PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA MATERI POKOK REAKSI REDUKSI-OKSIDASI KELAS X-A SEMESTER 2 DI SMA AL-FALAH KETINTANG SURABAYA Afrida Trisnawati, Ismono ABSTRAK Pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK) siswa dituntut aktif mengembangkan kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas. Berdasarkan wawancara dengan guru kimia di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya bahwa sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan materi pokok menggunakan metode ceramah. Hal ini menyebabkan siswa tidak termotivasi untuk aktif mencari informasi sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada pelajaran kimia khususnya reaksi reduksi-oksidasi, sehingga nilai materi pokok ini rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru dalam mengelola kelas, aktivitas siswa, hasil belajar dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi dan respon siswa dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang dilaksanakan dalam tiga kali putaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola kelas terhadap proses penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD selama 3 putaran didapatkan ratarata sebesar 63,98%, sehingga mendapatkan penilaian baik. Selain itu pada kegiatan belajar mengajar terjadi interaksi positif antar siswa di kelas dalam memahami materi pokok reaksi reduksi-oksidasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD seiring dengan meningkatnya aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa yakni pada putaran I sebesar 9,5%, putaran II dan III berurutan yakni sebesar 12,3% dan 22,8%. Dari hasil angket diperoleh respon sebanyak 87% siswa menyatakan pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan. Sedangkan dari hasil tes, ketuntasan belajar pada putaran I sebesar 73,3%, putaran II dan III berurutan yakni sebesar 86,7% dan 93,3%. Kata Kunci : Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.
1. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat pesat, maka pendidikan yang merupakan suatu kegiatan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan demi kemajuan suatu bangsa. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum dari kurikulum 2000 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pada KBK ini siswa dituntut aktif mengembangkan kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas. Dalam memenuhi harapan KBK, guru harus mampu mengembangkan metode dan keterampilan mengajar. Peran guru adalah membantu para siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip-prinsip bukan memberi ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas (Nur, dkk, 1999: 2). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya pada tanggal 12 Oktober 2006 diketahui sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan materi pokok menggunakan metode ceramah. Metode ceramah ini menyebabkan siswa
94
kurang aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan menjadikan suasana kelas menjadi membosankan. Materi pokok reaksi reduksi-oksidasi menyajikan konsep-konsep sulit yang perlu dipahami dan dimengerti salah satunya siswa dituntut dapat menentukan atom yang mengalami reaksi reduksi dan reaksi oksidasi berdasarkan pengikatan dan pelepasan oksigen, penerimaan dan pelepasan elektron dan perubahan bilangan oksidasi serta memberi nama suatu senyawa. Hal ini menyebabkan siswa merasa jenuh dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam materi pokok reaksi reduksi-oksidasi dan siswa tidak termotivasi untuk aktif mencari informasi sendiri. Oleh karena itu diperlukan keterlibatan siswa secara aktif selama kegiatan belajar mengajar dengan cara saling berdiskusi, tanya jawab baik antar siswa maupun antara siswa dengan guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia di SMA AlFalah Ketintang Surabaya bahwa guru dalam menyampaikan materi reaksi reduksioksidasi menggunakan metode ceramah, sehingga didapatkan ketuntasan pada tahun ajaran 2005-2006 hanya mencapai 15%. Di mana hasil ini jauh dari standar ketuntasan yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA AlFalah Ketintang Surabaya yakni 85%. Hasil angket yang diberikan pada siswa kelas XI diperoleh 59,26% siswa menyatakan kesulitan dalam mempelajari materi reaksi reduksi-oksidasi dan 66,67% siswa tidak tertarik dengan model pengajaran yang digunakan oleh guru mereka, ini menunjukkan bahwa siswa kurang aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran materi pokok reaksi reduksi-oksidasi. Di kelas X-A SMA Al-Falah menurut informasi dari guru kimia menyatakan siswa cenderung pasif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hasil angket yang diberikan kepada siswa kelas X-A diperoleh sebesar 67,86% siswa tidak senang dengan pelajaran kimia, 75% siswa sulit dalam mempelajari kimia dan 67,86% siswa menyatakan guru kurang bervariasi dalam menyampaikan materi kimia. Hal ini menjadikan siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat sehingga pengetahuan yang diperoleh tidak bertahan lama dan terbukti dari hasil ulangan kimia pada bab sebelumnya yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru kimia kelas X-A yakni mencapai ketuntasan sebesar 57%. Di mana hasil ini belum menunjukkan standar ketuntasan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al-Falah Ketintang Surabaya yakni 85%. Untuk itu diupayakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah di atas. Salah satu alternatif adalah dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Menurut penelitian Slavin bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibanding pengalaman-pengalaman belajar individu atau kompetitif (Ibrahim, M, dkk, 2000: 16). Pada pembelajaran kooperatif siswa dapat berpartisipasi selama kegiatan belajar mengajar melalui tutorial, karena ada kalanya siswa lebih mudah belajar dari temannya sendiri dan ada pula siswa yang lebih mudah belajar melalui mengajar atau melatih temannya sendiri. Model pembelajaran kooperatif terdiri atas empat tipe yaitu Student Team Achievement Division (STAD), Jigsaw, Investigasi kelompok dan pendekatan struktural yaitu terdiri dari Think-Pair-Share (TPS) dan Numbered-Head-Together (NHT) (Ibrahim, M, dkk, 2000). Dalam hal ini digunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang merupakan suatu model pembelajaran yang paling sederhana serta dapat menumbuhkan kemampuan membantu teman. Pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi ini menyajikan konsep-konsep sulit yang perlu dipahami dan
95
dimengerti, maka dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa dapat belajar bersama dengan kelompok yang heterogen baik dalam kemampuan maupun jenis kelamin dan siswa yang menguasai materi pelajaran lebih dulu harus membantu teman sekelompoknya yang belum menguasai materi pelajaran. Menurut hasil penelitian dari Anggelita (2006) bahwa dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas siswa yakni pada putaran I adalah 5,18%, putaran II adalah 14,07% dan putaran III adalah 17,04% serta dapat meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa yakni pada putaran I adalah 55,77%, putaran II adalah 82,69% dan putaran III adalah 92,31%. Dari uraian di atas penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian dengan judul: “Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi kelas X-A semester 2 di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya”. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam 3 putaran di mana setiap putaran terdiri dari 4 tahap yakni: 1) Rencana Pada tahap ini meliputi persiapan instrumen penelitian yaitu rencana pembelajaran, LKS, lembar observasi dan soal tes untuk tiap putaran. 2) Kegiatan dan Pengamatan Pada tahap ini meliputi tindakan yang dilakukan peneliti serta mengamati dampak atau hasil dari tindakan yang telah dilakukan. 3) Refleksi Pada tahap ini penelitian melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan. 4) Revisi Pada tahap ini peneliti membuat revisi rancangan untuk dilakukan pada putaran berikutnya.
2.2 Analisis Data Penelitian (1) Analisis Lembar Aktivitas Siswa. Lembar aktivitas siswa dianalisis dengan menggunakan persentase (%), yaitu: frekuensi aktivitas yang muncul % aktivitas x100% total frekuensi aktivitas (2) Analisis Lembar Pengelolaan Pembelajaran. Data kemampuan guru dalam mengelola kelas selama proses kegiatan belajar mengajar dianalisis dengan menggunakan skala Likert dengan keterangan skor seperti pada tabel 2.1 sebagai berikut: Tabel 2.1 Keterangan Skor Skala Likert Skor Keterangan 1. Sangat kurang 96
2. 3. 4. 5.
kurang Cukup Baik Sangat baik (Riduwan,2005) Data yang diperoleh kemudian diolah dalam bentuk persentase. Skor kriterium = Skor tertinggi x aspek x jumlah observer/pengamat jumlah hasil perhitungan p x 100% skor kriterium Perhitungan persentase dilakukan pada tiap aspek penilaian dan keseluruhan aspek penilaian. Hasil persentase yang diperoleh diinterpretasikan seperti pada tabel 2.2 sebagai berikut: Tabel 2.2 Interpretasi Persentase Pengelolaan Pembelajaran No Persentase Kategori 1. 0%-20% Sangat kurang 2. 21%-40% Kurang 3. 41%-60% Cukup 4. 61%-80% Baik 5. 81%-100% Sangat baik (Riduwan, 2005) a) Analisis Data Hasil Belajar Siswa Analisis untuk mengetahui masing-masing ketuntasan belajar setelah pembelajaran. Secara individual siswa telah tuntas belajar jika mencapai nilainya 69 dengan perhitungan sebagai berikut: B x100 Nilai siswa N keterangan: B = Banyaknya soal yang dijawab benar N = Banyaknya soal (Surapranata, 2004) sedangkan secara klasikal suatu kelas telah tuntas belajar jika terdapat 85% siswa telah mencapai nilai 69 dengan perhitungan sebagai berikut: Jumlah siswa yang tuntas x100% Jumlah seluruh siswa b) Analisis Angket Siswa Untuk menganalisis hasil angket menggunakan persentase dari jumlah siswa yang telah memilih tiap-tiap alternatif jawaban dengan rumus: F P x100% N Keterangan: P = Persentase F = Jumlah jawaban responden N = Jumlah responden Interpretasi persentase respon siswa seperti pada tabel 2.3 sebagai berikut:
97
Tabel 2.3 Interpretasi Persentase Respon Siswa No Persentase Kategori 1. 0%-20% Sangat kurang 2. 21%-40% Kurang 3. 41%-60% Cukup 4. 61%-80% Baik 5. 81%-100% Sangat baik (Riduwan,2005)
% Rata-r ata
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengelolaan Pembelajaran kooperatif 68 66 64 62 60 58 56 54
67.23 65 59.71
I
II
III
Putaran
Grafik 3.1 Pengelolaan pembelajaran kooperatif Grafik di atas menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif pada putaran I sebesar 59,71% (cukup), pada putaran II meningkat menjadi 65% (baik) dan pada putaran III sebesar 67,23% (baik). Pada putaran I kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sebesar 59,71%, hal ini dikarenakan aktivitas guru ada yang mendapat penilaian kurang baik dalam melatih keterampilan kooperatif kepada siswa dan pengelolaan waktu. Pada pertemuan ini guru dan siswa masih menyesuaikan diri dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Siswa belum terbiasa belajar kelompok dan menggunakan keterampilan kooperatif dengan baik sehingga guru kesulitan untuk melatih siswa menggunakan keterampilan kooperatif. Pada pertemuan ini guru juga kurang baik dalam mengelola waktu yaitu banyak digunakan untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok. Siswa belum terbiasa untuk belajar berkelompok. Pada putaran II, masalah tersebut diperbaiki sehingga penilaian terhadap pengelolaan pembelajaran meningkat yaitu mendapat kriteria baik. Pada putaran ini kemampuan guru dalam melatih keterampilan kooperatif telah meningkat dan guru cukup baik dalam mengatur waktu. Siswa cepat dalam membentuk kelompok sehingga guru tidak memerlukan waktu lama dalam mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok. Guru telah mengingatkan siswa untuk menggunakan keterampilan kooperatif, aktivitas guru ini dapat mendorong siswa untuk menggunakan keterampilan kooperatifnya sehingga suasana pembelajaran pada putaran II ini lebih hidup. Kemampuan guru pada putaran III mendapat penilaian baik (67,23%). Siswa sudah terbiasa belajar secara berkelompok sehingga guru tidak memerlukan waktu lama untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompoknya. Aktivitas guru yang meningkat pada putaran III yaitu melatih keterampilan kooperatif siswa, ini berarti
98
% Aktivitas
guru berusaha untuk meningkatkan kegiatan belajar dengan menekankan kegiatan pada kelompok kooperatif dan membimbing siswa untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas belajarnya. Untuk aktivitas yang lainnya, nilai yang diperoleh sama dengan nilai pada putaran II yang menunjukkan bahwa cara mengajar guru sudah konstan dengan kualifikasi baik dan cukup. Secara keseluruhan diperoleh nilai akhir hasil pengamatan pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah 63,98% (baik), persentase ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan dalam penelitian ini mempunyai penilaian baik. 3.2 Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran 35 30 25 20 15 10 5 0
Putaran I Putaran II Putaran III
1
2
3
4
5
6
7
Kategori Aktivitas Siswa
Grafik 3.2 Kategori aktivitas siswa
Keterangan : 1. Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru 2. Membaca (buku siswa/ LKS) 3. Berdiskusi/bertanya antar siswa 4. Berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru 5. Mempresentasikan hasil kerja kelompok 6. Menyimpulkan materi yang telah dipelajari 7. Mengerjakan postes. Grafik 3.2 menunjukkan bahwa aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa dan berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru mengalami peningkatan pada tiap putaran. Pada putaran I, persentase kedua aktivitas ini masih kecil yakni 9,5% karena pada putaran ini siswa belum menggunakan keterampilan kooperatifnya. Aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa pada putaran II (12,3%) dan putaran III (22,8%), sedangkan berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru pada putaran II (10,5%) dan putaran III (13,4%), persentase kedua aktivitas ini meningkat karena siswa sudah terbiasa menggunakan keterampilan kooperatifnya dan siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran tiap putaran. Persentase aktivitas mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru pada putaran I (32,3%) dan putaran II (33,3%) mengalami peningkatan, karena pada putaran I dan II siswa masih kurang aktif sehingga guru banyak menjelaskan materi dan memberi informasi tentang model pembelajaran kooperatif. Pada putaran III (19%), persentase aktivitas ini mengalami penurunan, hal ini menunjukkan bahwa siswa lebih aktif dalam pembelajaran sehingga guru tidak
99
% Ketuntasan Klasikal
banyak memberikan informasi tentang materi dan memotivasi siswa dalam menggunakan keterampilan kooperatifnya. Pada putaran I persentase aktivitas membaca (buku siswa/ LKS) sebesar 11,4%, putaran II sebesar 6,7% sedangkan putaran III sebesar 5,7%. Persentase aktivitas pada putaran I lebih besar dari putaran II dan III, karena pada putaran I siswa masih bersikap individual sehingga untuk memahami materi siswa lebih menonjolkan aktivitas membaca daripada berdiskusi antar siswa. Pada putaran II dan III, aktivitas ini makin menurun karena siswa sudah menggunakan keterampilan kooperatifnya dalam memahami materi. Aktivitas mempresentasikan hasil kerja kelompok pada putaran I dan II sama yakni sebesar 14,3%, karena siswa belum berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya. Pada putaran III, aktivitas ini meningkat yakni sebesar 15,2%, karena siswa sudah berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya walaupun berbeda dengan temannya sehingga suasana kelas lebih aktif. Sedangkan aktivitas menyimpulkan materi yang telah dipelajari juga mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena siswa lebih memahami materi ketika menggunakan keterampilan kooperatifnya dan siswa juga lebih berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya. Berdasarkan pembahasan aktivitas siswa di atas maka penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan aktivitas siswa. 3.3 Ketuntasan Tes Hasil Belajar Ketuntasan belajar ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA AlFalah Ketintang Surabaya yakni seorang seorang siswa secara individu dikatakan tuntas belajar jika telah memperoleh nilai 69 atau lebih dan suatu kelas dikatakan tuntas belajar jika kelas tersebut telah terdapat 85% siswa tuntas belajar. 100 80
93.3
86.7 73.3
60 40 20 0 I
I
II
Putaran
Grafik 3.3 Ketuntasan belajar siswa secara klasikal Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pada putaran I, siswa yang dikatakan tuntas sebanyak 22 siswa dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 8 siswa, ketuntasan belajar secara klasikal pada postes tersebut mencapai 73,3% sehingga apabila didasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini belum tuntas. Pada putaran II, siswa yang tuntas sebanyak 26 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 4 siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 86,7% sehingga apabila didasarkan kesapakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan tuntas.
100
Pada putaran III, siswa yang tuntas sebanyak 28 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 2 siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 93,3% sehingga apabila didasarkan kasepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan tuntas. Berdasarkan pembahasan ketuntasan tes hasil belajar di atas maka penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi. 3.4 Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Kooperatif Angket respon yang diberikan kepada 30 siswa setelah pembelajaran pada putaran ketiga berakhir. Data angket digunakan untuk menggunakan respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD. Dari analisis angket respon siswa diperoleh sebanyak 73% siswa menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya, sedangkan sebanyak 87% siswa menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Berdasarkan pelaksanakan penelitian pada putaran I, II dan III diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD pada putaran I sebesar 59,71% (cukup), putaran II meningkat menjadi 65,00% (baik) dan pada putaran III meningkat menjadi 67,23% (baik). Secara keseluruhan diperoleh rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD sebesar 63,98% yang mendapat penilaian baik. (2) Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa yang meliputi berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru, pada putaran I mendapat persentase 9,5% dan pada putaran II dan III meningkat berturut-turut 10,5% dan 13,4%. Aktivitas siswa berdiskusi/bertanya antar siswa juga mengalami peningkatan. Pada putaran I mendapat persentase 9,5% dan pada putaran II dan III meningkat berturut-turut 12,3% dan 22,8%. (3) Respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat baik. Hal ini terlihat dari pernyataan mereka bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya (73%), sedangkan siswa menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan sebanyak 87%. (4) Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada putaran I, ketuntasan klasikal siswa mencapai 73,3%, pada putaran II dan III ketuntasan secara klasikal meningkat yaitu 86,7% dan 93,3%. 4.2 Saran-Saran Dari hasil penelitian ini, yang dapat disarankan peneliti sebagai masukan adalah: (1) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD perlu diterapkan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran kimia pada materi pokok yang lain.
101
(2) Hendaknya siswa dilatih terlebih dahulu dengan model pembelajaran kooperatif supaya mereka terbiasa belajar kooperatif sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. (3) Untuk mengukur supaya siswa tidak terlalu lama dalam membentuk kelompok, maka guru sebaiknya menekankan kepada siswa terutama ketua kelompoknya untuk bertanggung jawab dalam mengorganisasikan anggotanya ke dalam kelompok belajar sebelum belajar dimulai.
DAFTAR PUSTAKA Anggelita, Devi Maria. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pada Materi Pokok Larutan Elektrolit dan non Elektrolit Untuk Mencapai ketuntasan Belajar Siswa Di SMA Antartika Sidoarjo. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA. Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT Rineka Cipta. Fatmawati, Suci Elliyan. 2004. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achivement Division (STAD) Pada Pokok Bahasan Larutan Elektrolit dan non Elektrolit Siswa Kelas II-5 Semester 2 Di SMA Wachid Hasyim 2 Taman. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA. FMIPA. 2005. Panduan Penulisan Skipsi dan Penilaian Skipsi. Surabaya: UNESA. Ibrahim, Muslim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS. Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nur, Muhammad, dkk. 1999. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: UNESA UNIPRESS. Nur, Muhammad, dkk. 2005. Pembelajaran kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS. Purba, Michael. 2002. Kimia IB Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga. Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: ALFABETA. Risdiana, Herra. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam mencapai ketuntasan Belajar Kimia Pada Pokok Bahasan Alkana, Alkena dan Alkuna Siswa Kelas 1-9 SMU Kartika V-3 Surabaya. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA. Sutresna, Nana. 2000. Kimia Untuk Sekolah Menengah Umum Kelas I. Bandunng: Grafindo Media Pratama. Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Tim Pelatih PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Researh). Jakarta: DEPDIKBUD.
102
TIPE-TIPE KESEPAKATAN SISWA DALAM MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA MATERI POKOK IKATAN KIMIA Lutfiah dan Suyono Abstrak: Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi ikatan kimia di SMK, (2) Mengetahui persentase setiap tipe kesepakatan siswa, dan (3) Mengetahui kecenderungan antara tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa. Sasaran pada penelitian ini adalah siswa kelas 1 Audio Video-2 SMK Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 22 siswa. Rancangan penelitian yang digunakan adalah “The One-Shot Case Study”. Instrumen penelitian ini terdiri dari instrumen identifikasi tipe kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase Pair dan lembar penilaian. Prosedur pengumpulan data terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan (proses pembelajaran dan tes), dan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia, adalah: (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1; 48,18%), (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2; 26,36%), (3) Salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 3; 2,72%), (4) Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 4; 14,54%), (5) Kedua siswa salah sebelum tukar pendapat dan benar sesudah tukar pendapat (tipe 5; 7,27%), dan (6) Kedua siswa benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 6; 0,91%). Pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share), siswa yang menjawab benar setelah tukar pendapat cenderung memperoleh hasil belajar yang bagus.
Kata Kunci: Tipe Kesepakatan, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-PairShare, ikatan kimia.
PENDAHULUAN Dalam kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2006, mata pelajaran kimia telah diberikan mulai kelas satu pada semua program keahlian. Dimana mata pelajaran kimia berfungsi hanya sebagai penunjang terhadap mata pelajaran program produktif, sehingga siswa kurang tertarik dan cenderung meremehkan mata pelajaran tersebut. Salah satu materi pokok mata pelajaran kimia yang diberikan di SMK kelas satu adalah ikatan kimia. Materi ini merupakan materi pokok yang memiliki sifat teoritis yang memerlukan adanya pemahaman konsep. Dalam materi ini menjelaskan tentang terjadinya ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan logam dan menuliskan senyawa kimia. Sementara itu materi pembelajaran yang bersifat teoritis, kurang memberi contohcontoh yang kontekstual, metode penyampaian bersifat monoton, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal seperti metode penyampaian materi ikatan kimia yang
digunakan oleh guru SMK Negeri 3 Surabaya yaitu metode ceramah, sehingga siswa merasa jenuh yang menyebabkan siswa kurang aktif. Berdasarkan data ketuntasan belajar siswa kelas 1 audio video tahun ajaran 2005-2006 diperoleh 80% yang telah mencapai nilai 60, data tersebut menunjukkan bahwa kelas tersebut belum mencapai skala ketuntasan yang telah ditetapkan oleh sekolah, yaitu 85%. Seorang guru harus pandai dalam memilih model pembelajaran yang tepat, menciptakan suasana kelas yang kondusif, serta menguasai materi pokok yang diajarkan yaitu mendeskripsikan terjadinya ikatan ion dan ikatan kovalen, menjelaskan ikatan logam dan menuliskan tata nama senyawa kimia. Peneliti mencoba menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dalam proses pembelajaran dengan menyiapkan lembar jawaban yang berbeda, yaitu lembar jawaban untuk fase Think dan lembar jawaban untuk fase Pair. Dari kedua lembar jawaban tersebut, dapat diklasifikasikan beberapa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase Pair. Di mana tipe-tipe kesepakatan yang dibuat pasangan merupakan gambaran dari pemahaman siswa terhadap pertanyaan yang didiskusikan. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) adalah suatu model pembelajaran yang diawali dengan guru memberikan masalah untuk difikirkan secara mandiri beberapa saat (Think), kemudian diselesaikan secara berpasangan (Pair). Setelah itu salah satu pasangan siswa diminta untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang hasil kerjanya dan dilanjutkan untuk pasangan yang lain (Share). Berdasarkan fenomena yang terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya, dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, siswa sering melakukan kesalahan yaitu pada pelaksanaan fase Think, siswa-siswa tidak mengerjakan soal yang diberikan guru secara mandiri, tetapi siswa sudah melakukan berbagi pendapat dengan temannya. Sehingga pemikiran individu siswa tidak terlaksana. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya instrumen pada penelitian-penelitian tersebut yang menjamin bahwa fase Think benar-benar dilaksanakan sebelum melakukan langkah Pair. Padahal terdapat beberapa keuntungan dari model pembelajaran kooperatif diantaranya dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka dan siswa juga lebih memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi, khususnya pada tipe TPS (Think-Pair-Share) siswa diberikan waktu untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim, 2000). Dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi yang dilanjutkan dengan Think, Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar (Pair), Membimbing kelompok bekerja dan belajar, evaluasi (Share), memberikan penghargaan (Ibrahim, 2000). Pada langkah menyajikan informasi, diperlukan adanya media pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa agar mudah memahami materi yang diajarkan dan supaya pembelajaran tidak bersifat monoton. Media yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah media interaktif. Penyampaian materi dengan menggunakan media ini akan mendorong siswa untuk dapat menemukan sendiri konsep dari materi yang disajikan oleh guru. Interaksi dalam media ini berbentuk materi dan contoh soal yang menampilkan sub pokok materi dan disertai dengan animasi. Dengan menggunakan media ini siswa diharapkan mampu memiliki ketertarikan, senang dan santai dalam proses belajar. Apalagi jika media ini diterapkan dalam pembelajaran kimia, dimana ilmu kimia merupakan ilmu dasar dari ilmu terapan yang dipelajari dalam program produktif di SMK.
104
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Identifikasi Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share pada Materi Pokok Ikatan Kimia di SMK”. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab beberapa rumusan masalah, yaitu Bagaimana Tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi pokok ikatan kimia di SMK?, berapa besar prosentase Tipe-tipe kesepakatan siswa tersebut, bagaimana kecenderungan antara tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa? Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi guru dalam memilih model pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan dapat menjadi acuan bagi guru dalam upaya memperkecil kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share berlangsung. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini mempunyai bentuk deskriptif dengan rancangan penelitian “The One-Shot Case Study”. Yang digambarkan sebagai berikut: X O (Arikunto, 2002) Keterangan: X = perlakuan yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-PairShare. O = Pengukuran kemampuan berupa tes hasil belajar. Pendiskripsian tipe-tipe kesepakatan siswa dilakukan selama pembelajaran berlangsung, sedangkan untuk pendiskripsian kecenderungan antara tipe-tipe kesepakatan siswa dengan tes hasil belajar siswa dilakukan setelah pembelajaran berlangsung. Tipe-tipe kesepakatan siswa, yaitu kesepakatan yang diperoleh pada fase pair oleh pasangan siswa atas jawaban pertanyaan yang diberikan guru dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. 2. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. 3. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. 4. Tipe kesepakatan 4 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. 5. Tipe kesepakatan 5 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar.
105
6. Tipe kesepakatan 6 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. Persentase Tipe-tipe kesepakatan siswa, yaitu perbandingan antara Tipe-tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh siswa dikali 100. Tipe kesepakatan X 100 % siswa Sasaran pada penelitian ini adalah siswa kelas 1 Audio Video-2 SMK Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 30 siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada sub bab ini memuat tentang penyajian data penelitian yang diikuti dengan hasil analisis masing-masing data dan dilanjutkan pembahasan. 1. Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think-Pair-Share) Tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh setelah siswa mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menggunakan lembar jawaban yang berbeda dalam proses pembelajaran, yaitu lembar jawaban untuk fase Think dan lembar jawaban untuk fase Pair. Dari data yang diperoleh dapat diberikan hasil analisis bahwa tipe kesepakatan siswa pada LKS 1, 2 dan 3 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) ada enam tipe sebagai didefinisikan di atas. Munculnya keenam tipe kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa diskusi yang dilakukan oleh dua siswa dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan dan penurunan berfikir siswa setelah bertukar pendapat dengan pasangannya. Peningkatan berfikir siswa terjadi apabila salah satu atau kedua siswa ketika berfikir secara mandiri menjawab salah, kemudian setelah bertukar pendapat dengan pasangannya memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. Begitu juga dengan penurunan berfikir siswa terjadi apabila salah satu atau kedua siswa ketika berfikir secara mandiri menjawab benar, kemudian setelah bertukar pendapat dengan pasangannya memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. Dilihat dari 6 tipe kesepakatan yang muncul, yang paling berbahaya adalah tipe kesepakatan yang terjadi penurunan berfikir siswa, yaitu kesepakatan di mana salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat karena tipe tersebut merugikan pasangannya, dan kesepakatan di mana kedua siswa benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat karena terjadi saling merugikan di antara siswa, untuk tipe 5 tidak membahayakan karena sama-sama tidak ada potensinya dan tanggung jawab guru untuk membetulkan konsep bagi siswa yang mempunyai tipe ini. Selain itu terdapat tipe kesepakatan yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berfikir yaitu tipe 1 dimana kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan tipe 4 dimana kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar pendapat. Hal ini wajar terjadi pada proses tukar pendapat yang dilakukan oleh dua
106
orang, jika dalam berfikir secara mandiri kedua siswa berfikir yang sama, maka hasil diskusi mereka juga menghasilkan apa yang telah difikirkan mereka. 2. Persentase Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Persentase tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh dengan membandingkan antara jumlah tipe-tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe kesepakatan dikali 100. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui jumlah tiap tipe-tipe kesepakatan siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia, diantaranya yaitu tipe kesepakatan 1 sebanyak 106; tipe kesepakatan 2 sebanyak 58; tipe kesepakatan 3 sebanyak 6; tipe kesepakatan 4 sebanyak 32; tipe kesepakatan 5 sebanyak 16 dan tipe kesepakatan 6 sebanyak 2. Dengan demikian dapat diketahui masing-masing persentase tipe kesepakatan siswa dengan membandingkan antara jumlah tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe kesepakatan dikali 100, sehingga diperoleh tipe kesepakatan 1 dengan persentase 48,18%; tipe kesepakatan 2 dengan persentase 26,36%; tipe kesepakatan 3 dengan persentase 2,72%; tipe kesepakatan 4 dengan persentase 14,54%; tipe kesepakatan 5 dengan persentase 7,27%; dan tipe kesepakatan 6 dengan persentase 0,91%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase peningkatan berfikir (tipe kesepakatan 2 dan 5) lebih besar daripada penurunannya (tipe kesepakatan 3 dan 6). Peningkatan berfikir siswa menunjukkan adanya saling membantu satu sama lain, hal ini mencerminkan bahwa Think-Pair-Share telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur, sejalan dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa Think-Pair-Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Keberhasilan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dapat dilihat dari adanya peningkatan dan penurunan berfikir siswa, walaupun dalam penelitian ini terdapat siswa yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berfikir, seperti pada Ke dua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat, akan tetapi hal tersebut wajar terjadi dalam hubungan tukar pendapat antara dua individu, jika kedua individu ketika berfikir secara mandiri memikirkan hal yang sama, maka dalam tukar pendapat mereka menghasilkan seperti apa yang mereka fikirkan. Rata-rata persentase kedua siswa yang benar sebelum dan sesudah tukar pendapat sebesar 48,18%. Angka tersebut masih rendah, sehingga perlu di tingkatkan lagi, sedangkan kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar pendapat memperoleh rata-rata persentase sebesar 14,54%. Walaupun angka tersebut lebih kecil dari persentase kedua siswa yang benar sebelum dan sesudah tukar pendapat, namun persentase tersebut (14,54%) perlu diperkecil lagi agar terjadi peningkatan berfikir siswa. 3. Kecenderungan antara Tipe Kesepakatan dengan Hasil Belajar Siswa Kecenderungan tipe kesepakatan siswa terhadap hasil belajar siswa dapat dilihat setelah mengetahui hasil belajar siswa yang ditunjukkan dengan menggunakan skor hasil belajar. Skor 1 diberikan pada siswa yang menjawab benar dan skor 0 diberikan pada siswa yang menjawab salah. Analisis dilakukan pada tiap-tiap indikator hasil belajar.
107
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui rata-rata skor hasil belajar siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia yang dilihat di setiap indikator, diantaranya yaitu tipe kesepakatan 1 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,86; tipe kesepakatan 2 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,76; tipe kesepakatan 3 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,67; tipe kesepakatan 4 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,68; tipe kesepakatan 5 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,57 dan tipe kesepakatan 6 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,50. Hal ini menunjukkan bahwa skor hasil belajar yang dihasilkan siswa pada tipe kesepakatan yang terjadi peningkatan berfikir (tipe 2) lebih besar daripada tipe kesepakatan yang terjadi penurunan berfikir (tipe 3) dan (tipe 5) lebih besar daripada (tipe 6). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan berfikir siswa cenderung menghasilkan skor hasil belajar yang lebih besar daripada penurunan berfikir siswa. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) memberikan pengaruh positif dalam hal berfikir siswa. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (2000), bahwa pembelajaran kooperatif dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam sehingga memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi. Selain itu fenomena tersebut juga sejalan dengan pendapat Nasution (1982) bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika siswa saling mendiskusikan suatu masalah untuk mencapai kesepakatan dengan temannya. Tipe kesepakatan siswa yang dominan muncul pada tiap indikator hanya tipe kesepakatan 1, 2 dan 4. Apabila dilihat dari hubungan tipe kesepakatan siswa dengan persentase ketercapaian indikator menunjukkan bahwa persentase ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 1 (tidak terjadi peningkatan atau penurunan berfikir) cenderung tinggi, akan tetapi besarnya persentase ketercapaian indikator tersebut disetiap indikator berbeda-beda, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Seperti pada indikator menjelaskan pembentukan ion memiliki persentase lebih kecil daripada menjelaskan gas mulia. Hal tersebut disebabkan karena untuk mencapai indikator menjelaskan pembentukan ion lebih sulit daripada menjelaskan konfigurasi elektron gas mulia. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa siswa yang semula ketika secara mandiri berfikir salah, kemudian berpasangan dengan siswa yang semula secara mandiri berfikir benar dan akhirnya memperoleh kesepakatan yang benar hanya muncul pada 2 indikator yaitu indikator 7 dan 10 dengan masing-masing persentase ketercapaian indikator sebesar 59% dan 72%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau lebih rendah. Seharusnya persentase ketercapaian indikator tersebut cenderung tinggi, karena dalam tipe tersebut akhirnya memperoleh jawaban yang benar. Ketidak sesuaian tersebut dikarenakan perbedaan dalam hal berfikir ketika siswa berfikir secara mandiri, sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi dalam bertukar pendapat. Hal ini sesuai dengan salah satu postulat yang diungkapkan oleh French dalam Sarwono (1983) yaitu dalam sebuah hubungan dua orang, seseorang yang dipengaruhi akan mengubah pendapatnya mengikuti pasangannya tetapi tidak diikuti dengan perubahan kognitifnya melainkan dikarenakan kekuasaan dasar yang lebih kuat diantara salah seorang tersebut, seperti kekuasaan rujukan, kekuasaan ganjaran, kekuasaan hukuman, kekuasaan pengabsahan dan kekuasaan keahlian.
108
Adapun dua siswa berpasangan yang semula ketika secara mandiri berfikir salah dan pada saat bertukar pendapat memperoleh kesepakatan yang salah hanya muncul pada 2 indikator yaitu indikator 2 dan 5 dengan masing-masing persentase ketuntasan indikator sebesar 59% dan 100%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau lebih rendah. Seharusnya persentase ketuntasan indikator tersebut cenderung rendah, karena pada tipe tersebut kedua siswa setelah bertukar pendapat masih berfikir salah. Ketidaksesuaian tersebut dapat disebabkan adanya perubahan berfikir siswa pada saat fase Share. Pada fase Share salah satu pasangan berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang mereka bicarakan, oleh karena itu pada fase inilah setiap individu memperbaiki pemahaman mereka tentang jawaban yang telah dibicarakan dengan pasangannya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa diskusi perlu dilakukan di dalam seting seluruh kelompok. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa. Seorang siswa telah tuntas belajar bila ia telah mencapai nilai >60 dan suatu kelas dikatakan tuntas bila di kelas tersebut telah mencapai 85% yang telah mencapai nilai >60. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan siswa yang tidak tuntas belajar di kelas 1 Audio-video 2 SMK Negeri Surabaya pada materi pokok ikatan kimia yaitu sebanyak 3 dari 22 siswa dengan masing-masing nilainya 50, 43 dan 50. Dengan demikian, ketuntasan klasikal di kelas tersebut mencapai 86,36%. Secara umum dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur dapat menghantarkan siswa mencapai indikator hasil belajar. Hal ini dapat dilihat pada ketuntasan klasikal siswa kelas 1 Audio-Video 2 yang mencapai 86,36%. Besar persentase tersebut telah melebihi batas ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan sekolah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Jika dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) siswa benar-benar berfikir secara mandiri pada fase Think dan bertukar pendapat pada fase Pair, maka dapat ditemukan tipe-tipe kesepakatan siswa pada materi pokok ikatan kimia di SMK ada 6 tipe, yaitu: a. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. b. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. c. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. d. Tipe kesepakatan 4 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.
109
e. Tipe kesepakatan 5 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. f. Tipe kesepakatan 6 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. 2. Tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia di SMK memiliki persentase yang berbeda-beda, yaitu (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1; 48,18%), (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2; 26,36%), (3) Salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 3; 2,72%), (4) Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 4; 14,54%), (5) Kedua siswa salah sebelum tukar pendapat dan benar sesudah tukar pendapat (tipe 5; 7,27%), dan (6) Kedua siswa benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 6; 0,91%). 3. Terdapat kecenderungan antara tipe-tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa yang dilihat pada tipe kesepakatan yang dominan muncul, yaitu (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1) cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi, (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2) cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi, (4) Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 4) cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi jika ada perubahan pemahaman siswa setelah melakukan fase Share. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan serta ditemukannya simpulan-simpulan, penulis mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berikut: 1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jika model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dilaksanakan sesuai dengan prosedur, maka dapat memberikan pengaruh positif pada siswa sehingga peneliti menghimbau agar para guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia. 2. Pada penelitian ini masih banyak ditemukan siswa yang berfikir salah setelah bertukar pendapat pada fase Pair. Oleh karena itu peneliti menghimbau agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana upaya untuk mengurangi siswa yang masih berfikir salah pada fase Pair. 3. Perlu diwaspadai bagi guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dengan munculnya tipe kesepakatan yang menyebabkan penurunan berfikir siswa dan untuk mengetahui munculnya tipe-tipe kesepakatan tersebut, sebaiknya guru menggunakan LKS seperti yang digunakan peneliti.
Daftar Pustaka
110
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, S. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Ibrahim, M dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Karakteristik
dan
Nur, Muhammad dan Wikandari. 2004. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis. Surabaya: PSMS Universitas Negeri Surabaya. Slamet. 2005. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Makalah yang disampaikan pada acara Persiapan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Standar Nasional. Jakarta.
111
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH PADA MATERI POKOK BAHAN KIMIA DALAM BAHAN MAKANAN KELAS VII-A DI SMP NEGERI 1 BALONGBENDO SIDOARJO Kristina Mayasari, Ismono Dalam proses pembelajaran, guru kurang menghubungkan materi yang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa sulit mentransfer konsep tersebut dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah, guru dapat melibatkan siswa secara aktif dalam KBM sehingga dapat meningkatkan retensi dan memungkinkan siswa menerapkan konsep tersebut pada situasi yang baru atau kehidupan sehari-hari. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) untuk mengetahui pengelolaan model pembelajaran berdasarkan masalah, aktivitas guru dan siswa, ketuntasan belajar dan respon siswa. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII-A di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh skor ratarata untuk kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dari putaran I sampai putaran III sebesar 3,2 , 3,9 , 4,5. Aktivitas guru selama proses pembelajaran meningkat seperti menghubungkan pelajaran dengan pengetahuan awal siswa sebesar 5,0%, 5,8%, 6,7%, memotivasi siswa sebesar 9,2%, 10,8%, 12,5%, membimbing siswa melakukan refleksi penyelidikan sebesar 10,0%, 12,5%, 13,3% dan merangkum materi pelajaran sebesar 9,2%, 12,5%, 12,5%. Aktivitas siswa juga meningkat dari putaran I sampai III selama proses pembelajaran seperti membaca (LKS, Hand Out) sebesar 9,5%, 10,5%, 11,0%, melakukan diskusi sebesar 9,0%, 10,5%, 13,5%, meyajikan hasil penyelidikan sebesar 11,5%, 12,0%, 12,5% dan merangkum materi pelajaran sebesar 9,5%, 10,5%, 11,0%. Untuk tiap putarannya, ketuntasan belajar pada putaran I sampai putaran III sebesar 85,0%, 90,0% dan 95,0%. Hasil respon siswa yang merasa senang menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalahdari putaran I sampai III sebesar 80,0%, 82,5%, 87,5%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pengelolaan pembelajaran, aktivitas guru dan siswa, ketuntasan belajar siswa dan respon siswa. Kata Kunci: Pembelajaran berdasarkan masalah, materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan. 1. PENDAHULUAN SMPN 1 Balongbendo menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2002-2003. Kurikulum Sains merupakan bagian dari Kurikulum Berbasis Kompetensi dimana siswa dituntut mempunyai life skill (kecakapan hidup). Pendidikan sains lebih menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa agar siswa mampu memahami dan mempelajari fenomena alam sekitarnya. Namun pada kenyataannya dalam proses belajar mengajar, guru masih tetap berperan aktif dalam memberikan informasi kepada siswa. Siswa seharusnya berperan lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Hal inilah yang diharapkan dalam KBK yaitu siswa diarahkan mengembangkan
112
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan, nilai, sikap dan minat agar dapat melakukan sesuatu dalam kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab (Mulyasa, 2004). Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Agus Dwi, guru Sains di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo pada tanggal 7 Oktober 2006 bahwa berdasarkan MGMP, siswa dikatakan tuntas belajar secara individual jika mencapai nilai 60 dan dikatakan tuntas belajar secara klasikal jika terdapat 70% siswa yang memperoleh nilai 60. Kenyataannya, siswa yang belum tuntas belajar sebanyak 80 % dari jumlah siswa seluruhnya, sedangkan yang tuntas sekitar 20 % dari jumlah siswa seluruhnya. Berarti siswa yang belum tuntas belajar yaitu 32 siswa dan yang tuntas belajar hanya 8 orang. Kemudian berdasarkan hasil angket prapenelitian jumlah siswa yang mempunyai kemauan besar untuk mengikuti pembelajaran sains sebesar 89,74 % dan yang menganggap pembelajaran sains menyenangkan sekitar 17,95 %. Jumlah siswa yang menganggap pembelajaran sains khususnya pada materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan menarik sebesar 25,64 %. Melihat beberapa permasalahan diatas, peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah, dimana dalam model pembelajaran ini siswa diajak untuk terlibat aktif dalam memecahkan suatu masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan melakukan percobaan dan berdiskusi dalam kelompok dan pada akhirnya siswa dapat menemukan sendiri konsep yang berkaitan dengan bahan kimia dalam bahan makanan. Sedangkan materi pokok yang dipilih dalam penelitian ini adalah bahan kimia dalam bahan makanan. Materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan dipilih karena materi ini tergolong sulit. Peneliti memilih kelas VII-A sebagai objek penelitian karena berdasarkan hasil wawancara dengan guru sains yang mengajar di kelas VII-A bahwa siswa yang aktif selama kegiatan belajar mengajar sangat sedikit. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Materi Pokok Bahan Kimia Dalam Bahan Makanan Kelas VII-A di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo”. Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan serta memperbaiki kondisi dimana praktekpraktek pembelajaran dilalakukan (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999: 6). 2. METODE PENELITIAN Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas VII-A pada semester II tahun pelajaran 2006-2007 di SMP Negeri 1 Balongbendo. Peneliti memilih kelas VIIA. 2.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilakukan dalam tiga kali putaran. Setiap putaran terdiri dari 4 tahap yaitu: Tahap 1. Perencanaan (Planning) Tahap 2. Tindakan/ observasi (Action/ Observaton) Tahap 3. Refleksi (Reflective) Tahap 4. Revisi (Revise)
113
Keempat tahap di atas biasanya digambarkan sebagai berikut: Plan
Reflective
Putaran I
Action/ Obervation
Revised Plan
Reflective
Putaran II
Action/ Obervation
Revised Plan
Reflective
Putaran III
Action/ Obervation
Revised Plan
Gambar 3.1 Spiral Penelitian Tindakan Kelas (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999) 2.3 Analisis Data Penelitian (1) Analisis Data Pengelolaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Tabel 3.1 Kategori Skor Skala Likert Skor Keterangan 1 Buruk sekali 2 Buruk 3 Sedang 4 Baik 5 Sangat baik Skor kriterium = Skor tertinggi x jumlah item pertanyaan x jumlah observer
Jumlah skor hasil perhitunga n p 100% Skor kriterium
No 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 3.2 Kriteria Interpretasi Skor Persentase Kategori 0%-20% Sangat lemah 21%-40% Lemah 41%-60% Cukup 61%-80% Kuat 81%-100% Sangat Kuat 114
(2) Analisis Data Pengamatan Aktivitas Guru dan Siswa
% aktivitas
jumlah frekuensi yang muncul x100% jumlah tot al frekuensi aktivitas
Tabel 3.3 Kategori persentase aktivitas dan respon siswa Persentase Keterangan 0%-20% Sangat lemah 21%-40% Lemah 41%-60% Cukup 61%-80% Kuat 81%-100% Sangat kuat (Riduwan, 2005) (3) Analisis Soal Tes a) Validitas NXY Y X rxy 2 2 NX2 X NY 2 Y
Keterangan: rxy = Koefisiaen korelasi N = Jumlah butir soal X = Skor peserta pada butir soal yang divalidasi Y = Skor total yang dicapai peserta tes Tabel 3.4 Koefisien Korelasi Koefisien Korelasi Keterangan 0,81-1,00 Sangat tinggi 0,61-0,80 Tinggi 0,41-0,60 Cukup 0,21-0,40 Rendah 0,00-0,20 Sangat rendah (Arikunto, 2003: 72) b) Reliabilitas
r 11
1
V V
s
Dengan: r
r
=Reliabilitas seluruh soal
11
V
= Varians responden r
V
= Varians sisa s
Kriteria jika r hitung >r tabel
(Arikunto, 2003: 100) maka item dikatakan reliabel.
c) Analisis Data Ketuntasan Belajar Siswa
115
Berdasarkan kebijakan SMP Negeri 1 Balongbendo, siswa dikatakan tuntas secara individual jika telah mencapai nilai ≥ 60. Perhitungan persentase ketuntasan siswa secara individual yaitu: B 100% Nilai Siswa N Dengan: B = Jumlah soal yang benar N = Banyaknya soal. (Surapranata, 2004) Sedangkan secara klasikal suatu kelas telah tuntas belajar jika terdapat 70% siswa telah mencapai nilai ≥60 dengan perhitungan sebagai berikut: Jumlah siswa yang tuntas Ketuntasan Klasikal 100% Jumlah seluruh siswa d) Analisis Data Respon Siswa F P 100 % N Dengan: P = Persentase jawaban responden F = Jumlah jawaban responden N = Jumlah Responden Kemudian persentase dianalisis sesuai dengan tabel 3.3 yaitu tabel kategori persentase aktivitas dan respon siswa. 3. HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN Putaran I a. Rancangan (1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 1). (2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 1 dan Hand Out. (3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian. (4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen berdasarkan nilai raport. b. Kegiatan dan Pengamatan Pada putaran I materi yang dipelajari adalah bahan pewarna makanan. Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa dengan menunjukkan suatu ekstrak tomat yang ditetesi dengan air kapur sebagai pembanding. Kemudian guru menunjukkan suatu saus. Pemotivasian yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari ini dilakukan agar siswa dapat mengaplikasikan informasi yang telah diterima dari pembelajaran ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya guru mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa tentang bahan kimia di sekitar kita, serta guru mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan autentik yaitu “Bagaimana cara mengidentifikasi adanya pewarna kimia buatan pada tahu kuning?”. Pendahuluan ini berlangsung selama 15 menit. Pada kegiatan inti, guru membagi siswa menjadi 13 kelompok, membagi LKS dan Hand Out. Guru membimbing siswa melakukan studi literatur untuk merumuskan jawaban dari permasalahan yang ada pada LKS. Setelah 116
siswa melakukan penyelidikan, guru meminta masing-masing kelompok untuk menyusun laporan singkat hasil pengamatan. Selama siswa melakukan penyelidikan, guru memotivasi, mengevaluasi dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan masalah itu dengan baik. Kemudian guru meminta kelompok secara bergiliran untuk mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan refleksi, yaitu tanya jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan. Guru memberi penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang materi yang dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar terbentuk tatanan persamaan konsep tentang materi yang dipelajari. Kemudian guru meminta siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit terakhir siswa diminta mengerjakan tes formatif secara individu. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, dilakukan observasi oleh 6 pengamat. c. Refleksi (1) Pada pengelolaan model pembelajaran berdasarkan masalah, persentase kegiatan guru dalam mengorganisasikan siswa untuk belajar yaitu 60%. Persentase ini masih cukup rendah. (2) Besarnya persentase kegiatan guru dalam membimbing siswa melakukan penyelidikan yaitu sebesar 68,9%. Pada kegiatan ini guru terlalu banyak memberikan informasi secara langsung sehingga kurang mendorong siswa untuk berfikir secara mandiri dalam memecahkan suatu masalah. (3) Persentase perilaku guru yang kurang relevan dengan KBM masih cukup tinggi yaitu 5,0%, dan perilaku siswa kurang relevan dengan KBM sebesar 9,0%. (4) Guru kurang memotivasi siswa untuk belajar sehingga masih terdapat 5 orang siswa yang belum tuntas belajar. d. Revisi (1) Dalam mengelola model pembelajaran berdasarkan masalah, guru hendaknya dapat mengorganisasikan siswa untuk belajar lebih baik lagi. (2)Dalam membimbing siswa melakukan penyelidikan, guru hendaknya tidak memberikan informasi secara langsung (3)Guru dan siswa mengurangi perilaku yang tidak relevan selama proses pembelajaran. (4)Untuk meningkatkan ketuntasan belajar siswa, hendaknya guru lebih memotivasi siswa untuk membaca buku, memberi penguatan dan mengklarifikasikan konsep-konsep penting kepada siswa. Putaran II a. Rancangan (1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 2). (2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 2. (3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian (4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen berdasarkan nilai raport. b. Kegiatan dan Pengamatan
117
Pada putaran II materi yang dipelajari adalah bahan pemanis makanan. Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa dengan menunjukkan sinom. Selanjutnya guru mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa tentang bahan pewarna makanan, serta guru mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan autentik yaitu “Bagaimana cara mengidentifikasi adanya pemanis kimia buatan pada sirup?”. Pada kegiatan inti, dimulai dengan guru meminta siswa melakukan kajian pustaka untuk merumuskan jawaban sementara dari permasalahan kemudian guru meminta siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok dengan tujuan agar mereka bisa memecahkan masalah dengan cara berdiskusi dan bekerja sama. Setelah siswa melakukan penyelidikan, guru meminta masing-masing kelompok untuk menyusun laporan singkat hasil pengamatan. Selama siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok, guru memotivator, mengevaluasi dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan masalah itu dengan baik. Setelah itu, guru meminta kelompok secara bergiliran untuk mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan refleksi, yaitu tanya jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan. Guru memberi penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang materi yang dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar tatanan persamaan konsep tentang materi yang dipelajari dibenak siswa. Kemudian guru meminta siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit terakhir digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tes formatif secara individu sebanyak 8 soal obyektif. c. Refleksi (1) Pada tabel 4.9 disebutkan bahwa guru telah melakukan aktivitas mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan awal siswa. (2) Guru sudah dapat mengkondisikan siswa belajar berdasarkan suatu masalah. Hal ini terlihat dari aktivitas-aktivitas guru dan siswa tersebut mengalami peningkatan dibanding pada putaran I. (3) Dari tabel 4.8 diketahui bahwa guru sudah dapat meningkatkan pengelolaan dalam pembelajaran. (4) Dari tabel 4.12 dapat diketahui rata-rata nilai siswa meningkat dari 87,2 pada putaran I menjadi 89,7 pada putaran II. Sedangkan ketuntasan klasikal putaran II sebesar 90,0%. (5) Pada tabel 4.13 diketahui siswa memberikan penilaian positif terhadap model pembelajaran berdasarkan masalah.
d. Revisi (1) Guru harus tetap mempertahankan aktivitas mengembangkan sikap mandiri siswa dalam merumuskan masalah autentik, memecahkan masalah dengan penyelidikan, menyusun hasil karya dan menyajikan hasil karya/ artefak. (2) Guru tetap mempertahankan penekanan konsep-konsep penting pada tahap refleksi agar siswa benar-benar memperhatikan konsep tersebut.
118
a.
b.
c.
d.
(3) Guru hendaknya lebih memotivasi siswa lagi sehingga aktivitas siswa yang tidak relevan dengan KBM bisa diminimalkan bahkan dihilangkan. Putaran III Rancangan (1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 3). (2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 3 dan Hand Out. (3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian (4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen berdasarkan nilai raport. Kegiatan dan Pengamatan Pada putaran III materi yang dipelajari adalah bahan pengawet makanan. Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa dengan menunjukkan mie yang dijual di pasar. Selanjutnya guru mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa tentang bahan pemanis makanan, serta guru mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan autentik yaitu “Bagaimana cara mengidentifikasi adanya borak pada bakso?”. Pada kegiatan inti, dimulai dengan guru meminta siswa melakukan kajian pustaka untuk merumuskan jawaban sementara dari permasalahan kemudian guru meminta siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok dengan tujuan agar mereka bisa memecahkan masalah dengan cara berdiskusi dan bekerja sama. Setelah siswa melakukan penyelidikan, guru meminta masing-masing kelompok untuk menyusun laporan singkat hasil pengamatan. Selama siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok, guru memotivator, mengevaluasi dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan masalah itu dengan baik. Setelah itu, guru meminta kelompok secara bergiliran untuk mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan refleksi, yaitu tanya jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan. Guru memberi penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang materi yang dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar tatanan persamaan konsep tentang materi yang dipelajari dibenak siswa. Kemudian guru meminta siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit terakhir digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tes formatif secara individu sebanyak 6 soal obyektif. Refleksi (1) Selama KBM, pembelajaran berorientasi pada siswa dan siswa dapat memecahkan permasalahan dengan baik. (2) Dari tabel 4.14 diketahui bahwa guru dapat meningkatkan pengelolaan model pembelajaran berdasarkan masalah. (3) Berdasarkan tabel 4.18 nilai rata-rata siswa dari hasil tes formatif putaran III sebesar 91,7 dengan ketuntasan klasikal sebesar 95,0%. (4) Hasil angket yang disajikan dalam tabel 4.19 menunjukkan penilaian yang positif terhadap penerapan pembelajaran berdasarkan masalah. Revisi
119
Penerapan model pembelajaran berdasarkan mmasalah sudah dapat berjalan optimal, karena guru sudah dapat mengelola pembelajaran dengan baik sehingga meningkatkan aktivitas siswa dalam memecahkan permasalahan dan peran aktif siswa dalam pembelajaran. Namun dalam hal LKS dan Hand Out, guru perlu memperbaiki baik dalam bahasa dan penampilannya agar siswa termotivasi untuk membaca dan belajar. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan (1) Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar. (2) Melalui penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan aktivitas guru sebagai fasilitator dan motivator dalam pembelajaran pada putaran I, II dan III. (3) Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan dapat meningkatkan ketuntasan belajar siswa baik secara individu maupun secara klasikal. (4) Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan respon siswa yaitu putaran I sebesar 77,5%, putaran II sebesar 82,5% dan putaran III sebesar 87,5%. 4.2 Saran (1) Dalam setiap pembelajaran sebaiknya guru dapat mengaitkan materi pelajaran dengan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat siswa termotivasi untuk belajar. (2) Hendaknya guru tidak secara langsung memberikan bimbingan kepada siswa apabila siswa mengalami kesulitan, namun guru harus mendorong mereka untuk mendiskusikan permasalahan tersebut dengan temannya terlebih dahulu dan guru hendaknya dapat mengaitkan pertanyaan siswa dengan pengetahuan siswa ketika guru memberikan penguatan dan pengklarifikasian konsep pada saat refleksi. Kemudian guru harus memberikan penekanan intonasi pada konsep-konsep penting sehingga siswa benar-benar memperhatikan konsep tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: P.T. Bumi Aksara Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur-Balitbang. Depdiknas. 2003. Kurikulum Bernasis Kompetensi, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Menengah Pertama dan M adrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Faridah, Anis. 2004. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Materi Pokok Pemisahan Campuran Untuk Menunjang Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi Di SMPN 1 Sidoarjo. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Unesa. Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo. Hudojo, H. 1988. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: Usaha Nasional.
120
Ibrahim, Muslimin dan Nur, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Johnson. 2004. Sains Kimia SMP Untuk Kelas VII. Bandung: Erlangga. Lutfi. 2004. Sains Kimia SMP Untuk Kelas VII. Jakarta: Esis. Marnijanto, Bambang. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini. Surabaya: Terbit Terang. Muid, Fatimah. 2004. Sains Inspirasi Untuk Kelas 1 SMP. Jakarta: Ganeca Exact. Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya Bandung. Muslich, Masnur. 1994. Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum 1994. Malang: YA3 Malang. Nasution, MA. 1995. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Ratnawati, Venty. 2004. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Untuk Melatihkan Keterampilan Proses Pada Pokok Bahasan Laju Reaksi Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Di SMUN 3 Bojonegoro. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Unesa. Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta. Slameto. 1995. Belajar Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Sudjana, N. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajara Mengajar. Bandung: Sinar Bandung. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya Offset. Suyono dan Amaria. 1993. Laporan Penelitian Naskah Kuliah Kimia Dasar Untuk Pokok Bahasan Struktur Molekul. Surabaya: Pusat Penelitian IKIP Surabaya. Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (classroom Action Research). Jakarta: Depdikbud. Tim Penyusun. 2006. Panduan Penulisan Skripsi dan Penilaian Skripsi. Surabaya: Unesa. Tim Penyusun Buku Pedoman Buku Ajar Siswa. 1987. Buku Pedoman Penulisan Buku Ajar. Surabaya: University Press IKIP. Widjayanti, Herni. 2005. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Dengan Tatanan Kooperatif Untuk Mengatasi Kesulitan Siswa Dalam Pembelajaran Pokok Bahasan Pencemaran Lingkungan Di SMA Luqman Al Hakim Surabaya. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Unesa.
121
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH PADA MATERI POKOK REDOKS DAN ELEKTROKIMIA Abrinda Oktaviana, Suyono Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui keberhasilan implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok reaksi redoks dan elektrokimia. Keberhasilan implementasi itu dinilai dari: (1) keterlaksanaan sintak pembelajaran, (2) aktivitas siswa dalam kelompok, (3) ketuntasan keterampilan berpikir, (4) kesejalanan keterampilan berpikir akademis umum dan kimia, dan 5) tipe-tipe perubahan individual dalam keterampilan berpikir akademis sebelum dan sesudah implementasi model PBL pada materi pokok redoks dan elektrokimia. Keterlaksanaan sintak pembelajaran dinilai oleh 2 orang pengamat menggunakan format keterlaksanaan sintak pembelajaran. Aktivitas siswa dinilai dengan menggunakan format pengamatan aktivitas siswa dalam kelompok. Ketuntasan keterampilan berpikir diukur menggunakan tes hasil belajar kimia. Kesejalanan keterampilan berpikir akademis umum dan kimia diukur dan tipe-tipe perubahan individual dalam keterampilan berpikir akademis sebelum dan sesudah implementasi model PBL pada materi pokok redoks dan elektrokimia menggunakan tes keterampilan umum dan tes hasil belajar kimia. Hasil penelitian dari implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah menunjukkan bahwa: 1) sintak pembelajaran telah dilaksanakan oleh guru sesuai dengan skenario pembelajaran, 2) aktivitas siswa dalam kelompok memiliki frekuensi yang lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak relevan dengan kegiatan belajar, 3) ketuntasan keterampilan berpikir di lihat dari skor hasil belajar kimia sebanyak 37 siswa telah tuntas secara individual. Jika dilihat secara klasikal mencapai 92,5% jadi sudah mencapai taraf ketuntasan sebesar 75%, 4) keterampilan berpikir akademis umum menunjukkan fluktuasi sejalan dengan fluktuasi kuantitas skor setiap komponen berpikir pada materi kimia, dan 5) individu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis sebelum dan sesudah model PBL sebesar 60%, yang tidak tuntas sebelum model PBL tetapi tuntas sesudah model PBL sebesar 32,5%, yang tidak tuntas sebelum dan sesudah model PBL sebesar 5%, yang tuntas sebelum model PBL tetapi tidak tuntas sesudah model PBL sebesar 2,5%. Kata kunci: Pembelajaran berdasarkan masalah, redoks dan elektrokimia, siswa
aktivitas
PENDAHULUAN Salah satu standar kompetensi (SK) pada bidang kimia yang harus dicapai siswa SMA adalah menerapkan konsep reaksi redoks dan elektrokimia dalam teknologi dan kehidupan sehari-hari. Salah satu kompetensi dasar (KD) untuk SK itu adalah menerapkan konsep reaksi redoks dalam sistem elektrokimia dalam mencegah korosi. Penyepuhan (elektroplating) adalah salah satu proses pencegahan korosi yang menerapkan konsep reaksi redoks.
122
Seperti diketahui ilmu kimia memiliki tiga karakteristik, yaitu: ontologi (apa yang dikaji atau objek ilmu kimia), epistemologi (cara memperoleh), dan aksiologi (kegunaannya). Penyampaian mata pelajaran kimia tidak boleh lepas dari pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana. Pembelajaran kimia berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Pendekatan induktif dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka merupakan satu pilihan dalam pembelajaran kimia. Melalui proses inkuiri ilmiah dapat ditumbuhkan pada siswa kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (Permendiknas No. 22 Tahun 2006). Bagaimana keterampilan proses siswa, khususnya di SMAN 4 Sidoarjo? Untuk mengetahui kemampuan itu dilakukan tes keterampilan proses yang dikembangkan oleh Nur. Hasil tes memberi simpulan bahwa terdapat tujuh komponen keterampilan proses yang belum dikuasai siswa dalam jumlah yang diharapkan (75%). Jumlah siswa yang mencapai ketuntasan untuk masing-masing komponen adalah sebagai berikut: pemahaman metode ilmiah sebesar 27,5% (dari 40 siswa yang menjawab benar hanya 11 orang); pemahaman variabel sebesar 17,5% (dari 40 siswa yang menjawab benar hanya 7 orang); pemahaman eksperimen sebesar 10% (dari 40 siswa yang menjawab benar hanya 4 orang); pemahaman variabel respon yang sebesar 12,5% (dari 40 siswa menjawab benar hanya 5 orang); pemahaman variabel kontrol sebesar 7,5% (dari 40 siswa menjawab benar hanya 3 orang); pemahaman variabel manipulasi sebesar 17,5% (dari 40 siswa menjawab benar hanya 7 orang). Secara umum siswa dinyatakan gagal dalam keterampilan proses. Kegagalan itu adalah sebuah masalah yang harus segera diatasi. Untuk memecahkan problematika itu dapat dilakukan melalui proses pembelajaran atau pemilihan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang tepat untuk melatih keterampilan proses berpikir (minds on) adalah model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning, PBL). PBL adalah rangkaian fase-fase (sintaks) yang diawali dengan menghadapkan siswa ke dalam situasi masalah yang autentik dan bermakna yang memancing siswa untuk melakukan penyelidikan dan inquiri (Ibrahim dan Nur, 2005). Sintaks dari PBL adalah sebagai berikut: (1) orientasi siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Ibrahim dan Nur, 2005). Penelitian tentang implementasi model PBL telah dilakukan peneliti-peneliti terdahulu, tetapi belum memberikan analisis secara spesifik kepada ketuntasan komponen-komponen dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi (keterampilan proses). METODE PENELITIAN 1. Sasaran Penelitian Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA 2 SMA Negeri 4 Sidoarjo, karena kelas XII IPA 2 adalah kelas yang kurang aktif dibanding kelas-kelas yang lain. 2. Rancangan Penelitian
123
Penelitian ini mengikuti rancangan penelitian “One Group Pretest Postest Design”. Sebelum pembelajaran siswa dikenai suatu pretes dan pada akhir pembelajaran siswa dikenai postes. 3. Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian a. Keterlaksanaan Sintak Pembelajaran. Analisis penilaian pengamat dalam bentuk pilihan yaitu: terlaksana dan tidak terlaksananya fase pembelajaran dalam implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah dilakukan secara deskriptif. b. Persentase Aktivitas Siswa di dalam Kelompok. Penilaian dilakukan dengan mengamati kelas tiap kali tatap muka. Pengamatan dilakukan oleh dua pengamat yang sudah dilatih sehingga dapat mengisi lembar pengamatan secara benar. Berdasarkan rata-rata penilaian dari dua pengamat untuk tiap kategori yang diamati, untuk tiap rencana pelaksanaan pembelajaran kemudian ditentukan persentasenya (P). c. Ketuntasan Komponen Keterampilan Berpikir. Untuk mendapatkan data tentang pengaruh implementasi model PBL sebagai upaya untuk mencapai ketuntasan komponen keterampilan berpikir akademis, digunakan rumus ketuntasan klasikal. Kriteria tuntas tercapai bila penerapan rumus ketuntasan klasikal menghasilkan nilai 75%. d. Persentase ketuntasan individual dihitung dengan membagi jumlah komponen yang tuntas dengan jumlah seluruh komponen dikali 100%. Siswa secara individu dikatakan tuntas bila penerapan rumus ini menghasilkan nilai 70%. e. Kesejalanan antara ketuntasan keterampilan proses materi umum dan ketuntasan keterampilan proses kimia materi redoks dan elektrokimia. Rumus yang digunakan sama dengan pada butir c dan d. f. Ketuntasan dalam keterampilan akademis (keterampilan proses pada materi redoks dan elektrokimia) baik sebelum dan sesudah implementasi PBL dihitung dengan rumus ketuntasan pada umumnya. Individu yang diperhitungkan dalam rumus ini adalah yang tidak tuntas sebelum implementasi PBL tetapi tuntas setelah implementasi PBL. Implementasi PBL dikatakan berhasil bila nilai ketuntasan ini mencapai angka ≥70%. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Keterlaksanaan Sintak Pembelajaran Dari hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas pengamat mengatakan bahwa guru telah taat melaksanakan sintak-sintak pembelajaran model pembelajaran berdasarkan masalah yang diterapkan dengan alokasi yang tidak terpaut jauh dari waktu yang direncanakan. Pada tahap pendahuluan terdapat aspek memotivasi siswa, menyampaikan indikator hasil belajar. Pada aspek memotivasi siswa dalam tatap muka I, II, III diterapkan dengan alokasi waktu yang tidak terpaut jauh dari waktu yang direncanakan. Menurut Maslow (1970 dalam Mulyasa, 2002) bahwa topik dan tujuan pembelajaran (indikator hasil belajar) yang disusun dan disampaikan dengan jelas kepada siswa mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Selain itu guru memotivasi siswa dengan menggunakan motivator realistik. Ketaatan dalam menjalankan sintaksintak pembelajaran merupakan bukti empiris bahwa rencana pembelajaran yang dibuat telah memenuhi skenario model pembelajaran berdasarkan masalah.
124
Pada tahap kegiatan inti terdapat aspek mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan kelompok, dan menyajikan hasil penyelidikan. Pada tahap kegiatan inti dalam tatap muka I, II, III diterapkan dengan alokasi waktu yang tidak terpaut jauh dari waktu yang direncanakan. Dalam pengamatan keterlaksanaan sintak, tinjauan tidak hanya sampai pada kriteria terlaksana atau tidak terlaksana. Ketika sebuah sintak dinilai terlaksana masih terdapat kajian lebih lanjut, yaitu dari dimensi waktu. Dengan memperhatikan catatan waktu pelaksanaan sintak-sintak dalam model pembelajaran yang diterapkan masih terdapat ketidaksesuaian dengan alokasi waktu yang direncanakan. Namun sebenarnya di dalam pembelajaran kompetensi waktu bukan menjadi penghambat karena orientasinya kinerja. Untuk penyempurnaan rencana pembelajaran pada implementasi masa yang akan datang, maka tidak menutup peluang untuk dilakukan koreksi terhadap koreksikoreksi waktu yang didasarkan kepada data lapangan. 2. Aktivitas Siswa dalam Kelompok Implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat menumbuhkan aktivitas belajar siswa. Siswa disibukkan oleh aktivitas-aktivitas seperti: membaca (mencari informasi), mendiskusikan tugas dengan partisipasi seluruh anggota, mendiskusikan prosedur kerja, melakukan pengamatan atau percobaan, dan memperhatikan presentasi siswa lain. Aktivitas-aktivitas itu memiliki frekuensi yang cenderung lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak relevan dengan kegiatan belajar. Gambaran seperti ini terjadi baik pada tatap muka I, II, maupun III. Frekuensi unsur-unsur aktivitas positif cenderung meningkat sejalan dengan urutan pelaksanaan RPP. Hal itu dapat diberikan makna bahwa implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia benar-benar memberi pembiasaan dan peningkatan kepada siswa untuk belajar secara positif. Fenomena ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Ibrahim dan Nur (2004), bahwa pembelajaran menggunakan model PBL dapat menumbuhkan aktivitas belajar siswa, baik secara kelompok maupun individu. Aktivitas siswa melakukan pengamatan/percobaan cenderung lebih tinggi baik pada tatap muka I, II, maupun III. Temuan empiris itu sesuai dengan pernyataan Ibrahim dan Nur (2004) bahwa model PBL adalah seperangkat prosedur yang menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Melakukan pengamatan atau melakukan percobaan adalah inti dari kegiatan penyelidikan. 3. Ketuntasan Setiap Komponen Berpikir Menurut Ibrahim dan Nur (2004), model PBL mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan percobaan, membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Jumlah siswa mencapai ketuntasan dalam keterampilan berpikir akademis adalah 37 siswa dari total 40 siswa, sedangkan sisanya 3 siswa dinyatakan tidak tutas. Hasil menunjukkan bahwa seluruh komponen keterampilan berpikir selama implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah dalam kategori tuntas baik
125
komponen 1 sampai 10. Dengan demikian dapat dituliskan bahwa implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok Redoks dan Elektrokimia dapat membantu siswa mencapai ketuntasan berpikir tingkat tinggi. Artinya, implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah dapat memperbaiki kesulitan siswa dalam mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini adalah penilaian keterampilan siswa dalam setiap komponen berpikir tingkat tinggi saat melakukan kegiatan eksperimen. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa siswa yang tuntas secara individual melakukan kinerja eksperimen adalah 37 siswa. Dilihat secara klasikal jumlah anak tuntas dalam kelas mencapai 92,5% sudah melewati batas ketuntasan yang diterapkan 75%. Hal ini dapat dilihat dari skor total yang diperoleh siswa. Implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok reaksi redoks dan elektrokimia dapat menghantarkan siswa mencapai ketuntasan keterampilan berpikir tingkat tinggi baik ditinjau secara individual maupun klasikal. 4. Kesamaan antara Ketuntasan Klasikal pada Setiap Komponen Keterampilan Berpikir Keterampilan akademis (academic skills), sebagai salah satu kelas dari keterampilan berpikir tingkat tinggi harus menjadi bagian integral dari pembelajaran kimia, termasuk pada pembelajaran materi pokok Redoks dan Elektrokimia. Telah dilakukan pengukuran atas keterampilan akademis itu pada saat sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran menggunakan model PBL. Pertanyaan yang akan diberikan pembahasannya saat ini adalah apakah terdapat kesamaan profil dari komponenkomponen keterampilan akademis itu sebelum dan sesudah pembelajaran dengan model PBL. Profil keterampilan berpikir akademis kelas (klasikal) pada materi umum memiliki pola yang sama dengan keterampilan berpikir akademis pada materi kimia. Fluktuasi kuantitas skor setiap komponen keterampilan berpikir pada materi umum sejalan dengan fluktuasi kuantitas skor setiap komponen berpikir pada materi kimia. Hal itu mencerminkan bahwa kelas siswa memiliki kesejalanan berpikir yang sama ketika dihadapkan kepada materi umum maupun kepada materi kimia. Fenomena ini dapat dimaknai bahwa pola berpikir akademis yang tergambar dari siswa dalam sebuah ukuran kelas memiliki sifat ajeg. Skor klasikal setiap komponen keterampilan berpikir pada materi umum lebih rendah dibanding pada materi kimia. Seperti diketahui keterampilan berpikir pada materi umum diukur sebelum siswa dilibatkan dalam pembelajaran PBL, sedangkan keterampilan berpikir pada materi kimia diukur sesudah siswa dilibatkan dalam pembelajaran PBL. Ini memberi petunjuk bahwa pelibatan siswa ke dalam fase-fase dalam sintaks PBL memberi dampak akumulasi yang positif kepada keberhasilan kelas. Kemampuan kelas dalam mengidentifikasi masalah tidak selalu memiliki kesetaraan dengan kemampuan merumuskan hipotesis. Demikian pula dengan komponen-komponen keterampilan berpikir yang lain. Walau keterampilan mengidentifikasi masalah dan keterampilan merumuskan hipotesis keduanya sama-sama dalam kelompok academic skill, namun kompleksitas masing-masing keterampilan berpikir saling berbeda. Keterampilan merumuskan hipotesis sedikit lebih sulit dibanding mengidentifikasi masalah, karena untuk dapat merumuskan hipotesis dengan
126
benar setiap orang harus memahami betul tentang variabel-variabel yang akan dirangkai menjadi rumusan hipotesis. Jika diperhatikan profil keterampilan berpikir kelas, nampak bahwa keterampilan merancang percobaan dan membuat simpulan atas hasil percobaannya menduduki posisi paling tinggi dibanding keterampilan-keterampilan berpikir yang lain. Ini memberi arti bahwa kelas lebih memperoleh kemudahan apabila dilibatkan kepada keterampilan yang mengandung aktivitas-aktivitas yang disertai kebendaan (melibatkan alat-alat dan bahan) dan membuat simpulan atas rancangan yang dibuat. Proses penyepuhan adalah materi pembelajaran autentik dan kontekstual dari materi pokok Redoks dan Elektrokimia yang melibatkan aktivitas siswa yang disertai penggunaan alat dan bahan yang membantu proses berpikir siswa penyimpulan. 5. Kesamaan antara Ketuntasan Individual pada Setiap Komponen Keterampilan Berpikir Terdapat empat tipe individu ditinjau dari ketuntasannya dalam keterampilan berpikir akademis pada materi umum dan pada materi kimia, yaitu: (a) Individuindividu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis baik sebelum maupun sesudah pembelajaran dengan model PBL (60%). Persentase terbesar ini dapat dijadikan cerminan bahwa terjadi kesejalanan antara keterampilan berpikir akademis siswa pada materi umum dan pada materi kimia; (b) Individu-individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir akademis sebelum pembelajaran dengan model PBL, tetapi menjadi tuntas (mengalami kemajuan) sesudah pembelajaran dengan model PBL (32,5%); (c) Individu-individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir akademis baik sebelum maupun sesudah pembelajaran dengan model PBL (5%); dan (d) Individuindividu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis sebelum pembelajaran dengan model PBL, tetapi justru tidak tuntas sesudah pembelajaran dengan model PBL (2,5%). Jika keberhasilan implementasi direpresentasi oleh individu-individu tipe a dan tipe b, maka implementasi model pembelajaran pada materi pokok redoks dan elektrokimia berhasil menghantarkan individu-individu sebanyak 92,5% mencapai ketuntasan belajarnya. Yang lebih berarti adalah implementasi model PBL itu mampu mengentaskan 32,5% individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir akademisnya. Persentase siswa yang berhasil menggunakan academic skills nya sebelum pembelajaran menggunakan PBL (60%) mengalami kenaikan menjadi 92,5%. Seperti halnya dengan fenomena yang terjadi secara klasikal, bahwa keterampilan akademis siswa secara individual dapat diperbaiki melalui pembelajaran kimia materi pokok Redoks dan Elektrokimia menggunakan model PBL. Hal ini dapat dimaknai bahwa implementasi model pembelajaran PBL memberi kesempatan kepada siswa untuk melatih academic skills nya. Melalui implementasi model PBL pada materi penyepuhan, setiap siswa dihadapkan kepada situasi pembelajaran yang autentik dan bermakna yang memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri, sehingga memberi kemudahan kepada setiap individu untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya. Menurut Sudjana (1991), kualitas belajar yang dicapai siswa dapat dilihat dari aspek: (1) Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa (kompetensi) setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya; (2) Kuantitas dan kualitas penguasaan tujuan belajar; dan (3) Jumlah siswa yang mencapai minimal 75% dari keseluruhan tujuan
127
pembelajaran. Jika lima point resume di atas dikaitkan dengan pendapat Sudjana itu, maka dapat diberikan jawaban atas pertanyaan umum dari penelitian ini, bahwa implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok redoks dan elektrokimia telah menghantarkan siswa mencapai tujuan belajar tingkat tinggi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan simpulan penelitian sebagai berikut: 1. Fase-fase dalam sintaks PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah dipersiapkan sebelumnya. 2. Implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat menumbuhkan aktivitas belajar siswa. Aktivitas-aktivitas belajar memiliki frekuensi yang lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak relevan dengan kegiatan belajar. Fenomena itu terjadi baik pada tatap muka I, II, maupun III. Frekuensi unsur-unsur aktivitas belajar yang positif cenderung meningkat sejalan dengan urutan pelaksanaan RPP. 3. Implementasi model PBL pada pembelajaran materi pokok redoks dan elektrokimia berhasil menghantarkan siswa mencapai ketuntasan belajar. Implementasi model pembelajaran pada materi pokok redoks dan elektrokimia berhasil menghantarkan individu-individu sebanyak 92,5% mencapai ketuntasan belajarnya. Yang lebih berarti adalah implementasi model PBL itu mampu mengentaskan 32,5% individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir akademisnya menjadi tuntas. 4. Pelibatan siswa ke dalam fase-fase dalam sintaks PBL memberi dampak akumulasi yang positif kepada keberhasilan kelas. Siswa dalam kelas lebih memperoleh kemudahan apabila dilibatkan kepada keterampilan yang mengandung aktivitas-aktivitas yang disertai kebendaan (melibatkan alat-alat dan bahan) melalui pembelajaran redoks dan elektrokimia yang autentik dan kontekstual. 5. Seperti halnya dengan fenomena yang terjadi secara klasikal, bahwa keterampilan akademis siswa secara individual dapat diperbaiki melalui pembelajaran kimia materi pokok Redoks dan Elektrokimia menggunakan model PBL. 6. Dari lima simpulan di atas dapat dibuat simpulan umum bahwa implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok redoks dan elektrokimia telah menghantarkan siswa mencapai tujuan belajar tingkat tinggi. Saran Dari hasil analisis dan pembahasan di samping ditemukannya dampak positif dari implementasi model PBL pada pembelajaran materi pokok redoks dan elektrokimia, masih ditemukan 2 siswa yang tetap tidak tuntas walau telah dilibatkan dalam pembelajaran itu dan masih ditemukan 1 siswa yang justru berubah dari tuntas menjadi tidak tuntas setelah dilibatkan dalam model PBL. Walau fenomena ini tidak signifikan kiranya masih perlu mendapat perhatian.
128
Berdasar kepada simpulan-simpulan yang telah dibuat dan temuan-temuan sebagaimana disebut pada alinea di atas, peneliti mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berikut: 1. Para guru dapat menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk mengajarkan materi pokok redoks dan elektrokimia. 2. Perlu dilakukan penelitian yang mencoba mengimplementasikan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok yang lain yang mempunyai spesifikasi seperti materi pokok redoks dan elektrokimia. 3. Perlu dilakukan kajian secara mendalam terhadap kasus-kasus siswa yang tidak memperoleh dampak positif dari implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, S. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gafur, Abd. 1984. Disain Instruksional. Solo: Tiga Serangkai. Ibrahim, M dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep Karakteristik dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nur, Muhammad dan Wikandari. 2004. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis. Surabaya: PSMS Universitas Negeri Surabaya. Slamet. 2005. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Makalah yang disampaikan pada acara Persiapan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Standar Nasional. Jakarta. Sudjana, Nana. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudjana. 1982. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Suyono. 2004. Perangkat Pembelajaran. Makalah yang disampaikan pada acara TOT guru Sains SD se Jawa Timur Kanwil P dan K Provinsi Jawa Timur. Universitas Negeri Surabaya. 2005. Panduan Penulisan Skripsi & Penilaian Skripsi. Surabaya: Unesa University Press. Widjayanti, Herni. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah dengan Tatanan Koopertif untuk Mengatasi Kesulitan Siswa Dalam Pembelajaran Pokok Bahasan Pencemaran Lingkungan Di SMA Luqman Al Hakim Surabaya. Skripsi (tidak dipublikasikan). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
129
PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PADA MATERI POKOK UNSUR, SENYAWA DAN CAMPURAN Danang Trisaksono, Sukarmin Abstrak Telah dilakukan penelitian pengembangan untuk mengetahui kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran. Kelayakan media ditinjau dari respon guru terhadap kesesuaian materi yang diajarkan dengan media, kejelasan dalam menyajikan konsep, tampilan gambar, animasi sebagai ilustrasi dalam media dan respon siswa terhadap tampilan media, kemudahan pengoperasian media, ketertarikan terhadap media, kemudahan dalam memahami materi pelajaran yang didukung dari hasil belajar siswa setelah menggunakan media. Sasaran dari penelitian ini adalah media interaktif berbasis komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dengan responden guru sains dan siswa. Penelitian ini mengacu pada model 4-D (four-D models) dan hanya dibatasi pada tiga tahap, yaitu: 1) tahap pendefinisian (define) yang terdiri dari analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, dan spesifikasi tujuan pembelajaran; 2) tahap perencanaan (design) yang terdiri dari penyusunan naskah dan desain awal media komputer; 3) tahap pengembangan (develop) yang terdiri dari telaah oleh dosen dan guru serta uji coba terbatas kepada tiga guru sains dan sepuluh siswa SMP Negeri 2 Gedangan Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media interaktif yang dikembangkan layak digunakan dalam proses pembelajaran. Media interaktif yang dikembangkan telah memenuhi indikator sebagai berikut: 1) respon guru sains terhadap media dengan rata-rata penilaian sebesar 90%; 2) respon siswa terhadap media dengan rata-rata penilaian sebesar 81,62%. Kata Kunci: Kelayakan media, Media interaktif berbasis komputer, Unsur, senyawa dan campuran.
Pendahuluan Seiring semakin canggihnya dunia teknologi mikroelektronika, peran komputer dalam dunia pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja. Komputer diharapkan tidak hanya digunakan sebagai sekedar alat mempresentasikan materi pelajaran karena proses belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan bukan proses menghafal pengetahuan. Dengan perangkat lunak suatu informasi atau materi dapat dibuat seinteraktif mungkin sehingga siswa dapat menjadi “aktif” bermain-main dengan informasi. Hal lain yang menarik lagi adalah perangkat lunak untuk pembelajaran dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing siswa. Hal ini memungkinkan siswa untuk berkembang sesuai dengan keadaan dan latar belakang kemampuan yang dimiliki (Suntoro, 2001). Kurikulum sains disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan sains secara rasional. Diharapkan pendidikan sains ini dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Salah satu ilmu yang dipelajari dalam pendidikan sains adalah ilmu kimia. Ilmu kimia merupakan salah satu cabang Ilmu
130
Pengetahuan Alam (IPA) yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Pada hakekatnya ilmu ini mempelajari tentang materi dan energi yang menyertainya. Unsur, senyawa dan campuran merupakan salah satu materi pokok ilmu kimia yang ada di dalam pendidikan sains. Kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam materi pokok ini adalah siswa dapat membedakan sifat unsur, senyawa dan campuran. Pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam mempelajari materi pokok ini adalah lebih mengenalkan siswa pada lingkungan sekitar. Media yang berisikan teori yang diselingi dengan contoh-contoh yang mampu divisualkan diharapkan mampu membantu siswa dalam memahami materi, mengingat siswa masih berada dalam masa transisi dari tahap konkrit ke formal (teori perkembangan kognitif). Pengajar tidak hanya perlu secara terus menerus memperbaruhi penguasaan materi yang akan diajarkan tapi juga dituntut untuk mampu menyampaikan materi. Pengajar juga dituntut untuk memiliki kemampuan dan keterampilan dalam memanfaatkan fasilitas yang tersedia yang tidak menutup kemungkinan fasilitasfasilitas tersebut sesuai dengan perkembangan jaman. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon guru, 2) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon siswa. Sasaran Penelitian Sasaran dari penelitian ini adalah media interaktif berbasis komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran yang dikemas dalam bentuk uraian materi dan latihan soal-soal, sedangkan yang bertindak sebagai responden adalah tiga guru sains dan sepuluh siswa SMPN 2 Gedangan Sidoarjo.
Rancangan Penelitian Media pembelajaran dengan materi pokok unsur, senyawa dan campuran ini diujicobakan secara terbatas pada satu kelompok kecil. Penelitian pengembangan ini mengadaptasi pada model pengembangan perangkat pembelajaran menurut Thiagarajan, S.Semmel,P.P, dan Semmel, M.I (dalam Ibrahim, M, 2001) yaitu model 4-D. Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan yaitu Define (pendefinisian), Design (desain), Develop (pengembangan), Disseminate (diseminasi).
131
Analisis Siswa
Analisis Tugas
Analisis Konsep
Define
Perumusan Tujuan pembelajaran
Penyusunan Naskah Design Desain Awal Media Komputer
Telaah Media Komputer (Ahli Media)
Analisis Hasil Telaah I
Revisi I
Telaah Media Komputer (Guru sains)
Analisis Hasil Telaah II
Develop
Revisi II
Validasi (Guru sains)
Uji coba terbatas (siswa)
Analisis Hasil Validasi dan Uji coba Terbatas
Laporan DIAGRAM MODEL 4-D (IBRAHIM, M, 2001)
132
1. Tahap pendefinisian (Define) Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Tahap ini dilakukan analisis tujuan dari materi pokok yang akan dikembangkan perangkatnya, ada 4 tahap yaitu analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, dan perumusan tujuan pembelajaran. a. Analisis siswa Analisis ini dilakukan dengan memperlihatkan ciri, kemampuan, dan pengalaman siswa. Analisis ini meliputi karakteristik siswa antara lain: kemampuan akademik, usia, keterampilan psikomotor, dan sebagainya. b. Analisis tugas Analisis ini dilakukan dengan me-rinci isi mata pelajaran dari media yang akan dikembangkan dalam bentuk garis besar. Analisis ini mencakup struktur isi. c. Analisis konsep Dalam tahap ini dilakukan pengidentifikasian konsep-konsep utama yang akan diajarkan. Hasil analisis konsep ini berupa peta konsep. d. Perumusan tujuan pembelajaran Dalam tahap ini dilakukan pengkonversian hasil analisis tugas dan analisis konsep menjadi tujuan pembelajaran khusus. Tujuan ini selanjutnya menjadi dasar dalam penyusunan media. 2. Tahap desain (Design) Pada tahap ini dilakukan perancangan media pembelajaran. menyusun naskah dan mendesain media pembelajaran yang bersifat interaktif. Langkahlangkah yang dilakukan adalah: a. Menyusun naskah yang akan disajikan ke dalam media interaktif berbasis komputer. b. Memasukkan naskah yang berupa materi pokok dan soal-soal evaluasi ke dalam media berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak macromedia flash MX 2004. 3. Tahap pengembangan (Develop) Tahap pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari ahli media dan guru. Tahap ini meliputi: a. Telaah media komputer (oleh ahli media) Media yang sudah rancang kemudian ditelaah oleh ahli media. Data hasil telaah media digunakan untuk mendapatkan saran dan masukan dari ahli media. b. Analisis dan revisi I Analisis dan revisi dilakukan sesuai dengan saran dan masukan dari penelaah I. c. Telaah media komputer (oleh guru sains) Media yang sudah mendapatkan revisi dari penelaah I kemudian ditelaah lagi oleh guru sains sains SMPN 1 Jogoroto Jombang. Data hasil telaah media digunakan untuk mendapatkan saran dan masukan dari guru sains. d. Analisis dan revisi II Analisis dan revisi dilakukan sesuai dengan saran dan masukan dari penelaah II. e. Validasi media (oleh guru) dan Uji coba terbatas (oleh siswa)
133
Media yang telah mendapatkan revisi dari penelaah II kemudian divalidasi oleh tiga guru sains dan diujicobakan pada kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh siswa. Tiga guru sains dan sepuluh siswa berasal dari SMPN 2 Gedangan Sidoarjo. f. Analisis hasil validasi, uji coba terbatas dan laporan Data hasil validasi dan uji coba kemudian dianalisis dan diperoleh hasil kelayakan media. Pencapaian Kelayakan Media Interaktif Berbasis Komputer Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kelayakan media berbasis komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran antara lain: 1. Respon guru sains terhadap kesesuaian materi yang diajarkan dengan media, kejelasan dalam menyajikan konsep, tampilan gambar dan animasi sebagai ilustrasi dalam media. Media dikatakan layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran jika rata-rata penilaian guru sains terhadap media sebesar > 61% (Riduwan, 2005). 2. Respon siswa terhadap tampilan media, kemudahan dalam pengoperasian media dan ketertarikan terhadap media (didukung oleh aktivitas siswa yang positif selama menggunakan media), kemudahan dalam memahami materi pembelajaran yang ada dalam media (didukung oleh hasil belajar siswa dengan menggunakan media). Media dikatakan layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran jika rata-rata penilaian siswa terhadap media sebesar > 61% (Riduwan, 2005). Hasil Penelitian dan Pembahasan Dari uraian latar belakang diatas ada dua rumusan masalah, yaitu: 1) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon guru, 2) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon siswa. Uji Coba terbatas terhadap media komputer dengan materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilakukan kepada sepuluh siswa SMPN 2 Gedangan Sidoarjo. Uji coba dilaksanakan di luar jam sekolah pada tanggal 11 November 2006 di laboratorium komputer SMPN 2 Gedangan Sidoarjo sedangkan untuk validasi media oleh guru sains dilaksanakan pada jam istirahat. Uji coba dilakukan selama + 1,5 jam. Tahap-tahap yang dilakukan dalam uji coba adalah sebagai berikut: 1. Siswa mengerjakan soal sebagai pretest. Pretest dilakukan selama + 15 menit. 2. Siswa belajar dengan menggunakan media interaktif berbasis komputer. Tahap ini siswa diberi waktu selama + 1 jam dan selama siswa belajar dengan menggunakan media dilakukan pengamatan oleh observer. 3. Siswa mengerjakan soal sebagai postest. Postest dilakukan selama + 15 menit. 4. Siswa mengisi angket respon siswa. Laboratorium komputer SMPN 2 Gedangan Sidoarjo memiliki 20 unit komputer dan 1 unit komputer digunakan sebagai server. Pengaturan letak dari 21 unit komputer tersebut adalah berbentuk setengah lingkaran. Uji coba terbatas ini menggunakan 10 unit komputer yang berarti setiap 1 siswa menggunakan 1 unit komputer. Analisis hasil validasi dan uji coba terbatas adalah sebagai berikut: 1. Respon guru sains terhadap media interaktif berbasis komputer
134
Tabel 1 DATA RESPON GURU SAINS TERHADAP MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER VARIABEL YANG DIUKUR
ASPEK PENILAIAN
Kesesuaian materi yang diajarkan dengan media
Kesesuaian materi yang terdapat pada media dengan kompetensi dasar dan indikator Kesesuaian materi yang terdapat pada media dengan materi yang disampaikan oleh guru Kesesuaian soal yang terdapat pada media dengan kompetensi dasar dan indikator Kesesuaian dalam Kejelasan media dalam menyajikan menyajikan konsep materi konsep pelajaran Sistematika penyajian materi Tampilan gambar Kesesuaian tampilan gambar dan video sebagai sebagai ilustrasi yang relevan ilustrasi dalam dengan materi media Kesesuaian tampilan animasi sebagai ilustrasi yang relevan dengan materi Persentase rata-rata
PERSENTASE SETIAP VARIABEL ASPEK
93%
93%
93%
93%
87%
87%
87% 93% 90% 87% 90%
Analisis hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Kesesuaian materi yang diajarkan dengan media Respon guru sains terhadap media pada variabel ini sebesar 93%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini menunjukkan bahwa materi yang diajarkan dengan media sudah sangat sesuai. b. Kesesuaian dalam menyajikan konsep Respon guru sains terhadap media pada variabel ini sebesar 87%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini menunjukkan bahwa konsep-konsep yang disajikan pada media sudah sangat sesuai. c. Tampilan gambar dan video sebagai ilustrasi dalam media Respon guru sains terhadap media pada variabel ini sebesar 90%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini menunjukkan bahwa tampilan gambar dan video yang digunakan sebagai ilustrasi dalam media sudah sangat baik. Dari ketiga variabel di atas diperoleh nilai rata-rata sebesar 90%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat
135
sekali. Hal ini menunjukkan bahwa media interaktif berbasis komputer yang dibuat sudah sangat baik, yang berarti media tersebut layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran. 2. Respon siswa terhadap media interaktif berbasis komputer Tabel 2 DATA RESPON SISWA TERHADAP MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PERSENTASE VARIABEL YANG DIUKUR
ASPEK PENILAIAN
Bagaimana menurut anda tentang kemudahan dalam membaca teks Bagaimana menurut anda tentang tampilan background dalam media Tampilan media Bagaimana menurut anda tentang suara/musik yang mengiringi Bagaimana menurut anda tentang kesesuaian letak teks, gambar, video Kemudahan dalam Bagaimana menurut anda tentang kemudahan dalam pengoperasian mengoperasikan media media Bagaimana menurut anda tentang penggunaan media dalam menunjang semangat belajar materi unsur, senyawa dan campuran Ketertarikan Bagaimana menurut anda tentang terhadap media adanya batasan waktu dan skor pada soal evaluasi dalam memotivasi untuk menjawab soal dengan tepat dan cepat Bagaimana menurut anda tentang kesesuaian tampilan gambar Kemudahan dalam dalam menunjang materi memahami materi Bagaimana menurut anda tentang yang diajarkan kesesuaian tampilan video dalam menunjang materi dengan menggunakan Bagaimana menurut anda tentang media penggunaan media ini dalam menunjang pemahaman materi unsur, senyawa dan campuran Persentase rata-rata
136
TIAP ASPEK
VARIABEL
88% 84% 78.5% 62% 80%
78%
78%
86% 86% 86%
84%
84%
84%
84% 81.62%
Analisis hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Tampilan media Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 78.5%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat, hal ini menunjukkan bahwa tampilan media sudah baik. Tampilan media yang baik juga didukung dari aktivitas siswa yang positif selama menggunakan media yaitu tidak ada siswa yang mengajukan pertanyaan karena kesulitan dalam membaca teks yang terdapat dalam media. b. Kemudahan dalam mengoperasikan media Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 78%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat, hal ini menunjukkan bahwa pengoperasian media yang dibuat sudah baik. Kemudahan dalam pengoperasian media juga didukung dari aktivitas siswa yang positif selama menggunakan media yaitu sebagian besar siswa tidak kesulitan dalam mengoperasikan media. c. Ketertarikan terhadap media Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 86%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini menunjukkan bahwa ketertarikan siswa terhadap media sangat baik. Ketertarikan siswa terhadap media juga didukung dari aktivitas siswa yang positif selama menggunakan media yaitu sebagian besar siswa tidak bosan/jenuh selama belajar dengan menggunakan media. d. Kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 84%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini menunjukkan bahwa materi yang diajarkan dengan menggunakan media sangat mudah untuk dipahami. Kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media juga didukung dari hasil belajar siswa yang tuntas selama belajar dengan menggunakan media. Dari keempat variabel di atas diperoleh nilai rata-rata sebesar 81.62%. Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali. Hal ini menunjukkan bahwa media interaktif berbasis komputer yang dibuat sudah sangat baik, yang berarti media tersebut layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap media yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa media interaktif berbasis komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran karena telah tercapai indikator sebagai berikut: 1. Penilaian guru sains terhadap kesesuaian materi yang diajarkan dengan media, kejelasan dalam menyajikan konsep, tampilan gambar dan animasi sebagai ilustrasi dalam media dengan rata-rata penilaian sebesar 90%. 2. Penilaian siswa terhadap tampilan media, kemudahan dalam pengoperasian media dan ketertarikan terhadap media (didukung oleh aktivitas siswa yang positif selama menggunakan media), kemudahan dalam memahami materi pembelajaran yang ada
137
dalam media (didukung oleh hasil belajar siswa dengan menggunakan media) dengan rata-rata penilaian sebesar 81.62%. Saran 1. Perlu dilakukan tahap diseminasi terhadap media interaktif berbasis komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran. 2. Perlu dibuat media interaktif berbasis komputer dengan materi yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2003. StandarKompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas. Ibrahim, Muslimin. 2001. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menurut Jerold E. Kemp dan Thiagarajan. Surabaya: Faculty of Mathematics and Science State University of Surabaya. Ibrahim, Nurdin. Pemanfaatan Tutorial Audio Interaktif Untuk Perataan Kualitas Hasil Belajar. Http://www.depdiknas.go.id. 12 Pebruari 2006. Nur, Mohamad. 1998. Teori-Teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Surabaya. Pribadi, Benny A. 2004. Ketersediaan Dan Pemanfaatan Media Dan Teknologi Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. Http://pk.ut.ac.id/jp/52sep04/52benny.htm. 12 Pebruari 2006. Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A. dan Rahardjito. 2005. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Suntoro, Ahmad. 1991. Komputer Untuk Pendidikan. Http:/www.bogor.net/idkf/idkf/microelectronics/komputer-untuk-pendidikan1991.rtf. 12 Pebruari 2006. Sutopo, AH. 2002. Animasi Dengan Macromedia Flash Berikut ActionScript. Jakarta: Salemba Infotex.
138
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SIFAT KOLIGATIF LARUTAN DALAM BENTUK MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER UNTUK SMA Arifa Pranoto, Muchlis ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan bahan ajar kimia dalam bentuk media interaktif berbasis komputer pada materi pokok sifat koligatif larutan yang dikembangkan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran yang dikemukakan oleh Thiagarajan, yaitu model 4-D. Penelitian ini dibatasi pada tiga tahap penelitian yaitu pendefinisian, perancangan, dan pengembangan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar kimia dalam bentuk media interaktif berbasis komputer pada materi pokok sifat koligatif larutan yang dikembangkan, layak digunakan sebagai media pembelajaran. Hal ini ditunjukkan dari hasil penilaian media oleh guru kimia ditinjau dari format media diperoleh persentase kelayakan media sebesar 94,67% (layak), ditinjau dari kejelasan konsep dan materi diperoleh persentase 88,34% (layak), dan ditinjau dari pengoperasian media diperoleh persentase 86,67% (layak). Sedangkan dari hasil penilaian media oleh siswa SMA ditinjau dari tampilan media diperoleh ppersentase kelayakan sebesar 87,5% (layak), ditinjau dari ketertarikan terhadap media diperoleh persentase 88% (layak), ditinjau dari kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media diperoleh persentase 86% (layak), dan ditinjau dari kemudaha dalam mengoperasikan media diperoleh persentase 84% (layak). Kata kunci:
Pengembangan, bahan ajar, media interaktif berbasis komputer, Sifat Koligatif Larutan, kelayakan media
PENGANTAR Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, maka seorang guru diharapkan mampu meningkatkan pengalaman dan pengetahuannya sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya. Selama itu juga perlu ditingkatkan aspek pendidik dari mutu pengajarannya dalam hal ini proses mengajar. Keberhasilan proses belajar mengajar tidak terbatas pada pengenalan bahan pelajaran saja, tetapi dipengaruhi oleh komponen-komponen antara lain guru, siswa, model pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan, dan metode yang diberikan kepada siswa. Proses belajarmengajar akan berjalan efektif apabila seluruh komponen yang terlibat dalam proses tersebut saling mendukung dan bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pemahaman siswa terhadap materi akan lebih optimal apabila siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, melainkan siswa dituntut lebih aktif dalam hal melatih ulang sendiri kemampuannya. Hal ini dapat dilakukan apabila terdapat suatu media pembelajaran yang mampu memberikan unsur menarik dan menantang bagi siswa sehingga pesan atau informasi dapat tersampaikan dengan baik. Ada beberapa hal yang menyatakan bahwa penggunaan media dipandang perlu untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di sekolah, diantaranya: (1) Penggunaan media dapat menjadikan suasana pembelajaran lebih menarik perhatian siswa, dan meningkatkan semangat belajar siswa, (2) Metode pengajaran akan lebih variatif dan inovatif dengan tampilan animasi dan suara yang disesuaikan dengan materi ajar, sehingga siswa tidak
139
cepat bosan dan merasa enjoy dalam kegiatan belajar mengajar, (3) Dengan kreativitas dan keterampilannya, seorang guru dapat menyajikan materi ajar dengan jelas makna yang terkandung dalam materi tersebut, sehingga siswa dapat menguasai tujuan pembelajaran. Media pembelajaran yang sering dikenal adalah komputer. Komputer memiliki keunggulan dalam hal interaksi, menumbuhkan minat belajar secara mandiri, serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Pemanfaatan komputer sebagai media dan teknologi pembelajaran tidak hanya terbatas pada perangkat kerja saja (hard ware) tetapi juga perangkat lunaknya (soft ware). Salah satu soft ware yang dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran adalah macro media flash dengan segala keunggulannya. Pengembangan media ini difokuskan pada materi pokok sifat koligatif larutan, karena dalam materi sifat koligatif larutan, siswa dituntut untuk memahami isi materi serta berpikir konkrit dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dibutuhkan tampilan-tampilan gambar atau animasi yang tepat dan sesuai dengan materi ajar agar memudahkan siswa untuk mendalami isi materi dan mengurangi pemikiran siswa yang bersifat abstrak. Kelayakan media pembelajaran ini merupakan suatu bentuk gambaran tentang layak atau pantas dari media tersebut yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar. Media dapat dikatakan layak apabila penilaian dari guru kimia, dan siswa terhadap media pembelajaran mengenai format media, kejelasan konsep dan materi, serta pengoperasian media mencapai skor persentase ≥61%. RANCANGAN Sasaran dari penelitian ini adalah bahan ajar kimia dalam bentuk media interaktif berbasis komputer untuk SMA pada materi pokok sifat koligatif larutan yang ditampilkan dalam bentuk uraian materi, dan soal-soal latihan. Penelitian pengembangan ini mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran yang dikemukakan Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (dalam Muslimin Ibrahim, 2001) yaitu model 4-D, yang terdiri 4 tahap pengembangan yaitu Pendefinisian, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendefinisian Siswa yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII yang sedang menerima materi pokok Sifat Koligatif Larutan, mempunyaui kemampuan akademik yang bervariasi, dan dengan adanya laboratorium komputer, SMA AL Falah Surabaya juga telah membekali keterampilan psikomotor terhadap siswa, yaitu berupa keterampilan dalam mengoperasikan komputer. Konsep pada materi pokok Sifat Koligatif Larutan meliputi: (1)Sifat koligatif larutan elektrolit, (2) Sifat koligatif larutan non elektrolit, (3) Penurunan tekanan uap larutan, (4) Kenaikan titik didih larutan, (5) Penurunan titik beku larutan, (6) Tekanan osmosis. Berdasarkan konsep yang telah ditentukan didapatkan indicator hasil belajar sebagai berikut: (1) Menjelaskan pengertian sifat koligatif larutan, (2) Menghitung kemolalan suatu zat terlarut, (3) Menghitung fraksi mol zat terlarut, (4) Menjelaskan pengaruh zat terlarut yang sukar menguap terhadap tekanan uap pelarut, (5) Menjelaskan hubungan penurunan tekanan uap dengan fraksi mol zat terlarut, (6) Menghitung penurunan tekanan uap, (7) menghitung kenaikan titik didih suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut, (8) Menghitung penurunan titik beku suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut,
140
(9) Menjelaskan pengertian osmosis, (10) Menjelaskan pengertian tekanan osmotic, (11) Menghitung tekanan osmotik, (12) Menemukan hubungan jumlah partikel zat terlarut dengan sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat koligatif larutan non elektrolit berdasarkan data atau gambar, (13) Siswa dapat menyimpulkan perbedaan sifat koligatif larutan elektrolit dengan sifat koligatif larutan non elektrolit. Perancangan Pada tahap ini dilakukan perancangan terhadap media pembelajaran yaitu penyusunan naskah dan mendesain media pembelajaran yang bersifat interaktif berbasis komputer. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan adalah: (1) Menyusun naskah (materi ajar) yang akan disajikan dalam media interaktif berbasis komputer, (2)Melakukan validasi isi dan konstruksi, kemudian hasilnya dianalisis dan dilakukan revisi, (3) Melakukan uji coba perangkat (soal-soal) hasil revisi kepada siswa untuk memperoleh besarnya validitas dan reliabilitas butir soal, Memasukkan naskah yang berupa materi bahan ajar dan soal-soal latihan yang telah dibuat kedalam media interaktif berbasis komputer dengan menggunakan software macromedia flash. Pengembangan Pada tahap ini dilakukan penyusunan instrumen yang bertujuan untuk menghasilkan edia pembelajaran berbasis komputer yang telah direvisi berdasarkan masukan dari para pakar. Langkah-langkah yang akan dilakukan diantaranya: (1) Telaah media komputer oleh ahli media. Telaah media komputer dilakukan oleh ahli media dengan cara mengisi lembar telaah untuk ahli media. Lembar telaah tersebut diberikan kepada dua orang ahli media yang berisi masukan dan saran terhadap media komputer. Aspek yang ditelaah oleh media diantaranya: (1) Tampilan pembuka, (2) Suara atau musik pengiringnya, (3) Kesesuaian letak teks, gambar atau animasi dan video, (4) Kesesuaian dalam memilih background, (5) Tampilan penutup, (6) Kemudahan dalam membaca teks, (7) Kesesuaian dalam menampilkan gambar (animasi) sebagai ilustrasi dengan materi, (8) Sistematika penyajian materi, (9) Sistematika penyajian soal latihan, (10) Kemudahan dalam mengoperasikan media komputer. (2) Penilaian media komputer oleh guru kimia dan uji coba terbatas pada siswa. Penilaian media komputer dilakukan oleh tiga orang guru kimia SMA Al Falah Surabaya dan uji coba terbatas kepada kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh orang siswa SMA Al Falah Surabaya kelas XI, kemudian dilakukan analisis data dan revisi media serta diperoleh hasil akhir dari kelayakan media. Penilaian media dan uji coba terbatas ini selanjutnya mendapatkan respon berupa penilaian guru kimia dan respon siswa terhadap media pembelajaran. Penilaian oleh guru kimia menunjukkan bahwa media yang dikembangkan, telah memenuhi kriteria format media (94,67%), kejelasan konsep dan materi (88,34%), serta pengoperasian media(86,67%) sebagai media pembelajaran karena persentasenya lebih dari 61%. Respon siswa terhadap media pembelajaran yang dikembangkan, telah memenuhi kriteria kelayakan tampilan media (87,5%), ketertarikan terhadap media (88%), kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media (86%), dan kemudahan dalam mengoperasikan media (84%).
141
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan didapatkan: Hasil Penilaian guru kimia terhadap media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok sifat koligatif larutan diantaranya kriteria format media mendapat penilaian sebesar 94,67% (layak), kriteria kejelasan konsep dan materi mendapat penilaian sebesar 88,34 (layak), dan kriteria pengoperasian media mendapatkan penilaian sebesar 86,67% (layak). Hasil Respon siswa terhadap media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok sifat koligatif larutan diantaranya kriteria tampilan media mendapatkan penilaian sebesar 87,5% (layak), kriteria ketertarikan terhadap media mendapatkan penilaian sebesar 88% (layak), kriteria kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media mendapatkan penilaian sebesar 86% (layak), dan kriteria kemudahan dalam pengoperasian media mendapatkan penilaian sebesar 84% (layak). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan telah layak digunakan sebagai media pembelajaran pada materi pokok sifat koligatif larutan. Saran Sebaiknya penyajian soal-soal latihan harus lebih variatif dengan kualitas materi yang lebih meningkat.
142
Pengembangan Media Pembelajaran Ekstraksi untuk Menunjang Perkuliahan Kimia Analitik II Drs. Sukarmin Jurusan Kimia FMIPA Unesa
[email protected]
Abstrak Salah satu kendala yang dihadapi mahasiswa dalam menempuh matakuliah Kimia Analitik II adalah keterampilan menggunakan alat-alat pemisahan ekstraksi. Kurang terampilnya mahasiswa dalam menggunakan alat-alat ekstraksi akan mengakibatkan data percobaan yang tidak valit serta terjadinya kecelakaan kerja. Selama ini untuk mentgatasi kendala tersebut, dilakukan demonstrasi pengunaan alat-alat ekstraksi sebelum mahasiswa melakukan eksperimen. Cara tersebut dirasa kurang efektif karena terlalu banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah dikembangkan media pembelajaran ekstraksi. Media tersebut berisi ringkasan materi ekstraksi dan video ekstraksi yang menekankan langkah-langkah ekstraksi yang benar yang dikemas secara interaktig dengan software macromedia. Setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media ekstraksi diperoleh hasil: 1) mahasiswa mampu membuat instrumen penilaian kinerja ekstraksi. 2) mahasiswa dapat melaksanakan praktikum ekstraksi dengan benar. Kata kunci: Media pembelajaran, ekstraksi.
143
Model Diskusi Strategi Think Pair Share Sebagai Alternatif Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kimia Karbon. Rinaningsih, Achmad Lutfi ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bagaimana frekwensi aktivitas mahasiswa dan dosen selama kegiatan pembelajaran Kimia Dasar II dengan model diskusi; (2) mendeskripsikan bagaimana keterampilan dosen dalam mengelolah pembelajaran dengan model diskusi; (3) mendeskripsikan bagaimana respon mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang berorientasi model diskusi; (4) mendeskripsikan hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti kegiatan yang berorientasi model diskusi. Metode pengembangan yang digunakan adalah rancangan J.E.Kemp, G.R. Morison dan S. M Ross, dengan urutan pengembangan (1) Analisis tujuan; (2) Analisis karakteristik mahasiswa; (3) Analisis tugas; (4) Analisis konsep; (5) Perumusan tujuan; (6) Strategi kegiatan belajar mengajar; (7) Pemilihan media dan sumber belajar; (8) Penyusunan instrumen evaluasi; (9) Revisi perangkat pembelajaran. Subyek pengembangan adalah mahasiswa Fisika FMIPA UNESA angkatan 2006 yang memprogram Kimia Dasar II. Hasil pengembangan pada penelitian ini adalah RPP, LKM, LKM kunci, CD Pembelajaran, Tes THB produk dan kumpulan soal-soal Kimia Karbon. Dengan instrumen penelitian (1) Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran diskusi;(2) Lembar pengamatan Aktivitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran diskusi; (3) Tes hasil belajar produk; (4) Angket minat dan motivasi terhadap pembelajaran. Dari instrumen didapatkan data keterampilan dosen dalam mengelola pembelajaran diskusi rata-rata bisa dikategorikan hampir cukup baik (2,75); Aktivitas dosen yang menonjol adalah membimbing mahasiswa 24,4 %; Aktivitas mahasiswa yang menonjol adalah memperhatikan penjelasan dosen 56,67 %, bekerja dengan menggunakan alat 22,22 %, membaca buku mahasiswa LKM 10,86 %; Semua butir soal THB produk termasuk efektif karena sensifitasnya berada antara 0-1dengan 42 mahasiswa telah tuntas. Motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran dikategorikan baik. PENDAHULUAN Cara belajar dan mengajar merupakan suatu “seni” (art) bagi masing-masing mahasiswa dan dosen. Masalahnya adalah, apakah cara yang dilakukan mahasiswa dan dosen tersebut dapat mempermudah pencapaian sasaran yang diinginkan atau tidak. Seiring dengan era informasi saat ini, di mana kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat untuk perbaikan bangsa dan Negara sangat dibutuhkan dan dihargai, maka melatih mahasiswa untuk mengemukakan pendapatnya secara lisan dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan pola berpikirnya. Salah satu metode belajar yang dapat memfasilitasi tujuan tersebut adalah model pembelajaran diskusi yang menggunakan pendekatan konstruktivitas. Pada metode pembelajaran konstruktivis-diskusi, mahasiswa dapat membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
144
mengkontruksi pengetahuannya sendiri (Bettencourt, 1989). Proses belajar mengajar model ini dilakukan dengan membagi mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar sebagai cara untuk memotivasi terjadinya pertukaran ide, argumentasi dan refleksi dari masing-masing anggota kelompok dalam upaya konstruksi pengetahuan. Selama ini metode pembelajaran yang diterapkan untuk mata kuliah Kimia Dasar II pokok bahasan Kimia Karbon adalah proses pembelajaran yang masih konvensional, sehingga hasil belajar yang diperoleh mahasiswa juga rendah. Hasil analisa pendahuluan pada materi Kimia Dasar II pokok bahasan Kimia Karbon menunjukkan bahwa 18,9% dari mahasiswa angkatan 2005 yang memprogram Kimia Dasar II tidak lulus (mendapat nilai D dan E). Di samping itu lebih dari satu pertemuan untuk menjelaskan materi ajar (Rinaningsih, 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian terhadap suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman dan aplikasi konsep-konsep kimia karbon. Salah satu alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar adalah dengan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Upaya peningkatan mutu pembelajaran antara lain adalah dengan pengembangan perangkat pembelajaran yang sesuai. Dalam penelitian ini dikembangkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme model diskusi.
Metode Pengembangan Penelitian ini berjudul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kimia Dasar II Pokok Bahasan Kimia Karbon Dengan Konstruktivisme Model Diskusi.”. Merupakan penelitian tindakan kelas yang diawali dengan penelitian pengembangan dan penelitian deskriptif.
Rancangan Pengembangan Pengembangan perangkat pembelajaran model diskusi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Jerold E. Kemp, G.R. Morison dan S. M Ross. Pengembangan instruksional model Kemp merupakan suatu lingkaran yang bersifat kontinyu. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan langsung dengan suatu aktivitas revisi dan dapat dimulai darimana saja. Rancangan instruksional model Kemp digambarkan sebagaimana gambar 1.
145
Rancangan Pengembangan Perangkat Pembelajaran (Sumber : Kemp, Morison dan Ross)
Subyek Pengembangan Penelitian ini dilakukan di jurusan Fisika FMIPA UNESA tempat ketua peneliti dan anggota peneliti bekerja sebagai dosen, khususnya pada mahasiswa angkatan 2006 yang memprogram mata kuliah Kimia Dasar II.
Hasil Pengembangan Dan Pembahasan Pelaksanaan penelitian sudah dilaksanakan dengan skenario yang telah dirancang, dimana sebelum pembelajaran dilakukan tes awal dan sesudah pembelajaran dilakukan tes akhir. Pada waktu pembelajaran dilakukan pengamatan kemampuan dosen dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, aktifitas dosen dan mahasiswa terhadap pembelajaran serta disebar angket motivasi dan minat terhadap pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan oleh peneliti yaitu : RPP, LKM, LKM kunci, CD-pembelajaran dan buku kumpulan soal.
Deskripsi Hasil Penelitian. 1. Keterampilan Dosen Mengelola Pembelajaran Kemampuan dosen dalam melakukan pembelajaran diskusi dinilai dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran diskusi. Data yang diperoleh terdapat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Penilaian Pengelolaan Pembelajaran Diskusi No I
II
III
RP1
Aspek Yang Diamati A. Pendahuluan 1. Menyampaikan tujuan pembelajaran 2. Memotivasi/membangkitkan minat mahasiswa 3. Menghubungkan pelajaran sekarang dengan pelajaran terdahulu B. Mengarahkan Diskusi 1. a. Menguraikan aturan-aturan diskusi b. Mengajukan pertanyaan awal/permasalahan 2. Mengendalikan diskusi a. Mengajukan pertanyaan membimbing b. Mendengarkan gagasan mahasiswa c. Menanggapi gagasan mahasiswa d. Menerapkan waktu tunggu e. Mengekspresikan ide guru sendiri f. Mendorong keterlibatan dan keikutsertaan mahasiswa (memotivasi mahasiswa untuk aktif) C. Penutup 1. Mengikhtisarkan hasil diskusi 2. Meminta mahasiswa mengikhtisarkan proses diskusi
146
P1
P2
x
4 4
4 4
4 4
3
4
3,5
2 4
1 4
1,5 4
4
4
4
4 4 4 4 3
4 4 4 4 4
4 4 4 4 3,5
1 1
1 1
1 1
X
3,83
Kategori
Baik
2,75
Hampir Cukup Baik
3,92
Baik
1
Tidak Baik
IV
Pengelolaan Waktu Pengamatan Suasana Kelas 1. Siswa antusias 2. Guru antusias 3. Siswa mendengarkan pertanyaan/pendapat orang lain 4. Siswa membaca 5. Siswa melakukan diskusi kelompok 6. Siswa berada dalam tugas Jumlah ( )
1
1
1
4 4 4
4 4 4
4 4 4
4 4 4 67
4 4 4 68
4 4 4 67,5
1
Tidak Baik
4
Baik
Seperti terlihat pada tabel 4.1 dapatlah diketahui bahwa keterampilan dosen dalam mengelola pembelajaran diskusi rata-rata bisa dikategorikan hampir cukup baik (2,75). 2. Aktivitas Dosen dan Mahasiswa Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Selama kegiatan pembelajaran dilakukan pengamatan terhadap aktifitas dosen dan mahasiswa dengan menggunakan instrumen 1b. Hasil pengamatan dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
147
AKTIVITAS DOSEN DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR 30.00 24. 4
25.00
PERSEN
20.00 15.00
1 3. 3
1 3. 3
1 3. 3 1 1 . 1 8. 9
10.00
8. 9 4. 4
5.00
2. 2
0.00 1
2
3
4
5
0 . 0
0 . 0
6
7
0 . 0
8
9
10
11
12
Aktivitas Dos en
Aktivitas Dosen : 1. Menyampaikan pendahuluan 2. Menjelaskan materi pelajaran 3. Mengajukan pertanyaan 4. Menanggapi pertanyaan / gagasan mahasiswa 5. Mengekspresikan ide sendiri 6. Mendorong keterlibatan & keikutsertaan mahasiswa (memotivasi mahasiswa)
7. Menulis ( yg relevan dengan KBM) 8. Mengamati aktivitas mahasiswa 9. Membimbing mahasiswa 10.Menerapkan waktu tunggu 11.Menutup pelajaran 12.Perilaku yang tidak relevan
Grafik aktivitas dosen dalam kegiatan belajar mengajar
AKTIVITAS MAHASISWA DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR 60.00
56.67
PERSEN TA SE
50.00 40.00 30.00
22.22
20.00 10.83 10.00
0.56
0.00
3
4
0.00
5.56
3.61
0.28
0.28
0.00 1
2
5
6
7
8
9
10
Aktivitas Mahasiswa Aktivitas mahasiswa : 1. Memperhatikan penjelasan dosen 2. Membaca buku mahasiswa / LKM 3. Menanggapi pertanyaan/pendapat dosen 4. Menanggapi pertanyaan/pendapat mahasiswa 5. Mengajukan pertanyaan tingkat rendah
6. Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi 7. Menulis yang relevan dengan KBM 8. Bekerja denganmenggunakan alat 9. Menyatakan ide dengan jelas 10.Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
Grafik aktivitas mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar
Kedua Grafik tersebut menunjukkan persentase tiap aktivitas dosen dan mahasiswa selama pembelajaran, sedangkan untuk data secara rinci dituliskan pada lampiran. Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa bahwa aktivitas dosen yang paling menonjol adalah membimbing mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang ada di LKM. Berdasarkan grafik 4.2 menunjukkan bahwa aktivitas mahasiswa yang mempunyai persentase tinggi antara lain: memperhatikan penjelasan dosen sebesar
148
56.67 %, bekerja dengan menggunakan alat sebesar 22,22%, membaca buku mahasiswa atau LKM 10,83 %, menulis yang relevan dengan KBM 3,61 %. Dari data diatas aktifitas siswa yang menonjol adalah memperhatikan pendapat dosen. Hal ini disebabkan karena pada fase think mahasiswa tidak dibiarkan untuk membaca LKM sendiri tapi dijelaskan oleh dosen dan dosen tidak mengembalikan kepada aturan diskusi. 3. Diskusi Hasil Belajar Mahasiswa Tes hasil belajar produk ditujukan untuk mengetahui peningkatan skor mahasiswa yang diukur dengan ketuntasan indikator produk dalam belajar, sesuai dengan sistem penilaian yang ada di UNESA. Mahasiswa dinyatakan tuntas atau lulus mata kuliah jika nilainya minimal C. Pengambilan data tes hasil belajar produk menggunakan instrumen 4.b. data secara rinci dapat dilihat pada lampiran. Proporsi jawaban benar dilihat pada tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.2 Ketuntasan dan Sensitivitas THB Produk No
1
2
Indikator Mahasiswa dapat membedakan gugus fungsi senyawa karbon Mahasiswa mengenal berbagai senyawa polimer
Butir Soal
Proporsi U1
U2
S
P TPK
Ketuntasan
1
0,477
0,948
0,471
0,948
Tuntas
2
0,240
0,916
0,678
0,916
Tuntas
3
0,154
0,930
0,776
0,930
Tuntas
4
0,006
0,671
0,671
0,665
Tuntas
Keterangan: U1 = uji awal U2 = uji akhir S = sensitivitas butir soal P = proporsi butir soal Berdasarkan paparan tabel 4.2 dapat disimpulkan bahwa semua indikator pembelajaran yang telah ditetapkan pada materi kimia karbon semuanya tuntas. 4. Deskripsi Motivasi dan Minat Mahasiswa Tes motivasi dan minat mahasiswa ditujukan untuk mengetahui bagaimana motivasi dan minat mahasiswa terhadap pembelajaran kimia yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran diskusi. Angket motivasi dan minat diberikan kepada mahasiswa setelah dilaksanakan serangkaian pembelajaran. Rincian data analisis motivasi dan minat secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.
149
Tabel 4.3 Rata-rata Minat Mahasiswa Jenis minat
Rata-rata tiap komponen
Kriteria
Positif Atensi Relevansi Percaya diri Kepuasan Negatif Atensi Relevansi Percaya diri Kepuasan
3.7 4.1 3.7 3.6
Baik Sangat baik Baik Baik
2.1 2.7 2.9 2.0
Cukup baik Cukup baik Cukup baik Cukup baik
Tabel 4.4. Rata-rata Motivasi Mahasiswa Jenis motivasi
Rata-rata tiap komponen
Kriteria
3.3 3.6 3.9 3.9
Baik Sangat baik Baik Baik
2.9 2.3 2.6 1.4
Cukup baik Cukup baik Cukup baik Cukup baik
Positif Atensi Relevansi Percaya diri Kepuasan Negatif Atensi Relevansi Percaya diri Kepuasan
Dari Tabel 4.3 dan 4.4 dapat dilihat bahwa minat dan motivasi siswa baik.
Diskusi Hasil Penelitian Penelitian ini bertolak dari upaya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar kimia dan melatih keterampilan mahasiswa dalam berdiskusi untuk memahami materi kimia karbon. Dalam penelitian ini praktek pengajaran diselenggarakan melalui model pembelajaran diskusi. Berdasarkan analisis terhadap data penelitian, diperoleh petunjuk bahwa model pembelajaran diskusi strategi TPS dapat dijadikan suatu alternatif untuk pembelajaran kimia karbon. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian secara keseluruhan yang menunjukkan peningkatan hasil belajar mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Peningkatan kualitas proses belajar mengajar yang dimaksud dapat dilihat dari uraian beberapa indikator berikut. 150
1. Aktivitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran diskusi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data aktivitas dosen dan mahasiswa dan berdasarkan kriteria yang ditetapkan menunjukkan bahwa persentase aktivitas dosen dalam kegiatan belajar mengajar cukup baik, dilihat dari rata-rata waktu yang digunakan oleh dosen untuk mengamati kegiatan mahasiswa (4,4 %), mengajukan pertanyaan (13,3 %), serta dalam menegakkan aturan diskusi yaitu menanggapi pertanyaan atau gagasan mahasiswa, menerapkan waktu tunggu, dan membimbing kegiatan sebesar (31,3 %) dari seluruh waktu kegiatan belajar mengajar. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh dosen sesuai dengan sintaks pembelajaran diskusi dalam Arend (1997:202) Aktivitas dosen untuk menutup pelajaran dengan mengikhtisarkan hasil diskusi tidak ada (0 %). Hal ini disebabkan karena pengamat menghentikan kegiatannya tepat pada saat jam pembelajaran usai, padahal saat itu dosen belum menutup pelajaran dengan kata lain dosen mengalami kekurangan waktu pembelajaran. Akibatnya data tentang aktivitas tersebut tidak terjaring oleh pengamat. Bila dicermati ternyata 56,67 % aktivitas mahasiswa dari seluruh waktu KBM digunakan untuk memperhatikan/mendengarkan penjelasan dosen. Ditinjau dari tugas perencanaan kedua yaitu dosen harus mempertimbangkan mahasiswa (Arend, 1997: 207) dimana dosen harus memilih cara untuk mendorong partisipasi mahasiswa yang heterogen, maka tampak pembelajaran seperti berpusat pada dosen. Sedangkan keterampilan berdiskusi yang dilakukan oleh mahasiswa masih rendah yaitu sebesar 6,32 %. Rendahnya aktivitas berdiskusi ini kemungkinan disebabkan karena kegiatan pembelajaran mata kuliah kimia dasar belum pernah menggunakan model ini. Maka dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa untuk berdiskusi perlu terus dilatihkan dan dikembangkan. 2. Pengelolaan pembelajaran diskusi. Peranan dosen dalam mengelola KBM dapat dikategorikan hampir cukup baik dengan skor 2,75 untuk skala penilaian 1-4. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosen berhasil mengoperasikan perangkat pembelajaran berdasarkan RPP yang telah direncanakan. 3. Hasil belajar mahasiswa. Pencapaian ketuntasan belajar secara keseluruhan sebelum pembelajaran sampai akhir pembelajaran mengalami peningkatan. Berdasarkan analisis data pada THB produk menunjukkan bahwa 42 mahasiswa telah tuntas berdasarkan ketuntasan kurikulum yang ada di UNESA. Dilihat ketuntasan seluruh THB produk, semua indikator telah tuntas. Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa seluruh mahasiswa menguasai materi pembelajaran kimia karbon. Semua butir soal THB produk termasuk efektif karena sensifitasnya berada antara 0-1. 4. Motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran. Dalam tabel 4.3 dan 4.4 menunjukkan bahwa motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran baik, hal ini disebabkan karena adanya dana penelitihan yang diberikan kepada dosen sehingga kesiapan dosen untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi perkuliahan lebih baik daripada tidak ada penelitian. Sehingga mahasiswa juga lebih termotivasi dan lebih berminat untuk mengikuti perkuliahan.
151
Dari beberapa informasi hasil penelitian ini, menunjukkan bukti bahwa proses belajar mengajar dengan model pembelajaran diskusi yang menggunakan pembelajaran beserta instrumen pengukurannya dapat mengaktifkan mahasiswa dan dosen serta merangsang mereka beraktivitas dan responsif. Semua itu merupakan indikator penting yang menunjukkan peningkatan kualitas pembelajaran. Secara optimis dapat diprediksi bahwa apabila proses pembelajaran dilakukan dengan cara yang benar dengan memanfaatkan perangkat pembelajaran yang tepat akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kelemahan-kelemahan Penelitian. Kelemahan dalam penelitian ini antara lain ; pada fase think materi pembelajaran tidak diuraikan dalam LKM tetapi ada pada buku mahasiswa, sehingga dosen merasa kesulitan dalam mengarahkan diskusi. Hal ini mempengaruhi aktivitas dosen dan memperbanyak aktivitas mahasiswa untuk mendengarkan penjelasan dosen. Aktivitas dosen dan mahasiswa untuk menjelaskan materi pelajaran dan mendengarkan penjelasan dosen sangat menyita waktu sehingga pembelajaran berlangsung melebihi waktu yang telah ditetapkan.
Simpulan Berdasarkan analisis data, diskusi hasil penelitian serta permasalahan yang ada dalam penelitian ini maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Peranan dosen dalam mengelola KBM dapat dikategorikan hampir cukup baik dengan skor 2,75 untuk skala penilaian 1-4. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosen berhasil mengoperasikan perangkat pembelajaran berdasarkan RPP yang telah direncanakan. 2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data aktivitas dosen dan mahasiswa menunjukkan bahwa persentase aktivitas dosen dalam kegiatan belajar mengajar cukup baik, dilihat dari rata-rata waktu yang digunakan oleh dosen untuk mengamati kegiatan mahasiswa (4,4 %), mengajukan pertanyaan (13,3 %), serta dalam menegakkan aturan diskusi yaitu menanggapi pertanyaan atau gagasan mahasiswa, menerapkan waktu tunggu, dan membimbing kegiatan sebesar (31,3 %) dari seluruh waktu kegiatan belajar mengajar. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh dosen sesuai dengan sintaks pembelajaran diskusi dalam Arend (1997:202). 56,67 % aktivitas mahasiswa dari seluruh waktu KBM digunakan untuk memperhatikan/mendengarkan penjelasan dosen. Ditinjau dari tugas perencanaan kedua yaitu dosen harus mempertimbangkan mahasiswa (Arend, 1997: 207) dimana dosen harus memilih cara untuk mendorong partisipasi mahasiswa yang heterogen, maka tampak pembelajaran seperti berpusat pada dosen. Sedangkan keterampilan berdiskusi yang dilakukan oleh mahasiswa masih rendah yaitu sebesar 6,32 %. 3. Dalam tabel 4.3 dan 4.4 menunjukkan bahwa motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran baik, hal ini disebabkan karena adanya dana penelitian yang diberikan kepada dosen sehingga kesiapan dosen untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi perkuliahan lebih baik daripada tidak ada penelitian. Sehingga mahasiswa juga lebih termotivasi dan lebih berminat untuk mengikuti perkuliahan. 4. Berdasarkan analisis data pada THB produk menunjukkan bahwa 42 mahasiswa telah tuntas berdasarkan ketuntasan kurikulum yang ada di UNESA. Dilihat
152
ketuntasan seluruh THB produk, semua indikator telah tuntas. Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa seluruh mahasiswa menguasai materi pembelajaran kimia karbon. Semua butir soal THB produk termasuk efektif karena sensifitasnya berada antara 0-1.
Saran Kelemahan dalam penelitian ini unsur utamanya disebabkan karena LKM kurang bernuansa diskusi setrategi TPS. Sehingga peneliti perlu mendapatkan dana PPKP ke-2 untuk melanjutkan pengembangkan LKM yang bernuasa diskusi TPS pada materi kimia karbon.
DAFTAR PUSTAKA Arends, RI. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc. Bettencourt, A. 1989. What is contructivism and why are they all talking about it? Michigan State University. Duffy, T.M. & Cunningham, D.J., 1996. Contructivism : Implication for the Design and Delivery of Instruction. In Jonassen, H.H. (ed) Handbook of Research for Educational Communication and Technology. New York McMillan. Kemp, J.E., Morrison G.R., dan Ross, S.M., 1994. Designing Effective Instruction. New York: Mac Millan Colledge Publishing Company. Pannen, P. 2000. Pendekatan Konstruktivisme. Draft bahan ajar PEKERTI/AA. Jakarta : PAU-PPAUI-UT. Piaget, J. 1971. Psychology and Epistimology. New York. The Viking Press Rinaningsih. 2002. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kimia SMU Pokok Bahasan Pencemaran Lingkungan Dengan Model Pengajaran Berdasarkan Masalah. Tesis Magister Pendidikan Surabaya. Program Pasca SArjana Universitas Negeri Surabaya. Rinaningsih, 2005, Model Pembelajaran PBI Sebagai Alternatif Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi di SMU, Prosiding, 401. Slavin, Robert. E., 1994. Educational Psikology Theory into Practise. Boston: Allyn and Baakon Publisher. Truckman, B.W., 1978. Conducting Educational research. Second Edition. New York. Harcourt Brace Javanovich. Von Glasserfeld, E., 1989. Cognition, Construction of Knowledge and Teaching. Syntese, 80, 121-140.
153
Fenomena Pembelajaran IPA Pada SMP Terbuka Di Kabupaten Probolingggo Ditinjau Dari Tenaga Pendidik Mahda Suroya, Suyono Pendahuluan Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan suatu bangsa. Untuk itulah sepantasnya dilakukan peningkatan dan penyempurnaan pendidikan agar dapat mencapai sasaran yang lebih tepat. Peningkatan dan penyempurnaan mutu pendidikan dilakukan melalui penuntasan program wajib belajar sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 berimplikasi bahwa semua anak di Indonesia berhak mendapatkan pelayanan pendidikan dasar meskipun mereka berasal dari keluarga kurang mampu atau tinggal di daerah yang sangat terpencil. Hal tersebut perlu disadari karena tujuan utamanya menampung semua anak usia pendidikan dasar. Untuk mencapai sasaran program wajib belajar sembilan tahun, pemerintah telah menyusun strategi untuk mencapai sasaran, diantaranya dengan mengembangkan sistim pendidikan alternatif. Strategi pendidikan alternatif ini didasarkan oleh adanya pertimbangan bahwa meskipun kapasitas sekolah sudah ditingkatkan, masih banyak anak usia sekolah yang belum tertampung, antara lain karena miskin dan tidak mampu membiayai sekolah Sistim pendidikan alternatif diimplementasikan melalui sekolah biasa tetapi dilakukan melalui beberapa tipe sekolah non konvensional. Salah satu contoh tipe sekolah non konvensional adalah SMP Terbuka. SMP Terbuka diperuntukkan bagi peserta didik dengan kriteria tertentu, antara lain: anak-anak lulusan SD/MI yang berusia 13–15 tahun atau maksimal 18 tahun yang kurang beruntung karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis atau menghadapi kendala waktu untuk mencari nafkah sendiri atau membantu orang tua bekerja sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengikuti pelajaran sebagai siswa SMP Reguler. Probolinggo merupakan salah satu daerah di Jawa Timur dengan penuntasan wajib belajar sembilan tahun yang tidak merata yaitu pada daerah kota tergolong sebagai daerah Tuntas Paripurna yaitu >95% dalam penuntasan wajib belajar dan pada daerah kabupaten tergolong sebagai daerah Belum Tuntas yaitu <80%. Hal ini membuktikan bahwa penuntasan wajib belajar sembilan tahun di Probolinggo mengalami kesenjangan dalam penuntasan wajib belajar antara daerah kota dan kabupaten. Seperti telah diketahui bahwa salah satu usaha pemerintah untuk menyukseskan wajib belajar sembilan tahun adalah dengan membuka SMP Terbuka. Kota Probolinggo memiliki 16 buah SMP Terbuka dan 4 TKB Mandiri yang tersebar di wilayah kabupaten dengan 64 TKB yang letaknya tersebar di sekitar sekolah induk. Jumlah murid 2.253 siswa dengan 241 guru bina dan 129 guru pamong (Data SMP Terbuka Depdiknas Kabupaten Probolinggo, 2006). Data kelulusan siswa SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo tahun 2006 yang diperoleh melalui studi dokumentasi yaitu sebanyak 306 siswa (65%) dari 466 siswasiswi SMP Terbuka di Kabupaten Probolingo yang tidak lulus Ujian Nasional (UN) 2006. Adapun nilai UN tertinggi yang diperoleh oleh siswa SMP terbuka Kabupaten Probolinggo adalah 23,74 dengan perincian nilai 9,20 untuk Bahasa Indonesia, nilai 8,20 untuk Bahasa Inggris, dan nilai 7,33 untuk Matematika. Sedangkan nilai UN terendah pada SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo adalah 4,80 dengan perincian nilai
154
2,60 untuk Bahasa Indonesia, nilai 2,40 untuk Bahasa Inggris, dan nilai 1,67 untuk Matematika. Rendahnya prestasi akademik siswa SMP Terbuka dibanding siswa SMP Reguler dalam prestasi belajar yang termasuk pada mata pelajaran yang di-UN-kan (UN=Ujian Nasional) di Kabupaten Probolinggo menginspirasi peneliti untuk melakukan kajian terhadap fenomena atau pelaksanaan pembelajaran di SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo. Sesuai dengan latar belakang pendidikan peneliti, maka kajian fenomena pembelajaran di SMP Terbuka diarahkan kepada Mata Pelajaran IPA. Fenomena yang dikaji di SMP Terbuka ini meliputi beberapa aspek, di antaranya: kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, ketenagaan, dan peserta didik. Tujuan Penelitian Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui fenomena yang terjadi dalam pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo. Adapun tujuan secara rinci adalah sebagai berikut: (1) Mengetahui kesesuaian pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo dengan kurikulum SMP/MTs, (2) Mengetahui kualifikasi ketenagaan pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo ditinjau dari sisi pembelajaran IPA, (3) Mengetahui pengadaan sarana dan prasarana penunjang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo, dan (4) Mengetahui kualifikasi peserta didik dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo. Dalam seminar kimia ini, tujuan penelitian difokuskan untuk mengetahui kualifikasi tenaga pendidik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo ditinjau dari sisi pembelajaran IPA. Hal ini dilakukan karena kualifikasi ketenagaan memiliki fenomena yang menarik. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan sebuah refleksi tentang pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran IPA. Refleksi yang dikembangkan diarahkan kepada upaya-upaya perbaikan kinerja pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo di tahun-tahun mendatang. Metode Penelitian Sasaran penelitian adalah fenomena pembelajaran IPA pada SMP terbuka di Kabupaten Probolinggo khususnya ditinjau dari peserta didik. Sumber data dalam penelitian ini adalah SMP Terbuka yang ada di Kabupaten Probolinggo. Adanya keterbatasan tenaga dan waktu serta untuk meningkatkan intensitas penelitian maka dari 16 SMP Terbuka yang ada dipilih 8 SMP Terbuka sebagai sumber data. SMP Terbuka yang terpilih di antaranya: SMP Terbuka Tegalsiwalan, SMP Terbuka Banyuanyar, SMP Terbuka Maron, SMP Terbuka Krejengan, SMP Terbuka Gading, SMP Terbuka Sumberasih, SMP Terbuka Wonomerto, dan SMP Terbuka Sukapura. Rancangan penelitian yang dilakukan mengikuti rancangan “Ex Post Facto” dengan pendekatan triangulasi. Keterpercayaan data tentang sesuatu hal diverifikasi dari sumber lebih dari satu. Jika dua orang menyatakan merah, sementara satu orang yang lain menyatakan coklat, maka peneliti menetapkan bahwa warna itu adalah merah. Prosedur pengumpulan data terdiri dari tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi: mencari data, informasi, dan rekomendasi dari Depdiknas Kabupaten Probolinggo. Menyerahkan surat rekomendasi penelitian kepada 8 SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo. Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: pelaksanakan wawancara dan observasi di SMP Terbuka-SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo.
155
Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) mendatangi TKB dan SMP Induk sesuai dengan jadwal waktu yang disepakati antara peneliti dan nara sumber (guru pamong, guru bina, dan pengelola SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo); (2) melakukan wawancara dan observasi lapangan menggunakan instrumen yang telah divalidasi sebelumnya. Wawancara dan observasi ditujukan untuk mencocokkan komponenkomponen pembelajaran yang seharusnya ada dengan komponen-komponen pembelajaran yang ada sesuai kenyataan di TKB dan sekolah yang telah direkomendasikan untuk penelitian oleh Depdiknas Kabupaten Probolinggo; dan (3) mencatat hal-hal penting diluar yang tertulis pada instrumen pengumpulan data pada lembaran tersendiri. Dalam proses pengumpulan data peneliti menggunakan alat bantu penelitian berupa kamera foto. Data yang terkumpul mengantarkan peneliti pada analisis data penelitian. Instrumen pengumpulan data yang digunakan meliputi pedoman wawancara, lembar observasi, angket dan kamera foto. Adopsi instrumen lebih diarahkan kepada empat komponen sekolah yaitu: kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, ketenagaan, serta peserta didik. Panduan wawancara dan observasi digunakan oleh peneliti untuk menggali informasi lebih dalam dengan batasan agar infomasi yang diperoleh tepat dan tidak meluas. Angket dibagikan kepada siswa agar diperoleh informasi tentang komponen peserta didik. Sebelum digunakan, instrumen tersebut telah divalidasi oleh beberapa orang yang pernah terlibat sebagai asesor dalam akreditasi sekolah. Instrumen foto digunakan sebagai dokumentasi pada pengumpulan data di lapangan. Data yang telah diperoleh dianalisis keabsahannya dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi yaitu metode pemeriksaan dengan sumber lainnya yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipilah-pilah sesuai dengan fokus penelitian dan masalah yang akan dijawab. Deskripsi dan narasi kualitatif diberikan pada setiap pertanyaan penelitian yang akan diberikan pembahasan. Simpulan diinduksikan dari jawaban-jawaban elementer penelitian. Hasil dan Pembahasan Penelitian Penyajian data penelitian diikuti dengan hasil analisis terhadap masing-masing data sesuai dengan tujuan penelitian, maka sajian data dan analisisnya meliputi: (1) Kesesuaian Pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo dengan Kurikulum dan Pembelajaran di SMP/MTs; (2) Kualifikasi Ketenagaan pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo Ditinjau dari Sisi Pembelajaran IPA, (3) Sarana dan Prasarana Penunjang Pembelajaran IPA yang ada di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo, dan (4) Kualifikasi Peserta Didik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini dilakukan pada 8 SMP Terbuka yang terdapat di Kabupaten Probolinggo. Masing-masing SMP Terbuka memiliki jumlah TKB yang berbeda-beda. Jumlah TKB yang terdapat di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo sangat beragam, antara lain SMPT Tegalsiwalan berjumlah 6TKB, SMPT Banyuanyar berjumlah 9 TKB, SMPT Maron berjumlah 5 TKB, SMPT Krejengan berjumlah 8 TKB, SMPT Gading berjumlah 2 TKB, SMPT Sumberasih berjumlah 1 TKB, SMPT Wonomerto berjumlah 3 TKB, SMPT Sukapura berjumlah 2 TKB. Sumberasih berjumlah 1 TKB, jumlah yang lebih kecil dibanding yang lain. Hal ini terjadi karena SMP Terbuka Sumberasih telah mengalami pemutusan kerjasama dalam pengembangan SMP
156
Terbuka oleh salah satu TKB. Informasi ini didapat saat dilakukan wawancara dengan Waka SMP Terbuka selaku pengelola. Kualifikasi Tenaga Pendidik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo Ditinjau dari Pembelajaran IPA Tabel 1 Ringkasan Hasil Analisis untuk Kualifikasi Guru Bina dan Guru Pamong pada SMPT Tegalsiwalan, SMPT Banyuanyar, SMPT Maron, SMPT Krejengan, SMPT Gading, SMPT Sumberasih, SMPT Wonomerto, SMPT Sukapura di Kabupaten Probolinggo SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo SMPT Tegalsiwalan
SMPT Banyuanyar
SMPT Maron
SMPT Krejengan
SMPT Gading
SMPT Sumberasih
SMPT Wonomerto
SMPT Sukapura
Kualifikasi ketenagaan Guru Bina dan Guru Pamong Guru Bina
Guru Pamong
Telah memenuhi kualifikasi dan memiliki latar belakang pendidikan S1 dengan landasan keilmuan MIPA Telah memenuhi kualifikasi dan memiliki latar belakang pendidikan S1 dengan landasan keilmuan MIPA Tidak memenuhi kualifikasi ketenagaan karena tidak pernah melakukan kegiatan tatap muka dengan siswa Telah memenuhi kualifikasi ketenagaan dengan latar belakang pedidikan S1-Biologi yang sekaligus merangkap mengajar fisika Terdapat satu guru bina yang tidak sesuai dengan kualifikasi karena latar belakang pendidikan yang dimiliki tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena latar belakang pendidikan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan Tidak dilampirkan karena pada pelaksanaannya guru bina menyerahkan pengelolaan TKB Mandiri sepenuhnya kepada pengelola (guru pamong) Kualifikasi ketenagaan karena latar belakang pendidikan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan
Tidak memenuhi kualifikasi guru pamong rumpun IPA dengan latar belakang pendidikan terendah D2 dan terdapat satu yang tidak memenuhi karena lulusan IPS Telah memenuhi kualifikasi guru pamong yaitu guru MI,SD, dan MTs yang peduli dengan SMP Terbuka Telah memenuhi kualifikasi guru pamong yaitu guru SD dan tokoh masyarakat yang peduli dengan SMP Terbuka dan lulusan MA/SMA Sekitar 50% guru pamong rumpun IPA telah memenuhi kualifikasi ketenagan, selebihnya tidak karena latar belakang pendidikan hanya lulusan SMA/MA Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena merupakan kepala sekolah, guru MI, dan guru Ra
Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena merupakan guru MI dan guru MTs
Memenuhi kualifikasi ketenagaan guru pamong rumpun karena latar belakang pendidikan lulusan S1.
Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena merupakan guru SD dan SMP
Dengan memperhatikan data pada Tabel 1 dapat diberikan analisis sebagai berikut: a. SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo yang memenuhi kualifikasi guru bina IPA adalah SMPT Tegalsiwalan, SMPT Banyuanyar, SMPT Krejengan, SMPT Sumberasih, dan SMPT Sukapura. Sedangkan pada SMPT Gading yang menyebabkan kurang adalah karena terdapat salah satu guru bina yang tidak sesuai dengan kualifikasi karena latar belakang pendidikan yang dimiliki tidak sesuai 157
dengan mata pelajaran yang diajarkan. Sedangkan untuk kualifikasi kualifikasi guru pamong pada SMPT di Kabupaten Probolinggo telah memenuhi kualifikasi ketenagaan. b. SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo yang tidak memenuhi kualifikasi ketenagaan guru bina adalah SMPT Maron dan SMPT Wonomerto. Sedangkan kualifikasi guru pamong rumpun IPA yang kurang memenuhi kualifikasi ketenagaan yaitu pada SMPT Tegalsiwalan dan SMPT Krejengan karena latar belakang pendidikan hanya lulusan SMA/MA. Di TKB (Tempat Kegiatan Belajar), siswa dibimbing oleh guru pamong sebagai fasilitator. Pada perkembangannya mulai dari tahun 2003-2004 status guru pamong ditingkatkan menjadi tutor yang diharapkan akan membantu siswa dalam belajar lebih intensif di TKB (www.dwp.or.id). Guru pamong pada umumnya adalah guru SD atau anggota masyarakat yang bertugas memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar siswa rajin dan bersemangat dalam belajar mandiri. Upaya terobosan untuk meningkatkan kualitas belajar di TKB, guru pamong dipersyaratkan sekurang-kurangnya D3 pendidikan untuk rumpun mata pelajaran IPA, Bahasa, dan IPS. Hal ini dimaksudkan agar guru pamong dapat membantu memecahkan kesulitan belajar siswa khususnya selama merek belajar di TKB (Depdiknas, 2005). Pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo, guru pamong pada TKB reguler umumnya bertugas memberikan motivasi kepada siswa agar siswa rajin dan bersemangat dalam belajar mandiri. Selain itu guru pamong pada TKB regular bertugas mendampingi dan mencatat pertanyaan-pertanyaan dari siswa kemudian menyampaikannya kepada guru bina serta menjaga apabila ada waktu kosong. Guru pamong pada TKB Mandiri diarahkan sebagai guru pamong rumpun IPA, hal ini dimaksudkan agar guru pamong dapat membantu kesulitan belajar siswa khususnya selama mereka belajar di TKB tanpa harus menunggu kedatangan guru bina. SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo pada umumnya mengunakan pola tatap muka alternatif 3, yaitu dimana kegiatan tatap muka berlangsung selama 2 hari dalam seminggu (12 jam di TKB oleh guru bina). Pola tatap muka tidak diadakan di SMP Induk dikarenakan jarak tempuh yang sangat jauh antara TKB dengan SMP Induk, sulitnya transportasi, serta karena pengaruh rendahnya perekonomian siswa. Guru bina datang ke TKB sesuai dengan jadwal yang telah disepakati oleh siswa dan guru. Kurangnya jam mengajar akan mempengaruhi pembelajaran karena materi yang disampaikan sangat banyak sedangkan waktu untuk proses belajar mengajar kurang sehingga tidak mengherankan ketika guru bina mengambil kebijakan meniadakan evaluasi formatif tapi mengganti dengan tugas. Jika dilihat pada tabel-tabel tentang kualifikasi guru bina dan guru pamong, pada kualifikasi guru bina di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo masih terdapat guru bina yang kualifikasi latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang studi IPA yang diajarkan, sedangkan untuk kualifikasi guru pamong masih terdapat guru pamong yang tidak sesuai untuk mengajar IPA pada SMP Terbuka. Hal ini akan mempengaruhi dalam pembelajaran IPA karena jika ada siswa yang bertanya tentang pelajaran IPA terdapat kemungkinan mereka tidak dapat menjawab pertanyaan siswa. Upaya SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo untuk meningkatkan kualifikasi guru pamong rumpun IPA pada TKB Mandiri belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, hal ini terbukti dengan adanya guru rumpun IPA yang hanya lulusan SMA/MA. Simpulan dan Saran
158
Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan simpulan penelitian sebagai berikut:. 1. Kualifikasi guru bina sudah layak atau sangat sesuai dengan bidang IPA karena 100% berasal dari SMP Induk tetapi pada SMP Terbuka Gading terdapat satu guru bina yang bukan beasal dari bidang IPA. Pada SMP Terbuka Maron guru bina tidak pernah menghadiri kegiatan tatap muka dengan siswa. Kualifikasi guru pamong sudah layak atau sesuai karena 100% merupakan guru SD/MI dan tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Kualifikasi guru pamong rumpun IPA kurang sesuai karena masih terdapat persyaratan latar belakang pendidikan D3 guru pamong rumpun IPA yang tidak terpenuhi. 2. Sarana dan prasarana sebagai penunjang pembelajaran IPA yang ada di SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo banyak yang tidak dimiliki. Penggunaan sarana dan prasarana yang dimiliki SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo masih belum optimal. SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo yang menggunakan fasilitas sarana dan prasarana di SMP Induk hanya SMP Terbuka Banyuanyar pada saat kegiatan tatap muka. Pada SMP Terbuka lain di Kabupaten probolinggo yang menggunakan fasilitas SMP Induk hanya pada saat akan menghadapi UN. 3. Kualifikasi peserta didik SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo secara umum sudah sesuai yaitu menurut usia dan asal sekolah mereka. Namun kurangnya kesadaran dari siswa dan orang tua siswa tentang pendidikan dan kondisi keadaan ekonomi menyebabkan siswa kurang berprestasi dalam bidang IPA. 4. Dari simpulan-simpulan tersebut dapat dibuat simpulan umum yaitu pembelajaran IPA SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo masih belum maksimal. Ini ditandai dengan tidak digunakannya media pembelajaran, rendahnya kualitas guru pamong, penggunaan kurikulum yang tidak efektif, dan rendahnya kesadaran siswa untuk menuntut ilmu. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan serta ditemukannya simpulan-simpulan, penulis mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berukut: 1. Kurikulum yang digunakan pada SMP terbuka adalah sama dengan kurikulum yang digunakan pada SMP Reguler. Namun kurikulum SMP Reguler dikaji dan dijabarkan melalui pengembangan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar (PDKBM) bagi siswa SMP Terbuka. Oleh karena itu silabus dan RPP untuk mata pelajaran IPA perlu dibuat secara khusus oleh guru bina untuk SMP Terbuka melalui pengembangan PDKBM. 2. Siswa SMP Terbuka berhak mendapatkan fasilitas yang sama dengan siswa SMP Induk tidak terkecuali dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Oleh karena itu, SMP Induk perlu meminjamkan sarana dan prasarana seperti: laboratoium IPA, ruang media, dan perpustakaan kepada SMP Terbuka untuk menunjang pembelajaran IPA. 3. Hasil monitoring dan evaluasi terhadap SMP Terbuka yang dilakukan Direktur Pembinaan SMP ditindaklanjuti dengan upaya-upaya perbaikan pembelajaran di SMP Terbuka. Upaya-upaya itu, misalnya: perbaikan kualitas guru pamong, perbaikan kurikulum di SMP Terbuka, perbaikan sarana dan prasarana di SMP Terbuka, dan peningkatan kesadaran belajar siswa dengan memberikan motivasi.
159
4. Catatan kesulitan siswa dan materi esensial merupakan buku penghubung antara guru bina dan guru pamong. Pentingnya catatan kesulitan siswa dan materi esensial yang dibuat oleh guru pamong adalah agar dapat memberi masukan atau gambaran kepada guru bina terhadap daya serap siswa sehingga dapat mempermudah dalam menetapkan tindakan yang akan dilakukan terhadap pembelajaran IPA. 5. Kepedulian pihak pemerintah melalui Depdiknas Kabupaten Probolinggo sangat diperlukan dalam menunjang keberadaan SMP Terbuka. Pentingnya kepedulian dari pihak pemerintah dalam memperhatikan keberadaan SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo dapat membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi SMP Terbuka. Sehingga antara pihak pengelola dan pemerintah terjadi timbal balik yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak dalam rangka memajukan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Probolinggo. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2005. Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Dalam Rangka Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Kegiatan Pengembangan SMP Terbuka dan Pendidikan Alternatif. Depdiknas. 2005. Petunjuk Operasional SMP Terbuka. Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Depdiknas. 2005. Petunjuk Praktis Bagi Guru Bina. Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Depdiknas. 2005. Petunjuk Praktis Bagi Guru Pamong. Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Moleong, Lexy J., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mari Kita Mengenal SMP Terbuka. http://www.dwp.or.id/prg/pagel.php?utk=590&ctg=INF. 22 September 2006.
160