERSPECTIVE
KEGIATAN BELAJAR 1: STRENGTH BASED PERSPECTIVE KEGIATAN BELAJAR 2: STRENGTH BASED ASSESSMENT
267
KEGIATAN BELAJAR 1 STRENGTH BASED PERSPECTIVE
Selama beberapa dekade sebelumnya, pekerjaan sosial dan profesi pertolonganya lainnya telah memiliki sebuah fokus utama pada diagnosa patologi, menyalahkan dan disfungsi kien. Salah satu alasan mungkin penggunaan teori utama psikologi Freudian yang digunakan dalam menganalisa perilaku manusia. Psikologi Freudian berbasis pada model medis dan oleh karena itu memiliki konsep yang kuat untuk mengidentifikasi penyakit atau patologi. Sedikit sekali konsep untuk mengidentifikasi kekuatan. Saat ini pekerjaan sosial begerak ke arah model system. Model ini fokus pada pengidentifikasian baik kekuatan dan kelemahan. Hal esensial bahwa pekerja sosial memasukan kekuatan klien dalam proses assessment. Dalam bekerja dengan klien, pekerja sosial fokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien untuk membantu kesulitannya. Untuk memanfaatkan kekuatan secara efektif, pertamatama pekerja sosial harus mengidentifikasi kekuatan-kekuatan tersebut. Bahaya yang akan muncul apabila fokus utamanya pada kelemahan, yaitu akan merusak kapasitas seorang pekerja sosial untuk mengidentifikasi pertumbuhan klien potensial. Para pekerja sosial memiliki keyakinan yang kuat bahwa klien mempunyai hak (dan seharusnya dibangkitkan) untuk membangun potensinya secara penuh. Terlalu fokus pada patologi seringkali mengabaikan komitmen nilai tersebut. 268
Alasan lain untuk menghadirkan kekuatan klien adalah bahwa banyak klien butuh pertolongan dalam meningkatkan harga dirinya. Banyaknya perasaan tidak dihormati dan tidak nyaman, perasaan disalahkan , dan kurang percaya diri serta harga diri. Glaser mencatat bahwa rendahnya harga diri mengarah pada kesulitan emosional, menarik diri, atau kejahatan. Untuk membantu klien memandang dirinya secara positif, pertama-tama para pekerja sosial harus memandang
mereka
patut
dipertimbangkan
kekuatan
dan
kompetensinya. The
strengths
perspective
berkait
erat
dengan
konsep
“empowerment”. Empowerment sebagaimana didefinisikan oleh Barker yaitu “proses pertolongan individual, keluarga, kelompok, dan komunitas untuk meningkatkan personal, interpersonal, sosioekonomi, dan kekuatan politik mereka serta untuk membangun pengaruh ke arah perbaikan lingkungan mereka”. Perspektif kekuatan berguna sepanjang lingkaran kehidupan melalui tahap assessment, intervention, dan evaluasi dari proses pertolongan. Tekanannya pada kemampuan, nilainilai, kepentingan, keyakinan, sumber-sumber, kelengkapan, dan aspirasi orang. Menurut Saleebey, lima pedoman prinsipil perspektif kekuatan: 1. Every individual, group, family, and community has strengths. 2. Trauma and abuse, illness and struggle may be injurious, but they also be sources of challenge and opportunity
269
3. Assume ths you do not know the upper limits of the capacity to grow and change and take individual, group, and community aspirations seriously. 4. We best serve clients by collaborating with them. 5. Every environment is full of resources
Perspektif
kekuatan
mengakui
bahwa
individu-individu,
kelompok, keluarga, organisasi dan masyarakat mempunyai tantangan, masalah, dan kesulitan-kesulitan. Salah satu manfaat besar dari perspektif kekuatan adalah fokus perhatiannya pada sumber-sumber dan assets yang individu-individu, kelompok, keluarga, organisasi dan masyarakat miliki untuk menghadapi tantangan mereka. Perspektif kemampuan
untuk
kekuatan
mengakui
mengatasi
masalah,
kekuatan dan
individu
kesadaran
dan dalam
penggunaan kekuatan klien adalah bagian dari dasar teori dan praktek pekerjaan sosial. Dimana menurut NASW (2005) strength perspective adalah: “The strengths perspective recognizes an individual’s strengths and abilities to cope with problems; and awareness and use of the client’s strengths is part of the foundation of social work theory and practice.” Strength based perspective merupakan dasar yang baik untuk praktek pekerjaan sosial, dimana menurut Saleebey (1992) dalam Cowger (1994: 263) berpendapat mengenai relevansi dari perspektif kekuatan merupakan “good basic social work practice”.
270
Dikatakan sebagai dasar yang baik dalam praktek pekerjaan sosial dikarenakan strength based perspective membuat klien percaya bahwa dirinya memiliki kekuatan. Seperti yang diungkapkan oleh Saleebey: “The strengths approach obligates us to understand—to believe—that everybody (no exceptions here) has external and internal assets, competencies, and resources.” Perspektif kekuatan mewajibkan kita untuk memahami atau percaya bahwa semua orang (tidak ada pengecualian disini) memiliki aset eksternal dan internal, kompetensi, dan sumber daya. Pedro Rankin (2006:10) melakukan identifikasi mengenai tiga kecenderungan praktisi untuk focus pada kekuatan : 1. To tap client strengths effectively, practitioners must be sensitive to them and skillful in utilizing them in the service of accomplishing case goals. 2. Selectively attending to pathology impairs a social worker's ability to discern clients' potential for growth. Although social workers fervently espouse the belief that human beings have the right and opportunity to develop their potentialities, the tendency to focus on pathology undermines that very value commitment. 3. A large proportion of clients need help in enhancing their selfesteem as a result of excessive attendance to pathology. Troubled by self-doubts, feelings of inadequacy, and even feelings of worthlessness, their lack of self-confidence and self respect underlies so many dysfunctional, cognitive, emotional and behavioral patterns, including a fear of failure, depression, social withdrawal, alcoholism, and hypersensitivity to criticism, to name just a few.” 271
Strength based perspective ditekankan pada kekuatan yang paling efektif yang dimiliki oleh klien, dimana praktisi pekerja sosial harus peka terhadap mereka dan terampil dalam memanfaatkanya untuk pencapaian tujuan. Selektif dalam memperhatikan kelemahan dapat mengganggu pekerja sosial dalam membedakan potensi yang dapat tumbuh pada klien. Walaupun pekerja sosial mendukung keyakinan bahwa
setiap
manusia
memiliki
hak
dan
kesempatan
untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya, dimana fokus pada patologi dapat menggali komitmen yang sangat bernilai. Dimana sebagian besar klien membutuhkan bantuan dalam meningkatkan harga diri yang mereka miliki akibat dari kehadiran banyaknya kelemahan. Gangguan yang datang dari keraguan diri, perasaan tidak mampu, dan bahkan perasaan tidak berharga, kurang percaya diri dan harga diri sehingga membentuk pola disfungsional, kognitif, emosi dan perilaku, termasuk rasa takut gagal. Cowger (1994: 265) menyatakan: a strength perspective of assessment provides structure and content for examination of realizable alternatives, for the mobilization of competencies that can make things different, and for the building of self-confidence that stimulates hope
Assessmen struktur
dan
berdasarkan
konten
untuk
perspektif
kekuatan
memberikan
memeriksa
alternatif
yang
dapat
direalisasikan, untuk pengerahan kompetensi yang dapat membuat hal yang berbeda, dan untuk membangun kepercayaan diri yang mampu merangsang harapan yang dimiliki oleh klien.
272
KEGIATAN BELAJAR 2 STRENGTH BASED ASSESSMENT
Hepworth (2002) dalam Pedro Rankin (2006:10): “Point out that changes in practice have lagged far behind the change in terms from diagnosis to assessment, for social workers persistence in formulating assessments that emphasize the pathology and dysfunction of clients - despite the timehonored social work platitude that social workers work with strengths and not with weaknesses”. Perubahan dalam praktek pekerja sosial telah tertinggal jauh di belakang dibandingkan dengan perubahan dalam istilah diagnosis untuk penilaian, untuk ketekunan pekerja sosial dalam merumuskan penilaian yang menekankan patologi dan disfungsi klien, waktu yang sudah digunakan dalam kerja sosial dimana pekerja sosial bekerja dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh klien dan tidak dengan kelemahan. Di mana dalam sebuah assessment dibutuhkan sebuah pedoman untuk melakukan assessment, Cowger & Snively (2001) dalam Pedro Rankin (2006: 14) mengusulkan pedoman berikut untuk penilaian kekuatan 1. Preeminence should be given to the client's understanding of the facts 2. The client should be believed 3. It should be discovered what the client wants 4. The assessment should be moved towards client and environmental strengths 273
5. 6. 7. 8.
An assessment of strengths should be multidimensional The assessment should be used to discover uniqueness The client's words should be used Assessment should be made a joint activity between the worker and client 9. A mutual agreement on assessment should be reached 10. Blame and blaming should be avoidedCause-and-effect thinking should be avoided 11. An assessment and not a diagnosis should be made. Selain itu ada pendapat lain tentang assessment kekuatan klien
yang disebutkan oleh Saleebey (2001) dalam Pedro Rankin (2006:11) membagi penilaian kekuatan menjadi dua bagian yaitu: “Stresses the multidimensionality of assessment by distinguishing between the internal and external strengths of the client. The internal strengths come from the client's interpersonal skills, motivation, emotional strengths, and ability to think clearly. The client's external strengths come from family networks, significant others, voluntary organizations, community groups, and public institutions all of which support and provide opportunities for clients to act on their own behalf and institutional services that have the potential to provide resources.”
Saleebey menekankan multidimensionalitas penilaian dengan membedakan antara kekuatan internal dan eksternal klien. Kekuatan internal yang datang dari kemampuan interpersonal klien, motivasi, kekuatan emosional, dan kemampuan untuk berpikir jernih. Kekuatan eksternal klien berasal dari jaringan keluarga, orang dekat, organisasi sukarela, kelompok masyarakat, dan lembaga-lembaga publik yang 274
semuanya mendukung dan memberikan kesempatan bagi klien untuk bertindak atas nama mereka sendiri dan layanan kelembagaan yang memiliki potensi untuk menyediakan sumber daya.
1. KEKUATAN INTERNAL Saleebey menyebutkan kekuatan internal yang dimikili klien datang dari kemampuan interpersonal, motivasi, dan kekuatan emosional. Kekuatan internal tersebut berasal dari dalam diri klien. 1) Kemampuan Interpersonal dan Motivasi Hayes (1991:4) “People will be motivated in ways that will bring about a desired state of affairs irrespective of whether they have acquired their repertoire of interpersonal skills and behavioural responses unconsciously, through experience, or via a deliberate and conscious process of self-development. The person who has People will be motivated in ways that will bring about a desired state of affairs irrespective of whether they have acquired their repertoire of interpersonal skills and behavioural responses unconsciously, through experience, or via a deliberate and conscious process of self-development. The person who has learned through experience that she can satisfy her needs by behaving aggressively towards others might achieve her goals by using others for her own ends and by denying them their rights. On the other hand, somebody who attempts to satisfy her needs by consciously applying assertion skills that she has learned intentionally may also achieve her goals, but do so in a way that respects the right of others.”
Setiap
orang
memiliki
motivasi
yang
akan
membawakannya pada hal yang diinginkannya, walaupun dia 275
belum tentu memiliki kemampuan interpersonal dalam dirinya. Ada orang yang biasa secara agresif tidak menghormati hak orang lain untuk mencapai tujuannya dengan memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan tujuan pribadi. Namun ada juga orang yang menggunakan keterampilannya, dan sengaja belajar mencapai tujuan pribadi dengan menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain. Keterampilan tersebut adalah keterampilan interpersonal yang mengarahkan perilaku untuk mendapatkan tujuan dengan menggunakan interaksi tatap muka yang efektif dalam mewujudkan keadaan yang diinginkan. “Your destiny is shaped by the decisions you take in life. Decide to become one of the few who do, rather than one of the many who talk.” (Haddon, 1993: 11)
Takdir kita ditentukan oleh keputusan yang kita ambil dari hidup kita. Memilih untuk menjadi satu dari beberapa yang melakukannya
dibandingkan
satu
dari
banyaknya
yang
berbicara. Oleh karena itu kesuksesan yang akan terjadi dimasa depan, berhasil atau tidak kita dalam mencapai tujuan bergantung pada kemampuan diri sendiri. Beberapa cara untuk memperoleh kekuatan interpersonal yang dapat membantu mencapai kesuksesan adalah dengan: (Haddon, 1993:11) 1. Menggunakan Apa Yang Menjadi Potensi a. Keinginan “However, there is one overriding characteristic of successful people which, if not present, would not
276
give rise to these other qualities. This is desire. You will never go higher than the genuine desires that you hold. This means that when setting goals and developing plans to attain them you need to have very strong, compelling reasons for these goals. If the desire is not strong enough, sooner or later you will find ways to sabotage your own action steps.” (Haddon, 1999:16)
Ada satu karakteristik utama dari orang-orang sukses, jika tidak terdapat hal tersebut, maka tidak akan menimbulkan sifat-sifat lainnya. Hal tersebut adalah keinginan. Anda tidak akan pernah lebih tinggi dari keinginan asli yang Anda pegang. Ini
berarti
bahwa
ketika
menetapkan
tujuan
dan
mengembangkan rencana untuk mencapainya Anda harus memiliki keinginan yang sangat kuat, alasan kuat untuk tujuan ini. Jika keinginan tidak cukup kuat, cepat atau lambat Anda akan menemukan cara untuk menyabotase langkah Anda sendiri. b. Kebiasaan Haddon menyatakan the only one responsible for your succes in life is you. (Haddon, 1993: 11). Satu-satunya tanggung jawab terhadap kesuksesan diri dalam hidup dipegang oleh diri sendiri. Kesuksesan yang kamu inginkan adalah tanggung jawab yang dimiliki oleh diri sendiri. Oleh karena itu jika kesuksesan tersebut tidak tergapai seluruhnya
277
maka diri sendiri lah faktor terbesar sebagai pengaruh paling kuat dalam pencapaian tujuan tersebut. “For the circumstances in your life to change, YOU must change.” (Haddon, 1999:17)
Jika ingin mencapai sebuah tujuan atau sebuah kesuksesan, kita tidak dapat mempertahankan perilaku lama yang
tidak
mendukung
tercapainya
tujuan
ataupun
kesuksesan tersebut. Oleh karena itu kebiasaan lama yang tidak mendukung kita, dapat digantikan secara perlahan dengan kebiasaan baru. Seperti menghilangkan pikiran kita akan kegagalan, dan menggantikannya dengan memikirkan kesuksesan yang akan kita capai nantinya. Maka dari itu dibutuhkan sebuah perilaku yang mendorong potensi kita agar mencapai tujuan kita. Jika kita mempunyai berbagai potensi dalam diri kita namun kita tidak melakukan tindakan apapun maka tidak akan menghasilkan hal yang kita inginkan.
2. Mengatur Tujuan Hidup George Bernard Shaw dalam Haddon (1999:32) mengatakan: “Anyone who doesn’t know what he wants in life will have to be satisfied with what he gets.’ That statement is as true today as it was then. You can’t get what you want unless you know what you want. And, strange as it may seem, most people do not know what they want. They may think 278
that they do but these usually turn out to be vague notions of dreamy utopian situations which, deep down, they know will never materialise. They have never sat down and written out exactly what they will be, do or have in the future or, if they ever did attempt such an exercise, it probably resulted in fuzzy generalisations rather than detailed specifics.”
Siapa pun yang tidak mengetahui apa yang mereka inginkan dalam hidup harus puas dengan apa yang didapatnya”. Kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan jika kita tidak mengetahui yang sebenarnya kita inginkan. Jadi ketika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita ketahui mengapa bisa mendapatkannya tersebut, kita harus puas terhadap hal itu dikarenakan tujuan kita yang tidak jelas. Maka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan
semestinya kita membuat penetapan tujuan yang efektif agar kita mengetahui secara jelas apa yang kita inginkan untuk mendapatkan apa yang sesungguhnya kita inginkan. Namun dalam mencapai tujuan yang kita inginkan, kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai yang sudah kita pegang sebelumnya. Jika kita meninggalkan nilai tersebut maka cepat atau lambat kita akan menyadari bahswa kita tidak bersikap jujur kepada diri kita sendiri dan keberhasilan yang kita dapat adalah lubang yang tidak akan pernah memberikan rasa puas dalam diri kita. Mungkin bagi orang lain kita berhasil jika penialian mereka berdasarkan pada atribut materi dari keberhasilan.
279
Langkah awal dalam membuat hidup kamu lebih sukses dengan menjawab pertanyaan simpel berikut ini: “kenapa saya disini?”, “dimana saya?”, “dimana saya akan menjadi?”, dan “bagaimana saya dapat kesana?” a. “Kenapa saya disini?” b. “Dimana saya?” c.
“Dimana saya akan menjadi?”
3. Merencanakan Untuk Mencapai Tujuan “Bagaimana saya dapat kesana?” Setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasai masa depannya sendiri, dengan cara menentukan apa yang ingin ia tuju nantinya. Penetapan tujuan yang jelas akan membantunya dalam mencapai tujuannya kelak.
4. Mengatur Waktu Diri “Now that you have set your goals and started to establish a plan of action for achieving them, you will need to know how to manage your time more effectively, as this forms the basis of meaningful planning. Time is a resource. But, unlike other resources, it cannot be saved, borrowed or exchanged. It can only be spent. And yet, surprisingly, most of us tend to look for ways of saving it rather than spending it more productively.” (Haddon, 1999:75)
280
Diperlukan
manajemen
waktu
yang
baik
agar
penggunaan waktu yang diperoleh seefektif mungkin dengan perencanaan
yang
matang.
Pemanfaatan
waktu
juga
berpengaruh pada semakin capetnya anda memperoleh apa yang menjadi tujuan anda jika semakin baik anda dalam mengatur waktu yang anda gunakan. Menggunakan waktu dengan baik adalah keterempilan yang dapat memberikan sisa waktu yang tersedia kepada hal lain yang membuat anda menjadi orang yang jauh lebih produktif.
5. Meningkatkan Citra Diri Dan Kepercayaan Diri Setiap perubahan permanen dalam kepribadian atau perilaku harus didahului dengan perubahan citra diri Anda. jauh lebih produktif untuk fokus pada menggunakan lebih dari kekuatan Anda. Jelas, di mana kelemahan merupakan hambatan yang besar untuk kemajuan masa depan Anda, itu memerlukan perhatian, tapi pada umumnya, kelemahan yang paling bisa dan harus didelegasikan kepada orang lain dengan kekuatan di daerah tersebut Citra diri penting adanya bagi setiap orang. Citra diri yang positif akan membuat orang tersebut juga dipandang positif oleh orang lain. Orang akan memandangnya positif jika ia sendiri memandang dirinya dengan positif. Maka dari itu pandangan untuk kekuatan yang ada pada diri kamu dapat membantu kamu meningkatkan citra diri yang positif.
281
Hidup ini penuh dengan orang-orang yang memiliki semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menjadi sukses, namun untuk satu alasan atau lainnya, tidak pernah menerapkan pengetahuan ini dan, akibatnya, tidak pernah menjadi keberhasilan mereka seharusnya. Setiap orang memiliki kualitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka benarbenar diinginkan tetapi, sayangnya, sebagian besar tidak percaya ini terjadi. Mereka memiliki lebih dari kekuatan yang cukup memilih untuk fokus, melebihi pada kelemahan mereka. Setiap manusia mempunyai kemampuan masing-masing untuk mencapai tujuannya. Fokus pada kekuatan akan membantu anda untuk mencapai tujuan. Jika fokus pada kelemahan, maka yang ada anda hanya semakin takut untuk maju, dan semakin tertinggal. Mencoba untuk fokus pada tujuan akan menyebabkan kebiasaan anda akan berubah mengikuti tujuan anda tersebut. citra diri dan percaya diri anda akan meningkat jika perlahan tujuan anda semakin mendekat pada anda. Meningkatkan rasa percaya diri pada remaja dengan cara sebagai berikut: a. Mengidentifikasi penyebab dari rendahnya rasa percaya diri dan domain-domain kompetensi diri yang penting b. Dukungan emosional dan penerimaan sosial c. Prestasi
282
d. Mengatasi masalah (coping). Dimana remaja berusaha mengatasi masalahnya bukan menghindarinya.
6.
Motivasi Diri Santrock (2003: 473) motivasi adalah mengapa individu
bertingkah laku, berpikir, dan memiliki perasaan dengan cara yang mereka lakukan, dengan penekanan pada aktivasi dan arah dari tingkah lakunya. Bob Richards “Self-motivation is based on the scientific principle that you become the product of your dominant thinking. You must, therefore, see how tremendously vital it is for you to control the thoughts that enter your mind. That emphasises the significance of setting and striving for goals. It is impossible for you to become truly self motivated without having written, challenging, specific, measurable and prioritised goals.”
Motivasi diri didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang menjadi produk pemikiran dominan Anda. oleh karena itu, sangat penting bagi Anda untuk mengendalikan pikiran-pikiran yang masuk ke dalam pikiran Anda. Pentingnya pengaturan dan berjuang untuk tujuan anda. Tidak mungkin bagi Anda untuk menjadi benar-benar termotivasi diri jika tanpa ditulis, tertantang, spesifik, target yang dapat terukur dan tujuan yang diprioritaskan. Motivasi dasar mencakup siklus tiga fase.
283
Self motivation
need
Goal directed behaviour
Goal
Untuk menggapai kesuksesan ada beberapa karakteristik untuk memotivasi manusia. Haddon P. membagi sifat/ perilaku tersebut menjadi 6 karakterisitik dari memotivasi manusia: (Haddon P, 1999: 176) a. b. c. d. e. f.
Visi Percaya Diri Sikap Mental yang Positif Harapan Sukses Disiplin Diri Ketekunan
7. Mengembangkan Dan Mempertahankan Sikap Mental Yang Positif Seseorang dapat mengubah hidupnya sendiri dengan mengubah sikap yang dimilikinya terlebih dahulu. Sikap lebih penting dari fakta. Anda akan selalu menerima dari kehidupan apa yang Anda pilih untuk fokus pada dan karena itu terusmenerus berfokus pada apa yang tidak Anda inginkan akan memastikan Anda memiliki lebih dari itu. Hasil Peningkatan 284
terjadi melalui tindakan positif yang pada gilirannya tergantung pada sikap mental positif. Dan prasyarat untuk sikap mental yang positif, tentu saja, berpikir positif. Apa yang kita pikirkan itu yang kita dapatkan nantinya. Oleh karena itu pentingnya untuk berpikir positif akan menghasilkan hasil yang positif pula dalam kehidupannya. Pikiran positif akan menghasilkan tindakan positif yang akan membantunya untuk mencapai tujuannya.
2) Kecerdasan Emosi “Emotions are activated when we encounter occurrences that bear on our goals” (Frijda, 1986; Greenberg & Safran, 1987; Klinger, 1996; Lazarus, 1991) dalam Berlin Sharon (2002:112) Emosi akan timbul ketika kita menghadapi sesuatu kejadian tertentu yang berulang pada tujuan yang kita capai. Demikian pula, menurut teori dari Burgoon (1993) dalam Laura K. Guerrero dan Kory Floyd (2006:108) menyatakan emosi sebagai: Similarly, according to expectancy violations theory (Burgoon, 1993) and the social expectation model (Levitt, 1991; Levitt, Coffman, Guacci-Franco, & Loveless, 1994),emotions occur in response to deviations from expected behavior. When expectancies are not met, negative emotion follows; when expectancies are exceeded, positive emotion follows. Specifically, Burgoon (1993) theorized that positive violations of expectancies (e.g., someone you like unexpectedly gives you attention), lead to emotions such as
285
joy, relief, and pride, as well as nonverbal behaviors such as affection and involvement.
Teori pelanggaran harapan dan harapan sosial mengatakan dimana emosi terjadi sebagai tanggapan terhadap penyimpangan dari perilaku yang diharapkan. Ketika harapan tidak terpenuhi, emosi negatif dapat muncul, ketika harapan tercapai, emosi positif yang dapat muncul. Secara khusus burgoon (1993) berteori bahwa pelanggaran positif harapan (misalnya, seseorang yang anda sukai tiba-tiba memberikan perhatian), menyebabkan emosi seperti sukacita, lega, dan kebanggaan, serta perilaku nonverbal seperti kasih sayang dan keterlibatan. “Emotions have evolved to give us immediate access to automatic, non deliberate action patterns that prepare us to take care of ourselves” (Frijda, 1987) dalam Berlin Sharon (2002:113)
Emosi telah berevolusi untuk memberikan akses langsung secara otomatis pada pola tindakan yang tidak disengaja kita persiapkan untuk mengurus diri kita sendiri.
3) Introspeksi Afirmatif “Affirmative Introspection is the dimension of the Emotional Intelligence and Diversity Model that brings awareness and understanding of yourself and helps you choose more effective responses and paths. Affirmative 286
Introspection is the ability to take an honest look inward, with curiosity in a nonjudgmental way. It involves the ability to gain insights into themultiple layers of your experiences and to accept what you see, both your strengths and your vulnerabilities. Affirmation describes the process of developing acceptance of self and others. It requires a suspension of judgment, with none of the customary denial, shame, or guilt that accompanies new self-awareness—particularly when this awareness involves seeing aspects that you don’t like. Striving for selfacceptance opens the road for new possibilities. Introspection refers to the skill of exploring who you are, how you became that way, and what values, norms, and principles account for the way you interpret behavior and respond to others.” (Gardenswartz, 2008:44)
Introspeksi afirmatif adalah dimensi dari Emotional Intelligence dan Model Keanekaragaman yang membawa kesadaran dan pemahaman tentang diri Anda dan membantu Anda memilih tanggapan dan jalan yang lebih efektif. Ini adalah sifat manusia untuk mencoba untuk menyembunyikan beberapa kebenaran keras dari diri sendiri dan orang lain. Introspeksi afirmatif adalah kemampuan untuk mengambil tampilan jujur ke dalam, dengan rasa ingin tahu dengan cara tidak menghakimi. Ini melibatkan kemampuan untuk memperoleh wawasan kedalam beberapa lapisan pengalaman Anda dan untuk menerima apa yang Anda lihat, baik kekuatan dan kelemahan Anda. Filosofi di balik dimensi ini adalah bahwa Anda dapat memperluas kesadaran introspektif diri tanpa penghakiman.
287
Penegasan menggambarkan proses pengembangan penerimaan diri dan orang lain. Hal ini membutuhkan suspensi penghakiman, dengan tidak ada rasa malu, penolakan adat, atau rasa bersalah yang menyertai kesadaran diri baru-terutama ketika kesadaran ini melibatkan melihat aspek yang tidak Anda sukai. Berjuang untuk penerimanaan diri membuka jalan bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Setelah anda menerima ini, anda dapat memahami bahwa itu adalah anda yang bertanggung jawab atas perasaan anda. Hal ini juga benar bahwa anda mampu memodifikasi pemikiran anda dan sebagai hasilnya anda dapat mengubah respons emosional anda. Dengan demikian, itu adalah pilihan yang terdapat pada diri anda bagaimana anda berfungsi di dunia anda. Once you accept this you can understand that it is you who are responsible for your feelings. It is also true that you are capable of modifying your thinking and, as a result, modifying your emotional responses. Thus, it is your choice how you function in the world. ( Bill Sullatmann, 2003:19)
Untuk lebih efektif dengan yang lainnya, langkah pertama yang harus kamu terima, menilai, dan menghargai adalah diri kamu sendiri. Maksudnya adalah menerimah tidak hanya kekuatankekuatan saja namun aspek lain yang perlu disukai dan mungkin mempunyai pengharapan berbeda. Membuat bagian dari aspek tersebut merupakan ujian yang sebenarnya untuk memberikan kenyamanan pada diri anda. Hal tersebut adalah:
288
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Take a risk Learn to say no Be strategic in seeking feedback Check out your reflection See with compassionate eyes Know what is magical about you. Mampu mengambil resiko maksudnya adalah kamu
mungkin dapat membuat diri kamu berada pada wilayah yang tidak kamu kenali. Selanjutnya adalah belajar untuk berkata tidak adalah menerima resiko menolak seseorang dengan berkata tidak kepada orang lain adalah cara untuk memperhatikan diri sendiri. Kamu akan lihat bagaimana hal tersebut dapat membuat diri kamu merasa baik. Strategi dalam melihat umpan balik. Menambah gambaran yang lengkap terhadap diri sendiri dapat membantu kamu mengetahui dan menerima diri kamu sepenuhnya.mengidentifikasi seseorng yang kamu hormati dan percaya. Melihat cerminan diri anda. Kebanyakan orang, walaupun cantik
atau
tampan,
dapat
dengan
mudah
menyebutkan
kekurangannya. Lakukan hal tersebut untuk lebih menerima diri anda. Melihat dengan mata yang berbelas kasih maksudnya adalah penerimaan diri membutuhkan kamu harus baik terhadap diri kamu sendiri. Selanjutnya adalah mengetahui keajaiban yang kamu miliki. Mengenali pengaruh dari orang lain adalah elemen kunci dari penerimaan diri.
289
4) Memimpin Diri Sendiri, Mengatur Perasaan Diri Membangun ketahanan dan menjaga sikap positif dalam masa ketidakpastian adalah salah satu keunggulan dari pemimpin yang cerdas mengatur emosinya. Para pemimpin memiliki kemampuan untuk mengatur emosi bukannya emosi yang mengendalikan mereka. Menurut Gardenswartz (2008:71), “Building resilience and keeping a positive attitude in times of uncertainty is one of the hallmarks of emotionally intelligent leaders.”
Membangun ketahanan dan tetap menggunakan sikap yang positif pada waktu yang tidak ditentukan adalah salah satu tanda dimana dapat memimpin emosional diri dengan baik. Penerimaan bahwa apa yang kita pikirkan dan kemudian berkata kepada diri kita sendiri adalah penentu utama emosi dan perilaku yang memberikan kita pemahaman bahwa kita dapat mengendalikan emosi dan perilaku kita daripada membiarkan mereka untuk mengendalikan kita. Ini berarti bahwa kita memiliki pilihan dan dapat membuat perubahan yang akan membantu untuk memodifikasi emosi kita. The acceptance that cognition (what we think and then say to ourselves) is the major determinant of emotion and behaviour provides us with the understanding that we can control our emotions and behaviours rather than allow them to control us. This implies that we have choice and can 290
make changes that will help to modify our emotions.( Bill Sullatmann, 2003:12) Dengan memandang diri seperti yang kita inginkan, kita akan menjalani perubahan menuju tujuan yang kita inginkan dengan senang hati. Terdapat beberapa keuntungan jika kita mengikuti
perubahan
seperti
yang
di
inginkan
adalah:
(Gardenswartz, 2008: 81) “Helping people develop a new vision for themselves leads to empowerment, which helps individuals build resiliency.”
Membantu orang mengembangkan visi baru untuk diri mereka sendiri mengarah kepada pemberdayaan, yang membantu individu membangun ketahanan. “By controlling your emotional reaction to change, you become your own change master, allowing you to use creative solutions to everyday challenges and to cope withminimal anger and stress.” (Gardenswartz, 2008: 84)
Dengan mengkontrol reaksi perubahan emosi kamu, kamu menjadi ahli dalam perubahan tersebut, mengijinkan kamu menggunakan solusi kreatif untuk menghadapi tantangan setiap harinya dengan menggunakan sedikit kemarahan dan stres. Ketika orang atau organisasi selaras kedalam inti positif pada diri mereka, mereka tidak hanya berhubungan dengan kekuatan dan bakat dalam diri mereka saja nemun mereka juga
291
memicu emosi positif dalam diri mereka dan memperluas pemikiran mereka dan tindakan mereka untuk memasukkan kemungkinan-kemungkinan baru. Dimana menurut Robyn Stratton (2010:24)
“When people or organizations tune into their positive core, they not only connect with their strengths and talents, they also ignite their positive emotions and expand their thinking and their actions to include new possibilities”
2. KEKUATAN EKSTERNAL Kekuatan eksternal klien berasal dari jaringan keluarga, orang dekat, organisasi sukarela dari kelompok masyarakat, dan lembaga-lembaga
publik
yang
semuanya
mendukung
dan
memberikan kesempatan pada klien untuk bertindak atas namanya dirinya sendiri dan layanan kelembagaan memiliki potensi untuk menyediakan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan oleh klien.
1. Keluarga Dalam perkembangan remaja, keluarga mempunyai arti penting didalamnya. Seperti yang disebutkan oleh Singgih G (2001:108) arti keluarga dalam masa remaja adalah: a. Keluarga dapat memenuhi kebutuhan remaja akan keakraban dan kehangatan yang memang perlu baginya 292
b. Keluarga dapat memupuk kepercayaan diri anak dan perasaan aman untuk dapat berdiri dan bergaul dengan orang lain. Tanpa kemesraan dan perlakuan kasih sayang dari orangtua mereka tidak mampu membentuk hubungan-hubungan yang berarti dengan orang lain. c. Supaya remaja dapat belajar berdiri-sendiri baik fisik maupun spirituil dalam arti dapat bertindak sendiri, ia harus mengalami proses ini secara bertahap. Dalam hal ini keluarga bisa memegang peranan besar, yakni dengan memberikan kesempatan untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan yang diperlukan. Faktor yang harus diperhatikan ialah kesempatan untuk mengambil inisiatif secara bertahap dan melakukan tindakan sesuai dengan inisiatif tersebut. keluarga harus mempersiapkan anggota keluarganya supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri, sehingga dengan demikian mengalami perubahan dari keadaan tergantung pada keluarga menjadi beridir secara otonom. Dalam perkembangan remaja, keluarga memiliki arti sangat kuat terhadap proses perkembangan dan tugas-tugas perkembangan yang dijalani oleh para remaja. Dampak yang diberikan oleh keluarga terhadap pemenuhan tugas-tugas perkembangannya juga akan terlihat pada remaja. “We believe that the concept of resilience defines a process of parenting that is essential if we are to prepare our children for success in all areas of their future lives. Given this belief, a guiding principle in all of our interactions with children should be to strengthen their ability to be resilient and to meet life’s challenges with thoughtfulness, confidence, purpose, and empathy” (Robert Brooks and Sam Goldstein, Raising Resilient Children, 2001.)
293
Proses pengasuhan penting jika kita mempersiapkan anak-anak untuk sukses dalam segala bidang untuk masa depan hidup mereka. mengingat keyakinan ini, sebuah prinsip dalam sebuah interaksi orang tua dengan anak-anak harus memperkuat kemampuan mereka untuk menjadi tangguh dan untuk memenuhi tantangan hidup mereka dengan menggunakan perhatian, keyakinan, tujuan, dan empati. Pilihan orang tua atas lingkungan tempat tinggalnya juga dapat mempengaruhi remaja dalam memilih-milih teman sebayanya. Orang tua dapat memberikan contoh atau petunjuk kepada anak remaja mengenai cara-cara mereka berhubungan dengan teman sebaya mereka. Dalam suatu penelitian, peneliti menemukan bahwa ikatan yang aman antara anak dengan orang tuanya juga memiliki ikatan yang aman antara anak dan teman sebayanya. Seorang remaja yang sudah mempunyai keberanian untuk menolak apa yang tidak disukainya dalam peraturan yang dibuat oleh orang tuanya, menyebabkan seringnya konflik yang timbul antara remaja dan orang tua. Pengasuhan yang benar akan mengurangi konflik yang biasanya terjadi antara orang tua dan remaja. Diana Baumrind dalam Santrock (2003: 185) Berikut ini macam-macam pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak remajanya:
294
a. Pengasuhan autoritarian: gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya akan melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak cakap. b. Pengasuhan autoritatif: mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Pengasuhan autoriteratif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten. c. Pengasuhan permisif tidak peduli: suatu pola di mana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. d. Pengasuhan permisif-memanjakan: suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Tidak orang tua saja yang dapat mempengaruhi perkembangan remaja, namun saudara kandung dapat menjadi pengaruh kuat lainnya setelah orang tua. Vandell (1987) dalam Santrock (2003: 195) menjelaskan hubungan suadara kandung remaja meliputi menolong, berbagi, mengajar bertengkar, dan 295
bermain, dan saudara kandung remaja bisa bertindak sebagai pendukung emosi, lawan, dan teman berkomunikasi.
2. Orang dekat Santrock (2003 : 219) Bagi remaja bagaimana ia dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. remaja belajar tentang apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain. Pertemanan penting adanya bagi perkembangan remaja. Penolakan yang dibuat oleh teman sebaya dapat membuat remaja menjadi mempunyai masalah dalam perkembangannya. Pentingnya persahabatan bagi remaja dilihat dari 6 fungsi: a. Kebersamaan. Persahabatan memberikan para remaja teman akrab, seseorang yang bersedia menghabiskan waktu dengan mereka dan bersamasama dalam aktivitas. b. Stimulasi. Persahabatan memberikan para remaja informasi-informasi yang menarik, kegembiraan, dan hiburan. c. Dukungan fisik. Persahabatan memberikan waktu, kemampuan-kemampuan, dan pertolongan.
296
d. Dukungan ego. Persahabatan menyediakan harapan atas dukungan, dorongan dan umpan balik yang dapat membantu remaja untuk mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik dan berharga. e. Perbandingan sosial. Persahabatan menyediakan informasi tentang bagaimana cara berhubungan dengan orang lain dan apakah para remaja baik-baik saja. f. Keakraban atau perhatian. Persahabatan memberikan hubungan yang hangat, dekat, dan saling percaya dengan individu yang lain, hubungan yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri. (gottman & parker dalam Santrock, 2003: 227) Selain teman sebaya, faktor penting lainnya yang mempengaruhi perkembangan remaja adalah kekasih. Erikson dalam Santrock (2003: 239) pengalaman romantis pada masa remaja dipercaya memainkan peran yang penting dalam perkembangan identitas dan keakraban. Kencan ini dapat membantu individu dalam membentuk hubungan romantis pada masa dewasa. Fungsi kencan bagi remaja menurut (Padgham & Blyth, 1991; Paul& White, 1990; Roscoe, Dian & Brooks, 1987; Skipper & Nass, 1966 dalam Santrock (2003: 239) adalah: a. Kencan merupakan suatu bentuk rekreasi. Remaja yang berkencan terlihat sangat menikmatingan dan meilhat kencan sebagai sumber dari kesenangan dan rekreasi. b. Kencan merupakan sumber dari status dan keberhasilan. Sebagai bagian dari proses perbandingan sosial yang juga melibatkan proses pengevaluasian atas status seseorang yang mereka kencani, apakah mereka memiliki
297
c.
d.
e.
f.
g.
penampilan terbaik? Termasuk orang-orang yang populer? Dan seterusnya. Kencan merupakan bagian dari proses sosialisasi pada masa remaja, menolong para remaja untuk belajar bagaimana cara untuk berteman dengan orang lain dan membantu dalam pembelajaran atas sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan sosial. Kencan meliputi proses belajar tentang keakraban dan merupakan sebuah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang uni dan berarti dengan seseorang dari lain jenis kelamin. Kencan dapat memberikan kebersamaan dalam berinteraksi dan melakukan aktivitas versama-sama dalam hubungan dengan jenis kelamin yang berlainan. Pengalaman kencan memberi kontribusi untuk mengenali proses pembentukan dan perkembangan identitas, kencan membantu para remaja untuk memperjelas perkembangan identitas mereka dan untuk membedakan mereka dari keluarga mereka. Kencan dapat menjadi alat untuk memilih dan menyeleksi pasangan, sehingga juga tetap memainkan fungsi awalnya sebagai masa perkenalan untuk hubungan yang lebih jauh.
298
DAFTAR PUSTAKA Cowger Charles D. Assessing Client Strengths: Clinical Assessment for Client Empowerment. Gardenswartz, Lee 2008. Emotional Intelegence for Managing Results in a Diverse World: the Hard Truth about Soft Skills in the Workplace. California: Davies-Black Publishing Guerrero, Laura K 2006. Nonverbal Communication in Close Relationships. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Gunarsa, Singgih. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia Haddon, P 1999. Mastering Personal and Interpersonal Skills. London: Thorogood Ltd Hayes, John 2002. Interpersonal Skills Goals-Directed Behaviour At Work. USA: HarperCollin Academic Rankin Pedro 2006. Jurnal edisi 14 “Exploring and Describing the Strength/Empowerment Perspective in Social Work”. South Africa Santrock, J. W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga Saleebey, D 2006. Strength Perspective in Social Work Practice. Boston. Stratton, Robyn 2010. Appreciative Inquiry for Collaborative Solutions 21 Strength-Based Workshops. San Francisco: Pfeiffer. Sultmann, Bill 2003. People Skills Guiding You to Effective Interpersonal Behaviour. Australia: Australian Academic Press.
299