PENGANTAR
Matematika merupakan bidang studi yang dipelajari oleh semua siswa dari SD hingga SLTA bahkan juga di perguruan tinggi. Ada banyak alasan tentang perlunya
siswa
belajar
matematika.
Cornelius
(Abdurrahman,
2003)
mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis, sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sarana untuk mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, sarana untuk mengembangkan kreativitas dan sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Banyak orang yang memandang matematika sebagai bidang studi yang paling sulit. Meskipun demikian, semua orang harus mempelajarinya karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Seperti halnya bahasa, membaca, dan menulis, kesulitan belajar matematika harus diatasi sedini mungkin. Kalau tidak, siswa akan menghadapi banyak masalah karena hampir semua bidang studi memerlukan matematika yang sesuai (Abdurahman, 2003). Matematika adalah mata pelajaran utama di sekolah sebab Matematika menunjang mata pelajaran lain seperti Fisika atau Kimia. Tampaknya upaya penguasaan matematika belum diiringi dengan sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Terlihat bahwa pelajaran matematika masih dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan dan tidak menyenangkan sehingga dihindari (Kholiq, 2007).
1
2
Pada Ujian Nasinal tingkat SMA yang dilakukan beberapa waktu yang lalu terdapat perbedaan dengan Ujian Nasional yang dilakukan pada tahun sebelumnya. Perbedaan ini meliputi mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional. Tahun ini terdapat penambahan mata pelajaran sesuai dengan spesialisasi tiap jurusan tersebut. Pada jurusan IPA, ditambah Fisika, Kimia dan Biologi. Pada jurusan IPS, ditambah Sosiologi, Geografi dan Matematika, dan untuk jurusan Bahasa ditambah Sastra Indonesia, Antropologi dan Sejarah. Seorang siswa SMA mengatakan bahwa dia memilih jurusan IPS untuk menghindari Matematika karena dia merasa tidak suka dan tidak bisa Matematika (Anhar, 2008). Gracia (2008), juga mengatakan bahwa mata pelajaran yang paling dibenci adalah Matematika karena pelajaran Matematika sering membuat dia pusing. Ia juga mengatakan bahwa sejak masuk SMA berkeinginan memilih jurusan IPS untuk menghindari Matematika. Namun saat tahun ajaran dia mengikuti Ujian Nasional, pemerintah mengubah aturan yang awalnya Matematika tidak diujikan dalam Ujian Nasional pada siswa SMA jurusan IPS menjadi ikut disertakan dalam Ujian Nasinal pada siswa SMA jurusan IPS. Selain itu, Fahmi (2008) seorang siswa SMA jurusan IPS menyatakan bahwa ia malas mengikuti pelajaran Matematika karena pelajarannya sulit dan membuat pusing. Walaupun ia mengikuti pelajaran di kelas tetapi ia sering kali merasa tidak mengerti apa yang dipelajari. Ia duduk tenang agar tidak dimarahi guru. Jika ulangan atau ujian ia sering mendapatkan nilai rendah. Selain itu ia
3
merasa bosan saat belajar Matematika dan untuk menghilangkan rasa bosan tersebut ia sering keluar kelas menuju ke kantin. Dalam dunia pendidikan, motivasi untuk belajar merupakan salah satu hal yang penting. Tanpa motivasi, seseorang tentu tidak akan mendapatkan proses belajar yang baik. Motivasi merupakan langkah awal terjadinya pembelajaran yang baik. Menurut Hamalik (2000), motivasi adalah semua gejala yang terkandung dalam tingkah laku atau tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu, dimana sebelumnya tidak ada tindakan menuju kearah tujuan tersebut. Motivasi dapat berupa dorongan-dorongan dasar atau internal dan insentif di luar individu atau hadiah. Di dalam proses belajar mengajar di kelas, motivasi merupakan proses membangkitkan, mempertahankan, dan mengontrol minatminat. Mc. Donald (Soemanto, 1998) juga menyatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam diri individu yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi dimulai dengan suatu perubahan tenaga dalam diri seseorang. Motivasi itu ditandai dengan adanya dorongan afektif. Dorongan afektif ini belum tentu kuat. Dorongan afektif yang kuat, sering diwujudkan dalam tingkah laku. Misalnya suara atau teriakan. Di lain pihak ada pula dorongan afektif yang sulit untuk diamati. Misalnya ada anak yang dengan tenang duduk bekerja dimejanya, tampak kurang nyata dorongan afektifnya, padahal ia memiliki dorongan kuat berupa manifestasi perubahan psikologis yang terjadi dalam dirinya.
4
Selain itu Winkel (1987), mengungkapkan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu sehingga tujuan yang dikehendaki siswa tersebut dapat tercapai. Peranannya yang khas adalah dalam hal semangat belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan menunjukkan sikap tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, lebih senang bekerja mandiri, cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin, dapat mempertahankan pendapatnya, tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu dan senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal (Sardiman, 2005). Ciri-ciri motivasi tersebut akan sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Seseorang yang belajar dengan motivasi kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh, penuh gairah atau semangat. Sebaliknya, belajar dengan motivasi yang lemah, akan malas bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelajaran. Motivasi yang terus menerus diperlukan agar membantu para siswa mengkonsentrasikan diri pada bahan-bahan pelajaran selama pelajaran berlangsung. Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan
5
perasaan tidak suka itu (Sardiman, 2005). Sehingga motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Fungsi motivasi dalam belajar adalah sebagai pendorong perbuatan, penggerak perbuatan, dan sebagai pengarah perbuatan. Motivasi sebagai pendorong perbuatan mempengaruhi sikap apa yang seharusnya siswa lakukan dalam rangka belajar. Motivasi sebagai penggerak perbuatan adalah siswa melakukan aktivitas belajar dengan segenap jiwa dan raga. Akal pikiran berproses dengan sikap raga yang cenderung tunduk dengan kehendak perbuatan belajar. Selain itu motivasi sebagai pengarah perbuatan adalah motivasi dapat memilih mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang tidak dilakukan (Djamarah, 2002). Selain itu motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar (Syah, 2006). Santrock (2001) juga menyatakan bahwa motivasi terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi merupakan faktor yang sangat penting dalam belajar. Motivasi memberi semangat seorang siswa dalam kegiatan-kegiatan belajarnya. Motivasi-
6
motivasi perbuatan sebagai pemilih dari tipe kegiatan di mana seseorang berkeinginan untuk melakukannya. Selain itu motivasi juga memberi petunjuk pada tingkah laku (Crow & Crow, 1984). Santrock (1996) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini meliputi tujuan belajar, persepsi siswa mengenai kecerdasannya, dan keyakinan akan kemampuannya. Sedangkan faktor eksternal ini meliputi adanya tingkat kesulitan tugas, persaingan, dan pola asuh. Rendahnya motivasi belajar matematika disebabkan oleh faktor internal siswa itu sendiri yaitu rendahnya keyakinan akan kemampuannya terhadap mata pelajaran Matematika. Keyakinan akan kemampuan diri tersebut terwakili oleh konsep selfefficacy. Menurut Bandura (1997), self-efficacy merupakan suatu keyakinan individu bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu dalam situasi tertentu dengan berhasil. Hal ini akan mengakibatkan bagaimana individu merasa, berfikir dan bertingkah laku, memiliki rasa bahwa individu mampu untuk mengendalikan lingkungan sekitarnya. Peningkatan self-efficacy senantiasa dikaitkan dengan peningkatan sikap positif yang lain. Misalnya, siswa mengekspresikan lebih tertarik dengan Matematika, bekerja lebih baik dan bertahan pada soal-soal yang sukar. Keyakinan ini akan membantu individu menentukan apa yang akan dilakukannya dengan pengetahuan dan ketrampilannya. Dariyo (2004) mengungkapkan bahwa efikasi diri adalah kemampuan untuk menyadari, menerima dan mempertanggungjawabkan semua potensi, ketrampilan atau keahlian secara tepat. Siswa yang memiliki self-efficacy yang
7
rendah cenderung akan mengarahkan orientasi kognitifnya pada kurangnya keyakinan
atau
harapan
tentang
sejauh
mana
dirinya
memperkirakan
kemampuannya saat berhadapan dengan pelajaran Matematika dan pada akhirnya akan menurunkan motivasi belajar matematika karena siswa dengan self-efficacy yang rendah ini akan merasa tidak mampu menghadapi pelajaran Matematika untuk mencapai hasil yang diinginkan. Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan merasa yakin bahwa dirinya akan dapat berhasil menyelesaikan permasalahan yang ada pada pelajaran Matematika dalam menyelesaikan tugas yang sulit sekalipun. Keyakinan yang kuat akan keberhasilan ini, siswa tersebut akan menggerakkan segala usaha untuk dapat menjalankan suatu tugas pelajaran Matematika semaksimal mungkin. Dari uraian di atas maka rumusan masalah yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara self-efficacy Matematika dengan motivasi belajar Matematika pada siswa SMA kelas XI jurusan IPS ?
METODE PENELITIAN A. Subjek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SMA Muhammadiyah III Yogyakarta. Jumlah subyek berjumlah 123 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pemilihan terhadap sampel berdasarkan kriteria atau karakteristik tertentu (Hadi, 2000). Karakteristik subjek penelitian yang dipakai pada penelitian ini antara lain: 1. Siswa kelas XI yang mengambil jurusan IPS 2. Usia 15 sampai 18 tahun
8
B. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode testing dengan menggunakan skala. Skala adalah serangkaian pernyataan yang akan direspon oleh responden (Hadi, 2000). Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Motivasi Belajar Matematika Motivasi belajar Matematika diukur dengan menggunakan skala Motivasi
belajar Matematika. Skala motivasi belajar Matematika ini disusun berdasarkan aspek-aspek motivasi belajar Matematika yaitu goal (tujuan), activity (aktivitas) dan Instigated and Sustained (dorongan terus menerus). Cara pemberian skor untuk tiap jawaban terhadap butir pernyataan favorable adala 4 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), 3 untuk pilihan Sesuai (S), 2 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sebaliknya skor untuk tiap jawaban terhadap butir pernyataan unfavorable adalah 1 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), 2 untuk pilihan Sesuai (S), 3 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS), dan 4 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Semakin tinggi skor yang diperoleh subyek maka semakin tinggi tingkat motivasi belajar matematika. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subyek maka semakin rendah tingkat motivasi belajar matematika. Berikut blue print skala Motivasi Belajar Matematika :
9
Tabel 1 Blue print skala motivasi belajar Matematika No Aspek Favourable 1 Goal (tujuan) 1,10,17,21,25,27,32, 33,40,41,42,45,49,52 2 Activity (aktivitas) 2,11,13,22,28,29,30, 35,44,47,55 3 Instigated and 8,14,15,24 Sustained (dorongan terus menerus) Total 2.
Unfavourable 3,5,12,19,31,36, 38,43,46,51,53,54 4,6,9,16,18,20,26, 37,39,48,50 7,23,34
Jml 26 22 7 55
Self-Efficacy Matematika Self-Efficacy Matematika diukur dengan menggunakan skala self-efficacy
Matematika. Skala self-efficacy ini disusun berdasarkan aspek-aspek self-efficacy yaitu tingkat kesulitan tugas (magnitude), luas bidang perilaku (generality), dan kemantapan keyakinan (strength). Cara pemberian skor untuk tiap jawaban terhadap butir pernyataan favorable adala 4 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), 3 untuk pilihan Sesuai (S), 2 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sebaliknya skor untuk tiap jawaban terhadap butir pernyataan unfavorable adalah 1 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), 2 untuk pilihan Sesuai (S), 3 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS), dan 4 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Semakin tinggi skor yang diperoleh subyek maka semakin tinggi tingkat self-efficacy Matematika. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subyek maka semakin rendah tingkat self-efficacy Matematika. Berikut adalah sebaran aitemaitem skala self-efficacy Matematika, yaitu:
10
Tabel 2 Blue print skala self-efficacy Matematika No Aspek Favourable 1 Tingkat kesulitan 1,8,18,19,25,31,40,41 tugas (magnitude) 2 Luas bidang 3,10,13,22,26,33,37, perilaku (generality) 44 3 Kemantapan 5,7,15,23,28,32,43 keyakinan (strength) Total
Unfavourable 2,11,16,24,27,35, 38, 42 6,12,17,21,30,39
Jml 16
4,9,14,20,29,34,36
14
14
44
C. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik melalui komputer dengan menggunakan program SPSS for windows versi 12.0. dan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy Matematika dengan motivasi belajar Matematika digunakan teknik analisis korelasi product moment.
HASIL PENELITIAN 1.
Reliabilitas dan Validitas Pelaksanaan penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: Skala
motivasi belajar Matematika berjumlah 55 aitem dan diberikan pada 132 orang subjek tetapi hanya 123 skala yang bisa dianalisis sedangkan 9 skala tidak dapat dianalisis karena tidak diisi secara lengkap. Dari uji validitas tersebut peneliti melakukan proses seleksi aitem dengan memilih 47 aitem yang memiliki koefisien validitas 0,330
rxy
0,714 (hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran). Aitem-aitem yang tidak valid adalah nomor 1, 12, 16, 20, 26, 30, 47, 49.
11
Skala motivasi belajar Matematika dengan 47 aitem valid memiliki arti skala motivasi belajar Matematika memiliki tingkat kepercayaan sebesar 94,7% atau dengan kata lain, jika dikenakan pada subjek yang sama dalam waktu yang berbeda 94,7% akan memiliki hasil yang sama. Sedangkan skala self-efficacy Matematika berjumlah 44 aitem Dari uji validitas tersebut peneliti melakukan proses seleksi aitem dengan memilih 38 aitem yang memiliki koefisien validitas 0,328
rxy
0,618 (hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran). Aitem-aitem yang tidak valid adalah nomor 3, 4, 29, 33, 35, 44. Skala self-efficacy Matematika dengan 38 aitem valid memiliki koefisien motivasi belajar Matematika memiliki tingkat kepercayaan sebesar 92,6% atau dengan kata lain, jika dikenakan pada subjek yang sama dalam waktu yang berbeda 92,6% akan memiliki hasil yang sama. Berdasarkan hasil pengujian terhadap validitas dan reliabilitas skala di atas dapat disimpulkan bahwa skala motivasi belajar Matematika dan skala selfefficacy Matematika memiliki reliabilitas yang cukup tinggi dan layak digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini. 2.
Hasil Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi
yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas. Uji normalitas dan uji linieritas merupakan syarat sebelum dilakukannya uji korelasi product moment dari
12
Pearson, dengan maksud agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya ditarik (Hadi, 1996). a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah variabel penelitian ini terdistribusi secara normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan Kolmogorov – Smirnov test. Kaidah yang digunakan yaitu jika p > 0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran data tidak normal. Berdasarkan, hasil uji normalitas diperoleh nilai KS-z motivasi belajar Matematika sebesar 1,002 dengan p=0,268 (p > 0,05). Sedangkan nilai KS-z selfefficacy Matematika sebesar 1,009 dengan p=0,260 (p > 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel motivasi belajar Matematika dan self-efficacy Matematika memiliki distribusi normal. b. Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas dan variabel tergantung memiliki hubungan yang linier atau tidak. Kaidah yang digunakan adalah apabila p < 0,01 maka dikatakan kedua variabel memiliki hubungan yang linier. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan Uji F Oneway Anova. Hasil uji Linieritas self-efficacy Matematika dan motivasi belajar Matematika diperoleh nilai F sebesar 72,063 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel self-efficacy Matematika memiliki hubungan yang linier terhadap variabel motivasi belajar Matematika.
13
3.
Hasil Uji Hipotesis Setelah memenuhi uji asumsi, dilakukan uji hipotesis untuk melihat
hubungan antara self-efficacy Matematika dengan motivasi belajar Matematika. Uji hipotesis dilakukan menggunakan uji korelasi product moment dari Pearson. Hasil uji korelasi menunjukkan nilai r = 0,602 dengan taraf signifikansi p = 0,000 (p<0,01). Hal ini berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel bebas self-efficacy Matematika dengan variabel tergantung motivasi belajar Matematika pada siswa.
PEMBAHASAN Hasil analisis data diperoleh adanya hubungan positif antara self-efficacy Matematika dengan motivasi belajar Matematika (r = 0,602; p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara selfefficacy Matematika dengan motivasi belajar Matematika pada siswa SMA kelas XI jurusan IPS dapat diterima. Hasil
penelitian
mengungkapkan
bahwa
ini
sejalan
keyakinan
dengan akan
pendapat
kemampuannya
Santrock seorang
(1996) siswa
mempengaruhi motivasi belajar siswa itu sendiri. Keyakinan akan kemampuan ini disebut dengan self-efficacy. Menurut Bandura (1997), self-efficacy adalah keyakinan akan kemampuan seseorang untuk merencanakan dan menjalankan rencana untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Self-efficacy tidak berkaitan dengan kemampuan, melainkan terkait dengan keyakinan.
14
Selain itu Santrock (2001), menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil yang positif. Keyakinan tersebut menentukan apakah seseorang akan mencoba mengatasi situasi yang sulit atau tidak. Siswa yang memiliki motivasi rendah dalam belajar Matematika membutuhkan keyakinan akan kemampuan dalam Matematika agar dapat menyelesaikan tugas yang dihadapi dengan baik. Dengan kata lain, siswa harus memiliki keyakinan akan kemampuan dalam Matematika agar termotivasi dalam belajar Matematika. Hasil penelitian ini juga menguatkan pendapat Bandura (Dimyati, 2000) mengemukakan bahwa efikasi diri mengacu pada suatu keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk melaksanakan tugas khusus atau bagian dari berbagai komponen tugas. Lebih jauh dikatakan bahwa efikasi diri tidak berkaitan dengan kemampuan yang sebenarnya melainkan terkait dengan keyakinan seseorang. Lebih lanjut Komandyahrini & Hawadi (2008) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan berfikir bahwa kesulitan atau rintangan selalu dapat diatasi melalui pengembangan diri dan ketekunan. Sementara individu yang memiliki self-efficacy rendah akan dengan mudah meyakini kesia-siaan akan usahanya dalam menghadapi kesulitan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa tingkat self-efficacy Matematika mempengaruhi peningkatan motivasi belajar Matematika adalah sebesar 36,2 %, sedangkan sisanya sebesar 63,8% motivasi belajar Matematika masih dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hal ini
15
menunjukkan bahwa masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi dinamika motivasi belajar Matematika selain self-efficacy Matematika. Beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap dinamika motivasi belajar Matematika tetapi tidak diteliti pada penelitian ini seperti cita-cita atau aspirasi siswa, intelegensi, dan pola asuh. Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar. Keinginan yang ingin dicapai dapat memperbesar kemauan dan semangat belajar. Serta cara berfikir siswa mengenai kecerdasan dapat mempengaruhi keinginan untuk menguasai materi akademik (Mudjiono dan Dimyati, 2006). Sedangkan pola asuh yang memberikan kebebasan pada anak untuk eksplorasi sehingga mereka terbiasa untuk menghadapi tugas yang menantang dan belajar menangani masalah sendiri akan membuat anak mempunyai motivasi belajar yang tinggi (Santrock, 1996). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, agar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi maka faktor-faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal, juga harus saling mendukung. Jadi tidak dapat dikatakan hanya dari diri siswa saja yang dapat meningkatkan motivasi belajar, melainkan juga dari orang tua atau guru.
16
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara self-efficacy Matematika dengan motivasi belajar Matematika pada siswa SMA jurusan IPS. Dimana semakin tinggi self-efficacy Matematika maka semakin tinggi motivasi belajar Matematika. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy Matematika, maka semakin rendah motivasi belajar Matematika. SARAN Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti ingin mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1.
Bagi para siswa, dalam penelitian ini terbukti bahwa motivasi belajar dapat ditingkatkan dengan memiliki self-efficacy yang tinggi. Di harapkan para siswa selalu memegang teguh keyakinan akan kemampuan dalam belajar, dimana self-efficacy sebagai suatu hal yang dapat mempengaruhi tingkat motivasi belajar. Sudah seharusnya setiap siswa senantiasa memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan mereka dalam belajar, karena dengan self-efficacy yang dimiliki akan siswa tersebut akan menggerakkan segala usaha untuk dapat menjalankan suatu tugas pelajaran
semaksimal
mungkin,
tidak
terkecuali
ketika
sedang
menghadapi kesulitan dalam belajar Matematika. Selain itu di harap para siswa lebih terbuka pada gurunya jika sedang mengalami kesulitan pada pelajaran Matematika.
17
2.
Bagi pihak sekolah, hendaknya terus meningkatkan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan self-efficacy khususnya dalam pelajaran Matematika dan meningkatkan motivasi belajar Matematika sehingga dapat menjadi bagian perencanaan langkah-langkah strategi peningkatan prestasi belajar Matematika siswa.
3.
Bagi Peneliti selanjutnya, hasil dari penelitian ini hanya mencakup ruang lingkup yang terbatas, yang tentu saja kurang memenuhi persyaratan ilmiah apabila ingin digeneralisasikan pada ruang lingkup yang lebih luas. Maka disarankan agar peneliti selanjutnya dapat: a. Mencoba mengaitkan motivasi belajar Matematika dengan faktor-faktor lain yang lebih menarik lagi, seperti budaya, keluarga dan sekolah. b. Seperti yang telah diketahui bahwa penelitian ini dimungkinkan adanya bias karena prosedur pengambilan data yang kurang terkontrol karena terbatasnya waktu dan tenaga yang dimiliki sehingga peneliti tidak dapat mengawasi secara detail. Hal ini menyebabkan peneliti tidak mengetahui alasan yang pasti terkait dengan beberapa skala yang tidak diisi, dan untuk mengetahui bagaimana keadaan subjek saat mengisi skala, dimana kondisi atau keadaan subjek saat mengisi skala dapat mempengaruhinya dalam menentukan pilihan jawaban ketika mengisi skala. c. Hendaknya dalam penyusunan aitem dalam skala self-efficacy Matematika lebih spesifik sehingga lebih tepat dalam mengukur self-efficacy mata pelajaran Matematika.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press Anhar, S. 2008. Masuk IPS Untuk http://www.google.com. 10/03/2008
Menghindari
Matematika.
Annam, M. C. 2004. Motivasi Belajar. Depok : Cerdas Pustaka Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bandura, A. 1997. Self Efficacy. The Exercise Of Control. New York : W. H. Freeman and Company Baron, R. A. dan Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial Jilid I. Edisi 10. Jakarta: Erlangga Crow & Crow. 1984. Psikologi Pendidikan. Surabaya : PT. Bina Ilmu Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : Ghalia Indonesia. Dimyati. 2000. Kohesivitas Tim dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Prestasi Olahraga Tim. Jurnal Psikologika, 10, 33-45. Djamarah, S. B. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta Dimyati & Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Rineka Cipta Eggen, P. & Kauchak, D. 1997. Educational Psychology. Indious On Clasroom Cliffs. Prentice Hall Inc Hadi, S. 1996. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hamalik, O. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo
19
Komandyahrini & Hawadi. 2008. Hubungan Self-Efficacy dan Kematangan dalam Memilih Karir Siswa Program Percepatan Belajar. Jurnal Keberbakatan dan Kreativitas, 2, 1-11. Kholiq. 2005. Matematika Masih Jadi Momok UAN. http://www.google.com. 16/12/2007 Nawangsari, N. A. F. 2001. Pengaruh Self-Efficacy dan Expectancy-Value Terhadap Kecemasan Menghadapi Pelajaran Matematika. Jurnal Insan Media Psikologi, 2, 75-88. Nisfiannoor, Carlos & Zamralit. 2006. Hubungan Antara Self-Efficacy dan Prestasi Kerja Karyawan Marketing. Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi, 8, 196-206. Riyanti, B. P. D. 2006. Self-Efficacy dan Intensi Menjadi Wirausaha. Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi, 8, 173-180. Rizvi, A., Prawitasari, J. E., dan Soetjipto, H. P. 1997. Pusat Kendali dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Terhadap Prokrastinasi Akademik Mahasiswa. Jurnal Psikologika, 3, 51-66 Salim., Singgih, E. F., Sukadji, S. 2001. Sukses di Perguruan Tinggi. Depok Santrock, J. W. 2001. Educational Psychology. Third Edition. New York: McGraw-Hill Companies Santrock, J. W. 1996. Adolescence. New York: McGraw-Hill Companies Sardiman, A. M. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Schunk, D. H. & Pintrich, P. R. 1996. Motivation in Education. Theory, Research, and Applications. Prentice Hall Inc Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Soemanto, W. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta Sukmadinata, N. S. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya
20
Syah, M. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta : : PT. Raja Grafindo Persada Uno, H. B. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara Winkel, W. S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Gramedia
21
IDENTITAS PENULIS Nama
: Dwi Yustiana Purbaningsih
Alamat
: Jl. Wates Km. 14 Yogyakarta 55752
No. Telp / HP : 085228770747 Email
:
[email protected]