Integrasi Gula Merah Tebu dan Ternak Sapi sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan1 Brown Cane Sugar–Cattle Integration as a Rural Economic Mover Oleh/By Rahim Darma, Nixia Tenriawaru, dan Ashry Sallatu2 Email:
[email protected], 0811460469 Abstract Indonesia as a tropical agricultural country with rich agricultural resources, but almost all types of food are imported. Sugar and meat are the main Indonesian imports every year. Integration GMT with
cattle is a great business that can be developed for rural economic development, the use of marginal lands, and also the development of organic farming as well as friendly environment. The research objective was to identify the potential for the development of integration GMTcattle based on land resources, technology, culture, and markets. Data collected by the methods of focus group discussions and interviews with 75 farmers randomly selected in three districts selected (Barru, Wajo, Bone). The results showed that there is huge potency for cultivated farmland around 302,771 ha comprising 10,355 ha of rice fields, 86,753 ha dryland, and 205.663 ha ha paddock grazing. Cattle is a culture activity and major source of income for most rural households. GMT-
cattle integration generate employment 3 people per hectare, sugar and meat import substitution, biogas as an alternative energy source, organic fertilizer, organic-based farm. Government support is expected to make a pilot on each region with farmers who can encourage other farmers to join to develop the integrated farming system. Key words: Integrated farm, brown cane sugar, cattle, organic farm. Abstrak Indonesia sebagai negara pertanian yang beriklim tropis kaya dengan sumberdaya pertanian namun termasuk pengimpor hampir seluruh jenis pangan. Gula dan daging merupakan impor utama Indonesia setiap tahun. Integrasi GMT dengan ternak sapi merupakan usaha yang dapat dikembangkan untuk pengembangan ekonomi pedesaan, pemanfaataan lahan-lahan marginal, dan sekaligus mengembangkan pertanian organik dan ramah lingkungan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi potensi pengembangan integrasi GMT dengan ternak sapi berdasarkan sumberdaya lahan, teknologi, budaya, dan pasar. Data dikumpulkan dengan metode diskusi kelompok tefokus dan wawancara pada 75 peternak pada tiga kabupaten (Barru, Wajo, Bone). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat potensi lahan pertanian yang tidak diusahakan sekitar 302.771 ha yang terdiri terdiri 10.355 ha sawah 86.753 ha kering, dan 205.663 ha padang pengembalaan. Usaha ternak sapi merupakan budaya dan sumber pendapatan yang besar bagi sebagian besar penduduk di pedesaan. Integrasi GMT dengan ternak sapi menciptakan kesempatan kerja 3 orang per hektar, subtitusi impor gula dan daging, biogas sebagai sumber energy alternatif, pupuk organic yang mendorong pertanian ramahlingkungan. Dukungan pemerintah sangat diharapkan untuk membuat percontohan pada setiap daerah dan melibatkan 1
Penelitian dibiayai oleh Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indoensia 2011-2025. 2 Staf pengajar pada Universitas Hasanuddin, Makassar.
petani maju yang dapat mebina atau mendorong petani yang berminat ikut mengembangkan usahatani terpadu. Kata kunci: Usahatani terpadu, gula merah tebu, ternak sapi, dan pertanian organik. Latar Belakang Suatu ironi terjadi di Indonesia sebagai negara agraris yang beriklim tropis dimana sebagian besar produk pertanian dapat dihasilkan tetapi pengimpor hampir semua jenis pangan, terdapat banyak lahan pertanian tidak termanfaatkan baik dalam bentuk HGU maupun dikuasai secara perorangan, sementara banyak petani yang berlahan sempit atau tidak memiliki lahan. Kondisi ini membuat sector pedesaaan kurang menarik dan mendorong terjadinya urbanisasi yang tinggi. Tingkat pengangguran di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami peningkatan dari 3,2 persen pada tahun 2000 menjadi 8,9 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran di perkotan adalah 11,4 persen lebih tinggi dibanding di pedesaan hanya 7,6 persen pada sector pedesaan, hal yang sama terjadi pada pengangguran perempuan 10,7 persen lebih tinggi dibanding dengan pengangguran laki-laki 7,8 persen. Potensi areal untuk pengembangan tebu di Sulawesi Selatan masih terdapat sekitar 97.108 ha yang terdiri dari 10,355 ha lahan sawah dan 86.753 ha lahan kering. Lahan padang rumput juga sebagian dapat dikonversi menjadi lahan tebu untuk pengembangan industry gula merah tebu skala rumahtangga dan sekaligus untuk pengembangan ternak sapi secara terintegrasi. Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia karena tergolong dalam kelompok sembilan bahan pokok untuk konsumsi sehari-hari. Pada tahun 2010, total konsumsi gula nasional baik konsumsi industri maupun rumah tangga sebesar 4,55 juta ton sedangkan produksi gula hanya 2,44 juta ton, selebihnya dipenuhi dari impor (Simposium Gula Nasional, 2012). Produksi yang tidak mampu mengimbangi konsumsi gula disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu penurunan areal perkebunan tebu karena lahan dikonversi untuk daerah perumahan dan industri, penurunan rendemen, harga gula yang terus menurun, dan penurunan efisiensi pabrik (Susila, 2006). Karakteristik industri gula merah tebu adalah dikembangkan dalam skala rumahtangga, cocok dikembangkan bagi penduduk di pedesaan, termasuk penduduk miskin dan wanita, banyak item pekerjaan lebih cocok dilakukan oleh tenaga kerja di pedesaan termasuk perempuan. Pengembangan gula merah dapat diintegrasikan dengan ternak sapi, sehingga produksi yang dihasilkan adalah daging sapi dari budidaya atau penggemukan dengan bahan pakan dari pucuk dan daun tebu. Limbah feses dan urine sapi dapat diolah untuk menghasilkan pupuk organik dan biogas. Pupuk organic sebagai subtitusi pupuk sebagian pupuk kimia dan sekaligus mengdorong perkembangan pertanian organic, dan biogas sebagai sumber energy alternative. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan, teknologi, budaya, dan pasar untuk pengembangan integrasi GMT dan ternak sapi.
Peningkatan produksi gula merah tebu berfungsi sebagai subtitusi impor, komoditas ekspor, pndorong pengembangan ekonomi wilayah, penunjang peningkatan populasi sapi sebagai sumber protein hewani, subtitusi impor daging, dan sekaligus sebagai penghasil pupuk organik atau substitusi pupuk kimia yang mendorong pertanian organic. Pengembangan integrasi gula merah tebu dengan sapi menciptakan kesempatan kerja yang besar bagi penduduk pedesaan khususnya bagi rumahtangga miskin, melalui pemanfaataan lahan pertanian yang kurang produktif. Kerangka Pemikiran Potensi Pengembangan GMT Pasar, sumberdaya alam, teknologi tepat guna, dan budaya masyarakat merupakan potensi yang besar untuk pengembangan intergrasi GMT (Gula Merah Tebu) dan ternak sapi. Tanaman tebu dapat dikembangkan dengan mudah pada lahan-lahan yang marginal atau tidak termanfaatkan. Secara intiutif, banyak tebu ditanaman di pinggir jalan aspal baik di pedesaan maupun perkotaan dan tidak dipelihara dapat tumbuh dengan baik. Budidaya tebu sudah lama dikenal masyarakat di Indonesia, termasuk diolah menjadi gula merah sebagai subtitusi gula palm maupun perutukan khusus seperti di Jepang digunakan sebagai saka, bahan baku cuka, dan pemanis (Astuti, 2009). Usaha tanaman tebu yang diolah menjadi GMT dapat dikatakan sebagai budaya masyakat sebagian petani di Indonesia. Gula merah banyak digunakan untuk konsumsi rumah tangga sebagai pemanis, penambah aroma dan warna. Gula merah dapat mengubah tekstur makanan yang lebih empuk dibanding gula kristal. Gula merah juga digunakan sebagai bahan baku pada industri kecil baik makanan maupun minuman seperti industri kecap dan tauco yang menggunakan gula merah sebagai pemanis (Akzar, 2012). Selain itu, Gula merah merupakan salah satu alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan gula di Indonesia (Sinaga, 2009). Angkatan Kerja sebagai Potensi Pengembangan Ekonomi Pedesaan Tenaga kerja pedesaan memiliki keterampilan yang rendah dan fleksibel dalam memasuki peluang kerja yang tersedia dipedesaan, khususnya pada sector pertanian dan informal. Karena itu perlu dikembangkan kegiatan investasi yang relative murah, mudah dan dapat dikembangkan secara local, sehingga pengangguran di pedesaan dan urbanisasi dapat teratasi. Tingkat keterampilan pekerjaan yang dibutuhkan untuk integrasi GMT dan ternak sapi adalah rendah seperti pada umumnya pekerjaan di pedesaan. Hal ini disebabkan karena rendahnya modal manusia, pendidikan dan pengalaman (Renes & Ridder, 1995; Gorgens, 2002; Wolf 2002). Masalah pengangguran bukan saja masalah ekonomi tetapi lebih banyak terkait dengan masalah social. jenis pekerjaan yang diciptakan dalam suatu perekonomian harus sesuai dengan kemampuan dan harapan dari para angkatan kerja (Suryadarma, et. Al., 2007). Salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan melalui investasi sumberdaya manusia adalah menciptakan
aktivitas ekonomi yang memiliki potensi pasar produk, sumberdaya local tersedia, dan didukung dengan inovasi teknologi tepat guna. Liberalisasi perdagangan dalam era global yang cenderung mendorong permintaan produk spesifik, ramah lingkungan, dan diproduksi secara alami akan memiliki posisi tawar yang kuat karena dapat dikembangkan sebagai suatu industri super padat karya dengan melibatkan banyak anggota masyarakat pedesaan (Darma, 2012). Walaupun ada yang pesimis dengan melihat transformasi tenaga kerja pada persaingan global yaitu dari pedesaan ke perkotaan, dari industry berbasis teknologi rendah ke teknologi modern, atau penyerapan tenaga kerja yang berasal dari teknologi rendah dan industri padat karya ke industri modern dan padat modal (Feridhanusetyawan & Stahl, 2001). Yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam kegiatan pembangunan adalah pengembangan ekonomi pedesaan yang massal dan mandiri, yaitu pekerjaan di bidang pertanian dan sektor informal perkotaan dapat diperluas karena pasar tenaga kerja dan struktur sosial pada sector tersebut cukup fleksibel untuk menyerap para pekerja yang tidak terserap pada sektor formal (Wie, 2007). Pada saat yang sama, kapasitas masyarakat perlu ditingkatkan melalui penyediaan fasilitas sosial, khususnya pendidikan dan kesehatan, sebagai cara potensial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Darma dan Arsyad, 2010), sehingga para tenaga kerja tidak terbebani lagi factor biaya kesehatan dan pendidikan keluarga dan lebih focus pada pengembangan kegiatan ekonomi di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa program-program pemerintah dalam hal investasi pada sumberdaya manusia diduga merupakan cara yang relatif murah dan mudah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Integrasi GMT dengan Ternak Sapi Pencipta Kesempatan Kerja Integrasi GMT dan ternak sapi adalah perpaduan dua teknologi tepat guna yang dapat dengan mudah dikembangkan oleh petani. Teknologi Tepat Guna (TTG) merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi dibidang pertanian, baik yang berkaitan dengan pengembangan produksi, pengembangan kesempatan kerja, dan penciptaan kesempatan kerja. TTG adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup (Impres No. 3 Tahun 2001). Teknologi tepat guna adalah murah dan mudah dan berpotensi untuk mengatasi masalah (a) mengkonversi sumberdaya alam, (b) menyerap tenaga kerja, (c) memacu industri rumah tangga, dan (d) meningkatkan pendapatan masyarakat. Keterkaitan tebu dengan sapi merupakan usaha ekonomi pedesaan yang sangat baik, karena dapat memanfaatkan lahan-lahan pertanian yang tidak produktif, mengembangkan populasi ternak, menunjang pengembangan pertanian organic, membuka kesempatan kerja sekitar 2-3 orang per hektar dan dapat menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan dan pemberdayaan tenaga kerja perempuan. Beternak sapi merupakan cara hidup sebagian besar petani di Sulawesi Selatan dan berfungsi sebagai sumber pendapatan tambahan dan bahkan ada yang menjadikan sumber pendapatan utama. Berbagai inovasi juga dilakukan oleh peternak,
misalnya pengembangan kandang kolektif untuk mengefisienkan kebutuhan tenaga kerja penjagaan, pengumpulan limbah ternak yang dapat dikonversi menjadi pupuk organic dan biogas (Darma, et.al, 2012). GMT merupakan salah satu komoditas pertanian penting, menguntungkan, dan membuka kesempatan kerja di pedesaan, sehingga dapat menarik angkatan kerja untuk bekerja di sektor pertanian yang selama ini tenaga kerja di pedesaan berorientasi mencari pekerjaan di perkotaan. Berbagai bentuk kesempatan kerja pada sector non pertanian mulai ditinggalkan dan menuju pada sector pertanian dalam bentuk berusaha sendiri (Darma dan Arsyad, 2010). Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tiga kabupaten yang merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Sulawesi Selatan. Secara spesifik kabupaten Barru merupakan pusat pengembangan plasma nutfah sapi bali, Kabupaten Wajo merupakan daerah yang menghasilkan GMT pada tahun 1960an, dan Kabupaten Bone merupakan daerah yang areal pertanaman tebu terluas di Sulawesi Selatan. Data primer dikumpulkan dengan metode diskusi kelompok terfokus dan wawancanra dengan petani yang dipilih secara acak sederhana sebanyak 30 peternak di Kabupaten Barru, 25 peternak di Kabupaten Wajo, dan 20 petrenak di Kabupaten Bone. Data yang dikumpul meliputi metode pemeliharaan ternak, potensi pengembangan kandang intensif, dan penanaman tebu, dan pengusahaan GMT. Data sekunder meliputi areal lahan pertanian yang tidak termanfaatkan, areal pengembalaan, areal pertanaman tebu, dan lokasi pengusahaan GMT. Metode deskripsi digunakan untuk menjelaskan prospek pengembangan integrasi GMT dan ternak sapi berdasarkan potensi sumberdaya alam, teknologi tepat, budaya masyarakat, dan potensi pasar.
Hasil dan Pembahasan Potensi Sumberdaya Lahan Pengembangan tanaman tebu dan ternak sapi di Sulawesi Selatan memiliki potensi yang sangat besar. Tebu dapat dikembangkan pada areal lahan pertanian yang tidak diusahakan dan padang pengembalaan/rumput, sementara ternak sapi dapat dikembangkan dengan memanfaatkan potensi limbah pertanian yang sangat melimpah yang selama ini belum dimanfaatkan. Bahkan peternak yang memiliki orientasi binis yang luas dan didukung dengan tenaga kerja, lahan padang pengembalaan dapat dikonversi untuk pengembangan tebu yang diintegrasikan dengan ternak sapi yang sudah dikembangkan. Sumberdaya lahan pertanian di Sulawesi Selatan terdiri dari lahan sawah dan lahan kering dengan total areal 2.434.968 ha pada tahun 2010 . Total areal persawahan 582.444 ha dan sekitar 62,14 persen yang berpengairan, sementara lahan pertanian kering (bukan sawah) 1,852.524 ha. Sekitar 10.355 ha sawah yang tidak diusahakan atau 1,78 persen dari total areal persawahan, sedangkan untuk lahan kering 86.753 ha atau 4,68 persen dari total areal lahan kering di Sulawesi Selatan. Tabel 1. Luas lahan yang diusahakan atau tidak diusahakan dan potensi untuk dikembangkan untuk tanaman tebu (hektar) No.
Jenis Lahan
Luas 2007
Luas 2010
Penurunan (%)
1. 2. 3. 4.
Sawah tidak ditanami padi 7.527 7.368 159 2,11 Sawah tidak diusahakan sementara 4.194 2.987 1.207 28,78 Lahan kering yang tidak diusahakan 114.297 86.753 27.544 24,10 Padang pengembalaan/rumput 111.500 108.555 2.945 2,64 Total 237.518 205.663 31.855 13,41 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi Selatan Potensi areal pertanian yang dapat dikembangkan untuk pengembangan tebu masih terdapat sekitar 97.108 ha yang terdiri dari 10,355 ha lahan sawah dan 86.753 ha lahan kering. Lahan padang rumput juga sebagian dapat dikonversi menjadi lahan tebu untuk pengembangan industry gula merah tebu skala rumahtangga dan sekaligus untuk pengembangan ternak sapi secara terintegrasi. Apabila 50 persen lahan tesebut (205.663) digunakan untuk pengembangan tebu berarti terdapat sekitar 52,5 ribu hektar dengan potensi produksi tebu rata-rata 70 kwintal/ha dengan redimen gula merah tebu 10 persen, berarti produksi gula merah dapat dicapai sekitar 367,5 ribu ton atau sekitar 13 persen dari produksi nasional atau dapat mensubtitusi impor gula sekitar 20 persen dan tambahan ternak sapi yang dapat dipelihara minimal 500 ribu ekor sapi atau sekitar 50 persen tambahan populasi ternak di Sulawesi Selatan. Potensi Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk yang besar dan pemanfaatan sumberdaya yang kurang maksimal menyebabkan terjadinya pengangguran. Jumlah penduduk Sulawesi Selatan pada tahun 2010
adalah 8.034.776, sekitar 3.272.365 jiwa penduduk yang bekerja dan 298.952 jiwa termasuk atau sekitar 0,14 persen pengangguran terbuka. Kesempatan kerja di Sulawesi Selatan meningkat dangan jumlah yang sangat kecil. Jumlah angkatan kerja di Provinsi Sulawesi Selatan pada Februari 2011 mencapai 3,634,355 orang, bertambah hampir 97,5 ribu orang atau 2,76 persen dibandingkan jumlah angkatan kerja pada Februari 2010 yang sebesar 3.536.893 orang. Jumlah angkatan kerja di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2012 mencapai 3.642.426 orang, bertambah lebih dari 8 ribu orang dibandingkan jumlah angkatan kerja pada tahun 2011 yang sebesar 3.634.355 orang. Jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2012 sebesar 3.407.181 orang pekerja atau mengalami peningkatan hampir 16 ribu pekerja dibandingkan pada tahun 2011. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) 65,0 persen pada tahun 2011 turun menjadi 64,6 persen pada 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 6,7 persen pada 2011 turun menjadi 6,5 persen pada 2012, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian berkurang sekitar 123,0 ribu pekerja, yaitu dari 1.592.299 pekerja pada 2011 menjadi 1.469.325 pekerja pada tahun 2012, sementara sector lain meningkat sebesar sekitar 2,2 ribu pada industri pengolahan dan sekitar 60 ribu pada perdagangan/rumah makan/jasa akomodasi. PDRB sector pengolahan meningkat sekitar 6,10 persen dan sector Perdagangan, Hotel dan Restoran 10,07 persen pertahun selama periode 2005-2010. Kesempatan kerja di sector pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan, dan perikanan) meningkat sebesar 50,9 ribu pekerja dari 1.569.316 pekerja pada 2009 menjadi 1 620 177 pekerja pada 2010 (BPS, 2011). Hal ini disebabkan karena terjadi pertambahan pengusahaan areal pertanian sekitar 13,14 persen dari areal pertanian yang tidak diusahakan ditambah dengan pengolahan hasil pertanian. PDRB sector pertanian meningkat sekitar 4,03 persen pertahun selama periode 2005-2010. Jumlah tenaga kerja wanita di Sulawesi Selatan mencapai 1,07 juta orang atau 88,0 persen dari total angkatan kerja wanita pada tahun 2009 dan mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 71,10 persen. Proporsi tenaga kerja wanita adalah 47,9 persen pada sektor pertanian, 29,9 persen pada sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi (29,91%), dan 12,3 persen pada sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perseorangan. Tenaga kerja perempuan merupakan tenaga kerja yang potensial untuk pengembangan integrasi GMT dengan ternak sapi, karena banyak jenis pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan oleh tenaga kerja perempuan. Potensi ini dapat dilihat tingkat penyerapan pekerja perempuan lebih besar di sektor pertanian (45,21 persen), bahkan di daerah perkotaan mayoritas pekerja perempuan terserap di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel (47,33 persen) dan sektor jasa kemasyarakatan (30,06 persen). Yang menarik adalah proporsi pekerja perempuan yang terserap di sektor industri pengolahan cenderung lebih tinggi dari pekerja laki-laki yaitu masing-masing 7,69 persen dan 6,05 persen, dan itu terjadi baik di perkotaan maupun di perdesaan. Berdasarkan data tersebut, terdapat tenaga kerja yang potensial untuk mengembangkan integrasi GMT dengan ternak sapi sekitar 1.289.419 orang atau sekitar 35,4 persen dari angkatan kerja yang ada, sementara kesempatan kerja yang dapat diciptakan dengan model pengembangan tersebut adalah minimal 150 ribu kesempatan kerja.
Potensi Pasar GMT dan Daging Sapi Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia karena tergolong dalam kelompok sembilan bahan pokok untuk konsumsi sehari-hari. Pada tahun 2010, total konsumsi gula nasional baik konsumsi industri maupun rumah tangga sebesar 4,55 juta ton sedangkan produksi gula hanya 2,44 juta ton (Simposium Gula Nasional, 2012). Kekurangan suplai gula tersebut dipenuhi dengan melakukan impor gula. Pada Tabel 1, terlihat bahwa produksi nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi secara keseluruhan sehingga pemerintah harus melakukan impor gula. Konsumsi yang tidak dapat diimbangi dengan produksi gula domestik disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu penurunan areal perkebunan tebu karena lahan dikonversi untuk daerah perumahan dan industri, penurunan rendemen, harga gula yang terus menurun, dan penurunan efisiensi pabrik (Susila, 2006. Tabel 2. Produksi, impor, dan konsumsi gula di Indonesia (dalam juta ton) Supplai Konsumsi Konsumsi Permintaan Total Rumahtangga Industri Total 2005 2.24 2.37 4.61 2.78 1.21 3.99 2006 2.31 1.71 4.02 3.08 1.22 4.3 2007 2.95 2.84 5.79 3.39 1.31 4.7 2008 2.57 2.04 4.61 3.83 1.51 5.34 2009 2.3 2.75 5.05 2.97 1.57 4.54 2010 2.24 2.91 5.15 2.86 1.69 4.55 Source: Simposioum Nasinonal Gula , 2012. Kekurangan suplai gula tersebut dipenuhi dari gula merah yang merupakan salah satu alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan gula di Indonesia (Akzar 2012 ). Potensi pasar GMT diperbesar oleh oleh industri makanan misalnya di Jawa Timur dari kebutuhan sebesar 30-40 ribu ton per tahun, petani hanya bisa memenuhi kebutuhan produksi sekitar 5 ribu ton (Rosdiansyah, 2012). GMT juga memiliki potensi ekspor dengan permintaan ekspor gula merah terbesar berasal dari Kanada, Amerika, Belgia, Australia, dan Eropa. Permintaan mencapai 500 ton per bulan sedangkan pasokan gula merah saat ini hanya sebesar 30 hingga 50 ton per bulan (Anonim, 2011). Di Jawa Timur telah ada industri gula merah tebu, milik Ahmad Rubai, yang menjadi produsen sekaligus eksportir tunggal untuk gula merah tebu ke Jepang sejak tahun 1995. Ahmad Rubai mengekspor gula merah tebu sebanyak 300 ton per tahun dengan omset mencapai Rp. 15 M pertahun. Jepang menggunakan gula merah tebu sebagai bahan baku untuk industri sirup, kecap dan kue basah (Astuti, 2009). Konsumsi daging sapi per kapita bangsa Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg. Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Konsumsi yang rendah itu pun, Indonesia memerlukan setidaknya 448.000 ton daging sapi per tahun Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85% yang dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri dan Tahun
Produksi
Impor
sisanya sekitar 15 % masih berasal dari impor negara lain. Berdasarkan data tersebut berarti jumlah sapi yang diperlukan adalah setara 4.480.000 ekor dengan berat daging 100kg net per ekor sapi atau jumlah sapi yang diekspor sebesar 672 ribu ekor (15 % dari 4,48 juta ekor). Kekurangan ini dapat dipenuhi dari pertambahan populasi sapi di Sulawesi Selatan sekitar 500 ribu ekor atau sekitar 74,4 persen sebagai hasil pengembangan integrasi GMT dan ternak sapi. Pengembangan Tanaman Tebu Pengolahan tebu menjadi gula merah dapat dikatakan sebagai aktivitas baru yang dikenal oleh petani, khususnya pada areal tanaman tebu pabrik gula di Sulawesi Selatan. Gula merah tebu di Sulawesi Selatan memiliki potensi untuk dikembangkan berdasarkan ketersediaan lahan, iklim yang sesuai dan juga teknik budidaya tebu yang telah dikenal dengan baik oleh masyarakat. Tanaman tebu sudah lama diusahakan oleh masyarakat pada areal tebu dari tiga pabrik gula di Sulawesi Selatan. Selama dua tahun terakhir, luas areal pengembangan tebu ketiga pabrik mengalami peningkatan sekitar 5 persen. Peningkatan yang yang dominan terjadi pada PG. Takalar sementara kedua PG Bone dan PG. Camming mengalami penurunan masing-masing 0,60 dan 5,43 persen. Hal ini disebabkan karena satu decade, ketiga pabrik gula tersebut mengalami kerugian. Perkembangan areal perkebunan tebu terjadi pada tebu rakyat karena didukung dengan program pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi gula dalam negeri dan sekaligus mengurangi gula impor. Table 3. Luas arel tanaman tebu pad tiga lokasi pabrik gula di Sulawesi Selatan 20102011 No. Pabrik/Pengusaan Lahan 2010 2011 Peru % bahan I. PG.Takalar 3;276,86 4.186,03 909.17 27.75 - Tebu PG (HGU) 2.376,68 3.118,49 741.81 31.21 - Tebu Rakyat 900,00 1.067,54 167.54 18.62 II. PG. Bone 3.822,30 3.799,19 -23.11 -0.60 - Tebu PG (HGU) 3.822,30 3.743,49 -78.81 -2.06 - Tebu Rakyat 55,70 55.7 100.00 III. PG. Camming 5,197,44 4,914,99 -282.45 -5.43 - Tebu PG (HGU) 4.253,22 3,864,99 -388.23 -9.13 - Tebu Rakyat 944,22 1,050,00 105.78 11.20 IV. Total 12.296,60 12.900,21 603.61 4.91 - Tebu PG (HGU) 8.352,20 10.726,97 2374.77 28.43 - Tebu Rakyat 1.844,22 2.173,24 329.02 17.84 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012.
Total areal tebu untuk ketiga pabrik gula di Sulawesi Selatan meningkat dari 12,296 ha pada tahun 2010 menjadi 12,900 ha pada tahun 2011. Kenaikan ini terdiri 28,43 persen untuk areal HGU dan 17,84 persen untuk areal tebu rakyat. Selama satu decade yang silam, masa giling pabrik giling ketiga pabrik tersebut adalah singkat karena bahan baku tebu yang tersedia sedikit. Dari areal tebu sekitar 13 ribu dan produktivitas rata-rata 60 ton tebu per hektar dan kapasitas giling 2500 TCD (ton can day), sehingga masa giling ketiga pabrik tersebut masing-masing 70-90 hari pertahun, yang saharusnya sekitar 150-180 hari per tahun. Pengembangan GMT dapat mendorong petani untuk menanam tebu kemudian dapat membuat GMT atau menjual ke pabrik gula. Petani sudah tertarik menanam tebu karena produksi tebu tidak hanya dapat dijual ke pabrik gula, tetapi juga diolah sendiri menjadi GMT. Pengembangan Ternak Sapi Peternakan sapi memiliki prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan dan memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) karena didukung oleh kondisi wilayah di Sulawesi, komponen biaya input tenaga kerja yang relatif lebih murah, lahan pengembangan yang sangat luas, dan budaya masyarakat dalam membudidayakan sapi. Daya dukung bahan kering dari limbah tanaman pangan sebagai bahan pakan ternak di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 sebesar 2.580.700 satuan ternak (Anonim, 2010). Table 4. Perkembangan populasi sapi Sulawesi Selatan (2007-2010) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tahun Sapi Potong Sapi Perah Total 2007 666.662 1.867 668.529 2008 703.303 1.919 705.222 2009 769.066 1.826 770.892 2010 848.916 2.198 851.114 2011 1.021.110 1.894 1.023.004 Growth (%) 11,38 1,12 11.35 Sumber: Statistik Ternak Sulawesi Selatan, Kantor BPS Prov. Sulawesi Selatan, 2011. Selama lima tahun terakhir (2007-2011), pertumbuhan populasi di Sulawesi Selatan meningkat sekitar 11,35 persen per tahun. Hal ini terjadi karena sapi merupakan komoditas unggulan dan prioritas pembangunan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Berbagai bentuk bantuan pembiayaan yang diberikan oleh pemerintah, seperti pembiayaan untuk pengembangan ternak sapi bersifat bergulir dan wajib dikembalikan ke bank penyalur/avalis, kecuali dana yang bersumber dari APBN. Pembiyaan yang diberikan ke petani tebu melalui Can Farmer Group (KPTR) bersifat revolving. Pada tahun 2011, BRI menyalurkan dana KKPE untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Takalar sebanyak Rp.150.000.000,- enam kelompok
tani atau Rp25.000.000,-/kelompok yang digunakan untuk pengadaan ternak, kandang, pakan, dan obat-obatan. Populasi sapi di Sulawesi Selatan sudah mencapai satu juta ekor yang merupakan angka yang sangat fantastis, karena lebih cepat dicapai dari yang direncanakan dimana target satu juta ekor ditargetkan dicapai pada tahun 2013. Kabupaten Bone, Wajo dan Barru merupakan sentra pengembangan sapi di Sulawesi Selatan, sehingga proporsi populasi sapi sekitar 40 persen dari total populasi sapi di Sulawesi Selatan, atau 60 persen populasi sapi tersebar pada 19 kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Selatan. Kepadatan populasi pada dua daerah kabupaten Bone dan Barru adalah sangat tinggi yaitu masing-masing 20,73 dan 22,68 ekor per hektar, sementara rata-rata kepadatan untuk Sulawesi Selatan adalah 5,23 ekor per hektar dan daerah lain hanya 3,74 ekor /ha. Angka ini menunjukkan bahwa pengembangan tebu secara terintegrasi pada dua kabupaten tersebut sebaiknya dilakukan, karena usaha ternak sapi merupakan usaha pokok sebagian besar penduduk kedua daerah tersebut. Tabel 5. Populasi dan potensi pengembangan makanan hijuan ternak sapi di Sulawesi Selatan, 2010 No. Kabupaten
1 2. 3. 4.
Populasi Sapi
Persen (%)
Padang Pengembalaan/ rumput (ha) 2,935 4.693 1.478 99.449
Lahan yang tidak diusahaka n (ha)
Total lahan untuk ternak (ha) 13.670 16.040 2.387 163.211
Kepadatan (ekor/ha)
Bone 283.441 27.76 10.735 20,73 Wajo 72.619 7.11 11.347 4,53 Barru 54.136 5.30 909 22,68 Sulsel 610.914 59.83 63.762 3,74 lainnya 5. Sulsel 1.021.110 100,00 108,555 86,753 195.308 5,23 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi Selatan Statitik Ternak Sulawesi Selatan, Kantor BPS Prov. Sulawesi Selatan Populasi sapi satu juta ekor telah dicapai pada tahun 2010 dan memposisikan Sulawesi Selatan pada peringkat ke-3 secara Nasional setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Capain ini lebih cepat dari yang direncanakan oleh pemerintah dicapai pada tahun 2013. Gerakan pencapaian populasi sapi sejuta ekor dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional khususnya penyediaan daging untuk konsumsi masyarakat. Pencapaian populasi sapi sebanyak itu dicapai dengan upaya peningkatan mutu intensifiksi melalui penerapan teknologi budidaya sapi dan kawin suntik dengan melibatkan peran kelembagaan kelompok tani ternak di tingkat kabupaten/kota, optimalisasi kelahiran sapi dengan inseminasi buatan (IB), intensifikasi kawin alam dan penambahan induk sapi betina dan pejantan, dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif, perdagangan sapi antar pulau dan menurunkan tingkat kematian.
Perkembangan populasi sapi di Sulawesi Selatan sampai tahun 2010 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata tingkat perkembangan sebesar 7,41 persen per tahun. Rata-rata persentase perkembangan populasi terbesar terjadi di Kabupaten Wajo yaitu sebesar 9.44% persen, sementara di Kabupaten Barru hanya 7,26 persen atau lebih rendah dari Sulawesi Selatan (7,41 %) namun masih lebih tinggi dibanding rata-rata perkembangan populasi sapi di Kabupaten Wajo, yaitu hanya sebesar 4,19 persen. Pengusahaan ternak sapi, pemanfaatan limbah pertanian, dan system perkandangan intesif merupakan bentuk kegiatan usaha pertanian yang dapat mendukung integrasi pengembangan usahatani tebu untuk pengusahaan gula merah dengan ternak sapi. Usahat ternak sapi sudah diusahakan sebagian besar petani di Sulawesi Selatan. Sistem pemeliharaan yang dilakukan adalah dari tradisional dengan system pengembalaan hingga system perkandangan intensif yang didukung dengan penanam rumput gajah secara khusus. Sudah ada petani yang memanfaatkan limbah pertanian padi dan palawija sebagi sumber pakan ternak, namun dalam jumlah yang kecil. Tabel 6. Jumlah responden (petani maju) pada tiga kabupaten berdasarkan usahatani padi dan ternak yang diusahakan No. Uraian I
Kab.Barru (n=30)
Kab. Wajo (n=25)
Kab. Bone (n=20)
Komoditas yang diusahakan Padi 76,6 % 60,0 % 90,0 % Palawija 20,0 % 60,0 % 75, 0 % Rumput Gajah 36,6 % 62,5 % Tebu 30,0% 82,5 % Ternak sapi 86,3% 25,0% 62,5% II Usahatani Ternak Sapi Kisaran pemelikian (ekor) 2-14 2-25 5-25 Rata-rata pemelikian (ekor) 6,5 8,8 7,0 Petani menggunakan limbah pertanian 80% 15,0% 62,5% Kandang intensif 3,3% 5,0% 37,5% Menjual pupuk kandang 10,0% 25,0% Sumber: Data primer setelah diolah, 2012. Petani mengusahakan padi, palawija dan ternak sapi pada tiga lokasi pengambilan penelitian, namun budidaya rumput dan tebu belum dilakukan pada semua daerah. Pengusahaan rumput gajah dan pemanfaatan limbah pertanian berkorelasi dengan pengusahaan ternak sapi, seperti yang terjadi di Kabupaten Bone dan Barru. Terdapat potensi yang besar untuk pengembangan sapi yang diintegrasikan dengan usaha pengolahan gula merah tebu pada tiga lokasi penelitian, Kabupaten Barru, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Bone. Sistem pengelolaan ternak sapi berbeda diantara tiga daerah tersebut.
Kabupaten Wajo Masyarakat di Kabupaten Wajo merupakan yang pertama mengenal atau mengolah tebu menjadi gula merah, namun usaha ini tidak berkembang karena tidak didukung dengan inovasi teknologi pengolahan. Usaha ternak sapi juga dilakukan oleh sebagian petani, namun lebih banyak dalam bentuk system pengembalaan. Sistem semi intensif atau intensif juga mulai diperkenalkan oleh pemerintah, namun belum direspon baik oleh masyarakat karena belum terbiasa mengusahakan secara khusus tanaman pakan atau memanfaatkan limbah pertanian, sehingga usaha ternak sapi masih merupakan usaha sampingan, walaupun sebenarnya Kabupaten Wajo merupakan salah satu sentra pengembangan sapi bali di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru Usaha ternak sapi, khususnya sapi bali merupaka usaha tradisional atau budaya sebagian besar petani dan sekaligus sebagai usaha pokok petani, sehingga Kabupaten Barru merupakan salah satu sentra pengembangan sapi bali di Sulawesi Selatan dan sekaligus sebagai daerah pelestraian plasma nutfah sapi bali di Indonesia. Sapi dipelihara dengan cara semi intensif dan intensif. Semi intensif dilakukan menggunakan sumber pakan dari alam dalam bentuk hijauan yang tumbuh liar dan limbah pertanian seperti jerami, batang jagung, dan palawija lainnya. Model intensif dilakukan dengan menggunakan sumber bahan makanan dari hasil budidaya rumput gajah (kebun rumput) dan jerami. Model intensif dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan pupuk kandang dan pupuk urine sapi. Petani di Kabupaten Barru belum mengenal tanaman tebu yang dapat diolah menjadi gula merah dan sebagai sumber makanan ternak sapi. Setiap peternak memelihara sapi antara 5-10 ekor. Dapat dikatakan bahwa setiap 5 ekor sapi dapat menyediakan kesempatan kerja sekitar 1 orang. Pupuk kandang dari sapi dan biogas sudah dimanfaatkan di daerah ini dan kotoran sapi sebagai pupuk kandang sudah dijual dengan harga Rp 500/kg, sementara pupuk cair urine sudah dihasilkan, namun konsentrasi dan efektivitas penggunaannya belum diketahui oleh petani. Kabupaten Bone Budidaya tebu untuk gula kristal sudah dikenal petani di Kabupaten Bone sejak tahun 1960an atau sejak PG Bone dibangun, namun demikian teknik pengolahan GMT belum dikenal luas oleh petani tebu di daerah ini, termasuk pucuk tebu belum dimanfaatkan secara meluas sebagai sumber hijaun ternak. Hal ini terjadi karena panen tebu dilakukan secara serentak, menyebabkan waktu ketersediaan pucuk tebu sebagai sumber makanan hijauan ternak sapi sangat singkat, sehingga tidak menjadi perhatian peternak sapi. Kabupaten Bone juga merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Sulawesi Selatan dengan populasi ternak sapi yang terbesar di antara daerah di Sulawesi Selatan. Usaha ternak sapi, khususnya sapi bali merupakan usaha tradisional atau budaya sebagian besar petani dan sekaligus sebagai usaha pokok petani, sehingga sapi dipelihara dengan cara semi intensif dan intensif. Semi intensif dilakukan dengan menggunakan sumber bahan makanan dari alam dalam bentuk hijauan yang tumbuh liar dan limbah pertanian seperti jerami, batang jagung, dan
palawija lainnya. Model intensif dilakukan dengan menggunakan sumber bahan makanan dari hasil buidaya rumput gajah (kebun rumput) dan jerami. Integrasi UGM dan Ternak Sapi Pengusahaan ternak sapi, pemanfaatan limbah pertanian, dan system perkandangan intesif merupakan bentuk kegiatan usaha pertanian yang dapat mendukung integrasi pengembangan usahatani tebu untuk pengusahaan GMT dengan ternak sapi. GMT dapat diproduksi dengan mudah dengan mengolah tebu yang dapat dipanen berulang-ulang karena setiap dilakukan penebangan, akan disusul dengan anakan yang tumbuh. Tebu dapat dipanen setiap hari secara bergilir dan berlangsung selama 7-8 bulan pertahun atau selama di luar musim hujan. Rumahatangga petani dapat memanen 0,5-1 ton per hari atau tergantung areal tebu yang diusahakan. Sifat panen ini, memberikan limbah pucuk tebu yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak. Selain itu, terdapat limbah tetes tebu pada proses pemasakan nira tebu menjadi gula merah. Tetes ini merupakan campuran makanan sapi yang sangat baik. Teknologi pengolahan merah tebu adalah suatu TTG, menggunakan mesin peras tebu yang dapat diproduksi secara local dan digerakkan motor 8-12 HP dan kapasitas sekitar 2 ton tebu per hari dan dilengkapi dengan tungku pemasakan menggunakan wajan berjejer 4-6 unit untuk setiap tungku. Tungku menggunakan bahan bakar ampas tebu dan cukup untuk memasak nira tebu yang sudah diperas, sehingga hemat bahan bakar. TTG integrasi GMT -Ternak dapat dikembangkan secara local dengan nilai invetasi yang kecil. Integrasi kandang intesif dengan biodigester merupakan teknologi yang sudah dikenal masyarakat, namun belum berkembang karena tidak didukung dengan ketersediaan pakan yang cukup. Skala ekonomi integrasi kedua TTG tersebut dapat dicapai dengan mudah dan memberikan dampak ekonomi, social, dan lingkungan yang sangat besar. Pengembangan GMT akan mendorong penggempbangan populasi sapid an usaha penggemukan sapi. Potensi kenaikan berat badan sapi sekitar 0,25% dari bahan dari berat badan dan kebutuhan bahan makanan sebesar 10 % hijaun (ditambah sedikit konsentrat) atau 3 % bahan kering/konsentrat dari berat badan. Artinya setiap satu kg bahan hijauan makanan dapat berubah maksimal minimal 2,5 % atau setiap satu kg hijauan menjadi 0,025 kg kg per hari dan konsentrate menjadi 1 %. Potensi pertambahan berat sapi bali rata-rata 0,35 kg kg per hari dari 100 kg berat badan sapi. Secara intiutif, dengan bahan makanan pucuk tebu+ daun tua tebu dicampur dengan tetes tebu (busa nira/gula tebu) merupakan pakan yang baik, berat sapi dapat dicapai minimal 0,35 kg/hari. Bila harga daging sapi Rp 80.000/kg, berarti harga berat hidup Rp 48.000/kg (60% harga daging), artinya petani dapat menghasilkan pertambahan berat badan sapi sebesar minimal Rp 17.600/hari (0,35kg x Rp 48.000/kg berat hidup hidup). Potensi pucuk tebu adalah 30 persen dari produksi tebu dan 10 persen daun tua atau sekitar 40 persen makanan ternak hijaun, bila produksi tebu sekitar 80-90 ton, berat total produksi biomassa 125-140 ton, yang terdiri dari tebu, pucuk, dan daun tua). Potensi pucuk dan daun tua yang tersedia selama panen (200 hari), sekitar 150-200 kg per hari atau dapat memenuhi
kebutuhan sapi 10-12 ekor per hektar selama panen. Pengembangan ternak sapi secara teritegrasi dengan GMT dapat menyediaakan tenaga kerja sekitar 3 orang per hektar. Selain produksi daging, pupuk kandang, pupuk cair dan biogas juga dihasilkan dari ternak. Produksi kotoran sapi kering sekitar 5-7 kg/ ekor/hari, urine 10-13 liter per hari. Dari 1 m3 faces dapat dihasil 0,46 kg elpiji atau setara 0,62 lt minyak tanah, 0,52 lt solar dan 3,5 kg kayu bakar (FPSI, 2010). Berdasarkan informasi yang disajikan oleh Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI) pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas mendukung konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dicapai. Limbah ini menjadi polutan karena dekomposisi kotoran ternak berupa BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri patogen sehingga menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air permukaan), polusi udara dengan debu dan bau yang ditimbulkannya dapat diatasi dengan mengintegrasikan kandang intensif dan biodigester. Beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas sebagai berikut: 1) Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara (bau) yang mendorong mekanisme pembangunan bersih; 2) Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga; 3) Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk supplemen dalam beuk gula tetes. 4) Biogas dapat dikembangkan untuk dijadikan sebagai sumberr energi listrik pada daerah yang masih belum memiliki akses listrik, sumber bahan energy pemasakan GMT. Penciptaan Kesempatan Kerja Jenis pekerjaan yang diciptakan dari integrasi GMT dan ternak sapi adalah beragam. Usaha integrasi tebu dan terbak dapat mempekerjakan minimal delapan orang dengan luas areal tebu 5 ha. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan adalah dua orang untuk areal tebu 5 ha dan lima orang untuk ternak sapi 50 ekor . Pengolahan gula merah dengan kapasitas 1,5-2 ton tebu per hari merupakan suatu unit usaha skala rumah tangga atau skala kecildengan jumlah tenaga kerja yang disediakan adalah delapam orang untuk dua ton perhari, sehingga total tenaga kerja yang disediakan dan sebagian besar pekerjaan tersebut cocok dikerjakan tenaga kerja perempuan dengan upah Rp 50.000-75.000 per orang. Total tenaga kerja yang tersedia integrasi GMTternak sapi sebanyak 15 orang atau 3 orang per hektar.
Tabel 7. Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis pekerjaan pengolahan gula merah tebu Jenis Pekerjaan Penebangan Pengangkutan (muatbongkar) Pemerasan/Penyaringan
Kebutuhan TK (org) 1 1
KesesuainTenaga Kerja Gender Laki-laki atau perempuan Laki-laki
Tingkat Upah (Rp)
2
Laki-laki dan atau perempuan Laki-laki atau perempuan Perempuan
100.000
Pemasakan 2 Pencetakan/Pengepakan 2 Total 8 Sumber: Data primer setelah diolah, 2012
75.000 75.000
100.000 100.000 450.000
Bila skenario integrasi GMT-ternak sapi dikembangkan, industri GMT berskala rumahtangga juga berkembang dengan beberapa potensi dan prospek :
1) Produksi gula merah dapat dipasarkan dalam bentuk gula merah kristal (palm suiker) yang sering ditemukan di hotel berbintang dan bahan baku industri makanan. 2) Merupakan bahan baku untuk pabrik kristal dimana BSC dapat diproses secara bersamaan pada waktu pabrik gula memproses nira tebu menjadi gula kristal. Hal ini dilakukan pada beberapa pabrik gula di Jawa Timur dan pernah dilakukan pada PG. Bone. 3) Gula merah tebu juga dapat dikembangkan sebagai komoditas ekspor yang banyak diminati di luar negeri karena tidak mengandung bahan kimia. Permintaan ini juga semakin meningkat seiring dengan motiv konsumsi masyarakat yang semakin sejahtra dan sadar akan pentingnya bahan makanan yang lebih alami (kurang atau tidak mengandung bahan pengawet). Jepang sekarang mengimpor gula merah dari Kediri Jawa Timur, sejak tahun 1990an. 4) Menghemat devisa karena tidak mengimpor gula atau raw sugar dan bahkan menghasilkan devisa bila gula merah tebu sudah diekspor. 5) Dapat dikembangkan lebih jauh menjadi gasohol (biofuel) sebagai subtitusi bahan bakar minyak yang permintaannya semkin meningkat seiring dengan peningkatan kesejahtraan masyarakat, penurunan ketersediaan bahan bakar minyak bumi, dan tuntutan penyelematan lingkungan. 6) Mengembangkan usaha peternakan, karena pucuk tebu yang merupakan limbah usahatani tebu merupakan bahan makanan ternak (pakan) yang sangat baik. Integrasi usaha ternak dengan tebu sekaligus meningkatkan produktivitas tebu, menghasilkan biogas, dan pupuk kandang yang mendukung pertanian organik; 7) Membuka kesempatan kerja penuh untuk usaha GMT 2 orang dan peternakan sapi 1 orang per hektar.
8) Menghemat penggunaan pupuk kimia dan mendorong pengembangan pertanian organik dan pertanian yang ramah lingkungan, meningkatkan produktivitas usahatani, meningatkatkan kualitas dan harga produk, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1) Terdapat potensi lahan pertanian yang tidak diusahakan sekitar 302.771 ha yang terdiri terdiri 10.355 ha sawah 86.753 ha kering, dan 205.663 ha padang pengembalaan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan integrasi GMT dan ternak sapi. 2) Usaha ternak sapi merupakan budaya dan sumber pendapatan yang besar bagi sebagian besar penduduk di pedesaan sehingga dapat ditingkatkan melalui integrasi pengolahan GMT. 3) Hasil pengembangan integrasi GMT dengan ternak sapi adalah penciptaan kesempatan kerja 3 orang per hektar, subtitusi impor gula dan daging, biogas sebagai alternative sumber energy, pupuk organic yang mendorong pertanian ramahlingkungan. Saran Dukungan pemerintah sangat diharapkan untuk membuat percontohan pada setiap daerah dan melibatkan petani maju yang dapat diharapkan dapat membina dan atau mendorong petani yang potensil untuk mengembahkan usahatani terpadu GMT dan ternak sapi, mendorong petani menggunakan pupuk organik, dan biogas sebagai alterntif sumber energy rumahtangga.
Daftar Pustaka Akzar, R. 2012. Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Pengolahan Gula Merah Tebu Pada UD. Julu Atia, Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Kabupaten Takalar. Departemen Management, IPB. Bogor. Tesis S1 (tidak dipublikasikan). Anonim. 2011. Tebu . http://id.wikipedia.org/wiki/Tebu. Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 Astuti, R.S., 2009. Rubai, Eksportir Gula Merah, Kompas, Rabu 15 April 2009. DPSI, 2010. Biogas dari Limbah Peternakan Sapi diakses dari (http://idid.facebook.com/notes/forum-peternak-sapi-indonesia-fpsi/biogas-dari-limbahpeternakan-sapi/356873990517). Darma, R. M. Arsyad, 2010. Determinants of Unemployments in Indonesia: A Study on Development Program of Rural Employment in Pinrang District, South Sulawesi. Journal of Economics and Development. Ryukoku Univesity, Nagoya. Japan. Vol. 50.. No. 1. Pp.
Darma, R., A. Majdah A. Z., dan R. Amandaria, 2012. Zakat, Local Social Organization, and Social Capital in Rural Economic Development. Journal of Sociology Study. 2(3) pp. 189‐197 Feridhanusetyawan, T. & C.W. Stahl, 2001. The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asian Pacific Region. Asia Pacific Journal of Economics and Business, 5(1):26-60. Gorgens, T. 2002. Reservation Wages and Working Hours for Recently Unemployed US Women. Labor Economics, 9(1). Renes, G. & Ridder, G., 1995. Are Women Qualified. Labor Economics, 2 (1): 3-18. Suryadarma, D., A. Suryahadi & S. Sumarto, 2007. Reducing Unemployment in Indonesia: Results from a Growth-Employment Elasticity Model. SMERU Working Paper, Jakarta. Sinaga, 2009 Sinaga, D. 2009. Studi Kelayakan Bisnis dalam Ekonomi Global. Jakarta: Mitra Wacana Media. Wie, T.K., 2007. Economic Growth and Poverty during the New Order and After the Asian Economic Crisis: A Brief Overview. Introductory for Chapter 1 of SMERU Book on Poverty and Social Protection in Indonesia. Jakarta. Wolf, E., 2002. Lower Wage Rate for Fewer Hours: A Simultaneous Wage-hours Model for Germany. Labor Economics, 9 (5).