PENEGAKAN SISTEM HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH KOTA BATAM (Tinjauan Kritis Dualisme Kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam) Emy Hajar Abra Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan
Jauh sebelum Indonesia merdeka, negara ini telah masuk dalam perdebatan panjang terkait bentuk negara. Negara yang kala itu disebut dengan hindia belanda berjuang dan perperang demi kesatuan dan persatuan demi terciptanya negara merdeka dari sebuah penjajahan. Peperangan yang panjang akhirnya berhasil membuat hindia belanda bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasca Indonesia merdeka para the Founding Fathers kembali memperdebatkan bentuk negara Indonesia, hal itu dikarenakan adanya desakan pihak internal dan eksternal. Wilayah Indonesia yang sangat luas, menjadikan rakyat berfikir tentang kemampuan sebuah negara kesatuan dalam mensejahterakan dan melindungi kepentingan-kepentingan seluruh rakyat yang tersebar dalam pulau-pulau besar dan kecil.
Pasal 1 Undang Undang Dasar sebelum amandemen 1945 menyatakan bahwa: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik”, dilanjutkan dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Maka atas dasar UUD 1945 tersebut, sejak 1945 hingga 1949 Indonesia mampu bertahan menjadi negara kesatuan dengan besaran wilayah dan jumlah penduduk yang sangat banyak, sekalipun dalam perjalanannya pada tahun 1950 Indonesia akhirnya menyerah pada “rayuan” belanda agar membentuk sebuah negara federal. Sekalipun bentuk negara federal hanya bertahan sekitar 8 (delapan) bulan, namun hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia dapat dipisahkan dalam beberapa negara bagian dengan bentuk pemerintahan kecil pada tiap-tiap negara bagaiannya. Pada tahun 1950 atas dasar desakan gerakan “republiken” dengan berbagai macam perjuangan yang dipelopori salah satunya oleh Moh Natsir akhirnya mampu mengembalikan Indonesia pada “khitah” awal yakni merdeka payung kesatuan dan persatuan.
1
Perjalanan panjang tidak hanya dimiliki oleh bentuk negara semata, perjalnan panjang juga dialami oleh berbagai regulasi terkait pemerintahan daerah. Berawal dari Undang Undang nomor 1 tahun 1945, Indonesia nyatanya telah berfikir tentang pembentukan pemerintahan daerah yang terbagi atas wilayah besar dan kecil sebagaimana dalam penyebutan konstitusi kala itu. Berikut adalah beberapa regulasi terkait pemerintahan daerah dari tahun 1945 hingga sekarang. 1. UU No 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah 2. UU No 22 Tauhn 1948 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah 3. UU No 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 4. UU No 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 5. UU No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 6. UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah 7. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 8. UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah Dalam ketatanegaraan Indonesia dikenal teori pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh De Baron Montesquieu dengan pembagian cabang-cabang kekuasaan yang terdiri dari: Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Sekalipun beberapa pakar hukum tata negara memisahkan antara pembagian dan pemisahan kekuasan dengan mengatakan bahwa Indonesia tidak menganut keduanya namun menggunakan pemisahan dengan konsep check and balances, tetapi penulis tidak ingin “terjerumus” lebih lanjut dalam perdebatan itu. Kembali pada teori pembagian kekuasaan tersebut, bahwa pembagian kekuasaan secara umum dikenal dengan pembagian kekuasaan secara vertikal dan pembagian secara horizontal. Pembagian kekuasaan secara horizontal dikenal dengan tiga (3) lembaga yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan pembagian secara vertikal di maknai atas pembagian kekuasaan dari pusat ke bawah yaitu pemerintahan pusat kepada daerah itu sendir. Sedangkan alasan atas adanya pembagian atau pemisahan itu adalah agar tidak terjadinya monopoli serta terpusatnya kekuasaan yang hanya berada satu lembaga saja, sebagaimana dalil Lord Acton yang menyatakan: “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” Dari teori tersebut kemudian dalam sistem pemerintahan daerah kekuasaan tidak hanya diserahkan kepada pusat semata, namun diserahkan pada daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri sebagai mana yang dikenal dengan konsep otonomi daerah. Sebelumnya, kita mengenal sentralisasi, yakni pemusataan kekuasaan yang hanya berada pada pusat saja, konsep itu terus mengalami penolakan agar negara membuat penyebaran kekuasaan pada daerah, yang dikenal dengan desentralisasi sebagaimana yang termuat dalam peraturan perundang-undangan sekarang ini.
2
Pemerintahan daerah di Kota batam, sejatinya adalah bentuk implementasi dari pembagian kekuasaan dewasa ini. Kota batam sendiri adalah kota yang masuk dalam wilayah Provinsi Kepulaun Riau/ KEPRI setelah mengalami pemekaran dari Provinsi Riau berdasarkan Undang Undang Nomor 25 tahun 2002. Kepri merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup dari pada Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Lingga. Kota Batam menjadi “seksi” ketika diketahui bahwa batam adalah sebuah daerah yang berbatas langusng dengan negara luar seperti Malaysia dan singapura, selain itu perairan Batam adalah perairan hilir-mudik perdagangan internasional, sehingga batam seringkali menjadi tempat persinggahan. Dalam sejarahnya, pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 Batam ditetapkan sebagai basis logistik dan operasionil bagi usaha-usaha yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai. Selain dari itu pemerintah berfikir untuk memajukan Batam sebagai daerah industri untuk kebutuhan ekonomi Indonesia. Maka dibentuklah sebuah Badan Pimpinan Daerah Industri Batam, yang merupakan badan penguasa (authority) daerah Batam dengan sebutan badan pimpinan. Hal tersebut sebagaimana termuat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 1971 Tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam. Berbagai persoalan kemudian muncul terkait pemerintahan daerah. Sebuah daerah dalam terminology pemerintahan daerah seyogyanya hanya memiliki satu pemerintahan sebagaimana pada konsep pemerintahan daerah modern. Sayangnya hal tersebut justru tidak terjadi pada kota Batam. Semenjak konsep pemerintahan daerah didengungkan sebagaimana dalam konsep otonomi daerah dengan asas desentralisasi, Batam justru memiliki sebuah lembaga sendiri dengan nama Otorita Batam yang kemudian melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam diganti dengan nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau biasa disingkat BP Batam (Badan Pengusahaan Batam), yang berperan dalam tata kelola lahan dan investasi dan bertanggungjawab langsung pada pemerintahan pusat, sedangkan disisi lain bentuk pemerintahan kota batam telah terbentuk. Secara gambaran ideal sebagaimana pemerintahan daerah, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, bentuk daerah menjadi dis-orientasi dalam bentuk seharusnya. Pemerintah pusat justru menjadi komando utama dalam peranan ini, lantas bagaimanakah keberlangsungan batam kedepan jika dualisme ini tetap dibiarkan. Inilah landasan filosofi kenapa punulis mengambil tema tersebut. Diharapkan dalam tulisan ini bernilai manfaat secara akademik khususnya dalam bidang Hukum Tata Negara, agar dapat menjadi acuan dalam penegakkan pemerintahan daerah, khususnya di kota Batam dan umumnya di 3
Indonesia pada daerah-daerah yang juga mengalami problematika serupa sebagaimana batam.
A.
Pembahasan
1.
Dasar hukum pembentukan kota Batam Sejak berdirinya Batam pertama kali pemerintah tidak menjadikan batam sebagai
wilayah huni sebagaimana pada umumnya daerah-daerah lain di Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Melalui KEPPRES No 74 tahun 1971 batam dibagun sebagai wilayah pembangunan yang khusus dalam bidang industry semata. Dalam pembangunan kota Batam, batam mengalami beberapa kali periode pembangunan, sebagai berikut: a. Tahun 1971-1976
Periode Persiapan (Dr.Ibnu Sutowo)
b. Tahun 1976-1978
Periode Konsolidasi (Prof.Dr.JB.Sumarlin)
c. Tahun 1978-1998
Periode Pembangunan Sarana Prasarana dan
Penanaman Modal (Prof.Dr.BJ. Habibie) d. Tahun 1998
Periode
Pengembangan
Pembangunan
Prasarana dan Penanaman Modal (Ismeth Abdullah) e. Pada April 2005
Pengembangan Batam, dengan Penekanan
pada Peningkatan Sarana & Prasarana, Penanaman Modal serta Kualitas Lingkungan Hidup (Mustofa Widjaya) Berikut beberapa peraturan perundang undangan terkait pembangunan kota batam yang awalnya menjadi basis industri dan logistik kemudian dikembangakan menjadi kota batam dalam wilayah Provinsi Kepri.1 1.
KEPPRES No 74 tahun 1971
Pengembangan Pembangunan Pulau Batam
2.
KEPPRES No 41 tahun 1973
Daerah Industri Pulau Batam Penunjukan dan Penetapan Beberapa Wilayah
3.
KEPPRES No 33 tahun 1974
Usaha Bonded Warehouse di Daerah Pulau Batam
4.
SK MENDAGRI No 43 tahun
Pengelolaan
dan
Penggunaan
1977
Daerah Industri Pulau Batam
Tanah
di
Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau 5.
KEPPRES No 41 tahun 1978
Batam
Sebagai
Wilayah
Usaha
Bonded
Warehouse 6.
1
Peraturan Pemerintah No 34
Pembentukan Kotamadya Batam di Wilayah
tahun 1983
Propinsi Daerah Tingkat I Riau
http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/law.jsp, diakses pada 10 januari 2015
4
Hubungan Kerja Antara Kotamadya Batam 7.
KEPPRES No 7 tahun 1984
dengan
Otorita
Pengembangan
Daerah
Industri Pulau Batam Penambahan 8.
KEPPRES No 56 tahun 1984
Daerah
Wilayah
Industri
Lingkungan
Pulau
Batam
Kerja dan
Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse Penambahan
9.
KEPPRES No 28 tahun 1992
Daerah
Wilayah
Industri
Penetapannya
Lingkungan
Pulau
sebagai
Batam Wilayah
Kerja dan Usaha
Kawasan Berikat Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah 10.
SK KETUA BPN No 9-VIII-1993
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-Pulau disekitarnya Penyempurnaan atas Keputusan Presiden
11.
KEPPRES No 94 tahun 1998
Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan
12.
UU No 53 Tahun 1999
Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna,
Kabupaten
Kuantan
Singingi, Dan Kota Batam Keputusan Bersama Walikota 13.
Batam & Ka. Ob No 05 /Skb/Hk/Vi/2000
Pembentukan Dan Susunan Tim Perancang Draft
Peraturan
Pemerintah
Tentang
Pengaturan Hubungan Kerja Pemerintah Kota Batam Dengan Badan Otorita Batam Perubahan keempat atas Keppres RI No.41
14.
Keppres. RI No 113 tahun 2000
tahun 1973. Tentang Daerah Industri Pulau Batam Perubahan kelima atas Keppres RI No.41
15.
Keppres. RI No 25 tahun 2005
tahun 1973. Tentang Daerah Industri Pulau Batam
16.
Peraturan Pemerintah Republik
Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan
Indonesia Nomor 46 Tahun 2007
Bebas Batam
5
Menelusuri regulasi terkait pembangunan kota batam, sebenarnya terdapat lebih dari apa yang disajikan penulis sebagaimana table diatas. Batam memiliki berbagai peraturan perundang undangan yang secara Hukum Tata Negara memiliki nilai problematik tersendiri. Contoh, ketika batam di bangun atas dasar sebuah Keppres kemudian turunnnya SK Menteri, bagaimana mungkin Undang Undang pemerintahan daerah tak mampu dioptimalkan sebagimana mestinya, seperti dalam pemberlakukan dua lembaga dalam satu wilayah kota batam ini?. 2.
Badan Pengusahaan Batam/ BP Batam sebagai hak pengelolaan Dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 1971
Tentang
Pengembangan
Pembangunan
Pulau
Batam
dikatakan
bahwa;
“Untuk
mengkoordinir dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dalam bidang pembangunan projekprojek di Daerah Industri tersebut, pada Keputusan Presiden ini, dibentuk Badan Pimpinan Daerah Industri Batam, jang selandjutnja dalam Keputusan Presiden ini dibuat Badan Pimpinan, jang merupakan badan penguasa (authority) daerah dengan susunan tugas serta wewenang sebagai mana diatur dalam Pasal 4,5 dan 6 Keputusan Presiden ini”. Landasan filosofi dari pembentukan keputusan presiden tersebut dapat dibaca dalam pertimbangan lahirnya Keppres tersebut, disana dikatakan bahwa; “Pulau batam, jang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 telah ditetapkan sebagai basis logistik dan operasionil bagi usaha-usaha jang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minjak lepas pantai, ternjata perlu dikembangkan mendjadi Daerah industri jang mempunjai arti penting bagi kehidupan ekenomi Nasional pada umumnya”. Dari landasan tersebut diketahui bahwa pada awal lahirnya batam adalah semata-mata untuk peningkatan ekonomi negara yakni menjadi wilayah industri, sehingga basis paraturannya adalah berdasarkan keputusan presiden semata. Hal ini bisa difahami ketika suatu wilayah dijadikan sebagai basis logistic dan operasional maka tentu membutuhkan suatu badan khusus yang bertanggung jawab dalam menjalankan semua tugas terkait. Maka dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1989 disusunlah badan-badan yang bertanggungjawab langsung atas pengelolaan wilayah batam sebagai berikut: a. Badan Pengawas Daerah Industri Pulau Batam, dengan tugas: 1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pengembangan dan pengendalian pembangunan Pulau Batam yang dilakukan oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam;
6
2) Mensinkronisasikan
kebijaksanaan
Instansi-instansi
Pemerintah
yang
berhubungan dengan pengembangan Pulau Batam; 3) Memberikan petunjuk-petunjuk pelaksanaan kepada Otorita Pengembangan Pulau Batam mengenai pengembangan Pulau Batam sebagai Daerah Industri sesuai dengan kebijaksanaan umum Pemerintah dibidang pembangunan. Susunan Badan Pengawas Daerah Industri Pulau Batam terdiri dari: 1) Menteri Negara Ekonomi, Keuangan dan Industri/Ketua BAPPENAS sebagai Ketua merangkap Anggota. 2) Menteri Dalam Negeri, sebagai Anggota; 3) Menteri Keuangan, sebagai Anggota; 4) Menteri Perdagangan, sebagai Anggota; 5) Menteri Perindustrian, sebagai Anggota; 6) Menteri Perhubungan, sebagai Anggota; 7) Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagai Anggota; 8) Gubernur Kepala Daerah Propinsi Riau, sebagai Anggota; b. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, adalah penguasa yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam dan mempunyai tugas sebagai berikut: 1)
Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan-kegiatan pengalih-kapalan (transhipment) di Pulau Batam;
2)
Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi-instalasi prasarana dan fasilitas lainnya;
3)
Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan oleh para pengusaha serta mengajukannya kepada instansi-instansi yang bersangkutan;
4)
Menjamin agar tata-cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam dapat berjalan lancar dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam.
c. Perusahaan Perseroan Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam
Maka jika dilihat dari Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dapat disimpulkan bahwa sejarah adanya sebuah lembaga non pemerintahan daerah di kota batam dimulai dari regulasi tersebut. Hal inillah yang kemudian oleh peraturan lainnya setelah Keppres No 41 Tahun 1973 diikutkan sebagai lembaga pengembang batam. Lembaga pengembang batam dengan nomenklatur Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau disebut juga Otorita Batam yang kemudian menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau biasa 7
disingkat BP Batam (Badan Pengusahaan Batam) diberikan keleluasaan secara hukum dalam pertanggungjawaban, pengembangan, izin dan lainnya terkait batam. Sebenarnya hal ini menjadi tidak salah karena landasan/ payung hukum yang diberikan jelas yakni Keputusan Presiden. Sehingga Batam yang adalah wilayah industri tidak dikendalikan oleh sebuah pemerintahan daerah, namun langsung diambil alih oleh pemerintahan pusat sebagai otoritas mutlak. Sebagaimana peraturan perundang undangan yang lain yang sudah dipaparkan sebelumnya, hampir semua regulasi hingga masukknya era reformasi, otorita batam masih memegang kendali atas penguasaan di wilayah industri batam. Sekalipun era reformasi adalah bentuk demokrasi rakyat atas tuntutan berbagai macam perbaikan di Republik Indonesia, namun nyatanya hingga terbitnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diikuti oleh Undang Undang No 53 Tahun 1999 tentang Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, otorita batam kala itu masih memegang “kuasa” atas perkembangan batam. Undang Undang No 53 Tahun 1999 tentang Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam adalah bentuk pertama undang undang yang menjadikan batam sebagai kota, sehingga secara hukum kedudukan peraturan ini dianggap jauh lebih kuat sekaligus tinggi. Artinya bahwa sekalipun batam masih dibawah provinsi Riau kala itu, namun bentuk pemerintahan daerah sebagimana pada umunya seharusnya sudah mampu terealisasi, hal ini didasarkan pada tuntutan reformasi kala itu yang memaksa pemerintah untuk memberikan hak dan kewenangan daerah untuk dapat menjalankan rumah tangganya sendiri begitupun dengan keuntungan yang seharusnya diambil langsung oleh daerah itu. 3.
Tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam Tarik ulur hubungan antara pusat dan daerah hingga hari ini belum juga menemukan
format yang ideal, bahkan cendrung mengarah kepada ‘ketegangan” yang tak berkesudahan. Sudah 50 tahun lebih perjalanan pemerintahan dan politik di Indonesia. Berbagai macam pengalaman dan percobaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah di alami. Pola hubungan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daearh sangat ditentukan oleh konfigurasi politik nasional pada suatu kurun waktu.2
2
Nikmatul Huda, Otonomi Daerah Filofosi Sejarah Pekrmbangan Dan Probelmatika, Pustaka Pelajar, Yogyakrata, 2013, Hlm 77
8
Berikut adalah bentuk kewenangan Kota Batam dari tahun 1971, sejak pertama kali pengembangan Batam hingga sekarang: a. Tahun 1971-1983
Era Pemerintahan Tunggal Otorita Batam
b. Tahun 1983-1999
Era Dualisme Pemerintahan, yaitu Otorita Batam dan
Pemerintah Kota Administratif c. Tahun 1999-sekarang
Era Dualisme Pemerintahan Otorita Batam dan
Pemerintah Kota Otonom Jika dilihat dari periode bentuk kewenangan diatas maka didapati bahwa kewenangan pada Batam memiliki dua (2) bentuk, yakni: yang pertama tunggal dan memiliki dua kewenangan. Dalam pasal 4 Ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1989 tentang Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam adalah penguasa yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam dan mempunyai tugas sebagai berikut: a. Mengembangkan dan mengendalikan Pembangunan Pulau Batam sebagai suatu Daerah Industri; b. Mengembangkan
dan
mengendalikan
kegiatan-kegiatan
pengalih-kapalan
(transhipment) di Pulau Batam; c. Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi-instalasi prasarana dan fasilitas lainnya; d. Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan oleh para pengusaha serta mengajukannya kepada instansi-instansi yang bersangkutan; e. Menjamin agar tata-cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam dapat berjalan lancar dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam. Kalimat “penguasa yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam” tentu memilliki dampak yang sangat signifikan bagi kewenangan sebuah lembaga. Artinya penguasa penuh tersebut telah terlanjut diberikan oleh pemerintahan pusat kepada sebuah lembaga bernama otorita batam. Kenyataan tersebut terus berjalan hingga akhirnya pada tahun 1999 pemerintah membuat Undang Undang No 53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, Dan Kota Batam, yang dalam pasal Pasal 21 (1):, menyatakan bahwa:
9
“Dengan terbentuknya Kota Batam sebagai Daerah Otonom, Pemerintah Kota Batam dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
di
daerahnya
mengikutsertakan Badan Otorita Batam”.
Disinilah ditemui ketidakkonsistenan peraturan perundang undangan sekaligus ketidakjelasan pemerintah dalam membangun sebuah konsep pemerintahan daerah. Disatu disisi pemerintah dengan bijak membangun wilayah industri batam karena melihat “peluang” ekonomi yang baik demi negara Indonesia sehingga dibangunlah wilayah sekaligus lembaga yang bertugas dan pertanggung jawab penuh atasnya dengan nama badan otorita (saat itu), namun pada sisi lain ditemui bahwa pada tahun 1983 melalui Peraturan Pemerintah No 34 tahun 1983 tentang Pembentukan Kotamadya Batam di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau, pemerintah justru membangun pembentukan kota administratif Batam di Propinsi Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Tentunya hal tersebut dinilai inkonsistensi, maka sejak saat itu lahirlah dualisme pemerintahan di Batam, ditambah lagi dengan adanya Undang Undang No 53 Tahun 1999 sebagimana diatas. Contoh bentuk dualisme kewenangan yang terjadi di batam. Terkiat lahan dalam hal izin alokasi lahan, kewenangan tersebut berada pada Badan Pengusahaan Batam/ BP Batam, sedangkan izin untuk mendirikan bangunan/ IMB berada pada kewenangan Pemerintah Kota Batam, jika seseorang tidak membayar Uang Wajib Tahunan Otorita/ UWTO sebagaimana yang ada dalam regulasi Kota Batam, lantas siapakah yang berhak untuk atas perobohon bagunan tersebut, apakah BP Batam dapat merobohkan bangunan tersebut, sedangkan izin IMB berada pada Pemko?. Selain itu masih banyak sengketa tarik-menarik kewenangan yang berada di Batam, seperti terkiat hak pengelolaan lahan/ HPL, penanaman modal asing/ PMA dan masih banyak lagi yang semua kewenangannya dimiliki oleh dua lembaga tersebut. 4.
Sistem pemerintahan daerah Indonesia Apabila ditela’ah dari sejarah pembentukan UUD 1945, dapat dikatakan bahwa Muh
Yamin lah orang pertama yang membahas masalah pemerintahan daerah dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945, Muh Yamin antara lain mengatakan:3 “negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat diperbaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai pemerintahan daerah untuk menjalankan pemerintahan daerah urusan dalam, pangreh praja”.
3
Nikmatul Huda, Hukum Tatat Negara Indoensia Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm 305-306
10
Selain dari pada usulan Muh Yamin, ada beberapa tokoh yang menambahkan pernyataan tentang konsep pemerintahan daerah tersebut, seperti Soepomo, dilanjutkan oleh Hatta dengan sebuatan pemerintahan sendiri. Melakukan pemerintahan sendiri dalam sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat) tidak lain berarti otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan demikian, makin kuat alasan bahwa pemerintahan dalam susunan daerah besar dan kecil menurut pasal 18 UUD tidak lain pemerintahan yang disusun atas dasar otonomi.4 Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dilakukan peninjauan terhadap undang-undang tersebut dan berakhir pada lahirnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU No 22/1999. Dengan perkembangan politik yang terjadi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perbaikan dengan segala bentuk dan isinya dengan undang undang terbaru yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam perjalanannya UndangUndang ini tidak bertahan lama dengan munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak terlepas dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung dan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Maka perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.5 Dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan.6 Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah
4
Ibid Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan 6 Ketentuan Pasal 5 Ayat 4 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 5
11
tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum7. Pasal 1 butir 7 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tentang asas desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom
berdasarkan
asas
otonomi
yang
mengacu
pada
prinsip
dasar
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah. Dalam asas ini daerah berhak untuk menjalankan segala urusan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat namun masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maksudnya adalah pelimpahan wewenang pemerintahan yang sebenarnya kewenangan itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertical didaerah berdasarkan arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat8. Sedangkan Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi9. Maksudnya adalah bahwa tugas pembantuan kepada pemerintahan desa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemeriintah kabupaten atau kota. Hal ini perlu disadari bahwa dalam kenyataan praktik menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa pemerintahan desa diberikan wewenang untuk menggali potensi di daerahnya sendiri bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), namun pertumbuhan desa itu tidak merata, serta tidak sesuai dengan harapan justru pemerintahan desa tidak dapat menjalankan fungsinya karena keterbatasan penggalian untuk sumber kas desa. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, Pemerintahan daerah diberikan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Maka tujuan pemberian tugas pembantuan adalah untuk mempelancar dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan bagi daerah itu sendiri. Untuk melaksanakan otonomi luas di daerah, maka pemerintahan daerah berhak dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah adalah peraturan yang ada pada daerah provinsi dan/atau peraturan yang ada pada daerah kabupaten/kota. Pengaturan tentang Peraturan Daerah (Perda) 7
Ketentuan Pasal 1 Butir 9 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm 7-8. 9 Ketentuan Pasal Pasal 1 Butir 11 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 8
12
tersebut tertera pada pasal 236 sampai pasal 245 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan pengaturan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) ada pada pasal 246 sampai pada pasal 248 dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan Kewenangan pemerintah pusat adalah semua kewenangan pemerintahan sebagai akibat pelimpahan dari rakyat. Namun pemerintahan harus diselenggarakan berasaskan desentralisasi, maka konsekuensinya adalah sebagian kewenangan tersebut harus diserahkan kepada daerah. Dengan demikian pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan 6 (enam) bidang urusan pemerintahan saja, yang terdiri dari: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama. Sedangkan selain 6 (enam) bidang itu menjadi kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kewenangan yang dipegang pusat adalah kewenangan yang bersifat Nasional. Sedangkan kewenangan yang diserahkan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat lokalitas (merupakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat). Daerah diberi kebebasan untuk menemukan kewenangan yang bersifat lokalitas tersebut menurut prakarsanya sendiri.10 Penulis mencoba mengurai sedikit bentuk tiap undang undang pemerintahan daerah yang ada, dalam Undang Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bentuk kewenangan jelas bahwa selain 6 kewenangan di atas maka daerah berhak untuk mengurus urusannya sendiri. Tetapi dalam Undang Undang No 23 tahun 2014 justru bentuk pembagian tugas tersebut menjadi sumir, artinya bahwa tidak sebagaimana undang undang terdahulu, kewenangan pusat justru diperluas dengan adanya pengaturan menjadi; urusan absolut, konkuren dan pemerintahan umum. Urusan absolut adalah mutlak kewenangan pusat yang terdiri dari politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, sedangkan konkuren dibagi menjadi urusan wajib dan pilihan, yang pilihan terdiri dari pelayanan umum dan bukan pelayanan umum dan itu semua dibagi antara pusat dan daerah sebagaimana dalam halaman lampiran dalam undang undang undang tersebut, dan terakhir adalah pemerintahan umum yang dilihat dari kemampuan pada daerah itu dalam menjalankan kewenangannya. Sejalan dengan pendapat Moh Mahfud MD bahwa konfigurasi politik suatu negara diikuti oleh bentuk pemerintahan kala itu. Maka didapati bahwa hasil Undang Undang Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2014 dapat dikatakan bernilai sama dengan bentuk pemerintahan saat itu juga, yakni ada kemungkinan cendrung sentralistik. Dapat dilihat bahwa nilai UU Pemerintahan daerah yang sekarang lebih mengarah pada sentralistik, hal tersebut dilihat dari pembagian urusan yang ternyata perluasan untuk pusat menjadi semakin banyak,
10
Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Edisi Revisi, PT Grasindo, Jakarta, 2005, Hlm. 160-161
13
sehingga daerah hanya menjalankan yang sudah ditentukan oleh undang undang (lampiran undang undang) saja. Maka wajar jika dikatakan bahwa kehadiran UU Pemerintahan Daerah No 23 tahun 2014 menjadi tidak logis, ibarat menghidupkan kembali sosok zombi yang menyeramkan, yakni bentuk sentralisasi sebagaimana dalam era-orde lama sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang bernuansa sentralistik. 5.
Rekonstruksi sistem pemerintahan daerah kota batam Berkiatan dengan prinsip negara kesatuan dan desentralisasi maupun sistem
pembagian urusan antara pemerinthan pusat dan daerah dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka NKRI dan memperhatikan tujuan pemberian otonomi kepada daerah, maka penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara.11 Oleh
karenanya
desentralisasi
haruskah
dilakukan
secara
konsisten
dan
bertanggungjawab, permasalahan seringkali muncul disebabkan karena pemberlakukan “setengah hati” oleh pusat sehingga daerah merasa tidak memiliki daerahnya sendiri atau bahkan keterlibatan pemerintahan daerah yang terlalu dominan tanpa ruang kepada warganya. Lepas dari semua itu desentralisasi adalah amanah yang sebenarnya tidak hanya diberikan oleh undang undang pemerintahan daerah semata, namun juga oleh konstitusi itu sendiri. Pasca terjadinya era reformasi kala itu, berbagai bentuk perubahan ketatanegaraan semakin kuat. Sistem pemerintahan daerah semakin nyata dengan adanya asas otonomi dalam UUD 1945, sehingga hak daerah dalam mengurus rumah tangganya menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen dikatakan bahwa: a. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. b. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan c. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum d. Gubernur, Bupati, and Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
11
Agus Santoso, Menyikap Tabir Otonomi Daerah Di Indoensia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm 173
14
e. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. f. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. g. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undangundang. Artinya bahwa konstitusi dengan tegas telah memerintahkan agar dalam negara kesatuan dibagi atas daerah-daerah dengan sistem pemerintahan sendiri yang dimiliki atasnya. Hal tersebut dipertegas dalam pasal 65 ayat (1) UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah bahwa, “kepala daerah mempunyai tugas”: a. Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD b. Memelihara ketentramaan dan ketertiban masyarakat c. Menyusun dan mengajukan rancangan perda tantang RPJPD dan rancangan perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD d. Menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD, rancangan perda tentang perubahan APBD dan rancangan perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama e. Mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum umntuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan f. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah, dan g. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan Sebenarnya negara ini telah memberikan ruang yang nyata terkait sistem pemerintahan daerah yang seharusnya dapat dijalankan oleh daerah tersebut. Bentuk pemerintahan daerah itu dikuatkan dengan kewenangan yang mutlak dimiliki oleh pemerintahan daerah itu, dengan demikian secara konstitusional UUD 1945 tidak memberi ruang akan adanya lembaga lain pengendali atas wilayah atau daerah tersebut. Terkait rekonstruksi sistem pemerintahan daerah kota batam, maka ada beberapa analisa yang diajukan; a. Pasal 21 ayat (1) Undang Undang No 53 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Dengan terbentuknya Kota Batam sebagai Daerah Otonom, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya mengikutsertakan Badan Otorita Batam”. Adalah bentuk mengingkaran dari reformasi yang terjadi 15
1998, selain itu norma yang ada dalam undang undang tersebut jelas bertentangan dan tumpang tindih dengan nilai-nilai yang sedang dibangung oleh sistem pemerintahan daerah yang berlandaskan otonomi daerah serta desentralisasi. Oleh karena itu penulis menilai bahwa mengajukan permohonan pada mahkamah konstitusi atas pemberlakukan Undang undang tersebut adalah paling tepat, karena nomrma yang terkandung jelas melanggar pasal 18 UUD 1945. b. Perintah adalah penguasa sekaligus wewenang yang bertanggung jawab penuh atas dualism yang terjadi di kota batam. Hal ini bisa dilihat sejak batam dijadikan sebagai wilayah administrative saat itu, lembaga otorita masih dibiarkan hidup dalam pembangunan dan pertanggungjawaban batam, sehingga yang terjadi adalah dualisme kewenangan batam yang tersrtuktur oleh pemerintahan pusat. Kalaupun itu hanya bernilai sejarah hingga pada tahun 1999 justru diperkuat oleh undang undang pembentukan kota batam, artinya konstalasi politik jauh lebih dominan dibanding dengan perjuangan otonomi daerah yang bisa diktakan gagal khsusunya pada batam kala itu. Oleh karena itu, sudah bukan waktunya lagi pemerintah bermain untung rugi, hitung-menghitung nominal keuntuangn dan lainnya dalam sebuah pemerintahan kota batam. Sebagaimana pada umumnya kehidupan daerah, maka biarkanlah batam dengan segala kekurangan dan ketidaksiapan untuk menjadi dewasa dengan memberikan kepercayaan pada batam untuk mengurus urusannya sendiri. Ibarat bola panas, semua mengarah pada pemerintahan pusat, maka pertanggungjawaban dan konsistensi pemerintah pusat adalah jawaban untuk mengakhiri perdebatan panjangan dualisme kewenangan tersebut. c. Agar tidak adanya “kekisruhan” dalam menjalankan sistem pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, maka bentuk pelimpahan antara BP Batam dan Pemko harus memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kemashlahatan. Oleh karena itu pemerintah pusat wajib membantu dan mendudukan pertanggungjawaban yang selama ini terlanjur dimiliki, untuk ikut membantu meleburkan kewenangan BP Batam ke dalam tubuh pemko dalam bidang terkait (yang selama ini dijalaninya). Hal itu dilakukan dengan tujuan memperhatikan jumlah karyawan dan keahlian agar tetap digunakan sekalipun dalam wadah yang berbeda, tetapi memiliki fungsi yang disesuaikan. Dengan demikian maka pemko adalah kemutlakan kewenangan yang hanya dimiliki oleh suatu wilayah kota sebagaimana di gaungkan oleh sistem pemerintahan daerah selama ini.
16
Penutup Dari pembahasan dan analisa hukum diatas, maka penulis menguraikan penutup pada tulisan ini sebagai berikut: Bahwa perjalanan panjang untuk menjadikan Indonesia menjadi sebuah bentuk negara kesatuan melalui berbagai perdebatan bahkan sempat menyerah dengan paksaan belanda dengan tarik-menarik politik agar Indonesia membuat negara federal. Keberhasilan gerakan republiken menjadikan Indonesia kembali berhasil dalam payung persatuan dan kesatuan NKRI. Keinginan para pendiri negeri kala itu menginginkan bentuk negara Indonesia dengan kesatuan dengan konsep pemerintahan daerah sekaligus dengan menjalakan sistem pemerintahan daerah. Berbagai regulasi dibuat agar daerah-daerah dapat menjalankan sendiri urusan rumah tangganya. Namun hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di batam. Batam menjadi wilayah “buatan” yang awalnya dibentuk hanya sebagai daerah industri. Dalam menjalankan kegiatannya dibuatlah sebuah lembaga yang bertanggungjawab langsung pada pusat, hingga akhirnya prinsip otonomi daerah itu muncul, ternyata pemerintah pusat masih bercokol di batam dengan nama otorita batam. Timbul dualisme kewenangan antara pemerintah kota dan badan pengusahaan batam, dalam konsep pemerintahan daerah, bahwa hanya terdapat satu kewenangan mutlak yang dimiliki oleh daerah itu sendiri, yakni bisa bersifat gubernur, bupati atau walikota dengan pemerintahan kota. Sehingga tidak ada bentuk kewenangan lain yang semestinya hadir apalagi bertanggungjawab penuh pada perkembangan dan pertumbuhan daerah itu. Dalam hal batam, maka adalah “PR” tersendiri bagi pemerintah pusat untuk tegas dan konsisten dalam menerapkan sistem pemerintahan daerah yang seharusnya terealisasi di daerah tanpa ada campur tangan pihak manapun, khususnya di Batam.
DAFTAR PUSTAKA Abra, E. H. (2016). Konstruksi Sistem Hukum Indonesia. DIMENSI, 5(3). Agus Santoso, Menyikap Tabir Otonomi Daerah Di Indoensia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Edisi Revisi, PT Grasindo, Jakarta, 2005 Nikmatul Huda, Otonomi Daerah Filofosi Sejarah Pekrmbangan Dan Probelmatika, Pustaka Pelajar, Yogyakrata, 2013
17
Nikmatul Huda, Hukum Tatat Negara Indoensia Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Sunarno Siswanto,Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/law.jsp, diakses pada 10 januari 2015
18