JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
PENDISKRITAN PROFESI ARTIS PADA SITUS BERITA DETIK.COM (Studi Analisis Framing Pemberitaan Prostitusi Artis pada Situs Berita Detik.com)
Oleh : Irwanto Dosen Penyiaran Akademik Komunikasi Bina Sarana Informatika Jl. SMA Kapin No.292A. Kalimalang Jakarta Timur Email :
[email protected]
ABSTRACT News regarding the issue of prostitution artists found on news sites detik.com so massively distributed to the public in medio May 2015. The active participation detik.com editorial events proclaim prostitution on the artist through its construction was not only presenting the facts alone, but also full of tendencies that lead the profession of artist. The study, using content analysis method seeks to understand attitude and the way editorial detik.com in reporting issues of prostitution among artists. Keywords: pendeskreditan, construction of reality PENDAHULUAN Agenda media massa mampu berkiprah di ranah sosial melalui kekuatannya dalam membentuk kesadaran publik. Tidak terkecuali dalam kasus pemberitaan prostitusi artis yang terjadi pada minggu pertama dan kedua bulan Mei tahun 2015. Tokoh-tokoh serta semua hal yang ada dalam pemberitaan itu menjadi bahan obrolan di masyarakat. Gaungnya sangat berasa mulai dari warung-warung di pinggir jalan, ruang kerja bahkan juga di ranah media sosial. Kasusnya menjadi topik yang sering dibicarakan atau biasa dikenal dengan istilah trending topic. Tentunya hal ini tidak bisa lepas dari peran media massa yang begitu kuat mempengaruhi kesadaran masyarakat dan menempatkan kasus prostitusi artis dalam ruang kesadaran mereka.
Meskipun diketahui tidak semua media massa menyajikan berita prostitusi artis secara massif, namun beberapa redaksi berita seperti halnya detik.com mempublikasikan 47 judul berita tentang prostitusi artis dalam kurun waktu setidaknya 24 jam. Sumber : http://search.detik.com/search?query=+prosti tusi+artis&sorttime=1&number=& thread=0&fjb=0&fromdatex=11%2F05%2F2 015&todatex=12%2F05%2F2015&siteid=& page=1 diakses 12 Mei 2015 pukul 8.20 ).
Sedangkan Republika online mempublikasikan 10 judul berita terkait dengan prostitusi artis dalam kurun waktu yang relatif sama (sumber : Error! Hyperlink reference not valid. diakses 12 Mei 2015 pukul 8.20). Sementara mediaindonesia.com hanya tiga judul berita yang berhubungan dengan perihal prostitusi artis pada kurun waktu yang relatif sama (sumber: 29
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
(http://www.mediaindonesia.com/search/resu lt/artis diakses 12 Mei 2015 pukul 8.45 ). Rumusan Masalah Bila dilihat dari data yang ditemukan pada ketiga situs portal berita tersebut dan mengambil rata-ratanya maka diperoleh bahwa detik.com kurang lebih menyajikan pemberitaan prostitusi artis setidaknya hampir dua berita dalam satu jam. Angka ini luar biasa besar secara kuantitatif. Cukup memberikan kontribusi dalam persepsi pada kesadaran publik akan berita prostitusi artis. Terlebih detik.com berada pada posisi ke delapan pada urutan rangking top situs yang dikeluarkan oleh alexa.com (sumber : http://www.alexa.com/siteinfo/detik.com). Dengan kata lain situs detik.com menjadi salah satu portal berita yang sering diakses oleh masyarakat di Indonesia. Terlebih urutan diatas detik.com bukanlah portal berita tapi lebih pada situs pertemanan FB, Youtube, Google dan Yahoo. Jadi urutan rangking yang dirilis alexa.com tidak ada situs berita di Indonesia ini yang posisinya lebih tinggi dari detik.com. Belum lagi aplikasi yang ditawarkan detik untuk memudahkan pembaca dalam mengakses beritanya melalui telepon pintar yang dimiliki. Beberapa hal ini semakin menguatkan detik.com laik untuk diteliti. Kata-kata yang digunakan sebelum dan sesudah kata artis yang digunakan detik.com pada pemberitaan mengenai pemberitaan prostitusi pada kalangan artis cenderung tendensius dan mampu mengarahkan pembaca kepada pendiskreditan profesi artis. Hal ini bisa menyebarkan opini bahwa umumnya para artis baik wanita ataupun pria menjajakan dirinya secara on line. Salah satu contohnya yaitu pada berita detik.com yang berjudul ”Catherine Wilson Kaget Ada Kasus Prostitusi Kelas Atas”. Dalam berita itu ada kalimat: Akibat artis berinisial AA tertangkap dengan dugaan kasus prostitusi,
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
beberapa nama artis ikut terseret”.http://hot.detik.com/read/2015/05/ 12/080748/2912488/230/catherine-wilsonkaget-ada-kasus-prostitusi-kelas-atas). Lalu
dalam kalimat pada judul berita detik.com yakni ”Masih Kasus Artis Booking-an, Benarkah Ada Prostitusi Artis Pria?”. Sikap detik.com sebagai media massa. Sikap media ini tercermin dalam tulisan pemberitaan dan serta visualisasi yang menyertai pemberitaan terkait. Hal itu misalnya terlihat pada foto atau ilustrasi yang yang disajikan detik.com termasuk sudut pengambilan, dan ukuran gambar. Pada akhirnya penelitian ini juga akan menjawab bagaimana detik.com membingkai peristiwa prostitusi pada kalangan artis yang terjadi pada awal Mei 2015. Tujuan Penelitian 1. Melalui penelitian ini, diharapkan beberapa temuan yang dipaparkan tersebut, hendak mengetahui bagaimana redaksi detik.com sebagai media massa memberitakan isu prostitusi di kalangan artis. 2. Menjelaskan bagaimana bentuk ideologi yang dibangun oleh redaksi detik.com terkait pemberitaan mengenai prostitusi artis. Manfaat Penelitian Pada penelitian ini memiliki manfaat sebagai kontribusi ilmiah dalam bidang akademis terutama dalam bidang Ilmu Komunikasi. Selain itu, manfaat penelitian ini secara praktis juga sebagai bentuk wujud monitoring media dalam memantau perkembangan pemberitaan media serta untuk memberikan solusi terhadap permasalahan pada teks media massa.
30
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konstruksi Realitas Teori utama yang dijadikan basis analisis adalah teori konstruksi realita (social construction) (Berger dan Luckmann dalam Littlejohn, 2008: 67). Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. b. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film. Bisa dipahami realitas simbolik adalah semua ekspresi
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
simbolik dari apa yang dinilai sebagai realitas objektif. Bahasa dan teks media merupakan ekspresi realitas simbolik. Dalam hal ini misalnya: peristiwa adanya oknum artis yang diduga terlibat prostitusi on line. c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masingmasing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru (Dedy Nurhidayat, 2003). Realitas subjektif merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu yang dikonstruksi melalui proses internalisasi (internalization) terhadap suatu realitas objektif. Misal, penanaman nilai-nilai berita (news value) kepada wartawan, indoktrinasi ideologi kontrol sosial, dan lain-lain. Realitas subjektif ini menjadi basis bagi proses eksternalisasi (interaksi sosial) dalam struktur sosial untuk melakukan objektivikasi (objectivication) dalam proses konstruksi realitas objektif. Misal, interaksi wartawan dengan para sumber berita yaitu : tersangka mucikari, polisi, oknum artis serta pihak lain yang terlibat. Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann mencoba mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asalmuasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi intersubjektif. Masyarakat adalah sebagai kenyataan obyektif sekaligus menjadi kenyataan 31
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
subjektif. Sebagai kenyataan obyektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk individu. Kenyataan atau realitas sosial itu bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan obyektif. Kenyataan atau realitas obyektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia. Oleh karena itu, tidak heran jika kenyataan hidup seharihari pun memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subjektif (Berger dan Luckmann, 1990 : 28-29). Misal, tindakan sehari-hari, peristiwa, benda, dan lain-lain yang kita kenal sebagai sesuatu yang alamiah dan natural. Realitas simbolik adalah semua ekspresi simbolik dari apa yang dinilai sebagai realitas objektif. Bahasa dan teks media merupakan ekspresi realitas simbolik ini. Realitas subjektif merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu yang dikonstruksi melalui proses internalisasi (internalization) terhadap suatu realitas objektif. Misal, penanamaan nilai-nilai berita (news value) kepada wartawan, indoktrinasi ideologi kontrol sosial, dan lain-lain. Realitas subjektif ini menjadi basis bagi proses eksternalisasi (interaksi sosial) dalam struktur sosial untuk melakukan objektivikasi (objectivication) dalam proses konstruksi realitas objektif. Ketiga bentuk realitas tersebut berlangsung dalam suatu proses. Bila merujuk pemikiran Berger dan Luckmann (Bungin, 2008: 14), proses teks serta simbol hingga bisa diterima oleh masyarakat melalui konstruksi yang didalamnya terdapat tiga momen dialektika, yaitu eksternalisasi obyektivikasi serta internalisasi
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Objektifikasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan orang lain. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberikan makna pada berbagai kehidupan. Melalui dialektika ini maka proses konstruksi yang terdapat di media massa dapat ditinjau melalui tiga tahapan tersebut. Sebagai tahap awal dialektika, dimulai dari interaksi yang terjadi antar redaksi dengan publik melalui isi pernyataan yang dikreasikan komunikator diterima oleh pembaca atau pengakses berita media tersebut. Proses ini terjadi pada tahap yang sangat mendasar pada satu pola prilaku interaksi antar komunikator (redaksi) dengan komunikannya komunikan (pembaca). Tahap objektifikasi terjadi manakala komunikan yang menerima isi pesan tersebut melakukan interaksi dengan dunia intersubyektifitas yang ada pada komunikan. Karena komunikan memiliki kebebasan untuk menafsirkan apapun sesuai dengan latar belakang serta kehendaknya. Kondisi berlangsung melalui media tanpa pertemuan fisik antara komunikator dan komunikan. Hal penting pada objektifikasi ialah tandatanda atau bahasa yang dibuat oleh redaksi. Berger dan Luckman dalam Bungin (2008:198) menyatakan bahwa sebuah tanda (sign) harus dapat membedakan obyek-obyek. Tahapan akhir proses dialektika yang juga menjadi awal dari sebuah pemaknaan adalah internalisasi. Pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna. Artinya sebagai sebuah manifestasi dari proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. Tidak peduli apakah subyektif orang lain itu 32
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
bersesuaian dengan subyektif individu tadi. Karena bisa jadi individu memahami orang lain secara berbeda. Proses internalisasi realitas objektif menjadi realitas subjektif terjadi melalui realitas simbolik (symbolic reality). Dalam proses simbolisasi realitas objektif tersebut terjadi proses pembingkaian realita. Terkait dengan hal tersebut, Erving Goffman (1973) mengemukakan bahwa bingkai merupakan skemata interpretasi yang memungkinkan individu untuk mencari , melihat , mengidentifikasi dan mengakurasikan label atau pengalaman hidup. Pengertian lain tentang bingkai atau pembingkaian tampak dari berbagai pandangan tokoh-tokoh sebagaimana disajikan oleh Reese (2001: 7-11): a) Menurut Gamson dan Modigliani, bingkai sebagai pengorganisasian ide sentral untuk mencapai pemahaman tersebut dan untuk mengatur realitas politik. Bingkai sebagai ide pengorganisasian pusat untuk membuat rasa peristiwa yang relevan , menunjukkan apa yang menjadi masalah ; b) Menurut Robert Entman, frame untuk memilih beberapa aspek realitas yang dirasakan dan membuat mereka lebih menonjol dalam teks berkomunikasi, sedemikian rupa untuk mempromosikan definisi tertentu masalah, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan rekomendasi pengobatan untuk menjelaskan suatu hal ; c) Menurut Reese, framiming ialah pengorganisasian prinsip yang dibagi secara sosial dan gigih dari waktu ke waktu , yang bekerja secara simbolis untuk memberikan makna pada struktur dunia sosial ; d) Menurut Tankard, Hendrickson, Silberman, Bliss and Ghanem, dalah ide pengorganisasian pusat untuk konten berita yang memasok konteks dan menekankan permasalahan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
melalui seleksi, penekanan, pengucilan dan elaborasi ; e) Menurut Iyengar, mengacu pada perubahan dalam laporan atau presentasi masalah. f) Menurut Combs dan Ghanem, adalah pembangunan agenda dengan sejumlah terbatas atribut tematis terkait untuk menciptakan gambaran yang koheren dari objek tertentu. Terkait bingkai media, Norris, Kern dan Just (2003) menyatakan, esensi dari framing adalah seleksi untuk memprioritaskan beberapa fakta, gambar, atau perkembangan atas orang lain, sehingga secara tidak sadar mempromosikan peristiwa tertentu . Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yan dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan. Definisi lain tentang framing dikemukakan oleh Gamson dan Modgliani dalam Sudibyo (2001:220). Mereka berpendapat bahwa frame adalah cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristi waperistiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Gamson mengandaikan wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana. Package adalah gugusan ide-ide yang memberi 33
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
petunjuk mengenai isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk memaknai pesan yang disampaikan serta untuk menafsirkan pesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi sehingga dapat mengindikasikan posisi atau kecendrungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan makna-makna di balik isu atau peristiwa yang sedang dibicarakan. Keberadaan package dalam suatu wacana berita ditunjukkan oleh keberadaan ide yang didukung oleh perangkat wacana seperti metaphor, depiction, catchphrase, exemplars dan visual image. Semuanya mengarah pada ide atau pandangan tertentu, masing -masing kelompok berusaha menarik dukungan publik. Dengan mempertajam kemasan (package) tertentu dari sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau sesuai dengan kebenaran versi mereka. Pan dan Kosicki (1991: 5-7) menyatakan framing dapat dipelajari sebagai suatu strategi untuk memproses dan mengkonstruksi wacana berita atau sebagai karakteristik wacana itu sendiri. Proses framing berkaitan erat dengan rutinitas dan konvensi profesional jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam presentasi media. Dengan kata lain, proses framing merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa. Dominasi sebuah frame dalam wacana berita bagaimanapun berkaitan dengan proses produksi berita yang melibatkan unsurunsur seperti reporter, redaktur dan lain lain. Dalam konteks ini, seperti dijelaskan oleh Gamson, pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
dan mengutip sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorika - retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu (Gamson dan Modigliani, 1989:3). Berdasarkan hal -hal tersebut, framing yang berbeda akan menghasilkan berita yang berbeda pula apabila wartawan memiliki frame yang berbeda dalam memandang suatu peristiwa dan menuliskan pandangannya itu ke dalam sebuah berita atau artikel. Berdasarkan uraian tersebut, dipahami bahwa dalam proses internalisasi realitas objektif menjadi realitas subjektif terjadi melalui realitas simbolik (symbolic reality). Pembingkain berita terjadi saat proses simbolisasi realitas objektif. Dalam hal ini momentum redaksi meyimbolkan menyimbolkan peristiwa melalui lambang komunikasi yakni bahasa yang berupa unsur tulisan, foto, gambar dan suara, maka disinilah terjadi proses pembingkaian / framing.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisa pembingkaian (framing). Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, (1999:39) ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Realitas kehidupan sosial dipandang oleh paradigma ini bukanlah realitas yang netral tapi hasil dari konstruksi. Permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya akan terjawab melalui pendekatan kualitatif dengan pisau analisis bingkai (analysis framing) model Gamson dan Modigliani. Subyek 34
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
penelitian adalah berita tentang prostitusi on line pada kalangan artis portal berita detik.com pada 11 dan 12 Mei 2015. Analisis data dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur analisis sebagaimana dimaksudkan dalam model Gamson dan Modigliani (Tankard,JR: 2001). Unsur itu berupa analisis kemasan media (media package) untuk menemukan bingkai inti (core frame) melalui analisis perangkat bingkai (framing devices) dan analisis perangkat penalaran (reasoning devices). Analisis perangkat bingkai (framing devices) meliputi analisis metafora (metaphora), contoh (exemplars), gambaran (depictions), frasa mudah ditangkap (catchphrases), dan citra visual (visual image). Analisis perangkat penalaran (reasoning devices) meliputi analisis kausalitas (roots) dan analisis normatif pendukung bingkai (appeal to principle). Tabel 1 Model Framing Gamson dan Modigliani
Sumber: Dikonstruk dari Eriyanto (2002)
PEMBAHASAN Temuan Data Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 47 judul berita dalam kurun waktu hari Senin 12 Mei 2015 sampai
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Selasa 12 Mei 2015 yang terkait dengan pemberitaan tentang prostitusi pada kalangan artis di portal berita detik.com. Meski yang diduga terlibat hanya satu orang oknum artis namun dari 47 jumlah pemberitaan sepertinya redaksi cukup intens memberitakannya. Jika diambil rata-rata sebanyak 1,95 kali hampir dua berita dalam sejam redaksi detik.com menyuguhkan berita tentang prostitusi on line pada kalangan artis. Melalui temuan ini sangat jelas bahwa redaksi detik.com memberikan perhatian lebih kepada pemberitaan prostitusi on line pada kalangan artis. Frekuensi pemberitaan prostitusi ini lebih banyak jika dibandingkan dengan peristiwa yang lainnya. Jelas redaksi detik.com mengarahkan perhatian publik kepada berita prostitusi dibanding peristiwa atau isu lain yang terjadi pada hari yang sama. Bahkan redaksi detik.com memberikan porsi yang lebih kecil untuk pemberitaan tewasnya istri duta besar Indonesia tewas dalam kecelakaan helikopter di Pakistan dibanding dengan berita prostitusi di kalangan oknum artis. Pada berita yang di unggah Selasa, 12/05/2015 08:45 WIB dan berjudul ”Catherine Wilson Kaget Ada Kasus Prostitusi Kelas Atas” di alinea I redaksi detik.com melakukan depiction pada kalimat Akibat artis berinisial AA tertangkap dengan dugaan kasus prostitusi, beberapa nama artis ikut terseret. Pemakaian kata beberapa mengindikasikan lebih dari satu, padahal secara bukti otentik yang ditemukan pihak polisi saat itu hanya satu orang yang berinisial AA. Pada saat itupun polisi menetapkan status AA msih sebagai saksi dan belum ada keputusan tetap dari pengadilan bahwa dirinya bersalah. Azas praduga tidak bersalah harus dikedepankan. Jadi penggunaan kata beberapa bisa mengarahkan opini pembaca untuk berprasangka kepada insan-insan lain yang berprofesi sebagai artis.
35
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Detik.com melakukan catchphrases Pada berita yang diunggah Selasa, 12/05/2015 07:14 WIB dengan menulis judul ”Masih Kasus Artis Booking-an, Benarkah Ada Prostitusi Artis Pria?”. Penggunaan kalimat tanya pada judul berita memberikan suatu keraguan, kegamangan dan ketidakpastian pada publik. Redaksi yang seharusnya memberikan informasi justru melalui judul tersebut seolah ragu dan bertanya dan cenderung tendensius kepada para artis yang dikonteks berita ini tuduhan mengarah pada artis pria. Tentu hal ini melenceng dari tujuan pembuatan berita dan kaidah jurnalistik. Pada realitasnya saat berita ini diturunkan polisi belum menemukan bukti artis pria terlibat prostitusi on line. Pengertian bukti disini harus sesuai dengan undang-unang yang berlaku. Tapi dengan judul yang dikonstruk oleh redaksi detik.com malah semakin membuat keadaan tidak kondusif, terlebih pada artis-artis pria. Melalui judul seperti yang dibuat detik.com tersebut boleh jadi label negatif bisa menyebar kepada para artis pria. Redaksi detik.com melakukan depiction pada berita yang diunggah Selasa 12/05/2015 06:01 WIB dengan judul ”Terkendala Aturan Perundangan, PSK Binaan Robbi Sulit Dijerat Pasal Pidana”. Hal ini jelas ditemukan pada alinea I dalam kalimat Akan tetapi, polisi tidak bisa menetapkan artis binaan RA. Terdapat kata binaan setelah kata artis. Kata ini sangat jelas mengarahkan pembaca bahwa tersangka RA memiliki koneksi lebih dari satu artis yang juga berprofesi menjadi wanita panggilan. Pada sisi lain tidak digunakannya kata tersangka pada kalimat yang dipakai memperkuat seolah RA telah ditetapkan bersalah oleh pengadilan. Padahal waktu beritanya dimuat oleh redaksi detik.com RA belum diadili. Redaksi melakukan depiction dalam berita berjudul ” Di Balik Kisah Panas Artis AA” yang diunggah pada
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Senin, 11/05/2015 22:07 WIB. Ini terbaca pada kalimat Mulai dari namanama artis cantik lain yang disebut punya profesi yang sama dengan AA hingga artis laki-laki yang juga disebut punya 'sampingan' yang sama. Pemakaian kata nama-nama artis sangat mengindikasikan adanya sekumpulan artis yang terlibat prostitusi. Sementara dalam tubuh berita tidak ada dan memang tidak diperkenankan menulis nama lengkap artis-artis itu. Ini berpotensi memunculkan prasangka di lingkungan sosial. Sekali lagi profesi artis didiskreditkan pada berita ini. Depiction kembali dilakukan redaksi detik.com pada berita berjudul ”Soal Artis yang Terlibat Prostitusi, Cynthiara Alona: Bukan Cuma di Indonesia” yang diunggah pada Senin, 11/05/2015 21:31 WIB. Pemakaian kata artis-artis dalam konteks kalimat Ia memilih untuk bergaul dengan artis-artis yang terlibat prostitusi mengesankan adanya kelompok artis yang menjadi teman Chintiara Alona. Bila mengasosiasikan kalimat tersebut maka artis yang dekat dengan Chintiara mendapat peluang berpredikat sebagai artis panggilan yang bisa dipesan melalui media on line. Meskipun pada kenyataanya belum tentu demikian. Pada berita yang diunggah Senin, 11/05/2015 18:42 WIB” dengan judul ”Ahmad Dhani: Yang Jadi PSK itu Beneran Artis atau Karena pernah Muncul di Media?” Redaksi detik.com melakukan depiction. Perihal ini terdapat pada frase nama-nama artis yang dia jajakan dalam kalimat Sejauh ini Robbi Abbas selaku mucikari para artis itu belum mau membeberkan nama-nama artis yang dia jajakan. Pemakaian kata nama-nama memberikan indikasi deretan artis yang terlibat bisnis prostitusi on line. Depiction yang dilakukan redaksi ini bisa memicu kecurigaan terhadap profesi artis terlebih bila sang artis selalu gunakan pakaian yang tampilkan bagian
36
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
aurat tubuhnya. Padahal pada kenyataanya belum tentu demikian. Catchphrases terjadi pada berita dengan judul ” Fadli Zon: Kalau Ada Anggota DPR Pakai Jasa PSK Artis Itu Masalah Pribadi” yang dipublikasikan redaksi detik.com pada Senin, 11/05/2015 18:38 WIB. Kata PSK artis pada judul itu mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman adanya artis yang menjadi PSK. Permasalahan terletak pada tidak adanya kata yang membatasi sejauhmana predikat artis yang sekaligus menjajakan dirinya sebagai PSK yang bisa dipesan secara on line. Depiction kembali ditemukan pada berita dengan judul ” Apakah Artis yang Suka Pamer Mobil Mewah Anak Asuh Robbi? Ini Jawaban Sang Germo” yang dipublikasikan redaksi detik.com Senin, 11/05/2015 17:29 WIB. Paragraf pertama berbunyi Sejumlah artis diketahui kerap pamer kemewahan, mulai dari mobil, rumah, sampai perhiasan. Padahal, boleh dibilang sang artis sepi job alias nggak laku-laku amat. Dari mana harta yang diperoleh? Apakah anak buah tersangka mucikari prostitusi artis Robbi Abbas? Pemakaian kata sejumlah serta tanda tanya dalam kalimat yang menyusun paragraf itu mengandung makna ada sekelompok artis yang berprofesi sebagai PSK. Subjek artis yang dimaksud dapat menunjuk pada semua artis tanpa kecuali, meski yang dimaksud redaksi detik.com tidak demikian. Catchphrases terjadi pada berita dengan judul ”Alat Canggih Dikirim Bareskrim ke Polres Jaksel untuk Lacak Jaringan Prostitusi Artis” yang diunggah pada Senin, 11/05/2015 16:52 WIB. Pemakaian kata jaringan artis mampu menggiring opini pembaca pada sekelompok artis yang berprofesi sebagai PSK on line. Catchphrases terjadi pada berita dengan judul ” Cerita Robbi Abbas Soal Klien Pengguna Jasa PSK: Ada yang
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Request Artis Tertentu” yang dipublikasi Senin, 11/05/2015 16:46 WIB. Penggunaan kata artis tertentu pada judul tersebut memastikan adanya artis yang memang berprofesi sebagai PSK. Akan tetapi hal ini malah menciptakan prasangka buta negatif terhadap kalangan artis. Depiction terjadi lagi pada berita dengan judul ” Dwi Andhika Tahu Artis yang Digosipkan Ikut Jaringan Prostitusi” yang diunggah pada Senin, 11/05/2015 16:27 WIB. Pada kalimat ”Siapa artis tersebut? "Ada-lah," katanya berahasia”. Kalimat ini penuh tendensi kecurigaan kepada orang yang berprofesi sebagai artis. Catchphrases terjadi pada berita berjudul ”Robbi Abbas Setor Daftar PSK Artis, Kapolres Jaksel: Nama-nama itu Belum Diklarifikasi”. Berita itu diunggah Senin, 11/05/2015 16:30 WIB. Penggunaan kata daftar dapat dipahami sekumpulan nama artis yang juga menjadi PSK. Hal ini bisa mempersespsikan publik ada lebih dari satu artis baik wanita maupun pria yang menjadi PSK. Catchphrases terjadi pada berita berjudul ”Adakah Penikmat Jasa Prostitusi Artis Kalangan Pejabat? Ini Komentar Komjen Buwas”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 15:39 WIB. Frase pada Jasa Prostitusi Artis bermakna prostitusi kalangan artis seolah lumrah. Pada sisi lain kata jasa yang dipakai menguatkan unsur demand dan supply seakan-akan ini bisnis yang wajar. Hal ini menempatkan artis pada posisi inferior. Depiction pada berita yang diunggah redaksi detik.com pada Senin, 11/05/2015 14:55 WIB. Isi berita dengan judul “RA Mengaku Ada Artis Cowok dalam Jaringan Prostitusinya” terdapat kalimat RA juga mengakui ada artis cowok dalam jaringan prostitusinya. Kata-kata artis cowok memberikan prasangka publik kepada tiap artis pria yang dikenalnya tanpa ada batasan. 37
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Terlebih pada kalimat selanjutnya yang ditulis redaksi Salah satunya Dwi Andhika yang mengaku tak heran dengan pengakuan itu. Penggunaan kata tak heran seolah memberikan kewajaran bagi artis untuk menjadi PSK. Depiction terjadi lagi pada berita dengan judul ”Robbi Abbas Sebut Nama Artis Anak Asuhnya, Tapi Minta Disebut Inisial AA Saja”. Berita itu diunggah pada Senin, 11/05/2015 14:55 WIB. Dalam berita itu ada kalimat yang ditulis redaksi Dia mengaku menjajakan artis-artis itu lewat Whatsapp dan BBM. Penggunaan kata artis yang diulang dua kali bermakna plural dan tentunya memberikan rasa prasangka kepada pembaca terhadap referensi artis yang dikenal oleh pembaca tersebut. Depiction terdapat lagi pada berita dengan judul ” Cynthiara Alona Yakin Artis Sibuk Tak Bakal Terlibat Prostitusi”. Redaksi detik.com mengunggahnya pada Senin, 11/05/2015 14:35 WIB. Dalam berita itu terdapat kalimat Bahkan, Alona tak kaget saat mendengar banyak artis yang terlibat. Pemilihan kata tak kaget mengesankan bahwa fenomena artis yang menyambi PSK sudah lama terjadi dan merupakan hal yang wajar. Sedangkan penggunaan kata banyak memberikan informasi bahwa ada kumpulan artis yang juga menjadi PSK. Catchphrases terdapat pada berita yang berjudul “Modus Prostitusi Artis, Menemani 'Om' Jalan, Belanja, Hingga Makan Malam Bareng”. Redaksi detik.com mempublikasikanya pada Senin, 11/05/2015 14:36 WIB. Pemakaian kata modus memberi makna banyaknya ’cara’ yang dilakukan oknum artis PSK untuk melakukan misinya menjadi PSK. Ini memberikan opini dan kecurigaan tiap kali seseorang bersama dengan artis bisa dikategorikan salah satu ’cara’ artis dalam rangkaian aktifitas layanan jasa prostitusinya. Tentu ini
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
menambah kualitas kecurigaan publik kepada artis. Depiction terdapat pada berita yang berjudul ” Prostitusi Artis, Status Grade A Dibayar Rumah Hingga Mobil Mewah”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 14:19 WIB. Dalam salah satu kalimat yang ada pada tubuh berita itu "Kalau kalangan artis ini, side job seperti itu untuk menunjang eksistensinya di dunia keartisan atau mempertahankan eksistensinya,". Terdapat kata menunjang eksistensinya di dunia keartisan. Dalam kata-kata ini mengandung makna bahwa keberadaan artis dunia panggung harus lakukan kerja sampingan yakni menjadi PSK. Depiction terdapat pada berita yang berjudul ” Komjen Buwas Minta Polres Jaksel Ungkap Siapa Saja yang Terlibat Prostitusi Artis”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 14:07 WIB. Terdapat kalimat yang ditulis redaksi "Pengungkapan kasus ini bagus, ini masih bisa berkembang, artinya bisa diungkapkan lebih luas lagi," kata Buwas. Kata berkembang yang dipakai redaksi bermakna masih banyak artis yang menjadi PSK dengan modus transaksi via media on line. Catchphrases terdapat pada berita yang berjudul “Benarkah Ada Prostitusi Artis Pria?”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 13:51 WIB. Kalimat tanya pada judul tidak tepat. Selain judul sebagai serapan isi berita, judul dengan kalimat tanya tidak memberikan info pasti pada pembacanya. Jika serapan isi beritanya saja meragukan dan bermakna pertanyaan secara tidak langsung isi beritanyapun meragukan tidak informatif. Dengan demikian berita ini gagal menyampaikan informasi kepada pembaca. Depiction kembali terjadi pada berita yang berjudul ”Prostitusi Artis Publik Figur Memprihatinkan, Pelaku Harus Dihukum Agar Jera”, yang dipublikasikan pada Senin, 11/05/2015 13:57 WIB. Dalam berita itu ada kalimat 38
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Terungkapnya prostitusi artis ini seolah membuktikan kabar yang beredar. Karena selama ini seolah prostitusi artis hanya isapan jempol belaka. Redaksi memberikan legitimasi pada kabar mengenai prostitusi artis yang beredar di kalangan masyarakat. Ini jelas terlihat saat redaksi memakai kata membuktikan pada kalimat itu. Namun redaksi tidak merujuk secara pasti pada pemberitaan yang mana dan siapa artisnya atau jika perlu tampilkan link beritanya. Dengan cara-cara pemberitaan seperti ini redaksi hanya menggiring pembaca pada untuk mendiskreditkan profesi artis. Catchphrases kembali terdapat pada judul berita yang diunggah redaksi detik.com pada Senin, 11/05/2015 13:12 WIB. Berita dengan judul ”Sambangi Mapolres Jaksel, Kabareskrim Bahas Kasus Prostitusi Artis”. Pemakaian kata prostitusi artis punya kekuatan mengarahkan kepada pembaca secara tidak langsung untuk menuduh bahwa artis terlibat prostitusi, padahal tidak semua artis demikian. Sementara referensi pemahaman publik satu dengan yang lainnya terkait nama-nama artis berbeda. Cara penulisan seperti ini mendiskreditkan profesi artis. Depiction terdapat pada berita yang berjudul ” Tuntutan Gaya Hidup, Alasan Utama Artis Lakukan Kerja Sampingan Prostitusi”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 13:03 WIB. Dalam berita terdapat kalimat Tuntutan gaya hidup artis, menjadi salah satu alasan utama mengapa sebagian artis melakukan pekerjaan sampingan di luar keartisannya dengan melacurkan diri kepada para pria berduit. Pemakaian kata tuntutan gaya hidup artis membuat orang awam akan berasumsi wajib keluarkan biaya yang mahal guna memenuhi sekadar urusan gaya hidup. Pada realitasnya banyak artis yang masih hidup bersahaja. Selain itu, kata pria berduit semakin mendiskreditkan wanita yang berprofesi sebagai artis.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Catchphrases kembali dilakukan oleh redaksi detik.com dalam berita yang diunggahnya yakni pada Senin, 11/05/2015 12:07 WIB dengan judul 'Side Job' Terselubung Artis Vitalia Sesha Kerap Ditanya 'Make Love Bisa Nggak?'. Lalu pada Senin, 11/05/2015 11:49 WIB yang berjudul 'Side Job' Terselubung Artis Tarif Kencan AA Rp 80 Juta, Vitalia Sesha: Kemahalan. Selanjutnya pada Senin, 11/05/2015 10:56 WIB dengan judul 'Side Job' Terselubung Artis Anggita Sari: Kalau Lewat Mucikari Aku Nggak Mau. Selanjutnya pada Senin, 11/05/2015 09:45 WIB, pada berita yang berjudul 'Side Job' Terselubung Artis Soal Prostitusi Artis, Anggita Sari Malah Sindir Artis yang Pamer Harta. Selanjutnya pada berita berjudul 'Side Job' Terselubung Artis Sstt! Nyaris 'Direkrut', Anggita Sari Kenal dengan RA Sang Mucikari Artis. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 08:46 WIB. Lalu pada berita yang berjudul ” 'Side Job' Terselubung Artis Anggita Sari Pernah Ditawar Rp 70 Juta untuk Kencan”. Berita diunggah Senin, 11/05/2015 08:11 WIB. Penggunaan kata side job pada sub judul keenam berita tersebut mengarahkan opini kepada pembaca untuk memberikan persepsi bahwa dalam mencari tambahan penghasilan maka para artis menjadi PSK. Catchphrases dilakukan redaksi.com pada berita yang diunggah Senin, 11/05/2015 10:33 WIB. Redaksi menulis judul Polisi Buka Kemungkinan Panggil Pria Berduit Penikmat Artis 'Binaan' RA. Terdapat kata penikmat artis dalam judul itu. Seolah artis adalah sesuatu yang bisa dinikmati dalam konteks yang sangat luas dan yang pasti kata penikmat artis menjustifikasi bahwa artis bisa memberikan kenikmatan pada indera manusia. Permasalahan yang muncul ketika tidak jelas indera apa yang bisa diberikan kenikmatan oleh artis kepada publiknya. Jika artis nyanyi tentu 39
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
indera pendengaran publik. Bila artis tari tentu penglihatan publik yang dimanja oleh si artis. Disinilah kekeliruan redaksi sebab bisa berikan asumsi liar yang muncul pada pembaca dan sulit dikendalikan. Depiction terdapat pada berita yang berjudul ” Ini Penjelasan Amel Alvi Soal Kemiripan Baju dengan Artis AA”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 09:14 WIB. Redaksi. Dalam kalimat RA menawarkan artis-artis yang bisa diajak check-in itu melalui kontak via BlackBerry Messenger dan WhatsApp. Perempuan-perempuan itu ditawarkan dengan tarif short time dengan kisaran Rp 80 juta hingga Rp 200 juta. Penulisan kata artis-artis seperti yang dilakukan redaksi detik.com sebelumnya memberikan asumsi sekumpulan artis yang menjadi PSK on line. Ini kalimat mampu membawa pembaca beropini negatif kepada artis yang dikenalnya. Depiction terdapat pada berita yang berjudul ”Makin Marak Prostitusi, Zaskia 'Gotik' Ngaku Sering Dapat Tawaran”. Berita ini diunggah pada Senin, 11/05/2015 09:33 WIB. Dalam berita itu terdapat kalimat Zaskia 'Gotik' buka suara mengenai kabar maraknya prostitusi dikalangan selebritis. Kata marak memberikan arti ramai atau bisa dipahami adanya peningkatan. Dalam konteks ini prostitusi artis kian bertambah secara kuantitatif. Kutipan redaksi terhadap omongan Zaskia mampu mendiskreditkan profesi artis karena tidak ada angka pasti dalam hal peningkatan tadi. Depiction terdapat pada berita yang berjudul ”Ketika Ahok Komentari Prostitusi Papan Atas: Dari Saya Ngompol Sudah Ada, Bos!”. berita tersebut diunggah Senin, 11/05/2015 10:23 WIB. Redaksi gunakan dengan berita yang sebelumnya diungah pada hari yang sama yakn berjudul ” Ini Penjelasan Amel Alvi Soal Kemiripan Baju dengan Artis AA”. Dalam kalimat
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
RA menawarkan artis-artis yang bisa diajak check-in itu melalui kontak via BlackBerry Messenger dan WhatsApp. Perempuan-perempuan itu ditawarkan dengan tarif short time dengan kisaran Rp 80 juta hingga Rp 200 juta. Penulisan kata artis-artis seperti yang dilakukan redaksi detik.com sebelumnya memberikan asumsi sekumpulan artis yang menjadi PSK on line. Ini kalimat mampu membawa pembaca beropini negatif kepada artis yang dikenalnya. Catchphrases terdapat pada Beredar Nama-Nama Artis yang 'Dijajakan' RA, Polisi: Itu Bukan dari Kami”. Berita diunggah pada Senin, 11/05/2015 08:57 WIB. Pengunaan kata nama-nama memberikan arti sekelompok, dalam konteks ini sekelompok artis. Bisa jadi artis film, sietron, film televisi (FTV) nyanyi ataupun model. Kalimat tersebut memberikan asumsi yang sangat luas kepada pembacanya. Pembahasan Dalam proses pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi, wartawan dalam hal ini redaksi tidak mungkin memandang sebuah peristiwa tanpa perspektif (Eriyanto, 2002: 70). Dalam memilih fakta tersebut selalu terkandung dua kemungkinan yakni apa yang dipilih (included) dan apa yang harus dibuang (exluded). Redaksi akan selalu dihadapi pada persoalan hal yang perlu ditekankan pada sebuah berita, bagian mana dari sebuah realitas yang diberitakan serta bagian mana yang tidak diberitakan. Lalu memilih penekanan pada aspek dengan sudut pandang tertentu, mengedepankan salah satu fakta dan meniadakan fakta yang lain, sehingga terjadi sebuah pemahaman dan konstruksi atas sebuah peristiwa. Itulah sebabnya dalam tiap media akan berbeda pemberitaanya satu sama lain meski persoalan cenderung relatif sama. Beragam pandangan kaum konstruksionis terhadap media, 40
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
wartawan, dan berita, seperti yang pada prinsipnya redaksi melakukan proses tertentu yang “dibingkai ” (framing) berdasarkan agenda-media, sehingga menimbulkan pengaruh dan interpretasi tertentu serta menciptakan “opini publik”. Opini publik itulah yang mengendalikan pemikiran dan sikap masyarakat terhadap isu tertentu. Pada sisi lain, peranan media massa dalam membentuk opini publik seperti kajian yang dilakukan Lippman dalam artikel Scramm (The World Outside and The Picture in our Head) mengungkapkan bahwa respon khalayak tidak hanya pada peristiwa-peristiwa aktual yang dialami saja, dari kajiannya mempertegas bahwa opini publik dibentuk oleh media massa. Dari hasil temuan penelitian ini jelas bahwa dalam menyuguhkan beritanya, media massa dalam hal ini redaksi detik.com melakukan konstruksi terhadap simbol yang digunakan untuk memberikan referensi terhadap opini publik. Pemilihan kata yang digunakan sebagai representasi peristiwa yang dibuatnya berdasar makna yang terlebih dahulu menjadi kebijakan dari redaksi itu sendiri. John Thompson dalam Shoemaker dan Reese (1996: 128), Simbol yang dipakai media dalam hal ini kata yang dipilih media dibawah kekuasaan kuasa. Selama ini redaksi detik.com berusaha untuk mengkonstruksikan realitas, termasuk peristiwa-peristiwa yang ada kaitanya dengan pemberitaan artis yang terlibat bisnis PSK on line. Redaksi detik.com menyusun berbagai fakta terkait prostitusi di kalangan oknum artis lalu dikumpulkan ke dalam satu bentuk laporan jurnalistik. Sampai pada fase ini tidak ada yang keliru. Namun masalah munsul ketika judul dan isi beritanya mendiskreditan profesi artis. Pembingkaian atau framing berita dengan gunakan model Gamson dan Modigliani merupakan hal pokok dalam penelitian ini. Dari data temuan yang
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
telah dianalisa terkait dengan pemberitaan mengenai artis yang terlibat PSK on line pada Senin 11 dan Selasa 12 Mei 2015 redaksi detik.com memberikan sentimen negatif kepada para artis. Ini terbukti terdapat 40 judul berita selama 24 jam yang memberikan tendensi tidak baik kepada artis. Pada pemberitaan mengenai artis yang terlibat prostitusi on line redaksi detik.com tidak memberikan detil uraian sehingga opini pembaca akan artis bisa tidak terkendali. Kata artis yang dibuat redaksi tidak diikuti dengan penjelasan dan mengandung makna yang sangat luas. Tanpa terkecuali, baik itu artis film, artis sinetron artis FTV ataupun artis nyanyi dan model. Dalam konteks ini bisa dikategorikan dari variabel jenis kelamin dan bisa juga ditinjau dari media tempat si artis berkiprah dalam hal ini film, televisi, audio/radio (penyanyi), panggung teater, majalah (model). Sementara telah dipahami bersama bahwa publik memiliki latar belakang referensi yang heterogen. Berasumsi dari hal ini maka semua variabel memungkinkan untuk menjadi referensi publik pembaca detik.com sehingga pembacapun ”liar” untuk memaknainya. Parahnya lagi referensi nama-nama artis yang diketahui antara pembaca satu dengan pembaca yang lainnya berbedabeda. Dalam komunitas sosial orangorang (yang berbeda-beda) membaca pemberitaan artis PSK on line oleh redaksi detik.com menjadi publik yang berpotensi untuk mencurigai tiap artis terlibat PSK on line. Bila saja disertai kata oknum tentu hal ini bisa dicegah. Sebab kata oknum itu mampu membatasi ’keliaran’ opini pembaca detik.com. Bila merujuk pemikiran Lippman yang telah diutarakan sebelumnya, diyakini bahwa media massa mengantar dan mengarahkan khalayak untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dan perlu diketahui khalayak. Serta melalui media pula dapat 41
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
diketahui peristiwa meski kahalayak tidak ada di lokasi peristiwa. Sebab itulah media menjadi sarana efektif bagi penyampaian informasi. Bila kembali kepada konteks persoalan maka jelaslah redaksi detik.com selaku media massa mengarahkan pembaca untuk mendiskreditkan profesi artis. Dengan demikian pada konstruksi informasi yang disebarkan oleh kedua media secara tersurat ingin menyampaikan fakta-fakta seputar oknum artis yang berprofesi sebagai PSK on line, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan secara tersirat menggiring publik untuk mendiskreditkan profesi artis. Bila bertitik tolak dari teori konstruksi realitas Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:14), maka redaksi dan jurnalis detik.com memuat semua peristiwa yang terkait oknum artis yang terlibat PSK on line. Nilai berita ini dalam terminologi Berger dan Luckmann telah menjadi realitas objektif tersendiri (objectification). Redaksi harus menerimanya sebagai hal yang alami. Media, dalam bangunan konstruksionisme, menghadirkan pada kita sebuah jendela untuk melihat dunia. Melalui berita, tidak hanya kita belajar untuk mengenali diri kita sendiri dan bangsa lain, akan tetapi orang-orang dari bangsa lain tersebut juga belajar mengenai diri mereka sendiri dan bangsa kita melalui media. Pada persoalan ini, maka realitas obyektifnya yakni ideologi yang dimiliki oleh artis yang terlibat dalam prostitusi on line. Sementara realitas simbolik dipahami sebagai ekspresi realitas obyektif dalam bentuk lambang komunikasi bisa berupa teks, visual diam mapun bergerak serta suara. Sedangkan realitas subyektif ialah dalam konteks ini ada pada media yang mengkosntruksinya melewati proses internalisasi. Media melalui sifat publikasinya menjadikan realitas subjektif untuk modal berinteraksi dalam struktur sosial. Pada
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
kesempatan ini realitas subjektif berpotensi menjadi realitas objektif yang baru. Begitu seterusnya proses dialektik ini terjadi secara simultan. Redaksi detik.com memberitakan oknum artis yang terlibat prostitusi on line nya di ruang publik dan melakukan proses dialektis tersebut melalui tahapan simultan.
KESIMPULAN Saat ini media massa di Indonesia kerap meninggalkan tanggung jawab sosial dan etisnya dalam pemberitaan. Ruang publik tidak lagi menjadi atmosfer pencerahan bagi masyarakat. Justru masyarakatlah yang jadi korban polusinya. Karena dihujani dengan informasi yang simpang siur. Saat ini media cenderung lebih banyak berfungsi pragmatis untuk mengejar kepentingan tertentu dari pemilik media. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah guna menyadarkan akan polusi media di ruang publik yakni melakukan penguatan masyarakat dalam melakukan pembacaan terhadap informasi yang disajikan media massa. Gerakan literasi media perlu dikembangkan secara terus meneruskan, sehingga akan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan penyaringan informasi.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan, 2008, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Berger Peter dan Luckman, Thomas. 1990 ”Tafsiran Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”. LP3ES, Jakarta. Dedy N Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka 42
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, Makalah dalam diskusi “UU Penyiaran, KPI dan Kebebasan Pers, di Salemba 8 Maret 2003 Entman, Robert M. 1993. "Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm." Journal of Communication 43 (4): hlm 51-8. Goffman, Erving. 1974. Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. New York, NY et al.: Harper & Row
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Tankard, Jr., James W. 2001. The Empirical Approach to the Study of Media Framing, in Stephen D. Reese et all, Framing Public Live: Perspective on media and our understanding of the social word, (Mehwah, NJ): Lawrence Erlbaum Associates. http://search.detik.com/search?query=+prosti tusi+artis&sorttime=1&number=&thread=0 &fjb=0&fromdatex=11%2F05%2F2015&tod atex=12%2F05%2F2015&siteid=&page=1
Littlejhon, Stephen W, Foss a. Karen, 2008, Human Communication, Thomson Wadsworth, BelmonthUSA. Pan, Zhongdang, and Kosicki, Gerald M. (1993). Framing analysis: an approach to News Discourse. Political Communication10: hlm 55–75 Reese, Stephen D. 2001. Prologue--Framing Public Life: A Bridging Model for Media Research. Dalam Stephen D. Reese, Oscar H. Gandy,Jr. And August E. Grant (Eds.), Framing Public Life: Perspectives on Media and Our Understanding of the Social World. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Scramm, Wilbur, The Worl Outside and The Picture in Our Heads, Mass Communication, Urban University of Illinois 1960 (468486) Sudibyo, Agus dkk, 2001, Kabar-kabar kebencian: prasangka agama di media massa, ISAI, Jakarta.
43