PENENTUAN ZONA PENANGKAPAN POTENSIAL DAN POLA MIGRASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PERAIRAN KECAMATAN LIUKANG TUPABBIRING KABUPATEN PANGKEP
SUHARTONO NURDIN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009
TESIS
PENENTUAN ZONA PENANGKAPAN POTENSIAL DAN POLA MIGRASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PERAIRAN KECAMATAN LIUKANG TUPABBIRING KABUPATEN PANGKEP
Disusun dan diajukan oleh
SUHARTONO NURDIN Nomor Pokok P0104206002
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 20 November 2009 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Ir. H. Achmar Mallawa, DEA Ketua
Dr. Mukti Zainuddin, S.Pi., M.Sc Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Perikanan,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Prof. Dr. Ir. H. Achmar Mallawa, DEA
Prof. Dr. dr. Razak Thaha, M.Sc
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini Nama Nomor mahasiswa Program studi
: : :
Suhartono Nurdin P0104206002 Ilmu Perikanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan Tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 20 November 2009 Yang menyatakan
Suhartono Nurdin
ABSTRAK SUHARTONO NURDIN. Penentuan Zona Penangkapan Potensial dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep (dibimbing oleh Achmar Mallawa dan Mukti Zainuddin). Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi hubungan antara jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) dengan kondisi oseanografi meliputi klorofil-a, suhu permukaan laut, kedalaman, salinitas, dan kecepatan arus (2) Menentukan zona penangkapan potensial dan pola migrasi ikan ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan data sampling sebanyak 92 titik. Data di analisis menggunakan model regresi (non linear) cobb douglass dengan metode backward. Hasil model kemudian dipetakan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperoleh zona penangkapan potensial dan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, Faktor oseanografi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan adalah klorofil-a, suhu permukaan laut, dan kedalaman. Kedua, zona potensi penangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) yang paling potensial yaitu pada bulan April 2009 dengan posisi 119o22’01,2” - 119o24’28,8” BT dan 4o43’24,3” - 4o45’50,8” LS, dengan luas areal 16,66 km2 (0,0468%) dan jarak ke fishing ground 12,33 mil laut. Ketiga, Pergerakan ikan Kembung (Rastrelliger spp) cenderung mengabaikan kelimpahan klorofil-a yang tinggi disebabkan karena pengaruh faktor suhu yang lebih dominan, dimana pergerakannya berada di sekitar perairan dengan kondisi suhu yang hangat karena daerah tersebut merupakan daerah terjadinya front.
ABSTRACT SUHARTONO NURDIN. The Determining of Potential Fishing Zone and Migration Pattern of Indian Mackerel (Rastrelliger spp) in the Coastal Water of Liukang Tupabbiring District of Pangkep Regency (Supervised by Achmar Mallawa and Mukti Zainuddin). The objectives of the study are to (1) identify the relationship between Indian Mackerel (Rastrelliger spp) and the oceanographic conditions including chlorophyll-a, sea surface temperature, the depth, salinity, and current velocity; (2) predict potential fishing zone and migration pattern of the fish in the coastal waters of Liukang Tupabbiring District of Pangkep Regency. The study was a survey involving a sample of 92 spots. The data were analyzed using Cobb Douglass (non-linear) Regression model with backward method. The Outcome was then mapped out by means of Geographical Information Systems (GIS) to describe the potential fishing zone and migration pattern of Indian Mackerel (Rastrelliger spp).
The study indicates that (1) the oceanographic factors (chlorophyll-a, sea surface temperature, and the depth) influence the catch; (2) the most potential fishing zone of Indian Mackerel is in April 2009, at the longitudes of 119o22’01,2” - 119o24’28,8” E and the latitudes of 4o43’24,3” 4o45’50,8” S with an area size of 16,66 km2 (0,0468%) and the distance to the fishing ground is 12,33 nautical miles, and (3) the movement of the fish tends to ignore high abundance of chlorophyll-a due to the influence of temperature factor is more dominant. Their movement centre in the area with warm temperature because such an area is the front area.
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap
: H. Suhartono Nurdin, S.Pi
Nomor Pokok
: P 0104206002
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat/Tgl. Lahir : Pinrang, 7 Juli 1982 Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Bugis/Indonesia
Alamat Rumah
: Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Blok K/458 Tamalanrea, Makassar
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Instansi
: Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Sul-Sel
Alamat Instansi
: Jl. Baji minasa No. 12 Makassar
Program Studi
: Ilmu Perikanan
Tanggal Lulus
: 20 November 2009
Nomor Alumni
: 10626
IPK
: 3,86
Predikat Kelulusan : Sangat Memuaskan Judul Tesis
: Penentuan Zona Penangkapan Potensial dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep.
Pembimbing
: 1. Prof. Dr.Ir. H. Acmar Mallawa, DEA 2. Dr. Mukti Zainuddin, S.Pi, M.Sc
(Ketua) (Anggota)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan atau yang lebih dikenal dengan nama Kabupaten Pangkep, secara geografis berada diantara 110º 113º BT dan 4º40’ - 8º00’ LS, terletak di wilayah pantai barat Sulawesi Selatan, memiliki luas wilayah keseluruhan sebesar 12.362,73 Km2 dengan luas wilayah laut sebesar 11.464,44 Km2 (www.Pangkep.go.id, 2007). Potensi wilayah laut yang luasnya kurang lebih 92.7% dari total luas wilayahnya, merupakan salah satu modal besar, sebagai penyedia sumberdaya alam hayati yang berlimpah dan beraneka ragam di Kabupaten Pangkep.
Salah satunya adalah sumberdaya perikanan
tangkap, khususnya jenis ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting bagi masyarakat setempat. Ikan Kembung (Rastrelliger spp) adalah salah satu jenis ikan pelagis kecil yang paling banyak tertangkap oleh nelayan di Kabupaten Pangkep.
Berdasarkan data lima tahun terakhir, produksinya berkisar
antara 854,9 - 1.823 ton per tahun, jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan jenis lainnya seperti Tembang, Layang, Selar, Lemuru, dll. Akan tetapi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir produksinya mengalami
penurunan
yang
cukup
signifikan
disebabkan
karena
penurunan jumlah trip/upaya penangkapan (DKP Prov. Sul-Sel, 2009).
Perbandingan total produksi ikan Kembung dengan jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting lainnya selama lima tahun terakhir, dari tahun 2004 hingga 2008 dapat dilhat pada Gambar 1 berikut:
Produksi Ikan Pelagi Kecil Ekonomis Penting Kab. (2003-2007) Produksi Ikan Pelagi Kecil Ekonomis Penting Kab. Pangkep Pangkep (2003-2007) Produksi Ikan Pelagis Kecil Ekonomis Penting Kabupaten Pangkep (2004-2008) 2000 2000 1800 1800
Produksi(Ton) (Ton) Produksi
1600 1600 1400 1400
Layang Series1 Series1 Selar Series2 Series2
1200 1200
Tembang Series3 Series3 Lemuru Series4 Series4
1000 1000 800 800
Kembung Series5 Series5
600 600 400 400 200 200 00 2004 2004
2005 2005
2006 2006
2007 2007
2008 2008
Tahun Tahun
Gambar 1.
Perbandingan total produksi ikan Kembung (Rastrelliger spp) dengan jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting lainnya dari tahun 2004 hingga 2008 di Kabupaten Pangkep (Sumber: DKP Prov. Sul-Sel, 2009).
Salah satu alat tangkap yang paling efektif digunakan oleh nelayan di Kabupaten Pangkep untuk menangkap ikan Kembung adalah alat tangkap purse seine atau pukat cincin (DKP Kab. Pangkep, 2008). Kegiatan operasi penangkapan ikan oleh nelayan pada umumnya hanya berdasarkan pada pengalaman yang berulang-ulang dan informasi yang berasal dari sesama nelayan. Sementara ketersediaan ikan pada suatu wilayah selalu berubah seiring dengan perubahan lingkungan, dalam hal ini salah satu faktor yang paling besar pengaruhnya adalah faktor oseanografi, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun jangka waktu panjang, yang menyebabkan ikan akan memilih tempat yang sesuai
dengan kondisi fisiologinya, dan akan mempengaruhi pola perilaku ikan, berupa
gerak
pindah
untuk
penyesuaian
terhadap
kondisi
yang
menguntungkan bagi eksistensinya. Kondisi tersebut tentu saja berdampak buruk bagi nelayan, karena nelayan tidak mengetahui secara pasti tentang keberadaan ikan yang menjadi target tangkapannya.
Umumnya nelayan berangkat dari
pangkalan bukan langsung menangkap ikan akan tetapi terlebih dahulu mencari lokasi penangkapan sehingga nelayan selalu berada dalam ketidak pastian tentang lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan. Hal ini
tentu saja akan menyebabkan pemborosan dalam hal waktu,
tenaga dan biaya operasional penangkapan. Selain itu, hasil tangkapan menjadi kurang optimal dan tidak pasti, sehingga akhirnya akan berimbas pada penghasilan nelayan. Mencermati masalah tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang dinamika sumberdaya ikan, khususnya ikan kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep dengan menganalisis pola migrasi serta mengidentifikasi dan memetakan daerah penangkapan potensial melalui survey berbagai parameter oseanografi secara langsung serta dipadukan dengan penggunaan teknologi untuk memperoleh data dan informasi tentang karakteristik oseanografi di perairan tersebut.
Dalam hal ini, sebagai alternatif yang sangat tepat
adalah penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentransformasi, memanipulasi, dan menganalisis data-data geografis. Sehingga output yang dihasilkan nantinya, diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan kembung yang lebih optimal.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan faktor oseanografi terhadap jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp)? 2. Dimana zona penangkapan potensial ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep? 3. Bagaimana pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep, serta faktorfaktor yang mempengaruhinya?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi hubungan antara jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) dengan faktor oseanografi. 2. Menentukan zona penangkapan potensial ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep.
3. Menentukan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep serta faktorfaktor yang mempengaruhinya.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan informasi geografis bagi nelayan, pelaku industri penangkapan ikan serta pemerintah daerah setempat mengenai kondisi daerah penangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan
Liukang Tupabbiring
Kabupaten
Pangkep,
sehingga
potensinya dapat di manfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. 2. Sebagai bahan rujukan dan perbandingan pengetahuan untuk penelitian lebih lajut pada waktu, musim, serta lokasi yang berbeda.
E. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan yang nyata antara kondisi oseanografi dengan jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp). 2. Ikan Kembung (Rastrelliger spp) cenderung akan berkumpul pada daerah
yang
memliki
kehidupannya.
kodisi
Fenomena
osenaografi tersebut
yang
dapat
optimum
digunakan
bagi untuk
memprediksi zona penangakapan potensial. 3. Kondisi oseanografi akan menentukan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp).
F. Ruang Lingkup Penelitian
1. Batasan waktu studi Pengambilan sampel dilakukan pada musim Timur yaitu pada bulan April hingga Juni tahun 2009.
2. Batasan wilayah studi Stasiun untuk pengambilan sampel data lapangan pada penelitian ini berada di wilayah perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep, dengan fishing base di pulau Sanane.
Pengambilan data
menggunakan alat tangkap purse seine.
3. Batasan materi studi Batasan materi studi sebagai berikut: 1. Zona penangkapan potensial yang dimaksud adalah pembagian zona penangkapan dengan luas dan posisi lintang-bujur pada wilayah fishing ground penelitian.
Zona tersebut diperoleh
berdasarkan gabungan jumlah hasil tangkapan antara peta zona hasil tangkapan lapangan dengan peta zona hasil tangkapan model prediksi (Y Model). 2. Pola migrasi yang dimaksud adalah pola pergerakan ikan yang didapatkan dari analisis pergerakan daerah penangkapan ikan berdasarkan nilai CPUE prediksi di setiap titik fishing ground yang kemudian dengan teknik SIG dibuatkan model sebagai arah
pergerakan
ikan.
Setiap
titik
penangkapan
dipetakan
menggunakan program ArcView 3.3 yang diplotkan dengan time series per dua hari dan dari model tersebut akan diperoleh pola pergerakan ikan Kembung (Rastrelliger spp) di lokasi penelitian.
G. Landasan Teori
1.
Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya (Nelwan, 2004).
2.
Ikan pelagis tersebar secara horisontal dan vertikal pada sebagian wilayah.
Daerah penangkapan akan selalu berbeda pada setiap
lintang dan bujur, hal sama juga berdasarkan kedalaman renang ikan (Nomura dan Yamasaki, 1975). 3.
Migrasi yang berhubungan dengan “habitat selection” dikontrol oleh faktor lingkungan (faktor oseanografi) seperti suhu, salinitas dan klorofil-a (kelimpahan makanan ikan) (Mallawa, 2009).
4.
Keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme mempunyai kesenangan/toleransi yang berbedabeda (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional,2007).
5.
Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara periodik (Reddy, 1993).
6.
Salinitas air berpengaruh pada produksi, distribusi dan lamanya hidup ikan serta orientasi migrasi. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya (Gunarso, 1985).
7.
Arus dan perubahannya sangat penting dalam operasi penangkapan, perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan
(Laevastu dan
Hela,1970). 8.
Ikan pelagis akan bermigrasi mengikuti pola arus tertentu untuk mendapatkan suhu optimalnya serta mendapatkan daerah yang cocok untuk memijah dan mencari makan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2007).
9.
Kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat hara. Ikan-ikan pelagis
berkembang habitatnya
atau
berasosiasi
pada
jarak
kedalaman tertentu (Hutabarat dan Evans,1984). 10. Indeks klorofil-a dapat dihubungkan dengan produksi ikan atau menggambarkan tingkat produktivitas dearah penangkapan ikan karena digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu (Gower dalam Zainuddin, Dkk., 2007).
11. Produktivitas
primer
suatu
perairan
dapat
membantu
dalam
penentuan lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan, karena daerah tersebut akan menjadi tempat sangat di sukai oleh berbagai spesies laut, karena terjadi proses rantai makanan (Nontji, 1993). 12. Pemanfaatan SIG dalam perikanan tangkap dapat mempermudah dalam operasi penangkapan ikan dan penghematan waktu dalam pencarian fishing ground yang sesuai (Dahuri, 2001). 13. Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kelautan.
kemampuan
SIG
dan
penginderaan
jauh
Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut
yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas (Zainuddin, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Klasifikasi ikan Kembung (Rastrelliger spp) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Class
: Pisces
Sub Class
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Scombroidea
Family
: Scombridae
Genus
: Rastrelliger
Species
: 1. Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1816) 2. Rastrelliger brachysoma (Bleeker, 1851)
Ciri dari ikan ini umumnya badan relatif memanjang, 2 sirip punggung terpisah, 2 baris bintik hitam dipunggung, perut kekuningan, sebuah bercak hitam di belakang dasar sirip dada.
Sirip ekor sangat
cagak. Ukuran maksimal 34,5 cm – 35 cm (FL). Termasuk ikan bernilai komersial tinggi (Kimura et al., 2007).
Gambar 2. Gambar ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) (Sumber: http://www.fishbase.org/).
Gambar 3. Gambar ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Sumber: http://www.fishbase.org/). Ciri lain dari ikan Kembung yakni bersisik cycloid. Bersisik dua, yang pertama berjari-jari keras dan yang kedua sebagian berjari-jari lemah. Badan sebagian bersisik ataupun sama sekali tidak ada. Bentuk badan seperti torpedo/fusiform (Alamsjah, 1974). Ikan Kembung Perempuan dan Kembung Lelaki dapat dibedakan dengan jelas menurut warna dan tinggi badannya. Ikan Kembung Lelaki mempunyai warna biru kehijauan pada bagian punggungnya dan putih kekuningan pada bagian perutnya dan terdapat dua garis bintik-bintik hitam pada sirip dada.
Selain itu mempunyai satu garis warna gelap
memanjang pada bagian atas rusuk dan dua garis keemasan di bawah
garis rusuk. Ikan Kembung Perempuan memiliki sirip punggung berwarna kuning keabuan dengan pinggiran gelap sedangkan sirip dada, perut kuning maya (sedikit gelap) dan tidak sepadat Kembung Lelaki.
Ikan
Kembung Lelaki mempunyai bentuk tubuh yang lebih langsing sedangkan Kembung Perempuan bentuk tubuhnya lebih besar dan pendek. Tapis insang pada ikan Kembung Perempuan lebih halus karena plankton makanannya terdiri atas plankton yang berukuran kecil seperti diatom dan larva-larva kopepod. Ikan Kembung Lelaki tapis insangnya lebih kasar karena makanannya pun merupakan plankton yang berukuran besar (Nontji, 2002). Panjang tubuh ikan Kembung Lelaki dapat mencapai 35 cm tetapi pada umumnya 20 – 25 cm dan Kembung Perempuan memiliki panjang 15 -20 cm dan untuk ukuran besar dapat mencapai 30 cm. Panjang tubuh ikan Kembung Lelaki adalah 3,4 – 3,8 kali tinggi tubuhnya. kepala lebih dari tingginya.
Panjang
Panjang tubuh ikan Kembung Perempuan
adalah 3,1 – 3,4 kali tinggi tubuh. Panjang kepala sama dengan tinggi tubuhnya (Saanin, 1984).
B. Habitat dan Distribusi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Ikan kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial
dan
tertangkap
(Burhanuddin, Dkk., 1984).
hampir
diseluruh
perairan
Indonesia
Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) hidup pada kisaran kedalaman 20 – 90 meter,
daerah penyebarannya di daerah beriklim
tropis, sekitar 34° LU – 24° LS dan 30° BT - 180° BT tepatnya di daerah Indo-West Pacific yaitu di sekitar Laut Merah, sebelah Timur Afrika hingga ke daerah Indonesia, sebelah Utara hingga ke daerah Kepulauan Ryukyu dan China, sebelah Selatan hingga ke daerah Australia, Melanesia dan Samoa. Masuk ke wilayah sebelah Timur Laut Tengah hingga Terusan Suez. Sedangkan ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) hidup pada kisaran kedalaman 15 – 200 meter, dengan suhu berkisar antara 20 – 30°C, daerah penyebarannya di daerah beriklim tropis, sekitar 18° LU - 18° LS dan 93° BT - 180° BT, tepatnya di daerah Samudera yaitu di sekitar daerah Laut Andaman hingga ke Thailand, Indonesia, Papua New
Guinea,
Filipina,
(http://www.fishbase.org/).
Kepulauan
Solomon
dan
Fiji
Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4
dan Gambar 5 berikut:
Gambar 4. Daerah penyebaran ikan Kembung Lelaki kanagurta) (Sumber: http://www.fishbase.org/)
(Rastrelliger
Gambar 5. Daerah penyebaran ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Sumber: http://www.fishbase.org/)
C. Pola Migrasi Ikan Pelagis Kecil Migrasi populasi adalah sebuah pergerakan terarah yang terus menerus sesuai dengan kemampuannya sendiri dari satu habitat ke habitat lain (Digle, 1996) Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya (Nelwan, 2004). Ikan pelagis kecil hidup pada daerah pantai yang relatif kondisi lingkungannya tidak stabil menjadikan kepadatan ikan juga berfluktuasi dan cenderung mudah mendapat tekanan akibat kegiatan pemanfaatan, karena daerah pantai mudah dijangkau oleh aktivitas manusia. Menurut Widodo et al. (1998), ikan pelagis kecil mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu:
a) Membentuk gerombolan yang terpencar-pencar. b) Variasi rekruitmen cukup tinggi yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan yang labil. c) Selalu melakukan ruaya baik temporal maupun spasial. d) Aktivitas gerak cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bentuk badan menyerupai torpedo. e) Kulit dan tekstur yang mudah rusak, daging berkadar lemak relatif tinggi, mengakibatkan mudah mengalami kerusakan mutu. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan suatu sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton, sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Hal tersebut menyebabkan kelimpahan sumberdaya ini akan berbeda kelimpahannya pada setiap wilayah perairan (Nelwan, 2004). Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebaranya adalah di perairan dekat pantai, di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling) dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke dalam Nelwan, 2004). Ikan tersebar secara horisontal dan vertikal pada sebagian wilayah. Daerah penangkapan akan selalu berbeda pada setiap lintang dan bujur, hal sama juga berdasarkan kedalaman renang ikan. dijelaskan bahwa alasan utama sebagian spesies
Selanjutnya
berkumpul pada
sebagian area disebabkan beberapa hal sebagai berikut: • Ikan akan memilih lingkungan hidupnya sesuai dengan kondisi tubuh.
• Ikan akan mencari sumber makanan yang banyak. • Ikan
akan
mencari
tempat
yang
cocok
untuk
pemijahan
dan
perkembangbiakan (Nomura dan Yamasaki, 1975). Studi mengenai ruaya ikan merupakan hal yang fundamental untuk perikanan, karena dengan mengetahui lingkaran ruaya ikan akan diketahui batas-batas daerah dimana stok atau sub populasi itu hidup. Sama seperti pada binatang lain, ruaya pada ikan biasanya aktif, tetapi kadang-kadang pergerakannya pasif dari satu tempat ke tempat lain. Berdasarkan hal ini terdapat bermacam-macam ruaya pada ikan (Cushing dalam Effendi, 2002). Hamston et. al. (2000) menjelaskan dua tipe pergerakan migrasi ikan: (1) Migrasi karena pengaruh faktor internal (migrasi aktif) yakni pergerakan terarah dari ikan sebagai respon terhadap perubahan ontogenetic dalam kebutuhan biologis.
(2) Migrasi karena
faktor
eksternal (migrasi pasif) yakni pergerakan dalam suatu habitat sebagai sebuah respon terhadap kondisi biotik dan abiotik setempat. Tingkah laku ikan dalam migrasi aktif lebih sering dipicu oleh kebutuhan mencari makan dan reproduksi, seperti pergerakannya menuju daerah pemijahan. Pergerakan ruaya ke daerah pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. Sedangkan migrasi pasif dikontrol faktor lingkungan (faktor oseanografi) seperti suhu, salinitas dan klorofil-a (kelimpahan makanan ikan) (Effendie, 2002).
Dalam beberapa literatur ilmiah juga dikatakan ruaya pengungsian yaitu, ruaya untuk menghindarkan diri dari tempat yang kondisinya tidak baik, atau meninggalkan tempat daerah makanan untuk beruaya ke tempat yang buruk tetapi diperlukan untuk melengkapi daur hidupnya sebagai awal ruaya pemijahan. Hal ini terjadi di daerah yang bermusim empat ada ikan yang melakukan ruaya ”overwintering” yaitu pada musim dingin pergi meninggalkan tempat daerah makanannya menuju ke daerah tempat lain selama musim dingin (Effendie, 2002). Ikan akan mengadakan ruaya, baik itu ruaya pemijahan, ruaya ke daerah makanan dan pembesaran ataupun ruaya pengungsian tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Dalam garis
besarnya faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar ialah faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan di dalam aktivitas ruaya ikan. Faktor dalam adalah faktor yang terdapat di dalam tubuh
misalnya
sekresi
kelenjar
hormon
dan
lain-lainnya
yang
berhubungan dengan faktor luar tadi (Effendie, 2002). Taksis adalah pergerakan pada ikan disebabkan karena pengaruh faktor luar yang menjadi perangsang. berhubungan dengan ruaya.
Pada ikan taksis ini erat sekali
Sebab-sebab yang menjadi sumber
pengaruh dalam pergerakan ini banyak, namun kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu alimetal taksis (trophotaksis), sensori taksis, dan reproduktif taksis.
Klasifikasi taksis yang lebih terperinci adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi taksis dan perangsangnya (Effendie, 2002) Kelompok Gerakan
Alimetal taksis (Trophotaksis)
Sensor Taksis
Nama Gerakan 1. Bromotaksis
- Nurisi
2. Branchiotaksis
- Pernafasan
3. Thermotaksis
- Suhu
1. Phototaksis
- Cahaya
2. Chimiotaksis
- Garam-garam terlarut
- Halotaksis
- Bau dari obyek yang
- Osmotaksis
Reproduksi Taksis
Perangsang
terendam (makanan)
3. Rheotaksis
- Arus
1. Gamotaksis
- Lawan jenis
D. Alat Tangkap Purse Seine Purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang tanpa kantong dengan banyak cincin di bagian bawahnya dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan dan berada dekat dengan permukaan air (sea surface). Seperti juga pada alat penangkapan ikan lainnya, maka satu unit purse seine terdiri dari jaring, kapal, dan alat bantu (roller, lampu, dan sebagainya).
Cara operasinya adalah dengan
melingkarkan jaring ini mengurung gerombolan ikan. Setelah ikan terkurung
bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dilewatkan pada cincin-cincin di bagian bawah jaring (Martasuganda, 2004).
Sedangkan
menurut Burhanuddin, Dkk. (1984), purse Seine digolongkan jenis jaring lingkar yang cara operasinya dengan melingkarkan jaring pada suatu kelompok ikan pada suatu perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa alat ini merupakan perkembangan jaring pantai (beach seine) dan jaring lingkar (ring net). Disebut pukat cincin karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin dimana terdapat “tali cincin” (purse line) atau tali “kerut” di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut tersebut agar jaring yang semula tidak berkantong akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan (Subani dan Barus, 1989). Prinsip penangkapan ikan dengan purse seine ialah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, sehingga jaring tersebut membentuk dinding vertikal, dengan demikian gerakan ikan ke arah horisontal dapat dihalangi. Setelah itu, bagian bawah jaring dikerucutkan untuk mencegah ikan lari ke arah bawah jaring (Sudirman dan Mallawa, 2004). Sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan “pelagic shoaling species” yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah membentuk shoal (gerombolan), berada dekat degan permukaan air (sea surface) dan sangatlah diharapkan densitas shoal tersebut tinggi yang berarti jarak ikan dengan ikan lainnya haruslah sedekat mungkin (Ayodhyoa, 1981). Jenis-jenis tersebut pada umumnya disebut sebagai
ikan pelagis yang hidupnya senang berkelompok (shoaling) seperti ikan Layang (Decapterus sp), ikan Kembung (Sardinella
spp),
Cakalang
(Rastrelliger sp), Lemuru
(Katsuwonus
pelamis)
dan
lain-lain
(Renjaan,1981). Purse seine termasuk salah satu alat tangkap utama yang menangkap Ikan Kembung. Alat tangkap ini paling efisien menangkap Ikan Kembung dengan bantuan cahaya dilihat dari rasio jumlah total ikan berukuran komersil yang tertarik oleh cahaya dan jumlah total ikan yang tertangkap (Ben-Yami, 1987).
E. Daerah Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah perairan tempat ikan
berkumpul
dimana
dapat
dilakukan
penangkapan.
Daerah
penangkapan ikan dibedakan menurut sifat daerah perairan, jenis ikan yang tertangkap dan alat tangkap yang digunakan. Tidak dapat dikatakan bahwa semua bagian laut didiami oleh ikan.
Ikan tersebar secara
horisontal dan vertikal pada sebagian wilayah.
Daerah penangkapan
akan selalu berbeda pada setiap lintang dan bujur, hal sama juga berdasarkan kedalaman renang ikan (Nomura dan Yamasaki, 1975). Gunarso (1985) menyatakan bahwa ada beberapa daerah penangkapan ikan, yakni pada perbatasan atau pertemuan arus panas dan arus dingin yang disebut dengan front, pada daerah terjadi pembalikan lapisan air (upwelling), terjadinya arus pengisian (divergensi) dan lain sebagainya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor musim dan
perubahan
suhu
mempengaruhi
tahunan
penyebaran
serta ikan
berbagai serta
keadaan
kelimpahan
lain
suatu
akan daerah
penagkapan ikan (fishing ground). Daerah penangkapan yang harus dicari adalah perairan yang kaya dengan jenis ikan pelagis yang senang hidup berkelompok (shoaling) di permukaan dalam jumlah yang cukup besar, arus perairan tidak terlalu deras dan terarah, kedalaman perairan harus lebih dalam daripada lebar jaring dan perairan tersebut tidak berbatu, agar tidak merusak jaring (Renjaan, 1981).
F. Faktor Oseanografi
1. Klorofil-a Klorofil-a menentukan
merupakan
produktivitas
salah primer
satu di
parameter laut
yang
sangat
(Presetiahadi,
1994).
Produktivitas primer suatu perairan dapat membantu dalam penentuan lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan, karena daerah tersebut akan menjadi tempat sangat di sukai oleh berbagai spesies laut, karena terjadi proses rantai makanan (Nontji, 1993). Konsentrasi klorofil-a biasa disebut dengan pigmen photosintetik dari phytoplankton. Pigmen ini dianggap sebagai indeks terhadap tingkat produktivitas biologis.
Di perairan laut, indeks klorofil ini dapat
dihubungkan dengan produksi ikan
atau
menggambarkan tingkat
produktivitas dearah penangkapan ikan karena digunakan sebagai ukuran
banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu. Keberadaan konsentrasi klorofil-a diatas 0.2 mgm-3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting (Gower dalam Zainuddin, Dkk., 2007). Brown (1989) menyatakan bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu
perairan
tertentu
dan
dapat
digunakan
sebagai
petunjuk
produktivitas perairan. Menurut Nontji (2002) nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mgm-3, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim
timur (0,24
mgm-3) menunjukkan
dibandingkan musim barat (0,16 mgm-3).
nilai yang lebih besar
Daerah-daerah dengan nilai
klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi fisika suatu perairan. Sebaran klorofil-a dilaut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan
pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai.
Tingginya sebaran
konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrient dalam jumlah besar melalui runn-of dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrient dari daratan secara langsung (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2007).
2. Suhu Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa suhu di laut sangat mempengaruhi
aktivitas
metabolisme
maupun
pengembangbiakan
organisme. Disamping itu suhu berperan terhadap jumlah oksigen (O2) terlarut dalam air.
Semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan
oksigen dalam air, sedangkan kebutuhan oksigen bagi ikan dan organisme lain semakin besar karena tingkat metabolisme semakin tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah penguapan, arus permukaan, keadaan awan, radiasi matahari, gelombang, pergerakan konveksi, upwelling, divergensi, muara sungai pada daerah estuaria dan garis pantai.
Kemudian
ditambahkan oleh (Nontji, 2002) bahwa suhu permukaan air dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan cahaya matahari.
Walaupun fluktuasi suhu air kurang bervariasi, tetapi tetap merupakan faktor pembatas karena organisme air mempunyai kisaran toleransi suhu yang sempit (stenoterm). Perubahan suhu air juga akan mempengaruhi kehidupan dalam air.
Selain itu suhu berpengaruh
terhadap keberadaan organisme di perairan, banyak organisme termasuk ikan melakukan migrasi karena terdapat ketidaksesuaian lingkungan dengan suhu optimal untuk metabolisme (Nybakken, 1992). Keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme
mempunyai
kesenangan/toleransi
yang
berbeda-beda.
Perubahan suhu 0,5 oC sudah merupakan perubahan yang cukup signifikan bagi ikan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional,2007). Fluktuasi suhu dan perubahan geografis ternyata bertindak sebagai faktor penting yang merangsang dan menentukan pengkonsentrasian serta pengelompokan ikan. Tiap spesies ikan menghendaki suhu yang optimum, dan perubahan temperatur musiman juga mempengaruhi perilaku kelompok ikan sama jenis, berarti berbeda kelompok spesies ikan berbeda pula pengaruhnya. Temperatur merupakan indikator ekologi untuk mencari lingkungan dengan temperatur optimum, sehingga menyebabkan ikan melakukan migrasi secara vertikal, dan horizontal yang berhubungan dengan musim (mendekati atau menjauhi pantai) (Hasyim dan Chandra, 1996).
Reddy (1993) menyatakan bahwa lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut thermoklin atau lapisan diskontinuitas suhu.
Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam
karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).
Mixed layer
mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah thermoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.
Perubahan
suhu
jangka
panjang
dapat
mempengaruhi
perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara periodik. Nontji (2002) menyatakan bahwa pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan thermoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.
Fluktuasi jangka pendek dari
kedalaman thermoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus.
Di bawah lapisan thermoklin suhu menurun secara
perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman.
Fluktuasi dan
perubahan geografis merupakan faktor penting yang dapat merangsang dan menentukan pengkonsentrasian serta pengelompokan ikan.
Suhu
beserta perubahannya juga merupakan faktor penting dalam penentuan dan penilaian daerah penangkapan ikan.
Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali
dan
memilih
range
suhu
tertentu
yang
memberikan
kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Suhu air laut adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme
maupun
perkembangbiakan
(Hutabarat dan Evans, 1984).
dari
organisme
tersebut
Ditambahkan oleh Laevastu dan Hela
(1970) bahwa keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme mempunyai kesenangan/toleransi yang berbedabeda. Perubahan suhu 0,10C sudah merupakan perubahan yang cukup signifikan bagi ikan. Suhu permukaan laut merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan bagi keberadaan dan fenomena sumberdaya hayati laut dan dinamikanya.
Citra suhu permukaan laut
(SPL) dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan thermal front di perairan tersebut
yang
(Priyanti,1999).
merupakan
daerah
potensi
penangkapan
ikan
Suhu di permukaan perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28 – 31ºC. Perairan ini terdiri atas laut Jawa, Flores, Selat Malaka, Laut Sulawesi, Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Selat Sunda di lokasi dimana penarikan air (Up Welling) terjadi, misalnya di laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai berkisar sekitar 25ºC, ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas (Nontji, 1993). Menurut Lursinap et al. dalam Burhanuddin, S. dkk (1984) bahwa faktor lingkungan dan dasar perairan serta biota dasar perairan sangat berpengaruh pada proses pemijahan, untuk ikan Kembung yang akan melakukan pemijahan mencari daerah yang mempunyai kisaran suhu antara 28,0 0C – 29,34 0C.
3. Kedalaman Perairan Indonesia pada umumnya dapat dibagi dua yakni perairan dangkal yang berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan atau perairan laut dangkal adalah zona laut terhitung mulai garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 – 200 m, yang kemudian biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut (Nontji,1993). Kondisi
bathymetri
memberikan
informasi
mengenai
tingkat
kedalaman suatu perairan dan tofografi lautnya. Kondisi ini mempunyai hubungan dengan keadaan sirkulasi air misalnya peristiwa pusaran eddy, daerah frontal dan area upwelling yang sangat penting untuk menemukan daerah yang potensial untuk menangkap ikan. Faktor kedalaman sangat berpengaruh dalam pengamatan dinamika oseanografi dan morfologi
pantai seperti kondisi arus, ombak, dan transpor sedimen. Selanjutnya dikatakan bahwa kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat hara. Dengan hubungan yang erat tersebut memungkinkan suatu kondisi yang membentuk ciri khas tersendiri dimana ikan-ikan pelagis berkembang habitatnya atau berasosiasi pada jarak kedalaman tertentu (Hutabarat dan Evans,1984). Adanya layer atau lapisan yang berbeda pada kedalaman berbeda berdasarkan lintang dan bujur pada bagian perairan. Fokus pada bidang equator dimana jarak antara permukaan dan lapisan thermoklin tidak terlalu jauh dibandingkan daerah/bagian yang lain dimana suhu permukaan dan lapisan thermoklin dicapai pada lapisan yang sangat jauh (Brown, 1989).
4. Salinitas Menurut Nontji (1993), salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0
/00 (per mil, gram perliter). Tidak semua organisme laut dapat hidup di air dengan konsentrasi
garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2 kelompok organisme laut, yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas, dan organisme stenohaline yang memerlukan konsentrasi garam yang konstan dan tidak berubah.
Kelompok pertama misalnya adalah ikan
yang bermigrasi seperti salmon, belut, lain-lain yang beradaptasi sekaligus
terhadap air laut dan air tawar.
Sedangkan kelompok kedua, seperti
udang laut yang tidak dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim (Reddy, 1993). Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah-daerah yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi.
Berbeda dengan keadaan suhu yang
relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air (King dalam Presetiahadi, 1994). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai.
Di
perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan dengan salinitas homogen suhu juga biasanya homogen, kemudian di bawahnya terdapat lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji, 1993). Menurut Nybakken (1988), nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar, air laut, curah hujan, musim, topografi, estuaria, pasang surut dan laju evaporasi.
Salinitas air berpengaruh pada produksi, distribusi dan lamanya hidup ikan serta orientasi migrasi. Salinitas berkaitan erat dengan gejala tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya (Gunarso, 1985). Faktor lingkungan dan dasar perairan serta biota dasar di tempat pemijahan telah diamati oleh Lursinap et al. dalam Burhanuddin, S. dkk (1984), yang menyatakan bahwa kisaran salinitas yang sesuai dengan daerah pemijahan ikan Kembung yakni 32 – 32,5 %o.
5. Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan bergelombang panjang, misalnya pasang surut. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat banyak ditentukan oleh angin (Nontji, 2002). Ditambahkan oleh Nybakken (1988) bahwa
angin
mendorong
bergeraknya
air
permukaan
sehingga
menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu mengangkat volume air yang sangat besar melintasi jarak dilautan. Keadaaan arus ini mempengaruhi pola penyebaran organisme. Pada peralihan musim Barat – Timur (Februari – April) arah arus bergerak ke Timur dengan massa air dari laut Jawa mendorong masuk ke Laut Timur, sebagaian arus mengarah ke Utara memasuki Selat Makassar kemudian berbelok mendekati perairan pantai Sulawesi dan bergerak
kembali menuju ke arah Timur. Pada musim Timur (Mei – Juli) arah arus dari Timur ke Barat memasuki Laut Jawa dan arah arus dari Laut Sulawesi bergerak dari Utara ke Selatan melalui Selat Makassar. Pada peralihan musim Timur – Barat (Agustus – Oktober) arah arus melemah ke Barat memasuki Laut Jawa dan arah arus ke Selatan melewati Selat Makassar. Dan sebagian arus bergerak ke arah Barat Laut sebagai pertanda akhir musim peralihan (Yahya. Dkk., 2000). Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.
Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil
biasanya berada pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddy (melalui rantai makanan) (Reddy, 1993). Arus
dan
perubahannya
sangat
penting
dalam
operasi
penangkapan, perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan (Laevastu dan Hela,1970).
Ikan bereaksi secara langsung terhadap
perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus.
Arus tampak jelas dalam organ
mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan.
Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus (Reddy, 1993). Menurut Gunarso (1985), Ikan juga ternyata memanfaatkan arus laut untuk melakukan pemijahan, mencari makan ataupun sehubungan dengan proses-proses pengembangannya. Hal ini dapat dilihat pada larva ikan yang hanyut dari areal pemijahan (spawning ground) menuju areal pembesaran (nursery ground) yang berdekatan dengan areal makan (feeding area) mereka. Ditambahkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2007) bahwa Ikan pelagis akan bermigrasi mengikuti pola
arus
tertentu
untuk
mendapatkan
suhu
optimalnya
serta
mendapatkan daerah yang cocok untuk memijah dan mencari makan. Faktor-faktor lain yang menentukan keberadaan suatu sediaan (stock) adalah salinitas, kandungan oksigen, kecerahan dan lain-lain. Dalam pengoperasian alat tangkap khususnya yang menggunakan jaring seperti purse seine, trawl, cantrang, bagan rambo dan gillnet, faktor arus
sangat
mempengaruhi
keberhasilan
operasi
penangkapan.
Umumnya alat tangkap jaring hanya dapat memberikan toleransi terhadap kecepatan arus sampai kecepatan 3 knot. Misalnya pada purse seine, ketika kecepatan lebih dari 3 knot maka kegiatan pelingkaran akan sangat susah untuk dilaksanakan bahkan umumnya terjadi kegagalan (Sudirman dan Mallawa, 2004).
G. Sistem Informasi Geografis (SIG)
1. Konsep dasar sistem informasi geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) atau singkatan bahasa Inggrisnya GIS (Geographic Information System) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah data base. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini (Anonim,2007). Menurut Burrough dalam Dahuri, dkk (2001) bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan himpunan alat (tool) yang digunakan
untuk
pengumpulan,
penyimpanan,
pengaktifan,
sesuai
kehendak, pentransformasian, serta penyajian data spasial dari suatu fenomena nyata permukaan bumi untuk maksud-maksud tertentu. Lebih lanjut Paryono dalam Hanafi (2004) menjelaskan bahwa teknologi ini berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informatika atau teknologi komputer. Teknologi komputer mampu menangani basis data (data base), menampilkan suatu gambar (grafik) dan merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk menyajikan suatu peta. Dimana dapat menghasilkan informasi berharga yang diperoleh dari hasil analisis yang diprogramkan padanya.
SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis diatas peta dapat disajikan dalam dua model data yaitu model data raster dan model data vektor (Spasial). Model data raster merupakan data yang dinyatakan dengan grid atau cell (baris, Kolom), sedangkan model data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, polygon) dalam struktur format vektor atau dalam koordinat (x,y). Struktur data vektor merupakan suatu cara untuk membandingkan informasi garis dan areal ke dalam bentuk satuansatuan data yang mempunyai besaran, arah, dan keterkaitan (Burrogh, 1986 dalam Dahuri, dkk., 2001). SIG merupakan alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolan sumberdaya yang berwawasan lingkungan.
Pemanfaatan
teknologi dalam perikanan tangkap dapat mempermudah dalam operasi penangkapan ikan dan penghematan waktu dalam pencarian fishing ground yang sesuai. Dengan pengaplikasian sistem informasi georafis dalam perikanan tangkap diharapkan
dapat mengurangi biaya operasi
dari kapal ikan, merencanakan manajemen penangkapan yang efektif bagi sumberdaya perikanan laut, evaluasi potensi sumberdaya perikanan laut (Dahuri, 2001).
2. Komponen-komponen sistem informasi geografis SIG merupakan sistem yang kompleks dan terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem yang lain, baik ditingkat fungsional maupun jaringan (Yousman, 2003).
Komponen penting dalam SIG terbagi atas 5
komponen yakni pelaksana, perangkat keras, perangkat lunak, prosedur dan data. Secara global kelima komponen tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen yakni: sistem komputer (perangkat keras, perangkat
lunak, dan
prosedur);
data dan organisasi pelaksana
(Prahasta,2004). Berdasarkan
komponen
tersebut
diatas
maka
SIG
pada
penerapannya, harus mempunyai kapasitas berfungsi sebagai:
Pengumpulan dan pemasukan data yaitu SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan dan mengintegrasikan data-data yang berhubungan dengan posisiposisi di permukaan bumi.
Pembentukan data base yaitu SIG sebagai kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak untuk mengelola dan memetakan informasi spasial berikut dengan data atributnya dan akurasi data kartografi.
Analisis yaitu SIG sebagai teknologi informasi yang dapat menganalisis dan menampilkan, baik data spasial maupun non spasial.
Penerapan aplikasi dan produk yaitu SIG sebagai perangkat lunak yang langsung dapat mempresentasikan real world di atas monitor dan dapat menghasilkan out put data geografi dalam bentukbentuk: peta tematik, tabel, grafik, laporan dan lainnya.
Menurut Prahasta, (2001) bahwa SIG terdiri dari beberapa komponen antara lain:
Perangkat Keras.
Perangkat lunak.
Data dan informasi.
Manajemen.
3. Keunggulan sistem informasi geografis Beberapa keuntungan pengolahan data berbasis komputer yang erat kaitannya dengan SIG (Salamun, 2001) antara lain:
Penyimpanan
data (digital) lebih terjamin dan mudah diatur
dibanding penyimpanan data konvensional.
Penggunaan data yang sama (dari sekumpulan peta) dapat dikurangi sebab data digital punya basis data sehingga data yang tersimpan dalam basis data dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dalam aspek yang berbeda.
Kualitas data digital
grafis jauh lebih konsisten.
Pekerjaan revisi menjadi lebih mudah (karena dapat dilakukan secara terpisah) serta cepat (karena basis data digital mampu menangani data dalam jumlah banyak). Produktivitas para pelaksana yang bekerja dalam proses pengumpulan, pengelolaan analisis dan distribusi data akan bertambah.
Analisis, pencarian dan penyajian data menjadi lebih mudah sebab SIG data mempunyai klasifikasi yang jelas (bukan berdasarkan skala dan tema saja). Dengan demikian akan mudah mencari jawaban untuk hal-hal seperti keterdekatan, ada apa (daerah pertanian, permukiman), informasi tentang potensi lahan dan daerah mana yang potensial dijadikan areal pengembangan kota dan sebagainya.
4. Hubungan aplikasi SIG dengan zona potensial penangkapan ikan Masalah
yang
umum
dihadapi
adalah
keberadaan
daerah
penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu berubah/berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai, sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan.
Dengan demikian daerah potensi penangkapan
ikan sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan.
Kegiatan
penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan.
Salah satu cara untuk
mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah melalui studi daerah
penangkapan
ikan
dan
hubungannya
oseanografi secara berkelanjutan (Priyanti, 1999).
dengan
fenomena
Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh kelautan. Dengan
teknologi
inderaja
faktor-faktor
lingkungan
laut
yang
mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara
berkala,
cepat
dan
dengan
cakupan
area
yang
luas
(Zainuddin,2006). Penentuan daerah penangkapan ikan menggunakan metode analisis data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan (Zainuddin, 2006). Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schooling) ikan berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Selanjutnya armada penangkap ikan dapat bergerak ke lokasi tersebut untuk
melakukan
(Zainuddin,2006).
penangkapan
ikan
dengan
cepat
dan
tepat
Menurut Priyanti (1999), pengamatan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan data satelit AQUA yang berkaitan dengan fenomena oseanografi khususnya monitoring fenomena upwelling, thermal front dan fenomena laut lainnya yang harus dilakukan dengan menggunakan data MODIS, karena tidak memerlukan data dengan resolusi spasial yang tinggi mengingat wilayah perairan laut yang sangat luas, tetapi memerlukan resolusi temporal (repetitive time) yang cukup tinggi misalnya setiap 4 jam. MODIS
(Moderate-resolution
Imaging
Spectroradiometer)
merupakan salah satu sensor yang dimiliki EOS (Earth Observing System) dan dibawa oleh dua wahana yang diproduksi oleh NASA yaitu Terra dan Aqua. Sensor Modis merupakan turunan dari sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of view sensor) dan HIRS (High Resoution Imaging Spectrometer) yang dimiliki
EOS
yang
sebelumnya
telah
mengorbit
(http://modis.gsfc.nasa.gov/). Kelebihan sensor Modis dibandingkan dengan sensor global lainnya adalah dalam hal resolusi spasial 250 m, 500 m dan 1 km. Adapun kelebihan lainnya berupa kalibrasi radiometrik, spasial dan spektral
dilakukan
waktu
mengorbit,
peningkatan
akurasi/presisi
radiometrik, peningkatan akurasi posisi geografis. Sensor MODIS terdiri dari 36 band yang mencakup kanal-kanal dari satelit NOAA (National Oceanic Atmosphire Administration), SeaWiFS, HIRS dan satelit global lainnya, sehingga dapat digunakan untuk mengukur parameter dari
permukaan laut hingga ke atmosfer seperti mengukur suhu permukaan air laut, konsentrasi klorofil-a, kandungan uap air dan fenomena-fenamena laut
seperti
terjadinya
(http://modis.gsfc.nasa.gov/).
upwelling,
thermal
front
dan
lain-lain
H. Kerangka Pikir Penelitian Nelayan Aktifitas Penangkapan Tidak Efektif dan Efisien
Zona Penangkapan Potensial dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp)
Purse Seine
Data Base
Data Lapangan
Faktor Oseanografi
Data Sekunder: Bakosurtanal DKP
Data Citera Satelit (AQUA/MODIS)
Hasil Tangkapan
Faktor Oseanografi Klorofil-a Suhu
Klorofil-a Suhu Kedalaman Salinitas Arus
Analisis Data
Uji Normalitas Uji-F Uji-t Analisis Cobb Douglas
Analisis S.I.G
User: Nelayan Industri Penangkapan Akademisi Pemerintah Daerah
Peta Zona Potensi Penangakapan Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Peta Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp)
Gambar 6. Kerangka pikir penelitian
Penentuan zona potensial penangkapan dan pola migrasi ikan Kembung sangat penting dilakukan karena melihat fenomena yang terjadi di nelayan, dimana dalam operasi penangkapan ikan sering terjadi aktifitas penangkapan yang tidak efektif dan efisien sehingga dampaknya akan merugikan nelayan. Studi ini dimulai dengan terlebih dahulu melakukan penyusunan data base melalui pengumpulan data lapangan yang terdiri dari: data faktor oseanografi (klorofil-a, suhu, kedalaman, salinitas dan arus); dan data hasil tangkapan. Pengumpulan data lapangan ini dilakukan dengan cara ikut serta dalam operasi penangkapan pada alat tangkap purse seine. Berikutnya adalah data faktor oseanografi (klorofil-a dan suhu permukaan laut) yang diperoleh dari data citra satelit AQUA/MODIS; yang terakhir adalah data sekunder berupa data potensi ikan Kembung di Kabupaten Pangkep yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi-Selatan dan peta digital Sulawesi-Selatan dari Bakosurtanal. Data lapangan dan data citra satelit AQUA/MODIS kemudian dianalisa secara statistik melalui uji: normalitas, uji-F, uji-t dan analisis cobbdouglass.
Setelah semua data memenuhi syarat, dilanjutkan dengan
analisis sistem informasi geografis (SIG) menggunakan software utama yaitu ArcView 3.3. Hasil analisis inilah yang kemudian menghasilkan output berupa peta zona potensi penangkapan dan peta pola migrasi ikan Kembung, sehingga dapat dimanfaatkan oleh user (nelayan, pelaku industri penangkapan, akademisi, dan pemerintah setempat).
BAB III
METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juni 2009, di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep (Gambar. 7) dan Laboratorium Kualitas Air Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian diuraikan pada tabel 2 dan 3 berikut: Tabel 2. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian Nama Alat
Kegunaan
Alat Tangkap Purse Seine
Menangkap ikan
Global Position System (GPS)
Menentukan titik sampling
Tali
Mengukur Kedalaman
Handrefraktometer
Mengukur salinitas
Thermometer
Mengukur suhu
Layangan Arus
Mengukur kecepatan arus
Stop Watch
Mengukur kecepatan arus
Timbangan
Menimbang hasil tangkapan
Cool Box
Menampung sampel klorofil-a
Botol Sampel
Menyimpan sampel klorofil-a
Kamera digital
Merekam kegiatan
Alat Tulis Menulis
Mencatat data
Komputer
Mengolah data
Tabel 3. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian. Nama Bahan
Kegunaan
Ikan Kembung (Rastrelliger spp)
Identifikasi jumlah hasil tangkapan
Data Potensi Perikanan Kabupaten Pangkep
Deskripsi potensi perikanan
MgCO3
Mengawetkan air sampel
Peta digital Sulawesi Selatan dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
Pembuatan peta ZPPI dan Pola Migrasi
Data Citra Satelit (suhu dan klorofil-a) dari satelit AQUA/MODIS
Pembuatan peta ZPPI dan Pola Migrasi
Peta Rupa Bumi
Pembuatan peta ZPPI dan pola migrasi
ArcView 3.3, ENVI 4.3, SPSS 12, MS. Office
Mengolah dan menganalisis data penelitian
Kuisioner
Pengambilan data lapangan
C. Metode Penelitian
1. Parameter Pengamatan Parameter utama yang diamati adalah jumlah hasil tangkapan ikan kembung (kg) dan faktor oseanografi yang terdiri dari klorofil-a (mgm-3), suhu (oC), kedalaman (m), salinitas (0/00), dan kecepatan arus (ms-1). 2. Pengumpulan Data Berdasarkan sasaran yang ingin di capai, maka penelitian ini menggunakan dua kelompok data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil pengamatan langsung dilapangan pada operasi penangkapan ikan meliputi jumlah hasil tangkapan, pengukuran parameter oseanografi serta data kuisioner (ukuran kapal, jaring, alat bantu penangkapan, proses penangkapan, serta daerah dan musim penangkapan). Data sekunder berupa data potensi perikanan Kabupaten Pangkep yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, peta digital Sulawesi Selatan
dari
Badan
Koordinasi
Survei
dan
Pemetaan
Nasional
(Bakosurtanal), data citra satelit (suhu dan klorofil-a) dari satelit AQUA/MODIS
dan
didownload
(oceancolor.gsfc.nasagov).
dari
NASA
data
base
3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah sebagai berikut : a. Tahap persiapan Tahap persiapan ini meliputi studi pendahuluan yaitu studi literatur, penyiapan data sekunder, penyusunan proposal, observasi lapangan, konsultasi dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak terkait lainnya serta menyiapkan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penelitian. b. Tahap penentuan stasiun Penentuan stasiun pengambilan sampel dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) yang diplot dengan Peta Digital Kabupaten Pangkep.
Penentuan stasiun berdasarkan titik daerah
penangkapan nelayan setempat dengan tingkat keterwakilan dari areal yang disurvei bersamaan dengan proses hauling. Jumlah titik koordinat yang diambil adalah 92 titik. c. Tahap pengambilan data Pada saat hauling dilakukan pengambilan dan pencatatan data parameter oseanografi (klorofil-a, suhu, kedalaman, salinitas, dan arus), jumlah hasil tangkapan ikan kembung dan data kuisioner sebagai data pendukung.
Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran dan
wawancara langsung dengan nelayan.
Adapun prosedur pengukuran
parameter oseanografi dan pengambilan data hasil tangkapan ikan kembung sebagai berikut:
a) Pengukuran kandungan klorofil-a Pengambilan sampel air laut yang dilakukan pada setiap kali hauling untuk selanjutnya dilakukan pengukuran klorofil-a, caranya yaitu air laut dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi 3 ml larutan MgCO3, kemudian disimpan di dalam coolbox agar sampel air tidak terkena cahaya matahari sehingga metabolisme klorofil-a dapat terhenti.
Selanjutnya air sampel
tersebut di bawah ke laboratorium untuk di lakukan pengukuran kandungan klorofil-a. Proses pengukuran kandungan klorofil-a di laboratorium adalah sebagai berikut:
Air laut disaring dengan menggunakan kertas saring yang terbuat dari bahan organik berukuran 0.45 µm, agar semua fitoplankton yang terdapat pada air tertangkap oleh kertas saring yang dipasang pada alat penyaringan (filter holder). Penyaringan mulai dilakukan dibantu dengan menggunakan pompa hisap kemudian volume air yang telah disaring dicatat.
Bilas dengan larutan megnesium karbonat (MgCO3) ± 10 ml kedalam filter holder dan hisap kembali air suling sampai filter nampak kering. Ambil filter hasil penyaringan dan bungkus dengan aluminium foil (beri label) dan simpan ke dalam desikator aluminium yang berisi silika gel kemudian simpan dalam freezer.
Tambahkan 10 ml larutan aceton 90 % ke dalam tabung 15 ml yang telah berisi sampel (filter) dan kocok sampai filter larut dalam larutan aceton.
Centrifuge (memisahkan larutan dengan endapan) larutan tersebut dengan putaran 4000 rpm selama 30 – 60 menit. Periksa cairan yang bening dengan menuang cairan tersebut ke dalam kuvet 1 cm dan periksa absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750, 664, 647 dan 630 nm.
Untuk menghitung kandungan klorofil-a, absorbansi dari panjang gelombang yang diukur (664, 647, dan 630 nm) dikurangi dengan absorbansi pada panjang gelombang 750 nm. Pengurangan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan nilai absorbansi yang dilakukan oleh klorofil-a, karena pada panjang gelombang 750 nm terdapat penyerapan yang dilakukan oleh klorofil-a (hanya faktor kekeruhan sampel). Kandungan klorofil-a dapat dihitung dengan rumus berikut:
Klor a
11,85x664 1,54 xE 647 0,08xE 630xVe Vsxd
Dimana: E 664
=
Absorbansi 664 nm - absorbansi 750 nm
E 647
=
Absorbansi 647 nm - absobansi 750 nm
E 630
=
Absorbansi 630 nm - absobansi 750 nm
Ve
=
Volume ekstrak aceton (ml)
Vs
=
Volume contoh air yang disaring (liter)
d
=
Lebar diameter kuvet (1 cm, 10 cm, 15 cm)
Selain itu digunakan data sebaran klorofil-a yang diperoleh dari data citra satelit AQUA/MODIS. b) Pengukuran suhu Pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer yang dilakukan pada setiap kali hauling. Selain itu, juga digunakan data suhu permukaan laut yang diperoleh dari data citra satelit AQUA/MODIS. c) Pengukuran kedalaman Pengukuran kedalaman perairan dengan menggunakan metode batu duga yang dilakukan pada setiap kali hauling. Caranya yaitu mula-mula pemberat yang telah dihubungkan dengan tali diturunkan. Setelah mencapai dasar perairan maka bagian tali yang berada tepat di permukaan air diberikan tanda. Kemudian tali dinaikkan dan panjang tali dihitung dari tanda tersebut hingga ke pemberat, sehingga di diperoleh kedalaman perairan tersebut. d) Pengukuran salinitas Pengukuran salinitas dengan menggunakan handrefractometer yang dilakukan pada setiap kali hauling.
e) Pengukuran arus Pengukuran kecepatan arus permukaan dengan menggunakan layangan arus yang dilakukan pada setiap kali hauling. Caranya yaitu pelampung layangan arus diturunkan dan bersamaan dengan itu stopwatch di on-kan, kemudian tali diulurkan hingga terentang dengan sempurna dan stopwatch diof-kan. Kemudian dilakukan perhitungan panjang tali (m) dibagi dengan lama waktu yang digunakan hingga tali terentang sempurna (detik), hasilnya adalah kecepatan arus (ms-1). f) Pencatatan data hasil tangkapan Hasil tangkapan yang berada di dek disortir.
Ikan kembung
dipisahkan dari tangkapan yang lain, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang lalu ditimbang dan di catat total beratnya dalam Kilogram (Kg).
Pencatatan jumlah hasil tangkapan
tersebut dilakukan pada setiap kali hauling.
4. Analisis Data a. Analisis kondisi oseanografi dan hasil tangkapan Pengolahan
data
dilakukan
dengan
menggunakan
bantuan
Software SPSS (Statistical Product and Service Solution) 12. Penelitian ini dilakukan di lapangan dengan berbagai faktor yang sulit untuk dikontrol yang dapat mempengaruhi terjadinya bias pada data hasil pengukuran, sehingga pada penelitian ini menggunakan tingkat kepercayan sebesar 90%. Artinya tingkat kesalahan yang diperbolehkan adalah sebesar 10%
(0,1).
Kondisi oseanografi dan hasil tangkapan dianalisis dengan
beberapa metode statistik sebagai berikut: a) Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji kenormalan distribusi data yang diperoleh di lokasi penelitian. Ada dua cara untuk melihat kenormalan data yaitu secara visual dan dengan uji statistik.
Secara visual menggunakan grafik dan histogram
dengan asumsi yang digunakan berdasarkan grafik normal probability yang terbentuk, jika titik menyebar disekitar garis normal, maka data tersebut dapat dikatakan telah berdistribusi normal, begitu pula sebaliknya (Santosa, dkk., 2005). Uji normalitas data dengan uji statistik digunakan Lilliefors Test (Kolmogorov-Smirnov Test).
Hipotesis yang digunakan yaitu
HO: data berdistribusi normal, H1: data tidak berdistribusi normal. Jika nilai signifikan lebih besar 0,1 maka hipotesis tentang data berdistribusi normal akan diterima (gagal tolak HO), dan jika lebih kecil 0,1 maka data tidak berdistribsi normal (terima H1). b) Analisis Model Fungsi Cobb-douglas Untuk
mengetahui
hubungan
variabel
tak
bebas:
hasil
tangkapan ikan kembung (Y) terhadap hasil pengukuran variabel bebas: klorofil-a (X1), suhu (X2) kedalaman (X3), salinitas (X4) dan kecepatan arus (X5) maka digunakan analisis
cobb-douglas (Pratisto, 2004). Formulasi dari analisis tersebut sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e
Persamaan ini kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma, sebagai berikut:
Log Y = Log a+ b1 LogX1 + b2 LogX2 + b3 LogX3 + b4LogX4 + b5 LogX5 + e
Dimana : Y a b1 b2 b3 b4 b5 X1 X2 X3 X4 X5 e
= = = = = = = = = = = = =
Total hasil tangkapan Koefisien potongan (Konstanta) Koefisien regresi parameter Klorofil-a Koefisien regresi suhu Koefisien regresi Kedalaman Koefisien regresi salinitas Koefisien regresi arus Klorofil-a (mgm-3) Suhu (0C)) Kedalaman (m) Salinitas (‰) Kecepatan Arus (ms-1) Standar Error
c) Analisis Varians (Uji F) Pengujian ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel bebas (independent) secara bersama
terhadap variabel tak bebas
(dependent). Dari tabel Anova didapatkan nilai significance F dimana jika lebih kecil dari 0,1 berarti nyata dan jika lebih besar dari 0,1 berarti tidak nyata (Sudjana, 1996).
d) Analisis Koefisien Regresi (Uji t) Pengujian ini dilakukan untuk melihat pengaruh masing-masing variabel bebas (independent) terhadap variabel tak bebas (dependent) sehingga diperoleh model regresi terbaik.
Dari
tabel summary output didapatkan nilai significance t dimana jika lebih kecil dari taraf hipotesis 0,1 berarti nyata, dan jika lebih besar dari 0,1 berarti tidak nyata (Sudjana, 1996). b. Analisis sistem informasi geografis (SIG) a). Zona penangkapan potensial ikan kembung Pada tahapan ini terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan: 1) Tahap pertama Memasukkan
peta
digital
Sulawesi
Selatan
untuk
mendapatkan gambaran lokasi penelitian, dan sekaligus penentuan batasan wilayah penelitian. 2) Tahap ke dua Melakukan
suatu
topologi
yakni
penyusunan
atau
pemasukkan semua data atribut/database dalam bentuk file Database (*dbf) berupa data parameter oseanografi (suhu, salinitas, arus, klorofil-a, dan kedalaman) serta hasil tangkapan. Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan antara data spasial dengan data atribut setiap parameter yang digunakan. Proses ini menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3.
3) Tahap ke tiga Melakukan interpolasi terhadap hasil tangkapan lapangan dan
hasil
tangkapan
prediksi
(hasil
analisis)
untuk
mendapatkan peta tematik dalam bentuk data spasial. Metode yang digunakan untuk interpolasi adalah Inverse Distance Weightness (IDW) yang mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak. Metode ini memberi bobot lebih tinggi pada sel yang lebih jauh.
Titik-titik pada radius
tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran tiap lokasi.
Setelah interpolasi dilakukan, maka akan terlihat
pembagian zonasi secara otomatis.
Proses ini juga
menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. 4) Tahap ke empat Penyajian hasil analisis berupa grafik tabel dan gambar dalam bentuk zona potensi penangkapan ikan dan disertai penjelasan deskriptif.
Menampilkan peta hasil analisis
dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dan melayoutnya.
Kriteria
penentuan
zona penangkapan
potensial tersebut ditentukan secara otomatis oleh program ArcView GIS 3.3 dengan sistem quartil.
Proses pemasukan data satelit (parameter suhu dan klorofil-a) ke program ArcView 3.3 dapat dilihat pada Gambar 8 berikut:
NASA Data base
Klorofil-a
Suhu
Download
Data HDF
Software ENVI 4.3
Data ASCII
Microsoft Excel
Data DBF
ArcView 3.3 Gambar 8. Proses pemasukan data citra satelit kedalam software ArcView 3.3
b). Pola migrasi ikan kembung (Rastrelliger spp) Untuk mendapatkan pola migrasi ikan Kembung maka daerah potensi sumberdaya ikan Kembung tersebut dipetakan dengan menggunakan teknik SIG (posisi penangkapan dan CPUE prediksi harian).
Selanjutnya pola pergerakan migrasi ikan
diidentifikasi dengan menggunakan pergerakan pusat gravitasi daerah penangkapan ikan. Untuk menentukan pola pergerakan ikan pada tiap-tiap posisi (x dan y) pada jangka waktu tertentu digunakan persamaan sebagai berikut (Lehodey et al ., 1997):
Gx
long (C / F ) (C / F )
dan
Gy
lat (C / F ) (C / F )
Dimana : x
=
Posisi ikan dalam derajat pada garis bujur
y
=
Posisi ikan dalam derajat pada garis lintang
(c / f) =
CPUE prediksi (kg)
Pola pergerakan ikan yang terbentuk berdasarkan rumus pusat gravitasi kemudian diplot ke peta untuk mendapatkan pola pergerakan ikan kembung selama penelitian dan selanjutnya dioverlay dengan parameter oseanografi untuk mendapatkan hubungan antara pergerakan ikan, hasil tangkapan dan kondisi oseanografi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut:
Pengumpulan Data
Data Base
Data Lapangan
Faktor Oseanografi
Data Satelit
Hasil Tangkapan (Y)
Klorofil-a (X1) Suhu (X2) Kedalaman (X3) Salinitas (X4) Arus (X5)
AQUA/MODIS Klorofil-a Suhu
Analisis Data
Normalitas Data
Analisis Data Uji-F Uji-t Analisis Cobb Douglas
“dbf” file Hasil Tangkapan Faktor Oseanografi Pergerakan Pusat Grafitasi
Analisis SIG
Plotting
Interpolasi IDW / Spline
Lay Out
Prediksi Zona Potensial Penangkapan dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp)
Gambar 9. Prosedur analisis SIG untuk penentuan zona penangkapan potensial dan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Daerah Penangkapan
Fishing base dari alat tangkap Purse seine di Perairan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep berada di pulau Sanane Desa Mattiro Adae dengan posisi 119o 20’ 31” BT dan 4
o
56’ 39,5” LS. Waktu yang
diperlukan untuk sampai ke fishing ground tergantung jarak dari fishing base ke fishing ground. Fishing ground terjauh ditempuh sekitar 3 jam dengan kecepatan kapal maksimal 5-6 mil/jam, sedangkan untuk fishing ground terdekat di tempuh sekitar 2 jam. Banyaknya titik penangkapan yang diperoleh selama penelitian berjumlah 92 titik penangkapan.
B. Deskripsi Alat Tangkap Purse Seine
1. Kapal Purse Seine Konstruksi kapal purse seine yang digunakan oleh nelayan di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep pada umumnya sama dengan konstruksi kapal purse seine yang digunakan oleh nelayan di daerah lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, secara umum kapal yang digunakan selama penelitian mememiliki ukuran utama yaitu panjang (L) = 17 - 19 meter, lebar (B) = 3,5 - 4 meter dan tinggi
(D) = 1,15 – 1,30 meter. Kapal tersebut dilengkapi dengan tiga buah mesin yakni mesin utama dengan kekuatan 40 HP, mesin bantu dengan kekuatan 27 HP, serta mesin roller untuk menarik tali kolor yang menggunakan bahan bakar solar.
Konstruksi kapal purse seine yang
digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 berikut:
Gambar 10. Unit alat tangkap purse seine yang digunakan selama penelitian
2. Alat Tangkap Purse seine Jaring purse seine yang digunakan di Perairan Kecamatan Liukang
Tupabbiring
Kabupaten
Pangkep
terbuat
dari
bahan
multifilament. Ukuran utama jaring yang digunakan yaitu panjang 500 – 600 meter, lebar (dalam) 40 – 50 meter dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1 inchi. Tiap unit jaring memiliki pelampung berjumlah 1.000 – 1.800 buah yang terbuat dari bahan sintesis (plastik) berbentuk bola dengan diameter 11 cm. Pelampung tersebut dipasang pada tali ris atas dengan
jarak antar pelampung 25 – 50 cm. Selain itu, terdapat pula pemberat berupa cincin sebanyak 375 – 400 buah yang dipasang pada tali ris bawah yang berfungsi untuk membantu mengkerucutkan jaring. Cincincincin tersebut terbuat dari bahan timah hitam dengan diameter 12 - 15 cm dengan berat tiap cincinnya kurang lebih 500 gram. Jarak antar pemberat 1 meter. Sedangkan untuk tali ris atas dan tali ris bawah menggunakan tali dari bahan polyethylene.
Gambar 11. Alat tangkap purse seine yang digunakan selama penelitian 3. Alat Bantu Penangkapan Alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan purse seine di Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep adalah lampu petromaks.
Lampu tersebut ditempatkan di atas sekoci.
Umumnya
nelayan melakukan operasi penangkapan pada malam hari dengan menggunakan bantuan cahaya lampu petromaks sebagai atraktor untuk menarik perhatian ikan. Jumlah lampu petromaks yang umum digunakan
adalah 6 buah untuk setiap sekoci dan setiap satu alat tangkap purse seine menggunakan 2 - 3 buah sekoci. Sekoci yang digunakan memiliki ukuran panjang (L) 4 - 5 meter, lebar (B) 0,5 – 0,7 meter dan tinggi (D) 0,4 - 0,6 meter.
Gambar 12. Sekoci yang digunakan selama penelitian
4. Metode Penangkapan Nelayan purse seine di Pulau Sanane umumnya meninggalkan fishing base pada waktu siang atau menjelang sore hari, tergantung target fishing
ground
yang
akan
di
tuju.
Bila
lokasinya
jauh
maka
pemberangkatan bisa lebih awal yaitu sekitar pukul 14.30 - 15.00 WITA. Tetapi bila lokasinya dekat, waktu pemberangkatan sekitar pukul 15.30 16.00 WITA. Setelah tiba di lokasi penangkapan yang dimaksud, saat menjelang malam hari sekitar pukul 17.30 - 18.00, nelayan terlebih dahulu mencari lokasi yang cocok untuk penempatan sekoci (pemasangan lampu
petromaks). Caranya yaitu dengan mengukur kedalaman dan tofografi perairan dengan menggunakan tasi yang diikatkan dengan pemberat. Apabila pemberat telah sampai di dasar perairan maka akan menimbulkan getaran pada tasi. Berdasarkan pengalaman, dengan merasakan getaran tersebut, nelayan dapat memprediksi topografi perairan. Penentuan fishing ground adalah wewenang dan tanggung jawab dari fishing master dalam hal ini adalah nakhoda. Apabila nakhoda telah menentukan fishing ground, maka sekoci dilepaskan untuk berlabuh jangkar. Satu orang nelayan bertanggung jawab untuk setiap sekoci, dan harus berada di atas sekoci tersebut mulai dari berangkat dari fishing base hingga saat selesai dilaukan hauling pada sekoci miliknya. Pada saat hari mulai gelap, nelayan yang bertanggung jawab pada masing-masing sekoci akan menyalakan lampu petromaks.
Lampu
tersebut ditempatkan di sisi kanan dan kiri sekoci. Setelah ikan sudah cukup terkonsentrasi di sekitar sekoci (lampu petromaks), nelayan yang berada di atas sekoci tersebut akan memberikan tanda kepada nakhoda untuk segera melakukan pelingkaran jaring.
Pada saat pelingkaran jaring, kapal melaju dengan kecepatan
tinggi agar kedua ujung jaring dapat dipertemukan secepat mungkin untuk menghindari gerombolan ikan meloloskan diri. Ada pun urutan proses penangkapan secara singkat adalah sebagai berikut:
1. Pelampung tanda dilemparkan pada posisi yang telah ditentukan oleh nahkoda dengan melihat arah arus untuk mengetahui arah hanyutnya jaring pada saat pelingkaran. 2. Kemudian kapal penangkap dengan kecepatan penuh melingkari gerombolan ikan yang berada di sekitar sekoci sambil menurunkan jaring dan pemberat. 3. Apabila kapal bertemu kembali dengan ujung jaring yang pertama kali dibuang, mesin kapal dimatikan dan pelampung tanda dinaikkan diatas kapal. 4. Tali kolor segera digulung dengan menggunakan mesin roller dan setelah tali kolor tergulung seluruhnya, maka mesin roller segera dimatikan dan pemberat dinaikkan ke atas kapal. 5. Penarikan dan pengangkatan jaring dilakukan oleh ABK, dimana bagian jaring yang telah berada di atas kapal langsung disusun kembali dengan teratur dan rapi untuk memudahkan pengoperasian jaring pada hauling berikutnya. 6. Jika hasil tangkapan yang diperoleh banyak, maka digunakan serok untuk mengangkat ikan ke atas kapal, tetapi jika hasil tangkapan sedikit maka pengambilan ikan dilakukan secara langsung dengan mengangkat jaring ke atas kapal. 7. Hasil tangkapan yang telah berada di atas kapal kemudian disortir menurut jenis ikan dan dimasukkan ke dalam keranjang.
Jumlah trip untuk alat tangkap purse seine ini biasanya kurang lebih 20 - 22 hari dalam setiap bulannya, dengan 2 – 3 kali hauling per tripnya, tergantung fase bulan pada saat tersebut. Pada fase bulan gelap hauling dapat dilakukan 3 - 4 kali sedangkan pada fase bulan terang hanya dilakukan 2 kali hauling.
C. Analisis Hubungan Parameter Oseanografi dan Hasil Tangkapan
Untuk mendapatkan hubungan kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan pada penelitian ini, dilakukan analisis beberapa parameter. Berdasarkan hasil pengukuran parameter klorofil-a (X1), suhu (X2), kedalaman (X3), salinitas (X4) dan arus (X5) yang kemudian dijadikan variabel bebas (independent) sedangkan hasil tangkapan ikan kembung (Y) dijadikan variabel tak bebas (dependent). Parameter klorofil-a, suhu, kedalaman, salinitas, dan kecepatan arus diduga memiliki hubungan dan pengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kembung.
1. Uji Kenormalan (Normal Probability Plot) Uji kenormalan ini dilakukan untuk menguji kenormalan distribusi data yang diperoleh di lokasi penelitian. Maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data memusat pada nilai rata-rata dan median.
Cara ini
dilakukan karena bentuk data yang terdistribusi secara normal akan mengikuti pola distribusi normal dimana bentuk grafiknya mengikuti bentuk lonceng. Sedangkan analisis statistik menggunakan analisis keruncingan dan kemencengan kurva dengan indikator keruncingan dan kemencengan.
Uji normalitas dengan uji statistik Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov Test) untuk masing-masing parameter oseanografi, didapatkan bahwa tidak satupun dari kelima parameter tersebut yang terdistribusi normal (Tabel 4):
Tabel 4. Statistik uji normalitas Tests of Normality
Klorofil Suhu Kedalaman Salinitas Arus Kembung
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df .374 92 .000 .478 92 .212 92 .000 .857 92 .219 92 .000 .867 92 .131 92 .001 .927 92 .362 92 .000 .299 92 .164 92 .000 .845 92
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000
a Lilliefors Significance Correction
Berdasarkan analisis data tersebut, diketahui bahwa data yang didapatkan dalam penelitian tidak memenuhi standar uji kenormalan, sehingga dilakukan transformasi data dengan melogaritmakan semua data tersebut, sehingga diperoleh hasil seperti pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Statistik uji normalitas lanjutan (setelah di logaritmakan) Tests of Normality
Klorofil Suhu Kedalaman Salinitas Arus Tangkapan
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. .206 92 .000 .779 92 .000 .213 92 .000 .857 92 .000 .182 92 .000 .922 92 .000 .142 92 .000 .909 92 .000 .104 92 .015 .854 92 .000 .088 92 .074 .972 92 .043
a Lilliefors Significance Correction
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa data masih tidak berdistribusi normal. Namun berdasarkan Lampiran 4, dimana dapat dilihat bahwa grafik jumlah hasil tangkapan yang dipengaruhi oleh lima faktor oseanografi secara bersama-sama telah mengikuti bentuk distribusi normal dengan bentuk histogram yang hampir sama dengan bentuk distribusi normal. Pada grafik PP Plots, kesamaan antara nilai probabilitas harapan dan probabilitas pengamatan ditunjukkan dengan garis diagonal yang merupakan perpotongan antara garis probabilitas harapan dan probabilitas pengamatan.
Dari grafik tersebut terlihat bahwa nilai plot PP terletak di
sekitar garis diagonal. Uji normalitas dan uji normalitas lanjutan yang menunjukkan bahwa data tidak memenuhi standar uji kenormalan, hal ini diduga terjadi akibat beberapa faktor antara lain: (1) kesalahan manusia (human error), misalnya tehnik pengambilan, perlakuan dan penyimpanan terhadap air sampel (klorofil-a), (2) pengaruh faktor alam, misalnya pengukuran salinitas yang bertepatan dengan saat turunnya hujan, (3) tingkat akurasi dari alat ukur masing-masing parameter yang digunakan dalam penelitian, misalnya penggunaan thermometer batang untuk mengukur suhu permukaan laut, layangan arus untuk mengukur kecepatan arus, tali untuk mengukur kedalaman perairan (metode batu duga) dan timbangan biasa untuk menimbang
hasil
tangkapan.
Hal
tersebut
sedikit
banyak
akan
mempengaruhi kualitas dari data lapangan yang diperoleh. Oleh karena itu disarankan agar penelitian-penelitian selanjutnya menggunakan alat ukur
yang lebih akurat misalnya thermometer digital untuk mengukur suhu permukaan laut, current meter untuk mengukur arus, echosounder untuk mengukur kedalaman dan timbangan elektrik untuk menimbang hasil tangkapan, serta menghindari pengaruh dari faktor-faktor alam misalnya hujan, yang dapat menyebabkan bias pada hasil pengukuran.
2. Analisis Varians (Uji F) Analisis varians digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas (independent) secara bersama terhadap variabel tak bebas (dependent). Analisis ini menampilkan nilai Fhitung yang digunakan untuk menentukan model
penaksiran
yang
digunakan
tepat
atau
tidak,
dengan
membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Secara statistik, semakin besar nilai uji F maka nilai tersebut semakin baik digunakan dalam membandingkan hubungan antara hasil tangkapan dengan parameter oseanografi yang diteliti.
Tabel 6. Uji F regresi Cobb-douglas ANOVA(d)
Model 3
Sum of Squares Regression 2.508 Residual 11.081 Total 13.589
df 3 88 91
Mean Square .836 .126
c Predictors: (Constant), Suhu, Kedalaman, Klorofil-a d Dependent Variable: Kembung
F 6.639
Sig. .000(c)
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai signifikansi 0,000 < 0,01, Ini menunjukkan bahwa faktor oseanografi yaitu klorofil-a, suhu dan kedalaman secara bersama berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan Kembung. Selain itu diperoleh kesimpulan bahwa model persamaan LogY = Log a + b1LogX1 + b2LogX2 + b3LogX3 + e yang diajukan dapat diterima. 3. Analisis Koefsien Regresi (Uji t) Analisis regresi Cobb-Douglas dengan metode backward untuk menunjukkan hubungan antara faktor oseanografi sebagai variabel bebas (X), terhadap jumlah hasil tangkapan sebagai variabel tak bebas (Y). Faktor (X) dan (Y) tersebut akan di pasangkan, sehingga hasilnya akan diperoleh perpaduan beberapa faktor (X) yang sangat berpengaruh terhadap faktor (Y), sedangkan faktor lainnya yang tidak berpengaruh tidak akan diperhitungkan. Metode ini secara otomatis akan membuang faktor-faktor oseanografi yang dianggap tidak signifikan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan.
Tabel 7. Uji t antara variabel independent dengan variabel dependent. Coefficients(a)
Model
3
(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. B Error Beta -17.364 5.802 .298 .114 .279 10.543 3.836 .267 2.016 .587 .367
a Dependent Variable: Kembung
t
-2.993 2.626 2.749 3.435
Sig.
.004 .010 .007 .001
Berdasarkan analisis regresi
Cobb-Douglas dengan metode
backward maka diperoleh hasil akhir (seperti yang terlihat pada Tabel 7) yaitu pada model ke 3 (tiga) dimana hanya faktor klorofil-a, suhu dan kedalaman yang mempengaruhi hasil tangkapan secara signifikan. Nilai signifikan dari variabel kolorofil (X1) diperoleh nilai probabilitas (sig) sebesar 0,01<0,1; suhu (X2) di peroleh nilai probabilitas (sig) 0,007<0,1; dan kedalaman (X3) memiliki nilai probabilitas (sig) 0,001<0,1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan variabel klorofil-a (X1), suhu (X2) dan kedalaman (X3) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (Y). Sedangkan untuk variabel salinitas (X4), dan arus (X5), diperoleh nilai probabilitas (Sig)>0,1, artinya perubahan salinitas, dan arus tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan Kembung sehingga tidak dilanjutkan untuk membuat model regresinya. Hal tersebut terlihat pada model terakhir dari persamaan regresi yang terbentuk. Informasi ini merupakan dasar untuk membuat peta tematik pola migrasi ikan kembung. 4. Persamaan Hasil Regresi Cobb-douglas Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai koefisien korelasi yang digunakan untuk mengetahui besarnya proporsi variabel dependen terhadap variabel independen. Untuk korelasi tersebut, dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:
Tabel 8.
Nilai korelasi antara variabel independent dengan seluruh variabel dependent. Model Summary(d)
Model 3
R .430(c)
Adjusted R Square .157
R Square .185
Std. Error of the Estimate .35486
c Predictors: (Constant), Suhu, Kedalaman, Klorofil-a d Dependent Variable: Kembung
Pada Tabel 8 ini dapat kita interpretasikan yakni Koefisien korelasi (R) sebesar 0.43. Hal ini berarti hubungan antara hasil tangkapan dengan parameter oseanografi yang diamati (Klorofil-a, suhu, dan kedalaman) sebesar 43%. Koefisien determinasi (R Square) adalah 0.185 artinya 18.5% variabel yang terjadi terhadap hasil tangkapan disebabkan oleh variabel Klorofil-a, suhu, dan kedalaman, sisanya 81.5% dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang dimaksud diduga adalah faktor cahaya dari atraktor yang digunakan (lampu petromaks). Dalam ruang lingkup daerah penangkapan yang sempit, penggunaan atraktor cahaya pada operasi penangkapan
puse
seine
merupakan
salah
satu faktor
penentu
keberhasilan penangkapan ikan pada alat tangkap ini. Dimana cahaya lampu
petromaks
digunakan
untuk
mengumpulkan
dan
mengkonsentrasikan ikan yang berada disekitar alat tangkap kedalam suatu daerah yang diinginkan sehingga akan mudah untuk melakukan pelingkaran dan penangkapan terhadap gerombolan ikan tersebut.
Hal lain yang perlu menjadi catatan tersendiri bahwa kenyataan yang terjadi di lapangan dimana operasi penangkapan ikan dengan menggunakan atraktor cahaya yang dilakukan pada suatu daerah dengan kelimpahan ikan yang rendah maka pada akhinya akan menghasilkan tangkapan yang rendah pula, dibandingkan dengan operasi penangkapan yang dilakukan di daerah yang benar-benar memiliki kelimpahan ikan yang tinggi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ruang lingkup
daerah penangkapan yang luas, pengaruh faktor oseanografi tetap lebih dominan dibanding pengaruh penggunaan atraktor cahaya, sedangkan dalam ruang lingkup daerah penangkapan yang sempit, pengaruh atraktor cahaya akan lebih dominan terhadap pengkonsentrasian ikan dibanding pengaruh faktor oseanografi.
Sehingga untuk mendapatkan data yang
akurat yang dapat menjelaskan sejauh mana pengaruh faktor oseanografi terhadap hasil tangkapan ikan Kembung, maka sebaiknya alat tangkap yang digunakan adalah alat tangkap yang tidak menggunakan atraktor apapun misalnya: purse seine dengan teknik penangkapan melakukan pengejaran gerombolan ikan, gill net, dan sebagainya.
5. Prediksi Model Regresi Cobb-douglas Model terbaik yang didapatkan dari analisis regresi
hubungan
parameter oseanografi yang diamati dengan hasil tangkapan ikan kembung adalah:
ˆ 1 = -17.364 + 0.298 X1 + 10.543 X2 + 2.016 X3 + e Y
Berdasarkan
tabel persamaan regresi yang didapatkan, dapat
diketahui bahwa: 1. Koefisien determinasi klorofil-a (X1) bernilai positif yakni 7,78% hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan klorofil-a 1 mgm-3 maka hasil tangkapan juga bertambah sebesar 0.778 kg dengan asumsi bahwa suhu dan kedalaman tetap. 2. Koefisien determinasi suhu (X2) bernilai positif yakni 7,13% hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu 10 C maka hasil tangkapan juga bertambah sebesar 0.713 kg dengan asumsi bahwa klorofil-a dan kedalaman tetap. 3. Koefisien determinasi kedalaman (X3), bernilai positif yakni 13,47% hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan kedalaman 1 meter maka hasil tangkapan akan bertambah sebesar 1,347 kg dengan asumsi bahwa suhu dan klorofil-a tetap. Berdasarkan hasil regresi, ikan Kembung yang menjadi variabel dependen menunjukkan hubungan berpengaruh terhadap hasil tangkapan prediksi dan lapangan. Untuk variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan dari persamaan. Berikut grafik yang menunjukkan hubungan prediksi hasil tangkapan ikan Kembung dari persamaan yang terbentuk dengan hasil tangkapan yang diperoleh di lapangan (Gambar 13).
Log. Y Lapangan
2.00 1.50 1.00
y = 0.1775x + 1.0926 R2 = 0.1822
0.50 0.00 0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Log. Y Prediksi Gambar 13. Grafik hubungan antara hasil tangkapan di lapangan dengan tangkapan prediksi
D. Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan (fishing ground) adalah suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul dimana dapat dilakukan penangkapan. Daerah penangkapan ikan Kembung dan jenis ikan pelagis kecil lainnya dapat ditentukan secara visual langsung di perairan.
Umumnya
nelayan mengetahui keberadaan suatu gerombolan ikan berdasarkan beberapa pertanda, antara lain warna perairan yang lebih gelap dibandingkan perairan sekitarnya, banyak burung yang beterbangan dan menukik-nukik ke permukaan air, banyak buih di permukaan air dan adanya batang atau ranting kayu yg terapung dipermukaan laut yang
biasaanya
gerombolan ikan.
menjadi
tempat
bermain
dan
berlindung
bagi
Berdasarkan posisi fishing ground (Gambar 14) yang dipetakan berdasarkan titik koordinat yang diperoleh di lapangan dan dianalisis menggunakan model analisis spasial dan metode IDW (Inverse Distance Weightness), dapat diketahui bahwa pengoperasian purse seine di Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep masih tergolong di wilayah perairan pantai dan disekitar wilayah kepulauan sehingga memungkinkan banyaknya gerombolan ikan-ikan pelagis kecil dalam jumlah besar, termasuk juga jenis ikan Kembung. Hal ini sesuai dengan pendapat Csirke dalam Nelwan (2004) bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil
merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebaranya
adalah di perairan dekat pantai, di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling) dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar.
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
Peta Indeks
PETA FISHING GROUND IKAN KEMBUNG 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Hasil Tangkapan (kg) :
# # # S S S
S # S S # S S# # S # ## S S #
S# # S # S
S #
S S# # S #
S #
# S
S #
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
75 - 120
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
# S S # # S # S S# # S # SS# # S S#S# S # SS# S # #
S #
# S S # S # S #
30000
#
#S S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
S #
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S
#S S #
# S
S #
S #
## S S S #
# S # S
119°00'
S #
SS# #
# S
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000
119°45'
60000
Meters
Gambar 14. Peta fishing ground ikan Kembung
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
E.
Aplikasi SIG Terhadap Pemetaan Kondisi Oseangografi dan Distribusi Hasil Tangkapan
a. Klorofil-a Kemampuan
potensial
suatu
perairan
untuk
menghasilkan
sumberdaya alam hayati ditentukan oleh kandungan produktivitas primernya yakni banyaknya zat-zat organik yang dapat dihasilkan dari zatzat anorganik melalui proses fotosintesis dalam satuan waktu dan volume air tertentu. Di dalam laut, fitoplankton memegang peranan yang penting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil-a.
Hubungan antara kelimpahan klorofil-a
terhadap hasil tangkapan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
60
Hasil Tangkapan (Kg)
53.15 50 40 30
27.17
20
13.50 7.47
10 0 0.2086
2.0228
3.8370
5.6512
7.4654
-3
Klorofil-a (mgm )
Gambar 15. Grafik hubungan klorofil-a perairan terhadap hasil tangkapan ikan Kembung.
Tingkat kandungan klorofil-a pada daerah penangkapan selama penelitian berkisar 0,2086 – 7,4654 mgm-3 hal ini sesuai dengan pendapat Nontji (2002) bahwa nilai rata-rata kandungan klorofil-a di perairan Indonesia sebesar 0,19 mgm-3, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mgm-3) menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan musim barat (0,16 mgm-3). Berdasarkan histogram di atas diketahui bahwa hasil tangkapan rata-rata yang tertinggi diperoleh pada perairan dengan kandungan klorofil-a 2,0228 - 3,8370 mgm-3 dengan tangkapan rata-rata 53.15 kg. Sedangkan pada Gambar 16 memperlihatkan bahwa secara umum hasil tangkapan tertinggi justru didapatkan pada kisaran klorofil-a rendah yaitu pada kisaran klorofil-a 0,209 – 1,013 mgm-3, walaupun pada kisaran klorofil-a 6,641 – 7,445 mgm-3 juga diperoleh hasil tangkapan yang paling tinggi yaitu berkisar antara 75 – 120 kg.
Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian isnawarti (2008) pada lokasi yang sama, dimana didapatkan bahwa hasil tangkapan tertinggi untuk jenis ikan Kembung diperoleh pada kisaran klorofil 0,20 – 0,4 mgm-3 dengan jumlah hasil tangkapan tertingi 61 – 120 kg. Fenomena ini membuktikan bahwa perairan dengan kandungan klorofil-a yang tinggi tidak menjadi jaminan bahwa daerah tersebut kaya akan sumberdaya ikan, sebab selain klorofil-a ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberadaan suatu spesies pada suatu perairan, misalnya adanya pertemuan arus panas dan arus dingin atau front. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarso (1985) bahwa ada
beberapa daerah penangkapan ikan, yakni pada perbatasan atau pertemuan arus panas dan arus dingin yang disebut dengan front, pada daerah terjadi pembalikan lapisan air (upwelling), terjadinya arus pengisian (divergensi) dan lain sebagainya.
Ditambahkan oleh Gower dalam
Zainuddin et al (2007) bahwa suatu daerah perairan memiliki rentang tertentu dimana ikan berkumpul untuk melakukan adaptasi fisiologis terhadap faktor lain misalnya suhu, arus, dan salinitas yang lebih sesuai dengan yang diinginkan ikan, namun keberadaan konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mgm-3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan ekonomis penting. Gambar 16 juga memperlihatkan kecendrungan bahwa konsentrasi klorofil-a makin ke arah pantai makin tinggi, hal ini disebabkan karena nutrien di daerah pantai lebih tinggi dibanding di laut lepas selain itu faktor kedalaman hubungannya dengan intensitas cahaya kedalam suatu perairan untuk melakukan proses foto sintesis juga sangat berpengaruh terhadap konsentrasi klorofil-a. Hal ini dibenarkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2007) bahwa sebaran klorofil-a dilaut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan.
Variasi tersebut
diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrient dalam jumlah
besar melalui runn-of dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrient dari daratan secara langsung. Berdasarkan hasil analisa statistik, diketahui bahwa parameter klorofil-a mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t terhadap nilai signifikan variabel yang memiliki nilai dibawah 0,1 yakni bernilai 0,01. Artinya faktor kandungan klorofil-a secara statistik berpengaruh secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tingkat klorofil-a yang kecil, hasil tangkapan lebih banyak dibanding pada tingkat klorofil-a tertinggi, hal ini disebabkan kondisi perairan tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor oseanografi saja, tapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi sehingga memungkinkan hasil tangkapan lebih banyak pada kondisi klorofil-a yang rendah. Faktor lain yang dimaksud misalnya
pengaruh
faktor
oseanografi
yang
lainnya,
pengaruh
penggunaan atraktor (lampu petromaks) dan adanya front pada daerah tersebut sehingga walaupun klorofil-a rendah ikan tetap berkumpul di daerah tersebut.
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
Peta Indeks
PETA SEBARAN KLOROFIL-A DAN HASIL TANGKAPAN PETA SEBARAN KLOROFIL DAN HASIL TANGKAPAN PURSE SEINE IKAN KEMBUNG 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Hasil Tangkapan (kg) : Klorofil (Mg/m-3)
# # # S S S
# S
S # # S # S S# # S # SS # S #
## S S S #
S# # S # S
S #
S ##S # S S #
S #
# S
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
S # S S # S # S# # S # S# # S S#S# # # S S S# # S # S
S # S # S # # S
30000
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
# S
S #
# S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
S #
0.209 1.013 1.817 2.621 3.425 4.229 5.033 5.837 6.641 -
75 - 120
1.013 1.817 2.621 3.425 4.229 5.033 5.837 6.641 7.445
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S
#S S #
# S
S #
S #
# S # S
119°00'
S #
#S# S
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 16. Peta sebaran klorofil-a dan hasil tangkapan ikan Kembung di perairan kecamatan Liukang Tupabbiring
b. Suhu Hasil pengukuran suhu permukaan laut yang diperoleh pada perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring selama penelitian berkisar 28,341 – 30,258°C. Perbedaan yang tidak besar tersebut disebabkan karena adanya pengaruh cuaca, curah hujan dan radiasi matahari yang tidak mengalami perubahan yang besar atau relatif hampir sama dengan hari lainnya karena pegambilan sampel dilakukan pada musim Timur.
Hal tersebut sesuai
pernyataan Romimohtarto dan Juwana (2001) bahwa di perairan tropis perbedaan/variasi suhu air laut sepanjang tahun tidak besar, suhu permukaan laut nusantara berkisar antara 27°C - 31 °C. Ditambahkan oleh Nontji (2002) bahwa suhu permukaan air dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan cahaya matahari.
Sedangkan menurut Reddy (1993), suhu pada lapisan
permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Gambar
17
memperlihatkan
bahwa
suhu
optimal
untuk
penangkapan ikan kembung berada pada suhu 29,7788 - 30,0184 ºC dengan hasil tangkapan rata-rata sebesar 36,08 kg.
Hal ini sesuai
dengan data yang diperoleh dari www.fishbase.org bahwa ikan Kembung hidup pada kisaran suhu antara 20 - 30 oC.
40
36.08
Hasil Tangkapan (Kg)
35 30 25
26.46 23.53
22.00
20.46
19.00
20 13.86
15
12.33
10 5 0 28.3412
28.5808
28.8204
29.0600
29.2996
29.5392
29.7788
30.0184 30.2583
o
Suhu ( C)
Gambar 17. Grafik hubungan suhu terhadap hasil tangkapan ikan Kembung. Gambar 18 menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan kembung paling banyak pada kisaran suhu 29,193 – 30.045 tangkapan berkisar antara 75 – 120 kg.
0
C dengan hasil
Sedangkan menurut hasil
penelitian isnawarti (2008) pada lokasi yang sama, didapatkan bahwa hasil tangkapan tertinggi untuk jenis ikan Kembung diperoleh pada kisaran suhu 28,628 – 28,845 0C dengan jumlah hasil tangkapan tertingi 61 – 120 kg.
Kisaran suhu ini bisa dikatakan cukup hangat dan
mengindikasikan bahwa di daerah tersebut merupakan daerah terjadinya front. Parameter suhu mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t terhadap nilai koefisien variabel suhu yang mempunyai nilai signifikan lebih kecil dari 0,1 yakni 0,007. Dari
hasil tersebut memberikan informasi bahwa kelimpahan ikan Kembung sangat dipengaruhi oleh suhu. Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf sehingga ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walau hanya sebesar 0,03 oC.
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA SEBARANSUHU SUHU DAN IKAN KEMBUNG PETA SEBARAN DANHASIL HASILTANGKAPAN TANGKAPAN PURSE SEINE 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Hasil Tangkapan (kg) : Suhu (oC) :
# S # SS #
# S S # S S# # S #
## S S S #
S# # S # S
S #
S ##S # S S #
S #
# S
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
# S S # # S # S S# # S # SS# # S S#S# S # SS# S # #
S #
S # S # S # # S
30000
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
#
#S S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
S #
75 - 120
Suhu (Deg C) 28.341 - 28.554 28.554 - 28.767 28.767 - 28.98 28.98 - 29.193 29.193 - 29.406 29.406 - 29.619 29.619 - 29.832 29.832 - 30.045 30.045 - 30.258
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S
#S S #
# S
S #
S #
# S # S
119°00'
S #
SS# #
# S
4°45'
4°45'
# S # S
# # # S S S
Peta Indeks
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 18. Peta sebaran suhu dan hasil tangkapan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
c. Kedalaman Hasil pengukuran kedalaman lokasi
penangkapan yang
di
peroleh selama penelitian berkisar antara 30,00 – 70,05 meter. Sedangkan kedalaman optimal untuk penangkapan ikan Kembung berada pada kedalaman 55,03 – 60,04 m dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 52,50 kg (Gambar 19). Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari www.fishbase.org ikan Kembung hidup dalam kisaran kedalaman 15 - 200 meter. 60
Hasil Tangkapan (Kg)
52.50 50
33.21
30.85 30 20
40.50
38.92
40
25.49
25.25
18.90
10 0 30.00
35.01
40.01
45.02
50.03
55.03
60.04
65.04
70.05
Kedalaman (m)
Gambar 19. Grafik hubungan kedalaman perairan terhadap hasil tangkapan ikan Kembung.
Peta hubungan kedalaman perairan terhadap hasil tangkapan pada alat tangkap purse seine (Gambar 20), memperlihatkan bahwasanya hasil tangkapan dominan terdapat pada kisaran kedalaman 39,001 – 61,486 meter, dengan hasil tangkapan berkisar antara 75 - 120 kg.
Sedangkan menurut
hasil penelitian isnawarti (2008) pada lokasi yang sama, didapatkan bahwa hasil tangkapan tertinggi untuk jenis ikan Kembung diperoleh pada kisaran kedalaman 36 - 38 m dengan jumlah hasil tangkapan tertingi 61 – 120 kg. Kedalaman perairan tersebut berkaitan erat dengan teknis operasi penangkapan khususnya pada alat tangkapa purse seine. Berdasarkan analisis statistik, parameter kedalaman mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t terhadap nilai koefisien variabel kedalaman yang mempunyai nilai signifikan yang lebih kecil dari 0,1 yakni 0,001. Hasil analisa statistik dengan metode backward diketahui bahwa model terbaik yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan adalah antara faktor klorofil-a, suhu dan kedalaman, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor kedalaman tersebut secara bersama-sama dengan klorofil-a dan suhu berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Secara umum kedalaman berkaitan erat dengan teknis pengoperasian alat tangkap purse seine, sebab pada kondisi kedalaman yang rendah pengoperasian alat tangkap ini sangat sulit dilakukan karena bagian bawah jaring akan menyentuh dasar perairan sehingga jaring dapat tersangkut di dasar perairan dan akan menyulitkan proses pelingkaran dan penarikan jaring, selain itu sampah-sampah didasar perairan akan sangat mengganggu dan dapat merusak jaring.
Oleh karena itu kedalaman yang ideal untuk
pengoperasian alat tangkap purse seine haruslah lebih dalam dibandingkan dengan lebar jaring, sehingga hal-hal tersebut diatas dapat dihindari.
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
Peta Indeks
PETA SEBARAN KEDALAMAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Hasil Tangkapan (kg) :Kedalaman (m) :
# # # S S S
# S
S # # S # S S# # S # SS # S #
## S S S #
S# # S # S
S #
S ##S # S S #
# S
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
# S S # # S # S S# # S # SS# # S S#S# S # SS# S # #
S #
# S S # S # S #
30000
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
#
#S S
S #
30.006 34.504 39.001 43.498 47.995 52.492 56.989 61.486 65.984
75 - 120
-
34.504 39.001 43.498 47.995 52.492 56.989 61.486 65.984 70.481
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S # S # S
S #
S #
S #
#S S #
# S
119°00'
S #
SS# #
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 20. Peta sebaran kedalaman dan hasil tangkapan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
d. Salinitas Hasil pengukuran salinitas yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 24,02 – 31,21 0/00 dan didapatkan salinitas optimal untuk penangkapan ikan Kembung berada pada salinitas 30,31 – 31,21 o/00 dengan rata-rata hasil
tangkapan
44,00 kg (Gambar 21).
Menurut
Nybakken (1992), sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi.
Selain itu pola
sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan. 50 44.00
Hasil Tangkapan (Kg)
45 40 35
30.97
30 23.25
25
21.97 18.50
20
15.00 12.33
15 10 5
4.00
0 24.02
24.92
25.82
26.72
27.62
28.51
29.41
30.31
0
Salinitas ( /00)
Gambar 21. Grafik hubungan salinitas terhadap hasil tangkapan ikan Kembung.
31.21
Namun pada penelitian ini didapatkan bahwa salinitas tidak mempunyai korelasi signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t dengan metode backward dimana parameter salinitas ini tidak masuk dalam pengujian tahap akhir (model 3).
Hasil tersebut
memberikan informasi bahwa kelimpahan ikan Kembung tidak dipengaruhi oleh salinitas.
Hal ini diduga karena pengaruh klorofil-a, suhu dan
kedalaman lebih dominan dibanding salinitas.
e. Arus Kecepatan arus permukaan pada daerah penangkapan selama penelitian berkisar 0,016 - 0,995 ms-1. Dari kisaran tersebut menunjukkan kecepatan arus yang rendah hal ini berkaitan waktu pengambilan sampel yaitu pada musim Timur dimana pada saat tersebut kondisi perairan di daerah Selat Makassar cenderung tenang. Gambar 22 memperlihatkan rata-rata tangkapan tertinggi diperoleh pada kecepatan arus 0,016 – 0,506 ms-1 dengan jumlah tangkapan ratarata sebesar 28,95 kg.
Sedangkan menurut hasil penelitian isnawarti
(2008) pada lokasi yang sama, dimana didapatkan bahwa hasil tangkapan tertinggi untuk jenis ikan Kembung diperoleh pada kisaran klorofil 0,12 – 0,17ms-1 33,45 - 34,450/00 dengan jumlah hasil tangkapan tertingi 61 – 120 kg. Secara tidak langsung, arus berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
Dimana hasil tangkapan lebih banyak diperoleh pada
kecepatan arus yang relatif kecil, karena arus yang relatif kecil akan mempengaruhi posisi kestabilan jaring pada saat proses pelingkaran jaring.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Sudirman dan Mallawa (2004) bahwa
Dalam pengoperasian alat tangkap khususnya yang menggunakan jaring seperti purse seine, trawl, cantrang, bagan rambo dan gillnet, faktor arus sangat mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan. Umumnya alat tangkap jaring hanya dapat memberikan toleransi terhadap kecepatan arus sampai kecepatan 3 knot. Misalnya pada purse seine, ketika kecepatan lebih dari 3 knot maka kegiatan pelingkaran akan sangat susah untuk dilaksanakan bahkan umumnya terjadi kegagalan.
Ditambahkan oleh
Laevastu dan Hayes (1990) bahwa arus dan perubahannya sangat penting dalam
operasi
penangkapan,
perubahan
dalam
kelimpahan
keberadaan ikan.
Hasil Tangkapan (Kg)
30
28.95
25 20.00 20 15 10 5 0 0.016
0.506
0.995 -1
Kecepatan Arus (ms )
Gambar 22. Grafik hubungan kecepatan arus terhadap hasil tangkapan ikan Kembung
dan
Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa parameter kecepatan arus tidak mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t dengan metode backward dimana parameter salinitas ini tidak masuk dalam pengujian tahap akhir. Artinya faktor kecepatan arus secara statistik tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan. Hal ini diduga karena pengaruh klorofil-a, suhu dan kedalaman lebih dominan dibanding kecepatan arus.
F. Aplikasi SIG dalam Penentuan Zona Potensi Penangkapan Ikan Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan SIG bagi pengelolaan sumberdaya perairan diantaranya adalah mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber, selain itu juga mampu melakukan pemodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan (Kam et.al., 1992). Proses pengkompilasian data lapangan dengan data SIG melalui program ArcView 3,3 dimana program inilah yang nantinya akan menampilkan peta tematik sesuai dengan skala kebutuhan. 1. Prediksi Daerah Penangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh di lapangan dianalisis lebih lanjut untuk memprediksi hubungan faktor oseanografi terhadap jumlah hasil tangkapan. Untuk membuat peta prediksi ini, dilakukan interpolasi data antara koordinat daerah penangkapan dengan hasil tangkapan yang telah dianalisis.
Dari hasil analisis dimana parameter klorofil-a, suhu dan
kedalaman yang secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan, maka peta prediksi dibuat dengan berdasarkan pada keadaan klorofil-a, suhu dan kedalaman yang berbeda. Ada pun peta daerah penangkapan ikan Kembung berdasarkan hasil tangkapan prediksi pada bulan April - Juni 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring dapat dilihat pada gambar berikut:
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA PREDIKSI DAERAH PENANGKAPAN IKAN KEMBUNG PADA BULAN APRIL 2009 119°00'
119°15'
119°30'
Peta Indeks
119°45'
BARRU
Lokasi Penelitian
Î
Tangkapan (kg):
# S # S
PANGKEP
4°45'
S # S #
4°45'
S #
#S# S
##S S
# S # S
Fishing Base
Tangkapan (kg) : Prediksi Lapangan Prediksi: # S
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
# S
40 - 75
S #
15.217 - 35.315 35.315 - 55.413 55.413 - 75.511 75.511 - 95.609 95.609 - 115.708 115.708 - 135.806 135.806 - 155.904 155.904 - 176.002 176.002 - 196.1
75 - 120
5°00'
5°00'
Î # S S # S# # S S#S# # SS#
S #
N
MAROS
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°00'
30000
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 23. Peta daerah penangkapan ikan Kembung model Y prediksi pada bulan April 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
PETA PREDIKSI DAERAH PENANGKAPAN IKAN KEMBUNG PADA BULAN MEI 2009 119°00'
119°15'
119°30'
Peta Indeks
119°45'
BARRU
Lokasi Penelitian
S #
Î
Fishing Base
S S # S S# # ## S
4°45'
4°45'
Tangkapan (kg):
## S S S #
S# # S # S
PANGKEP
# S S #
Tangkapan (kg) : Prediksi Lapangan Prediksi: # S
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
# S
40 - 75
S #
10.314 - 18.131 18.131 - 25.948 25.948 - 33.765 33.765 - 41.582 41.582 - 49.399 49.399 - 57.216 57.216 - 65.033 65.033 - 72.85 72.85 - 80.667
75 - 120
N
5°00'
5°00'
Î S S # S# # S # # S S S # # # S
MAROS
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°00'
30000
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 24. Peta daerah penangkapan ikan Kembung model Y prediksi pada bulan Mei 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA PREDIKSI DAERAH PENANGKAPAN IKAN KEMBUNG PADA BULAN JUNI 2009 119°00'
119°15'
119°30'
Peta Indeks
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Î
Fishing Base
# # # S S S
S #
# S
S # # S S #
S #
PANGKEP S # #S S #
# S
S #
S #
S #
# S
# S
S #
S #
5°00'
# S S# # S
S #
S # S #
5°00'
S #
S # ## S S# S S#
# S S # S #
S # S # S # # S
30000
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
# S
40 - 75
1.135 - 14.191 14.191 - 27.248 27.248 - 40.304 40.304 - 53.36 53.36 - 66.417 66.417 - 79.473 79.473 - 92.529 92.529 - 105.586 105.586 - 118.642
75 - 120
S # Î S #
N
# S
S # # S
119°00'
4°45'
4°45'
Tangkapan (kg): Tangkapan (kg) : Prediksi Lapangan Prediksi:
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 25. Peta daerah penangkapan ikan Kembung model Y prediksi pada bulan Juni 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
Berdasarkan Gambar 23, 24 dan 25 tersebut, dapat diketahui bahwa prediksi tangkapan tertinggi ikan Kembung pada musim Timur (April – Juni 2009) sebagai berikut: 1) Pada bulan April 2009 berada 12,48 mil laut di sebelah Utara fishing base yaitu pada posisi 119o22’19,2” - 119o23’45,6” BT dan 4o43’54,8” - 4o45’20,2” LS, dengan luas daerah sebesar 5,33 km 2 (0,015% dari total luas daerah penangkapan), dengan prediksi tangkapan tertinggi berkisar antara 176,002 – 196,100 kg (Gambar 23); 2) Pada bulan Mei 2009 berada 6,47 mil laut di sebelah Barat Daya fishing base yaitu pada posisi 119o16’19,2” - 119o16’48” BT dan 5o01’49,1” - 5o02’19,7” LS, dengan luas daerah sebesar 0,63 km2 (0,0008% dari total luas daerah penangkapan), dengan prediksi tangkapan tertinggi berkisar antara 72,850 – 80,667 kg (Gambar 24); 3) Pada bulan Juni 2009 berada 4,9 mil laut di sebelah Tenggara fishing base yaitu pada posisi 119o24’7,2” - 119o24’32,4” BT dan 4o59’16,4” - 4o59’34,8” LS, dengan luas daerah sebesar 0,36 km2 (0,0002% dari total luas daerah penangkapan), dengan prediksi tangkapan tertinggi berkisar antara 105,586 – 118,642 kg (Gambar 25). 2. Potensi Daerah Penangkapan Gambar 26 memperlihatkan bahwa berdasarkan data lapangan dimana variabel klorofil-a, suhu dan kedalaman yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan, dapat disimpulkan bahwa zona potensi penangkapan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring dan sekitarnya pada bulan April 2009, dapat dibagi menjadi empat zona
penangkapan berdasarkan produksi hasil tangkapan yaitu zona I dengan kisaran hasil tangkapan 93,364 – 120,536 kg, zona II dengan kisaran hasil tangkapan 66,193 – 93,364 kg, zona III dengan kisaran hasil tangkapan 39,021 – 66,193 kg dan zona IV potensial dengan kisaran hasil tangkapan 11,849 – 39,021 kg. Berdasarkan analisis spasial dapat diketahui bahwa zona potensi penangkapan ikan Kembung berada sejauh 12,33 mil laut di sebelah Utara Timur Laut fishing base yaitu pada posisi 119o22’01,2” 119o24’28,8” BT dan 4o43’24,3” - 4o45’50,8” LS dengan luas areal 16,66 km2 atau sebesar 0,0468% dari total luas zona potensial penangkapan.
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG Peta Indeks
PETA ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN KEMBUNG PADA BULAN APRIL 2009 119°00'
119°15'
119°30'
119°45'
BARRU
Lokasi Penelitian
Î Fishing Base 4°45'
4°45'
PANGKEP
Klasifikasi Zona: 11.849 39.021 66.193 93.364 -
39.021 66.193 93.364 120.536
Î 5°00'
5°00'
MAROS
N
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°00'
30000
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 26. Peta zona potensi penangkapan ikan Kembung pada bulan April 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
Gambar 27 memperlihatkan bahwa berdasarkan data lapangan dimana variabel klorofil-a, suhu dan kedalaman yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan, dapat disimpulkan bahwa zona potensi penangkapan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring dan sekitarnya pada bulan Mei 2009, dapat dibagi menjadi empat zona penangkapan berdasarkan produksi hasil tangkapan yaitu zona I dengan kisaran hasil tangkapan 66,39 – 84,372 kg, zona II dengan kisaran hasil tangkapan 48,409 – 66,39 kg, zona III dengan kisaran hasil tangkapan 30,427 – 48,409 kg dan zona IV potensial dengan kisaran hasil tangkapan 12,446 – 30,427 kg. Berdasarkan analisis spasial dapat diketahui bahwa zona potensi penangkapan ikan Kembung berada sejauh 13,48 mil laut di sebelah Barat Laut fishing base yaitu pada posisi 119o09’18” - 119o09’54” BT dan 4o48’35,3” - 4o49’12,4” LS dengan luas areal 1 km2 atau sebesar 0,0013% dari total luas zona potensial penangkapan.
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG Peta Indeks
PETA ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN KEMBUNG PADA BULAN MEI 2009 119°00'
119°15'
119°30'
119°45'
BARRU
Lokasi Penelitian
Î Fishing Base 4°45'
4°45'
PANGKEP
Klasifikasi Zona: 12.446 - 30.427 30.427 - 48.409 48.409 - 66.39 66.39 - 84.372
Î 5°00'
5°00'
MAROS
N
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°00'
30000
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 27. Peta zona potensi penangkapan ikan Kembung pada bulan Mei 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
Gambar 28 memperlihatkan bahwa berdasarkan data lapangan dimana variabel klorofil-a, suhu dan kedalaman yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan, dapat disimpulkan bahwa zona potensi penangkapan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring dan sekitarnya pada bulan Juni 2009, dapat dibagi menjadi empat zona penangkapan berdasarkan produksi hasil tangkapan yaitu zona I dengan kisaran hasil tangkapan 62,206 – 82,509 kg, zona II dengan kisaran hasil tangkapan 41,904 – 62,206 kg, zona III dengan kisaran hasil tangkapan 21,602 – 41,904 kg dan zona IV potensial dengan kisaran hasil tangkapan 1,299 – 21,602 kg. Berdasarkan analisis spasial dapat diketahui bahwa zona potensi penangkapan ikan Kembung terdapat pada dua lokasi yaitu: 1) berada sejauh 4,72 mil laut di sebelah Tenggara fishing base yaitu pada posisi 119o07’40,8” - 119o08’45,6” BT dan 4o54’11,2” - 4o55’12,4” LS dengan luas areal 1,74 km2 atau sebesar 0,0008% dari total luas zona potensial penangkapan; 2) berada sejauh 12,44 mil laut di sebelah Barat fishing base yaitu pada posisi 119o24’03,6” - 119o24’50,4” BT dan 4o58’58,4” 4o59’41,3” LS dengan luas areal 3,12 km2 atau sebesar 0,0015% dari total luas zona potensial penangkapan.
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG Peta Indeks
PETA ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN KEMBUNG PADA BULAN JUNI 2009 119°00'
119°15'
119°30'
119°45'
BARRU
Lokasi Penelitian
Î Fishing Base 4°45'
4°45'
PANGKEP
Klasifikasi Zona: 1.299 - 21.602 21.602 - 41.904 41.904 - 62.206 62.206 - 82.509
Î 5°00'
5°00'
MAROS
N
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°00'
30000
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 28. Peta zona potensi penangkapan ikan Kembung pada bulan Juni 2009 di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
G. Pola Migrasi Ikan Kembung
Menurut Effendi (2002), pergerakan atau migrasi ikan merupakan salah satu mata rantai daur hidup yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelum dan sesudahnya. Ikan melakukan ruaya ke daerahdaerah dimana mereka menemukan kondisi yang diperlukan oleh fase tertentu dari daur hidupnya. Ruaya ini mempunyai arti penyesuaian, peyakinan terhadap kondisi yang menguntungkan untuk eksistensi. Dengan mengetahui lingkaran ruaya maka akan diketahui batas-batas daerah dimana stok atau populasi itu hidup. Pengetahuan tentang aspek pergerakan ikan diharapkan akan menjawab permasalahan tentang dimana rute pergerakan ikan dan kapan melewati suatu daerah tertentu. Dengan pertimbangan ini rencana atau jadwal penangkapan ikan dapat dibuat dengan tepat. Peta berikut adalah suatu pola distribusi pergerakan daerah penangkapan ikan Kembung yang di plot per dua hari untuk mendapatkan gambaran pergerakan daerah penangkapan ikan kembung (Rastrelliger spp).
Data yang diperoleh dari GPS (Global Positioning
System) dari setiap titik koordinat daerah penangkapan kemudian diplot ke program arc view 3.3 dengan teknik sistem informasi geografis dan dilakukan penggabungan dengan data digital bakosurtanal tahun 2004 untuk memperoleh informasi spasial yang lengkap.
119°00' 119
119°20'
119°40'
119°00' 119
N
119°20'
119°40'
N
W
BARRU
E
W
S
BARRU
E S
4°40'
4°40'
4°40'
4°40'
# S # S
S #
SS# #
PANGKEP
PANGKEP S # S #
S #
S #
# S # S
10
0
10
119°00' 119
MAROS
S #
Has il Tangkapan (k g) : S #
1 - 11
# S
11 - 22
S #
22 - 40
# S
40 - 75
S #
20 Miles
119 119°00'
S #
5°00' -5
S #
5°00' -5
5°00' -5
5°00' -5
MAROS S# # S S#S# # SS#
Hasil Tan gkap an (kg ) :
1
75 - 12 0
119°20'
119°40'
119°20'
119°40'
10
0
10
20 Miles
119 119°00' 119°00' 119
# S
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
2
119°20'
119°40'
119°20'
119°40'
N
N W
BARRU
E
W
BARRU
E S
S
S # 4°40'
4°40'
4°40'
4°40'
S S # S S# # ## S
PANGKEP S #
5°00' -5
5°00' -5
5°00' -5
S #
MAROS 5°00' -5
MAROS
S#S #
PANGKEP
## S S S #
S# # S S #
# S
S # S # S S # # # S
Has il Tangkapan (k g) :
Hasil Tan gkap an (kg ) :
10
0
10
20 Miles
119 119°00' 119°00' 119
S #
1 - 11
# S
1 - 11
# S
11 - 22
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
22 - 40
# S
40 - 75
S #
40 - 75
3
119°20'
119°40'
119°20'
119°40'
10
0
10
20 Miles
119 119°00' 119°00' 119
S #
4
75 - 12 0
119°20'
119°40'
119°20'
119°40'
N
N W
BARRU
E
W
BARRU
E S
S
4°40'
4°40'
4°40'
## S S
4°40'
S #
PANGKEP
PANGKEP S #
S #
# S
S #
S #
S # S # # S 10
0 119 119°00'
10
20 Miles
119°20'
MAROS
S #
5°00' -5
# S
S #
S #
5°00' -5
5°00' -5
S # S #
S #
1 - 11
# S
11 - 22
S #
22 - 40
# S
40 - 75
S #
S # S #
5
75 - 12 0
119°40'
10
0 119 119°00'
10
MAROS
## S S# S
# S S # S #
Has il Tangkapan (k g) :
5°00' -5
S #
Has il Tangkapan (k g) :
S #
20 Miles
119°20'
S #
1 - 11
# S
11 - 22
S #
22 - 40
6 119°40'
119°00' 119
119°20'
119°00' 119
119°40'
119°20'
N
119°40'
N
W
BARRU
E
W
BARRU
E
S
S
S # # S
4°40'
# # # S S S
#S S #
S #
PANGKEP
MAROS
MAROS
# S
S #
# S S #
0 119 119°00'
10
5°00' -5
5°00' -5
S #
10
# S
PANGKEP
5°00' -5
5°00' -5
S #
4°40'
4°40'
4°40'
# S
S #
Hasil Tan gkap an (kg ) :
20 Miles
# S
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
Has il Tangkapan (k g) :
119°20'
7
10
0
10
20 Miles
119 119°00'
119°40'
119°00' 119
119°20'
119°20'
S #
1 - 11
S #
11 - 2 2
8 119°40'
119°40'
N W
BARRU
E S
4°40'
4°40'
S # S # # S S #
PANGKEP
S #
# S
MAROS 5°00' -5
5°00' -5
Has il Tangkapan (k g) :
10
0 119 119°00'
10
20 Miles
119°20'
S #
1 - 11
S #
11 - 2 2
9 119°40'
Gambar 29. Pola distribusi pergerakan dan hasil tangkapan prediksi ikan Kembung yang diplot per dua hari di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
Berdasarkan total titik penangkapan yang diperoleh selama penelitian yang kemudian diplot per dua hari maka didapatkan 9 kelompok peta yang bervariasi secara spasial dan merupakan representasi dari pergerakan titik penangkapan ikan Kembung perhari. Dari peta tersebut didapatkan hasil sebagai berikut : 1. Pengelompokan I didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o18’ 32,8” BT dan 4o57’19,1” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 88 kg. 2. Pengelompokan II didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o09’32,4” BT dan 4o48’29,2” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 57,60 kg. 3. Pengelompokan III didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o09’32” BT dan 4o50’53,9” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 120 kg. 4. Pengelompokan IV didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o16’38,6” BT dan 4o54’23” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 60 kg. 5. Pengelompokan V didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o21’23” BT dan 4o58’45,8” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 120 kg. 6. Pengelompokan VI didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o11’13,9” BT dan 4o58’52” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 56 kg.
7. Pengelompokan VII didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o10’38,3” BT dan 4o43’19,9” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 12 kg. 8. Pengelompokan VIII didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o21,9” BT dan 4o45’5,8” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 6 kg. 9. Pengelompokan IX didapatkan bahwa ikan Kembung berpusat pada koordinat 119o09’33,8” BT dan 4o47’2,4” LS dengan hasil tangkapan tertinggi 20 kg. Gambar 29 tentang pola distribusi pergerakan dan hasil tangkapan ikan Kembung memperlihatkan bahwa hasil tangkapan terbanyak diperoleh pada pengelompokan 5 sebesar 460 kg dengan ratarata tangkapan 35,38 kg.
Hal ini disebabkan oleh intensitas operasi
penangkapan yang lebih banyak dibanding pengelompokan lain. Data hasil tangkapan prediksi yang berdasarkan uji f mendapat pengaruh signifikan dari faktor oseanografi selama penelitian, selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan pola pergerakan ikan Kembung.
Posisi
inilah yang kemudian diplot ke peta untuk mendapatkan pola pergerakan ikan layang selama penelitian yang kemudian dioverlay dengan parameter oseanografi untuk mendapatkan hubungan antara pergerakan ikan dan kondisi oseanografi. Berikut adalah posisi untuk pola pergerakan ikan berdasarkan garis lintang dan bujur yang diolah dari data lapangan.
Tabel 9. Posisi berdasarkan garis Lintang dan Bujur untuk pola pergerakan ikan Kembung. Pergerakan 1 2
Longitude
Latitude
Tanggal
119o18’ 32,8”
4o57’19,1”
22 sampai 23 April 2009
119o09’32,4”
4o48’29,2”
25 April dan 20 Mei 2009
119o09’32”
4o50’53,9”
21 sampai 22 Mei 2009
119o16’38,6”
4o54’23”
23 Mei dan 16 Juni 2009
119o21’23”
4o58’45,8”
17 sampai 18 Juni 2009
119o11’13,9”
4o58’52”
19 sampai 20 Juni 2009
119o10’38,3”
4o43’19,9”
21 sampai 22 Juni 2009
119o21,9”
4o45’5,8”
23 sampai 24 Juni 2009
119o09’33,8”
4o47’2,4”
25 sampai 26 Juni 2009
3 4 5 6 7 8 9
Posisi yang didapatkan dari model diatas kemudian diinput kedalam program arc view
dalam format *.dbf untuk mendapatkan pola
pergerakannya secara spasial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar berikut:
PETA POLA PERGERAKAN IKAN KEMBUNG BERDASARKAN SEBARAN KEDALAMAN T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG Peta Indeks
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Pola Migrasi
Hasil Tangkapan (kg) :
# # # S S S
S # S S # S S# # S # ## S S #
S# # S # S
S #
S S# # S #
S #
# S
S #
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
75 - 120
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
# S S # # S# # S S# S # SS# # S S#S# S # SS# S # #
S #
# S S # S # S #
30000
#
#S S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
S #
S #
5°00'
S #
PANGKEP
# S S # S #
#S S #
# S
S #
S #
## S S S #
# S # S
119°00'
S #
#S# S
# S
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 30. Peta pola pergerakan dan kelimpahan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
Berdasarkan pola yang didapatkan diatas diperoleh informasi bahwa pola pergerakan ikan Kembung pada musim Timur (April – Juni 2009) sebagai berikut: pusat gravitasi penangkapan titik 1 berada pada posisi 119o18’ 32,8” BT dan 4o57’19,1” LS, bergerak ke arah Barat Laut sejauh 8,78 mil laut (titik 2), kemudian bergerak ke arah Barat Barat Laut sejauh 13,58 mil laut (titik 3). Pergerakan berikutnya ke arah Selatan sejauh 9,76 mil laut (titik 4) kemudian bergerak ke Timur Tenggara sejauh 7,61 mil laut (titik 5), dan terus bergerak ke Timur Tenggara sejauh 9,96 mil laut hingga (titik 6), dari titik ini, ikan Kembung tersebut kemudian berbelok ke arah Tenggara sejauh 9,81 mil laut (titik 7), kemudian berbelok ke arah Barat Barat Daya sejauh 7,02 mil laut (titik 8) kemudian menuju ke arah Barat Laut sejauh 12,91 mil laut (titik 9). Berdasarkan pola yang didapatkan dari peta diatas kemudian digabungkan dengan ke tiga parameter osenografi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan yaitu klorofil-a, suhu dan kedalaman. 1. Klorofil-a Pada gambar 31 diketahui bahwa ikan Kembung cenderung bergerak menuju perairan dengan kandungan klorofil-a yang lebih rendah yaitu antara 0,209 – 1,013 mgm-3, pada daerah tersebut ikan Kembung paling banyak tertangkap yaitu berkisar antara 75 – 120 kg, dan sebaliknya daerah dengan klorofil-a tinggi yaitu antara 3,425 – 7,445 mgm-3 justru ikan Kembung yang tertangkap relatif lebih sedikit, hanya berkisar antara 1 – 22 kg saja. Konsentrasi klorofil-a diatas 0,2 mgm-3
tersebut sebenarnya sudah cukup menjamin kebutuhan makanan bagi ikan Kembung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gower dalam Zainuddin, Dkk (2007) bahwa keberadaan konsentrasi klorofil-a diatas 0.2 mgm-3 mengindikasikan
keberadaan
plankton
yang
cukup
untuk
menjaga
kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting. Tampak bahwa ikan Kembung cenderung berada di daerah yag jauh dari pantai sedangkan konsentrasi klorofil-a makin ke arah pantai makin tinggi, karena pada daerah pantai terjadi run off yang membawa nutrisi dari daratan dan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Hal yang sama dikemukakan oleh Presetiahadi (1994) bahwa di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai.
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
Peta Indeks
PETA POLA PERGERAKAN IKAN KEMBUNG BERDASARKAN SEBARAN KLOROFIL 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Pola Migrasi
Hasil Tangkapan (kg) : Klorofil (Mg/m-3)
# # # S S S
S # S S # S S# # S # ## S S #
S# # S # S
S #
S S# # S #
S #
# S
S #
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
0.209 1.013 1.817 2.621 3.425 4.229 5.033 5.837 6.641 -
75 - 120
1.013 1.817 2.621 3.425 4.229 5.033 5.837 6.641 7.445
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
# S S # # S # S S# # S # SS# # S S#S# S # SS# S # #
S #
# S S # S # S #
30000
#
#S S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
S #
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S
#S S #
# S
S #
S #
## S S S #
# S # S
119°00'
S #
SS# #
# S
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 31. Peta sebaran klorofil-a, distribusi hasil tangkapan dan pola pergerakan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
2. Suhu Gambar 32 tampak bahwa ikan Kembung bergerak pada kisaran suhu 29,193 – 29.832 oC. Kecendrungannya memperlihatkan bahwa ikan Kembung bergerak menghindari suhu yang tinggi, dimana gerakannya mengitari daerah yang memiliki suhu yang lebih tinggi, atau dengan kata lain bahwa ikan Kembung pada dasarnya cenderung bergerak ke perairan yang memiliki suhu lebih hangat karena daerah tersebut merupakan daerah terjadinya front sehingga ikan akan melimpah di daerah tersebut. Hasil tangkapan rata-rata yang tertinggi terdapat pada suhu 29,193 – 29.832 oC yaitu 75 - 120 kg. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari www.fishbase.org bahwa ikan Kembung hidup pada kisaran suhu antara 20 - 30 oC. Menurut Nybakken (1992) perubahan suhu air akan mempengaruhi kehidupan dalam air, selain itu suhu berpengaruh terhadap keberadaan organisme di perairan. Banyak organisme termasuk ikan melakukan migrasi karena terdapat ketidaksesuaian lingkungan dengan suhu optimal untuk metabolisme.
Ditambahkan oleh Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (2007) bahwa keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut,
dimana
setiap
kelompok
kesenangan/toleransi yang berbeda-beda.
organisme
mempunyai
Perubahan suhu 0,5
sudah merupakan perubahan yang cukup signifikan bagi ikan.
o
C
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
Peta Indeks
PETA POLA PERGERAKAN IKAN KEMBUNG BERDASARKAN SEBARAN SUHU 119°00'
119°15'
S #
119°30'
119°45'
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Pola Migrasi
Hasil Tangkapan (kg) :Suhu ( oC) :
# # # S S S
# S
S # # S # S S# # S # SS # S #
## S S S #
S# # S # S
S #
S S# # S #
S #
# S
S #
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
75 - 120
Suhu (Deg C) 28.341 - 28.554 28.554 - 28.767 28.767 - 28.98 28.98 - 29.193 29.193 - 29.406 29.406 - 29.619 29.619 - 29.832 29.832 - 30.045 30.045 - 30.258
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
# S S # # S # S S# # S # SS# # S S#S# S # SS# S # #
S #
# S S # S # S #
30000
#
#S S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
S #
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S
#S S #
# S
S #
S #
# S # S
119°00'
S #
SS# #
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°15'
119°30'
0
30000 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 32. Peta sebaran suhu, distribusi hasil tangkapan dan pola pergerakan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
3. Kedalaman Gambar 33 memperlihatkan bahwa ikan Kembung cenderung bergerak di laut yang lebih dalam, yaitu pada kisaran kedalaman kedalaman 30,594 – 38,796 m.
Namun jika di rata-ratakan, hasil
tangkapan tertinggi diperoleh pada kisaran kedalaman 39,001 – 61,486 m, dengan hasil tangkapan antara 75 - 120 kg. Secara tidak langsung kedalaman berkaitan erat dengan teknis pengoperasian alat tangkap purse seine yang memerlukan kondisi kedalaman tertentu, sebab pada kondisi kedalaman yang rendah pengoperasian alat tangkap ini sangat sulit dilakukan karena bagian bawah
jaring
akan
menyentuh
dasar
perairan
sehingga
jaring
kemungkinan dapat tersangkut di dasar perairan dan akan menyulitkan proses pelingkaran dan penarikan jaring, selain itu sampah-sampah didasar perairan akan sangat mengganggu dan dapat merusak jaring. Karena alasan tersebut, sehingga pada umumnya titik penangkapan berada pada kisaran kedalaman 39,001 – 61,486 m.
PETA POLA PERGERAKAN DAN HASIL TANGKAPAN 59 IKAN KEMBUNG
T A SEBARAN K EDALA MAN T ERH ADAP H ASIL T ANGK APAN IKA N KEMBU NG
PETA POLA PERGERAKAN IKAN KEMBUNG BERDASARKAN SEBARAN KEDALAMAN
S #
119°45'
119°30'
119°15'
119°00'
Peta Indeks
BARRU
S #
Lokasi Penelitian # S
# S
S #
## S S
S #
Pola Migrasi
Hasil Tangkapan (kg) :Kedalaman (m) :
# # S # S S
# S
S # S S # S S# # S # S # ## S
S# # S # S
S #
S ##S # S S #
# S
S #
S #
# S S# # S
# S S # S #
S # S S # S # S# # S # S# # S S#S# # S # S S# # S # S
S # S # S # # S
30000
1 - 11
S #
11 - 22
S #
22 - 40
S #
40 - 75
# S
# S
S #
# S
S #
S # S #
5°00'
N
#
#S S
S #
30.006 34.504 39.001 43.498 47.995 52.492 56.989 61.486 65.984
75 - 120
-
34.504 39.001 43.498 47.995 52.492 56.989 61.486 65.984 70.481
S #
5°00'
S #
PANGKEP
S # S # # S # S # S
S #
S #
S #
## S S S #
#S # S
# S
119°00'
S #
#S# S
4°45'
4°45'
# S # S
S # ## S S# S S#
MAROS
S #
Sumber Peta : 1. Survey Lapangan 2009 2. Peta Bakosurtanal 2004
H. SUH ARTONO N URDIN P 0104206002
119°30'
119°15'
30000
0 Meters
119°45'
60000
Program Studi Ilmu Perikanan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2009
Gambar 33. Peta sebaran kedalaman, distribusi hasil tangkapan dan pola pergerakan ikan Kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hasil analisis memperlihatkan bahwa faktor klorofil-a, suhu, dan kedalaman berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan dan sekaligus mempengaruhi pola pergerakan ikan Kembung. 2. Berdasarkan metode Sistem Informasi Geografis (SIG), zona potensi penangkapan ikan Kembung yang paling potensial di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep pada musim Timur yaitu pada bulan April 2009 dengan posisi 119o22’01,2” 119o24’28,8” BT dan 4o43’24,3” - 4o45’50,8” LS dengan luas areal 16,66 km2 atau sebesar 0,0468% dari total luas zona potensial penangkapan dan jarak ke fishing ground 12,33 mil laut. 3. Pergerakan ikan Kembung cenderung mengabaikan kelimpahan klorofil-a yang tinggi disebabkan karena pengaruh faktor suhu yang lebih dominan, dimana pergerakannya berada di sekitar perairan dengan kondisi suhu yang hangat karena daerah tersebut merupakan daerah terjadinya front.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak menggunakan atraktor cahaya, alat ukur dengan tingkat akurasi yang lebih baik, jangka waktu penelitian yang lebih panjang misalnya dalam dua musim penangkapan, serta perlu validasi data dengan ulangan yang lebih banyak dan titik penangambilan sampel yang lebih banyak sehingga diperoleh data base yang lebih akurat untuk dapat menyimpulkan secara pasti sejauh mana pengaruh faktor oseanografi terhadap hasil tangkapan serta dapat memetakan zona potensial penangkapan dan pola migrasi ikan Kembung dengan lebih akurat dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi lagi.
DAFTAR PUSTAKA Alamsjah, Z. 1974. Ichthiyologi Sistematika. Proyek Peningkatan/ Pengembangan Perguruan Tinggi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim.
2007. Sistem Informasi Geografis. [online]. http://www.wikipedia.org [Diakses tanggal 17 November 2007].
Anonim. 2003. Profil LAPAN Pare-pare. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Pare-pare. Ayodhyoa, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Ben-Yami, M. 1987. Fishing With Light. Published by Arrangement With FAO by Fishing News Book Ltd. Long Garden Walk. Farnham. Surrey. England. Bigelow, K.A., Boggs, C.H., and He. X. 1999. Environmental Effects on Swordfish and Blue Shark Catch Rates in the US North Pacific Longline Fishery. Fishery Oceanography 8:3, 178-198. Brown.
1989. Seawaters: Its Compostition, Properties and Behavior. Prepaired by An Open University Course Team Walton Hall, Milton Keynes MKJ 6AA. England.
. 1989. Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries. An Introductory Manual FAO. Fisheries Paper 295. Rome. Burhanuddin, S., Martosuwejo, M., Adrim dan M. Hutomo. 1984. Sumberdaya Ikan Kembung. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. LON-LIPI. Jakarta. Dahuri, R., Rais, J., SP. Sitepu, M.J. 2001 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paramitha. Jakarta. Digle, H. 1966. Migration: The Biology of Life On The Move. New York. Oxford University Press. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep. 2008. Data Base Potensi Kelautan dan Perikanan Wilayah Pesisir dan Kepulauan Kabupaten Pangkep. Pangkep.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan. 2009. Statistik Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan. Makasar. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Teknik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Hanafi. 2004. Aplikasi Sistem informasi Geografis untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Tambak di Kabupaten Jeneponto. Jurusan ilmu kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. UNHAS. Makassar. Hasyim, B dan Chandra, E.A. 1996. Analisis Pola Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Utara Pulau Bali. Majalah Lapan Edisi Penginderaan Jauh bulan Januari 1999. LAPAN. Jakarta. http://www.fishbase.org/ [Diakses tanggal 13 Maret 2009]. http://modis.gsfc.nasa.gov/ [Diakses 27 Agustus 2009]. Hamston, R., Ault, J.S., Lutcavage, M., dan Olson, D.B. 2000. Schooling and Migration of Large Pelagic Fishes Relative to Environmental Cues. Fisheries Oceanography 9:2, 136-146. Blackwell Science Ltd. Isnawarti. 2008. Eksplorasi Potensi dan Pemetaan Zona Penangkapan Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta) Berbasis SIG di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep. Skripsi. Jurusan Perikanan FIKP Universitas Hasanuddin Makassar. Kimura, S., Matsuura, K., Suharti, S.R., dan Peristiwady, T. 2007. Fishes of Bitung. [online]. http://www.research.kahaku..go.jp/zoology/ Fishes of Bitung/data/p195 01a.html [Diakses tanggal 25 Februari 2008]. Laevastu, T., And Hayes, M.L. 1981. Fiheries Oseanography and Echology. Fishing News Book. London. Laevastu, T. and Hela, I. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News Books,. London.
Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A. And Picaut, J. 1997. El Nińo Southern Oscillation and Tuna in the Western Pacific. Nature 389:715-718. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2007. Produksi Informasi Bagi Nelayan Perikanan Tangkap. [online]. http://www.lapanrs.go.id [Diakses tanggal 22 Januari 2007]. Mallawa, A., 2009. Bahan Ajar Biologi Populasi Program Doktoral. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin Makassar. 2009. Martasuganda. 2004b. Pukat Cincin (Purse Seine). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nelwan, A. 2004. Pengembangan Kawasan Perairan Menjadi Daerah Penangkapan. Institut Pertanian Bogor. [online]. http://www.tripod.com [Diakses tanggal 5 Februari 2008]. Nelwan, A., Kurnia, M., Rasyid, A. 2003. Studi Tentang Daerah Penangkapan Ikan Alat Tangkap Purse Seine di Perairan Kota Makassar dan Kabupaten Takalar Serta Hubungannya dengan Faktor Oseanografi. Laporan Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Nomura, M, and T. Yamazaki. 1975. Fishing Techniques. Compilation of Transcript of Lectures Presented at the Training Department SEAFDEC. Japan International Corporation Agancy. Tokyo. Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. . 1993. “Pengolahan Sumberdaya Kelautan Indonesia Dengan Tekanan Utama Pada Perairan Pesisir”. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Hang Tuah. Surabaya. Nybakken, J. W. 1992. Marine Biology. (Terjemahan : Moh. Eidman dan Kuesoebiono. Biologi Laut). PT. Gramedia. Jakarta. , 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Pangkep, 2007. Potensi Perikanan Kabupaten Pangkep. [online]. http://www.Pangkep.go.id. [Diakses tanggal 17 Juni 2009].
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung. . 2004. Sistem Informasi Geografis Tutorial ArcView. Penerbit Informatika. Bandung. Pratisto, A. 2004. Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. PT Elex Komputindo. Presetiahadi. K,1994. Kondisi Oseanografi Perairan Selat Makassar pada Juli 1992 (Musim Timur). Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Priyanti, N.S., 1999. Studi Daerah Penangkapan Rawai Tuna di Perairan Selatan Jawa Timur – Bali pada Musim Timur Berdasarkan Pola Distribusi Suhu Permukaan Laut Citra Satelit NOAA – AVHRR dan Data Hasil Tangkapan. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the Abundance of Fish Catch. Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries, India, 7-11 December 1993. Renjaan, H.G. 1981. Buku Pengantar Peserta Latihan Balai Keterampilan Penangkapan Ikan. Direktoral Jenderal Perikanan. Ambon. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bogor. Salamun. 2001. Komputer Teknik. Jurusan Planologi Fakultas teknik. Universitas 45. Makassar. Santoso, S., 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik. Seri Solusi Bisnis Berbasis TI. PT Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta. Soetoto. 1985. Geologi Citra Penginderaan Jauh. UGM. Yogyakarta. Subani, W., dan Barus, H.R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (Edisi Khusus). Jakarta.
Sudirman dan Mallawa, A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Cipta. Jakarta.
Rineka
Sudjana, M.A. 2002. Metode Statistika. Tarsito. Bandung. Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Jilid I. UGM. Yogyakarta. Widodo, J. , I Gede S., M dan Subhat N. 1998. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil Dalam : Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut – LIPI. Jakarta. Yahya, M. A., Jaya, I., Kaswadji, R. dan Hanggono, A. 2000. Hubungan Karasteristik Laut dengan Produksi Tangkapan Ikan Terbang di Selat Makassar. Makalah. MARITEK. Vol 1. Maret 2001 : 29 – 46. Yousman, Y. 2003. Sistem Informasi Geografis dengan Mapinfo Professional. Penerbit Andi. Yogyakarta. Zainuddin, M. 2006. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penelitian Perikanan dan Kelautan. Disampaikan Pada Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kabupaten Selayar. Selayar. Zainuddin, M., Safruddin, dan Ismail. 2007. Pendugaan Potensi Sumberdaya Laut dan Migrasi Ikan Pelagis Kecil di Sekitar Perairan Jeneponto. Laporan Hasil Penelitian. Laboratorium Sistem Informasi Perikanan Tangkap. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Lampiran 1.
Data umum pengukuran faktor oseanografi dan hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) ada alat tangkap purse seine di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep. Posisi
Tanggal 22/04/2009 22/04/2009 22/04/2009 22/04/2009 22/04/2009 22/04/2009 23/04/2009 23/04/2009 23/04/2009 23/04/2009 23/04/2009 23/04/2009 24/04/2009 24/04/2009 25/04/2009 25/04/2009 25/04/2009 25/04/2009 25/04/2009 25/04/2009 20 Mei 2009
Long
Lat
119.3133 119.3045 119.3013 119.2865 119.2816 119.2838 119.2975 119.2977 119.3064 119.3156 119.3814 119.3258 119.2766 119.3234 119.2953 119.2944 119.2931 119.1867 119.1903 119.1861 119.0517
-5.0254 -5.0211 -5.0211 -5.0211 -4.7068 -4.7024 -5.0293 -5.0202 -5.0273 -4.7456 -4.7437 -4.7437 -4.9997 -5.0105 -4.8119 -4.8367 -4.8458 -4.8386 -4.8375 -4.8417 -4.7793
Klorofil-a (mgm-3) 0.9973 0.7406 0.7406 0.7462 0.4795 0.4760 0.7406 0.7934 0.7406 0.4297 0.8231 0.4297 0.7934 0.9662 0.4533 0.6535 0.6535 0.4789 0.5262 0.4789 0.3073
o
Suhu ( C) 29.9463 29.8925 29.8925 29.8925 30.1471 30.1471 29.8925 29.9398 29.8925 30.1365 30.2583 30.1765 29.9398 29.9700 30.1916 30.0130 30.0130 30.0467 29.9922 30.0467 29.7088
Faktor Oseanografi Kedalaman Salinitas (m) (o/oo) 45.00 28.00 45.00 28.50 45.00 28.50 45.00 26.01 42.00 26.28 46.50 26.89 37.50 28.75 52.50 28.50 40.50 28.30 37.50 28.05 52.50 26.20 37.50 28.32 37.50 28.30 37.50 28.50 45.00 30.00 43.50 29.50 43.50 31.21 37.50 29.00 43.50 30.05 45.00 30.30 40.50 26.31
Kec Arus (ms-1) 0.016 0.022 0.037 0.091 0.053 0.059 0.045 0.078 0.054 0.036 0.047 0.079 0.041 0.029 0.026 0.042 0.033 0.031 0.033 0.216 0.078
kembung (kg)
Y Prediksi (Kg)
7.10 15.00 64.00 40.00 10.00 4.00 88.00 57.60 32.00 30.00 45.00 7.50 30.00 45.00 30.00 15.00 45.00 10.00 30.00 7.50 30.00
1.04 1.05 1.09 1.23 1.13 1.14 1.11 1.20 1.13 1.09 1.11 1.20 1.10 1.07 1.06 1.10 1.08 1.07 1.08 1.64 1.20
20 Mei 2009 20/05/2009 21 Mei 2009 21 Mei 2009 21 Mei 2009 21 Mei 2009 21 Mei 2009 21 Mei 2009 21 Mei 2009 22/05/2009 22 Mei 2009 22 Mei 2009 22 Mei 2009 22 Mei 2009 22 Mei 2009 23 mei 2009 23 Mei 2009 23 Mei 2009 23 Mei 2009 23 Mei 2009 23 Mei 2009 16 Juni 2009 16 Juni 2009 16 Juni 2009 16 Juni 2009
119.0413 119.0400 119.2964 119.2978 119.2550 119.2584 119.0448 119.0454 119.0343 119.1599 119.1589 119.1700 119.2551 119.2543 119.2634 119.1590 119.1632 119.1660 119.2766 119.2926 119.3025 119.4116 119.4179 119.4138 119.2569
-4.7745 -4.7790 -4.8052 -4.8095 -5.0141 -5.0172 -4.7833 -4.6215 -4.7882 -4.8138 -4.8064 -4.8090 -5.0134 -5.0246 -5.0120 -4.7915 -4.7952 -4.7991 -5.0341 -5.0229 -5.0265 -5.0154 -4.8543 -4.8626 -4.6294
0.3076 0.3073 0.4040 0.4040 0.3830 0.3830 0.3073 0.2086 0.3076 0.3982 0.4026 0.4026 0.3830 0.4589 0.3830 0.4026 0.4026 0.4026 0.6183 0.6183 0.6183 7.4654 5.0615 5.0615 0.6039
29.7039 29.7039 29.9133 29.9133 29.8401 29.8401 29.7039 29.5913 29.7039 29.7089 29.8280 29.8280 29.8401 29.7326 29.8401 29.8280 29.8280 29.8280 29.8559 29.8559 29.8559 29.1538 29.0075 29.0075 28.9143
45.00 45.00 42.00 42.00 45.00 48.00 43.50 45.00 45.00 49.50 45.00 46.50 46.50 45.00 45.00 37.50 45.00 43.50 49.50 37.50 37.50 37.50 34.50 40.50 43.50
29.27 29.21 28.00 28.05 28.72 28.41 28.59 29.03 29.45 29.00 28.05 29.01 29.90 29.10 30.05 28.01 29.50 29.20 30.90 29.00 30.05 29.50 30.00 28.50 27.50
0.995 0.756 0.028 0.036 0.038 0.071 0.066 0.065 0.065 0.073 0.032 0.030 0.037 0.043 0.022 0.038 0.051 0.042 0.049 0.032 0.072 0.031 0.042 0.025 0.0258
57.60 30.00 11.20 20.00 45.00 16.00 60.00 45.00 75.00 120.00 60.00 52.50 21.00 70.00 16.00 15.00 14.00 13.00 15.00 10.00 52.00 30.00 7.50 30.00 15.00
9.89 5.70 1.07 1.09 1.09 1.18 1.16 1.16 1.16 1.18 1.08 1.07 1.09 1.10 1.05 1.09 1.12 1.10 1.12 1.08 1.18 1.07 1.10 1.06 1.06
16 juni 2009 16 Juni 2009 16 Juni 2009 16 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 17 Juni 2009 18 Juni 2009 18 Juni 2009 18 Juni 2009 18 Juni 2009 18 Juni 2009 19 Juni 2009 19 Juni 2009 19 Juni 2009 19 Juni 2009 19 Juni 2009 19 Juni 2009 20 Juni 2009 20 Juni 2009
119.2651 119.2724 119.2091 119.2121 119.3418 119.3844 119.2305 119.3213 119.3165 119.4085 119.4060 119.4047 119.3813 119.3916 119.3699 119.3675 119.3674 119.2132 119.1975 119.2268 119.2241 119.2241 119.2627 119.1466 119.1636
-4.6432 -4.6525 -5.1045 -5.1023 -4.9454 -4.9958 -5.0717 -4.8592 -4.8396 -5.0327 -4.9911 -4.9988 -5.0224 -5.0355 -4.9862 -4.9958 -5.0201 -5.1029 -5.0705 -5.0552 -5.0234 -5.0459 -5.1016 -5.0236 -5.0458
0.6039 0.5001 0.3729 0.3220 0.6326 2.2673 0.3917 0.5640 0.6274 2.8187 7.4654 7.4654 2.5862 2.5862 2.2673 2.2673 2.2673 0.3220 0.3220 0.3394 0.3394 0.3394 0.3917 0.3269 0.3269
28.9143 28.8906 28.4517 28.4495 28.7601 28.9343 28.5277 28.7737 28.7027 29.0269 29.1538 29.1538 28.8045 28.8045 28.9343 28.9343 28.9343 28.4495 28.4496 28.4216 28.4216 28.4216 28.5277 28.3412 28.3412
42.00 37.50 42.00 57.00 37.50 42.00 52.50 37.50 37.50 37.50 37.50 37.50 34.50 42.00 30.00 30.00 37.50 45.00 67.50 63.00 52.50 52.50 63.00 37.50 63.00
29.00 30.00 28.00 26.20 28.32 28.30 28.80 28.50 28.21 29.50 29.21 30.00 29.00 28.55 31.00 29.00 30.00 29.50 30.00 31.00 29.00 28.50 30.00 29.00 29.50
0.0268 0.1429 0.0532 0.0490 0.0280 0.0380 0.0236 0.0629 0.0606 0.0585 0.0301 0.0746 0.0283 0.0375 0.0341 0.0269 0.0255 0.0304 0.0418 0.0599 0.0433 0.0312 0.0224 0.0246 0.0267
30.00 35.00 15.00 60.00 20.00 15.00 60.00 60.00 30.00 15.00 120.00 45.00 25.00 15.00 20.00 10.00 25.00 29.00 31.00 22.00 13.00 19.00 20.00 21.00 26.00
1.06 1.39 1.13 1.12 1.07 1.09 1.06 1.16 1.15 1.14 1.07 1.19 1.07 1.09 1.08 1.06 1.06 1.07 1.10 1.15 1.10 1.07 1.05 1.06 1.06
20 Juni 2009 20 Juni 2009 20 Juni 2009 20 Juni 2009 20 Juni 2009 20 Juni 2009 21 Juni 2009 21 Juni 2009 21 Juni 2009 22 Juni 2009 22 Juni 2009 23 Juni 2009 24 Juni 2009 24 Juni 2009 24 Juni 2009 25 Juni 2009 25 Juni 2009 25 Juni 2009 26 Juni 2009 26 Juni 2009 26 Juni 2009
119.1743 119.1628 119.1370 119.1006 119.0644 120.0116 119.2186 119.1927 119.1847 119.0292 119.3474 118.9944 119.0339 119.0086 119.0090 119.0407 119.4118 119.0423 119.0450 119.2643 119.0421
-5.0590 -4.9346 -4.9119 -4.8870 -4.5997 -4.6188 -4.8706 -4.8662 -4.8648 -4.6403 -4.6224 -4.7524 -4.7553 -4.7516 -4.7486 -4.7835 -4.7524 -4.7930 -4.7714 -4.7749 -4.8689
0.3269 0.4190 0.3154 0.4330 0.2615 0.2473 0.3414 0.3414 0.2533 0.2602 0.3603 0.3695 0.2887 0.3695 0.3695 0.2943 2.9689 0.2943 0.2943 0.4293 0.2932
28.3412 28.4617 28.3749 28.3786 28.6073 28.4517 28.4883 28.4883 28.4259 28.4732 29.0297 28.4926 28.5492 28.4926 28.4926 28.5506 29.0125 28.5507 28.5507 28.6403 28.3907
63.00 57.00 70.50 33.00 42.00 45.00 43.50 45.00 46.50 43.50 42.00 40.50 37.50 37.50 37.50 42.00 40.50 40.50 39.00 40.50 40.50
30.00 31.00 26.70 29.05 30.10 28.90 29.80 28.10 24.02 25.08 27.20 30.00 31.00 29.50 28.52 29.05 29.89 29.75 29.50 29.50 30.00
0.0386 0.0284 0.0787 0.0610 0.1493 0.0658 0.0917 0.0725 0.0820 0.0952 0.0980 0.0676 0.0840 0.0637 0.0676 0.0926 0.0654 0.0826 0.0637 0.0654 0.0575
33.00 45.00 56.00 32.00 15.00 7.00 3.00 6.00 4.00 12.00 9.00 6.00 2.00 1.00 4.00 13.00 20.00 18.00 14.00 12.00 9.00
1.09 1.07 1.20 1.15 1.41 1.16 1.24 1.18 1.21 1.25 1.25 1.17 1.21 1.16 1.17 1.24 1.16 1.21 1.16 1.16 1.14
Lampiran 2. Hasil uji normalitas Case Processing Summary Cases Valid N
Missing N
Total
Klorofil
92
Percent 100.0%
0
Percent .0%
N 92
Percent 100.0%
Suhu
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
Kedalaman
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
Salinitas
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
Arus
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
Kembung
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
Descriptives
Klorofil
Statistic .9607
Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
1.2194 .6856
Median
.4115 2.229
Std. Deviation
1.49295
Minimum
.21
Maximum
7.47
Range
7.26
Interquartile Range
.38
Skewness
3.316
Kurtosis Suhu
.7021
5% Trimmed Mean Variance
Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
11.070
.498 .06871
29.1111 29.3395 29.2203
Median
29.0283
Std. Deviation
.434 .65908
Minimum
28.34
Maximum
30.26
Range
.251
29.2253
5% Trimmed Mean Variance
Std. Error .15565
1.92
Interquartile Range
1.33
Skewness
.031
Kurtosis Kedalaman
Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
42.4549 45.0995 43.2065 42.7500 58.249 7.63212
Minimum
30.00
Maximum
70.50
Range
40.50
Interquartile Range
7.50
Skewness
1.399
Kurtosis Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
.251
2.440
.498
28.8720
.13507
28.6475 29.0964
5% Trimmed Mean
28.9418
Median
29.0000
Variance
1.678
Std. Deviation
1.29550
Minimum
24.02
Maximum
31.21
Range
7.19
Interquartile Range
1.56
Skewness Arus
.498 .79570
Median Std. Deviation
Salinitas
-1.706 43.7772
5% Trimmed Mean Variance
.251
-1.066
.251
Kurtosis
2.043
.498
Mean
.0713
.01309
90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
.0496 .0931
5% Trimmed Mean
.0515
Median
.0460
Variance Std. Deviation
.016 .12555
Minimum
.02
Maximum
1.00
Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
.98 .04 6.300
.251
41.704
.498
Kembung
Mean
28.7554
90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
2.45063
24.6830
Upper Bound
32.8278
5% Trimmed Mean
26.4263
Median
20.5000
Variance
552.515
Std. Deviation
23.50564
Minimum
1.00
Maximum
120.00
Range
119.00
Interquartile Range
30.75
Skewness
1.670
.251
Kurtosis
3.583
.498
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Klorofil
Statistic .374
df
Shapiro-Wilk
92
Sig. .000
Statistic .478
df 92
Sig. .000
Suhu
.212
92
.000
.857
92
.000
Kedalaman
.219
92
.000
.867
92
.000
Salinitas
.131
92
.001
.927
92
.000
Arus
.362
92
.000
.299
92
.000
92
.000
.845
92
.000
Kembung
.164 a Lilliefors Significance Correction
Lampiran 3. Hasil uji normalitas lanjutan (setelah di logaritmakan) Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Klorofil
92
Percent 100.0%
Suhu
92
Kedalaman Salinitas
N
Total
0
Percent .0%
100.0%
0
92
100.0%
92
100.0%
Arus
92
Tangkapan
92
N 92
Percent 100.0%
.0%
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
0
.0%
92
100.0%
100.0%
0
.0%
92
100.0%
100.0%
0
.0%
92
100.0%
Descriptives
Klorofil
Statistic -.2401
Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
-.1775 -.2780
Median
-.3857 .131
Std. Deviation
.36144
Minimum
-.68
Maximum
.87
Range
1.55
Interquartile Range
Suhu
-.3027
5% Trimmed Mean Variance
Std. Error .03768
.33
Skewness
1.710
.251
Kurtosis
2.250
.498
1.4656
.00102
Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
1.4640 1.4673
5% Trimmed Mean
1.4656
Median
1.4628
Variance Std. Deviation
.000 .00979
Minimum
1.45
Maximum
1.48
Range
.03
Interquartile Range
.02
Skewness Kurtosis
.020
.251
-1.706
.498
Kedalaman
Mean 90% Confidence Interval for Mean
1.6354 Lower Bound Upper Bound
1.6324 1.6309 .005 .07030
Minimum
1.48
Maximum
1.85
Range
.37
Interquartile Range
.08
Skewness Kurtosis Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
.251
1.230
.498
1.4600
.00209
1.4565 1.4635 1.4613
Median
1.4624 .000
Std. Deviation
.02003
Minimum
1.38
Maximum
1.49
Range
.11
Interquartile Range
.02
Skewness Kurtosis Mean 90% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
-1.265
.251
2.697
.498
-1.3002
.02939
-1.3491 -1.2514
5% Trimmed Mean
-1.3255
Median
-1.3378
Variance
.079
Std. Deviation
.28187
Minimum
-1.79
Maximum
.00
Range
1.79
Interquartile Range
Tangkapan
.812
5% Trimmed Mean Variance
Arus
1.6475
Median Std. Deviation
Salinitas
1.6232
5% Trimmed Mean Variance
.00733
.34
Skewness
1.911
.251
Kurtosis
6.730
.498
1.3132
.04029
Mean 90% Confidence
Lower Bound
1.2463
Interval for Mean
Upper Bound
1.3802
5% Trimmed Mean
1.3284
Median
1.3116
Variance
.149
Std. Deviation
.38644
Minimum
.00
Maximum
2.08
Range
2.08
Interquartile Range
.53
Skewness Kurtosis
-.615
.251
.765
.498
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Klorofil
Statistic .206
df
Shapiro-Wilk
92
Sig. .000
Statistic .779
df 92
Sig. .000
Suhu
.213
92
.000
.857
92
.000
Kedalaman
.182
92
.000
.922
92
.000
Salinitas
.142
92
.000
.909
92
.000
Arus
.104
92
.015
.854
92
.000
92
.074
.972
92
.043
Tangkapan
.088 a Lilliefors Significance Correction
Lampiran 4. Hasil analisis Cobb-Douglas dengan metode backward
Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Kedalaman, Arus, Salinitas, Suhu, Klorofil(a)
Method
.
Enter
Salinitas
Backward (criterion: Probability of F-toremove >= .100).
Arus
Backward (criterion: Probability of F-toremove >= .100).
2
.
3
.
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Kembung
Model Summary(d)
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics
1
.432(a)
.186
.139
.35855
R Square Change .186
2
.432(b)
.186
.149
.35652
.000
3 a b c d
.430(c) .185 .157 .35486 -.002 Predictors: (Constant), Arus, Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Suhu, Klorofil Dependent Variable: Tangkapan
F Change 3.941
df1 5
df2 86
Sig. F Change .003
.016
1
86
.899
.182
1
87
.670
ANOVA(d)
Model 1
2
3
Regression
Sum of Squares 2.533
df 5
Mean Square .507 .129
Residual
11.056
86
Total
13.589
91
Regression
2.531
4
.633
Residual
11.058
87
.127
Total
13.589
91
2.508
3
.836
11.081
88
.126
Regression Residual
F 3.941
Sig. .003(a)
4.978
.001(b)
6.639
.000(c)
t
Sig.
Total
a b c d
13.589 91 Predictors: (Constant), Arus, Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Suhu, Klorofil Dependent Variable: Tangkapan
Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model
Standardized Coefficients
B -18.838
Std. Error 6.799
-2.771
.007
.297
.122
.278
2.440
.017
10.732
3.900
.272
2.752
.007
2.034
.599
.370
3.395
.001
Salinitas
.815
1.908
.042
.427
.670
Arus
.018
.141
.013
.127
.899
-18.825
6.759
-2.785
.007
.292
.115
.273
2.540
.013
10.724
3.877
.272
2.766
.007
2.023
.590
.368
3.430
.001
.810 -17.364 .298
1.897 5.802 .114
.042 .279
.427 -2.993 2.626
.670 .004 .010
10.543
3.836
.267
2.749
.007
2.016 a Dependent Variable: Tangkapan
.587
.367
3.435
.001
1
(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman
2
(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman Salinitas
3
(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman
Beta
Excluded Variables(c) Collinearity Statistics Partial Beta In t Sig. Correlation Arus .013(a) .127 .899 .014 3 Arus .012(b) .118 .906 .013 Salinitas .042(b) .427 .670 .046 a Predictors in the Model: (Constant), Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil b Predictors in the Model: (Constant), Kedalaman, Suhu, Klorofil c Dependent Variable: Tangkapan Model 2
Tolerance .899 .900 .968
Residuals Statistics(a) Minimum .9075
Maximum 1.6904
Mean 1.3132
Std. Deviation .16601
-1.01677
.66131
.00000
.34896
92
-2.444
2.272
.000
1.000
92
-2.865 a Dependent Variable: Tangkapan
1.864
.000
.983
92
Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual
N 92
Histogram Histogram
Dependent Dependent Variable: Variable: Kembung Kembung
20 20
Frequency Frequency
15 15
10 10
55
Mean Mean==-9.08E-15 -9.08E-15 Std. Std.Dev. Dev.==0.983 0.983 NN==92 92
00 -2 -2
-1 -1
00
11
22
33
44
Regression Regression Standardized Standardized Residual Residual
Normal Normal P-P P-P Plot Plot of of Regression Regression Standardized Standardized Residual Residual
Dependent Dependent Variable: Variable: Kembung Kembung 1.0 1.0
Prob Cum Prob Expected Cum Expected
0.8 0.8
0.6 0.6
0.4 0.4
0.2 0.2
0.0 0.0 0.0 0.0
0.2 0.2
0.4 0.4
0.6 0.6
Observed Observed Cum Cum Prob Prob
0.8 0.8
1.0 1.0
Lampiran 5. Summary Output hubungan antara hasil tangkapan di lapangan dengan prediksi hasil tangkapan. SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 00 Januari 1900 R Square 00 Januari 1900 Adjusted R Square 00 Januari 1900 Standard Error 21 Januari 1900 Observations 01 April 1900 ANOVA Df Regression Residual Total
3.0000 88.0000 91.0000
Coefficients Intercept X Variable 1 X Variable 2 X Variable 3
-309.2410 4.3745 10.0192 0.9361
SS 8034.0962 42244.7711 50278.8673
Standard Error 107.9643 1.6265 3.5587 0.3230
MS 2678.0321 480.0542
t Stat -2.8643 2.6896 2.8154 2.8981
F Significance F 5.5786 0.0015
P-value 0.0052 0.0086 0.0060 0.0047
Lower 95% -523.7973 1.1422 2.9471 0.2942
Upper 95%
Lower 95.0%
94.6848 7.6068 17.0913 1.5780
-523.7973 1.1422 2.9471 0.2942
Upper 95.0% -94.6848 7.6068 17.0913 1.5780