Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN MENURUT MADZHAB SYAFI’I DAN MADZHAB MALIKI Moch. Wahid Hasyim1 Abstract: Some rules give to human being to manage our live as like khalifah in this world in order to balance our live. But so many people do criminality end death, as like oppression to woman’s pregnant end embryo’s death with the rules still debate. Mafdzhab Syafi’i and Maliki have committed that act named as low qishash. however it had different with given set a condition of embryo. Madzhab Syafi’i gives set a condition of embryo who death real roh and the shape of human being, but madzhab Maliki gives set of a condition of blood clot and meat. Both of Syafi’i and Maliki have committed that maltreater gets saction qishash, diyat or ta’dzir. But it has different opinion about diyat. According to madzhab Syafi’i, diyat take from ‘aqilah, because it consists of jinayah khatha’ and according to madzhab Maliki, diyat take from maltreater. Keywords: oppression, woman’s pregnant, embryo’s, madzhab Syafi’i, Maliki Pendahuluan Allah Swt menurunkan syari’at Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam. Rahmat itu diwujudkan dalam bentuk keadilan yang melandasi seluruh aturan hukumnya. Sebagai agama yang mem1
48
Penulis adalah dosen tetap STAI Darussalam Krempyang Nganjuk.
Moch. Wahid Hasyim
bawa misi rahmat, yang antara rahmat dan keadilan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka Islam mensyariatkan adanya hukuman sebagai penangkal perbuatan bagi orang-orang yang melanggar hukum. Asas penerapan hukum dalam Islam adalah kesesuaian antara perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterapkan.2 Fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan berkembang dengan sendirinya. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhan, dalam menyempurnakan sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat dilakukan oleh tangan dan pengetahuannya serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat dan saling mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai.3 Dalam hukum Islam, sementara itu, juga terdapat bermacammacam hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-shwal al-syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-ahwal almadaniyyah atau hukum privat, al-ahwal al-jinayah atau hukum pidana dan sebagainya. Hukum Pidana Islam atau jinayah didasarkan kepada perlindungan hak asasi manusia (human right) yang bersifat primer (daruriyyah), meliputi perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh al-Syatibi dinamakan maqashid al-syari’ah. Hakikat dari pemberlakuan hukum oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima unsur pokok tersebut dapat diwujudkan dan dipelihara.4 Islam, seperti halnya sistem lain, melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka dan merasakan keamanan. Islam melarang bunuh diri dan pembunuhan serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar di2
Muhammad Abu Zahrah, al Jarimah (Mesir: Dar al-Fikr, tt.(, 10. Muhammad Ali al-Sayis, Sejarah Fikih Islam, ter. Nurhadi AGA (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), 8. 4 Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 71-72. 3
49
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
ibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, orang yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka diibaratkan memelihara umat manusia seluruhnya.5 Hukum Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu kepada al-Qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.6 Terkait pembunuhan ataupun penganiayaan, dalam hukum Islam diancam dengan hukuman qishash. Meskipun demikian, tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qishash, ada juga yang sebatas dikenakan diyat (denda), yaitu pembunuhan atas dasar ketidaksengajaan. Dalam hal diyat ini tidak dikenakan qishash, tetapi hanya wajib membayar denda yang ringan. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.7 Ketentuan-ketentuan hukum fiqh yang ada ini tidak terlepas dari analisis dan hasil ijtihad para ulama, khususnya para ulama mazhab, yang tidak jarang terjadi perbedaan pendapat. Artikel ini akan fokus membahas tentang pendapat madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki dalam menyikapi kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka yang berkenaan tema pembahasan. Data dalam tulisan ini diambil dari bahan primer dan bahan sekunder.8 Penelitian ini berdasarkan analisis deskriptif-komparatif, yaitu pemaparan sesuai adanya terhadap hal-hal yang dimaksud oleh suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa 5 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 71-72. 6 Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, tt.), 132. 7 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 2000), 406. 8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif (Jakarta: CV. Rajawali, tt.), 34-35.
50
Moch. Wahid Hasyim
penulis. Sehingga dari penelitian tersebut dapat menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifatsifat dari obyek kajian tersebut.9 Di samping itu, penelitian ini juga bersifat komparatif, yaitu membandingkan antara pendapat madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin. Data-data dalam tulisan ini terdiri dari dua kategori, yaitu (1) data primer, berupa kitab al-Umm karya Imam Syafi’i dan alMuwatha’ karya Imam Malik, (2) data sekunder, berupa kitab-kitab yang membahas tentang fiqh al-jinayah, seperti kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Bidâyah al-Mujtahid, ditambah buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah ini. Setelah pengumpulan bahan kepustakaan dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan peninjauan data dan diklasifikasikan untuk mempermudah langkah analisis dengan menempatkan masing-masing data sesuai sistematika yang telah direncanakan. Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah (1) induktif, yaitu kerangka berpikir yang didahului oleh fakta-fakta secara khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkrit, kemudian ditarik ke hal-hal yang umum.10 Dalam pembahasan tulisan ini diawali dengan mengemukakan teori-teori, dasar-dasar hukum (dalil) secara umum tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin terlebih dahulu, kemudian dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus, selanjutnya menganalisisnya, (2) metode komparatif, yaitu membandingkan antara dua hal, yaitu persamaan dan perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin. Pembahasan A. Pendapat Madzhab Syafi’i Kata penganiayaan bersinonim dengan kata jinayah dan jarimah yang digunakan dalam berbagai redaksi kitab-kitab salaf, yang juga merupakan rujukan dalam penentuan hukum dalam Islam selain al-Qur’an dan hadits. Para fuqaha’ mendefinisikan 9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 9-10. Ibid, 12-13.
10
51
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
jinayah dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh syari’at Islam, baik perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lainnya. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah berikut ini :
Artinya: Adapun yang dimaksud dengan jinayah dalam syara’ secara umum adalah setiap perbuatan yang dilarang (diharamkan). Perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan dicegah untuk melakukannya, yaitu perbuatan yang dapat membahayakan terhadap agama, jiwa, akal, tubuh atau harta benda.11 Sedangkan jarimah, Sayyid Sabiq mengartikannya sebagai pelukaan yang dilakukan terhadap jiwa atau selain jiwa, sebagaimana penjelasannya sebagai berikut:
Artinya: Jarimah adalah kriminalitas terhadap jiwa atau selain jiwa, yaitu berupa pelukaan atau memotong anggota badan, hal ini adalah pokokpokok masalah yang tidak bisa ditawar dan wajib untuk dijaga demi kepentingan kemanusiaan dan untuk menjaga kehidupan sosial kemasyarakatan.12 11 12
52
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi, 1990), 5. Ibid.
Moch. Wahid Hasyim
Jinayah terhadap tubuh bisa berupa jinayah al- atraf, al-syijjaj dan al-jirah. Jinayah al-atraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, seperti mencukil mata, mematahkan kaki atau memotong tangan orang lain.13 Al-syijjaj adalah pelukaan terhadap orang lain pada bagian kepala dan wajah, sedangkan al-jirah adalah pelukaan terhadap tubuh orang lain pada selain kepala dan wajah.14 Dalam hukum Islam, para ulama fiqh telah membuat terminologi khusus untuk mengkategorikan tindakan-tindakan kejahatan, yaitu Jaraim al-Hudud, sebagai tindakan yang bersanksikan hukum had dan Jaraim al-Qishas, sebagai tindakan yang bersanksikan hukum qishas. Tindakan kedua ini adalah kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk luka atau terpotong organ tubuh.15 Dalam hal pembunuhan, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan atau perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.16 Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.17 Dalam hukum Islam, pembunuhan termasuk ke dalam Jaraim alQishas, yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya nyawa atau terpotong organ tubuhnya.18 Pendapat madzhab Syafi’i dalam hal janin yang mati dalam kandungan ibunya akibat dari terjadinya penganiyaan, memberikan syarat yang dijelaskan secara gamblang oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah sebagai berikut:
13
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 425. Ibid, 429-430. 15 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, 5. 16 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 217. 17 Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt.), 6. 18 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, 263. 14
53
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
. Artinya: Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati dalam kandungan ibunya, diketahui bahwa janin benar-benar sudah berbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, Imam Syafi’i menjelaskan dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia, yaitu adanya tangan dan jari-jari. Jika hal itu tidak ada, maka bagi pelaku tidak ada tanggungan apa-apa (denda gurroh).19 Jika seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas ibu dan diyat atas janin, karena matinya ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin.20 Ulama Syafi’iyah membagi pelukaan terhadap tubuh (penganiayaan) menjadi tiga macam, yaitu (1) Jinayah al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya, (2) al-Syijjaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka secara khusus, (3) al-Jirah, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala, termasuk di dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada.21 Khusus pada kasus al-Syijjaj, menurut ulama salaf, termasuk imam Syafi’i, membagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah pelukaan terhadap kepala atau wajah yang telah ada ketetapan dari syari’at mengenai jumlah diyat-nya, yang termasuk kelompok ini adalah pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menampakkan tulang (al-mudihah), pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan pecah atau patahnya tulang (al-hasyimah), pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan berpindah atau bergesernya tulang dari tempat asalnya (al-munqilah), 19
Ibid, 565. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar alFikr, tt.), 372. 21 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 429. 20
54
Moch. Wahid Hasyim
pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada kulit otak (alma’mumah) dan pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada kulit otak dan memecahkannya, pelukaan ini lebih berat daripada al-ma’mumah (al-damigah).22 Kedua adalah pelukaan terhadap kepala atau wajah yang belum ada penjelasan dari syari’at tentang diyat-nya, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan sedikit kulit dan tidak mengeluarkan darah (al-harisah), pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan kulit dan mengeluarkan serta mengalirkan darah (al-damiyah), pelukaan terhadap kepala atau wajah yang memutihkan tulang, artinya mematahkan tulang (alwadi’ah), pelukaan terhadap kepala atau wajah yang meremukkan tulang, hal ini lebih berat daripada al-badi’ah (al-mutalahimah) dan pelukaan terhadap kepala atau wajah yang hampir mengenai tulang (al-simhaq). Pada jenis al-jirah dibedakan pula menjadi tiga bagian, yaitu pelukaan yang sampai pada rongga perut (al-jaifah), pelukaan pada rongga dada, contohnya mematahkan tulang rusuk dan mematahkan lengan tangan atas, betis atau lengan bawah.23 Dikarenakan penganiayaan terhadap ibu hamil sampai mengakibatkan kematiaan janin, maka hal ini tidak terlepas dari pembahasan tentang pembunuhan yang merupakan imbas dari penganiayaan tersebut. Adapun klasifikasi pembunuhan terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) pembunuhan yang diharamkan, setiap pembunuhan karena ada unsur permusuhan dan penganiayaan, (2) pembunuhan yang dibenarkan, setiap pembunuhan yang tidak dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qishas.24 Sedangkan pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Secara umum, pembunuhan dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, sebagai berikut: 22 Ibrahim Ibnu Ali bin Yusuf al-Syairazi Abu Ishaq, Al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Fikri,1990), 198. 23 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 430. 24 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 220.
55
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
Artinya: Macam pembunuhan itu ada tiga, yaitu sengaja (‘amdu), semi sengaja (syibh ‘amd) dan kesalahan (khata’). Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan sengaja terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya dengan sesuatu yang pada umumnya bisa membunuh. Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al‘amd), yaitu perbuatan sengaja terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya dengan sesuatu yang pada umumnya tidak bisa membunuh, seperti memukul dengan tongkat kecil atau batu kecil atau menonjok dengan tangan atau sesamanya. Pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yaitu seseorang melakukan perkara yang diperbolehkan, seperti melempar hewan buruan atau bermaksud membidik sasaran, kemudian mengenai seseorang yang terlindungi darahnya, kemudian mati.25 Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pembunuhan, yaitu pembunuhan dengan alat tajam, melukai dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan (muhaddad), pembunuhan dengan alat tidak tajam, seperti tongkat dan batu (musaqqal), pembunuhan secara langsung dengan pelaku melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung dan tanpa perantaraan, seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan pistol dan lain25
56
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, 516-519.
Moch. Wahid Hasyim
lain serta pembunuhan secara tidak langsung dengan melakukan sebab-sebab yang dapat mematikan, artinya dengan melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya tidak mematikan, tetapi dapat menjadikan perantara atau sebab kematian.26 Yang dapat termasuk digolongkan sebagai pembunuhan adalah (1) pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan, seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang serigala, harimau, ular dan lain sebagainya, (2) pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar, (3) pembunuhan dengan cara mencekik, (4) pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa memberinya makanan dan minuman, (5) pembunuhan dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi. Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena terjadi juga melalui perbuatan ma’nawi yang berpengaruh kepada psikis seseorang, seperti menakut-nakuti, mengintimidasi dan lain sebagainya.27 Dalam hal penganiayaan terhadap tubuh, terdapat beberapa sanksi yang perlu diketahui, yaitu: a) Qishas Dalam hal qishas, terhadap selain jiwa (penganiayaan), memiliki beberapa syarat, yaitu pelaku berakal, sudah mencapai umur baligh, motivasi kejahatan disengaja dan hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.28 Yang dimaksud dengan sederajat di sini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu, maka tidak ada qishas bagi seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya dan tidak pula di-qishas seorang muslim yang melukai kafir dzimmi atau memotong anggotanya. Sanksi dalam penganiayaan terhadap tubuh telah dijelaskan dalam firman Allah Swt dalam QS. al-Maidah: 45 berikut ini:
26 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 323. 27 Ibid, 232. 28 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, 38.
57
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan lukaluka (pun) ada qishas-nya.29 Jika pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja dan korban tidak memiliki anak serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku di-qishas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota tubuh berdasarkan anggota tubuh yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka. Hal ini dilakukan kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban. Adapun syarat-syarat qishas dalam pelukaan anggota badan terbagi menjadi lima macam, yaitu (1) tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka jika ada kebohongan, maka tidak boleh di-qishas, (2) memungkinkan untuk dilakukan qishas, jika qishas itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan diyat, (3) anggota tubuh yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan, (4) adanya kesamaan dari dua anggota tubuh, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang cacat dan tidak di-qishas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah buta, (5) jika pelukaan itu pada kepala atau wajah (al-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qishas, 29 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1994), 116.
58
Moch. Wahid Hasyim
kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qishas, maka tidak dilaksanakan qishas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut.30 Dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. alBaqarah: 194 berikut ini:
Artinya: Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.31 b) Diyat Dalam hal penganiayaan jenis jinayah al-atraf, pelaksanaan diyat dibagi menjadi dua, yaitu yang dikenakan sepenuhnya dan yang dikenakan hanya setengahnya saja. Adapun diyat yang dikenakan sepenuhnya adalah dalam hal sebagai berikut (1) menghilangkan akal, (2) menghilangkan pendengaran dengan menghilangkan kedua telinga, (3) menghilangkan penglihatan dengan membutakan kedua belah mata, (4) menghilangkan suara dengan memotong lidah atau dua buah bibir, (5) menghilangkan penciuman dengan memotong hidung, (6) menghilangkan kemampuan bersenggama atau jima’ dengan memotong dzakar atau memecahkan dua buah pelir, (7) menghilangkan kemampuan berdiri atau duduk dengan mematahkan tulang punggung. Sedangkan diyat yang dikenakan hanya setengahnya saja adalah dalam hal melukai satu buah mata, satu daun telinga, satu buah kaki, satu buah bibir, satu buah pantat, satu buah alis dan satu buah payudara wanita.32 Kemudian pelukaan yang mewajibkan diyat kurang dari setengahnya adalah memotong jari, yaitu diyat-nya sepuluh ekor unta, berdasar hadits Nabi Muhammas Saw berikut ini: 30
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 425. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 31. Lihat juga QS. al-Syura : 40. 32 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 428-429. 31
59
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
Artinya: Diyatnya memotong jari-jari, baik jari-jari kedua tangan atau jari-jari kedua kaki, adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari.33 Bagi pelaku yang mematahkan gigi, maka wajib membayar diyat sebanyak lima ekor unta, berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw dalam kitabnya Amr Ibn Hazm berikut ini:
Artinya : Dalam hal merontokkan gigi, diyat-nya adalah lima ekor unta.34 Sanksi dalam hal al-sijjah, sesuai dengan pembagiannya yaitu yang telah ada ketetapan syari’at dan juga yang belum adalah sebagai berikut (1) al-Mudhihah, jumlah diyat-nya sebanyak lima ekor unta,35 (2) al-Hasyimah, diyat-nya sebanyak sepuluh ekor unta,36 (3) al-Munqilah, diyat-nya sebanyak lima belas ekor unta,37 (4) al-Ma’mumah, diyat-nya sebesar sepertiga diyat, (5) al-Damighah, hukum dari hal ini sama dengan al-Ma’mumah, yaitu diyat-nya sepertiga diyat. 38 Mengenai hukuman dari pelukaan yang bersifat al-jirah, ditentukan sebagai berikut (1) al-Jaifah, diyat-nya sepertiga diyat,39 (2) dalam hal mematahkan tulang rusuk, diyat-nya sebanyak satu ekor unta, (3) dalam hal mematahkan lengan tangan atas, bawah ataupun betisnya, maka diyat-nya sebanyak dua ekor unta.40 Dalam hal pembunuhan, terdapat tiga bentuk sanksi pembunuhan sengaja, yaitu pertama sanksi asli (pokok), berupa hukuman qishas, kedua sanksi pengganti, berupa diyat dan ta’dzir, dan ketiga sanksi penyerta atau tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.41
60
33 Al-Turmuzi, al-Jami’ al-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmizi, Juz 4, (Beirut: Dar alFikr, 1988), hadis nomor 1311. 34 Jalaluddin al-Suyuti, Sunan al-Nasa’i (Beirut: Dar al-Fikr, 1930), hadis nomor 4774. 35 Al-Turmuzi, al-Jami’ al-Sahih wa Huwa Sunan, Juz 4, hadits nomor 1310. 36 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 429-430. 37 Ibn Abdus Samad, Sunan al-Darami, Juz II, 193. 38 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 429-430. 39 Ibn Abdus Samad, Sunan al-Darami, Juz II, hadits nomor 2260. 40 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, 430. 41 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 261.
Moch. Wahid Hasyim
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah ditentukan dalam al-Qur’an dan hadits adalah qishas. Hal ini ditegaskan di dalam QS. al-Baqarah: 178 berikut ini:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).42 Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa di samping qishas, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah.43 Sedangkan sanksi pengganti bagi pelaku pembunuhan adalah: 1. Diyat Diyat yang menjadi sanksi pengganti menurut istilah syari’at adalah:
Artinya : Diyat adalah harta yang wajib dibayarkan karena adanya kejahatan terhadap jiwa atau yang searti dengannya.44 Berdasarkan definisi ini, berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya. Artinya, pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa atau nyawa seseorang. Sedangkan diyat untuk anggota badan disebut dengan ‘irsy. Dalil disyari’atkannya diyat adalah QS. al-Nisa’: 92 berikut ini: 42
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 28. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 261. 44 Abdul Qodir ‘Audah, al-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, Juz I, 298. 43
61
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
Artinya : Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena salah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena salah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah.45 Secara teoritis, diyat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diyat mugallazah (berat) dan diyat mukhaffafah (ringan). Diyat mugallazah menurut mayoritas ulama, termasuk Syafi’iyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai pembunuhan sengaja.46 Jumlah diyat mugallazah adalah 100 ekor unta yang 40 di antaranya sedang mengandung. Ini berdasarkan hadits:
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa membunuh seorang mukmin secara sengaja, hukumnya dikembalikan kepada para wali terbunuh, jika mereka menghendaki membunuh maka mereka membunuhnya dan jika mereka menghendaki mengambil diyat, maka diyatnya adalah tiga puluh unta hiqqah, tiga puluh unta jaz’ah, empat puluh unta khilfah dan sesuatu yang pantas bagi mereka, yang demikian itu untuk memberatkan hukuman.47 Adapun diyat mukhaffafah itu dibebankan kepada ‘aqilah pelaku pembunuhan kesalahan dan dibayarkan dengan diangsur selama kurun waktu tiga tahun, dengan jumlah diyat 100 ekor unta. Hal ini berdasarkan kepada hadits: 45
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 94. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 304. 47 Mustafa Raib al-Baga, al-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), 192. 46
62
Moch. Wahid Hasyim
Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw bersabda: dalam pembunuhan tersalah diyat-nya dua puluh unta jaz’ah, dua puluh unta hiqqah, dua puluh unta binta labun, dua puluh unta ibnu labun dan dua puluh unta binta makhad.48 Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugallazah yang dikhususkan pembayarannya bagi pelaku pembunuhan dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat pembunuhan syibh ‘amd (menyerupai sengaja) adalah diyat yang pembayarannya tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada ‘aqilah atau keluarga pembunuh dan dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.49 Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tetapi jika unta sulit ditemukan, maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.50 2. Ta’dzir Hukuman ta’dzir ini dijatuhkan kepada pelaku jika korban memaafkan pembunuh secara mutlak. Artinya, seorang hakim dalam pengadilan berhak untuk memutuskan pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan, karena qishas itu di samping haknya korban, juga merupakan haknya Allah Swt dan hak masyarakat secara umum. Sedangkan bentuk ta’dzir sesuai dengan kebijaksananaan hakim.51 Tentang pembunuhan janin, dijelaskan bahwa jika terdapat janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya, baik secara sengaja atau kesalahan, dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah ke48
Ibid, 196. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 307. 50 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, 552-553. 51 Ibid, Juz VI, 291-292 dan 312-313. 49
63
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
luar dari kandungan atau mati di dalam kandungan, baik janin itu laki-laki atau perempuan. Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham atau sebanyak seratus kambing. Besar gurrah adalah lima puluh unta. Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadits di bawah ini:
Artinya: Dua orang wanita dari Bani Huzail saling bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulullah Saw, maka Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah (memerdekakan budak), baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyat-nya wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya.52 Namun jika janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat utuh. Jika janin itu berjenis kelamin laki-laki, maka jumlah diyat-nya adalah seratus ekor unta. Namun jika janin itu perempuan, maka diyat-nya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.53 Ulama’ Syafi’iyah dan ulama’ Kuffah berpendapat bahwa diyat tersebut dibayarkan oleh ‘aqilah, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai jinayah khatha’ dan diyat janin tersebut dibayarkan kepada ahli waris dari janin, akan tetapi juga dikatakan bahwa diyat tersebut dibayarkan kepada ibu, karena janin diibaratkan satu anggota dari tubuh ibu, untuk itu diyatnya hanya dibayarkan kepada ibu saja.54 B. Pendapat dari Madzhab Maliki Menurut madzhab Maliki tentang janin yang mati akibat terjadinya penganiyaan terhadap ibu hamil yang dapat mengakibat 52 Mustafa Raib al-Baga, al-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib, 193. Lihat juga Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6512. 53 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz V, 373. 54 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, 64.
64
Moch. Wahid Hasyim
suatu hukuman yaitu jika janin yang ada dalam kandungan tersebut dalam wujud apapun, meskipun masih berupa gumpalan darah atau daging.55 Jika penganiayaan yang dilakukan oleh aljani mengakibatkan kematian pada ibu hamil dan janin lahir dalam keadaan hidup kemudian mati, maka dalam hal ini al-jani memiliki kewajiban dua diyat, yaitu diyat atas ibu dan diyat atas janin, karena kematian janin tidak terlepas dari sebab kematian ibunya yang teraniaya.56 Menurut Imam Malik, jinayah terbagi menjadi empat macam, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Minah al-Jalil, yaitu :
Artinya: Pelukaan (jinayah) yang tidak mengakibatkan kematian terbagi menjadi empat. Pertama, Ibanatu Tharfin, yaitu memotong anggota badan. Kedua, Kasru Udhwin, yaitu merusak atau memecah anggota badan. Ketiga, Izhabu Manfa’ah, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan. Keempat, Al-Jurh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala.57 Tidak seperti pendapat para ulama pada umumnya, termasuk Imam Syafi’i yang membagi pembunuhan menjadi tiga, Imam Malik hanya membagi pembunuhan menjadi dua. Imam Malik tidak menganggap pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd) sebagai bagian tersendiri, akan tetapi termasuk dalam kategori pembunuhan yang disengaja (qatl al-‘amd). Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya AlMugni berikut ini:
55
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 416. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, 372. 57 Muhammad Ilyas, Minah al-Jalil Syarhu Al-Mukhtashar (Maktabah Syamela CD-ROOM: Maktabah Syamilah, Digital), IX: 37. 56
65
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
Artinya: Imam Malik tidak mengakui adanya qatl syibh al-‘amd, beliau berkata: “dalam Kitabullah tidak dijelaskan, kecuali al-‘amd dan al-khatha’, adapun istilah syibh al-‘amd tidak kita gunakan”, beliau menggolongkan syibh al-‘amd dalam bagian al-amd. Tentang pembunuhan janin, dijelaskan bahwa jika terdapat janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya, baik secara sengaja atau kesalahan, dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan, baik janin itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham atau sebanyak seratus kambing, juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta. Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadits berikut ini:
Artinya: Dua orang wanita dari Bani Huzail saling bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulullah Saw, maka Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah (memerdekakan budak), baik laki-laki ataupun 58
66
Ibnu Qudamah, al-Mughni (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Haditsah, tt.), 636-640.
Moch. Wahid Hasyim
wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya.59 Janin yang lahir dalam keadaan hidup kemudian mati setelah beberapa saat, maka sanksi yang harus dibayar adalah diyat utuh, yaitu jika janin itu laki-laki, maka jumlah diyat-nya adalah seratus ekor unta, jika janin itu perempuan, diyat-nya sebanyak lima puluh ekor unta.60 Menurut Imam Malik dan sahabat-sahabatnya, Hasan Basri serta ulama Basrah berpendapat bahwa diyat atas janin tersebut dibayarkan dari harta pelaku. Diyat janin ini dibayarkan kepada ahli waris janin, akan tetapi juga dikatakan bahwa diyat tersebut dibayarkan kepada ibu, karena janin diibaratkan satu anggota dari tubuh ibu, untuk itu diyat-nya hanya dibayarkan kepada ibu saja.61 Analisis Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa antara madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki terdapat persamaan dan perbedaan dalam menyikapi dan menentukan hukum tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan kematian pada janin, yaitu sebagai berikut : 1. Persamaan Terjadi kesamaan pendapat antara madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki dalam hal janin yang mati dalam kandungan ibunya akibat penganiyaan, termasuk dalam kategori Jara’im alQishas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qishas, lebih khususnya lagi adalah penganiayaan merupakan jinayah terhadap selain jiwa, yaitu perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa sakit tubuhnya tanpa hilangnya nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan jinayah terhadap jiwa, yaitu tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa manusia. Jika seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup, kemudian setelah itu mati, maka wajib 59 Musthafa Raib al-Baga, al-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib, 193. Lihat juga Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6512. 60 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, 373. 61 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, 64.
67
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas ibu dan diyat atas janin, karena matinya ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin. 2. Perbedaan Pendapat madzhab Syafi’i dalam hal janin yang mati dalam kandungan ibunya akibat dari terjadinya penganiayaan, mensyaratkan bahwa janin yang mati tersebut benar-benar sudah berbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia, yaitu adanya tangan dan jari-jari. Jika hal itu tidak ada, maka tidak ada tanggungan apapun bagi pelaku penganiayaan, baik itu berupa gurrah ataupun diyat. Jika seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup, kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas ibu dan diyat atas janin, karena matinya ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin. Namun menurut madzhab Maliki tentang janin yang mati akibat terjadinya penganiyaan terhadap ibu hamil yang dapat mengakibat suatu hukuman yaitu jika janin yang ada dalam kandungan tersebut mati dalam wujud apapun, meski masih berupa gumpalan darah atau daging. Jika penganiayaan yang dilakukan oleh al-jani mengakibatkan kematian pada ibu hamil dan janin lahir dalam keadaan hidup, kemudian mati, maka dalam hal ini al-jani memiliki kewajiban dua diyat, yaitu diyat atas ibu dan diyat atas janin, karena kematian janin tidak terlepas dari sebab kematian ibunya yang teraniaya. Dalam hal jinayah, ulama Syafi’iyah membaginya menjadi tiga macam jinayah, yaitu (1) Jinayah al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya, (2) Al-Syijjaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka secara khusus, (3) Al-Jirah, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala, termasuk di dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada. Sedangkan menurut madzhab Maliki, jinayah itu terbagi menjadi empat macam, yaitu (1) ibanatu tharfin, yaitu memotong anggota badan, (2) kasru udhwin, yaitu merusak atau memecah anggota badan, (3) izhabu manfa’ah, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan, (4) al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala. 68
Moch. Wahid Hasyim
Pembunuhan, menurut madzhab Syafi’i, terbagi dalam tiga kelompok, yaitu pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd) dan pembunuhan kesalahan (qatl al-khatha’). Sedangkan menurut madzhab Maliki hanya membagi pembunuhan menjadi dua, yaitu pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd) dan pembunuhan kesalahan (qatl al-khata’). Madzhab Maliki tidak menganggap pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd) sebagai bagian tersendiri, akan tetapi termasuk dalam kategori pembunuhan yang disengaja (qatl al-‘amd). Terkait sanksi yang harus dijatuhkan kepada pelaku penganiayaan terhadadp ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, antara madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki memiliki persamaan dan perbedaan pendapat sebagai berikut: 1. Persamaan Mengenai pembunuhan janin, terdapat kesamaan pendapat antara kedua madzhab, yaitu jika terdapat janin mati karena adanya jinayah atas ibunya, baik secara sengaja atau kesalahan, dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan, baik janin itu laki-laki atau perempuan. Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham atau sebanyak seratus kambing, dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta. Namun jika janin itu keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat utuh. Jika janin itu berjenis kelamin laki-laki, maka jumlah diyat-nya adalah seratus ekor unta. Jika janin itu perempuan, maka diyat-nya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya. 2. Perbedaan Terjadi perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki dalam menetapkan dari harta siapa diyat harus dibayarkan atas penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin. Menurut madzhab Syafi’i, diyat diambil dari harta ‘aqilah, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai 69
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
jinayah khatha’, sedangkan menurut madzhab Maliki diyat atas janin tersebut dibayarkan dari harta pelaku. Penutup Setelah mencermati pendapat-pendapat ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah dalam memberikan ketetapan hukum tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, diperoleh persamaan dan perbedaan pendapat dalam beberapa hal. Berdasarkan pembahasan di atas, kesimpulan dari tulisan ini adalah : 1. Terjadi kesamaan pendapat antara madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki dalam hal janin yang mati dalam kandungan ibunya akibat dari terjadinya penganiyaan. Kedua madzhab sepakat menggolongkan perbuatan ini sebagai tindakan yang berdampak pada hukum qishas. Hanya saja terjadi perbedaan dalam memberikan ketentuan kondisi janin, madzhab Syafi’i mensyaratkan bahwa janin yang mati tersebut benar-benar sudah berbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, sedangkan madzhab Maliki memutlakkan tentang kondisi janin, meskipun masih berupa gumpalan darah atau daging. 2. Tentang sanksi akibat penganiayaan terhadap ibu hamil, kedua madzhab sepakat bahwa pelaku bisa dikenai sanksi qishas, diyat atau ta’dzir. Mengenai pembunuhan janin, juga terdapat kesamaan pendapat, yaitu jika terdapat janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya, baik secara sengaja atau kesalahan, dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan, baik janin itu laki-laki atau perempuan. Namun terjadi perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’i dan mazhab Maliki dalam menetapkan dari harta siapa diyat harus dibayarkan. Menurut madzhab Syafi’i, diyat diambil dari harta ‘aqilah, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai jinayah khatha’, sedangkan menurut madzhab Maliki diyat atas janin tersebut dibayarkan dari harta pelaku.*
70
Moch. Wahid Hasyim
DAFTAR PUSTAKA ‘Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami. Beirut : Dar alKitab al-‘Arabi, tt. al-Baga, Mustafa Raib. al-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa alTaqrib. Surabaya: Bungkul Indah, 1978. Bakri, Asfri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI, 1994. Ilyas, Muhammad. Minah al-Jalil Syarhu Al-Mukhtashar. Maktabah Syamela CD-ROOM: Maktabah Syamilah, Digital. Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Minhaj al-Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Qudamah, Ibnu. al-Mughni. Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Haditsah, tt. Raoef, Abdoel. Al-Qur’an dan Ilmu Hukum. Jakarta : Bulan Bintang, tt. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah, 2000. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut : Dar al-Fikr, 1981. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi, 1990. Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press, 2003. al-Sayis, Muhammad Ali. Sejarah Fikih Islam, ter. Nurhadi AGA. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2003. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Normatif. Jakarta : CV. Rajawali, tt. al-Suyuti, Jalaluddin. Sunan al-Nasa’i. Beirut : Dar al-Fikr, 1930.
71
Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan ...
al-Syairazi Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Ali bin Yusuf. Al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i. Beirut : Dar al-Fikri,1990. al-Turmuzi. al-Jami’ al-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmizi. Beirut : Dar al-Fikr, 1988. Zahrah, Muhammad Abu Zahrah. al Jarimah. Mesir : Dar al-Fikr, tt. al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus : Dar al-Fikr, 1989.
72