PENERAPAN PENDEKATAN ECLECTIC DALAM PEMBELAJARAN PPKN (Studi Kasus di SMP N 7 Surakarta)
Skripsi Oleh:
NIKEN BUDININGTYAS NIM: K6405004
PROGRAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik serta sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga yang lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit, harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Guru yang efektif ialah guru yang memiliki keunggulan dalam mengajar yakni sebagai fasilitator, unggul dalam menjalin suatu hubungan atau relasi maupun komunikasi dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, serta memiliki kelebihan dalam membangun relasi serta berkomunikasi dengan pihak lain seperti orang tua, komite sekolah maupun pihak terkait yang berkompeten dalam segi administrasi sebagai guru, juga mampu bersikap profesional. Sikapsikap professional itu meliputi keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Pada masa yang lampau kelas yang dipandang baik adalah kelas yang tenang, murid-murid selalu patuh pada guru, duduk tenang, diam, memperhatikan guru, mencatat dan menghafalkan meteri pelajaran dengan baik. Namun kini gambaran kelas yang baik telah berubah, dimana ketertiban kelas bukan merupakan tujuan, melainkan merupakan kondisi untuk mencapai tujuan. Kelas yang baik adalah kelas yang didalamnya murid-murid dapat melakukan kegiatan atau aktivitas belajar yang meliputi aktivitas mental, fisik dan emosional secara optimal dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Aktivitas tersebut seperti berfikir, mengingat, berfantasi, berdiskusi, kerja kelompok, mengadakan percobaan atau eksperimen, menahan atau mengendalikan diri dalam pergaulan dengan teman, saling menghormati sesama murid dalam kelas dan lain
3
sebagainya.
Perubahan tersebut membawa pula perubahan pada letak tanggung jawab belajar. Apabila dahulu adanya tanggungjawab belajar terpusat hanya pada guru, kini murid yang harus belajar sendiri. Tugas guru adalah sebagai fasilitator dan motivator belajar murid. Maka keberhasilan belajar murid ditentukan bersama oleh murid itu sendiri dan guru. Menyikapi hal tersebut, kini guru harus lebih kreatif dalam kegiatan belajar mengajar sebagai fasilitator dan motivator yang baik, yakni dengan pengelolaan kelas yang tepat sebagai bagian dari pengelolaan pembelajaran, sehingga dapat menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa didik, agar keberhasilan proses belajar mengajar dapat tercapai. Apalagi dijaman globalisasi seperti sekarang ini, persaingan dalam bidang pendidikan semakin kompetitif. Berkenaan hal tersebut, para akademisi tidak memiliki pilihan lain selain berjuang meraih peluang untuk bisa mengatasi tantangan globalisasi yang beraneka ragam dengan menjadi pendidik lebih kreatif dan inovatif. Hal ini didukung oleh banyaknya ahli luar negeri yang membahas hal tersebut dan menuangkannya dalam journal internasional seperti yang tercantum dibawah ini: Management education has been undergoing a major transformation. One of the characteristics of this transformation is internationalization. This article has briefly discussed various dimensions of internationalization of management education. It has also attempt to identify major trends in the internationalization process, together with their implications of business management education. Given the global restructuring of politics as well as economies, it appears that educational institutions have no choice but to rise to the challenge of globalization. It appears that educational institutions and other providers of management education have no choice but to rise to the challenge of global competition. Internationalization requires a new mindset; it requires both commitment and a reasonable level of competence and, among other things, at least a minimum level of competence in international business on the party of faculty as well as students. However, different institutions may meet this requirement in different ways. For example, it may be done “by inserting an international business course into the core curriculum or by demanding that an international component be taught in every course offered. Similarly, different modes and modalities for delivery are also possible. (Basu Sharma and Judy Ann Roy, 1996:5-13)
4
Pengelolaan kelas harus dikuasai oleh seorang guru sebagai pengajar dan pendidik demi tercapainya efektifitas dan efisiensi dalam proses belajar mengajar. Pengelolaan kelas sering disebut sebagai Managemen Kelas. Menurut Sobri, Asep Jihad, dan Charul Rochman (2009:2), pengelolaan adalah “Serangkaian kegiatan merencanakan,
mengorganisasikan,
memotivasi,
mengendalikan,
dan
mengembangkan segala upaya didalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan organisasi”. Dari uraian tersebut, maka yang dimaksud pengelolaan kelas adalah penyelenggaraan kelas,
pengaturan kelas atau pengurusan kelas,
yaitu
kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam menyelenggarakan kelas. Hal ini sesuai dengan pengertian pengelolaan kelas oleh Sobri, Asep Jihad dan Charul Rochman (2009:46), yaitu: “Kegiatan mengelola kelas merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agar tujuan pembelajaran bisa tercapai secara efektif dan efisien. Hal ini menyangkut strategi pembelajaran, pemanfaatan media, tempat duduk dan lain-lain”. Dalam pengelolaan kelas dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sebagai alternative terbaik yang dipilih-nya. Beberapa pendekatan tersebut menurut weber dalam buku susunan Iskandar, “diklasifikasikan kedalam tiga pengertian, yaitu berdasarkan pendekatan otoriter (autority approach), pendekatan permisif (permissive approach) dan pendekatan modifikasi tingkah laku.” (2009:211) Pendapat tersebut senada dengan Martinis Yamin dan Maisah (2009:6567) yang mengemukakan bahwa, “Terdapat sejumlah konsep tentang pengelolaan kelas yang sebagian diantaranya tidak lagi dianggap memadai, misalnya pandangan otoriter yang melihat pengelolaan kelas semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib, atau pandangan permissive yang terlalu lemah. Bagi yang tidak memusatkan perhatian pada usaha ini akan dikemukakan tiga pandangan yang tampaknya memberi harapan, baik dari penalarannya maupun
5
berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian. Tiga pendekatan
tersebut
adalah:
Behavior-Modification
Approach
yang
mengemukakan asumsi bahwa semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang “kurang baik” merupakan hasil proses belajar. Socio-Emosional-Climate Approach yang mengasumsikan bahwa dalam proses pembelajaran yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara peserta didik. Serta Group Processes Approach yang memiliki asumsi pokok bahwa pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, sehingga tugas guru yang utama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesive.” Apabila disimak secara seksama maka ketiga pendekatan yang telah diuraikan tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap objek yang sama. Oleh Martinis Yamin dan Maisah, penerapan ketiga pendekatan tersebut dinyatakan sebagai penerapan pendekatan eclectic, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach).” (2009:68) Kata “eclectic” dalam kamus bahasa Inggris – Indonesia , memiliki arti sebagai kata sifat yaitu, “bersifat memilih dari berbagai sumber”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pendekatan Eclectic atau Eclectic Aproach adalah, suatu cara yang digunakan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan dengan memilih hal yang paling sesuai dengan kebutuhan dan mengambil dari berbagai sumber yang berkaitan. Seorang guru seyogyanya menggunakan pendekatan eclectic dikarenakan dengan menerapkan pendekatan ini dalam proses pembelajaran, maka akan mempermudah guru dalam menyampaikan materi pelajaran yang disampaikan. Sebab penerapan pendekatan ini, menuntut guru untuk lebih pro-aktif dalam mengenal karakteristik peserta didik. Sehingga dengan lebih mengetahui karakter peserta didik, seorang guru akan lebih mudah dalam memilah dan memilih metode mengajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam suatu kelas yang setiap individu-nya memiliki karakter yang beragam. Dengan penerapan
6
pendekatan eclectic yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maka tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Untuk maksud itu seorang guru diharuskan menguasai berbagai pendekatan dalam pengelolaan kelas yang potensial. Dalam hal ini pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan perubahan tingkah laku, penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok. Dan untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan, tentunya seorang guru diharuskan mampu memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas. Hal tersebut seperti yang dipaparkan oleh Martinis Yamin dan Maisah (2009:68) bahwa, “Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.” Pendekatan eclectic adalah pendekatan yang relevan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini. Karena melihat fenomena yang terjadi sekarang ini, banyak guru melalaikan tugas mereka dalam membentuk penerus bangsa yang unggul baik dalam prestasi maupun budi pekerti. Mayoritas dari mereka hanya merasa berkewajiban untuk mentransfer ilmu dan lalai dalam hal internalisasi nilai-nilai yang positif untuk membentuk karakter peserta didik yang unggul dalam budi pekerti. Untuk itulah diperlukan pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas, karena penerapan pendekatan tersebut menuntut guru agar lebih mengenal dan mendalami karakter peserta didik, sehingga guru lebih mampu memilah dan memilih metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Dengan penerapan pendekatan eclectic yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, maka akan memudahkan guru dalam hal internalisasi nilai-nilai yang positif
7
agar tingkah laku siswa yang baik dapat terus ditingkatkan, sehingga budi pekerti yang luhur dari peserta didik dapat diwujudkan. Dan penerapan pendekatan eclectic juga dapat membantu guru dalam mencapai tujuan belajar yang efektif dan efisien karena secara tidak langsung membuat siswa lebih menurut dan patuh. Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan eclectic adalah pendekatan yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena tujuan utama dari penyampaian materi Pendidikan Kewarganegaraan adalah menciptakan karakter siswa didik yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam praktik tingkah laku sehari-hari. Dari observasi yang telah penulis lakukan di SMP N 7 Surakarta, terbukti bahwa dalam PBM PPKn di SMP N 7 Surakarta, pengajar menggunakan Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Pembelajaran, sehingga relevan untuk penulis jadikan sebagai tempat penelitian. Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Ade Tatang M, yang dimuat dalam sebuah situs di internet pada 13 Januari 2009 yang berjudul “Berbagai macam Pengelolaam Kelas dan Implikasinya Terhadap Pengembangan RPP”. Dalam jurnal tersebut, disebutkan beberapa pendekatanpendekatan dalam Pengelolaan Kelas yaitu: 1. Pendekatan Pengubahan tingkah laku Yang mengatakan bahwa semua tingkah laku baik yang sesuai maupun tidak sesuai adalah hasil belajar. 2. Pendekatan Iklim Sosio Emosional Yang didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang positif antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa, dengan guru sebagai penentu utama hubungan interpersonal dan iklim kelas. 3. Pendekatan Proses Kelompok Yang memiliki empat asumsi dasar, yaitu: a. Kegiatan sekolah berlangsung dalam suasana kelompok,
8
b. Tugas pokok guru adalah mempertahankan dan mengembangkan suasana kelompok yang efektif dan produktif, c. Kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh sistem sosial masing-masing siswa, d. Tugas
pengelola
kelas
adalah
mengembangkan
dan
mempertahankan kondisi yang dimaksud. Pendekatan eclectic dilaksanakan oleh guru dengan jalan mewujudkan suasana kelas yang menyenangkan, interaktif, komunikatif dan mengutamakan budaya tutur yang santun, agar keteladanan guru dapat tertanam secara otomatis sehingga menjadi karakter yang mempribadi pada setiap murid. Seperti yang terjadi di SMP N 7 Surakarta, dengan adanya guru PPKn yang mengajar menggunakan pendekatan eclectic, telah membuat siswa memiliki kesadaran diri untuk disiplin terhadap setiap peraturan yang ada tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ini membuktikan bahwa cara guru menyampaikan materi pelajaran dengan membiasakan budaya tutur yang santun serta memberi teladan bagi peserta didik, lebih efektif dalam menanamkan karakter disiplin diri yang mempribadi pada diri peserta didik, daripada menerapkan peraturan dengan sanksi yang keras tanpa toleransi. Contoh keteladanan guru di SMP N 7 Surakarta adalah mereka
senantiasa
disiplin
dalam
managemen
waktu,
dan
senantiasa
menyampaikan materi pelajaran dengan bahasa yang menyenangkan dan membuat siswa tertarik dengan materi yang disampaikan. Setiap pagi sebelum memulai pelajaran, guru yang mengajar tidak lupa memberikan motivasi-motivasi bagi peserta didik agar lebih bersemangat dalam menjalani kegiatan belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, BAB XI (Pasal 40, Huruf a dan c) yang berbunyi: Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban : a) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; c) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
9
Dalam PP, No 19 Tahun 2005, tentang STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN, BAB IV (Pasal 19, ayat 1), disebutkan bahwa “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”. Secara implicit keberhasilan belajar akan di kaji dari sudut pandang “Disiplin Kelas”, karena merupakan suatu permasalahan yang penting dalam pengelolaan kelas yang merupakan salah satu kriteria dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru. Ini dikuatkan oleh pendapat: The foremost concern of new teachers is managing the classroom effectively, but, too often, managing effectively is seen as simply dealing with misbehavior. To view good classroom management as a set of strategies for disciplining student is to misunderstand the basis on which good management rests. Effective classroom managers are distinguished by their success in preventing problems from arising in the first place, rather than by special skills in dealing with problems once they occur. Good management practice begins on the first day of school with carefully organized, systematic plans for accomplishing classroom tasks and activities. Good managers also make clear their expectation for students work and behavior, rules and procedures, routines for checking and monitoring student academic work, procedures for grading and giving feedback to students, incentives and deterrens, methods for grouping student, and a whole variety of seemingly minor but essential procedures. Proactive planning helps avert behavior problems by providing students with ways to be successful. (Carolyn M. Evertson, dalam Ornstein, C.Allan, 1990:350) Artikel tersebut memperlihatkan bahwa hal utama yang harus dikuasai oleh seorang guru yang masih baru adalah kemampuan dalam mengelola kelas, karena ketika menghadapi situasi yang baru seorang guru mayoritas memiliki tantangan dalam hal mengendalikan siswa dan menciptakan iklim yang kondusif dalam kelas. Akan tetapi mayoritas guru meremehkan hal ini dan menganggap pengelolaan kelas yang baik cukup dilakukan dengan memberikan hukuman dan tindakan tegas pada peserta didik yang melanggar peraturan. Untuk melihat pengelolaan kelas yang baik sebagai satu paket strategi
10
untuk mendisiplinkan siswa, adalah dengan tidak menyalah-artikan dasar utama yang merupakan tujuan dari pengelolaan yang baik. Pengelola kelas yang efektif dibedakan
oleh
kesuksesannya
dalam
mencegah
berkembangnya
suatu
permasalahan sejak pertama terjadi, daripada oleh kemampuan khusus yang dimiliki dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada suatu ketika. Praktek pengelolaan yang baik dimulai sejak hari pertama di sekolah, dengan pengorganisasian
yang
hati-hati,
perencanaan
yang
sistematis
untuk
menyelesaikan tugas serta aktivitas kelas. Pengelola yang baik juga menyatakan dengan benar harapannya tentang pekerjaan dan tingkah laku siswa yang diinginkan, peraturan dan prosedurnya, kebiasaan untuk mengecek dan memonitor pekerjaan akademik siswa, prosedur untuk meningkatkan prestasi dan pemberian umpan balik pada siswa, penghargaan dan pemberian ketakutan, metode untuk mengelompokkan siswa, dan memperhatikan hal-hal yang kecil namun merupakan prosedur yang penting. Perencanaan yang pro-aktiv dapat membantu dalam mencegah permasalahan yang timbul dengan menyediakan jalan menuju kesuksesan bagi siswa. Keberhasilan pendidikan yang dilihat dari meningkatnya kedisiplinan siswa yang selaras dengan perkembangan karakter siswa di jaman globalisasi seperti sekarang ini, juga disetujui oleh beberapa ahli pendidikan yang dituangkan dalam sebuah journal internasional yaitu: Thus one of the features of the current higher education environment, as far as management teaching is concerned, is the polarization of teaching and research into increasingly local disciplines and sub-discipline while at the same time extending the boundary of the meta discipline of management to increased knowledge domains in the pursuit of relevance and legitimation. For individual academics this polarization is reflected in the increasingly local focus of their individual subject areas narrow down and increasingly seek legitimation from within their own knowledge domains. Thus increased localization is the direction of polarization for individual academics, whereas for business schools as the whole the polarity is towards increased globalization as the schools compete and recognition through the vaunting of their universal specialism and relevance.The localization of focus for academics as far as teaching is concerned can be seen to be manifest in the increasing number of discipline studied, research and taught in business school, together with the increasing separation of these disciplines from each other. Increasingly these discipline as taught as discrete subject, with
11
little or no overlap between them, and with little perceived relationship and relevance of one to another. (David Crowter and Chris Carter, 2002:268278) Sehubungan dengan hal tersebut, penulis telah mengkaji masalah pengelolaan kelas sebagai bagian dari pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan eclectic, dengan judul “PENERAPAN PENDEKATAN ECLECTIC DALAM PEMBELAJARAN PPKN (Studi Kasus di SMP N 7 Surakarta)”, sehingga mendapatkan hasil penelitian yang semoga memberi
manfaat, agar mutu pendidikan di Indonesia dapat terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta? 2. Bagaimanakah kendala-kendala pelaksanaan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta? 3. Mengapa pendekatan eclectic diterapkan dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan uraian perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui praktik penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dijumpai pada pelaksanaan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta. 3. Untuk
mengetahui
alasan
penerapan
pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta.
pendekatan
eclectic
dalam
12
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial, dan menambah khasanah pustaka. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: a. Bagi penulis, merupakan sarana untuk dapat mengembangkan gagasan atau pikiran dalam menerapkan teori-teori dengan keadaan yang sebenarnya. b. Bagi Program PKn sebagai bahan masukan untuk pengayaan khasanah materi perkuliahan. c. Bagi siswa SMP N 7 Surakarta pada khususnya maupun siswa diseluruh nusantara pada umumnya agar mendapat pengajaran serta pendidikan yang lebih baik.
13
BAB II LANDASAN TORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tentang Pendekatan Eclectic a. Pengertian Pendekatan Eclectic Pengertian dari “Pendekatan Eclectic”, tentunya tidak terlepas dari pengertian “Pendekatan” dan “Eclectic”. Pendekatan secara umum dapat diartikan dengan “cara yang digunakan untuk mendekati atau meraih sesuatu”. Sedangkan kata “eclectic” dalam kamus bahasa Inggris–Indonesia, memiliki arti sebagai kata sifat yaitu, “bersifat memilih dari berbagai sumber”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pendekatan Eclectic atau Eclectic Aproach adalah, suatu cara yang digunakan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan dengan
memilih hal yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan mengambil dari berbagai sumber yang berkaitan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Martinis Yamin dan Maisah (2009:68) yang menyatakan bahwa, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach). Untuk maksud itu seorang guru seharusnya; Menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial, dalam hal ini pendekatan perubahan tingkah laku, penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok, serta dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas. Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.” 12
14
Selain
pendapat
tersebut,
Soedomo
Hadi
(2005:81)
juga
menambahkan bahwa, “Di dalam melaksanakan pendekatan-pendekatan tersebut, guru tidak harus memilih salah satu pendekatan saja, tetapi dapat juga mengkombinasikan beberapa pendekatan, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dalam hal ini berarti guru menggunakan pendekatan eclectic”. Masih menurut Soedomo Hadi (2005:86), menyatakan bahwa, “Pendekatan-pendekatan tersebut adalah ibarat sudut pandang yang berbeda terhadap masalah yang sama. Oleh karena itu, guru harus bersikap eclectic. Untuk itu harus; Menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial (3 pendekatan tersebut) serta dapat menggunakan pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas.” Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan eclectic adalah sebuah pendekatan dalam pengelolaan kelas yang bersumber dari tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan perubahan tingkah laku, pendekatan iklim sosio emosional dan pendekatan proses kelompok, yang dalam penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. b. Jenis Pendekatan Eclectic Dalam pendekatan eclectic terdapat beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sebagai alternative terbaik yang dipilih-nya. Beberapa pendekatan tersebut menurut weber dalam Iskandar (2009:211) ialah, “…pendekatan
otoriter
(autority
approach),
pendekatan
permisif
(permissive approach) dan pendekatan modifikasi tingkah laku.” Soedomo
Hadi
(2005:66)
dalam
bukunya
yang
berjudul
“Pengelolaan Kelas”, menyebutkan bahwa, “Banyak konsep tentang pengelolaan kelas, di mana sebagian diantaranya telah dianggap tidak memadai, misalnya; Pandangan otoriter, yang melihat pengelolaan kelas
15
semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib (buku resep, intimidasi). Dan pandangan permisif, yang memusatkan perhatian pada usaha untuk memaksimalkan kebebasan siswa. Sedangkan pandanganpandangan yang nampaknya memberi harapan, baik dari aspek penalaran maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian, dapat diuraikan sebagai berikut; Pendekatan behavior modification, Pendekatan socio emotional climate, dan Pendekatan group process.” Pendapat tersebut senada dengan Martinis Yamin dan Maisah (2009:65-67) yang mengemukakan bahwa, “Terdapat sejumlah konsep tentang pengelolaan kelas yang sebagian diantaranya tidak lagi dianggap memadai, misalnya pandangan otoriter yang melihat pengelolaan kelas semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib, atau pandangan permissive yang terlalu lemah. Bagi yang tidak memusatkan perhatian pada usaha ini akan dikemukakan tiga pandangan yang tampaknya memberi harapan, baik dari penalarannya maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian. Tiga pendekatan tersebut adalah: Behavior-Modification Approach yang mengemukakan asumsi bahwa semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang “kurang baik” merupakan hasil
proses
mengasumsikan
belajar. bahwa
Socio-Emosional-Climate dalam
proses
Approach
pembelajaran
mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang
yang
yang efektif
baik dalam arti terdapat
hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara peserta didik. Serta Group Processes Approach yang memiliki asumsi pokok bahwa pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, sehingga tugas guru yang utama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesive.” Apabila disimak secara seksama maka ketiga pendekatan yang telah diuraikan tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap objek yang sama. Oleh Martinis Yamin dan Maisah, penerapan ketiga pendekatan tersebut dinyatakan sebagai penerapan pendekatan
16
eclectic, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach).” (2009:68) Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan perubahan tingkah laku perlu digunakan oleh guru bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah untuk menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang
baik;
pendekatan
penciptaan
iklim
sosio-emosional
perlu
dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok perlun dijalankan bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif. c. Penerapan Pendekatan Eclectic Oleh Guru Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun dalam sebuah artikel di internet yang berjudul “Memahami Perilaku Individu”, menyebutkan bahwa, “Tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral changes). Oleh sebab itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya harus dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didik. Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu: behaviorisme dan holistik atau humanisme.” Masih dalam situs yang sama, penjelasan kedua pendekatan tersebut ialah sebagai berikut, “Mekanisme pembentukan perilaku menurut aliran Behaviorisme yang memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan. Dan mekanisme pembentukan perilaku menurut aliran Holistik (Humanisme) yang memandang bahwa terbentuknya perilaku itu patilah memiliki suatu tujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan
17
suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan.” Hal tersebut diperkuat oleh gagasan seperti tersebut dibawah ini: Pengelolaan pendidikan merupakan serangkaian kegiatan merencanakan mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan, dan mengembangkan segala upaya didalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Atau bisa juga diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan/organisasi pendidikan. (Sobri, Asep jihad dan Charul Rochman, 2009:3) Sehingga dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa, pengelolaan pendidikan merupakan proses pencapaian tujuan pendidikan melalui kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, dan pengendalian. Dan dalam pengelolaan terhadap siswa, harus memperhatikan beberapa prinsip dasar seperti yang tersebut dibawah ini: Dalam mengelola siswa terdapat empat prinsip dasar, yaitu: siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, social ekonomi, minat dan seterusnya, oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. (Sobri, Asep Jihad, dan Charul, 2009:48) Hal tersebut semakin memberikan sebuah pandangan bahwa dalam pengelolaan kesiswaan, terdapat sebuah tujuan untuk mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta mencapai tujuan pendidikan sekolah. Dan memang dalam hal pengelolaan kesiswaan, guru akan memperoleh banyak tantangan dikarenakan keadaan siswa dalam sebuah kelompok memiliki kemampuan yang beraneka ragam. Hal ini seperti dipaparkan sebagai berikut:
18
Siswa dalam suatu kelompok kelas biasanya memiliki kemampuan yang beragam, terutama dalam menerima sejumlah pengalaman belajar termasuk didalamnya materi yang harus dikuasainya. Oleh karena itu guru hendaknya memahami tentang karakteristik terutama berkenaan dengan kemampuan belajar. (Sobri, Asep Jihad dan Charul Rochman, 2009:111) Untuk itulah, setiap guru perlu menguasai perihal psikologi pendidikan yang dapat diimplikasikan dengan jalan menerapkan pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas, agar guru dapat dengan mudah mengetahui karakteristik setiap anak didik yang beragam. Hal ini senada dengan pernyataan dari Iskandar (2009:1) yaitu, “Upaya menciptakan proses pembelajaran yang bermutu dan berhasil, dapat dilakukan dengan mewujudkan perilaku psikologis proses pengajaran dan pembelajaran antara pendidik dan peserta didik, agar dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran”. Di dalam proses pengajaran dan pembelajaran terjadi proses (interaksi) antara pendidik dengan peserta didik, dalam interaksi ini terdapat peristiwa psikologis yang dijadikan rambu-rambu oleh para pendidik dalam memperlakukan perserta didik secara efektif dan efisien. Para tenaga pendidik dituntut untuk memahami dan menguasai teori dan aplikasi psikologi pendidikan agar mereka melaksanakan pengajaran dalam proses pendidikan secara berdayaguna dan berhasil guna. (Iskandar, 2009:7) Sesuai dengan hal tersebut, maka dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru atau dosen (pendidik) melalui pertimbanganpertimbangan psikologisnya diharapkan dapat: 1) Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat. 2) Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai. 3) Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling. 4) Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik. 5) Menciptakan iklim belajar yang kondusif. 6) Berinteraksi secara tepat dengan siswanya. 7) Menilai atau mengevaluasi hasil pembelajaran yang adil. (Iskandar, 2009:7-8)
19
Pentingnya psikologi pendidikan dalam dunia pendidikan memang tidak boleh dikesampingkan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika guru mengetahui perihal psikologi pendidikan secara lebih mendalam. Psikologi pendidikan memiliki arti seperti tersebut dibawah ini: Psikologi Pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan. (Akhmad Sudrajat, 2009). Tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang psikologi dalam proses pendidikan, mustahil proses pengajaran dan pembelajaran akan berjalan dengan lancar. Hal ini senada dengan sebuah pernyatan sebagai berikut: Agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu, kelompok, maupun social sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif. Dengan demikian mempelajari dan memahami Psikologi Pendidikan merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. (Iskandar, 2009:11). 2. Tinjauan Tentang Pembelajaran a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran memiliki pengertian yang sama dengan proses belajar mengajar. Oleh karena itu mendefinisikan proses belajar mengajar sama halnya dengan mendefinisikan pembelajaran. Lebih jelasnya, penulis jabarkan sebagaimana berikut dibawah ini, yaitu: 1) Pengertian Proses Pengertian “proses” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah, “Runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu, rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk”.
20
“Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi antara semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar-mengajar yang satu sama lainnya saling berhubungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan.” (Uzer Usman, 2009:5). Menurut
Makmun
(2004:156)
proses
belajar
mengajar
merupakan, “Suatu rangkaian interaksi antara siswa dengan guru dalam rangka mencapai tujuannya. Maknanya terjadi perilaku belajar pada siswa dan perilaku mengajar pada pihak guru yang terjadi hubungan interaktif yang bersifat mengikat antara aktivitas kedua belah pihak.” Proses pembelajaran adalah seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan siswa (peserta didik). Kegiatan belajar yang dilaksanakan siswa di bawah bimbingan guru. Guru bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru dituntut untuk merancangkan sejumlah pengalaman belajar. (Cronbach dalam Iskandar, 2009:98) 2) Pengertian Belajar Sardiman (2001:3) berpendapat bahwa “Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.” Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya. Burton menyatakan, “learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment”. (W.H. Burton dalam Uzer Usman, 2009:5) Daryanto (2009:194) juga memberikan definisi tentang belajar sebagai berikut, “Suatu proses usaha yang dilakukan setiap individu
21
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Keharusan bagi manusia untuk senantiasa belajar memang tidak bisa ditawar lagi. Pentingnya belajar juga dipaparkan oleh banyak ahli seperti tersebut dibawah ini: Begitu pentingnya belajar maka Islam sebagai agama rahmah li alalamin sangat mewajibkan umatnya untuk selalu belajar. Bahkan, Allah mengawali menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya, Muhammad Saw., untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupannya. Betapa pentingnya belajar, karena itu dalam Al-Qur’an Allah berjanji akan meningkatkan derajat orang yang belajar daripada yang tidak. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:29) Masih menurut Quraish Shihab dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2008:31), “Iqra’ berasal dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari kata menghimpun inilah lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Berbagai makna yang muncul dari kata tersebut sebenarnya secara tersirat menunjukkan perintah untuk melakukan kegiatan belajar, karena dalam belajar juga mengandung kegiatan-kegiatan seperti mendalami, meneliti, membaca, dan lain sebagainya.” Hal ini sesuai dengan apa yang dijabarkan oleh Charunie Baroroh (2009:23), yang menyatakan bahwa, “Al Qur’an memiliki arti sebagai bacaan, yang berasal dari kata ‘qara’a’ yang berarti ‘membaca’, mupun ‘iqra’ yang memiliki arti ‘bacalah, telitilah, dalamilah’. Al-Qur’an adalah bacaan yang Allah Tuhan turunkan kedunia dan dibawa oleh malaikat Jibril untuk diberikan kepada utusan-Nya yang terkasih Rasullullah Muhammad SAW untuk disampaikan/dijelaskan kepada manusia, akan pentingnya bagi kehidupan dunia dan kehidupan yang akan datang/akhirat”. Hal yang menarik disini adalah selain dengan
22
senantiasa membaca dan meneliti serta mendalami, cara manusia belajar yang paling unik adalah dengan meniru. Maka dari itu, keberadaan seseorang sebagai figur teladan bagi orang disekelilingnya merupakan hal yang penting. Hal ini seperti dijabarkan sebagai berikut: Karena tabiat manusia yang cenderung untuk meniru, maka teladan yang baik merupakan hal yang paling penting dalam membentuk perilaku manusia. Oleh sebab itu, salah satu tujuan Nabi Muhammad Saw., diutus oleh Allah adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dengan memberikan teladan bagi umatnya, bukan hanya dalam hal beribadah tetapi juga dalam perilaku kehidupan sehari-hari. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:35) 3) Pengertian Mengajar Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moril yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. (Uzer Usman, 2009:6) Penjelasan tersebut diperkuat oleh Nana Sudjana (2009:29) yang menjelaskan bahwa, “Mengajarpun pada hakikatnya merupakan suatu proses, yang mencakup proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahapan berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.” Sehingga dapat dikatakan bahwa mengajar tidak semata-mata membutuhkan kemampuan dalam penguasaan terhadap materi yang disampaikan saja. Namun seorang pengajar juga harus memiliki kemampuan dalam menciptakan kondisi kelas yang kondusif. Hal ini senada dengan pendapat seperti tersebut dibawah ini: Agar mampu mengelola interaksi belajar mengajar, guru harus menguasai bahan atau materi, mampu mendisain program belajar mengajar, mampu menciptakan kondisi kelas yang kondusif,
23
terampil memanfaatkan media dan memilih sumber serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai dasar bertindak. (Sardiman, 2001:170) 4) Pengertian Proses Belajar Mengajar Uzer Usman (2009:4) berpendapat bahwa, “Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar. Dalam hal ini bukan hanya memiliki makna penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan juga mencakup penanaman sikap serta nilai pada diri siswa yang sedang belajar.” Ini diperkuat oleh pendapat sebagai berikut: Dalam proses belajar mengajar, kegiatan interaksi antara guru dan siswa merupakan kegiatan yang cukup dominan. Kemudian di dalam kegiatan interaksi antara guru dan siswa dalam rangka transfer of knowledge dan bahkan juga transfer of values, akan senantiasa menuntut komponen yang serasi antara komponen yang satu dengan yang lain. Serasi dalam hal ini berarti komponenkomponen yang ada pada kegiatan proses belajar mengajar itu akan saling menyesuaikan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan belajar bagi anak didik. (Sardiman, 2001:170) Dari pernyataan tersebut, dapat terlihat secara jelas bahwa yang dimaksud dengan proses belajar mengajar adalah proses pembelajaran. Adapun hal tersebut ditegaskan oleh Daryanto (2009:168), dalam pernyataannya sebagai berikut, “Dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatan belajar mengajar atau pembelajaran harus memahami prinsip pembelajarannya terlebih dahulu, sehingga dengan dasar tersebut akan mendapatkan hasil pengelolaan yang optimal.” Hal tersebut didukung oleh pernyataan Cronbach dalam Iskandar (2009:98) yang menyebutkan bahwa, “Proses pembelajaran adalah seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa atau
24
peserta didik. Dan dapat pula dijabarkan sebagai kegiatan belajar yang dilaksanakan siswa di bawah bimbingan guru. Dalam hal ini guru bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru dituntut untuk merancangkan sejumlah pengalaman belajar. Yang dimaksud dengan pengalaman belajar disini adalah segala yang diperoleh siswa sebagai hasil dari belajar (learning experience). Belajar ditandai dengan mengalami perubahan tingkah laku, karena mengalami pengalaman baru”. Sebagai penguat, ada pula pendapat perihal proses pembelajaran seperti tersebut dibawah ini: Proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian interaksi antara siswa dengan guru dalam rangka mencapai tujuannya. Maknanya terjadi perilaku belajar pada siswa dan perilaku mengajar pada pihak guru yang terjadi hubungan interaktif yang bersifat mengikat antara aktivitas kedua belah pihak. (Makmun, 2004:156) Pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu: belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa, mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. Dengan kata lain pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap. (Asep Jihad dan Abdul Haris, 2008:11) Ditambahkan
pula
oleh
Iskandar
(2009:123),
“Proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk senantiasa berpartisipasi secara aktif, serta memberikan ruang bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian yang sesuai dengan bahkat, minat serta tidak terlepas dari perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.”
25
b. Pengertian Pengelolaan Pembelajaran Martinis Yamin dan Maisah (2009:164) menjelaskan bahwa, “Pengelolaan pembelajaran baik dalam kelas maupun di luar kelas, di dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, meliputi beberapa kegiatan yakni pengelolaan tempat belajar atau ruang kelas, pengelolaan siswa, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan materi pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, serta pengelolaan strategi dan evaluasi pembelajaran.” Hal tersebut senada dengan pendapat Nana Sudjana (2009:21), yang memaparkan bahwa, “Mengelola atau melaksanakan program belajarmengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah dibuat. Dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar, kemampuan yang dituntut untuk dimiliki oleh seorang guru adalah keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar-mengajar dihentikan, ataukah diubah metodenya, apakah mengulang dulu pelajaran yang lalu, manakala para siswa belum dapat mencapai tujuan pengajaran.” Daryanto (2009:167) juga berpendapat bahwa, “Pengelolaan kegiatan belajar mengajar merupakan proses pembelajaran utuh dan menyeluruh yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran, termasuk evaluasi programnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang telah ditentukan.” Hal ini diperkuat oleh pendapat seperti tersebut dibawah ini: Pengelolaan kelas dan pengelolaan pembelajaran adalah dua kegiatan yang sangat erat hubungannya, namun dapat dan harus dibedakan satu sama lain karena tujuannya berbeda. Kalau pembelajaran mencakup semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pembelajaran; menyusun rencana pembelajaran, memberi informasi, bertanya, menilai dan lain sebagainya, maka manajemen kelas menunjukkan kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses pembelajaran. (pembinaan “report”, menghentikan perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas,
26
pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas oleh penetapan norma kelompok yang produktif, dan sebagainya). Dengan kata lain, di dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya dua kelompok masalah yaitu masalah pengajaran dan masalah pengelolaan kelas. Masalah pengelolaan kelas harus ditanggulangi dengan tindakan korektif pengelolaan, sedangkan masalah pembelajaran harus ditanggulangi dengan tindakan korektif instruksional. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:36) c. Tujuan Pembelajaran Hamzah
B.
Uno
(2008:34)
menjelaskan
bahwa,
“Tujuan
pembelajaran merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran. Sebab segala kegiatan pembelajaran muaranya pada tercapainya tujuan pembelajaran.” Ada
beberapa
pendapat
dalam
Hamzah
(2008:35)
yang
mengemukakan definisi tujuan pembelajaran seperti tersebut dibawah ini: 1. Robert F. Mager, tujuan pembelajaran adalah sebagai perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan kompetensi tertentu. 2. Kemp, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Perilaku ini dapat berupa fakta yang kongkrit serta dapat dilihat dan fakta yang tersamar. 3. Fred Percival dan Henry Ellington, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang jelas dan menunjukkan penampilan atau keterampilan siswa tertentu yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Swardi (2008:32) turut menjelaskan bahwa, “Tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional terdiri dari tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, istilah tujuan pembelajaran
umum
merupakan
kompetensi,
pembelajaran khusus merupakan indicator kompetensi”.
sedangkan
tujuan
27
Masih senada dengan pernyataan tersebut, Sardiman (2001:25) menyatakan bahwa, “Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan (kondisi) belajar yang lebih kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan mengajar. Mengajar diartikan sebagai suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar.” Ada beberapa pendapat dalam menyatakan tujuan belajar seperti tersebut dibawah ini: Mengenai tujuan-tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi. Tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional, lazim dinamakan dengan instructional effect, yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedang tujuan-tujuan lebih merupakan hasil sampingan yaitu: tercapai karena siswa “menghidupi (to life ini) suatu sistem lingkungan belajar tertentu seperti contohnya, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima pendapat orang lain. Semua itu lazim diberi istilah nurturant effect. Jadi guru dalam mengajar, guru harus sudah memiliki rencana dan menetapkan strategi belajar-mengajar untuk mencapai instructional effects, maupun kedua-duanya. (Sardiman, 2001:26) Tujuan instruksional pada umumnya dikelompokkan kedalam tiga katagori, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif mencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuantujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Demikian menurut Bloom (1956) dan Krathwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational Objectives. Klasifikasi tujuan tersebut memungkinkan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat terlihat dari tingkah laku siswa. Hal ini memberikan pula petunjuk bagi guru dalam menentukan tujuan-tujuan dalam bentuk tingkah laku yang diharapkan dari dalam diri siswa. (Uzer Usman, 2009:34) Tujuan dalam proses belajar-mengajar merupakan komponen pertama yang harus ditetapkan dalam proses pengajaran berfungsi sebagai indicator keberhasilan pengajaran. Tujuan ini pada dasarnya merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan pengalaman dan kegiatan belajar dalam proses pembelajaran. Isi tujuan pembelajaran pada
28
hakikatnya adalah hasil belajar yang diharapkan. (Nana Sudjana, 2009:30) Tidak terlepas dari penjelasan tentang tujuan belajar, disini Nana Sudjana (2009:34-35) juga menjelaskan bahwa, “Terdapat dua criteria keberhasilan pengajaran. Kriteria disini dimaksudkan sebagai ukuran ataupun patokan-patokan dalam menentukan tingkat keberhasilan suatu pengajaran. Mengingat pengajaran merupakan suatu proses yang dinamis untuk mencapai suatu tujuan yang telah dirumuskan, maka kita ditentukan dua criteria yang bersifat umum, yakni: criteria ditinjau dari sudut prosesnya dan criteria ditinjau dari sudut hasil yang dicapainya. Criteria dari sudut proses menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses haruslah merupakan interaksi dinamis sehingga siswa, sebagai subjek yang belajar mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri, dan tujuan yang telah ditetapkan tercapai secara efektif. Sedangkan criteria dari segi hasil atau produk menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kedua criteria tersebut tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus merupakan hubungan sebab dan akibat. Dengan kata lain, pengajaran tidak semata-mata output oriented tetapi juga proses oriented.” Sebagai tindak lanjut dari pernyataan yang terdahulu, Nana Sudjana (2009:35-37) menjabarkan bahwa, “Untuk mengukur keberhasilan pengajaran dari sudut prosesnya dapat dikaji melalui beberapa persoalan, yaitu: Pertama, apakah pengajaran direncanakan dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh guru dengan melibatkan siswa secara sistematik, ataukah suatu proses yang bersifat otomatis dari guru disebabkan telah menjadi pekerjaan rutin?; Kedua, apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia melakukan kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan untuk memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan serta sikap yang dikehendaki dari pengajaran itu sendiri?; Ketiga, apakah siswa menempuh beberapa kegiatan belajar sebagai akibat penggunaan multi metode dan multi media yang dipakai guru, ataukah
29
terbatas kepada satu kegiatan belajar saja?; Keempat, apakah siswa mempunyai kesempatan untuk mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar yang dicapainya, ataukah ia tidak mengetahui apakah yang ia lakukan itu benar atau salah?; Kelima, Apakah proses pengajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas ataukah hanya siswa tertentu yang aktif belajar?; Keenam, apakah suasana pengajaran atau proses belajar mengajar cukup menyenangkan dan merangsang siswa belajar ataukah suasana yang mencemaskan dan menakutkan?; Ketujuh, apakah kelas memiliki sarana belajar yang cukup kaya, sehingga menjadi laboratorium belajar ataukah kelas yang hampa dan miskin dengan sarana belajar, sehingga tidak memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar yang optimal?”. Nana Sudjana (2009:37-39) juga menerangkan bahwa, “Asumsi dasar ialah proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Ada korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang dicapai. Makin besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan keberhasilan pengajaran ditinjau dari segi hasil atau produk yang dicapai siswa, yaitu: Pertama, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (komprehensif) yang terdiri atas unsur kognitif, afektif dan psykomotorik secara terpadu pada diri siswa, ataukah hasil belajar yang bersifat tunggal (single facts) dan terlepas satu sama lain, sehingga tidak membentuk satu integritas pribadi?; Kedua, apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pengajaran mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapinya, ataukah suatu hasil yang sifatnya samar-samar sehingga tak banyak dan tak dapat diterapkan?; Ketiga, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan mengendap dalam pikirannya serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya, ataukah bersifat incidental masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan?; Keempat, apakah yakin
30
bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses pengajaran, ataukah perubahan itu sebagai akibat lain di luar proses pengajaran?”. Menurut UNESCO dalam Iskandar (2009, 104-105), terdapat empat pilar belajar, yaitu: 1. “Learning to know” belajar untuk mengetahui. 2. “Learning to do” belajar untuk aktit, prinsip belajar learning to do bermakna “live long educational” kegiatan belajar sepanjang hidup. Dalam isalam kita kenal melalui sabda rasulullah S.A.W menyatakan “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Makna disini adalah bahwa belajar merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia apabila ingin menjadi manusia seutuhnya melalui belajar aktif (active learning). Kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. 3. “Learning to be” belajar untuk menjadi; makna dari learning to be adalah proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa, mahasiswa)
menghasilkan
perubahan
perilaku
individu
atau
masyarakat terdidik yang mandiri. Makna belajar disini bukan hanya menulis, menghafal, membaca tetapi melalui belajar seseorang mendapatkan jati diri dan kebahagiaan. Kegiatan belajar disini dimaksudkan untuk mendapat pengetahuan untuk berproduktifitas melalui kerja yang sesuai dengan kompetensi (kemampuan) yang kita miliki. 4. “Learning to live together” belajar untuk bersama-sama. Menurut Bloom dalam Iskandar (2009, 105-106) menjabarkan bahwa, “Belajar merupakan suatu komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implicit (tersembunyi). Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah:
31
1. Kognitif, yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran
atau
pikiran
terdiri
dari
kategori
pengetahuan,
pemahaman, penerapan, ana;isis, sisntesis dan evaluasi. 2. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup. 3. Psikomotorik, yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreatifitas.” Iskandar
(2009:164)
menjelaskan
bahwa,
“Pendidikan
dan
pengajaran merupakan suatu proses yang sengaja dan sadar tujuan. Artinya proses belajar mengajar merupakan proses interaksi yang terikat, terarah pada tujuan, dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan dan pengajaran diartikan sebagai suatu bentuk usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari siswa sebagai subjek belajar, sehingga memberi arah kemana proses belajar mengajar itu harus dibawa dan dilaksanakan. Oleh karena itu, tujuan harus dirumuskan dan harus memiliki deskripsi yang jelas yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan.” Masih memiliki keterkaitan dengan penjabaran yang terdahulu, Martinis dalam Iskandar (2009:173-174) menyatakan bahwa, “Ranah afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang kompleks yang merupakan factor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam literature tujuan afektif disebut sebagai: minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai serta kecenderungan emosi.”
32
Menurut Bloom dalam Iskandar (2009:174-176), “Terdapat beberapa dimensi-dimensi afektif yang perlu diperhatikan siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) dalam proses pembelajaran, sebagai berikut: 1. Sikap Penerimaan (receiving), ini merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya (stimulus) tertentu. Sikap penerimaan (receiving) dalam proses pembelajaran berhubungan dengan sikap atau perilaku membangkitkan, meningkatkan, dan mengarahkan perhatian siswa (peserta didik). Misalnya mendengar penuh perhatian, kesadaran akan pentingnya belajar. 2. Responsif (responding), adalah tanggapan (responding) yang merupakan reaksi aktif dari siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) untuk berpartisipasi. Responsive atau tanggapan dalam proses pembelajaran dapat ditunjukkan bahwa siswa tidak saja memperhatikan tetapi secara aktif memberikan (respon) reaksi gejala tertentu dengan cara tertentu. 3. Penilaian (valuing), merupakan kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap kemauan untuk menerima suatu objek atau kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa objek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif. Misalnya menghargai peranan teori dalam penelitian, memberi perhatian terhadap orang yang membutuhkan bantuan, menunjukkan komitmen atau kesungguhan terhadap pentingnya belajar. 4. Organisasi
(organization),
merupakan
kemampuan
siswa
mengkonseptualisasi perbedaan nilai-nilai dan menyelesaikan konflik serta menyusun hubungan antar nilai-nilai tersebut. Disini ditekankan
pada
mengidentifikasi,
membandingkan,
menjeneralisasikan
dan
menghubungkan, menyintesiskan
kemudian memilih nilai-nilai yang terbaik untuk diterapkan.
33
5. Pembentukan karakter (characterization), merupakan kemampuan seseorang untuk menyikapi dan menghayati nilai-nilai yang mempengaruhi kepribadian, sehingga nilai-nilai tersebut dapat menjadi acuan, pedoman, dan panduan dalam kehidupan. Konsep ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, seperti; meyakini suatu konsep yang memiliki dasar ilmiah yang kuat, konsisten dan kerja keras dalam belajar.” Martinis dalam Iskandar (2009, 178-179) juga menjelaskan bahwa, “Secara umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti dengan kata pembelajaran, sebagai berikut: 1. Tujuan instruksional umum atau kompetensi dasar. Dalam bahasa asing biasa disebut goal, terminal objective, dan target objective. Tujuan terminal melukiskan hasil belajar utama dalam istilah perilaku yang semula disebut dalam tujuan umum. Lebih dari satu tujuan terminal diperlukan untuk mencapai tujuan umum. 2. Tujuan instruksional khusus atau indikator, yang dalam istilah asing dikenal dengan; enabling objectives, subordinate objectives, dan
supportive
objectives
(tujuan
memungkinkan,
tujuan
bawahan, tujuan penyangga). Tujuan penyangga melukiskan perilaku khusus (kegiatan tunggal atau langkah tunggal) yang harus dipelajari atau ditampilkan supaya tercapainya tujuan terminal.”
3. Tinjauan Tentang Disiplin Kelas a. Pengertian Disiplin Dalam rangka menciptakan, mempertahankan, dan mengembalikan kondisi yang optimal untuk menjadikan proses belajar mengajar yang baik, “disiplin kelas” merupakan salah satu aspek yang besar peranannya. “Disiplin, disciple, discipline”, artinya “pengikut” atau “penganut”. Asal mula pengertian disiplin, yaitu suatu keadaan tertib dimana para
34
pengikut tunduk dengan senang hati pada ajaran pemimpinnya.” (Amatembun dalam Soedomo Hadi, 2005:58) Menurut Oteng Sutisna (1989:109), “Disiplin adalah esensial bagi semua kegiatan kelompok yang terorganisasi. Para anggota harus mengendalikan keinginan-keinginan pribadi masing-masing dan bekerja sama untuk kebaikan semua”. Sedangkan menurut Piet Sahertian & Ida Aleida Sahertian (1992:106) menjelaskan bahwa, “Disiplin sebenarnya merupakan akibat dari pengelolaan kelas yang efektif.” Selain pendapat yang tersebut sebelumnya, terdapat beberapa pendapat yang menjabarkan perihal disiplin seperti tersebut dibawah ini: Dalam arti luas disiplin mencakup setiap macam pengaruh yang ditunjukkan untuk membantu peserta didik agar dia dapat mamahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan juga penting tentang cara menyelesaikan tuntutan yang mungkin ingin ditunjukkan peserta didik terhadap lingkungannya. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:47-48) Disiplin timbul dari kebutuhan untuk mengadakan keseimbangan antara apa yang ingin dilakukan oleh individu dan apa yang diinginkan individu dari orang lain sampai batas-batas tertentu dan memenuhi tuntutan orang lain dari dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan dari perkembangan yang lebih luas. (Martini Yamin dan Maisah, 2009:48) Menurut Wikipedia dalam Martinis Yamin dan Maisah (2009:48) mengemukakan bawa, “Disiplin merupakan bentuk pelatihan yang menghasilkan suatu karakter atau perilaku khusus yang menghasilkan perkembangan moral, fisik dan mental untuk tujuan tertentu”. Dengan disiplin para peserta didik bersedia untuk tunduk dan mengikuti peraturan tertentu dan menjauhi larangan tertentu. Bertitik tolak dari pengertian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa disiplin kelas adalah, keadaan tertib dimana guru dan murid-murid yang tergabung dalam suatu kelas tunduk kepada peraturan-peraturan atau tatatertib yang telah ditetapkan dengan senang hati.
35
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Soedomo Hadi (2005:59) bahwa “Disiplin kelas adalah keadaan tertib di mana guru dan siswa-siswa yang tergabung dalam suatu kelas tunduk pada peraturanperaturan atau tata tertib yang telah ditentukan sebelumnya dengan senang hati. Guru harus sadar, bahwa suasana tertib dalam kelas merupakan suatu syarat penting bagi proses belajar-mengajar yang efektif”. b. Tahap-Tahap Disiplin Kelas Martinis Yamin dan Maisah (2009:52-60) menjelaskan bahwa, “Ada banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru yang merupakan tahapan dalam menciptakan disiplin kelas yang mengerucut pada terciptanya disiplin diri setiap siswa didik, yaitu: Pertama dengan pengenalan peserta didik, yang mana berintikan apabila guru makin baik mengenal peserta didik makin besar kemungkinan guru untuk mencegah terjadinya pelanggaran disiplin. Dan yang kedua dengan melakukan tindakan korektif, yang dalam hal ini guru harus segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan yang ada dan konsekuensinya dan kemudian melaksanakan sanksi yang seharusnya berlaku. Ketiga yaitu dengan melakukan tindakan penyembuhan, yaitu tindak lanjut apabila terlanjur terjadi pelanggaran oleh siswa. Dan yang terakhir ialah tertib ke arah siasat, yang berintikan bahwa pengalaman dasar dalam disiplin akan menjadi pedoman bagi keteraturan hidup, karena disiplin diri sendiri hanya akan tumbuh dalam suatu suasana di mana antara guru dan peserta didik terjalin sikap persahabatan yang berakar pada dasar saling menghormati dan saling mempercayai.” Masih menurut Martinis Yamin dan Maisah (2009:53-55) yang menjelaskan bahwa, “Awali melakukan tindakan dan bukan ceramah, yang dipraktikkan dengan bila ada seseorang peserta didik melakukan tindakan yang dapat mengganggu kelas, lakukan tindakan menghentikan kegiatan tersebut secara tepat dan segera. Kedua, Do not bargain, dikarenakan tak ada untungnya membuka forum diskusi dan mencari siapa yang bersalah. Sekali lagi segera hentikan penyimpangan tingkah-laku peserta didik dengan tindakan. Ketiga, mulai gunakan kontrol kerja, karena kewajiban guru
36
adalah mencoba menghindarkan hal-hal tersebut dengan melakukan control sosial dan apabila siswa dekat dengan guru akan memperkecil kesempatan mereka untuk berbuat nakal dan melanggar tata tertib sekolah. Keempat, nyatakan peraturan dan konsekuensinya, sehingga apabila peserta didik melanggar peraturan sekolah, komunikasikan kembali apa aturan yang dilanggarnya secara jelas dan kemukakan akibatnya bila peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama dilanggar. Konsekuensi ini dilakukan secara bertahap dimulai dari peringatan, teguran, memberi tanda cek, disuruh menghadap kepala sekolah dan atau dilaporkan kepada orang tuanya tentang pelanggaran yang dilakukannya di sekolah.” Tahapan ketiga dalam penciptaan Disiplin Kelas, adalah melakukan tindakan penyembuhan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tindakan penyembuhan ini adalah: 1) Mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima dan mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari pelanggaran yang dibuatnya. 2) Membuat rencana yang diperkirakan paling tepat tentang langkahlangkah yang akan ditempuh dalah mengadakan kontak dengan peserta didik. 3) Menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik tersebut yang disetujui bersama oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan. 4) Bila saatnya bertemu dengan peserta didik jelaskanlah maksud pertemuan tersebut, dan jelaskan pula manfaat yang mungkin diperoleh oleh peserta didik maupun oleh sekolah. 5) Tunjukkanlah kepada peserta didik bahwa guru pun bukan orang yang sempurna dan tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan dalam berbagai hal. 6) Guru berusaha untuk membawa peserta didik kepada masalahnya yaitu pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku di sekolah.
37
7) Bila pertemuan yang diadakan dan ternyata peserta didik responsif maka guru bisa mengajak peserta didik untuk melaksanakan diskusi pada saat lain tentang masalah yang dihadapinya. 8) Pertemuan guru dan peserta didik harus sampai kepada pemecahan masalah dan sampai kepada “Kontak” yang diterima peserta didik dalam rangka memperbaiki tingkah laku peserta didik tentang pelanggaran yang dibuatnya. 9) Melakukan kegiatan tindak lanjut. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:57-58) Dan yang merupakan tahapan keempat pendiptaan Disiplin Kelas adalah Tertib ke Arah Siasat. Hal ini akan tumbuh subur bila: 1) Guru bersikap “hangat” dalam membina sikap persahabatan dengan semua peserta didik. Menghargai mereka dan menerima mereka dengan berbagai keterbatasan. 2) Guru bersikap adil sehingga mereka diperlakukan sama tanpa tumbuh rasa dianak tirikan atau dipisahkan. 3) Guru bersikap objektif terhadap kesalahan peserta didik dengan melakukan sanksi sesuai dengan tata tertib peserta didik melanggar disiplin yang telah disetujui bersama. 4) Guru tidak menuntut para peserta didik untuk mengikuti aturan-aturan yang di luar kemampuan peserta didik untuk mengikutinya. 5) Guru tidak menghukum peserta didik di depan teman-temannya sehingga menyebabkan mereka kehilangan muka. 6) Dapat diciptakan suatu kondisi sehingga setiap peserta didik merasa berhasil dalam segi-segi tertentu dan tidak senantiasa berada dalam situasi kegagalan dan kekecewaan. 7) Suasana kehidupan di sekolah tidak mendorong peserta didik kearah tingkah laku yang dikehendaki. 8) Pada saat-saat tertentu disediakan penghargaan dan hadiah bagi peserta didik yang bertingkah-laku sesuai dengan tuntutan disiplin
38
yang berlaku sebagai tauladan yang baik. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:57-58) Sikap guru yang demokratis merupakan kondisi bagi terbinanya tertib kearah siasat. Sikap ini akan memberi kesempatan peserta didik untuk ikut terlibat menegakkan disiplin sekolah, ikut dipikirkan dan ditetapkan bersama. d. Penerapan Disiplin Kelas Secara umum kedisiplinan murid di kelas dan di sekolah saling berhubungan erat. Murid yang disiplin di kelas biasanya juga disiplin di sekolah. Sebaliknya murid yang kurang disiplin di kelas juga kurang disiplin di sekolah. Kedisiplinan merupakan sikap yang harus dibina hingga menjadi kepribadian setiap peserta didik. Hal ini senada dengan pendapat seperti tersebut dibawah ini: Yang sangat berperan penting dalam pembentukan sikap adalah faktor perasaan atau emosi, dan faktor reaksi atau respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap akan selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakannya atau menjauhi dan menghindari sesuatu. (Robert S. Ellis dalam Ngalim Purwanto, 1990:141) Dari pernyataan tersebut, maka secara sederhana dapat dinyatakan bahwa apabila siswa menyenangi sesuatu yang dalam hal ini adalah kondisi maupun keadaan di sekolah maupun dikelas, maka mereka akan menuruti dan melaksanakan peraturan yang ada sehingga kedisiplinan dapat terwujud. Sedangkan apabila siswa tidak senang terhadap segala hal yang ada di sekolah maupun di kelas, maka mereka akan cenderung menjauhi atau menghindari hal-hal yang sesuai dengan peraturan sehingga menghambat terciptanya kedisiplinan baik di kelas maupun sekolah. Selanjutnya beberapa karakteristik murid yang disiplin di ruang kelas menurut Chumdari dan Sutini (1996:60-61) adalah memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1) Memasuki ruangan kelas sebelum guru masuk kelas dan masuk kelas
39
dengan baik. 2) Mematuhi peraturan kelas dengan baik. 3) Berperilaku baik selama mengikuti pelajaran. 4) Mempergunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya. 5) Mengikuti pelajaran dengan tertib. 6) Menghargai atau menghormati pendapat orang lain. 7) Mengajukan pertanyaan kepada guru dengan tertib atau baik. 8) Meninggalkan kelas dengan ijin guru. 9) Menjaga lingkungan kelas tetap bersih dan rapih. 10) Bersikap sosial kepada guru dan teman-temannya, dan sebagainya. Sedangkan karakteristik murid yang disiplin di sekolah, menurut Chumdari dan Sutini (1996:61-62) mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1) Datang tepat pada waktunya atau sebelum sekolah masuk. 2) Mengikuti upacara dengan tertib dan khidmad. 3) Ikut serta menjaga kebersihan tembok dan sebagainya. 4) Menempatkan dan merawat perlengkapan sekolah dengan baik. 5) Minta ijin bila meninggalkan sekolah. 6) Hormat dan berlaku sopan terhadap siapapun. 7) Bersikap ramah kepada guru, kepala sekolah, dan sebagainya. 8) Mengenakan pakaian sesuai ketentuan sekolah atau seragam. 9) Bersikap bersahabat dan suka menolong. 10) Menggunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya, dan sebagainya. e. Gangguan Disiplin Kelas Problema-problema disiplin kelas dalam rangka pengelolaan kelas menyangkut dua masalah pokok, yaitu (1) masalah individual, dan (2) masalah kelompok. Tindakan seorang guru akan lebih efektif dalam mengangani disiplin kelasnya apabila ia dapat mengidentifikasi secara tepat hakekat masalah yang dihadapinya sehingga ia dapat memilih strategi penanggulangannya secara tepat. Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassel dalam Chumdari dan Sutini (1996:67) menjelaskan bahwa, “Terdapat empat macam problema
40
individual yang didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya untuk mencapai tujuan yakni terpenuhinya kebutuhan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi melalui caracara yang wajar, maka individu itu akan berusaha mencapainya dengan cara-cara lain yang tidak wajar, dengan kata lain ia akan berbuat tidak wajar / asosial (tak disiplin). Empat problema tersebut adalah sebagai berikut; Attention-getting behavior (tingkah laku untuk menarik perhatian), semisal dengan cara membadut di kelas (aktif), atau berbuat serba lamban sehingga perlu mendapat bantuan ekstra dari guru (pasif); Power-seeking behavior (tingkah laku untuk mencari kekuasaan), misalnya dengan selalu mendebat atau kehilangan kendali emosional (aktif) marah-marah, menangis, atau (pasif) selalu lupa pada peraturan-peraturan penting di kelas; Revenge-seeking behavior (tingkah laku untuk membalas dendam), misalnya dengan menyakiti hati orang lain, seperti mengata-ngatai, mencubit,
menggigit,
memukul
dan
sebagainya;
Peragaan
ketidakmampuan, misalnya dalam bentuk sama sekali menolak untuk mencoba melakukan apapun, karena yakin hanya akan mengalami kegagalan.” Menurut Lois V. Johnson dan Mary A. Bany dalam buku susunan Chumdari dan Sutini (1996:68) menerangkan bahwa, “Terdapat empat katagori problema kelompok yang dihadapi guru dalam pembinaan disiplin kelas. Empat katagori tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, kelas kurang kohesif, (kurang akrab) karena perbedaan jenis kelamin, suku/ras, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya; Kedua, kesebalan/pelanggaran terhadap norma-norma yang telah sebelumnya disepakati bersama. Misalnya sengaja berbicara keras-keras di ruang baca perpustakaan, dan sebagainya; Ketiga, kelas memberi respon negatif terhadap salah seorang anggotanya, semisal mengejek salah seorang teman yang kurang benar menjawab pertanyaan dari guru; Keempat, kelas kurang mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru, seperti perubahan jadwal, guru
41
kelas diganti sementara oleh guru piket, dan sebagainya.” Begitu banyak karakteristik kelompok dalam sebuah kelas, maka dari itu tentunya membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Hal ini seperti dijelaskan dibawah ini: Dalam pembinaan disiplin kelas, perlu diingatkan bahwa setiap problema harus ditanggapi secara berbeda. Problema individual, individu pelaku yang dijadikan sasaran. Sedangkan problema kelompok tindakan korektif harus ditujukan kepada kelompok. Sebab diagnosis yang keliru akan mengakibatkan terjadinya tindakan korektif yang keliru pula. (Chumdari dan Sutini, 1996:68) 4. Tinjauan Tentang Keterkaitan Pendekatan Eclectic dengan Disiplin Kelas a. Indikator Pengelolaan Kelas Yang Baik Pengelolaan kelas yang baik, dapat dilihat dari terciptanya efektivitas dalam proses pembelajaran oleh seoarng guru. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Martinis Yamin dan Maisah (2009:17) bahwa, “Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan keberhasilan (atau kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Efektivitas tugas dari segi proses menyangkut perilaku pimpinan yang dinilai dari proses kerjanya berdasarkan standar penampilan dalam membuat perencanaan, mengorganisir, memotivasi, dan mengawasi. Efektivitas tugas dilihat dari segi karakteristik kepribadian, kemampuan, sikap, keteladanan dan keterbukaan. Sedangkan efektifitas tugas dari segi hasil yaitu menempatkan tingkat penyelesaian tugas dalam pencapaian tujuan yang muaranya pada mutu produk dan mutu pelayanan.” Masih berkaitan dengan pendapat tersebut, Iskandar (2009:95) turut menjelaskan bahwa, “Efektivitas proses pembelajaran banyak bergantung kepada kesiapan dan cara mengajar yang dilakukan pendidik (guru/dosen), sedangkan kesiapan cara belajar yang dilakukan oleh peserta didik (siswa/mahasiswa) itu sendiri, baik yang dilakukan secara mandiri maupun kelompok.” Indikator pengelolaan kelas yang baik, mampu dilihat dari pengelola kelas yang baik dan efektif, karena tentunya pengelolaan kelas
42
yang baik adalah pengelolaan kelas yang dijalankan oleh pengelola kelas yang baik dan efektif. Disiplin kelas yang terwujud dengan ditanganinya gangguan kelas dengan baik, merupakan salah satu indikator yang menonjol dari pengelolaan kelas yang berhasil. Sebab dengan pengelolaan kelas yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kelas, maka dapat meminimalisir bahkan mengatasi gangguan yang terjadi didalam kelas. Sehingga dengan dapat diatasinya gangguan kelas yang terjadi, seperti keributan yang diakibatkan oleh aktivitas peserta didik yang kurang produktif, kedisiplinan dan keteraturan dalam kelas dapat diwujudkan. Dalam proses pembelajaran, peserta didik perlu diupayakan pengembangan aktivitas, kreativitas, dan motivasi di dalam proses pembelajaran. Karena dengan meningkatkan pengembangan aktivitas siswa yang positif dan produktif, dapat memacu pada terciptanya kreativitas dan berkembangnya daya nalar peserta didik sehingga dapat meningkatkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dan untuk dapat meningkatkan aktivitas siswa, dibutuhkan adanya motivasi-motivasi yang akan menarik minat siswa untuk melakukan hal-hal yang positif dan produktif sesuai dengan yang direncanakan dalam tujuan pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersebut, upaya yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang pendidik dalam membangkitkan motivasi belajar peserta didik dalam proses pembelajaran, seorang guru sebagai pengajar dan pendidik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya menarik dan berguan bagi dirinya; 2) Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut; 3) Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya; 4) Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan; 5) Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa;
43
6) Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti: perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subyek tertentu. 7) Usahakan
untuk
memenuhi
kebutuhan
siswa
dengan
jalan
memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri. (E. Mulyasa dalam Iskandar, 2009:97). b. Kaitan Pengelolaan Kelas dengan Pendekatan Eclectic Pendekatan eclectic merupakan bagian dari pengelolaan kelas. Diharapkan dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam Pengelolaan Kelas atau managemen kelas, mampu memberi kontribusi yang positif dalam menciptakan keberhasilan proses pengelolaan kelas. Beberapa teori ahli yang mendukung gagasan ini adalah: Menurut Daryanto dalam buku “Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif” (2009:201), “Mengajar yang dapat membawa siswa belajar efektif, adalah belajar yang didalamnya terdapat aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah, serta siswa berusaha memecahkan masalah termasuk berpendapat.” Hal tersebut dapat dilakukan dengan menempuh beberapa langkah sebagai berikut: 1) Belajar secara aktif 2) Gunakan metoda dan media yang bervariasi 3) Motivasi terus 4) Pertimbangan perbedaan individu 5) Buat perencanaan sebelum mengajar 6) Pengaruh guru yang sugestif 7) Guru harus memiliki keberanian menghadapi siswa 8) Guru harus mampu menciptakan suasana yang demokratis
44
9) Berikan masalah yang merangsang untuk berpikir 10) Pelajaran perlu diintegrasikan 11) Perlu dihubungkan dengan kehidupan nyata 12) Berikan kebebasan untuk mengamati, mencoba, dan belajar sendiri 13) Pengajaran remedial. (Daryanto, 2009:201) Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pula oleh guru apabila ingin mewujudkan mengajar yang efektif, seperti tersebut dibawah ini: Dan ada pula beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh guru dalam mewujudkan mengajar yang efektif yaitu, pertama dengn penguasaan materi pelajaran, kemudian dengan memiliki rasa cinta pada yang diajarkan (materi/pekerjaan/siswa), dan didukung dengan pengalaman pribadi dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, menggunakan variasi metode dalam mengajar, selalu menambah ilmu, serta tidak lupa memberi pujian dan dorongan semangat pada siswa. (Daryanto, 2009:201). Memang dalam kegiatan belajar peserta didik, guru harus dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam kegiatan belajar peserta didik. Kata kunci berhasilnya kegiatan pendidikan terletak pada kegiatan mengajar guru yang dapat menciptakan proses belajar siswa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Masih menurut Daryanto (2009:203), menyatakan beberapa ciri individu (guru dan siswa) yang kreatif sehingga mampu mendorong terwujudnya proses belajar yang efektif, yakni sebagai berikut: 1.
Hasrat keingintahuan yang cukup besar
2.
Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru
3.
Panjang akal
4.
Keinginan untuk menemukan dan meneliti
5.
Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit
6.
Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan
7.
Memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas
8.
Berpikir fleksibel
45
9.
Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih banyak
10. Kemampuan membuat analisa dan sintesis 11. Memiliki semangat bertanya serta meneliti 12. Memiliki daya abstraksi yang cukup baik 13. Memiliki latar belakang membaca yang cukup luas Muhammad Ridwan (13 September 2007, 11:09) dalam sebuah jurnal di internet memberi definisi pengelolaan kelas sebagai, “suatu kegiatan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar, yang didalamnya mencakup pengaturan orang (siswa) dan fasilitas, serta segala aktivitas yang dikerjakan dari mulai terjadinya kegiatan pembelajaran di dalam kelas sampai berakhirnya pembelajaran di dalam kelas”. Senada dengan pernyataan tersebut, Dede Sudjadi (8 Januari 2009, 06:20) dalam sebuah situs di internet, turut menyatakan sebagai berikut, “Pengelolaan Kelas, didefinisikan sebagai: Perangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan. Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosio emosional
kelas
yang
positif.
Seperangkat
kegiatan
guru
untuk
menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.” Ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Chumdari dan Sutini (1996:13-19), ialah sebagai berikut: “Inti pelaksanaan pendekatan berdasar studi psikologi pada hakekatnya bertujuan untuk menguatkan tingkah laku murid yang baik, atau menghilangkan tingkah laku yang kurang baik.” Dalam buku “Membangun Kompetensi Belajar”, yang disusun oleh A. Suhaenah Suparno (2000:54), memuat pandangan seorang tokoh behaviourisme terkenal, yakni Skinner. Mengajar menurut Skinner adalah, “Serangkaian penataan penguatan dibawah apa pengubahan perilaku berlangsung. Tugas guru adalah mengubah perilaku yang dimulai dengan proses menyadari adanya tujuan yang berbentuk perubahan serta menguasai
46
teknik-teknik mengajar untuk mencapainya”. Oleh karena itu, guru harus pandai memilah dan memilih teknik mengajar yang sesuai agar dapat membawa murid pada perubahan perilaku yang baik. Bila seorang guru telah dapat membawa murid pada perubahan perilaku yang baik, barulah ia dikatakan professional dalam mengajar. Hal tersebut dikuatkan pula oleh pendapat seperti tersebut dibawah ini: Salah satu indikator yang menyatakan bahwa guru, dosen (pendidik) yang professional adalah memiliki kemampuan mengelola kelas, yaitu menyediakan suasana yang kondusif untuk berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Apabila belum kondusif, maka seorang guru atau dosen (pendidik) harus berupaya seoptimal mungkin untuk menguasai, mengatur dan membenahi, serta menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Iskandar, 2009:209) Menciptakan iklim belajar yang kondusif. Efektivitas dan efisiensi pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dan dosen (pendidik) dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosioemosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga peserta didik dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. (Iskandar, 2009:210) c. Kaitan Pengelolaan Kelas dengan Disiplin Kelas Keterkaitan disiplin kelas dengan pengelolaan kelas terlihat jelas dari penjelasan mengenai indikator-indikator pengelolaan kelas yang baik dan efektif. Terciptanya disiplin kelas yang baik merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan tindakan pengelolaan kelas yang dilakukan oleh seorang pengelola kelas (guru). Gagasan ini didukung oleh pendapat para ahli sebagai berikut: Chumdari dan Sutini (1996:54) berpendapat bahwa, “Masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting dalam managemen kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria penting dalam menilai kualitas kepemimpinan seorang guru”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Suharsimi Arikunto (1989:67) menjelaskan bahwa, “Pengelolaan kelas adalah suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan pembelajaran yang dimaksud untuk
47
mencapai kondisi yang kondusif dan optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan pembelajaran yang diharapkan”. Usaha uang dimaksud tentunya adalah upaya guru dalam menciptakan kondisi kelas yang disiplin. Menurut
Chumdari
dan
Sutini
(1996:55),
“Bagaimanapun
pengertian kita tentang disiplin kelas, setiap guru menyadari bahwa suasana yang tertib dalam kelas merupakan suatu prasyarat penting bagi proses mengajar dan belajar yang efektif”. Pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan rapport, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang (peserta didik) dan fasilitas. (Akhmad Sudrajat, 24 Januari 2008, 08:32) Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassel dalam Ahmad Rohani (2004:125) menjelaskan bahwa, “Empat kelompok masalah dalam pengelolaan kelas yang individual, didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya pencapaian tujuan pemenuhan keputusan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga diri. Bila kebutuhan ini tidak lagi dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lumrah dalam masyarakat kelas, maka individu yang bersangkutan akan berusaha mencapainya dengan cara-cara lain. Dengan kata lain, dia akan berbuat tidak baik”. Empat tingkah laku yang merupakan permasalahan individual dalam pengelolaan kelas menurut Dreikurs dan Cassel dalam Ahmad Rohani (2004:125), diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Tingkah laku yang ingin mendapatkan perhatian orang lain, misalnya membatu di kelas (aktif), atau dengan berbuat serba lamban sehingga perlu mendapat pertolongan ekstra (pasif). 2. Tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan, misalnya selalu mendekat atau kehilangan kendali emosional marah-marah, menangis (aktif), atau selalu “lupa” pada aturan-aturan penting di kelas (pasif).
48
3. Tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain, misalnya seperti mencaci-maki, memukul, menggigit, dan lain sebagainya (kelompok ini tampaknya kebanyakan dalam bentuk aktif/pasif). 4. Peragaan ketidakmampuan, yaitu dalam bentuk sama sekali menolak untuk menolak untuk mencoba melakukan apapun karena yakin bahwa hanya kegagalanlah yang menjadi bagiannya. Pentingnya pengelolaan kelas dalam meraih keberhasilan proses belajar mengajar, sesuai dengan pendapat Piet Sahertian & Ida Aleida (1992:106) yang menerangkan bahwa, “Pengelolaan kelas sangat erat hubungannya dengan keberhasilan dalam situasi belajar mengajar. Maka guru diharapkan terampil untuk menciptakan dan memaklumi kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya ke kondisi yang optimal dengan cara mendisiplinkan dan melakukan kegiatan remedial.” d. Kaitan Pendekatan Eclectic dengan Disiplin Kelas Antara disiplin kelas dan pendekatan eclectic, terdapat keterkaitan yang kuat. Dengan menerapkan pendekatan eclectic, diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan gangguan disiplin kelas. Oteng Sutisna (1989:109) memaparkan bahwa, “Disiplin adalah esensial bagi semua kegiatan kelompok yang terorganisasi. Para anggota harus mengendalikan keinginan-keinginan pribadi masing-masing dan bekerja sama untuk kebaikan semua”. Piet Sahertian & Ida Aleida (1992:106) juga menjelaskan bahwa, “Disiplin sebenarnya merupakan akibat dari pengelolaan kelas yang efektif.” Dalam buku “Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif” (Daryanto, 2009:46-47), terdapat hasil sebuah penelitian yang relevan dengan masalah penciptaan kedisiplinan kelas yang berkaitan dengan pendekatan mengajar guru dalam pengelolaan kelas yang menggunakan konsep psikologi pendidikan, ialah sebagai berikut, “Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers, diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975,
49
mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah: 1. Merespon perasaan siswa 2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang 3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa 4. Menghargai siswa 5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan 6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa) 7. Tersenyum pada siswa Dari penelitian ini diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.” Situasi kelas yang pelajar-pelajarnya termotivasi dapat mempengaruhi sikap belajar dan tingkah laku pelajar. Pelajar yang termotivasi untuk belajar akan sangat tertarik dengan berbagai tugas belajar yang sedang mereka kerjakan, menunjukkan ketekunan yang tinggi, variasi aktivitas belajar merekapun akan lebih banyak. Disamping keterlibatan mereka dalam belajar lebih besar, mereka juga kurang menyukai tingkah laku yang negatif yang dapat menimbulkan masalah disiplin kelas. Oleh karena itu, dalam upaya menjaga dan meningkatkan disiplin kelas maka motivasi pelajar mesti dikembangkan. (Robert J. Songgok, Senin 09 Juni 2008, 05:17) Sedangkan pemberian motivasi itu sendiri, merupakan bagian yang penting dari penerapan pendekatan psikologikal dalam pengelolaan kelas. Seperti dengan pemberian reinforcement atau penguatan-penguatan yang diharapkan mampu menjadi motivator bagi siswa didik untuk mengikuti peraturan yang ada, sehingga mampu terwujud adanya disiplin kelas.
50
Sebagai implementasi hal tersebut, terkait kuat dengan pelaksanaan disiplin kelas yang tergantung pada senang atau tidak senang-nya siswa terhadap peraturan yang ada sehingga menentukan tingkah laku siswa untuk melaksanakan atau justru menghindari peraturan yang ada. Karena inti dari disiplin adalah “kesadaran untuk melaksanakan peraturan yang ada”. Dari penjabaran diatas, maka hubungan atau keterkaitan antara Pendekatan Eclectic, Pengelolaan Kelas dan Disiplin kelas, dapat dinyatakan secara ringkas sebagai berikut: Dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan pada saat ini sebagai salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan kelas, diharapkan mampu mewujudkan disiplin kelas yang merupakan salah satu tolok ukur penting keberhasilan tindakan pengelolaan kelas. 5. Dasar Hukum Pengelolaan Kelas Sebagai Implikasi Penyelenggaraan Pendidikan Di Indonesia Segala hal yang berlaku dalam suatu negara tidak pernah terlepas dari payung hukum yang mengayominya. Begitu pula halnya dengan pelaksanaan pendidikan
di
Indonesia,
ada
aturan
hukum
yang
melandasi
penyelenggaraannya. Aturan yang mengatur pengelolaan kelas sebagai salah satu wujud penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia, No. 20 Tahun 2003, tentang “Sistem Pendidikan Nasional”. (Pasal 40, ayat 2), yang menyatakan bahwa: “Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban : a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b) mempunyai
komitmen
secara
profesional
untuk
meningkatkan
mutu
pendidikan; dan c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.” Aturan ini merupakan dasar seorang guru dalam mengelola kelas secara baik dengan menciptakan iklim kelas yang menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, serta mampu menjadi teladan bagi siswa didiknya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 19 Tahun 2005 tentang “Standar Nasional Pendidikan” (Pasal 19 ayat 1, 2 dan 3) yang menyatakan
51
bahwa: a. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. b. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. c. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan
proses
pembelajaran
untuk
terlaksananya
proses
pembelajaran yang efektif dan efisien. Aturan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan guru dalam mengelola kelas agar proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
B. Kerangka Berfikir Kerangka berfikir merupakan acuan yang digunakan di dalam melakukan suatu penelitian. Pada penelitian ini kerangka berfikir dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengelolaan kelas harus dikuasai oleh seorang guru sebagai pengajar dan pendidik demi tercapainya efektifitas dan efisiensi dalam proses belajar mengajar. Dan yang dimaksud pengelolaan kelas adalah penyelenggaraan, pengurusan, kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam kelas, mencakup kegiatankegiatan menciptakan dan memelihara kondisi-kondisi yang optimal bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan efisien. Hal ini sesuai
52
dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, BAB XI (Pasal 39, ayat 1 dan 2), yang berbunyi: 1. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. 2. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses
pembelajaran,
menilai
hasil
pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Dalam pengelolaan kelas dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Salah satu pendekatan yang penulis kaji adalah “Pendekatan Eclectic”, dalam pengelolaan kelas atau managemen kelas, sebagai alternative terbaik dalam mencapai tujuan belajar yang efektif dan efisien. Pendekatan ini pada hakekatnya bertujuan untuk menguatkan tingkahlaku murid yang baik, atau menghilangkan tingkah laku yang kurang baik. Karena perilaku baik maupun kurang baik, sama-sama merupakan hasil dari proses belajar. Penulis tertarik mengkaji pendekatan eclectic, karena menurut penulis pendekatan ini adalah pendekatan yang paling baik digunakan terutama dalam menyampaikan materi pelajaran “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”. Karena tujuan utama dari penyampaian materi ini adalah menciptakan karakter siswa didik yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam praktik tingkah laku sehari-hari. Penerapan pendekatan ini dalam pengelolaan kelas, dilaksanakan oleh guru dengan jalan mewujudkan suasana kelas yang menyenangkan, interaktif, komunikatif dan mengutamakan budaya tutur yang santun, agar keteladanan guru dapat tertanam secara otomatis sehingga menjadi karakter yang mempribadi pada setiap murid. Hal ini sesuai pula dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, BAB XI (Pasal 40) yang berbunyi:
53
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban : 1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; 2. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan 3. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Selain pasal tersebut, pelaksanaan pengelolaan kelas dengan pendekatan yang
mengarahkan
kegiatan
belajar
mengajar
menjadi
kegiatan
yang
menyenangkan dan interaktif, didukung pula dengan adanya PP, No 19 Tahun 2005, tentang STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN, BAB IV (Pasal 19, ayat 1), yang berbunyi: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”. Dan secara implicit keberhasilan belajar penulis kaji dari sudut pandang “Disiplin Kelas”. Karena masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting dalam pengelolaan kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria penting dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru. Sebagai gambaran pemikiran untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
54
Pengelolaan Kelas Oleh Guru Interaksi
GURU
SISWA
Guru Menghadapi Kendala “Gangguan Disiplin Kelas” Guru Mengupayakan Pemecahan Masalah Preventif (Pencegahan)
Kuratif (Penindakan)
Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Kelas Oleh Guru
Terwujud Disiplin Kelas
Tujuan Pembelajaran Tercapai Gb. 1 Skema Kerangka Berpikir
55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti yang dipersiapkan dengan baik dalam suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan melakukan verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau pengetahuan dan memakai metode-metode ilmiah untuk mencapai suatu tujuan penelitian, yang terdiri dari: A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di SMP N 7 Surakarta yang beralamat di Jl. Mr. Sartono No. 34 Surakarta, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten/Kodya Surakarta. Alasan pemilihan tempat penelitian adalah, karena penulis pernah menjadi bagian dari instansi tersebut selama masa PPL sehingga memudahkan penulis dalam memperoleh hasil penelitian. Selain itu, penulis telah memiliki ikatan emosional dengan siswa sebagai obyek penelitian, sehingga data yang akan penulis dapatkan lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. 2. Waktu Penelitian Penelitian yang telah dilakukan terhadap permasalah yang telah dirumuskan pada bab terdahulu membutuhkan waktu selama 8 (delapan) bulan, yakni mulai bulan Mei 2009 sampai bulan Desember 2009. Tabel 1. Jadwal Penelitian No
Jenis Kegiatan
2009 Mei
1
Pengajuan Judul
2
Pembuatan proposal
3
Perijinan Penelitian
4
Pengumpulan Data
5
Analisis data
6
Pembuatan Laporan
Juni
54
Juli
Agst
Sept
Okt
Nov
Des
56
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian merupakan suatu keadaan dari hasil pencarian atas sesuatu yang dilakukan secara sistematis, dimana pencarian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan pemecahan masalah. Adapun data yang digunakan bersifat kualitatif, yaitu “Riset kualitatif memusatkan pada diskripstif, data yang dikumpulkan berujud kata-kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian”. (HB. Sutopo, 1996:35). Hakikat penelitian kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya, mendekati atau berinteraksi dengan orang-orang yang berhubungan dengan focus penelitian dengan tujuan mencoba memahami, menggali pandangan dan pengalaman mereka untuk mendapatkan informasi atau data yang diperlukan. (Iskandar, 2009:24) Panelitian deskriptif merupakan bentuk penelitian yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi pada masa sekarang sebagaimana adanya pada saat penelitian dilakukan, mengenai gambaran secara tepat mengenai sifat-sifat individu, keadaan atau kelompok tertentu antara suatu gejala lain di masyarakat. Sedangkan data yang digunakan bersifat kualitatif karena data yang digunakan berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka. Seperti yang dijelaskan oleh H.B. Sutopo (1996 : 35) bahwa : Berdasarkan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yang menekan pada masalah proses dan makna (persepektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada sekedar pertanyaan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka. Hal tersebut juga di ungkapkan oleh Lexy J. Moleong (1995:137) yang mengutip pendapat Bogdan dan Tylor, penelitian kualitatif adalah sebagai berikut “Metodologi kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
57
Sesuai
dengan
penjelasan
tersebut
maka
dalam
penelitian
ini
memusatkan perhatian pada masalah penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta. Pelaksanaan dari penelitian deskriptif dalam penyusunan skripsi ini tidak terbatas hanya pada waktu pengumpulan data saja melainkan juga dilakukan ketika proses penganalisaan data yang diakhiri dengan penarikan kesimpulan. Tapi selain penggunaan pendekatan kualitatif deskriptif, pengumpulan data dalam penelitian ini juga memanfaatkan pendekatan kuantitatif sebagai pelengkap atau pendukung. Karena sebelum melakukan pengumpulan data dengan teknik wawancara, penelitian ini memanfaatkan kuesioner sebagai instrument untuk memperoleh data awal sebelum melakukan wawancara secara mendalam. Hal tersebut seperti dipaparkan oleh Iskandar (2009:31) bahwa, “…pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dilakukan secara bersama-sama dalam sebuah penelitian, dengan cara kerjanya dilakukan secara bertahap dan desainnya adalah memberikan manfaat pada salah satu paradigma penelitian, sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai pelengkap atau pendukung saja”. Dalam hal ini, pendekatan kuantitafif melengkapi pendekatan kualitatif sebagai pendekatan utama dalam penelitian di SMP N 7 Surakarta. 2. Strategi Penelitian Strategi penelitian merupakan cara yang ditempuh pada saat proses pencarian atas sesuatu yang dilakukan dengan sistematis dalam rangka mendapatkan pemecahan masalah. Sesuai dengan masalah yang penulis teliti, penelitian ini termasuk penelitian studi kasus dengan tipe tunggal terpancang. Studi kasus tunggal terpancang adalah suatu penelitian mengenai fenomena dalam kehidupan nyata yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Fenomena dalam penelitian ini terjadi pada satu lokasi (tunggal) yaitu keluarga besar SMP N 7 Surakarta. Terpancang pada tujuan untuk mengetahui perubahan tingkah laku disiplin siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, ketika guru mengelola kelas dengan menerapkan pendekatan eclectic serta sejauh mana disiplin kelas dapat terwujud dengan adanya penerapan pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas. Sehingga tujuan
58
penelitian ini terbatas pada aspek perubahan tingkah laku siswa, dalam hal ini kedisiplinan siswa sewaktu proses belajar mengajar berlangsung dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas oleh guru mata pelajaran PPKn.
C. Sumber Data Menurut HB. Sutopo (1996:23) sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia dan tingkah lakunya, peristiwa, dokumen, arsip dan bendabenda lainnya. Dalam penelitian kualitatif ada beberapa sumber data yang dapat digunakan, antara lain: 1. Informan “Informan adalah orang yang memberikan informasi. Dengan pengertian ini maka informan dapat dikatakan sama dengan responden, apabila pemberian keterangannya karena dipancing oleh pihak peneliti. Istilah ‘informan’ ini banyak digunakan dalam penelitian kualitatif” (Suharsimi Arikunto, 2006:145). Jadi informan adalah orang yang mengetahui dan memahami tentang permasalahan yang ada dan bersedia memberikan informasi pada peneliti. Dalam hal ini informan yang peneliti ambil terdiri dari: a) Siswa SMP N 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2009-2010: 1) 10 Orang Siswa Kelas 7 SMP N 7 Surakarta 2) 10 Orang Siswa Kelas 8 SMP N 7 Surakarta 3) 10 Orang Siswa Kelas 9 SMP N 7 Surakarta b) Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMP N 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2009-2010: 1) Prasmani, S.Pd 2) Dimyati, A.Md 3) Sri Prihandajatin 4) Aisah, S.Pd Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada daftar informan (lampiran:1, halaman:103)
59
2. Dokumen dan arsip Dokumen ada dua yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi, dokumen pribadi yaitu tulisan tentang diri seseorang yang ditulisnya sendiri, sedang dokumen resmi adalah dokumen yang dikeluarkan suatu instansi. Sumber arsip merupakan informasi yang dapat diperoleh peneliti tentang subjek yang akan diteliti. Macam-macam dokumen yang digunakan disini meliputi seluruh dokumen resmi tentang hal-hal yang terkait dengan kegiatan pendidik dalam pengelolaan kelas yaitu antara lain: a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. c. RPP guru SMP N 7 Surakarta, yang tercantum dalam perangkat mengajar (lampiran:2, halaman:104) 3. Tempat dan peristiwa Kegiatan penelitian kualitatif tidak lepas dari wawancara dan observasi yang akan melibatkan tempat, pelaku dan peristiwa yang terjadi. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat berhasil sesuai dengan tujuan. Melalui tempat dan peristiwa peneliti dapat memperoleh data yang sesuai dengan masalah yang diteliti yaitu dengan menggunakan wawancara maupun observasi. Dalam penelitian ini lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah kelas-kelas yang ada di SMP N 7 Surakarta. Peristiwa yang peneliti amati adalah segala kegiatan yang terjadi di SMP N 7 Surakarta, yang berkaitan dengan penerapan pendekatan eclectic. Semisal interaksi yang terjadi antara guru dan siswa dalam PBM PPKn di SMP N 7 Surakarta, maupun kegiatan yang dilakukan antara guru dan siswa di SMP N 7 Surakarta di luar proses belajar mengajar yang mencerminkan penerapan pendekatan eclectic.
60
D. Teknik Pengumpulan Data “Teknik pengumpulan data adalah suatu kegiatan yang terarah dengan mencari bahan-bahan yang umumnya telah ditentukan lebih dahulu dalam program research”. (Sutrisno Hadi, 2000:8). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dipergunakan merupakan penggabungan dari pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memanfaatkan kuesioner sebagai instrument untuk memperoleh data awal yang dipergunakan untuk melakukan wawancara mendalam dengan key informan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Iskandar (2009:31) yang menyatakan bahwa, “pada tahap pertama peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, sedangkan pada tahap kedua peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data seperti teknik observasi dan teknik wawancara secara mendalam dan terfokus kepada subjek penelitian yang berkompeten dengan permasalahan penelitian tersebut.” Oleh karena itu, disini peneliti turut menggunakan kuesioner sebagai salah satu instrument dalam pengumpulan data awal sebelum ditindak lanjuti dengan wawancara secara mendalam, karena paradigma utama dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sehingga paradigma kwantitatif hanya berfungsi sebagai pelengkap saja. “Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui” (Suharsimi Arikunto, 2006:151). Dalam penelitian ini, kuesioner hanya digunakan sebagai instrument untuk memperoleh data awal sebelum melakukan wawancara secara mendalam. Dan jenis kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup, karena peneliti sudah menyediakan jawaban sehingga responden tinggal memilih. Kuesioner dalam penelitian ini, dibagikan kepada siswa dan guru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada angket penelitian untuk siswa (lampiran:3, halaman:144) dan angket penelitian untuk guru (lampiran:4, halaman:147) Untuk lebih jelasnya, beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
61
1. Pengamatan (Observasi) Observasi adalah “Studi yang sengaja dan sistematis tentang fenomena social dengan jalan pengamatan dan pencatatan” (Kartini Kartono, 1996:42). Dalam reseach kualitatif, observasi dapat dilakukan dengan cara observasi berperan dan tidak berperan. Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi tak berperan, karena peneliti secara langsung ke lokasi penelitian guna mendapatkan gambaran yang jelas dalam wawancara. Selain itu, penulis ikut mengalami peristiwa yang terjadi sehingga lebih membantu dalam menjawab permasalahan yang ada di SMP N 7 Surakarta mengenai perubahan tingkah laku disiplin siswa dengan diterapkannya pendekatan eclectic kaitannya dengan pencapaian tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien. 2. Wawancara (Interview) Wawancara merupakan suatu teknik dalam rangka mencari informasi melalui percakapan atau dialog guna memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Seperti dipaparkan oleh Suharsimi Arikunto (2006:155) bahwa, “Interview yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.” Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara secara mendalam. Mendalam karena informan penelitian sekaligus obyek yang diteliti adalah siswa SMP yang mayoritas masih lugu dan polos, sehingga membutuhkan penelusuran secara perlahan dan hati-hati. Dan dengan wawancara secara mendalam, maka data yang diperoleh lebih dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, terlebih peneliti memiliki ikatan emosional yang kuat sebagai mantan mahasiswa PPL terhadap informan. Namun penulis juga mempergunakan wawancara terbuka atau secara langsung karena informan penelitian yang lain adalah guru PPKn di SMP N 7 Surakarta, sehingga diperlukan wawancara formal untuk perolehan data. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada pedoman wawancara untuk siswa (lampiran:5, halaman:149) dan pedoman wawancara untuk guru (lampiran:6, halaman:150).
62
3. Dokumentasi Dokumentasi dan arsip merupakan sumber data yang sangat penting artinya dalam penelitian kualitatif, terutama bila sasarannya sangat berkaitan dengan peristiwa yang sedang di pelajari. Dalam penelitian ini, penulis membuat beberapa dokumentasi yang berupa gambar (cetak foto) antara penulis dengan informan, yang dapat dilihat secara jelas dalam foto-toto penelitian (lampiran:7, halaman:151).
E. Teknik Sampling (Cuplikan) Teknik sampling adalah “Suatu bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi”. (HB Sutopo, 1996:52) Teknik pengambilan sampling dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: purposif sampling, internal sampling, time sampling, dan snow ball sampling. Sehingga dalam penelitian kualitatif sample ditujukan oleh peneliti sendiri dengan mempertimbangkan bahwa sample itu dimengerti, jujur, dapat dipercaya, dan datanya bersifat objektif. Kemudian teknik cuplikan atau sampling yang biasa digunakan adalah teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan dan keingintahuan pribadi peneliti. Oleh karena itu cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Purposive
sampling
digunakan
karena
dalam
penelitian
ini
menggunakan sampel yang dianggap mengetahui secara mendalam mengenai dampak dilaksanakannya pendekatan pengelolaan kelas, yaitu siswa yang diajar oleh guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menerapkan pendekatan eclectic ketika proses belajar mengajar dilaksanakan, serta guru itu sendiri sebagai pribadi yang mengajar dengan memilih eclectic demi mewujudkan tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien.
63
F. Validitas Data Validitas data atau kesahihan data merupakan kebenaran data dari kancah peneliti. Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan maksud supaya hasil penelitiannya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena validitas data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan, diolah, dan diuji kesahihannya melalui teknik pemeriksaan tertentu. Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yaitu: 1. Trianggulasi Mengenai pengertian trianggulasi, Lexy J. Moleong (1995:178) berpendapat bahwa trianggulasi adalah, “tehnik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding terhadap data itu.” Dalam penelitian ini penulis melakukan trianggulasi data dengan mengadakan pengecekan antara pernyataan yang diungkapkan oleh guru lewat wawancara formal dengan pernyataan yang dijabarkan oleh murid lewat wawancara non-formal. Dan dari kedua macam pernyataan tersebut, penulis kroscek dengan metode pengamatan atau observasi yang penulis lakukan ketika kegiatan penelitian berlangsung dengan mengikuti jalannya kegiatan belajar mengajar mata pelajaran PPKn di dalam kelas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada trianggulasi data (lampiran:8, halaman:155). 2. Informan Review Informan review adalah “cara dalam usaha pengembangan validitas dimana peneliti yang sudah mendapatkan data dan berusaha menyusun sajian datanya walaupun mungkin masih utuh dan menyeluruh. Sehingga unit-unit laporan yang telah disusun dikomunikasikan dengan informan, khususnya informan pokok (Key Informan)”. (HB Sutopo, 1996:70) Dalam hal ini, penulis memiliki beberapa informan pokok (Key Informan) yang merupakan siswa SMP N 7 Surakarta yang merasakan dan mengalami perubahan kondisi psikis dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas oleh guru mereka. Sehingga apabila dalam pengumpulan data terjadi kehilangan data, semisal ada beberapa data yang tercecer, penulis
64
meminta bantuan pada informan pokok untuk memberikan keterangan yang menyempurnakan hasil penelitian.
G. Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif biasanya dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data sampai diperoleh suatu kesimpulan, sehingga analisis data tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Lexy J. Moleong (1995:103) analisis data adalah “Proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”, jadi analisis data diperoleh dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data tersebut ke dalam kelompok tertentu. Penelitian ini menggunakan analisis data model interaktif (Interactive of Analysis). Menurut M.B Miles dan A.M Huberman (1999:16) “…Analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang bersamaan, tiga komponen kegiatan tersebut adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi)”. Tiga hal tersebut merupakan sesuatu yang menjalin dalam bentuk sejajar untuk membanguan wawasan umum yang disebut “analisis”. 1. Pengumpulan Data Proses analisis data dimulai dengan mengumpulkan data, sesuai dengan teknik pengumpulan data seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dapat dilakukan sejak pengumpulan data awal sampai pengumpulan data terakhir. 2. Reduksi Data Pengertian reduksi data menurut Miles dan Huberman (1999:16) “ Reduksi data diartikan sebagai suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang tertulis di lapangan”. Setelah data dikumpulkan maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data. Reduksi data
65
dilakukan dengan cara membuat suatu abstraksi yaitu membuat rangkuman yang inti. Kegiatan reduksi data berlangsung selama penelitian berlangsung. 3. Sajian Data Suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun, yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian yang sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif. Proses analisis selanjutnya adalah penyajian data yang mengorganisir informasi
secara
sistematis
untuk
mempermudah
peneliti
dalam
menggabungkan dan merangkai keterkaitan antara daya dalam menyusun penggambaran proses serta memahami fenomena yang ada pada obyek penelitian. 4. Penarikan Kesimpulan Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dapat segera ditarik kesimpulan yang bersifat sementara.
Agar
kesimpulan
tersebut
lebih
mantap
maka
peneliti
memperjuangkan pada waktu obsevasi. Dari observasi tersebut dapat ditemukan data baru yang dapat mengubah kesimpulan sementara, sehingga diperoleh kesimpulan yang mantap. Proses analisis dengan model interaktif dapat ditujukkan dengan bagan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 2. Skema Model Interaktif (H.B Sutopo, 1996:96)
66
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap dalam penelitian dari awal sampai akhir. Dalam kegiatan ini sejak pembuatan proposal penelitian, mengurus perijinan, pelaksanaan penelitian di lapangan, analisis data dan pembuatan laporan. Dijabarkan dalam skema sebagai berikut
Persiapan Penelitian
Pengumpulan Data
Pembuatan Proposal
Analisis Data Awal
Analisis Data Akhir
Penelitian dan Perijinan Penarikan Kesimpulan
Pembuatan dan Penggandaan Laporan Gb.3: Skema Prosedur penelitian
Penjelasan mengenai tahapan penelitian tersebut adalah: 1. Tahap Persiapan Penelitian Tahap ini kegiatannya adalah merencanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian. Dari mulai pengajuan judul, pembuatan proposal penelitian dan mengurus perijinan untuk memperlancar jalannya penelitian. 2. Tahap Pengumpulan Data Dalam melaksanakan data ini peneliti menggunakan tiga teknik yaitu: pengamatan (observasi), wawancara, dan analisis dokumen. Ketiga teknik ini digunakan untuk melengkapi data satu dengan lainya sehingga data yang dkumpulkan benar-benar valid. 3. Tahap Analisis Data Awal Analisis data awal digunakan untuk mengetahui apakah data yang tidak dikumpulkan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan yang tidak
67
diperlukan agar data yang sangat diperlukan dapat terpisah dari data yang tidak berguna. 4. Tahap Analisis Data Akhir Data yang dianalisis dalam tahap ini adalah data yang diperoleh dalam pengumpulan data dan merupakan data yang sangat mendukung tujuan penelitian. Karena data ini sudah dianalisis awal, maka merupakan data yang valid. Setelah tahap analisis data selesai maka dapat diteliti. 5. Tahap Penarikan Kesimpulan Setelah semua data dianalisis yang sesuai dengan penelitian kualitatif, maka tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan dari apa yang dihasilkan dalam analis data tersebut. Penarikan kesimpulan harus didasarkan pada tujuan penelitian dengan didukung olah data yang valid, sehingga hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. 6. Tahap Penulisan dan penggandaan Laporan Dalam tahap ini, semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian dan hasil yang dicapai, ditulis dan dilaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan bentuk laporan harus sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.
68
I. OPERASIONAL KEGIATAN GURU YANG DIOBSERVASI Operasional kegiatan guru yang diobservasi adalah kegiatan guru dalam kelas yang diamati oleh penulis. Ini adalah serangkaian kegiatan yang merupakan penerapan dari pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas. Dijelaskan dalam bentuk bagan sebagai berikut: Pengelolaan Kelas Oleh Guru Interaksi
GURU
SISWA
Guru Menghadapi Kendala “Gangguan Disiplin Kelas” Guru Mengupayakan II. Pemecahan Masalah Preventif (Pencegahan)
Kuratif (Penindakan)
Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Kelas Oleh Guru
Terwujud Disiplin Kelas III. Tujuan Pembelajaran IV. Tercapai Gb.4: Operasional Kegiatan Guru yang Diobservasi Penjelasan mengenai operasional kegiatan guru tersebut adalah: 1. Dalam kegiatan pengelolaan kelas oleh guru, terdapat interakasi antara guru dengan siswa didik. 2. Dari interaksi yang terjadi dalam pengelolaan kelas oleh guru, guru meghadapi kendala “gangguan disiplin kelas” oleh siswa didik.
69
3. Menyikapi
kendala
“gangguan
disiplin
kelas”
tersebut,
guru
mengupayakan dua tindakan, yaitu tindakan pencegahan (Preventif) dengan membuat peraturan di dalam kelas, juga dengan melakukan suatu bentuk hukuman sebagai bentuk penindakan (Kuratif). 4. Kedua tindakan tersebut baik preventif maupun kuratif, dilakukan oleh guru dengan mengimplementasikan hal-hal yang terkandung dalam pendekatan eclectic. Sehingga dalam mengupayakan ketertiban di dalam kegiatan pengelolaan kelas, guru menggunakan pendekatan eclectic yang relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan pada saat ini. 5. Dengan
diterapkannya
pendekatan
eclectic
yang
relevan
dalam
pengelolaan kelas, diharapkan disiplin kelas dapat terwujud. 6. Dengan terwujudnya disiplin kelas dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, maka diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang berupa perubahan tingkah laku siswa ke arah yang positif.
70
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Keadaan Geografis SMP N 7 Surakarta Secara geografis, SMP Negeri 7 Surakarta terletak di bagian utara kota Surakarta, tepatnya di Jl. Mr. Sartono No. 34 Surakarta, kecamatan Banjarsari, Kabupaten / Kota madya Surakarta dengan nomor telepon (0271) 852674. Lokasi SMP N 7 Surakarta cukup kondusif untuk proses belajar mengajar karena daerahnya yang cukup tenang dan nyaman. Walaupun berada di daerah perkotaan, namun terhindar dari kebisingan jalan raya sehingga mendukung kelancaran proses belajar mengajar. Hal ini dikarenakan tata letak bangunan yang bagus sehingga antara lingkungan sekolah dengan dunia luar terpisah secara baik dan tepat. Dengan demikian maka seluruh elemen pembelajaran dapat melaksanakan kegiatannya masing-masing dengan lebih fokus dan terhindar dari gangguan dunia luar. Gedung SMP Negeri 7 Surakarta menghadap ke utara atau tepatnya terletak di sebelah selatan Jl. Mr. Sartono No. 34. Gedung SMP N 7 Surakarta berbentuk persegi panjang dan dikelilingi oleh ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang musik, ruang tata usaha, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang keterampilan, ruang koperasi siswa, ruang aula, ruang laboratorium, ruang komputer, ruang agama dan terdapat pula lapangan olah raga. Semua ruangan tersebut tertata secara rapih dan senantiasa terjaga kebersihannya, sehingga sangat mendukung terlaksananya kegiatan akademik yang kondusif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang optimal. Untuk menggambarkan secara jelas perihal keadaan geografis SMP N 7 Surakarta, dibawah ini penulis sajikan denah sekolah SMP N 7 Surakarta berdasarkan hasil observasi, sebagai berikut:
69
71
1
3
4
5
2
6
7
8
9
10
32
11
33
31
12
34 35
42
30
29
36 13
37
41
38 28
14
39 40
27
15 26
25
24
23
22
21
20 19
18
er Gb. 5: Denah SMP N 7 Surakarta
17
16
71
Keterangan: 1. Gerbang I
22. Ruang Kelas VII E
2. Gerbang II
23. Ruang Kelas VII F
3. Ruang Multimedia
24. Ruang Kelas VIII A
4. Ruang Kurikulum
25. Ruang Kelas VIII B
5. Ruang Bimbingan Konseling
26. Kamar Mandi (WC)
6. Ruang Tata Usaha
27. Ruang Kelas VIII C
7. Ruang Penerimaan Tamu
28. Ruang Kelas VIII D
8. Ruang Wakil Kepala Sekolah
29. Ruang Kelas VIII E
9. Ruang Kepala Sekolah
30. Ruang Kelas VIII F
10. Ruang Guru
31. Ruang Perpustakaan
11. Ruang Aula
32. Mushola
12. Ruang Karawitan
33. Ruang OSIS
13. Ruang Keterampilan
34. Kamar Mandi (WC)
14. Ruang Koperasi Siswa
35. Ruang Kelas IX A
15. Ruang Laboratorium IPA
36. Ruang Kelas IX B
16. Ruang Komputer
37. Ruang Kelas IX C
17. Ruang Agama
38. Ruang Kelas IX D
18. Ruang Kelas VII A
39. Ruang Kelas IX E
19. Ruang Kelas VII B
40. Ruang Kelas IX F
20. Ruang Kelas VII C
41. Ruang Laboratorium Biologi
21. Ruang Kelas VII D
42. Lapangan Upacara
Setiap sekolah sudah pasti memiliki visi dan misi tertentu yang bertujuan sebagai patokan seluruh elemen pembelajaran dalam bertindak, sehingga dapat terus mingkatkan mutu sekolah dari waktu ke waktu. Adapun visi dari SMP N 7 Surakarta, adalah “ Unggul dalam prestasi berdasar Iman dan Taqwa”. Sedangkan misi dari SMP N 7 Surakarta, adalah “Mewujudkan system pendidikan yang merata dan adil. Mewujudkan system pendidikan yang bermutu serta menghasilkan lulusan cerdas, 72
73
terampil, budaya beriman dan bertaqwa. Dan mewujudkan system pendidikan yang transparan, akuntabel, partisipatif dan efektif.” Visi dan missi ini, terimplementasi dalam keseharian seluruh elemen pembelajaran yang berada di SMP N 7 Surakarta, baik dalam kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam kegiatan sekolah secara umum. 2. Komposisi Guru dan Siswa SMP N 7 Surakarta Sebagai salah satu elemen pembelajaran yang krusial, keberadaan guru dalam sebuah instansi pendidikan merupakan hal yang mutlak. Tanpa keberadaan seorang guru, maka kegiatan pembelajaran tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu setiap instansi pendidikan pasti membutuhkan sosok seorang guru. Karena sekolah merupakan salah satu instansi yang bergerak dibidang pendidikan, maka keberadaan guru dalam sekolah merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Di sebuah sekolah, guru memiliki kedudukan di bawah otoritas Kepala Sekolah. Oleh karena itu guru bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah. Selain hal tersebut, guru memiliki tugas melaksanakan Proses Belajar Mengajar secara efektif dan efisien. Secara lebih terperinci tugas tersebut antara lain: a. Membuat program rencana pengajaran b. Membuat satuan pengajaran c. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar d. Melaksanakan kegiatan penilaian e. Mengisi daftar nilai siswa f. Melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar g. Menyusun dan melaksanakan program perbaikan h. Melaksanakan kegiatan pembimbingan i. Membuat alat pelajaran j. Menciptakan karya seni k. Mengikuti perkembangan kurikulum l. Melaksanakan kegiatan tertentu di sekolah m. Mengadakan pengembangan
74
n. Membuat LKS o. Membuat catatan perkembangan siswa p. Meneliti daftar hadir siswa q. Mengatur kebersihan kelas r. Menghitung angka kredit untuk kenaikan pangkat Selain beberapa tugas tersebut, ada beberapa tugas tambahan lain yang harus dijalankan oleh guru yang terpilih sebagai wali kelas. Wali kelas adalah guru yang diberi tanggung jawab untuk mengampu sebuah kelas, sehingga membantu Kepala Sekolah dalam kegiatan sebagai berikut: a. Pengelolaan Kelas b. Penyelenggaraan Administrasi Kelas yang meliputi:: 1) Denah tempat duduk siswa 2) Papan absensi siswa 3) Daftar pelajaran kelas 4) Daftar piket kelas 5) Buku absensi siswa 6) Buku kegiatan belajar mengajar 7) Tata tertib siswa c. Pembuatan statistik siswa d. Daftar nilai siswa e. Catatan tentang siswa f. Pengisian buku laporan pendidikan Adapun jumlah guru SMP N 7 Surakarta tahun pelajaran 2009 / 2010 adalah sebanyak 58 orang, yang terdiri dari 52 orang guru tetap dan 6 orang guru honorer. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel.2:
75
Tabel 2 : Daftar guru SMP N 7 Surakarta Th. 2009 / 2010 No 1
Kode 1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
11
11
12
12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
18
18
19
19
20
20
Nama dan NIP Drs. Karyana, M.M 19641022 198803 1 006 Dra. Sri Rahayu 19610511 198703 2 005 Drs. Kaswan Darmasto 19600529 198803 1 002 Drs. Sulistyo 19590813 197903 1 003 Dra. Ratna Istikawati 19620130 198903 2 002 Waluyo 19500408 197703 2 002 Endang Darmastuti, B.A 19520520 197903 2 004 Sis Dumadi, B.A 19531124 197711 1 001 Gomar Sumardjo 19540714 197803 1 007 L.B Woro Sujiatmi, A.Md 19550991 197902 2 001 Deasy Puparita 19600203 198102 2 002 Sri Mulyaningsih, R.H 19610101 198303 2 002 Surono, S.Pd 19580419 197903 1 005 J.M. Wiwiek Dianawati 19570527 198502 2 002 Prasmani, S.Pd 19600706 198112 1 004 Christiana Dyah S, S.Pd 19510110 198301 2 001 E. Harimurni M.A.P, S.Pd 19631221 198403 2 002 R.A, Retno Lesnaming, S.Pd 19611029 198302 2 005 Dimyati, A.Md 19550913 198303 1 009 Sutrisni, S.Pd
Mata Pelajaran dan Kelas BK BK, Kelas VIII (A,B,C,D) BK, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) IPA Fisika, VII (A,B,C,D,E,F) IPS Geografi, Kelas VII (A,B,C,D,E,F) Matematika, Kelas VIII (A,B) IPS Sejarah, Kelas VII (A,B,C,D,E,F) Matematika, Kelas IX (A,B,C) IPA Biologi, Kelas VII (A,B,C,D,E,F) Bhs. Indonesia, Kelas VII (A,B) IPA Biologi, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) Matematika, Kelas IX (D,E,F) BK, Kelas VII (A,B,C,D,) Bhs. Jawa, Kelas VII (A,B,C,D,E,F); IX (D,E,F) PPKN, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) IPA Fisika, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) Matematika, VIII (E,F) Kesenian Daerah, Kelas VIII (D,E,F); IX (A,B,C,D,E,F) PPKN, Kelas VIII (C,D,E,F) IPS Ekonomi, VIII (A,B,C,D,E,F)
76
21
21
22
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
39
39
40
40
41
41
19690523 198803 2 010 Drs. Joko Riyanto 19631029 199512 1 001 Sri Wahyuni, S.Pd 19611007 198302 2 003 Tarmi, S.Pd 19621006 198303 2 008 Giyanto, S.Pd 19610915 198601 1 003 Dwi Atmodjo Chris Gunawan 19610125 198112 1 002 Sri Lestari 19640718 198112 1 002 Heni Kusmardini, S.Pd 1966064 199003 2 007 Sri Yuswati, S.Pd 19680426 199203 2 005 Vera Lucia Soepadi 19600520 198301 2 004 Sri Prihandajatih 19550822 198503 2 003 Giyamtini 19560920 198601 2 001 Achir Arjani, S.Pd 19680920 199802 2 001 Drs. Sri Widodo 19660329 199802 1 002 Lestari Mahanani, S.Pd 19690324 199802 2 003 Mulyadi 19590706 198601 1 003 Nur Rokhmawati, S.Ag 19690413 199903 2 004 Sri Wulandari, S.Pd 19701015 199903 2 005 Drs. Gunawati 19680310 200312 1 003 Dian Ekawati, S.Pd 19750125 200501 2 017 Reni Sunarso, S.Pd 19701231 200501 2 036 Agung Wijayanto, S.Psi
BK, Kelas VII (E,F) Bhs. Indonesia, Kelas VII (E,F) Bhs. Indonesia, Kelas VII (C,D) Bhs. Jawa, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F); IX (A,B,C) IPA Biologi, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F) Pendidikan Agama, Kelas VII (A,B,C,D,E,F); VIII (A,B,C,F); IX (A,B,C,F) Bhs. Indonesia, Kelas IX (D,E,F) Matematika, Kelas VII (D,E) Bhs. Indonesia, Kelas IX (A,B,C) PPKN, Kelas VII (C,D,E,F) Seni Budaya, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) IPS Geografi, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F) Matematika, Kelas VIII (C,D) Bhs. Inggris, Kelas VII (A,B); VIII (D,E,F) Pendidikan Jasmani, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F) Pendidikan Agama Islam, Kelas VII F, IX (A,B,C,D,E) IPS Sejarah, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) Pendidikan Jasmani, Kelas IX (A,B,C,D,E,F) Bhs. Inggris, Kelas VIII A, IX (A,B,C) Bhs. Indonesia, Kelas VIII (A,B,C) BK, Kelas VII (E,F), VIII (E,F)
77
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
47
48
48
49
49
50
50
51
51
52
52
53 54 55
53 54 55
19790808 200604 1 008 F. Dina Swantari, S.Pd 19690619 200711 2 017 L.S. Rina Harmastuti 19681207 200701 2 017 Kasih Hanggeni, S.Pd 19711120 200701 1 007 Maryadi, A.M.D 19640808 200701 1 002 Mahmudiyah, S.Pd 19741115 200801 2 014 Eko Supriyadi, S.Pd 19750422 200801 1 005 Aisyah, S.Pd 19670425 200801 2 008 Septriana Handajani, S.Pd 19690923 200801 1 007 Adi Putranto, S.Pd 19700504 200801 1 007 Mustajab, S.Pd 19760208 200801 1 005 Qoribah Rahmawati, S.Pdi 19790120 200902 2 003 Tri Wahyuni Moh. Muhtarom, S.E, S.Kom Gideon Yusep P.
56 57
56 57
Lis Hastutik Nivorita Dwi Dayanti, S.Sn
58
58
Paderi Siammudin, S.Pdi
IPS Geografi, Kelas VII (A,B,C,D,E,F) Pendidikan Agama Katolik, Kelas VII (A,D,F), VIII (A,D,F), IX (A,D,F) Kesenian Daerah, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII (A,B,C) Bhs. Inggris, Kelas VIII (E,F), IX (D,E,F) Bhs. Inggris, Kelas VII (C,D,E,F) IPA Fisika, VIII (A,B,C,D,E,F) PPKN, Kelas VII (A,B), VIII (A,B) Matematika, Kelas VII (A,B,C) Pendidikan Jasmani, Kelas VII (A,B,C,D,E,F) Bhs. Indonesia, Kelas VIII (D,E,F) Pendidikan Agama Islam, Kelas VIII (A,B,C,D,E), IX F TIK, Kelas VIII (D,E,F), IX (A,B,C,D,E,F) TIK, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII (A,B,C) Seni Budaya, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII (A,B,C,D,E,F) Matematika, Kelas VII D Seni Budaya, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII (A,B,C,D,E,F) Seni Budaya, Kelas VII (A,B,C,D,E) dan VIII F
Dari banyak guru tetap yang mengajar di SMP N 7 Surakarta tersebut, ada beberapa orang yang diberi tanggung jawab untuk menjadi seorang wali kelas. Adapun susunan Wali Kelas SMP Negeri 7 Surakarta adalah sebagai berikut, lihat tabel.3:
78
Tabel 3 : Susunan wali kelas SMP N 7 Surakarta Th. 2009/2010 NO I
II
III
WALI KELAS VII – IX Wali Kelas VII : 1. VII A 2. VII B 3. VII C 4. VII D 5. VII E 6. VII F Wali Kelas VIII : 1. VIII A 2. VIII B 3. VIII C 4. VIII D 5. VIII E 6. VIII F Wali Kelas IX : 1. IX A 2. IX B 3. IX C 4. IX D 5. IX E 6. IX F
NAMA L.S. Rina Harmastuti, S.Ag Septriana Handayani, S.Pd Sri Lestari Adi Putranto, S.Pd Mahmudiyah, S.Pd Sri Yuswati, S.Pd Reni Sunarso, S.Pd Aisyah, S.Pd Sutrisni, S.Pd D.A.C. Gunawan Qoribah, S.Ag Endang Harimurni, M.A.P, S.Pd Deasy Puparita Sri Wulandari, S.Pd Drs. Gunawan J.M Wiwiek D, S.Pd Sri Mulyaningsih, S.Pd Ch. Dyah Soeprobo, S.Pd
Dari data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) guru yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di SMP N 7 Surakarta, yakni: a. Bapak Prasmani, S.Pd b. Ibu Dimyati, S,Pd c. Ibu Sri Prihandajatih d. Ibu Aisyah, S.Pd Dan dari keempat guru tersebut, ada salah satu guru yang ditunjuk menjadi seorang wali kelas. Beliau adalah ibu Aisyah, S.Pd yang mengampu kelas VIII B di SMP N 7 Surakarta.
79
Selain guru, tentunya elemen yang tidak kalah penting dalam sebuah instansi pendidikan yang dalam hal ini adalah sekolah, adalah keberadaan siswa atau murid. Karena tanpa adanya siswa maka guru tidak dapat melaksanakan tugas mereka yaitu mengajar dan mendidik siswa sebagai anak didiknya. Jumlah peserta didik di SMP N 7 Surakarta tahun pelajaran 2009/2010 adalah sebanyak 658 orang siswa, yang mana 538 orang siswa diantaranya memeluk agama Islam (78%), 127 orang siswa diantaranya memeluk agama Kristen (19%), 20 orang siswa diantaranya memeluk agama Katolik (2,9%), dan terdapat 1 orang siswa yang memeluk agama Hindu (0,1%). Dan bila dibedakan berdasarkan jenis kelamin, maka terdapat 305 orang siswa yang berjenis kelamin laki-laki di SMP N 7 Surakarta (45%), dan 381 orang siswa yang berjenis kelamin perempuan di SMP N 7 Surakarta (56%). Selengkapnya tersaji seperti tabel dibawah ini: Tabel 4 : Rekapitulasi data siswa SMP N 7 Surakarta Th. 2009/2010 No
Kelas
1 VII A 2 VII B 3 VII C 4 VII D 5 VII E 6 VII F 7 VIII A 8 VIII B 9 VIII C 10 VIII D 11 VIII E 12 VIII F 13 IX A 14 IX B 15 IX C 16 IX D 17 IX E 18 IX F JUMLAH
Islam 30 22 28 28 36 29 31 26 26 33 40 34 28 24 25 32 38 28 538
Agama Kristen Katolik 5 0 14 0 8 0 0 8 0 0 7 0 8 1 14 0 14 0 7 0 0 0 5 1 10 2 14 0 13 0 0 6 0 0 8 2 127 20
Hindu 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Laki-laki 18 15 16 18 16 17 17 18 20 19 17 15 17 15 14 12 16 25 305
Perempuan 18 21 20 18 20 19 23 22 20 21 23 25 23 23 24 26 22 13 381
Jumlah 36 36 36 36 36 36 40 40 40 40 40 40 40 38 38 38 38 38 686
80
Dari data tersebut, terlihat bahwa jumlah total siswa yang ada adalah sebanyak 686 murid. Jumlah tersebut cukup besar sehingga menuntut kinerja guru yang optimal agar dapat mengajar dan membimbing murid secara efektif dan efisien. Terlebih keberagaman yang ada ditinjau dari segi agama, menuntut guru agar lebih kreatif dan inovatif dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di kelas, agar mampu mencapai keberhasilan proses belajar mengajar.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian 1.
Penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta Pada suatu sistem pendidikan dibutuhkan kinerja yang baik dari setiap
komponen yang terlibat didalamnya. Termasuk salah satu komponen pendidikan yang penting adalah seorang guru yang bertugas untuk mendidik dan mengajar peserta didik. Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik serta sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga yang lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit, harus dikembalikan pada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Karena itulah dibutuhkan adanya jiwa dedikasi yang tinggi pada diri seorang guru sebagai pendidik. Pada masa yang lampau kelas yang dipandang baik adalah kelas yang tenang, murid-murid selalu patuh pada guru, duduk tenang, diam, memperhatikan guru, mencatat dan menghafalkan meteri pelajaran dengan baik. Namun kini gambaran kelas yang baik telah berubah, dimana ketertiban kelas bukan merupakan tujuan, melainkan merupakan kondisi untuk mencapai tujuan. Kelas yang baik adalah kelas yang didalamnya murid-murid dapat melakukan kegiatan atau aktivitas belajar yang meliputi aktivitas mental, fisik dan emosional secara optimal dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Aktivitas tersebut seperti berfikir, mengingat, berfantasi, berdiskusi, kerja kelompok, mengadakan percobaan atau eksperimen, menahan atau
81
mengendalikan diri dalam pergaulan dengan teman, saling menghormati sesama murid dalam kelas dan lain sebagainya. Perubahan tersebut membawa pula perubahan pada letak tanggung jawab belajar. Apabila dahulu adanya tanggungjawab belajar terpusat hanya pada guru, kini murid yang harus belajar sendiri. Tugas guru adalah sebagai fasilitator dan motivator belajar murid. Maka keberhasilan belajar murid ditentukan bersama oleh murid itu sendiri dan guru. Menyikapi hal tersebut, kini guru harus lebih kreatif dalam kegiatan belajar mengajar sebagai fasilitator dan motivator yang baik, yakni dengan pengelolaan kelas yang tepat sehingga dapat menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa didik, agar keberhasilan proses pembelajaran dapat tercapai. Yang dimaksud dengan pengelolaan kelas atau managemen kelas adalah penyelenggaraan kelas, pengaturan kelas atau pengurusan kelas, yaitu kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam menyelenggarakan kelas. Dalam pengelolaan kelas dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar muridmurid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Pembelajaran sebagai alternatif terbaik yang mereka pilih. Beberapa pendekatan tersebut adalah pendekatan perubahan tingkah laku (behavioral modification), pendekatan sosio emosional climate, dan pendekatan group process. Ketiga pendekatan yang tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap objek yang sama. Oleh karena itu seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan ecletic (Eclectic Approach). Untuk maksud itu seorang guru diharuskan menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial, dalam hal ini pendekatan perubahan tingkah laku, penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok; serta dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas. Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik
82
dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif. Dari beberapa pernyataan tersebut, maka dapat dijelaskan secara singkat bahwa terdapat tiga pendekatan yang relevan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini. Dan ketiga pendekatan tersebut, tercover dalam pendekatan eclectic. Sehingga dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam proses pembelajaran, dapat membantu guru dalam mencapai tujuan belajar yang efektif dan efisien. Pendekatan eclectic adalah pendekatan yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena tujuan utama dari penyampaian materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah menciptakan karakter siswa didik yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam praktik tingkah laku sehari-hari. Dari wawancara yang telah penulis lakukan terhadap guru PPKn di SMP N 7 Surakarta, penulis mendapati bahwa mereka mengakui telah menerapkan pendekatan pengelolaan kelas yang sesuai dengan karakteristik pendekatan eclectic. Semisal, mereka mengakui bahwa dalam menyampaikan materi pelajaran PPKn, pengenalan karakteristik peserta didik sangat diperlulan agar guru lebih mampu memilah dan memilih metode yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Dan dalam mengatasi pesermasalahan yang terjadi dalam kelas, guru senantiasa menerapkan hukuman atau punishment yang disesuaikan dengan kondisi psikologis anak didik agar tidak membawa dampak negatif, seperti ada anak yang merasa dipermalukan didepan teman-temannya sehingga menimbulkan rasa dendam dikemudian hari. Guru juga mengakui sering memberikan award maupun pujian terhadap anak yang berprestasi maupun telah melakukan hal yang baik dan membanggakan, agar dapat dijadikan teladan oleh siswa yang lain. Dan mayoritas guru yang mengajar di SMP N
83
7 Surakarta memang mengakui bahwa mereka memiliki kedekatan yang positif dengan siswa didiknya, sehingga sering membuka forum baik didalam maupun di luar kelas sebagai kegiatan sharing dan problem solving terhadap masalah yang dihadapi siswa. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dalam hasil wawancara pada guru (lampiran:9, halaman:159) Dari kegiatan observasi yang telah penulis lakukan di SMP N 7 Surakarta, penulis melihat bahwa dalam PBM PPKn di SMP N 7 Surakarta, pengajar menggunakan Pendekatan Eclectic dalam proses belajar mengajar. Dan dengan diterapkannya pendekatan tersebut, telah memudahkan mereka dalam mengelola kelas dan mengarahkan peserta didik agar lebih disiplin dan teratur. Dan secara spesifik, keberhasilan belajar penulis kaji dari sudut pandang “Disiplin Kelas”. Karena masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting dalam pengelolaan kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria penting dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru. Di SMP N 7 Surakarta, guru yang mengajar mata pelajaran PPKn telah menerapkan pendekatan eclectic dengan cukup baik dalam proses belajar mengajar. Pendekatan ini diterapkan oleh mereka dengan jalan senantiasa memberikan motivasi dalam setiap penyampaian materi pelajaran sebagai bentuk implementasi pendekatan pengubahan tingkah laku, karena memberikan motivasi pada peserta didik sama halnya dengan memberikan penguatan yang positif agar tingkah laku siswa yang baik akan terus terbina dan semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu. Selain hal tersebut, sebagai bentuk penerapan pendekatan pengubahan tingkah laku, guru di SMP N 7 Surakarta yang mengajar mata pelajaran PPKn juga senantiasa memberikan tindakantindakan pencegahan terhadap disiplin kelas dengan memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar peraturan agar menjadi contoh bagi peserta didik yang lain, namun pelaksanaan pemberian sanksi tersebut memperhatikan kondisi psikis peserta didik agar tidak memberi kesan mencemarkan nama baik mereka dihadapan teman sekelasnya.
84
Pendekatan iklim sosio emosional sebagai bagian dari pendekatan eclectic, juga telah dilaksanakan dengan cukup baik oleh guru PPKn di SMP N 7 Surakarta dengan jalan membuka sharing terhadap permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik, dan tidak dibatasi ketika proses belajar mengajar berlangsung. Sehingga diluar jam mata pelajaran PPKn, peserta didik yang mengalami segala macam permasalahan dapat menceritakan kesulitan yang mereka hadapi kepada guru mereka baik di ruang guru maupun dirumah masing-masing melalui telephone cellular. Guru senantiasa bersikap ramah dan membiasakan budaya tutur yang santun, sehingga membuat siswa merasa nyaman dan mudah menyayangi guru bahkan benar-benar menganggap guru di sekolah sebagai pengganti orang tua mereka dirumah. Dengan keadaan yang demikian, guru lebih mudah memberikan teladan untuk dicontoh siswa didiknya dan lebih mudah dalam memberikan nasehat maupun arahan yang mampu mendorong siswa untuk bertingkah laku dengan baik, sehingga disiplin diri yang mempribadi dalam diri peserta didik dapat terwujud. Sedangkan pelaksanaan pendekatan proses kelompok sebagai bagian terakhir dari pendekatan eclectic, telah dilaksanakan dengan cukup baik oleh guru PPKn di SMP N 7 Surakarta, dengan jalan membimbing peserta didik ketika menjalankan forum diskusi dalam proses belajar mengajar. Saat diskusi kelas sedang berlangsung, guru mendekati setiap kelompok kerja siswa dan mengamati dengan cermat kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik. Apabila ada kelompok yang mengalami kesulitan, guru segera menghampiri dan memberikan arahan. Dan setiap terdapat kegiatan yang dirasa kurang efektif ketikan forum diskusi sedang berlangsung, guru seketika mengendalikan keadaan agar situasi kelas kembali kondusif sehingga kegiatan kelompok dapat berjalan dengan produktif, seperti apabila ada salah satu peserta didik yang mengacaukan keadaan dengan mengganggu teman yang lain, maka segera memberi peringatan dan menegur dengan halus agar anak tersebut kembali mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya, bila ternyata anak tersebut sudah selesai mengerjakan, maka langsung diberi kesempatan untuk menjelaskan hasil kerjanya sebagai perwakilan kelompok. Dengan demikian, maka situasi yang tidak
85
terkendali akan kembali dapat ditangani. Penerapan pendekatan eclectic di SMP N 7 Surakarta, selain bisa ditemukan dengan jalan observasi mengikuti kegiatan pembelajaran dalam kelas, juga ditemukan secara implicit dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun oleh guru yang mengajar pada mata pelajaran PPKn, dalam hal ini penulis menganalisis RPP yang disusun oleh Ibu Aisah, S.Pd yang selain merupakan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan juga merupakan seorang wali kelas. Pada RPP yang disusun oleh Ibu Aisah, S.Pd selaku guru pendidikan kewarganegaraan, terkandung secara implicit penerapan pendekatan eclectic dalam pelaksanaan pembelajaran. Hal ini terlihat dari penerapan metode diskusi kelompok serta pemberian motivasi yang senantiasa dilakukan dalam setiap pertemuan untuk membahas sebuah kompetensi dasar. Penerapan dari pemberian motivasi dan diskusi kelompok memperlihatkan praktik pendekatan eclectic yang merupakan pendekatan behavior modification (pengubahan tingkah laku) dengan jalan pemberian penguatan atau reinforcement lewat motivasi, serta praktik pendekatan group process (proses kelompok) dengan menggunakan diskusi kelas sebagai sarana untuk membina anak didik dalam berlatih menjadi sebuah kelompok untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dan dalam membina hubungan secara lebih mendalam antara guru dengan anak didik maupun membantu memperbaiki hubungan antar peserta didik, guru menggunakan pendekatan sosio emosional climate dengan membuka forum sharing baik secara formal maupun non-formal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam perangkat mengajar (lampiran:2, halaman:104). 2. Kendala-kendala pelaksanaan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta Kendala-kendala maupun gangguan yang terdapat dalam pelaksanaan pendekatan eclectic ketika pengelolaan kelas yang merupakan salah satu aspek pengelolaan pembelajaran, sedang berlangsung, dapat ditinjau dari penciptaan disiplin kelas. Sebagaimana disebutkan pada pembahasan yang sebelumnya, secara spesifik, efektifitas serta efisiensi keberhasilan belajar dapat dikaji dari sudut pandang
86
disiplin kelas. Karena masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting dalam pengelolaan kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria penting dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru. Untuk dapat melihat secara jelas tentang gangguan disiplin kelas yang dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan pendekatan eclectic pada proses pembelajaran, dapat dilihat dari pengakuan beberapa siswa didik sebagai key informan yang diambil dengan proses wawancara dan memadukan pengakuan tersebut dengan hasil questioner yang dibagikan kepada beberapa siswa lain di SMP N 7 Surakarta. Dari sudut pandang siswa yang merasakan secara langsung penerapan pendekatan pengelolaan kelas yang dijalankan oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta dapat dikatakan bahwa dari pernyataan mereka merupakan pencerminan dari penerapan pendekatan eclectic yang diterapkan oleh guru dalam proses belajar mengajar pada materi pendidikan kewarganegaraan. Dan berikut merupakan hasil wawancara dan observasi terhadap peserta didik di SMP N 7 Surakarta, berkaitan dengan penerapan pendekatan pengelolaan kelas yang mampu mewujudkan disiplin kelas pada proses pembelajaran materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Dari wawancara dengan key informan, yaitu beberapa siswa di SMP N 7 Surakarta yang memiliki kedekatan emosional dengan penulis, didapatkan beberapa pernyataan yang secara singkat memperlihatkan bahwa, “Beberapa siswa didik masih ada yang melanggar peraturan kelas secara sembunyi-sembunyi, dan perbuatan tersebut tidak pernah diketahui oleh guru pendidikan kewarganegaraan. Beberapa pelanggaran tersebut menurut pengakuan mereka antara lain; membaca komik di kelas ketika guru sedang menerangkan dan apabila guru berpindah posisi mereka akan segera menutupi buku bacaan tersebut dengan buku pelajaran, tidur dikelas secara diam-diam dengan posisi seperti orang menundukkan kepala dan meminta bantuan pada teman disamping tempat duduknya untuk membangunkan jika guru mendekat atau memberikan pertanyaan, mengerjakan tugas rumah di sekolah dengan mencuri pekerjaan teman yang telah lebih dahulu selesai mengerjakan, ijin kebelakang ketika ulangan sedang berlangsung untuk bisa melihat catatan di kamar
87
mandi, dan yang paling sering adalah melakukan pembicaraan selain hal yang berkaitan dengan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan ketika diskusi kelas sedang berlangsung secara diam-diam selama tidak diketahui oleh guru”. Untuk lebih jelasnya lihat hasil wawancara pada siswa (Lampiran:10, halaman:170) Dari hal tersebut, memperlihatkan secara jelas bahwa guru kurang teliti dalam mengelola kelas, namun karena selama ini tindakan tersebut tidak pernah diketahui oleh guru, tentunya mereka tidak merasakan kekurangan atau kelalaian tersebut. Kediaman siswa, tidak selamanya berarti “focus” atau sedang berpikir namun bisa juga berarti “tidur”. Siswa yang terlalu memperhatikan buku dan mudah gelisah ketika didekati, dapat berarti “menyembunyikan buku bacaan selain buku pelajaran”. Siswa yang ijin di kamar mandi ketika ujian sedang berlangsung, perlu diperhatikan secara teliti karena ada kemungkinan bertindak curang dengan melihat catatan di kamar mandi. Dan yang paling rawan, diskusi kelas merupakan ajang siswa didik untuk menyampaikan pendapat mereka, namun bila tidak diberi batasan waktu yang tepat dengan bobot materi yang didiskusikan, akan menjadi kesempatan bagi siswa untuk memperbincangkan hal lain selain materi yang mereka diskusikan. Disini, penulis juga memberikan hasil penyebaran questioner pada beberapa siswa, yang walaupun sudah penulis jelaskan bahwa nama mereka tidak akan penulis terakan dalam hasil penelitian, namun penulis merasa apa yang mereka jabarkan tidak seluruhnya sesuai dengan fakta yang ada. Mungkin ada ketakutan dari mereka apabila mereka menyatakan pendapat yang tidak baik, akan membawa dampak yang tidak baik pula bagi diri mereka di masa yang akan datang. Namun tidak ada salahnya apabila penulis jabarkan hasil penyebaran questioner tersebut, agar dapat menjadi masukan lain bagi seluruh kalangan pendidikan. Dan beberapa pendapat tersebut antara lain: “Guru PKn di SMP N 7 Surakarta memang sering menegur atau mengingatkan, apabila siswa sedang berbicara dengan teman ketika pelajaran sedang berlangsung. Dan guru PKn di SMP N 7 Surakarta memang sering membantu atau mengarahkan, apabila siswa sedang mengalami kesulitan ketika mengadakan diskusi
88
kelas. Mereka juga sering berpindah posisi dan berkeliling ketika mengajar di kelas. Guru PKn di SMP N 7 Surakarta memang menyampaikan materi pelajaran dengan cepat dan tepat serta mudah dimengerti. Dan mereka memang senantiasa memberikan catatan penting disetiap akhir pelajaran, yang berkaitan dengan materi pelajaran yang disampaikan. ” Hal ini merupakan bentuk penerapan tindakan pengelolaan kelas yang memerlukan penguasaan mengenai pendekatan pengelolaan kelas yaitu “Group Processes Approach”. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi sosial dan dinamika kelompok. Oleh karena itu maka asumsi pokoknya adalah (1) pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, dan (2) tugas guru yang terutama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesif. “Bapak/ibu guru PKn, tidak langsung menghukum ketika siswanya lupa mengumpulkan tugas, melainkan memberikan nasihat dan kesempatan untuk mengumpulkan tugas tersebut dipertemuan berikutnya. Apabila ada seorang siswa yang bertindak tidak baik di dalam kelas dan membuat keadaan kelas menjadi tidak menyenangkan, bapak/ibu guru PKn di SMP N 7 Surakarta langsung menegur anak yang membuat onar dan kembali mengajar. Yang dilakukan oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta kepada siswa, apabila siswa mendapatkan nilai rendah ketika ulangan adalah memberikan tugas sebagai nilai tambah. Yang dilakukan guru PKn di SMP N 7 Surakarta apabila ada siswa yang kurang bisa memahami materi pelajaran yang disampaikan adalah memberi kesempatan untuk bertanya.” Ini merupakan bentuk penerapan pendekatan pengelolaan kelas oleh guru yang didasarkan pada BehaviorModification Approach atau pendekatan modifikasi tingkah laku. Pendekatan ini bertolak dari psikologi behavioral yang mengemukakan asumsi bahwa (1) semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang kurang “baik” merupakan hasil proses belajar, dan (2) ada sejumlah kecil proses psikologi yang fundamental yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya proses belajar yang dimaksud. Adapun proses psikologi yang dimaksud adalah penguatan positif, hukuman, penghapusan, dan penguatan negatif.
89
“Peserta didik di SMP N 7 Surakarta memang cenderung lebih merasa akrab dengan bapak/ibu guru PKn yang mengajar mereka di bandingkan dengan perasaan takut. Dan peserta didik tidak pernah meninggalkan jam pelajaran tanpa ijin terlebih dahulu kepada bapak/ibu guru PKn yang sedang mengajar. Serta mereka berpakain rapih di dalam kelas dikarenakan “rasa senang” terhadap peraturan yang ada. Yang siswa ucapkan saat bapak/ibu guru PKn selesai mengajar mayoritas adalah, “terimakasih ibu/bapak guru”. Dan mayoritas dari mereka tidak merasa bosan ketika diajar oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta. Bahkan ada diantara mereka yang menganggap guru PKn di SMP N 7 Surakarta sebagai sahabat, maupun pengganti orang tua kandung mereka di rumah.” Perasaan akrab, rasa senang maupun kedekatan antara siswa dengan guru bahkan adanya perasaan ingin membalas budi dengan mengucapkan kata “terima kasih” kepada bapak/ibu guru PKn disetiap akhir pelajaran berlangsung, merupakan bentuk keberhasilan dari penerapan pendekatan pengelolaan kelas oleh guru yang berakar dari Socio-Emosional-Climate Approach atau pendekatan iklim sosial kelas. Dengan berlandaskan psikologi klinis dan konseling, pendekatan pengelolaan kelas ini mengasumsikan bahwa (1) proses pembelajaran yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara peserta didik, dan (2) guru menduduki posisi terpenting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik itu. Dan sikap disiplin yang telah mempribadi dalam setiap diri peserta didik serta merupakan bukti keberhasilan guru dalam menanamkan kedisiplinan pada mereka, terlihat dari, “Cara peserta didik dalam menyampaikan pendapat ketika diskusi kelas sedang berlangsung”, yaitu dengan jalan mengacungkan jari terlebih dahulu dan berpendapat setelah ditunjuk oleh guru. Dan yang mereka lakukan ketika melihat ada sampah yang tergeletak di sudut-sudut ruangan kelas adalah membuang sampah tersebut ketempat sampah. Serta didukung oleh beberapa pernyataan peserta didik di SMP N 7 Surakarta mengenai alasan mereka mengikuti upacara bendera yaitu, “Karena dengan mengikuti upacara bendera dapat membuat kita lebih disiplin
90
dan teratur”. Serta terlihat pula dari tindakan yang mereka lakukan apabila ada teman yang sedang sakit dan butuh untuk diantarkan ke UKS, adalah segera mengantar dan kembali ke dalam kelas untuk kembali melanjutkan pelajaran. Dan disetiap jam pelajaran kosong yang mereka lakukan adalah segera mengeluarkan buku materi dan mempelajari materi yang belum dibahas tanpa disuruh. Untuk lebih jelasnya, lihat jawaban angket penelitian dari siswa (Lampiran:11, halaman:181). Pernyataan-pernyataan tersebut, memperlihatkan secara nyata bahwa guru telah berhasil dalam menerapkan pendekatan eclectic dalam proses pengelolaan kelas yang merupakan bagian dari proses pembelajaran. Namun kenyataan yang terjadi, masih terdapat kendala-kendala atau gangguan disiplin kelas yang tidak diketahui oleh guru dikarenakan mereka kurang teliti dalam memperhatikan detil kecil dari tingkah laku peserta didik. Namun secara umum, dapat dikatakan guru SMP N 7 Surakarta telah melaksanakan pendekatan eclectic dalam pengelolaan pembelajaran dengan sangat baik. Mereka memberikan penguatan dan hukuman disesuaikan dengan kebutuhan siswa, mereka mengarahkan dan membantu siswa dalam kegiatan diskusi kelas secara kelompok, juga mereka mengendalikan emosi kelas agar stabil dan tidak terjadi kericuhan. Kekurangan ini, diharapkan akan lebih dibenahi di waktu yang akan datang. 3. Alasan penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta Pendekatan eclectic yang diterapkan dalam pengelolaan pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta, bukanlah tanpa suatu alasan. Disiplin kelas yang terbentuk pada peserta didik, tidak akan terwujud dengan adanya pemaksaan kehendak dari guru maupun pelaksanaan peraturan yang ketat dari sekolah. Dengan adanya penerapan pendekatan eclectic, mampu meningkatkan keberhasilan proses belajar utamanya dalam pendidikan kewarganegaraan yang terlihat dengan dapat terwujudnya disiplin pada siswa didik serta dapat dilihat dari sudut pandang guru PKn di SMP N 7 Surakarta yang mendidik dan mengajar peserta didik dengan menggunakan pendekatan eclectic agar mampu menciptakan disiplin kelas yang
91
merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan proses belajar. Berikut adalah hasil wawancara dan observasi peneliti dengan guru PKn di SMP N 7 Surakarta: “Peserta didik senantiasa memasuki ruangan kelas sebelum guru masuk kelas. Kemudian mereka memasuki ruangan kelas dengan baik dan tertib. Setelah itu memberi salam kepada guru secara baik. Dan mereka juga selalu mengikuti acara doa bersama dengan baik. Serta memberikan penghormatan dengan baik. Jika terjadi keterlambatan, mereka senantiasa patuh terhadap peraturan yang ada. Dalam keseharian di ruang kelas, mereka menempatkan peralatan sekolah sesuai dengan ketentuan. Juga yang paling membuat saya bangga, mereka tidak pernah saling mengganggu selama pelajaran berlangsung”. Demikian dipaparkan oleh guru SMP N 7 Surakarta. Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada jawaban angket penelitian dari guru (lampiran:12, halaman:184). Hal tersebut didukung oleh hasil pengamatan saya sendiri ketika melihat beliau mengajar dikelas. Saya melihat bahwa memang peserta didik berperilaku baik selama mengikuti pelajaran, mereka memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh guru dan mempergunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya. Mereka juga mengikuti pelajaran dengan tertib. Meminjam barang milik teman dengan ijin adalah hal yang sering saya dapati dan apabila mereka saling meminjam maka akan segera mengembalikan. Peserta didik juga terlihat ceria dalam menyambut setiap tugas yang diberikan guru dan segera mengerjakan dengan semangat. Guru PKn di SMP N 7 Surakarta menambahkan, “Siswa yang saya ajar senantiasa bekerja atau belajar dengan jujur. Saya tidak pernah mendapati mereka mencontek maupun berbuat curang baik ketika ujian maupun mengerjakan tugas kelas dan pekerjaan rumah.
Mereka juga selalu menghargai atau menghormati
pendapat orang lain. Saya membiasakan mereka untuk selalu tertib dalam kegiatan diskusi, yaitu dengan mengajukan pertanyaan dengan tertib dan baik serta mengacungkan jari terlebih dahulu serta menjawab setelah dipersilahkan. Siswa di SMP N 7 Surakarta ini memang cukup baik dalam tindakan meninggalkan kelas dengan ijin guru, saya jarang melihat mereka bolos bahkan saya juga jarang
92
mendapati mereka bermain di jam kosong. Murid-murid selalu menjaga kebersihan meja atau tempat duduknya. Bukankan ini merupakan hal yang cukup baik dan memperlihatkan tindakan partisipasi mereka dalam menjaga kebersihan kelas?”. Secara singkat, hasil wawancara penulis dengan Ibu Aisah, S.Pd, beliau adalah salah seorang guru PKn di SMP N 7 Surakarta, berkaitan dengan masalah penerapan pendekatan pengelolaan kelas pada disiplin kelas ialah sebagai berikut, “Menurut saya pengelolaan kelas yaitu mengelola apa yang ada dalam kelas, baik siswanya yang utama juga alat-alat yang ada didalamnya. Kesemuanya itu tidak lain harus dikuasai untuk mendukung sistem pembelajaran. Dan yang paling utama harus dikuasai oleh seorang guru agar dapat mengelola kelas dengan baik adalah dengan memiliki penguasaan terhadap karakter siswa. Didalam hal tersebut, penting sekali penguasaan pada psikologi pendidikan. Karena dengan hal tersebut akan membantu sekali dalam pengelolaan kelas. Menurut saya dengan mengetahui karakter per siswa didik kita akan lebih menguasai pengelolaan kelas. Bila sebagai seorang guru kita terlalu dekat atau terlalu jauh sama anak sangat tidak bagus, sebagai pendidik yang mengarahkan perilaku siswa dan sebagai pengajar yang melakukan transfer ilmu kepada siswa, kita harus bisa menyeimbangkan kedudukan kita dengan siswa didik. Tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat. Jadi peserta didik bisa menghargai dan menyayangi guru. Masalah kedisiplinan, dapat dibina dengan menerapkan peraturan yang ada dengan tegas dan ditindak lanjuti dengan baik, sehingga ada pemantauan dan evaluasi. Sementara ini kebanyakan peraturan kelas dibuat oleh sekolah, namun ada juga yang merupakan kesepakatan dengan siswa didik bahkan orang tua atau wali murid. Ada banyak sekali faktor yang harus dikorelasikan dalam mewujudkan kedisiplinan peserta didik. Sementara ini, banyak anak yang berani mengutarakan pendapat kepada guru. Itu semua tidak terlepas dengan adanya pemberian motivasi dan juga keterbukaan antara guru dengan peserta didik.” Beberapa fakta tersebut merupakan bukti dari diakuinya sikap disiplin peserta didik oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta. Sehingga memang antara pernyataan yang dikemukakan oleh guru dan siswa, memiliki kesesuaian dan
93
memang benar adanya dalam pengamatan saya selaku peneliti. Menurut peserta didik, guru PKn di SMP N 7 Surakarta dalam cara mereka mengajar di kelas, mencerminkan penerapan pendekatan eclectic yang baik dan relevan, sehingga membuat peserta didik menjadi betah dan tidak merasa bosan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Dan menurut pandangan guru PKn di SMP N 7 Surakarta, peserta didik menjadi jauh lebih disiplin dan tertib, serta lebih mudah menerima setiap materi pelajaran yang diberikan dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dengan dunia pendidikan sekarang ini karena mendorong guru agar lebih mampu mengenal karakteristik tiap anak didik, sehingga turut meningkatkan keberhasilan proses belajar mengajar PKn di SMP N 7 Surakarta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada trianggulasi data (lampiran:8, halaman:155).
C. Temuan Studi Berdasarkan data penelitian yang dipaparkan di atas, peneliti menemukan beberapa temuan studi yaitu : 1.
Memang benar adanya bahwa dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan pada saat ini, mampu menciptakan disiplin kelas sehingga dapat memberi kemudahan dalam mencapai keberhasilan proses pembelajaran pada PBM PKn di SMP N 7 Surakarta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Ade Tatang M. Dalam hasil penelitian tersebut, disebutkan beberapa
pendekatan-pendekatan
dalam
Pengelolaan
Kelas
yaitu:
Pendekatan Pengubahan tingkah laku, yang mana pendekatan pegubahan tingkah laku ini didasarkan pada suatu teori yang mengatakan bahwa semua tingkah laku baik yang sesuai maupun tidak sesuai adalah hasil belajar. Kemudian ada pula Pendekatan Iklim Sosio Emosional yang didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang positif antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa, dengan guru sebagai penentu utama hubungan interpersonal
94
dan iklim kelas. Dan yang terakhir adalah Pendekatan Proses Kelompok, yang mana pendekatan ini mendasarkan pada prinsip-prinsip psikologi sosial dan dinamika kelompok. Empat asumsi dasar yang diadopsi dari pendekatan proses kelompok, yaitu; kegiatan sekolah berlangsung dalam suasana kelompok, tugas pokok guru adalah mempertahankan dan mengembangkan suasana kelompok yang efektif dan produktif, kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh sistem sosial masing-masing siswa, dan tugas pengelola kelas adalah mengembangkan dan mempertahankan kondisi yang dimaksud. Dan dengan diterapkannya ketiga pendekatan ini dalam pengelolaan kelas oleh guru, mampu mempermudah dalam penciptaan kedisiplinan dan pencapaian tujuan belajar yang efektif dan efisien. Dan ketiga pendekatan ini, tercover dalam pendekatan eclectic. 2.
Peneliti menemukan bahwa guru PPKn di SMP N 7 Surakarta merasa telah berhasil dalam menerapkan pendekatan eclectic dalam proses pengelolaan kelas yang merupakan bagian dari proses pembelajaran. Namun kenyataan yang terjadi, masih terdapat kendalakendala atau gangguan disiplin kelas yang tidak diketahui oleh guru dikarenakan mereka kurang teliti dalam memperhatikan detil kecil dari tingkah laku peserta didik. Beberapa kelalaian guru antara lain, “Kediaman siswa, tidak selamanya berarti “focus” atau sedang berpikir namun bisa juga berarti “tidur”. Siswa yang terlalu memperhatikan buku dan mudah gelisah ketika didekati, dapat berarti “menyembunyikan buku bacaan selain buku pelajaran”. Siswa yang ijin di kamar mandi ketika ujian sedang berlangsung, perlu diperhatikan secara teliti karena ada kemungkinan bertindak curang dengan melihat catatan di kamar mandi. Dan yang paling rawan, diskusi kelas merupakan ajang siswa didik untuk menyampaikan pendapat mereka, namun bila tidak diberi batasan waktu yang tepat dengan bobot materi yang didiskusikan,
akan
menjadi
kesempatan
bagi
siswa
untuk
95
memperbincangkan hal lain selain materi yang mereka diskusikan.” Tapi secara umum, dapat dikatakan guru PPKn di SMP N 7 Surakarta telah melaksanakan pendekatan eclectic dalam pengelolaan pembelajaran dengan baik. Mereka memberikan penguatan dan hukuman disesuaikan dengan kebutuhan siswa, mereka mengarahkan dan membantu siswa dalam kegiatan diskusi kelas secara kelompok, juga mereka mengendalikan emosi kelas agar stabil dan tidak terjadi kericuhan. Kekurangan ini, diharapkan akan lebih dibenahi di waktu yang akan datang. 3.
Peneliti juga menemukan bahwa disiplin kelas yang terbentuk dengan adanya penerapan pendekatan pengelolaan kelas sehingga meningkatkan keberhasilan proses belajar mengajar, adalah disiplin kelas yang tidak dipaksakan oleh aturan yang terlalu ketat dan tidak dapat dibentuk dengan sikap otoriter guru sebagai pendidik dan pengajar. Namun disiplin kelas dapat dibentuk dengan penerapan peraturan yang ada dengan baik, dan segera di tindaklanjuti secara hati-hati dengan toleransi yang ada namun tetap tegas sanksinya, dengan peran serta guru yang mengarahkan dan membimbing untuk peningkatan kedisiplinan dari dalam diri sendiri sehingga terbentuk “self discipline” atau disiplin diri, dari peserta didik yang lahir secara naluriah dari diri mereka sendiri dan mempribadi dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Dan menurut pandangan guru PPKn di SMP N 7 Surakarta, alasan mereka menerapkan pendekatan eclectic dalam proses pembelajaran adalah, karena peserta didik menjadi jauh lebih disiplin dan tertib, serta lebih mudah menerima setiap materi pelajaran yang diberikan dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dengan dunia pendidikan sekarang ini, karena pendekatan tersebut mendorong guru agar lebih mampu mengenal karakteristik tiap anak didik, sehingga turut membantu dalam mewujudkan keberhasilan proses belajar mengajar PKn di SMP N 7 Surakarta.
96
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan
uraian
mengenai
penerapan
pendekatan
eclectic
dan
pengaruhnya secara implicit pada disiplin kelas dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP N 7 Surakarta, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Dengan penerapan pendekatan eclectic yang relevan dengan kebutuhan peserta didik, maka mampu menciptakan disiplin kelas, yang berakar dari terbentuknya disiplin diri pada diri peserta didik sehingga dapat membantu guru dalam mewujudkan keberhasilan proses pembelajaran pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP N 7 Surakarta. Dikarenakan dengan penerapan pendekatan eclectic yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, membuat guru menjadi lebih mudah dalam menyampaikan materi pelajaran dan peserta didik menjadi lebih mudah dalam menyerap materi pelajaran yang diajarkan.
2.
Praktik
penerapan
pendekatan eclectic oleh guru PPKn di SMP N 7 Surakarta, menjumpai beberapa kendala atau gangguan antara lain: dalam proses pembelajaran masih terdapat pelanggaran disiplin kelas karena guru kurang memperhatikan tingkah laku peserta didik secara cermat. Beberapa kelalaian guru antara lain, “Sikap ‘diam’ yang ditunjukkan oleh siswa, tidak selamanya berarti ‘focus’ atau sedang berpikir namun bisa juga berarti ‘tidur’. Siswa yang terlalu memperhatikan buku dan mudah
95
97
gelisah ketika didekati, dapat berarti ‘menyembunyikan buku bacaan selain buku pelajaran’. Siswa yang ijin ke kamar mandi sewaktu ujian sedang berlangsung, perlu diperhatikan secara teliti karena ada kemungkinan bertindak curang dengan melihat catatan di kamar mandi. Dan yang paling rawan, diskusi kelas merupakan ajang peserta didik untuk menyampaikan pendapat, namun bila tidak diberi batasan waktu yang tepat dengan bobot materi yang didiskusikan, akan menjadi kesempatan bagi siswa untuk memperbincangkan hal lain selain materi yang mereka diskusikan.” Kekurangan ini, diharapkan akan lebih dibenahi di waktu yang akan datang. 3.
Alasan guru PPKn di SMP N 7 Surakarta dalam menerapkan pendekatan eclectic dalam proses pembelajaran adalah, karena peserta didik menjadi jauh lebih disiplin dan tertib, serta lebih mudah menerima setiap materi pelajaran yang diberikan dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dengan dunia pendidikan sekarang ini, dikarenakan pendekatan tersebut mendorong guru agar lebih mampu mengenal karakteristik tiap anak didik, sehingga turut membantu dalam mewujudkan keberhasilan proses belajar mengajar PKn di SMP N 7 Surakarta.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan sebagaimana tersebut diatas, maka implikasi dari penelitian ini adalah : 1.
Dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik oleh guru, dapat memberi dampak yang positif bagi terciptanya disiplin kelas dalam proses pembelajaran dan memudahkan guru saat menyampaikan materi pelajaran pada peserta didik karena dapat memilih metode yang sesuai dengan kebutuhan
98
siswa, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan proses belajar mengajar pada PBM PKn di SMP N 7 Surakarta. 2.
Penerapan pendekatan eclectic yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik menuntut keluwesan guru dalam mengenal karakteristik peserta didik. Karena apabila guru kurang teliti dalam mengenal karakteristik peserta didik, penerapan pendekatan eclectic ini justru dapat menjadi celah bagi peserta didik yang ingin melakukan tindakan yang tidak disiplin, seperti tidur di dalam kelas ketika diberi kesempatan untuk berdikusi maupun membaca buku selain buku materi pelajaran ketika guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah. Sehingga pelaksanaan pendekatan eclectic harus diimbangi dengan lebih meningkatkan ketelitian guru dalam pelaksanaan pendekatan tersebut hingga detil terkecil, agar mampu menghindari kelalaian guru yang menjadi kesempatan bagi siswa untuk melakukan hal-hal yang merupakan tindakan tidak disiplin.
3.
Diterapkannya pendekatan eclectic dalam pembelajaran juga berdampak pada perwujudan self discipline. Dengan adanya penerapan pendekatan eclectic, dapat membantu mewujudkan keberhasilan proses belajar mengajar sehingga disiplin kelas tidak perlu dijalankan dengan terlalu ketat dan otoriter. Disiplin kelas yang terbentuk dengan penerapan peraturan yang ada dengan baik dan segera di tindaklanjuti secara hatihati dengan toleransi yang ada namun tetap tegas sanksinya, dibantu dengan peran serta guru yang mengarahkan dan membimbing untuk peningkatan kedisiplinan dari dalam diri sendiri, dapat membentuk “self discipline” atau disiplin diri, dari peserta didik yang lahir secara naluriah dari diri mereka sendiri dan mempribadi dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
99
C. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut : 1.
Kepada pihak SMP N 7 Surakarta, semoga lebih meningkatkan pengarahan pada seluruh staf pengajar agar penerapan pendekatan pengelolaan kelas dapat terus dijalankan dan dikembangkan seperti dengan apa yang telah diterapkan sebelumnya oleh guru pendidikan kewarganegaraan sehingga dapat bermanfaat untuk mata pelajaran yang lain.
2.
Kepada
guru
pendidikan kewarganegaraan yang telah menerapkan pendekatan pengelolaan kelas dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas dan terus mencari inovasi baru dalam rangka pengembangan penerapan pendekatan pengelolaan kelas sehingga semakin mempermudah dalam mengenal karakter peserta didik dan
mendukung
dalam
penyampaian
materi
pelajaran
guna
meningkatkan kualitas pembelajaran, serta memperbaiki kelalaian yang tidak disadari karena kurang teliti memperhatikan detil terkecil dari tingkah laku peserta didik. 3.
Kepada
seluruh
kalangan akademisi yang membaca karya tulis ini, semoga dapat memetik manfaat. Sehingga diharapkan jangan hanya dijadikan sebagai sebuah wacana tanpa tindak lanjut. Terutama bagi mahasiswa FKIP sebagai seorang calon guru, semoga dengan membaca karya tulis ini,
100
terketuk untuk meneliti lebih jauh mengenai penerapan pengelolaan kelas yang semakin berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan perkembangan peserta didik yang berbeda dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA
A, Suhaenah Suparno. 2000. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti. Ahmad Rohani. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Akhmad Sudrajat. 2009. Psikologi Pendidikan. Kuningan: PE-AP Press. Asep Jihad dan Abdul Haris. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo. Baharuddin dan Esa. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Basu Sharma and Judy Ann Roy. 1996. “Aspects of the internationalization of management education,” Journal of Management Development [Vol.15, No.1, pp:5-13]. MBC University Press. Ch. Baroroh. 2009. Hukum Islam Suatu Pengantar. Surakarta: UNS Press. Chumdari dan Sutini. 1996. Managemen Kelas. Surakarta: FKIP UNS. Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Jakarta: Publisher. David Crowther and Chris Carter. 2002. “Legitimating irrelevance: management education in higher education institutions”, The International Journal of Educational Management [pp:268-278]. MBC UP Limited. Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Gaung Persada Press.
101
Kartini Kartono. 1996. Pengantar Metodologi Research Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya. Lexy J Moleong. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Madya Karya. Martinis Yamin dan Maisah. 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran . Jakarta: Gaung Persada Press. Makmun, Abin Syamsudin. 2004. Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Milles, Mathew B & A. Hubberman. 1999. Analisis Data Kualitatif terjemah Tjejep Rohendi Rohidin. Jakarta :UI Press. Ngalim Purwanto. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana. 2009. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset. Ornstein, C. Allan.1990. Strategies for Effective Teaching. USA, Harper & Co. Publisher Inc. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sahertian, Piet & Ida Aleda. 1992. Supervisi Pendidikan dalam Program Inservice Education. Jakarta: Rineka Cipta. Sobri, Asep dan Charul. 2009. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Multi Pressindo. Soedomo Hadi. 2005. Pengelolaan Kelas. Surakarta: UNS Press. Suharsimi Arikunto. 1989. Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
102
Sutisna, Oteng. 1989. Administrasi Pendidikan (Dasar-dasar teoritis untuk praktek professional). Bandung: Angkasa. Sutopo HB. 1996. Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta: UNS. Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta: UGM. Swardi. 2008. Manajemen Pembelajaran. Surabaya: Tempina Media Grafika. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Uno, Hamzah B. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Uzer Usman. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/teknik-pengelolaan-kelas/ http://atmmuharam.blogspot.com/2009/01/pengelolaan-kelas.html http://dedesudjadimath.blogspot.com/2009/01/berbagai-macam-pengelolaan-kelasdan.html http://laisalax.multiply.com/journal/item/23 http://sn2dg.blogspot.com/2008/06/motivasi-dalam-belajar-mandiri.html
103