Pengadilan Pajak Berintegritas Naskah Akademik Rancangan UndangUndang tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 2. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak untuk melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 3. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii
Pengadilan Pajak Berintegritas Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Tim Penyusun Masyarakat Transparansi Indonesia
iii
Pengadilan Pajak Berintegritas Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ©2010 Masyarakat Transparansi Indonesia Tim Penyusun Jamil Mubarok Ahmad Fawaiq Suwanan Eflin Pehulita Sinulingga Ilham Yulhamzah Arif Tim Ahli Eryanto Nugroho, S.H., LL.M. Dr. Haula Rosdiana, M.Si. Wibowo Mukti, S.E., M.M. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh: Masyarakat Transparansi Indonesia Jakarta 2010 1 + 114 hlm; 14,5 x 21 cm ISBN: Cetakan Pertama: Desember 2010 Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau Seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit Dicetak oleh percetakan Dharma Karsa Utama, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
iv
Kata Pengantar
Reformasi birokrasi dan reformasi hukum harus sejalan karena birokrasi dan hukum merupakan elemen esensial dari penyelenggaran institusi yang baik. Tentunya, penyelenggaraan institusi tersebut harus sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik (good governance). Hal ini berlaku bagi institusi peradilan di Indonesia karena pengadilan merupakan muara akhir bagi masyarakat dalam pencarian keadilan sejati. Sebagai Badan Publik, pengadilan tidak hanya menyelenggarakan pelayanan publik secara administratif melainkan juga memutuskan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Hal inilah yang menjadikan Pengadilan Pajak, pengadilan khusus yang berwenang untuk memutus sengketa perpajakan.
Namun, Pengadilan Pajak seringkali menjadi lokus penyalahgunaan wewenang, rent-seeking dan kebijakan elitis yang hanya menguntungkan segelintir orang, Harapan dan realita semangat pembaharuan hukum di Indonesia mengerucut pada apatisme publik terhadap lembaga hukum dan aparat penegak hukum. Reformasi v
di bidang perpajakan yang telah bergulir sejak 2005 ternyata belum dapat dikatakan berhasil jika melihat serangkaian masalah seperti korupsi, praktik rente, dan mafia peradilan pajak. Apabila reformasi yang sudah dimulai ini tidak segera dikawal dengan baik sesuai dengan cetak biru yang telah dibuat, maka besar kemungkinan reformasi hanya sebuah ruang hampa tanpa adanya energi yang menggerakkan partikel-partikel ke tujuan dan sasaran yang jelas. Meningkatnya tuntutan masyarakat pengeleolaan
akan
pelayanan
pajak,
serta
lebih dinamika
baik
dalam
lingkungan
masyarakat dan bisnis yang semakin cepat menjadi alasan reformasi Pengadilan Pajak. Hal ini menjadi substantif dan krusial untuk mendorong terciptanya reformasi birokrasi pada praktik tata kelola yang baik pengelolaan pajak di Indonesia, serta untuk mewujudkan penataan sistem peradilan Indonesia yang terpadu.
Penyusunan naskah akademik ini merupakan perogram kerja sama Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan National Legal Reform Program (NLRP), yang merupakan tahap kedua dari rangkatian penelitian vi
bertemakan
“Reformasi
Perpajakan:
Mewujudkan
Pengadilan Pajak yang Berintegritas.” Adapun untuk tahap pertama, judul penelitian yang diangkat adalah “Pemetaan Masalah Pengadilan Pajak di Indonesia: Apek Regulasi, Organisasi, Sumber Daya Manusia, dan Pengawasan,” yang telah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul
“Pemetaan
Masalah
Pengadilan
Pajak.”
Sedangkan untuk tahap kedua adalah “Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.” Program penyusunan naskah akademik ini berangkat dari hasil penelitian pertama MTI terhadap empat aspek Pengadilan Pajak, yang bertujuan untuk menyempurnakan UU No. 14 Tahun 2002 agar relevan dengan hukum positif dan prinsip-prinsip umum, serta penyelenggaraan pemerintah yang efektif dan efisien.
Buku
ini
berhasil
mengidentifikasi
beberapa
permasalahan terkait UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Tidak relevannya undang-undang tersebut dengan hukum positif dan prinsip-prinsip umum vii
menyebabkan undang-undang tersebut harus diubah dan disesuaikan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang tidak hanya menyentuh Pengadilan Pajak melainkan juga tahap pemeriksaan pajak di Direktorat Jenderal Pajak, penyusunan
naskah
akademik
ini
berfokus
pada
pembaharuan institusi dan fungsi Pengadilan Pajak malalui perubahan UU No. 14 Tahun 2002. Sebelum dilakukan
penyusunan
naskah
akademik
ini,
tim
penyusun MTI menyelenggarakan perumusan dengan melibatkan para tim ahli dan pihak-pihak terkait dalam diskusi-diskusi
kelompok
terbatas
(focus
group
discussion). Dari penelitian ini, kami mengidentifikasi beberapa permasalahan dari Pengadilan Pajak, terutama yang berhubungan dengan UU No. 14 Tahun 2002. Permasalahan tersebut antara lain terkait aspek status dan kedudukan Pengadilan Pajak, rekrutmen hakim, hukum acara Pengadilan Pajak, aspek pengawasan internal dan eksternal, aspek susunan organisasi Pengadilan Pajak, serta prinsip transparansi atau keterbukaan informasi publik.
viii
Selesainya perumusan dan terbitnya buku ini tidak terlepas dari partisipasi, dukungan dan kerja sama dari pihak-pihak lain. Dengan demikian, dalam kesempatan ini kami, Masyarakat Transparansi Indonesia, bermaksud mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini, antara lain: Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, Tim Pembaharuan Mahkamah Agung, Komisi Pengawas Perpajakan, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), serta rekan-rekan organisasi masyarakat sipil, antara lain: Center for Legislative Empowerment and Reform (CLEAR), Indonesian Legal Roundtable (ILR), Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), LeIP, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI-UI). Ucapan terima kasih kami haturkan kepada rekan-rekan FISIPUniversitas Indonesia, FISIP-Universitas Hasanudin, dan Universitas Airlangga berkat bantuan dan partisipasinya dalam penyelenggaraan uji publik naskah akademik ini di Depok (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), dan ix
Surabaya (Jawa Timur). Semoga bersama-sama kita dapat mengawal dan mewujudkan Pengadilan Pajak yang berintegritas untuk Indonesia yang lebih baik.
Jakarta, 20 Desember 2010
Dr. Hamid Chalid, S.H, LL.M Ketua Badan Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………….…. i KATA PENGANTAR ……….……………………….. v DAFTAR ISI …………………………..…………..… xi RINGKASAN EKSEKUTIF ……………………….. xiv
BAB I PENDAHUULUAN …………………………….
1
A.
Latar Belakang …………………………
1
B.
Identifikasi Masalah ………………..….
5
C.
Tujuan…………………………………...
8
D.
Metodologi Perumusan ……………........
10
E.
Sistematika Penulisan Naskah Akademik.
13
BAB II LANDASAN DAN ASAS PENYEMPURNAAN... 15 A.
Landasan Penyempurnaan ……………..
15
1.
Landasan Filosofis ………………..……... 15
2.
Landasan Yuridis ………………..………
18
3.
Landasan Sosiologis ……………….…….
22
B.
Asas-Asas Penyusunan Norma …..……..
27 xi
1.
Asas Kepastian Hukum ……...………….
27
2.
Asas Efisiensi dan Efektivitas ………...
30
3.
Asas Keterbukaan ……………………..
33
BAB III MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF …………….…… A.
39
Materi Muatan Rancangan UndangUndang………………………………….
39
1.
Status dan Kedudukan Pengadilan Pajak
39
2.
Pengadilan Khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara …………………………..
3.
43
Tempat dan Kedudukan Pengadilan Pajak…………………………………….
44
4.
Hakim …………………………...………
46
5.
Hukum Acara Pengadilan Pajak ………
49
6.
Susunan Pengadilan Pajak ………..…….
52
7.
Pengawasan Internal dan Eksternal …....
53
8.
Keterbukaan Informasi Pengadilan……..
55
B.
Keterkaitan dengan Hukum Positif …….
57
xii
BAB IV PENUTUP ……………………………..………… 59 A.
Kesimpulan ……………………………...
59
B.
Saran …………………………………….
65
LAMPIRAN Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor
14
Tahun
2002
tentang
Pengadilan Pajak
PROFIL
MASYARAKAT
TRANSPARANSI
INDONESIA
xiii
Ringkasan Eksekutif
Berdasarkan hasil penelitian Masyarakat Transparansi Indonesia “Pemetaaan Masalah Pengadilan Pajak,” ditemukan
beberapa
permasalahan
terkait
institusi
Pengadilan Pajak. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: aspek regulasi, aspek organisasi, aspek sumber daya manusia, dan aspek pengawasan. Satu fakta pada Pengadilan Pajak yang harus segera dibenahi adalah status dan kedudukan Pesngadilan Pajak. Pada UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak merupakan institusi di bawah “dua atap,” dimana pembinaan teknis peradilan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi
dan
keuangan
Kementerian
Keuangan.
diselenggarakan
Sebagai
sebuah
oleh
institusi
peradilan yang seharusnya independen dan tidak memihak, Pengadilan Pajak “dua atap” menyiratkan ketidakmandirian dan bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) atau Trias Politica.
xiv
Salah satu jalan untuk mereformasi Pengadilan Pajak adalah dengan menyempurnakan UU No.14 Tahun 2002 yang di dalamnya masih terdapat beberapa hal yang problematik. Pengadilan
Hal Pajak
utamanya “satu
adalah
atap,”
pewujudan
dipisahkan
dari
Kementerian Keuangan dan menjadi badan peradilan yang independen dan berada di bawah Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. Hal-hal lain dalam UU No. 14 Tahun 2002 yang perlu diatur perubahannya antara lain aspek status dan kedudukan PengadilanPajak, hakim, hukum acara, pengawasan,
organisasi,
serta
transparansi
dan
akuntabilitas. Dengan demikian, tim peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) menyusun sebuah kajian “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.”
Kajian
naskah
akademik
ini
dihasilkan
melalui
serangkaian kegiatan penelitian, seperti working group meeting dengan tim ahli, focus group discussion dengan berbagai kalangan, baik pemerintahan maupun organisasi xv
masyarakat
sipil,
serta
tinjauan
literatur.
Dari
serangkaian kegiatan penelitian tersebut tim MTI menemukan
beberapa
masalah
terkait
isi
dari
penyempurnaan UU No. 14 Tahun 2002. Permasalahan dalam status dan kedudukan Pengadilan Pajak meliputi dualisme Pengadilan Pajak yang berada di bawah dua atap
dan
bertentangan
dengan
penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada aspek hakim, kedudukan Pengadilan Pajak berdampak pada berpotensinya hakim pajak yang tidak akan independen. Aspek hukum acara di dalam Pengadilan Pajak dinilai memakan waktu yang lama yang berakibat pada ketidakpastian dan kejelasan tata penyelesaian hukum, serta upaya hukum yang tidak menyesuaikan dengan kuantitas hakim dan sumber daya manusia pendukung lainnya. Sementara itu permasalahan aspek pengawasan terletak pada tumpang tindihnya mekanisme pengawasan antara Kementerian Keuangan, MahkamahAgung, dan Komsi Yudisial berpotensi menimbulkan penolakan pengawasan dari instansiinstansi
tersebut
atas
dasar
kewenangan
instansi
pengawasan. Adapun permasalahan dari aspek organisasi xvi
adalah pembinaan organisasi terkait pembinaan teknis administrasi,
keuangan,
dan
kepegawaian
diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan yang berpengaruh pada kemandirian peradilan. Sedangkan terkahir, aspek transparansi dan akuntabilitas, ditekankan pada pembukaan informasi sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Surat Keputusan Ketua Mahkmah Agung Nomor 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Inforasi Pengadilan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pemetaan masalah oleh tim peneliti dan tim ahli, MTI bekerjasama dengan National Legal Reform Program mencoba menyusun sebuah
naskah
akademik
yang
bertujuan
untuk
menyempurnakan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selanjutnya, penyusunan naskah akademik
ini
semoga
menjadi
jalan
untuk
memperbaharui Pengadilan Pajak dan institusi-institusi perpajakan
lainnya,
serta
mewujudkan
reformasi
birokrasi yang menyeluruh pada akhirnya.
xvii
Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi birokrasi merupakan tonggak mendasar dari pembenahan kinerja dan fungsi aparatur negara dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Birokrasi atau bureaucracy dalam model Weberian merujuk pada bentuk organisasi masyarakat modern dengan beberapa karakteristik, antara lain: kesatuan perintah, garis hirarki yang jelas, pembagian kerja (division of labour) dan spesialisasi, record keeping, dan merit system dalam rekrutmen dan promosi, serta aturan dan regulasi untuk mengarahkan kinerja relasi dan organisasi (Weber, 1947). Reformasi birokrasi bertujuan untuk
mencegah
terjadinya
“birokratisme”
(bureaucratism), fenomena dimana birokrat-birokrat terlibat dalam penyelewengan kekuasaan jabatan (abuse of power) dan merendahkan perilaku konstruktif dalam pemerintah maupun masyarakat (Farazmand, 1989).
1
Pendahuluan
Satu institusi penting yang dinilai perlu masuk dalam agenda
reformasi
birokrasi
di
Indonesia
adalah
Pengadilan Pajak. Hal ini karena peran penting institusi tersebut sebagai satu mekanisme untuk memperoleh keadilan
atas
sengketa
pajak.
Berdasarkan
hasil
penelitian tim Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) “Pemetaan Masalah Pengadilan Pajak,” teridentifikasi permasalahan dari Pengadilan Pajak yang mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: aspek regulasi, organisasi, sumber daya manusia, dan pengawasan. Pemetaan masalah tersebut menyediakan tinjauan dan analisis menyeluruh tentang penyelenggaraan peradilan perpajakan secara umum di Pengadilan Pajak dan institusi terkait seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan.
Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga
perlu
ketidakberpihakan
adanya dalam
kemandirian
memutus
suatu
dan perkara.
Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak independen. Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan 2
Pendahuluan
teknisnya berada di bawah Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan.
Pengadilan Pajak “dua atap” berimplikasi pada kinerja Pengadilan Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi “satu atap” dan mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen,
dimana
pembinaan
teknis
peradilan
sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi tanggung
jawab
Mahkamah
Agung.
Konstruksi
Pengadilan Pajak sebagai “satu atap” merujuk pada sebuah perancangan tersendiri Pengadilan Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan khusus.
Selanjutnya,
Pengadilan
Pajak
menjadi
lembaga
peradilan yang mandiri juga seharusnya menerapkan 3
Pendahuluan
prinsip
sederhana,
cepat,
dan
berbiaya
ringan.
Penyelesaian sengketa pajak dilakukan berdasarkan asas efisiensi dan efektivitas dan dapat dijangkau oleh masyarakat, tetapi tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, tidak seharusnya wajib pajak menanggung biaya
berperkara
seperti
biaya
material,
biaya
transportasi dan biaya psikologis dengan keberadaan Pengadilan Pajak satu-satunya di Jakarta, terlebih dengan memperhatikan kondisi geografis dan infrastruktur di Indonesia. Prinsip sederhana, cepat, dan berbiaya ringan juga seharusnya merujuk pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) karena beberapa ketentuan dalam UU No. 14 Tahun 2002 sudah tidak relevan lagi dengan UU KUP dan dinilai memberatkan wajib pajak dan menyalahi doktrin ultra petita.
Akhirnya, berdasarkan uraian-uraian di atas, kami tim peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) melakukan sebuah penelitian terkini, sebagai kelanjutan dari rangkaian penelitian sebelumnya, dalam rangka 4
Pendahuluan
menyusun
sebuah
naskah
akademik
untuk
menyempurnakan UU No. 14 Tahun 2002 yang dinilai tidak relevan lagi dengan konstruksi hukum positif dan beberapa prinsip umum. Penyusunan naskah akademik ini juga merupakan sebuah usaha keras dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) atas komitmen kami menggalakkan reformasi birokrasi pada umumnya dan penataan sistem peradilan yang terpadu pada khususnya.
B. Identifikasi Masalah
Status dan Kedudukan Pengadilan Pajak Dualisme Kedudukan Pengadilan Pajak yang berada di dua atap dan independensi peradilan yang tidak terjaga bertentangan
dengan
penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim Kedudukan
Pengadilan
Pajak
berdampak
pada
berpotensinya hakim pajak yang tidak independen. Termasuk akibat dari pola rekrutmen yang ditentukan 5
Pendahuluan
oleh Kementerian Keuangan, mengakibatkan conflict of interest pada penyelesaian sengketa perpajakan karena pihak tergugat tiada lain adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah kekuasaan Kementerian Keuangan. Serta, Kebutuhan hakim ad hoc sebagai penyeimbang dalam problem solving sebuah perkara sengketa perpajakan berpengaruh pada kualitas putusan.
Hukum Acara Hukum acara yang memakan waktu lama berakibat pada ketidakpastian dan kejelasan tata penyelesaian hukum. Serta, upaya hukum yang tidak menyesuaikan dengan kuantitas hakim dan sumber daya manusia pendukung lainnya di setiap tingkatan pengadilan.
Pengawasan Peran
pengawasan
yang
tumpang
tindih
antara
Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial,
berpotensi
menimbulkan
penolakan
pengawasan pada setiap instansi yang akan mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan.
6
Pendahuluan
Organisasi Pembinaan
organisasi
administrasi,
keuangan
diselenggarakan
oleh
terkait
pembinaan
teknis
dan
kepegawaian
yang
Kementerian
Keuangan
berpengaruh pada kemandirian peradilan. Susunan organisasi
Pengadilan
Pajak
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan dan pelayanan prima sebuah pengadilan, terutama ketika mempertimbangkan kekhususan dari aspek perpajakan.
Transparansi dan Akuntabilitas Tertutupnya informasi Pengadilan Pajak dengan dalih rahasia jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang bersengketa bertentangan dengan UndangUndang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan. Akibatnya, putusan perkara tidak ada pertanggungjawaban dan tidak akuntabel.
7
Pendahuluan
C. Tujuan
Naskah akademik ini memiliki tujuan besar untuk “Mewujudkan Pengadilan Pajak yang Berintegritas”, dengan uraiannya sebagai berikut:
Status dan Kedudukan Pengadilan Pajak Mendapatkan
rumusan
Pengadilan
Pajak
yang
independen, berada di wilayah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Rumusan ini sesuai dengan doktrin Trias Politica
sehingga
dapat
memisahkan
kekuasaan
eksekutif, yudikatif dan legislatif. Membuat format Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara seutuhnya.
Hakim Mendapatkan rumusan hakim yang independen tanpa adanya pengaruh kekuasaan manapun. Mendapatkan rumusan pembenahan pola rekrutmen hakim karier dan hakim ad hoc yang diselenggarakan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung, serta keterlibatan Kementerian
8
Pendahuluan
Keuangan yang sifatnya konsultatif, diminta dan membantu.
Hukum Acara Mendapatkan rumusan hukum acara yang sederahana, cepat
dan
berbiaya
murah.
Membuat
rumusan
penyesuaian kuantitas hakim dan sumber daya manusia pendukungnya dalam batasan upaya hukum terakhir dan final.
Pengawasan Memperoleh rumusan pengawasan internal dan eksternal yang mengacu pada Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya.
Organisasi Mendapatkan rumusan pembinaan teknis administrasi, keuangan dan kepegawaian di bawah Mahkamah Agung. Membangun rumusan susunan organisasi Pengadilan Pajak yang sesuai dengan kebutuhan dan pelayanan 9
Pendahuluan
prima pengadilan, yang berada di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, di dalamnya memuat struktur kepaniteraan Pengadilan Pajak.
Transparansi dan Akuntabilitas Mendapatkan rumusan penyajian keterbukaan informasi pengadilan yang sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan SK KMA No. 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
D. Metodologi Perumusan
Perumusan naskah akademik ini diramu dari hasil penelitian terdahulu dengan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam mengupas pembahasannya, naskah akademik ini menerapkan 10
pendekatan
kualitatif,
yaitu
metode
Pendahuluan
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode alamiah (Maleong, 2007).
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memetakan suatu objek secara relatif. Penelitian eksploratif berusaha untuk membuka
suatu
masalah
penelitian
sebelum
ditindaklanjuti dengan pengkajian yang lebih mendalam (Irawan 2006).
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur (buku, peraturan perundang-undangan, website dan dokumen lainnya), diskusi kelompok terarah (focus 11
Pendahuluan
group discussion), diskusi publik, wawancara, dan konsultasi ahli tentang evaluasi sistem di Pengadilan Pajak, status dan kedudukan, hakim, hukum acara, pengawasan,
organisasi,
dan
transparansi
dan
akuntabilitas. Untuk memperkuat strategi kebijakan, dilakukan
juga
kajian
penelitian
terdahulu,
serta
penelusuran dokumen terkait evaluasi Pengadilan Pajak.
4. Informasi Penelitian
Pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling, maksudnya peneliti memilih secara sengaja karena sampel tersebut dianggap memiliki ciri-ciri tertentu atau kriteria yang dapat memperkaya data yang didapat (Irawan, 2006). Adapun informasi digali dari para pihak yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah pemerintah, Parlemen (DPR), Mahkamah Agung, akademisi, praktisi hukum,
praktisi
perpajakan,
pengusaha,
kalangan
organisasi masyarakat sipil dan masyarakat umum.
12
Pendahuluan
E. Sistematika Penulisan Nasakah Akademik
Penulisan naskah akademik ini dibagi ke dalam beberapa bab dan sub-bab sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Bab 1 Pendahuluan menguraikan latar belakang, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan naskah akademik.
BAB
II
LANDASAN
DAN
ASAS
DALAM
PENYUSUNAN NORMA Bab 2 memaparkan landasan-landasan penyempurnaan undang-undang, meliputi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis, serta asas-asas yang digunakan dalam penyusunan norma, mencakup asas kepastian hukum, asas efisiensi dan efektivitas, dan asas keterbukaan.
BAB
III
MATERI
MUATAN
RUU
DAN
KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF Bab 3 Materi Muatan RUU mengelaborasi berbagai problematika dari Pengadilan Pajak, terutama terkait 13
Pendahuluan
dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Permasalahan terbagi atas permasalahan status dan kedudukan, hakim, hukum acara, pengawasan, organisasi dan transparansi dan akuntabilitas Pengadilan Pajak. Bab 3 memaparkan pula beberapa hukum positif yang terkait dengan penyempurnaan UU No. 14 Tahun 2002.
BAB VI PENUTUP Bab
4
mencakup
penyajian
tentang
kesimpulan,
rekomendasi tentang pentingnya penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
14
Landasan dan Asas Penyempurnaan
BAB II LANDASAN DAN ASAS PENYEMPURNAAN
A. Landasan Penyempurnaan
1.
Landasan Filosofis
Pajak
merupakan
salah
satu
cara
negara
dapat
menjalankan fungsi penyediaan barang publik (public goods).
Pemerintah
memperoleh
penerimaan
dari
pembayaran pajak yang digunakan untuk menyediakan barang publik, atau dinamakan barang kolektif (socialpublic goods). Pajak juga merupakan refleksi keadilan ekonomi karena perwujudan redistribusi kesejahteraan (redistribution of wealth), yaitu suatu proses yang memungkinkan transfer kesejahteraan dan pendapatan dari
satu
individu
ke
individu
lainnya
melalui
mekanisme-mekanisme sosial. Oleh karena itu, pajak menjadi penting bagi integrasi tata kelola kenegaraan (state governance), khususnya di bidang ekonomi dan pembangunan.
15
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Pajak adalah mekanisme sosial untuk mewujudkan ide ekonomi berbasis kerakyatan, yang merupakan ciri khas perekonomi kerakyatan Indonesia. Pajak memungkinkan terwujudnya keadilan distributif (distributive justice) dalam satu sistem ekonomi. Selain digunakan untuk menyediakan
barang
publik,
pajak
juga
mampu
memperkecil tingkat kesenjangan sosial-ekonomi. Pajak merupakan
cerminan
kesejahteraan
sosial
(social
welfare) sekaligus keadilan sosial (social justice) bagi seluruh rakyat. Hal ini sesuai dengan Pancasila sila ke-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Selain itu, pajak juga perwujudan kedaulatan ekonomi (economic
sovereignty)
negara.
Kedaulatan
dapat
didefinisikan sebagai kondisi dimana suatu negara dengan pemerintahan, rakyat dan wilayah yang terbebas dari pengaruh dari negara lain, serta negara mampu menentukan
dan
mendefinisikan
kepentingan-
kepentingan nasional tanpa tekanan dari luar. Pajak memungkinkan negara menjalankan perekonomian dan pembangunan
dengan
menggunakan
uang
sendiri,
bukannya dengan utang atau hibah luar negeri. Seperti 16
Landasan dan Asas Penyempurnaan
yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa “... dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesie ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” maka pajak adalah kemerdekaan ekonomi yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
UU No. 14 Tahun 2002 mengatur tentang Pengadilan Pajak
yang
melaksanakan
kekuasaan
kehakiman/yudikatif di bidang perpajakan. Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga turunan (differentiated
units),
yaitu:
kekuasaan
eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan, idealnya, bertujuan
untuk
mencegah
kekuasaan-kekuasaan
diintegralkan ke satu titik yang menjadi kekuasaan tak terbatas (absolute power). Kekuasaan yang tak terbatas sangat rentan akan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penyelewengan kekuasaan (corrupt of power).
17
Landasan dan Asas Penyempurnaan
2.
Landasan Yuridis
Ekonomi kerakyatan adalah ide yang melandasi sistem perekonomian Indonesia. Berbeda dengan pemikiran laissez-faire yang merupakan ekonomi berbasis pasar, Indonesia dengan ekonomi kerakyatannya berbasis pada kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pajak, salah satunya, adalah instrumen untuk
mengamankan
kemerdekaan
ekonomi
dan
pembangunan nasional melalui mekanisme sosial, yang dikenal sebagai redistribusi kesejahteraan.
Pemikiran di atas tercermin dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2) yang mengakui bahwa pajak merupakan satu sumber keuangan bagi Negara. Sedangkan Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan” menyiratkan pajak sebagai
satu
usaha
bersama
untuk
menyusun
perekonomian Indonesia atas nama “keadilan sosial.”
18
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Selain dari fungsi pajak, hukum pajak juga sangat siginifikan perannya dalam menjamin keadilan rakyat, mengingat pajak adalah satu area yang rentan terjadi sengketa. Diberlakukannya UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan cerminan tegaknya hukum pajak di Indonesia. Melalui dibentuknya badan peradilan yang khusus menangani hukum pakak, seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum, Pengadilan Pajak dipandang sebagai badan peradilan di Indonesia
yang
harus
menciptakan
keadilan
dan
kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Sebagai badan peradilan yang menjalankan fungsi yudikatif sekaligus adminsitratif perpajakan, selayaknya Undang-undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diharmonisasikan dengan peraturan perundanganundangan lain yang relevan, antara lain: Perubahan Keempat UUD 1945, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan kedua atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok 19
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Kekuasaan Kehakiman) dan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (perubahan kedua atas UU No. 14 Tahun 1985), Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan, Undangundang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Mengingat Pengadilan Pajak berada di dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, maka secara khusus perlu diharmonisasikan dengan UU No. 5 Tahun 1986 dan UU perubahannya No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Perubahan Keempat UUD 1945, terutama berkaitan dengan Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang” dan ayat (3) “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang,” maka Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan
dengan
konstruksi
yuridis
yang
mengharuskan Pengadilan Pajak berada di bawah 20
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Mahkamah Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras dengan UU tentang Kekuasaan Kehakiman (No. 48 Tahun 2009).
Undang-undang perpajakan yang terkait antara lain: Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (perubahan terakhir atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983), Undang-undang No.
36
Tahun
2008
tentang
Pajak
Penghasilan
(perubahan keempat atas Undang-undang No. 7 Tahun 1983, Undang-undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (perubahan terakhir atas Undangundang No. 8 Tahun 1983), Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan (perubahan kedua Undang-undang No. 10 Tahun 1995), Undang-undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai (perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1995), Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait
21
Landasan dan Asas Penyempurnaan
lainnya seperti Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
3. Landasan Sosiologis
Indonesia
sebagai
negara
hukum
telah
berupaya
menciptakan keadilan atas sengketa pajak sejak masa kemerdekaan. Badan yang menangani sengketa pajak telah berdiri sejak masa penjajahan Hindia Belanda, yakni bernama Raad van Beroep voor Belasting Zaken (S.1915 Nomor 707), tertanggal 11 Desember 1915. Pada 1945, RBB berevolusi menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang terdiri dari 1 Ketua dan 4 Anggota, dimana terdapat 1 wakil Menteri Keuangan, 2 wakil Mahkamah Agung dan 2 wakil Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Keputusan
MPP
dianggap
sebagai
keputusan
Badan/Lembaga Administratif, bukan sebagai putusan Badan Peradilan Administrasi sehingga putusannya dapat diuji keabsahannya oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Pada 1998, majelis berubah nama menjadi BPSP yang putusannya
memiliki
kekuatan
eksekutorial
dan
kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan 22
Landasan dan Asas Penyempurnaan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, pada praktiknya, Mahkamah Agung menganggap keputusan BPSP sama dengan keputusan MPP, bukan merupakan keputusan akhir dan masih bias digugat ke Peradilan Tata Usaha Negara. Pada 2002, BPSP berganti menjadi Pengadilan Pajak yang keputusannya bersifat akhir dan memiliki kekuatan hukum. Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak (Pasal 2). Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus di bawah Peradilan Tata Usaha Negara.
Tinjauan historis di atas menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak merupakan upaya untuk menciptakan sistem peradilan atas sengketa pajak di Indonesia berdasarkan kepastian hukum dan keadilan. Pada awalnya, ketika berbentuk majelis dan BPSP, sifat keputusan hukum dari keduanya
masih
lemah
keabsahannya
sehingga 23
Landasan dan Asas Penyempurnaan
menyebabkan nilai kepastian hukum dari keputusan keduanya kurang memiliki kekuatan hukum.
Munculnya fenomena makelar kasus yang melibatkan beberapa
aparat
perpajakan,
penyempurnaan
juga
berkaitan dengan upaya reformasi birokrasi untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan administrasi. Tata kelola yang diharapkan adalah tata kelola yang baik, bersih
dan
akuntabel
(good
governance).
Good
governance, dewasa ini, telah menjadi satu norma yang melandasi cara berpikir dan perilaku masyarakat dalam menilai performa dan keberlanjutan suatu institusi, baik pemerintahan
maupun
korporasi.
Tata
kelola
(governance) didefinisikan sebagai berikut: “Governance is the exercise of power or authority – political, economic, administrative or otherwise – to manage a country’s resources and affairs. It comprises the mechanisms, processes and institutions, through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences.” [Tata kelola adalah penggunaan kekuasaan atau wewenang – politik, 24
Landasan dan Asas Penyempurnaan
ekonomi, administratif atau yang lainnya – untuk mengelola sumber daya dan permasalahan dari negara. Hal ini mencakup mekanisme, proses dan institusi, yang melalui keduanya warga negara dan kelompok-kelompok mengartikularikan kepentingannya, menggunakan hak hukumnya, memenuhi kewajibannya dan mengatasi perbedaan-perbedaan.]
Sedangkan tata kelola yang baik (good governance) diartikan sebagai berikut: “Good
governance
means
competent
management of a coutnry’s resources and affairs in a manner that is open, transparent, accountable, equitable and responsive to people’s needs.” [Tata kelola yang bersih berarti pengelolaan yang kompeten atas sumber daya dan permasalahan negara dengan cara yang terbuka, transparan, akuntabel, setara dan responsive terhadap kebutuhan rakyat.]
Prinsip ideal dari tata kelola yang baik meliputi prinsip politik dan ekonomi. Prinsip politik meliputi:
25
Landasan dan Asas Penyempurnaan
-
Tata kelola yang baik berdasarkan pada pendirian sebuah bentuk pemerintahan yang representatif dan akuntabel;
-
Tata kelola yang baik memerlukan sebuah masyarakat sipil yang kuat dan pluralistik, dimana terdapat kebebasan berpendapat dan berkumpul;
-
Tata kelola yang baik membutuhkan institusiinstitusi yang baik – seperangkat aturan yang membangun tindakan dari individu dan organisasi dan yang memungkinkan negosiasi/perundingan atas perbedaan di antara mereka;
-
Tata kelola yang baik mensyaratkan keutamaan penegakkan hukum (rule of law), dipertahankan melalui sistem hukum yang tidak memihak dan efektif;
-
Tata kelola yang baik memerlukan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi di dalam proses publik dan korporasi, sebuah pendekatan untuk
mewujudkan
ekfektif. 26
partisipatoris
dipandang
pelayanan
penting
publik
yang
Landasan dan Asas Penyempurnaan
B. Asas-asas Dalam Penyusunan Norma
1.
Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum berangkat dari ide “rule of law” atau dapat diartikan sebagai “penegakkan hukum” atau “aturan hukum.” Satu ide tradisional dari rule of law adalah berasal dari ekonom dan filsuf liberal Friederich Hayek dalam bukunya “The Road to Serdom.” (Hayek, 1944) Dalam bukunya tersebut Hayek menjelaskan bahwa peran negara dalam rangka menjamin kinerja pasar bebas adalah memelihara rule of law – hukum dinilai sebagai public goods – dengan intervensi sekecil mungkin. Menurut Hayek, terdapat tiga elemen dari ide rule of law, yaitu: (1) generality (keumuman), hukum harus berlaku bagi dan mengikat semua orang, setiap orang yang terikat dalam sebuah wilayah yurisprudensi hukum nasional harus menjadi subyek hukum tanpa terkecuali; (2) equality (kesetaraan), hukum harus memperlakukan setiap orang secara setara, adil dan tidak memihak; serta (3) certainty (kepastian), hukum harus dapat diprediksi (predictable) sehingga subyek hukum 27
Landasan dan Asas Penyempurnaan
dapat memperkirakan dan manafsirkan hukum tersebut yang melandasi perilaku mereka, dan selanjutnya melaksanakan hukum aturan-aturan hukum.
Sedangkan di dalam bukunya “The Morality of Law,” ahli hukum Amerika Lon L. Fuller mengidentifikasi delapan elemen hukum yang diakui mengandung ide “rule of law.” (Fuller, 1964) Delapan elemen tersebut yaitu: (1) hukum harus ada dan hukum tersebut harus dipatuhi oleh semua, termasuk pejabat pemerintahan; (2) hukum harus dipublikasikan; (3) hukum harus prospektif supaya efek dari hukum hanya dapat terjadi setelah hukum disahkan; (4) hukum harus ditulis dengan kejelasan yang masuk akal (reasonable clarity) untuk menghindari
penerapan
yang
tidak
adil
(unfair
enforcement); (5) hukum harus menghindari kontradiksi; (6)
hukum
tidak
memerintahkan
yang
mustahil
dilaksanakan; (7) hukum harus tetap konstan dari waktu ke waktu untuk memungkinkan formalisasi aturan; namun, hukum memungkinan direvisi sejalan dengan perubahan kondisi sosial dan politik; serta (8) tindakan pejabat harus konsisten dengan hukum yang berlaku. 28
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Asas kepastian hukum dinilai perlu ditegaskan dalam rangka penyempurnaan UU tentang Pengadilan Pajak. Berdasarkan prinsip ideal rule of law, UU tentang Pengadilan Pajak harus berlaku untuk umum bagi yang merupakan wajib pajak, memperlakukan wajib pajak setara, tidak memihak (adil), dan sama di hadapan hukum tanpa terkecuali, dan dapat melandasi perilaku masyarakat beserta aparatur pajaknya. Fenomena sering dimenangkannya WP atas negara dalam sengketa pajak menimbulkan keprihatinan atas besarnya imbalan bunga yang harus dibayar oleh negara karena Pasal 87 UU Pengadilan Pajak mengatur bahwa “apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.”
Fenomena tersebut juga menyiratkan kekahwatiran adanya
penyalahgunaan
wewenang
oleh
aparatur 29
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, hukum, selain mengikat publik/rakyat, juga harus memastikan perilaku aparatur pemerintahan yang sejalan dengan aturan-aturan hukum karena hukum berlaku secara umum, sama dan pasti bagi seluruh subyek hukum.
2.
Asas Efesiensi dan Efektifitas
Hukum adalah seperangkat prinsip, aturan, dan norma yang mengatur hubungan antarindividu di dalam sistem relasi sosial. Bagi kalangan fungsionalis dan pendekatan ekonomi-politik liberal, hukum, institusi, kontrak, dan sejenisnya dibuat dengan tujuan untuk meminimalisir biaya transaksi (transaction cost) yang ditimbulkan dari relasi/transaksi sosial tersebut. Dengan asumsi bahwa individu
manusia
berpikir
secara
rasional, selalu
berkalkulasi tentang untung-rugi, dan selalu bertindak untuk memaksimalkan keuntungan, maka hubungan antarindividu – atau yang disebut relasi sosial – selalu mendatangkan konflik dan biaya transaksi yang besar. Kehadiran hukum dan norma bertujuan untuk mengelola konflik dan memperkecil biaya transaksi ketika konflik 30
Landasan dan Asas Penyempurnaan
terjadi. Dengan demikian, hukum dan norma adalah mekanisme yang efisien karena dapat memperkecil biaya transaksi, termasuk biaya waktu, biaya material maupun biaya psikologis, serta mekanisme yang efektif untuk mengelola konflik sehingga tidak terjadi ekskalasi konflik ke tahap yang destruktif.
Efisiensi
dan
efektivitas
harus
didukung
dengan
pembenahan struktural di dalam institusi. Organisasi, administrasi dan sumber daya manusia yang di dalam institusi itulah yang menentukan efisiensi dan efektivitas kinerja dan fungsi dari institusi tersebut. Hal yang dapat dilakukan
untuk
efektivitas
mewujudkan
adalah
asas
efisiensi
menyusun
dan
kembali
struktur/restrukturisasi organisasi secara komprehensif, menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, dan mengalokasikan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara optimal, tepat guna, efisien dan efektif.
Asas
efisiensi
dan
efektivitas
menjadi
penyempurnaan
UU
tentang
Pengadilan
landasan Pajak.
Pengadilan Pajak yang erat kaitannya dengan biaya 31
Landasan dan Asas Penyempurnaan
material harus mempertimbangkan aspek biaya transaksi akibat terjadinya sengketa pajak. Beberapa masalah seperti terdapatnya Pengadilan Pajak hanya di Jakarta yang menangani semua sengketa pajak di seluruh Indonesia menyebabkan biaya transaksi dari sengketa semakin besar karena bagi beberapa wajib pajak yang berdomisili jauh dari ibukota akan memakan biaya transportasi
yang
memberatkan.
Sedangkan
menumpuknya perkara-perkara pajak di Pengadilan Pajak menyebabkan biaya waktu dan biaya psikologi menjadi menumpuk pula, serta penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif akibat kualitas dan kuantitas hakim yang tidak cukup memadai. Dengan demikian, UU tentang Pengadilan Pajak harus mampu mengatasi persoalan penyelesaian sengketa pajak yang telah memakan ekonomi biaya tinggi sehingga asas bahwa hukum seharusnya efektif dan efisien tidak berlaku.
32
Landasan dan Asas Penyempurnaan
3.
Asas Keterbukaan
Hukum adalah salah satu komponen penting di dalam tata kelola sebuah pemerintahan. Indonesia, sebagai negara demokrasi, berusaha menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola (governance) didefinisikan sebagai “[governance is] the exercise of power or authority – political, economic, administrative or otherwise – to amanage a country’s resources and affairs. It comprises the machanisms, processes and institutions, through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal reights, meet their obligations and mediate their differences.” [penggunaan kekuasaan atau wewenang – politik, economi, administratif atau yang lainnya – untuk mengelola sumber daya dan permasalahan dari negara. (Good
Governance:
Guiding
Principles
for
Implementation, the Australian Agency for International Development (AusAID); 2000)
Hal ini mencakup
mekanisme, proses dan institusi, yang melalui keduanya warga
negara
dan
kelompok-kelompok
mengartikulasikan kepentingannya, menggunakan hak 33
Landasan dan Asas Penyempurnaan
hukumnya, memenuhi kewajibannya dan mengatasi perbedaan-perbedaan]. Sedangkan makna tata kelola yang baik (good governance) adalah “[good governance means] competent management of a country’s resources and affairs in a manner that is open, transparent, accountable, equitable and responsive to people’s needs.” [manajemen/pengelolan yang kompeten atas sumber daya dan permasalahan negara dengan cara yang terbuka, transparan, akuntable, setara dan responsif terhadap kebutuhan rakyat] (Ibid.)
Asas keterbukaan atau transparansi lahir atas tuntutan atas pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik penyelewengan dan korupsi yang dilakukan oleh sekelompok elit pemerintahan atau birokrasi. Oleh karena itu, muncul ide agar publik dapat mengakses segala informasi, hukum dan keputusan dari satu institusi atau korporasi dengan tujuan untuk mengawasi kinerja dan perilaku serta menjamin berjalannya prinsip tata kelola yang baik dan bersih di dalam institusi tersebut. Tujuan dari asas keterbukaan, secara sederhana, antara lain: (1) menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan 34
Landasan dan Asas Penyempurnaan
tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan/terbuka, setara/adil, dan responsif dalam satu institusi;
(2)
mengurangi
penyalahgunaan
dan
penyelewengan kekuasaan dan praktik-praktik kotor KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme); (3) meningkatkan partisipasi aktif publik/masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; serta (4) menjamin berjalannya konsistensi dan kepastian hukum dari keseluruhan sistem hukum Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Asas keterbukan atau transparansi harus menjadi penting dalam penyempurnaan UU tentang Pengadilan Pajak. Persoalan yang sering terjadi adalah bahwa sering munculnya mafia hukum di Pengadilan Pajak. Hal ini dikarenakan lemahnya pengawasan dan tidak ada mekanisme yang memungkinkan publik mengakses risalah sidang sehingga Pengadilan Pajak sekarang ini tidak akuntabel dan transparan. Dengan demikian, asas keterbukaan sangat penting untuk diterapkan di dalam UU tentang Pengadilan Pajak dengan tujuan menjamin akuntabilitas aparatur dan institusi Pengadilan Pajak yang bersih dari penyalahgunaan wewenang. 35
Landasan dan Asas Penyempurnaan
Sementara itu, prinsip ekonomi dapat dilihat sebagai berikut: -
Tata kelola yang bersih memerlukan kebijakankebijakan
untuk
mewujudkan
pertumbuhan
ekonomi yang berbasis luas, sektor swasta yang dinamis dan kebijakan sosial yang mengarah pada pengurangan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi, terbaik, dicapai di dalam sebuah perekonomian yang efisien, terbuka, dan berbasis pasar; -
Investasi pada rakyat merupakan prioritas yang baik, melalui kebijakan dan institusi yang meningkatkan
akses
kesehatan
layanan
dan
kualitas jasa
pendidikan, lainnya
yang
menekankan pada basis sumber daya manusia; -
Institusi yang efektif dan tata kelola korporasi yang
baik
dibutuhkan
untuk
mendukung
pembangunan sector swasta yang kompetitif. Khususnya, bagi pasar untuk berfungsi, norma sosial
dibutuhkan
yang
kontrak dan kepemilikan.
36
menghormatik
hak
Landasan dan Asas Penyempurnaan
-
Manajemen perekonomi nasional yang berhatihati merupakan hal yang vital dalam rengka memaksimalkan kemajuan ekonomi dan sosial.
37
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
BAB III MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
A. Materi Muatan Rancangan Undang-undang
Status dan Kedudukan Pengadilan Pajak
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yakni “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.” Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Pengadilan Pajak harus merujuk dan tunduk pada Konstitusi Perubahan Keempat UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung.
Konstitusi telah mengamanatkan demikian berdasar pada doktrin “Trias Politica,” sebagaimana dikemukakan oleh Immanuel
Kant
maupun
Montesquieu,
dan 39
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
dikembangkan
oleh
John
Locke
melalui
ajaran
“Separation of Power” sebagai berikut:
“There can no be liberty when the legislative and executive power are jointed in the same persons or body of lords because it to be feared that the monarch or body will make tyrannical laws to be administered in tyrannical way. Nor is there any liberty if the judicial power is not separated from the legislative and executive power.”
(Tidak ada independensi bila kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif terkonsentrasi dalam satu tangan atau badan. Apabila kekuasaan-kekuasaan tersebut
berada
di
satu
tangan,
maka
akan
menimbulkan tirani. Di sini ditekankan pemisahan kekuasaan antara kekuasaan legislatif dengan eksekutif, maupun yudikatif dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif).
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan
40
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
kehakiman adalah kekuasaan negara yang independen dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dampak negatif dari dualisme status dan kedudukan sangat beragam, di antaranya: 1. Potensi abuse of power (penyelewengan kekuasaan) dari para penyelenggara Pengadilan Pajak karena Direktorat
Pajak
sebagai
pihak
tergugat
dan
Pengadilan Pajak sebagai penyelenggara fungsi yudisial
dari
yang
disengketakan
sama-sama
menginduk kepada Kementerian Keuangan; 2. Mengancam independensi hakim yang didukung oleh pola
rekrutmen
yang
diselenggarakan
oleh
Kementerian Keuangan; 3. Tumpang tindih kewenangan pengawasan antara Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial; 4. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tidak konsisten dan tarik ulur penerapan aturan
41
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
keterbukaan informasi pengadilan yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Demi
terselenggaranya
Indonesia,
dan
Negara
sinergisitas
Hukum
penataan
Republik
status
dan
kedudukan Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Pajak sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman harus independen dan terpisah
dari
kekuasaan
eksekutif
(Kementerian
Keuangan). Agar dampak negatif di atas tidak terjadi kembali, jawaban tepatnya adalah Pengadilan Pajak sepenuhnya berada di Mahkamah Agung di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, baik dari segi pembinaan
teknis
peradilan
maupun
pembinaan
organisasi, administrasi dan keuangan.
Diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 004/PUU-11/2004 yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
42
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Pengadilan Khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara
Esensi perkara di Pengadilan Pajak berbeda dengan perkara Tata Usaha Negara yang lainnya, yaitu sengketa antara wajib pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tentang teknis administratif pemerintah di tingkat pusat dan daerah di bidang perpajakan. Putusan hukumnya memuat penetapan besaran pajak terutang atau besaran lebih bayar dari wajib pajak, yang berupa hitungan secara teknis perpajakan. Sebagai akibatnya, jenis putusan Pengadilan Pajak umum diterapkan pada peradilan
umum,
berupa
mengabulkan
sebagian,
mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Penyelesaian sengketa pajak memerlukan keahlian khusus bagi para hakimnya, selain harus mengusai teori peraturan perundang-undangan tentang perpajakan – terutama UU KUP, juga harus mengusai praktik teknis perpajakan. Karakteristik kerja Pengadilan Pajak yang seperti di atas membutuhkan diferensiasi atau spesialisasi 43
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
kerja.
Oleh
karena
itu,
Pengadilan
Pajak
harus
dikhususkan atau dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dasar hukumnya adalah Pasal 9A UndangUndang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang memperbolehkan pengkhususan pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian, dikembangkan dengan rumusan UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 butir 8 bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
Tempat dan Kedudukan Pengadilan Pajak
Salah satu pencapaian ideal sebuah pengadilan adalah kemudahan akses bagi para pencari keadilan. Hal ini 44
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
sesuai dengan asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Saat ini Pengadilan Pajak tunggal dan berada di Jakarta. Akibatnya, terjadi kesulitan akses dan biaya tinggi bagi sebagian wajib pajak yang hendak mencari keadilan di bidang perpajakan yang berasal dari luar wilayah Jakarta. Walaupun dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur pelaksanaan bahwa dapat diselenggarakannya persidangan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan di manapun di wilayah Indonesia jika dipandang perlu, hal ini hampir tidak pernah terjadi karena persoalannya kemudian ada pada kuantitas hakim dan sumber daya pendukung penyelenggara Pengadilan Pajak akan kebutuhan tersebut.
Institusi peradilan secara tempat dan kedudukan harus berada dekat dengan para pencari keadilan, dan seyogyanya menyesuaikan keterwakilan dari domisili para wajib pajak. Untuk mencapai pengadilan yang ideal maka rumusannya adalah Pengadilan Pajak berada di setiap ibukota provinsi mengikuti atau sesuai dengan tempat dan kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara. 45
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Hakim
Kebebasan hakim yang berdasar pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Undang-undang Dasar 1945. Pada dasarnya, kemandirian hakim Pengadilan Pajak dalam memutus sengketa perpajakan telah diatur jelas oleh Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak
bahwa
pembinaan
tidak
boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Dalam Pengadilan Pajak, persoalan yang muncul kemudian, ketika Kementerian Keuangan melakukan rekrutmen mandiri terhadap hakim pajak yang kemudian diusulkan kepada Mahkamah Agung, hal ini pada akhirnya berpotensi besar mengganggu independensi hakim. Tampak jelas di Pasal 8 ayat 1 dan 2 UndangUndang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa hakim diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Keuangan dengan persetujuan Mahkamah Agung. Usulan Menteri diartikan dengan inisiasi 46
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
melakukan
rekrutmen
mandiri
oleh
Kementerian
Keuangan yang selanjutnya diminta persetujuannya kepada Mahakamah Agung.
Dominasi rekrutmen hakim oleh Kementerian Keuangan jelas berpotensi menimbulkan a contrario, sebagai sikap dan
tindakan
independensi
yang
menyimpang
seorang
hakim.
dari
Dalam
ketentuan posisinya,
Kementerian Keuangan berlaku sebagai pihak tergugat melalui
Direktorat
Jenderal
Pajak
(DJP)
dalam
penyelesaian sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak.
Pertentangan
rekrutmen
hakim
berlanjut
pada
ketidakharmonisan hubungan antarundang-undang. Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan
Negara
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan
berdasarkan
Pancasila,
demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia". Jika dihubungkan dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) 47
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak seperti telah diuraikan di atas, maka timbul ketidakharmonisan peraturan, merujuk pada adagium lex postario derogate lex antorio yang dalam konteks rekrutmen hakim Pengadilan Pajak tersebut berarti bahwa Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman mengalahkan Undang-undang tentang Pengadilan Pajak.
Hakim harus bebas dari kekuasaan manapun dalam memeriksa dan memutus suatu perkara (independence of judiciary) sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Sepatutnya dalam hal rekrutmen, pemberhentian dan mutasi hakim sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung dan bukan kewenangan Kementerian Keuangan. Hakim Pengadilan Pajak sama dan setara dengan hakim lain di lingkungan peradilan, dalam porsinya Mahakamah Agung
yang
harus
melakukan
rekrutmen
hakim,
Kementerian Keuangan dan Komisi Yudisial posisinya dilibatkan untuk menjamin raihan hakim yang dapat independen terbebas dari kekuasaan lain yang mengikat. 48
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Permasalahan pajak memang sangat mendasar dan teknis administratif, apalagi terkait obyek pajak tertentu yang sifatnya tidak umum, maka dibutuhkan hakim ad hoc. Rekrutmen hakim ad hoc tidak berbeda dengan hakim karier, di mana Mahkamah Agung berwewenang dan berperan penuh. Hukum Acara Pengadilan Pajak Peradilan
yang
tidak
efektif
dan
efisien
akan
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum. Pasal 81 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menerangkan bahwa putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima. Sistem pemeriksaan majelis hakim dapat dibuat sistematis dan cepat. Jangka waktu putusan pemeriksaan acara biasa dapat dikurangi menjadi 6 (enam) bulan. Waktu atas pengambilan keterangan dan bukti-bukti dari pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang
pemeriksaan
dapat
direncanakan
melalui
mekanisme peraturan teknis Mahkamah Agung, sesuai
49
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Masalah lain yang muncul yang sedang dihadapi oleh Mahkamah Agung yaitu tingginya beban perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung, rentang waktu tahun 2006 dan 2009 terjadi peningkatan perkara yang masuk setiap tahunnya, dengan jumlah rata-rata 10.000 perkara. Tingginya beban perkara tersebut tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri, mulai dari lamanya usia perkara, tingginya potensi inkonsistensi putusan, serta sedikitnya waktu bagi para Hakim Agung untuk memberikan pertimbangan hukum yang maksimal. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 45 A diatur beberapa batasan pengajuan perkara ke Mahkamah Agung. Namun hal tersebut tidak menyurutkan angka perkara yang masuk ke Mahakamah Agung. Melihat fakta tersebut maka tentunya menjadi penting untuk merumuskan upaya pembatasan 50
perkara
Pengadilan
Pajak.
Dengan
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
berkurangnya jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung akan lebih efektif dalam melakukan
pemetaan
permasalahan
hukum
dan
melakukan pengawasan penerapan hukum di pengadilan tingkat bawah, khususnya Pengadilan Pajak. Bentuk rumusannya adalah Pengadilan Pajak merupakan peradilan
tingkat
pertama
dalam
memeriksa
dan
memutus sengketa pajak, dan memiliki satu kali upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pemeriksaan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dan dalam sengketa perpajakan, Pengadilan Pajak tidak dikenal adanya upaya hukum kasasi dan Peninjauan Kembali ke tingkat Mahkamah Agung. Undang-undang ini
membentuk
sebuah
terobosan
hukum
untuk
membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-11/2004, yang salah satu isinya menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, atas dasar terbatasnya kemampuan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan jumlah besar perkara yang masuk, dan membatasi upaya 51
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
hukum terakhirnya hanya sampai pada Pemeriksaan Banding pada tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Susunan Pengadilan Pajak
Susunan Pengadilan Pajak yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Anggota Hakim, Sekretaris Pengadilan Pajak dan Penitera tidak akan relevan lagi jika dikaitkan dengan format Pengadilan Khusus di bawah Peradilan Tata Usaha tersebut,
Negara timbul
seutuhnya.
Karena
keperluan
untuk
kekhususannya membentuk
kepaniteraan khusus Pengadilan Pajak.
Format adanya Sekretaris Pengadilan Pajak sebagai penyelenggara administrasi diubah dan diidndukkan sesuai
dengan
penyelenggaraan
administrasi
kepaniteraan khusus di atas. Mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus Pengadilan Pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Agung.
52
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Kemudian rumusan susunan Pengadilan Pajak berubah menjadi Pimpinan yang di dalamnya terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak, Hakim Pajak dan Panitera menyesuaikan dengan khususannya yang sejalan dengan format di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pengawasan Internal dan Eksternal
Terjadinya tumpang tindih kewenangan pengawasan antara Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap Pengadilan Pajak berakibat pada inkonsistensinya implementasi peraturan perundangundangan, dan berpotensi munculnya penolakan dari para penyelenggara
Pengadilan
Pajak
terhadap
instansi
tertentu berdasar atas berhak atau tidaknya instansi tersebut untuk mengawasinya.
Rumusan idealnya peran pengawasan bagi Pengadilan Pajak adalah mengikuti Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang bertindak melakukan pengawasannya adalah Badan Pengawasan 53
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Mahkamah Agung untuk pengawasan internal. Dan pengawasan eksternal berlakunya Undang-undang No. 22
Tahun
2004
tentang
Komisi
Yudisial
guna
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pajak.
Pengawasan internal merata dan sama bentuknya dengan pengawasan internal bagi pengadilan lainnya yaitu terdiri dari dua bentuk, pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat pengendalian secara terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya
secara
preventif
dan
refresif,
agar
pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan Pengadilan Pajak dan peraturan perundang-undangan. Pengawasan
funsional
adalah
pengawasan
yang
dilakukan oleh aparat pengawas Mahkamah Agung dalam hal ini adalah Badan Pengawasan Mahkamah Agung.
54
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Keterbukaan Informasi Pengadilan
Terjadi perdebatan antara boleh atau tidaknya putusan perkara Pengadilan Pajak dibuka ke publik, di antaranya karena menyangkut rahasia perusahaan sebagai wajib pajaknya. Jika melihat pada Pasal 50 ayat 1 UndangUndang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa hakim pajak dalam membuka sidang sengketa perpajakan harus menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, dapat diartikan bahwa putusannya pun terbuka untuk umum, tidak tertutup. Sebagai konsekuensi logis bagi para wajib pajak, semestinya
tidak
dijadikan
perdebatan
tentang
kerahasiaan wajib pajak, karena putusan pengadilan merupakan informasi yang wajib tersedia sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Putusan Pengadilan
Pajak
merupakan
keputusan
hasil
pertimbangan Badan Publik. Terlebih, Undang-Undang tentang
Keterbukaan
Informasi
Publik
bertujuan
menjamin pemenuhan hak warga negara memperoleh informasi yang merupakan hak asasi manusia. 55
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Diperkuat oleh Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi
Pengadilan
menerangkan
bahwa
Pasal jenis
6,
lebih
informasi
yang
spesifik harus
diumumkan salah satunya adalah putusan dan penetapan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Keterbukaan informasi atas putusan Pengadilan Pajak dapat meningkatkan tranparansi dan
akuntabilitas,
pelayanan peradilan dan pengawasan. Aspek penting lainnya putusan Pengadilan Pajak sebagai yurisprudensi sebagai acuan hakim, bahan pertimbangan pembuat kebijakan lainnya, serta keperluan penelitian di dunia akademis dan masyarakat luas. Oleh karena itu, keterbukaan meningkatkan
informasi kepastian
Pengadilan hukum
seta
Pajak
mengurangi
penyimpangan yang terjadi di Pengadilan Pajak.
56
akan
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
B. Keterkaitan dengan Hukum Positif
Aspek Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat pengaturan tentang kedudukan institusi pengadilan, rekrutmen hakim karir dan hakim ad hoc, susunan organisasi pengadilan, pengawasan internal, yang disesuaikan dengan kondisi Pengadilan Pajak saat ini.
Aspek Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara, keterkaitannya dengan sengketa pajak yang merupakan sengketa administrasi pemerintahan masuk dalam lingkup tata usaha negara.
Aspek Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Keterbukaan Informasi Pengadilan, memberikan pelayanan informasi dan mekanisme keberatan beserta pelanggaran terhadap pelayanan informasi, yang dapat diberlakukan ke dalam pelayanan informasi Pengadilan Pajak.
Aspek UU No. 22 tahun 2004 Komisi Yudisial, Hakim Pajak termasuk hakim yang patut diawasi perilaku. 57
Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya dengan Hukum Positif
Komisi Yudisial berwenang penuh untuk menegakan keluhuran martabat, kehormatan, dan perilaku Hakim Pajak.
58
Penutup
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan hal yang relevan untuk dilakukan dalam kerangka kesesuaian dengan hukum positif dan sejalan dengan cita-cita reformasi birokrasi dan penataan sistem peradilan Indonesia yang terpadu. Tidak sesuainya UU No. 14 Tahun 2002 dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dan konstruksi badan peradilan yang independen mendorong urgensi
perubahan
undang-undang
tersebut
dan
penyusunan naskah akademik atas rancangan undangundang perubahan. Dengan dicapainya perubahan UU No. 14 Tahun 2002 merupakan langkah awal untuk memperbaiki institusi Pengadilan Pajak dari berbagai aspek, termasuk aspek status dan kedudukan, rekrutmen hakim,
hukum
acara,
pengawasan,
serta
pengejawantahan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan informasi publik. 59
Penutup
Berdasarkan
hasil
penelitian
tim
Masyarakat
Transparansi Indonesia dalam rangka penyusunan naskah akademik ini, kami mengidentifikasi beberapa aspek yang menjadi penekanan dalam perubahan UU No. 14 Tahun 2002, yaitu: status dan kedudukan, hakim, hukum acara, pengawasan, serta prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik. Aspek status dan kedudukan merujuk pada perwujudan konstruksi
Pengadilan
Pajak
“satu
atap,”
yaitu
sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, di mana pembinaan teknis peradilan beserta pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi tanggung jawab dari Mahkamah Agung. Hal ini merupakan amanat dari Konstitusi UUD 1945 untuk menciptakan
lembaga
peradilan
yang
independen,
terbebas dari intervensi/campur tangan pihak eksternal peradilan. Konstruksi Pengadilan Pajak “satu atap” membawa konsekuensi tersendiri di mana Pengadilan Pajak berada di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai
sebuah
“pengadilan
khusus.”
Kekhususan Pengadilan Pajak bersumber dari esensi 60
Penutup
perkara pajak yang merupakan sengketa antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak tentang teknis administrasi pemeritntah di bidang perpajakan yang memuat penetepan besaran pajak terutang atau besaran lebih bayar dari wajib pajak. Pengadilan Pajak yang berprinsip sederhana, cepat, dan berbiaya
ringan
membawa
konsekuensi
untuk
memperkecil biaya transaksi berperkara bagi wajib pajak. Pengadilan Pajak seharusnya tidak berkedudukan hanya di Jakarta melainkan juga di beberapa kota atau berada di setiap ibukota provinsi mengikuti tempat dan kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara. Aspek hakim, permasalahan krusial yang harus didekati adalah
rekrutmen
Kementerian
hakim,
Keuangan
yang
yang
dilakukan
seharusnya
oleh
menjadi
wewenang dari Mahkamah Agung, tanpa adanya intervensi kekuasaan eksekutif. Kondisi status quo di mana Kementerian Keuangan pihak yang merekrut hakim pajak dan membawahi pembinaan administrasi dan
keuangan
sumber
daya
manusia
pendukung
pengadilan bertentangan dengan prinsip kemandirian 61
Penutup
peradilan karena Direktorat Jenderal Pajak – di bawah Kementerian Keuangan – merupakan pihak tergugat dalam sengketa pajak. Perihal rekrutmen hakim, baik hakim karir maupun hakim ad hoc, juga berlaku untuk perihal
pemberhentian
dan
mutasi
hakim
yang
sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Kementerian Keuangan dan Komisis Yudisial dilibatkan secara konsultatif untuk menjamin raihan hakim agar berkompetensi menangani hukum perpajakan. Terkait
hukum
acara,
Pengadilan
Pajak
harus
menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi, di mana sistem pemeriksaan majelis hakim dibuat sistematis dan cepat. Untuk mengatasi permasalahan tingginya beban perkara yang masuk ke Pengadilan Pajak, satu solusi yang dapat dirumuskan adalah Pengadilan Pajak merupakan peradilan tingkat pertama dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak, dan memiliki satu kali upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Melihat kondisi beban perkara di Mahkamah Agung yang terlampau berat, maka diusulkan tidak adanya upaya 62
Penutup
hukum kasasi dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, melainkan upaya hukum terakhir sampai pada Pemeriksaan Banding tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Aspek pengawasan menjadi penting untuk dicermati karena berkaitan dengan pembinaan institusi dan fungsi penyelenggaraan peradilan. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip independensi peradilan dan konstruksi Pengadilan Pajak “satu atap,” maka rumusan ideal pengawasan terhadap Pengadilan Pajak yaitu (1) pengawasan interal diselenggarakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung sedangakan Komisi Yudisial melaksanakan pengawasan eksternal berkaitan dengan penegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan perilaku hakim pajak. Satu hal prinsipil yang harus diwujudkan dalam Pengadilan Pajak adalah transparansi dan keterbukaan informasi
pengadilan.
Melalui
transparansi
dan
keterbukaan informasi, Pengadilan Pajak putusannya dapat dipertanggungjawabkan dan akuntabel, serta meningkatkan pelayanan peradilan dan pengawasan. 63
Penutup
Sebagai Badan Publik, Pengadilan Pajak, seperti yang diamanatkan
UU
No.
14
Tahun
2008
tentang
Keterbukaan Informasi Publik, seharusnya menjamin pemenuhan warga negara memperoleh informasi yang merupakan hak asasi manusia. Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan. Selanjutnya,
perihal
susunan
Pengadilan
Pajak,
mengingat sifat Pengadilan Pajak sebagai “Pengadilan Khusus” di bawah Peradilan Tata Usaha Negara, maka perlu dibentuk kepaniteraan khusus Pengadilan Pajak. Sedangkan format adanya Sekretaris Pengadilan Pajak sebagai
penyelenggaran
administrasi
diubah
dan
menginduk sesuai dengan peneyelenggaraan administrasi kepaniteraan khusus di atas. Tentunya, sumber daya pendukung pengadilan tersebut seutuhnya berada di bawah kewenangan Mahkamah Agung. Dari uraian ringkasan tiap-tiap aspek di atas, dapat disimpulkan bahwa konstruksi Pengadilan Pajak “satu atap” merupakan “harga mati” yang harus dipenuhi mengingat konstruksi “dua atap,” berdasarkan pemetaan 64
Penutup
masalah Pengadilan Pajak yang telah dilakuakan tim Masyarakat Transparansi Indonesia, menuai hal-hal problematik dan tidak relevan dengan hukum positif dan prinsip-prinsip. Dengan demikian, penyusunan naskah akademik
ini
mewujudkan
merupakan
langkah
pembaharuan
lanjutan
Pengadilan
untuk Pajak,
menghapuskan birokratisme melalui reformasi birokrasi, sekaligus penataan sistem peradilan Indonesia yang terpadu.
B. Saran •
Perlu disempurnakan bagian “menimbang dan mengingat.” Untuk bagian ini, perlu dilakukan harmonisasi
dengan
peraturan
perundang-
undangan terkait aspek kehakiman maupun aspek perpajakan. •
Pengadilan Pajak perlu dibentuk tidak hanya di ibukota Negara, Jakarta, melainkan juga di beberapa kota besar. Mekanisme pembentukan dapat berupa “pencangkokan” Pengadilan Pajak
65
Penutup
ke dalam Pengadilan Tata Usaha Negara di beberapa kota besar. •
Pembinaan
organisasi,
administrasi,
dan
keuangan dari Pengadilan Pajak diserahkan kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, Mahkamah
Agung
tidak
hanya
melakukan
pembinaan teknis peradilan melainkan juga pembinaan
organisasi,
administrasi,
dan
keuangan. •
Ketua hakim pajak seharusnya merupakan hakim karier yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim karier tersebut dapat merupakan hakim yang mengerti seluk beluk lingkungan peradilan tata usaha negara.
•
Perlu penegasan definisi dari hakim karier dan hakim ad-hoc. Selama ini terjadi kesalahpahaman terhadap terminologi hakim karier dan hakim adhoc. Hakim karier seharusnya hakim yang mengerti seluk beluk hukum sehingga memiliki
66
Penutup
sensibilitas keadilan, bukan seperti apa yang dipahami oleh kalangan Pengadilan Pajak, hakim karier
sekarang
kebanyakan
dipegang
oleh
mantan pegawai Direktorat Pengadilan Pajak atau Kementerian
Keuangan.
Untuk
menghindari
kesalahpahaman ini, perlu diadopsi di dalam ketentuan umum tentang definisi hakim “karier” dan hakim “ad-hoc.” •
Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim, selain dilakukan oleh Mahkamah Agung, juga seharusnya dilakukan oleh Komisi Yudisial (harmonisasi dengan UU No. 48/2009).
•
Hakim Pengadilan Pajak seharusnya dibawa ke Majelis Kehormatan Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung.
•
Pembinaan
organisasi,
administrasi,
dan
keuangan, termasuk tunjangan bagi hakim dan pegawai Pengadilan Pajak, harus berada di bawah Mahkamah Agung.
67
Penutup
•
Sekretariat Pengadilan Pajak seharusnya menjadi pejabat peradilan dan susunannya berada di bawah Mahkamah Agung (harmonisasi dengan UU No. 48/2009).
•
Panitera sebagai pejabat peradilan susunannya seharusnya berada di bawah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung tidak terbatas pada pembinaan teknis Panitera, melainkan juga pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Panitera.
•
Pasal 31 diubah untuk diharimonisasikan dengan Perubahan Terakhir UU KUP.
•
Pengadilan Pajak dapat dibuat dua tingkat sehingga
penumpukan
perkara
dapat
diminimalisir. •
Ketentuan
Pasal
36
harus
diubah
dan
diharmonisasikan dengan Pasal 25 ayat 3A dan Pasal 27 UU KUP. Jika Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud
68
Penutup
telah dibayar sebesar 50%, maka hal tersebut akan memberatkan wajib pajak. •
Jangka waktu pengajuan Gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan
Pajak
lebih
baik
disamakan dengan pengajuan Banding. Jangka waktu Gugatan terhadap
Keputusan selain
Gugatan juga sebaiknya disamakan dengan pengajuan Banding, yaitu 3 bulan. Hal tersebut untuk meringankan biaya dari wajib pajak. Terlebih, wajib pajak harus mengurusnya ke Pengadilan Pajak yang hanya berkedudukan di Jakarta. •
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dapat merugikan negara atau wajib pajak. Untuk itu, putusan Pengadilan Pajak seharusnya masih bisa diupayakan kasasi.
•
Upaya
hukum
Peninjauan
Kembali
(PK)
sebaiknya tidak ada di Pengadilan Pajak karena akan membuat perkara menumpuk di Mahkamah
69
Penutup
Agung. Upaya hukum di Pengadilan Pajak sebaiknya hanya sampai tingkat banding.
70
Lampiran Rancangan Undang-Undang
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK Menimbang
: a.
bahwa para pencari keadilan yang mengajukan gugatan sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak semakin mengalami peningkatan;
b.
bahwa untuk memenuhi kebutuhan para pencari keadilan perlu dilakukan peningkatan pelayanan publik baik dari segi kualitas maupun kuantitas;
c.
bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak;
d.
bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
Lampiran Rancangan Undang-Undang
dimaksud dalam huruf a dan b tersebut di atas perlu dibentuk Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Mengingat
: 1.
Pasal 20, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27)
3.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang perubahan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 35) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157)
4.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 17 sampai 19 dihapus sehingga berbunyi sebagai berikut:
Lampiran Rancangan Undang-Undang
Pasal 1 17.Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc. 18.Hakim Karier adalah hakim pada Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang ditetapkan sebagai hakim pajak. 19.Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim pajak. 20.Panitera adalah panitera sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan Khusus yang berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Pengadilan Pajak berkedudukan di setiap ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
(2) Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pengadilan Pajak berkedudukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat. 4. Ketentuan Pasal 5 ayat 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. 5. Ketentuan Pasal 5 ditambahkan dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 5A Pengadilan Pajak merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa pajak. Pasal 5B Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa keabeanan.
6. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: a. Pimpinan; b. Hakim; dan
Lampiran Rancangan Undang-Undang
c. Panitera. 7. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. (2) Ketua dan wakil ketua pengadilan tata usaha negara karena jabatannya menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggungjawab atas administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Pajak. (4) Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan penyelenggaraan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada wakil ketua.
8. Ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa pajak, Pengadilan Pajak, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
(2) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. (3) Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani perkara sengketa pajak dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. (4) Hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. (5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 9 (5) Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. 9. Ketentuan Pasal 9 ditambahkan dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 9A Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia;
Lampiran Rancangan Undang-Undang
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang berpengalaman di bidang pajak sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. f. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik; i. melaporkan harta kekayaannya; j. bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim Pajak; dan k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc Pajak. Pasal 9B (1) Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Ketua Mahkamah Agung
Lampiran Rancangan Undang-Undang
membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsure Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kementrian Keuangan dan masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan transparan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. Pasal 9C (1) Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh: a. Ketua Pengadilan Tinggi untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; b. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak. (2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: Sumpah: ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhikewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Lampiran Rancangan Undang-Undang
Janji: “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Pasal 9D Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi: a. pelaksana putusan pengadilan; b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya; c. pimpinan atau anggota lembaga negara; d. kepala daerah; e. advokat; f. notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah; g. konsultan pajak; g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundangundangan; atau h. pengusaha. Pasal 9E Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim ad hoc yang
Lampiran Rancangan Undang-Undang
memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya. 10. Ketentuan Pasal 11 ayat 2 diubah sehingga berbunyi: Pasal 11 (2) Ketua melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku Wakil Ketua, Hakim, dan Panitera. 11. Ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi: Pasal 13 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden Atas usul Ketua Mahkamah Agung karena : a. permintaan sendiri; b. sakit jasmani dan rohani terus menerus; c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas. (2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya. (3) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia, dengan sendirinya
Lampiran Rancangan Undang-Undang
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan Keputusan Presiden. Pasal 14 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dengan alasan: a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; b. melakukan perbuatan tercela; c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; d. melanggar sumpah/janji jabatan; atau e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A dan Pasal 9D. 12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. (2) Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya diberhentikan dari statusnya sebagai pegawai negeri.
13. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Lampiran Rancangan Undang-Undang
Pasal 22 (1) Kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Panitera Pengganti diatur dengan Peraturan Presiden.
14. Ketentuan Pasal 23 dan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Pada Pengadilan Pajak dapat ditetapkan adanya kepaniteraan khusus yang dipimpin oleh seorang panitera. (2) Ketentuan mengenai susunan kepaniteraan, persyaratan pengangkatan, dan pemberhentian pada jabatan kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus Pengadilan Pajak diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. 15. Ketentuan Pasal 25 sampai Pasal 30 dihapus.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
16. Ketentuan Pasal 32 dihapus. 17. Pasal 33 dan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Pasal 34 (1) Para pihak yang bersengketa masingmasing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus, dengan segala persayaratannya yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
18. Ketentuan Pasal 34 Ayat (2) dan (3) dihapus. 19. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. (2) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
(3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding. (4) Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35; dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. 20. Ketentuan Pasal 36 ditambahkan dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 36A Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. 21. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah 1 (satu) bulan terhitung sejak berakhirnya keadaan di1uar kekuasaan penggugat. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.
22. Pasal 77 ayat 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Banding atas putusan Pengadilan Pajak kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. 23. Pasal 80 ayat 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80
Lampiran Rancangan Undang-Undang
(2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan Gugatan dan Banding. 24. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 81 Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Banding diterima. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
25. Ketentuan Pasal 88 ayat 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Panitera dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela diucapkan.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
26. Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dirubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 (1) Permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. (2) Permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding tersebut tidak dapat diajukan lagi. Pasal 90 Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan Pemeriksaan Tingkat Banding adalah hukum acara pemeriksaan Pemeriksaan Tingkat Banding sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Lampiran Rancangan Undang-Undang
Pasal 91 Permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding hanya dapat diajukan berdasarkan alasanalasan sebagai berikut: a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda; c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c; d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 92 (1) Pengajuan permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
Lampiran Rancangan Undang-Undang
sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Pengajuan permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan suratsurat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. (3) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim. Pasal 93 (1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan: a. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan Pemeriksaan Tingkat Banding diterima oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa; b. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara telah mengambil putusan,
Lampiran Rancangan Undang-Undang
dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat. (2) Putusan atas permohonan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
27. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku: 1. Pengadilan Pajak yang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 adalah kelanjutan dari Pengadilan Pajak berdasarkan Undangundang ini. 2. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Hakim Pengadilan Pajak menjadi hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara. 3. Sekretaris Pengadilan Pajak menjadi Panitera pada Pengadilan Pajak. 4. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Hakim pada Pengadilan Pajak dapat menyelesaikan tugas sampai akhir masa jabatannya. 5. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, tugas, dan
Lampiran Rancangan Undang-Undang
wewenangnya disesuaikan Undang-undang ini.
dengan
28. Ketentuan Pasal 94 ditambahkan dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 94 B Dalam hal Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 35 tidak tersedia Hakim ad hoc yang mempunyai keahlian yang diperlukan dalam pemeriksaan perkara, ketua pengadilan negeri dapat meminta Hakim ad hoc pada ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dalam daerah hukum Pengadilan Tnggi Tata Usaha Negara lainnya. 29. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Banding atau Gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Pajak dan belum diputus, dalam hal: a. tenggang waktu pengajuan Banding/Gugatannya telah berakhir sebelum berlakunya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002; b. tenggang waktu pengajuan Banding/Gugatannya belum berakhir pada saat mulai berlakunya Undang-
Lampiran Rancangan Undang-Undang
undang ini, diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-undang ini. (2) Perkara Sengketa Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat diajukan Pemeriksaan tingkat banding berdasarkan Undangundang ini.
Pasal II Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ………………………… PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd ……………………………………………… Diundangkan di Jakarta pada tanggal …………………………… SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd ……………………………………………. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …….. NOMOR ……
Lampiran Rancangan Undang-Undang
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …. TAHUN ….. TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
Cukup Jelas
Profil Singkat Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Disadari bahwa proses mewujudkan masyarakat yang transparan memerlukan komitmen yang kuat dari semua lapisan masyarakat. Momentum reformasi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menciptakan iklim yang kondusif ke arah terwujudnya Sistem Integritas Nasional, dan sebab itu kita memerlukan sebuah organisasi independen dan terbuka bagi setiap penduduk. Untuk itu, dipandang perlu untuk mendirikan organisasi dengan kesadaran dan kepedulian sebagaimana diuraikan di atas dengan nama Masyarakat Transparansi Indonesia.
VISI x
Menjadi pelopor terwujudnya Sistem Integritas Nasional dengan mendorong praktik-praktik yang bersih dan sehat di bidang bisnis, pemerintahan, dan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.
MISI x
Menyosialisasikan pengertian dan hakikat transparansi pada masyarakat luas dan menanamkan keyakinan
tentang pentingnya transparansi dalam berbagai bidang kehidupan; x
Melakukan berbagai penelitian dan pengkajian mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsepsi transparansi;
x
Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dalam berbagai bentuk untuk mengkaji dan merumuskan strategi pelaksanan transparansi di bidang hukum, politik, sosialbudaya, ekonomi-bisnis, dan hankam; dan
x
Mengomunikasikan berbagai konsep tentang transparansi kepada pusat-pusat pengambilan keputusan baik bisnis, pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil.
Buku-buku terbitan MTI untuk tahun 2010, antara lain: 1. Reformasi Birokrasi: Peta Masalah dan Alternatif Solusi 2. Menuju Kejaksaan Progresif (versi Bahasa Indonesia) 3. Towards a Progressive Public Prosecutor’s Office (versi Bahasa Ingrris) 4. Selected Readings on Indonesia Corruption Case Vol I dan II 5. Kapita Selekta Kasus Korupsi di Indonesia: Putusan MA Vol. III dan IV
6. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi pada 3 Zaman: Dari Soekarno, Soeharto, hingga Era Reformasi 7. Reformasi Pelayanan Perizinan pada Era Otonomi Daerah: Kisah Sukses Kab. Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru 8. Mengawal Birokrasi Masyarakat
Pemberantasan di
Indonesia: Transparansi
Korupsi Catatan
dan
Reformasi
Kritis
Mingguan
Indonesia
(MTI)
Mei-
September 2010 9. Telaah Hukum, Pemberantasan Korupsi, dan Revitalisasi Hukum Islam di Indonesia: Kumpulan Tulisan Dr. Hamid Chalid, SH., LL.M 10. Pemetaan Masalah Pengadilan Pajak