HUBUNGAN ASUPAN GIZI, AKTIVITAS FISIK, DAN GANGGUAN MAKAN TERHADAP STATUS GIZI PADA ANAK DENGAN DISABILITAS INTELEKTUAL DI JAKARTA TAHUN 2013 Tiyani Rahmawati, Asih Setiarini Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakan, Universitas Indonesia ABSTRAK Prevalensi anak dengan disabilitas intelektual di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Anak dengan disabilitas intelektual memiliki risiko lebih besar mengalami gizi lebih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan gizi, aktivitas fisik, dan gangguan makan terhadap status gizi anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan metode total sampling. Pengambilan data dilakukan pada bulan April – Mei 2013 di SLBN 5 dan 6 Jakarta. Sampel terdiri dari 80 anak dengan disabilitas intelektual kelas satu hingga enam. Instrumen yang digunakan terdiri dari dua, yaitu (1) timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg dan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm untuk pengukuran antropometri; (2) kuesioner dengan metode wawancara untuk pengambilan data asupan gizi, aktivitas fisik, dan gangguan makan. Metode statistik yang digunakan adalah Chi Square. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui 43,75% responden berstatus gizi lebih, 70% mengonsumsi energi ‘cukup’, 71,25% protein ‘cukup’, 90% lemak ‘cukup, 90% karbohidrat ‘kurang’, 88,75% vitamin A ‘cukup’, 86,25% vitamin B6 ‘kurang’, 82,5% vitamin C ‘kurang’, 88,75% kalsium ‘kurang’, dan 96,25% zat besi ‘kurang’. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara asupan lemak dengan status gizi lebih (p=0,043) dan berisiko 3 kali untuk mengalami gizi lebih. Berdasarkan hasil tersebut, disarankan kepada sekolah untuk memberikan pengetahuan terkait gizi kepada orang tua. Kata kunci: aktivitas fisik; anak dengan disabilitas intelektual; asupan giz;, gizi lebih; gangguan makan ABSTRACT The prevalence of overweight intellectual disability children in Indonesia keep increasing every year. Children with an intellectual disability have a greater risk of experiencing overweight. The study aimed to determine the relationship between intake of nutrient (energy, protein, fat, carbohydrate, vitamin A, vitamin B6, vitamin C, calcium (Ca), and iron (Fe)), physical activity, and feeding problem to nutritional status of children with intellectual disability in Jakarta. This study is using cross sectional and total sampling method. This study was conducted on April – Mei 2013 at SLBN 5 and 6 Jakarta. Total sample of this study was 80 children consisted of class one to six. The instruments used are composed of two: (1) digital scales with accuracy of 0.1 kg and microtoise with the accuracy of 0.1 cm for the measurement of Anthropometry; (2) the questionnaire method interview for data retrieval nutrient intake, physical activity, and eating disorders. The statistical method of this study was Chi Square. Based on the research of 43.75% samples are overweight, 70% energy ‘good’, 71,25% protein ‘good’, 90% fat ‘good’, 90% carbohydrate ‘less’, 88,75% vitamin A ‘good, 86,25% vitamin B6 ‘less’, 82,5% vitamin C ‘less’, 88,75% calcium ‘less’, dan 96,25% iron ‘less’. Statistic result is showing there is association between fat consumption to overweight intellectual disability children (p=0,043) and had risk to be overweight 3 times. Based on the result, it was suggested to give information about balance nutrition to the parents and teachers at school. Keyword: physical activity; children of intellectual disability; intake of nutrient; overweigh; feeding problem
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
PENDAHULUAN
Disabilitas intelektual merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan keterbatasan intelegensi (<70 skor IQ), kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang terjadi sebelum usia 18 tahun (APA, 2000; AAIDD, 2010). Anak dengan disabilitas intelektual, terutama kategori berat dan sangat berat, memiliki daya ketergantungan terhadap orang lain yang tinggi bila dibandingkan dengan anak normal. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan, seperti permasalahan gizi (gizi lebih atau gizi kurang), penurunaan aktivitas fisik, dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Anak dengan disabilitas intelektual yang mengalami gizi lebih akan berisiko terkena penyakit kardiovaskuler. Center of Disease Control and Prevention (CDC) (2012) menyebutkan bahwa pada suatu penelitian sebesar 70% anak berstatus gizi lebih memiliki paling tidak satu faktor resiko penyakit kardiovaskular, dan 39% memilik dua atau lebih faktor resiko. Selain itu, disabilitas intelektual juga dapat meningkatkan morbiditas atau bahkan mortalitas anak (Sularyo dan Kadim, 2000). Saat ini, jumlah penderita disabilitas intelektual diperkirakan lebih banyak di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju (Sularyo dan Kadim, 2000). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penderita disabilitas intelektual yaitu sebesar 7% dari total jumlah anak usia 0 – 18 tahun pada tahun 2007 (Kemenkes, 2010). Sementara itu, data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui jumlah penderita disabilitas intelektual usia 24 – 59 bulan sebesar 0,14%. Jumlah tersebut merupakan tiga besar kecacatan yang ada di Indonesia selain tuna daksa (17%) dan tuna wicara (15%). Dalam dunia pendidikan, anak dengan disabilitas intelektual disebut dengan tuna grahita. Sekolah khusus untuk anak dengan disabilitas intelektual (tuna grahita) adalah SLB tipe C (SLB-C). Data statistik Kemdiknas (2010) menunjukkan bahwa jumlah penderita tuna grahita pada jenjang sekolah dasar terbanyak terdapat pada provinsi DKI Jakarta dengan jumlah 558 anak dari 2.511 anak. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada anak, di antaranya adalah asupan zat gizi, aktivitas fisik (Brown, 2005), dan gangguan makan pada anak (Kuhn, 2004; Mathur et al., 2007; Reid et al., 1997). Marthur et al. (2007) menyatakan adanya perbedaan status gizi anak dengan disabilitas intelektual dengan status gizi anak normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ingtyas dkk. (2005) dan Mathur et al. (2007) menyatakan anak dengan disabilitas intelektual mengalami defisit asupan gizi yaitu diantaranya energi, protein,
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
zat besi (Fe), vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Marthur et al. (2005) menambahkan anak dengan disabilitas intelektual juga mengalami defisit kalsium (Ca).. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak dengan disabilitas intelektual lebih rendah dibandingkan dengan anak normal karena penurunan fungsi motorik. Penelitian Foley et al. (2008) dan Llyod et al. (2012) menyatakan bahwa aktivitas anak dengan disabilitas intelektual lebih rendah dibandingkan dengan anak normal, terutama anak usia sekolah. Selain itu, faktor gangguan makan juga dapat mempengaruhi status gizi. Asupan gizi yang tidak terpenuhi akibat gangguan makan yang dialami oleh anak dengan disabilitas intelektual dapat berpengaruh terhadap status gizi anak tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Hove (2007) dan Sharp et al. (2010) menunjukkan bahwa anak dengan disabilitas intelektual memiliki resiko lebih tinggi terkena gangguan makan dibandingkan dengan anak normal. Gangguan makan tersebut dapat berupa makan yang berlebihan atau terlalu sedikit, menghindari makanan tertentu, ruminasi, memilih-milih makanan tertentu atau selektif, membuang makanan dengan sengaja, dan makan dengan tempo cepat (Ha, 2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin B6, vitamin C, kalsium (Ca), dan zat besi (Fe)), aktivitas fisik, dan gangguan makan terhadap gizi lebih anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta tahun 2013.
TINJAUAN TEORITIS
Brown
(2005)
gizi
lebih
merupakan
kondisi
tubuh
seseorang
akibat
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan pengeluaran energi, dimana asupan energi lebih besar dibandingkan dengan aktivitas fisik yang dilakukan dalam jangka waktu lama. Status gizi dikategorikan berdasarkan nilai z-score menurut standar baku Kementrian Kesehatan (2010). Anak dengan disabilitas intelektual dengan z-score < -3SD dikategorikan sangat kurus, z-score -3 SD s.d < -2 SD dikategorikan kurus, z-score -2 SD s.d 1 SD dikategorikan normal, z-score > 1 SD s.d 2 SD dikategorikan gemuk, dan z-score >
2
SD
dikategorikan obesitas. Usia berbanding lurus dengan jumlah energi yang dibutuhkan. Energi tersebut dapat digunakan sebagai sumber tenaga untuk melakukan kegiatan fisik (Almatsier, 2009; Supariasa, 2002). Semakin bertambahnya usia makan semakin meningkat pula kebutuhan energi bagi tubuh. Selain usia, jenis kelamin juga merupakan komponen penting dalam
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
penentuan status gizi seseorang.. Pada umumnya, laki-laki lebih banyak membutuhkan asupan gizi dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Almatsier, 2009). Status gizi juga dipengaruhi oleh faktor tidak langsung seperti ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, perawatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga berkaitan dengan tingkat pendapatan keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan untuk keluarga (Gibney, 2005). Status gizi juga dapat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Kurangnya pengetahuan ibu mengakibatkan berkurangnya kemampuan ibu untuk menetapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi. Tingkat pengetahuan ibu juga dapat berkaitan dengan tingkat pendidikan ibu. Kebutuhan gizi anak usia sekolah meningkat seiring dengan pertumbuhan umur dan aktivitas fisik anak. Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan asupan gizi dibandingkan anak perempuan karena adanya perbedaan aktivitas fisik di antara keduanya. Asupan gizi diperoleh dari mengonsumsi makanan yang mengandung berbagai zat gizi berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Berbagai zat gizi tersebut akan diubah menjadi energi dalam tubuh yang nantinya akan digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Agar asupan gizi yang dikonsumsi seimbang, maka diperlukan acuan berupa Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Almatrsier, 2009; Gibson, 1990). Kebutuhan energi untuk anak laki-laki dan perempuan usia 7 – 9 tahun adalah 1800 kkal, untuk anak laki-laki dan perempuan usia 10 – 12 tahun adalah 2050 kkal, untuk anak laki-laki usia 13 – 15 tahun adalah 2400 kkal, sedangkan perempuan 2350 kkal, dan untuk anak laki-laki usia 16 – 18 tahun adalah 2600 kkal, sedangkan perempuan 2200 kkal. Adapun kebutuhan energi untuk anak usia 7 – 18 tahun terangkum pada Tabel 2.2. Selain usia, kebutuhan energi juga bergantung pada aktivitas fisik. Banyaknya energi bergantung pada jumlah otot yang bergerak, durasi beraktivitas, dan tingkat kegiatan yang dilakukan (Almatsier, 2009). Asupan energi yang berlebih dan ditunjang dengan aktivitas fisik yang rendah dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih (Gibney et al., 2008). Sumber energi dengan konsentrasi tinggi berasal dari bahan makanan sumber lemak, baik lemak nabati maupun lemak hewani karena dalam 1 gr lemak mengandung 9 kkal. Pada anak dengan disabilitas intelektual, asam amino yang terdapat dalam makanan berprotein tinggi dapat mempengaruhi fungsi otak dan kesehatan mental. Hal ini berkaitan dengan neurotransmiter otak. Asam amino merupakan bahan pembentuk dari beberapa neurotransmiter, yaitu neurotransmitter dopamin yang terbentuk dari asam amino tirosin.
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
Asupan asam amino yang kurang dapat menyebabkan terganggunya sintesis dari masingmasing neurotransmiter, yang mana berhubungan dengan suasana hati (mood) dan sifat agresif anak. Akan tetapi, penambahan asam amino yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan otak dan disabilitas intelektual (Rao et al., 2006). Lemak dan minyak merupakan senyawa lipida yang terdapat di dalam makanan. Lemak tersimpan dalam tubuh dalam bentuk trigliserida dan disimpan di dalam jaringan. Lemak ini merupakan simpanan energi utaama dalam tubuh. Sementara itu, lemak yang tersimpan di dalam tubuh dalam bentuk fosfolipida dan kolesterol. Lemak tersebut disebut juga dengan lemak struktural. Konsentrasi lemak struktural tertinggi terdapat pada otak (Almatsier, 2009). Karbohidrat berfungsi untuk menyediakan energi utama bagi tubuh. Energi yang berasal dari karbohidrat menghasilkan 4 kkal per gram. Makanan yang mengandung kaya karbohidrat dapat memicu terbentuknya tiptofan yang dapat menaikan perasaan kebahagiaan. Akan tetapi, rendahnya asupan karbohidrat pada anak dengan disabilitas intelektual dapat berpengaruh pada neurotransmiter otak, produksi serotonin, dan triptofan (Rao et al., 2006). WHO (1990) menganjurkan untuk mengonsumsi karbohidrat sebanyak 50 – 65% dari energi total. Zat gizi karbohidrat dapat diperoleh dari padi-padian/serelia, umbi-umbian, kacang kering, gula, dan hasil olahan dari berbagai sumber tersebut. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, diferensiasi sel, kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembanagan tubuh serta mencegah kanker dan penyakit jantung. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kebutaan dan meningkatkan resiko terkena penyakit saluran pernafasan dan diare, keterlambatan pertumbuhan serta meningkatkan angka kematian anak jika kekurangan lebih dari 30%. Kelebihan vitamin A pada bayi dapat menyebabkan pembesaran kepala, hidrosefalus, dan mudah tersinggung. Pada orang dewasa, kelebihan vitamin A dapat terlihat gejala sakit kepala, pusing, rambut rontok, kulit mongering, tidak ada nafsu makan, dan sakit pada tulang serta pada wanita berdampak menstruasi berhenti (Almatsier, 2009). Vitamin B merupakan vitamin yang larut dalam air. Vitamin B6 (piridoksin) berfungsi mencerna protein, sintesis antibodi, dan berperan pembentukan sel darah merah (PERSAGI, 2009). Asupan protein berbanding lurus dengan vitamin B6. Semakin banyak asupan protein yang masuk ke dalam tubuh maka semakin banyak kebutuhan vitamin B6. Kekurangan B6 menyebabkan gangguan protein seperti lemah, mudah tersinggung, dan sukar tidur (Almatsier, 2009). Salah satu sifat yang dimiliki oleh anak dengan disabilitas intelektual adalah sifat mudah tersinggung. Sifat tersebut berhubungan dengan tingkat vitamin B2 dan
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
B6 dalam tubuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rao et al. menyatakan bahwa perubahan suasana hati (mood) dipengaruhi oleh status vitamin B2 dan B6 dalam tubuh (Rao et al., 2006). Selain vitamin B, vitamin C juga merupakan vitamin larut air. Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh yaitu sebagai koenzim dan kofaktor. Vitamin C mudah diperoleh karena vitamin C banyak terdapat pada sayur dan buah, terutama yang memiliki rasa asam. Kekurangan vitamin C akan menyebabkan perbaikan jaringan menjadi lambat yang berakibat luka menjadi sukar sembuh, anemia, dan terkadang jumlah sel darah putih menurun. Dampak lainnya adalah gangguan saraf yang diikuti oleh gangguan psikomotor. Akan tetapi, kelebihan vitamin C tidak menimbulkan permasalahan pada kesehatan tubuh karena vitamin C akan terbuang bersama feses atau air seni. Namun, jika mengonsumsi vitamin C dosis tinggi/berlebih secara rutin tidak diperbolehkan karena kandungan asam oksalat dalam vitamin C akan dibentuk menjadi batu ginjal (Almatsier, 2009). Kalsium (Ca) merupakan mineral yang paling banyak di dalam tubuh dan jumlah paling banyak tersimpan pada tulang dan gigi. Kalsium (Ca) berfungsi sebagai pengatur kerja hormon dalam tubuh dan faktor pertumbuhan. Anak usia sekolah yang memiliki tingkat aktivitas fisik tinggi seiring dengan pertumbuhan dan pertambahan usia membutuhkan kalsium yang cukup (Almatsier, 2009). Kekurangan kalsium (Ca) dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, terutama untuk mencapai growth spurt. Akan tetapi, kelebihan kalsium (Ca) dapat menyebabkan batu ginjal atau gangguan ginjal dan konstipasi. Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Zat besi (Fe) berfungsi dalam metabolisme energi. Sumber zat besi (Fe) terdapat makanan hewani, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Akibat kekurangan zat besi (Fe) adalah menurunnya kemampuan belajar karena fungsi neurotransmitter (pengantar saraf) tidak bekerja dengan optimal, anemia zat besi, dan menurunkan appetite. Akan tetapi, kelebihan zat besi jarang ditemukan (Almatsier, 2009). Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Aktivitas fisik pada anak dengan disabilitas dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh, mengurangi resiko terkena penyakit kronis, serta menimbulkan kontak sosial yang dapat membantu interaksi pendamping atau orang tua dalam mengasuh (AAOS, 2007). Gangguan makan adalah masalah serius yang terjadi pada anak dengan disabilitas intelektual (Kuhn, 2004; Rezaei, 2004). Kuhn et al. (2004) menyatakan gangguan makan berupa menolak makanan, memilih-milih makanan, mengeluarkan kembali makanan dalam
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
mulut, pika, dan kurangnya kemampuan saat makan sering terjadi pada anak dengan disabilitas intelektual. Gangguan makan pada umumnya yang ditemui pada anak dengan disabilitas intelektual adalah makan berlebih, pika, mengeluarkan kembali makanan dalam mulut, memilih-milih makanan atau menolak makanan (Mayville, 2003). Anak dengan disabilitas intelektual yang menderita gangguan makan mencapai 80% pada tingkat berat, dibandingkan dengan anak normal yang mencapai 35% (Kuhn, 2004; Rezaei, 2004). Mayoritas dari gangguan makan terjadi akibat perilaku makan yang kurang tepat. Gangguan makan diidentifikasi ketika anak tidak dapat atau menolak untuk makan dan minum dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhannya atau variasi dari makanan untuk memelihara zat gizi yang tepat (Babbit et al.,1994; Piazza et al., 2004). Penyebab terjadinya gangguan makan pada anak bervariasi. Namun, mayoritas gangguan makan yang terjadi pada akibat dari interaksi faktor biologi dan lingkungan (Burklow et al., 19998; Piazza et al., 2004; Rommel, et al., 2003). Faktor biologi meliputi status kesehatan, penyakit, dan gangguan kesehatan lainnya yang menyebabkan makanan tidak dapat di konsumsi dengan jumlah yang cukup (Piazza et al., 2004). Gangguan makan yang berlangsung lama dapat menimbulkan masalah pada kesehatan dan tumbuh kembang anak, proses belajar, kemampuan berkomunikasi serta perkembangan hubungan dengan lingkungan sekitar (Rezaei et al., 2011), meningkatnya risiko gangguan kesehatan (Berezin et al., 1986), meningkatnya perasaan stres untuk anak dan keluarga (Singer et al., 1990), meningkatnya gangguan kesehatan mental di keluarga (Duniz et al., 1996), meningkatnya risiko untuk menderita anoreksia, bulimia, dan binge-eating (Kotler et al., 2001), meningkatnya biaya perawatan kesehatan untuk anak dan keluarga (Piazza et al., 2004), meningkatnya gangguan pernafasan, salah gizi, dan berujung pada kematian (Mayville, 2003). Gangguan makan pada anak disabilitas intelektual terdiri dari beberapa jenis diantaranya yaitu makan berlebihan, pika, ruminasi (rumination), memilih-milih dan menolak makanan. Gangguan makan tersebut sering terjadi pada anak usia sekolah. Berikut penjelasan dari setiap gangguan makan pada anak disabilitas intelektual (Matson & Kuhn, 2001). METODE PENELITIAN Desain studi yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 5 dan 6 Jakarta. Pemilihan lokasi didasari atas pertimbangan: (1) merupakan sekolah luar biasa negeri di Jakarta; (2)orang tua responden mayoritas memiliki
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
status ekonomi menengah ke bawah; (3) memiliki keragaman status gizi, yaitu gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. Populasi pada penelitian ini anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta dan sampel pada penelitian ini adalah: (1) anak dengan disabilitas intelektual, (2) siswa kelas satu hingga kelas enam, dan (3) hadir pada saat pengumpulan data. Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat kejadian status gizi pada anak dengan disabilitas intelektual. Selanjutnya, dengan metode sampel total didapatkan jumlah sampel sebesar 80 orang dengan jumlah minimal 66 orang dari kedua sekolah. Uji validitas instrumen dilakukan untuk mengurangi bias dan untuk mengetahui keandalan instrumen sebagai alat pengumpulan data. Uji validitas suatu instrumen (kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel (pertanyaan) dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya. Jika nilai r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak atau variabel valid. Namun jika nilai r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid. Data primer yang diperoleh berupa data diri responden, orang tua responden, antropometri, asupan gzi (energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin B6, vitamin C, kalsium (Ca), dan zat besi (Fe)), aktivitas fisik, dan gangguan makan. Sementara itu, data sekunder yaitu profil sekolah. Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap yaitu: (1) pengukuran antropometri untuk melihat BB dan TB, dan (2) wawancara kuesioner x 24 jam food recall dan FFQ untuk melihat asupan gizi, kuesioner PAQ-C untuk melihat aktivitas fisik, dan kuesioner The Sreening Tool of Feeding Problem (STEP) untuk melihat gangguan makan pada responden. Kategori status gizi ditentukan berdasarkan indikator IMT/U dengan menggunakan zscore berdasarkan standar antropometri Kemenkes 2010. Anak umur 5 – 18 tahun dengan zscore < -3sd dikategorikan sangat kurus, -3sd hingga -2sd dikategorikan kurus, -2 sd hingga 1 sd dikategorikan normal, 1 sd hingga 2 sd dikategorikan gemuk, dan >2sd dikategorikan obesitas. Skoring digunakan untuk mengklasifikasikan aktivitas fisik dan gangguan makan. Data asupan gizi dioleh dengan menggunakan Nutrisurvey untuk melihat kuantitas asupan anak serta dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) untuk melihat kecukupan asupan gizi. Analisis chi-square digunakan untuk menentukan hubungan antar faktor yang berhubungan dengan gizi lebih pada anak dengan disabilitas intelektual.
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
HASIL PENELITIAN Responden pada penelitian ini didominasi oleh responden laki-laki (56,2%). Pengelompokkan usia pada penelitian ini terbagi menjadi empat berdasarkan kelompok usia pada angka kecukupan gizi (AKG), yaitu 6 – 9 tahun, 10 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun. Prevalensi usia tertinggi pada kelompok usia 10 – 12 tahun (40%) dan prevalensi jenis kelamin tertinggi pada laki-laki yaitu 45 orang (56,2%). Jumlah responden paling banyak yaitu kelas dua dengan jumlah 26 orang (32,5%) dan yang paling sedikit adalah kelas empat dengan jumlah 6 orang (12,5%) seperti Tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin pada Anak dengan Disabilitas Intelektual di Jakarta Tahun 2013 Jenis Kelamin
7– 9 n (%) 12 (15) 12 (15) 24 (30)
Perempuan Laki-laki Total
Kelompok Usia (th) 10 – 12 13 – 15 n (%) n (%) 16 (20) 16 (20) 16 (20) 6 (7,5) 32 (40) 22 (27,5)
Total n (%)
16 – 18 n (%) 1 (1,25) 1 (1,25) 2 (2,5)
35 (43,8) 45 (56,2) 80 (100)
Pada antropometri, rata-rata berat badan responden adalah 40,14 kg ± 14,37 kg dengan nilai terendah adalah 18,20 kg dan nilai tertinggi adalah 94 kg. Status gizi responden dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) gizi lebih (kategori gemuk dan obesitas disatukan) dan (2) gizi tidak lebih (kategori kurus dan normal disatukan) Rata-rata status gizi pada anak dengan disabilitas intelektual adalah 0,64 ± 1,58 dengan prevalensi gizi lebih 43,75% (35 orang). Jika dilihat dari kelompok usia, gizi lebih didominasi oleh kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan dan 7 – 9 tahun untuk anak laki-laki dengan nilai masing-masing yaitu 8,75% (7 orang) seperti Tabel 2.
Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi pada Anak dengan Disabilitas Intelektual di Jakarta Tahun 2013 Tingkat Ketunaan Ringan (C) Sedang (C1) Total
Kurus n (%) 3 (3,75) 2 (2,5) 5 (6,25)
Status Gizi Normal Gemuk n (%) n (%) 8 (10) 5 (6,25) 32 (40) 13 (16,25) 40 (50) 18 (22,5)
Obesitas n (%) 6 (7,5) 11 (13,75) 17 (21,25)
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
Berdasarkan uji chi square diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan gizi, kecuali lemak, dengan status gizi lebih pada anak dengan disabilitas intelektual (p > 0,05) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Distribusi Responden berdasarkan Asupan Gizi, Aktivitas Fisik, dan Gangguan Makan pada Anak dengan Disabilitas Intelektual di Jakarta Tahun 2013 Asupan Gizi Energi Cukup (≥ 80 % AKG) Kurang (< 80 % AKG) Protein Cukup (≥ 80 % AKG) Kurang (< 80 % AKG) Lemak Cukup (≥25 % total energi) Kurang (< 25 % total energi) Karbohidrat Cukup (≥ 60 % total energi) Kurang (< 60 % total energi) Vitamin A Cukup (≥ 100 % AKG) Kurang (< 100 % AKG) Vitamin B6 Cukup (≥ 100 % AKG) Kurang (< 100 % AKG) Vitamin C Cukup (≥ 100 % AKG) Kurang (< 100 % AKG)
Status IMT/U Tidak Lebih Lebih n (%) n (%) 11 (45,8)
13 (54,2)
Total (n)
22 (39,3)
56
31(54,4)
26 (45,6)
57
14 (60,9)
9 (39,1)
23
40 (55,6)
32 (44,4)
72
5 (62,5)
3 (37,5)
8
6 (75)
2 (25)
8
39 (54,2)
33 (45,8)
72
38 (53,5)
33 (45,8)
72
7 (77,8)
2 (25)
8
6 (54,5)
5 (45,5)
23
39 (56,5)
30 (43,5)
57
8 (57,1)
6 (42,9)
66
29 (43,9)
95% CI
0,325
1,826 0,695 – 4,797
0,779
1,305 (0,487 – 3,496)
0,043
3,875 (1,153 – 13,018)
0,536
1,313 (0,248 – 6,938)
0,167
3,039 (0,590 – 15,657)
0,902
1,083 (0,302 – 3,891)
1,000
0,957 (0,299 – 3,067)
24
34 (60,7)
37 (56,1)
P value
14
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
Asupan Gizi Kalsium (Ca) Cukup (≥ 100 % AKG) Kurang (< 100 % AKG) Zat Besi Cukup (≥ 100 % AKG) Kurang (< 100 % AKG) Aktivitas Fisik Rendah (< mean) Tinggi (≥ mean) Gangguan Makan Rendah (< mean) Tinggi (≥ mean)
Status IMT/U Tidak Lebih Lebih n (%) n (%) 5 (55,6)
Total (n)
P value
95% CI
0,964
1,032 (0,256 – 4,169)
0,104
0,423 (0,326 – 0,548)
41 39
0,517
1,484 0,611 – 3,606
39 41
0,844
0,826 (0,341 – 2,00)
4 (44,4)
9
40 (56,3)
31 (43,7)
71
0
2 (100)
2
45 (58,4) 25 (61) 20 (51,3) 21 (53,8) 24 (58,5)
33 (42,3) 16 (37,2) 19 (51,4) 18 (46,2) 17 (41.5)
77
Aktivitas fisik olah raga dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan nilai mean. Indeks aktivitas fisik olah raga pada 43% responden berada di bawah nilai mean atau tergolong rendah. Sementara itu, sisanya sebesar 37% responden berada di atas nilai mean atau tergolong tinggi. Data gangguan makan yang dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan nilai rata-rata (mean).Sebagian besar responden memiliki gangguan makan tinggi yaitu 51,25% (rata-rata 23,06).
PEMBAHASAN Stecker (2011) menyatakan bahwa anak dengan disabilitas intelektual atau fisik memiliki risiko lebih besar untuk mengalami status gizi lebih (overweight) dan obesitas dibandingkan anak tanpa disabilitas. Status gizi lebih memiliki risiko terkena penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 1, gangguan pertumbuhan tulang, dan gangguan tidur (Stecker, 2012). Asupan energi yang cukup dan berlebih dapat menjadi penyebab terjadinya gizi lebih (Monasta et al., 2009). Kelebihan energi tersebut akan diubah menjadi lemak dan disimpan dalam bentuk lemak struktural (Almatsier, 2009). Makanan yang sering dikonsumsi oleh anak dengan disabilitas intelektual memiliki kandungan energi yang tinggi seperti beras, mie,
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
kentang, biskuit, dan roti merupakan sumber karbohidrat; ikan, susu, dan es krim merupakan sumber protein; serta gorengan termasuk ke dalam sumber lemak. Setiap 1 gram karbohidrat dan protein mengandung 4 kalori, sedangkan lemak mengandung 9 kalori tiap gramnya. Protein yang terdapat pada tubuh dalam jumlah cukup atau berlebih akan di deaminase (pelepasan gugus amino), kemudian nitrogen yang dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak sehingga asupan protein yang berlebih akan menyebabkan kegemukan (Almatsier, 2009). Kelebihan protein tidak hanya memberikan efek negatif pada saat anak-anak, melainkan akan berlanjut hingga dewasa karena asupan protein yang berlebih pada masa anak-anak akan meningkatkan risiko peningkatan lemak tubuh di saat dewasa (Gharib dan Rasheed, 2011). Fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Sementara itu, fungsi protein yang lainnya adalah sebagai sumber energi ketika tubuh mengalami kekurangan zat energi baik dari karbohidrat maupun lemak. Protein akan dipergunakan jika glukosa atau asam lemak di dalam tubuh terbatas (Almatsier., 2009). Asupan karbohidrat dan lemak yang cukup mengakibatkan protein dalam tubuh tetap dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan terutama pada anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, bukan sebagai sumber ataupun cadangan energi. Hal ini diduga menyebabkan ketidakbermaknaan pada asupan protein dengan gizi lebih. Lemak merupakan cadangan energi tubuh paling besar. Dalam 1 gr lemak mengandung 9 kkal. Pada umumnya, lemak dalam tubuh disimpan sebesar 50% di bawah jaringan kulit (subkutan), 45% di sekeliling organ dalam rongga perut, dan 5% di jaringan intramuskular (Almatsier, 2009). Asupan lemak yang berlebih akan disimpan dalam jaringan adipose sebagai cadangan energi (Almatsier, 2009). Ketidakseimbangan antara asupan dari lemak dengan pengeluaran energi dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih (Gibney et al., 2008). Kejadian gizi lebih pada anak-anak akibat kelebihan asupan lemak dapat berdampak pada peningkatan jumlah sel yang kemudian berlanjut pada pembesaran sel ketika dewasa (Soetjiningsih, 1995). Tingginya presentase responden dengan asupan lemak cukup meunjukkan bahwa makanan yang tersedia dan dikonsumsi oleh responden di sekolah merupakan makanan yang kaya akan lemak, baik lemak hewani maupun lemak nabati. Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam tubuh (Brown, 2005). Karbohidrat berfungsi untuk menyediakan glukosa bagi sel-sel tubuh, yang kemudian akan diubah menjadi energi (Almatiser, 2009). Glukosa yang diserap ke dalam darah menyebabkan kadar gula darah meningkat. Pada tingkat kadar gula darah tertinggi maka pankreas akan memproduksi insulin untuk mengurangi kadar gula sehingga tidak berlebihan dan menyimpan
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
glukosa ini dibagian tubuh lainnya seperti di hati dan otot. Namun, jika glukosa yang diserap berlebih maka akan meningkatkan kadar gula darah atau hiperglikemia. Makanan yang berasal dari karbohidrat memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang menunjukkan seberapa cepat makanan tersebut dapat meningkatkan kadar gula darah. Indeks glikemik terdiri dari skala 0 – 100 yang terbagi menjadi tiga golongan, yaitu rendah (<55), sedang (55 – 70), dan tinggi (>70). Glukosa memiliki nilai indeks glikemik 100 yang merupakan nilai indeks glikemik tertinggi. Beras, mie, kentang, biskuit, dan roti merupakan makanan dengan indeks glikemik tinggi dan sedang. Makanan yang mengandung nilai indeks glikemik tinggi dapat menaikan kadar gula darah dengan cepat, sebaliknya dengan makanan yang mengandung nilai indeks glikemik rendah dapat menaikan kadar gula darah secara perlahan. Makanan yang memiliki nilai indeks glikemik tinggi menyebabkan penyerapan yang cepat di dalam usus sehingga menimbulkan rasa lapar yang cepat (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Oleh karena itu makanan dengan nilai indeks glikemik tinggi cenderung mengonsumsi makanan secara berlebihan. Vitamin
merupakan zat organik yang berukuran sangat kecil dan tidak dapat
diproduksi dalam tubuh (Almatsier, 2009). Fungsi utama vitamin A adalah untuk membantu penglihatan dalam pencahayaan yang kurang. Vitamin A juga dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang dan gigi. Terhambatnya pertumbuhan tulang mengakibatkan anak dengan disabilitas intelektual terlihat lebih pendek dari anak normal lainnya. Hasil penelitian ini Ingtyas dkk. (2005) dan Mathur et al. (2007) menyatakan bahwa asupan vitamin A pada anak dengan disabilitas intelektual tergolong kurang, meskipun keduanya tidak menyebutkan presentasenya. Penelitian ini berbeda dengan Mathur et al. (2007) yang dilakukan di India pada 300 anak dengan disabilitas intelektual yang menyebutkan bahwa anak dengan disabilitas intelektual kurang mengonsumsi kalsium secara signifikan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu desain penelitian, jumlah sampel, dan instrument yang dipergunakan. Kalsium (Ca) adalah mineral yang berfungsi untuk mengisi kepadatan tulang dan gigi. Kalsium banyak terdapat pada makanan hewani seperti susu dan produk olahannya, ikan, serta makanan nabati seperti kacang-kacangan, buah, dan sayuran. Asupan kalsium yang kurang dari angka kecukupan gizi (AKG) dapat menyebabkan pengeroposan tulang akibat pengurangan jumlah kalsium dalam tulang. Vitamin C diperoleh dari sumber makanan nabati, sayur-sayuran, dan buah-buahan terutama yang bercita rasa asam (Almatsier, 2009). Sumber vitamin C yang paling sering dikonsumsi oleh anak dengan disabilitas intelektual adalah wortel (48,8%) dengan frekuensi 1
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
– 2 kali per minggu, tempe (26,3%) dengan frekuensi > 1 kali per hari, dan jeruk manis (37,5%) dengan frekuensi 1 – 2 kali per minggu. Vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya skorbut (sariawan). Secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap daya terima makanan anak dengan disabilitas intelektual dan memperngaruhi asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, vitamin C juga berhubungan dengan penyerapan zat besi karena vitamin C dapat membantu penyerapan besi non-hem dengan menguba bentuk dari zat besi (Fe) tersebut (Almatsier, 2009). Penelitian ini berbeda dengan Mathur et al. (2007) yang dilakukan di India pada 300 anak dengan disabilitas intelektual yang menyebutkan bahwa anak dengan disabilitas intelektual kurang mengonsumsi kalsium secara signifikan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu desain penelitian, jumlah sampel, dan instrument yang dipergunakan. Kalsium (Ca) adalah mineral yang berfungsi untuk mengisi kepadatan tulang dan gigi. Kalsium banyak terdapat pada makanan hewani seperti susu dan produk olahannya, ikan, serta makanan nabati seperti kacang-kacangan, buah, dan sayuran. Asupan kalsium yang kurang dari angka kecukupan gizi (AKG) dapat menyebabkan pengeroposan tulang akibat pengurangan jumlah kalsium dalam tulang. Sumber zat besi (Fe) berasal dari makanan hewani dalam bentuk bersi-hem dan makanan nabati dalam bentuk besi non-hem. Penggunaan zat besi (Fe) dalam tubuh sangat efisien. Maka dari itu, zat besi (Fe) dalam makanan mempunyai tingkat efisiensi 25% besihem dan 5% besi non-hem untuk diabsorpsi. Beberapa faktor yang mempengerahui penyerapan zat besi (Fe) yaitu asam organik, bentuk besi, dan kebutuhan zat besi (Fe). Asam organik, seperti vitamin C dapat membantu penyerapan besi non-hem dengan mengubah bentuk dari zat besi (Fe) tersebut (Almatsier, 2009). Kurangnya asupan zat besi (Fe) berpengaruh terhadap kemampuan belajar anak defisiensi zat besi (Fe) berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama pada bagian neurotransmiter sehingga mempengaruhi terhadap daya ingat, daya konsentrasi, dan kemampuan belajar terganggu (Almatsier, 2009). Dampak dari aktivitas fisik yang rendah adalah gaya hidup sedentari. Aktivitas yang kurang dapat berpengaruh terhadap gerak tubuh anak dengan disabilitas intelektual untuk berpartisipasi dalam lingkungan (Okely et al., 2004). Pada akhirnya, aktivitas fisik yang rendah akibat gaya hidup sedentari dan asupan makanan yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih pada anak dengan disabilitas intelektual (Davis et al., 2010). Menurut American Heart Association (2012) kurangnya aktivitas fisik pada anak dapat menyebabkan risiko terkena developing coronary artery disease semakin meningkat. Sementara itu, dengan
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
meningkatnya aktivitas fisik pada anak dengan disabilitas intelektual dapat menekan biaya pengeluaran dan meningkatkan kualitas hidup (Foley, 2005). Penelitian Sumaryanti dkk. (2010) menunjukkan bahwa aktivitas fisik memiliki manfaat bagi anak dengan disabilitas intelektual untuk dapat memperbaiki sirkulasi darah, meningkatkan pelepasan neurotransmitter, serta meningkatkan kerja saraf. Oleh karena itu, aktivitas fisik, khususnya olah raga, sangat baik untuk anak dengan disabilitas intelektual karena anak dengan disabilitas intelektual mempunyai kelainan pada bagian hippocampus. Hippocampus adalah bagian otak besar yang berperan pada kegiatan mengingat (memori) dan proses belajar. Masalah gangguan makan pada anak dengan disabilitas intelektual, terutama yang disertai dengan Down Syndrome dan Prader Wili Syndrome, akan semakin besar peluangnnya pada tingkat ketunaan tertinggi, yaitu disabilitas sangat berat (profound intellectual disability). Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan otak, kurangnya motivasi untuk membangun Anak dengan disabilitas intelektual, khususnya pada anak yang disertai Down Syndrome, memiliki gangguan makan seperti kesulitan dalam mengisap dan mengunyah sejak usia dini. Pada usia pra sekolah, gangguan makan yang sering terjadi adalah kesulitasn mengunyah dan menelan. Sementara itu, pada anak dengan disabilitas intlektual yang disertai Prader Willi Syndrom, gangguan makan yang paling sering terjadi yaitu kesulitan mengendalikan nafsu makan dan kurang peka terhadap rasa kenyang. Gangguan makan ini dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan yang tidak optimal sehingga anak dengan disabilitas intelektual terlihat lebih pendek dibandingkan anak normal. Selain itu, anak dengan disabilitas intelektual berpeluang untuk mengalami gizi lebih (Nutirition Food Service Management Institute, 2006). Dari hasil pengamatan di lapangan, gangguan makan anak dengan disabilitas intelektual seperti pika, memuntahkan makanan, dan ruminasi terjadi pada usia pra sekolah sehingga pada saat usia sekolah gangguan makan tersebut telah hilang karena telah menjalani terapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini tidak ada responden yang mengalami gangguan makan tersebut. Stecker (2011) menyatakan bahwa anak dengan disabilitas intelektual atau fisik memiliki risiko lebih besar untuk mengalami status gizi lebih (overweight) dan obesitas dibandingkan anak tanpa disabilitas. Status gizi lebih memiliki risiko terkena penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 1, gangguan pertumbuhan tulang, dan gangguan tidur (Stecker, 2012).
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43,75% berstatus gizi lebih pada anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta. Proporsi terbesar pada tingkat ketunaan sedang (C1) yaitu 33%, proporsi responden yang mengonsumsi energi ‘cukup’ (70%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 7 – 9 tahun untuk anak perempuan yaitu 7,5% dan 10 – 12 tahun untuk anak laki-laki yaitu 8,75%, proporsi protein ‘cukup’ (71,25%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 7 – 9 tahun dan 10 – 12 tahun untuk anak perempuan yaitu masing-masing 12,5% dan 7 – 9 tahun untuk anak laki-laki yaitu 11,25%, proporsi lemak ‘cukup’ (90%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan dan perempuan yaitu masing-masing 15,25% dan 18,75%, proporsi karbohidrat ‘kurang’ (90%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 7 – 9 tahun untuk anak perempuan yaitu 12,5% dan 10 – 12 tahun untuk anak laki-laki yaitu 16,25%, proporsi vitamin A ‘cukup’ (88,75%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan yaitu 16,25% dan 13 – 15 tahun untuk anak laki-laki yaitu 18,75%, proporsi vitamin B6 ‘kurang’ (86,25%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan yaitu 17,5% dan 13 – 15 tahun untuk anak laki-laki yaitu 17,5%, proporsi vitamin C ‘kurang’ (82,5%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan dan anak laki-laki yaitu masing-masing 16,25%, proporsi kalsium (Ca) ‘kurang’ (88,75%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan yaitu 18,75% dan 13 – 15 tahun untuk anak laki-laki yaitu 18,75%, proporsi zat besi (Fe) ‘kurang’ (96,25%) dengan asupan terbanyak pada kelompok usia 10 – 12 tahun untuk anak perempuan yaitu 20% dan 10 – 12 tahun serta 13 – 15 untuk anak laki-laki yaitu 20%, proporsi aktivitas fisik ‘rendah’ (51,3%) pada anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta, proporsi gangguan makan ‘tinggi’ (51,25%). pada anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta. Terdapat hubungan yang bermakna antara asupan lemak dengan status gizi lebih pada anak dengan disabilitas intelektual di Jakarta. Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara asupan energi, protein, karbohidrat, vitamin A, vitamin B6, vitamin C, kalsium (Ca), zat besi (Fe), aktivitas fisik, dan gangguan makan terhadap status gizi anak dengan disabilitas intelektual.
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
SARAN
1. Memberikan informasi terkait gizi, meliputi jenis, jumlah, dan jadwal makan kepada orang tua siswa dalam bentuk penyuluhan. 2. Memberikan informasi terkait gizi seimbang kepada para guru sehingga para guru dapat mengawasi asupan gizi di sekolah, khususnya lemak dan status gizi anak dengan disabilitas intelektual dapat terpantau dengan baik.
KEPUSTAKAAN
Almatsier , Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD). 2010. Definition
of
Intellectual
Disability.
Diakses
17
Februari
2013
dari
http://www.aamr.org/content_100.cfm Babbitt et al. (1994). Behavioral assessment and treatment of pediatric feeding disorders. Developmental and Behavioral Pediatrics, 15, 278-291. Berezin et al. (1986). Gastroesophageal Reflux Secondary to Gastrostomy Tube Placement. American Journal of Diseases in Childhood,140(7), 699-701. Brown, Judith E. (2005). Nutrition Through the Life Cycle Second Edition. USA: Thomson Wadswoth. Burklow et al. (1998). Classifying Complex Pediatric Feeding Disorders. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutrition, 27(2), 143-147. Duniz et al. (1996). Changes in psychopathology of parents of NOFT (non-organic failure to thrive) infants during treatment. European Child and Adolescent Psychiatry, 5(2), 93100. Foley et al. (2008). The Relationship among fundamental motor skill, health related physical fitness, and body fatness in south Korean adolescent with mental retardation. Research Quarterly for Exercise and Sport, 79 (2). Gibney et al. (2008). Public Health Nutrition. Diterjemahkan oleh Andry Hartono dengan judul Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Ha, Yeongmi. (2010). The Relationships between Children’s And Parental Risk Factors, Dietary Patterns and Weight Status in Children with Intellectual Disabilities in South Korea. Dissertation. Doctor of Philosophy in the School of Nursing. University of North Carolina. Chapel Hill.
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
Hove, O. (2007). Survey on Dysfunctional Eating Behavior in Adult Persons with Intellectual Disability Living in The Community. Research in Developmental Disabilities. 28, 1-8. Ingtyas dkk. 2005. Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Kesehatan Anak Retardasi Mental di Kota Medan. Media Gizi & Keluarga, 29 (1), 21-33. Kemdiknas RI. (2010). Statistik Pendidikan Luar Biasa tahun 1990–2010. Diakses pada 10 Januari 2013 dari www.psp.kemdiknas.go.id Kemenkes RI. (2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. (2010). Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan RI. Kotler et al. (2001). Longitudinal relationships between childhood, adolescent, and adult eating disorders. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 40(12),1434-1440. Kuhn, David E. (2004). The Relationship between Social Behavior and Mealtime Behavior Problems in Individuals with Severe and Profound Mental Retardation. Dissertation. Doctor of Philosophy in the Department of Psychology. University of the Louisiana State. USA. Llyod et al. (2012). International BMI Comparison of Children and Youth with Intellectual Disabilities Participating in Special Olympics. Research in Developmental Disabilities, 33, 1708 – 1714. Mathur et al. (2007). Dietary Habits and Nutritional Status in Mentally Retarded Children and Adolescent: A study from North Western India. Department of Dietetics, Government Medical College and Hospital. Chandigarh. Matson, JL & Kuhn, DE. (2001). Identifying Feeding Problems in Mentally Retarded Persons: Development and Reliability of The Screening Tool of Feeding Problems (STEP). Research in Developmental Disabilities, 21, 165–172. Mayville, Stephen B. (2003). The Relationship between Depression and Feeding Disorder Symptoms among Persons with Severe and Profound Mental Retardation. Thesis. The Department of Psychology of the Louisiana State University. USA. Physical Activity for Persons with Mental Retardation. (2007). USA: American Academy of Orthopaedic
Surgeons.
Diakses
7
April
orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00049.
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013
2013
dari
Piazza, et al. (2004). Assessment and Treatment of Pediatric Feeding Disorders. Encyclopedia on Early Childhood Development. USA. Rao et al. (2006). Understanding Nutrition, Depression, dan Mental Illnesses. Indian J Psychiatry, 50 (2). Reid et al. (1997). Teaching Meal Planning to Youth with Mental Retardation in Natural Settings. Remedial and Special Education, 18(3), 166. Rezaei, et al. 2011. Prevalence of Feeding Problems in Children with Intelletual Disability. Irian Rehabilitation Journal, 9. Rommel et al. (2003). The Complexity Of Feeding Problems In 700 Infants And Young Children Presenting To A Tertiary Care Institution. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 37(1), 75-84. Sharp et al. (2010). Pediatric Feeding Disorders: A Quantitative Synthesis of Treatment Outcomes. Journal of Clinical Child Psychology, 13, 348—365. Singer et al. (1990). Stress and depression in mothers of failure-to-thrive children. Journal of Pediatric Psychology 1990,15(6),711-720. Stecker, Laura E. (2011). School Nutrition: Addressing Obesity Among Children with Disabilities. Palaestra, 25 (3), 26. Sularyo dan Kadim, (2000). Retardasi Mental. Sari Pediatri, 2(3), 170 – 177. Triandini dkk. 2012. Gambaran Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Intensi Ibu Merawat Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Down Syndrome di SLB-C Kota Bandung. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Hubungan asupan ..., Tiyani Rahmawati, FKM UI, 2013