PENDIDIKAN ISLAM MASA TIGA KERAJAAN ISLAM (SYAFAWI, TURKI USMANI DAN MUGHAL)
Oleh, Alauddin Abstrak: Kemajuan pendidikan Islam periode pertengahan (1500-1700 M) tidak terlepas dari peran politik yang dimainkan oleh tiga kerajaan besar yaitu; (1) Syafawi di Persia yang mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Abbas I, (2) Turki Usmani di Turki yang mencapai masa keemasannya pada pemerintahan Sulaiman 1,dan (3) Mughal di India, yang raja terakhirnya adalah Akbar yang merupakan cucu Zahiruddin Babur pendiri kerajaan Mughal. Kerajaan Syafawi langsung melakukan gerak politik keagamaan lewat tarekat safawi, sedangkan kerajaan Turki Usmani sangat menghormati mufti yang menganut thariqat Bektasi, dan kerajaan India yang sangat menghormati qadi yang menganut thariqat Chistiyah dan juga thariqat Naqsanbandiyah serta Qadiriyah. Dengan adanya hubungan langsung dan tidak langsung antara kerajaan dengan ulama (mufti dan qadi) ketika itu, maka dipastikan lembaga-lembaga pendidikan Islam bisa berkembang yang mendukung perkembangan pendidikan Islam secara lansgsung.
Kata Kunci: Kerajaan Syafawi, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Mughal, Mufti, Qadi, pendidikan Islam. A. Pendahuluan Manusia dalam perjalanan hidupnya, pada hakekatnya mengemban amanah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt., dalam mengemban amanah tersebut maka manusia membutuhkan pendidikan untuk membimbing dan mengarahkan (Muhaimin, 2002:20) Karena itu, pendidikan memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan mendorong manusia agar senantiasa berpikir maju dan selalu mengadakan suatu perubahan dalam hidupnya. Prestasi yang dicapai oleh umat Islam pada fase pertama periode klasik (650-1000 SM) (Harun Nasution, 1975:5) tidak terlepas dari implikasi pendidikan, yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan pada masa itu. Setelah umat Islam mengalami kemunduran pada fase 93
94
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
disintengrasi periode klasik (1000-1250) M) dan fase kemunduran periode pertengahan (1250-1500 M), maka umat Islam kembali mengalami masa kejayaan yaitu fase tiga kerajaan besar periode pertengahan (1500-1700 M) (Harun Nasution, 1975:5-6). Tiga kerajaan tersbut adalah kerajaan Syafawi di Persia, kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) di Turki, dan kerajaan Mughal di India. Walaupun kejayaan tersebut kembali ke pangkuan umat Islam, namun tidak lagi secermerlang kejayaan pada masa silam (masa pemerintahan Abbasiyah). Hal ini tentunya disebabkan oleh kurangnya perhatian para penguasa pada masa itu terhadap ilmu pengetahuan. Mereka lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap perluasan wilayah kekuasaannya. Sejarah merupakan rangkaian kegiatan kejadian dan episode yang terjadi di masa lampau dengan kaitannya dengan masa kini. (Murthada Muthari, 1995:65) Setiap perputaran zaman, sejarah senantiasa berhubungan dengan manusia masa lalu dan merupakan satu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan, sehingga dalam memahami peristiwa masa lalu maka dapat dijadikan titik tolak. Bagi manusia dalam memahami dirinya dan masa depannya. Olehnya itu dapat dikatakan bahwa sejarah mengandung unsur pendidikan bagi manusia. B. Kerajaan Safawi di Persia Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani. Berbeda dari dua kerajaan besar Islam lainnya (Usmani dan Mughal), kerajaan Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. karena itu, kerajaan ini dapa dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini. Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. (P.M.Holt, 1970:394) Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawi, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya. Safi al-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan polotik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
95
Safi al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. ia keturunan dari imam Syi’ah yang keenam, Musa al-Kazhim. Gurunya bernama Syekh Taj al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) (Allouche, 1985:96) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani. karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut (Allouche, 1985:87) Safi alDin mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut ahli-ahli bidah’. Tarekat yang dipimpin Safi al-Din ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang yang memimpin muridmuridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”. (Hamka, 1981:60). Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu tersebut Juneid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia (P.M.Holt, 1970:396). Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut (Carl Brockelmann, 1974: 494).
96
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang puteri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia. Kekuatan Safawiyah bangkit kembali dalam kepemimpinan Ismail. Ia selama lima tahun mempersiapkan kekuatan dengan membentuk pasukan Qizilbash (pasukan baret merah) yang bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501 pasukan Qizilbash berhasil mengalahkan AK Koyunlu dalam peperangan di dekat Nakhchivan dan berhasil menaklukkkan Tibriz, pusat kekuasaan Ak Koyunlu. Di kota ini Ismail memproklamirkan berdirinya kerajaan Safawiyah dan menobatkan diri sebagai raja pertamanya. Ismail berkuasa selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501-1524 M. Beberapa tahun pertamanya ia berhasil menumpas sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu dan melancarkan gerakan ekspansi. Ekspansi ini berhasil menaklukkan propinsi Caspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakar (1505-1507 M), Baqdad dan wilayah barat daya ditaklukkan pada tahun 1508, sedang Khurasan takluk pada tahun 1501 M. Hanya dalam waktu sepuluh tahun, ismail berhasil memperluas wilayah kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Persia. Ambisi politik membuat Ismail meneruskan gerakan ekspansinya untuk menguasai daerah-daerah lainnya sehingga kekuatan Safawiyah harus berhadapan dengan kekuatan Turki Usmani di Chaldiran pada tahun 1415. Pasukan Usmani yang dipimpin oleh Sultan Salim lebih unggul dan berhasil menguasai kota Tibriz. Keadaan Safawiyah terselamatkan dengan kepulangan Sultan Salim ke negerinya karena di Turki sedang terjadi perpecahan di tubuh militer (K.Ali, 1997:346). Permusuhan antara Safawiyah dengan kerajaan Usmani tetap berlangsung sepeninggal ismail, yakni pada masa Tahmasp I, Ismail II, dan pada masa Muhammad Khudabanda. Dalam peperangan masa-masa tersebut di atas Safawiyah selalu menjadi pihak yang terdesak. Munculnya Abbas I (1588-1628) sebagai raja kelima berhasil memulihkan kekuatan kerajaan Safawiyah. ia menempuh beberapa kebijakan sebagai berikut : Pertama mengurangi dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang direkrut dari budak-budak tawanan perang yang berasal dari bangsa Georgia, Armenia, Sircassia. Kedua, mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani. Demi tercapainya perdamaian ini
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
97
Abbas I berkenan melepaskan wilayah kekuasaan Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah lainnya. Di samping itu Abbas berjanji tidak akan mencaci tiga khalifah Islam pertama (Abu Bakar, Umar, Usman). Sebagai jaminan atas perjanjian ini, ia bersedia menyerahkan saudara sepupunya yang bernama Haidar Mirza sebagai Sandra di Istambul (Brockemann, 1974:503). Setelah Abbas berhasil memperkokoh kekuatan Safawiyah, ia selanjutnya mulai mengerahkan pasukannya untuk merebut kembali beberapa wilayahnya. Pada tahun 1598 ia mulai menyerang dan menundukkan Heralt. Kemudian ia segera merebut Marw dan Balkh, dan beberapa wilyah kekuasaan Usmani berhasil dikuasainya. Maka permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran ini berkobar kembali. Pada tahun 1602, ketika Turki Usmani dalam kekuasaan Sultan Mahmud III, serangan pasukan Abbas berhasil menguasai Tibriz, Sirwan dan Bagdad, demikian kota-kota lain satu demi satu dapat ditaklukkan Abbas I. Pada tahun 1622, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz. Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawiyah. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara, dan sekaligus berhasil merebut beberapa wilayah kekuasaannya yang sebelumnya lepas terebut oleh kerajaan Usmani. Kemajuan ekonomi pada masa ini bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang diubahnya menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Safawiyah menguasai jalur perdagangan antara barat dan timur. Safawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari daerah Sabit yang sangat subur (K.Ali, 1997:348). Kemajuan ekonomi ini mengantarkan kerajaan Safawiyah mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni. Bahwa bangsa Persia, sepanjang sejarah Islam dikenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan telah berperan dalam mengantarkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah. Maka tradisi keilmuan seperti itu tetap berlanjut pada masa kerajaan Safawiyah ini. Sejumlah ilmuan yang dilahirkan oleh kerajaan Safawiyah antara lain ; Baha al-Din al-Syaerozi, Sadar al-Din al-Saerozi, Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad Damad, masing-masing sebagai ilmuan dalam bidang filsafat, sejarah, teolog, dan ilmu umum. Kemajuan seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah ibukota kerajaan ini; sejumlah
98
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
mesjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang di atas Zende Rudd an istana Chihil Sutun. Kota Isfahan turut diperindah dengan kebun wisata yang sangat indah. Ketika Abbas I meninggal, di Isfahan terdapat sejumlah 162 mesjid, 48 perguruan, 1802 penginapan, dan 273 tempat pemandian umum (Marshal G.S.Hodgson, 1981:40). Jadi dengan demikian kerajaan Safawi mengalami pasang Surut, namun pada akhirnya banyak mengalami kemajuan, baik dalam aspek keagamaan, politik, ekonomi maupun ilmu pengetahuan C. Kerajaan Usmani di Turki Kerajaan Turki Usmani diambil dari nama leluhurnya yaitu Usman yang menjadi pendiri kerajaan ini, dalam bahasa Turki dan ejaan Eropa menjadi “Osmali” dan akhirnya diterjemahkan dan menjadi “Ottoman” (Akbar S.Ahmed, 2003:122). Turki Usmani memiliki pangkal silsilah keturunan dari sebuah suku Qayigh Oghuz yang pada mulanya mereka berdiam di sebelah utara negeri Cina. Namun karena tekanan dari Mongol, maka mereka pun bepindah ke arah Barat dan bergabung dengan saudara keturunan mereka yakni Turki Saljuq di Asia Kecil (Anatolia) dan di bawah Erthogrul mereka mengabdikan diri kepada Sultan Saljuq. Ketika itu Saljuq sedang berperang melawan Bizantine, Erthogrul dan pasukannya pun ikut terlibat dalam peperangan tersebut. Atas kerjasama yang baik, maka mereka pun meraih kemenangan atas Bizantine, dan sebagai rasa terima kasih Sultan maka Erthogrul diberi sebidang wilayah yang berada di perbatasan Bizantine, daerah tersebut bernama Sugyat (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994:114). Pada tahun 1281-1324 M atas persetujuan Sultan Alauddin, Usman menjadi pemimpin kelompok Turki Usmani tersebut, menggantikan ayahnya Ertogrul yang meninggal dunia. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, Dinasti Saljuk mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Mongol dan menjadikan dinasti ini terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Sejak runtuhnya dinasti Saljuq, maka kekuatan militer Usmani menjadi benteng pertahanan bagi dinasti-dinasti kecil dari ancaman serangan Mongol. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung mereka mengakui Usman sebagai penguasa tertinggi dengan gelar “Padiansyah Ali Usman” (K.Ali, 1997:362).
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
99
Dan sejak itulah Turki Usmani menjadi sebuah dinasti Islam di Turki dengan mewarisi wilayah kekuasaan yang pernah ditaklukkan oleh dinasti Turki Saljuq dan penguasa pertamanya adalah Usman bin Erthogrul atau dikenal dengan Usman I (Badri Yatim, 1995:130) Raja-raja Turki Usmani memiliki gelar sultan sekaligus khalifah dan mereka mendapatkan kekuasaan secara turun temurun. Dari sekian lamanya Turki Usmani berkuasa, yang diperkirakan kurang dari 625 tahun lamanya, ada empat puluh sultan yang bekuasa sebagai berikut: 1. Usman I 1281 M 21. Ibrahim 1640 M 2. Orkhan 1324 M 22. Muhammad IV 1648 M 3. Murad I 1360 M 23. Sulaiman II 1678 M 4. Bayazid I 1389 M 24. Ahmad II 1691 M Peralihan kekuasaan 1402 M 25. Musthafa II 1695 M 5. Muhammad I 1413 M 26. Ahmad III 1703 M 6. Murad II 1421 M 27. Mahmud I 1730 M 7. Muhammad II 1444 M 28. Usman III 1754 M 8. Murad II (menjabat 29. Musthafa III 1757 M yang kedua kalinya) 1446 M 30. Abdul Hamid I 1774 M 9. Muhammad II (menjabat 31. Salim III 1789 M ketiga kalinya) 1451 M 32. Musthafa IV 1807 M 10.Bayazid II 1481 M 33. Mahmud II 1808 M 11.Salim I 1512 M 34. Abdul Majid I 1839 M 12.Sulaiman I 1520 M 35. Abdul Azis 1861 M 13.Salim II 1566 M 36. Murad V 1876 M 14.Murad III 1574 M 37. Abdul Hamid II 1876 M 15.Muhammad III 1594 M 38. Muhammad Rasyid 1909 M 16.Ahmad I 1603 M 39. Muhammad VI 17.Musthafa I 1617 M Wahid al-Din 1918 M 18.Usman II 1618 M 40. Abdul Majid II 1922 M. (K.Ali, 1997 : 362-363). 19.Musthafa I (menjabat kedua kalinya) 1622 M 20.Murad IV 1623 M Semenjak masa kepemimpinan Ertogrul sampai dengan kepemimpinan Orkhan merupakan masa-masa pembentukan kekuatan militer Turki Usmani. mereka menjadikan Usmani sebagai negara yang berdasarkan sistem dan prinsip kemiliteran. Pecahnya perang dengan Bizantine pada masa Orkhan, mengilhami sang khalifah untuk mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan militer, sehingga terbentuklah sebuah
100
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
kesatuan militer yang disebut Yennisary atau “inkisariyah”. Basis kesatuan ini berasal dari pemuda-pemuda tawanan perang. Kebijakan kemiliteran ini lebih dikembangkan oleh pengganti Orkhan yakni Murad dengan membentuk sejumlah korp cabang-cabang Yennisary. Pembaharuan besarbesaran dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan dan Murad I tidak hanya dalam bentuk perombakan personil pimpinannya, tetapi juga perombakan dalam keanggotaannya. Seluruh pasukan militer dididik dan dilatih dalam asrama militer dengan pembekalan semangat perjuangan Islam. Kekuatan militer Yennisary berhasil mengubah negara Usmani yang baru lahir ini menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri non muslim. (Syed Mahmudunnasir, 1995:376). Di samping Yennisary terdapat sejumlah prajurit tentara kaum feodal. Para penggarap tanah diwajibkan mengikuti pendidikan dan latihan militer sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan mereka harus siap menjadi barisan militer. Selain itu kaum feodal diharuskan menyediakan kuda dan peralatan perang lainnya. Pada masa ini dibentuk pula kesatuan angkatan laut. Seluruh jajaran militer ini menopang keberhasilan gerakan ekspansi Turki Usmani baik ekspansi ke Asia, Afrika maupun ekspansi ke Eropa (Syed Mahmudunnasir, 1995:364). Semula kerajaan Usmani hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, tetapi dengan dukungan militer yang kuat, tidak beberapa lama Usmani menjadi sebuah kerajaan besar. Ekspansi Usmani tidak hanya bergerak ke arah timur melainkan juga ke arah barat. Orkhan berhasil menaklukkan kota Yunani Nicea, Nicomedia dan sejumlah daerah disekitarnya. Murad semenjak naik tahta menggantikan ayahnya, Orkhan segera meneruskan gerakan ekspansi. Adrian opel ditaklukkannya pada tahun 1365. Kemudian secara berturut-turut dengan jatuhnya kota Macedonia, Bulgaria dan Serbia ketangan Murad I. Bayazid I memperluas wilyah Usmani ke Eropa dengan menaklukkan sebagian wilayah Yunani dan beberapa wilayah Eropa Timur sampai kepada Hongaria. Gerakan ekspansi ini sempat berhenti di penghujung pemerintahan Bayazid I akibat tekanan dari pasukan timur Lenk pada tahun 1402 M. Namun penguasapenguasa Usmani berikutnya berhasil melanjutkan kembali gerakan ekspansi ini, terutama pada masa Muhammad II. Gelar al-Fatih “sang penakluk” pantas disandang Muhmmad II atas keberhasilannya menaklukkan kekuatan akhir imperium Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel (K.Ali, 1997:364).
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
101
Pengepungan kota Konstantinopel pada tahun 1433 M, setelah berlangsung pengepungan selama 53 hari, pasukan Usmani berhasil memasuki benteng-benteng pertahanan konstantinopel. Pertahanan hancur dan sang kaisar terbunuh bersama sejumlah pasukannya. Muhammad alFatih kemudian melanjutkan penundukan semenanjung Maura, Serbia, Albania sampai kepada perbatasan Bundukia. Kemajuan ekspansi pada masa awal Turki Usmani sempat menimbulkan kecemasan bangsa-bangsa Eropa sehingga mereka belakangan mengerahkan kembali pasukan salib. Pada tahun 1396 kekuatan Eropa yang dipimpin oleh pasukan Usmani dalam peperangan di Nicopolis dan kota Vinecia yang diduduki oleh pasukan Usmani. Pada tahun 1444 M Uskup gereja bersamaan dengan persekutuan militer yang digerakkan oleh raja polandia, Hungaria, Naples, Transylvania, Serbia, Vinecia, dan Genoa melancarkan serangan pasukan salib yang kesekian kalinya. Serangan mereka dapat dipatahkan di dalam peperangan di Varna. kekalahan demi kekalahan Eropa ini menyebabkan tidak tersisanya kekuatan Eropa sehingga mereka tidak mampu menahan serangan pasukan muslim terhadap konstantinopel di tahun 1453 M. Dengan keberhasilan penaklukan Konstantinopel ini, seluruh ambisi umat Islam untuk menundukkan imperium Romawi tercapailah sudah (Lapidus, 1993 : 306). Jatuhnya konstantinopel ke tangan Turki Usmani menjadikan tersebarnya pemeluk sampai di Eropa, dan banyaknya anggota masyarakat berpindah agama. Pada abad ke 15 mayoritas dari masyarakat pada wilayah menjadi muslim (K.Ali, 1997:367). Dalam sistem sosial dan politik Turki Usmani, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang sangat urgen. pihak penguasa terikat dengan syariat Islam. Ulama memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai pelaksana tugas sultan/khalifah dalam urusan keagamaan mempunyai wewenang untuk menyampaikan fatwa resmi mengenai problematika keagamaan, hukum kerajaan pun tidak dapat berjalan tanpa legitimasi Mufti. Pada masa kerajaan Turki Usmani, tarekat mengalami perkembangan dan pesat. Aliran tarekat yang paling besar yaitu Bektasi yang sangat berpengaruh pada kalangan tentara Yennisary, sedangakan tarekat Maulawi berpengaruh pada kalangan penguasa. Dalam bidang arsitektur beberapa bangunan Islam ditata dengan sangat indah, misalnya; mesjid jami’ Muhammad al-Fatah, Mesjid Agung Sulaiman, mesjid Ayyub al-Anshori dan sebuah mesjid lagi yang semula adalah bangunan gereja yang merupakan peninggalan arsitektur Usmani.
102
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Kejayaan Islam yang sempat hilang dan menanamkan kepedihan yang mendalam dihati sanubari umat Islam ketika Bagdad dibumihanguskan oleh tentara Mongol, kini dapat terobati setelah bangkitnya kekuatan Islam di Turki Usmani dengan membawa sejuta kemenangan dan mengantarkan umat Islam pada puncak kejayaannya. Masa keemasan kerajaan Turki Usmani terjadi pada masa pemerintahan Sulaiman I karena didukung oleh beberapa faktor yaitu; (1) kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita mereka untuk memperoleh ganimah, (2) sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan tujuan penyerangan, (3) semangat jihad dan ingin mengembangkam Islam, (4) letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan dalam perluasan wilayah (terletak antara benua Eropa dan benua Asia, dan (5) kondisi kerajaan-kerajaan disekitarnya yang dalam keadaan kacau sehingga memudahkan dinasti Usmani menaklukkannya (Dudung Abdurrahman, 2003 : 156). Pada masa pemerintahan Usmani, kegiatan pendidikan senantiasa dilaksanakan, seperti mendirikan beberapa madrasah oleh para Sultan Usmani. Madrasah pertama didirikan pada masa pemerintahanm Orkhan, lalu disusul oleh Sultan-sultan sesudahnya, madrasah-madrasah yang termashur adalah madrasah-madrasah yang didirikan oleh Sulaiman alQanuni (Mahmud Yunus, 1989:164). Madrasah-madarasah yang dibangun oleh para Sultan Usmani terutama di Istambul di Mesir, secara kuantitas memang banyak akan tetapi tingkat pendidikan dan pengajaran tidak mengalami kemajuan. Hal ini sangat dipengaruhui oleh sistem pengajaran yang diterapkan pada masa itu yaitu dengan memakai sistem hapalan (Mahmud Yunus, 1989:168). Kegiatan pendidikan lainnya pada masa itu, dibangun beberapa perpustakaan meskipun hanya terdapat di Istambul dan sedikit di Mesir, Damsyik, Halab dan Qudus. Jumlah perpustakaan pada masa itu kurang lebih 26 buah, 22 buah di Istambul dan 4 di luar Istambul. Jumlah buku yang ada pada perpustakaan tersebut kurang lebih 30.000 kitab. setiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab-kitab tersebut, bahkan banyak pula ulama, guru-guru, ahli sejarah dan ahli syair. Adapun ulamaulama yang termasyhur pada masa Usmani di antaranya adalah Nurudin Ali al-Buhairy (wafat 944 H = 1537 M), Abdurrahman al-Manawy (wafat tahun 950 H= 1543 M), Ibnu Hajar al-Haitsamy (wafat tahun 975 H= 1567 M) pengarang Tuhfah dan Syamsuddin Ramaly (wafat tahun 1004 H = 1595 M) pengarang Nihayah (Mahmud Yunus, 1989:171).
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
103
Namun hal tersebut tidak membuat ilmu pengetahuan pada masa itu berkembang, karena mereka hanya mempelajari saja dan cendrung bersikap taklid terhadap penemuan-penemuan yang telah ada sehingga pemikiran mereka mengalami stagnasi dan tidak mengalami perkembangan. Kalaupun ada kitab-kitab pada masa itu, hanyalah penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, misalnya kitab-kitab yang dikarang pada masa Usmani merupakan kitab-kitab karangan ulama yang memperluas syarah dahulu, sehingga menjadi lebih panjang dan lebih besar dari kitab aslinya namanya Hasyiah dan Taqrir, maka lahirlah kitabkitab Hasyiah yang berjilid-jilid banyaknya dalam ilmu fiqhi, nahwu, sharaf, balaghah, ilmu-ilmu kalam, dan lain-lain. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqhi, ilmu kalam, tafsir, dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. para penguasa lebih cendrung untuk menegakkan satu paham (mazahab) keagamaan dan menekan mazhab lainnya. Sultan Abd al-Hamid II, misalnya, begitu fanatik terhadap aliran ASy’ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritikan aliran lain. ia memerintahkan kepada Syekh Husein al-Jisri menulis kitab Al-Hushun al-Hamidiyah (Benteng Pertahanan Abdul Hamid) untuk melestarikan aliran yang dianutnya itu. Akibat kelesuan di bidang ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan, maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah dan semacam catatan terhadap karya-karya masak klasik. D. Kerajaan Mungal di India Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur (1462-1530 M), salah satu cucuTimur Lenk, dan dari garis ibunya masih sangat dekat dengan Jenghis Khan. Ayahnya bernama Umar Mirza, Penguasa Farghana. Babur mewarisi daerah kekuasaan ayahnya ketika masih berusia 11 tahun. Sejak awal kekuasaan Babur Farghana, dia telah menunjukkan ambisi yang besar untuk menaklukkan Samarkhand,`suatu kota penting di abad itu, hingga kemudian tahun 1494, atas bantuan raja Safawi. Sepeninggal Babur, tahta kerajaan Mughal diteruskan oleh anaknya yang bernama Humayun. Sekalipun Babur berhasil menegakkan Mughal dari serangan musuh, namun Humayun tetap saja menghadapi banyak tantangan. Ia berhasil mengalahkan pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang bermaksud melepaskan diri dari Delhi. Pada tahun 1450 Humayun mengalami kekalahan dalam peperangan yang dilancarkan
104
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
oleh Sher Khan dari Afganistan. ia melarikan diri ke Persia. Di pengasingan ini ia menyusun kekuatannya. pada saat itu Persia di pimpim oleh penguasa Safawiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, Humayun berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mughal di Delhi pada tahun 1555 M. Ia mengalahkan kekuatan Khan Syah. Setahun kemudian yakni pada tahun 1556 M ia meninggal (Syed Mahmudunnasir, 1995:253). Sepeninggal Humayun, tahta kerajaan Mughal dijabat oleh putranya yang bernama Akbar (1556-1603 M). ketika menerima tahta kerajaan ini Akbar baru berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan pemerintahan dipercayakan kepada Bairam Khan, seorang penganut Syi’ah. Awal periode ini ditandai dengan muculnya berbagai pemberontakan. Khan Syah yang menggalang sisa kekuatannya di Punjab melancarkan pemberontakan. Di Agra timbul kekuatan Hindu yang dipimpin oleh Hemu dan berhasil merebut Agra dan Delhi dari kekuasaan Mughal. Di wilayah barat laut timbul gerakan yang dipimpin oleh Mirza Muhammad Hakim, saudara seayah Akbar. kasmir juga berusaha memerdekakan diri di bawah pimpinan muslim setempat. Hampir kotakota besar seperti Multan, Sind, Bengala, Gujarat, Bijafur dan lain-lain, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Imperium Mughal yang berpusat di Delhi. Demikian Akbar menghadapi tugas besar untuk menegakkan keutuhan dan kebesaran kerajaan Mughal (Syed Mahmudunnasir, 1995: 253). Ketika dewasa, Akbar berusaha menyingkirkan Bairam Khan karena terlalu memaksakan paham Syi’ah. Bairam mengadakan pemberontakan yang segera dapat dipadamkan oleh Akbar dalam pertempuran di Jullandur tahun 1561 M. Setelah berhasil menegakkan kekuatannya di Delhi, Akbar melancarkan serangan memerangi sejumlah penguasa yang mengklaim kemerdekaan dibeberapa wilayah. Dalam mengendalikan kerajaan, Akbar berhasil menciptkan stabilitas politik yang dapat mendukung pencapaian kemajuan di bidang perekonomian kemajuan di bidang ekonomi ditandai dengan kemajuan sektor pertanian dan perindustrian. Pada masa ini dikembangkan penanganan pertanian secara terstruktur. pada tingkat terendah setiap petani bertanggung jawab atas tanah garapannya yang disebut Deh. Para petani penggarap Deh disatukan dalam perikatan petani tingkat desa yang dipimpin oleh seorang mukaddam. Mukaddam ini merupakan sarana penghubung antara petani dengan pihak pemerintah, sehingga pemerintah mendapatkan kemudahan dalam pembinaan dan dalam menuntut beberapa
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
105
kewajiban petani, yakni pungutan sebesar sepertiga hasil pertanian setiap musim panen. Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang mengasilkan karya besar berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia. Karya seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila dan mesjid-mesjid yang indah (S.M.Ikram, 1981:247). Dalam bidang keagamaan, Akbar menyusun sebuah pola baru mengenai sejumlah peringkat keagamaan dan mengenai kebijakan kultural. Ketika ia menarik simpati ulama muslim dengan menghibahkan sejumlah madrasah dan perpustakaan, ia juga sekaligus mensponsori sebuah kultural yang lebih universalistik. Ia mendukung thariqat Chistiyah yang mentolerir beberapa bentuk sintesa antara Hinduisme dan Islam dan melancarkan sebuah bentuk pemujaan yang dinamakan Din Ilahi, atau agama ketuhanan, di mana sang kaisar sendiri dipandang sebagai guru besar sufi dari sebuah thariqat keagamaan tersebut (Lapidus, 1993:700). Dalam masa periode kerajaan Mughal, ulama adalah ilmuwanilmuwan Muslim yang mengabdi kepada negara. Mughal melanjutkan sistem administrasi keagamaan birokratik kesultanan Delhi. Kekuasaan peradilan sepenuhnya diserahkan kepada seorang kepala qadi. Sadr Propinsial mengepalai para hakim, muhtashih, muballigh, iman shalat, mua’azzim, dan administrator keuangan tingkat lokal. Ia juga bertanggung jawab atas pengangkatan mufti dan atas hubungan antara pemerintah dan ulama. Pada periode Mughal, pengaruh thariqat Naqsabandiyah dan Qadiriyah juga berpengaruh, di mana pengikutnya mengembangkan sebuah disiplin spiritual yang mengarah pada penglihatan terhadap Allah, tetapi mereka bersikeras akan pentingnya keterlibatan aktif dalam berbagai urusan duniawi. Sejumlah syaikh dari tariqhat tersebut berusaha terus menerus mewujudkan kesatuan di antara kaum muslim dengan mengklaim diri sebagai ahli waris seluruh tradisi sufi (Lapidus, 1993: 705). Pola pemikiran yang dikembangkan oleh aliran tarekat pada periode Mughal menekankan pemujaan para wali, dan syari’ah hanyalah
106
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
merupakan langkah awal untuk menuju haqiqat, sedangkan kesadaran terhadap Tuhan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan asketik dan pandangan batiniah, sejumlah thariqat, seperti thariqat Chistiyah biasanya dibentuk berdasarkan pandangan religius pribadi sang guru pendiri dan kebaktian pribadi dari para muridnya. Bahkan sebagaimana yang terjadi masa-masa silam, kharisma para wali dianggap tersimpan dikuburan mereka. Kemudian keturunan mereka bertugas mengelola makam keramat mereka dan sebagai pengatur sejumlah thariqat yang bertebaran di sekitar makam mereka. Pirzadas, keturunan dan pengelola makam keramat seorang wali, memimpin berbagai perayaan dalam rangka memperingati hari kelahiran dan kematian sang wali,menyediakan dapur umum, memimpin doa missal, dan menawarkan berbagai azimat, juga menyampaikan saran-saran sosial dan spiritual. Perkembangan makam keramat sebagai pusat peribadatan menimbulkan akumulasi property (kekayaan) yang diakui dan dipertahankan oleh pihak yang berwenang. Rezim Mughal menghadiahkan sejumlah kekayaan berupa tanah kepada kaum sufi, sebuah praktek untuk melegitimasi pihak pemberi (pemerintah) dan juga pihak penerima (sufi) dan memungkinkan Mughal mencampuri dalam perselisihan sukses kepemimpinan atas makam suci tersebut. Mereka mengganti pirzadas dengan seorang pribadi saleh yang lebih peka terhadap apa yang menjadi kehendak otoritas politik. D. P e n u t u p Dari berbagai uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kerajaan Safawi pada awalnya berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, di mana tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah. Pendirinya adalah Safi al-Din (1252-1334 M), yang berasal dari keturunan yang berada yang memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Pengikut tarekat Safawiyah ini adalah sangat teguh memegang ajaran agama, dan memiliki komitmen untuk memerangi orang-orang ingkar atau pun ahli-ahli bid’ah’. Kegiatan awal yang dilakukan oleh gerakan tarekat ini adalah pengajian tasawuf, namun lama-kelamaan mereka memiliki kecendrungan memasuki dunia politik. Dalam memperluas gerakan politiknya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M), maka terjadi konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam) salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah,
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
107
akhirnya ia diasingkan. Dalam pengasingannya ia mencoba menghimpun kekuatan dengan beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan, karena mempersunting dengan saudara perempuan Uzun Hasan. Juneid ini memiliki keturunan yang bernama Haidar. Haidar ini juga mempersunting salah seorang puteri Uzun Hasan, dari hasil perkawinan tersebut lahirlah seorang anak yang bernama Ismail. pada masa kepemimpinan Ismail kekuatan Safawiyah bangkit kembali setelah berhasil mengalahkan AK Koyunlu dalam peperangan di Nakhchivan dan berhasil menaklukkan Tibriz. Di kota inilah Ismail memproklamirkan berdirinya kerajaan Safawi dan menobatkan dirinya sebagai raja pertamanya. 2. Kerajaan Turki Usmani adalah sebuah dinasti Islam yang mewarisi wilayah kekuasaan yang pernah ditaklukkan oleh dinasti Saljuq dan penguasa pertamanya adalah Usman bin Erthogrul. Pada masa kepemimpinan Erthogrul sampai pada masa kepemimpinan Orkhan menjadikan Turki sebagai negara yang berdasarkan sistem dan prinsip kemiliteran. Semula kerajaan Usmani hanyalah sebuah kerajaan yang kecil, namun pada akhirnya menjadi sebuah kerajaan yang besar karena mengadakan ekspansi terhadap wilayah-wilayah yang disekitarnya. Kehidupan keagamaan dalam kerajaan Turki Usmani adalah sangat diperhatikan, di mana ia terikat dengan syariat Islam. 3. Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur, salah satu cucu Timur Lenk. Sepeninggal Babur ia digantikan oleh anaknya oleh Humayun, dan setelah Humayun wafat ia digantikan oleh anaknya Akbar. kepemimpinan Akbar di samping berhasil menciptakan kestabilan politik, ekonomi, seni dan budaya, juga berhasil menyusun sebuah pola baru mengenai sejumlah peringkat keagamaan, di mana ia berhasil menarik simpati para ulama untuk mengabdi kepada negara berdasarkan prinsip ajaran Islam. Daftar Rujukan Allouche. 1985. The Origins and development of the Ottoman-Safavid Conflict, (Michigan, University Microfilms International, 1985) Allouche, The Origins and development of the Ottoman-Safavid Conflict. Michigan, University Microfilms International. Abdurrahman, Dudung. 2003. Sejarah Peradaban Islam dan Masa Klasik Hingga Modern. Cet. I; Yogyakarta : Fak.Adab IAIN Sunan kalijaga. Ali, K. 1997. Sejarah Islam. Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
108
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Brockelman,Carl. 1974. Tarikh al-Syu’ub al- Islamiyah. Beirut: Dar al Ilm. Dewan Redaksi Ensikplopdi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam, Cet. II, (Jakarta : Ichtiar Baru Hoeve. Hamka. 1981. Sejarah Umat Islam. Jilid III Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang. Hodgson,Marshal G.S. 1981. The Ventur of Islam, V; The University of Chicago Press. Holt, P.M, dkk. 1970. The Cambridge History of Islam, Vol. IA .London: Cambridge University Press. Ikram, S.M. 1981. Muslim Civization in India. New York: Columbia Uneversity Press. Lapidus, Ira, M. 1993. A History of Islamic Society. Cambridge University Press. Muhaimin, dkk. 2002. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung : Remaja Rosdakarya. Muthari, Murthada. 1995. Society and History. Diterjemahkan oleh M.Hasyim, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas Mekanisme dan Teorinya, Cet.V, (Bandung : Mizan. Nasution,Harun. 1975. PembaharuanDalam Islam : Sejarah Pendidikan dan Peradaban, Cet. XIII, (Jakarta : Bulan Bintang. S.Ahmad, Akbar. 2003. Rekonstruksi Sejarah Islam; Di tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, Cet. II, (Yogyakarta: Aba. Syed Mahmudunnasir. 1975. Islam: Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yunus, Mahmud. 1989. Sejarah pendidikan Islam. Cet. V; Jakarta: Hidayakarya Agung.