PENGALAMAN, INGATAN, DAN SEJARAH: KISAH EMPAT PELAUT BUTON EXPERIENCE, MEMORY, AND HISTORY: STORY OF FOUR BUTON SAILORS Abd. Rahman Hamid Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Kampus Depok Jawa Barat, 16424 Telepon (021) 7270009, Faksimile (021) 7270038 Pos-el:
[email protected] Handphone: 085242838510 Diterima: 9 Januari 2015; Direvisi: 22 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015
ABSTRACT History of maritime community is not well known, especially with formal historical perspective that grounded on document, with watchword “no document, no history”. It does not mean that they do not have a history. They still have history. However, the entrance to listen their voice should use oral sources. This paper attempts to reconstruct story of four sailors in Wakatobi Islands, as a representation life of Buton sailors, using sources and methods of oral history. The result of this research show that their experience has brought across the separate islands and communities. They perform function for unifying maritime country of Indonesian. The experience neatly stored in their memory that must be written before they die. By this method, history of maritime society become more humane. They get “right”, as well as other groups, in Indonesian historiography. Keywords: sailor, oral history, Buton ABSTRAK Sejarah masyarakat bahari tidak banyak diketahui, apalagi dengan perspektif sejarah formal yang berpijak pada dokumen, dengan slogan “no document, no history”. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak punya sejarah. Mereka tetap mempunyai sejarah. Tetapi, pintu masuk untuk mendengarkan suara mereka harus menggunakan sumber lisan. Tulisan ini mencoba merekonstruksi kisah empat pelaut di Kepulauan Wakatobi, sebagai representasi dari kehidupan pelaut Buton, dengan menggunakan sumber dan metode sejarah lisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman mereka mengarungi samudra telah mendekatkan pulau-pulau dan masyarakat yang terpisahpisah. Mereka menjalankan fungsi pemersatu bagi negara maritim Indonesia. Pengalaman tersebut tersimpan rapi dalam ingatan mereka yang harus segera ditulis sebelum mereka mati. Dengan metode ini, sejarah masyarakat bahari menjadi lebih manusiawi. Mereka mendapatkan “haknya”, seperti halnya kelompok lain, GDODPKLVWRULRJUD¿,QGRQHVLD Kata kunci: pelaut, sejarah lisan, Buton
PENDAHULUAN Pernyataan Leopold von Ranke “no document, no history” (Langlois & Seignobos, 1966:17) merupakan tonggak lahirnya sejarah NULWLV GDQ SUREOHPDWLND KLVWRULRJUD¿ 3DGD VDWX sisi, sejarawan bekerja dengan dokumen untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi (wie es eigenlicht gewesen ist). Dokumen dianalisa menggunakan pendekatan dan teori untuk menemukan ide-ide dan makna yang terkandung di dalamnya (Thompson & Holm, 1958:174).
Ide dan makna peristiwa dari dokumen diperoleh setelah pertanyaan dirumuskan. Sejak itu, sejarah dipandang sebagai suatu bidang ilmu, yang sebelumnya dianggap sebagai cerita (story). Namun, pada sisi lain, pandangan tersebut telah membuat sejarawan tidak lagi menggunakan sumber lisan, seperti digunakan oleh Herodotus dan Tucyhdides, pada awal perkembangan ilmu sejarah. Bahkan, ada yang berpandangan bahwa tulisan berasal dari sumber lisan. Masing-masing PHPLOLNL GDVDU DUJXPHQ XQWXN PHQMXVWL¿NDVL 1
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 sudut pandangnya dan tetap berpijak pada history is the past event. Untuk mengetahui masa lalu diperlukan sumber sebagai jejak ingatan (tulisan, lisan, dan benda) dari peristiwa sejarah. Bila sudut pandang Ranke digunakan, maka sebagian besar pengalaman manusia di masa lalu tidak ditulis dalam sejarah. Apakah sejarah hanya milik mereka yang memiliki tulisan? Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki tradisi tulis, apakah mereka tidak punya sejarah? Selanjutnya, siapakah yang memiliki tradisi tulis dan dari kalangan mana? Pertanyaan terakhir mungkin mudah dijawab, yakni kalangan istana. Jika demikian, sejarah hanya akan menjadi arena bagi penguasa. Bagaimana dengan rakyat, baik di dalam maupun di luar istana, yang berperan menjaga raja dan istananya, apakah mereka akan diabaikan dalam sejarah? Jika pemikiran Ranke digunakan, maka sulit diperoleh sejarah awal munculnya lembaga kekuasaan di Sulawesi Selatan. Menurut tradisi lisan, suatu dinasti didirikan oleh orang yang tidak diketahui nama dan asalnya, sehingga disebut tomanurung atau “orang yang diturunkan” ke bumi (Poelinggomang, 2010:72-73). Tradisi tulis, berdasarkan penelitian Noordouyn (1995:134), baru dikenal pada pertengahan abad ke-16. Dengan demikian, sejarah Sulawesi Selatan baru dimulai abad ke-16. Bagaimana dengan periode sebelumnya? Disinilah letak problematika KLVWRULRJUD¿ \DQJ KDQ\D PHUXMXN SDGD VXPEHU tulisan. Problematika historiografi masyarakat bahari lebih akut lagi. Kegiatan pelayaran dan perdagangan yang mereka tekuni hampir tidak meninggalkan jejak tertulis. Apa yang masih bisa ditemukan adalah pas jalan perahu yang disimpan ketika masih digunakan dan hilang setelah tidak lagi digunakan. Merujuk pada metode sejarah Ranke, maka sejarah mereka hanya seumur pas jalan perahu. Pada umumnya, jejak pengalaman mereka disimpan dalam ingatan, sehingga dapat dibawa ke mana pun mereka pergi. Masa tinggal ingatan mereka juga selama usianya. Karena itu, sejarah mereka hanya tersimpan sepanjang hayat mereka. Persoalannya, apakah masyarakat bahari tidak punya sejarah, kalau masih menganut 2
metode Ranke? Apakah peran mereka tak penting bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia? Bagaimana kerajaan-kerajaan yang bercorak maritim, seperti Sriwijaya, Majapahit, Banten, Makassar, Ternate, dan Buton, tanpa dukungan masyarakat bahari? Apakah mungkin raja mendayung perahu dan memanggul senjata sendiri berperang menaklukan kerajaan lain di seberang lautan? Apakah mungkin raja sendiri yang menjaga batas kedaulatan maritim kerajaannya? Sejauh ini, historiografi dari kerajaan-kerajaan itu masih menampilkan kisah mengenai para penguasa dan kebijakannya. Hal itu akan terus terjadi selama masih terpaku pada perspektif “no document, no history”. Menarik mencermati pendapat Susanto Zuhdi bahwa sejarah formal umumnya mengkaji peristiwa yang terjadi, sedangkan sejarah lisan mengenai apa yang dirasakan orang sebagai akibat dari peristiwa itu. Jika diperluas, sejarah lisan akan menghasilkan pengetahuan lokal yang mengandung nilai sebagai acuan kehidupan masyarakat. Sejarawan yang mendasarkan karyanya pada sumber dokumen disebut sejarah formal (Zuhdi, 2014:289-290), sedangkan yang menggunakan sumber lisan disebut sejarah informal. Sebutan sejarah formal dan informal secara tidak langsung diproduksi oleh metode sejarah Ranke yang meletakkan dokumen sebagai sumber utama untuk menulis sejarah ilmiah. Tak heran, dia kerap dianggap sebagai bapak sejarah kritis/ilmiah. +LVWRULRJUD¿ VHPHVWLQ\D PHQMDGL UXDQJ bagi semua pelaku sejarah, dengan beragam jejak pengalaman yang masih dapat dibaca, didengar, dan dilihat. Berpijak pada pemikiran tersebut, tulisan ini mencoba menyajikan pengalaman empat pelaut Buton. Berbagai pengalaman yang tak terhitung jumlahnya akan dihadirkan kembali, sebagai ingatan dan sejarah, setelah berbagai pertanyaan dirumuskan. Dengan metode ini, suara dari masa lalu masyarakat bahari, dalam bahasa Paul Thompson (2012), dapat didengar, diketahui, dan dihayati (makna). METODE Sumber yang digunakan adalah sejarah lisan, yang diperoleh melalui wawancara dengan
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
empat pelaut di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2007, 2010, dan 2015. Para pengkisah diambil dari setiap pulau (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko) berdasarkan pertimbangan kejelasan pengalaman dan sebaran wilayah kegiatannya. Bagian-bagian pengalaman mereka yang diceritakan dicatat, direkam, dan ditranskrip dengan baik sesuai pertanyaan yang diajukan kepada mereka untuk dijawab. Setiap pelaku diberi kesempatan mengkisahkan pengalaman yang masih diingat, dengan beberapa pertanyaan utama, kemudian dikembangkan sesuai alur kisah, seperti: kapan mulai berlayar? di mana saja lokasi pelayaran? Berapa lama pelayaran? Bagaimana hubungan mereka dengan penduduk lokal, tempat di mana mereka berusaha? Bagaimana cara memperoleh muatan perahu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diperkaya dengan pertanyaan analisis, secara tersurat maupun tersirat, mengapa mereka menggeluti kegiatan pelayaran dan perdagangan? Jawaban-jawaban dari setiap pengkisah disusun secara kronologis dan dialogis, dari berbagai pengalaman yang masih terpisah, menggunakan imajinasi sejarah (Kartodirdjo, 1992:90-92), sehingga menjadi suatu kesatuan kisah pengalaman. Penyajian kisah setiap pelaku dibuat secara terpisah agar lebih mudah dipahami jalan kehidupan mereka. Tahap berikutnya, dilakukan analisa berdasarkan keterkaitan kisah dan pola yang dibentuk dari pengalaman para pelaku sejarah. Akhirnya, semua kenyataan sejarah (histoire realite) dirangkai dalam suatu cerita sejarah (histoire recite) atau juga disebut KLVWRULRJUD¿ PEMBAHASAN Sejarah Lisan: Sumber dan Metodologi Pada tahun 1948, sumber dan metode sejarah lisan dikembangkan oleh Allan Nevins dari Columbia University untuk merekonstruksi sejarah para pria kulit putih di Amerika Serikat. Perkembangan tahun 1950-an melahirkan perspektif baru, dari semula berorientasi pada “sejarah dari atas” menjadi “sejarah dari bawah” (history from below). Jika sebelumnya studi sejarah cenderung pada kelompok elit politik, militer, dan ekonomi, maka kini diperluas
pada kelompok kecil atau mereka yang tidak memiliki catatan pengalaman hidup, yang kerap digolongkan sebagai people without history (Perks & Thomson, 1998:1; Freund, 2014:2). Penggunaan sumber lisan, khususnya sejarah lisan, sangat penting pada masyarakat yang tidak memiliki tradisi tulis. Bagi mereka, sumber lisan merupakan ‘dokumen’ sejarah yang hidup. Karena itu, kata Paul Thompson, semua sejarah adalah sejarah lisan (Thompson, 2012:26). Dengan cara ini, seperti dikatakan Andrew P. Norman, narasi sejarah dapat dipahami dalam bahasa mereka sendiri atau on their own terms (Norman, 1998:168-169). Fungsi sejarah lisan pada akhirnya mengembalikan sejarah kepada orang-orang biasa dalam bahasa mereka (Thompson, 2012:298). James H. Morrison membedakan antara sejarah lisan dan tradisi lisan. Sejarah lisan berkaitan dengan ingatan mengenai suatu tempat, orang atau peristiwa sejarah, kenangan langsung mengenai masa lampau, kisah dari saksi mata. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu adalah kenangan yang hidup (living memory). Sedangkan tradisi lisan adalah kenangan mengenai kenangan (memory of memory), mencakup semua aspek kehidupan sebuah komunitas pada masa lampau, seperti legenda, epik, peribahasa, teka-teki, dan ungkapan, sebagai budaya lisan (Morison, 2000:2-3). Berdasarkan pembedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah lisan merupakan personal memory, sedangkan tradisi lisan adalah collective memory. Keduanya berfokus pada ingatan, mengenai apa yang masih diingat? Pemikiran ini mengingatkan konsep sejarah dari Bernard Lewis mengenai remembered history, yakni pernyataan tentang masa lalu yang masih hidup. Apa yang dipilih untuk diingat adalah yang dianggap bermakna, baik sebagai realitas maupun simbol (Lewis, 2009:11). Pilihan dari banyak pengalaman yang masih diingat dapat dihadirkan setelah pengkisah GLEHULNDQSHUWDQ\DDQ'DODPKDOLQLNDWD7DX¿N Abdullah, sejarah adalah hasil yang didapatkan dengan sengaja ketika berbagai pertanyaan tentang masa lalu telah dirumuskan. Pertanyaan itu bukan saja bertolak dari rasa ingin tahu, tetapi 3
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 juga kepentingan tertentu, apa pun mungkin coraknya (Abdullah, 2001:98-99). Ingatan sangat penting dalam sejarah lisan. Martin A. Conway membedakan antara ingatan primer dan ingatan sekunder. Masa bertahan ingatan primer sangat singkat. Ia berisi tentang berbagai aspek harafiah dari suatu peristiwa. Ingatan ini cepat menurun dan mudah terhapus akibat penyakit yang diderita oleh pengkisah. Sebaliknya, ingatan sekunder bertahan lama, bahkan sampai seumur hidup. Ia menjadi terminal akhir sistem informasi yang melalui sistem ingatan. Sejarawan menggunakan ingatan sekunder dengan cara mengajak pelaku mengisahkan pengalamannya (Conway, 2000:646). Menurut Bambang Purwanto, ketika peristiwa masa lalu telah menjadi ingatan, sejarah sebagai aktualitas akan sangat mudah ditafsirkan sesuai dengan kekinian, bukan hanya oleh sejarawan melainkan juga oleh pelaku dan penonton. Dalam hal ini ingatan adalah fakta sosial (Purwanto, 2006:75,86). Pada proses pengumpulan sumber sejarah lisan, seperti wawancara mendalam, peneliti memberikan kesempatan bagi pengkisah mengingat, menyampaikan detail-detail, membagi penjelasan, dan merefleksikan pengalaman, karena peneliti mendengarkannya (Yow, 2005: 35). Peneliti diharapkan menjadi pendengar yang baik, sembari memperhatikan setiap detil yang disampaikan pengkisah. Dia sekali-kali dapat menyela untuk mempertanyakan informasi yang kurang jelas atau mempertegas kembali apa yang disampaikan pengkisah yang dipandangnya penting. Karena itu, sejarah lisan menurut Alexander Freund adalah a person’s life story that focuses on personal experience (Freund, 2014:5). Penggunaan sumber lisan memungkinkan terjadinya kedekatan antara peneliti dan yang diteliti. Proses itu menghasilkan dialog langsung antara kedua pihak. Sejarah, kata Edward Hellet Carr, adalah sebuah proses interaksi, dialog antara sejarawan di masa kini dengan faktafakta masa lalu. Masa lalu hanya dapat dipahami dengan jelas dari sudut pandang masa kini, dan masa kini dapat benar-benar dipahami hanya dari sudut pandang masa lalu (Carr, 2014:43 dan 71). 4
3DGDVXPEHULQLVHMDUDZDQGDSDWPHQJRQ¿UPDVL kembali apa yang disampaikan oleh sumber sejarah, yang tidak terjadi pada sumber tulisan yang tetap dan tidak berubah. Masalah subjektifitas, seperti halnya sumber tulisan, tidak dapat dihindarkan dari sumber lisan, karena pelakunya masih hidup. Dia bisa saja mengubah informasi atau mengatakan apa adanya. Sikap pengkisah pun menjadi objek studi sejarah. Apakah ada korelasi antara kisah yang diceritakan dengan kondisi umum yang terjadi pada masa itu? Bahasa tubuh dan intonasi suara dapat menjadi sasaran pengamatan pada saat wawancara. Memang tidak mudah membaca kondisi itu. Dibutuhkan kepekaan, ketelitian, dan pengalaman peneliti mencermati sikap dan informasi dari pengkisah. Apa pun wujudnya, sejarah lisan bertolak dari pengalaman pribadi yang dibentuk secara sosial. Karena itu, pengalaman pribadi dapat menjadi corong untuk mendengar suara masa lalu dari suatu komunitas di mana pengkisah dan waktu kisahnya diceritakan. Berdasarkan metodologi yang disampaikan di atas, berikut disajikan empat kisah pengalaman pelaut Buton, sebagai representasi kehidupan masyarakat bahari, khususnya di Kepulauan Wakatobi. Kisah Empat Pelaut Haji La Wutu
“Setelah tamat SD, usia sekitar 14 tahun, saya mulai berlayar ikut perahu milik keluarga ke Timor Deli. Tugas saya sebagai koki”. Kata Haji La Wutu saat wawancara1 di rumahnya, WangiWangi pada 26 Mei 2010. Ketika itu, dia sudah berusia 81 tahun. Dahulu, selain nakhoda, dia juga adalah pemilik perahu. Pada tahun 1948, saya masih anak-anak, berlayar ke Timor Deli. Saya diajak oleh Haji La Diu. Status saya di atas perahu tidak dipertegas, sebagai koki. Jadi, bebas melakukan apa saja. Tetapi, pendapatan saya sama seperti koki. 1
Ketika wawancara, saya ditemani oleh Pak Alimin, seorang guru di Wangi-wangi, alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar. Informan sangat menguasai peta ketika diajak menunjukkan pulau-pulau yang pernah dikunjunginya saat berlayar. Wawancara dilakukan malam hari, setelah salat Magrib.
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
Pembagian hasil sama dengan yang lain. Saya juga pegang kemudi. Dalam satu perahu, kami ada tujuh orang. Pelayaran ke Timor ditempuh selama 7 hari. Karena bukan angin musim timur, kami berlayar dengan teknik opal. Agar lebih mudah, La Wutu memperlihatkan rute pelayarannya pada peta yang sudah disiapkan oleh peneliti. Pada saat itu, kami muat kopra dari Maluku. Pembeli di sana adalah orang China. Nama pelabuhannya adalah Timor Deli. Perahu berlabuh antara 7-8 hari. Dari sana kami berlayar tanpa muatan. Perahu jalan kosong. Biasanya perahu muat watu labara2 sebagai penyeimbang. Tetapi, kami tidak pakai itu. Berlayar kosong. Memang, perahu agak oleng. Tapi tidak terlalu. Selama berlayar, saya tidak pernah pakai watu labara. Desain perahu dibuat memiliki perut. Kira-kira tiga papan dari lunas, papan dikasi naik, dan setelah tujuh papan baru dibuat lurus atau sejajar. Dengan begitu, perahu punya perut sehingga kondisi tetap seimbang ketika berlayar. Saya pernah ke Gresik. Berangkat dari sini melalui Selat Selayar terus lurus sampai di Jawa bagian timur. Baliknya, melalui Selat Madura kemudian laut Bali dekat daratan, masuk Lombok dan Laut Flores, lalu tembak satu kali ke sini (Wanci). Perahu tidak boleh jauh dari daratan, karena mengunakan angin darat yang bertiup pada jam 7 malam sampai jam 6 pagi. Terus kalau siang, kami berlayar dengan angin timur, dengan teknik opal. Dari Pulau Sukun langsung ke Wakatobi. Berlayar selama tiga hari/malam. Setelah tiba di kampung, kami istirahat sebentar, kemudian lanjut berlayar ke Maluku mencari muatan (kopra). Daerah-daerah yang pernah saya datangi mencari muatan antara lain Pulau Buru, Tohoru, Amahai, dan Maluku Utara. Kadang ke Obi. Kami pindah-pindah tempat. Jadi, tidak tetap satu tempat. Pernah juga ke Morotai dan Waigeo. Kami berlayar dari Obi langsung menuju Waigeo. Kemudian juga Sorong. Saya mencari muatan di Banda, Seram, dan Dobo. Pada tahun 1954, berlayar dari Masohi ke Banda. Saat kembali, kami berlayar dengan angin timur,
dengan teknik bangun turu. 3 Saya tiga kali berlayar ke Rote, dekat Australia, muat gula. Pada tahun 1954, saya ke Singapura. Dari sini kami berlayar lewat Selat Selayar terus Masalembo dan Selat Karimata, terus langsung tembak ke Singapura. Saat balik, tetap melalui jalur yang sama, kecuali kalau angin timur, kami harus berlayar opal. Kalau opal, perahu dari Karimata menuju Surabaya, terus masuk Selat Madura dan selanjutnya sampai di Wanci. Saya sampai di Filipina tahun 1972. Waktu itu perahu kami terbawa arus karena keadaan angin tidak teratur, sehingga masuk ke pulaupulau Filipina. Saya tidak tahu apa nama pulau itu. Bukan main di sana. Banyak perampok dari Filipina. Perahu-perahu yang datang sering dikejar dan dirampok di laut. Sekitar satu minggu lamanya kami tertahan pulau itu. Ada seorang Pak Haji yang datang menanyakan muatan kami, waktu itu adalah kopra. Dia bilang kepada kami tidak menjual kopra kepada perampok. Kopra tersebut kami bawa dan jual di Tavao. Dari sana kami berlayar menuju Tavao. Pada saat itu, terdapat 20 perahu yang dirampok di laut. Para perampok menggunakan bodi-bodi4 kecil yang sangat laju. Ada yang pakai mesin dan ada juga tidak pakai mesin. Yang pertama ketemu kami menggunakan dayung. Jumlah mereka empat orang. Perahunya terbuat dari kayu. Mereka menggunakan bahasa Melayu. Tapi, ada satu orang di antara mereka yang tidak tahu bahasa.5 Hanya ada satu orang yang haji. Dia mau ambil muatan kami, tetapi ditolak. Mereka kemudian pergi. Saya lima kali ke Tavao muat kopra dari Maluku, antara tahun 1955-1957. Yang beli kopra kami di sana adalah orang Cina, namanya Anceng. Kami punya modal sendiri. Dari Tavao kami berlayar ke Wanci, tanpa muatan. Pada saat terakhir, baru saya muat piring. Kemudian dijual di Bacan. Piring ditukar dengan kopra. Baru satu kali saya ke Serawak. Berangkat dari sini lewat Selat Selayar, kemudian Selat 3
Teknik berlayar mengikuti arah searah tiupan
angin. 4
2
Ia dapat berupa potongan batang kelapa atau juga batu.
Maksudnya adalah perahu berukuran kecil. Kemungkinan orang Bajo yang tidak bisa berbahasa Melayu. 5
5
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 Makassar menyisir Kalimantan bagian timur sampai Serawak. Kalau ke Tavao, kami berlayar dari Taliabo (Maluku Utara), langsung tembak Tavao. Saya dan orang dari Kaledupa yang membuka jalan ke Tavao. Berlayar dari Wanci ke Taliabo selama tiga hari/malam. Tiga hari kami mencari muatan kopra di sana. Kemudian berlayar ke Tavao selama 4 hari. Jadi, pelayaran ke sana, dari Wanci, selama 10 hari.
La Jaimu
“Saya berlayar sejak usia 15 tahun. Waktu itu berlayar belum pakai mesin, masih pakai layar. Saya tidak pernah menetap di kampung, karena sering keluar. Makanya anak saya hanya tiga orang. Kadang berlayar 6 bulan, 9 bulan, dan sampai 1 tahun lamanya”, Kata La Jaimu, mantan nakhoda asal Kaledupa ketika wawancara di Ambeua tanggal 12 Mei 2007.6 Dia lahir pada tahun 1944. Selama kurang lebih 20 tahun dia berlayar (1958-1978). Pada saat berlayar kami sudah pakai kompas. Saya empat kali ke Malaysia Timur. Dua kali ditahan dan dua kali juga lolos. Saat pertama masuk ditahan, berikutnya lolos, kemudian ditahan lagi, dan terakhir lolos. Kami muat kopra dari Maluku. Berlayar dari Maluku lewat ujung Manado (Sulawesi Utara), kemudian langsung ke Tavao, selama 6-7 hari/malam, semua tergantung keadaan angin. Selama di sana, sambil menunggu angin, kami bekerja membersihkan rumah dan halamannya serta pikul barang milik tauke. Banyak bangsa datang ke sana. Kadang kami bongkar muatan perahu lain yang telah dibeli tauke kami. Gajinya dihitung satu kali bongkar atau sistem borong. Upah kami dibayar oleh tauke, bukan pemilik perahu. Orang perahu tinggal lipat tangan. Setiap tauke mempunyai buruh sendiri. Setelah dari Tavao, saya ke Singapura membawa kopra yang diambil dari sini. Saya beli pungut sendiri-sendiri. Kemudian cari teman (sabangka) untuk berlayar. Dalam satu perahu terdapat antara 8-10 awak. Ketika berlayar, ada 6 Dalam wawancara ini, saya ditemani oleh Pak Sahyana, salah seorang petugas Taman Nasional Wakatobi yang bekerjasama dengan Tensi WWF, dengan wilayah tugas di Pulau Kaledupa.
6
awak yang bertugas panjat tiang layar, menyelam angkat jangkar jika tersangkut. Setiap awak punya tugas. Masa berlayar ketika musim barat. Tetapi, kalau tidak mau menunggu lama, kami berlayar menyongsong angin timur dengan teknik opal (mengergaji), masa berlayar cukup lama kadang sampai satu bulan. Perahu berlayar dari Singapura menuju Flores lewat Tanah Jawa. Berlayar hasa-hasa (menyusuri pesisir) sampai di Timor (dahulu wilayah Nusa Tenggara Timur). Dari sana, kami sudah taksir, kalau banting satu kali tidak bisa sampai di Kaledupa, kecuali bila perahu sudah berada di atas (Nusa Tenggara) baru bisa langsung. Kalau angin kencang, layar perahu tidak bisa dinaikkan semua. Layar diturunkan sebagian. Bahkan, bila angin terlalu kencang, layar besar diturunkan semua. Dipertahankan hanya layar jip. Bahan layar terbuat dari daun karoro. Kami beli di Bau-bau, yang dijual orang dari Ujung Pandang. Bahan ini ringan. Sedangkan tali perahu terbuat dari: sabut kelapa, tali ijuk dari pohon enau, dan tali gunung (kowau). Tali sabut dan ijuk digunakan untuk tali layar, sedangkan kowau7sebagai tali jangkar. Bahan makanan adalah ubi kayu yang telah dikeringkan. Warnanya kadang hitam. Kemudian dipotong-potong dan dimasak. Bahan makanan lain adalah sagu, yang diambil dari Maluku. Jalur pelayaran, dari Kaledupa menuju Masalembo terus Bawean dan Karimata, selanjutnya haluan menuju Laut Cina Selatan. Untuk masuk perbatasan, kami ikut di samping kapal tongkang yang sedang berlayar, sehingga perahu tidak kelihatan. Di sana banyak sekali kapal dari seluruh dunia. Tetapi, kami berada agak jauh dari kapal-kapal besar itu. Kapal-kapal seperti bintang di langit, sangat terang, keluar masuk lewat Selat Malaka. Ketika tiba di Singapura, sudah ada tauke yang jamin. Setiap tahun saya ke sana. Sehingga petugas syahbandar sudah kenal saya. Sejak tahun 1958, saya masuk Singapura sampai 1970-an, sebanyak delapan kali. Ini mesin jahit, sambil ditunjukan kepada peneliti, saya beli pada saat pertama ke Singapura. Kondisinya baru sekali. 7 Dianyam dari tiga utas tali menjadi satu kesatuan.
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
Agar lebih mudah dibawa, mesin saya bongkar. Setelah sampai di sini, baru saya pasang. Pada saat itu, saya belum kawin. Harga belinya lebih 100 uang (dollar) Singapura. Kami muat kopra ke Singapura. Di sana kopra sangat spesial.Walaupun lama berlabuh, kebutuhan makan ditanggung oleh tauke yang beli kopra. Dia jamin langsung, termasuk pengurusan pas jalan perahu. Ketika keluar dari Singapura pun kami diberikan bekal berupa beras, ikan kaleng, gula, biskuit, dan susu. Sambil menunggu angin barat, untuk pulang kampung, kami bekerja di sana. Membersihkan gudang milik tauke. Pikul kayu bulat yang dibawa oleh perahu dari Batam dan Tanjung Pinang. Kami disewa oleh tauke. Selain itu, kami campur semen bangunan dan memisahkan rombengan (RB), antara yang baik dan tidak baik kualitasnya. RB milik tauke yang dijual kepada tuan perahu. RB didatangkan dari berbagai belahan dunia, digudangkan di sana. Kami kerjakan berasal dari Jepang dan Taiwan. Ukurannya kecil, sehingga dapat dipakai orang Indonesia. Dari Singapura kami beli barang-barang dapur, piring, dan sebagainya untuk kebutuhan keluarga di kampung. Kadang juga dijual, seperti piring biasa (merek Duralex dan Reco). Perabot rumah saya kebanyakan dari Singapura. Tetapi karena sering jatuh akhirnya pecah, dan sudah tidak banyak lagi sekarang. Sejak tahun 1970-an, saya sebagai nakhoda perahuJati Ukur, milik La Bajo (orang Buranga, Kaledupa). Saya jarang berada di kampung karena sering berlayar. Makanya, anak saya hanya tiga orang. Kadang saya berlayar 6 dan 9 bulan, bahkan sampai 1 tahun. Sebelum menjadi nakhoda, saya adalah sawi pada dua perahu milik La Ane dan La Udu. Salah satu kelengkapan perahu adalah tempayang, sebagai tempat menyimpan air. Kalau dalam perahu terdapat 7 orang, maka kami membawa minimal 14 buah. Masing-masing awak menggunakan 2 buah. Air digunakan untuk minum dan masak. Kami sudah perhitungkan bahwa stok air dapat digunakan sampai di Singapura. Selain itu, setiap perahu membawa satu gong. Fungsinya adalah untuk memanggil angin dan awak perahu yang berada di darat ketika
dalam “situasi bahaya”8 Kelengkapan lain adalah kompas. Ia disimpan di depan pengemudi. Kadang juga diikat dengan tali lalu digantung pada leher pengemudi, supaya kalau ada ombak atau perahu oleng, kompas tidak pindah tempat. Ombak di atas perahu melintas. Celana kami, karena basah berhari-hari, kadang busuk. Tapi syukur, kami tidak sakit. Kompas hanya dipakai terutama untuk pelayaran jarak jauh, misalnya ke luar negeri. Kalau berlayar ke Jawa, kami tidak pakai kompas, atau hanya mengandalkan pengalaman. Bintang digunakan saat berlayar malam hari. Sampai jam 11 malam masih bisa dilihat. Karena posisi perahu dan bintang selalu berubah, maka untuk memastikan haluan perahu, kami melihat kompas. Caranya, bintang dilihat lebih dahulu sebagai pedoman, kemudian disesuaikan dengan kompas, ke daerah tujuan pelayaran. Ada dua cara mengetahui posisi angin, ketika berlayar ikut angin. Pertama, tiupan angin pada telinga kanan dan kiri, apakah seimbang atau tidak? Kedua, hempasan ombak pada bibir perahu. Jika hal itu terjadi, berarti posisi perahu tidak searah angin, melainkan searah gelombang. Karena itulah, air menampar bibir perahu. Bagi pelaut senior, meskipun tidak langsung melihat haluan perahu atau sambil berbaring (tidur), dia bisa mengetahui posisi perahu. Maka, dia langsung memberi tahu agar pengemudi menjaga haluan perahu. Hal lain juga sangat penting adalah peminjaman perahu. Ada dua model perjanjian yang digunakan. Pertama, harga perahu ditentukan, misalnya Rp 10.000.000. Jika ada yang ingin membeli perahu lebih dari harga tersebut, misalnya Rp 30.000.000, pihak peminjam dapat menjualnya. Harga jual diberikan kepada pemilik perahu sesuai harga yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Cara ini disebut tukar-rugi. Kedua, Harga perahu yang 8
Situasi bahaya dapat berupa angin kencang atau ombak besar sehingga keselamatan perahu teracam saat berlabuh. Situasi lain ialah ketika ada petugas patroli. Biasanya yang menjaga perahu adalah koki, sehingga tidak bisa memberitahukan berbagai informasi yang ditanyakan oleh petugas. Karena itu, dia memukul gong agar yang lain kembali ke perahu, khususnya nakhoda.
7
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 telah ditetapkan, setengah dibawa oleh peminjam dan setengahnya lagi pada pemilik perahu. Jika ada yang ingin membelinya, meskipun harga tawaran lebih dari harga total perahu, pihak peminjam tidak boleh menjualnya. Pemilik perahu bertanggungjawab menyediakan perahu dan kelengkapannya. Jika terjadi kecelakaan ketika berlabuh, karena tali jangkar putus, dan pemilik perahu hanya menyediakan satu jangkar, maka kerugian ditanggung oleh pemilik perahu. Tetapi, jika jangkar yang disediakan lebih dari satu, maka pihak peminjam harus bertanggungjawab atas kecelakaan itu, kata La Jaimu (13 Mei 2007). 3. +DML0XKDPPDG$OL1D¿ “Saya ini hidup dari berlayar. Sekolah hanya sampai SR 3 tahun sampai kelas 3 di Usuku. Kalau mau SR lanjutan, kami harus ke Bau-bau. Makanya banyak orang tidak sekolah”. Kata Muhammad Ali Nafi, mantan nakhoda dan pemilik perahu di Usuku Tomia, ketika wawancara di rumahnya tanggal 15 Mei 2007.9 Dia lahir tahun 1937. Dia tidak banyak tahu soal kehidupan di masa Jepang, karena ibunya selalu menyuruhnya lari dan masuk ke hutan agar tidak terkena bom dari pesawat -HSDQJ$OL1D¿PXODL berlayar tahun 1956 dan berhenti 1992 setelah menunaikan ibadah haji.“Orang banyak naik haji di sini dari hasil pelayaran”, demikian katanya. Ketika berlayar, kami kadang selisih paham dengan petugas. Sebab begini, petugas punya wewenang dan kami tidak mau ikut. Pada tahun 1958, petugas di Maluku Utara mengambil pas jalan perahu kami. Saya, sebagai juragan, dibawa petugas untuk ditahan. Sementara itu, perahu kami tetap berlayar ke Gresik. Saya ditinggalkan di sana. Satu minggu kemudian, saya minta agar petugas membawa saya ke perahu. Ternyata perahu sudah tidak ada. Karena tidak mau repot, petugas membebaskan saya. Kemudian saya naik 9 Saya mendapatkan informasi tentang dia dari jamaah masjid di Usuku, setelah shalat magrib. Beberapa anak mengantarkan saya ke rumah beliau. Hanya dua hari saya berada di Tomia, karena harus segera ke Binongko, mengingat kondisi cuaca buruk sehingga sulit menjangkau pulau itu. Setelah mendapat informasi dari warga di pelabuhan, saya berkemas dan berlayar dengan sebuah spead boat menuju Binongko.
8
kapal menyusul perahu ke Jawa. Saya ditahan selama 13 hari, tetapi tidak dikurung selamanya dalam penjara. Saya bisa ke sana ke mari. Hanya wajib lapor tiga kali sehari, yakni jam 3 sore, jam 8 malam, dan jam 8 pagi. Selama ditahan, semua kebutuhan saya ditanggung petugas. Perahu yang saya bawa saat itu namnya Tujuan Hidup (tonase 25 ton), milik Hajja Sitti Marwa, kakak saya. Pada 1958-1960, perahu Tujuan Hidup digunakan membeli kopra di Halmahera, selanjutnya dijual di Gresik. Juga membeli damar di Pulau Buru dan dijual di Ujung Pandang. Kopra dibeli Rp 3.000/kwintal (100 kg) dan dijual Rp 15.000/kg. Kami juga pernah membeli kopra di Irian Barat tahun 1976. Dibeli dengan harga Rp 3.500/kg dan dijual di Semarang Rp 85.000/ kg. Pada tahun ini masalah Irian sudah selesai, sehingga kami aman berlayar ke sana. Kami membeli damar di Pulau Buru dengan harga Rp 32/kg, lalu dijual di Singapura. Pada saat itu, harga damar di Ujung Pandang Rp 85/ kg. Karena harga murah, kami urus pas jalan perahu ke Gresik dan Surabaya. Tetapi, ketika berada di perairan Masalembo, kami mengubah haluan, berpisah dengan perahu lain yang menuju Surabaya, dengan tujuan Singapura. Kami harus bayar cukai muatan setiap masuk Singapura. Waktu itu masih murah. Setiap kwintal (100 kg) biaya cukai Rp 5.000. Tetapi, kalau muat 10 ton, kami lapor ke syahbandar hanya muat 5 ton. Sehingga biaya cukai tidak banyak. Di sana, banyak pembeli kopra. Ketika tiba, kami langsung menemui magaresek (syahbandar). Dari dia kami mendapat nomor kontak tauke yang akan membeli korpa. Setelah itu, kami menghubungi tauke untuk tawar menawar harga. Kami pilih tawaran yang lebih tinggi. Petugas tersebut dapat bonus dari pembeli. Tauke yang sering membeli kopra kami adalah orang China, bernama Hong Hi. Setelah harga diputuskan, muatan perahu langsung dibongkar oleh buruh pelabuhan. Kami tinggal menunggu sampai selesai. Lama masa menunggu di sana tergantung kondisi angin. Kadang sampai dua bulan. Ketika angin barat daya, perahu berlayar kembali. Kami mendapat informasi dari radio di darat mengenai keadaan angin terutama sekitar pantai barat Kalimantan,
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
kawasan yang akan dilalui perahu. Pada tahun 1961, ada 42 perahu dari Tomia berlayar sama-sama menuju Singapura. Dari sini ambil haluan barat sampai di Masalembo selanjutnya ke Bawean, masih dengan haluan barat. Dari Bawean, kami ambil haluan barat laut sampai di Pulau Karimata langsung ke Malang Biru,10 antara Singapura dan Sumatera. Dari sini kami berbagi haluan dengan perahu lain. Sisa satu hari dan dua malam berlayar, kami sudah bisa sampai di Singapura. Muatan perahu adalah kopra, damar, dan pala. Khusus pala dibeli dari Banda dan Fak-fak. ³6DEDQJ ± 0HUDXNH LWX GHNDW´ NDWD$OL 1D¿ Mereka kadang berlayar masuk ke Digul. Jarak dan masa tempuhnya lebih jauh dari Singapura. Jadi rute pelayaran: Singapura – Tomia – Timika (Irian). Dibutuhkan waktu 4 hari berlayar, dari Timika ke Digul. Selama berada di Singapura, semua kebutuhan makan dan minum ditanggung oleh tauke. Dalam satu minggu, kami diberikan beras 50 kg. Jumlah awak sekitar 10 orang setiap perahu. Ketika di sana, kami kerja bebas. Pikul barang bagi yang kuat. Bongkar muatan perahu, berupa kopra, damar, karet, rotan. Khusus karet dibawa perahu dari Kalimantan Barat dan Sumatera. Lainnya dari Sulawesi Tenggara, juga perahu dari Wakatobi. Pada tahun 1973, saya masuk ke Singapura. Selama tiga bulan bekerja di sana. Satu hari kerja di dalam pelabuhan dapat upah antara 25 – 100 dollar. Saya memang buta huruf, tetapi pernah jadi mandor di sana, karena dipercaya. Sewa pekerja 6 dollar/hari. Saya biasa sepakat dengan bos, misalnya upah kerja 30 dollar/hari, saya dapat bagian 20 dollar dan pekerja diberikan 10 dollar. Saya dapat untung banyak, karena pekerja dibayar 6 dollar/hari. Bersama dengan orang-orang China, saya berlayar dari Singapura ke Saigon (Jepang). Hanya saya sendiri orang Indonesia. Kami berlayar selama tujuh hari, dengan kecepatan kapal motor 6 mil/jam. Tujuannya membeli ikan tanggiring. Hanya sekitar 6 jam kami berada di Saigon. Langsung muat ikan dan dibawa ke 10
Pulau ini berupa batu yang timbul dari laut.
Singapura. Saya digaji 20 dollar/hari selama 15 hari. Jadi, dari usaha ini saya mendapatkan upah 300 dollar Singapura. Dari Singapura, perahu muat barang berupa kain dan torongkeng, selanjutnya dijual di Tomia, Maluku, dan Sorong (Irian). Di Irian, barang ditukar dengan barang (barter), tetapi lebih banyak menggunakan uang. Semua disesuaikan dengan kesepakatan bersama. Di Tambelan, kami dibantu Pak Camat, ketika membawa pas jalan perahu ke syahbandar. Kami muat minyak tanah dari Jakarta. Minyak tanah dikemas dalam kaleng, kemudian dimasukkan dalam satu peti setiap dua kaleng. Kami muat sekitar 400 kaleng atau 200 peti. Harga jual minyak tanah Rp 40.000/peti. Pada saat itu kami menjualnya dengan sistem barter, minyak tanah ditukar dengan kopra. Selama 2 tahun (1968-1970), saya pulang pergi Kalimantan – Jakarta. Muat kopra dan rotan dari Kalimantan. Harga rotan sudah cukup mahal, yakni Rp 4.000/kg, kemudian dijual di Jakarta Rp 8.000/kg. Sedangkan harga beli korpa Rp80.000/ kwintal dan dijual Rp 150.000/kwintal. Setiap dua bulan perahu berlayar pulang pergi. Kami istirahat di pelabuhan, Jakarta. Biasanya kami menunggu selama 15-20 hari, sambil membeli barang untuk dibawa ke Kalimantan. Di Tambelan, masyarakat butuh banyak minyak tanah. Harga beli minyak tanah di Jakarta Rp 18.000/kaleng. Kami jual di sana Rp 30.000/kaleng, dengan sistem penjualan partei (borongan). Pada saat itu, harga beli kopra Rp 15.000/ kwintal, yang dijual langsung oleh Camat kepada kami. Karena tawaran murah, maka kami juga turunkan harga minyak tanah. Kami pakai sistem barter, yakni 400 kaleng minyak tanah ditukar 15 ton kopra. Karena perahu mampu memuat 20 ton, maka tambahannya kami beli dengan uang.11 Masa berlayar dari Jakarta ke Tambelan, jika angin bertiup baik, selama 4 hari dan 3 malam. Sekitar satu minggu kami menunggu muatan. Penghasilan utama penduduk adalah kopra, kemudian hasil laut. 11 Uang ini merupakan modal bersama yang dipinjam dari pemilik modal di Tomia. Saat itu, bunga pinjaman antara 2-4 persen dari jumlah pinjama setiap bulan. Sekarang (tahun 2007), bunga uang sudah mencapi 5 persen setiap bulan.
9
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 Sampai tahun 1975, kopra merupakan komoditi andalan. Ketika berlayar tidak ada angin, kami memancing ikan. Tidak ada aktivitas lain. Kami hanya makan dan tidur. Para pelaut biasanya suka merokok. Dengan merokok, kondisi badan tidak mudah dingin dan tidak cepat ngantuk. “Saya berlayar, tidak disuruh orang lain. Karena itu, walaupun susah dan senang, saya tidak peduli”, WXWXSNDWD$OL1D¿ 4. La Banisa “Dengan berlayar ini, saya sudah keliling dunia”, demikian kata pembuka La Barisa, nakhoda dan pemilik perahu, saat pertama ditanya12 mengenai pengalaman berlayar, pada 17 Maret 2015. Sejak kecil dia sudah berlayar, sebagai koki, setelah tamat SD tahun 1980. Kini dia berusia 50 tahun. Sudah tiga tahun tidak berlayar lagi. “Sampai sekarang orang di sini berlayar. Sebab, kondisi lahan di sini tandus. Lebih banyak karang, sehingga susah untuk menanam di darat. Orang tua saya dulu juga pelaut”, kata La Banisa. Saya punya tiga perahu, dua sedang berlabuh yaitu Hasil Karya (80 ton) dan La Rato (60 ton), dan satu lagi masih di Flores, bernama Hijrah Islam (100 ton). Setiap perahu menggunakan mesin dan layar, dengan kekuatan 30 PK. Perahu pertama dan kedua menggunakan dua mesin. Perahu yang paling besar, Hijrah Islam, menggunakan tiga mesin. Semuanya pernah saya gunakan, sebagai juragan. Pada tahun 1996, saya ke Singapura. Muat garam dari NTT, sekitar 27 ton, dengan perahu Hasil Karya sebelum direhab (perbesar), bersama 6 ABK (Saiamu, La Juma, Harimuddin, Harun, Dihi, La Hawi). Berlayar selama satu minggu. Tiba di Jambi jual garam. Kemudian lanjut ke Kepulauan Riau muat kayu dan dibawa ke Singapura. Lama perjalanan, dari Riau ke Singapura, antara 3-4 jam. Ketika memasuki perbatasan, kami bernegosiasi dengan petugas pos di sana. Kami bayar kepada petugas, tapi 12 Dalam wawancara ini, saya ditemani oleh Pak La Rabu Mbaru, salah satu pengawas sekolah TK dan SD Kecamatan Binongko.
10
tidak menentu jumlahnya, kadang Rp 20.000. Ada 3-4 pos kami lewati. Kadang petugas pos tidak beroperasi, sehingga kami tidak bayar. Kami beli kayu Rp 1.000/batang. Setiap kali berlayar, kami muat 2.000 batang. Kayu dijual kepada orang China, dengan harga 1 dollar per potong. Setelah bongkar muatan, perahu tinggal di sana antara 2-3 hari, kemudian balik lagi ke Batam. Saya, sebagai juragan, sering dapat bonus dari tauke berupa uang. Jumlahnya tidak menentu. Kadang diberikan 50 dollar. Tahun ini saya tiga kali berlayar Singapura – Batam/Riau pulang pergi. Setelah dari Singapura, perahu istirahat di Batam selama 7-10 hari, sambil menunggu bos Indonesia untuk muat RB, dengan sistem vracht Rp 150.000/karung. Saat itu kami muat 350 karung, terdiri dari 200 karung milik tiga pengusaha Binongko (Ibrahim, Bakaria, dan Haji Karim) dan sisanya (150 karung) milik kami. Rombengan dibawa ke Bima, NTB. Berlayar selama 7 hari, dari Singapura ke Bima. Tiga pemilik RB juga ikut berlayar. Harga beli RB Rp 155.000/karung. Kemudian dijual Rp 550.000/ karung. Jadi, selisih harga atau untung (barang dari pemilik perahu) adalah 395.000/karung x 150 karung = Rp 59.250.000. Sedangkan sewa muatan 200 karung x 150.000/karung = Rp 30.000.000. Jadi, kami memperoleh pemasukan kotor Rp 89.250.000. Rombengan kami dibeli pedagang lokal (orang Bima). Tetapi, belum dibayar lunas. Masih tersisa sekitar Rp 10.000.000. Perahu di sini (Haka) umumnya muat kayu dari Malaoge (Buton) dan Maluku ke Flores. Perahu saya muat kayu di Malaogo, dengan sistem beli/dagang13 dan vracht (500.000/kubik). Harga beli kayu di Malaoge 1.500.000/kubik. Setelah dijual di Flores menjadi Rp 2.100.000/kubik. Dalam satu tahun antara 3 – 4 kali, paling mujur 5 kali berlayar. Mujur dalam arti cuaca dan hasil kayu. Cuaca di hutan, yakni jika hujan maka kayu sulit diturunkan. Sedangkan cuaca di laut, yakni saat angin dan gelombang besar sehingga tidak bisa berlayar. Kayu tersebut milik rakyat yang sudah dibeli atau kumpul pedagang lokal. Daerah itu 13 Menggunakan modal orang lain untuk berdagang. Biasanya para awak dan pemilik perahu yang memberikan modal usaha, kemudian bagi hasilnya.
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
termasuk wilayah trasmigrasi. Kami ambil kayu langsung dari bos (penadah kayu). Harga kayu ditetapkan, antara pembeli dan bos kayu, termasuk administrasi jual-beli kayu (DKO=Daftar Kayu Olahan),14 semua bersih Rp 1.500.000/kubik. Izin berlayar diurus oleh juragan, tetapi dibayar oleh bos kayu. Setelah kayu siap, pemilik kayu memberikan DKO kepada juragan, dan kapal siap berlayar. Kapal biasanya berangkat dari Haka bulan Mei sampai Desember. Bulan Mei bertepatan angin timur. Kalau barat, kadang teduh dan kadang juga kencang. Berlayar antara 2-3 hari sudah tiba di Flores. Baik sistem sewa maupun beli, sudah ada orang yang menangani administrasi pembelian kayu. Jadi, perahu tinggal muat saja, tanpa mengurus lagi di darat, kecuali kesepakatan dengan pihak yang menggunakan perahu jika menggunakan sistem vracht. Petugas darat mendapatkan sekitar Rp 50.000/kubik. Jadi, kita bagi-bagi rezeki. Ketika sedang wawancara, dia menerima telepon. Terdengar dia berkata kepada orang yang menelepon “bagaimana bosku ... mereka [awak dan perahu] mau balik dulu ke Binongko mau bawa makanan, baru dia berlayar lagi. Tidak terlalu lama di Binongko. Paling 2-3 hari. Besok, Insya Allah, mereka sudah berangkat dari Flores. Mereka belanja kelapa dulu untuk di sini”. Lebih lanjut dia mengatakan, kapal dari Flores kembali ke Binongko muat kelapa antara 100-200 buah. Kapal ke Flores muat kayu dan kembali ke Malaoge tanpa muatan. Jika kapal sudah mau pulang kampung, mereka muat kelapa dari Flores yang dibeli Rp 1.500/buah. Dalam satu kali pulang, perahu biasanya muat 1.000-2.000 kelapa, untuk kebutuhan ABK, pemilik perahu, dan warga yang pesan. Kelapa tidak dijual, melainkan dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti sekarang, saya pesan 100 buah. ABK juga beli sesuai kebutuhan. Jumlah ABK di Hijrah Islam ada 7 orang. Jadi, kalau setiap ABK beli 50 buah, maka ada 350 buah. Kemudian ditambah 100 buah milik saya. Jadi total 450 buah yang akan dibawa datang. Saya punya 6 anak. Anak pertama selesai 14
Data ini diterbitkan oleh Dinas Kehutanan setempat.
kuliah di STIKES Bau-Bau. Anak kedua menjadi polisi di Polres Bau-Bau. Anak ketiga kuliah semester 4 di Unidayan Bau-Bau. Anak keempat kelas 3 SMA, anak kelima kelas 1 SMA, dan terakhir kelas 3 SMP, semuanya di Popalia. Semua anak saya sekolah di Popalia, mulai dari anak pertama. Saya punya rumah kost di Bau-bau, dekat kampus Unidayan, sebanyak 12 kamar. Sewa kamar setiap bulan Rp 350.000/orang, Rp 450.000/2 orang, dan Rp 500.000/3 orang. Hasil sewa itu hanya untuk kebutuhan makan anak saya di sana, sedangkan biaya bulanan lainnya saya kirim dari hasil pelayaran. Saya punya harga kayu di Flores sekitar Rp 200.000.000 belum dibayar oleh pembeli. Pembeli kayu kebanyakan orang Bugis dan sedikit orang China. Kalau orang China bagus, langsung bayar. Tetapi, kalau orang Bugis parah, sering menunggak. Kita tidak punya alternatif, karena mayoritas pedagang kayu adalah orang Bugis. Tetapi, saya santai saja. Prinsip saya, “ada uang mencari dan tidak ada uang juga tetap mencari”. Tidak perlu ambil pusing. Saya pernah bertengkar dengan seorang Pak Haji di sana. Sudah 3 bulan juragan kapal saya tunggu harga kayu dan hanya diberikan Rp 1.000.000. Saya bilang dia, lebih baik masuk Kristen saja. Untuk daerah Kupang sekitar 90 % adalah (pedagang) orang Bugis. Mereka sudah menjadi pejabat besar di sana. Jadi, kalau kita lapor ke polisi tidak ada gunanya, karena mereka juga polisi. Santai saja, tidak perlu ambil pusing, karena kalau terus dipikir bisa stres nanti. Terakhir, ketika ditanyakan kapan lahir, dia menjawab tahun 1965. Waktu itu bertepatan ayah saya ditangkap di Malaysia. Pada saat berangkat, ibu saya sedang hamil. Ayah saya ditahan selama satu tahun lebih. Setelah kembali, saya sudah lahir dan bisa merangkak. Banyak orang yang ditahan di Malaysia waktu itu. Menyatukan Indonesia Empat kisah pelaut Buton di atas mengandung banyak pesan dan makna dalam kaitan dengan pengenalan wilayah, penduduk, dan komoditi, yang semuanya menjadi faktor pendukung keberlangsungan tradisi maritim.
11
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 Tidak dapat diragukan lagi, mereka adalah para aktor yang menyatukan Indonesia, yang VHFDUDJHRJUD¿VDQWDUDVDWXSXODXGHQJDQSXODX lainnya terpisah yang semuanya dibatasi oleh laut. Mengikuti pemikiran Fernand Braudel (1972:276), bahwa laut selain menyediakan kesatuan (unity), transportasi, sarana pertukaran, dan perhubungan, laut juga menjadi pemisah besar (great devider). Setiap daerah yang memiliki perbedaan terhubung di laut, tetapi bukan oleh air laut, melainkan orang-orang yang bergiat di laut, sebagai pelaut dan pedagang. Melalui kegiatan pelayaran, terjadi proses interaksi komunitas lintas budaya sehingga melahirkan, dalam bahasa Taufik Abdullah, “interpenetrasi kebudayaan”. Berbagai corak kebudayaan, dengan sekian ragam bentuk dan intensitasnya, telah pernah dialami dan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Dialog antara wilayah dan etnisitas yang kini telah dianggap dan dirasakan sebagai bagian dari kenyataan yang telah dikonseptualisasikan sebagai bagian dari kesadaran satu bangsa dan satu tanah air (Abdullah, 2015:37-38). Hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya kawasan pesisir dan pelabuhan, pernah dijama oleh para pelaut. Bagi mereka, Indonesia bukan sebuah ruang kehidupan yang dibayangkan, seperti kata Benedict Anderson (2002:8-11), PHODLQNDQUXDQJJHRJUD¿GDQVRVLRNXOWXUDO\DQJ secara nyata dilihat dan dialami. Semua tempat yang pernah didatangi, dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan, masih diingat dan mudah mereka sebutkan. Berbagai kisah pengalaman menarik, susah dan senang, telah menyatu dalam ingatan mereka sebagai ‘dokumen’ sejarah yang hidup. Meskipun demikian, dari segi waktu, kadang mereka sulit memastikan waktu mereka mendatangi suatu tempat. Tetapi, mereka tahu betul dengan siapa berkomunikasi. Pengenalan berbagai kelompok suku EDQJVDWLGDNKDQ\DVHFDUD¿VLNWHWDSLMXJDVHFDUD kultural. Tanpa adanya pemahaman komunikasi lintas budaya akan sulit bagi mereka menjalin hubungan niaga dengan berbagai penduduk lokal di Indonesia, tempat mereka mencari muatan dan menjual barang. Beruntung ada bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pemersatu bagi 12
semua suku bangsa di Indonesia. Bahasa yang digunakan dalam perdagangan di Singapura, Malaysia, dan Filipina, adalah bahasa Melayu, sehingga dapat dipahami oleh pelaut Buton, meskipun dari segi pengucapan dan sebagian kata agak berbeda dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian, sosialisasi dan penggunaan bahasa Indonesia makin diperkuat dalam tradisi maritim. Sebaran komoditi yang beragam di tempat yang berbeda memungkinkan terjadi perdagangan antarpulau. Perahu-perahu Buton, dengan kekuatan tenaga angin, mengarungi lautan Indonesia, memanfaatkan angin musim dan bintang-bintang di langit sebagai penunjuk arah. Pelayaran memanfaatkan angin musim menghasilkan pola kegiatan musiman sepanjang tahun. Angin barat (Desember-Maret) dimanfaatkan berlayar ke kawasan timur untuk mencari muatan, kemudian dibawa ke kawasan barat ketika musim timur (April-Desember). Tetapi, meskipun demikian, wilayah pelayaran tidak terpola dalam satu poros maritim utama timur – barat, sebab kegiatan serupa juga terjadi pada poros maritim utara – selatan. Pola tersebut tidak sepenuhnya dibentuk oleh angin musim, meskipun tidak dapat dipungkiri lebih banyak memengaruhinya, karena para pelaut dapat berlayar tidak searah angin, bergantung pada wilayah dan komoditi yang dituju. Teknik berlayar ini disebut opal atau zig-zag (menggergaji). Sedangkan, pelayaran searah angin disebut bangun turu (Hamid, 2011:50). Kedua teknik berlayar tersebut digunakan sesuai keadaan angin musim dan kepentingan pelaut. Dengan demikian, kondisi angin yang telah terpola secara musim tidak membatasi ruang gerak aktivitas pelaut, bahkan melahirkan daya kreasi baru berupa teknik berlayar opal. Meskipun demikian, dari segi frekuensinya, teknik berlayar bangun turu lebih banyak digunakan daripada teknik opal. Teknik opal menggunakan lebih banyak waktu dibandingkan teknik bangun turu. Karena itu, bagi sebagian pelaut, teknik opal dipandang kurang efektif, kecuali pada kondisi tertentu di mana pelaut harus berlayar menyongsong angin. Pelayaran dan perdagangan merupakan kegiatan utama penduduk Wakatobi, seperti
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
dikatakan oleh empat pelaut di atas. Kondisi lahan yang sebagian besar adalah karang, tidak memungkinkan bagi mereka menggantungan kebutuhan hidup pada hasil bumi di darat. Pada kondisi ini, keadaan alam menjadi sumber lahirnya daya kreasi dan adaptasi bagi penduduk, dengan menjalankan proses pelaut dan pedagang. Bagi mereka, laut merupakan tempat mencari nafkah, sedangkan darat merupakan tempat tinggal. Tak heran, sebagian besar waktu mereka berada di seberang lautan, berlayar dan berdagang keliling Indonesia (Hamid, 2011:28-34). Hasil pelayaran, selain memenuhi kebutuhan jasmani, juga kebutuhan rohani. Seperti dikatakan +DML0XKDPPDG$OL1D¿EDKZDXPXPQ\DRUDQJ yang menunaikan ibadah haji di Usuku Tomia bersumber dari hasil pelayaran. Tentunya, perlu dikaji lebih jauh, hubungan antara tradisi maritim dan perkembangan kesadaran keagamaan para SHODXW 'DODP NDVXV$OL 1D¿ PLVDOQ\D VHWHODK menunaikan ibadah haji, dia tidak lagi berlayar, mengapa? Apakah berhaji merupakan tujuan akhir dari usahanya? Ataukah setelah berhaji, dia harus lebih banyak waktu untuk beribadah, karena bertambahnya kesadaran keagamaan? Terlepas dari itu, dia adalah salah satu pemilik perahu di Usuku, meskipun sudah tidak lagi berlayar. Dengan kata lain, dia pun masih hidup, antara lain, dari hasil pelayaran. Ruang kegiatan mereka, seperti dikisahkan oleh empat pelaut ini, juga menjangkau wilayah di luar Indonesia. Paling utama adalah Singapura, kemudian Malaysia, Filipina, dan Timor Deli (dahulu masih wilayah NTT). Hasil bumi utama yang dimuat oleh perahu adalah kopra dari Maluku. Di Singapura dan Malaysia, komiditi ini diposisikan sangat istimewa. Untuk mendapatkan kopra, para tauke di sana berani menanggung kebutuhan para pelaut yang datang membawa kopra baginya. Berbagai fasilitas dan kemudahan diberikan kepada perahu. Bagi dia, yang paling penting adalah kesempatan mendapatkan kopra pada kedatangan perahu berikutnya (Hamid, 2011). Semua pelaut Buton, termasuk empat pelaut ini, memiliki pengalaman berlayar dan berdagang dengan tauke di Singapura. Karena itu, pengalaman hidup mereka di negara “ciptaan”
,QJJULV7KRPDV6WDQIRUG5DIÀHVV LWXPHQMDGL kisah paling istimewa bagi mereka yang pernah ke sana. Betapa tidak, Singapura sejak abad ke-19 sampai abad ini, merupakan emporium di Asia Tenggara. Setelah sampai di Singapura, bagi para pelaut, mereka dengan bangga mengatakan bahwa “saya sudah keliling dunia”. Memang, secara nyata mereka tidak berkeliling ke seluruh dunia. Tetapi, Singapura menjadi tempat berbagai bangsa di dunia datang berdagang. Di antara para pedagang yang mencari peruntungan itu adalah pelaut Buton. Dengan demikian, kegiatan maritim, bagi pelaut Buton telah menjadikan mereka sebagai bagian dari “warga dunia”. Mereka tidak KDQ\DWDKXZDUJDGXQLDVHFDUD¿VLNWHWDSLMXJD cara berinteraksi dengan mereka, khususnya yang terlibat langsung dalam perdagangan maritim. Orang China, yang lebih dikenal sebagai tauke, merupakan penadah muatan perahu Buton yang utama di Singapura, Malaysia, Filipina, juga di Indonesia. PENUTUP Sejauh ini, sejarah masyarakat bahari dilihat dari “sudut pandang atas” sehingga kerap tidak terlihat jelas, apalagi dirasakan, dalam horizon KLVWRULRJUD¿,QGRQHVLD0HUHNDFHQGHUXQJGLOLKDW sebagai pelengkap dari narasi sejarah formal (yang menggunakan dokumen), dengan perlakuan pasif. Akibatnya, kita tidak banyak mengetahui dunia mereka, apa yang telah terjadi? Bagaimana mereka memandang kehidupannya? Bagaimana bertahan? dan lebih penting lagi, mengapa mereka tetap memilih menjadi pelayar dan pedagang di seberang lautan, ketika kebanyakan kelompok sosial mencari peruntungan hidup di darat, sebagai petani atau profesi lainnya. Realitas kehidupan mereka menunjukkan bahwa laut menjadi tempat mencari nafkah, dan daratan adalah tempat tinggal, mengindikasikan bahwa sejarah mereka adalah sejarah bahari. 3UREOHPDWLNDKLVWRULRJUD¿LQLGDSDWGLDWDVL dengan menggunakan sumber dan metodologi sejarah lisan. Hal ini bertolak dari realitas bahwa pengalaman mereka direkam dalam bentuk ingatan, dengan masa aktif seumur hidup. Ingatan tersebut harus segera ditulis (baca: sejarah) agar
13
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 1—15 masa lalu, sebagai bangsa bahari, tidak tergerus zaman. Bagaimana pun, mereka adalah “duta” negara maritim Indonesia, yang tidak lagi meninggalkan jejak tulisan. Jika penulisan sejarah selalu merujuk pada perspektif “no document, no history”, yang deklarasikan Leopold von Ranke sejak abad ke-19 di Jerman dan mempengaruhi banyak sejarawan di dunia, maka mereka tidak akan pernah punya sejarah. Padahal, sejarah adalah semua tentang masa lalu yang memiliki jejak, baik tulisan dan benda maupun lisan. Dengan demikian, sejarah lisan sebagai alternatif untuk mengembalikan “hak” mereka dalam ruang KLVWRULRJUD¿GDODPEDKDVD$QGUHZ31RUPDQ menurut apa yang mereka katakan (on their own terms). Sejarah lisan memungkinkan pengalaman masyarakat bahari didengar secara langsung. Dengan berbagai pertanyaan yang diajukan, mereka dapat mengingat kembali masa lalunya, yang tidak terekam dalam dokumen. Suara masa lalu itu menjadi sumber bagi sejarawan menulis sejarah. Tanpa menggunakan sejarah lisan, sejarah masyarakat biasa (ordinary people) yang kebanyakan seperti ini tidak akan memiliki sejarah, dalam arti sebagai pelaku aktif, bukan pasif seperti dalam sejarah formal. Dengan demikian, sejaran lisan menawarkan suatu perspektif sejarah yang lebih manusiawi bagi sejarah masyarakat bahari. DAFTAR PUSTAKA $EGXOODK7DX¿NSejarah dan Nasionalisme. Bandung: Satya Historika. $EGXOODK7DX¿N³'LQDPLND.HEXGD\DDQ Otentisitas dan Saling Penetrasi dalam Lintasan Sejarah” dalam Sahrul Maududi (ed). Penyerbukan Silang Antarbudaya: Membangun Manusia Indonesia. Jakarta: Alex Media Komputindo. Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar. Braudel, Fernand. 1972. The Meditteranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. Vol. 1. London: Fontana/Collins Press. Carr, E.H. 2014. Apa itu Sejarah. Jakarta: Komunitas Bambu.
14
Conway, Martin A. 2000. “Memory” dalam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmuilmu Sosial Jilid 2-DNDUWD5DMD*UD¿QGR Persada. Freund, Alexander. 2014. Oral History and Ethnic History. Ottawa: Canadian Historical Assosiation & Departement of Canadian Herritage, Goverment of Canada. Booklet No.31. Hamid, Abd. Rahman. 2011. Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Hali La Wutu. Wawancara di Wangi-wangi, 26 Mei 2010. +DML0XKDPPDG$OL1D¿Wawancara di Usuko Tomia, 15 Mei 2007. Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. La Banisa. Wawancara di Haka Binongko, 17 Maret 2015. La Jaimu. Wawancara di Ambeua Kaledupan, 12 & 13 Mei 2007. Langlois, Ch.V & Ch.Seignobos, 1966. Introduction to the Study of History. New York – Barnes & Noble Inc and Frank Cass & Co.Ltd London. Lewis, Bernard. 2009. Sejarah: Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-Ciptakan. Yogyakarta: Ombak. Morrison, James H. 2000. “A Global Persective of Oral History in Southeast Asia” dalam P. Lim Pui Huen dkk (eds). Oral History in Southeast Asia. Singapore: National Archives of Singapore & Institute of Southeast Asian Studies. (hlm.1-16). Norman, Andrew P. 1998. “Telling It Like Was: Historical Narratives On Their Own Terms” dalam Brian Fay dkk (eds). History and Theory: Comparative Readings. Massachusetts: Blackwell. 1RRUGX\Q - ³$VDO 0XOD +LVWRULRJUD¿ di Sulawesi Selatan” dalam Soejatmoko dkk (ed). +LVWRULRJUD¿ ,QGRQHVLD 6HEXDK Pengantar. Jakarta: Gramedia. Perks, Robert & Alistair Thomson (ed). 1998. The Oral History Reader: . London & New
Pengalaman, Ingatan, dan Sejarah: ... Abd. Rahman Hamid
York: Routledge. Poelinggomang, Edward L. 2010. “Akar Demokrasi di Sulawesi Selatan” dalam Lensa Budaya. Vol.5 No.2, Agustus 2010. Purwanto, Bambang. 2006. *DJDOQ\D+LVWRULRJUD¿ Indonesia Sentris?Yogyakarta: Ombak. Thompson, James Westfall & Bernard J. Holm, 1958. A History of Historical Writing (Volume II: the Eighteenth and Nineteenth Centuries). New York: The Macmillan Company.
Thompson, Paul. 2012. Suara dari Masa Lalu: Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Ombak. Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Jakarta: Komunitas Bambu. Yow, Valerie Releigh. 2005. Recording Oral History: A Guide for the Humanities and Social Sciences. Oxford: Altamira Press.
15