PENETAPAN STATUS PRESENT SAPI-SAPI PERAH EDUCATION-CORPORATION FARMING (E.CO.FARM) FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR MENGGUNAKAN URINE-STRIP TEST SEMIKUANTITATIF
AHMAD NUR
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PENETAPAN STATUS PRESENT SAPI-SAPI PERAH EDUCATION-CORPORATION FARMING (E.CO.FARM) FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR MENGGUNAKAN URINE-STRIP TEST SEMIKUANTITATIF
AHMAD NUR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
AHMAD NUR. Penetapan Status Present Sapi-Sapi
Perah Education-
Corporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Menggunakan Urine - Strip Test Semikuantitatif. Dibawah bimbingan Dr.Drh. Setyo Widodo. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan memberikan gambaran status present sapi-sapi
perah yang terdapat di Education-Corporation Farming (E.Co.Farm)
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor menggunakan urine - strip test (uric 10 cf) semikuantitatif. Penelitian ini dilakukan pada pagi hari dan sore hari dengan cara mencelupkan strip test ke dalam urin yang telah diambil sebelumnya. Setelah dicelupkan hasil langsung dibaca dengan mencocokkan dengan warna standar pada strip test (uric 10 cf) dengan jarak waktu 45-120 detik. Pengulangan uji dilakukan 1 kali setelah satu minggu dari uji yang pertama. Strip test ini secara semikuantitatif meliputi pengukuran kadar leukosit, nitrit, urobilinogen, protein, pH, darah, kelarutan, keton, billirubin, dan glukosa. Dari hasil pemeriksaan urin sapi-sapi perah E.Co.Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor menggunakan urine strip test – semikuantitatif diperoleh bahwa 65 % (13 dari 20 ekor) urin pagi pada minggu pertama pengamatan dan 55 % (11 dari 20 ekor) urin pagi pada pemeriksaan yang kedua bersifat asam. Dari sapi-sapi dengan urin asam 10 % (2 ekor) menunjukkan ketonuria dan 5 % (1 ekor) menunjukkan proteinuria. Sekitar 40 % ( 8 dari 20 ekor) sapi-sapi E.Co.Farm menunjukkan urin asam secara tetap.
Kata kunci
: Sapi Perah, Urin, Strip Test - Semikuantitatif
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mangadu, Kecamatan Mangarabombang Kab.Takalar Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Oktober 1985 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muh.Basri Daeng Tula dan Ibu Kartia Daeng Sugi. Pendidikan sekolah dasar penulis diselesaikan di SD Inpres Lengkese II, Mangadu pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP.N.1.Mangarabombang dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMU.N.1.Takalar dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Selama menjadi mahasiswa FKH IPB, penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan baik tingkat IPB maupun tingkat Nasional. Penulis aktif di Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) Unit 1 IPB sebagai Kepala Divisi Infokom periode 2003-2004, Ketua Umum Periode 20042005, Pembantu Sekjend Forum Komunikasi KSR Perguruan Tinggi Se-Indonesia periode 2004-2006. Menteri Kebijakan Umum BEM FKH periode 2005-2006, Sekretaris Forum Mahasiswa Tanggap Flu Burung (FMITFB) Jawa Bagian Barat 2006-2007, Anggota Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia, Ornithologi dan Unggas, Satwa Liar FKH IPB, dan sejumlah organisasi lainnya ( DKM An_nahl FKH IPB, IMAKAHI, FIM FHK IPB, KAMMI Komisariat IPB, HMI Komisariat FKH IPB, Asisten Pendidikan Agama Islam IPB, Islamic Student Center DKM AlHurriyah IPB).
PRAKATA Bismillahirahmanirahim… Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT, Rabb Semesta Alam yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabiullah Muhammad SAW, sahabat dan ummatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB). Judul yang dipilih adalah Penetepan Status Present Sapi-Sapi Perah EducationCorporation
(E.Co.Farm)
Fakultas
Peternakan
Institut
Pertanian
Bogor
Menggunakan Urine – Strip Test Semikuantitatif. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr.drh. Setyo Widodo selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, pemikiran, materi, motivasi, kesabaran, dan waktunya hingga selesainya skripsi ini 2. Dr.drh. Sus Derthi Widyari, MS selaku dosen penilai dan penguji dalam seminar dan sidang skripsi serta Dr.drh.Anita Esfandiari selaku moderator dalam seminar skripsi. 3. Drh. Dudung Abdullah, selaku dosen pembimbing akademik. 4. Drh. Retno Wulan Sari, Ms, PhD selaku dosen “Curhat”. 5. Staf dan karyawan Perusahaan Education-Corporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan IPB. 6. Bapakku Muh. Basri Daeng Tula, Ibu Kartia Daeng Sugi, Adek-adekku (Irma dan Dian), serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan doa, moril, materi dan semangatnya. 7. Saudaraku yang telah banyak membantu dalam penelitian: Rizky “INMT 40”, Ari Fapet “43”, Ahmad Shifa Faperta “43”. 8. Ikhwahfillah seperjuangan Se-IPB.
9.
DKM An-Nahl FKH IPB, BEM KM FKH 2004-2006, DKM Al-Hurriyah IPB, Tim PAI IPB 2007, KSR PMI Unit I IPB, IMAKAHI, FMITFB Jawa bagian Barat, WAMAPI.
10. Teman-teman terbaikku: Aswad, Agus “Dompu”, Supriyono, Berry, Bheta, Vando D, Kresna NN, Lilis S, Pritta M, Widia I, Lia Rahmi, Ramlah, Dwi Hayatin, Dhiosi, Dattu I, Wiwik W, Yanti S, Indah “THH 40”. 11. Pondok Hattory Cibanteng: Agus, Berry, k’jemix, Dae Adhim, Kang Cecep/Lando, Aa Gunawan, Mas Dedi, Abah, Ferry, k’Juz, Aa Robby. 12. Gymnolaemata “40”. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu dan profesi Kedokteran Hewan Indonesia. Bogor, September 2007 Penulis
Ahmad Nur
i LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Penetapan Status Present Sapi-Sapi Perah Education Corporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Menggunakan Urine – Strip Test Semikuantitatif
Nama Penulis : Ahmad Nur NRP
: B04103006
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
Dr. Drh. Setyo Widodo NIP. 131 284 621
Mengetahui : Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090
Tanggal Lulus
: 26 September 2007
ii DAFTAR ISI Daftar Tabel
........................................................................
iii
Daftar Gambar
........................................................................
iv
Pendahuluan
........................................................................
1
........................................................................
1
Tujuan Penelitian ........................................................................
2
Manfaat Penelitian.......................................................................
2
Latar Belakang
Tinjauan Pustaka
........................................................................
3
Proses Fisiologi Pembentukan Urin..........................................
3
Mekanisme Kerja Glomerulus dan Tubulus................................
6
Hal-Hal Yang Mempengaruhi Produksi Urin............................
10
Mekanisme Penyimpanan Dan Pembuangan Urin ......................
11
Urinalisis
........................................................................
13
Bahan dan Metode Penelitian.............................................................
26
Hasil dan Pembahasan.......................................................................
27
Leukosit
........................................................................
27
Nitrit
........................................................................
28
Urobilinogen dan Billirubin... ................................................
29
Protein
........................................................................
30
pH
........................................................................
31
Darah
........................................................................
33
Berat Jenis
........................................................................
33
Keton
........................................................................
34
Glukosa
........................................................................
36
Kesimpulan Dan Saran ......... ............................................................
38
Daftar Pustaka
39
Lampiran
........................................................................
iii DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kisaran Fisiologis Urin Sapi Perah.......................................
27
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Leukosit...................................................
27
Tabel.3. Hasil Pemeriksaan Nitrit.......................................................
28
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Urobilinogen dan Billirubin...................
29
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Protein....................................................
30
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan pH...........................................................
31
Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Darah..................................................... .
33
Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Berat Jenis............................................. .
34
Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Keton..................................................... .
34
Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Glukosa.................................................
36
iv DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ginjal Sapi........................................................................
3
Gambar 2. Nefron
........................................................................
4
Gambar 3. Mekanisme Kerja Glomerulus Dan Tubulus....................
9
Gambar 4. Vesika Urinaria.................................................................
12
Gambar 5. Strip Test ........................................................................
13
Gambar 6. Kantung Empedu..............................................................
16
Gambar 7. Hati
25
........................................................................
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama
antara
pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, pengendalian serta pengawasan terhadap ketersediaan produk asal peternakan, baik jumlah, mutu, aman, bergizi, beragam dan merata. Sedangkan swasta dan masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan, antara lain melalui pelaksanaan produksi, perdagangan, serta distribusi produk ternak. Selayaknya Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri bahkan Indonesia berpotensi negara pengekspor produk asal peternakan dan produk pangan asal ternak. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan berbagai jenis tanaman dan pakan dan keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup mendukung. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan peternakan di Indonesia masih belum berhasil dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, hal ini termasuk dikarenakan kondisi peternakan yang masih
rentan terhadap penyakit hewan
berbahaya. Adanya gangguan penyakit baik secara langsung dan tidak langsung juga berpengaruh pada peternakan sapi perah yang khusus menghasilkan produk susu. Sehingga pada sapi perah yang berada di kandang sering diperiksa oleh petugas kesehatan sapi secara rutin. Hal ini bertujuan untuk dapat memberikan status kelayakan bagi hewan yang akan diperah agar dapat memberikan jaminan susu yang akan dikonsumsi masyarakat untuk memenuhi standar ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memeriksa keadaan tubuh saat ini (status present) adalah dengan urinalisis. Urinalisis dapat menunjang penelusuran sebab dari suatu penyakit atau penyimpangan yang terjadi pada hewan melalui urin, sehingga patogenesis, diagnosis maupun prognosis, dapat diberikan dengan tepat. Berdasarkan fakta di atas, penulis mencoba memberikan gambaran status present sapi-sapi perah Education-Corporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor berdasarkan uji urinalisis semikuantitatif. Strip test
2 merupakan cara mengukur secara semikuantitatif dengan 10 parameter yaitu leukosit, nitrit, urobilinogen, protein, pH, darah, berat jenis, keton, bilirubin, dan glukosa.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui status present sapi-sapi perah EducationCorporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor menggunakan urine - strip test semikuantatif.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan adalah : 1. Menambah informasi mengenai kondisi sapi-sapi
serta memberikan saran
terhadap permasalahan penyakit pada sapi-sapi di kandang perah E.Co.Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2. Menggali potensi serta kemampuan kandang perah E.Co.Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dalam memberikan pelayanan masyarakat umumnya dan khususnya dalam lingkungan pendidikan Institut Pertanian Bogor.
3 TINJAUAN PUSTAKA
Proses Fisiologi Pembentukan Urin Ginjal adalah organ yang menyerupai plasma dan unsur-unsur plasma dari darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur yang berguna yang kembali difitrat yang pada akhirnya mengeluarkan kelebihan dan produk buangan plasma. Menurut Frandson (1992) hampir semua jenis ternak memiliki bentuk seperti kacang kecuali ginjal sapi dengan lobul-lobulnya (Gambar 1). Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari aorta dan vena kava yang tepat pada posisi ventral terhadap beberapa vertebrae lumbal yang pertama. Pada sapi, apabila rumennya sudah penuh, ginjal kiri dapat terdorong ke kanan sejauh bidang median atau di atasnya. Pada sapi ginjal kiri dapat bersifat lebih jauh longgar melekat pada dinding tubuh dibanding dengan ginjal kanan, akibatnya arteri dan vena renal kiri lebih panjang daripada pembuluh-pembuluh sebelah kanan. Ginjal menempel jauh lebih dekat ke dinding abdominal melalui fosia, pembuluh, dan peritonium daripada organ-organ lain. Nefron adalah unit struktur dan fungsi ginjal. Nefron terdiri atas glomerulus, kapsul glomerulus (kapsula Bowman), tubulus kontortus proksimalis, loop Henle dan tubulus kontortus distalis. Glomerulus merupakan suatu tuft dari kapiler-kapiler. Menurut Subronto (1985) pada sapi dengan berat 400 kilogram, maka berat ginjalnya sekitar 0,3 % berat badan, berat keduanya 1200 gram.
Gambar 1. Ginjal Sapi
4 Menurut Guyton (1990) proses pembentukan urin dimulai darah yang memasuki nefron pada bagian glomerulus dari arteriol aferen dan kemudian meninggalkan arteriol eferen. Glomerulus merupakan suatu jalinan dari sampai 50 kapiler sejajar yang dilapisi oleh sel-sel epitel. Tekanan darah dalam glomerulus menyebabkan cairan difiltrasikan ke dalam kapsula Bowman, kemudian
darah
mengalir pertama ke dalam tubulus proksimalis. Dari sini cairan tersebut akan mengalir ke dalam lengkung Henle yang dekat dengan medula ginjal tersebut nefronnefron jukstamedular. Dari lengkung Henle cairan akan mengalir melalui tubulus distalis. Akhirnya cairan tersebut mengalir ke dalam tubulus (duktus) koligens, yang mengumpulkan cairan dari beberapa nefron. Duktus koligens berjalan dari korteks kembali ke bawah melalui medula, sejajar dengan lengkung Henle. Kemudian bermuara ke dalam pelvis. Ketika filtrat glomerulus mengalir melalui tubulus tersebut, kebanyakan air dan berbagai zat yang terlarut di dalamnya direabsorbsi ke dalam kapiler peritubulus dan sejumlah kecil solut lain disekresikan ke dalam tubulus. Air dan solut tubulus yang tersisa menjadi urin.
Gambar 2. Nefron
5 Di dalam ginjal terjadi rangkaian proses filtrasi, reabsorbsi, dan augmentasi (Anonim 2007). 1. Penyaringan (filtrasi) Filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus pada kapsula Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga mempermudah proses penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses penyaringan adalah tekanan hidrolik dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus. Selain penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada filtrat glomerulus masih dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam garam lainnya. 2. Penyerapan kembali (Reabsorbsi) Volume urin hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimalis dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distalis. Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan dalam urin. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali. Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimalis dan tubulus distalis. 3. Augmentasi Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distalis. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah
6 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin.
Mekanisme Kerja Glomerulus dan Tubulus Filtrat glomerulus adalah cairan dan unsur-unsur cairan yang bergerak dari darah di dalam glomerulus melalui endotel kapiler glomerulus dan epitel squamosa sederhana, membentuk lapisan viseral dari kapsula glomerulus ke dalam lumen kapsul glomerulus (Frandson 1992). Cairan yang difiltrasikan melalui glomerulus ke dalam kapsula Bowman disebut filtrat glomerulus
dan membran kapiler
glomerulus disebut membran glomerulus. Filtrasi glomerulus terjadi dengan cara yang hampir tepat sama seperti merembesnya dari setiap kapiler yang bertekanan tinggi di dalam tubuh, yaitu tekanan yang ada di dalam kapiler glomerulus menyebabkan filtrasi cairan tubuh melalui membran kapiler ke dalam kapsula Bowman. Sebaliknya tekanan osmotik koloid di dalam darah dan tekanan di dalam kapsula Bowman berlawanan filtrasi tersebut (Guyton 1990). Air beserta sebagian besar molekul yang ukurunnya lebih kecil dari ukuran koloid dapat tersaring dari plasma darah membentuk filtrat glomerulus. Filtrat ini mencakup unsur-unsur plasma yang siap melintasi membran dan berada dalam konsentrasi yang sama seperti dalam plasma. Filtrasi glomerulus terjadi sebagai hasil kerja hemodinamika filtrasi kapiler seperti yang terjadi di seluruh tubuh, kecuali bahwa filtrasi glomerulus adalah suatu bentuk kapiler bertegangan tinggi (Frandson 1992). Kuantitas filtrasi glomerulus yang dihasilkan, bergantung pada tekanan filtrasi, yang merupakan hasil dari perbedaan tekanan hidrostatik (tekanan cairan) dan tekanan osmotik di dalam kapiler glomerulus apabila dibandingkan dengan tekanan-tekanan yang tipenya sama di dalam lumen kapsul glomerulus. Sedangkan menurut Corwin (2000) filtrasi glomerulus tergantung dari jumlah gaya-gaya yang mendorong filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-gaya yang mendorong reabsorbsi filtrat kembali ke dalam glomerulus. Semua hal yang mempengaruhi gaya filtrasi atau reabsorbsi akan mempengaruhi filtrasi glomerulus neto. Gaya-gaya yang mendorong filtrasi adalah tekanan kapiler adanya tekanan koloid cairan interstitium. Gaya-gaya yang mendorong reabsorbsi adalah tekanan cairan intersitium dan tekanan koloid plasma.
7 Menurut Guyton (1990) ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulus antara lain tekanan arteri, efek konstriksi arteriol aferen pada laju filtrasi glomerulus, efek konstriksi arteriol eferen, dan efek aliran darah glomerulus atas laju filtrasi glomerulus. Tidak seperti filtrasi glomerulus, yang secara relatif tidak selektif, reabsorbsi tubulus bersifat sangat selektif. Beberapa zat seperti glukosa dan asam-asam amino, direabsorbsi hampir sempurna dari tubulus, sehingga nilai ekskresi dalam urin adalah nol. Banyak ion dalam plasma, seperti natrium, klorida, dan bikarbonat juga sangat direabsorbsi, tetapi kecepatan reabsorbsi dan ekskresi urinnya bervariasi, bergantung pada kebutuhan tubuh. Hampir semua zat yang larut dalam plasma diserap kembali dalam jumlah tertentu. Dalam hal ini sel-sel tubulus memilih zat-zat yang diperlukan guna kesehatan dan fungsi faali tubuh (Girindra 1988). Filtrat glomerulus yang memasuki tubulus nefron mengalir melalui tubulus proksimalis, arus lengkung Henle, tubulus distalis dan melalui duktus koligens ke dalam pelvis ginjal. Sepanjang perjalanan ini zat-zat direabsorbsikan atau disekresi secara selektif oleh epitel tubulus, cairan yang dihasilkannya memasuki pelvis ginjal sebagai urin (Guyton 1990). Tubulus mengadakan reabsorbsi balik dari ikatan-ikatan dan elektrolit yang sebagian besar melibatkan peristiwa transpor aktif, juga mensekresikan ikatan-ikatan dan elektrolit-elektrolit yang berfungsi pada regulasi keseimbangan asam dan basa (Breazile 1971 dalam Rotoro 1992). Secara normal, sekitar 65% dari muatan natrium dan air yang difiltrasi, dan nilai persentase yang rendah lagi dari klorida, akan yang direabsorbsi oleh tubulus proksimalis sebelum filtrat mencapai lengkung Henle. Persentase
ini
dapat
meningkat
atau
menurun
dalam
berbagai
kondisi
fisiologis. Tubulus proksimalis mempunyai kapasitas yang besar untuk reabsorbsi aktif dan pasif. Permukaan membran epitelial brush border yang luas juga dimuati oleh molekul-molekul protein pembawa yang mentransport sebagian besar ion natrium melewati membran lumen yang bertalian dengan mekanisme ko-transport dengan berbagai nutrient organik seperti asam amino dan glukosa. Sisa natrium ditransport dari lumen tubulus ke dalam sel dengan mekanisme transport imbangan, yang mereabsorbsi natrium sementara mensekresi zat-zat lain ke dalam lumen tubulus, terutama ion hidrogen.
8 Lengkung Henle terdiri dari tiga segmental fungsional yang berbeda: segmen tipis asenden, segmen tipis desenden, dan segmen tebal asenden, sesuai dengan namanya, mempunyai membran epitel yang tipis tanpa brush border, sedikit mitokondria, dan tingkat aktivitas metabolik yang rendah. Bagian desenden segmen tipis sangat permeabel terhadap air dan sedikit permeabel terhadap kebanyakan zat terlarut, termasuk ureum dan natrium. Fungsi segmen nefron ini terutama untuk memungkinkan difusi zat-zat secara sederhana melalui dindingnya. Sekitar 20% dari air yang difiltrasi akan direabsorbsi di lengkung Henle, dan hampir semuanya terjadi di lengkung tipis desenden karena lengkung asenden, termasuk bagian tipis dan bagian tebal, sebenarnya tidak permeabel terhadap air, suatu karakteristik yang penting untuk memekatkan urin. Segmen tebal lengkung Henle, yang dimulai dari separuh bagian atas lengkung asenden, mempunyai sel-sel epitel yang tebal yang mempunyai aktifitas metabolik tinggi dan sanggup melakukan reabsorpsi aktif natrium, klorida dan kalium. Sekitar 25% dari muatan natrium, klorida, dan kalium yang difiltrasi akan direabsorbsi di lengkung Henle, kebanyakan di lengkung tebal asenden lengkung Henle. Sejumlah besar ion lain, seperti kalsium, bikarbonat, dan magnesium juga direabsorbsi pada lengkung tebal asenden lengkung Henle. Segmen tipis lengkung asenden memiliki kemampuan reabsorpsi yang lebih rendah daripada segmen tebal, dan lengkung tipis desenden tidak mereabsorbsi zat terlarut ini dalam jumlah yang bermakna. Suatu komponen penting dari reabsorbsi zat terlarut dalam lengkung tebal asenden adalah pompa natrium-kalium ATPase pada membran basolateral sel epitel. Seperti dalam tubulus proksimalis, reabsorbsi zat terlarut lain dalam segmen tebal asenden lengkung Henle berhubungan erat dengan kemampuan reabsorbsi pompa natrium-kalium ATPase, yang mempertahankan konsentrasi natrium intraseluler yang rendah. Konsentrasi natrium intraseluler yang rendah ini kemudian menghasilkan suatu gradien untuk pergerakan natrium dari cairan tubulus masuk ke dalam sel. Pada lengkung tebal asenden, pergerakan natrium melewati membran luminal, terutama diperantarai oleh kotransport 1-natrium, 2-klorida, 1kalium. Kotransport pembawa protein dalam membran luminal ini menggunakan energi potensial yang dilepaskan oleh difusi natrium masuk ke dalam sel untuk mengendalikan reabsorbsi kalium ke dalam sel melawan suatu gradien konsentrasi. Lengkung tebal asenden juga memiliki mekanisme transport imbangan natrium-
9 hidrogen dalam membran sel luminalnya yang diperantarai reabsorbsi natrium dan sekresi hidrogen dalam segmen ini. Karena segmen tebal asenden lengkung Henle sesungguhnya impermeabel terhadap air, maka kebanyakan air yang dibawa ke segmen ini tetap tinggal dalam tubulus, walaupun terjadi reabsorbsi zat terlarut dalam jumlah besar. Oleh karena itulah, cairan tubulus pada lengkung asenden menjadi sangat encer sewaktu cairan mengalir menuju tubulus distalis, suatu gambaran
yang
penting
untuk
memungkinkan
ginjal
mengencerkan
atau
memekatkan urin pada kondisi yang berbeda-beda. Segmen tebal asenden lengkung Henle berlanjut ke dalam tubulus distalis. Bagian paling pertama dari tubulus distalis membentuk bagian kompleks jukstaglomerulus yang menimbulkan kontrol umpan balik Glomerulus Filtrate Rate (GFR) dan aliran darah dalam nefron yang sama. Bagian awal selanjutnya dari tubulus distalis sangat berkelok-kelok dan mempunyai banyak ciri reabsorbsi yang sama dengan bagian tebal asenden lengkung Henle. Artinya mereka banyak mereabsorbsi ion-ion termasuk natrium, kalium, dan klorida, tetapi sesungguhnya tidak permeabel terhadap air dan ureum. Karena alasan itu, bagian ini disebut segmen pengencer karena juga mengencerkan cairan tubulus (Sirupang 2007)
Gambar 3. Mekanisme Kerja Glomerulus dan Tubulus
10 Hal-hal yang Mempengaruhi Produksi Urin
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi urin antara lain : 1. Hormon Anti Diuretik (ADH) Hormon anti diuretik (ADH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior akan mempengaruhi penyerapan air pada bagian tubulus distalis karena meningkatkan permeabilitias sel terhadap air. Jika hormon ADH rendah maka penyerapan air berkurang sehingga urin menjadi banyak dan encer. Sebaliknya, jika hormon ADH banyak, penyerapan air banyak sehingga urin sedikit dan pekat. Kehilangan kemampuan mensekresi ADH menyebabkan penyakit diabetes insipidus. Penderitanya akan menghasilkan urin yang sangat encer (Subronto dan Tjahati 2001). 2.Asam dan Basa Kondisi asam dan basa (pH) tergantung dari konsentrasi hidrogen di dalam larutan. Makin banyak H+ maka pH akan turun. Ion H+ juga terkandung dalam makanan yang punya sifat (+) misalnya daging, sehingga biasanya pada karnivora memiliki pH urin yang asam. Pada herbivora makanannya yang rendah protein dan banyak mengandung garam karbonat sehingga cairan tubuh ion H+ banyak ternetralkan oleh garam tersebut sehingga pH urin tersebut basa (Subronto dan Tjahati 2001). 3.Tekanan darah Apabila tekanan arteri meningkat maka akan meningkatkan tekanan filtrasi dalam glomerolus sehingga laju filtrasi akan meningkat. Hal ini akan menurunkan jumlah urin yang akan diekskresi (Guyton 1990). 4.Tingkah laku dan aktivitas Banyaknya air yang diminum, akan menurunkan konsentrasi protein yang dapat menyebabkan tekanan koloid protein menurun sehingga tekanan filtrasi kurang efektif. Hasilnya, urin yang diproduksi banyak. Selain itu, semakin tinggi aktivitas yang dilaksanakan maka pengeluaran urin akan semakin sedikit karena cairan tubuh tereksresikan oleh bagian alat ekskresi lainnya misalnya keringat dari kulit (Rotoro 1992).
11 5.Gangguan penyakit spesifik Adanya gangguan penyakit yang bersifat spesifik juga mempengaruhi produksi urin. Misalnya pada penyakit nefretis intertisialis kronis akan meningkatkan ekskresi urin karena penurunan reabsorbsi dari tubulus, serta adanya kegagalan penyerapan air dari sel. Hal ini juga ada kaitannya dengan sekresi ADH. 6.Syaraf. Rangsangan pada saraf ginjal akan menyebabkan penyempitan duktus aferen sehingga aliran darah ke glomerulus berkurang. Akibatnya, filtrasi kurang efektif karena tekanan darah menurun. 7. Banyak sedikitnya hormon insulin. Apabila hormon insulin kurang (penderita diabetes melitus), kadar gula dalam darah akan dikeluarkan lewat tubulus distalis. Kelebihan kadar gula dalam tubulus distalis mengganggu proses penyerapan air, sehingga akan sering mengeluarkan urin (Anonim 2007).
Mekanisme Penyimpanan Dan Pembuangan Urin
Ureter adalah suatu saluran muskuler yang membawa urin dari ginjal (Pelvis renalis) ke vesika urinaria. Masing-masing ureter bergerak ke arah kaudal dan menumpahkan isi ke vesika urinaria (Frandson 1992). Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun dalam serabut-serabut spiral, longitudinal, dan sirkuler. Vesika urinaria adalah suatu kantung yang bersifat muskulus membranous (Dukes 1971 dalam Rotoro 1992). Terdapat 3 lapisan otot
pada vesika urinaria yaitu lapis
longitudinal dan lapis sirkuler yang terletak diantara longitudinal. Kontraksi otot-otot ini yang disebut detrusor yang bertanggung jawab untuk mengosongkan vesika urinaria selama proses miksi (Ganong 1998). Vesika urinaria yang terdiri dari otot polos ini mendapat inervasi syaraf oleh neuron-neuron sensorik yang berespon terhadap peregangan kandung kemih. Bagian otot polos yang terletak di dasar kandung kemih (sfinkter internal) juga dipersyarafi oleh parasimpatis. Sfinkter eksternal terdiri dari otot-otot rangka dan terletak di uretra bagian atas, dimana pada bagian ini neuron-neuron yang mempersyarafi berasal dari motorik dan nervus pudendus (Corwin 2000).
12 Kontraksi peristaltik yang reguler terjadi 1-5 x /menit. Menggerakkan urin dari pelvis ginjal ke vesika urinaria, dimana urin masuk dengan cepat dan sinkron sesuai dengan gelombang peristaltik. Urin yang masuk ke dalam vesika urinaria tidak menimbulkan banyak kenaikan tekanan intravesika yang berarti, sampai vesika benar-benar terisi. Ureter berjalan miring dan membentuk sudut menembus dinding vesika urinaria, sehingga walaupun tidak terdapat sfinkter, jalannya yang miring dan sudut cenderung membiarkan ureter tertutup, kecuali gelombang peristaltik. Hal ini mencegah pengaliran balik urin dari vesika urinaria ke ureter (Dukes 1971 dalam Rotoro 1992, Ganong 1998).
Gambar 4. Vesika Urinaria
Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh dan pada dasarnya adalah suatu refleks spinal yang dirangsang dan dihambat oleh pusat-pusat otak yang lebih tinggi seperti defekasi adalah perangsangannya bersifat volunter. Berkemih terjadi sewaktu sfinkter uretra internal dan eksternal di dasar kandung kemih berelaksasi, sedangkan muskulus dektrusor berkontraksi sehingga urin keluar melalui uretra (Corwin 2000). Salah satu peristiwa yang mengalami mekanis pengeluaran urin adalah relaksasi diafragma pelvis dan ini dapat menyebabkan tarikan ke bawah yang cukup pada otot-otot detrusor untuk berkontraksi. Otot perineal dan sfinkter eksterna dapat berkontraksi secara volunter, mencegah urin masuk ke dalam uretra atau menghentikan aliran pada waktu berkemih telah dimulai. Hal ini juga merupakan kemampuan untuk mempertahankan sfinkter dalam keadaan kontraksi dimana hewan
13 dapat menahan kencing sampai pada saat dikosongkan. Setelah berkemih, uretra pada hewan betina kosong akibat gravitasi. Urin yang tetap berada dalam uretra hewan jantan dikeluarkan oleh berbagai kontraksi muskulus bulbocavernosus (Ganong 1998)
Urinalisis Sejarah dan Arti Urinalisis Adanya kelainan pada air kemih sudah sangat lama mendapat perhatian medis. Sejak zaman dahulu kala, suku-suku primitif telah dapat melihat adanya penyimpangan pada urin, misalnya pada perubahan warna air kemih yang disertai rasa sakit karena radang kantung air kemih atau adanya semut dan insekta lainnya yang mengerumuni air kemih pada penderita diabetes (Bradley dan Benson 1974 dalam Rotoro 1992, Girindra 1988). Analisa urin sudah banyak mengalami kemajuan dari zaman ke zaman. Sejarah patologi klinik dimulai dari pemeriksaan dalam urin dan darah kemudian baru mempelajari hubungannya yang ada dalam tubuh. Perkembangan patologi klinik semakin memperbesar makna suatu analisa. Dengan analisa yang tepat dapat diketahui zat-zat yang normal dalam jumlah yang menyimpang atau adanya perubahan bentuk dari zat-zat yang terkandung di dalam urin (Rotoro 1992).
Gambar 5.Strip Test
Urinalisis adalah suatu pemeriksaan urin yang meliputi pemeriksaan makroskopis, mikroskopis, dan kimia urin. Pemeriksaan urin dilakukan keperluan untuk penyaringan, diagnosa sehingga berperan penting dalam pengobatan suatu
14 penyakit. (Blood, et al 1979). Pemeriksaan makroskopis urin meliputi :1.Warna ; 2.Kejernihan; 3.Bau ; sedangkan pemeriksaan mikroskopis urin terdiri dari :1.Selsel dalam urin yaitu sel-sel epitel, silinder urin, bahan organik/kristal; 2.Parasit dan bakteri urin. Pada pemeriksaan kimiawi urin yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan protein, glukosa, keton, Bilirubin, urobilinogen, berat jenis dan darah. Sampel urin mudah dievaluasi untuk melihat adanya sel darah merah, protein, glukosa, leukosit, yang dalam keadaan normal tidak ditemukan atau sedikit jumlahnya dalam urin (Corwin 2000).
Komposisi Urinalisis dan penyimpangannya Leukosit Menurut Wirasmono (1977) perubahan jumlah atau macam dan jenis leukosit yang beredar penting dalam membantu diagnosa dan prognosa. Leukosit dapat ditemukan dalam jumlah sedikit dalam urin normal. Baik pada hewan jantan maupun betina bagian distalis dari uretra mengandung bakteri dan sejumlah kecil leukosit, karena itu setiap porsi urin secara
langsung dicurahkan ke dalam tabung
pemeriksaan selalu dicemari dengan flora normal uretra. Hal ini dapat memberikan penilaian yang salah tentang pengukuran leukosit. Kecuali itu, pencemaran urin bisa terjadi karena pengeluaran urin melalui labia hewan betina dan preputium pada hewan jantan. Untuk mengurangi pencemaran tersebut maka pancaran pertama tidak ditampung. Pada keadaan estrus maka hewan betina akan memberikan jumlah leukosit sedikit lebih banyak dibandingkan yang normal (Rotoro 1992). Kehadiran sel nanah atau leukosit polimorfonuklear dalam jumlah besar di urin disebut pyuria. Hal ini menunjukkan hewan sedang melakukan perlawanan terhadap proses perbarahan supuratif dari traktus urogenital dan biasanya menunjukkan infeksi yang akut (Wells 1962 dalam Rotoro 1992). Perubahan-perubahan dapat terjadi sebagai akibat adanya leukosit dalam urin dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya penyakit yang menyerang alat hemopoitis seperti sumsum tulang, tenunan limfe, limfa, dan tetunan retikulo endotel atau penyakit-penyakit primer yang menyerang alat tubuh lainnya tetapi secara tidak langsung merubah susunan darah yang beredar karena pada pusat-pusat hemopoites (Wirasmono 1977).
15 Nitrit Menurut Girindra (1988) sebanyak 98-99 nitrogen dalam darah adalah protein dan sisanya adalah nitrogen bukan protein, bisa disebut dengan NBP (non Protein Nitrogen). NBP ini tersebar dalam jumlah yang tidak sama dalam plasma dan sel, kadarnya dalam plasma kira-kira 2 kali lipat dari dalam sel. Sekitar setengah dari NBP ini terdiri atas urea, asam urat, kreatin, kreatinin, amonia dan asam amino. Selebihnya terdiri atas hormon, enzim, senyawa organik atau nitrogen asing yang bisa diserap dari pencernaan. NBP darah pada hewan berkisar antara 20-40 mg/100 ml. Peningkatan kadar NBP ini disebabkan oleh kurang berfungsinya ginjal, demam, dehidrasi, bunting, penyumbatan usus atau prostat, keracunan logam dan lain-lain. Pada semua keadaan ini peningkatan NBP diukur dari peningkatan kadar urea. Dalam keadaan tertentu analisa NBP lain dari urea juga diperlukan. Nitrogen dikeluarkan dari asam amino atau protein dan diubah menjadi urea untuk dikeluarkan di ginjal (95%) dan sisanya di dalam feses (Watts 1983 dalam Rotoro 1992). Menurut Free (1991) dalam Rotoro (1992) salah satu hasil pemecahan nitrogen akan selalu ada dalam urin adalah nitrat. Nitrat akan direduksi oleh kumankuman gram negatif menjadi nitrit. Sehingga test nitrit digunakan untuk memeriksa adanya infeksi pada traktus urogenital. Pengukuran nilai dari nitrit yang abnormal bisa diindikasikan karena adanya gangguan atau infeksi traktus urinarius, infeksi bakteri E.Coli, Salmonella, Citrobatter, Proteus, Klebsiella.
Urobilinogen dan Bilirubin Urobilinogen adalah suatu zat warna yang dibentuk di dalam usus oleh kuman-kuman terhadap bilirubin. Sebagian ke dalam feses, dan sebagian lagi diabsorbsi ke dalam peredaran darah portal kembali ke hati dan disingkirkan ke dalam empedu Wirasmono (1977). Bilirubin selalu terikat kuat dengan serum albumin, maka hanya sedikit sekali zat ini yang melewati filtrasi glomerulus untuk kemudian terus ke tubulus proksimalis. Ambang renal bilirubin bervariasi pada tiap hewan. Biri-biri berambang renal rendah setiap pada kuda ambang renal yang tinggi (Girindra 1988). Dalam keadaan terikat pada albumin, bilirubin diangkut oleh sel-sel retikulo endothalia. Ke
16 hati melalui darah (bilirubin tak terkonjugasi). Dalam sel-sel hepatosit, pigmen ini dipisahkan dari albumin lalu dikonjugasikan dengan asam glukoronik dan dikeluarkan ke dalam empedu sebagai bilirubin monoglukoronat dan bilirubin diglukoronat (bilirubin terkonjugasi). Bilirubin yang terkonjugasi ini di dalam usus direduksi oleh kuman-kuman menjadi urobilinogen dan sterkobilinogen yang sebagian berubah menjadi sterkobilin atau urobilin, sebagian lagi masuk ke dalam siklus enterophatik menjadi bilirubin dan dikeluarkan lagi ke dalam empedu (Rumawas 1989). Tingkat bilirubinaria sangat bervariasi pada berbagai jenis hewan. Pada kuda mengandung bilirubin dalam kadar tinggi. Ambang plasma bilirubin pada sapi sangat rendah yaitu 0,4 mg/100 ml (Girindra 1988).
Gambar 6. Kantung Empedu
Pada beberapa kasus misalnya ikterus biasanya bilirubin terkonjugasi atau tidak terkonjugasi akan muncul. Selain itu bilirubin ini akan muncul ketika terjadi kasus hepatitis akut, kholesistitis akut, kholestisiasis, dan nekrosa hati (Wells 1962 dalam Rotoro 1992). Adanya sejumlah urobilinogen dalam urin adalah normal. Urobilinogen dalam jumlah sedikit atau tidak terdapat urobilinogen dalam urin menunjukkan adanya ikterus obstruksi atau post hepatik yang berarti empedu tidak sampai ke usus halus, sebaliknya urobilinogen dalam jumlah banyak menunjukkan adanya ikterus hemolitik (pre hepatik) dan sekresi hati yang normal, dan bila tidak terdapat penyakit hemolitika menunjukkan adanya ikterus toksis (hepatik) dengan kerusakan fungsi sekretoris dari hati (Free 1991 dalam Rotoro 1992).
17 Protein Protein adalah molekul yang kompleks, berat molekul besar, dan terdiri atas asam amino yang mengalami polimerisasi (gabungan) menjadi suatu rantai polipeptida. Penggabungan asam amino ini dalam suatu protein dalam suatu ikatan peptida. Nilai biologis protein menunjukkan proporsi relatif dari asam amino esensial di dalam protein apabila dibandingkan dengan kebutuhan hewan. Protein dengan kualitas tinggi akan mampu menyajikan seluruh kebutuhan akan asam amino yang dibutuhkan oleh seekor hewan (Frandson 1992). Hampir semua zat yang dapat melewati membran glomerulus tidak dapat dilewati membran plasma. Jika ada yang melewati membran plasma akan segera diserap kembali oleh tubulus. karenanya jika air kemih diperiksa dengan metoda biasa maka protein tidak akan dapat ditangkap. Pada hewan sehat dan normal hampir semua dapat diserap balik proteinnya. Penyerapan balik ini berlangsung pinositosis, yaitu protein dihidrolisis dulu menjadi asam amino dan kemudian masuk ke dalam tubulus, atau secara arthositosis dimana yang diserap balik adalah protein utuh yang kemudian masuk ke dalam cairan tubulus. Mekanisme penyerapan balik ini juga ada batasnya. Menurut suatu percobaan ternyata proteinuria baru terlihat jika kadar plasma protein mencapai 10 mg/100 (albumin 6 mg/100 ml) menurut Girindra (1988). Protein dalam urin jumlahnya sangat sedikit dan hanya bersifat sementara. Keadaan kehamilan atau latihan berat akan menambah produksi protein dalam tubuh meningkat. Atau dapat berasal dari reruntuhan sel-sel traktus urinarius dimana testes dan kelenjar pelengkapnya serta vagina merupakan penghasil protein. Asal protein lainnya adalah urin yang masih fisiologisnya terdapat pada awal kelahiran (Doxey 1971 dalam Rotoro 1992). Jika membran glomerulus rusak atau ada pendarahan disepanjang saluran urogenital yang dimulai dari ginjal sampai pada pintu uretra atau karena pyelonefritis maka protein mungkin dapat ditemukan dalam urin. Protein yang pertama-tama menembus glomerulus adalah albumin dan globulin. Istilah albunuria berarti terdapat albumin di dalam air kemih. Pada kerusakan berat maka bukan hanya albumin saja yang terdapat di dalam urin tetapi juga terdapat globulin serta fibrinogen. Namun demikian sebagian protein diserap balik di tubulus. Kadar
18 protein dalam plasma berkisar antara 5-8 mg/100 ml sedangkan filtrat glomerulus hanya mengandung protein 30 mg/100 ml (Girindra 1988). Terdapatnya proteinuria dalam urin sebenarnya adalah abnormal. Proteinuria abnormal disebabkan
oleh berbagai hal seperti peradangan, trauma, neoplasia,
parasit, konvulsi, kedinginan, perdarahan, keracunan ginjal dan kongenital. Walaupun penyebab utama proteinuria ada di ginjal tetapi penyebab lain ada diluar ginjal sering pula didapatkan yaitu uretritis, sistitis, ureteritis, vaginitis, prostatitis, metritis, piometra, seminal vesikulitis, balanitis, kalkulosis dan kapillaria plika (Girindra 1988).
pH Asam-asam organik dalam jumlah besar diproduksi secara kontinyu di dalam sel badan hewan sebagai hasil metabolisme. Disamping itu, bermacam-macam asam yang potensial masuk juga melalui ransum ternak (Frandson 1992). pH urin merupakan gambaran dari kemampuan dari ginjal dalam menampung konsentrasi ion hidrogen normal dalam plasma dan cairan ekstraseluler. Pengaturan konsentrasi ion hidrogen oleh ginjal terutama meningkatkan kemampuan atau menurunkan konsentrasi ion bikarbonat di dalam cairan tubuh. Untuk melakukan hal ini, di dalam tubulus ginjal terjadi serangkaian reaksi kompleks termasuk reaksi untuk sekresi hidrogen, reabsorbsi ion natriun, ekskresi ion bikarbonat ke dalam urin, sekresi amonia ke dalam tubulus. Pengaturan konsentrasi ion hidrogen merupakan salah satu aspek terpenting homeostasis (Guyton 1990). pH rata-rata normal dari arteri adalah 7,4. Darah vena adalah 7,35 karena CO2 ekstra yang dibawa dari jaringan tubuh kembali ke paru-paru untuk dikeluarkan. pH dalam tubuh bervariasi dari 4,5 (sangat asam) sampai 8 (sangat basa) tergantung jenis sel (Frandson 1992). pH netral adalah 7, yang berada dibawah sesuai dengan konsentrasi ion hidrogen disebut asidosis, sebaliknya pH yang lebih tinggi dari 7 sesuai konsentrasi ion hidrogen disebut alkalosis. Secara normal konsentrasi ion hidrogen urin tergantung pada jenis makanan. Hewan-hewan yang makanannya terutama terdiri dari tumbuhan mempunyai kecenderungan membentuk urin alkalis sampai netral. Sedangkan pada asam secara normal biasanya ditemukan pada hewan-
19 hewan yang makanannya mengandung protein tinggi, terutama protein hewani (Coles 1986). Di dalam tubulus prokimalis ion hidrogen terbentuk langsung menggandeng ion bikarbonat dan membentuk asam bikarbonat, kemudian berdisosiasi menjadi karbondioksida dan air (keduanya diserap kembali). Di bagian distalis, ion-ion bikarbonat tidak didapatkan lagi karena ion hidrogen bersatu membentuk ion amonium. Jika tidak ada substrat yang digandengnya maka ion hidrogen keluar bersama-sama urin sebagian bentuk aslinya dan ikut berperan menambah keasaman urin. Menurut Girindra (1988) air kemih hewan yang diberi pakan herbivora biasanya mengandung banyak bikarbonat. Sebaliknya air kemih hewan yang mengandung ransum karnivora atau campuran tidak mengandung ion bikarbonat.
Darah Pada kadar normal dalam plasma semua hemoglobin (100%) berikatan dengan globin. Tetapi jika jumlahnya melebihi 130 mg/100 ml maka akan didapatkan hemoglobin dalam filtrat yang kemudian diserap balik ke dalam tubulus proksimalis, tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Kehadiran sel darah merah dalam urin dalam jumlah besar disebut hematuria, sedangkan kehadiran zat warna dalam urin disebut Hemoglobinuria (Girindra 1988, Wirasmono 1977) Hematuria dapat terjadi karena kausa pre renal, renal, dan post renal. Sebabsebab pre renalis antara lain oleh suatu trauma pada ginjal, septikemia, purpura hemoragika yang disertai kerusakan vaskuler, apendiditis akut, salphingithis, serta tumor kolon, rektum dan pelvis. Kausa renalis antara lain glomerulonefritis , infark ginjal, emboli arteri renalis, kerusakan tubuli akibat keracunan sulfonamid dan pyelonefritis. Sedangkan hematuria post renalis terutama disebabkan oleh perjalanan urolithisis, sistitis atau tumor-tumor dalam vesika urinaria (Bradley dan Benson 1974 dalam Rotoro 1992). Pada sapi biasanya hematuria yang terjadi adalah hematuria enzootika yang ditandai dengan hematuria persisten, anemia, dan biasanya diakhiri dengan kematian. Biasanya penyakit tersebut disertai lesi dalam kantong kemih yang bersifat radang kronik dan hiperplastis. Hematuria ini biasanya ditemukan pada sapisapi yang digembalakan, hingga diduga disebabkan keracunan tanaman (Subronto 1985).
20 Hemoglobinuria dibagi menjadi 2 yaitu semu dan asli. Pada bagian semu sering ditemukan pada proses dimana eritrosit pecah oleh proses lisis dan mengeluarkan hemoglobin serta dalam sedimen akan ditemukan sel-sel darah merah, misalnya pada piroplsma, babesiosis dan perombakan eritrosit dalam urin alkalisis. Hemoglobinuria asli memberi warna merah tua pada urin, reaksi pada protein dan hemoglobin positif serta tidak ditemukan sel-sel darah dalam sedimen urin. Hal ini terjadi jika banyak perombakan eritrosit seperti pada kebakaran hebat dan keracunan intra vaskuler sehingga konsentrasi hemoglobin dalam darah meninggi dan melebihi batas ambang ginjal (Wirasmono 1977).
Berat Jenis Salah satu fungsi ginjal yang paling penting adalah untuk mengatur osmolalitas cairan-cairan tubuh. Hal ini berlaku jika mengeksresikan kelebihan jumlah air ke dalam urin bila cairan-cairan tubuh tersebut terlalu encer atau dengan mengekskresikan kelebihan jumlah solut bila cairan tersebut terlalu pekat (Guyton 1990). Berat jenis (Spesific Gravity) adalah rasio perbandingan kepekatan ekskresi ginjal antara komponen-komponen urin dengan jumlah air yang terkandung dalam urin. SG normal berada dalam derajat 1.015 mg/dl - 1.030 mg/dl sedangkan di dalam tubular antara 1.008 mg/dl -1012 mg/dl. Di dalam tubuh, suatu zat akan dipekatkan tidak tergantung dari reabsorbsi relatif/sekresi zat tersebut dan reabsorbsi air. Jika persentase air yang direabsorbsi lebih besar, zat tersebut menjadi lebih pekat. Sebaliknya jika persentase zat yang direabsorbsi lebih besar, maka akan menjadi encer. Menurut Guyton (1990) ada tiga kelas yang berbeda-beda : 1).Zat gizi yang penting, glukosa, protein, dan asam amino, direabsorbsi jauh lebih cepat daripada air sehingga konsentrasi mereka sangat turun sangat cepat di dalam tubulus proksimalis dan pada dasarnya tetap nol diseluruh sisa sistem tubulus tersebut juga ada di dalam urin; 2).Konsentrasi produk-prouk akhir metabolisme menjadi makin besar secara progresif diseluruh sistem tersebut, karena semua zat ini direabsorbsi jauh lebih sedikit daripada air; 3).Banyak ion biasanya dieksresikan ke dalam urin dalam konsentrasi yang tidak jauh
berbeda daripada konsentrasinya di dalam filtrat
glomerulus dan cairan ekstrasel. Misalnya, rata-rata ion natriun dan klorida biasanya
21 direabsorbsi dari tubulus dalam proporsi yang tidak terlalu berbeda dengan air. Pada pemekatan ginjal dengan mekanisme counter-current dimulai dari transpor aktif ionion ke dalam intersitium oleh bagian tebal cabang ascenden lengkung Henle kemudian dilanjutkan dari duktus koligens ke dalam intersitium. Selain itu proses difusi pasif sejumlah besar urea dari duktus koligens ke dalam intersitium dan absorbsi tambahan natrium dan klorida ke dalam intersitium dari segmen lengkung Henle juga mempengaruhi proses pemekatan.
Keton Keton merupakan hasil sampingan daripada metabolisme lemak dan diekskresi melalui urin. Jika badan-badan keton bertumpuk di dalam darah maka zat ini akan mengalir ke dalam urin. Badan-badan keton terdiri dari asam asetoasetat, hidroksi butirat dan aseton. Jika terjadi perombakan lemak, pembentukan bendabenda keton akan meningkat dan biasa terjadi ketosis. Benda-benda keton yang bersifat asam biasanya dieksresikan ke dalam urin (Girindra 1988). Pada herbivora khususnya sapi kadar glukosa darahnya rendah jika berkisar antara 40-60 mg/100 ml darah, dan biasanya dalam keadaan hipoglikemia. Sebagai akibatnya mereka sangat peka terhadap kekurangan karbohidrat. Seekor sapi yang berproduksi tinggi jika makanannya tidak mencukupi kebutuhan tubuhnya segera memperlihatkan gejala-gejala ketosis, atau bisa juga karena nafsu makan kurang misalnya karena retikulitis, traumatis, pnemonia, metritis, mastitis, pododermatitis, pergeseran abomasum dan lain-lain (Girindra 1988). Ketosis adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan penimbunan benda-benda keton yaitu asam astoasetat, betahidroksibutirat dan aseton. Benda keton ini mungkin tertimbun dalam urin (ketonuria), darah (ketonemia), dan air susu (ketolaksia). Badan keton merupakan hasil oksidasi yang kurang sempurna dari zatzat ketogenik yang sebagian besar berupa asam lemak, kecuali asam propionat, dan beberapa jenis asam amino, misalnya leusin, isoleusin, tirosin, fenilalanin, dan ttreonin. Secara umum, ketosis dapat terjadi bila terjadi penurunan oksidasi karbohidrat dan diikuti oleh oksidasi lemak, yang biasanya ditemukan pada saat individu berpuasa, hingga kebutuhan energi lemak terpaksa dimobilisasi.
22 Pada ruminansia hasil hidrolisis hati pati menghasilkan glukosa yang bersifat antiketogenik. Hasil pemecahan pati secara fermentatif berupa asam-asam asetat, propionat dan butirat. Hanya asam propionat saja yang bersifat antiketogenik, asam asetat ketogenik ringan, dan asam butirat bersifat ketogenik kuat. Hasil fermentasi di dalam rumen dan Betahidroksibutirat (BOB) dan merupakan predoposisi terjadinya ketosis. Ketosis
terjadi
bila
produksi
keton
melebihi
batas
kemampuan
pemanfaatannya. Pada hewan ruminansia, ketika diet (puasa) ketogenesis hanya berlangsung di dalam hati. Selama diberi pakan ketogenesis alimenter yang terjadi di dalam dinding rumen dan omasum, yaitu pengubahan dari asam butirat menjadi BOB, merupakan proses yang dominan. Ketosis pada ruminansia tidak hanya terjadi karena meningkatnya oksidasi lemak, akan tetapi juga karena meningkatnya kebutuhan bahan makanan yang sifatnya lipogenik. Pembagian ketosis pada sapi berdasarkan proses biokimiawi, pengaruh hormonal, etiologi dan gambaran klinisnya. Namun dalam maksud terapi dan pencegahan, ketosis dibagi atas ketosis primer, sekunder, alimenter, dan spontan.
1. Ketosis lapar primer. Ketosis bentuk ini terjadi karena sapi memperoleh pakan yang jumlahnya terlalu sedikit. Ketogenesis alimenter berlangsung lambat, dan selanjutnya diikuti oleh ketogenesis di dalam hati. Gambaran klinis penderita meliputi turunya produksi air susu, lesu, dan tidak segera bergerak meskipun didorong. Mungkin ketosis primer juga dibarengi dengan hipokalsemia dan hipomagnesia ringan. Terapi ketosis bentuk ini akan segera sembuh bila kepada penderita diberi pakan yang benar dan jumlahnya cukup. Bila penyediaan pakan harus diganti pemberian pakan harus sedikit demi sedikit, karena hal tersebut dapat membantu mikroflora dalam rumen dalam menyesuaikan dengan lingkungan baru. Pemberian jagung giling 1-2 kg setiap hari pada sapi yang tadinnya hanya diberi pakan rumput dapat menyebabkan penurunan pH sampai batas 6,0 dan dapat menyebabkan kematian mikroflora dan menghentikan nafsu makan.
23 2. Ketosis lapar sekunder. Dalam ketosis bentuk ini, meskipun jumlah pakan yang disediakan mencukupi, tetapi penderita tidak mampu memakannya, mungkin disebabkan penyakit-penyakit yang bersangkutan dengan proses kelahiran atau karena peningkatan produksi air susu yang berlebihan. Gambaran klinis, nafsu makan sapi turun sejalan dengan rasa sakit yang diderita, hipomagnesemia, ataupun pireksia yang terjadi, yang disebabkan oleh faktor penyakit organik lainnya. Nafsu makan juga hilang karena ketosis sendiri, hipoglisemia, atau gangguan fungsi hati. Terapi, Pengobatan harus ditujukan pada gangguan atau penyakit primernya. Kepada penderita harus disediakan makanan dan air minum yang cukup. Hijauan yang segar kadang sangat diperlukan untuk merangsang timbulnya nafsu makan. Juga dalam air minum dapat ditambahkan garam dapur.
3. Ketosis alimenter. Ketosis bentuk ini terjadi karena proses ketogenesis yang berlebihan, yang berasal dari asam butirat di dalam rumen dan omasum. Selanjutnya diserap di dinding kedua lambung tersebut. Pakan yang diproses dalam silo, silase, biasanya mengandung asam butirat yang tinggi, karena adanya fermentasi aerobik yang berlebihan. Asam laktat dapat pula bersifat ketogenik, karena asam tersebut di dalam rumen diubah oleh mikroflora menjadi asam butirat. Sebagian besar asam laktat akan diubah ke dalam asam propionat. Sesuai pembentukan benda keton yang langsung menyebabkan ketosis, ketosis bentuk ini dapat pula disebut sebagai ketosis ketogenik. Terapi Ketosis alimenter biasanya bersifat subklinis dan dapat diperbaiki dengan pengubahan pakan, hingga rasio bahan pakan anti ketogenik: ketogenik (A/K) dapat berimbang, yang mungkin dapat diperbaiki dengan penambahan propilen-glikol dalam ransumnya. Biasanya hal tersebut baru dilakukan setelah terdapat kasus klinis yang sifatnya alimenter.
24 4. Ketosis Spontan. Ketosis spontan terjadi pada sapi-sapi yang dirawat dan diberi pakan yang kualitatif maupun kuantitatif mencukupi. Pembentukan asam asetoasetat di dalam kelenjar susu melampaui proses ketogenesis alimenter maupun hepatik. Ketosis ini timbul karena konsumsi ransum yang sifatnya glukogenik, yang mengandung asamasam amino dan asam propionat dari pati. Pada awalnya ketosis spontan bersifat subklinis, yang mungkin berlangsung lama atau sembuh dengan sendirinya. Pada yang melanjut menjadi klinis biasanya dikenal dengan asetonemia. Gejala asetonemia mungkin hilang, sembuh spontan, atau berlangsung terus yang berupa sebagai anoreksia yang berkepanjangan dan dapat diikuti dengan ketosis kekurangan pakan (ketosis sekunder). Terapi ketosis spontan pada sapi yang mau makan mungkin berlangsung secara sub klinis. Berbeda dari ketosis alimenter, pada ketosis spontan terjadi peningkatan proses ketogenesis hepatik. Terapi yang perlu dilakukan meliputi usaha mengatasi akibat anoreksia dan kurang pakan. Sedangkan untuk pencegahan, perlu dilakukan pengaturan susunan pakan yang sari-sarinya antara lain akan digunakan oleh kelenjar susu. Untuk mengenal ketosis spontan dapat dilakukan uji dengan meneteskan plasma yang diambil dari vena mammaria pada serbuk nitropusid. Apabila mengandung asetoasetat yang tinggi akan menghasilkan warna jingga tua. (Subronto dan Tjahajati 2001).
Glukosa Menurut Girindra (1988) glukosa secara total akan diserap balik pada hewan normal dan sehat. Ini tersaring bebas pada glomerulus dan secara aktif akan diserap oleh balik pada tubulus proksimalis. Penyerapan ini dapat berlangsung karena dinding sel luminal terdapat carrier-nya (zat pembawa) yang mengikat glukosa dan mengangkutnya. Secara umum sistem carrier ini menggambarkan cara perpindahan aktif elektrolit dan non eletrolit. Phlorizin adalah suatu inhibitor metabolik menghambat perpindahan aktif glukosa. Banyaknya glukosa yang tersaring tergantung pada daya saring glomerulus (GFR = Glomeruler Filtration Rate) dan kadar glukosa plasma. Kadar maksimal glukosa di tubulus ini bervariasi jumlahnya, tapi pada satu individu biasanya mantap.
25 Jika kadar glukosa plasma meningkat melebihi ”ambang renal glukosa” (renal glukosa theshold) terjadilah glukosuria. Tetapi ternyata hubungan ambang renal glukosa dengan glokusuria tergantung pula pada daya saring glomerulus. Urin normal tidak mengandung glukosa tapi munculnya glukosa tidak selalu patologis. Pakan yang berkalori tinggi meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Selain itu latihan berat, sakit/terkejut, gangguan emosi yang merangsang pengeluaran efinefrin dan glukortikoid dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Gambar 7. Hati
Enterotoksemia sering mengakibatkan glukosuria. Ini mungkin disebabkan oleh rangsangan pada glandula adrenal yang kemudian disusul dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Atau oleh suatu gangguan yang khas, yang berakibat pada penundaan penyerapan balik glukosa di tubulus proksimalis. Pada penderita diabetes, glukosuria didapatkan bervariasi dari konsentrasi rendah sampai tinggi, mengikuti tingkat konsentrasi dalam darah akibat kekurangan insulin yang kemudian menghalangi penggunaan glukosa oleh sel. Meningkatnya aktivitas pituitari anterior dan korteks adrenal sebagai akibat neoplasma dapat menyebabkan gejala diabetogenik. Pemyakit hati juga diikuti oleh glikosuria, laktosuria, maltosuria, fruktosuria, pentosuria adalah gangguan yang sering ditemukan namun secara umum berbagi gula tersebut tidak banyak digunakan untuk keperluan diagnosa.
26 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung selama bulan Juni 2007 – Juli 2007 dan dilakukan di Education-Corporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Bahan Bahan yang digunakan adalah urin sekitar 10-20 ml dari 20 ekor sapi perah, strip test, penampung urin.
Metode Penelitian ini dilakukan pada pagi hari dan sore hari dengan cara mencelupkan strip test (uric 10 cf) ke dalam urin yang telah diambil yang sebelumnya dan didiamkan terlebih dahulu selama 20-30 menit . Setelah dicelupkan hasil langsung dibaca dengan mencocokkan dengan warna standar pada strip test dengan jarak waktu 45-120 detik. Pengulangan uji dilakukan 1 kali setelah satu minggu dari uji yang pertama. Strip test ini secara semikuantitatif meliputi pengukuran kadar leukosit (120 detik), nitrit (60 detik), urobilinogen (60 detik), protein (60 detik), pH (60 detik), darah (60 detik), berat jenis (45 detik), keton (45 detik), bilirubin (45 detik), dan glukosa (45 detik).
Analisa Data Analisa data menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan hasil yang bersifat semikuantitatif.
27 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini adalah tabel kisaran fisiologi nilai urin pada sapi perah : Tabel 1 Kisaran Fisiologi Nilai Urin Sapi Perah. Parameter
Nilai Normal Rujukan
Leukosit
0 – 25 leukosit /µl
Nitrit
Negatif
Urobilinogen.
Normal
Protein
Negatif
pH
7,4 – 8,4
Darah
Negatif
Berat jenis
1.015 g/ml – 1.030 g/ml
Keton
Negatif
Bilirubin
Negatif
Glukosa
Negatif
Sumber : (Wirasmono 1977; Girindra 1988; Supriatna 2002)
Leukosit Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan leukosit : Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Leukosit Keadaan
Leukosit Pagi (Ekor)
Sore (ekor)
Positif
0
0
Negatif
20
20
Hasil penelitian menunjukkan, keadaan leukosit dari 20 ekor yang diperiksa pada pagi dan sore hari selama 2 minggu memperlihatkan hasil yang negatif (-). Warna yang terbentuk pada strip test agak putih kekuning-kuningan dalam selang waktu sekitar 2 menit. Standar nilai urin normal berkisar 0 - 25 leu/µl dengan level 0-500 leu/µl, sedangkan dalam keadaan abnormal lebih dari 25 leu/µl. Secara umum anamnesa sapi-sapi yang diperiksa tidak memperlihatkan adanya gangguan yang
28 bersifat inflamasi pada bagian dalam tubuh. Menurut catatan riwayat penyakit, kasus-kasus yang sering terjadi adalah gangguan pada kuku, diare, luka luar pada bagian permukaan ekstrimitas saja. Peningkatan jumlah leukosit dalam urin dapat terjadi pada penyakit-penyakit traktus urinarius seperti cistitis akut, uretritis, nefritis akut, pyelonefritis kronis, glomerulonefritis kronis, kalkuli ginjal, kalkuli uretra (leukosit ringan). Selain itu, adanya leukosit juga menandakan adanya gangguan pada traktus genitalia, seperti metritis, vulvitis, vaginitis, balanopostitis dan sebagainya (Wells 1962; Bradley dan Benson 1974 dalam Rotoro 1992).
Nitrit Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan nitrit : Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Nitrit Keadaan
Nitrit Pagi (Ekor)
Sore (ekor)
Positif
0
0
Negatif
20
20
Berdasarkan hasil uji secara umum urin sapi-sapi yang diperiksa 100% tidak mengandung nitrit. Warna yang terbentuk adalah pink muda. Anamnesa sapi-sapi yang diperiksa secara umum baik dengan kondisi Body Scoring Condition (BCS) sekitar 2 - 3, nafsu makan yang cukup tinggi, serta terlihat tidak ada gangguan infeksi yang kronis secara fisik pada permukaan tubuh, dan proses miksi normal. Menurut Free (1991) dalam Rotoro 1992 salah satu hasil pemecahan nitrogen akan selalu ada dalam urin adalah nitrat. Nitrat akan direduksi oleh kuman-kuman gram negatif menjadi nitrit,
sehingga test nitrit digunakan untuk memeriksa adanya
infeksi pada traktus urogenital.
29 Urobilinogen dan Bilirubin Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan urobilinogen dan bilirubin: Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Urobilinogen dan Bilirubin Urobilinogen
Bilirubin
Keadaan
Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Tidak Normal
0
1
0
0
Normal
20
19
20
20
Berdasarkan hasil uji sekitar 95% sapi-sapi
memiliki kandungan
urobilinogen yang normal dan hanya sekitar 5% sapi yang mengandung urobilinogen abnormal dengan nilai 1. Warna urobilinogen yang normal ditunjukkan dengan warna merah muda dan batas kurang dari 17 µmol/l (< 1mg/dl), sedangkan warna abnormal ditunjukkan dengan warna yang lebih condong kearah merah. Pengukuran nilai dari nitrit yang abnormal bisa diindikasikan karena adanya gangguan atau infeksi traktus urinarius, infeksi bakteri E.Coli, Salmonella, Citrobatter, Proteus, Klebsiella. Anamnesa sapi yang mengandung urobilinogen abnormal dengan batas 1, dalam kondisi yang baik, nafsu makan yang tinggi, serta kondisi fisik yang bagus. Berdasarkan hasil pemeriksaan bilirubin yang didapatkan, 100% sapi-sapi tidak mengandung kadar bilirubin dalam urin. Anamnesa umum kondisi sapi-sapi yang diperiksa cukup baik. Berdasarkan anamnesa dengan hasil uji urobilinogen dan bilirubin yang didapatkan, diagnosa mungkin diarahkan pada kasus ikterus hemolitik. Pengujian Ikterus Ikterus adalah keadaan dimana pigmen bilirubin terdapat berlebihan di dalam plasma darah dan tertimbun di dalam jaringan-jaringan lainnya, hingga memberikan warna kuning pada alat-alat tubuh. Produksi Bilirubin berawal dari hasil pemecahan sel darah merah tua di dalam sistem makrofag jaringan, bagian globin molekul hemoglobin ini dipisahkan dan hemenya dikonversi menjadi billiverdin dan dikonversikan lagi menjadi bilirubin oleh enzim oksigenase. Bilirubin biasanya akan berikatan dengan albumin di dalam peredaran darah dan akan terurai di dalam hati dan sebagian lagi ada yang disekresikan ke dalam urin. Mukosa usus relatif permiabel terhadap urobilinogen yang merupakan serangkaian turunan bilirubin
30 yang tidak berwarna dan dibentuk oleh kinerja bakteri usus. Akibat hal ini, sebagian pigmen empedu diserap kembali ke dalam sirkulasi portal, sebagian diserap ulang kemudian dieksresikan kembali ke hati, tetapi sejumlah kecil urobilinogen masuk ke dalam sirkulasi umum dan diekskresikan ke urin (Ganong 1999). Pada sapi dengan bangsa tertentu (Jersey dan Guernsey) dalam keadaan normal, jaringan lemaknya sendiri sudah berwarna kuning, hingga ikterus pada sapi tersebut sulit ditentukan, semata-mata pada waktu penglihatan seksi (Subronto 1985). Ikterus hemolitik adalah
hemolisis eritrosit yang berlebihan yang mengubah jumlah
produksi bilirubin bertambah dalam usus sehingga jumlah ekskresi urobilinogen dalam urin meningkat, tidak ditemukan bilirubinuria dalam urin tapi hanya urobilinogen, sebelum ada kerusakan hati hemoglobinemia yang meluas (Supriatna 2002). Menurut Ressang (1963), ikterus karena superfungsi atau prehepatik terjadi bila zat warna empedu yang dibentuk berlebihan tak dapat dipergunakan secara sempurna. Hal ini ditemukan pada pertambahan peruntuhan sel darah merah (Ikterus hemolitik).
Protein Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan protein : Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Protein Keadaan
Protein Pagi (Ekor)
Sore (ekor)
Positif
1
0
Negatif
19
20
Dari 20 ekor sapi yang diperiksa pagi dan siang hari, hanya 1 (satu) atau 5% urin sapi yang mengalami abnormalitas protein dengan nilai 30 sedangkan sekitar 95% lainnya dalam keadaan tanpa ada protein dalam urin. Hasil positif pada strip test urin yang mengandung protein ditunjukkan dengan warna hijau sampai hijau ketuaan sedangkan warna negatif protein ditunjukkan dengan warna hijau kemudaan. Anamnesa sapi yang mengalami abnormalitas protein tersebut berada dalam kondisi yang baik, hal ini terlihat dari nafsu makan yang tinggi, tanpa adanya luka secara fisik maupun dalam, kondisi badan dengan BCS sekitar 2,3. Kondisi traktus
31 urogenitalis masih baik, tanpa adanya gangguan terlihat secara fisik, serta proses miksi yang normal. Proteinuria Proteinuria adalah meningkatnya kadar protein di dalam urin. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya meningkatnya plasma protein dengan bobot molekul rendah yang melewati glomerulus, atau dapat juga disebabkan kerusakan glomerulus
yang menyebabkan transpor protein yang berlebihan ke
selaput sekunder dari glomerulus (Hurley and Vaden 1995) Gambaran klinis tergantung kausa dan penyebab, karena biasanya tidak langsung berhubungan dengan proteinuria. Pasien dengan glomerular proteinuria sering asymptomatik atau mempunyai tanda bisa dihubungkan dengan suatu dasar penyakit yang terjadi, lesu dan penurunan berat badan, uremia, hipertensi, edema, ascites, dan thromboembolis. Terapi sebagian besar berorientasi pada manajemen pakan, pengobatan pada kausa.
pH Berikut adalah hasil pemeriksaan pH : Tabel 6. Hasil Pemeriksaan pH Nilai pH
pH Minggu 1
Minggu 2
Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Asam (5-6)
13
3
11
3
Netral (7)
-
1
-
-
Basa (8-9)
7
16
9
17
Berdasarkan hasil uji menunjukkan rata-rata pada pagi hari pH urin sapi berada dalam kondisi asam, Sedangkan pada sore hari berada dalam kondisi basa. Kondisi makanan sapi yang diberikan umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (rumput, sisa tahu/tempe) ditambah beberapa konsentrat yang mengandung protein. Pemberian makanan ampas tahu/tempe dan konsentrat dilakukan sebelum pemerahan dan setelahnya itu lalu diberikan rumput. Dari hasil uji terlihat sebagian besar pH
32 sapi-sapi berada dalam kondisi basa, walaupun beberapa sapi berada dalam kondisi asam. sifat asam ini mungkin disebabkan oleh faktor metabolisme dan makanan yang kurang (kelaparan) pada saat urin dikeluarkan (Supriatna 2002). Secara umum, berdasarkan kondisi sapi yang ada (baik, nafsu makan tinggi, tidak terlihat gangguan traktus urinarius) dan kondisi pH ada yang bersifat asam, maka diagnosa kemungkinan terjadi asidosis.
Pengujian Asidosis Ginjal berperan dalam regulasi asam dan basa cairan tubuh dengan mengontrol (asam karbonat (HCO3-). pH normal urin ternak berkisar 6, tetapi dapat berkisar antara 4,5 sampai 8 dalam keadaan kompensasi terhadap asidosis dan alkalosis. Ketika seekor hewan mengalami asidosis, ada peningkatan relatif dari konsentrasi karbondioksida (CO2) oleh karena itu terjadi penurunan relatif dari konsentrasi HCO3. Akibatnya dari hal ini akan lebih banyak H+ sehingga menimbulkan sifat keasaman. Di dalam tubulus proksimalis ion hidrogen terbentuk langsung menggandeng ion bikarbonat dan membentuk asam bikarbonat, kemudian berdisosiasi menjadi karbondioksida dan air (keduanya diserap kembali). Di bagian distal, ion-ion bikarbonat tidak didapatkan lagi karena ion hidrogen bersatu membentuk ion amonium. Jika tidak ada substrat yang digandengnya maka ion hidrogen keluar bersama-sama urin sebagian bentuk aslinya dan ikut berperan menambah keasaman urin. Ginjal melakukan kompensasi dengan mensekresi lebih banyak H+ ke dalam filtrat di bandingkan HCO3- yang disaring. Penaikan sekresi H+ terjadi karena kelebihan CO2 di dalam kapiler peritubular berdifusi ke dalam sel-sel tubular, untuk membentuk H2CO2 yang kemudian berdiosiasi menjadi HCO3 dan H+ yang baru. HCO3- yang baru itu berdifusi kembali kedalam darah untuk menaikkan sistem buffer, dan Na+ juga direabsorbsi untuk menukar H+ yang disekresi.
33 Darah Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan darah : Tabel 7. Hasil Pemeriksaan darah Keadaan
Darah Pagi (Ekor)
Sore (ekor)
Positif
1
0
Negatif
19
20
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan 100% urin sapi-sapi yang diteliti berada dalam kondisi tanpa darah baik itu pagi maupun pada sore hari. Hasil menunjukkan bahwa keadaan sapi-sapi dalam kondisi yang baik. Adanya darah dalam urin menunjukkan suatu abnormalitas dalam saluran traktus urinarius. Menurut Ganong (1998), unsur-unsur seluler darah terdiri dari sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit yang tersuspensi dalam plasma. Volume darah total yang beredar dalam keadaan normal sekitar 8% dari berat badan dan sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma. Adanya darah atau warna darah dalam urin dapat ditemukan dalam 3 bentuk yaitu hematuria, hemoglobinuria, dan mioglobinuria. Hematuria adalah keadaan ditemukannya eritrosit utuh dalam urin karena hemolisis eritrosit. Mioglobinuria adalah mioglobin yang berasal dari sel-sel otot yang terdapat dalam urin
Berat jenis Berat jenis adalah rasio perbandingan kepekatan ekskresi ginjal antara komponen-komponen urin dengan jumlah air yang terkandung dalam urin. Keadaan berat jenis urin hewan menggambarkan keadaan dari hewan tersebut. Keadaan dengan berat jenis yang tinggi dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah diabetes millitus dan insipidus, kelebihan pemasukan air, serta penyakit ginjal tertentu. Sedangkan pada kondisi berat jenis yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya dehidrasi, adrenal insufensia, nefrosis, gangguan hati, kongesti tekanan jantung.
34 Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan berat jenis : Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Urin Nilai Berat
Berat Jenis
Jenis
Minggu 1
Minggu 2
(g/ml)
Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Pagi (ekor)
Sore (ekor)
1.000
1
1
3
2
1.005
7
8
12
14
1.010
7
7
4
4
1.015
1
2
-
-
1.020
2
1
-
-
1.025
2
1
1
-
1.030
-
-
-
-
Berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagian besar keadaan berat jenis dari urinurin sapi bernilai 1.005 g/ml (1.000 g/ml -1.025 g/ml). Batas ukur normal pada alat uji yang digunakan adalah 1.020 g/ml – 1.030 g/ml. Anamnesa sapi-sapi yang diperiksa rata-rata dalam keadaan baik, riwayat penyakit yang pernah diderita juga sebagian besar belum mengalami gangguan penyakit dalam. Diagnosa kemungkinan diarahkan pada kausa awal. Karena sebagian besar hewan-hewan berada dalam kondisi berat jenis yang rendah maka diagnosa diarahkan ke kondisi hewan yang mengalami dehidrasi. Kondisi ini sesuai karena nilai berat jenis yang terkadang berbeda tiap pengukuran pagi dan sore hari.
Keton Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan keton : Tabel 9.Hasil Pemeriksaan Keton Keadaan
Keton Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Positif
2
0
Negatif
18
20
35 Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, kandungan keton yang terdapat dalam urin sapi sebagian besar negatif (90%) dan hanya 2 ekor (10%) yang memiliki kandungan keton dalam urin dengan rentang waktu yang berbeda. Keadaan ini muncul pada pagi hari. Nilai keton yang ditunjukkan oleh strip test masing-masing sebesar 5 dengan batas ukur 0- 160 mg/dl. Kondisi ini adalah keadaan abnormal urin sapi. Keton merupakan hasil sampingan dari metabolisme lemak dan diekskresi melalui urin. Jika badan-badan keton bertumpuk di dalam darah maka zat ini akan mengalir ke dalam urin. Badan-badan keton terdiri dari asam asetoasetat, hidroksi butirat dan aseton. Jika terjadi perombakan lemak, pembentukan benda-benda keton akan meningkat dan biasa terjadi ketosis. Benda-benda keton yang bersifat asam biasanya dieksresikan ke dalam urin (Girindra 1988). Anamnesa sapi-sapi yang mengalami gangguan keton pada urin tersebut semua dalam keadaan yang relatif baik, nafsu makan yang terlihat pada pagi hari cukup baik, pada perut tidak terlihat adanya pembesaran secara abnormal, serta gejala ketosis tidak muncul pada sapi-sapi tersebut. Pengambilan urin dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan, berdasarkan anamnesa, kemungkinan sapisapi mengalami gangguan keton karena pasokan karbohidrat kurang pada malam harinya yang menimbulkan kelaparan pada sapi yang memicu timbulnya badanbadan keton urin pada pagi hari. Pengujian Ketosis Ketosis adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan penimbunan benda-benda keton yaitu asam astoasetat, betahidroksibutirat dan aseton. Bendabenda keton ini ini berasal dari asetil-CoA kemudian terjadi deasilasi membentuk asetoasetat bebas lalu di konversi menjadi beta hidroksi butirat dan aseton. Karena senyawa-senyawa ini susah dimetabolisme di dalam hati kemudian didifusikan kedalam sistem sirkulasi dan biasanya akan diekskresikan dan tertimbun di dalam urin (ketonuria) (Ganong 1999). Badan keton merupakan hasil oksidasi yang kurang sempurna dari zat-zat ketogenik yang sebagian besar berupa asam lemak, kecuali asam propionat, dan beberapa jenis asam amino, misalnya leusin, isoleusin, tirosin, fenilalanin, dan treonin. Secara umum, ketosis dapat terjadi bila terjadi penurunan oksidasi karbohidrat dan diikuti oleh oksidasi lemak, yang biasanya ditemukan pada
36 saat individu berpuasa, hingga kebutuhan energi lemak terpaksa dimobilisasi. Pembentukan asam lemak ini akan mendorong pembentukan benda keton di dalam darah. Adapun sumber pembentukan benda keton adalah di rumen, hati dan kelenjar susu (Subronto dan Tjahajati 2001). Menurut Subronto dan Tjahajati (2001) salah satu bentuk ketosis yang sering terjadi adalah ketosis spontan pada sapi-sapi yang dirawat dan diberi pakan yang kualitatif maupun kuantitatif mencukupi. Ketosis ini timbul karena konsumsi ransum yang sifatnya glukogenik, yang mengandung asam-asam amino dan asam propionat dari
pati. Pada awalnya ketosis spontan bersifat subklinis, ynag mungkin
berlangsung lama atau sembuh dengan sendirinya. Pada yang melanjut menjadi klinis biasanya dikenal dengan asetonemia. Terapi ketosis spontan pada sapi yang mau makan mungkin berlangsung secara sub klinis. Terapi yang perlu dilakukan meliputi usaha mengatasi akibat anoreksia dan kurang pakan. Sedangkan untuk pencegahan, perlu dilakukan pengaturan susunan pakan yang sari-sarinya antara lain akan digunakan oleh kelenjar susu. Untuk mengenal ketosis spontan dapat dilakukan
uji dengan meneteskan
plasma yang diambil dari vena mammaria pada serbuk nitroprusid. Apabila mengandung asetoasetat yang tinggi akan menghasilkan warna jingga tua (Subronto dan Tjahajati 2001).
Glukosa Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan glukosa : Tabel 10.Hasil Pemeriksaan Glukosa Keadaan
glukosa Pagi (ekor)
Sore (ekor)
Positif
0
0
Negatif
20
20
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, 100 % sapi-sapi yang diperiksa tidak memiliki kandungan glukosa dalam urin. Kondisi ini sesuai dengan keadaan sapisapi yang memiliki kondisi yang baik, nafsu makan baik, serta pemberian pakan yang seimbang. Warna yang ditunjukkan pada strip test adalah biru dengan batas
37 normal pada sebesar 0 - 0.8 mmol/l (0 - 15 mg/dl). Menurut Girindra (1988) glukosa secara total akan diserap balik pada hewan normal dan sehat. Ini tersaring bebas pada glomerulus dan secara aktif akan diserap oleh balik pada tubulus proksimalis. Urin normal tidak mengandung glukosa tapi munculnya glukosa tidak selalu patologis. Pakan yang berkalori tinggi meningkatkan kadar glukosa dalam darah.
38 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Status present sapi-sapi perah Education-Corporation Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dari hasil pemeriksaan urin menggunakan urine strip test – semikuantitatif diperoleh bahwa 65 % (13 dari 20 ekor) urin pagi pada minggu pertama pengamatan dan 55 % (11 dari 20 ekor) urin pagi pada pemeriksaan yang kedua bersifat asam. Dari sapi-sapi dengan urin asam 10 % (2 ekor) menunjukkan ketonuria dan 5 % (1 ekor) menunjukkan proteinuria. Sekitar 40 % ( 8 dari 20 ekor) sapi-sapi E.Co.Farm menunjukkan urin asam secara tetap.
Saran Perlu penegasan lebih lanjut pada sapi-sapi yang menunjukkan urin asam secara tetap melalui pemeriksaan darah.
39 DAFTAR PUSTAKA
[Anonimus]. 2007. Biologi Hewan Vertebrata. http://www.yahoo.com/ 0072 Bio 27b.htm [Rabu, 22 Agustus 2007] Bradley GM and Benson ES. 1974. Examination of The Urin. Davidson, Henry I, Jb.Clinical Diagnosis by Laborathory Method .15 th.Ed. WB Saunders. Co. Philadelphia. 15-80 Breazile JE. 1971. The Kidney. Textbook of Veterinary Physhiology. Lea and Febriger. Philadelphia. 315-336 Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Phatology. 4 nd Ed. London. WB. Saunders. Co. Philadelphia. 171-202 Corwin EJ. 2000. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Phatophysiology). Penerbit Buku Kedokteran. EG. Jakarta. Doxey DL. 1971. The Urinary Sistem. Veterinary Clinical Phatology. The Williams & Wilkims.Co. Ballierre Tindall. London. 151-170 Dukes DL. 1971. The Physiology of Domestic Animals. WB Saunders Co. Philadhelpia. 483-537 Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Penerjemah. Srigandono M dan Koen Praseno SU. Fakultas Peternakan Diponegoro. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 648-677 Free AH. 1991. The Methodology of Current – Day Routine Urynalisis. Diagnostic Division Miles Inc. Elkhart. USA Ganong WF. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review Of Medical Phsyology). Edisi 17; Alih bahasa, M.Djauhari Widjayakusumah et all. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 682-712 Girindra A. 1988. Biokimia Patologi: Petunjuk Praktikum. Bogor : PAU- Institut Pertanian Bogor. 1-53 Guyton AC. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology And Mechanism Of Disease). Edisi Ke III ; Alih Bahasa Petrus Andrianto.: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. 265-342 Hurley K, Vaden SL. 1995. Proteinuria in Dogs and Cats—a Diagnostic Aproach. In: Bonagura JD, ed. Kirk's Current Veterinary Therapy XII. Saunders. Co. Philadelphia. 937–940
40 Ressang AA. 1963. Buku Pelajaran Patologi Khusus Veteriner. Untuk mahasiswa2 , Sardjana2 Kedokteran Hewan dan Ahli2 Peternakan. Departemen Urusan Research Nasional Republik Indonesia. Bogor. 3-127 Rotoro SR. 1992. Tinjauan Beberapa Manfaat Klinik Dari Analisa Urin Anjing Melalui Pemahaman Proses Pembentukan Urin Dan Penetapan Nilai Urin Sehat. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor Rumawas W. 1989. Patologi Umum Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sirupang Y. 2007. Pola Perubahan Elektrolit Pada Pemberian Obat-Obat Diuretik. http://purpleastria.wordpress.com/ yaped sirupang.htm. [Kamis, 16 Agustus 2007] Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak . Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Supriatna ER. 2002. Patologi Klinik : Urinalisis dan Interpretasi. Laboratorium Patologi Klinik. Bagian Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor Tennant B, Evans CD, Schwarts LW, Gribble DH, and Kaneko JJ. 1973. Equine Hepatic Insufficiency. Vet. Clin. North. Am. 3 : 279 Watts HD. 1983. Handbook of Medical Treatment. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta Wells B. 1962. Disease of The Kidney and Urinary Tract. Clinical; Phatologi Aplication And Interpretation . 3th Ed. W.B. Saunders Co. London. Philadhelpia. 244-277 Wirasmono S. 1977. Penuntun Praktikum Laboratorium Klinik. Departemen Klinik Veteriner FKH. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampiran HASIL PEMERIKSAAN STATUS PRESENT SAPI PERAH No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Leukosit M1 M2 P S P S - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nitrit M1 M2 P S P S - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Urobilinogen M1 M2 P S P S N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N 1 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Protein M1 M2 P S P S - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 30 - - - - - - - - - - -
Indikator Pemeriksaan pH Darah Kelarutan/ SG M1 M2 M1 M2 M1 M2 P S P S P S P S P S P S 5 9 6 6 - - - - 1,010 1,005 1,005 1,005 8 9 9 9 - - - - 1,010 1,010 1,005 1,010 5 9 5 9 - - - - 1,005 1,005 1,005 1,005 8 9 6 9 - - - - 1,005 1,005 1,005 1,010 6 9 9 9 - - - - 1,010 1,010 1,005 1,005 9 9 9 9 - - - - 1,010 1,015 1,005 1,005 8 9 5 9 - - - - 1,015 1,005 1,010 1,005 6 8 5 8 - - - - 1,020 1,020 1,025 1,005 6 7 6 9 - - - - 1,000 1,010 1,005 1,005 8 9 5 5 - - - - 1,005 1,015 1,000 1,010 5 5 5 9 - - - - 1,025 1,025 1,000 1,010 5 9 5 9 - - - - 1,010 1,005 1,010 1,005 8 9 9 6 - - - - 1,010 1,010 1,010 1,005 5 9 9 9 - - - - 1,005 1,005 1,005 1,005 5 8 6 9 - - - - 1,005 1,005 1,005 1,000 5 5 6 8 - - - - 1,020 1,010 1,010 1,005 5 6 9 9 - - - - 1,025 1,010 1,000 1,000 5 9 9 9 - - - - 1,005 1.000 1,005 1,005 5 9 8 9 - - - - 1,010 1,010 1,005 1,005 8 9 9 9 - - - - 1,005 1,005 1,005 1,005
Keton M1 M2 P S P S - - - - - - - - - - - - - - 15 - - - - - - 5 5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Billirubin M1 M2 P S P S - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Glukosa M1 M2 P S P S - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -